Anda di halaman 1dari 178

Alih Aksara - ML 136

Hikayat Sri Rama

Putri Susanti

Perpusnas Press

2020
– HIKAYAT SRI RAMA –

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia


Data Katalog dalam Terbitan (KDT)

Hikayat Sri Rama ML 136


Oleh: Putri Susanti - Jakarta: Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia, 2019
176 hlm. ; 16 x 23 cm,--(Seri Naskah Kuno Nusantara)

1. Manuskrip. I. Putri Susanti. II Perpustakaan Nasional. III. Seri


(ISBN :  3')

Editor Isi & Bahasa


Tim Editor

Perancang Sampul
Irma Rachmawati

Tata Letak Buku


Yanri Roslana

Diterbitkan oleh
Perpusnas Press, anggota Ikapi
Jl. Salemba Raya 28 A, Jakarta 10430
Telp: (021) 3922749 eks.429
Fax: 021-3103554
Email: press@perpusnas.go.id
Website: http://press.perpusnas.go.id
perpusnas.press
perpusnas.press
@perpusnas_press

ii
– HIKAYAT SRI RAMA –

Sambutan

UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, mendefinisikan naskah


kuno sebagai dokumen tertulis yang tidak dicetak atau tidak diperbanyak
dengan cara lain, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri yang
berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, dan yang mempunyai nilai
penting bagi kebudayaan nasional, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Dibanding
benda cagar budaya lainnya, naskah kuno memang lebih rentan rusak, baik
akibat kelembapan udara dan air (high humidity and water), dirusak binatang
pengerat (harmful insects, rats, and rodents), ketidakpedulian, bencana alam,
kebakaran, pencurian, maupun karena diperjual-belikan oleh khalayak umum.
Naskah kuno mengandung berbagai informasi penting yang harus
diungkap dan disampaikan kepada masyarakat. Tetapi, naskah kuno yang ada
di Nusantara biasanya ditulis dalam aksara non-Latin dan bahasa daerah atau
bahasa Asing (Arab, Cina, Sanskerta, Belanda, Inggris, Portugis, Prancis).
Hal ini menjadi kesulitan tersendiri dalam memahami naskah. Salah satu
cara untuk mengungkap dan menyampaikan informasi yang terkandung di
dalam naskah kepada masyarakat adalah melalui penelitian filologi. Saat ini
penelitian naskah kuno masih sangat minim.
Sejalan dengan rencana strategis Perpustakaan Nasional untuk
menjalankan fungsinya sebagai perpustakaan pusat penelitian juga pusat
pelestarian pernaskahan Nusantara, maka kegiatan alih aksara, alih bahasa,
saduran dan kajian naskah kuno berbasis kompetisi perlu dilakukan sebagai
upaya akselerasi percepatan penelitian naskah kuno yang berkualitas,
memenuhi standar penelitian filologis, serta mudah diakses oleh masyarakat.
Dengan demikian, Perpustakaan Nasional menjadi lembaga yang berkontribusi
besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia, khususnya di
bidang pernaskahan.
Kegiatan ini wajib dilaksanakan Perpustakaan Nasional, karena
merupakan amanat Undang-Undang No.43 tahun 2007 Pasal 7 ayat 1 butir d
yang mewajibkan Pemerintah untuk menjamin ketersediaan keragaman
koleksi perpustakaan melalui terjemahan (translasi), alih aksara (transliterasi),
alih suara ke tulisan (transkripsi), dan alih media (transmedia), juga Pasal 7
ayat 1 butir f yang berbunyi “Pemerintah berkewajiban meningkatan kualitas
dan kuantitas koleksi perpustakaan”.

iii
– HIKAYAT SRI RAMA –

Sejak tahun 2015, seiring dengan peningkatan target dalam indikator


kinerja di Perpustakaan Nasional, kegiatan alih- aksara, terjemahan, saduran
dan kajian terus ditingkatkan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Pada
tahun 2019, Perpustakaan Nasional menargetkan 150 judul penerbitan bagi
hasil-hasil karya tulis tersebut. Untuk meningkatkan kuantitas sekaligus
kualitas hasil penelitian filologis, maka kegiatan Alih Aksara, Alih Bahasa,
Saduran, dan Kajiam Naskah Kuno Nusantara Berbasis Kompetisi ini
dilakukan.
Kegiatan ini dapat terlaksana berkat kontribusi karya para filolog dan
sastrawan. Oleh karena itu, Perpustakaan Nasional mengucapkan terima
kasih sebanyak-banyaknya kepada para filolog dan sastrawan yang telah
mengirimkan karya-karya terbaiknya. Secara khusus, Perpustakaan Nasional
juga mengucapkan terima kasih kepada Masyarakat Pernaskahan Nusantara
(Manassa) yang sejak awal terlibat dalam proses panjang seleksi naskah,
penyuntingan, proofreading, sampai buku ini dapat terbit dan dibaca oleh
masyarakat.
Besar harapan kami semoga fasilitasi terhadap karya tulis Alih Aksara,
Alih Bahasa, Saduran, dan Kajian Naskah Nusantara Berbasis Kompetisi ini
dapat meningkatkan kualitas penerbitan dan mendapatkan apresiasi positif
dari masyarakat, serta bermanfaat dalam upaya menggali kearifan lokal
budaya Indonesia.

Jakarta, 2019

Deputi Bidang Pengembangan Bahan


Pustaka dan Jasa Informasi

ttd

iv
Kata Pengantar

Alhamdulillah, Alih Aksara-ML 136 Hikayat Sri Rama ini akhirnya


terbit dan menambah khazanah alih aksara naskah-naskah klasik Nusantara.
Buku ini merapakan alih aksara salah satu naskah klasik yang menjadi warisan
budaya bangsa Indonesia yang sangat beragam dan mempimyai nilai yang
sangat tinggi. Demi menjaga warisan budaya tulis ini agar tidak punah ditelan
zaman dan dapat dipahami isinya oleh masyarakat luas, maka perlu adanya
alih aksara naskah Hikayat Sri Rama yang ditulis dalam aksara jawi ke dalam
aksara latin.
Perpustakaan Nasional RI sebagai salah satu Lembaga Pemerintah
Non kementerian mempunyai tugas dan fungsi, yang salah satunya yaitu
melestarikan karya budaya bangsa yang terkandung dalam naskah kuno. Hal
ini sesuai dengan tugas dan fungsi Perpustakaan Nasional RI seperti yang
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan
dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Dalam rangka penyelamatan isi yang terkandung dalam karya budaya
bangsa, khususnya yang terkandung dalam karya tulis yang berapa naskah
kuno, Peipustakaan Nasional RI menerbitkan buku Alih Aksara - ML 136
Hikayat Sri Rama. Buku berisi cerita epos Ramayana mengandung ajaran
moral (dhannasastra), ajaran politik (arthasastra), dan ajaran tentang cara
hidup yang mulia (nitisasfra) yang masih relevan dan parting untuk diketahui
oleh masyarakat pada masa kini.
Kegiatan semacam ini sangat diperlukan dan harus tetap terjaga serta
ditingkatkan secara berkesinambungan, mengingat semakin langkanya
masyarakat sekarang yang mampu membaca naskah-naskah lama. Semoga
dengan terbitnya buku ini, masyarakat akan mengetahui salah satu peninggalan
para leluhur yang sangat tinggi nilainya. Saran dan tanggapan dari pembaca
untuk penyempurnaan buku ini akan kami terima dengan senang hati.

Depok

Putri Susanti

v
Daftar Isi

Sambutan .................................................................................................. iii


Kata Pengantar ........................................................................................ v
Daftar Isi ................................................................................................... vii

Bab I Pendahuluan .................................................................................. 1


A Latar Belakang ................................................................................... 1
B Tujuan Alih Aksara ............................................................................ 2
C Penelusuran Naskah dan Alasan Pemilihan Naskah .......................... 3
D Deskripsi Naskah ............................................................................... 3
E Ringkasan Isi Naskah ........................................................................ 6
F Pedoman dan Metode Alih Aksara .................................................... 8

Bab II Hasil Alih Aksara Hikayat Sri Rama Ml 136 ............................ 12

Daftar Pustaka ......................................................................................... 166


Riwayat Hidup Penulis ............................................................................ 168

vii
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Naskah Hikayat Sri Rama merupakan salah satu naskah yang masih berkaitan
dengan epos Ramayana dari India. Menurut Liaw Yock Fang (2011: 61), Ramayana
adalah puisi yang dimaksudkan untuk mengajarkan nilai moral kepada kaum muda,
meliputi ajaran moral (darmasastra), ajaran politik dan peperangan (arthasastra),
serta ajaran tentang cara hidup yang mulia (nitisastra). Selain itu, Ramayana juga
menunjukkan bentuk ideal cara hidup kaum Arya. Hal itu dilambangkan dengan
tokoh-tokoh di dalamnya, yaitu: Rama sosok yang gagah berani, anak yang taat dan
patuh pada orang tua, saudara yang ramah dan baik, serta suami yang sangat
mencintai istrinya; Sita sosok istri yang setia dan memegang teguh kehormatan
suami. Akan tetapi, kesempurnaan ini digoyahkan dengan karakter Dasarata yang
lemah dan mudah tergoda perempuan.
Dalam kesusastraan India, terdapat empat versi Ramayana. Salah satunya yang
terkenal adalah versi Walmiki yang mencampurkan tiga sumber cerita, yaitu
Dasarata Jataka, dongeng-dongen Rawana dari India Selatan, dan pemujaan kera.
Selain di India, kisah ini juga menyebar sampai ke Asia Tenggara. Salah satunya
dapat kita lihat dari penamaan kota Ayuthia di Thailand yang berasal dari nama
Ayodhya dalam Ramayana.
Di Nusantara, cerita Rama tidak hanya dapat ditemukan dalam teks, tetapi juga
dalam relief yang ada pada Candi Loro Jonggrang, Prambanan. Pada tahun 925,
cerita Rama disadur dalam bentuk puisi Jawa Kuna, yaitu Kakawin Ramayana.
Menurut Hooykas dan Poerbatjaraka (dalam Liaw, 2011: 69-70), Kakawin
Ramayana bukanlah terjemahan dari versi Walmiki, melainkan disadur dari
Ravana-vadha (pembunuhan Rawana) atau yang lebih dikenal dengan nama
Bhattikavya karya Bhatti dalam bahasa Sansekerta.
Pada pertengahan abad 18, Kakawin Ramayana digubah oleh penyair istana
Yasadipura I menjadi puisi Jawa Baru berbentuk macapat berjudul Serat Rama.
Selain itu, terdapat pula Serat Kanda yang dipentaskan dalam wayang purwa dan
Rama Keling yang ceritanya hampir sama dengan cerita Rama versi Melayu (Liaw,
2011: 69-70). Selain itu, terdapat pula cerita Rama berupa cerita pelipur lara yang
diterbitkan oleh Maxwell pada tahun 1886 dan Ramayana Patani yang disalin oleh
G. M. Laidlaw pada tahun 1911 (Liaw, 2011: 73).
Cerita Rama di Nusantara memiliki inti yang sama, tetapi terdapat perbedaan
dalam beberapa hal, misalnya hubungan antartokoh. Menurut Juynboll (dalam
Liaw, 2011: 86), cerita Rama masuk ke Nusantara melalui dua cara, yaitu (1)
Ramayana Walmiki masuk ke Jawa digubah menjadi Kakawin Ramayana, Serat
Rama Jasadipura, dan (2) cerita Rama yang popular di India Selatan masuk ke
Malaya menjadi sumber Rama Keling dan lakon Rama kemudian dibawa ke Jawa.
Menurut Rassers, Hikayat Sri Rama termasuk cerita Panji yang meminjam nama
tokoh dari epos India. Berbeda dengan Juynboll dan Rassers, Stutterheim
berpendapat perbedaan cerita Rama di Nusantara sudah terjadi di India sebelum
cerita itu sampai ke Nusantara. Tambahan pula, Hikayat Sri Rama merupakan hasil
dari bermacam pengaruh termasuk pengaruh cerita lisan Nusantara.
Cerita Rama dalam bahasa Melayu dikenal dengan judul Hikayat Sri Rama
(HSR). Terdapat dua terbita HSR yang dikenal, yaitu edisi Roorda van Eysinga

1
– HIKAYAT SRI RAMA –

(RvE) pada tahun 1843 dan edisi W. G. Shellabear pada tahun 1915. Menurut
Achadiati Ikram, terbitan RvE dan terbitan Shellabear ditulis dalam huruf Arab
(Ikram, 1980: 2-3).
Penelitian HSR secara menyeluruh dilakukan oleh Achadiati Ikram pada tahun
1978 dalam disertasi yang berjudul Hikayat Sri Rama: Suntingan Naskah Disertai
Telaah Amanat dan Struktur. Penelitian ini dibukukan pada tahun 1980. Dari
penelitian ini, diketahui bahwa naskah HSR berjumlah 23 yang terdiri dari 15
naskah yang dibuatkan perbandingan panjang ceritanya, satu cerita pelipur lara
(Ramayana Patani), satu cerita yang berbeda dengan cerita Rama (Brandes 14), tiga
naskah koleksi Perpustakan Universiti Malaya (MS. 22, 30, dan 37) dan tiga teks
berupa fragmen (Cod.Or. 1755, Klinkert 46, dan Snouck Hurgronje).

