Anda di halaman 1dari 89

Alih Aksara

Raja Siak

Retta Pesta Rauli

Perpusnas Press
2020
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
Data Katalog dalam Terbitan (KDT)

Raja Siak
Oleh: Retta Pesta Rauli - Jakarta: Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia, 2019
87hlm. ; 16 x 23 cm,--(Seri Naskah Kuno Nusantara)
1. Manuskrip. I. Retta Pesta Rauli. II Perpustakaan Nasional. III. Seri
E-ISBN : 978-623-92817-4-8 (PDF)

Editor Isi & Bahasa


Tim Editor

Perancang Sampul
Irma Rachmawati

Tata Letak Buku


Yanri Roslana

Diterbitkan oleh
Perpusnas Press, anggota Ikapi
Jl. Salemba Raya 28 A, Jakarta 10430
Telp: (021) 3922749 eks.429
Fax: 021-3103554
Email: press@perpusnas.go.id
Website: http://press.perpusnas.go.id
perpusnas.press
perpusnas.press
@perpusnas_press
Raja Siak

Sambutan

UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, mendefinisikan naskah


kuno sebagai dokumen tertulis yang tidak dicetak atau tidak diperbanyak dengan
cara lain, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri yang berumur
sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, dan yang mempunyai nilai penting
bagi kebudayaan nasional, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Dibanding benda cagar
budaya lainnya, naskah kuno memang lebih rentan rusak, baik akibat kelembaban
udara dan air (high humidity and water), dirusak binatang pengerat (harmful
insects, rats, and rodents), ketidakpedulian, bencana alam, kebakaran, pencurian,
maupun karena diperjual-belikan oleh khalayak umum.
Naskah kuno mengandung berbagai informasi penting yang harus
diungkap dan disampaikan kepada masyarakat. Tetapi, naskah kuno yang ada
di Nusantara biasanya ditulis dalam aksara non-Latin dan bahasa daerah atau
bahasa Asing (Arab, Cina, Sanskerta, Belanda, Inggris, Portugis, Prancis). Hal
ini menjadi kesulitan tersendiri dalam memahami naskah. Salah satu cara untuk
mengungkap dan menyampaikan informasi yang terkandung di dalam naskah
kepada masyarakat adalah melalui penelitian filologi. Saat ini penelitian naskah
kuno masih sangat minim.
Sejalan dengan rencana strategis Perpustakaan Nasional untuk
menjalankan fungsinya sebagai perpustakaan pusat penelitian juga pusat
pelestarian pernaskahan Nusantara, maka kegiatan alih-aksara, alih-bahasa,
saduran dan kajian naskah kuno berbasis kompetisi perlu dilakukan sebagai upaya
akselerasi percepatan penelitian naskah kuno yang berkualitas, memenuhi standar
penelitian filologis, serta mudah diakses oleh masyarakat. Dengan demikian,
Perpustakaan Nasional menjadi lembaga yang berkontribusi besar terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia, khususnya di bidang pernaskahan.
Kegiatan ini wajib dilaksanakan Perpustakaan Nasional, karena
merupakan amanat Undang-Undang No.43 tahun 2007 Pasal 7 ayat 1 butir d
yang mewajibkan Pemerintah untuk menjamin ketersediaan keragaman koleksi
perpustakaan melalui terjemahan (translasi), alih aksara (transliterasi), alih suara
ke tulisan (transkripsi), dan alih media (transmedia), juga Pasal 7 ayat 1 butir
f yang berbunyi “Pemerintah berkewajiban meningkatan kualitas dan kuantitas
koleksi perpustakaan”.
Sejak tahun 2015, seiring dengan peningkatan target dalam indikator
kinerja di Perpustakaan Nasional, kegiatan alih- aksara, terjemahan, saduran dan
kajian terus ditingkatkan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Pada tahun
2019, Perpustakaan Nasional menargetkan 150 judul penerbitan bagi hasil-
hasil karya tulis tersebut. Untuk meningkatkan kuantitas sekaligus kualitas hasil

iii
Raja Siak

penelitian filologis, maka kegiatan Alih Aksara, Alih Bahasa, Saduran, dan Kajian
Naskah Kuno Nusantara Berbasis Kompetisi ini dilakukan.
Kegiatan ini dapat terlaksana berkat kontribusi karya para filolog dan
sastrawan. Oleh karena itu, Perpustakaan Nasional mengucapkan terima kasih
sebanyak-banyaknya kepada para filolog dan sastrawan yang telah mengirimkan
karya-karya terbaiknya. Secara khusus, Perpustakaan Nasional juga mengucapkan
terima kasih kepada Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) yang sejak
awal terlibat dalam proses panjang seleksi naskah, penyuntingan, proofreading,
sampai buku ini dapat terbit dan dibaca oleh masyarakat.
Besar harapan kami semoga fasilitasi terhadap karya tulis Alih Aksara,
Alih Bahasa, Saduran, dan Kajian Naskah Nusantara Berbasis Kompetisi ini
dapat meningkatkan kualitas penerbitan dan mendapatkan apresiasi positif dari
masyarakat, serta bermanfaat dalam upaya menggali kearifan lokal budaya
Indonesia.

Jakarta, 2019

Deputi Bidang Pengembangan


Bahan Pustaka dan Jasa Informasi

Ttd

iv
Raja Siak

Kata Pengantar

Warisan budaya bangsa Indonesia mempunyai nilai sangat tinggi dan


beragam, salah satunya adalah warisan budaya tulis yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia. Keragaman warisan budaya tulis bangsa Indonesia dapat
dilihat dari segi bahasa, aksara, dan media yang digunakan dalam proses penulisan.
Masing-masing daerah memiliki karateristik bahasa, aksara, dan media tulis yang
berbeda.
Keberagaman warisan budaya tulis jika ditinjau dari segi kandungan
isinya sangat kaya karena di dalamnya terkandung sejarah, sastra, obat-obatan,
ajaran budi pekerti, keagamaan, ilmu astronomi dan perbintangan, ramalan, dll.
Demi menjaga warisan budaya tulis ini agar tidak punah ditelan zaman, maka
perlu adanya penyelamatan isi atau kandungannya agar dapat diketahui dan
dimanfaatkan oleh generasi penerus.
Perpustakaan Nasional RI sebagai salah satu lembaga pemerinah non
departemen mempunyai tugas dan fungsi, salah satunya yaitu melestarikan karya
budaya bangsa, dalam hal ini terkait dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor
43 tahun 2007 tentang Perpustakaan dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010
tentang Cagar Budaya.
Dalam rangka penyelamatan isi yang terkandung dalam karya budaya
bangsa, khususnya yang terkandung dalam karya tulis yang berupa naskah-
naskah lama, Perpustakaan Nasional RI pada kesempatan ini menerbitkan hasil
transliterasi naskah Melayu yang berjudul Syair Raja Siak dengan nomor koleksi
W 273.
Kegiatan semacam ini sangat diperlukan dan harus tetap terjaga sera
ditingkatkan secara berkesinambungan, mengingat semakin langkanya masyarakat
sekarang yang mampu membaca naskah-naskah lama. Dengan terbitnya buku
ini, diharapkan dapat membantu masyarakat yang ingin mengetahui isi naskah
tersebut.

Penulis,

Retta Pesta Rauli

v
Raja Siak

Daftar Isi

Sambutan ................................................................................................ iii


Kata Pengantar ...................................................................................... v
Daftar Isi ................................................................................................. vi

BAB I
1.1 Syair ................................................................................................... 1
1.2 Syair Raja Siak................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................ 5
1.4 Pemilihan naskah ............................................................................... 6
1.5 Penggarapan Naskah .......................................................................... 6

BAB II
2.1 Deskripsi Naskah Syair Raja Siak ..................................................... 10
2.2 Transliterasi Naskah Syair Raja Siak ................................................. 11

Daftar Kata Sukar ................................................................................. 76


Daftar pustaka ....................................................................................... 79
Lampiran ............................................................................................... 80

vi
Raja Siak

BAB I

1.1 SYAIR
Syair merupakan salah satu jenis puisi lama Melayu. Kata syair berasal
dari Arab yaitu sya’irun yang artinya “yang merasa”. Seperti juga pantun, syair
terdiri dari empat baris, tetapi dengan sajak a-a-a-a. setiap baris terdiri dari empat
kata yang terdiri dari 9-12 suku kata. Persajakan (persamaan bunyi pada ujung
baris) merupakan unsur syair yang penting. Menurut isinya syair dapat dibagikan
menjadi enam golongan, yaitu syair panji, syair romantis, syair kiasan, syair
sejarah, syair agama dan syair-syair yang tidak dapat digolongkan.
Mengenai kapan syair itu ada juga belum jelas, tetapi hanya diketahui bahwa
syair tertua yang tertulis terdapat pada batu nisan di Minye Tujoh (Aceh) yang
berangka tahun 1380 M. Perlu diketahui bahwa satu setengah abad sebelum
Malaka jatuh, di Pasai untuk suatu tulisan dipakai bentuk sajak yang dalam bahasa
Arab bernama syair.
Syair tersebut pernah diteliti oleh W.F. Stutterheim pada tahun 1936
dengan bantuan dari H. Djajadiningrat. Sarjana ini juga memberikan Stutterheim
transliterasi dan terjemahan dari sebuah prasasti lain yang berkaitan dengan
prasasti itu. Ternyata yang berangka tahun 1380 M adalah batu nisan puteri
kerajaan Pasai/Kedah dan yang berangka tahun 1389 M adalah batu nisan putera
Sultan Malik Al Jahir. Hurufnya huruf sumatra lama yaitu perkembangan dari
huruf Pallawa. Huruf tersebut sama dengan huruf yang terdapat pada prasasti
Pagaruyung. Batu nisan itu tidak saja ganjil karena huruhnya, tetapi karena
bahasanya. Di bawah ini adalah syair yang terdapat pada batu nisan di Minye
Tujoh yang telah ditransliterasi:
Hijat nabi mungstapa yang prasida
Tujuh ratus asta puluh sawarsa
Haji catur dan dasa warsa sukra
Raja iman warda rahmat Allah
Artinya: setelah hijarah nabi, kekasih yang telah wafat, tujuh ratus delapan
puluh satu tahun, bulan Dzulhijjah 14, hari, jum’at, Ratu Iman Werda (rahmat
Allah bagi baginda) dari suku Barubasa (Gujarat) mempunyai hak atas Kedah dan
Pasai menaruh di darat dan laut. Ya Allah, Tuhan semesta, taruhlah baginda dalam
swarga Tuhan.
Pada tahun 1951, dalam sebuah artikel pendek Marrison menyajikan
hipotesis baru tentang teks berbahasa Melayu. Dia berpegang pada teks
sebagaimana dibaca oleh Stutterheim, namun dia menemukan bahwa metrum
yang digunakan dalam sajak tersebut bukanlah metrum syair Melayu, melainkan
kaidah prosodi Sanskerta, yaitu pola teratur suku-suku kata panjang dan pendek

1
Raja Siak

dari metrum Upajāti. Stutterheim sendiri juga mengakui bahwa dalam pembacaan
prsasti itu masih mengandung banyak ketidakpastian (Willem van der Molen
dalam artikelnya yang berjudul Syair Minye Tujuh).
Willem van der Molen dalam artikelnya juga memberikan ulasan terhadap
penelitian terhadap sajak ini, dan kesimpulan yang dapat diambil dari penelitiannya
adalah sebagai berikut.
Pertama, lain dari perkiraan Stutterheim tidak menyebut nama putri raja dan
wangsanya; demikian juga Kedah dan Pasai. Yang tertulis dalam baris-baris yang
bersangkutan adalah ungkapan-ungkapan biasa tentang status sosial dan martabat
almarhumah.
Kedua, lain dari perkiraan Marrison, teksnya tidak mengikuti kaidah prosodi
Sanskerta.
Ketiga, lain dari Marrison tetapi sesuai dengan Stutterheim, kita melihat
bahwa aturan-aturan syair Melayu diterapkan, termasuk purwakanti dan juga,
sebagai tambahan pada kesimpulan Stutterheim, dengan empat kata sebaris.
Keempat, prasasti Minye Tujuh memang memberi kesan seolah-olah
penulisannya seperti yang dinyatakan oleh Stutterheim dan De Casparis,
melainkan lewat tata letak teksnya (Inskripsi Islam Tertua Di Indonesia: hlm 37-
63).
Menurut Dr. C. Hooykaas batu nisan ini berasal dari masa peralihan agama di
Sumatra Utara, hurufnya bukan huruf arab, tetapi huruf Sumatra kuno. Bukanlah
suatu hal yang kebetulan saja bahwa warta dan doa ini dipahatkan dalam 8 baris
yang semuanya bersajak pada huruf /a/. Oleh karena itu, terjadilah bait syair yang
tidak begitu indah iramanya, tetapi bukan tidak beraturan susunannya.
Syair suka sekali memakai kata-kata yang di dalam pantun kurang dipakai,
sedangkan pada prosa jarang sekali didapat, misalnya: arif, bestari, gundah
gulana, dan sebagainya. Sebagian besar dan yang penting-penting dalam bahasa
Melayu ditulis dalam bentuk syair yang panjang-panjang. Cerita-cerita roman
juga sering memakai bentuk ini, misalnya Syair Buah-Buahan ini, Syair Bidasari,
Abdul Muluk, adapun sebabnya adalah sebagai berikut.
1. Untuk lebih mudah menghafalkan (zaman dahulu kesusasteraan
Melayu belum tertulis).
2. Mudah ditaruh atau disalin.
3. Bahasa lama erat hubungannya dengan tari dan musik, untuk ini
bentuk syair lebih sesuai.
4. Untuk menjaga diri dari “salah ucap”( bahasa magis, pantang bahasa)
berhubung dengan funngsinya sebagai bahasa rituil (suci).

2
Raja Siak

1.2 SYAIR RAJA SIAK


Syair Raja Siak adalah sebuah syair sejarah, menurut Dr.Ph.S.Van Ronkel
dalam bukunya Catalogus der Maleische Handschriften mengutarakan bahwa
Syair Raja Siak ini menceritakan keruwetan yang terjadi di kerajaan Siak yang
baru berakhir pada tahun 1857 setelah campur tangan Belanda.
Sebenarnya ringkasan tersebut belum tentu benar seluruhnya, kalau
boleh hal itu merupakan pemutarbalikan kenyataan dan terlalu berat sebelah;
justru kedatangan Belanda itulah menyebabkan suasana kisruh di kerajaan Siak,
sehingga akhirnya pecahlah peperangan antara bala tentara kerajaan Siak. Untuk
lebih jelasnya kisah ini sebagai berikut.
Syair Raja Siak ini diawali dengan kisah Bandar bengkalis yang ramai
sekali dikunjungi orang. Banyak kapal yang berlabuh sekedar menurunkan barang
muatannya, kici dan sampan saling hilir mudik, menambah riuh dan ramainya
bandar tersebut. Berita keramaian Bandar Bengkalis ini sampai tercium oleh
Raja Bugis yang taklukannya pada saat itu sampai ke negeri Johor. Timbullah
keinginan Baginda Raja untuk menguasainya. Di perintahkannya hulu Balang
membawa surat ke Minangkabau dan Pagaruyung. Kedatangan utusan Raja
Bugis ke Pagaruyung disambut dengan upacara kebesaran, nyatanya setelah surat
diterima dan dibaca betapa marah padam warna muka baginda menahan amarah.
Dengan segalan kelengkapan dan hulu balang-hulu balang berangkatlah
baginda Raja ke Bandar Bengkalis. Setelah memakan waktu beberapa hari dengan
melalui hutan-hutan belukar sampailah baginda dengan pengiring-pengiringnya
ke Bandar Bengkalis.
Melihat kedatangan baginda Raja maka berdatanganlah rakyat Bengkalis
sama menjungjung duli baginda dan berhamba diri. Diperintahkannya untuk
mengumpulkan semua warga Bengkalis dan hulu balang-hulu balangnya untuk
bersiap-siap diri memerangi kerajaan Johor sebagai pembalasan dendam atas
kematian ayahnya Sultan Mahmud Syah (E. Netscher).
Dari pulau Bengkalis berlayarlah baginda Raja lengkap dengan bala
tentara dan alat-alat senjata menuju negeri Johor. Pecahlah peperangan yang
diakhiri dengan kemenangan bagi baginda Raja dan dapat merenggut kembali
tahta kerajaan dari bekas bendahara yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rayat Syah,
namun beliau tidak bermaksud untuk menjadi raja di Johor. Dibuatlah kerajaan
baru di sungai Siak di Buantan. Jadi, Buantan itulah asal mulanya kerajaan Siak
dengan rajanya yang pertama Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah yang dipertuan
Raja kecil Marhun Buantan (Tenas Effendi).
Menurut versi lain keluarnya baginda Raja kecil ini dari negeri Johor
karena terjadinya cup de’tat yang dilakukan oleh anak Sultan Rayat Syah bergelar
Raja Sulaiman berkat bantuan orang-orang Bugis dibawah pimpinan Daeng

