Anda di halaman 1dari 112

Saduran

Hikayat Langlang Buana


(ML. 20)

Adinda Lestari
Didik Purwanto

PerpusQDV3UHVV
20
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
Data Katalog dalam Terbitan (KDT)

Hikayat Langlang Buana: ML.20


Saduran/ oleh Adinda Lestari & Didik Purwanto
Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2019
110 hlm. ; 16 x 23 cm,--(Seri Naskah Kuno Nusantara)
1. Manuskrip. I. Adinda Lestari, Didik Purwanto.
II. Perpustakaan Nasional. III. Seri
E-ISBN: 978-623-7871-10-1 (pdf)

Editor Isi & Bahasa


Tim Editor

Perancang Sampul
Irma Rachmawati

Tata Letak Buku


Yanri Roslana

Diterbitkan oleh
Perpusnas Press, anggota Ikapi
Jl. Salemba Raya 28 A, Jakarta 10430
Telp: (021) 3922749 eks.429
Fax: 021-3103554
Email: press@perpusnas.go.id
Website: http://press.perpusnas.go.id
perpusnas.press
perpusnas.press
@perpusnas_press
Sambutan

UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, mendefinisikan naskah


kuno sebagai dokumen tertulis yang tidak dicetak atau tidak diperbanyak
dengan cara lain, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri yang
berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, dan yang mempunyai nilai
penting bagi kebudayaan nasional, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Dibanding
benda cagar budaya lainnya, naskah kuno memang lebih rentan rusak, baik
akibat kelembapan udara dan air (high humidity and water), dirusak binatang
pengerat (harmful insects, rats, and rodents), ketidakpedulian, bencana alam,
kebakaran, pencurian, maupun karena diperjual-belikan oleh khalayak umum.
Naskah kuno mengandung berbagai informasi penting yang harus
diungkap dan disampaikan kepada masyarakat. Tetapi, naskah kuno yang ada
di Nusantara biasanya ditulis dalam aksara non-Latin dan bahasa daerah atau
bahasa Asing (Arab, Cina, Sanskerta, Belanda, Inggris, Portugis, Prancis).
Hal ini menjadi kesulitan tersendiri dalam memahami naskah. Salah satu
cara untuk mengungkap dan menyampaikan informasi yang terkandung di
dalam naskah kepada masyarakat adalah melalui penelitian filologi. Saat ini
penelitian naskah kuno masih sangat minim.
Sejalan dengan rencana strategis Perpustakaan Nasional untuk
menjalankan fungsinya sebagai perpustakaan pusat penelitian juga pusat
pelestarian pernaskahan Nusantara, maka kegiatan alih aksara, alih bahasa,
saduran dan kajian naskah kuno berbasis kompetisi perlu dilakukan sebagai
upaya akselerasi percepatan penelitian naskah kuno yang berkualitas,
memenuhi standar penelitian filologis, serta mudah diakses oleh masyarakat.
Dengan demikian, Perpustakaan Nasional menjadi lembaga yang berkontribusi
besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia, khususnya di
bidang pernaskahan.
Kegiatan ini wajib dilaksanakan Perpustakaan Nasional, karena
merupakan amanat Undang-Undang No.43 tahun 2007 Pasal 7 ayat 1 butir
d yang mewajibkan Pemerintah untuk menjamin ketersediaan keragaman

- iii -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

koleksi perpustakaan melalui terjemahan (translasi), alih aksara (transliterasi),


alih suara ke tulisan (transkripsi), dan alih media (transmedia), juga Pasal 7
ayat 1 butir f yang berbunyi “Pemerintah berkewajiban meningkatan kualitas
dan kuantitas koleksi perpustakaan”.
Sejak tahun 2015, seiring dengan peningkatan target dalam indikator
kinerja di Perpustakaan Nasional, kegiatan alih aksara, terjemahan, saduran dan
kajian terus ditingkatkan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Pada tahun
2019, Perpustakaan Nasional menargetkan 150 judul penerbitan bagi hasil-
hasil karya tulis tersebut. Untuk meningkatkan kuantitas sekaligus kualitas
hasil penelitian filologis, maka kegiatan Alih Aksara, Alih Bahasa, Saduran,
dan Kajian Naskah Kuno Nusantara Berbasis Kompetisi ini dilakukan.
Kegiatan ini dapat terlaksana berkat kontribusi karya para filolog dan
sastrawan. Oleh karena itu, Perpustakaan Nasional mengucapkan terima
kasih sebanyak-banyaknya kepada para filolog dan sastrawan yang telah
mengirimkan karya-karya terbaiknya. Secara khusus, Perpustakaan Nasional
juga mengucapkan terima kasih kepada Masyarakat Pernaskahan Nusantara
(Manassa) yang sejak awal terlibat dalam proses panjang seleksi naskah,
penyuntingan, proofreading, sampai buku ini dapat terbit dan dibaca oleh
masyarakat.
Besar harapan kami semoga fasilitasi terhadap karya tulis Alih Aksara,
Alih Bahasa, Saduran, dan Kajian Naskah Nusantara Berbasis Kompetisi ini
dapat meningkatkan kualitas penerbitan dan mendapatkan apresiasi positif
dari masyarakat, serta bermanfaat dalam upaya menggali kearifan lokal
budaya Indonesia.

Jakarta, 2019

Deputi Bidang Pengembangan Bahan


Pustaka dan Jasa Informasi

ttd

- iv -
Kata Pengantar

Warisan budaya bangsa Indonesia sangat beragam dan mempunyai nilai


yang sangat tinggi, salah satunya adalah warisan budaya tulis yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia. Demi menjaga warisan budaya tulis ini agar tidak
punah ditelan zaman, maka perlu adanya penyelamatan isi atau kandungannya
agar dapat diketahui dan dimanfaatkan oleh generasi penerus.
Perpustakaan Nasional RI sebagai salah satu Lembaga Pemerinah Non
Kementerian mempunyai tugas dan fungsi, salah satunya yaitu melestarikan
karya budaya bangsa yang terkandung dalam naskah kuno. Hal ini sesuai
dengan tugas dan fungsi Perpustakaan Nasional RI seperti yang tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan dan
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Dalam rangka penyelamatan isi yang terkandung dalam karya budaya
bangsa, khususnya yang terkandung dalam karya tulis yang berupa naskah
kuno, Perpustakaan Nasional RI menerbitkan hasil saduran naskah Melayu
yang berjudul Hikayat Langlang Buana (ML.20), Pemilihan naskah ini
didasarkan pada ketersediaannya naskah melayu yang sudah dialihaksarakan
namun belum disadur.
Kegiatan semacam ini sangat diperlukan dan harus tetap terjaga serta
ditingkatkan secara berkesinambungan, mengingat semakin langkanya
masyarakat sekarang yang mampu membaca dan memahami naskah-
naskah Melayu. Semoga dengan terbitnya buku ini, masyarakat akan mudah
mengetahui salah satu peninggalan tulis para leluhur yang sangat tinggi
nilainya. Saran dan tanggapan dari pembaca untuk penyempurnaan buku ini
akan kami terima dengan senang hati.

Jakarta, 2019
Deputi Bidang Pengembangan
Bahan Pustaka dan Jasa Informasi
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Ttd

-v-
Daftar Isi

Sambutan ................................................................................................ iii


Pengantar ................................................................................................ v
Daftar Isi ................................................................................................. vii

Bab I Pendahuluan ........................................................................... 1


A. Latar Belakang ................................................................... 1
B. Tujuan Penyaduran ............................................................. 3
C. Alasan Pemilihan Naskah................................................... 3

Bab II Hasil Saduran........................................................................... 5


A. Deskripsi Naskah ............................................................... 5
B. Ringkasan Cerita ................................................................ 6
C. Saduran ............................................................................... 7

Glosarium ............................................................................................... 93
Daftar Pustaka ....................................................................................... 95
Lampiran ............................................................................................... 97

- vii -
Bab I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Naskah kuno sebagai salah satu peninggalan atau unsur warisan budaya
masa lampau pada dasarnya mengandung nilai yang cukup tinggi dan dapat
memberikan sumbangsih bagi masa depan budaya bangsa. Isi naskah memuat
sejumlah informasi masa lampau yang memperlihatkan buah pikiran, perasaan,
kepercayaan, adat kebiasaan, dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat masa
lampau. Melalui naskah, generasi penerus dapat memperoleh gambaran yang
lebih luas dan jelas mengenai bentuk dan isi kebudayaannya, selain candi,
prasasti, ataupun relief. Selain itu, naskah sebagai bagian dari sastra lama
perlu dikaji karena sangat sedikit individu yang tertarik dengan naskah kuno.
Jika bangsa Indonesia hanya tertarik dengan peninggalan bersejarah yang
berbentuk fisik saja, seperti candi, prasasti, ataupun relief, naskah kuno yang
sudah terbelakang akan semakin terbelakang dan tidak terjamah.
Banyak naskah kuno di Indonesia yang menarik untuk dikaji. Salah
satunya adalah teks sastra Melayu klasik jenis hikayat. Sastra Melayu klasik
dikelompokkan dalam dua golongan, yaitu puisi dan prosa, sedangkan drama
tidak dikenal dalam sastra Melayu klasik. Prosa sastra Melayu klasik lazim
disebut hikayat karena pada umumnya judul prosa Melayu klasik didahului
dengan kata ‘hikayat’. (Edwar Djamari, 1990:12). Hikayat termasuk salah satu
jenis kesastraan Melayu atau prosa lama yang berisi penuh dengan daya khayal
dan fantasi. Ceritanya berkisar pada peristiwa yang terjadi di lingkungan istana
atau kalangan raja. Kata ‘hikayat’ diturunkan dari bahasa Arab yang berarti
cerita (Liaw Yock Fang, 1991:151). Hikayat yang penuh dengan daya khayal
dan fantasi ini, mengantarkan pengarang untuk menyajikan hal-hal yang
indah dan menarik yang disampaikan melalui kisah manusia di lingkungan
istana kerajaan.
Selain itu, hikayat disebut juga dengan cerita pelipur lara. Sesuai dengan
namanya, cerita pelipur lara biasanya menceritakan hal-hal yang indah-indah

-1-
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

dengan tujuan menghibur pendengarnya. Biasanya cerita ini disampaikan dari


mulut ke mulut, dihafalkan oleh tukang cerita/pawang. (Djamaris, 1990:54-
55). Menurut Amin Sweeney dalam Sutrisno, hikayat/cerita pelipur lara
disadur dalam bahasa Melayu dan teks cerita tersebut hanya berbeda dari sastra
hikayat keraton sebagai prosa berirama. Sastra rakyat dihadapkan kepada
sastra hikayat keraton, dengan kata lain sastra rakyat lisan berhadapan dengan
sastra tulis keraton yang disebut hikayat. (Sulastin Sutrisno,1979:87). Dari
alasan-alasan itulah sebabnya disebut cerita pelipur lara dan pada umumnya
cerita pelipur lara diawali dengan kata ‘hikayat’, seperti Hikayat Malin Deman,
Hikayat Malin Dewa, Hikayat Raja Muda, Hikayat Anggun Ci Tunggal,
Hikayat Awang Sulung Merah Muda, Hikayat Raja Budiman, Hikayat Raja
Ambon, Hikayat Langlang Buana, Hikayat Raja Donan,dan Hikayat Terong
Pipit. Di samping itu, ada pula yang tidak didahului kata ‘hikayat’, seperti
cerita Si Umbut Muda dan Sabai Nan Aluih.
Hikayat mulai berkembang dalam masyarakat Melayu setelah kedatangan
agama Islam. Para ulama yang datang menyebarkan ilmu pengetahuan Islam
dan memperkenalkan huruf-huruf Arab untuk dijadikan sebagai aksara untuk
menuliskan teks bahasa Melayu. Setelah datang agama Islam pada abad ke-
13, kita mulai memperoleh sastra tertulis dengan menggunakan huruf Arab
sehingga banyak ditemukan naskah-naskah lama yang bertuliskan huruf Arab.
Hal ini sejalan dengan pendapat Djamaris yang mengatakan bahwa dengan
masuknya agama Islam ke Indonesia setelah pengaruh Hindu, maka sastra
Indonesia lama memasuki zaman baru. Cerita-cerita ditulis dengan huruf Arab
Melayu (Djamaris, 1990:18).
Menurut Djamaris, sastra Indonesia pengaruh Islam dapat digolongkan
menjadi beberapa golongan, yaitu (1) Kisah tentang para nabi, (2) Hikayat
tentang Nabi Muhammad saw, (3) Hikayat tentang pahlawan-pahlawan Islam,
(4) Cerita tentang ajaran dan kepercayaan Islam, (5) Cerita dongeng dan
legenda Islam, dan (6) Cerita mistik atau tasawuf. (Djamaris, 1990: 18).
Dari uraian di atas maka Hikayat Langlang Buana (ML 20) perlu disadur
untuk memudahkan dan memahami suatu karya sastra tanpa menghilangkan
aspek-aspek estetika yang ada dalam karya sumber. Menurut KBBI saduran/
sa·dur·an/ n , hasil menyepuh; sepuhan (emas, perak, dan sebagainya): - emas

-2-
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

itu tahan untuk beberapa bulan; 2 hasil menggubah; gubahan bebas daripada
cerita lain tanpa merusak garis besar cerita: - cerita itu lebih hidup daripada
cerita aslinya; 3 ringkasan; ikhtisar (laporan dan sebagainya).

B. Tujuan Penyaduran
Penerbitan buku yang mengambil bahan dari naskah kuno koleksi
Perpustakaan Nasional RI bertujuan untuk membantu masyarakat pembaca
pada umumnya dan kalangan peneliti khususnya yang tertarik dengan
kebudayaan Nusantara. Perpustakaan Nasional RI memandang perlu untuk
menerbitkan saduran naskah Hikayat Langlang Buana (ML. 20), selain karena
ikut melestarikan warisan budaya nenek moyang, juga karena pada umumnya
cerita pelipur lara seperti hikayat ini memerlukan suatu pemahaman yang
mendalam karena jalan cerita Hikayat ini sangat rumit dan berbelit-belit, untuk
itu perlu adanya saduran yang akan memudahkan dan memahami suatu karya
sastra tanpa menghilangkan aspek-aspek estetika yang ada dalam naskah
tersebut. Buku ini diharapkan dapat membantu pembaca dalam memahami
alur cerita sehingga kandungan isi naskah dapat terbaca dengan terpahami.

C. Alasan Pemilihan Naskah


Pemilihan naskah kuno untuk penerbitan kali ini dengan pertimbangan
bahwa naskah ini adalah naskah Perpustakaan Nasional RI yang tersimpan
di bagian Layanan Koleksi Khusus dan termasuk naskah yang langka serta
kondisinya masih baik dan terbaca jelas selain itu naskah ini hanya naskah
tunggal yang terdapat di Perpustakaan Nasional RI, dan naskah ini belum
pernah disadur secara utuh. Banyak sekali terbitan Perpustakaan Nasional
yang hanya mengalihakasarakan naskah Melayu tetapi belum banyak yang
disadur.

-3-
-4-
Bab II
Hasil Saduran

A. Deskripsi Naskah
Hikayat Langlang Buana merupakan salah satu koleksi naskah Melayu
yang berbentuk Hikayat dari, koleksi naskah kuno yang ada di Perpustakaan
nasional RI. Naskah-naskah yang ada di perpustakaan nasional berjumlah 12
ribuan lebih, dari jumlah itu naskah Melayu berjumlah sekitar 1000 naskah,
Hikayat Langlang Buana merupakan naskah koleksi Bataviaasch Genootschap
(BG) yang merupakan lembaga yang berdiri tahun 1778. Lembaga ini terus
mengumpulkan koleksi kepurbakalaan, etnografi, buku, dan naskah. Setelah
merdeka, lembaga ini kemudian menjadi lembaga kebudayaan Indonesia,
kemudian koleksi naskah ex-BG terus terkelompok sebagai salah satu bagian
dari Museum Pusat yang kemudian dikenal menjadi Museum Nasional
kemudian tahun 1989 koleksi naskah pindah ke Perpusnas.
Naskah ditulis di atas kertas Eropa dengan cap kerta Keferstling 1863 &
Sohn 1863, berukuran 31,5 x 20,5 cm. Penomoran halaman asli menggunakan
angka Arab 1-101. Naskah setebal 101 halaman, masing-masing berisi 20
baris. Naskah dalam keadaan baik, Tulisan naskah secara keseluruhan masih
baik dan jelas terbaca tetapi kondisi kertas sudah sangat lapuk dan mudah
patah dan banyak halaman sudah lepas dari jilidnya dan berlubang dimakan
oleh serangga, untuk sampul naskah sudah lapuk. Kolofon Judul naskah ditulis
pada halaman akhir sanat 1283. Estetika Naskah dalam naskah ini tidak ada
baik iluminasi maupun ilustrasi.
Kepustakaan Naskah Hikayat Langlang Buana dengan kode ML 20
dideskripsikan dalam Catalogus Van Ronkel (1909) dan Katalogus Sutaarga
dkk (1972), serta dicatat dalam Katalog Behrend (1998). Transliterasi Hikayat
Langlang Buana telah dimuat dalam buku Seri Naskah Nusantara no 35 oleh
Mardiono. (Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2018). Hikayat Langlang
Buana telah dianalisis oleh Kusumo Trinurwani dalam Skripsi yang berjudul
“Hikayat Langlang Buana: Suntingan Teks Disertai Tinjauan Alur dan Tokoh”

-5-
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

(Jakarta: FS UI, 1986), dan juga oleh Mohd. Yusuf MD. Nor dalam buku
Hikayat Langlang Buana (Malaysia: Petaling Jaya: Fajar Bakti SDN, BHD,
1991)

B. Ringkasan Cerita
Pada awal cerita mengisahkan ada seorang raja di Keindraan yang
bernama Maharaja Puspa Indra yang mempunyai seorang puteri sangat cantik
parasnya yang bernama Tuan Puteri Kusuma Dewi, ia telah bertunangan
dengan Indra Syahperi anak dari Raja Indra Dewa, barang siapa yang melihat
paras Tuan Puteri Kusuma Dewi maka berahilah ia. Maka banyak raja dan
anak raja yang berahi akan Tuan Puteri Kusuma Dewi tersebut. Oleh maharaja
tuan puteri dibuatkan sebuah mahligai di Padang Belanta Khirani.
Selanjutnya mengisahkan Raja Indra Bimaya, pada suatu saat Indra
Bimaya tertidur dan bermimpi didatangi seorang tua. Dia diperlihatkan gambar
seorang puteri yang cantik jelita yang tak lain adalah Tuan Puteri Kusuma
Dewi. Setelah Indra Bimaya melihat gambar Tuan Puteri Kusuma Dewi, ia
jatuh pingsan. Setelah sadar dari pingsannya Indra Bimaya pun bermohon
kepada ayah bundanya untuk pergi mencari seperti apa yang dilihat dalam
mimpinya.
Dalam perjalanannya untuk mencari seperti apa yang dilihat dalam
mimpinya itu, Raja Indra Bimaya melalui beberapa gunung yang tinggi dan
hutan yang luas-luas. Dia bertemu dengan Sri Maharaja Sakti dan Maharesi
Antakosa, Maharesi Kusuma Candra dan Langlang Buana lalu diajarkan
beberapa ilmu peperangan dan kesaktian.

-6-
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

C. Saduran

Hikayat Langlang Buana


(ML.20)

Hikayat ini diceritakan oleh orang pada zaman dahulu yang menceritakan
seorang raja yang terkenal dengan tahta kerajaan yang sangat mulia dan
sakti tiada tandingannya di dunia ini. Raja-raja mana pun takluk kepadanya.
Derajatnya sangat tinggi lagi mulia. Di dalam istananya tidak kekurangan
dayang-dayang, inang pengasuhnya yang masih gadis, dan lengkap dengan
kendil/periuk, tanglung/lampion (lentera dari kertas), serta pelita (lampu
dengan bahan bakar minyak). Demikianlah kebesaran Maharaja Puspa Indra.
Maharaja Puspa Indra memiliki seorang anak perempuan yang sangat
cantik. Warna tubuhnya seperti emas yang bercahaya. Ayah bundanya
menamainyaTuan Puteri Kusuma Dewi. Kemudian, Maharaja Puspa Indra
menyuruh orang membuat mahligai di tengah Padang Belanta Khirani
yang bersinarkan cahaya. Padang Belanta Khirani yaitu tempat dewa-dewa
bercengkrama dan tempat para mambang (makhluk halus).
Diceritakan oleh yang punya cerita bahwa siapa pun raja-raja yang
datang ke Padang Belanta Khirani dan melihat gambar Tuan Puteri, seketika
ia menjadi jatuh cinta padanya. Ada empat puluh raja yang meminang Tuan
Puteri, namun tidak seorang pun yang diterima oleh Raja Puspa Indra.
Kemudian, tuan putri bertunangan dengan anak Raja Indra Dewa, saudara
sepupu dengan permaisuri Indra Maharupa yang sangat elok parasnya. Jika
ia berjalan siang hari, seperti matahari akan terbit. Jik ia berjalan malam hari,
seperti bulan purnama empat belas hari bulan. Demikianlah rupanya anak raja
itu. Ayah bundanya menamainya Raja Indra Syahperi.
Dikisahkan ada seorang raja yang besar kerajaannya. Negerinya bernama
Lela Gembira. Raja ini memiliki tiga saudara.Yang tua tinggal di kerajaan
Negeri Lela Gembira dan dipimpin oleh raja bernama Puspa Indrakoca
sedangkan yang tengah tinggal di kerajaan di Negeri Jawa.

-7-
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Setelah beberapa lama baginda memimpin tahta kerajaan, ia sangat


bahagia dapat makan dan minum dengan para menteri dan hulu balang serta
rakyatnya. Suatu malam baginda bermimpi didatangi orang tua miskin dan
berkata,“Hai Raja Puspa Indrakoca, bangunlah,Tuan, esok hari engkau pergi
berburu. Jika engkau bertemu dengan serumpun bunga malar, ambillah! Itulah
kelak akan menjadi anak laki-laki yang gagah berani dan anakmu kelak akan
menjadi raja keempat alam ini.”
Setelah itu, baginda pun bangun dan menceritakan mimpinya itu kepada
permaisuri. Pada siang hari baginda pun memanggil para punggawa dan
menteri lalu bertitah,“Hai perdana menteri, bersiap-siaplah engkau esok hari
karena aku akan pergi berburu.”
Setelah perdana menteri itu mendengar titah baginda, ia pun
mempersiapkan segala alat berburu. Pagi hari baginda beserta punggawa dan
menteri pun berangkat berburu diiringi rakyat dan bunyi-bunyian. Ketika di
dalam hutan, baginda berburu.Banyak hasil perburuan yang didapat. Setelah
itu, baginda menemukan serumpun bunga malar lalu diambilnya. Ia pun
kembali ke istana dengan sangat bahagia lalu duduk bersuka ria dengan seisi
istananya.
Tidak berapa lama setelah baginda berburu, permaisuri pun hamil.
Setelah baginda mengetahui bahwa permaisuri telah hamil, baginda sangat
bahagia dan menyuruh orang memalu bunyi-bunyian.Baginda duduk makan
dan minum dengan para menteri, hulu balang, rakyat, dan memberi dirham
kepada fakir dan miskin. Mereka menjadi kaya karena pemberian dari baginda.
Setelah genap bulannya, lahirlah seorang anak laki-laki yang baik
rupanya, seperti zamrud yang hijau. Warna tubuhnya berkilauan dan parasnya
sangat rupawan. Lalu, didatangkanlah seratus tujuh puluh dayang-dayang
inang pengasuh, selain dari biti-biti perwara (gadis pengiring aja/permaisuri).
Kemudian, baginda menamainya Indra Bimaya.Tak terasa Raja Indra Bimaya
sudah besar dan semakin elok parasnya, berbudi bahasa baik, berwajah manis,
dan ringan tangan kepada sahabat dan keluarganya serta bijaksana. Raja Indra
Bimaya sangat mahir dalam permainan. Selain itu, hikmat perang pun ia
ketahui. Dalam kesehariannya ia bermain dengan anak raja-raja yang muda-
muda dan ia tidak bisa dikalahkan.

-8-
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Tersebutlah perkataan peri yang berada di Gunung Mulia. Di sana ada


seorang nenek yang sakit hati karena cucunya diambil baginda untuk dijadikan
inang pengasuhTuan Puteri Kusuma Dewi. Ia pergi ke Padang Belanta Khirani.
Ketika itu, Raja Indra Bimaya tidur dan baginda pun bermimpi dibawa oleh
seorang perempuan tua naik Keindraan lalu dibawanya ke mahligai tempat
gambar Tuan Puteri Kusuma Dewi dan berkata,“Hai cucuku, inilah Puteri
Kusuma Dewi, anak Maharaja Puspa Indra Keindraan, baginda itu cucu
Langlang Buana.”
Setelah Raja Indra Bimaya melihat gambar itu, ia pun pingsan. Para inang
pengasuh Raja Indra Bimaya pun pergi menemui Raja Indrakoca. Baginda pun
terkejut lalu segera pergi ke istana. Beberapa kali digerakkan oleh baginda, ia
tidak juga bangun. Maharaja Indrakoca pun sangat sedih melihatnya. Lalu,
baginda menyuruh memanggil ahli nujum (peramal) dan tabib.
“Hai sekalian nujum, lihatlah di dalam penerawangan kamu, apa yang
terjadi dengan anakku?” titah baginda.
Setelah nujum mendengar titah baginda, mereka pun menyembah dan
berkata,“Ya tuanku Syah Alam, anak baginda terlalu bahagia mendapatkan
kerajaan yang besar.Dewa-dewa, mambang, jin, dan peri takluk padanya.”
Setelah genap tujuh hari tujuh malam Raja Indra Bimaya pingsan,baginda
pun sadar. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Maharaja Indrakoca berkata,”Hai
anakku, mengapa engkau pingsan begitu lama?”
Maka sembah Raja Indra Bimaya,“Ya tuanku, aku melihat tempat itu
sangat indah.”
Setelah itu, Maharaja Indrakoca berangkat kembali ke istananya.
Kemudian, Raja Indra Bimaya sangat berahi (jatuh cinta) melihat gambar
itu. Ia tidak makan, tidak minum, dan tidak tidur. Raja Indra Bimaya pun
menemui baginda,“Ya tuanku Syah Alam, aku mohon ampun dan izinkanlah
aku pergi esok hari.”
“Mengapa kamu akan pergi meninggalkan ayah bunda? Jika kamu mau
beristeri, katakan kepada ayah bunda, anak raja mana, anak tumenggung mana,
dan anak demang mana yang kamu kehendaki supaya ayah bunda pinangkan
untukmu. Janganlah kamu meninggalkan ayah bunda!”

-9-
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

“Janganlah ayah bersedih. Biarlah aku cari sendiri Tuan Puteri yang
pernah aku lihat itu,” kata Raja Indra Bimaya.
Setelah itu, Raja Indra Bimaya kembali ke istananya lalu masuk ke dalam
kamar untuk tidur. Namun, matanya tidak juga terpejam. Ia teringat gambar
Tuan Puteri Kusuma Dewi. Keesokan pagi, Raja Indra Bimaya pergi mencari
Tuan Puteri Kusuma Dewi.
Dikisahkan bahwa Raja Indra Bimaya berjalan melewati gunung-gunung
yang tinggi dan besar, padang yang luas, dan bertemu dengan segala binatang
buas, seperti harimau dan ular yang besar-besar di dalam hutan. Binatang-
binatang itu menundukkan kepalanya, seperti orang memberi hormat kepada
Raja Indra Bimaya.
Setelah beberapa hari baginda di dalam hutan itu, baginda pun bertemu
dengan sebuah gunung yang sangat tinggi dan besar lagi indah rupanya. Ketika
sampai di kaki gunung, ia bertemu dengan seorang nenek tua.
“Hai orang muda dari mana kamu berasal dan anak siapa kamu ini?”
“Nenekku, hamba tersesat dan tidak tahu jalan.”
“Apa maksud cucuku sampai kemari?Siapa namamu?”
“Nenek, aku Raja Indra Bimaya dan ayah bundaku adalah Raja Indrakoca
dari negeri Lela Gembira.”
Ceritalah Raja Indra Bimaya kepada nenek tua itu. Kemudian, nenek
tua itu mengatakan bahwa Puteri Kusuma Dewi sudah bertunangan dengan
Raja Indra Syahperi. Akan tetapi, jika ia ingin bertemu Puteri Kusuma Dewi,
ia harus menemui Sri Maharaja Sakti karena baginda itu anak Maharaja
Mangindra Dewa.
“Ya nenekku, di manakah tempat baginda itu?” tanya Raja Indra Bimaya.
“Jika engkau ingin menemui Sri Maharaja Sakti, bawalah aku ke atas
gunung ini karena di sana ada seorang maharaja bertapa bernama Maharesi
Antakosa. Ia sangat sakti, bergurulah kepadanya. Ada satu geliga (batu
hikmat), jika engkau ingin mengubah dirimu menjadi sesuatu atau ingin
menjadi bunga malar sebarang maka sebutlah namaku dan engkau akan
berubah sesuai keinginanmu.”