Dari ke-23 naskah tersebut, naskah ML 136 belum memiliki alihaksara


berkaitan dengan bagan itu, buku ini akan menyajikan alih aksara HSR ML 136
koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

HSR merupakan kisah perjalanan Sri Rama (sebagai tokoh sentral sesuai
dengan judul hikayatnya) dari lahir, menikah dengan Sita Dewi disertai kemelut
dan masalah yang terjadi dalam kehidupan pernikahan mereka, dan kehidupan
mereka setelah konflik itu selesai. Menurut agama Hindu, Sri Rama merupakan
penjelmaan dari Mahabisnu (Dewa Wisnu). Di India, Wisnu adalah dewa tertinggi
yang menciptakan seluruh alam semesta. Kekuatan saktinya terletak pada istrinya.
Oleh karena itu, perpisahan dengan istrinya akan mengganggu penciptaan alam
semesta (Ras, 2014: 47). Menurut Gonda (dalam Ras, 2014: 111), Wisnu akan turun
ke bumi pada waktu-waktu tertentu (dalam arti lain ketika semesta harus dicipta
ulang) dan menjelma menjadi tokoh penolong, biasanya bernama Rama atau
Kresna. Hal inilah yang muncul dalam HSR, Sri Rama digambarkan sebagai
pahlawan dengan sifat yang gagah berani, bijaksana, dan perkasa sehingga semua
raja tunduk dan takluk di bawah kekuasaannya. Selain sifat yang baik tersebut, Sri
Rama juga digambarkan memiliki wajah yang rupawan dan warna tubuh yang
gilang-gemilang seperti zamrud. Menurut Santosh N. Desai (dalam Liaw, 2011:
90), tokoh Rama dalam Ramayana Walmiki digambarkan sebagai ratu adil, yaitu
manusia yang sempurna dan menjalani hidup yang terpuji; penuh dengan
kesedihan, penderitaan, ujian, tetapi tetap dengan keyakinan dan kesempurnaan
pribadinya. Penggambaran Rama tersebut juga ditampilkan dalam HSR. Selain Sri
Rama, terdapat pula tokoh penting lainnya, yaitu Dasarata Maharaja. Di dalam
Kakawin Ramayana, digambarkan Dasarata sebagai raja yang unggul, termasyhur,
terkenal karena berhasil menundukkan musuh-musuhnya, dan mahir membaca
kitab-kitab suci. Hal inilah yang mendasari penjelmaan Wisnu kepada Dasarata
(Ras, 2014: 54). Sifat-sifat Dasarata yang ditampilkan dalam Kakawin Ramayana
tersebut juga ditemukan dalam HSR.

B. Tujuan Alih Aksara


Suntingan teks HSR yang bernomor Ml 136 ini perlu dilakukan karena teks ini
masih ditulis dalam aksara Jawi dengan keragaman isi yang tidak bisa dipahami dan
dibaca oleh masyarakat saat ini. Dengan alih aksara yang dilakukan ini, penulis
berharap isi teks ini dapat dibaca oleh masyarakat. Selain itu, alih aksara teks juga
berguna untuk ranah ilmu lain yang penelitiannya bersumber dari teks.

2
– HIKAYAT SRI RAMA –

C. Penelusuran Naskah dan Alasan Pemilihan Naskah


Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Prof. Dr. Achadiati Ikram
pada tahun 1978 mengenai Hikayat Sri Rama (HSR), diketahui bahwa naskah HSR
berjumlah 23 naskah yang tersimpan di Jakarta, Malaysia, London, Oxford,
Cambridge, Leiden, dan Berlin. Naskah tersebut dikelompokkan menjadi empat
versi. Dalam penelitian ini, penulis hanya fokus pada inventarisasi HSR versi I
karena keterbatasan penulis mengakses naskah berada di luar Indonesia.
Naskah HSR versi I berjumlah 4 naskah, yaitu naskah bernomor Ml 252, Ml
136, Cod.Or. 3248, dan Roorda van Eysinga (RvE). Ml 252 dan Ml 136 merupakan
koleksi naskah Perpustakaan Nasional RI, Jakarta. Cod.Or. 3248 tersimpan di
perpustakaan universitas di Leiden. Berbeda dengan ketiga naskah lainya, RvE
tidak diketahui lokasi penyimpanannya.

D. Deskripsi Naskah
Sebelum memulai deskripsi naskah HSR, penulis perlu memaparkan
kedudukan HSR di dalam khazanah sastra Melayu. Menurut Iskandar (1996), HSR
termasuk dalam kesusastraan Hindu, sedangkan Liaw Yock Fang (2011)
memasukkan HSR menjadi bagian dari epos Ramayana. Menurut Rasser (dalam
Iskandar, 1996: 41), HSR berbeda dengan Ramayana India karena telah disesuaikan
dengan mitos Nusantara (berkaitan dengan edisi RvE dan Shellabear) dan tidak
diketahui sumber aslinya dalam versi bahasa India.

a. Ml 252
Naskah ini berukuran 31,2x19,5 cm. ukuran teks: halaman 2 dan 3 itu 20x12,7
cm; halaman seterusnya 27x13,2 cm. terdiri dari 402 halaman dengan jumlah baris
13-18 baris. Naskah ini beraksara Jawi dengan tulisan yang jelas dan kondisi
kertasnya masih baik. Kertas yang digunakan adalah kertas bergaris. Terdapat garis
tebal di atas teks berwarna merah jambu dan garis tipis pembatas baris. Terdapat
penomoran dengan angka Arab pada bagian atas teks. Terdapat pula kata alihan
(catchword) setiap halaman ganjil. Naskah dijilid dengan kuras berjumlah 13, tetapi
penjilidan ini tidak solid karena terdapat beberapa helai kertas lepas dari jilidnya.
Tulisan judul dibuat di tengah dengan ukuran huruf yang lebih besar. Kata syahdan,
alkisah, dan sebermula ditulis dengan huruf yang ditebalkan, penanda masuk ke
cerita baru.
Pada halaman depan, terdapat keterangan bahwa buku ini dapat disewa dengan
biaya F 0,10 semalam dan di belakang ada peringatan agar langganan jangan lupa
membayar sewanya (Ikram, 1980: 69). Pada halaman terakhir dicantumkan angka
tahun 17 November 1896 sebagai tanggal selesainya penyalinan naskah.
Keterangan mengenai naskah ini dapat dilihat pada Katalogus van Ronkel, halaman
3 no. IV dan disertasi W, F, Stutterheim: Rama Legenden und Rama Reliefs in
Indonesien (1925).

b. Ml 136
Naskah ini terdiri dari 335 halaman yang disalin dari naskah Palembang pada
tahun 1891. Naskah ini berukuran 21x33 cm dengan ukuran bloks teks 14,5x25 cm.
Pada halaman 1 dan 2, batas tepi teks dan kertas sebagai berikut: kanan 2 cm, kiri
5 cm, atas 14,5 cm, dan bawah 4 cm, sedangkan halaman 3 dst: kanan 2 cm, kiri 5,5
cm, atas 4,5 cm, dan bawah 5 cm. dijilid engan jumlah kuras 11 buah. Naskah ini

3
– HIKAYAT SRI RAMA –

tulis dalam aksara Jawi dengan tulisan kecil-kecil tetapi rapi dan mudah terbaca.
Tinta yang digunakan adalah tinta hitam untuk keseluruhan teks, kecuali kata-kata
hatta, adapun, sebermula, setelah, dan setelah dilihat ditulis dengan tinta merah.
Teks terdiri dari 13 baris pada halaman 1 dan 2, serta 23 baris pada halaman 3
dan seterusnya. Terdapat kata alihan pada halaman bernomor ganjil, tetapi pada
halaman genap tidak ada. Terdapat garis baying yang memisahkan antarbaris
dengan jarak 1 cm dari baris atas ke baris di bawahnya. Terdapat kolofon di
halaman 225 atau halaman terakhir teks. Penomoran halaman ditulis dengan angka
Arab. Terdapat halaman pelingdung sebanyak 2 lembar: 1 lembar di bagian depan
dan 1 lembar di bagian belakang teks. Selain itu, terdapat pula cap Bat. Genootschap
van K en W (Mal. Mss. B. G. v. K. en W.) pada halaman pembuka sebelum teks
cerita ditulis. Pada halaman tersebut, terdapat pula keterangan sebagai berikut.
Ini Hikayat Seri Rama namanya
Seri Rama
Copie van een MS. Uit Palembang.
Zie not. Juli 1891
Berdasarkan deksripsi dari PNRI, naskah ini merupakan hadiah dari tuan I
Gerth van Wijk dan keterangan tersebut dapat dilihat dalam notulen Agustus I h,
1981, halaman 62. Hal ini berbeda dengan keterangan yang dimuatkan dalam
kutipan sebelumnya: “zie not. Juli 1891”. Setelah penulis membaca notulen Juli dan
Agustus 1891, penulis tidak menemukan keterangan mengenai naskah ini sama
sekali. Selain itu, dapat pula dilihat keterangan mengenai naskah ini dalam
katalogus van Ronkel, halaman 2 no. II.
Teks HSR dalam naskah ini tidak lengkap karena halaman 26 dan 27 hilang dari
naskah, halaman 35 tidak ada tulisan, halaman 34 hanya memuat beberapa baris
saja, dan halaman 134 terdiri dari beberapa baris, serta halaman 135 hilang. Berikut
penggalan cerita HSR pada bagian awal, tengah, dan akhir teks. Bagian awal
dimulai dengan judul hikayat yang berkisah tentang Sri Rama dan asal-usulnya.
Alkisah ini hikayat daripada cerita orang dahulu kala. Maka diceritakan oleh orang
empunya cerita ini di dalam Benua Keling ada seorang raja terlalu besar kerajaannya di
dalam negeri itu. Maka dinamai ia hikayat itu cerita Maharaja Sri Rama namanya, anak
daripada Dasarata Cakrawati, dan Dasarata Cakrawati itu anak Dasarata Raman, dan
Dasarata Raman itu anak Dasarata (Wati), dan Dasarata Wati anak Nabi Adam.
Adapun akan Dasarata Maharaja itu terlalu saktinya, dan gagah berani, pahlawan tiada
berbagai, dan elok parasnya. Daripada zaman itu, seorang tiada ada taranya di dalam dunia
ini, tiada menyamai pada baginda itu. Maka baginda itu pun berkehendak mencari tempat
yang baik, hendak berbuat negeri supaya ditinggalkannya kepada anak cucunya turun-
temurun (HSR:1)
Pada bagian tengah, halaman 112-113 dimuat cerita Surapandaki, adik Rawana,
yang berusaha menggoda Sri Rama dan Laksamana dengan menjelma sebagai
perempuan muda yang cantik.. Surapandaki mencoba memikat kedua bersaudara
itu, tetapi Sri Rama akhirnya memerintahkan Laksamana untuk memenggal tangan
dan hidungnya Surapandaki karena ia telah kurang ajar menunjuk-nunjuk muka Sri
Rama dan Sita Dewi.
Setelah suda disuratnya oleh Sri Rama belakangnya itu ‘alamat, demikianlah bunyinya.
‘Bahwa perempuan ini pesuruhanku hai Laksamana. Apabila ia datang, jangan tiada
engkau tangkap maka engkau kerat tangannya dan rumpungkan hidungnya karena ia
menunjukkan mukaku dan Sita Dewi dengan didustainya akan Sita Dewi.’ Setelah suda,
maka disuruhnya Surapandaki pergi ke Laksamana itu…. Setelah Surapandaki melihat
kelakuan Laksamana itu, maka kata Surapandaki, “Hai, Laksamana, mengapa maka engkau

4
– HIKAYAT SRI RAMA –

tiada mau akan aku dan tiada malu engkau melihat aku datang ini disuruhnya oleh Sri Rama
datang kemari mencari engkau ini?” Setelah didangar oleh Laksamana, maka ia pun lalu
berpaling melihat kepada Surapandaki seraya ia berkata, “Hai, Perempuan, siapa engkau
ini dan dari mana engkau datang dan siapa akan namamu?” Maka sahut Surapandaki, “Hai,
Laksamana. Adapun aku datang ini daripada Sri Rama aku datang mendapatkan engkau di
sini.” Maka kata Laksamana, “Hai, Perempuan muda. Jikalau sungguh daripada tuanku
datanglah engkau kemari dan apa tandamu yang engkau suda bertemu kepada tuanku itu?”
Maka kata Surapandaki, “Ada Sri Rama memberi tanda kepada aku ini.” Maka kata
Laksamana, “Marilah aku lihat tandamu itu.” Maka Surapandaki pun berdirilah, maka akan
ditunjukkannya surat yang di belakangnya itu. Maka dilihatnya oleh Sri Laksamana. Maka
kata Laksamana, “Sungguhlah surat ini daripada Sri Rama yang menyurat dia ini.” Maka
lalu dibacanya seraya tersenyum katanya, “Hai, Perempuan muda yang baik parasnya.
Adapun di dalam surat ini ia mengatakan disuruhnya tangkap engkau dan titah tuanku Sri
Rama dan disuruhnya potong tanganmu dan disuruhnya rumpungkan hidungmu karena
engkau menunjuk-nunjuk mukanya tuanku Sri Rama dan engkau menunjuk-nunjuk muka
Sita Dewi” (HSR:112).
Pada halaman 225, dimuat kolofon yang penulisannya tidak seperti teks pada
halaman sebelumnya. Berikut kutipannya.
Maka baginda pun pindahlah dari negeri Daryapuranegara itu (ke) negeri yang baharu
diperbuatnya. Maka dinamainya negeri itu Ayodyapuranegara.
Maka Sri Rama pun diamlah di sana dengan sang Hanoman. Syahdan
maka Maharaja Sri Rama dan Sita Dewi pun duduklah
bersuka-sukaan dan berkasih-kasihan dua laki-istri di
dalam negeri itu dan kararlah di atas
kerajaannya, kepada anak cucunya pun
menjadi raja besar turun-
menurun. Demikianlah
ceritanya diceritakan
oleh dalang yang
yang empunya
cerita dari
pada Maharaja
Sri Rama
dan Laksamana
yang ter
masyhur
namanya
di dalam negeri tana Benua Kaling dan Benua Siam, datang ke benua yang besar,
datang ke benua Turki, datang ke Benua Wilanda sampai datang sekarang ini disebut
orang dan dihikayatkannya daripada hikata (Sri Rama).
Tamatlah hikayat Maharaja Sri Rama.

c. Cod.Or. 3248
Naskah ini berjumlah 367 halaman dengan lima belas baris setiap halamannya.
Naskah ditulis di Kampong Gunung Sahari, Betawi, pada tahu 1882. Di pinggir
halaman terdapat catatan-catatan yang pernah diberikan oleh Van der Tuuk.
Tulisannya tidak terlalu bagus (Ikram, 1980:70).

d. Roorda van Eysingan (RvE)


Naskah RvE ini terbit pada tahun 1843 dengan judul Geshiedenis van Sri Rama.
Tidak jelas naskah mana yang dijadikan dasar edisi ini, tetapi editor telah

5
– HIKAYAT SRI RAMA –

mengadakan banyak “perbaikan” dalam teks. Bersama dengan Shellabear, edisi ini
merupakan versi yang paling terkenal dan paling banyak digunakan untuk
perbandingan (Ikram, 1980:73).
Berdasarkan deskripsi di atas, pada penelitian ini penulis akan menggunakan
naskah yang tersimpan di PNRI Jakarta, yaitu naskah bernomor Ml 136 sebagai
dasar. Akan tetapi, beberapa halaman dalam naskah ini sudah hilang dan ada
beberapa kata yang dihilangkan dalam teks. Oleh karena itu, penulis akan
menggunakan transliterasi naskah Ml 252 untuk melengkapi cerita dan kekosongan
tersebut. Keterangan lebih lanjut akan ditulis dalam bagian hasil alih aksara.