3
Raja Siak

Parani. Kemudian tercetuslah pernyataan sumpah setia bersama antara keturunan


Raja Sulaiman dengan orang-orang Bugis untuk tidak menerima Raja Kecil
sampai anak cucu cicitnya.
Raja Siak yang pertama ini berputera dua orang laki-laki yang sulungnya
bernama (Alamudin Syah yang dipertuan muda) sedang yang kedua (Abdul Jalil
Muhammad Syah). Kehadiran kedua putera mahkota ini membuat kegembiraan
di hati baginda Raja. Lebih-lebih selang beberapa tahun dikaruniai lagi seseorang
cucu.
Namun, karena satu dan lain hal antara kedua putera mahkota ini tidak
persesuaian pendapat yang menyebabkan meletusnya perang saudara. Melihat
kenyataan yang menyakitkan hati ini maka diperintahkan oleh baginda Marhum
Buantan salah satu kedua putra mahkota ini untuk meninggalkan kerajaan Siak.
Sepeninggalnya putera sulung keluar dari Siak sampai menuju Malaka, baginda
jatuh sakit hingga sampai akhir hayatnya.
Tampuk pimpinan kerajaan diganti oleh puteranya yang kedua Raja Abdul
Jalil Muhammad Syah. Oleh baginda Raja ini ibu kota kerajaan dipindahkan ke
Bandar Indrapura di Mempura dengan nama kerajaan Siak Indrapura.
Dalam naskah ini tidak dilukiskan peristiwa berhasilnya Raja Alam/
Muhammad Syah menghalau bala tentara Belanda di loji Jembalan Guntung
dengan tipu muslihatnya yang sangat licin.
Selama memerintah beberapa tahun lamanya tanpa mengalami ganguan
dari Belanda dan kerajaan dan kerajaan sekitarnya hingga sampai saat jatuh sakit
yang menyebabkan kematiannya. Beliau diganti oleh puteranya yang masih muda
bernama Sultan Alamudin Ismail.
Mendengar berita kematian Raja Muhammad Syah ini timbullah
keinginan Belanda untuk membalas dendam kekalahannya dahulu di Jembalang
Guntung. Dibuatnya tipu muslihat dengan mengajak dan mumbujuk putera
mahkota pertama Raja Marhum Buantan yang keluar dari kerajaan Siak untuk
kembali dinobatkan sebagai raja yang syah.
Kedatangan Belanda bersama Raja Alamudin Syah ini membuat pihak
kerajaan Siak serba salah, namun karena tidak ada jalan lain yang ditempuhnya
kecuali harus berperang semata-mata menghadapi Belanda.
Meletuslah peperangan antara bala tentara kerajaan Siak melawan
Belanda. Dalam peperangan inilah tampil panglima-panglima perang kerajaan
Siak yang gagah perkasa seperti Raja Indra Pahlawan, Raja Lela Wangsa, Syekh
Salim, Syah Bandar Muin, Tengku Muhammad Ali dan masih banyak lagi yang
tidak bias disebutkan di sini satu persatu. Peperangan ini yang berlangsung cukup
memakan waktu yang lama hingga kemenangan hampir di tangan kerajaan Siak.

4
Raja Siak

Melihat gelagat demikian Belanda mendaratkan Raja Alamudi Syah di kerajaan


Siak yang disambut oleh Raja Ismail dengan upacara kebesaran sebagaimana
layaknya menyambut sang Raja.
Dalam kesempatan inilah Belanda dapat menerobos pertahanan kerajaan
Siak hingga dapat dikuasainya. Dengan kerelaan hati dan keikhlasan penuh raja
Ismail menyerahkan tampuk kerajaan kepada Raja Alamudin Syah dan pergi ke
luar dari negeri Siak Sri Indrapura hingga sampai ke Langkat.
Seperginya Raja Ismail ini maka selesailah Syair perang Siak dan diakhiri
dengan kisah keinginan para menteri untuk mendesak sang Raja Ismail beristeri.
Demikianlah ringkasan kisah ini, sengaja dibubuhkan nama-nama Raja
untuk lebih menghidupkan kisah ini berdasarkan literature sebagai berikut:
1. Kratz, Ulrich, sumber-sumber sejarah Riau sekitar tahun 1511-1784.
Majalah Bahasa dan sastra tahun 1 no. 3 1975.
2. Naskah sejarah Raja-raja Riau II, koleksi naskah museum pusat.
3. Netscher. E, De Nederlanders in Johor en Siak 1602-tot 1865.
4. Netscher, E. Genealogie van het vorstenhuis van Siak Sri Indrapura.
Riow. Oktober 1864.
5. Ronkel, Ph. S.Van, Dr. Catalogue der Maleische Handschriften
in het museum van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen. 1909.
6. Tenas Effendi. Syair perang Siak, Badan Pembina Kesenian Daerah
propinsi Riau Pekan Baru 1969.
7. Team pelaksana proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan
Nasional Bidang Permuseuman. Katalogus Koleksi Naskah Melayu
Museum Pusat Dep.P dan K. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen P
dan K, 1972.
8. Labberton , D. Van Hinloopen, Register of de artikelen voorkomeade
in het Tijdschrift voor Indische Fall, Land en volkonkurde en de
vorhendelingen van het Bataviaasch Genootschap Van Kunsten en
Wetenchappen, Albreto&Co/m. Nijhoff, Batavia, 1908.

1.3 TUJUAN PENULISAN


Penerbitan buku yang mengambil bahan dari naskah kuno koleksi
Perpustakaan Nasional RI bertujuan untuk membantu masyarakat pembaca pada
umumnya dan kalangan peneliti khususnya yang tertarik dengan kebudayaan

5
Raja Siak

Nusantara. Perpustakaan Nasional RI memandang perlu untuk menerbitkan


terjemahan naskah Syair Raja Siak W 273, selain karena ikut melestarikan
warisan budaya nenek moyang, juga karena di dalamnya tersimpan informasi
penting yang terkait dengan akar budaya Nusantara.
Seperti telah diketahui bahwa naskah-naskah kuno koleksi Perpustakaan
Nasional RI sebagian besar telah berusia tua dan kondisinya sebagian besar
sangat memprihatinkan. Buku ini diharapkan dapat mewakili naskah asli. Dengan
adanya buku ini, keberadaan naskah akan terlindungi walaupun dalam jangka
waktu tidak lama.

1.4 PEMILIHAN NASKAH


Pemilihan naskah kuno untuk penerbitan kali ini dengan pertimbangan
bahwa naskah ini adalah naskah Perpustakaan Nasional RI yang tersimpan di
bagian Layanan Koleksi Khusus dan termasuk naskah yang langka serta kondisinya
masih baik dan terbaca jelas, selain itu, naskah ini hanya naskah tunggal yang
terdapat di Perpustakaan Nasional RI, tetapi tidak menutup kemungkinan naskah
ini juga ada di tempat lain, seperti di Laiden, Malaysia atau perpustakaan lain.

1.5 PENGGARAPAN NASKAH


Naskah Syair Buah-Buahan ini menggunakan Aksara Jawi atau aksara
Arab-Melayu dan menggunakan bahasa Melayu. Aksara Jawi atau aksara Arab-
Melayu adalah modifikasi aksara Arab yang disesuaikan dengan Bahasa Melayu
di seantero Nusantara yang silam. Munculnya aksara ini adalah akibat pengaruh
budaya Islam yang lebih dulu masuk dibandingkan dengan pengaruh budaya
Eropa di zaman kolonialisme dulu. Aksara ini dikenal sejak zaman Kerajaan
Samudera Pasai dan Kerajaan Malaka.

Aksara Arab yang digunakan adalah:


alif ‫ — ا‬ba ‫ — ب‬ta ‫ — ت‬tsa ‫ — ث‬jim ‫ — ج‬ha ‫ — ح‬kho ‫خ‬
dal ‫ — د‬dza ‫ — ذ‬ro ‫ — ر‬za ‫ — ز‬sin ‫ — س‬syin‫ — ش‬shod ‫ص‬
dhod ‫ — ض‬tho ‫ — ط‬dlo ‫‘ — ظ‬ain ‫ — ع‬ghin ‫ — غ‬fa ‫ — ف‬qof ‫ق‬
kaf ‫ — ك‬lam ‫ — ل‬mim ‫ — م‬nun ‫ — ن‬wau ‫ — و‬Ha ‫ — ه‬ya ‫ي‬
hamzah ‫ — ء‬lam alif ‫ال‬
Aksara tambahan yang digunakan adalah:
cha ‫( چ‬ha bertitik 3) — nga ‫( ڠ‬ain bertitik tiga) — pa ‫( ڤ‬fa bertitik 3)
ga ‫( ڬ‬kaf bertitik) — va‫( ۏ‬wau bertitik) — nya ‫( ڽ‬nun bertitik 3)
Angka Arab yang digunakan adalah: 0 ٠ — 1١ — 2 ٢ — 3 ٣ — 4 ٤ — 5 ٥ — 6
٦ — 7 ٧ — 8 ٨ — 9٩
Bahasa dalam naskah ini adalah bahasa Melayu. Bahasa Melayu adalah

6
Raja Siak

sejumlah bahasa yang saling bermiripan yang dituturkan di wilayah Nusantara


dan beberapa tempat lain. Sebagai bahasa yang luas pemakaiannya, bahasa ini
menjadi bahasa resmi di Brunei, Indonesia (sebagai bahasa Indonesia), dan
Malaysia (juga dikenal sebagai bahasa Malaysia); salah satu bahasa yang diakui di
Singapura; dan menjadi bahasa kerja di Timor Leste (sebagai bahasa Indonesia).
Bahasa Melayu pernah menjadi lingua franca bagi perdagangan dan hubungan
politik di Nusantara. Migrasi kemudian juga memperluas pemakaiannya. Selain
di negara yang disebut sebelumnya, bahasa Melayu dituturkan pula di Afrika
Selatan, Sri Lanka, Thailand selatan, Filipina selatan, Myanmar selatan, sebagian
kecil Kamboja, hingga Papua Nugini. Bahasa ini juga dituturkan oleh penduduk
Pulau Christmas dan Kepulauan Cocos yang menjadi bagian Australia.
Tidak ada catatan mengenai tanah asal bahasa Melayu. Tulisan-tulisan
pertama dalam bahasa Melayu ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera,
mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di Nusantara
dari wilayah ini, berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai
jalur perdagangan.
Pada awal tahun 2004, Dewan Bahasa dan Pustaka (Malaysia) dan Majelis
Bahasa Brunei Darussalam - Indonesia - Malaysia (MABBIM) berencana
menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi dalam organisasi ASEAN
dengan memandang lebih separuh jumlah penduduk ASEAN mampu bertutur
dalam bahasa Melayu. Rencana ini belum pernah terealisasikan, tetapi ASEAN
sekarang selalu membuat dokumen asli dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan
ke dalam bahasa resmi masing-masing negara anggotanya.
Sejarah Bahasa Melayu termasuk dalam bahasa-bahasa Melayu Polinesia
di bawah rumpun bahasa Austronesia. Menurut statistik penggunaan bahasa di
dunia, penutur bahasa Melayu diperkirakan mencapai lebih kurang 250 juta jiwa
yang merupakan bahasa keempat dalam urutan jumlah penutur terpenting bagi
bahasa-bahasa di dunia.
Catatan tertulis pertama dalam bahasa Melayu Kuno berasal dari abad ke-7,
dan tercantum pada beberapa prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya di bagian
selatan Sumatera dan wangsa Syailendra di beberapa tempat di Jawa Tengah.
Tulisan ini menggunakan aksara Pallawa. Selanjutnya, bukti-bukti tertulis
bermunculan di berbagai tempat, meskipun dokumen terbanyak kebanyakan
mulai berasal dari abad ke-18.
Sejarah penggunaan yang panjang ini tentu saja mengakibatkan perbedaan
versi bahasa yang digunakan. Ahli bahasa membagi perkembangan bahasa
Melayu ke dalam tiga tahap utama, yaitu sebagai berikut.

• Bahasa Melayu Kuna (abad ke-7 hingga abad ke-13)


• Bahasa Melayu Klasik, mulai ditulis dengan huruf Jawi (sejak abad ke-15)
• Bahasa Melayu Modern (sejak abad ke-20)

7
Raja Siak

Walaupun demikian, tidak ada bukti bahwa ketiga bentuk bahasa Melayu
tersebut saling bersinambung. Selain itu, penggunaan yang meluas di berbagai
tempat memunculkan berbagai dialek bahasa Melayu, baik karena penyebaran
penduduk dan isolasi maupun melalui kreolisasi.
Selepas masa Sriwijaya, catatan tertulis tentang dan dalam bahasa Melayu
baru muncul semenjak masa Kesultanan Malaka (abad ke-15). Laporan Portugis
dari abad ke-16 menyebut-nyebut mengenai perlunya penguasaan bahasa Melayu
untuk bertransaksi perdagangan. Seiring dengan runtuhnya kekuasaan Portugis
di Malaka dan munculnya berbagai kesultanan di Pesisir Semenanjung Malaya,
Sumatera, Kalimantan, dan selatan Filipina, dokumen-dokumen tertulis di kertas
dalam bahasa Melayu mulai ditemukan. Surat-menyurat antarpemimpin kerajaan
pada abad ke-16 juga diketahui telah menggunakan bahasa Melayu. Karena
bukan penutur asli bahasa Melayu, mereka menggunakan bahasa Melayu yang
“disederhanakan” dan mengalami percampuran dengan bahasa setempat, yang
lebih populer sebagai bahasa Melayu Pasar (Bazaar Malay). Tulisan pada masa
ini telah menggunakan huruf Arab (kelak dikenal sebagai huruf Jawi) atau juga
menggunakan huruf setempat, seperti hanacaraka.
Rintisan ke arah bahasa Melayu Modern dimulai ketika Raja Ali Haji,
sastrawan istana dari Kesultanan Riau Lingga, secara sistematis menyusun kamus
ekabahasa bahasa Melayu (Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat
Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama) pada pertengahan
abad ke-19. Perkembangan berikutnya terjadi ketika sarjana-sarjana Eropa
(khususnya Belanda dan Inggris) mulai mempelajari bahasa ini secara sistematis
karena menganggap penting menggunakannya dalam urusan administrasi. Hal ini
terjadi pada paruh kedua abad ke-19. Bahasa Melayu Modern dicirikan dengan
penggunaan alfabet Latin dan masuknya banyak kata-kata Eropa. Pengajaran
bahasa Melayu di sekolah-sekolah sejak awal abad ke-20 semakin membuat
populer bahasa ini.
Di Indonesia, pendirian Balai Poestaka (1901) sebagai percetakan buku-
buku pelajaran dan sastra mengantarkan kepopuleran bahasa Melayu dan
bahkan membentuk suatu varian bahasa tersendiri yang mulai berbeda dari
induknya, bahasa Melayu Riau. Kalangan peneliti sejarah bahasa Indonesia masa
kini menjulukinya “bahasa Melayu Balai Pustaka” atau “bahasa Melayu van
Ophuijsen”. Van Ophuijsen adalah orang yang pada tahun 1901 menyusun ejaan
bahasa Melayu dengan huruf Latin untuk penggunaan di Hindia-Belanda. Ia juga
menjadi penyunting berbagai buku sastra terbitan Balai Pustaka. Dalam masa 20
tahun berikutnya, “bahasa Melayu van Ophuijsen” ini kemudian dikenal luas di
kalangan orang-orang pribumi dan mulai dianggap menjadi identitas kebangsaan
Indonesia. Puncaknya adalah ketika dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928)
dengan jelas dinyatakan, “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.
Sejak saat itu bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa kebangsaan.

8
Raja Siak

Introduksi varian kebangsaan ini mendesak bentuk-bentuk bahasa Melayu


lain, termasuk bahasa Melayu Tionghoa, sebagai bentuk cabang dari bahasa
Melayu Pasar, yang telah populer dipakai sebagai bahasa surat kabar dan
berbagai karya fiksi di dekade-dekade akhir abad ke-19. Bentuk-bentuk bahasa
Melayu selain varian kebangsaan dianggap bentuk yang “kurang mulia” dan
penggunaannya berangsur-angsur melemah.
Pemeliharaan bahasa Melayu standar (bahasa Indonesia) terjaga akibat
meluasnya penggunaan bahasa ini dalam kehidupan sehari-hari. Sikap orang
Belanda yang pada waktu itu tidak suka apabila orang pribumi menggunakan
bahasa Belanda juga menyebabkan bahasa Indonesia menjadi semakin populer.