- 10 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Maka geliga itu diambil oleh Raja Indra Bimaya lalu dikenakannya dan
bertanya pula baginda,“Nenek, apakah nama gunung ini?”
“Inilah Gunung Indra Maharupa.”
Kemudian, Raja Indra Bimaya dan orang tua itu naik ke gunung yang
sangat indah. Ketika sampai, terlihat Maharesi Antakosa sedang duduk dengan
murid-muridnya.
“Naiklah,” kata Maharesi Antakosa.
Raja Indra Bimaya dan maharesi pun menuju ke balai.
“Tuan hendak ke mana dan ada perlu apa datang ke sini?” tanya Maharesi
Antakosa.
“Aku hanya ingin bertemu Tuan.” Lalu, diceritakanlah masalahnya
kepada maharesi.
“Hai anakku, jika kamu ingin memperistri Kusuma Dewi, temuilah
Maharesi Kesna Candra.”
“Di manakah tempatnya maharesi itu?”
“Temui Maharesi Kesna Candra di matahari mati.Namun, jika engkau
bertemu dengan suatu rumah yang ada kembang hijau kemudian menjadi
seorang perempuan tua lalu ia berubah menjadi seorang muda yang cantik,
engkau jangan teringat akan Putri Kusuma Dewi. Jika engkau teringat,
keinginan Tuan tidak akan tercapai. Selanjutnya, engkau akan menghadapi
perang dan setelahnya akan memperoleh kemenangan.” Kemudian, baginda
pun berjalan menuju matahari mati.
Dikisahkan Raja Indra Bimaya bertemu dengan Tuan Puteri Candralela
Nurlela di padang Anta Beranta. Padang itu sangat indah. Lalu, Raja Indra
Bimaya berjalan di tengah padang itu dan menemukan serumpun bunga malar
yang sangat harum dan bunga itu berkata,“Selamat datang Tuanku Raja Indra
Bimaya.”
“Ajaib sekali padang ini, bunganya pandai menegur kita,” kata Raja
Indra Bimaya.

- 11 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Diambilnya oleh baginda bunga itu dan ia teringatTuan PuteriKusuma


Dewi. Meneteslah air matanya lalu bunga itu dibuang. Bunga itu pun tertawa
dan berubah menjadi seekor burung bayan yang hinggap pada pohon delima
dan berpantun:

Hayat cerai di tengah harung


Dibawa ombak di tepi kota
Jangan kami disangka burung
Sungguh pun burung pandai berkata

Raja Indra Bimaya heran mendengar pantun bayan. Ketikabaginda


bermain di padang itu, ia melihat seekor kumbang hijau yang indah lalu ia
mendapati sebuah rumah yang di dalamnya ada seorang tua bongkok yang
berubah menjadi seorang perempuan muda. Baginda berkata di dalam
hatinya,“Inilah yang dikatakan oleh Maharesi Antakosa itu.”
“Hai orang muda, mau pergi ke mana? Padang ini sudah menjadi laut.
Jika engkau menjadi burung sekalipun, tidak akan bisa keluar dari padang
ini.”
“Hai perempuan, berkatalah yang benar. Jika engkau tidak berkata benar,
engkau kubunuh sekarang juga.”
“Hai orang muda, aku ini anak Raja Candra dan namaku adalah Tuan
Puteri Candralela.”
“Hai saudaraku, hari ini engkau adalah saudara dunia akhiratku.”
“Aku pun demikian. Saudaraku, ada gemala (batu bercahaya yang
mengandung kesaktian) hikmat dari nenekku. Jika engkau ingin menurunkan
hujan, menginginkan beribu-ribu rakyat, atau berjalan di dalam laut,sebutlah
namaku maka keluarlah empat jin di dalam hikmat ini,” kata Tuan Puteri
Candralela.
Tersebutlah perkataan Raja Johan Syahperi, tunangan Tuan Puteri
Candralela Nurlela di Negeri Perdana Kilat. Pada suatu hari ia pergi berburu
dan dilihat oleh baginda dari atas gunung itu ada suatu mahligai di tengah

- 12 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

padang itu dan di dalamnya ada puteri yang bernama Candralela Nurlela
duduk dengan seorang laki-laki yang elok parasnya dan sikapnya. Raja Johan
Syahperi pun marah lalu segera turun dari atas gunung ke tengah Padang Anta
Beranta dengan bala tentara jin dan dewa-dewa.
“Hai saudaraku, darimana rakyat ini datang?” kata Raja Indra Bimaya.
“Inilah rakyat Raja Johan Syahperi, lawanlah!” kata Tuan Puteri.
Rakyat Johan Syahperi pun datang ke mahligai Tuan Puteri lalu baginda
menitahkan empat orang hulu balangnya.
“Hai laki-laki yang di atas mahligai, turun dan berperanglah dengan raja
kami. Mengapa engkau berlindung di atas mahligai itu?”
“Hai saudaraku, segeralah engkau lawan Raja Johan Syahperi,” kata
Raja Indra Bimaya kepada jin.
Raja jin itu menyembah lalu turun berperang dengan rakyat Raja Johan
Syahperi. Rakyat Raja johan Syahperi banyak yang mati. Baginda pun marah
dan berkata,”Jika demikian, besok aku akan keluar berperang.”
“Raja Johan Syahperi rupanya ingin berperang esok hari,” kata Raja
Indra Bimaya kepada Tuan Putri.
“Marilah kita ke medan perang. Mengapa engkau berlindung kepada jin
gemala hikmat itu? Apakah kau takut dengan raja kami?” seru segala hulu
balang jin.
Setelah didengar oleh Raja Indra Bimaya kata hulu balang Raja Johan
itu, baginda pun tersenyum dan berkata,“Hai saudaraku, dengarlah kata hulu
balang itu, Raja Johan itu memanggilku.”
“Engkau jangan berperang, biarlah hulu balang jin itu melawan Raja
Johan Syahperi karena engkau belum biasa berperang dengan jin,” kata Tuan
Puteri.
“Serahkan saja kepada Tuhan,” kata baginda tersenyum.
Selanjutnya, gendang perang pun dipalu kedua pihak, Raja Indra Bimaya
mengeluarkan geliga (batu hikmat) yang diberikan Maharesi Antakosa

- 13 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

kemudian keluarlah empat jin dengan segala senjatanya dan seekor kuda hijau
lalu baginda naik dan menuju ke tengah Padang Anta Beranta. Perang pun
dimulai. Mereka sangat kuat dan tidak ada yang mau mengalah/menyerah.
Perang itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam tiada henti.
Tersebutlah perkataan Maharesi Antakosa di Gunung Indra Maharupa.
Pada suatu hari baginda duduk dihadapan maharesi dan jogi(pertapa hindu).
Baginda pun tersadar akan Raja Indra Bimaya. Ia pun tahu Raja Indra Bimaya
itu berperang dan datang ke Padang Anta Beranta ditemani maharesi.
“Apa sebabnya engkau berperang?” tanya Maharesi Antakosa.
Raja Indra Bimaya meneritakan segalanya. Kemudian, Maharesi Antakosa
menceritakan perihal Raja Indra Bimaya kepada Raja Johan Syahperi. Setelah
didengar oleh baginda, Raja Johan Syahperi pun sangat senang.
Setelah itu, Maharesi Antakosa pun mohon pamit kepada Raja Johan
Syahperi lalu kembali kepada Raja Indra Bimaya. Maharesi Antakosa
membawa baginda kembali ke mahligai Tuan Puteri Candaralela Nurlela lalu
duduk makan dan minum dengan Maharesi Antakosa. Seketika itu, datanglah
pesuruhnya Raja Johan Syahperi, yaitu empat orang anak raja dan empat
orang anak menteri kepada Raja Indra Bimaya.
“Silakan duduk, saudaraku. Ada apa kalian datang ke sini?” tanya Raja
Indra Bimaya.
“Aku datang disuruh oleh paduka kakanda Johan Syahperi. Ia minta
maaf dan mempersilakan engkau menemuinya.”
“Hai anakku, marilah kita pergi menghadap Raja Johan Syahperi,” kata
Maharesi Antakosa.
Kemudian, baginda Raja Indra Bimaya dan Maharesi Antakosa pun
mengambil pakaian yang bagus. Mereka pergi ke istana Raja Johan Syahperi.
Sesampainya di sana, mereka memberi salam kepada Raja Johan Syahperi.
Mereka duduk bersama-sama di atas kursi yang keemasan dengan raja-raja,
menteri, hulu balang, dan rakyat. Raja Johan Syahperi menjamu mereka
dengan segala hidangan, makanan, minuman, dan buah-buahan. Bunyi-
bunyian, seperti rebab, kecapi, dandi, muri, bangsi, kopok, dan ceracap pun
ditabuh.
“Hai saudaraku, janganlah engkau bersedih. Selagi ada umur, aku akan
menolongmu walau harus binasa sekalipun.”
“Hai saudaraku, katakanlah yang sebenarnya!” kata Raja Indra Bimaya.

- 14 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

“Hai anakku, segeralah engkau kerjakan seperti kata tuanku itu,” kata
Maharesi Antakosa.
“Adapun perkerjaan saudara itu mudah-mudahan bisa aku laksanakan,”
kata Raja Indra Bimaya.
Setelah Raja Johan Syahperi mendengar kata Raja Indra Bimaya, baginda
pun sangat senang, kemudian, Raja Indra Bimaya mohon pamit kepada Raja
Johan Syahperi untuk kembali ke mahligaiTuan Puteri. Sesampainya di sana,
ia menceritakan pertemuannya dengan Raja Johan Syahperi. Setelah Tuan
Puteri mendengar kata Raja Indra Bimaya itu, maka Tuan Puteri pun berpikir
di dalam hatinya,”Baiklah juga aku menuruti kata Raja Indra Bimaya ini
karena aku pun tidak punya ibu dan bapak.”
Setelah itu, maka Raja Indra Bimaya pun menemui Raja Johan Syahperi.
“Hai saudaraku, bersiap-siaplah untuk esok hari memulai pekerjaan,”
kata Raja Indra Bimaya.
Setelah didengar oleh Raja Johan Syahperi itu, maka ia pun sangat
senang seraya menyuruh memalu bunyi-bunyian kepada segala jin.
Setelah itu, Raja Indra Bimaya kembali ke mahligai Tuan Puteri
mengeluarkan gemala hikmat itu lalu keluarlah jin dan beribu-ribu peri. Lalu,
jadilah sebuah negeri lengkap dengan isinya.
Setelah genap empat puluh hari dan empat puluh malam, kerajaan Raja
Johan Syahperi pun dihiasi dengan segala perhiasan. Perarakan (kereta)
baginda pun dihias sangat indah. Saf shalat ain al-banat dan dewangga pun
dihiasi warna keemasan. Setelah selesai menghias perarakan itu, Raja Indra
Bimaya pun memecut kudanya dan meminta masyarakat memalu bunyi-
bunyian. Kemudian, Raja Johan Syahperi pun naik ke atas perarakan itu
dan terbukalah payung intan berwarna merah berhiaskan mutiara. Karena
terlalu ramainya waktu itu maka berdirilah jogan (tombak kebesaran raja),
tunggul/tonggak, panji-panji berumbai keemasan, intan sehingga perarakan
Raja Johan Syahperi itu bergeser hingga ke mahligai Tuan Puteri Candralela
Nurlela. Tuan Puteri pun terlihat memakai pakaian yang indah.

- 15 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Setelah genap tujuh hari, perarakan Raja Johan Syahperi sampai ke


mahligai Tuan Puteri. Raja Indra Bimaya dan Maharesi Antakosa pun
memegang tangan Raja Johan Syahperi lalu dibawanya naik ke mahligai Tuan
Puteri Candralela Nurlela. Kemudian, beras kunyit itu pun dihamburkan.
Setelah itu, dibawa oleh Raja Indra Bimaya naik ke atas Puspa Panjangan,
duduk dekat Tuan Puteri.
Selanjutnya, Raja Indra Bimaya dan Maharesi Antakosa pun keluar lalu
duduk makan dan minum dengan raja-raja, menteri, hulu balang, dan rakyat.
Setelah selesai pekerjaannya itu, Maharesi Antakosa pamit kepada Raja Indra
Bimaya dan Raja Johan Syahperi kembali ke Gunung Indra Maharupa.
Sepeninggal Maharesi Antakosa, Raja Indra Bimaya pun berkata kepada
Raja Syahperi,“Hai saudaraku, hamba hendak pamit pergi menghadap Sri
Maharaja Sakti. Jika ada rasa kasih saudaraku pada hamba, tunjukkanlah
keberadaan Sri Maharaja Sakti itu karena tempatnya itu terlalu sukar ditemukan
dan banyak raja-raja hendak pergi ke sana, tetapi tidak sampai.”
“Hai saudaraku, jikalau tuanku hendak pergi menghadap Sri Maharaja
Sakti, ambilah geliga(batu hikmat) hamba ini. Kekuatan geliga(batu hikmat)
ini adalah jika orang sudah mati atau hancur menjadi abu, engkau rendam
geliga(batu hikmat) lalu siramkan pada tubuh orang itu, niscaya ia hidup
kembali dan jikalau engkau hendak berjalan di dalam laut, sebutlah namaku.”
Selanjutnya, beberapa isyarat diajarkan oleh Raja Johan kepada baginda
Raja Indra Bimaya.
“Hai saudaraku, ada suatu panah kuda di nenekku itu. Ambilah olehmu.
Anak panah itu berasal dari jin. Jika engkau ingin sesuatu, panahkan anak
panah ini. Jikalau perjalanan tujuh ratus tahun sekalipun, dengan sekejap mata
juga sampai dan jikalau engkau melalui gunung api, engkau sebutlah nama
Raja Garuda tujuh kepalanya.”
Geliga(batu hikmat) dan anak panah itu pun diambil oleh Raja Indra
Bimaya dengan senang hati. Kemudian, baginda pun pamit kepada Raja Johan
Syahperi dan Tuan Puteri Candralela Nurlela menangis. Raja Johan Syahperi
pun berkata,“Hai saudaraku, jikalau ada suatu persoalan, panggil aku supaya
aku datang menemuimu.”

- 16 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Selanjutnya, Raja Indra Bimaya pun pamit kepada Raja Johan Syahperi
lalu berjalan menuju matahari mati. Tidak lama berjalan, baginda bertemu
dengan suatu padang yang sangat luas dan suatu tasik yang terlihat seperti laut
dari kejauhan. Ia pun berkata dalam hati,“Laut mana gerangan ini?” Setelah
ia berpikir demikian, baginda pun berjalan menuju tasik itu. Setelah sampai
ke tasik itu, ia melihat tasik itu berombak-ombak. Pada tasik itu ada beberapa
pohon bunga-bungaan dan buah-buahan anggur dan kurma, sekalian menegur
baginda, katanya,“Tuanku Raja Indra Bimaya, baru sekarang kita bertemu.”
Melihat air di hulu tasik itu airnya manis, baginda pun bermain-main
di tepi tasik itu. Seketika angin bertiup, tasik pun berombak-ombak lalu
muncullah seekor ikan emas sangat indah, katanya,“Tuanku Raja Indra
Bimaya, baru sekarang kita bertemu.”
“Heran sekali aku melihat ikan di tasik ini pandai berkata, menegur kita
serta ia berpantun:

Geliga (batu hikmat) di dalam puan


Pakaian anak raja mandi
Ilangkan payah gerangan tuan
Adinda di mana akan dicari”

Raja Indra Bimaya pun berpantun pula:

Segara di laut garsik


Di pantai ombaknya berderai
Jikalau cerdik barang bicara
Segeralah juga akan mencari

Diceritakan bahwa di dalam tasik itu ada seorang peri terlalu besar
kerajaannya bernama Raja Bahrum Dewa. Raja itu memiliki seorang anak
perempuan yang sangat cantik parasnya. Beberapa anak raja dan mambang,
dewa-dewa hendak meminang Tuan Puteri itu, namun baginda menolaknya
karena baginda itu berasal dari anak cucu Batara Gangga masyhur. Anak

- 17 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

perempuan itu dinamai Tuan Puteri Mandu Ratna. Ketika berumur empat
belas tahun, parasnya semakin cantik. Tak jemu mata memandang.
Ketika Raja Indra Bimaya bermain-main di tepi tasik, baginda pun
berhenti di bawah pohon beringin lalu hendak tidur. Seketika peri penunggu
pintu tasik itu pun datang menghampirinya. Baginda pun terkejut dan
berkata,“Hai orang tua, kamu siapa dan apa nama tasik ini?”
“Hai orang muda,aku ini peri menunggu tasik ini, siapa engkau dan
bangsa mana? Apa maksud tuan datang ke sini?”
“Hai nenekku, aku ini bangsa manusia dan namaku Raja Indra Bimaya.
Ayah bundaku Raja Maharaja Indrakoca dan nama negeri hamba Lela
Gembira,” jawab Raja Indra Bimaya.Lalu, diceritakanlah segala persoalannya
kepada peri itu.
“Hai cucuku, marilah ke rumah nenek barang sehari dua hari.”
“Baiklah,” kata Raja Indra Bimaya.
Baginda pun dibawa ke rumahnya. Setelah sampai ke rumah peri itu,
ia dijamu makan dan minum. Setelah itu, Raja Indra Bimaya berkata,“Ya
nenekku, siapa pemilik taman ini?”
“Inilah taman anak Raja Bahrum Dewa. Anaknya bernama Tuan Puteri
Mandu Ratna.”
“Bolehkah aku melihat Tuan Puteri itu?” tanya Raja Indra Bimaya.
“Jika engkau ingin melihat Tuan Puteri itu, nantilah ketika ia datang ke
taman ini.”
“Kapan ia mandi ke taman ini?”
“Tiga hari lagi ia akan mandi di sini.”
Diceritakan pada saat malam, Tuan Puteri Mandu Ratna Dewi duduk
dihadap oleh dayang-dayang, inang pengasuhnya. Mereka saling menceritakan
mimpi mereka dan bersenda gurau.
“Tuan Putri ingin bersuamikah?”

- 18 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Tuan Puteri pun memalingkan wajahnya dan tersenyum,“Hai Inangda,


besok kita pergi ke taman, mandi, berbedak, dan berlangir.”
Keesokan harinyaTuan Puteri dan dayang-dayang pergi ke taman. Setelah
dilihat oleh penunggu tasik bahwaTuan Puteri datang, katanya,“Hai cucuku,
itulah Tuan Puteri Mandu Ratna datang, pergilah engkau bersembunyi di
tempat yang sunyi.”
Setelah itu, Tuan Puteri datang dengan dayang-dayang, inang
pengasuhnya dan berseru,“Adakah nenekku di rumah?”
Tuan Puteri mendapati rumah nenek seperti ada yang menempati
sebelumnya. Tempat tidur untuknya beristirahat, seperti telah ditiduri
seseorang. Tuan Puteri pun berhias dan dilihat oleh Raja Indra Bimaya.
Baginda pun berahilah di dalam hatinya. Lalu, Tuan Puteri pergi mandi
ditemani dayang-dayang dan inang pengasuhnya sementara Raja Indra Bimaya
turun berjalan di tepi kolam itu dan tidak ada seorang pun yang melihatnya.
Raja Indra Bimaya pun berlindung di bawah pohon kemuning dan menjadikan
dirinya seekor burung bayan yang sangat indah rupanya lalu berkicau dengan
suara yang sangat merdu.
Tuan Puteri mendengar suara burung bayan itu lalu memandang ke atas
pohon kemuning. Dilihatnya seekor burung bayan yang sangat indah rupanya
dan ia meminta kepada inangda,“Tangkapkanlah bayan itu.”Inangda pun
segera naik menangkap bayan itu, namun bayan itu terbang ke atas puncak
kemuning.
“Hamba tidak dapat menangkap bayan ini,” kata inangda.
Tuan Puteri pun meminta kepada dayang-dayang agar menangkap bayan
itu, namun tetap tidak bisa karena bayan itu sangat lincah.
Tuan Puteri pun tersenyum dan naik dengan kain basahnya. Seketika
bayan itu pun hinggap di tangan Tuan Puteri. Betapa bahagia Tuan Puteri
mendapatkan bayan. Ia memberikan bayan itu kepada inangda. Kemudian,
Tuan Puteri ganti baju lalu pulang ke rumah peri itu. Setelah sampai di rumah
peri itu, peri itu berkata,”Di manakah Tuan Puteri memperoleh bayan ini?”
“Bayan ini ada di pohon kemuning,” jawabnya. Kemudian, ia berpantun:

- 19 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Buah pauh buah rumbaya


Santapan puteri dini hari
Sungguh pun jauh tanah manusia
Segeralah kami mendapatkan dia

Setelah itu, Tuan Puteri tersenyum dan berkata,“Hai bayan, dari mana
engkau datang?”
“Dari Negeri Lela Gembira.”
“Hai bayan, apakah tuanmu akan datang ke sini?”
“Ya,Tuan Puteri, Raja Indra Bimaya itu akan datang.”
Kemudian, Tuan Puteri kembali ke mahligainya membawa bayan itu.
Bayan itu dibuatkan sangkar yang sangat indah. Seketika itu bayan itu pun
menjadi nuri yang terbang ke pangkuanTuan Puteri itu dan berpantun:

Pergi ke padang membakar puan


Ikat timba bertali-tali
Datang dagang menghadap tuan
Minta perhamba sekali-kali

“Hai nuri, di manakah Raja Indra Bimaya itu sekarang?”


“Tuan Puteri, baginda itu hampir datang ke negeri ini.”
“Dapatkah engkau tunjukkan padaku rupanya Raja Indra Bimaya itu?”
“Ya,Tuan Puteri.”
Nuri itu pun bersandar di dada Tuan Puteri dengan sayapnya, lalu
terlihatlah rupa raja Indra Bimaya itu kepada Tuan Puteri. Seketika itu, nuri
menjadi rangkaian bunga yang sangat indah. Tuan Puteri terkejut. Kemudian,
Tuan Puteri mengambil bunga itu dan menciumnya. Seketika bunga itu
berubah menjadi Raja Indra Bimaya.Tuan Puteri pun terkejut. Ia malu-malu
dan segera berpaling. Baginda tersenyum seraya memegang tangan Tuan
Puteri dan berkata,“Mau ke mana Tuan Puteri?Apakah Tuan Puteri tidak suka
berteman dengan orang Lela Gembira ini?”

- 20 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Tuan Puteri pun berpaling seraya menepiskan tangan Raja Indra Bimaya.
Baginda pun tersenyum seraya berpantun:

Buah sentul buah kecapi


Buahnya ada di dalam serambi
Berkat Rasul khatam al-Nabi
Terimalah apa kiranya kami

Tuan Puteri pun tersenyum dan melirik Raja Indra Bimaya dengan
ekor matanya yang tajam. Dayang-dayang pun tertawa melihat laku Raja
Indra Bimaya itu. Tuan Puteri pun memandang Siti Mengerna menyuruh
menghidangkan makanan untuk Raja Indra Bimaya kemudian berpantun:

Kain bersuji di atas atap


Pakaian raja di hari raya
Jikalau sudi tuanku tetap
Jika tidak apakan daya

Raja Indra Bimaya pun tersenyum seraya memandang Tuan Puteri dan
berkata,“Marilah kita makan bersama.” Tuan Puteri pun makan bersama
dengan Raja Indra Bimaya.
Diceritakan pada siang dan malam hari ada empat orang menteri dan
empat orang hulu balang memegang senjata dan berbaju rantai berkawal di
bawah mahligai Tuan Puteri itu. Setelah didengar oleh hulu balang suara orang
tertawa di atas mahligai Tuan Puteri itu, ia berkata,“Tuan Puteri berbicara
dengan siapa?”
Maka kata seorang lagi,“Kita laporkan dulu kepada Maharaja Indra
Dewa. Kita menunggu perintah maharaja.”
Keempat hulu balang itu pun menghadap Maharaja Indra Dewa, maka
katanya kepada maharaja,“Malam tadi kami berkawal di bawah mahligai Tuan
Puteri dan kami mendengar suara seorang laki-laki tertawa di atas mahligai
Tuan Puteri.”

- 21 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Setelah mendengar hal itu, maharaja pun pergi menghadap Raja Bahrum
Dewa itu dan menceritakan hal tersebut. Kemudian, Raja Bahrum Dewa pun
sangat marah.
“Pergilah kamu lihat anak celaka itu. Ia sudah membuat malu kita,”
perintah Raja Bahrum Dewa kepada empat puluh hulu balangnya.
Pada malam itu juga hulu balang dan semua rakyat diperintahkan Raja
Bahrum Dewa untuk mengepung laki-laki di atas mahligai Tuan Puteri Mandu
Ratna. Dayang-dayang Tuan Puteri melihat banyak orang datang. Ia pun
terkejut lalu menyembah kepada Raja Indra Bimaya,“Tuanku, banyak orang
datang mengepung kita.”
Setelah didengar oleh Tuan Puteri dan Raja Indra Bimaya, ia pun
tersenyum dan berpantun:

Rumbia banyak di Tanjung Puan


Di mana sahaya hempaskan
Meski seribu orang mengepung tuan
Tidak abang lepaskan

Tuan Puteri pun turun dari atas pangkuan Raja Indra Bimaya.
“Tuan Puteri, mau pergi ke mana?Apakah Tuan Putri mau melihat
kematian kakanda ini?”
Tuan Puteri pun terkenangkan kasih sayang Raja Indra Bimaya lalu ia
menangis dan berkata dalam hati,“Jika Raja Indra Bimaya mati, aku pun tidak
mau hidup lagi.”
Hari pun hampir siang dan Raja Indra Bimaya pun mengeluarkan
geliga(batu hikmat) pemberian Raja Johan Syahperi lalu keluarlah empat orang
jin lengkap dengan senjatanya seraya bertitah,“Hai saudaraku, berperanglah
dengan Raja Bahrum Dewa, tetapi jangan sampai terbunuh.”
Empat orang jin itu pun menyembah lalu turun berperang dengan rakyat
Raja Bahrum Dewa. Seketika rakyat Raja Bahrum Dewa banyak yang

- 22 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

tertangkap.
“Apakah laki-laki itu sudah mati?” tanya Raja Bahrum Dewa.
“Laki-laki itu tidak mati. Hamba hanya mendengar suaranya saja, tetapi
beribu-ribu rakyat dilawannya,” sembah hulu balang.
Setelah baginda mendengar sembah segala hulu balang itu, Raja Bahrum
Dewa pun marah. “Segeralah pergi, tangkap laki-laki itu!” seru Raja Bahrum
Dewa.
Raja-raja, menteri, dan hulu balang pun mengepung Raja Indra Bimaya.
“Tuanku, bagaimana nasib kita ini? Kita sudah terkepung. Ayahanda
Tuan Puteri sudah murka,” sembah inang pengasuh.
Raja Indra Bimaya pun tersenyum seraya berpantun:

Berbolong-bolong pelangi
Bertajuk bunga air mawar
Menanting setahun hujan di langit
Air di laut masakan tawar

Raja Indra Bimaya berkata,“Tuan Puteri, engkaulah nyawaku, jangan


menangis. Jangan biarkan mata yang manis menjadi balut, suara yang merdu
menjadi parau. Janganlah engkau menyakiti hati abang. Biarlah abang yang
mati.”
“Jika kakanda mati, untuk apa adinda hidup? Hidup pun tidak ada
gunanya,” kata Tuan Puteri.
Raja Indra Bimaya pun tersenyum mendengarnya lalu ia mengeluarkan
gemala hikmat yang dari pada Raja Johan Syahperi itu. Kemudian, keluarlah
empat ribu jin dari dalam gemala hikmat itu.
“Hai saudaraku, pergilah berperang dengan rakyat Raja Bahrum Dewa
itu,” titahnya.
Terjadilah perang besar kedua pihak itu.