E. Ringkasan Isi Naskah


Hikayat Sri Rama dengan episode kelahiran Sri Rama. Mulanya Dasarata, ayah
Sri Rama, mendirikan sebuah negeri yang dinamai Mandupura. Setelah ia
mendirikan negeri itu, ia menemukan seorang perempuan dari rumpun buluh
betung. Perempuan tersebut bernama Putri Mandudari yang akhirnya dinikahi oleh
Dasarata. Dalam pesta perkawinan mereka, hampir saja terjadi kecelakaan, yaitu
perarakkan Dasarata dan Mandudari patah. Mereka diselamatkan oleh Baliadari.
Lalu Baliadari pun disunting oleh Dasarata. Setelah berapa lama mereka menikah,
Dasarata belum juga dikaruniai anak. Untuk itu, ia meminta doa kepada Maharesi
Perwita. Maharesi meminta dibuatkan hamum untuk memuja nasi gandum yang
akan dimakan oleh Mandudari dan Baliadari. Kemudian, Dasarata berjalan kembali
ke Mandupura. Ia bertemu Maharesi Bramadewa di hutan dan meminta pertolongan
agar bisa punya anak. Maharesi Bramadewa meminta Dasarata membunuh seribu
gajah sebagai syarat untuk memperoleh anak. Setelah nasi gandum yang sudah
didoakan Maharesi Perwita dimakan Mandudari dan Baliadari serta syarat dari
Maharesi Bramadewa dilakukan Dasarata, mereka pun dikaruniai anak. Mandudari
melahirkan dua orang putra yang diberi nama Sri Rama dan Laksamana, sedangkan
Baliadari melahirkan 3 orang anak yang bernama Citradana, Berdana, dan Kikuwi
Dewi. Akhir dari episode ini adalah Dasarata terkena penyakit barah (seperti bisul
yang bernanah). Penyakitnya disembuhkan oleh Baliadari.
Episode kedua berkisah tentang kelahiran Sita Dewi. Pada suatu hari, Rawana
datang ke istana Dasarata untuk meminta istrinya, Mandudari. Mandudari dengan
kecerdikannya memenuhi keinginan Rawana; ia mengutus perempuan serupa
dirinya yang berasal dari daki hasil pemujaan yang diberi nama Mandudaki.
Rawana pun gembira setelah melihat Mandudaki dan segera membawanya ke
dusun Maharesi Kisuberisu. Ketika Maharesi Kisuberisu sedang santai di depan
rumahnya, Rawana lewat sembari berkata bahwa Kisuberisu harus memberi hormat
kepada Rawana dan istrinya yang ia gendong, ia juga menyindiri Kisuberisu itu
kera atau manusia sehingga tidak paham bahasanya. Maharesi Kisuberisu langsung
murka dan mengutuk Rawana bahwa ia akan mati di tangan kera dan manusia
karena ia tidak sopan kepada Kisuberisu dan meminta istri orang yang sudah
beranak dengan suaminya seperti tidak ada perempuan lain di dunia. Kemudian,
Rawana naik ke atas ratanya dan kembali ke Langkapuri. Di negeri Mandupura,
Dasarata mendengar cerita Mandudari tentang Mandudaki. Lalu, ia pun
mengunjungi Mandudaki di Langkapuri. Tak berapa lama Rawana dan Mandudaki
pun melangsungkan acara perkawinan. Lalu putri Mandudaki hamil dan melahirkan
seorang putri yang elok parasnnya dan tubuhnya seperti emas sepuluh mutu
(kemudian diketahui sebagai Sita Dewi). Rawana yang gembira melihat putrinya

6
– HIKAYAT SRI RAMA –

lahir memanggil ahli nujum untuk mengetahui masa depan putrinya itu. Akan
tetapi, ahli nujum berkata bahwa suami anaknya kelak akan membunuh Rawana.
Mendengar hal itu, Rawana langsung menyuruh agar anak itu dibunuh. Dengan
segala bujuk rayu Mandudaki, akhirnya Rawana berubah pikiran dan menyuruh
anaknya dimasukan ke peti besi dan dibuang ke sungai.
Episode ketiga berkisah tentang perkawinan Sri Rama dan Sita Dewi. Awalnya
bayi yang dibuang oleh Rawana ditemukan oleh Maharesi Kala dan diberi nama
Sita Dewi. Ketika usianya sudah pantas untuk menikah, Maharesi Kala
mengadakan sayembara untuk menemukan calon pendamping Sita Dewi. Di lain
daerah, Sri Rama dan Laksamana sedang berguru ilmu nujum dan hikmat kepada
Begawan Nilapurba. Ia mendapatkan anak panah jelmaan naga Pertala Seganda
Dewa dalam pertapaannya di Gunung Gangsa Indra. Naga Pertala Seganda Dewa
menjelma menjadi tiga anak panah karena ia tahu bahwa Sri Rama adalah jelmaan
MahaBisnu (Dewa Wisnu). Lalu Sri Rama meminta kepada gurunya busur panah
karena ia sudah punya tiga anak panah. Setelah genap tiga bulan bertapa dan
berguru dengan Begawan Nilapurba, Sri Rama dan Laksamana pun berpamitan
kembali ke negerinya. Sesampainya di Mandupura, mereka dijemput utusan
Maharesi Kala untuk mengikuti sayembara pencarian suami Dewi Sita. Dalam
sayembara itu, Sri Rama berhasil membunuh Janggin, Agigandi, dan Suranggini
dan dinyatakan sebagai pemenang. Sebagai hadiah, Sri Rama akan dinikahkan
dengan Sita Dewi, tetapi Maharesi Kala menguji kesungguhan Sri Rama dengan
menyembunyikan Sita Dewi di ruang berhala. Laksamana yang setia menemani
kakaknya pun turut membantu mencari Sita Dewi. Ia mengatakan kepada Sri Rama
mungkin Sita Dewi tersamarkan dengan berhala yang ada di ruangan itu. Berbekal
informasi dari Laksamana itu, Sri Rama pun berhasil menemukan Sita Dewi dan
mereka akhirnya melangsungkan perkawinan. Beberapa waktu kemudian, Sri
Rama, Sita Dewi, dan Laksamana kembali ke Negeri Mandupura.
Singkat cerita terjadilah penculikan atas Sita Dewi yang dilakukan oleh
Rawana. Awalnya Rawana ingin mengalahkan matahari. Ia juga berhasil
membunuh Bergansinga sehingga terjadilah perang antara dirinya dan Maharaja
Balia. Alhasil istri dari Rawana diambil oleh Raja Balia. Oleh karena itu, Rawana
meminta bantuan Begawan Nilacikru untuk meminta kembali Mandudaki dari Raja
Balia. Di lain cerita dikisahkan bahwa Sri Rama berahi melihat Dewi Anjani yang
sedang bertapa hingga lahirlah Hanuman. Suatu ketika terjadi pertarungan antara
Laksamana dan Surapandaki karena Laksamana telah membunuh anaknya.
Surapandaki pun melapor kesakitannya kepada kakaknya, Rawana. Ia mengaku
digoda oleh Laksamana. Mendengar hal itu, Rawana menyuruh Gagak Nasar
mengamati rumah Sri Rama. Sayangnya, ia dibunuh oleh Sri Rama. Kemudian,
anak Darakalasina mengadu kepada Rawana bahwa ayahnya dibunuh oleh Sri
Rama. Rawana pun mengambil tindakan melarikan Sita Dewi dari Sri Rama.
Sri Rama pun berusaha mencari dan mengambil kembalil Sita Dewi ke
Langkapuri. Ia meminta bantuan Sugriwa, Hanuman, dan Raja Semburan.
Hanuman diutus ke Langkapuri untuk menemui Sita Dewi dan menyelundupkan
cincin Sri Rama. Kemudian, Hanuman menghancurkan Langkapuri. Sementara itu,
Sri Rama berusaha membuat tambak dan jembatan agar ia bisa terbang ke
Langkapuri. Pembangunan ini dikerjakan oleh banyak orang. Selama proses
pembangan itu, terjadilah beberapa peristiwa, yaitu Sri Rama menemukan

7
– HIKAYAT SRI RAMA –

Maulhayat, Sita Dewi ditipu Rawana dengan berita Sri Rama sudah mati, dan
Gangga Mahasura berusaha merusak tambak.
Setelah tambak selesai, Sri Rama berangkat menyeberang ke Langkapuri.
Segala pihak telah memperingatkan Rawana bahwa Sri Rama akan menyerang
Langkapuri. Rawanan diperingatkan oleh Indrajit dan Kumbakarna akan
menyerahkan Sita Dewi kepada Sri Rama. Karena ia tidak mau mendengar
peringatan itu, ia mengutus sepuluh hulubalangnya menyerang Sri Rama. Mereka
semua mati di peperangan. Kemudian ia juga menyuruh Kumbakarna dan Badubisa
melawan Sri Rama. Kekalahan juga diderita oleh mereka. Singkat cerita terjadilah
peperangan yang dahsyat antara kubu Rawana dan kubu Sri Rama. Banyak orang
yang mati dalam peperangan itu. Salah satunya yang terkena dampak adalah
Laksamana. Ia terkena panah Rawana dan berhasil disembuhkan oleh obat yang
dicarikan oleh Hanuman.
Akhirnya, terjadi duel antara Sri Rama dan Rawana. Pertarungan ini
dimenangkan oleh Sri Rama. Ia lalu menemui istrinya, Sita Dewi, tetapi ada rasa
ragu dalam dirinya. Ia meragukan kesetiaan Sita Dewi karena sudah lama tinggal
dengan Rawana. Guna menyakinkan suaminya, Sita Dewi terjun ke dalam api suci.
Ajaibnya tubuh Sita Dewi tidak terbakar sama sekali. Melihat pengorbanan istrinya
tersebut, Sri Rama memboyongnnya kembali ke negeri mereka.
Sri Rama membangun negeri baru yang diberi nama Daryapuranegara dengan
sistem pemerintahan yang adil dan makmur. Singkat cerita Sri Rama dan Sita Dewi
membangun keluarganya di sana. Mereka dikaruniai seorang putra bernama Tilawi.
Kemudian, mereka menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada anaknya. Sri
Rama dan Sita Dewi memilih untuk bertapa dan ditunggui oleh Laksamana serta
Hanuman.