9
Raja Siak

BAB II

2.1 Deskripsi Naskah Syair Raja Siak


Syair Raja Siak merupakan salah satu koleksi naskah Melayu yang berbentuk
syair. Naskah ini merupakan koleksi naskah kuno yang ada di Perpustakaan
nasional RI. Naskah-naskah yang ada di perpustakaan nasional berjumlah 12
ribuan lebih, dari jumlah itu naskah Melayu berjumlah sekitar 1000 naskah dari
jumlah naskah Melayu itu naskah yang berupa syair ada sekitar 78 naskah, Syair
Raja Siak merupakan naskah koleksi dari seorang kolektor naskah yang bernama
Von de Wall, yang merupakan pejabat tinggi urusan kebudayaan di Hindia
Belanda yang meninggal (Desember 1873,) koleksi Von de Wall didepositkan
ke Bataviaasch Genootschap (BG) yang merupakan lembaga yang berdiri tahun
1778. Lembaga ini terus mengumpulkan koleksi kepurbakalaan, etnografi, buku
dan naskah. Setelah merdeka lembaga ini kemudian menjadi lembaga kebudayaan
Indonesia, kemudian koleksi naskah ex-BG terus terkelompok sebagai salah satu
bagian dari Museum Pusat yang kemudian dikenal menjadi Museum Nasional.
Kemudian tahun 1989 koleksi naskah pindah ke Perpustakaan Nasional.
Naskah Syair Raja Siak ini oleh kurator dicatat dengan nomor kode W 273
sesuai dengan nama kolektornya, informasi tentang judul ditemukan di halaman
depan naskah, Syair dan halaman pertama naskah sedangkan pada halaman akhir
tertulis judul Syair Perang Siak. Kisah syair ini lebih menonjolkan berkecamuknya
peperangan antara hulu balang-hulu balang kerajaan Siak melawan Belanda
(Bahasa syairnya Wi-landa). Teks disalin dengan aksara arab dan bahasa melayu
dan disajikan dalam bentuk Syair. Naskah Syair Raja Siak ini telah dialihmediakan
dalam bentuk mikrofilm dengan nomor Rol MF. 34.01 serta telah diinventaris
dalam Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara. Jilid 4. Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia. Naskah ini juga diinventaris dalam Katalog Koleksi Naskah
Melayu Museum Pusat Dep. P&k yang disusun oleh Amir Sutaarga dan kawan-
kawan, halaman 242. Katalog Van Ronkel halaman 349.
Berikut adalah deskripsi naskah W 273 koleksi Perpustakaan Nasional RI.
Sampul naskah W 273 berwarna cokelat tua terbuat dari kulit hewan. Naskah
ini berukuran 33 x 20 cm, alas tulis naskah W 273 berupa kertas impor tebal
dengan Watermark Singa dalam lingkaran: (Concordia). Walaupun kertas sudah
berwarna kecokelatan tetapi kondisi tulisan masih terbaca jelas. Ukuran halaman
sama dengan ukuran sampul. Ukuran blok teks 23 x 12 cm. Setiap halaman
terdiri dari 19 baris. Tebal naskah 62 halaman, yang ditulis 1-31. Tinta berwarna
hitam dan merah. Pada setiap alinea baru ditulis dengan tinta merah. Penomoran
halaman merupakan tambahan orang lain. Naskah ini menggunakan aksara Arab
dan berbahasa Melayu,

10
Raja Siak

2.2 Transliterasi Naskah Syair Raja Siak


Berikut ini akan diuraikan ketentuan yang akan digunakan dalam transliterasi
naskah.
1. Dalam mentransliterasi naskah Syair Raja Siak, yang menjadi
pedoman adalah Ejaan Yang Disempurnakan .
2. Kata atau fonem yang berada di dalam garis miring /.../ merupakan
tambahan dari penulis.
3. Kata atau fonem yang berada dalam kurung siku {...} merupakan
bagian naskah yang dihilangkan untuk memudahkan dalam membaca.
4. Penomoran halaman dalam transliterasi naskah ini menggunakan
tanda kurung (...) bercetak tebal. seperti: (Hlm. 20)
5. Kata-kata yang dianggap sukar atau tidak lazim digunakan dalam
bahasa Indonesia akan diterangkan dalam daftar kata-kata sukar
dengan mengacu pada Kamus Dewan 1989.

11
Raja Siak

(Hlm. 1) BismiIlah itu suatu sama


Suatu disebut mula pernama
Dan sifat keduanya sama
Perhimpunan wujud sekalian nama

Alhamdulillah puji yang sedia


Bagi Allah Tuhan Yang Mulia
Berkat Muhammad sayyidu I-anbiya
Jangan bernama yang sia-sia

Astagfirullah hambamu tobat


Minta ampun janganlah lambat
Dipohonkan kepada nabi dan sahabat
Pekerjaan maksiat jangan terjabat

Dengarkanlah suatu syair Siak

Tersebutlah kisah suatu peri


Madahnya orang yang bahari
Hutan belum menjadi negeri
Kayunya banyak akar dan duri

Tatkala zaman ketika itu


Bandar Bengkalis yang tertentu
Indahnya bukan/nya/ lagi suatu
Orang melihat birahi mutu

Itulah negeri asal mulanya


Ramainya tidak lagi taranya
Tidak beraja konon khabarnya
Sekedar orang besar memerintahkannya

Ramainya bukan alang kepalang


Selup dan kici bermalang-malang
(Hlm. 2)Sampan penjajab malang menyalang
Sampan pemukat tiada terbilang

Ke Johor konon ketaklukannya


Raja Bugis memerintahkannya
Mufakat menangkap dengan sekaliannya
Hendak mencari akan rajanya

Duduk berkampung mencari musyawarat


Ke Mi(na)ngkabau musyawarat membawa surat

12
Raja Siak

Pergilah orang berjalan darat


Dipersembahkan ke bawah duli hadirat

Berjalan itu tiadalah hali


Pagi dan petang tidak perduli
Ke Pagaruyung langsung sekali
Masuk meng(ha)dap ke bawah duli

Bagindapun sudah hadir di peng(ha)dapan


Alat kebesaran dengan kelengkapan
Dipersembahlan surat dengan tetampan
Hati gila kesengatan

Surat dibaca oleh baginda


Sesak belah di dalam dada
Lalu bertitah duli yang syahda
Memanggil penakawan mana yang ada

Setelah berkampung sekaliannya


Mencari mufakat mana dapatnya
Sudalah putus bicaranya
Menantikan saat dengan kutikanya

Masa berangkat Raja bestari


Ketika mu(sya)warat saat misteri
Serta dengan wasir menteri
Diiringkan sekalian isi negeri

Tidak berapa lama antaranya


Baginda berangkat dengan bersegera
Melalui hutan rimba belantara
Gundahnya tidak terkira-kira

Beberapa melalui gunung dan padang


Merasai panasnya bagai direndang
Berlompatan rusa kijang seladang
Lenga(h) dirinya baginda memandang

(Hlm. 3)Sangatlah heran baginda Sultan


Melihat perintah isinya hutan
Sekalian binatang yang berlompatan
Berbagai-bagai rupa penglihatan

Di jalan pun tiada berapa hari


Sampailah baginda raja bestari

13
Raja Siak

Ke tanah Mengkalis(Bengkalis) negeri yang bahari


Ramai musyawarat isi negeri

Serta sampai raja u/w/salli


Isi negeri menjunjung duli
Berkat keramat segala wali
Suatu pun jangan mengali-ali

Kerajaan sudahlah terbantu


Tiada lagi birahi mutu
Laksana emas sudah termutu
Mencari mufakat pula suatu

Mufakat dicari dalam dan tuhar


Baginda hendak melanggar Johor
Bicara itu sudah serikat
Putuslah mufakat sudah masyhur

Bicara itu sudah serikat


Laksana ikan di dalam pukat
Akal pandangan seperti sikat
Negeri Johor hendak diangkat

Lalu bertitah duli baginda


Kampungkan orang tua/h/ dan muda
Serta pegawai anum berida
Baiki perahu mana yang ada

Sampan dan kakap sudah serta


Itulah yang ada di jadikan titah
Lalu dinaikkan alat senjata
Itulah konon khabar berita

Sudah musta’ib sekaliannya


Menantikan waktu dengan ketikannya
Mencari langkah dengan sangatnya
Suatu pun jangan ada bahayanya

Sekalian tunggul sudah terdiri


Hatinya tidak lagi terperi
(Hlm. 4) Memohonkan tolong khaliqu L-ba/ha/ri
Mudah-mudahan rahmat diberi

Baginda berangkat menarik nafas


Turun kenaikan kajang dipapas

14
Raja Siak

Dibongkar sauh dayung dikipas


Tidaklah sempat membakar kapas
Kenaikan berdayung sangat lajunya
Pepatah serbanya yang ditujunya
Lalu shalawat akan nabinya
Selamat sempurna sekaliannya

Berlayar itu dengan gong dan gendang


Isi negeri ramai memandang
Baginda duduk berjawat pedang
Didayungkan oleh tentara mambang

Di perapat mampat singgah berhenti


Segala kawan bersukalah hati
Naik kedarat berganti-ganti
Mencari yang berkenan kepada hati

Pasang naik sudah menanak


Berlayar menuju karimun anak
Semua ini berbunyi bagai ditanak
Dari pada liang air banyak yang jinak

Berlayar itu berdahulu-dahuluan


Haluan menuju selat sembulan
Datanglah pula gelombang mengalun
Laksana dibelit seekor milun

Ke tanah merah sampai serta


Kepada Allah doa dipinta
Berkat Muhammad penghulu kita
Jangan memberi nama yang lata

Matahari masuk berayun petang


Doa dipinta tangan tertelentang
Berkat datuk bukit Siguntang
Janganlah apa aral melintang

Semalam itu berhenti di Tanah Merah


Sekalian kawan disuruh kerah
Kepada Allah baginda berserah
Sebarang citanya dapatnya murah

(Hlm. 5) Haripun malam sudalah gelap


Bintang pun timbul banyak mengerlap

15
Raja Siak

Baginda beradu tiada lelap


Banyaklah pikiran datang melenyap
Malam itu baginda beradu
Memikirkan lawan dan jodo(h)
Mengeluarkan titah tersendu
Bagaikan pecah rasa /h/empedu

Sampai kepada waktu dini hari


Samawinya berbunyi tiada terperi
Baginda tidak banyak peri
Serta sekalian wasir menteri

Berdayung Baginda sehari itu


Tidaklah konon birahi mutu
Rajanya bercatur kabarnya tentu
Orang Johor akalnya mutu

Bunyi meriam seperti Guntur


Tulang dan sendi sudahlah ketur

Baginda pun masuk ke kuala


Bunyi Mariam sangat menggila
Seperti bertitah rantak lela
Gong dan kendang serta pula

Musuh datang bunyi soraknya


Catur ditinggal dengan menterinya
Kabar orang tiada di dengarnya
Syah dan amat juga disebutnya
Setelah datang amat pun tiba
Raja pun turun lari ke rimba
Ke sana sini teraba-raba
Seperti ikan dimabuk tuba

Orang Mi(na)ngkabau naik ke darat


Orang Johor lari melarat
Tinggalah harta segala yang berat
Tidaklah sampai dengan isyarat

Mana yang tinggal tidaklah bertentu


Bercerai-cerai dengan anak menantu
Remuk-remuk hatinya mutu
Laksana kaca/h/ jatuh ke batu

16
Raja Siak

(Hlm. 6) Habislah sudah kisah dan peri


Baginda hendak membuat negeri
Mencari bicara sehari-hari
Mufakat dengan wazir menteri

Isi negeri berdatang sembah


Ampun tuanku duli bertambah
Patik nan hamba duli penambah
Sebarang dititahkan tiada berubah

Sembah sekalian isi negeri


Patik tidak berbanyak peri
Mana dititahkan duli yang bahari
Patik sekalian maklumkan peri

Bandar Bengkalis tuanku tinggalkan


Janganlah banyak tuanku pikirkan
Dari pada yang maaf banyak yang makan
Mana pemukat sa/ha/ja tinggalkan

Sebab meninggalkan dusunnya itu


Gundahnya hati tiadalah tentu
Dibuat dititahkan membuat negeri
Orang menebas sehari-hari

Kayunya banyak akar dan duri


Tidaklah guna berbanyak peri
Hutan besar sudahlah terang
Rumah pun seberang menyeberang

Orang Bangka penuh belaka


Teluk dan rantau berasai belaka
Serta dengan dusun pustaka
Diaturnya itu bagai dijangka

Penghulu Bintan serta juga


Dengan sekalian adik dan kakak
Dengan hamba raja beserta juga
Tidak menaruh was dan sangka

Telah musta’ib alat negeri


Dengan kotanya pula terdiri
Orang bekerja sehari-hari
Meriam diatur kanan kiri

17
Raja Siak

Dagang pun datang tidak berhingga


Pencalang dan kici belah semangka
(Hlm. 7) Ramailah orang berniaga
Sekalian jenis ada belaka
Datangnya itu tidak berselang
Ramainya bukan lagi kepalang
Lancang penjajab dengan pencalang
Kakap dan balok tidak terbilang

Seluba dan kici ada belaka


Tiang salah-salah belah semangka
Berapa sekici dari malaka
Datangnya tidak lagi terhingga

Masanya zaman negeri


Ramainya lagi bukan buatan
Sebab adil baginda sultan
Sampai sekarang jadi sebutan

Datanglah dagang dari sana sini


Serta utusan dari kompeni
Meng(ha)dap baginda sultan yang qani
Wartanya masyhur sampai ini

Ramainya negeri tidak terkira


Segala lorong pekan pasara
Tidaklah lagi yang huru hara
Serta adil dengan bicara

Lorong sampai kanan dan kiri


Tidaklah boleh meloloskan diri
Budak pe(n)jaja yang bahari
Banyaknya tidak lagi terperi
Berapa kedai keliling dan cina
Banyaknya tidak terpermana
Sekalian dagang ada disana
Berniaga sekalian mulia dan hina

Kerajaan baginda di negeri hutan


Sangat manjelis penglihatan
Perintahnya adil dengan perbuatan
Tidak sekali yang kejahatan

Tanah diterating kerajaan


Mendirikan daulat yang kemuliaan

18
Raja Siak

Dengan lima puluh bersamaan


Serta pasar dengan kesukaan

(Hlm. 8) Gempar seorang yang tidak dada


Itulah tidak bersama ada
Sama sebaya muda-muda
Itulah wazir duli baginda

Orangnya banyak hina dina


Tidak menaruh gundah gulana

Orang menghadap tidak terperi


Tiada lempang sehari-hari
Serta dengan wazir menteri
Ramainya tidak lagi terperi

Itulah kisah usul mengenallah


Baginda pun sudah berputera
Dua orang sama setara
Jabang isteri tiada bertara

Salah berdaulat paduka Ananda


Menaruh cemburu sama muda
Sangatlah suka paduka ayahanda
Serta dengan anum berida

Sukanya bukan sebarang-barang


Laksana bunga kembang di karang
Melihatkan putera yang dua orang
Cahaya yang kelam menjadi kurang

Tambahan pula beroleh cucu


Laksana gunung dengan mercu
Serta pakaian kain dan baju
Cahayanya seperti pandil dan tanju

Tiada berapa lamanya antara


Tiadalah mufakatnya dengan saudara
Hampirlah negeri huru hara
Hendak menanggung duka sengsara

Dengan saudara tiada mufakat


Masing-masing dengan hakekat
Sebab kebesaran tidak serikat
Kurang pendapat laksana sikat

19
Raja Siak

Sudahlah ditakdir khaliqul I-ba/ha/ri


Alamat susah isi negeri
Segala hulu balang dengan menteri
Gundahnya tidak lagi terperi

(Hlm. 9) Mendirikan kubu sebelah menyebelah


Orang negeri sudah berbelah
Sudahlah dengan takdir Allah
Tidak mencari benar dan salah

Banyaklah orang berhati pilu


Seorang di hilir seorang di hulu
Banyaklah kena/h/ sudah terlalu
Sebelah menyebelah menjadi malu

Berperang itu sama senegeri


Gundahlah hati segala menteri
Heran memandang tiada terperi
Karena berkelahi sama sendiri

Yang ke empat suku tidak bersatu


Baginda melihat berhati mutu
Remuk redam tidak bertentu
Laksana kaca jatuh ke batu

Demikianlah konon kabarnya karang


Mufakat tak dapat lalu berperang
Di dalam kampong serang menyerang
Ada yang lebih ada yang kurang