- 23 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Dikisahkan tersebutlah perkataannya Raja Johan Syahperi di Negeri


Mardan Kilat duduk bersanding dengan Tuan Puteri Candralela Nurlela.
Baginda pun tersadar akan Raja Indra Bimaya dan seketika itu juga baginda
berjalan menemui Raja Indra Bimaya. Setelah itu, Raja Indra Bimaya melihat
dari jauh panji-panji bernaga alamat Raja Johan Syahperi. Baginda pun turun
menemui Raja Johan Syahperi. Setelah bertemu, kedua anak raja itu lalu
berpeluk dan bercium lalu berjalan ke mahligai Tuan Puteri dan duduk di
atas kursi dihadap raja-raja, menteri, dan hulu balang. Raja Indra Bimaya pun
menjamu Raja Johan Syahperi dan menceritakan tentang berperang dengan
Raja Bahrum Dewa.
“Baiklah, aku pergi menghadap Raja Bahrum Dewa dan bermufakat.”
Kemudian, Raja Johan Syahperi menuju ke dalam kota dan berkata
kepada orang penunggu pintu kota,“Pergilah engkau persembahkan kepada
baginda.”
Orang itu pun pergi menghadap Raja Bahrum Dewa lalu disampaikannya
pesan dari Raja Johan Syahperi. Kemudian, Raja Bahrum menitahkan seorang
Menteri agar mempersilakan Raja Johan Syahperi masuk ke dalam. Mereka
pun berbincang-bincang.
Raja Bahrum Dewa memegang tangan Raja Johan dan dipersilakannya
duduk di atas kursi yang keemasan. Kemudian, seseorang membawa
sirih corong emas dan tembaga ke hadapan Raja Johan lalu baginda
bertitah,“Makanlah sirih ini anakku!”
Raja Johan pun menyantap sirih itu dan menceritakan segala hal ihwalnya
Raja Indra Bimaya. Setelah didengar oleh Raja Bahrum Dewa maka baginda
pun sangat senang mendengar kabar bahwa Raja Indra Bimaya itu adalah anak
Raja Lela Gembira.
“Hai anakku, katakanlah kepada anakku Raja Indra Bimaya, apalah
dayaku karena aku tidak tahu akan hal itu,” kata Raja Bahrum Dewa.
Kemudian, Raja Bahrum Dewa bertitah menyuruh memalu bunyi-
bunyian dan berjaga-jaga empat puluh hari dan empat puluh malam. Setelah
genap empat puluh hari dan empat puluh malam, Tuan Puteri pun dihias oleh

- 24 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

istri raja-raja. Raja Indra Bimaya pun dihias pula oleh Raja Johan Syahperi
dengan pakaian kerajaan yang keemasan bertahtakan ratna mutu manikam.
Kemudian, dinaikkan ke atas perarakan lalu terkembanglah payung kerajaan
yang keemasan bertahtakan seribu gemala berapit dengan rama-rama kuning.
Segala orang di dalam negeri itu pun berlari-lari datang melihat Raja
Indra Bimaya dan memuji-muji rupa Raja Indra Bimaya. Baginda pun
turun menyambut tangan Raja Indra Bimaya dan di kiri baginda Raja Johan
Syahperi serta panji-panji itu pun ditabur orang dengan bunga-bunga.Terlihat
permaisuri datang dari dalam istana. Raja Indra Bimaya pun didudukkan oleh
baginda di sebelah kanan Tuan Puteri. Mereka seperti bulan dan matahari
dipagari bintang. Setelah itu, Raja Bahrum Dewa pun keluar menjamu Raja
Johan Syahperi.
Setelah itu, Raja Johan pun pamit kepada Raja Bahrum Dewa dan
Raja Indra Bimaya. Raja Bahrum Dewa pun memberi pakaian bersalin yang
keemasan lalu mereka berpeluk dan bercium serta bertangis-tangisan. Raja
Indra Bimaya pun teringat akan Tuan Puteri Kusuma Dewi. “Wahai Tuan
Puteri Kusuma Dewi, dimanakah gerangan kakanda harus mencari?” tanyanya
dalam hati. Kemudian, baginda pun masuk menghadap Raja Bahrum Dewa.
Setelah datang ke istana, ia ditegur oleh baginda,“Marilah duduk dekat
ayah.”
“Ya Tuanku Syah Alam, aku mohon ampun dan karunia yang maha
mulia, aku akan pergi esok hari,” kata Raja Indra Bimaya.
Baginda pun terkejut mendengarnya dan berkata,“Hai anakku, jangan
pergi dulu. Tinggallah sebulan atau dua bulan di sini karena ayah belum puas
hati memandangmu.”
“Ya Tuanku Syah Alam, jikalau aku rindu, aku akan datang menghadap
tuanku. Jikalau Tuanku mengizinkan, aku akan membawa anak Tuan,” sembah
Raja Indra Bimaya.
“Tidak ada salahnya engkau membawa adinda, tetapi nanti ayah meminta
orang menemani.”

- 25 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Setelah itu, baginda pun tahu bahwa Raja Indra Bimaya itu orang yang
bijaksana. Baginda sangat sedih dan tidak bisa berkata-kata lagi mendengar
ceritanya. Baginda pun menangis. Kemudian, Raja Indra Bimaya kembali ke
mahligai Tuan Puteri, duduk di dekatnya dan berkata,“Wahai Tuan Puteri,
besok kakanda akan pergi menemui Sri Maharaja Sakti. Kakanda ingin Tuan
Puteri ikut kakanda menemuinya.”
“Jangankan menemui Maharaja Sakti, ke laut api sekalipun kakanda
pergi, hamba turut juga.”
Baginda pun terlalu suka cita di dalam hatinya mendengar perkataan
Tuan Puteri lalu berkata,“Jika demikian, Tuan Puteri perintahkan dayang-
dayang dan inang pengasuh agar ikut dengan kita.”
Kemudian, baginda membawa Tuan Puteri masuk menghadap ayah
bunda baginda. “Marilah engkau duduk dekat ayah.”
Maka baginda kedua pun duduklah dan menyembah bermohon kepada
ayahanda bunda baginda dan bertanya,“Kapan engkau pergi?”
“Esok hari aku pergi.”
“Hai anakku, jagalah adinda karena dia belum sempurna, sudilah kiranya
engkau mengajar dia,” kata Raja Bahrum Dewa.
Raja Indra Bimaya pamit kepada Raja Bahrum Dewa dua laki isteri
sedangkan Tuan Puteri menyembah kaki ayah bunda baginda. Kemudian,
Raja Indra Bimaya pun mengeluarkan gemala hikmat pemberian dari Raja
Johan Syahperi.Tuan Puteri pun masuk ke dalam hikmat itu dengan dayang-
dayang disusul baginda, berjalan menuju matahari mati.
Dikisahkan peri mengatakan Raja Indra Bimaya bertemu dengan
Maharesi Kusuma Candra dan Raja Indra Bimaya bertemu dengan Langlang
Buana di tasik Maharaja Sakti.
Diceritakan orang yang punya cerita ini, setelah beberapa hari berjalan,
baginda bertemu dengan gunung api bernyala-nyala. Dari kejauhan terlihat
kawahnya sampai ke udara rupanya. Baginda berpikir di dalam hatinya,“Inilah
gerangan gunung api.”

- 26 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Setelah berpikir demikian, baginda pun teringatakan gemala hikmat


pemberian dari Raja Johan Syahperi. Lalu, disebutlah Raja Garuda di dalam
hikmat itu. Tidak lama kemudian, keluarlah Raja Garuda itu dan berkata,“Ya
Tuanku, apakah maksud Tuanku memanggilku ini?”
“Hai saudaraku, terbangkanlah akuke gunung api itu,” pinta Raja Indra
Bimaya.
Raja Garuda pun membawa/menerbangkan Raja Indra Bimaya ke
gunung api itu. Baginda merasakan panas dan sangat dahaga lalu berkata,“Hai
saudaraku, aku sangat dahaga.”
Baginda pun jatuhlah ke dalam tasik itu yang bernama Bahrul Sakti.
Baginda melihat tasik itu seperti laut yang berombak-ombak bila dilihat dari
jauh dan berkata,“Laut manakah gerangan ini?”
Baginda heran melihat kebesaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang
indah-indah. Ia berjalan menuju tasik itu dan dilihatnya airnya terlalu jernih,
pasirnya seperti serpihan emas, dan batunya seperti batu intan. Baginda
pun bermain-main di tasik itu dan angin pun bertiup seakan-akan tasik itu
berombak. Lalu, baginda melihat di tengah tasik itu beberapa lancang(kapal
layar) dan pilang(perahu) dari emas dan tembaga. Suasananya sangat indah.
Anak raja itu pun bermain-main lancang(kapal layar) dan pilang(perahu),
sembur-menyembur. Kemudian, baginda mengambil geliga(batu hikmat)
pemberian Maharesi Antakosa lalu direndamnya di dalam tasik itu. Seketika
turunlah angin, topan, guruh, petir, dan kilat sambung-menyabung. Segala
lancang(kapal layar) dan pilang(perahu) anak raja-raja itu pun tenggelam. Ada
yang patah tiangnya dan ada yang pecah lancangnya(kapal layar) sehingga
segala anak raja-raja itu pun habis terbang, ada yang mati dan ada yang
terdampar ke darat.
Seketika angin berhenti. Semua anak raja yang hidup naik ke darat.
Baginda pura-pura berdiri di bawah pohon kayu. Anak raja itu memandang
Raja Indra Bimaya dan berkata,“Darimana engkau datang? Kami baru melihat
engkau.”
“Aku ingin pergi menemui Maharaja Sakti, tetapi tersesat. Apa nama
tasik ini?”

- 27 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

“Inilah tasik Bahrul Sakti.”


“Apa sebab kain kamu sekalian basah?” tanya Raja Indra Bimaya.
“Sebab kami bermain lancang(kapal layar) dan pilang(perahu) lalu
datanglah angin ribut, topan, guruh, petir, kilat sehingga lancang(kapal
layar) dan pilang(perahu) kami rusak. Kemudian, banyak saudara kami mati
tenggelam.”
“Jika semua saudara engkau yang mati itu hidup kembali, apakah tuan
akan menyembahku?”
Baginda pun mengambil geliga(batu hikmat) lalu segala lancang(kapal
layar) dan pilang(perahu) anak raja yang tenggelam itu pun muncul. Setelah
anak raja-raja itu melihat kearifan Raja Indra Bimaya, mereka pun menyembah
baginda.
“Hai saudaraku sekalian, tinggallah engkau di sini karena aku ingin
melanjutkan perjalanan,” kata Raja Indra Bimaya.
“Ya Tuanku, ke manapunTuanku pergi, aku akan ikut,” kata segala anak
raja.
“Hai saudaraku, lebih baik kalian kembali ke negeri kalian.”
Segala anak raja-raja itu menangis karena tidak mau berpisah dengan
Raja Indra Bimaya. Kemudian, Raja Indra Bimaya berjalan menuju matahari
mati. Lama perjalanan sekitar tiga jam dan sampailah ke istananya Maharesi
Kesna Candra. Baginda mendengar bunyi-bunyian karena saat itu Maharesi
Kesna Candra sedang memuji berhala dengan segala jogi(pertapa hindu).
Beberapa pelita dan tanglung terpasang di taman dan Raja Indra Bimaya
menuju ke taman itu. Tidak ada seorang pun yang melihat baginda. Seketika
segala ganta dan sangka itu pun tidak berbunyi sekalipun ditarik oleh maharesi
dan murid-muridnya. Maharesi itu pun heran.
“Ya Tuanku, apa sebabnya genta dan sangka ini tidak berbunyi pada
malam kita memuji?” kata segala murid Maharesi Kesna Candra.
“Karena ada dewa-dewa atau orang sakti datang ke tempat kita,” kata
Maharesi Kesna Candra.

- 28 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Maharesi Kesna Candra keluar dari taman itu dan ia melihat ada seorang
muda yang sangat elok rupanya. Maharesi Kesna Candra pun tahu bahwa dia
kedatangan Raja Indra Bimaya. Kemudian, dibawanya masuk ke dalam taman
itu dan duduk bersama-sama dihadap oleh segala muridnya.
“Hai anakku, apa maksud anakku datang ke tempat ini?”
“Hamba datang minta ditunjukkan jalan menemui Sri Maharaja Sakti.”
“Hai anakku, tahukah anakku jauhnya tempat Sri Maharaja Sakti
itu? Dari sini tujuh ratus tahun burung terbang barulah sampai ke Gunung
Indranaga dan gunung itu tempat segala naga. Maka dari itu disebut Gunung
Indranaga. Jalannya pun terlalu sukar, tetapi jika anakku hendak pergi ke sana,
ambillah geliga(batu hikmat) ini dan panji-panji lalu anakku pergi ke kolam
jambang teratai kemudian tiup geliga(batu hikmat) ini maka anakku sebut
Langlang Buana supaya anakku bertemu dengan baginda, tetapi baik juga
anakku memakai cara jogi(pertapa hindu).”
Raja Indra Bimaya pamit kepada Maharesi Kesna Candra lalu Maharesi
Kesna Candra berkata,“Hai anakku, jika anakku menginginkan sesuatu,
sebutlah namaku supaya aku segera datang menemui engkau.”
Raja Indra Bimaya pun berjalan membawa isyarat Maharesi Kesna
Candra. Seketika itu juga baginda sampai ke Tasik Janang Lara. Di tasik itu
ada bunga tanjung putih, katanya,“Tuanku datang ke sini untuk meminang
Tuan Puteri Kusuma Dewi.”
Raja Indra Bimaya heran melihat keindahan Tasik Janang Lara yang
bunganya pandai berbicara. Setelah itu, bunga itu pun tenggelam lalu timbul
bunga tanjung kuning, demikian juga kata bidadari,“Kami malu pada Raja
Indra Bimaya.”
“Marilah kami pergi menangkap dia,” kata bidadari bungsu.
Bidadari bungsu itu pun menjadikan dirinya kumbang hijau datang
menghampiri telinga baginda. Baginda pun menangkap kumbang itu.
Kemudian, kumbang itu mengubah dirinya menjadi seorang perempuan yang
sangat cantik dan berpantun:

- 29 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Tarik papan tempat berjogi (pertapa hindu)


Indrakala di padang tamu
Datanglah tuan menjadi jogi (pertapa hindu)
Mana gerangan tuan bertamu

“Hai perempuan, jujurlah siapa engkau dan dari mana asalmu?” tanya
Raja Indra Bimaya.
“Kami ini pengasuh Tuan Puteri Kusuma Dewi,” jawabnya.
“Hai perempuan, bagaimana kabarTuan Puteri Kusuma Dewi?”
“Hampir kawin dengan Raja Indra Syahperi.”
Baginda pun terkejut seperti ingin pingsan setelah mendengar perkataan
bidadari itu sedangkan mereka tertawa-tawa melihat Raja Indra Bimaya. Lalu,
perempuan itu hilangdan Raja Indra Bimaya tidak sempat bertanya lagi.
Setelah itu, baginda mengambil sehelai daun teratai dan naik ke atas
daun teratai itu. Jika air pasang, ia hanyut ke laut. Jika surut, terdampat ke
darat. Pada malam itu Langlang Buana pun mengampiri Tasik Janang Lara.
Seorang jogi(pertapa hindu) hanyut di atas daun teratai itu sebulan
lamanya
“Apakah keinginan jogi(pertapa hindu) itu?” tanya Langlang Buana.
Langlang Buana itu pun kasihan melihat jogi(pertapa hindu) itu. Baginda
pun turun ke pulau itu.
“Hai Kesna Candra, apa maksudmu?”
“Ya tuanku, tolonglah hamba agar mendapatkan Keindraan,” kata Raja
Indra Bimaya. Lalu, ia menceritakan segala hal ihwalnya kepada Langlang
Buana.
Setelah Langlang Buana mendengar cerita Raja Indra Bimaya, ia
berkata,“Hai jogi(pertapa hindu), aku tidak dapat menolongmu jika kamu
belum belajar kepada Maharaja Sakti. Jika engkau belum mati lalu engkau
mati dan menjadi abu lalu engkau hidup lagi, engkau baru bisa beristerikan

- 30 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Tuan Puteri Kusuma Dewi. Jikalau engkau kembali dari Gunung Indranaga,
aku dapat menolongmu. Sekarang ambillah badek(pisau yang dijadikan
senjata) ini. Jika engkau sudah kembali, engkau berhentilah di Padang
Keindraan. Sebelumnya, jikalau engkau ingin naik Keindraan pada Padang
Anta Beranta itu karena padang itu jalan orang naik keindraan maka timbullah
badek(pisau yang dijadikan senjata) ini dan sebutlah namaku supaya aku
datang menemuimu.”
Langlang Buana pun hilang dan Raja Indra Bimaya pun terdampar ke
darat. Seketika baginda teringat akan anak panah pemberian Raja Johan
Syahperi lalu dipanahkannya anak panahnya itu dan disebutlah Gunung
Indranaga. Anak panah itu pun terhujam di kaki Gunung Indranaga. Ia pun
berjalan mengikuti anak panah itu kira-kira satu jam lamanya.
Ketika itu Sri Maharaja Sakti sedang duduk di balairung di depan murid-
muridnya. Baginda pun mengetahui kedatangan anak Raja Lela Gembira dan
berkata pada murid-muridnya dan anak raja-raja,“Hai anakku, pergilah temui
Raja Indra Bimaya.”
Anak raja-raja menemui Raja Indra Bimaya dan berkata,“Silahkan Tuan
temui Sri Maharaja Sakti.”
Baginda pun segera menyembah kaki Sri Maharaja Sakti dan ia
dipersilahkan duduk bersama-sama dengan segala anak raja-raja.
“Hai anakku, apa tujuanmu datang ke sini?” tanya Sri Maharaja Sakti.
Raja Indra Bimaya pun mengungkapkan tujuannya datang menemuinya.
Setelah Maharaja Sakti mengetahui tujuan Raja Indra Bimaya, baginda pun
tahu asal usul Raja Indra Bimaya. Ketika Maharaja Maya Kesna membuat
kerajaan dengan Maharaja Mengindra Dewa di Keindraan, ia turun ke dunia
menjelma menjadi bunga malar yang kemudian dimakan oleh Raja Lela
Gembira. Lalu, Sri Maharaja Sakti pun tersenyum di dalam hatinya,“Jika
begini akan menjadi perang besar kelak di Keindraan dengan Raja Indra
Syahperi.”
Raja Indra Bimaya pun duduk di gunung itu, tunduk khidmat kepada
Sri Maharaja Sakti. Beberapa kesaktian diajarkan oleh baginda. Beberapa

- 31 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

disuruh bunuh oleh Sri Maharaja Sakti lalu dihidupkan kembali. Ia disuruh
naik ke puncak niur lalu diguncang oleh baginda sehingga Raja Indra Bimaya
pun jatuh ke tanah lalu mati dan hancur luluh tulang-tulangnya. Setelah itu,
dikumpulkannya tulang-tulangnya itu dan berseru,“Hai Raja Indra Bimaya
sedang di Gunung Indranaga dan sedang di Padang Lela Sakti, bangunlah
engkau!”
Tiga kali baginda membangunkan Raja Indra Bimaya, tetapi tidak juga
bangun. Kemudian, baginda mengambil bunga rampai lalu ditaburkan di
atas tubuh Raja Indra Bimaya dan berseru,“Maharaja Bulia Kesna sedang di
Gunung Mercu Indra, sedang di padang naik daun, bangunlah engkau!”
Raja Indra Bimaya pun bangun lalu duduk menyembah kaki Maharaja
Sakti dan berjabat tangan dengan segala anak raja-raja.
“Hai anakku, apa yang kau lihat dan rasakan tadi?” tanya Sri Maharaja
Sakti.
“Hamba datang ke sebuah negeri yang sangat besar kerajaannya,” jawab
Raja Indra Bimaya.
Setelah genap tujuh bulan baginda di Gunung Indranaga itu, ia
mendapatkan banyak pelajaran dari Sri Maharaja Sakti. Akan tetapi, segala
anak raja-raja, murid Sri Maharaja Sakti itu pun sakit hati karena mereka yang
sudah lama berguru kepada Sri Maharaja Sakti tidak banyak dapat pelajaran
darinya. Kemudian, baginda pamit kepada Sri Maharaja Sakti.
“Anakku, kembalilah ke Padang Anta Beranta dan temui Langlang
Buana,” kata baginda kepada Raja Indra Bimaya.
Raja Indra Bimaya menyembah kaki Sri Maharaja Sakti lalu dipeluk
dan dicium oleh baginda. Kemudian, ia berjalan turun dari Gunung Indranaga
itu. Setelah sampai di kaki gunung, baginda memanah anak panahnya yang
sakti itu. Anak panah itu pun terhunjam ke Padang Anta Beranta. Baginda
pun berjalan di atas panah selama satu jam menuju Padang Anta Beranta.
Seketika itu juga baginda menjatuhkan badek(pisau yang dijadikan senjata)
lalu Langlang Buana turun di padang itu dengan rupa orang tua. Langlang
Buana menghampiri Raja Indra Bimaya.

- 32 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

“Hai cucuku, engkau sudah bertemu dengan Sri Maharaja Sakti itu.”
“Ya Tuanku, aku sudah bertemu dengan baginda Sri Maharaja Sakti.”
“Jika demikian, sebutlah olehmu Raja Johan Syahperi itu supaya engkau
beroleh naik Keindraan,” kata Langlang Buana.
Setelah itu, Langlang Buana pun hilang. Lalu, Raja Indra Bimaya pun
menyebut Raja Johan Syahperi. Seketika itu juga Raja Johan Syahperi pun
datang dengan bala tentaranya.
“Sudahkah tuan bertemu dengan Sri Maharaja Sakti itu?” tanya Raja
Johan Syahperi.
Raja Indra Bimaya menceritakan perjalanannya menemui Sri Maharaja
Sakti kepada Raja Johan Syahperi.
“Jika demikian, akan terjadi perang besar karena Maharaja Bulia
Kesna saudara sepupu dengan Maharaja Indra Mengindra Dewa. Tatkala ia
berperang berbuat kerajaan di Negeri Mercu Indra, ia pun turun ke dunia
menjelma kepada Raja Gembira. Jika demikian, patutlah Raja Indra Bimaya
ini mengambil tunangan Raja Indra Syahperi karena belum selesai pekerjaan
dengan Raja Indra Bimaya dan Indra Mengindra Dewa. Sekarang apa yang
akan engkau kerjakan?”
“Apapun yang Tuan katakan, aku turut,” jawab Raja Indra Bimaya.
“Jika demikian, marilah kita naik ke kaki Gunung Indranaga supaya kita
dengar kabar Tuan Puteri Kusuma Dewi.”
Raja Indra Bimaya menceritakan pertemuannya dengan Tuan Puteri
Kusuma Dewi ketika bertamu di Tasik Janang Lara kepada Raja Johan.
“Jikalau demikian marilah kita segera naik Keindraan sementara sebelum
ketahuan dengan Raja Indra Syahperi,” kata Raja Johan sambil tersenyum.
Hari pun malam dan baginda mengeluarkan gemala hikmat pemberian
Maharesi Antakosa. Seketika muncullah sebuah mahligai lengkap dengan
isinya dan sebuah balai. Kemudian, Tuan Puteri Mandu Ratna keluar
sedangkan baginda duduk makan dan minum bersama rakyat dijamu Raja
Johan Syahperi.

- 33 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Setelah tujuh hari dan tujuh malam baginda bersama-sama dengan


Raja Johan, ia mengeluarkan gemala hikmat pemberian Maharesi Antakosa
dan keluarlah seekor kuda hijau lalu naik ke atas kudanya itu. Kemudian,
dipecutnya kudanya itu tiga kali tidak juga berjalan. Baginda pun marah lalu
disebutlah Raja Garuda. Seketika itu juga garuda itu pun datang.

Raja Johan melihat kejadian tersebut dan berkata,“Hai garuda, mengapa


engkau tidak dapat terbang?”
“Sebab hamba tidak dapat terbang karena tuanku sudah beristeri,” jawab
Raja Garuda.
Baginda pun tersenyum, tertawa terbahak-bahak. Raja Indra Bimaya
heran dengan sikap Raja Johan yang tertawa terbahak-bahak.
“Hai saudaraku, panahkan anak panahku itu,” kata Raja Johan.
Raja Indra Bimaya pun mengambil anak panah, baru akan dipanahkan
oleh Raja Indra Bimaya, anak panah itu pun menikam Raja Indra Bimaya.
Anak panahnya mengenai dadanya tembus ke belakang sehingga baginda
pun mati. Setelah itu, tubuh Raja Indra Bimaya dicincang oleh Raja Johan
sehingga segala tulangnya dan tubuhnya Raja Indra Bimaya itu pun hancur
luluh seperti tepung. Setelah itu, baginda pun dibawa ke laut lalu datang
seekor bayan. Tubuh Raja Indra Bimaya itu pun dibawanya kembali pada Raja
Johan. Setelah itu, mayat Raja Indra Bimaya itu pun ditudungi dengan kain
putih dan ditaburi bunga rampai.
“Hai Maharaja Bulia Kesna sedang di Gunung Indranaga sedang di
Padang Tiga Warna bangunlah engkau!” seru Raja Johan.
Setelah genap tiga kali baginda berseru-seru maka Raja Indra Bimaya
pun memandang kepada Raja Johan lalu ia melihat Raja Indra Bimaya sangat
elok rupanya, seperti cermin karena sudah dibasuh di Laut Qoljum.
“Enaknya aku tidur,” kata Raja Indra Bimaya tersenyum.
“Sekarang marilah kita naik Keindraan,” kata Raja Johan.

- 34 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Raja Indra Bimaya pun naik rotan itu sedangkan Raja Johan naik kuda
menuju Keindraan. Setelah sampai di Padang Belanta Khirani, baginda
melihat dari kejauhan sebuah padang yang sangat permai. Di tengah padang
itu tempat mahligai Tuan Puteri Kusuma Dewi.
“Itulah tempat Tuan Puteri Kusuma Dewi. Jika engkau ingin melihat
Tuan Puteri Kusuma Dewi, marilah aku bawa ke rumah bidadari Saludang
Mayang, tetapi ingat, engkau jangan lalai di sana. Jika engkau lalai, engkau
tidak akan pernah bertemu Tuan Puteri Kusuma Dewi,” kata Raja Johan
kepada Raja Indra Bimaya.
“Di manakah tempat bidadari Saludang Mayang itu?” tanya Raja Indra
Bimaya.
“Marilah kita bermain di tengah padang itu!” ajak Raja Johan.
Kedua anak raja itu pun berjalan ke kampung Bidadari Saludang Mayang.
“Inilah rumah Bidadari Saludang Mayang,” kata Raja Johan.
Raja Indra Bimaya pun masuk ke dalam kampung Bidadari Saludang
Mayang. Bidadari Saludang Mayang memandang baginda, bertatap mata lalu
bidadari Saludang Mayang tersenyum. Raja Indra Bimaya pun tersenyum lalu
naik ke rumah bidadari Saludang Mayang. Bidadari Saludang Mayang pun
berpantun:

Bidara di dalam puan


Talam putih di Kampung Cina
Orang udara gerangan tuan
Cantik manis terlalu bina

Setelah baginda mendengar bidadari Saludang Mayang berpantun,


baginda pun tersenyum dan memegang tangannya lalu berpantun:

- 35 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Buah bidara di dalam puan


Memarang rumput di padang tamu
Dendamnya kami kepada tuan
Baharu sekarang kita bertemu

Kemudian, bidadari Saludang Mayang berpikir di dalam hatinya,“Ternyata


dia ini anak raja dan sangat bijaksana.”
Setelah itu, Raja Indra Bimaya duduk dengan bidadari Saludang Mayang
dan berkata di dalam hatinya,“Bijaksana sekali bidadari Saludang Mayang.”
Seketika itu baginda pun teringat kata Raja Johan.
Setelah tiga hari tiga malam baginda di rumah bidadari Saludang
Mayang, baginda Raja Indra Bimaya pun berkata,“Ya adinda, tunjukkanlah
kepada kami rupa Tuan Puteri Kusuma Dewi.”
Bidadari Saludang Mayang pun tersenyum dan berkata,“Hai Raja Indra
Bimaya, di manakah engkau melihat Tuan Puteri Kusuma Dewi sebelumnya?
Karena ia ditaruh oleh ayah bundanya di dalam manggar kaca tujuh lapis
dan ia sudah bertunangan dengan Raja Indra Syahperi, anak Maharaja Indra
Mangindra Dewa.”
Setelah baginda mendengar perkataan bidadari Saludang Mayang,
baginda Raja Indra Bimaya pun menunduk dan bercucuranlah air matanya. Ia
berkata di dalam hatinya,“Apakah engkau tidak kasihan padaku?”
Bidadari Saludang Mayang pun tersenyum dan berkata,“Jika ingin
melihat rupa Tuan Puteri Kusuma Dewi, pada purnama bulan ketika ia pergi
mandi ke Taman Puspa Berahi. Itu punjika engkau arif bijaksana maka engkau
dapat melihatnya.”
“Jika ada kasih dan sayang engkau, tunjukkanlah kepada aku Tuan Puteri
itu,” kata Raja Indra Bimaya.
Kemudian, baginda melontarkan kata yang manis-manis dan beberapa
pujian untuk menarik simpati bidadari Saludang Mayang. Akhirnya,
bidadari Saludang Mayang pun kasihan melihat Raja Indra Bimaya dan

- 36 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

berkata,“Baiklah, esok hari aku bawa ke Taman Puspa Berahi.” Betapa


senangnya Raja Indra Bimaya mendengar perkataan bidadari itu.
Setelah hari siang, baginda pun duduk bersenda gurau dengan bidadari
Saludang Mayang.
“Hai Adinda, cepatlah bawa aku ke Taman Puspa Berahi,” kata Raja
Indra Bimaya.
Setelah mendengar perkataan Raja Indra Bimaya, bidadari Saludang
Mayang tidak dapat berkata-kata lagi. Kemudian, ia berpantun:

Sri Dewa anak Malaka


Tarung parit di padang tamu
Orang muda tiada mengapa
Bilalah kala akan bertemu

Bidadari Saludang Mayang pun menangis dan dibujuk oleh Raja Indra
Bimaya dengan kata yang manis-manis. Bidadari Saludang Mayang berkata
dalam hati,“Baiklah,aku tunjukkan Tuan Puteri Kusuma Dewi itu kepadanya.”
Ia pun berkata kepada Raja Indra Bimaya,“Esok hari aku menunjukkan
setelah hari malam.” Lalu, baginda pun duduk bersenda gurau dengan
Bidadari Saludang Mayang.
Setelah hari siang, Raja Indra Bimaya bangun dan bergegas mandi.
Setelah itu, baginda pun memakai baju. Kemudian, Bidadari Saludang Mayang
membawa Raja Indra Bimaya ke tempat Puteri Kusuma Dewi mandi ke
Taman Puspa Berahi. Setelah itu, Bidadari Saludang Mayang pun kembali ke
rumahnya dengan duka cita. Setelah Bidadari Saludang Mayang itu kembali,
Raja Indra Bimaya pun heran karena ia didak juga dapat melihat Tuan Puteri
Kusuma Dewi. Ia pun berkata,“Wahai Tuan Puteri Kusuma Dewi, bagaimana
cara kakanda melihat Tuan Puteri?” tak berapa lama, baginda pingsan di
dalam Taman Puspa Berahi. Beberapa hari baginda terlantar.