F. Pedoman dan Metode Alih Aksara


Dalam mentransliterasi HSR, penulis mengikuti pedoman Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan (EYD). Penulis pun mengadakan perbaikan kata
dan huruf dengan maksud agar sesuai dengan konteksnya; perbaikan ini akan
merujuk pada transliterasi HSR Ml 252 yang ditulis oleh Rudi Kurniawan (1995).
Tambahan pula, penggunaan huruf kapital, pemerian tanda baca, dan pembagian
paragraf juga akan disertakan dalam transliterasi ini. Semua ini dilakukan untuk
memudahkan pembaca dalam memahami isi cerita. Kosakata yang disebutkan
dalam contoh akan ditandai dengan tulisan cetak tebal pada transliterasi untuk
memudahkan pembaca mengenali dan mengingat perubahan yang dilakukan. Untuk
keterangan lebih lengkap, berikut rinciannya.
1. Kata ulang dalam teks dilambangkan dengan angka 2, tetapi dalam beberapa
kata ditulis secara berulang. Dalam transliterasi, kata ulang tersebut akan ditulis
sesuai dengan ketentuan EYD. Tulisan (h) angka Arab (contohnya: h.9) yang ditulis
pada setiap contoh merujuk pada halaman teks, bukan halaman penelitian ini.
Contohnya:
٢‫كانق‬ Kanak2 menjadi kanak-kanak (h.9)
٢‫راج‬ Raja2 menjadi raja-raja (h.9)
٢‫ برتريق‬Berteriak2 menjadi berteriak-teriak (h.13)

8
– HIKAYAT SRI RAMA –

2. Beberapa kata yang tidak lazim diakhiri dengan huruf (h) di dalam naskah
ditambahkan. Begitu pula sebaliknya, kata-kata yang dalam Bahasa Indonesia
seharusnya diakhiri huruf h di dalam naskah dihilangkan. Dalam transliterasi ini,
penulis akan mempertahankan gejala ini untuk menunjukkan kekhasan teks. Akan
tetapi, gejala ini tidak konsistensi terjadi, beberapa kata ditulis sesuai dengan tulisan
dalam Bahasa Indonesia. Oleh karena itu, penulis akan menuliskannya sesuai
dengan tulisan dalam teks. Contohnya:
h. 2 ‫ف داڠم‬ mengadap
h. 5 ‫ورهب‬ baharu
h. 5 ‫هارڬ يس‬ segerah

3. Huruf ‫ك‬, ‫ق‬, ‫ء‬, dan ‫ ع‬di dalam transliterasi akan ditulis dengan huruf k.
Khusus untuk huruf ‫ ع‬akan dilambangkan dengan huruf k jika berada di tengah
kata, tetapi jika ditulis di depan kata akan dilambangkan dengan tanda apostrof (‘).
Contoh:
‫ت ي عار‬ ra’yat menjadi rakyat (h.2)
‫ؤل عت‬ ta’luk menjadi takluk (h.8)
٢‫كانق‬ kanaq-kanaq menjadi kanak-kanak (h.9)
‫وك ڠوب‬ bungku menjadi bungkuk (h.13)
‫ت م الع‬ ‘alamat tetap ditulis ‘alamat (h.22)

4. Huruf ‫ س‬dan ‫ ش‬akan ditransliterasikan dengan huruf s. Hal ini disesuaikan


dengan konteks kata dalam Bahasa Indonesia, kecuali untuk kata syahdan dan
masyhur huruf ‫ ش‬akan ditransliterasikan dengan huruf sy. Contohnya:
‫ روه شم‬Masyhur (h. 14)
‫ن ادهش‬ Syahdan (h. 30)
‫ماري رش‬ Syri Rama menjadi Sri Rama (h. 30)

5. Terdapat kata-kata yang ditulis tidak sesuai dengan kaidah tata Bahasa
Indonesia. Kata-kata tersebut akan diperbaiki sesuai dengan kaidah tata bahasa
Indonesia. Contohnya:
h. 5 ‫ن ك قارارف‬ perarakkan menjadi perarakan
6. Huruf e pepet dituliskan dengan huruf ‫ ا‬yang ditransliterasi menjadi huruf
a. Dalam transliterasi, kosakata yang memuat gejala tersebut diubah sesuai dengan
tulisan dalam bahasa Indonesia. Contohnya:
‫ ن ڠاد‬dangan menjadi dengan (h. 4)
‫ رڠاد‬danger menjadi dengar (h. 9)
7. Kata mendengar ditulis dengan dua cara, yaitu ‫ رڠ نم‬h.2 (menengar) dan
‫ رڠادن م‬h.3 (mendengar), penulisan keduanya tetap dipertahankan sesuai
dengan tulisan dalam teks HSR.

9
– HIKAYAT SRI RAMA –

8. Rincian dalam teks dipisahkan dengan kata hubung dan, tetapi guna
memperjelas rincian tersebut, penulis menambahkan tanda koma dan tetap
mempertahankan kata dan tersebut. Contohnya:
Kerbau, dan lembu, kambing, biri-biri, dan ayam, itik, dan angsa h.4
Kerbau, dan lembu, dan kambing, biri-biri h.21
9. Kata-kata yang dirasa tidak pahami oleh pembaca sekarang (dalam hal ini
menggunakan sudut pandang penulis) akan dijelaskan maknanya dalam daftar kata
(terlampir). Di dalam teks, ditandai dengan tulisan yang dicetak miring. Kata-kata
yang dimaksudkan adalah kosakata yang tidak ada dalam Bahasa Indonesia atau
kosakata yang sudah jarang digunakan. Oleh karena itu, penulis akan menggunakan
kamus:
a. Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) yang disusun oleh W.J.S.
Poerwadarminta.
b. Kamus Dewan (KD) yang disusun oleh Teuku Iskandar.
c. A Malay English Dictionary (AMED) yang disusun oleh R.J. Wilkinson.
d. Nieuw Maleisch-Nederlansch Woordenboek (NMNW) susunan H.C. Klinkert.
Penggunaan kamus tersebut disesuaikan dengan urutannya. Apabila kosakata
yang dicari sudah ditemukan dalam KUBI, ketiga kamus lainnya tidak akan
digunakan; hanya dilihat saja untuk memastikan makna kata tersebut sama dalam
keempat kamus. Apabila kosakata tersebut tidak ditemukan dalam KUBI, barulah
digunakan KD, AMED, atau NMNW.

10. Nomor pada sisi kiri teks menunjukkan nomor halaman pada naskah.

11. Garis miring (…/…) dalam transliterasi menunjukkan pergantian halaman


pada naskah.

12. Tanda (…( )…) digunakan untuk menambahkan huruf, kata, kalimat, atau
paragraf yang hilang dalam naskah HSR Ml 136 berdasarkan transliterasi HSR Ml
252.
13. Tanda (…[ ]…) digunakan untuku menghilangkan huruf, kata, atau kalimat
yang dirasa salah tulis dalam teks.

14. Kesalahan penulisan yang berkaitan dengan susunan huruf yang terbalik dan
kelebihan serta kekurangan titik pada huruf tertentu dalam teks akan didaftarkan
dalam tabel. Kesalahan ini dicocokkan dengan konteks dalam kalimat dan dirujuk
pada Ml 252. Berikut kesalahan penulisan yang terdapat dalam teks.

10
– HIKAYAT SRI RAMA –

Tulisan dalam Teks Transliterasi sesuai Transliterasi sesuai


Tulisan Konteks
‫( وراپ‬h. 3) Nyaru Nyiur
‫( ن ارك‬h. 6) Kerana Karena
‫( ي جومم‬h. 7) Memuji memuja
‫( مهراد‬h. 9) Darham Dirham
‫( ڠودك‬h. 22) Kedung gedung
‫( هاروپ م‬h. 2) Menyurah menyuruh
‫( سوك رف‬h. 8) Perkosa Perkasa

15. Kata atau penggalan kata yang muncul di akhir baris akan dihilangkan jika
kata tersebut diulang pada awal baris berikutnya.

16. Pergantian paragraf ditandai dengan kata arkian, hatta, adapun, setelah, dan
sebermula yang menunjukkan pergantian cerita atau isi. Di dalam naskah, kata-kata
tersebut ditulis dengan tinta berwarna merah. Apabila kata-kata tersebut termasuk
dalam ujaran tokoh atau berada dalam kalimat, pergantian paragraf tidak akan
dilakukan.

11
HASIL ALIH AKSARA
HIKAYAT SRI RAMA ML 136

1 Alkisah ini hikayat daripada cerita orang dahulu kala. Maka diceritakan oleh
orang empunya cerita ini di dalam Benua Keling ada seorang raja terlalu besar
kerajaannya di dalam negeri itu. Maka dinamai ia hikayat itu cerita Maharaja Sri
Rama namanya, anak daripada Dasarata Maharaja. Adapun akan Dasarata Maharaja
itu anak daripada Dasarata Cakrawati, dan Dasarata Cakrawati itu anak Dasarata
Raman, dan Dasarata Raman itu anak Dasarata (Wati), dan Dasarata Wati anak
Nabi Adam.
Adapun akan Dasarata Maharaja itu terlalu sangat saktinya, dan gagah berani,
pahlawan tiada berbagai, dan elok parasnya. Daripada zaman itu, seorang tiada ada
taranya di dalam dunia ini, tiada menyamai pada baginda itu. Maka baginda itu pun
berkehendak mencari tempat yang baik, hendak berbuat negeri supaya
ditinggalkannya kepada anak cucunya turun-temurun. Maka baginda pun
menitahkan perdana menteri yang bernama Puspa Jaya Krama pergi mencari tempat
akan diperbuatnya negeri yang seperti kehendak hatinya baginda itu. Maka Puspa
2 Jaya Krama pun bermohonlah ke bawa duli Baginda. Lalu ia berjalan/ dengan
segala menteri, hulubalang, dan rakyat empat laksa yang pergi mengiringkan ia.
Setelah berapa lamanya, maka ia pun bertemulah suatu tempat yang seperti akan
kehendak baginda [itu dan] Dasarata Maharaja itu. Maka Puspa Jaya Krama itu pun
menyuruh segala rakyat yang empat laksa itu menyucikan daripada segala pohon
kayu yang besar-besar dan batu yang besar-besar disuruhnya dibongkar. Setelah
suda, maka ia pun menyuruhkan seorang menteri pergi memberi tahu baginda itu.
Setelah menteri itu sampai, maka ia pun masuklah mengadap baginda. Maka
sembahnya, “Adapun duli tuanku menitahkan mencari tempat dengan berkat duli
tuanku adalah tempat itu sekaliannya patik berdapat dan layaknya akan tempat itu
dan diperbuat negeri. Tanahnya pun rata dan sama tengahnya pun ada sebuah bukit
terlalu sekali eloknya, baiklah akan tempat istana duli Yang Dipertuan.” Maka
baginda pun terlalu sukacita hatinya menengar sembah menteri itu. Maka ia pun
menyuruhkan segala raja-raja, menteri, hulubalang, sida-sida, bintara dan segala
orang yang kaya-kaya di dalam negeri Aspahabuga itu akan pergi menyucikan
3 tempat itu. Maka segala/ mereka itu berjalanlah akan mendapatkan Puspa Jaya
Krama dengan segala rakyat.
Setelah datang kepada tempat itu, maka segala raja-raja dan menteri itu
bekerjalah masing-masing dengan ketumbakannya pada tempatnya. Maka dengan
dua tiga hari juga akan tempat itu pun bersihlah dan teranglah. Datanglah sama
tengah bukit itu, maka adalah serumpun bulu betung, warnanya seperti emas
sepuluh mutu dan warnanya seperti perak. Maka segala pohon kayu yang hampir
pada bulu betung itu sekaliannya condong kepadanya seperti payung menaungi
buluh itu.
Hatta maka segala hulubalang pun datanglah menetak bulu itu. Apabila dari kiri
ditetak, maka dari kanan tumbuh. Maka apabila ditetak dari kanan, maka dari kiri

12
– HIKAYAT SRI RAMA –

tumbuh dengan demikian juga senantiasa itu. Maka segala raja-raja, menteri, dan
hulubalang sekaliannya heranlah akan melihat kelakuan bulu betung itu. Maka
Menteri Puspa Jaya Krama itu pun segeralah kembali mengadap Dasarata
Maharaja, maka dipersembahkannya segala kela(ku)an bulu betung itu. Maka
baginda pun terlalu heran mendengar sembah menteri itu. Maka titahh baginda,
“Jikalau demikian, baiklah esok hari aku pergi melihat kamu sekalian mana yang
bulu itu.” Setelah keesokan hari, maka baginda pun naiklah ke atas gajahnya lalu
berjalan diiringkan oleh segala raja-raja, dan menteri, dan segala hulubalang, dan
sida-sida, bintara, dan segala rakyat balatentaranya yang tiada tepermanai itu.
Setelah sampailah baginda kepada tempat itu, maka titahh baginda, “Manatah
bulu betung itu?” Maka sembah Puspa Jaya Krama, “Itulah Tuanku yang dinaungi
oleh segala pohon kayu itu.” Maka dilihat oleh baginda rumpun bulu betung itu
terlalu inda-inda sekali rupanya itu dan bahunya terlalu harum seperti narwastu dan
kesturi baunya itu. Maka titahh baginda, “Hai Puspa Jaya Krama, paranglah olehmu
bulu itu, aku lihat.” Maka Puspa Jaya Krama pun segeralah mengunus pedangnya,
seperti batang nyiur besarnya, maka lalu diparangnya rumpun bulu itu. Maka
4 dengan sekali parang itu juga rumpun bulu itu habis putus-putus./ Seketika itu juga
rumpun bulu betung itu tumbuh pula dari kiri. Maka diparangnya dari kiri, maka
tumbuh pula ia dari kanan.
Setelah dilihat oleh baginda akan hal bulu betung itu, maka baginda pun terlalu
marah. Lalu baginda turun dari atas gajahnya seraya mengunus pedangnya lalu
diparangnya oleh baginda bulu betung itu. Maka dengan sekali parang itu juga habis
putus-putus. Maka dengan (takdir) Dewata Mulia Raya, maka dilihat oleh baginda
ada seorang perempuan di dalam bulu betung itu, duduk di atas genta dengan
perhiasannya, dan warna mukanya bercahaya-cahaya seperti bulan purnama empat
belas hari, dan warna tubuhnya seperti emas sepuluh mutu. Maka Dasarata
Maharaja pun segera membuka ikat pinggangnya lalu diselimutinya putri itu, lalu
didukungnya dinaikannya ke atas gajahnya. Maka lalu dibawanya pulang ke
istananya mendukung tuan putri itu. Lalu dibawanya turun dari atas gajahnya, lalu
dibawanya masuk ke istananya. Maka Dasarata Maharaja pun terlalu suka hatinya
seraya baginda menyuruhkan menterinya, Puspa Jaya Krama, berbuat perarakan
tujuh belas pangkat dan empat puluh perarakan yang kecil, bakal mengiringkan
perarakan yang besar itu. Maka sekalian raja-raja itu bekerjalah masing-masing
dengan pekarangannya dan masing-masing dengan pengetahuannya.
Maka kepada hari itu juga baginda memulai berjaga-jaga empat puluh hari,
empat puluh malam ia berjaga-jaga, makan dan minum, dengan segala bunyi-
bunyian. Maka berapa ratus kerbau, dan lembu, kambing, biri-biri, dan ayam, itik,
dan angsa disembelih orang akan jamu orang makan minum itu. Maka segala bunyi-
bunyian pun dipalu oleh oranglah daripada gong, genderang, serunai terlalu
gempita bunyinya. Maka perarakan pun sudalah diperbuat oleh orang, terlalu inda-
inda sekali perbuatannya. Setelah empat puluh hari ia berjaga-jaga, maka pada
ketika yang baik maka baginda pun memakailah daripada segala pakaian yang inda-
inda dengan tuan putri yang bernama Mandudari.
5 Setelah suda memakai, maka baginda pun memimpin/ tangan tuan putri lalu
dibawanya naik ke atas perarakan yang tujuh belas pangkat. Maka segala bini raja