Baginda pun terlalu murka


Merah padam warna muka
Haram sekali tidak ku sangka
Akan menjadi mula petaka

Datanglah titah duli baginda


Menyuruh memanggil paduka ananda
Pergilah menteri anum berida
Tuanku dipersilakan paduka ayahanda

Datanglah menghadap paduka Ananda


Serta dengan adinda dan kakanda
Lalu bertitah paduka baginda
Apa diperkelahikan dengan saudara muda

20
Raja Siak

Di dalam negeri tuan berperang


Engkau tidak dapat dilarang
Jangan menu(n)jukkanlah rupa berperang
Pergilah engkau salah seorang

Anandapun tunduk tidak berkata


Duduk berendam dengan air mata
(Hlm. 10) Sudahlah nasib untungnya kita
Hendak menanggung duka cita

Ananda menyembah bermohon kembali


Baginda memandang berhati Sali
Berkat keramat segala wali
Janganlah mengali-ali

Tersebutlah kisah madah suatu


Adinda dan kakanda berhati mutu
Mendengar titah paduka ratu
Mencari pikiran supaya tentu

Demikianlah konon disebutkan fakir


Di dalam menyurat menjadi piker
Umpama perahu yang tua/h/ dibakir
Tiada berguna kayu dan ukir
Adalah kepada suatu hari
Lalu bertitah raja bestari
Memanggil segala hulu balang menteri
Buruk dan baik boleh dicari

Setelah datang sekalian itu


Mencari mufakat supaya tentu
Barang siapa mau bersatu
Kabarkan kepada ratu

Ayo hai sekalian sanak saudara


Kita hendak keluar segera
Janganlah lagi banyak bicara
Supaya perahu dengan segera

Perahu pun siap sudah belaka


Menantikan waktu dengan ketika
Sudahlah takdir Tuhan yang baqa
Haram segala tidak disangka

21
Raja Siak

Tidaklah diangka dengan dengan


Baginda berangkat berpanjangan

Tatkala baginda hendak berangkat


Dengan menteri sekalian mufakat
Sebab kebesaran tidak serikat
Dengan saudara jadi masyqut

Diputihkan hati oleh baginda


Menanggalkan sri paduka ayahanda
(Hlm. 11) Sebab kebesaran hati berida
Bercerai dengan saudara muda

Baiklah sangat dengan ketika


Baginda berangkat di dalam duka
Tinggallah sekalian adik dan kakak
Kita ini janganlah kenang juga

Yaumu I-itsnain ketika sore


Pukul delapan sangat masyhuri
Berangkatlah baginda raja bestari
Diringkan segala isi negeri
Pasang surut air pun tampas
Baginda berangkat nama yang nafas
Turun ke perahu kajang dipapas
Dibongkar sauh dayung dikipas

Kenaikan berdayung sangat lajunya


Lalu shalawat akan nabinya
Memohonkan rahmat kepada Tuhannya
Suatu jangan mara bahayanya

Teluk dan rantau singgah belaka


Menghiburkan hati sangatlah duka
Turun menghadap sekalian mereka
Membawa persembahan tebu dan nangka

Datanglah segala tua/h/ dan muda/h/


Datang menghadap duli sri pada
Persembahan sekalian mana yang ada
Semuanya disapa oleh baginda

Disapanya dengan mesrah muka-muka


Tinggallah kamu segala mereka

22
Raja Siak

Tinggallah sekalian adik dan kakak


Tinggallah dengan sedia leka

Tinggallah anak tinggallah nyawa/h/


Tinggal tidaklah kita terbawa
Baik-baik encik saudara
Mudah-mudahan bertemu ju(g)a

Ayo/h/ hai sekalian adik dan kakak


Kita ini jangan dikenang juga
Mesralah sudah jadi tem(ba)ga
Dinilainya tidak ada berharga

(Hlm. 12) Janganlah adinda berhati sali


Kita ini pergi lambat kembali
Berkat keramat sekalian wali
Harapkan tolong Tuhan yang ushaali

Terkenangkan untung bukan suatu


Anak miskin kita piatu
Remuk redam hatipun mutu
Laksana kaca jatuh ke batu

Terkenangkan badan duduk seorang


Menyakatinya bukan sebarang-barang
Sampailah sudah ke negeri orang
Sedikit yang ada banyak yang kurang

Hanyalah madah yang direncana


Disuratkan fakir wali yang hina

Sajaknya janggal banyak tak kena


Karena hati bimbang gulana

Adalah laksana merak mengikal


Sajak diatur banyak yang janggal
Adalah laksana merak mengikal
Barang pekerjanya dengan tawakal

Duduk berpikir sehari-hari


Dengan sekalian hulu balang menteri
Saudara pun sudah meninggalkan negeri
Gundahnya hati tiada terperi

23
Raja Siak

Di dalam hati gundah gulana


Dicari mufakat yang sempurna
Saudarapun sudah pergi mengkana
Sesal pun tidak lagi berguna

Tidak berapa mencari mufakat


Paduka ayahanda sudahlah mangkat
Dengan saudara tiada serikat
Bicara yang panjang menjadi singkat
Tidaklah dapat baginda berpikir-pikir
Akal jahatnya sudahlah mankir
Umpamanya perada yang sudah dibakir
Tidak berguna tulis dan ukir

Berkampunglah orang isi negeri


Dengan hulu balang wasir menteri
(Hlm. 13) Orang bekerja sehari-hari
Sudahlah kebesaran raja yang bahari

Telah selesailah dari pada itu


Hilanglah akal menjadi mutu
Gundahlah hati bukanlah suatu
Beri jikan paduka ratu

Dari itu datang berbeda


Menanggung masykul di dalam dada
Dari pada zaman ayahanda dan bunda
Belum merasa demikian ada
Tambahan fakir yang menyurat
Siang dan malam di dalam galurat
Mudah-mudahan dari pada qodrat
Disampaikan Allah barang barang hasrat

Lalu menyebutkan duli baginda


Ganti marhum paduka Ananda
Berkampunglah hulu balang enam berida
Serta hulubalang anak biduanda

Setelah tebal mahkota duli


Ganti marhum yang telah madhi
Wazir menteri imam dan qadhi
Sekalian datang menjunjung duli

Segala yang datang memohonkan rahmat


Memintakan doa baginda selamat

24
Raja Siak

Dengan syafaat nabi Muhammad


Mudah-mudahan beroleh nikmat

Telah selesai menobatkan sultan


Kembalilah sekalian kerapatan
Duduk di dalam dengan jawatan
Masing-masing dengan perbuatan

Adalah kepada suatu hari


Lalu bertitah raja bestari
Mengampungkan orang isi negeri
Serta hulu balang wazir menteri

Datang menghadap sekaliannya rata


Lalu bertitah duli mahkota
Apa bicaranya sekarang kita
Cari mufakat pula serta
(Hlm. 14) Mufakat dicari dengan bicara
Sebab terkenang akan saudara
Lalu bertitah sri betara
Kita hendak masuk pura-pura

Tidaklah tersurat kisah dan peri


Perkataan baginda membuat negeri
Di Indrapura bandar yang bahari
Zaman ini suka dicari

Kerajaan baginda di Indrapura


Jayang seteru tidak bertara
Wartanya masyhur tidak terkira-kira
Malaka hendak dikira-kira

Sudahlah takdir Tuhan ilahi


Tidaklah dapat kita salahi
Hilanglah asyik dan berahi
Hendak menjadi kedallahi kedahi

Oleh tidak diangka-angka


Hendak menjadi mula pataka

Bicara itulah dan kurang


Tidak berhenti dengan berperang
Zaman duli mahkota orang
Di Indrapura kerajaan karang

25
Raja Siak

Puja dikenang sudahlah tempat


Tidaklah sempat memikir kapas
Kelamin seorang tidak yang lepas
Meriam dan harta habis dirampas

Titah duli khalifah Allah


Lebih kurang tidaklah salah
Bilangan zaman nabi Allah
Mengerjakan perang sabilillah

Dengan takdir tuhan yang esa


Kodrat iradat amat kuasa
Tidaklah sampai bagai dipaksa
Kerajaan duli mahkota disapa
Selama baginda mengidap rayu
Lemah lunglai mendayu-dayu
Laksana dandang di pucuk kayu
Bagai dandangan indrabayu

(Hlm. 15) Datanglah penyakit duli baginda


Bengkak leher batuk pun ada
Bagaikan belah rasanya dada
Tidak keluar suara bersabda

Habislah hari berganti bulan


Isi istana sangat kedukaan
Sungguh pun boleh baginda berjalan
Barang disantap tiadalah tertelan

Demam senang tiadalah berhingga


Berapa bagian dengan jaga
Jadi minuman air kolak
Ucapnya baginda begitu juga

Rebah bangun duduk berjalan


Sehingga sampai sepuluh bulan
Janji sudahlah berbetulan
Alamat negeri menaruh kedukaan

Belas menantang para putera


Di dalam kalbu tidak terkira-kira
Ke sana sini terasa-rasa
Wajah ditantang hilang cedera

26
Raja Siak

Ananda memandang sangat gelorat


Usahkan kurang bertambah berat
Segala engku bermusyawarat
Meng(h)impunkan kerah tanah di darat

Ke hulu ke hilir mereka


Berhimpunlah tabib sekalian mereka
Sekalian maulana tidak terungkap
Sebilang orang tidak bercakap

Keluh kesah baginda berbaring


Kiri kanan rebah mengiring
Melihat baginda sangatlah kering
Air mata tiada yang kering

Isi istana seperti gelorat


Melihat duli bertambah berat
Laksana ujung yang amat sarat
Kena/h/dipukul ribut barat

Dari hidup hendak berpuas hati


Kepada tabib disuruh obati
(Hlm. 16) Para putera berusak hati
Jam-jam di rajah tiada berhenti

Tiada sekali beroleh santap


Menantang duli hati tak tetap
Para putera hadir menghadap
Tuanku coba sedikit santap

Santap sedikit tidak seperti


Itu pun dengan dikuati
Demi putera melihat pekerti
Bertambah rawan rasanya hati

Beberapa obat yang dikenakan


Ada yang disantap ada yang disapukan
Pilunya tidak terperikan
Jam-jam dirajah berhamburan

Tidaklah dapat faqir berkata


Kepada sekalian Tuhan semata
Hatinya patik sekalian rata
Barang selamat duli mahkota

27
Raja Siak

Duli yang mulia memberi titah


Panggilkan tabib supaya nyata
Ia amang depa selaku data
Cobalah kabarannya beratah

Habislah akal lupanya upaya-upaya


Putera dengan hamba dan sahaya

Mengobati hadirat duli yang mulia-mulia


Lepaslah taksir betapa sia-sia
Dengan perlahan baginda bertitah
Janganlah kamu sekalian berbantah
Mengobati ia seperti orang yang latah
Mangkin kuati tidak kan betah

Tinggal baginda salah perasaan


Baginda berumanat serta berpesan
Isi istana bertangis-tangisan
Pilunya tidak berhatusan

Pada Ananda baginda berumanat


Kerjakan sembahyang fardlu dan sunat
Hamba dan sahaya hendaklah menyunat
Jauhi olehmu upama khianat

(Hlm. 17) Berbuat khianat jangan sekali


Allah dan rasul tiadalah radli
Kerjakan perang syahid sekali
Mengikut jumlah baginda Ali

Memohonkan rahmat kepada Allah


Janganlah kamu berbuat salah
Perintahkan rakyat dengan hukum Allah
Dirikan syariat rasulullah

Baginda bertitah kepada putera


Baik-baik budi bicara
Hendaklah mufakat bersaudara
Lebih kurang jangan berkira

Sudahlah kepada aku seorang


Dengan saudara jadi berperang
Kepada kamu saja aku larang
Jangan menaruh laru berang

28
Raja Siak

Mendengar titah seri bupati


Hancur luluh rasanya hati

Sampun pukulun andika gusti


Jangan tuanku berusak hati

Mendengar baginda sudah berpesan


Putera mendengar rebah pingsan
Isi istana bertangis-tangis (an)
Riuhnya tidak berkeputusan

Belas memandang putera mengindra


Mencarikan obat sri betara
Berapa jenjang dirajah udara
Dengan biduan melempara

Setelah alamat sudah terkena/h/


Segala biduanda dengan araknya
Ada yang diatas rata ratan
Memukul biduan memukul rebana

Setelah mereka duduk beratur


Memukul rebana seperti guntur
Junjungan duduk bunda bertutur
Duduk tapekur seperti catur

Sepatah seorang meng(h)ambur bahana


Mara kelak sultan raja yang gana
(Hlm. 18) Kobarlah segala isi istana
Ada ke sini ada yang ke sana

Balas menentang putera bangsawan


Lalai dan mabuk barang kelakuan
Melihatkan duli yang dipertuankan
Langkah bertahta igau-igauan

Isi istana itu kesakitan


Berapa jenis makan-makan
Hadir menangis kiri dan kanan
Jikalaukan baginda ada berkenan

Tidaklah lagi terhemat


Kepada Allah memohonkan rahmat
Berkat duli yang keramat
Jikalau ada boleh selamat

29
Raja Siak

Kering baginda terlalu berat


Ditentang lakunya sangat gelorat
Barang kehendaknya dengan isyarat
Lidah kelu mulut pun berat
Bangkit dayang kesan bestari
Duduk beratur kanan dan kiri

Kiri dan kanan baginda menoleh


Jam jam dirajah sebagai meleleh
Di lahan badan hendak beralih
Seperti lakunya betah sembelih

Melihat firman bagai di puta


Baginda menyapun airnya mata
Meninggalkan dunia sangat bercinta
Melainkan empunya Tuhan semata

Bilangkan mahkota raja negeri


Sebelas bulan enam hari
Yaumu I-itsnain ketika serai
Baginda dipanggil khaliqul bahri

Datanglah kodrat dari pada Allah


Pada israil di sanalah terjumlah
Bilangan umat nabi Allah
Akhir kalam Allah Allah

Dengan selesai baginda berangkat


Kalima(t) Allah tiada lalukat
(Hlm. 19) Putera mengindera biarlah dekat
Bawalah patik ayahanda berangkat

Di dalam demikian didengar baginda


Diangkat tang dari atas dada
Tengku bungsu melarang Ananda
Biar selesai perjalanan ayahanda

Setelah mangkat duli mahkota


Kobarlah negeri gegap gempita
Saburnya tidak menderita
Medan menjadi lautan senjata

Bahanya udhmat tiada terperi


Sesaklah lorong kanan dan kiri

30
Raja Siak

Bertekurlah ratu isi negeri


Tuanku di mana lah patik cari

Wah junjungan mahkota larah


Tinggallah negeri inderapura
Dengan hulu balang menteri wazira
Dengan rakyat bala tentara

Ayuhai junjungan mahkota patik


Tuanku kemala anakanda dirantik
Parasnya laksana kuntum dipetik
Sajaknya seperti emban yang titik

Tuanku raja yang bersila-sila


Turun temurun khalifah ummah
Shahib dermawan arif billah
Junjungan sayyidi dipelihara Allah

Tuanku telah jadi mahkota


Tiada marhum yang bertahta
Tiada dapat hendak dikata
Hilang di rawang-rawang mata

Tuanku tidaklah lagi terpatri


Kemala mahkota di dalam negeri
Alamat luruh kuntum dicari
Hilang di hadapan patik cari

Alamat duli gaib dijulang


Suramlah cahaya semua gemilang
Sekalian jam jam mawar dibalang
Sungguhpun ada mahkota hilang

(Hlm. 20) Sedang kuntum mengurai layu


Kambing melangsi mendayu-dayu
Radam kemala desa melayu
Hilang disambar garuda bayu-bayu

Gurun mengguruh sayup bahana


Pelangi membangun dari angkasa
Kelamlah cahaya mahkota desa
Remuk re/h/dam hati binasa

31
Raja Siak

Tuanku mahkota raja junjungan


Nasib sekedar diukingan
Tidak diangka dengan angan
Mahkota gaib dari julangan

Karamlah bayu mungkin dagang


Suara ini ikal penuh mengunang
Jam jam derajah berlinag-linang
Selaku/r/ beku air yang tenang

Cahaya di kening warna dadu


Permanik seperti kuntum berapudu
Menjelas durjana sangat meradu
Laksana seroja dukulum madu

Cintaka tidak terperikan


Upama petih digambar-gambar sekalian
Patik ini banyak yang didepankan
Putuslah harap duli tinggalkan

Apalah daya duduk bercinta


Sakitnya tidak menderita
Sudahlah nasib untungan kita
Mabuk berendam airnya mata

Tuanku tiada lagi bertarah


Tuan bermala sambar betara indra
Pedaparlah kemala bala tentara
Hilanglah cahaya sri mempuara

Bukankah patik hamba yang baqa


Patik diperminta duli paduka
Haram sekali tidak diangka
Abdi yang hina menjunjung murka