- 37 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Tersebutlah perkataan Raja Johan Syahperi pergi ke rumah Bidadari


Saludang Mayang dan bertanya padanya,“Hai dayang-dayang, adakah dayang
melihat Raja Indra Bimaya?”
“Aku tidak tahu, tetapi beberapa waktu lalu ada seorang anak muda ke
sini. Sekarang ia sudah pergi ke Taman Puspa Berahi.”
Setelah mendengar perkataan Bidadari Saludang Mayang, Raja Johan
segera pergi mencari Raja Indra Bimaya di sekeliling Taman Puspa Berahi.
Dilihatnya Raja Indra Bimaya terlantar di atas batu, pingsan. Raja Johan pun
tersenyum melihat hal itu dan berkata,“Hai Maharaja Bulia Kesna, sedang di
Taman Puspa Berahi sedang di Gunung Mercu Indra, bangunlan engkau.”
Setelah tiga kali Raja Johan berseru, Raja Indra Bimaya pun duduk di
sisi dan berkata,“Lama sekali aku tidur tadi.”
Raja Johan pun tertawa dan berkata,“Tuan lama tertidur di mahligai Tuan
Puteri Kusuma Dewi tadi.”
“Tuan bicara apa? Aku tidak melihat Tuan Puteri Kusuma Dewi,” kata
Raja Indra Bimaya.
“Nanti juga kita akan melihat Tuan Puteri Kusuma Dewi itu. Biarlah
aku menjadi orang tua berdandi(memakai gendang kecil, tambur, alat
bunyi-bunyian) sedangkan tuan menjadi budak yang merangkak, aku pergi
berdandi(memakai gendang kecil, tambur, alat bunyi-bunyian),” kata Raja
Johan. Setelah itu, Raja Johan menjadikan dirinya orang tua bangka.
Setelah dilihat oleh Raja Indra Bimaya bahwa Raja Johan sudah menjadi
orang tua, ia pun menjadikan dirinya anak-anak yang baru bisa merangkak.
Setelah itu, orang itu pun membawa kanak-kanak itu dan segenap kampung
ia berdandi(memakai gendang kecil, tambur, alat bunyi-bunyian) seraya
bernyanyi terlalu merdu suaranya. Kanak-kanak itu pun merangkak-rangkak di
hadapan orang. Segala orang dari sana-sini pun berlari-larian melihat oang tua
itu berdandi(memakai gendang kecil, tambur, alat bunyi-bunyian). Kabar itu
pun terdngar ke mahligai Tuan Puteri Kusuma Dewi dan segala dayang-dayang
tuan Tuan Puteri itu pun berlarian datang melihat orang berdandi(memakai
gendang kecil, tambur, alat bunyi-bunyian) itu. Tuan Puteri pun mendengar
suara orang tertawa seperti batu roboh.

- 38 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

“Dayang, ada apa ramai-ramai di luar?” tanya Tuan Puteri kepada salah
satu dayangnya.
“Ya tuanku Tuan Puteri, ada seorang orang tua bangka berdandi(memakai
gendang kecil, tambur, alat bunyi-bunyian). Ia menari dan bernyanyi sangat
merdu suranya dan ramailah orang-orang melihat orang tua menari dan
berdandi(memakai gendang kecil, tambur, alat bunyi-bunyian) itu,” jawab
dayangnya.
“Pergilah, panggil ia ke sini, kita suruh ia berdandi(memakai gendang
kecil, tambur, alat bunyi-bunyian),” titah Tuan Puteri kepada inangda.
Inangda pun keluar memanggil orang tua itu.
“Hai orang tua, Tuan Puteri memanggilmu.”
“Hai inangda, katakanlah kepada Tuan Puteri, aku masuk bermain-main.”
Kemudian, keluar pula seorang suruhan Tuan Puteri memanggilnya
masuk untuk bermain.
“Tidak apa-apa, masuklah karena Tuan Puteri ingin melihatmu bermain-
main.”
Ia pun masuk Bersama kanak-kanak itu. Setelah datang ke dalam,Tuan
Puteri pun keluar dan duduk lalu berkata,“Hai orang tua, bermainlah engkau.”
Setelah Raja Indra Bimaya melihat Tuan Puteri, ia pun pingsan. Segala
dayang-dayang itu pun kasihan melihat kanak-kanak itu.
“Ada apa dengan anak ini?” tanya dayang-dayang.
“Cucu hamba ini teringat akan ibunya sudah meninggal,” jawab orang
tua itu.
Tuan Puteri pun kasihanlah melihat budak itu lalu bertitah kepada
inangda,“Hai inangda, bawa kemari budak itu!”
Inangda segera membawa budak itu kepada Tuan Puteri. Ia pun
menyambutnya dan dipangkunya. Tidak lama kemudian, budak itu pun
membuka matanya. Tuan Puteri pun sangat senang melihat kanak-kanak itu
membuka matanya. Ia pun bermain-main di pangkuan Tuan Puteri.

- 39 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

“Hai orang tua, cucumu itu aku ambil sebagai anak,” kata Tuan Puteri
kepada orang tua itu.
“Tiada bisa, Tuanku karena ini aku bermain, segenap negeri orang aku
pergi bermain.”
“Hai orang tua, bermainlah engkau.”
Maka orang tua itu pun berdandi(memakai gendang kecil, tambur, alat
bunyi-bunyian) dengan suara merdu. Ia menari terbongkok-bongkok dan
bernyanyi. Suaranya sangat merdu. Tuan Puteri pun sangat senang melihat
orang menari sangat indah gerakannya sedangkan budak itu bermain di
pangkuan Tuan Puteri.
Setelah selesai bermain, hari pun malam. Orang tua itu puningin pamit
kepada Tuan Puteri. Setelah didengar oleh Tuan Puteri perkataan orang tua
itu, mereka diberi makanan.
“Tinggallah dulu di sini!” pinta Tuan Puteri.
“Rumahku tidak ada orang, besok aku datang lagi bermain di sini.”
“Hai orang tua, tinggalkanlah cucumu itu di sini!”
“Ya tuanku Tuan Puteri, jikalau cucuku tinggal di sini, aku takut nanti ia
menangis.”
“Tidak apa-apa. Jika ia menangis, aku akan tidur bersamanya.”
“Baik juga tuanku sudi bersama-sama dengan cucuku ini.”
Orang tua itu pun pamit kepada Tuan Puteri lalu berjalan ke luar kota.
Budak itu pun menangis di pangkuan Tuan Puteri. Kanak-kanak itu pun
dibawanya masuk ke peraduan Tuan Puteri. Setelah sudah jauh malam, Raja
Indra Bimaya pun mengembalikan dirinya seperti semula. Dilihatnya Tuan
Puteri Kusuma Dewi tidur terlalu nyenyak. Baginda pun terlalu berahi lalu
diangkatnya Tuan Puteri itu dan dipangkunya serta dipeluk dan diciumnya.
Tuan Puteri pun terkejut dan dilihatnya seorang laki-laki yang sangat
tampan sedang memeluk dan menciumnya. Tuan Puteri pun menangis ingin
melepaskan diri darinya, tetapi tidak bisa.
“Hai orang muda, berkata jujurlah engkau. Di mana kanak-kanak tadi?”
“Kanak-kanak itu sudah pulang kepada bapaknya,” kata Raja Indra
Bimaya sambil tertawa.

- 40 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Tuan Puteri pun heran dan berkata di dalam hatinya,“Sepertinya kanak-


kanak tadi mati dibunuh orang muda.”
Setelah itu, Raja Indra Bimaya sudah beberapa gunung dan padang yang
luas-luas ia lalui sebab membawa suatu hikmat akan melembutkan hati Tuan
Puteri.
“Sudah beberapa gunung dan padang yang luas aku lalui karena mencari
Tuan Puteri yang hilang. Jika abang lenyap karena engkau dan jika abang
mati karena engkau, abang rela karena badan dan nyawa kakanda hanya
dipersembahkan kepada adinda.”
Beberapa kata yang manis-manis, beberapa bujuk dan cumbu
melembutkan hati Tuan Puteri. Tuan Puteri pun heran akan dirinya dan
berkata di dalam hatinya,“Kanak-kanak raja mana juga gerangan ini hingga
dapat sampai ke sini?”
Maka segala dayang-dayang dan inang pengasuh Tuan Puteri terkejut
mendengar Tuan Puteri itu menangis. Dayang-dayang mendengar orang
membujuk Tuan Puteri, mereka masuk ke dalam peraduan Tuan Puteri dan
dilihatnya seorang laki-laki yang sangat tampan, duduk di hadapan Tuan
Puteri. Segala inang pengasuh Tuan Puteri heran melihat rupa Raja Indra
Bimaya itu dan berkata di dalam hatinya,“Darimana datangnya laki-laki ini
dan kanak-kanak inilah gerangan yang menjadi laki-laki ini. Ia bisa mengubah
dirinya menjadi kanak-kanak.”
Setelah itu, segala dayang-dayang Tuan Puteri pun kasihan kepada Raja
Indra Bimaya melihat Raja Indra Bimaya membujuk Tuan Puteri, seperti
bulan dan matahari sama baik parasnya. Setelah hari siang, Raja Indra Bimaya
membawa Tuan Puteri duduk di atas kanta (kepingan seperti kaca) yang
keemasan. Inang pengasuh Tuan Puteri membawa air untuk membasuh muka,
Raja Indra Bimaya pun membasuh muka Tuan Puteri. Setelah itu, dipandang
oleh Raja Indra Bimaya, diamat-amatinya wajah Tuan Puteri yang sangat
manis. Ketika duduk, segala dayang-dayang menghidangkan makanan untuk
Tuan Puteri dan Raja Indra Bimaya. Baginda pun membasuh tangan Tuan
Puteri lalu menyantap makanan bersama di hadapan segala dayang-dayang
dan inang pengasuh.

- 41 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Setelah menyantap makanan dan sirih, sepahnya diberikan kepada


Tuan Puteri. Namun, ditepiskan oleh Tuan Puteri tangan Raja Indra Bimaya.
Baginda pun tersenyum. Raja Indra Bimaya pun duduk merayu Tuan Puteri.
Tuan Puteri menangis karena ia takut akan ayahnda dan bundanya.
Raja Indra Bimaya pun membujuk Tuan Puteri dan berkata
katanya,“Diamlah Tuan Puteri, jangan menangis! Nanti mata yang manis
bisa menjadi sembap, suara yang indah menjadi parau, dan rambut yang licin
menjadi kusut.”
Raja Indra Bimaya pun mengantarkanTuan Puteri ke atas mahligai lalu
duduk dan melihat anak-anak raja mengendarai gajah dan beberapa dewa-
dewa bersangga cahaya. Orang di dalam Negeri Anta Beranta Jantan dengan
segala bunyi-bunyian, tepuk, dan tari orang-orang kampung, orang besar-
besar, menteri, dan hulu balang.
Setelah tujuh hari tujuh malam baginda di dalam mahligai Tuan Puteri
Kusuma Dewi, Raja Johan Syahperi menanti-nanti kedatangan Raja Indra
Bimaya di rumah Bidadari Saludang Mayang dan bidadari bungsu yang
bernama Intan Biduri lalu berkata,“Di manakah padang yang bernama Sujana
Pirus tempat segala raja-raja dan dewa-dewa mengadu biri-biri?”
“Padang Sujana Pirus itu dekat dengan mahligai Tuan Puteri Kusuma
Dewi, tempat itulah segala dewa-dewa dan indra melawan biri-biri dan singa,”
kata Bidadari Bungsu.
“Aku ingin pergi ke sana,” kata Raja Johan.
Setelah itu, bidadari bungsu pun pergilah membawa Raja Johan ke
Padang Sujana Pirus.
“Inilah Padang Sujana Pirus,” kata Bidadari Bungsu.
Baginda pun berjalan menuju mahligai Tuan Puteri. Saat itu Raja
Indra Bimaya sedang duduk di atas puncak mahligai itu. Setelah Raja Indra
Bimaya melihat kedatangan Raja Johan dengan segala dewa-dewa, baginda
pun tersenyum dan berkata kepada Tuan Puteri,“Tuan Puteri, itulah orang tua
berdandi(memakai gendang kecil, tambur, alat bunyi-bunyian) yang membawa
kanak-kanak. Ia datang kepadamu ingin meminta cucunya kembali. Apa yang
akan engkau katakan kepada orang tua itu?”

- 42 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Tuan Puteri pun mengerlingkan matanya, melirik Raja Indra Bimaya


dengan ekor matanya. Baginda pun tertawa. Setelah itu, Raja Indra Bimaya
pun memanahkan panahnya. Seketika anak panah itu pun mengenai Raja Johan
Syahperi. Raja Johan pun tahu bahwa Raja Indra Bimaya memanggilnya.
Baginda pun menjadikan dirinya burung nuri yang terbang mengikuti anak
panah itu ke mahligai Tuan Puteri. Setelah sampai, Raja Johan Syahperi pun
mengembalikan dirinya ke asalnya. Raja Indra Bimaya pun tertawa memegang
tangan Raja Johan itu lalu dibawanya duduk bersama-sama dihadapan segala
dayang di atas kursi yang keemasan.
“Inilah orang tua berdandi(memakai gendang kecil, tambur, alat bunyi-
bunyian) yang ingin meminta cucunya kepadamu,” kata Raja Indra Bimaya
kepada Tuan Puteri.
“Benar apa yang dikatakannya karena aku ingin kembali ke negeriku
sekarang,” kata Raja Johan Syahperi.
Tuan Puteri pun tunduk tersenyum sambil memandang Mandu Ratna.
Kemudian, Dang Mandu Ratna pun mengetahui arti dari pandangan itu. Ia pun
membawa hidangan nikmat yang rasanya sangat lezat ke hadapan Raja Indra
Bimaya dan Raja Johan. Setelah selesai menyantap hidangan, Raja Johan
pamit kepada Raja Indra Bimaya dan Tuan Puteri. Kemudian, Raja Johan
kembali ke rumah Bidadari Bungsu.
Tersebutlah perkataan Langlang Buana sedang mengitari dunia.
Dilihatnya Padang Sujana Pirus itu sangat ramai dengan raja-raja bersangga
cahaya dan segala dewa-dewa berkendaraan gajah. Saat itu Raja Johan
bermain-main dengan segala raja-raja. Lalang Buana pun tersenyum dan
berpikir,“Jika demikian, baiklah aku ambil Tuan Puteri Kusuma Dewi itu.”
Langlang Buana turun ke mahligai Tuan Puteri Kusuma Dewi. Baginda
pun menghunus cincinnya dan dijatuhkannya menjadi mayang. Setelah itu,
mayang itu pun datang kehadapan Tuan Puteri dan Raja Indra Bimaya. Setelah
Tuan Puteri melihat mayang itu, Tuan Puteri pun pergi mendapatkan mayang
itu menjadi seekor merak emas. Lalu, disambarnya Tuan Puteri itu kemudian
diterbangkannya ke tengah Padang Belanta Khirani.

- 43 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Setelah Raja Indra Bimaya melihatTuan Puteri itu diterbangkan oleh


merak emas, diusirnya oleh Raja Indra Bimaya. Segala isi mahligaiTuan
Puteri pun gemparlah mengatakan Tuan Puteriditerbangkan oleh merak emas.
Lalu, dipersembahkan orang kepada Baginda Maharaja Puspa Indra dan
bertanya,“Di manakah datangnya merak emas itu?”
Dipersembahkan oleh dayang-dayang Tuan Puteri itu, segala hal ihwal
mayang setandan itu sekonyong-konyong datang kehadapan paduka inangda
dan menjadi merak emas. Setelah baginda mendengar perkataan dayang-
dayang, ia pun heran. Kedua suami isteri itu lalu pingsan tidak sadarkan diri.
Seketika gemparlah di dalam istana ayahanda bundanya. Inangda Tuan Puteri
pun menangis. Di dalam istana Maharaja Puspa Indra itu gemuruhlah suara
tangis orang.
Setelah sadar dari pingsannya, baginda kedua suami isteri pun menangis.
Permaisuri sangat sedih dan meratap. Gemparlah di dalam Negeri Anta
Beranta Jantan itu mengatakan Tuan Puteri diterbangkan oleh merak emas itu.
Diceritakan segala raja-raja, indra, dan dewa-dewa di Padang Belanta
Khirani itu pun terkejut mendengar Tuan Puteri diterbangkan oleh merak
emas. Tidak ada yang tahu kedatangannya. Setelah didengar oleh Raja Johan,
ia pun heran. Raja Syahperi itu pun terkejut lalu pingsan di tengah Padang
Belanta Khirani.
Pada suatu hari tatkala Raja Johan datang melihat segala raja-raja dan
menteri, dewa-dewa bermain itu, ia bertanya di dalam hatinya,“Wahai ke
mana pergi Raja Indra Bimaya itu?”
Setelah ia berpikir demikian, ia pun kembali ke rumah Bidadari Saludang
Mayang dan bertanya,“Ya dayang-dayang, di mana sekarang Raja Indra
Bimaya?”
“Aku tidak tahu keberadaannya,”kata bidadari Saludang Mayang.
Raja Johan pun heran akan dirinya dan bertanya di dalam hatinya,“Ke
manakah aku mencari Raja Indra Bimaya ini?”
Pada suatu hari Raja Indra Bimaya mengusir merak itu ke sebelah Padang
Belanta Khirani. Diceritakanoleh orang yang punya cerita ini. Di luar Padang

- 44 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Belanta Khirani itu ada sebuah batu, di dalam goa. Batu itu tempat raja jin
yang bernama Barma Gangga. Merak emas itu pun masuk ke dalam goa batu
itu pada saat Raja Barma Gangga sedang duduk di balairung, dihadap oleh
para jin. Kemudian, merak itu pun datang membawa Tuan Puteri kehadapan
Raja Barma Gangga.
“Hai merak emas, darimana engkau membawa Tuan Puteri ini?”tanya
Raja Barma Gangga.
“Ya tuanku, Langlang Buana menitahkan agar Tuan Puteri ditaruh di
sini. Baginda beritahukan saja pada tuanku,” jawab merak emas.
Setelah Raja Gangga mendengar perkataan merak emas itu, ia pun
tahulah tentang isyarat perkataan Langlang Buana. Tuan Puteri pun menangis.
“Ya tuanku Tuan Puteri, janganlah engkau menangis, duduk juga tidak
apa-apa,” kata Raja Gangga.
Selanjutnya, perkataan Raja Indra Syahperi pun datanglah menghadap
Maharaja Puspa Indra ingin bermohon kepada raja pergi mencari Tuan Puteri.
Lalu, Raja Puspa Indra pun bertitah,“Nantilah ayahanda mengumpulkan
segala rakyat untuk menemani anakku.”
“Sudah banyak rakyat yang pergi dengan saya,”sembah Raja Indra
Syahperi.
Setelah itu, Raja Indra Syahperi pamit lalu berjalan keluar kota menuju
hutan besar-besar. Dicarinya juga tiada ia bertemu maka Raja Indra Syahperi
pun menangis dan berkata,“Hai Tuan Puteri, di mana aku harus mencarimu?”
Selanjutnya, Maharaja Puspa Indra pun menitahkan empat orang anak
raja-raja Keindraan, empat menteri dan hulu balang, serta seratus rakyat pergi
mencari Tuan Puteri itu. Namun, tidak juga menemukannya. Habislah tanah
Keindraan tidak ada kabarnya.
Tersebutlah perkataan Indra Bimaya itu, tiga hari dan tiga malam baginda
pingsan tidak sadarkan diri. Setelah ingat akan dirinya, baginda pun teringat
akan gemala hikmat pemberian Maharesi Antakosa. Disebutnya Raja Garuda
empat ekor datang maka sembah Raja Garuda,“Ya tuanku, apakah maksud
tuanku memanggil kami?”

- 45 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

“Saudaraku, lawanlah naga itu,” kata Raja Indra Bimaya.


Raja Garuda yang empat itu pun menyembah kepada Raja Indra Bimaya
dengan segala rakyatnya yang tiada terkira banyaknya. Berperanglah garuda
itu dengan naga penunggu pintu goa itu. Mereka sama kuatnya. Setelah tiga
hari tiga malam berperang, mereka tetap sama kuatnya dan sama gagahnya.
Raja Barma Gangga pun keluar dari dalam goa itu lalu dilihatnya Raja Garuda
empat ekor dengan segala rakyat garuda. Kemudian, Raja Barma Gangga
menitahkan segala jin masuk perang besar. Selanjutnya, Raja Indra Bimaya
mencita gemala hikmat daripada Sri Maharaja Sakti lalu keluarlah jin dan peri
mambang yang tiada terkira banyaknya. Mereka berperanglah dengan rakyat
Barma Gangga.
“Pergilah engkau lihat peperangan itu, sekarang ada beribu-ribu jin dan
peri,” kata Raja Barma Gangga kepada seorang jin.
Seketika hulu balang jin itu pun keluar dan dilihatnya seorang laki-laki
masih muda yang sangat elok rupanya seperti matahari berdiri di atasnya serta
memegang panah. Hulu balang jin itu pun segera kembali menghadap Raja
Barma Gangga, sembahnya,“Ya tuanku, ada seorang laki-laki sangat elok
rupanya. Dialahyang mempunyai rakyat ini, ia berdiri di atas rotan.”
Setelah didengar oleh Raja Barma Gangga sembah hulu balang itu,
baginda pun marah seperti api bernyala-nyala. Raja Barma Gangga segera
keluar dari dalam kota Bersama bala tentaranya. Setelah datang ke pintu kota,
dilihatnya seorang laki-laki berdiri di atas rotan sambil memegang panah.
“Hai jin yang duduk di dalam goa batu, aku datang ke sini karena aku
ingin mengambil Tuan Puteri Kusuma Dewi yang diterbangkan oleh merak
emas ke dalam goa ini. Jika tidak engkau kembalikan, negerimu ini akan aku
hancurkan,” kata Raja Indra Bimaya.
Setelah didengar oleh Barma Gangga perkataan Raja Indra Bimaya,
baginda pun marah dan berkata,“Hai manusia, jangankan hanya satu
kepalamu, meskipun seribu kepalamu yang bernama Puteri Kusuma Dewi itu,
tidak akan aku kembalikan. Apa hubunganmu dengan Tuan Puteri Kusuma
Dewi sehingga engkau menginginkannya?”

- 46 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Raja Barma Gangga memanahkan anak panahnya ke arah Raja Indra


BImaya. Namun, Raja Indra Bimaya menepisnya dengan cemeti kudanya.
Kemudian, dipanahnya berturut-turut oleh Raja Barma Gangga lalu
ditepiskannya juga oleh Raja Indra Bimaya. Setelah itu, Raja Indra Bimaya
marah seperti api dan seperti ular berbelit-belit rupanya.
“Hai Barma Gangga, tahanlah engkau,” seru Raja Indra Bimaya.
Ia mengeluarkan anak panahnya pemberian Raja Johan. Dipanahkannya
anak panahnya itu dan mengenai tubuh Raja Barma Gangga. Lalu, keluarlah
api yang memancar ke udara. Menjadi ramailah perang itu.
Setelah tiga hari tiga malam, perang itu menyebabkan pertumpahan
darah. Rakyat jin dan peri semakin banyak berdatangan dari celah batu dan
dari rongga kayu, masing-masing membantu rajanya. Seketika gemparlah
Keindraan itu lalu terdengarlah sampai kepada Maharaja Puspa Indra akan
Raja Barma Gangga dalam goa batu itu yang bernama Rangga Singa itu.
Baginda pun menitahkan dua orang anak menteri.
“Pergilah engkau dengar orang berperang itu,” titah baginda.
Selanjutnya, anak menteri itu pun menyembah lalu berjalan menuju goa
batu Rangga Singa. Beberapa hari ia berjalan, ia pun sampailah di goa itu.
Dilihatnya dari jauh terlalu ramai orang berperang. Ia pun bertanya kepada jin
yang tidak masuk perang itu,.
“Anak raja itu berperang dengan siapa dan apa penyebabnya Barma
Gangga berperang?”
“Perang ini terjadi karena Tuan Puteri Kusuma Dewi diterbangkan
oleh merak emas dibawanya masuk ke dalam goa ini lalu datanglah seorang
laki-laki ingin mengambil Tuan Puteri itu sedangkan Barma Gangga tidak
memberikannya. Oleh sebab itu, terjadilah perang ini,” kata raja jin.”
Setelah didengar anak menteri itu, ia pun segera kembali menghadap
Maharaja Puspa Indra lalu diceritakanlah segala perkataan jin itu. Baginda
pun sangat heran lalu berkata,“Darimana datangnya laki-laki itu dan apa
sebabnya ia menginginkan anakku itu.”