13
– HIKAYAT SRI RAMA –

dan bini menteri sekalian pun naik ke atas perarakan, duduk mengadap baginda dua
laki-istri dengan segala perhiasannya. Maka segala punggawa hulubalang dan bini
orang yang kaya-kaya dan segala dayang-dayang perwara baginda pun naik ke atas
perarakan yang kecil akan mengiringkan baginda berarak berkeliling negeri
Aspahabuga tiga kali dengan segala bunyi-bunyian terlalu ‘azimat bunyinya. Maka
baharulah enam kali berkeliling maka perarakan pun patahlah. Maka berapa daya
dan upaya segala raja-raja dan hulubalang hendak mengangkat membetulkan
perarakan itu tiada juga ia betul.
Maka adalah seorang gundik baginda bernama Baliadari. Setelah dilihatnya
perarakan itu patah, maka ia pun segerahlah turun dari atas perarakannya. Maka
lalu disangganya dengan lengannya, maka perarakan itu betullah. Maka tangan
Baliadari pun patahlah. Maka baginda pun beraraklah kembali ke istananya, duduk
dihadap oleh segala raja-raja, dan menteri, dan hulubalang, sida-sida, bintara, dan
biduandara, rakyat sekalian. Maka titahh baginda, “Nyaris aku beroleh malu dengan
tuan putri oleh perarakan itu patah, baiknya Baliadari segerah menahannya dia
dengan tangannya baharulah betul. Maka tangannya pun patah olehnya sangat
kebaktiannya kepadaku. Adapun jikalau aku beranak dengan Baliadari itu, baik
laki-laki atau perempuan, kita rajakan di dalam negeri ini. Maka segala raja-raja,
dan menteri, hulubalang, dan rakyat sekalian, “Mana titahh duli Yang Mahamulia
itu, patik sekalian junjung.” Setelah itu maka dititahhkan oleh baginda kepada
Puspa Jaya Krama, dan segala raja-raja, dan menteri hulubalang sekalian pergi
berbuat negeri itu. Setelah jadilah negeri itu, maka dinamai oleh baginda negeri
Mandupuranegara itu. Maka baginda pun ke negeri yang baharu diperbuatnya itu
dengan segala raja-raja, dan menteri, dan hulubalang, rakyat sekalian.
Setelah berapa lamanya baginda duduk di negeri Mandupura itu maka baginda
6 pun tiada/ juga beroleh anak. Maka baginda pun pergilah kepada seorang maharesi
itu. Maka kata maharesi itu, “Apa kehendak anakku datang kemari ini?” Maka kata
Dasarata Maharaja, “Adapun hamba datang ini hendak minta obat kepada Bapaku
karena terlalu hasrat hamba hendak beranak belum juga beroleh anak.” Maka
baginda pun pergilah pula. Maka maharesi pun tersenyum seraya membuka
nujumnya, maka kata Perwita Maharesi, “Hai, Anakku. Tiga hari lagi kita berbuat
hamum di tengah padang itu dan hendaklah anakku menyuruhkan segala raja-raja
dan menteri berbuat tempat kita berhamum.” Maka Dasarata Maharaja pun
bermohonlah ke istananya seraya menitahkan Puspa Jaya Krama dan segala
menteri, dan hulubalang, rakyat sekalian pergi berbuat tempat hamum itu. Setelah
diperbuatnya, maka baginda pun berangkatlah dengan Tuan Putri Mandudari dan
Baliadari naik ke atas gajah puti. Lalu berjalan keluar negeri, pergi kepada tempat
berbuat hamum itu diiringkan oleh segala menteri dan hulubalang dan segala
perhiasannya dan segala bunyi-bunyiannya terlalu ramai. Maka baginda pun
menitahkan Puspa Jaya Krama pergi menyambut maharesi. Setelah datang kepada
Perwita Maharesi, maka sembah Puspa Jaya Krama, “Tuanku dipersilakan oleh
paduka anakda kepada tempat berbuat hamum itu.” Maka Perwita Maharesi pun
berangkatlah akan segala kelengkapan berbuat hamum itu dengan muridnya itu
yang seribu itu, sekaliannya pun pergilah mengiringkan baginda. Maka Perwita
Maharesi pun naiklah ke atas ratanya sakti, terbang sendirinya mendapatkan

14
– HIKAYAT SRI RAMA –

Dasarata Maharaja ke negeri Mandupuranegara itu. Maka menteri Puspa Jaya


Krama pun berjalanlah dengan segala maharesi yang seribu.
Hatta maka Perwita Maharesi pun datanglah ke negeri Mandupuranegara, maka
ia pun turunlah dari ratanya. Maka Dasarata Maharaja pun datanglah mendapatkan/
7 Perwita Maharesi itu, lalu ia dipegangnya tangannya, dibawanya duduk di atas
singgasana yang keemasan bertatahkan ratna mutu manikam. Maka Puspa Jaya
Krama pun sampailah dengan segala maharesi yang seribu itu. Maka Perwita
Maharesi pun duduklah kepada suatu kursi yang keemasan akan memuja nasi
gandum, maka segala maharesi yang seribu itu pun duduklah sekaliannya akan
berkeliling mengadap Perwista Maharesi itu berbuat hamum. Maka berbunyilah
segala bunyi-bunyiannya seperti rebab, kecapi, dandi, bangsi, serdam, kuping,
ceracap, serunai, maka gong, dan kendang terlalu gempita bunyinya. Maka Perwita
Maharesi pun duduklah memuja hamum itu dengan segala bunyi-bunyian.
Pada ketika itu, Gagak Sura, nenek kepada Maharaja Rawana itu pun adalah ia
terbang bermain-main di udara. Maka dilihatnya ke bawah terlalu ramai orang
berhimpun di tengah padang negeri Mandupuranegara. Maka dilihat oleh Gagak
Sura segala maharesi terlalu banyak berhimpun memuja hamum itu, hendak
memohonkan anak akan Dasarata Maharaja pada Dewata Mulia Raya. Maka pikir
Gagak Sura, “Jikalau Dasarata Maharaja beroleh anak dianugrahkan oleh Dewata
Mulia Raya, terlalu baik rupanya dan gagah berani dengan saktian tiada berbagai
ialah yang menjadi raja di dalam ‘alam dan Dunia ini. Sekalian raja-raja di bawah
perintahnya dan menurut barang titahhnya.” Maka Gagak Sura pun berhentilah di
udara melihat barang kelakuannya dan barang perbuatannya Dasarata Maharaja dan
Perwita Maharesi akan berbuat hamum itu.
Adalah sekira-kira dua jam lamanya, maka nasi gandum itu pun masaklah.
Maka Perwita Maharesi pun sudalah daripada memuja itu. Maka nasi itu pun
dikepalnya jadi enam kepal. Maka yang tiga kepal itu diberikannya kepada Tuan
Putri Mandudari dan tiga kepal itu diberikannya pada Baliadari. Maka lalu
8 disantapnya oleh tuan putri nasi itu yang dua kepal itu dan yang/ sekepal itu lagi
dipegangnya. Maka Gagak Sura pun turunlah dari udara, maka lalu disambarnya
nasi yang satu kepal itu pada tangan Tuan Putri Mandudari, lalu diterbangkannya
ke udara. Setelah itu, maka dilihat oleh Perwita Maharesi dan Dasarata Maharaja
dan segala maharesi yang banyak. Maka Perwita Maharesi pun terlalu mara akan
Gagak Sura itu, lalu disumpahinya, katanya, “Hai, Gagak bahwa engkau merampas
nasi itu daripada tangan anakku Tuan Putri Mandudari ini, engkau pun lagi akan
mati juga dibunu oleh anak Dasarata Maharaja juga akan kematiamu itu. Adapun
barangsiapa makan nasi itu, maka beroleh anak perempuan akan jadi istri anak
Dasarata Maharaja juga.” Maka Gagak Sura pun lalu terbang ke negeri Langkapuri
mengadap kepada Maharaja Rawana menyembakan nasi itu. Maka kata Maharaja
Rawana, “Apakah gunanya nasi ini?” Maka sembah Gagak Sura, “Ya, Tuanku
Sengalam. Adapun sekali hari patik terbang bermain-main di udara, maka lalu patik
terbang antara negeri Dasarata Maharaja. Maka patik lihat di tengah padang negeri
itu terlalu banyak maharesi dan brahmana duduk berbuat hamum dan memuja
bermohonkan akan anak Dasarata Maharaja kepada Dewata Mulia Raya. Maka
pikir patik ‘Jikalau Dasarata Maharaja beroleh anak laki-laki terlalu sekali gagah

15
– HIKAYAT SRI RAMA –

berani, perkasa, dan saktinya. Dialah yang akan menjadi raja besar di dalam dunia
ini dan segala raja-raja sekaliannya takluk kepadanya.’ Setelah itu maka lalu patik
sambar, nasi inilah dipujanya oleh segala maharesi dan brahmana itu. Segeralah
tuan santap nasi ini supaya Yang Dipertuan dinugrahkan oleh Dewata Yang Mulia
Raya akan anak laki-laki yang berbahagia.” Setelah Maharaja Rawana mendengar
sembah Gagak Sura itu demikian, maka segeralah disantapnya nasi itu. Maka ia pun
kembalilah ke tempatnya.
Sebermula akan Perwita Maharesi, setelah suda berbuat obat itu, maka diberi
9 oleh Dasarata Maharaja Perwita/ Maharesi dengan berapa emas, dan perak, dan
berapa pulu tobak permata. Maka segala brahmana yang seribu itu pun diberi oleh
baginda nugrah semuanya. Setelah suda, maka Perwita Maharesi dan segala
brahmana yang banyak itu pun bermohonlah kepada baginda kembali ke tempatnya.
Maka Dasarata Maharaja pun kembali membawa istrinya ke istana. Maka baginda
pun memberi dirham kepada segala fakir dan miskin masing-masing dengan
kadarnya dan memberi persalin kepada raja-raja, dan menteri hulubalang, sida-sida,
bintara, dan biduanda, dan rakyat sekalian, masing-masing dengan kadarnya.
Setelah suda, maka baginda pun sediakala berburu dengan segala menteri, dan
hulubalang, dan segala rakyat. Maka sekali waktu baginda berburu ke dalam hutan.
Maka baginda pun bertemu dengan seekor kijang maka lalu dipanahnya, maka
kijang itu pun kena lalu rubuh (me)niharap seraya berteriak-teriak, katanya, “Hai,
Dasarata Maharaja. Jangan apalah kabarnya engkau membinasakan isi rimba ini
karena akan jadi tulang belakang seorang kanak-kanak laki-laki. Ialah kelak akan
membinasakan isi hutan rimba ini.” Setelah suda ia berkata demikian, maka ia pun
gaiblah daripada mata baginda. Maka baginda pun heranlah akan melihat kelakuan
kijang itu. Maka pada hari itu tiadalah jadi akan baginda berburu lagi, maka ia lalu
berjalan kembali.
Setelah datang ke tengah jalan maka dilihat oleh baginda seorang maharesi
duduk bertapa di bawa pohon nagasari puti, “Hai, maharesi yang bertapa. Siapa
nama tuan hamba dan berapa lamanya tuan hamba bertapa ini?” Setelah maharesi
mendengar suara orang bertanya itu, maka ia pun membuka matanya. Maka
dilihatnya Dasarata Maharaja. Maka kata maharesi itu, “Hai, Dasarata Maharaja.
Adapun hamba diam ini lima ratus tahun. Adapun nama hamba Maharaja
Bramadewa. Adapun ayahanda hamba bernama Maharasi Brama Dasarata
Cakrawati. Setelah Dasarata mendengar kata Maharasi Bramadewa itu, maka kata
10 Dasarata Maharaja, “Hai, Bapaku. Jikalau ada kasi Bapaku, lihatlah apalah di dalam
nujum tuan hamba itu. Apakah/ dinugrahkan oleh Dewata Mulia Raya akan hamba
ini anak laki-laki atawa perempuan atawa tiadakah?” Setelah Maharesi Bramadewa
mendengar kata Dasarata Maharaja itu, maka ia pun tersenyum seraya katanya,
“Hai, anakku, Dasarata Maharaja. Jikalau tuan hamba hendak beranak yang seperti
kehendak tuan hamba itu, pergilah tuan hamba ke dalam hutan rimba. Maka bunu
oleh tuan hamba gajah yang seribu. Jikalau genap tuan hamba membunu gajah itu,
maka tuan hamba dinugrahkan oleh Dewata Mulia Raya empat orang anak laki-laki
dan seorang anak perempuan.” Setelah Dasarata Maharaja mendengar kata
Maharesi Bramadewa itu, lalu ia kembali ke istananya. Maka baginda pun sediakala