Menjunjung mur/a/ka semana-mana


Heranlah patik abdi yang hina
(Hlm. 21) Menentang segala isi istana
Tidaklah kasihan duli yang Gana

Tidaklah kasihan sri betara


Meninggalkan segala para putera
Meratapkan duli Sri Indra
Putuslah putus bahana suara

32
Raja Siak

Bunyinya ratap menderu-deru


Kalbu di dalam bagaikan luruh
Jam jam dirajah bagai ditabur/a/
Laksana mayat jatuh terhembur/a/

Merataplah me/ng/nderu yang perwira


Murkah duli akan merah
Kepada siapa mendara akan putera
Anakanda nan belum sempurna bicara

Kodrat Allah tidak disa(ng)kal


Putera ini belum sampai akal
Dengan siapa anakanda ini tinggal
Tempat bertanya kata yang saqal

Dilihatlah duli laku putera


Kalbunya gundah tidak terkira
Ditinggalkan oleh Sri Betara
Laksana tasik di tengah segara

Tidaklah belas duli yang gana


Menentang laku isi istana
Berangkat dari negeri yang baqa
Ditinggalkan patik abdi yang hina

Ditinggalkan patik hamba yang lata


Siang dan malam duduk bercinta

Balasnya patik menentang peri


Selaku-laku lupakan diri
Manikam sudah luruh dicari
Kemala di desa hilanglah seri

Hilanglah Sri Kemala di desa


Hilang memberi putus asa
Kalbu hancur putus asa
Laksana dipagut ular yang bias

Akan meratap isi istana


Tuanku berangkat hendak kemana
(Hlm. 22) Murkakan patik semana-mana
Selaku tidak akan berguna

Sudah dikafan imam dan qadhi


Memohonkan rahmat segala wali

33
Raja Siak

Anakanda mangkat berhati suli


Ke dalam keranda dimasukkan sekali

Lalu menabalkan mahkota duli


Ganti ayahanda yang telah madli
Segala pegawai menjunjung duli
Serta bintara panglima sekali

Setelah selesai pekerjaan baginda


Mayat dimasukkan ke dalam keranda
Diletakkan kepada usungan yang sahda
Raja diraja diperebutkan anakanda

Bentang payung delapan terkembang


Rupanyanya bagai syamsu mengambang
Belas melihat adik dan abang
Hendak berjalan bagaikan tambang

Pawai diatur oleh bintara


Enam belas pebara/h/an sama setara
Enam belas dina dipasang segera
Hebatnya tidak lagi terkira-kira

Delapan tetampan yang diselendangkan


Kepada wazir ia diberikan
Usungkan diangkat dijalankan
Diapukan calang arak-arakan

Jenazah diangkat diarak lalu


Serunai nafiri gendang dipalu
Orang bergendang lakunya pilu
Memukul nobat menundukkan ulu

Diarak langsung lalu ke makam


Hamba-hamba mesra/h/ beragam-ragam
Ajaib memandang pudi manikam
Ketika itu menjadi manikam

Tuanku indra digendang nafsu


Junjungan putera marhum bungsu
(Hlm. 23)Saling diarak langi lesuh
Rahmatnya lebih disinar samsu

Menentang samsu digendang teji


Bagai dituang jam jam dirajah

34
Raja Siak

Mengarak duli mahkota raja-raja


Bertahta diatas raja-raja

Jenazah pun sampai diletakkan


Imam dan qadli membelahkan
Ke dalam kubur dimasukkan
Tanah di atas disemburkan

Talqin dibaca dicucurkan


Tetampan disandang disediakan
Mayat sedia mendengarkan
Imam dan qadli membacakan

Telah selesai dari pada itu


Baginda berangkat berhati mutu
Gundahnya bukan lagi suatu
Remuk redam tidak bertentu

Serta sampai ke dalam istana


Berkampunglah sekalian hina dina
Hati baginda gundah gulana
Itulah perintah Tuhan yang gana

Sudah adat Tuhan yang ushali


Baginda duduk berhati shali
Segala pegawai menjunjung duli
Memohonkan ampun lalu kembali

Tamatlah kisah marhum mangkat


Di indrapura bandarnya berkat
Akal pendapat sudah singkat
Laksana ikan dalam pukat

Tidaklah boleh fakir katakan


Kehendak Allah dipersukarkan
Baik dan jahat kita pikirkan
Taqdir Allah kita ridlakan

Dari pada badan tidak beruntung


Allah dan rasul tempat bergantung
(Hlm. 24) Duduk laksana seperti patung
Mulutpun berat bagai disantung

Habislah hari berganti bulan


Duduk di dalam ke(ma)sgulan

35
Raja Siak

Pikiran pun tidak berbetulan


Umpama mabuk pinang yang malan

Tambahan fakir yang menyurat


Malam dan siang di dalam gelorat
Dari pada tak sampai dengan isyarat
Pekerjaan ringan menjadi berat

Dari padanya tidak bertuah


Umpama jantung tidak berbuah
Terkenangkan marhun hilang arwah
Sungguh pun miskin bi/n/asa mewah

Dengan demikian betapalah mudah


Duduklah dengan berhati gundah
Mengenangkan untung tidak faedah
Disuratkan syair pantun dengan madah

Syair dikarangkan dengan rencana


Suratkan sekedarnya fakir yang hina
Banyak ditambah sajak tak kena
Yang akan menunjukkan bijak laksana

Duduk berpikir pagi dan petang


Memohonkan rahmat tangan terlentang
(H)iburkan datuk Bukit Siguntang
Janganlah apa aral melintang

Tersebutlah kisah duli baginda


Kerajaan ganti paduka ayahanda
Amat teruna bangsawan muda
Menanggung masyangul di dalam dada

Belumlah patut merintahkan kerah


Darma/t/ dermawan sadang
Dipinang-pinang kepada diraja
Di tanju maya tibri beroja

Putra yang lain jangan dikata


Sekaliannya darma/t/ semata-mata
Kepada pendapat di dalam cita
Muskil menanggung perang sekata

(Hlm. 25) Apakah daya dirundung malang


Kelamlah cahaya yang cermelang

36
Raja Siak

Seperti amanat marhum yang hilang


Mana perintah lakuan dalang

Yang kerajaan duli tuanku


Ayahanda dan kakanda kedua memangku
Laksana jam-jam dalam sangku
Sajaknya seperti embun yang beku

Tiada berapa kerajaan baginda


Dipangku oleh ayahanda dan kakanda
Serta punggawa/h/ anum berida
Didengarlah kabar oleh wilanda

Datanglah kabar dari seberang


Mengatakan wilanda hendak menyerang
Dengan ayahanda bersama sekarang
Hendak membalas laku berang

Sudah berkemas segala belaka


Kapal dan kici belah semangka
Akan ayahanda begitu juga
Membaikan kelengkapan sekalian

Mendengar ayahanda sudahlah mangkat


Dengan baginda sudah mufakat
Kabar bicara sudah serikat
Negeri Siak hendak diangkat

Demi baginda mendengar warta


Tersenyum manis bertitah serta
Kabar malaka sudahlah nyata
Sekarang bicara kita
Berdatangan sembah ayahanda dan kakanda
Serta pegawai anum berida
Barang yang mana kehendak wilanda
Patik sekalian sedialah ada

Datanglah kabar dari seberang


Mengatakan wilanda hendak menyerang
Dengan ayahanda bersama sekarang
Hendak membalas rawa berang

Sudahlah berkemas sekalian belaka


Kapal dan kici belah semangka

37
Raja Siak

(Hlm. 26) Akan ayahanda begai itu juga


Membaikan kelengkapan mana yang direka

Apakah guna patik ditayang


Menjunjung karunia kasih dan sayang
Kepada niat malam dan siang
Badan rebah jiwa melayang

Sembah pegawai anum berida


Mengatakan qidam mengira dada
Barang di mana kehendak Wilanda
Tiada berpaling barang sabda

Berdatang sembah isi negeri


Mengangkat qidam sepuluh jari
Jikalau tuanku kedua beriri
Patik sekalian mengembari

Apakah gunanya tuanku pinak


Dari pada lara tuanku perjinak
Sekarang sudah menjadi teranak
Umpama gandum belah ditanak

Setelah sudah putus bicara


Menurunkan kelengkapan dengan segera
Mengerahkan rakyat bala tentara
Ramainya tidak lagi terkira

Setelah lengkap alat senjata


Hebatnya jangan lagi dikata
Apilan terdirilah yang seperti kota
Adalah laksana di dalam peta

Ditentang kenaikan telah terombang


Rupanya bagai syamsu mengembang
Naga kentala jikalau mengambang
Laut yang tenang bergelombang

Panglima kenaikan duli yang mulia


Panglima Usyu dititahkan dia
Pada pemandangan di mata sahaya
Seperti gunung buram cahaya-cahaya

Kapit timbal panglima Akhmad


Di dalam kenaikan mendapat rahmat

38
Raja Siak

Ditentang-tentang kepada hemat


Allah dan rasul memberi rahmat

(Hlm. 27) Panglima kulub kapit tertentu


Kepada megat sri rama ia menantu
Bersama-sama dikenaikan itu
Hatinya keras seperti batu

Dengan tuk salip jadi berempat


Sebesar tuwajuk hatinya mempat
Didalam kenaikan raja bersifat
Pertikam di dalam penuh dan tempat

Panglima besarnya Tengku Muhammad Ali


Menantu marhum yang telah madhi
Saudara sepupu ke bawah duli
Menghadapi lawan sediakan tali

Kenaikan bergelar medan sabar


Laksana garuda akan menyambar
Bangsawan berkapit ber/ab/ambar
Ditentang selaku pulau Ambar

Bangsawan berkapit dua bersaudara


Sekalian baru remaja putera
Dipinang-pinang di dalam bicara
Andalan marhum indrapura

Harimau buas dua bertaulan


Dengan jemalang gantang bertembalan
Di haluan medan sabar andalan
Akan panglimanya bujang sembilan

Kapit tembalan bujang sembilan


Panglimanya orang handalan
Dengan panglima bujang bertembalan
Ditentang selaku kota berjalan

Adapun akan Tengku (panglima) perang


Kenaikan awan disebut orang
Jikalau kepada zaman sekarang
Sukar dicari bandingnya karang

Tengku Abdullah saudara sultan


Sikapnya seperti harimau jantan

39
Raja Siak

Cantik majlis penglihatan


Candu marhum mangkin buatan

Telah mashur kalau kenaikan


Hatinya tidak dapat diperikan
(Hlm. 28) Di dalamnya hamba yang handalan
Dengan kapal diperhadapan

Kapit timbal Tengku Musa/n/


Saudara duli mahkkota desa
Usul bangsawan muda berbangsa
Dengan wilanda hendak termasa

Tengku Abdul Rahman saudara baginda


Sabelah ia gahara ia muda
Jikalau senjata samalah ada
Wilanda tabulah mengada-ada

Raja Lontarkika itu ada


Datang menghadap duli baginda
Jikalau berperang dengan wilanda
Tidak berpaling barang di sebelah

Syekh Salim wazir ulama-ulama


Pentingnya Arab cahaya agama
Kalam mustahiq kena selama
Melawan Wilanda jadi panglima

Orang kaya megat Sri Rama


Sikapnya tampan bagai sang Bima
Sungguhpun umurnya sudah lama
Beraninya bagai maha raja Brama

Anaknya raja Dewa Indra


Ke bawah duli ia bintara
Kepada pendapat budi bicara
Orang yang tidak gentarkan mara

Orang kaya seraya akur raja


Zaman marhum terlalu manja
Jikalau kepada bermain beraja
Wallahi tidak memalingkan diraja

Orang kaya paduka Sri Indra


Handalan Marhum mangkat di Mempura

40
Raja Siak

Teguh yakin tidak bertara


Ke bawah duli usul mengendra

Ke bawah duli raja kura


Pentingnya marhum mahkota desa

(Hlm. 29) Orang kaya Raja Lela Muda


Penghulu tanah datar ada jadikan baginda
Rupa sikapnya seperti kera rada
Bercakap meluda(h) kafir Wilanda

Orang kaya Raja Lela Wangsa


Ialah hulu balang yang perkasa
Niatnya hendak berbuat jasa
Ke bawah duli raja kuasa

Orang kaya raja Indra pahlawan


Penghulu lima puluh kabarnya tuan
Harapan duli yang dipertuan
Tidak sekali getarkan lawan

Syah bandar mohon sebuah penjajab


Berapilan di haluan berdinding cab
Jikalau doakan dengan mustajab
Sabilillah barang sekejab

Encik Muhil saudara Encik Qari


Bercakap di hadapan raja bestari
Jikalau ada Allah memberi
Si laknatnya Allah kita tampari

Panglima latif jadi mata-mata


Dengan raja Dewa Indra sekata
Hebatnya seperti gajah yang meta
Segala mereka menurut kata

Panglima Dewa seorang bernama


Kepada panglima Sri Panglima
Sa/ha/ja masyhur sedia lama
Ke bawah duli raja utama

Penghulu Betun(g) penghulu hamba raja


Orang yang sehabis kepada ker/ra/ja
Jikalau kepada bermain beroja
Tidak kan tewas di medan raja

41
Raja Siak

Penghulu kubu/h/ hamba raja yang asli


Datang menghadap ke bawah duli
Mati perang syahid sabili
Mengikut warisnya baginda Ali

(Hlm. 30) Terhentilah kisah cindika/cinalik dikarang


Akan puji-pujian/puaji-puajian sekalian orang
Sajak di tatar Siak yang kurang
Akal nan pendapa(t) hati tak terang

Diaturlah sajak banyak tak kena


Di dalam hati gundah gulana
Disuratkan juga sebarang guna
Harapkan ampun dengan kurnia

Fakir menyurat belum biasa


Tambahan badan tidak kuasa
Sebab dititahkan mahkota desa
Jangan menjadi putus rasa
Yang ada teringat kepada cita
Segala pekerjaan duli mahkota
Mengerahkan mereka sekalian rata
Membuat kubu seperti kota

Sekalian kubu sudah terdiri


Hadir menanti kanan dan kiri
Niatnya sekalian isi negeri
Sebilillah berlebur diri

Berapa buah kubu seberang menyeberang


Kokohnya bukan sebarang-barang
Dengan balai medan diperbuat orang
Diaturnya meriam bagai dikarang

Diaturnya meriam sekalian dibalik


Menghadap ke hilir menanti mudik
Sekalian hamba yang dibelah ayap
Sungguhpun paham belum cerdik

Diperbuatnya bangun-bangun terlalu tinggi


Diaturnya meriam segenap pesegi
Lela rentak ditambahi lagi
Supaya jangan bercinta pergi

42
Raja Siak

Bercinta pergi janganlah ia kenang


Bukannya padan sekalian lanang
Jikalau datang Wilanda meminang
Di laut darah niat berenang

Talinya batangan diperbuat pula


Seberang menyeberang tali dihela
(Hlm. 31) Diaturnya batang sebelah menyebelah
Dengan rantai diikat pula

Dengan daulat mahkota orang


Batanganpun sudah habis terkarang
Indahnya bukan sebarang barang
Boleh berjalan sebarang menyeberang

Sekejap diperbuat kota berjalan


Diaturnya berkeliling pula apilan
Dinaikan meriam bertembalan
Di atasnya panglima yang handalan

Pertama panglimanya emping berantah


Orang yang tidak tahu akan kata
Jikalau jalan berkelahi dan bantah
Memujur lalu melintang patah

Berkapit penghulu hamba raja


Orangnya tidak memalingkan dara
Jikalau kepada bermain buraja
Bolehlah dengan jadikan baja

Berapa kapit yang handalan


Duduk di dalam kota berjalan

Sekalian pekerjaan sudah usai


Ditentang indalah terlalu basi
Setengah mereka belumlah selesai
Membaiki lembing pedang perisai

Sehari hari tidaklah lempang


Menggosok setinggar pemuras senapang
Sementara ada sedikit lapang
Menepuk peluru timah bertumpang

Selesailah pekerjaan duli paduka


Dikerjakan oleh sekalian mereka

43
Raja Siak

Duduk dalam was-was dan sangka


Sebab mendengar kabar Malaka

Suatu hari datanglah kabar


Orang bukit batu sangatlah kobar
Seorangpun tidak tertahan sabar
Larinya bagai ke lambang jabar

Melihat kapal kici pencalang


Dengan penjajab berselang-selang
(Hlm. 32) Banyaknya tidak lagi terbilang
Dipersembahkan kepada raja terbilang

Demi didengar duli baginda


Menyuruh menjemput ayahanda kakanda
Serta pegawai anum berida
Datang menghadap duli sri pada

Berhimpun menghadap sekalian rata


Ayahanda dan kakanda adalah serta
Akan pekerjaan seputih mata
Sekarang apa bicara kita