- 47 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Kemudian, terdengarlah ke dalam istana mengatakan Tuan Puteri ada


di dalam Goa Rangga Singalalu terjadilah perang besar antara Raja Barma
Gangga dan seorang laki-laki itu terlalu baik parasnya. Permaisuri pun
terkejut mendengar kabar itu lalu menangis dan berkata,“Wahai bencana, dari
manakah gerangan datangnya kepada anakku itu.”
“Jikalau demikian, baiklah, kita bertanya kepada orang muda itu apa
sebabnya ia berperang dengan raja jin itu,”titah Raja Puspa Indra.
Baginda pun menitahkan kepada seorang menteri,“Pergilah panggil Raja
Syahbar dan Dewa itu saudara sepupu dengan permaisuri.”
Setelah Raja Syahbardan Dewa datang, Maharaja Puspa Indra pun
bertitah kepada Raja Syahbardan Dewa,“Baiklah adinda pergi kepada orang
muda itu, kabarnya anakda Tuan Puteri Kusuma Dewi itu ada di dalam Goa
Rangga Singa itu, tetapi dari manakah datangnya orang muda itu.”
Setelah Raja Syahbardan Dewa mendengar perkataan Maharaja Puspa
Indra, ia pun tunduk, sembahnya,“Ya tuanku, janganlah kita bertanya kepada
orang muda itu karena anak kita juga diperangkan orang muda itu dengan
Barma Gangga.Kemudian,jika Raja Barma Gangga tewas oleh orang muda
itu, bolehlah kita lawan berperang.”
Pada mulanya, kabar Tuan Puteri Kusuma Dewi itu di dalam goa batu
dan Raja Barma Gangga berperang dengan seorang laki-laki tiada berketahuan
perginya dan datangnya sudah termasyhur. Setelah itu, terdengarlah kabar
tersebut sampai ke telinga Raja Johan Syahperi.Ia pun sangat senang
mendengarnya bahwa Raja Indra Bimaya berperang dengan Raja Barma
Gangga. Kemudian, Raja Johan berjalanlah menuju Goa Rangga Singa.
Dilihatnya dari jauh Raja Indra Bimaya sedang berhadapan dengan Raja
Barma Gangga.Baginda pun tersenyum lalu datang menghampiri Raja Indra
Bimaya. Ketika Raja Indra Bimaya melihat Raja Johan datang, baginda sangat
senang. Mereka berpelukan dan bercium seraya bercerita hal ihwalnya Tuan
Puteri Kusuma Dewi diterbangkan oleh merak emas. Selanjutnya, Raja Johan
pun tersenyum dan tahulah akan pekerjaan Langlang Buana itu.
“Ya saudaraku, apakah Langlang Buana menegtahui apa yang engkau
perbuat ini?”tanyaRaja Johan.

- 48 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Setelah sudah ia berbicara dengan Raja Indra Bimaya, segala jin itu pun
berseru,“Hai manusia berkepala satu, tidakkah keluar berperang dengan raja
kami, takutkah engkau akan raja kami?”
Setelah Raja Johan mendengar perkataan hulu balang jin itu, ia pun marah
lalu menghunus pedangnya dan naik kudanya lalu dipacunya ke tengah medan.
Kemudian, Raja Barma Gangga melihat kedatangan Raja Johan dan berkata
kepada jin,“Hai Raja Jin, mengapa engkau datang menolong dia?Mengambil
upahkah engkau kepada manusia itu sehingga engkau datang melawan aku?”
Setelah didengar oleh Raja Johan perkataan Raja Barma Gangga, ia pun
berkata,“Benarlah apa yang engkau katakana itu. Aku mengambil upah juga
kepada manusia itu. Jikalau engkau mati olehku, istrimu itulah upahnya.”
Setelah didengar oleh Raja Barma Gangga perkataan Raja Johan itu, ia
pun marah seraya menghunus pedangnya lalu diparangkannya kepada Raja
Johan. Akan tetapi, ditangkiskan oleh Raja Johan dengan perisainya lalu
keluarlah api memancar-mancar ke udara. Setelah diparangkannya oleh Raja
Johan kepada Raja Barma Gangga, kenalah tubuh Raja Barma Gangga. Raja
Barma Gangga pun membalas serangan Raja Johan. Namun, serangannya itu
dapat ditepiskan oleh Raja Johan dengan perisainya dan seribu kasaktian Raja
Johan menangkiskan parang Raja Barma Gangga.
Raja Indra Bimaya melihat Raja Johan hampir tewas berperang dengan
Raja Barma Gangga. Raja Barma Gangga itu pahlawan yang terkenal di tanah
Keinderaan. Tidak ada yang dapat menandinginya. Kemudian, Raja Indra
Bimaya datang menolong Raja Johan.
“Hai saudaraku, berhentilah engkau melawan Raja Barma Gangga,”
pinta Raja Indra Bimaya. Raja Johan pun tersenyum.
Raja Indra Bimaya datang dengan kudanya ke tengah medan peperangan
itu lalu menghunus pedangnya. Raja Barma Gangga melihatnya lalu
berkata,“Hai manusia, kembalilah engkau karena hari sudah malam. Bukannya
aku takut melawan engkau, melainkan hari sudah malam. Allah Subhanahu
Wata’ala menjadikan malam ini sebagai perhentian segala urusan hamba-Nya.
Esok hari kita kembali berperang.”

- 49 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

“Baiklah. Aku ikuti kemauanmu,” kata Raja Indra Bimaya.


Setelah itu, gendang kembali berbunyi dari kedua pihak.Tentara pun
kembali ke tempatnya, Raja Indra Bimaya pun kembali dengan Raja Johan.
Pada malam itu Raja Johan dan Raja Indra Bimaya mencita gemala hikmat
pemberian Maharesi Antakosa lalu keluarlah beribu-ribu rakyat menjadi
sebuah negeri dengan segala isinya dan bunyi-bunyian terlalu ramai, makan
dan minum berjamu-jamuan Raja Johan, hulu balang jin, mambang, dan
seluruh rakyat. Kemudian, Raja Indra Bimaya mencita gemala hikmat
pemberian Sri Maharaja Sakti lalu keluarlah penghulu empat jin.
“Hai saudaraku, hamba hendak menurunkan hujan batu supaya binasa
rakyat Raja Barma Gangga itu,” kata Raja Indra Bimaya kepada empat jin itu.
“Baiklah tuanku,”sembah empat jin itu.
Pada awalnya, tersebutlah perkataan Raja Indra Syahperi pergi sedang
berjalan mencari Tuan Puteri Kusuma Dewi. Habislah segala hutan, padang,
dan gunung tidak juga bertemu dengan Tuan Puteri itu. Baginda pun kembali
lalu niatnya ingin turun ke dunia kalau-kalau diterbangkan oleh merak emas itu
ke dunia, Raja Syahperi pun berjalan kembali. Kemudian, ia bertemu dengan
segala rakyat, jin, peri, mambang, dan dewa-dewa. Titah Raja Indra Syahperi
kepada Bujangga Dewa,”Pergilah engkau, tanyakan darimana datangnya ini
dan apakah pekerjaan mereka di sini?”
Bujangga Dewa pun pergi dan bertemu jin dan peri itu laluberkata,“Hai
tuan-tuan, siapa yang punya rakyat ini dan apa pekerjaan mereka di sini?”
“Kami ini rakyat Raja Indra Bimaya yang berperang dengan Raja Barma
Gangga.”
“Apa sebabnya kalian berperang dengan Raja Barma Gangga itu?”tanya
Bujangga Dewa.
“Sebab Tuan Puteri Kusuma Dewi itu diterbangkan oleh merak emas
lalu dibawanya masuk ke dalam goa ini. Kemudian, Raja Indra Bimaya
memintanya, namun tidak diberikan. Maka dari itu, terjadilah perang ini,”
jawab jin.

- 50 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

“Raja manakah Raja Indra Bimaya itu?” tanya Bujangga Dewa.


“Raja Indra Bimaya itu anak manusia, tetapi baginda itu sangat sakti,”
jawab jin.
Setelah didengar oleh Bujangga Dewa perkataan jin itu, ia pun segera
kembali menghadap Raja Indra Syahperi. Setelah sampai, segala perkataan jin
itu disampaikannya kepada Raja Indra Syahperi. Setelah baginda mendengar
apa yang disampaikan Bujangga Dewa, ia pun terkejut dan marah seperti ular
berbelit-belit. Kemudian, ia menitahkan raja-raja, menteri, dan hulu balang
memalu bunyi-bunyian dan gendang. Setelah hari siang, Raja Indra Syahperi
berjalan menuju Goa Rangga Singa.
Setelah sampai,terdengarlah bunyi-bunyian itu. Raja Johan mengatakan
kepada Raja Indra Bimaya bahwa Raja Indra Syahperi datang kembali
mencari Tuan Puteri Kusuma Dewi. Setelah didengar oleh Raja Indra Bimaya
perkataan Raja Johan itu, ia pun menyuruh orang pergi melihatnya.
“Hai tuan-tuan! Bunyi-bunyian apakah itu?Dari mana datangnya rakyat
ini?” tanya peri.
“Tahukah engkau, Raja Indra Syahperi yang datang itu ingin mengambil
Tuan Puteri di dalam goa itu.”
Setelah didengar oleh peri itu, ia pun kembali menghadap Raja Indra
Bimaya. Setelah sampai, peri itu pun menyembah,“Ya tuanku, Raja Indra
Syahperi itu datang ingin mengambil Tuan Puteri di dalam goa itu.”
Setelah didengar oleh Raja Indra Bimaya sembah peri itu, baginda pun
tersenyum memandang raja Johan lalu tertawa-tawa dan berkata,“Jikalau
sudah dapat, baik esok hari kita keluar.”
Keesokan paginya, berbunyilah gendang dari kedua pihak tentaranya.
Pahlawan pun berdiri di tengah medan itu. Lalu, berserulah seorang hulu
balang Barma Gangga.
“Hai manusia, siapakah engkau? Berani mati. Marilah ke tengah medan,
kita berhadapan dengan raja kami, Barma Gangga.”

- 51 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

“Hai saudaraku, pergilah engkau lawan hulu balang Raja Barma


Gangga,”titah baginda kepada empat jin itu.
Kemudian, empat jin itu pun menyembah lalu pergi dengan segala alat
senjata. Setelah datang ke tengah medan, berhadapanlah kedua pihak rakyat
itu lalu berperang gegap gempita. Terdengarlah geruncing senjata orang
berperang. Debu pun beterbangan ke udara, terang cuaca menjadi kelam
berkabut. Setelah berperang, banyak darah tumpah ke bumi. Debu pun
beterbangan ke udara, kelam kabut dari timur.Terlihat rakyat bersorak sangat
ramai.
“Inilah rupanya Raja Indra Syahperi,” kata Raja Johan.
Raja Indra Bimaya pun menitahkan hulu balang jin berlengkap segala
alat senjata, dan yang bergajah menaiki gajahnya dan yang berkuda menaiki
kudanya. Setelah ia sudah berada di tengah medan, Raja Indra Syahperi pun
memasuki medan peperangan.Terlihatlah orang berperang di tengah padang
itu.
“Pergilah engkau menemui Raja Barma Gangga! Tanya olehmu apakah
sebabnya ia berperang?” titah Raja Indra Syahperi kepada seorang yang
bernama Kardan Dewa.
Setelah itu, Kardan Dewa menyembah lalu pergi menemui Raja Barma
Gangga. Setelah sampai di pintu goa, Kardan Dewa berkata kepada jin
penunggu pintu goa,“Pergilah engkau beri tahu Raja Barma Gangga bahwa
utusan Raja Indra Syahperi ingin menemuinya.”
Jin penunggu pintu itu pun segera masuk menemui Baginda Raja Barma
Gangga lalu menyembah jin itu,“Ya tuanku, di luar ada utusan Raja Indra
Syahperi ingin menemui Baginda.”
“Suruhlah ia masuk,” kata Raja Barma Gangga.
Jin penunggu pintu itu pun keluar dan berkata,“Masuklah!”

Kardan Dewa pun masuk. Setelah datang lalu menyembah Raja Barma
Gangga. Segala perktaan Raja Indra Syahperi itu diceritakannya kepada Raja
Barma Gangga.

- 52 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

“Sebab hamba berperang dengan manusia itu karena ia ingin mengambil


Tuan Putri Kusuma Dewi, tetapi tidakaku berikan. Itulah mulanya maka jadi
perang denganku,” kata Raja Barma Gangga kepada Raja Indra Syahperi.
Setelah itu, Kardan Dewa pun bermohonlah kepada Raja Barma Gangga
lalu kembali menemui Raja Indra Syahperi. Segala perkataan Raja Barma
Gangga itu diceritakannya kepada Raja Indra Syahperi. Setelah didengar oleh
Raja Indra Syahperi perkataan Kardan Dewa itu, baginda pun tunduk berpikir
seketika di dalam hatinya,“Apakah sebabnya manusia itu tahu akan Tuan Puteri
Kusuma Dewi itu rangan laki-laki. Setelah ia berpikir demikian itu maka Raja
Indra Syahperi pun terlalu marah dan menyuruhkan segala rakyatnya naik
gajah dan kuda. Kemudian, menyuruh memalu bunyi-bunyian perang maka
rakyat candra dan mambang, dewa-dewa pun naiklah masing-masing ke atas
kudanya. Setelah itu, Raja Indra Syahperi berkata kepada Bujangga Dewa
itu,“Hai Bujangga Dewa, pergilah engkau kepada laki-laki itu sebab ia hendak
minta Tuan Puteri Kusuma Dewi kepada Raja Barma Gangga.”
Setelah ia berpesan demikian, Bujangga Dewa pun menyembah lalu
pergi kepada Raja Indra Bimaya lalu orang yang di luar barisan itu pun
bertanya,“Engkau dating ke sini untuk pekerjaan apa?”
“Hamba diperintahkan oleh Raja Indra Syahperi ke sini karena ingin
menanyakan kabar kepada yang tuan. Katanya jika engkau hendak menemui
baginda, nantilah aku pertemukan kepada baginda,”jawab Bujangga Dewa.
Selanjutnya, orang penunggu pintu itu pun pergi menemui Raja Indra
Bimaya dan berkata,“Ya tuanku, utusan Raja Indra Syahperi ingin menemui
tuan.”
“Suruh ia masuk!”
Orang itu pun pergi menemui Bujangga Dewa dan berkata,“Raja Indra
Bimaya meminta agar engkau masuk.”
Bujangga Dewa pun masuk. Setelah ia datang kehadapan Raja Indra
Bimaya maka sembah Bujangga Dewa,“Ya tuanku, aku ini diperintahkan oleh
Raja Indra Syahperi untuk menanyakan sebab tuanku berperang dengan Raja
Barma Gangga.”

- 53 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

“Awal mula aku berperang dengan Raja Barma Gangga itu adalah ketika
Tuan Puteri diterbangkan oleh merak emas lalu dibawanya masuk ke dalam
goa itu. Hamba minta, namun Raja Barma Gangga tidak memberikannya.
Jikalau diberinya hamba ingin mengantarkannya kepada ayah bundanya,
tetapi hamba tidak tahu entahkan anak siapa atau anak raja Tuan Puteri itu.
Akan tetapi, sekarang hamba sudah berperang dengan Raja Barma Gangga.
Katakanlah kepada Indra Syahperi bahwa aku akan datang sekarang. Jikalau
aku belum berhasil ambil Puteri Kusuma Dewi itu dari tangan Barma Gangga,
aku tidak akan kembali ke tanah manusia,” jawab Raja Indra Bimaya sambil
tersenyum.
Setelah Bujanga Dewa mendengar perkataan Raja Indra Bimaya, ia pun
marah dan berkata,“Hai Raja Indra Bimaya, tidak tahukah engkau bahwa Tuan
Puteri Kusuma Dewi itu tunangan Raja Indra Syahperi? Mengapa engkau
berkata seperti itu?”
“Aku tidak tahu. Yang aku tahu adalah tunanganku diterbangkan oleh
merak emas itu ke sini!”
Setelah Raja Indra Bima Bimaya mengatakan hal tersebut, Bujangga
Dewa pun kembali dengan perasaan malu. Ia pun segera menemui Raja Indra
Syahperi dan mengatakan semua hal yang diceritakan Raja Indra Bimaya.
Raja Indra Syahperi pun semakin marah, seperti api bernyala-nyala dan ia
memerintahkan raja-raja, menteri, hulu balang, dan rakyat sekaliannya naik ke
atas kudanya dengan alat senjatanya, masing-masing menggertakkan kudanya
ke tengah medan peperangan itu. Kemudian, mereka berseru,“Mana laki-laki
yang mau mati itu dan mana hulu balang yang ingin kemenangan, marilah ke
tengah medan ini!”
Setelah didengar oleh rakyat Raja Indra Bimaya perkataan hulu balang
Raja Indra Syahperi itu, Raja Indra Bimaya pun memerintahkan hulu balang
yang empat orang itu.
“Hai saudaraku, pergilah engkau melawan segala rakyat Raja Indra
Syahperi itu!”
Pengawal empat jin itu pun menyembah lalu pergi naik ke atas kudanya
dengan segala rakyat jin dan peri, dewa, mambang, tiada terkira banyaknya,

- 54 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

lengkap dengan segala bunyi-bunyian yang sangat ramai dan rakyat seperti
ombak mengalun. Demikianlah rakyat Raja Indra Bimaya. Setelah kedua pihak
rakyat itu bertemu, mereka saling memanah dan parang-memarang segala
peri, dewa, mambang. Pahlawan empat jin itu pun peranglah dengan rakyat
Raja Indra Syahperi. Setelah berperang, rakyat Raja Indra Syahperi banyak
yang mati dibunuh oleh empat jin itu. Baginda pun heran dan memerintahkan
hulu balang mengusir rakyat itu kira-kira satu jam lamanya. Akhirnya, rakyat
Indra Bimaya pun pecahlah perangnya tudak ketahuan perginya karena terlalu
gagah sepuluh orang hulu balang itu. Setelah dilihat oleh Raja Johan akan
rakyat Raja Indra Bimaya itu sudah pecah perangnya, baginda pun sangat
marah dan menyuruh memalu gendang kembali. Lalu, masing-masing pun
kembalilah ke tempatnya.
Dikisahkan tersebutlah perkataan Raja Puspa Indra, setelah baginda
mendengar kabar Raja Indra Syahperi berperang dengan Raja Indra Bimaya,
baginda menyuruh Raja Syahbardan Dewa, raja-raja, menteri, hulu balang,
dan seluruh rakyat pergi menemui Raja Indra Syahperi. Raja Syahbardan
Dewa pun pamit lalu berjalan keluar kota bersama balatentaranya. Beberapa
hari baginda berjalan, Raja Syahbardan Dewa pun sampailah ke tempat medan
perang itu. Setelah Raja Indra Syahperi melihat Raja Syahbardan Dewa, ia pun
segera keluar pergi menemui Raja Syahbardan Dewa. Raja Indra Syahperi
datang menyembah Raja Syahbardan Dewa dan berkata,“Sudah beberapa hari
ini anakku berperang.” Lalu, diceritakanlah oleh Raja Indra Syahperi segala
hal ihwalnya perkataan Raja Indra Bimaya.
Selanjutnya, Raja Indra Syahperi meminta Raja Syahbardan Dewa agar
menyuruh orang memalu gendang perang. Setelah pagi-pagi hari, segala hulu
balang Raja Syahbardan Dewa pun naik ke atas kudanya dan ada yang naik
gajahnya berbaris-baris di tengah. Medan itu pun diperbaiki orang. Seketika
itu juga berterbanganlah debu ke udara. Setelah itu, berbunyilah gendang
perang dari kedua pihak tentara. Hulu balang Syahbardan Dewa berkata,“Hai
Raja Indra Bimaya! Marilah engkau! Mengapa engkau berlindung? Takutkah
engkau akan raja kami yang ingin membunuh engkau?”
“Hai saudaraku, biarlah hamba masuk perang karena Raja Syahbardan
Dewa keluar perang pada hari ini,” kata Raja Johan kepada Raja Indra Bimaya.

- 55 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Raja Johan pun memakai pakaian peperangan.Setelah itu, ia naik ke


atas kudanya lalu berjalan ke tengah medan perang itu. Begitu pula Raja
Syahbardan Dewa. Setelah bertemu kedua rakyat itu, seperti lautan rupanya
serta dengan bunyi suara yang kuat seperti tagar(guntur) di langit orang yang
sedang berperang itu, gegap gempita bunyinya. Jikalau halilintar membelah
sekali pun, tidak terdengar lagi. Peperangan itu semakin menegangkan.
Mereka saling menghunuskan pedang dan tombak. Seketika banyak darah
tumpah ke bumi.Cuaca terang tertutup kabut.
Rakyat pun banya yang mati karena kedua raja itu sama gagahnya
dan sama kuatnya. Raja Syahbardan Dewa pun bertemu dengan Raja Johan
dan berkata,“Hai Raja Johan Syahperi, mengapa engkau turutkan kehendak
manusia itu?”
“Hai Raja Syahbardan Dewa, aku ini ikut kepada yang benar karena
bukan Raja Indra Bimaya yang salah, melainkan merak emas yang salah,”
jawab Raja Johan.
Setelah didengar oleh Raja Syahbardan Dewa perkataan Raja Johan itu,
baginda pun marah dan memanah Raja Johan. Akan tetapi, Raja Johan dapat
menangkis dengan perisainya. Lalu, dipanahnya sekali lagi dan ditangkiskannya
juga oleh Raja Johan. Setelah itu, Raja Johan pun memanah Raja Syahbardan
Dewa, ditangkis oleh Raja Syahbardan dengan cemeti kudanya dan panah
itu pun menjadi bunga rampai. Setelah dilihat oleh Raja Johan panahnya itu
menjadi bunga rampai, baginda pun heran. Dipanahnya pula dengan api. Lalu,
dilihat oleh Raja Syahbardan Dewa api itu lalu dipanahnya pula dengan panah
air, api itu pun padam.
Hari pun malam. Gendang kembali dipalu orang. Kedua pihak itu pun
kembali ke tempatnya masing-masing. Setelah Raja Indra Bimaya melihat
Raja Johan datang, baginda segera turun memegang tangan Raja Johan lalu
dibawanya duduk bersama di atas kursi yang keemasan, dihadap oleh raja-
raja, menteri, hulu balang, dan rakyat. Baginda pun duduk makan dan minum
bersuka cita dengan segala bunyi-bunyian.

- 56 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Kemudian, bantuan dari Raja Puspa Indra pun datang menjadi penghalau
perang itu dengan segala rakyat, indra, dan candra dewa serta mambang
sekaliannya. Demikianlah diceritakan oleh orang punya cerita ini.
Tersebutlah perkataan Maharesi Antakosa di Gunung Indra Maharupa.
Pada suatu hari baginda duduk dihadap oleh segala muridnya, lalu baginda
pun teringat akan Raja Indra Bimaya berperang dengan Raja Indra Syahperi.
Baginda pun berjalan mencari Raja Indra Bimaya diiringi oleh segala
maharesi. Setelah beberapa hari lamanya baginda berjalan mencari Raja Indra
Bimaya maka sampailah dan dilihatnya oleh Maharesi Antakosa dari jauh di
Padang Belanta Khirani itu penuh dengan segala balatentara jin, peri, dewa,
dan mambang. Raja Indra Bimaya pun melihat Maharesi Antakosa itu datang,
lalu kedua anak raja itu pun segera turun dan menemuin Maharesi Antakosa
itu.
Setelah bertemu, kedua anak raja itu pun datang menyembah maharesi,
lalu dipeluk dan dicium oleh Maharesi Antakosa. Setelah itu, Raja Indra
Bimaya pun membawa Maharesi Antakosa masuk lalu duduk di atas kursi yang
keemasan dihadap oleh segala raja dan menteri, hulu balang, bintara(pegawai
rendah, tentara), dan sida-sida(Pegawai dalam istana) sekalian. Raja Indra
Bimaya pun menceritakan segala maksudnya berperang dengan Raja Indra
Syahperi dan Raja Barma Gangga. Setelah itu, terdengarlah bunyi-bunyian
kanta(kepingan seperti kaca) dan sangka yang terlalu ramai. Raja Indra Bimaya
pun tahulah akan Maharesi Kesna Candra yang datang itu maka baginda pun
segeralah datang menyambut Maharesi Kesna Candara. Setelah bertemu Raja
Indra Bimaya, ia pun segera menyembah Maharesi Kesna Candra, lalu Raja
Indra Bimaya dipeluk dan dicium oleh Maharesi Kesna Candra. Kemudian,
baginda pun membawa Maharesi Kesna Candara masuk ke dalam kota lalu
duduk di atas kursi yang keemasan, dihadap oleh segala raja, menteri, hulu
balang, dan rakyat sekalian.
Setelah beberapa lamanya baginda pun duduk makan dan minum dengan
segala raja itu. Keesokkan harinya, dari pagi-pagi hari, baginda pun menyuruh
memalu gendang perang. Maka gendang perang itu pun berbunyilah darikedua
pihak tentara itu bersaf-saf. Sementara Raja Johan pun memakai pakaian yang
keemasan serta mengenakan mahkota yang bertahtakan ratna mutu manikam

- 57 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

berumbaikan mutiara, lalu terkembanglan payung intan dikarang dengan


permata yang indah. Setelah demikian, Maharesi Antakosa dan Maharesi
Kesna Candra pun naik kereta yang bertahtakan ratna mutu manikam, diiringi
oleh segala maharesi, jogi(pertapa hindu), dan brahmana.
Pada awalnya, Raja Syahbardan Dewa pun sudah memakai pakaian
perang dan mengenakan mahkota yang keemasan yang bertahtakan
ratna mutu manikam. Sementara baginda pun naik gajah berengga emas
sepuluh mutu bertahtakan ratna mutu manikam,lalu terkembanglah payung
mutiara dikarang dan terkibarlah panji-panji berbagai warna. Baginda pun
mengeluarkan gajahnya ke tengah medan dan bertemulah dengan Raja Johan.
Setelah kedua raja itu berhadapan, Raja Syahbardan Dewa pun menghunus
pedangnya, memarang Raja Johan. Raja Johan pun menangkis dengan
perisainya. Seketika gajah yang dikendarai Raja Johan pun menderamlah,
lalu bercampurlah dengan bunyi suara yang kuat segala hulu balang seperti
tagar(guntur) bunyinya. Setelah tiga kali diparang oleh Raja Syahbardan
Dewa, diparang oleh Raja Johan akan Raja Syahbardan Dewa itu amat luar
biasa di tengah medan.
Bunyi Suaranya terlalu gemuruh, bunyinya gegap gempita.Dalam
peperangan itu, ada yang menikam, ada yang ditikam. Kedua pihak tentara
pun banyak yang mati dan luka. Setelah berperang, banyak darah tumpah ke
bumi. Kemudian, segala hulu balang berpelantingan. Adapun peperangan itu
tidak hanya berjejak di bumi,tetapi juga berjejak di atas bangkai.
Pada awalnya Raja Syahbardan Dewa berperang dengan Raja Johan dari
pagi hingga malam hari seorang pun tiada berkalahan. Setelah hari malam,
gendang kembali dipalu orang, dan titah Raja Syahbardan Dewa kepada
Raja Indra Syahperi,“Hai anakku, perang ini tidak ada habisnya karena Raja
Indra Bimaya memiliki banyak segala raja yang datang membantu. Jikalau
demikian, baiklah, lanjutkanlah esok hari.”
Setelah didengar oleh Raja Indra Syahperi titah Raja Syahbardan Dewa
itu, Raja Indra Syahperi terlalu heran, sembahnya,“Baiklah esok hari hamba
sendiri keluar perang.”