16
– HIKAYAT SRI RAMA –

pergi ke dalam hutan mencari gajah itu kepada tiap-tiap hari. Demikianlah
pekerjaan baginda itu.
Hatta maka baginda pun membunu gajah itu kurang esa seribu yang mati
dibununya. Maka baginda itu pun tiadalah bertemu lagi dengan gajah. Setelah
berapa hari lamanya, maka baginda pun berjalanlah kembali keluar dari dalam
hutan itu.
Alkisah maka tersebutlah ada seorang maharesi bernama Begawan
Bikramadewa. Adapun begawan itu kedua matanya tiada melihat. Maka adalah
anaknya seorang laki-laki itulah yang (me)meliharakan dia, akan mencari makanan
bapanya itu. Maka tatkala itu bulan pun kelam, maka anak begawan pun jatuh ke
dalam telaga.
(Syahdan maka Dasarata Maharaja pun menengarlah bunyi suara gajah. Maka
baginda pun segera datanglah ke tepi telaga itu. Maka nyatalah didengarnya suara
gajah itu di dalam telaga.) Maka (lalu) ditikamnya dengan pendahannya oleh
baginda itu. Maka anak begawan itu matilah karena penglihatannya gajah jatu ke
dalam telaga. Maka titahh baginda pada segala menteri, “Aku telah genaplah seribu
gajah yang aku bunu ini.” Setelah demikian maka baginda pun kembalilah dengan
sukacita hatinya.
Sebermula akan Begawan Bikramadewa dinantikannya anaknya lama belum
juga ia datang, maka ia pun pergilah mencari anaknya itu. Setelah datang kepada
tempat telaga itu, maka dilihatnya anaknya mati di dalam telaga itu. Maka Begawan
(Bi)kramadewa pun menangis seraya katanya, “Tiada siapa yang membunu anakku
ini melainkan Dasarata Maharaja karena ia sediakala bermain-main di dalam hutan/
11 itu. Tetapi jikalau ia beroleh anak, kelak anaknya itu jangan sempat dilihatnya
kepada kebajikannya. Maka ia pun matilah seperti anakku ini.” Setelah suda ia
berkata demikian itu, maka ia pun kembalilah ke tempatnya bertapa tiga ribu tahun.
Sebermula akan Dasarata Maharaja itu, setelah berapa lamanya maka tuan putri
itu pun hamil. Setelah genap bulannya itu, pada ketika yang baik, maka tuan putri
Mandudari itu pun beranaklah seorang laki-laki terlalu elok parasnya, dan warna
tubuhnya itu seperti zamrud yang hijau, dan mukanya seperti bulan empat belas hari
dan cahayanya tiada dapat dibahagikan. Maka Dasarata Maharaja pun terlalu
sukacita hatinya melihat anakda baginda itu. Maka dinamai oleh baginda itu Raden
Sri Rama. Maka dipeliharakan oleh baginda dengan sepertinya betapa ‘adat anak
raja-raja yang besar-besar itu demikianlah. Setelah berapa lamanya maka tuan putri
pun hamil pula maka ia pun beranaklah seorang terlalu elok parasnya dan warna
tubuhnya seperti emas sepuluh mutu, maka dinamai oleh baginda akan anakda itu
Raden Laksamana.
Hatta maka baginda pun (ber)anaklah dengan gundiknya yang bernama
Baliadari itu dua orang laki-laki: seorang dinamai oleh baginda Berdana, seorang
dinamai oleh baginda Citradana itu. Hatta berapa lamanya maka Baliadari pun
bunting pula. Setelah genaplah bulannya maka ia pun beranaklah seorang
perempuan terlalu elok parasnya, maka dinamai oleh baginda akan anakda itu
Kikuwi Dewi.

17
– HIKAYAT SRI RAMA –

Setelah berapa lamanya baginda suda beranak lima orang itu. Maka baginda
pun sakit barah kepada pinggang baginda i(tu). Maka terlalu sangat sakitnya,
tiadalah baginda beroleh makan dan tidur, seperti akan matilah rasanya dengan
penyakit itu. Maka baginda pun terlalailah tiada kabarkan dirinya. Setelah dilihat
Baliadari akan baginda itu tiada kabarkan dirinya daripada sangat sakitnya itu,
maka ia pun segera datang hampir kepada baginda. Maka lalu dihisapnya darah
baginda itu dengan mulutnya, maka baginda pun terkejut. Maka segala nanah dan
12 darah penyakit itu yang ada pada mulut/ Baliadari itu pun diludakannya maka
sebuah perludahan pun penuhlah dengan darah dan nanah bara itu. Baginda itu pun
baharulah sadar kepada dirinya. Lalu baginda bertanya kepada tuan putri, “Apakah
sebabnya tadi hamba rasai terlalu sangat sakit selaku hamba akan matilah rasanya?”
Maka sembah tuan putri, “Ya, Tuanku. Adapun Yang Dipertuan terlalai itu maka
Baliadari pun datang hampir Yang Dipertuan, maka lalu diisapnya penyakit Yang
Dipertuan itu dengan mulutnya Baliadari. Maka diludakan kepada sebuah
perludahan sehingga penulah dengan darah dan nana penyakit itu. Sebab itulah
rupanya maka Yang Dipertuan dapat ringan daripada penyakit itu.” Setelah baginda
mendengar sembah tuan putri demikian maka titah baginda, “Hai, Tuan Putri.
Adapun tatkala kita berarak itu jikalau tiada karena Baliadari, niscaya kita beroleh
malu dan sekarang jikalau tiada ia mengisapnya penyakit hamba, niscaya matilah
kakanda karena terlalu sangat sakit, tiada dapat ditahani oleh kakanda. Adapun
sekarang ini kakanda mintak kepada tuan akan anakda Baliadari itulah kita rajahkan
di dalam negeri ini. Maka sembah tuan putri itu, “Mana titahh Tuanku itulah yang
patik kerjakan karena patik ini lagi di dalam hukum duli Tuanku.” Setelah demikian
maka baginda pun terlalu sangat kasi akan anakda sekalian dan yang terlebih kasi
ini akan anakda baginda Raden Sri Rama. Maka di dalam antara itu putra yang lima
orang itu, Maharaja Sri Rama itulah yang terlebih elok parasnya, dan lagi terlalu
pahlawan, dan gagah berani, serta budi pekertinya terlalu baik, dan Raden Sri Rama
itu terlalu kasi sayangnya akan segala menteri, hulubalang, dan rakyat sekalian.
Maka Raden Sri Rama dan Raden Laksamana pun mangkin besar. Adapun
Raden Sri Rama itu tiada kerjanya yang lain melainkan bermain panah juga. Maka
adalah seorang budak bungkuk permainan bundanya, Tuan Putri Mandudari itu.
13 Maka budak/ bungkuk itu pun keluarlah dari dalam istana hendak pergi bermain.
Maka Raden Sri Rama dan Raden Laksamana pun ada bermain di muka pintu
istana. Setelah dilihatnya budak bungkuk itu keluar, maka lalu dipanahnya
bungkuknya itu dari belakang, maka bungkuknya itu pun berpindah ke hadapan.
Maka budak bungkuk itu pun berteriak-teriak. Maka dipanahnya pula oleh Raden
Sri Rama bungkuknya itu dari hadapan, maka bungkuk itu pun lari ke belakang.
Maka dipanahnya pula dari iringnya, maka berpindah pula bungkuknya itu ke kiri.
Maka dipanahnya pula dari (kiri) maka berpindah bungkunya itu ke kanan. Maka
budak bungkuk itu pun berlari ke sana-sini sambil berteriak-teriak dengan
tangisnya. Maka lalu ia lari masuk ke dalam istana akan memberi tahu Tuan Putri
Mandudari seraya ada persajakannya segala halnya itu dipanah oleh Raden Sri
Rama. Maka tuan putri dan segala dayang-dayangnya isi istana pun tertawa melihat
akan kelakuan si Bungkuk bercerita kepada tuan putri itu. Maka kata tuan putri,
“Hai, Bungkuk. Diam engkau, jangan menangis dan jangan engkau keluar lagi

18
– HIKAYAT SRI RAMA –

karena anakku itu terlalu jahat lagi garang.” Setelah demikian lalu diberinya
persalin oleh tuan putri si Bungkuk itu.
Setelah keesokkan harinya itu maka budak itu pun keluarlah dari dalam istana
hendak pergi mengadap segala menteri. Maka dilihatnya oleh Raden Sri Rama
maka lalu dipanahnya. Maka bungkuk itu pun lalu berpindah kepada kakinya, maka
dipanahnya kakinya, maka berpinda kepada belakangnya. Maka ia berteriak-teriak
lalu mengadap tuan putri. Maka disuru juga oleh tuan putri mengadap kepada
menteri itu. Maka si Bungkuk pun pergi berlari-lari sambil menangis mendapatkan
segala menteri itu mengadukan halnya itu. Maka kata sekalian raja-raja dan sekalian
menteri, “Adapun anak raja ini sunggu pun baik parasnya, tetapi kelakuannya
terlalu garang dan jikalau ia menjadi raja di dalam negeri ini niscaya jadi binasalah
segala rakyat oleh pekertinya demikian itu.
14 Jikalau Berdana atau Citradana/ menjadi raja di dalam negeri ini, sentosalah
rakyat di dalam negeri ini.” Setelah hari malam, maka si Bungkuk pun mengadu
tuan putri. Maka kata raja-raja dan menteri hulubalang sekaliannya itu pun
dipersembakannya kepada tuan putri. Setelah seketika itu maka baginda pun
masuklah dari mengadapan itu mendapatkan tuan putri, maka dikatakannya oleh
tuan putri segala kata raja itu dan menteri itu mengata akan anaknya Raden Sri
Rama itu pun sekaliannya dipersembakannya kepada baginda. Maka titahh baginda,
“Adapun yang anakku Raden Sri Rama itu mana u(n)tungnyalah kala-kala karena
ia lagi kanak-kanak.:”
Alkisah maka warta Dasarata Maharaja mendapat seorang putri di dalam
rumpun bulu betung itu terlalu elok parasnya tiada berbagai lagi dan warna
mukanya seperti bulan empat belas hari, maka ia pun masyhurlah wartanya sekalian
negeri di dalam ‘alam datang kepada segala raja. Setelah didengar oleh Raja
Rawana akan kabar itu maka pada ketika itu juga ia menyurukan menterinya pergi
mengambil rata kenaikannya yang bernama Jaludara Mendung terbang sendirinya
itu. Setelah datanglah rata itu, maka ia mengambil dandinya dan memakai pakaian
brahmana indah-indah pada tangannya. Maka ia pun naiklah ke atas ratanya lalu ia
terbang ke udara. Setelah berapa lamanya maka ia pun sampailah ke negeri
Mandupuranegara. Maka Maharaja Rawana seraya katanya, “Hai, Rata. Tinggallah
engkau di balik bukit ini, seorang pergi menyamar di dalam negeri.” Lalu ke dalam
kota istana Dasarata Maharaja. Maka pada ketika ini hari lagi dini hari, maka dilihat
oleh Maharaja Rawana pintu kota istana lagi tertutup ketujuh lapisnya. Maka
Maharaja Rawana pun mengucap aji pustakanya, maka pintu istana itu pun
terbukalah ia maka sendirinya. Maka lalu ia masuk ke dalam kota istana itu. Maka
ia pun duduklah di tengah halamannya seraya memetik dandinya berbagai-bagai
ragam yang dipetiknya.
Maka ketika Dasarata Maharaja pun lagi beradu dengan Tuan Putri Mandudari,
15 maka baginda pun antara tidur dengan jaga. Maka/ baginda pun mendengar bunyi
dandi terlalu sekali inda bunyinya. Maka baginda pun bangun daripada tidurnya
lalu ia pergi kepada pintu maling. Maka dilihatnya oleh baginda ada seorang
brahmana duduk di tengah halaman balairuang lagi memetik dandi. Maka
diperamat-ramati oleh baginda lalu dikenalnya akan Maharaja Rawana datang
menyamarkan dirinya. Maka kata baginda, “Hai, Maharaja Rawana. Mengapa tuan

19
– HIKAYAT SRI RAMA –

hamba melakukan diri tuan hamba demikian ini?” Maka kata Maharaja Rawana,
“Hai, Dasarata Maharaja. Adakah suatu kehendak hamba kepada tuan hamba.”
Maka kata Dasarata Maharaja, “Hai, Maharaja Rawana. Jikalau apa-apa sekali yang
dikehendak oleh tuan hamba, marilah naik ke atas balairung ini dahulu.” Maka kata
Maharaja Rawana, “Jikalau diberi oleh tuan hamba yang seperti kehendak hamba
ini, maulah hamba naik ka atas balairung.” Maka kata Dasarata Maharaja, “Jikalau
ada kepada hamba, nanti diberilah kepada tuan hamba.” Setelah Raja Rawana
mendengar kata Dasarata Maharaja itu. Maka kata Raja Rawana pun naiklah ke atas
balairung itu lalu ia duduk kepada Dasarata Maharaja. Maka ka(ta) Raja Rawana,
“Adapun hamba dengar tuan hamba mendapat putri di dalam rumpun bulu betung
terlalu elok parasnya, itulah yang dikehendakkan tuan hamba.” Setelah Dasarata
Maharaja mendengar kata Raja Rawana itu, maka kata Dasarata Maharaja,
“Sunggulah ada hamba mendapat seorang putri di dalam rumpun bulu betung, tetapi
suda hamba pakai dan suda ia beranak dengan hamba. Di dalam itu jikalau tuan
hamba berkehendak juga tiadalah hamba tahani lagi.” Maka kata Maharaja Rawana,
“Jikalau tuan hamba suda pakai dan suda beranak dengan dia itu pun, jikalau ada
kasi tuan hamba maka hamba pinta juga akan dia.” Maka kata Dasarata Maharaja
itu, “Baiklah.”
Maka Dasarata pun berangkatlah masuk ke dalam istana. Maka dipanggilnya
istrinya, Putri Mandudari. Maka kata baginda, “Tuan putri, adapun tuan (di)pinta
Duli Maharaja Rawana kepada kakanda. Akan (seka)rang segerahlah tuan pergi
16 mandi dan berlangir dan memakai bahu/-bahuan dan memakai pakaian yang
selengkapnya.” Setelah tuan putri mendengar kata baginda itu demikian, maka ia
pun berangkatlah masuk ke dalam suatu bilik. Maka ia pun lalu berlulut, maka
beroleh dakinya ada sebesar kepinding. Maka diambilnya dakinya lalu dibubunya
di atas bokor emas, maka lalu dipujanya. Seketika maka daki itu pun menjadi katak
hijau akan dipujanya pula kata(k) itu. Seketika maka katak itu pun menjadi pula
seorang perempuan tiada bersalahan lagi rupanya seperti rupa Tuan Putri
Mandudari itu. Maka lalu dihiasinya dengan pakaian yang inda-inda. Setelah suda
maka tuan putri pun berlindung ke dalam bilik, maka perempuan itu pun disurunya
berjalan mendapatkan Dasarata Maharaja. Maka seorang pun tiadalah yang tahu
akan raha(s)ia itu, maka disangkanya Tuan Putri Mandudari juga oleh sekalian isi
istana. Maka oleh baginda lalu dipi(m)pinnya tangannya itu. Lalu dibawanya
keluar. Maka kata Dasarata Maharaja, “Hai, Raja Rawana, ambillah istri hamba,
inilah yang tuan hamba kehendaki.” Setelah Maharaja Rawana melihat perempuan
itu maka ia pun heranlah tercengang seketika. Maka disambutnya daripada
tangannya Dasarata Maharaja, seraya katanya, “Sunggulah tuan hamba yang akan
raja bangsawan dan dermawan lagi budiman serta pahlawan dan raja yang bertapa.”
Setelah ia memuja Dasarata Maharaja demikian itu, maka ia pun bermohon kepada
Dasarata Maharaja. Lalu dipimpinnya tangan perempuan itu, lalu dibawanya dan
didukungnya pada tempat rata itu.
Syahdan maka tersebutlah Tuan Putri Mandudari pun keluar mendapatkan
baginda Dasarata Maharaja. Maka baginda pun terkejut seraya katanya, “Mengapa
engkau lari kembali daripada Maharaja Rawana itu? Sahaja engkau memberi aku
malu juga.” Setelah tuan putri mendengar titah maharaja demikian itu, maka