Demikianlah titah raja bestari


Kepada segala isi negeri
Musuh ini baikkan hiliri
Supaya jangan hampiri negeri

Berdatang sembah ayahanda dan kakanda


Serta pegawai anum berida
Apatah gunanya penjajab yang ada
Adulah dengan kapal Wilanda

Akan sembah segala kerapatan


Ke bawah duli paduka sultan
Jikalau sudah demikian perbuatan
Baik dan jahat lekas kelihatan

Jika tidak perintah begitu


Baik dan jahat lambat bertentu
Jikalau sudah sampai ke batu
Umpama emas dilihatlah mutu

Kelengkapan dipanting sekalian denda


Kepada berperang sangatlah denda

44
Raja Siak

Kepada niat cita inya adam


Persembahkan jiwa sekali padam

Setelah sudah putus musyawarat


Memalu gong memberi isyarat
Mengatakan rakyat laut dan darat
Isi negeri sangat gelorat

Isi negeri sekaliannya kobar


Kelengkapan seperti gelombang bahar
Laksana garuda akan menyambar
Terdirilah tunggal di medan sabar

(Hlm. 33) Tanggulnya hitam tidak berwarna


Adat pakaian raja yang rana
Sekalian pegawai yang hina dina
Mendirikan tanggul berbagai warna

Kenaikan baginda merapat ar-rahmat


Mendirikan tunggul tanda alamat
Dengan syafaat nabi Muhammad
Perang sabil sekalian ummat

Ditentang-tentang gegap gempita


Mengatur jalan sekalian senjata
Akan kenaikan duli mahkota
Adalah bagai di dalam peta

Sekalian alat sudah terkena


Sikapnya terbang bagai wilmana
Lalu bertitah duli yang gana
Kepada kakanda mengambur bahana

Mana kala bergerak kita


Kelengkapan siap sekalian rata
Insya Allah jangan tuanku bercinta
Esok hari hilirlah kita

Setelah keesokan hari


Sekalian tanggul sudah terdiri
Dipalu gendang ditiup nafiri
Berangkatlah sultan raja bestari

Ditentang-tentang rupa kelengkapan


Bagai harimau lepas tangkapan

45
Raja Siak

Tanggul terdiri gemerlapan


Dayung seperti jari lipan

Lalu dipalu gong semboyan


Dibongkarlah sauh penjajab sekalian
Khalifatullah di dalam kemuliaan
Ada yang dahulu ada yang kemudian

Berangkatlah sultan raja yang gana


Terdirilah tanggul berulama
Hilirlah kepada ketika kala
Dipandang bagai naga bercula

Berangkatlah dengan serunai dan gendang


Isi negeri ramai memandang
(Hlm. 34) Di bawah payung dua terkembang
Didayungkan oleh tentara mambang

Hilirlah kenaikan indra persanggi


Sikapnya tidak bercelah lagi
Ada yang renda(h) ada yang tinggi
Laksana mega berarak pagi

Akan kenaikan duli yang gana


Didayungkan rakyat sampai bahana
Segala pegawai duli menerana
Masing-masing laku dan bina

Bunyinya tampak segala tentara


Kaum di tasik mambang segara
Bahana lantas mengudara
Sampai karam belantara

Dipandang segala isi negeri


Pilu dan jelas tidak terperi
Terkenangkan marhum mahkota negeri
Jam jam terhambur kanan dan kiri

Berdayung menuju ke kapal kasab


Ditentang hebat terlalu sikap
Pantasnya seperti poksai wakap
Laksana singa akan menangkap

Hilir berdayung berdahulu-dahuluan


Umpama singa mencari lawan

46
Raja Siak

Bahananya sorak melangsai awan


Ghalilah hulu balang yang pahlawan

Tidaklah panjang kisah dan peri


Berangkatlah sultan bestari
Berdayung sampai ke hilir negeri
Tiada memandang kanan dan kiri

Semalam itu juga hilir baginda


Siang di tanjung lada-lada
Lepaslah tanjung duli sri pada
Kelihatan kici kapal wilanda

Demi dilihat oleh mata-mata


Diatur kelengkapan sekalian rata
Di suram bayam orang kita
Di kapal guntung sipunnya mata

(Hlm. 35) Dipandang rupa kelengkapan


Bagai harimau lepas tangkapan
Dengan kapal berhadapan
Lakunya tiada malu dan sopan

Beratur berlabu(h) sekalian rata


Apilan terdinding seperti kota
Dengan wilanda berpandang mata
Mengatur meriam pula serta

Demi kapitan melihat peri


Dengan baginda raja bestari
Oranglah Siak menghiliri
Lakunya tidak gentar dan ngeri

Kapitan berkata dengan merdunya


Kepada baginda ia bertanya
Orang Siaknya keras seperti rupanya
Bukannya layak demikian lakunya

Kapitan menyuruh memukul tambur


Di dalam kapal terlalu sabur
Mengisi meriam dibubuhi penabur
Niatnya sa/ha/ja hendak berlabur

Demi didengar oleh orang kita


Bunyinya tambur wilanda yang dusta

47
Raja Siak

Berbangkit geram di dalam cita


Dipalu gendang gegap gempita

Tengku sayid turun di kapal wilanda


Datang menhadap duli sri pada
Berpeluk bercium adinda dan kakanda
Jam jam derajat luruh ke dada

Seperti seorang syair merawan


Kakanda bermohon adinda tuan
Berdayung kelengkapan berkawan
Kabarnya konon kepada lawan

Kakanda segera memberi surat


Kepada maha raja berjalan darat
Segala pahlawan duli hadirat
Mencoba meriam membuang karat

Orang wilanda sepertilah jaga


Kapalnya satu kicinya tiga
(Hlm. 36) Serta malam mulutnya kepeka
Orang Siak demikian juga

Julang-julang dengan penjalang


Itu pun jaga bukan kepalang
Sebuah kabar seperti hilang
Kayu-kayuan baginda raja terbilang

Lima belas hari kabarnya tuan


Yang duduk bermalu-maluan
Tiada ketahuan konon dan lawan
Yang duduk bertunggu-tungguan

Sampailah jadi genap bilangannya


Kena bulan rangsyi bilangannya
Kapal dan kici dilayarkannya
Dipalunya tambur gemuruh bunyinya

Menuju kelengkapan ia belaka


Lakunya tidak /h/awas dan sangka
Pintu meriam sekalian dibuka
Mengadu untung malang cilaka

Demi dilihat oleh orang kita


Berdayung menyo(ng)song sekalian rata

48
Raja Siak

Bunyi sorak gagap gempita


Dengan wilanda berpandang mata

Kapal dan kici berhadapan


Laksana singa lepas tangkapan
Langsung mara kehadapan
Rupanya tunam gemerlapan

Seperti ular melihat makanan


Tidak menoleh kanan dan kiri
Sri Akhmar raja panglima perang kiri
Berdayung ia segera menghampiri

Melihat wilanda demikian peri


Disuruhnya dayung juga hampiri

Setelah dekat sampai berkata


Dengan kici kapal pergata
Dipecahnya perang oleh orang kita
Mara lah kelengkapan sekalian rata

Dilihat paduka sri indra


Menempuh dengan tempik gembira
Bahana meriam mengudara
Kelengkapan Siak berdayung mara

(Hlm. 37) Setelah hulu balang tidak yang langgar


Sekalian mara juga melanggar
Bunyi meriam seperti tagar
Kenalah kapal seperti berankar

Berperang dari kapal gantung


Di laut ramput-ramput sekalian mengatung
Medan sabar datang menuntung
Dibedil dengan jembalang gantung

Harimau buas ditampakkan pula


Oleh duli raja yang ter’ala-ala
Pelurunya datang bernyala-nyala
Kenalah kapal tembus segala

Kapal dan kici membalas rata


Bunyi meriam gegap gempita
Suatupun tidak kedengar nyata
Asapnya meriam gelap gulita

49
Raja Siak

Rupa pelurunya berlompat-lompatan


Laksana ayam di dalam hutan
Barang siapa terbilang jantan
Ketika itu nyatalah kelihatan

Tembak Wilanda tiada berhenti


Menembak sepuas-puas hati
Dilihat laku dengan perkerti
Dari hidup sampai ke mati

Bunyi meriam gegap gempita


Menderu seperti berama yang menta
Di atas jam jam terlata
Seribu salam rupanya bertahta

Meriam seperti panah keludan


Sekalian tentara gempitalah badan
Bangsawan ada saja di medan
Tidaklah lagi memilih padan

Patik ini abdi hamba yang haru


Akal pendapat terlalu tahu
Berperangpun sampai waktu duhur
Mara lah kenaikan tandang masyhur

Setelah dekat sampai berkata


Ditampakkan meriam gajah meta
Bunyi hebat sangat gempita
Sekalian memandang duka cita

(Hlm. 38) Setelah dekat sampai berkata


Ditembakkan meriam gajah meta
Bunyi hebat singanya gempita
Sekalian yang mendayung duka cita

Bangsawan berperang sama mengedan


Mara(h) kiannya patut bagai dipadan
Pelurunya seperti panah keludan
Semuranya jam-jam sampai ke badan

Berperang rakyat terlalu besar


Dari pada duhur sampai kepada asar
Kiri dan kanan kapal berkisar
Dibelahkannya meriam segala yang besar

50
Raja Siak

Berperangpun tidak berketentuan


Bunyi meriam bertangis-tangisan
Umpama santan dengan manisan
Puaslah dahaga pada perasaan

Wilanda berperang tiada berhingga


Mangkin lama bertambah juga
Bunyi meriam terlalu kuaka
Dibubuhinya pebara-bara raka

Tembak wilanda janganlah kata


Tidaklah sempat memejamkan mata
Sungguhpun banyak datang senjata
Seoranglah matinya orang kita

Berperang itu sampai malam hari


Edarlah kelengkapan kanan dan kiri
Berhimpun segala hulu balang menteri
Datang menghadap raja bestari

Datang menghadap ayahanda dan kakanda


Serta dengan paduka adinda
Berdatanglah sembah kepada baginda
Memohonkan titah duli sri pada

Lalu bertitah mahkota orang


Kepada pendapat sahaya seorang
Jikalau wilanda mudik menyerang
Barulah kita lawan berperang

Berdatanglah sembah isi negeri


Mengangkat tangan menyusun jari
(Hlm. 39) Sebab wilanda datang kemari
Bukankah hendak melanggar negeri

Telah putus sudah mufakatnya


Bermohon pulang sekaliannya
Oleh mata-mata diaturnya
Barang ihwal dipersembahkannya

Setelah esok hari


Wilandapun tiada mudik kemari
Oleh orang kita dipi(n)tari
Diperbuatnya bagai sehari-hari

51
Raja Siak

Segenap hari demikian lakunya


Itulah konon kabar wartanya
Oleh wilanda dibalasnya
Tiadalah senang bunyi meriamnya

Seorang panglima terlalu garang


Jika tidak mengambil kurang
Berlabuh dihalaunya sekalian orang
Wilanda melihat adalah berang

Setelah malam sudahlah hari


Dihanyutkan kici meng(ha)mpiri
Matahari pun belum lagi berseri
Oleh wilanda pelurunya diberi

Encik Muid terkejut seperti lata


Melihat peluru seperti kata
Kalas dayung sekalian patah
Dibongkarnya sauh lari menata

Hendak dibantu sekalian orang


Tengku busu pun melarang
Suka tertawa orang sebarang
Panglima besar sedikit berang

Itulah orang seperti sombongnya


Membuat berani seorang dirinya
Tidak dipikirkan kemudian harinya
Sekalian orang mencercainya

Berbedil-bedilan sehari
Sampailah kepada lima belas hari
Lalu bertitah raja bestari
Kota berjalan hilirkan kemari

(Hlm. 40) Di dalam demikian baginda bertanya


Pada ayahanda dan kakanda keduanya
Kalau kota berjalan suatu peri
Siapkan mengumbar niatnya

Berdatang sembah ayahanda dan kakanda


Serta dengan paduka adinda
Jikalau kota berjalan poranda
Sambil kita mana yang sada

52
Raja Siak

Lalu bertitah duli yang maha mulia


Pada pendapat bicara sahaya
Kalua kota berjalan satu hari
Leburlah kita serta daya

Berdatang sembah hulu balang menteri


Mengasakan qadam menyusun jari
Jikalau kota berjalan suatu hari
Tidaklah patik pulang ke negeri

Panglima besar dengan panglima perang


Sembahnya bagai mutia(ra) di karang
Jikalau kota berjalan menjadi /h/arang
Kapal pun sukar pulang ke seberang

Demi didengar oleh paduka


Jika sekalian adik dan kakak
Tekerjap disuruhnya buka
Makan dan minum sekalian belaka

Berdatang sembah panglima perang


Patik pohonkan titah sekarang
Esok hari kita berperang
Baginya pelakunya garang

Akan titah mahkota duli


Selaku tidak berkecuali
Jikalau berbunyi meriam sekali
Langgarlah ia jangan perduli-duli

Meriam janganlah pe(r)dulikan


Dayung juga sekalian rapatkan
Sebab tiga-tiga setanggar makan
Maka barulah dengan delapan hinakan

Demi didengar adinda dan kakanda


Akan titah duli sri pada
(Hlm. 41) Berbangkitlah gera(m) kisah di dalam dada
Ditanaklah (a)ku bagai kerada

Bermohon pulang ayahanda dan kakanda


Serta pegawai anum berida
Patik nan lagi pun beda
Sekedar dikarang madah yang ada

53
Raja Siak

Setelah sampai kota berjalan


Diaturnya kelengkapan bertambalan
Di kepala pulau kota berjalan
Dikapiti kelengkapan yang andalan

Adalah kapitnya yang terutama


Tengku Yusuf mula pertama
Raja lontar erat bersama
Syekh Salim wasir ulama

Kapit Tamilan seraya akur raja


Hulu balang andalan bersama bekerja
Panglima o(r)ang mahkota raja
Laksana besi sudah berbaja

Syahbandar Mu’in panglima payu


Kapit timbalan mengikut payu
Lawan laksana garuda payu
Jika memberi sahajakan layu

Di kiri hilir duli baginda


Dengan saudara adinda dan kakanda
Di palu sabuk paduka ayahanda
Di teluk betalah hulu balang anum berida

Demi kapitan melihat peri


Kota berjalan pula meng(hi)liri
Di kapal pula sebak ia berdiri
Dikapiti kelengkapan kanan dan kiri

Kapitan kapal hatinya pusing-pusing


Sekalian tunggul disuruhnya pasang
Mendengar namu amar bangkit perangsang
Dihanyutkan kapal ketika pasang

Kapal dan kici dihanyutkan


Ke teluk batil sekalian perginya
Dengan kota berjalan dipertemukannya
Dengan peluru ia ditanya

(Hlm. 42) Serta bertemu lalu berperang


Ramainya bukan sebarang-barang
Gemuruhlah bunyi suara orang
Mara kelengkapan sekalian yang garang

54
Raja Siak

Firman imam Tengku parang


Sri Amrungas terbilang garang
Serta bertemu lalu berperang
Ramainya bukan sebarang-barang

Di timbalan makan sri rama


Raja dewa indra yang terutama
Orang yang tidak membuang nama
Berperanglah ia bersama-sama

Raja lela muda panglima tanah datar/a/


Berdayunglah ia dengan sebentar/a/
Kapal dan kici meriam dipitar
Tidaklah ia ngeri dan gentar

Raja indra pahlawan berdayung mara


Bergambar dengan paduka sri indra
Menembakkan meriam dengan dipenjara
Kena kapal banyak yang cidera

Berperanglah itu sangat termasa


Melanggar hendak berbuat jasa
Di dalam peluru angkasa
Tidak memberi hebat dan rasa

Meriam seperti halilintar


Tidak berhenti barang sebentar
Peluru bolang baling dating melantar
Kena penjajab seperti berge/n/tar

Oleh wilanda dibedili


Segala kelengkapan yang menghampiri
Pelurunya berdengung kanan dan kiri
Berdayung juga dihampiri

Tujuh buah hulubalang melanggar


Di haluan kapal seperti pagar
Bahana sorak seperti tagar
Menembakkan meriam dengan setanggar

Kota berjalan sudah tersesak


Kapal dan kici dating meng(g)asak
(Hlm. 43) Ke Teluk Banil sekalian berasak
Di situlah perang sangat berkasak

55
Raja Siak

Demi Tengku Yusuf melihat perinya


Kapal dan kici dihinakannya
Maralah kelengkapan yang dijanjikannya
Kapal dan kici dihadapinya

Setelah sampai seperti nafsunya


Menembakkan meriam tengku busu
Ke bawah berinda kelengkapan menusu
Kalam yang fasih menjadi bisu