- 58 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Pada malam itu bunyi-bunyian pun dipalu orang.Setelah didengar oleh


Raja Indra Bimaya bunyi-bunyian dari kedua pihak Raja Syahperi, baginda
pun menyuruh memalu gendang perang terlalu ramai bunyinya.
Setelah matahari belum terbit, gendang kedua pihak tentara berbunyilah.
Kemudian, berdirilah orang bersaf-saf di medan itu. Pada awalnya, medan
itu pun sudah diperbaiki orang. Raja Indra Syahperi pun memakai lengkap
pakaiannya dan kendaraannya, lalu baginda pun naik ke atas gajah berengga
emas sepuluh mutu manikam bertahtakan ratna. Berdirilah jogan alamat
bernaga(tombak atau bendera yang memberi tanda untuk memulai sesuatu)
dan terbanglah payung kendaraan seribu rama-rama kuning. Gendang arak-
arakan pun dipalu orang, lalu baginda pun berjalan diiringi oleh segala raja,
menteri, hulu balang, dan rakyat sekalian. Setelah datang ke tengah medan,
berhadapanlah dengan tentara Raja Indra Bimaya.
Kemudian, Raja Johan pun sudah berdiri di atas gajahnya dan memakai
pakaian selengkapnya. Maharesi Kesna Candra pun naiklah rotan melayang,
lalu Raja Indra Bimaya pun berangkatlah ke tengah medan diiringi oleh segala
raja, menteri, hulu balang, jin, peri, mambang dan maharesi yang banyak serta
jogi(pertapa hindu), dan brahmana serta dengan segala rakyat yang banyak
bersaf-saf di tengah medan. Setelah dilihat oleh Raja Indra Bimaya akan Raja
Indra Syahperi seperti matahari akan terbit, lalu segala raja jadi teranglah di
medan perang itu oleh cahaya baginda, lalu Raja Indra Bimaya pun heran
tercengang-cengang seketika melihat rupa Raja Indra Syahperi. Setelah dilihat
oleh Raja Indra Bimaya rupaya terlalu elok parasnya. Jika dipandang malam
hari seperti bulan purnama empat belas hari bulan. Jika dipandang siang
hari seperti matahari akan terbit. Demikianlah eloknya Raja Indra Bimaya
itu. Kemudian, Raja Indra Syahperi pun tercengang-cengang seketika dan
berkata,“Hai Raja Indra Bimaya, peranglah sekarang di antara kita. Apakah
yang dibawa dari tanah manusia itu marilah!”
Raja Indra Bimaya pun tersenyum dan berkata,“Tidak demikian adat
kami. Tuanku datang ke negeriku haruslah dijamu. Begitu pun sebaliknya.”
Setelah itu, Raja Indra Syahperi menghunus pedangnya. Diparangkannya
kepada Raja Indra Bimaya, lalu ditangkis oleh Raja Indra Bimaya dengan

- 59 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

perisainya dan keluarlah api memancar-mancar ke udara. Dibalas pula oleh


Raja Indra Bimaya. Diparang oleh Raja Indra Bimaya kepada Indra Syahperi,
lalu ditangkis pula oleh Raja Indra Syahperi dengan cemeti kudaya itu dan
keluarlah api memancar-mancar ke udara, lalu kalam kabutlah udara itu.
Kemudian, bercampurlah dengan suara yang kuat segala hulu balang seperti
halilintar membelah. Demikianlah karena segala raja masuk pula perang tidak
terdengar bunyinya lagi.
Berawal dari Raja Johan berhadapan dengan Raja Syahbardan Dewa, raja
dengan raja dan menteri dengan menteri, dan hulu balang dengan hulu balang
serta rakyat dengan rakyat, masing-masing dengan lawannya. Kemudian,
tempik sorak segala hulu balang itu seperti bunyi halilintar membelah bumi.
Lalu, bergeraklah Keindraan itu dan Balai Tanjung Maya serta gunung pun
bergoncang.
Diceritakan oleh yang punya cerita ini demikianlah bunyinya, adapun
tatkala itu Sri Mahraja Sakti berkata,“Siapakah yang Keinderaan ini?”
Lalu, berdatang sembah seorang muridnya,“Ya Tuanku, hamba
mendengar kabar bahwa Raja Indra Syahperi berperang dengan Raja Indra
Bimaya, anak Raja Lela Gembira karena hendak mengambil Tuan Puteri
Kusuma Dewi yang diterbangkan oleh merak emas, lalu dibawanya masuk ke
dalam goa batu.”
Setelah didengar oleh Sri Maharaja Sakti, ia pun pergi menemui Raja
Indra Bimaya. Baginda pun tahulah akan pekerjaan Langlang Buana itu.
Kemudian, Maharaja Sakti pun pergilah menemui Langlang Buana dan
berkata,“Ya tuanku, apakah hal yang demikian ini peri hamba Raja Indra
Bimaya itu berperang dengan Indra Syahperi. Jikalau tidak ada belas kasih
tuan, Raja Bimaya itu binasalah Keindraan ini sebab ia pun turun ke dunia
karena Maharaja Bulia Kesna berperang dengan ayahnya Raja Indra Syahperi
yang bernama Maharaja Indra Menginda karena berbuat pekerjaan, sekarang
Raja Indra Syahperi pula hendak membinasakan Keindraan ini.”
Setelah Langlang Buana mendengar sembah Sri Maharaja Sakti itu,
baginda pun bertitah,“Hai Maharaja Sakti, pergilah engkau menghadap Raja
Indra Bimaya itu saat purnama empat belas hari bulan aku datang ke sana.”

- 60 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Setelah demikian titah baginda, Sri Maharaja Sakti pun kembali mendapatkan
Raja Indra Bimaya.
Kala itu Raja Indra Bimaya sedang berhadapan dengan Raja Indra
Syahperi, gemar pula Sri Maharaja Sakti melihat laku kedua anak raja itu
sama baik parasnya.
Adapun peperangan itu selama empat puluh hari dan empat puluh malam.
Tidak ada seorang pun yang mau mengalah. Terlalu ramainya segala bunyi-
bunyian dengan bunyi suara yang kuat segala hulu balang karena raja dengan
raja, menteri dengan menteri, hulu balang dengan hulu balang, dan rakyat
dengan rakyat. Kemudian, berantaklah/berseraklah gemala mahkota segala
raja itu bersinar rupanya, medan berseri-seri rupanya padang itu oleh cahaya
mahkota raja-raja itu. Setelah dilihat oleh Sri Maharaja Sakti akan Raja Indra
Bimaya itu berhadapan dengan Raja Indra Syahperi, seperti merak mengikal,
seketika Raja Indra Bimaya datang di kiri, seketika Raja Indra Syahperi dari
kanan, terlalu pantas rupanya laku kedua anak raja itu, sama baik parasnya
seperti gambar Keinderaan, demikianlah rupanya.
Sri Maharaja Sakti pun datang. Setelah dilihat oleh Raja Indra Bimaya
kedatangan Sri Maharaja Sakti, Raja Indra Bimaya segera turun dari atas
gajahnya, datang menyembah kaki Sri Maharaja Sakti. Dipegang oleh Sri
Maharaja Sakti tangan Raja Indra. Setelah demikian, Raja Johan dan Maharaja
Kesna Candra dan Maharesi Antakosa pun datang menyembah kaki Maharaja
Sakti. Segala raja itu pun dibawanya oleh Raja Indra Bimya ke mahligai, lalu
ke dalam istana duduk di atas kursi yang keemasan dihadap oleh raja-raja
dan menteri, hulu balang, balatentara, rakyat sekalian penuh menghadap Sri
Maharaja Sakti, lalu baginda berkata kepada Raja Indra Bimaya,“Hai anakku,
adapun titah Langlang Buana kepada purnama bulan inilah ia akan datang.”
Setelah demikian maka baginda pun duduklah menantikan Langlang Buana itu.
Awalnya, Raja Indra Syahperi melihat Sri Maharaja Sakti datang
menemui Raja Indra Bimaya, baginda pun heranlah di dalam hatinya,“Di
mana Raja Indra Bimaya bertemu dengan Sri Maharaja Sakti”.”
Tersebutlah perkataan Langlang Buana menuju Negeri Beranta Jantan
dan mengambil Tuan Puteri Kusuma Dewi di dalam Goa Rangga Singa.

- 61 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Setelah itu, bulan purnama empat belas hari bulan, Langlang Buana menuju
ke Goa Rangga Singa. Setelah dilihat oleh Raja Barma Gangga kedatangan
Langlang Buana, Raja Barma Gangga segeralah datang menyembah kaki
Langlang Buana.
“Hai Raja Barma Ganggga, pergilah engkau hantarkan puteri Kusuma
Dewi kepada Maharaja Puspa Indra.Mufakatlah dengan Raja Indra Bimaya.
Jikalau engkau tidak mau mufakat dengan Raja Indra Bimaya, peranglah
engkau dengan Sri Maharaja Sakti, tetapi puteri itu hantarkan juga kepada
ayah bundanya, lalu engkau katakan segala hal ihwalnya Raja Indra Bimaya
kepada Puspa Indra,” titah Langlang Buana. Setelah itu, Langlang Buana pun
pergi menemui Raja Indra Syahperi.
Setelah dilihat oleh Raja Indra Syahperi kedatangan Langlang Buana,
maka ia pun segeralah datang menyembah kaki Langlang Buana itu, maka
titah Langlang Buana,”Hai Raja Indra Syahperi, baik juga engkau mufakat
dengan Raja Indra Bimaya itu karena pada bicara aku tiada akan dapat engkau
melawan Raja Indra Bimaya itu.”
Dikatakanlah oleh Langlang Buana segala hal ihwalnya Raja Indra
Bimaya karena Raja Mengindra Dewa berbuat kerjaan di Mercu Indra,
sekaliannya dikatakan oleh Langlang Buana kepada Raja Indra Syahperi. Ia
pun berpikir di dalam hatinya,“Jikalau demikian,aku tidak akan mendapatkan
puteri Kusuma Dewi.” Seraya tunduk menyembah kepada Langlang Buana
dan berkata,“Mana titah patik junjunglah?”
Setelah Langlang Buana bertitah demikian, Langlang Buana pun
kembalilah kepada Raja Indra Bimaya. Setelah baginda datang maka Raja
Indra Bimaya dan raja-raja pun segeralah datang menyembah kaki Langlang
Buana, lau titah Langlang Buana,“Hai Raja Indra Bimaya, adapun puteri
Kusuma Dewi itu telah kusuruh hantarkan kepada Maharaja Puspa Indra, lalu
engkau suruh Sri Maharaja Sakti dan Raja Johan pergi menemui Maharaja
Puspa Indra.” Setelah sudah berpesan, maka baginda pun kembalilah.
Pada mulanya tersebutlah perkataan Raja Barma Gangga membawa Tuan
Puteri Kusuma Dewi kepada Raja Puspa Indra. Setelah baginda mendengar
kabar anakda baginda datang dibawa oleh Raja Barma Gangga, baginda pun

- 62 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

segeralah pergi mendapatkan anakda baginda itu di luar kota. Setelah baginda
bertemu dengan anakda baginda, ia segera memeluk dan menciumya, lalu
dibawanya masuk kota lalu ke dalam istana dengan segala bunyi-bunyian.
Setelah datang ke istana, permaisuri pun datang memeluk dan mencium
anakda baginda itu. Setelah itu, Raja Puspa Indra pun keluar, lalu duduk di
balairung dihadap oleh segala orang banyak. Barma Gangga pun berceritakan
segala kata-kata Langlang Buana dan segala perihal ihwalnya Raja Indra
Bimaya kepada Maharaja Puspa Indra dan juga mengatakan tatkala merak
emas itu datang membawa Tuan Puteri Kusuma Dewi.

Setelah mendengar cerita Raja Barma Gangga, baginda pun teringatlah


akan Maharaja Bulia Kesna tatkala berperang dengan Maharaja Mengindra
Dewa di Mercu Indra. Setelah itu, pikir Maharaja Puspa Indra itu,“Apakah
titah Langlang Buana selanjutnya?”
Raja Barma Gangga pun berkata kepada Maharaja Puspa Indra,“Adapun
titah Langlang Buana, jikalau engkau tidak menurut seperti titah Langlang
Buana itu, datanglah kebinasaan Keindraan itu. Jikalau engkau turut, baiklah.”
Setelah ia berkata-kata itu, maka Raja Barma Gangga pun bermohon
kepada Maharaja Puspa Indra, lalu kembali ke Goa Rangga Singa itu.
Tersebutlah perkataan Sri Maharaja Sakti duduk dengan Raja Indra
Bimaya, lalu sembah Raja Indra Bimaya,“Ya tuanku, jikalau mudah-mudahan
berangkatlah kepada Maharaja Puspa Indra.”
Maka Sri Maharaja Sakti pergi menemui Raja Puspa Indra dengan
diiringi oleh Raja Johan dan raja-raja di Gunung Indranaga itu.
Raja Puspa Indra mendengar Sri Maharaja Sakti.Setelah bertemu,
Raja Puspa Indra pun datang menyembah kaki Sri Maharaja Sakti. Setelah
bertemu, dipegang oleh baginda tangan Maharaja Puspa Indra, lalu dibawanya
naik ke balairung. Setelah duduk, titah Sri Maharaja Sakti kepada Raja Puspa
Indra seperti titah Langlang Buana, diceritakannya segala perihal ihwalnya
Raja Indra Bimaya. Kemudian, titah Langlang Buana,“Karena puteri Kusuma
Dewi itu seharusnya duduk dengan Raja Indra Bimaya.”

- 63 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Setelah didengar oleh Raja Puspa Indra akan titah Sri Maharaja Sakti,
baginda pun berpikir di dalam hatinya,“Jikalau aku berikan anakku kepada
Raja Indra Bimaya, bagaimana nasib Raja Indra Syahperi?”
Sri Maharaja Sakti pun tahu apa yang dipikirkan Raja Puspa Indra.
Sri Maharaja Sakti pun bertitah,“Hai Raja Puspa Indra, janganlah Tuanku
dukacita akan pekerjaan Indra Syahperi itu atas Langlang Buana.”
Setelah Raja Puspa Indra mendengar titah Sri Maharaja Sakti, ia pun
sukacita dan berkata,“Apapun titah Sri Maharaja Sakti, aku turut.”
Setelah Sri Maharaja Sakti mendengar sembah Raja Puspa Indra itu
maka titah Sri Maharaja Sakti,“Jika demikian, baiklah anakku memulai
pekerjaan berjaga-jaga karena ayahanda tidak dapat lama meninggalkan
Gunung Indranaga.”
Selanjutnya, Sri Maharaja Sakti pun mohon pamit kepada Raja Puspa
Indra. Baginda pun menyembah Sri Maharaja Sakti. Setelah itu,baginda
duduk.
“Hai anakku Raja Indra Bimaya, baiklah anakku memulai pekerjaan
berjaga-jaga karena aku akan segera kembali,” kata Sri Maharaja Sakti.
Setelah Raja Indra Bimaya mendengar titah Sri Maharaja Sakti, baginda
pun terlalu sukacita. Setelah itu, terdengarlah perkataan bahwa Raja Indra
Syahperi telah kembali setelah berperang dengan Raja Indra Bimaya. Baginda
pun dukacita dan berkata,“Baiklah, nanti di jalan aku ambil Tuan Puteri
Kusuma Dewi darinya.”
Setelah ia berpikir demikian, ia pun kembali dengan percintaan hendak
pun di lawannya perang, takut akan Langlang Buana dan Maharaja Sakti.
Setelah berpikir demikian, ia pun duduk dengan marahnya.
Pada awalnya, Raja Puspa Indra menyuruh menghiasi negeri, pakan,
pasar, dan lorong jalan raya sekalian pun diperbaiki orang. Setelah lengkap,
Raja Puspa Indra pun memulai pekerjaan berjaga-jaga. Setelah itu, Raja
Johan pun memulai pekerjaan berjaga-jaga, sedangkan Maharesi Kesna
Candra membuat perarakan tujuh belas pangkat dari emas sepuluh mutu dan
bertahtakan ratna mutu manikam, berumbaikan mutiara gemala, lalu beberapa

- 64 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

permata yang indah-indah tergantung pada tirai perarakan itu. Setelah lengkap
segala alat perarakan itu, Raja Johan pun mencita gemala hikmat, lalu jadilah
sebuah balai emas dan sebuah balai perak tempat raja-raja bermain-main dan
bertahtakan ratna mutu manikam dan balai bertahtakan permata sembilan
bagai terlalu indah-indah perbuatannya balai itu, kemudian raja-raja bermain.
Diceritakan oleh orang yang punya cerita ini, setelah itu, terdengar
perkataan sekalian anak raja-raja yang bertemu dengan Raja Indra Bimaya
di tasik itu beroleh sakti. Kemudian, raja-raja itu pun datang mendapatkan
Raja Indra Bimaya ke Negeri Beranta Jantan itu dengan segala tentaranya
dan rakyat sekalian yang tidak terhitung banyaknya. Penuhlah padang itu oleh
rakyat anak raja-raja empat puluh itu, lalu menjadi ramailah orang bermain-
main di situ. Ada yang bermain catur, ada yang bermain rebab, kecapi, dandi,
muri dan bangsi, serdam, kopok, ceracap, terlalu ramainya, lalu Raja Johan
pun turut bermain-main dengan raja-raja itu. Seketika baginda pergi kepada
raja-raja bermain catur. Baginda pun turut bermain catur. Seketika baginda
pergi kepada orang bermain rebab, baginda turut bermain rebab dan seketika
baginda pergi kepada orang berjuang biram(Gajah) maka baginda pun turut
berjuang biram(Gajah) orang bermain-main sebab karena Raja Johan.
Setelah genap empat puluh hari dan empat puluh malam, Maharesi Kesna
Candra dan Maharesi Antakosa pun menghiasi perarakan itu dengan segala
perhiasan. Raja Indra Bimaya pun dihiasi dengan pakaian Keindraan. Setelah
itu, ia dinaikkan ke atas perarakan. Beberapa gemala pun ada di perarakan
itu. Segala pawai pun diatur lalu terkembanglah payung Keindraan itu
seribu berapit dengan rama-rama kuning dan berdirilah jogan alam bernaga.
Setelah itu, diarak orang-orang, ada yang di atas burung melayang, ada yang
di atas singa terbang, dan ada yang di atas gajah berangga, masing-masing
dengan kendaraannya. Selain itu, ada yang raja dengan raja, menteri dengan
menteri, hulu balang dengan hulu balang, dewa dengan dewa, mambang
dengan mambang, dan peri dengan peri. Raja-raja itu pun masing-masing
mengeluarkan kesaktiannya. Raja Indra Bimaya pun didudukkan di atas
perarakan itu dihadap oleh raja-raja.
Bermula empat puluh anak raja-raja yang duduk menghadap baginda,
empat puluh anak menteri yang menyandangkan kerajaan itu, empat puluh

- 65 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

anak ceteria (anak raja-raja, kesatria) memegang kipas, dan empat puluh
bintara(pegawai rendah, tentara) dari kiri baginda dan empat puluh dari kanan
baginda, masing-masing dengan jawatannya (pangkat atau kedudukan).
Setelah itu, diatur oranglah segala pedati itu, perarakan itu pun bergeser-
geser sendirinya. Jika baginda berpaling ke kanan, segala yang di kanan
menyembah baginda, dan jika baginda berpaling ke kiri, segala yang di kiri
menyembah baginda. Maharaja Sakti pun meminta murid-muridnya bermain-
main melambungkan cemeti kudanya. Ada yang menjadi hujan permata dan
ada yang tertanam keluar bunga rampai, ada juga yang memanah ke udara
menjadi hujan air mawar. Ramailah orang memungut segala permata dan
emas. Menjadi kayalah segala yang memungut permata dan emas itu.
Setelah datang perarakan ke istana Raja Puspa Indra, Sri Maharaja
Sakti dan Maharesi Kesna Candra serta Maharesi Antakosa pun turun dari
atas ratnanya menyambut Raja Indra Bimaya. Raja Puspa Indra pun turun
menyambut Raja Indra Bimaya dan Raja Syahbardan Dewa pun dari kiri
baginda. Setelah dilihat oleh Raja Puspa Indra akan Raja Indra Bimaya itu
yang terlalu elok, ia pun menyembah.
“Ya Tuanku, sekarang aku ingin merajakan Raja Indra Bimaya supaya
aku dapat melihat anakku naik kerajaan,” sembah Raja Puspa Indra kepada
Sri Maharaja Sakti. Sri Maharaja Sakti pun sangat senang mendengar sembah
Raja Puspa Indra.
“Hai anakku, sekarang ini ayahanda serahkan kepadamu Negeri Beranta
Jantan ini selagi ayahanda masih hidup sampai ayahanda melihatmu naik
kerajaan di negeri ayahanda ini,”kata Raja Puspa Indra kepada Raja Indra
Bimaya.
“Ya Tuanku Syah Alam, hamba mohon ampun dan karunia ke bawah duli
paduka sri maharaja. Hamba tidak layak menerimanya. Jikalau ada yang lebih
pantas, biarlah orang lain saja. Biar hamba di tanah manusia saja,”kata Raja
Indra Bimaya.
“Hai anakku, baik juga anakku turut kata ayahandamu itu. Jika di tanah
manusia pun, anakku jadi raja juga. Jika di sini pun, anakku raja juga,”kata
Sri Maharaja Sakti.

- 66 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

“Ya Tuanku, sebaiknya anakku jadi raja di sini. Sempurnalah kasihnya


anakku akan ayahanda di sini karena Negeri Beranta Jantan ini Tuan Puteri
Kusuma Dewi yang punya. Jika anakku naik raja di Keindraan ini, negeri
Mercu Indra pun negeri tuan juga,”kata Raja Syahbardan Dewa.
Setelah didengar oleh Raja Indra Bimaya perkataan Raja Syahbardan
Dewa, baginda pun tidak berdaya lagi seraya datang menyembah.
“Ya Tuanku Syah Alam, titah sri paduka maharaja patik junjung di atas
batu kepala patik, tetapi niat patik jika tiada pun naik kerajaan di Keindraan
ini, patik pun menjunjung titah Syah Alam juga.”
Selanjutnya, Raja Puspa Indra pun menyuruh memalu gendang
nobat(gendang besar) kerajaan. Dipalu oranglah gendang, nobat(gendang
besar), dan nafiri(serunai panjang), lalu Raja Indra Bimaya didudukkan oleh
Raja Puspa Indra di atas singgasana tahta kerajaan, berdirilah Raja Puspa
Indra.Raja-raja dan menteri, hulu balang dan bintara(pegawai rendah, tentara),
ceteria (anak raja-raja, kesatria), rakyat hina dina isi Negeri Beranta Jantan itu
pun menyembah Raja Indra Bimaya. Sri Maharaja Sakti, Maharesi Kesna
Candra, Maharesi Antakosa, jogi(pertapa hindu), dan brahmana sekalian
pun mengatakan selamat sempurnalah baginda di atas tahta kerajaan. Lalu,
Sri Maharaja Sakti menggelarlah akan Raja Indra Bimaya itu Maharaja Lela
Gembira.
Setelah itu, Maharesi Kesna Candra dan Maharesi Antakosa itu bicara
kepada Maharaja Lela Gembira. Sri Maharaja Sakti pun menggandeng tangan
baginda, dibawanya masuk ke istana lalu didudukkannya di atas singgasana
yang keemasan, duduk di kanan Tuan Puteri Kusuma Dewi dihadap oleh
segala istri raja-raja dan menteri serta hulu balang sekalian, seperti bulan dan
matahari dipagari bintang. Demikianlah rupanya karena sama baik parasnya.
Seketika itu, tirai yang keemasan pun dilabuhkan orang lalu baginda pun
duduk bersuka-sukaan dua laki isteri.
Raja Puspa Indra keluar berjamu dengan Sri Maharaja Sakti, Maharesi
Kesna Candra, Maharesi Antakosa, Raja Johan Syahperi, anak raja-raja dan
menteri, hulu balang, dan rakyat sekalian makan dan minum dengan segala
bunyi-bunyian selama tujuh hari tujuh malam. Setelah genap tujuh hari, Raja

- 67 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Johan pun berbuat panca persada tujuh belas pangkat. Setelah itu, dikenakan
oranglah perhiasan panca persada itu. Setelah lengkap perhiasannya, Maharaja
Lela Gembira dan Tuan Puteri Kusuma Dewi pun dinaikkan orang ke atas
perarakan dan didudukkan di atas singgasana dihadap oleh raja-raja dan
menteri, hulu balang dan segala dayang-dayang perwara sekalian. Setelah
lengkap, perarakan itu pun bergeser-geser dengan sendirinya diiringkan
oleh raja-raja. Kemudian, terkembanglah payung Keindraan di hulu dengan
rama-rama kuning. Berbunyilah gendang arak-arakan, nobat(gendang
besar), nakara(gendang besar, tabuh), dan nafiri(serunai panjang). Segala
yang mengiringkan masing-masing naik ke atas kendaraannya.Ada yang
di atas burung melayang, ada yang di atas singa terbang, ada yang di atas
gajah bandang, dan ada yang di atas merak mengikal, masing-masing dengan
kenaikannya.
Setelah datang ke Padang Sujana Pirus, Sri Maharaja Sakti dan Raja
Puspa Indra pun datanglah memimpin tangan Maharaja Lela Gembira dan
Tuan Puteri Kusuma Dewi naik ke atas panca persada. Setelah itu, mandi dan
raja-raja itu pun ramailah bersembur-semburan. Raja Johan pun memantekan
jangginya (benda ajaib, senjata ajaib) lalu turunlah hujan air mawar. Sri
Maharaja Sakti tersenyum lalu turunlah hujan permata. Maharesi Kesna
Candra pun melambungkan cemeti kudanya ke udara lalu turunlah hujan bunga
rampai. Maharesi Antakosa melambungkan gajahnya ke udara lalu turunlah
hujan emas. Setelah itu, Sri Maharaja Sakti menyuruh segala muridnya naik
ke atas tangga padang dan mengguncangkan tangga itu. Seketika anak raja-
raja itu jatuhlah habis berapung-apungan dan ada yang naik tangga batang
tujuh helai lalu putuslah batang itu.Anak raja-raja itu pun jatuhlah lalu mati,
hancur luluh menjadi abu lalu diseru-seru oleh Sri Maharaja Sakti lalu anak
raja-raja itu pun hidup pula datang bermain-main.
Setelah selesai mandi, Raja Lela Gembira pun dihiasi oleh Raja Johan
dengan pakaian kerajaan dan mengenakan mahkota yang keemasan. Setelah
itu, Raja Lela Gembira dan Tuan Puteri diarak orang berkeliling Negeri
Beranta Jantan. Setelah genap tujuh kali lalu ke istana. Setelah datang ke
istana, naik ke balairung dihadap oleh segala raja-raja dan menteri, hulu
balang, bintara(pegawai rendah, tentara), sida-sida(Pegawai dalam istana), dan

- 68 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

rakyat sekalian hina dina, kecil besar duduk menghadap baginda. Maharaja
Lela Gembira berjamu-jamu dengan raja-raja dan menteri serta memberi
dirham kepada segala menteri, hulu balang, rakyat sekalian, dan memberi
persalin akan Sri Maharaja Sakti. Maharaja Lela Gembira pun turun dari atas
singgasana membawa persalin itu kepada Sri Maharja Sakti lalu Maharaja
Sakti pun turun memegang tangan Maharaja Lela Gembira seraya memberi
hormat kepada baginda lalu didudukkan di atas singgasana kerajaan.
Raja-raja dan baginda berangkat masuk ke istana, duduk bersuka-sukaan
dengan Tuan Puteri Kusuma Dewi. Setelah beberapa lamanya, baginda tersadar
akan ayahanda baginda lalu Maharaja Lela Gembira berkata kepada Tuan
Puteri,“Hai Tuan Puteri, maukah ikut kakanda pulang ke tanah manusia?”
Setelah Tuan Puteri mendengar Maharaja Lela Gembira bertitah, Tuan
Puteri pun menangis karena akan berpisah dengan ayahanda bundanya
baginda lalu dibujuk oleh Maharaja Lela Gembira dengan kata yang manis-
manis,“Adinda Tuan Puteri, dengarlah juga perkataan kakanda ini. Beberapa
bulan kakanda tidak makan dan tidur, beberapa gunung dan padang yang
luas-luas sudah kakanda lalui dan nyaris kehilangan nyawa. Jikalau adinda
tidak mau mengikut ke tanah manusia, matilah kakanda di dalam percintaan
kakanda ini.”
Beberapa kata yang manis-manis dan beberapa bujuk dan cumbu-
cumbuan melembutkan hati Tuan Puteri.
“Ya Tuan Puteri, tidakkah engkau melihat kematian kakanda ini?
Dengarkah kabarnya Raja Indra Syahperi hendak menghadang kakanda di
jalan dan tatkala kembali itulah kakanda ingin dibunuhnya karena ia sakit hati
karena kakanda duduk dengan Tuan Puteri,”kata Maharaja Lela Gembira”.
Setelah Tuan Puteri mendengar perkataan Maharaja Lela Gembira
itu, bercucuranlah air matanya karena belas hatinya kepada Maharaja Lela
Gembira. Baginda melihat Tuan Puteri menangis lalu baginda tersenyum dan
berkata,“Kasih rupanya tuan akan kakanda mati.” Tuan Puteri pun menjeling
(mengerling, memandang dengan ekor mata) Maharaja Lela Gembira lalu
baginda tertawa-tawa. Setelah itu, hari pun malamlah, baginda pun mengajak
isterinya masuk ke peraduan.