20
– HIKAYAT SRI RAMA –

sembah tuan putri, “Ya, Tuanku, Sri Maharaja, baik tuanku menitahkan seorang
bintara
17 pergi akan melihati Maharaja Rawana. Jikalau/ ia tiada membawa perempuan yang
tiada seperti rupa hamba ini, tuan hukumkanlah di atas patik ini.” Setelah baginda
mendengar kata tuan putri itu demikian, maka baginda pun segera keluar pergi
kepada Maharaja Rawana itu. Maka dilihatnya Maharaja Rawana lagi mendukung
seorang perempuan serupa sekali dengan Tuan Putri Mandudari, tiadalah
bersalahan lagi kepada Tuan Putri Mandudari itu. Maka baginda pun heranlah. Lalu
ia (masuk) pada istananya seraya bertanya kepada tuan putri, seraya kepada tuan
putri katanya, “Hai, Tuan Putri, perempuan mana yang dibawa oleh Maharaja
Rawana itu?” Maka tuan putri berceritalah akan segala peri ia memuja daki itu.
Setelah baginda mendengar cerita tuan putri itu, maka baginda pun terlalu sukacita
ha(ti)nya itu, sebab istrinya ada itu.
Sebermula maka Raja Rawana pun berjalan mendukung Tuan Putri Mandudaki
itu. Maka ia datanglah kepada suatu dusun tempat seorang Maharesi Kisuberisu itu,
seorang turun mengikut Mahabisnu menjelma ke dalam Dunia. Adapun asalnya
daripada Dewata Zanggi, ia hendak bertapa dua ratus tahun lamanya hendak
memohonkan anak laki-laki tiga orang seperti rupa burung supaya dapat akan jadi
kenaik(an) Mahabisnu tatkala di dalam Dunia dan tatkala Mahabisnu perperang
dengan Sirancak. Adapun Maharesi Kisuberisu lagi duduk berjuntai-juntai di atas
rumahnya, Maharaja Rawana pun berjalanlah di halaman seraya mendukung
perempuan itu. Setelah Maharaja Rawana melihat Maharesi Kisuberisu itu duduk
berjuntai-juntai di atas rumahnya itu, maka kata Maharaja Rawana, “Hai,
Kisuberisu, tiadaka engkau tahu aku lagi berjalan ini mendukung istriku dan tiadaka
engkau mengenal aku? Mendapat duduk juga berjuntai-juntai di atas rumahmu,
tiadaka engkau segera turun memberi hormat kepada aku? Adapun akan engkau ini
manusiaka atau kera maka engkau tiada tahu bahasa?”
18 Setelah/ Maharesi Kisuberisu mendengar kata Maharaja Rawana itu demikian,
maka ia pun berpaling dilihatnya Maharaja Rawana mendukung seorang
perempuan terlalu elok parasnya. Maka ia pun lalu marah serta berangkat maka
ditunjuknya muka Maharaja Rawana seraya katanya, “Hai, Rawana. Aku seorang
tua dengan miskinku lagi dengan ḍa’ifku, haruslah engkau mengata-ngatai aku atau
keraka, tetapi di(be)ri oleh Dewata yang matimu di dalam tangan kera dan manusia
juga nan(ti). Jikalau aku tahu diriku sopan akan engkau itu pun haruslah dan
patutlah. Adapun aku bertanya adaka seorang raja besar demikian pekertimu itu
pergi mintak istri orang yang suda beranak dengan dia maka engkau pintak juga
dengan dia akan menjadi istrimu? Apaka kurang perempuan lain di dalam Dunia
ini dan tiadaka engkau tahu [tahu] akan di(ri)mu? Itu saja dikutuki oleh Dewata
Mulia Raya dan akan janjimu akan Dewata Mulia Raya itu engkau ubahkan juga.”
Maka Maharaja Rawana pun berjalanlah dari sana kepada tempat ratanya itu, maka
ia lalu naik ke atas ratanya itu, lalu ia terbang ke negeri Langkapuri itu.
Adapun Maharesi Kisuberisu itu ada beranak tiga orang; seorang bernama
Garuda Sapu Angin, seorang bernama Garuda Mahabiru, seorang bernama Jantayu.
Adapun akan Garuda Sapu Angin itulah yang menerbangkan Mahabisnu dan lagi
akan anaknya yang dua orang itu tiada bercerai dengan bapaknya, barang ke mana
ia pergi bersama-sama juga.

21
– HIKAYAT SRI RAMA –

Adapun akan Maharaja Rawana setelah ia sampai ke Langkapuri, maka ia lalu


masuk ke dalam istana seraya menyuru memanggil segala raja-raja dan segala
menteri dan hulubalang dan sida-sida, bintara sekalian. Setelah datang segala
mereka itu, maka dititahhkan oleh Maharaja Rawana berbuat perarakan itu. Maka
segala raja-raja dan menteri itu sekalian pun bermohonlah kembali masing-masing
berlengkap.
Alkisah maka tersebutlah perkataan Dasarata Maharaja. Setelah suda ia berkata-
kata dengan Putri Mandudari itu, maka baginda pun menitahkan seorang tua pergi
19 memungut bunga/ di dalam taman. Setelah datang bunga itu, maka disurunya
karang oleh baginda kepada tuan suatu karangan juga penulah sebakul. Maka titahh
baginda, “Hai, perempuan tua, bawalah olehmu bunga ini ke dalam pagar Maharaja
Rawana itu. Maka laku dirimu seperti orang berjual bunga dan jikalau istri
Maharaja Rawana membeli bunga itu hendak diberinya harganya kepadamu, jangan
engkau ambil, dan kata olehmu bahwa ruma hamba jau dan hamba hendak malam
di sini, esoklah hamba kembali maka tuan putri diberikan harganya bunga itu.”
Setelah suda ia berkata-kata kepada perempuan tua itu, maka oleh baginda maka
lalu diterbangkannya perempuan tua itu dengan bakul bunga ke negeri Langkapuri.
Maka baginda pun menjadikan dirinya seorang kanak-kanak yang baharu tahu
duduk, maka lalu didukungnya oleh orang tua itu. Maka bakul bunga itu
dikindiknya, dibawanya masuk ke dalam pagar Maharaja Rawana itu. Maka ia pun
berseru-seru akan bunganya itu. Maka terdengarlah kepada segala dayang-dayang
Tuan Putri Mandudaki dan segala gundik Maharaja Rawana itu disurunya panggil.
Maka kata dayang-dayang itu, “Hai, Nenekku yang berjual bunga, (marilah
Nenek!” Maka nenek itu pun datanglah ia pada tempat segala dayang-dayang itu.
Setelah segala dayang-dayang dan mak inang pengasuh dan biti perwara melihat
nenek tukang kembang ada membawa kanak-kanak kecil itu yang terdukung di
belakangnya, maka sekalian dayang dan inang pengasuh amat sukalah akan
memandang rupa anak kecil itu, “Hai Nenek tua, adapun kanak-kanak ini apakah
kepada nenekku?” Maka kata orang tua itu,) “Adapun kanak-kanak ini cucu hamba
dan ibunya tinggal menunggui rumah.” Maka segala kata dayang-dayang itu,
“Molek sekali cucu orang tua ini.” Maka segala dayang-dayangitu pun terdengarlah
kepada Tuan Putri Mandudaki. Maka lalu disurunya panggil orang tua itu. Maka ia
pun segeralah masuk membawa bunganya dan kanak-kanak itu.
Setelah dilihat oleh tuan putri akan kanak-kanak itu maka kata tuan putri, “Hai,
Nenekku, bawalah kemari cucumu itu. Hamba lihat terlalu molek sekali dan elok
parasnya terlalu inda.” Maka orang tua itu pun segeralah datang ke hadapan tuan
putri. Maka kanak-kanakitu pun diletakkannya, maka segera disambutnya oleh tuan
putri seraya diribanya maka (kata) kanak-kanak perlahan-lahan, “Hai, tuan putri,
bahwa aku datang ini mendapatkan engkau dan akulah Dasarata Maharaja.” Setelah
suda tuan putri mendengar kata kanak-kanak itu, maka tiadalah diberinya jau
daripada sisinya.
20 Maka segala dayang dan gundik Maharaja Rawana sekalian pun membeli
bunga/ maka hendak diberinya harga bunganya itu kepada orang tua itu. Maka
katanya, “Eso(k)lah hamba mengambil harganya bunga itu karena hari ini suda
petang dan ruma hamba pun lalu jau, hamba hendak bermalam di sini.” Maka
kanak-kanak itu pun dibawa oleh tuan putri masuk ke dalam maligai.

22
– HIKAYAT SRI RAMA –

Seketika Maharaja Rawana pun datanglah ke istana tuan putri seraya menyuruh
memanggil raja dan menteri, hulubalang, sida-sida, bintara sekalian. Maka baginda
pun menyuruh menghiasi tempat baginda berarak dengan Tuan Putri Mandudaki
itu. Dan apabila hari malam, maka Maharaja Rawana pun kembalilah ke istana
istrinya yang tua yang bernama Tuan Putri Segandi Maya.
Setelah suda Maharaja Rawana kembali itu, maka kanak-kanak itu pun dibawa
oleh Tuan Putri Mandudaki ke dalam tirai kelambu yang keemasan. Setelahnya dari
tidur segala dayang-dayang, maka Dasarata Maharaja pun kembalilah seperti rupa
baginda yang sediakala itu. Maka baginda beradu dengan tuan putri itu akan
melakukan kesukaan hatinya di dalam tirai kelambu itu tujuh lapis. Maka Dasarata
Maharaja pun se(tu)bulah dengan Tuan Putri Mandudaki akan mengambil bikirnya
putri itu.
Setelah dini hari maka orang tua itu pun datanglah, maka Dasarata Maharaja
pun menjadikan dirinya kanak-kanak pula. Maka oleh tuan putri kanak-kanakitu
pun dikembalikannya di ke hadapan orang tua itu. Maka kata segala dayang-
dayang, “Hai, Nenekku, jangan tiada esok hari nenekku datang membawa bunga
dan kanak-kanak itu pun bawa oleh nenekku.” Maka kata perempuan tua itu, “Baik
esok hari hamba datang pulak.” Maka ia pun bermohon pulang kepada tuan putri
seraya mendukung kanak-kanak itu. Lalu ia berjalan keluar negeri itu, maka lalu
diterbangkannya Dasarata Maharaja perempuan tua itu dengan bakulnya tempat
bunga itu ke udara. Dengan seketika itu juga, maka baginda pun sampailah ke
negerinya lalu masuk ke dalam istana mendapatkan istrinya dengan sukacita./
21 Maka kata baginda, “Hai, Tuan putri. Adapun jikalau Maharaja Rawana beranak
dengan istrinya yang baharu itu, baik laki-laki atau perempuan anaknya, itu anak
hamba juga. Jangan tuan putri (tiada) kasihi akan dia dan ra(ha)sia ini jangan
ketahuan kepada seorang,” setelah baginda suda berpesan kepada tuan putri itu
demikian, (maka rahasia itu pun tidak seorang tahu, melainkan pembaca juga.)
Sebermula akan Maharaja Rawana menyuruh akan berbuat perarakan. Setelah
itu pun suda dengan perhiasannya, maka Maharaja Rawana pun menitahkan
bintaranya tiga orang akan memanggil anaknya ketiga. Setelah datanglah ketiganya
itu, maka titahh Maharaja Rawana, “Hai sudaraku dan anakku berlengkaplah segala
bunyi-bunyian. Esok hari aku memulai pekerjaan berjaga-jaga empat puluh hari dan
empat puluh malam.” Setelah raja-raja mendengar titahh Maharaja Rawana itu,
maka Indrajit pun menyuruhkan dua orang naik keindraan akan berlengkap segala
bunyi-bunyian, dan Patala Maharayan pun menyuruhkan dua orang bintaranya
pergi ke dalam bumi akan berlengkap segala bunyi-bunyian, dan Gangga Mahasura
menyuruhkan dua orang bintaranya dua orang pergi ke dalam laut akan berlengkap
segala bunyi-bunyian. Setelah segala alat dan segala bunyi-bunyian daripada tiga
buah negeri itu pun sampailah ke negeri Langkapuri, maka segala raja-raja di dalam
Dunia ini sekaliannya pun datanglah mengadap Maharaja Rawana, masing-masing
persembahannya dan membawa anak istrinya. Maka Maharaja Rawana pun
memulai pekerjaan berjaga-jaga empat puluh hari, empat puluh malam, makan dan
minum dengan segala bunyi-bunyian terlalu gempita bunyinya. Maka berapa ratus
laksa kerbau, dan (Le)mbu, dan kambing, biri-biri disem(be)li orang akan
makannya orang yang berjaga-jaga dan berapa ribu laksa tempayan minuman
berbagai-bagai rupanya, dan rasanya, dan namanya itu.