Berperang itu bersorak-sorak


Penjajab dan kapal tiada berjarak
Peluru meriam seperti merusak
Kenalah kapal berderak-derak

Berperang itu seperti berkusuk


Lima buah yang termasuk
Sebelah menyebelah peluru merusak
Kapal penjajab banyak yang pasak

Dilihat panglima kota berjalan


Dia sebuah ketinggalan
Jauh daripada handai dan taulan
Dikeratnya sebuah kota berjalan

Hatilah ini pula/k/ menembak


Kapal dan kici boleh berasak
Bunyi meriam udhmat bergempa
Barang yang kena sopan maap

Syekh salim perahunya tersekat


Dimakan oleh perahunya lekat
Dengan kapal sangat berdekat
Dimakan peluru habi(s)lah lukat

Syekh Salim orangnya garang


Kapal dan kici dilawannya berperang
Dibedil kapal bersarang-sarang
Pelurunya tembus seberang menyeberang

Syekh Salim sangat pangling


Dibedilnya dengan peluru bolang baling
Jikalau satu raju dan kaleng
Lamalah sudah lari berpaling

56
Raja Siak

(Hlm. 44) Tembak Wilanda bertembak-tembak


Pelurunya datang berurap-urap
Dahulu Allah berkat musthafa
Lepaslah besi tidak mengapa

Lepaslah ia mengikat akan ulak


Berkeliling pulau pulak mengelak
Serta sampai berperang pula
Bunyi meriamnya terlalu galak

Demi dilihat duli baginda


Akan hal paduka ayahanda
Berangkat diiringkan adinda dan kakanda
Dipandang rupa bagai geruda

Serta sampai lalu bergasak


Melihatkan ayahanda sudah bersasak
Penjajab dan kapal datang berasak
Ke hulu ke hilir berdesak-desak

Kenaikan dengan medan sabar


Kedua buahnya berbembar-bembar
Muda bangsawan bagai digambar
Akan mati sediakan tak kobar
Dipandang laku adinda kedua
Laksana Arjuna dengan Pendawa
Akan perang Wayang Purwa
Selaku tidak sadarkan jiwa

Akan kenaikan duli baginda


Menembakkan meriam gajah yang meta
Pelurunya datang terlata-lata
Kenalah kapal tembus semata

Ditembakkan meriam sekalian belaka


Santing dan lela dengan rentaka
Ditentang panglima duli paduka
Tidaklah kabar mati dan luka

Demi dilihat panglima besar


Medan Sabar disuruhnya kisar
Menghadap kepada kapal yang besar
Disuruhnya dayungjuga menyambar

57
Raja Siak

Jambalang Gantang ditembakkannya


Harimau buas mengeram bunyinya
(Hlm. 45) Naik ke kapal tidak bertanya
Barang yang berajal dimakannya

Perang besar ketika itu pula


Menembakkan meriam rentaka lela
Pada pandangan di mata kuala
Sebelah menyebelah banyak yang celah

Tengku Abdurrahman dengan Tengku Abdullah


Pelurunya tidak ada yang salah
Kenalah kapal si laknat Allah
Dari sebelah tembus ke sebelah

Bunyi meriam seperti guruh


Rumah di badan bagaikan luruh
Barang yang sampai ajal dan karah
Rupanya bagai buah yang luruh

Bunyi meriam tidak berhenti


Kapal dan kici berganti-ganti
Di atas jam jam tertanti
Barang yang kena luka dan mati

Melihat peluru pergi datang


Kepada mata sangat merantang
Disambarnya jatuh lalu terlentang
Sebentar itu menjadi buntang

Peluru bersabung sebelah menyebelah


Ada yang betul ada yang salah
Kurang tawakkal kepada Allah
Menahani kota berlepaslah

Melihat peluru berterbang


Ke atas udara berdengung-dengungan
Segala hulu balang yang pentingan
Ketika itu bercengang-cengangan

Bunyi meriam bagaikan belah


Tidak berhenti sebelah menyebelah
Hingga tawakkal kepada Allah
Memakai khidmat teguh Allah

58
Raja Siak

Peluru kapal berdengung-dengung(an)


Sabuk di pinggang berterbangan
Banyaklah mereka bercengangan
Lalailah sudah dengan-dengan

(Hlm. 46) Bunyi meriam terlalu sangat kerab


Pelurunya datang sangat mudharrab
Banyaklah mereka yang meniarap
Penuhlah dengan sampah dan syarab

Mata-matapun tidak lagi terkayuh


Mendengar peluru bunyinya meriuh
Tulang dan sendi selaku layu
Duduk memupur seperti puyuh

Perang itu terlalu shabur


Bunyi peluru sambar menyembar
Menderu/h/ bunyinya penabur
Barang yang kena/h/ sahajakan lebur
Hulubalang Siak terlalu keras
Menembakkan meriam Rentaka Pemuras
Pasang pun tidak berapa dirasa
Tampaklah jalan teranglah rasa

Lima buah sangat termasak


Ada yang tidak ada pasak
Setengah mereka dadanya pasak
Tidak tahan sampai esok

Yang masuk banyak yang undur


Dimakan peluru sebagai kendur
Setengah mereka lakunya badur
Seperti orang terkejut tidur

Segala yang kecil banyak yang sakan


Tinggal segala yang pekan-pekan
Menjajab dipentang Panglima Dikan
Kepada berperang tidak kan segan

Demi dilihat Tengku Perang


Akan hal sekalian orang-orang
Maralah pula memulihkan perang
Serta dengan panglima perang

59
Raja Siak

Tinggal segala yang pilihan


Mengiringkan duli yang dipertuan
Segala hulubalang yang pahlawan
Laksana singa mencari lawan

Bunyi sorak gegap gempita


Suaranya tidak menderita
(Hlm. 47) Segala pegawai duli mahkota
Lakunya bagai gajah yang meta

Panglima Besar di medan sabar


Dengan adinda Kapit berbembar

Bangsawan sebagai menyuara


Meradap parau bahananya suara
Adalah hebat segala tantara
Pelurunya lambat tidak terkira

Didengar sabur gempita bahana


Bunyi meriam amat gempanya
Bahana peluru/n/nya permana
Serbu salah langkah bertahan

Berperang itu sampai petang hari


Peluru berdengung-dengung kanan dan kiri
Bangsawan pun ada sa/ha/ja terdiri
Tidak memilih sebarang peri

Matahari masuk bagai ditulak


Bunyi meriam bertambah galak
Seperti makanan sudahlah halaq
Kedua belahnya jadi menolak

Malam hari berhentilah perang


Kelengkapan Indra seberang menyeberang
Kota berjalan ditarik orang
Dimakan peluru bersarang-sarang

Dengan daulat duli mahkota


Seorang mati orang kita
Orang Wilanda kata senjata
Lima belas orang kabarnya nyata

Wilanda kutuk sangatlah jaga


Serta malam bunyinya gagak

60
Raja Siak

Hari siang demikian juga


Kapal satu kicinya tiga

Serta pasang dihanyutkannya


Seberang menyeberang keenam buahnya
Dilihat mata-mata demikian lakunya
Diaturnya kelengkapan sekaliannya

Panglima besar hatinya kobar


Disuruhnya dayung medan sabar
(Hlm. 48) Dengan perang berbembar-bembar
Sekalian kapir hadir bergambar

Kedua pihaknya samalah garang


Serta bertemu lalu berperang
Ramainya bukan sebarang-barang
Selaku tidak dapat dilarang

Wilanda itu kafir yang cerdik


Serta pasang berhentinya mudik
Sekalian hamba yang dibalik
Menembakkan meriam sekalian dibalik

Orang Siak adalah duka


Melihat kelakuan kadir cilaka
Di dalam tembak bagai di jangka
Berhanyut mudik juga belaka

Membedil tidak lagi berhingga


Bunyi meriam sangatlah luka
Tidaklah dapat lagi dijangka
Kapal dan kici berhanyut juga

Kapal dan kici jangan di kata


Bunyi meriam gegap gempita
Tidaklah sempat meme/n/jamkan mata
Pelurunya dating melata-lata

Meriam Wilanda berbunyi selalu


Pelurunya datang bertalu-talu
Kapalnya sebagai berhanyut ke hulu
Orang Siak adalah sebalu

Kapal dan kici hanyut berkapar


Barang dihadapnya ia terdampar

61
Raja Siak

Meriamnya tidak diberinya lapar


Bunyi bahannya terlalu gampar

Sambil berhenti ia berperang


Bunyi meriam tidaklah kurang
Sungainya sempit /h/arusnya garang
Takut terlanggar kepada seorang

Pasang mudik surut berhenti


Tiga hari tiga malam demikian pekerti
Bunyi meriam tidak berhenti
Ke sungai pinang sampailah ke syati

(Hlm. 49) Masuk sekalian kelengkapan


Ke dalam batangan sekalian disimpan
Meng(h)dap ke hilir segala kelengkapan
Tidaklah hati ke papan

Telah beratur sekalian rata


Ba/ha/rulah pula rasa anggota
Sekalian kubu bertunggu rata
Musta’ib dengan alat senjata

Berapa buah kubu ditembahi pula


Diperbuatan oleh mereka segala
Diaturnya meriam rentaka lela
Seberang menyeberang demikian pula

Segala rakyat yang didarati


Dengan kubu meriam sekalian dinanti
Tanahnya tinggi bagai di hati
Diaturnya meriam dengan pedati

Suatu rumah dibuatinya


Tiga pangkat diperbuatnya
Syahbandar Mu’in panglimanya
Dengan pagar dikelilinginya

Berapa meriam dengan rentaka


Pada tiga pangkat diatur belaka
Diatur meriam sekalian siaga
Tinggi rendah sekalian dijangka

Setelah lengkap sekalian ditentang


Menantikan Wilanda jikalau datang

62
Raja Siak

Syahbandar Mu’in tidak berpatang


Baik pagi baik pun petang

Sebelah hilir sebelah kiri


Raja lela muda disana berdiri
Orang pesukuan Zaman yang bahari
Dengan meriam sekalian diberi

Ialah penghulu tanah di utara


Obat peluru sekalian dihantara
Bergambar dengan raja lontar
Dekatnya sampai orang melontar

Di kanan hilir raja indra pahlawan


Panglima lima puluh orang pesukuan
(Hlm. 50) Harapan duli yang dipertuan
Laksana burung mati sekawan

Di kubu besar segala hulu balang


Oleh fakir tidak terbilang
Akal pun dapat berulang
Sekejap timbul sekejap hilang

Berapa buah gunung api


Oleh mereka dilengkapi
Minyak dan damar kayu api
Hadir musta’ib diisi api

Hampir dua bulan pula berhenti


Orang Siak hadir menanti
Kapitan gunda(h) di dalam hati
Kokohnya tidak terhemati

Jikalau sekedar batangan kubu


Tidaklah gunda(h) kepada kalbu
Gunung api jikalau tersapu
Akhirnya kapal menjadi abu

Segala pegawai dikampungkan


Tengku Busu yang mengeluarkan
Gunung api baik kita hilirkan
Kepada kapalnya kita tempuhkan

Sembah hulu balang menteri bintara


Itulah yang sebentar bicara

63
Raja Siak

Jikalau kapalnya sudahlah celah


Lainlah sudahlah kira-kira

Sembah pegawai saling sukup


Sebenarnya titah duli tuanku
Kapal dan kici jikalau bakap
Itupun hampir masuk tertangkap

Setelah putus bicara sekata


Gunung api diatur sekalian rata
Lalu salawat akan nabi kita
Dihanyutkan hilir sekalian rata

Demi dilihat Wilanda kufur


Gunung api hanyut berkapar
Kapal dan kici sekalian gempar
Dengan peluru sekalian digampar

(Hlm. 51) Dengan meriam dinampakkannya


Kapal dan kici diisikannya
Sungguhpun besar rupa apinya
Suatu pun tiada apa gunanya

Kapal dan kici sekaliannya lepas


Gunung api habislah tumpas
Ditiup angin bagai dikipas
Tidaklah sempat membakar kapas

Tidaklah habis fikir mereka


Cerita yang zamkan baharu dibuka
Dari pada faqir orang jenaka
Harapkan ampun jangan murka

Baginda sultan berkira-kira


Dengan kapitnya berbicara
Baiklah kita melanggar segera
Duduk pun hal sangat sengasara

Kapitan kici mendengar bicara


Dari pada duduk berbangkit segera
Itulah sebenar-benar bicara
Baiklah kita melanggar segera

Apalah sudahlah dengan begini


Sangatlah susah orang kompeni

64
Raja Siak

Jikalau tidak ada berani


Mengapa mengambil gaji kompeni

Sepatah seorang ia berkata


Bunyi mulutnya sangatlah meta
Lalu dijawab duli mahkota
Itulah kehendak di dalam cita

Janganlah susah kapitan garang


Mana kala kita menyerang
Beta melanggar kubu seberang
Supaya tahu lebih dan kurang

Setelah putus bicaranya


Kapal dan kici disiapinya
Kapitan kapal bangkit berangnya
Menantikan baik ketikanya

Tiadalah dapat dikenangnya


Akan menunggupi anak/nga/nya
(Hlm. 52) Kenalah bulan terpaksi bintangnya
Sampai sudah ketikanya

Sampailah ketika yang dipusa


Baik ke kapal mahkota desa
Maralah kapal waktu isa
Pasang mengeras melumah dirasa

Melanggar tidak bertinggalan


Kepada empat belas hari bulan
Kapal dan kici jadi sangkalan
Ditembak kubu bertimbalan

Mula-mula memecah perang


Orang pesukuan seberang-menyeberang
Lakunya tidak dapat dilarang
Beraninya bukan sebarang-barang

Sekalian kubu dibedilkanya


Tidaklah senang bunyi meriamnya
Barang yang mati sekalian orang
Ke dalam air dicampakkannya

Kapitan kapal bangkit berangnya


Tidaklah sadar mati hilangnya

65
Raja Siak

Kepada banyaknya disakitkannya


Tali batangan disuruh potongnya

Segala kubu yang menanti


Meriamnya berbunyi tidak berhenti
Menjadi heran kepada hati
Selaku tidak tahukan mati

Berani Wilanda jangan dikata


Kapal dan kici menembak semata
Bunyi sorak gegap gempita
Meriam /ber/berbunyi sekata

Tidak sampai dengan ke batangan


Orang Siak bercacangan
Tidak disangka di angan-angan
Dia akan sampai ke batangan

Sampai ke batangan sekalian rata


Ke kapal dan kici dengan perkata
(Hlm. 53) Bunyi meriamnya gegap gempita
Tidak kedengaran orang berkata

Demi dilihat orang kita


Akan kelakuan kafir yang dusta
Maralah kelengkapan sekalian rata
Bunyi sorak gegap gempita

Di dalam batangan sekalian beratur


Bunyi meriam seperti Guntur
Tulang dan se(n)di sekalian getar
Dekat kedengaran orang beratur

Berperang itu berdekat-dekat


Tali batangan hanya menyikat
Kiri dan kanan meriam memukat
Sungai Siak bagaikan terangkat

Kapitan tidak berhati walang


Sekalian-sekalian tidak membilang-bilang
Dari pada nasib dirundung malang
Niat tidak bercinta pulang

Meriam yang besar berapa puluh


Duduk di kubu hancur lulu(h)

66
Raja Siak

Meriam penjajab sangat menggarang


Bersambutan pula seberang menyeberang
Pelurunya kapal berseberang
Yang setengah memakan orang

Segala kubu orang pesukuan


Yang setengah tidak dibilang orang melawan
Tidak tentu kawan dan lawan
Seperti orang kemalu-maluan

Setelah kapal mudik ke hulu


Kapal dan kici berganti dahulu
Orang Siak adalah sabalu
Bagai dihiris dengan sembilu

Tidaklah boleh sa/ha/ya katakan


Kehendak Allah sa/ha/ya sukarkan
Dimana boleh kita cintakan
Janji dahulu ditepatkan

Sudahlah taqdir tuhan Azali


Tidaklah dapat kita salahi
(Hlm. 54) Hilanglah asyik dengan birahi
Laksana bawa-bawaan dalam serahi

Tamatlah sudah perang Siak disuratkan


Perkataan tidak dipanjangkan
Cerita itu sahaja akan-akan
Tidaklah lagi terperikan

Perkataan banyak bukan suatu


Gundahnya hati tidak bertentu
Remuk redam hatipun mutu
Laksana kaca jatuh ke batu

Tinggallah adik tinggallah kakak


Tinggallah dengan sendi leka
Kita ini jangan dikenang juga
Jikalau untung bertemu juga

Tinggalah kakak adik saudara


Tinggal tidak lagi terbawa
Jikalau ada hayat dan jiwa
Mudah-mudahan bertemu juga

67
Raja Siak

Daripada hati sangat gelorat


Ada yang ringan ada yang berat
Laksana perahu yang amat sarat
Datang memukul angin barat