- 69 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Setelah hari siang, baginda bangun lalu duduk suami istri dihadap
oleh dayang-dayang dan inang pengasuhnya lalu baginda memakai pakaian
kerajaan. Setelah berpakaian, baginda keluar ke pengadapan duduk dihadap
oleh raja-raja, menteri, hulu balang, dan rakyat sekalian.Seketika duduk,
Sri Maharja Sakti dan Maharaja Johan datang. Setelah dilihat oleh Raja
Lela Gembira kedatangan kedua baginda itu, baginda pun turun memberi
hormat kepada Sri Maharaja Sakti dan Maharaja Johan. Kemudian, baginda
dibawanya duduk bersama-sama di atas kursi yang keemasan dihadap oleh
raja-raja, dan menteri, hulu balang, dan rakyat sekalian.
“Ya Tuanku, sekarang patik ingin pamit kembali ke tanah manusia.
Jikalau dengan mudah-mudahan lulus, kiranya sembah patik ke bawah duli
Syah Alam Tuanku berangkatlah ke tanah manusia supaya sempurnalah
karunia paduka Sri Maharaja Sakti,” sembah Maharaja Lela Gembira.
Setelah baginda mendengar sembahnya Maharaja Lela Gembira, baginda
pun tahulah kehendak Maharaja Lela Gembira. Baginda pun akan berperang
lagi dengan Raja Indra Syahperi. Maka titah Sri Maharaja Sakti,
“Baiklah hai anakku. Dalam penglihatanku, engkau akan berperang lagi
dengan Raja Indra Syahperi,” kata Sri Maharaja Sakti.
Setelah itu, Sri Maharaja Sakti berangkat kembali dan Maharaja Lela
Gembira turun menyembah Sri Maharaja Sakti. Setelah keesokkan paginya,
Maharaja Lela Gembira berangkat masuk menghadap Raja Puspa Indra.
Setelah datang ke istana baginda, Raja Puspa Indra segera turun memegang
tangan anakda baginda itu lalu dibawanya duduk di atas ratna yang keemasan
bersama-sama. Permaisuri pun menjungjungkan puannya kepada Maharaja
Lela Gembira. Baginda pun menyembah seraya menyambut puan itu lalu
makan sirih. Setelah makan sirih, Maharaja Lela Gembira datang menyembah.
“Ya Tuanku Syah Alam, patik memohon ampun dan karunia ke bawah
duli paduka Sri Maharaja, patik hendak kembali ke tanah manusia,” sembah
Maharaja Lela Gembira.
Setelah baginda mendengar sembah Maharaja Lela Gembira, baginda
pun terkejut dan berdebar hatinya karena akan berpisah dengan anaknya.
Permaisuri pun menangis lalu pingsan dan segera dibawa oleh baginda.
Kemudian, gemparlah di dalam istana baginda dengan tangis orang-orang di
dalam istana.

- 70 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

“Hai anakku, sebaiknya engkau duduk di Keindraan ini. Di sini pun


engkau raja dan di sana pun engkau raja juga. Lagi pula belum puas rasanya
ayahanda bunda melihat engkau di kerajaan ini,” titah Raja Puspa Indra.
“Ya tuanku, jikalau di sini pun patik menghamba ke bawah duli yang
dipertuan juga. Jikalau di sana pun juga seperti itu. Jikalau ada hajat yang
dipertuan, patik datang juga menghadap ke bawah duli yang dipertuan juga,”
sembah Maharaja Lela Gembira.
“Kapan anakku akan berangkat?” tanya baginda.
“Tiga hari lagi, Tuanku, karena Sri Maharaja Sakti pun ingin segera
kembli ke Gunung Indranaga,” jawab Maharaja Lela Gembira. Kemudian,
baginda pun pamit kembali ke istana sendiri.
Setelah tiga hari, Maharaja Lela Gembira masuk membawa Tuan Puteri
pamit kepada ayahanda bunda baginda. Setelah datang ke istana, segeralah
ditegur oleh baginda seraya menyapu-nyapu air matanya.
“Marilah engkau duduk dekat bunda di sini. Menjadi orang dunialah
engkau. Kapan lagi bunda melihatmu? Sunyilah istana bunda, hilanglah sri
mahligai bunda, dan hilanglah cahaya derajat bunda. Apakah perbuatanmu
di negeri orang, tahu-tahu Tuan pertaruhkan diri Tuan kepada kakanda itu,
janganlah engkau samakan duduk dengan bunda di sini,” titah permaisuri
sambil menangis.
“Ya anakku, pertaruhkan bundalah Tuan Adinda ini karena budak ini
belum tahu bicara melainkan Tuanlah yang mengajar adinda,” titah permaisuri
kepada Maharaja Lela Gembira.
“Ya Tuanku, jikalau patik berbuat khianat kepada paduka anakda itu
seperti patik berbuat durhaka ke bawah duli yang dipertuan,” sembah Maharaja
Lela Gembira.
Setelah itu, baginda menyuruhkan orang mengiringkan anakda baginda
seratus empat puluh anak raja, seratus empat puluh anak menteri, seratus
empat puluh anak hulu balang, seratus empat puluh anak bintara(pegawai
rendah, tentara), seratus empat puluh inang pengasuh, seratus empat puluh
dayang-dayang, seratus empat puluh puteri-puteri, dan tujuh orang bidadari
pengasuh mengiringkan Tuan Puteri.

- 71 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Beberapa perkakasan cara Keindraan diberikan kepada anakda baginda.


Setelah lengkap, Maharaja Lela Gembira dan Tuan Puteri pun menyembah
kaki ayahanda bunda baginda. Permaisuri memeluk dan mencium anakda
baginda dan menangislah orang-orang di dalam istana.
Tangis orang di dalam Beranta Jantan pun seperti ombak mengempas
di batu. Setelah itu, Maharaja Lela Gembira mengeluarkan gemala hikmat
dan Tuan Puteri pun dimasukkan ke dalam cumbul hikmat itu dengan segala
dayang-dayang inang pengasuhnya. Setelah itu, baginda berangkat turun
ke dunia diiringi oleh raja-raja, menteri, hulu balang, dan rakyat sekalian.
Demikianlah diceritakan oleh orang yang punya cerita ini. Wallahu a’lam bi
sh-shawab.
Alkisah tersebutlah perkataan Raja Indra Syahperi bahwa ia telah
mendengarkabar Raja Indra Bimaya hendak kembali ke tanah manusia. Ia pun
berpikir di dalam hatinya,“Sebaiknya aku pergi kepada raja jin yang bernama
Raja Barma Logam supaya lepas namaku hendak suruh berperang dengan dia
supaya lepas namaku kepada Langlang Buana dan Raja Indra Syahperi.”
Setelah ia berpikir demikian, ia pun mengumpulkan segala rakyat,
menteri, dan hulu balang. Kemudian, Raja Indra Syahperi berjalan ke Padang
Barma Dewa karena di padang itu ada sebuah goa batu seperti gajah berjuang
sebab itulah dinamai Padang Barma Dewa. Setelah datang kepada Raja Barma
Logam jin itu, dikatakannya segala perihal ihwalnya itu kepada Raja Barma
Logam.
Setelah itu, tersebutlah perkataan Maharaja Lela Gembira berjalan
seperti orang berarak lakunya dengan segala bunyi-bunyian yang terlalu
ramai, gegap gempita, masing-masing di atas kendaraannya. Ada yang di
atas gajah berjuang, ada yang di atas singa terbang, ada yang naik walimana
(sejenis burung yang besar untuk kendaraan) terbang, dan ada yang di atas
kuda semberani.
Pertama-tama berjalan dahulu Maharesi Antakosa naik walimana (sejenis
burung yang besar untuk kendaraan) terbang diiringi oleh segala muridnya.
Selanjutnya, Maharesi Kesna Candra naik rotan terbang diiringi oleh segala
jogi (pertapa hindu) dan brahmana. Kemudian, Sri Maharaja Sakti naik singa

- 72 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

terbang diiringi oleh anak raja-raja yang di Gunung Indranaga. Lalu, Maharaja
Lela Gembira naik ke atas gajah putih dan memakai mahkota Raja Puspa
Indra. Kemudian, empat puluh anak raja-raja dihadapan baginda dan empat
puluh bintara(pegawai rendah, tentara) dari kanan baginda dan empat puluh
anak menteri dari kiri baginda menyandangkan pedang kerajaan serta empat
puluh anak raja-raja yang baginda bertemu di tasik itu dari belakang baginda.
Setelah beberapa lamanya berjalan, baginda pun sampai di Padang
Barma Dewa. Terdengarlah bunyi-bunyian Maharaja Lela Gembira ke telinga
Raja Barma Logam. Ia pun keluar dengan marah. Apabila ia marah, keluar
kepalanya tujuh masing-masing dengan rupanya kepalanya, seperti harimau
di kepalanya, seperti kepala kuda, ada seperti kepala onta, ada seperti babi,
dan ada seperti lembu, masing-masing dengan rupanya.
Setelah mendengar suara orang itu, ia pun berbunyi suara yang kuat,
suaranya seperti halintar membelah bumi bunyinya dan segala yang berjalan
dahulu pun terkejut, disangkanya hendak membelah bumi. Maharesi Antakosa
pun tahulah akan suara Raja Barma Logam itu. Setelah ia bertemu dengan
Raja Barma Logam, Maharesi Antakosa pun berperang dengan rakyat Raja
Barma Logam.
Setelah tiga hari tiga malam baginda berperang, Maharesi Kesna Candra
pun datang. Setelah dilihatnya orang itu, baginda pun masuk berperang.
Setelah tiga hari tiga malam baginda berperang, Raja Johan pun datang.
Setelah dilihatnya akan hal itu, baginda pun heran tidak ada tempat bertanya
lagi karena terlalu ramai orang berperang. Raja Johan pun mengalau-
ngalaukan gajahnya perlahan-lahan dan bertanya kepada orang yang tidak
ikut perang,“Apakah sebabnya tuanku sekalian ini berperang?”
Ia pun menceritakan segala perihal ihwalnya kepada Raja Johan. Setelah
didengar oleh baginda, baginda pun tahulah akan pekerjaan Raja Indra
Syahperi.Baginda pun tersenyum di dalam hatinya,“Datang kebesaran Raja
Indra Syahperi ini.”
Seketika terdengarlah bunyi-bunyian yang terlalu ramai dan Maharaja
Lela Gembira sampailah ke tengah Padang Barma Dewa. Setelah dilihat
oleh Raja Barma Logam, ternyata yang datang adalah Raja Lela Gembira

- 73 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

dengan segala bala tentaranya. Raja Barma Logam pun segera keluar dengan
alat senjatanya. Kemudian, berseru-serulah hulu balang Barma Logam,“Hai
raja manusia, janganlah engkau pergi dari sini! Jika engkau ingin turun ke
dunia dengan selamat, janganlah engkau bawa turun Puteri Kusuma Dewi,
tinggalkan ia di Keindraan itu!”
Terdengarlah perkataan hulu balang jin itu oleh Raja Lela Gembira. Ia
pun marah seperti api yang menyala. Apabila bangkit marahnya, keluarlah
seperti rambut yang hijau rupanya.
“Hai jin yang di dalam goa batu, enyahlah engkau dari sini! Aku hendak
pulang ke negeriku. Jika engkau tidak enyah dari sini, niscaya aku hancurkan
negerimu!” kata Raja Lela Gembira.
“Hamba manusia, jangankan satu kepalamu, seribu kepalamu aku tidak
takut,” tantang Barma Logam.
Barma Logam mengambil panah lalu membidiknya ke arah Raja Lela
Gembira, namun panahnya dapat ditangkis Raja Lela Gembira dengan cemeti
kudanya yang keluar api memancar-mancar ke udara, begitu seterusnya.
Setelah beberapa kali dipanah oleh Raja Barma Logam tidak juga kena, Raja
Lela Gembira pun marah seperti api yang menyala-nyala dan seperti ular
berbelit-belit rupanya.
“Hai Barma Logam tahanlah engkau,” kata Raja Lela Gembira seraya
mengeluarkan anak panah pemberian Raja Johan.
Dibidiknya anak panah itu sehingga mengenai tubuh Raja Barma Logam
lalu keluarlah api memancar-mancar ke udara dan menjadi ramailah perang
itu. Setelah tiga hari tiga malam berperang, banyak darah tumpah ke bumi.
Jin dan peri pun semakin banyak datang dari celah batu. Ada yang dari rongga
kayu, masing-masing membantu rajanya.
Setelah itu, Raja Johan melihat Raja Lela Gembira berhadapan dengan
Raja Barma Logam. Kemudian, Raja Johan menghampiri Raja Lela Gembira.
Baginda pun melihat Raja Johan. Ia sangat senang lalu dipeluk dan diciumnya
seraya menceritakan hal ihwalnya berperang.
“TahukahTuanku akan pekerjaan Raja Indra Syahperi,”kata Raja Johan
sambil tersenyum.

- 74 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Kemudian, segala jin itu pun berseru-seru,“Hai manusia berkepala satu,


tidakkah keluar berperang dengan raja kami? Apakah engkau takut dengan
raja kami?”
Raja Johan pun marah mendengar perkataan jin itu seraya menghunus
pedangnya serta naik ke atas kudanya lalu dipacunya ke tengah medan. Barma
Logam melihat Raja Johan itu datang dan berkata,“Hai raja jin, mengapa
engkau datang menolong dia? Mengambil upahkah engkau kepada manusia
itu sehingga engkau datang melawan aku?”
“Betul katamu itu, aku mengambil upah kepada manusia itu. Jikalau
engkau mati olehku, istrimu itulah sebagai upah untukku,” kata Raja Johan.
Setelah Raja Barma Logam mendengar perkataan Raja Johan, ia pun
marah seraya menghunus pedangnya lalu diparangkannya kepada Raja Johan.
Namun, Raja Johan menangkisnya dengan perisainya keluar api memancar-
mancar ke udara. Setelah diparang oleh Raja Johan, kenalah tubuhnya Raja
Barma Logam sama dengan memarang besi. Demikianlah halnya tubuh
Raja Barma Logam itu suatu pun tidak dirasakannya parang Raja Johan
itu. Kemudian, diparangnya pula oleh Raja Barma Logam. Namun, segera
ditangkis oleh Raja Johan dengan perisainya dan seribu kesaktian Raja Johan
menangkiskan parang Raja Barma Logam.
Setelah Raja Lela Gembira melihat peperangan antara Raja Johan dan
Raja Barma Logam, Raja Johan hampir tewas karena Raja Barma Logam
pahlawan yang sakti dan termasyhur di tanah Keindraan tiada tandingannya.
Lalu, Raja Lela Gembira pun datang menemui Raja Johan dan Raja Lela
Gembira berkata,“Hai saudaraku, berhentilah tuanku melawan Raja Barma
Logam!”
Raja Johan pun tersenyum seraya Raja Lela Gembira meretakkan
kudanya ke tengah medan itu serta menghunus pedangnya. Setelah Barma
Logam melihatkedatangan Raja Lela Gembira, ia berkata,“Hai manusia,
kembalilah engkau dahulu karena hari sudah malam. Bukan takut melawan
engkau karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikan malam perhentian
sekalian hamba-Nya. Perang akan kita lanjutkan esok hari.”

- 75 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

“Baiklah, apapun yang engkau katakan, aku turut,” kata Raja Lela
Gembira.
Setelah itu, gendang pun kembali berbunyi dari kedua pihak, tentara pun
kembalilah dan Raja Lela Gembira kembali dengan Raja Johan. Pada malam
itu Raja Johan dan Raja Lela Gembira kembalilah dan baginda pun mencita
gemala hikmat pemberian Maharesi Antakosa lalu keluarlah beribu-ribu
rakyat dan menjadi sebuah negeri dengan segala isinya dan bunyi-bunyian
terlalu ramai, Raja Lela Gembira pun berjamu dengan Raja Johan, makan dan
minum bersama hulu balang jin dan mambang, serta rakyat sekalian. Raja Lela
Gembira pun mencita gemala hikmat pemberian Maharaja Sakti lalu keluarlah
empat pengawal jin dan Raja Lela Gembira berkata,“Hai saudaraku, hamba
hendak menurunkan hujan batu supaya binasalah rakyat Barma Logam.”
“Baiklah tuanku,” sembah empat jin itu.
Tersebutlah perkataan Raja Indra Syahperi berjalan dengan segala
balatentaranya. Ia bertemu dengan rakyat jin dan peri, mambang dan dewa-
dewa terlalu banyak. Lalu, titah Raja Indra Syahperi kepada Bujangga
Dewa,“Pergilah engkau, tanya rakyat darimanakah datangnya ini dan apakah
pekerjaan mereka di sini?”
Bujangga Dewa pun pergi berjalan dan bertemu jin dan peri itu lalu
berkata,“Hai tuan-tuan sekalian, siapakah yang punya rakyat ini dan apa
pekerjaan kalian di sini?”
“Adapun kami ini rakyat Raja Lela Gembira yang berperang dengan
Raja Barma Logam,” jawab jin.
“Apa sebabnya perang dengan Raja Barma Logam?” tanya Bujangga
Dewa.
“Sebab Raja Lela Gembira hendak pulang ke negerinya ke tanah
manusia hendak membawa Tuan Puteri Kusuma Dewi namun tidak diberi izin
oleh Raja Barma Logam lalu dari sinilah terjadi perang dengan Raja Lela
Gembira,” sahut jin.
“Raja manakah yang bernama Raja Lela Gembira itu?” tanya Bujangga
Dewa.

- 76 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

“Raja Lela Gembira itu anak manusia, tetapi baginda itu sangat sakti,”
jawab jin.
Setelah Bujangga Dewa mendengar perkataan jin itu, ia pun segera
kembali menghadap Raja Indra Syahperi dan menyampaikan perkataan jin itu.
Kemudian, baginda pun terkejut mendengar penjelasan Bujangga Dewa. Ia
pun marah seperti ular berbelit-belit seraya menitahkan raja-raja dan menteri
serta hulu balang memalu bunyi-bunyian dan gendang yang terlalu ramai.
Setelah hari siang, Raja Indra Syahperi berjalan menuju ke tengah medan
peperangan. Setelah sampai, maka kedengaranlah bunyi-bunyian siapakah
gerangan. Lalu, Raja Johan berkata,“Kalau-kalau Raja Indra Syahperi yang
datang hendak mengambil Tuan Puteri Kusuma Dewi.”
Setelah Raja Lela Gembira mendengar perkataan Raja Johan, ia pun
meminta peri pergi melihat orang yang datang itu. Peri itu pun pergi dan
bertanya,“Hai Tuan-tuan, bunyi-bunyian dari manakah atau rakyat manakah
yang datang ini?”
“Tahukah Tuanku, Raja Indra Syahperi yang datang hendak mengambil
Tuan Puteri Kusuma Dewi,” jawab orang itu.
Kemudian, peri itu kembali menghadap Raja Lela Gembira dan
berkata,“Ya Tuanku, yang datang adalah Raja Indra Syahperi. Ia datang
hendak mengambil Tuan Puteri Kusuma Dewi.”
Setelah Raja Lela Gembira mendengar perkataan peri itu, ia pun
tersenyum memandang Raja Johan lalu tertawa-tawa dan berkata,“Apakah
salahnya jikalau dapat, baik esok hari kita keluar?”
Setelah hari siang, dari pagi-pagi hari berbunyilah gendang dari kedua
pihak.Tentara pahlawan pun berdiri di tengah medan itu lalu berseru-serulah
seorang hulu balang Barma Logam.
“Hai manusia, siapakah kamu yang ingin mati? Jikalau ada kelakian
kamu, marilah kita ke tengah medan berhadapan dengan raja kami Barma
Logam!”

- 77 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Setelah Raja Lela Gembira mendengar perkataan hulu balang Raja


Barma Logam, ia pun bertitah kepada empat jin itu,“Hai saudaraku, pergilah
engkau lawan hulu balang Raja Barma Logam!”
Kemudian, empat jin itu pun menyembah pergi dengan segala hulu
balang jin yang tidak terkira banyaknya serta dengan alat senjatanya, seperti
ombak mengalun demikianlah rupanya. Setelah datang ke tengah medan,
berhadapanlah kedua pihak rakyat itu lalu berperang gegap gempita, hanya
terdengar gerincing senjata orang berperang. Seketika, debu pun beterbangan
ke udara. Cuaca terang menjadi kelam kabut. Seketika banyak darah tumpah
ke bumi. Debu pun beterbangan ke udara, kelam kabut dari arah masyrik
(timur).
“Inilah rupanya Raja Indra Syahperi,” kata Raja Johan.
Selanjutnya, Raja Lela Gembira menitahkan hulu balang jin berlengkap
alat senjata dan yang bergajah naik gajahnya, yang berkuda naik kudanya,
masing-masing dengan alat senjatanya. Setelah itu, bersaf-saf di tengah
medan. Seketika Raja Indra Syahperi hampir sampai ke padang peperangan
itu. Kelihatanlah orang berperang ditengah padang itu lalu Raja Indra Syahperi
bertitah kepada seorang yang bernama Gardan Dewa,“Pergilah Tuanku
kepada Raja Barma Logam dan tanyalah oleh Tuanku apakah sebabnya ia
berperang?”
Setelah itu, Gardan Dewa pun menyembah lalu pergi kepada Raja
Barma Logam. Setelah datang ke pintu kota, Gardan Dewa berkata kepada
jin penunggu pintu itu,“Pergilah Tuanku beri tahu Raja Barma Logam dan
katakan utusan dari Raja Indra Syahperi ingin menghadap baginda.”
Jin penunggu pintu itu pun segera masuk menghadap Raja Barma Logam
seraya menyembah,“Ya Tuanku, ada utusan dari Raja Indra Syahperi ingin
menghadap yang Tuanku.”
“Suruhlah ia masuk!” titah Barma Logam.
Jin penunggu pintu itu keluar dan berkata,“Baginda meminta Tuanku
masuk.”

- 78 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Gardan Dewa pun masuk dan menyembah Raja Barma Logam. Segala
perkataan Raja Indra Syahperi disampaikannya kepada Raja Barma Logam.
“Katakan kepada Raja Indra Syahperi alasan hamba berperang dengan
manusia itu karena ia pergi dari sini hendak membawa Tuan Puteri Kusuma
Dewi pulang ke negeri tanah manusia. Maka dari itu, hamba tidak beri dia
izin. Itulah mulanya terjadi perang ini,” titah Raja Barma Logam.
Setelah itu, Gardan Dewa pamit kepada Raja Barma Logam lalu kembali
menghadap Raja Indra Syahperi. Semua perkataaan Raja Barma Logam
disampaikannya kepada Raja Indra Syahperi. Setelah Raja Indra Syahperi
mendengarnya, baginda pun berpikir di dalam hatinya,“Setelah lepas
kebinasaanku kepada Langlang Buana, akan aku ambil Tuan Puteri Kusuma
Dewi dari tangan Lela Gembira.”
Selanjutnya, Raja Syahperi sangat marah seraya meminta segala
rakyatnya naik gajah dan kudanya serta memalu bunyi-bunyian perang.
Kemudian, rakyat Indra Candra dan mambang serta dewa-dewa pun naiklah
ke atas kendaraannya masing-masing.
“Hai Bujangga Dewa, pergilah engkau temui Raja Lela Gembira dan
sampaikanlah jikalau Raja Lela Gembira hendak selamat pulang ke negerinya,
tinggalkanlahTuan Puteri Kusuma Dewi di Keindraan,”titah Indra Syahperi
kepada Bujangga Dewa.
Setelah itu, Bujangga Dewa pun menyembah lalu pergi menemui Raja
Lela Gembira.Orang yang di luar baris itu pun bertanya,“Apa pekerjaan/
maksud tuanku datang kemari?”
“Hamba diutus oleh Raja Indra Syahperi kemari hendak menanyakan
kabar baginda Raja Lela Gembira,” jawab Bujangga Dewa.
Penunggu pintu itu pun pergi menghadap Raja Lela Gembira dan
berkata,“Ya Tuanku, ada utusan dari Raja Indra Syahperi hendak menghadap
Tuanku.”
“Suruhlah ia masuk kemari,” titah Raja Lela Gembira.Orang itu pun
pergi menemui Bujangga Dewa dan ia pun disuruh masuk.

- 79 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

“Ya Tuanku, patik ini diperintahkan oleh Raja Indra Syahperi mengabarkan
jikalau Tuanku hendak pulang ke negeri tuanku dengan selamat, janganlah
Tuanku membawa Tuan Puteri Kusuma Dewi sebab orang Keindraan Tuanku
tinggalkan kepadanya. Jika Tuanku tidak meninggalkannya, peranglah
dengan Raja Indra Syahperi!” kata utusan Raja Indra Syahperi kepada Raja
Lela Gembira.
“Hamba tidak tahu tunangan siapa-siapa.”
Bujangga Dewa pun kembali dengan perasaan malu. Ia segera menemui
Raja Indra Syahperi dan mengatakan segala yang dikatakan Raja Lela
Gembira kepadanya. Semakin marahlah Raja Indra Syahperi, seperti api
yang menyala-nyala. Kemudian, Raja Indra Syahperi menitahkan raja-raja,
menteri, hulu balang, dan rakyat sekalian naik ke atas kudanya dengan alat
senjatanya masing-masing mengertakkan kudanya ke tengah medan serta
bunyi suara yang kuat seperti tagar (guntur) di langit bunyinya. Lalu, berseru-
serulah segala hulu balang Raja Indra Syahperi,“Mana laki-laki berani mati
dan hulu balang mau kemenangan, marilah ke tengah medan ini!”
Setelah didengar oleh rakyat Raja Lela Gembira perkataan segala hulu
balang Raja Indra Syahperi, Raja Lela Gembira pun menitahkan empat orang
hulu balang.
“Hai saudaraku, pergilah engkau lawan segala rakyat Raja Indra
Syahperi!”
Empat hulu balang itu pun menyembah dan segera pergi naik kudanya
dengan segala rakyat jin dan peri, dewa, mambang, yang tidak terkira
banyaknya, lengkap dengan bunyi-bunyian yang sangat ramai, dan rakyat
seperti ombak mengalun. Setelah bertemu kedua pihak rakyat itu, mereka
saling memanah dan saling memarang segala peri, dewa, dan mambang.
Pahlawan empat itu pun peranglah dengan rakyat Raja Indra Syahperi, pun
banyaklah mati dibunuh oleh empat jin itu. Setelah itu, Raja Indra Syahperi
melihat rakyatnya banyak yang mati dan luka. Baginda pun heran melihatnya
dan menitahkan seorang hulu balang menghalaukan rakyat kira-kira satu jam
lamanya. Raja Lela Gembira pun pecahlah perangnya, tidak ketahuan perginya
karena terlalu banyak lukanya sepuluh hulu balang itu.

- 80 -
Setelah dilihat oleh Raja Johan akan rakyat Raja Lela Gembira itu sudah
pecah perangnya, baginda pun sangat marahdan menyuruh orang memalu
gendang kembali.Kemudian, kembalilah masing-masing ke tempatnya. Esok
paginya, Raja Barma Logam menyuruh orang memalu gendang perang. Segala
hulu balang Raja Barma Logam pun naik ke atas kudanya.Yang bergajah naik
gajahnya bersaf-saf di tengah. Medan itu pun diperbaiki orang lalu seketika
itu juga debu beterbangan ke udara. Setelah itu, berbunyilah segala bunyi-
buyian perang itu dari kedua pihak tentara.
“Hai Raja Lela Gembira, marilah engkau ke medan! Mengapa engkau
berlindung? Takutkah engkau akan raja kami hendak membunuh engkau?”
kata hulu balang Barma Logam.
Setelah itu, Raja Johan pun berkata kepada Raja Lela Gembira,“Hai
saudaraku, biarlah hamba masuk perang karena Raja Barma Logam keluar
perang pada hari ini.”
Raja Johan pun memakai pakaian perang lalu naik ke atas kudanya dan
berjalan ke tengah medan. Begitu pula Raja Barma Logam. Setelah kedua
pihak rakyat itu bertemu seperti laut rupanya serta dengan bunyi suara yang
kuat seperti tagar (guntur) di langit. Peperangan itu gegap gempita tiada terkira
bunyinya.Jikalau halilintar membelah bumi sekalipun, tidaklah terdengar
suara yang kuat segala hulu balang. Kemudian, beradu pedangnya, yang
bertombak bertikamkan tombaknya, yang bergajah berjuangkan gajahnya,
dan yang berkuda berjuangkan kudanya.
Setelah peperangan itu, banya darah tumpah ke bumi. Terang cuaca
menjadi kelam kabut. Rakyat pun banyak yang mati karena kedua pihak
sama gagahnya dan tidak ada yang mau mengalah. Lalu, Raja Barma Logam
bertemu dengan Raja Johan dan berkata,“Hai Raja Johan, mengapa tuanku
menuruti keinginan manusia itu karena tuanku bangsa jin.”
Maka sahut Raja Johan,“Hai Barma Logam, aku ikut kepada yang benar.”
Setelah Raja Barma Logam mendengar perkataan Raja Johan, baginda
pun marah dan memanah Raja Johan. Raja Johan menangkisnya dengan
perisainya. Lalu, dipanahnya sekali lagi dan Raja Johan berhasil menangkisnya
lagi. Setelah itu, Raja Johan memanah Raja Barma Logam, namun berhasil

- 81 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

ditangkisnya Logam dengan cemeti kudanya. Seketika anak panah itu menjadi
bunga rampai. Setelah dilihat oleh Raja Johan anak panah itu menjadi bunga
rampai, baginda pun heranlalu dipanahnya pula dengan panah api. Raja Barma
Logam membalasnya dengan panah air. Padamlah api itu.Setelah itu, hari pun
malam dan gendang kembali dipalu orang. Kemudian, kedua pihak tentara itu
berhenti berperang dan kembali ke tempatnya masing-masing.
Setelah Raja Lela Gembira melihat Raja Johan datang, ia segera turun
memegang tangan Raja Johan lalu dibawanya duduk bersama-sama di atas
kursinya yang keemasan dihadap oleh raja-raja, menteri, hulu balang, dan
rakyat sekalian. Baginda pun duduk makan dan minum serta memalu bunyi-
bunyian.
Tersebutlah perkataan Maharesi Antakosa di Gunung Indra Maharupa
bahwa suatu hari baginda duduk dihadap oleh segala muridnya lalu baginda
teringat akan Raja Lela Gembira. Baginda pun tahulah akan Raja Lela
Gembira berperang dengan Raja Indra Syahperi. Ia pun berjalan menemui
Raja Lela Gembira diiringi segala maharesi. Setelah sampai, dari kejauhan
Maharesi Antakosa melihat padang penuh dengan balatentara jin, peri, dewa,
dan mambang. Raja Lela Gembira pun turun melihat maharesi itu datang
dengan kedua anak raja-raja. Kemudian, ia menemui mereka. Kedua anak
raja itu pun datang menyembah Maharesi Antakosa lalu dipeluk dan dicium
oleh Maharesi Antakosa. Setelah itu, Raja Lela Gembira membawa Maharesi
Antakosa masuk dan duduk di atas kursi yang keemasan dihadap oleh raja-
raja, menteri, hulu balang, dan bintara (pegawai rendah, tentara) sekalian.
Raja Lela Gembira pun menceritakan segala perihal ihwalnya. Seketika
terdengarlah bunyi-bunyian kanta (kepingan seperti kaca) dan sangka terlalu
ramainya.
Selanjutnya, Raja Lela Gembira mengetahui kedatangan Maharesi
Kesna Candra. Raja Lela Gembira dipeluk dan dicium oleh Maharesi Kesna
Candra. Kemudian, Maharesi Kesna Candra masuk ke dalam kota lalu duduk
di atas kursi yang keemasan dihadap oleh raja-raja, menteri, hulu balang, dan
rakyat sekalian. Raja Lela Gembira pun berjamu dengan raja-raja. Setelah
berapa lamanya baginda duduk makan dan minum dengan raja-raja, keesokan
paginya baginda pun menyuruh orang memalu gendang perang. Tidak lama
kemudian, gendang perang dari kedua pihak tentara pun berbunyi. Bersaf-

- 82 -
saflah mereka di tengah medan. Raja Johan pun memakai pakaian yang
keemasan bertahtakan ratna mutu manikam lalu terkembanglah payung intan
berhiaskan permata yang indah. Setelah itu, Maharesi Antakosa dan Maharesi
Kesna Candara naik kereka yang bertahtakan ratna mutu manikam diiringi
segala maharesi dan jogi(pertapa hindu) serta brahmana sekalian.
Sementara Raja Logam sudah memakai pakaian perang dan mengenakan
mahkota yang keemasan bertahtakan ratna mutu manikam lalu naik gajah
yang keemasan sepuluh mutu manikam lalu terkembanglah payung mutiara
dan terkibarlah panji-panji berbagai warna. Baginda pun menyambut gajahnya
ke tengah medan dan bertemu dengan Raja Johan. Setelah kedua raja itu
berhadapan dengan Raja Barma Logam lalu menghunus pedangnya ke arah
Raja Johan. Ditangkisnya peng itu oleh Raja Johan dengan perisainya. Gajah
yang dikendarai Raja Johan pun menderam lalu bercampur dengan bunyi
suara yang kuat segala hulu balang seperti tagar (guntur) bunyinya.
Setelah genap tiga kali diparangnya oleh Barma Logam lalu diparang
oleh Raja Johan akan Raja Barma Logam. Kemudian, bahanaya datang ke
tengah medan. Setelah peperangan itu, darah pun banyak tumpah ke bumi
karena perang itu campur baur. Ada yang diparang, ada yang menikam dan
ditikam orang pula sehingga kedua pihak tentara pun banyak yang mati dan
luka, dan kepala segala hulu balang berpelantingan. Adapun peperangan itu
tidak lagi berjejak di bumi, tetapi berjejak di atas bangkai juga.
Disebutkan Raja Barma Logam berperang dengan Raja Johan sejak pagi
hingga malam. Tidak ada seorang pun yang mengalah. Setelah hari malam,
gendang kembali dipalu orang. Semuanya kembali ke tempatnya masing-
masing. Malam itu Raja Barma Logam bermusyawarah dengan Raja Indra
Syahperi. Perang ini tidak menentu karena banyak raja datang membantu Raja
Lela Gembira banyak segala raja-raja datang membantunya. Jika demikian,
esok hari diserang.
Setelah didengar oleh Raja Indra Syahperi perkataan Raja Barma Logam,
Raja Indra Syahperi pun heranlah dan berkata,“Baiklah, esok hari hamba
sendiri keluar perang.”
Pada malam itu bunyi-bunyian Raja Indra Syahperi dipalu orang.Setelah

- 83 -
terdengar oleh Raja Lela Gembira bunyi-bunyian itu, baginda pun menyuruh
memalu gendang perang. Setelah dinihari, matahari pun terbit, gendang kedua
pihak tentara pun berbunyilah lalu berdirilah orang bersaf-saf di medan itu.
Medan itu sudah disiapkan orang dan Raja Indra Syahperi pun memakai
lengkap pakaian keindraan lalu baginda naik ke atas gajah berangga emas
sepuluh mutu manikam. Kemudian, terdirilah jogan alamat bernaga(tombak
atau bendera yang memberi tanda untuk memulai sesuatu) dan terkembanglah
payung keindraan, beribu-ribu rama-rama kuning lalu orang memalu gendang
arak-arakkan nobat (gendang besar) dan nakara (gendang besar, tabuh).
Setelah itu, baginda berjalan diiringi raja-raja, menteri, hulu balang, dan rakyat
sekalian. Setelah datang ke tengah medan, berhadapanlah dengan tentara Raja
Lela Gembira.
Raja Lela Gembira pun memakai pakaian yang keemasan dan
mengenakan mahkota yang keemasan bertahtakan ratna mutu manikam yang
tiada terkira harganya. Kemudian, baginda naik ke atas gajah berangga emas
sepuluh mutu manikam yang tiada terhingga lalu terkembanglah payung
intan dikarang seribu rama-rama kuning. Lalu, berkibarlah panji-panji yang
keemasan berbagai warna dan terdirilah jogan alamat bernaga(tombak atau
bendera yang memberi tanda untuk memulai sesuatu).
Raja Johan sudah berada di atas kudanya dan memakai lengkap
pakaiannya. Maharesi Kesna Candra pun naik ke atas kereta yang keemasan.
Raja Lela Gembira pun berangkat ke tengah medan diiringi raja-raja, menteri,
hulu balang, jin, peri, dewa, mambang, para maharesi, jogi(pertapa hindu),
brahmana, dan rakyat yang tiada terkira banyaknya itu bersaf-saf di tengah
medan. Raja Indra Syahperi melihat raja-raja sekalian seperti matahari akan
terbit. Teranglah medan itu oleh cahaya baginda. Raja Lela Gembira pun
heran tercengang-cengang seketika melihat rupa Raja Indra Syahperi. Raja
Indra Syahperi pun melihat Raja Lela Gembira terlalu elok parasnya. Jika
dipandang malam hari, seperti bulan purnama empat belas hari bulan. Jika
dipandang siang seperti, matahari akan terbit. Demikianlah eloknya Raja Lela
Gembira. Raja Indra Syahperi pun tercengang-cengang seketika baginda pun
heranlah dan berkata,“Hai Raja Lela Gembira, sekarang peranglah diantara
kita.”

- 84 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Raja Lela Gembira pun tersenyum dan berkata,“Adat kami,jika tuan


hamba datang ke negeri hamba, hamba harus menjamu tuan. Akan tetapi,
sekarang hamba datang ke negeri tuan hamba juga menjamu hamba.”
Setelah itu, Raja Indra Syahperi pun menghunus pedangnya dan
diparangkannya kepada Raja Lela Gembira, namun ditangkis oleh Raja Lela
Gembira dengan perisainya dan keluar api memancar-mancar ke udara. Raja
Lela Gembira pun membalasnya, namun ditangkis oleh Raja Indra Syahperi
dengan cemeti kudanya dan keluar api memancar-mancar ke udara. Cuaca
menjadi kelam kabut ke udara lalu bercampur dengan bunyi suara yang kuat
segala hulu balang seperti halilintar membelah.
Raja Johan berhadapan dengan Raja Barma Logam. Raja dengan raja,
menteri dengan menteri, hulu balang dengan hulu balang, dan rakyat dngan
rakyat, masing-masing dengan lawannya. Tempik sorak segala hulu balang
itu seperti akan membelah bumi. Segala gajah dan kuda bergerak menuju
Keindraan dan Balai Tajumaya bergoncang, gunung pun bergoncang.
Diceritakan oleh orang yang punya cerita ini bahwa kala itu Maharaja
Sakti berkata,“Siapa yang Keindraan ini.”
Lalu, sembah seorang muridnya,“Hamba mendengar kabar Raja Indra
Syahperi berperang dengan Raja Lela Gembira karena hendak mengambil
Tuan Puteri Kusuma Dewi.”
Setelah didengar oleh Sri Maharaja Sakti, ia pun tahu akan kebinasaan
Raja Indra Syahperi. Kemudian, Sri Maharaja Sakti pun pergilah menemui
Langlang Buana, sembah Sri Maharaja Sakti,“Ya tuanku, ada masalah apa ini
sehingga peri hamba Raja Lela Gembira berperang dengan Indra Syahperi?
Jikalau ada belas kasih Raja Lela Gembira, binasalah Keindraan ini sebab ia
pun turun ke dunia karena Maharaja Bulia Kesna berperang dengan ayahnya
Raja Indra Syahperi yang bernama Maharaja Indra Mengindra Dewa sebab
berbuat kerajaan dan sekarang Raja Indra Syahperi pula hendak binasakan
Keindraan ini.”
Setelah Langlang Buana mendengar sembah Sri Maharaja Sakti, baginda
pun bertitah,“Hai Sri Maharaja Sakti, pergilah engkau menemui Raja Lela
Gembira pada saat bulan purnama, empat belas hari aku datang.”

- 85 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Setelah baginda bertitah demikian, Sri Maharaja Sakti mendapatkan Raja


Lela Gembira. Tatkala itu Raja Lela Gembira sedang berhadapan dengan Raja
Indra Syahperi. Kemudian, Sri Maharaja Sakti pun melihat laku anak raja
kedua itu sama baik parasnya. Adapun perang itu empat puluh hari dan empat
puluh malam, seorang pun tidak ada yang kalah. Dalam perang itu terlalu
ramai segala bunyi-bunyian dan bunyi suara yang kuat, segala hulu balang
karena raja dengan raja, menteri dengan menteri, hulu balang dengan hulu
balang, dan rakyat dengan rakyat.
Setelah dilihat oleh Sri Maharaja Sakti akan Raja Lela Gembira
berhadapan dengan Raja Indra Syahperi, Sri Maharaja Sakti pun menemui
Raja Lela Gembira. Ia turun dari atas gajahnya lalu menyembah kaki Sri
Maharaja Sakti.Tangan Raja Lela Gembira dipegang oleh Sri Maharaja Sakti.
Setelah itu, Raja Johan dan Maharesi Kesna Candra serta Maharesi Antakosa
datang menyembah kaki Maharaja Sakti. Raja-raja itu pun dibawa oleh Raja
Lela Gembira ke balai dalam istana, duduk di atas kursi yang keemasan
dihadap oleh segala raja, menteri, hulu balang, dan rakyat sekalian, penuhlah
menghadap Sri Maharja Sakti dan berkata kepada Raja Lela Gembira,“Hai
anakku, adapun titah Langlang Buana kepada purnama bulan ini ia akan
datang.” Setelah itu, baginda pun duduk menantikan kedatangan Langlang
Buana.
Tersebutlah perkataan Raja Puspa Indra terdengar kabarbahwa Raja
Lela Gembira berperang dengan Raja Indra Syahperi. Raja Puspa Indra pun
menitahkan Raja Syahbardan Dewa mendapatkan Raja Lela Gembira dan
membawa rakyat serta hulu balang. Raja Syahbardan Dewa pun menyembah
lalu turun berjalan menuju Padang Barma Dewa. Setelah beberapa hari,
sampailah ke tengah Padang Barma Dewa dan dilihat oleh Raja Lela Gembira
kedatangan rakyat Raja Lela Gembira. Lalu, disuruh oleh Raja Lela Gembira
menanyakan tentang asal rakyat yang datang itu. Hulu balang itu pun pergi
ke medan perang itu dan bertanya,“Hai tuan-tuan hamba sekalian, angkatan
darimana ini dan siapakah pengawal yang datang itu?”
“Yang datang ini Raja Syahbardan Dewa.”

- 86 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Setelah didengar oleh hulu balang, ia kembali menghadap Raja Lela


Gembira dan disampaikannya berita tersebut kepada Raja Lela Gembira.
Setelah didengar oleh Raja Lela Gembira, segeralah mendapatkan Raja
Syahbardan Dewa dan dibawanya masuk kota, duduk di atas kursi yang
keemasan dan menceritakan peperangan Raja Barma Logam dengan Raja
Indra Syahperi.
Tersebutlah perkataan Langlang Buana turun ke Padang Barma Dewa
saat empat belas hari bulan. Setelah dilihat oleh Raja Barma Logam, segera
datang menyembah kaki Langlang Buana. Langlang Buana pun bertitah,“Hai
Barma Logam, pergilah engkau mufakat dengan Raja Lela Gembira. Jikalau
engkau tidak mau mufakat dengan Raja Lela Gembira, peranglah engkau
dengan Barma Sakti.”
Diceterakan Langlang Buana hal ihwalnya Raja Indra Mengindra Dewa
berbuat Kerajaan Bulia Kesna itu berperang dengan Mengindra Dewa di Mercu
Indra. Sekarang ini Indra Syahperi pun hendak membinasakan Keindraan ini
lalu datanglah kebinasaan Indra Syahperi.
Setelah itu, Langlang Buana kembali mendapatkan Raja Lela Gembira.
Setelah Raja Lela Gembira melihat Langlang Buana datang, ia segera
mendapatkan Langlang Buana serta Raja Johan menyembah kaki Langlang
Buana dan Raja Lela Gembira mengabarkan hal ihwalnya dengan Raja Indra
Syahperi.
Setelah keesokkan harinya, pada pagi hari berbunyilah gendang
perang dari Raja Indra Syahperi serta suara yang kuat lalu berseru-serulah
hulu balang,“Hai raja manusia, mengapa engkau tidak keluar ke tengah
medan?Takutkah engkau akan raja kami hendak membunuh engkau?”
Raja Johan mendengar perkataan hulu balang itu. Ia pun marah lalu
naik ke atas kudanya. Segeralah ia ke tengah medan. Raja Lela Gembira pun
naik ke atas gajahnya, perlahan-lahan berjalan ke tengah medan lalu bertemu
dengan Raja Indra Syahperi. Kemudian, diparang oleh Raja Indra Syahperi,
namun ditangkis oleh Raja Lela Gembira dengan gajahnya dan keluarlah api
bernyala-nyala. Diparangnya berturut-turut, namun ditangkis juga oleh Raja
Lela Gembira.

- 87 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Setelah dilihat Sri Maharaja Sakti akan Raja Lela Gembira itu bertarung
dengan Raja Indra Syahperi, seperti merak mengikal rupanya. Seketika itu
Raja Lela Gembira pun datang dari kiri sedangkan Raja Indra Syahperi datang
dari kanan.Terlalu pantas rupanya anak raja itu dan sama baik parasnya seperti
gambar Keindraan demikianlah rupanya.
”Sayang sekali aku melihat anak raja itu telah disumpahi oleh Langlang
Buana tidak mendengar titahnya,” kata Sri Maharaja Sakti.
Tatkala itu hujan rintik-rintik, pelangi muncul, dan guruh pun berbunyi
sayup-sayup basah serta dengan bunyi-bunyian perang gegap gempita tiada
terkira, hulu balang dengan hulu balang, menteri dengan menteri, dan rakyat
dengan rakyat. Ada yang bertikamkan keris, ada yang berpedang bertetakkan
pedangnya, dan ada yang bertombak bertombakkan tombaknya. Orang-orang
yang berperang itu tidak hanya berjejak di bumi, tetapi juga di atas bangkai
dan kepala orang seperti anak kecil berpelantingan.
Setelah itu, Raja Indra Syahperi pun mengambil panah lalu dipanahnya
Raja Lela Gembira, namun dapat ditangkis oleh Raja Lela Gembira dengan
gajahnya. Kemudian, dipanahnya berturut-turut dan ditangkisnya juga.
Kemudian, dibalas pula oleh Raja Lela Gembira dengan panahnya pemberian
Raja Johan dan anak panah dari jin lalu dipanahkannya mengenai dada Raja
Indra Syahperi, namun Raja Indra Syahperi hilang, tidak ada yang dapat
melihatnya dan anak panah itu melayang entah kemana perginya.
Setelah hulu balang dan rakyat melihat Raja Indra Syahperi hilang
disambar anak panah Raja Lela Gembira tatkala kudanya di tengah medan,
dengan bunyi suara yang kuat segala rakyat bala tentaranya dari perang Raja
Lela Gembira membawa halnya itu lalu pecahlah perangnya. Segala rakyat
dan hulu balang Raja Indra Syahperi itu lari. Setengahnya lari kepada Raja
Johan meminta dibawanya.
Setelah itu, Raja Lela Gembira membawa Sri Maharaja Sakti duduk di
atas kursi yang keemasan dihadap oleh raja-raja, Jogi (pertapa hindu), dan
brahmana. Titah Sri Maharaja Sakti kepada Maharesi Antakosa dan Maharesi
Kesna Candra,“Berjalanlah tuan-tuan dahulu.”
Setelah itu, tersebutlah perkataan Raja Lela Gembira berjalan dengan
segala bunyi-bunyian yang terlalu gegap gempita seakan-akan runtuh

- 88 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Keindaraan itu masing-masing di atas kenaikannya. Ada yang di atas gajah


berjuang, ada yang di atas singa terbang, ada yang di atas walimana (sejenis
burung yang besar untuk kendaraan) terbang, dan ada yang naik kuda
semberani.
Adapun yang pertama-tama berjalan lebih dulu adalah Maharesi
Antakosa naik walimana (sejenis burung yang besar untuk kendaraan) terbang
diiringi segala muridnya sedangkan Maharesi Kesna Candra naik rotan
terbang diiringi segala jogi (pertapa hindu) dan brahmana. Sementara itu,
Raja Johan naik gajah terbang diiringi segala rakyat jin, peri, dan mambang.
Kemudian, Raja Syahperi dan dewa pun naik kudanya diiringi segala rakyat
bala tentaranya sedangkan Sri Maharaja Sakti naik singa terbang diiringi anak
raja-raja yang di Gunung Indranaga. Semntara itu, Raja Lela Gembira naik
gajah putih serta memakai mahkota Raja Puspa Indra. Empat puluh anak raja-
raja dari depan baginda, empat puluh bintara(pegawai rendah, tentara) dari
kanan, empat puluh anak menteri dari kiri baginda menyandangkan pedang
kerajaan, dan empat puluh anak raja-raja dari belakang baginda.
Setelah beberapa lamanya berjalan, baginda pun sampailah ke pinggir
negeri Lela Gembira. Terdengarlah bunyi-bunyian ke dalam negeri yang terlalu
ramai. Raja Puspa Indrakoca menyuruh empat orang menteri dan empat orang
hulu balang pergi melihat orang yang datang itu. Mereka pun pergi menemui
orang yang berjalan lebih dulu itu. Ia pun bertanya,“Hai tuan-tuan sekalian,
rakyat ini dating dari mana? Siapa pengawal tuan hamba? Apakah maksud
kedatangan kalian ke sini?”
“Hamba ini rakyat Maharesi Antakosa mengantar Raja Lela Gembira
hendak menghadap ayahanda bundanya,” jawab orang itu.
Setelah didengar oleh menteri dan hulu balang itu, mereka segera
kembali menghadap Raja Puspa Indrakoca dan dibawanya Raja Lela Gembira
yang datang itu membawa Tuan Puteri Kusuma Dewi menghadapnya. Setelah
Raja Indrakoca mengetahui bahwa anaknya yang datang, ia segera keluar
dari kotanya menyambut Sri Maharaja Sakti. Setelah bertemu Sri Maharaja
Sakti, ia pun datang menyembah kaki Sri Maharaja Sakti lalu dipegangnya
tangan Raja Puspa Indrakoca serta memberi hormat dan ta’dim kepada Raja

- 89 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Indrakoca serta dibawanya baginda masuk ke dalam kota, duduk di atas kursi
yang keemasan. Raja Syahbardan Dewa, Raja Johan, Maharesi Kesna Candra,
dan Maharesi Antakosa pun duduk dihadapan segala menteri, hulu balang, dan
rakyat. Raja Puspa Indrakoca menjamu raja-raja, menteri, dan hulu balang.
Sri Maharaja Sakti, Maharesi Kesna Candra, dan Maharesi Antakosa makan
sirih lalu bunyi-bunyian pun dipalu orang terlalu ramai sebagaimana adat raja-
raja yang besar-besar bersuka-sukaan.
Tersebutlah perkataan permaisuri di dalam istananya dan terdengar
anakda itu datang, ia pun segera keluar serta dilihat oleh Raja Lela Gembira
bundanya. Ia segera datang menyembah kaki ayahanda bunda lalu dipegang
oleh permaisuri tangan Tuan Puteri Kusuma Dewi dan dibawanya masuk ke
dalam istana, didudukkan di atas patarakan yang keemasan dihadap oleh segala
dayang dan inang pengasuhnya serta ditabur orang dengan beras kunyit.
Raja Puspa Indrakoca pun memberi persalin kepada raja-raja dan Sri
Maharaja Sakti. Setelah itu, Sri Maharaja Sakti berkata,“Hai anakku, Raja
Lela Gembira, hamba hendak mohon kembali ke Gunung Indranaga karena
lama sudah tertinggal.”
Raja Lela Gembira datang menyembah kaki Sri Maharaja Sakti dan
dipeluk serta diciumnya. Kemudian, Maharesi Kesna Candra pamit dan
Maharesi Antakosa pulang ke pertapaannya. Setelah itu, Raja Johan pamit
kepada Raja Puspa Indrakoca dan Raja Lela Gembira serta berpeluk dan
bercium.
Setelah pulang ke Negeri Paradan Kilat, anak raja empat puluh yang
di tasik, barulah Maharaja Sakti pamit kepada Raja Lela Gembira untuk
kembali ke tempatnya. Kemudian, Raja Syahbardan Dewa pamit kepada Raja
Indrakoca dan anakda Raja Lela Gembira. Tuan Puteri Kusuma Dewi pun
menyembah ayahanda Raja Syahbardan Dewa, dan berkata kepada Raja Lela
Gembira,“Ayahandalah taruhannya akan paduka adinda itu.Jika ada khilaf
yang dilakukan adinda, tegur saja oleh anakda sebab adinda itu adalah anak
yang belum mengerti pekerjaan.”

- 90 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Kemudian, Raja Syahbardan Dewa berjalan dengan segala rakyat


bala tentaranya. Tinggallah baginda menunggu Negeri Lela Gembira. Lalu,
duduklah baginda bersuka-sukaan dua suami istri itu dan baginda dengan
permaisuri di dalam kotanya. Ramailah negeri itu dengan segala dagangan,
semuanya masuk berjual beli adanya, intiha (akhir cerita, Penutup).
Tamatlah Hikayat Langlang Buana.
Malam selasa bulan Sya’ban.
Hari lima belas (rusak tidak terbaca).
Jam pukul tujuh sangat sempurna.
Sanat 1283.

- 91 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Glosarium

Tanglung/lampion : lentera dari kertas


Pelita : lampu dengan bahan bakar minyak
Mambang : makhluk halus
Biti-biti perwara : gadis pengiring aja/permaisuri
Ahli nujum : peramal
Berahi : jatuh cinta
Geliga : batu hikmat
Bayan : burung Nuri
Gemala : batu bercahaya yang mengandung kesaktian
Jogi : pertapa Hindu
Perarakan : kereta
Jogan : tombak kebesaran raja
Tasik : danau
Balut : benda yang digunakan untuk membungkus
Parau : suara serak, garau
Lancang : kapal layar
Pilang : pelang: perahu
Badek : pisau yang dijadikan senjata
Manggar : tangkai mayang kelapa
Berdandi : gendang kecil, tambur, alat bunyi-bunyian
Kanta : kepingan seperti kaca
Mayang setandan : bunga kelapa (pinang, dll) yang masih di dalam
seludangnya.

- 93 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Tagar : guntur
Bintara : pegawai rendah, tentara
Sida-sida : Pegawai dalam istana
Jogan alamat bernaga : (tombak atau bendera yang memberi tanda untuk
memulai sesuatu)
Biram : gajah
Ceteria : anak raja-raja, kesatria
Jawatan : pangkat atau kedudukan
Nakara : gendang besar, tabuh
Nobat : gendang besar
Nafiri : serunai panjang
Janggi : benda ajaib, senjata ajaib
Menjeling : mengerling, memandang dengan ekor mata
Walimana : sejenis burung yang besar untuk kendaraan
Masyrik : Timur
Intiha : akhir, penghabisan, penutup

- 94 -
Daftar Pustaka

Attas, Siti Gomo. 2004. Bahan Ajar Pengantar Teori Filologi. Jakarta:
Universitas Negeri Jakarta.

Baried, Siti Baroroh dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Badan
Penelitian dan Publikasi Fakultas UGM.

Behrend, T.E. (editor). 1998. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara. Jilid


4. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Djamaris, Edwar. 1990. Menggali Khazanah Sastra Melayu klasik. Jakarta:


Balai Pustaka. 2006.Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Manasco.

Fang. Liaw Yock. 1991. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta:


Erlangga.

Hamid, Ismail. 1983. Kesusasteraan Melayu Lama dari Warisan Peradaban


Islam. Malaysia: Fajar Bakti.

Hooykas, C. 1951. Perintis Sastra, Groningen, Djakarta: Wolters. Terdjemahan


Raihoel Amar gl. Datoek Besar.

Klinkert, H. C. 1902. Maleisch-Nederlandsch Woordenboek, E. J. Brill.


Leiden.

Mardiono. 2018. Hikayat Langlang Buana. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI

Robson, S. O. 1994. Prinsip-prinsip Filologi Indonesia. Jakarta: RUL.

Sutaarga, Amir dkk. Katalog Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat. Jakarta:
Departemen P & K.

Sutrisno, Sulastin. 1979. Hikayat Hang Tuah: Analisis Struktur dan Fungsi.
Yogyakarta: Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM.

Teuku Iskandar. 1970. Kamus Dewan. Kuala Lumpur. Dewan Bahasa dan

- 95 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Pustaka Kementerian Pelajaran.

Winstedt, R.O. 1969. A History of classical Malay Literature. London: Oxford


University Press.

Laman

https://kbbi.web.id/sadur 29-3-2019

- 96 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Lampiran:

Foto naskah Asli Hikayat Langlang Buana (ML 20)

Hlm. Cover

- 97 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Hlm. Awal

- 98 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Hlm. Tengah

- 99 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Hlm. Akhir

- 100 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Lampiran : Naskah Hikayat Langlang Buana yang pernah dialihaksarakan


dan diterbitkan

- 101 -
Hikayat Langlang Buana (ML. 20)

Lampiran : Naskah Hikayat Langlang Buana yang pernah dialihaksarakan


dan diterbitkan

- 102 -
Penerbit
PERPUSNAS PRESS
Jl. Salemba Raya No. 28A Jakarta
hp://press.perpusnas.go.id

Anda mungkin juga menyukai