Duduk berpikir pagi dan petang


Memohonkan rahmat tangan telentang
Berkat datuk bukit sekantang
Janganlah apa aral melintang

Sampailah ia ke pulau lawan


Bimbanglah hati tidak ketahuan
Terkenang kepada encik dan tuan
Laksana mabuk makan cendawan

Di situ tidak berapa lama


Empat hari akan kelima
Jikalau tidak karma
Memohonkan rahmat segala ulama

Turun ke perahu air pun tempat


Diambil kajang lalu dipepat
Dibongkar sauh dayung dikipas
Baginda berlayar menarik pepas

(Hlm. 55) Kakab berdayung sangat lajunya


Tanjung Marapus ditujunya
Tinggallah sahabat sekaliannya
Badan dibawa untung nasibnya

Kakab berdayung ke Mempura


Gempar mereka segala tentara
Turun bertiup angin utara
Tinggallah sekalian sanak saudara

Selama duduk di tanah seberang


Miskinnya bukan sebarang-barang
Laksana perahu di atas karang
Kawan yang rapat menjadi jarang

Selama ditinggalkan ayahanda dan bunda


Menaruh masyangul di dalam dada
Sesak boleh bagai digoda
Bercerailah dengan adinda dan kakanda

68
Raja Siak

Perang Siak tamatlah sudah


Hatinya di dalam sangatlah gundah
Hati asar matahari rendah
Duduklah wazir tunduk tengadah

Suratan tidak berketahuan


Hatinya gundah bercampur rawan
Siang dan malam igau-igaukan
Laksana budak ditempuh susuan

Kepada badan tidak bertuah


Umpama jantung tidak berbuah
Terkenangkan untung hilang arwah
Sungguh pun miskin biasa mewah

Duduk terpekur berdiam diri


Hatiku gundah tidak terperi
Dipoonkan kepada khaliqu i-bahari
Mudah-mudahan rahmat diberi

Hari sabtu sudahlah surat


Disembunyikan juga di dalam gelorat
Umpama perahu yang amat sarat
Takut dipukul gelombang barat

Hai segala arif yang bermata


Janganlah apa wasir dikata
(Hlm. 56) Hatapnya buruk kertasnya (l)ata
Menyuratnya tidak pelita

Sudahlah dengan taqdir Allah


Tiadalah dapat lagi disalah
Di lauh mahfudh suratan terjumlah
Barang yang datang disukarkanlah

Allah Allah Maliku r-Rahman


Kurniai apalah hambamu iman
Dunia ini sudahlah matikan
Banyak makhluk tidak siuman

Bismi i-lah itu permulaan


Dengan nama Allah khaliqu i-alam
Berkat Muhammad sayyidu i-anam
Memberi rahmat siang dan malam

69
Raja Siak

Alhamdulillah mula dipuji


Kemudian salawat akan nabi
Dipohonkan juga nama yang keji
Kepada Allah tempat kembali

Dengarkan suatu rencana


Dikarang oleh wasir yang hina
Suratnya janggal banyak tak kena
Dari pada hati bimbang gulana

Takkala pergi ke pulau lawan


Bimbangnya hati tidak ketahuan
Terkenangkan aib yang dipertuan
Rasanya dimabuk makan cendawan

Bimbang gulana tidak terperi


Selama wasir meninggalkan negeri
Duduk berbicara sehari
Nasi dimakan serasa duri

Kesana sini tiada berjalan


Duduk sehari seperti sebulan

Itulah tanggungan wazir yang puta


Siang dan malam duduk bercinta
Sebab memikirkan duli mahkota
Sedikit tiada diberi lata

(Hlm. 57) Ada kepada suatu hari


Bertitahlah duli mahkota negeri
Memanggil segala hulu balang menteri
Baginda bertitah berperi-peri

Baginda bertitah merdu suara


Kepada hulu balang menteri wazir/a/
Baiklah segera buka bicara
Sementara belum datang cidera

Berdatang sembah segala menteri


Ampun tuanku duli bestari
Jikalau tuanku suatu peri
Patik tiadalah pulang ke negeri

Berdatang sembah Maha Raja Sarira


Itulah tuanku kepala bicara

70
Raja Siak

Jikalau sudah kedarangan cidera


Sembahnya tidak berantara

Di dalam empat patik yang tua/h/


Berdatang sembah akan kecewa
Wazir bertuan tiadalah dua
Ke bawah duli persembahkan nyawa/h/

Orang Kaya Sri Indra Muda/h/


Penghulu Lima Puluh dijadikan baginda
Bercakap sedikit menepuk dada
Itu yang berkenan kepada baginda

Ia pun asal hulu balang


Cakapnya bandar bukan kepalang
Jikalau tuanku kedatangan malang
Tidaklah patik berajin pulang

Orang Kaya Maha Raja tapa perangsa


Benar cakap besar tidak kuasa
Niatnya itu berbuat jasa
Ke bawah duli raja kuasa

Orang Kaya Paduka Sri Dewa


Berdatang sembah tidaklah dua
Jikalau tuanku beroleh kecewa
Patiklah dahulu persembahkan nyawa

Ia suatu orang muda


Sembahnya itu banyak berbeda
(Hlm. 58) Jikalau tuanku por(ak) peranda
Samalah patik mana yang ada

Berdatang sembah Syahbandar Bukit Batu


Setianya teguh bangsanya tentu
Laksana emas sepuluh mutu
Sudah diuji kepada batu

Mendengar sembar wazir belaka


Baginda sultan sangatlah suka
Bersri-seri warnanya muka
Tidak menaruh was dan sangka

Lalu bertitah duli baginda


Kepada wazir mana yang ada

71
Raja Siak

Kita ini sama muda-muda


Pekerjaan jangan diberbeda

Berdatang wazir yang puta


Ke bawah duli Sri Mahkota
Janganlah tuanku sangat bercinta
Tidak kan beroleh nama yang lata

Nama yang lata dipohonkan sekali


Kepada tuhan Allah yang azali
Berkat keramat segala wali
Suatu pun jangan mengali

Wazir pun segera bermohon pulang


Di dalam hatinya sangatlah walang
Mencari pikir tidak berselang
Latihnya badan bukan kepalang

Sampai kepada tujuh hari


Pikiran dapat sudah dicari
Jikalau baginya laku dan peri
Baiklah baginda dicarikan istri

Dan kepada esok hari


Datang menghadap segala menteri
Berdatang sembah berperi-peri
Baiklah tuanku duduk beristeri

Jikalau tidak perintah begitu


Baik dan jahat bila kan tentu
Umpama emas sepuluh mutu
Boleh diuji kepada batu

(Hlm. 59) Mendengar sembah menteri penggawa/h/


Baginda tersenyum lalu tertawa
Adalah laksana hikayat Jawa
Panjinya seorang kelananya tiga

Itupun tidak apakan salah


Sudah taqdir dari pada Allah
Segera tempat menantikan Allah
Kemudian pula kita berilah

Jikalau kepada hati sendiri


Belumlah mau kita beristri

72
Raja Siak

Apakah akal bicara menteri


Diturut juga sebarang peri

Akan sembah wazir yang hina


Ke bawah duli raja yang gana
Jikalau tidak sebab karena
Tidaklah terbuat demikian bina

Tidak diturut demikian ada


Karena terkenang kepada adinda
Jikalau datang setan menggoda
Pastilah sunyi duli baginda

Disahut oleh Syahbandar Bukit Batu


Yang sebenar katanya itu
Jikalau beristri paduka ratu
Patikpun kena/h/ pula suatu

Patik abdi hamba yang lata


Ke bawah duli Sri Mahkota
Jiakalau selamat duli bertahta
Biarlah patik beroleh lata

Lalu bertitah Sri Betara


Kita pulangkan segalah bicara
Janganlah panjang lagi kira-kira
Kita hendak dengan segera

Disahut oleh wazir yang lara


Sebenarnya titah Sri Betara
Patikpun tidak banyak bicara
Harapkan Allah yang memelihara

Jikalau berdiri daulat mahkota


Masa kan patik beroleh lata
(Hlm. 60) Dengan berkat segala dewata
Dipohonkan juga nama yang lata

Setelah sudah putus musyawarat


Mengangkat tangan memberi isyarat
Dengan berkat duli hadirat
Dilepas Allah dari pada darurat

Wazir seorang dititahkan baginda


Membawa titah kepada paduka ayahanda

73
Raja Siak

Datang pikiran di dalam dada


Baiklah satu sandar muda

Haripun malam bulan terang


Wazir berjalan dua orang
Gundahnya bukan sebarang-barang
Kawan yang rapat menjadi ja(ra)ng

Setelah sampai wazir yang bahari


Mengangkat qadam sepuluh jari
Berdatang sembah berperi-peri
Anakanda konon hendak beristri

Hendak beristri terlalu nyata


Itulah titah duli mahkota
Kepada patik mengeluarkan kata
Mantik ambil kepada sang nata

Jikalau mau duli baginda


Ambil coba paduka anak/n/da
Karena ia orang muda
Hendak meminang banyak terbeda

Tengku besar bertitah merdu suara


Saya ini tidak banyak bicara
Jikalau raja hendak memelihara
Tidaklah lagi berantara

Itulah niat di dalam cita


Hendak bekerja di bawah tahta
Jikalau diperhamba Sri Mahkota
Tidaklah panjang permandangan mata

Adalah sedikit sa/ha/ya pikiri


Karena baginda itu banyak istri
Jika datang suatu peri
Kemala saya membawa diri

(Hlm. 61) Disahut oleh fakir yang bahari


Janganlah tengku berbanyak peri
Jikalau datang suatu peri
Patik sekalian mengabari

Patik pun asal hambah yang tua/h/


Rusak binasa pun mau jua

74
Raja Siak

Jikalau tuanku beroleh kecewa


Biarlah patik membuang nyawa/h/

Tammati l-kalamu bi l-khairi wa s-salam


Sayyidu l-anami wa l-ayyam
Ma damati l-lailu fi l-ayyam
Wa daru s-salami ya dza l-jalali wa l-ikram

75
Raja Siak

DAFTAR KATA SUKAR

Amang: mengancam, menggugat


Anum: muda
Apilan: papan tebal yang digunakan seperti perisai pada meriam (dalam kapal).
Asak: padat, sesak
Ayap: makan atau minum (digunakan berkaitan dengan orang biasa), lawan
santap (digunakan bagi raja)
Bakap: Ikan laut
Bembar: mimbar: tempat yang luas
Beraja: menjadi raja; berlaku sebagai raja: Dia .. di mata, bersultan di hati. 2
mempunyai raja
Berambar: beramburan
Berang: berang-berang nama sejenis binatang yang suka makan ikan; anjing air,
Lutra sumatrana
Beratah: sama semua
Bercacangan: bercacang berdiri (tegak)
Berida: yang tahu akan harga dirinya
Beroja: memberanikan, menghasut.
Buntang: bangkai
Data: maklumat atau fakta tentang sesuatu yang diketahui dengan betul
Denda: hukuman
Depa: meraka semua
Dian: pelita yang dibuat daripada lilin; mendiani menerangi (dengan dian)
Dibakir: rusak
Disantung: ditutup rapat
Emping: menumbuk emping
Gahara: keturunan raja yang tulen (ayah dan ibunya berdarah raja); anak raja
yang lahir daripada permaisuri.
Gana: kaya
Gelorat: gelora: perasaan gelisah
Inya: inang
Kajang: berdiri
Kakap: sejenis perahu yang kecil dan rendah
Kapit: pengapit 1 orang yang menemani atau membantu raja dll; pembantu atau
teman
Kerab:kerap: sering kali
Kerah: kerja untuk raja atau kerajaan yang dijadikan sebagai suatu kewajiban
(seperti menjaga keselamatan negeri, membaiki jalan, dll dengan tidak menerima
bayaran)

76
Raja Siak

Kerah: mengerahkan
Ketur: berketur berbunyi (bkn katak
Kici: perahu yang kecil dan bertiang dua
Kubu: pagar dari pada kayu dan tanah untuk menahan serbuan (serangan dl,
tempat pertahanan (yang diperkukuh dengan pagar atau benteng, kelengkapan
alat senjata, dll), tempat pertahanan sementara (berupa benteng dll)
Kutikanya: ketikanya
Laru: benda (seperti ragi dll) yang dibubuh ke dalam nira
Lata: hina
Leka: lalai oleh sesuatu; asyik dengan sesuatu; lengah
Lela: tingkah laku yang elok
Lempang: Jk tidak berbengkok-bengkok (jalan dll), lurus
Lengai: tidak tangkas dalam melakukan sesuatu, tidak cergas, tidak aktif, lalai,
lengah
Malan: mabuk pinang
Mangkir: berhenti
Megat: gelaran untuk orang bangsawan (bapanya orang kebanyakan tetapi ibunya
daripada golongan raja)
Memupur: berguling-guling dan berkepak-kepak di tanah dll
Menabalkan: meresmikan
mengali-ali: membuang batu dengan menggunakan ali-ali
Mengembari: mengiringi, menemani, menyertai, membantu, menolong
Menta: meta: mabuk, mengamuk, ganas, gila
Meta: mabuk, mengamuk, ganas, gila
Pandil: lampu gantung
Panting: berserakan, kucar-kacir; berpantingan berpelantingan, berhamburan
jatuh; terpanting terpelanting, tercampak jatuh
Pemukat: Jala, jaring
Pencalang: perahu besar untuk mengangkut barang dagangan
Penjajab: kapal perang orang Bugis zaman dahulu
Pepas: kail (pancing), mata kail
Pepat: penggal
Perbaraan: tempat bara api untuk membakar kemenyan
Pinak: keturunan; zuriat.
Pitar: memitar sl mengarahkan meriam dll
Pusa: desakan (dorongan, keinginan), hal, hasrat
Rentaka: meriam yang larasnya dapatdiarahkan ke mana-mana saja.
Sabur: bercampur baur (kerana orang terlalu ramai dll), tidak keruan, haru-biru
Sadang: tirai
Sakan: teruk, penyakit, sakit
Samawi: berkaitan dengan langit (cakera-wala)
Sangku: mangkuk (daripada tembaga atau kuningan)

77
Raja Siak

Santing: elok (bagus) sekali


Sarap,sarab: sampah (daun-daun kering, debu, dll)
Sebak: berpisah ke kiri dan ke kanan (bukan air yang ditempuh kapal dll)
Selup: perahu
Syamsu: Matahari
Tagar: (bunyi), guruh (guntur)
Tambal: rapat,rapi
Tampas: pepat dan rata
Tanju: lampu dinding
Tanti: nanti
Tatar: menatar mengajar (membimbing, memberikan kursus, dll)
Teji: Tangkas
Tempik: bunyi suara yang kuat kerana gembira, marah dll
Timbal: bertimbal kedua-dua belah pihak sama (darjatnya, tarafnya dll)
Tuhar: Tohor: tidak dalam
Tunam: tali api-api daripada sabut (kertas, kain, dll)
Ulak: mengulak melumatkan cabai (lada) dengan lesung batu
Was:curiga, sangka
Wilanda: belanda
Wilmana: kereta, kenderaan

78
Raja Siak

Daftar Pustaka

Claude Guillot dan Ludvik Kalus. 2008. Inskripsi Islam Tertua Di Indonesia.
Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Djamaris, Edwar. 1990. Menggali Khazanah Sastra Melayu klasik. Jakarta:


Balai Pustaka.

Fang. Liaw Yock. 1991. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik . Jakarta: Erlangga.

Hooykas, C. 1951. Perintis Sastra, Groningen, Djakarta: Wolters. Terdjemahan


Raihoel Amar gl. Datoek Besar.

Katalog Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat Dep. P&k yang disusun oleh
Amir Sutaarga dan kawan-kawan, halaman 243.

Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara. Jilid 4. Perpustakaan Nasional


Republik Indonesia.

Klinkert, H. C. 1902. Maleisch-Nederlandsch Woordenboek, E. J. Brill. Leiden.

Robson, S. O. 1994. Prinsip-prinsip Filologi Indonesia.

Teuku Iskandar, DR. 1970. Kamus Dewan. Kuala Lumpur. Dewan Bahasa dan
Pustaka Kementerian Pelajaran.

Winstedt, R.O. 1969. A History of classical Malay Literature. London: oxford


Univ. Press.

79
Raja Siak

Lampiran Foto Naskah Syair Raja Siak

Halaman Cover Naskah Syair Raja Siak

Halaman Awal Naskah Syair Raja Siak

80
Raja Siak

Halaman Tengah Naskah Syair Raja Siak

Halaman Akhir Naskah Syair Raja Siak

81

Anda mungkin juga menyukai