23
– HIKAYAT SRI RAMA –

Setelah genaplah empat puluh hari empat puluh malam bersuka-sukaan, maka
Maharaja Rawana pun memakailah seberhana pakaian itu yang inda-inda, itulah
dipakainya belum pernah dipakai orang dan dilihat orang akan dia pakaian yang
inda-inda, dan kepada kepalanya yang sepuluh itu sepuluh makota dan sepuluh
22 fatma daripada manikam yang empat bercahaya-cahaya seperti/ cahaya matahari
dan bulan, dan kepada dua puluh lengannya itu pun dua puluh manikam dilerak,
dan kepada segala jarinya itu (di)kenakannya cincin maka gemerlapan seperti
cahaya bintang di langit, dan kepada dua puluh telinga itu pun dikenakannya anting-
anting daripada intan yang bercahaya, dan mengenakan sunting yang berjambu-
jambukan mutiara. Maka Putri Mandudaki pun dihiasi oleh Tuan Putri Segandi
Maya dengan pakaian indah-indah. Setelah suda memakai itu, maka Maharaja
Rawana dan Putri Mandudaki pun naiklah ke atas perarakan dan anak raja-raja
raksasa. Maka perarakan yang seribu itu akan mengiringkan perarakan yang empat
puluh itu dan segala anak raja-raja yang muda-muda dan segala anak menteri-
menteri yang menaik(i) dia itu. Maka terkembang payung permata ratna dikarang
tujuh ratus dari kiri, maka terdirilah jogan ‘alamat yang (bermu)liakan intan dengan
permata empat ratus dari kiri dan (empat) ratus dari kanan. Maka berbunyilah gong
dan gendang dan serunai dan segala bunyi-bunyian terlalu ‘aẓimat bunyinya,
‘alamat Raja Rawana akan berangkat berarak kawin dengan Tuan Putri Mandudaki.
Arkian maka Maharaja Rawana pun beraraklah berkeliling di dalam negeri
Langkapuri tujuh kali. Maka pada tatkala (itu) berapa pula ratus emas dan perak,
dan berpuluh gentang permata dan mutiara manikam, pualam dan puspa ragam,
biduri dan intan dihamburkannya dan didermakan oleh Raja Rawana, dan berapa
puluh gedung kain habis diberikan oleh Raja Rawana. Maka pada tatkala itu fakir
dan miskin semuanya pun menjadi gila daripada kebanyakan beroleh dirham emas
dan perak. Setelah genaplah tujuh kali berkeliling maka ia pun berarak kembali
pulang ke maligainya.
Hatta berapa lamanya, maka Maharaja Rawana pun terlalu sukacita hatinya
sebab ia beroleh istri yang baik seperti kehendak hatinya itu. Setelah berapa
lamanya Maharaja Rawana duduk dengan Tuan Putri Mandudaki itu, maka Tuan
Putri Mandudaki pun hamil. Setelah genaplah bulannya, maka ia pun beranak
23 seorang/ perempuan terlalu elok parasnya dan tubuhnya seperti emas sepuluh mutu.
Barangsiapa melihat rupa kanak-kanak itu pun tercengang rupanya.
Setelah putri Mandudaki berputra, maka Maharaja Rawana pun segera
menyuruh memanggil ahli alnujum yang tahu melihat kepada nujumnya dan barang
katanya itu tiada lagi bersalahan. Setelah Maharaja Bibisanam dengan segala
muridnya itu datang mengadap Maharaja Rawana, maka titah Maharaja Rawana,
“Hai, Saudaraku dan segala ahli alnujum, lihatlah oleh kamu sekalian yang di dalam
nujum kamu betapa bahagianya dan celakanya anakku ini dan berkata benarlah dan
jangan segala kamu melindungkan barang sesuatu kepada aku.” Setelah Maharaja
Bibisanam dan segala muridnya mendengar titahh Maharaja Rawana itu, maka
sekaliannya pun melihat nujumnya.
Maka Maharaja Bibisanam pun menggerakkan kepalanya dan segala pun
menggerakkan kepalanya. Maka Maharaja sakainya Rawana pun bertitahh, “Hai,
kamu sekalian ahli alnujum. Mengapakah maka kamu sekalian menggerakkan

24
– HIKAYAT SRI RAMA –

kepala kamu?” Maka ahli alnujum pun sekaliannya melihat nujumnya dan
membilang-bilang ramalnya. Setelah suda segala mereka itu, setelah suda maka
sekalian ahli alnujum pun menyembah Maharaja Bibisanam serta sakainya, “Ya,
Tuanku, Sah ‘Alam Paduka Sri Maharaja. Adapun patik sekalian itu tiada berani
berdatang sembah ke bawa lebu Duli Sri Maharaja karena patik sekalian takut tiada
berani kalau Sri Maharaja murka akan patik sekalian ini.” Demi Maharaja Rawana
mendengar sembah Maharaja Bibisanam, maka titah Maharaja Rawana, “Mengapa
maka kamu sekalian takut dan tiada berdatang sembah? Karena bukan dengan kamu
mengata itu, karena semuanya dengan hukum nujum dan sekarang segeralah
engkau katakan semuanya, jangan lagi kamu lindungkan kepada(ku).” Maka
sembah Maharaja Bibisanam dan segala sakainya, “Ya, Tuanku, Sri Maharaja, patik
mohonkan ampun dan karunia dan patik persembakan di atas batu kepala pati(k)
kepada Duli Sri Maharaja Yang Dipertuan. Akan paduka anakda ini terlalu sekali
24 bahagia dan kebesarannya dan kemuliaannya/ dan kekayaannya dianugrahkan
Dewata Mulia Raya, tetapi suami paduka anakda itulah yang membunu Duli Yang
Dipertuan. Syahdan suami paduka anakda itu beroleh kerajaan Duli Yang Dipertuan
kepada empat menahab ‘alam ini, semuanya menurut titahhnya dan di dalam
hukumnya oleh suami anakda ia ambil.” Maharaja Rawana mendengar sembah
Maharaja Bibisanam demikian itu maka Maharaja Rawana pun marah seperti ular
berbelit-belit lakunya, maka titahh Maharaja Rawana, “Jikalau demikian apalah
gunanya anak celaka ini, segeralah dibunu.” Apabila Tuan Putri Mandudaki
mendengar titahh Maharaja Rawana akan demikian itu, maka Tuan Putri
Mandudaki berdatang sembanya, “Ya, Tuanku, Sah ‘Alam, datang di hati Duli Sah
‘Alam (tiada berkasihan) hendak melihat (akan otak) kanak-kanak ini untuk
berpancuran kepada batu. Jikalau kanak-kanak ini hendak dibunu, banyak lagi
bicaranya kita akan membunu dia. Ambilah akan matinya juga baiklah kepada
bicara patik.” Maka kata Maharaja Rawana, “Hai, Mandudaki, betapa sri bicara
kamu akan membunu akan kanak-kanak ini.” Maka kata Putri Mandudaki, “Ya,
Tuanku, marilah kita suruh buat satu peti besi maka kita masukkan budak ini ke
dalam peti besi itu. Maka kita suruh buangkan ke dalam laut.” Apabila Maharaja
Rawana mendengar sembah Tuan Putri Mandudaki itu, maka titahh Maharaja
Rawana, “Benarlah seperti bicaramu itu.” Maka dengan seketika itu juga Maharaja
Rawana menitahkan Maharaja Bibisanam berbuat peti besi. Setelah suda
diperbuatnya, maka lalu disembakannya kepada Maharaja Rawana. Setelah datang
peti itu maka disuruhnya oleh Tuan Putri Mandudaki alaskan peti itu dengan cindai
dan harab yang keemasan. Setelah suda peti itu dialaskannya, maka kanak-kanak
itu pun diambil oleh ibunya, Putri Mandudaki, lalu diberinya susu akan anakda itu
seraya ditangisinya. Setelah suda maka diberikannya kepada dayangnya, maka
disambut oleh inangnya, lalu dimasukkan kanak-kanak itu ke dalam peti besi itu.
Maka lalu diberikannya kepada Maharaja Rawana, maka diberikannya pulak
kepada Maharaja Bibisanam. Maka lalu dibawanya ke tepi laut seraya
dibuangkannya ke dalam laut,
25 maka peti itu pun/ hanyutlah dibawa oleh ombak dan harus. Syahdan maka baginda
itu pun pulanglah ke negerinya.
Sebermula maka istri Maharaja Rawana yang tua itu yang bernama Tuan Putri
Segandi Maya, maka ia pun berlengkaplah hendak pergi ke pulau yang bernama

25
– HIKAYAT SRI RAMA –

Indrapuspaanam itu. Ia pun tahulah akan anaknya kebinasaan Maharaja Rawana itu.
Setelah hari malam, maka tuan putri dengan segala dayangnya yang kasi akan dia
itu adalah tiga ratus orang. Setelah sunyilah orang tidur itu, maka tuan putri dan
segala dayang-dayangnya itu pun naiklah ke atas singgasana. Lalu ia terbanglah ke
pulau Indrapuspaanam itu dengan seketika juga, maka maligai tuan putri pun
terletaklah kepada pulau itu. Maka tuan putri pun turunlah dengan segala
dayangnya yang tiga ratus itu bermain-main kepada taman dewa-dewa dan indra-
indra yang bertapa. Maka berbagai-bagai aneka ikan permakanan dan buah-buahan
pun lengkaplah di pulau itu. Setelah dilihat oleh segala dewa-dewa yang bertapa itu
akan Tuan Putri Segandi Maya itu, maka ia pun datanglah mendapatkan tuan putri
seraya dipermulianya dengan seribu kemuliaan. Lalu dibawaknya tuan putri itu
kepada tempat akan pertapaannya.
Syahdan segala dewa-dewa itu dan indra itu pun perempuan juga sekaliannya
maka diperjamunya juga akan tuan putri makan akan segala buah-buahan yang ada
pada pulau itu. Maka kata segala dewa-dewa itu, “Ya, tuanku putri, mengapakah
tuan hamba datang kemari ini karena pulau ini tempat segala dewa-dewa dan indra-
indra bertapa? Barangkali dewi-dewi dan bidadari hendak bermain-main bersuka-
sukaan, maka ia datanglah ke pulau ini. Jikalau datang laki-laki ke pulau ini, niscaya
ditelannya oleh naga tujuh ekor dari dalam laut itu disuruhnya oleh Mahabisnu
menunggui segala dewa dan indra yang bertapa di pulau ini. Adapun Maharaja
Rawana berapa kali [berapa kali] ia hendak pergi ke pulau ini tiadalah dapat karena
ia takut kalau disambar oleh naga tujuh ekor itu.” Maka kata tuan putri, “Apakah
maka ia hendak kemari? Apakah kehendaknya Maharaja Rawana?” Maka kata
segala dewi-dewi dan indra-indra itu, “Akan kehendaknya hendak mengambil
26 hamba sekalian ini akan gundiknya dan akan diper/ (buatnya dayang-dayang dan
akan hamba ini sekalian tiada suka akan dia karena hamba lihat di dalam pertapaan
hamba akan Maharaja Rawana itu telah hampirlah ia akan datang jenazahnya dan
lagi akan datang kemaluannya.” Maka kata tuan putri, “Hamba pun hendak bertapa
juga bersama-sama dengan tuan sekalian di sini.” Maka kata segala dewa-dewa dan
indra-indra itu, “Baiklah, jika tuan hendak bertapa pada tempat kita ini karena kita
sekaliannya bersama perempuan juga. Maka Tuan Putri Segandi Maya dengan
segala inang pengasuhnya duduklah ia bertapa dahulu pada tempat itu adanya.
Sebermula setelah siang hari, maka tersebutlah perkataannya negeri Langkapuri
itu gempar akan mencari Tuan Putri Segandi Maya itu sana kemari. Maka lalu orang
mempersembahkanlah kepada Maharaja Rawana mengatakan, paduka adinda tuan
putri dan segala dayang-dayangnya dan segala maligainya dan segala perkakasnya
telah habislah gaib tiada berketahuan ke mana perginya. Setelah Maharaja Rawana
menengar sembah segala dayang-dayang itu, maka ia pun lama tiada pergi akan
mendapatkan putri itu. Selama ia pergi ke negeri berantahan itu tiadalah ia suka lagi
memandang mukanya Putri Segandi Maya itu. Setelah berapa lamanya Maharaja
Rawana itu duduk berkasih-kasihan dengan Tuan Putri Mandudaki itu adanya.
Alkisah, maka tersebutlah perkataan anaknya Maharaja Rawana yang dari Tuan
Putri Mandudaki itu yang dibuang ke dalam laut itu. Maka dengan takdir Dewata,
maka peti itu pun hanyutlah ke laut Darwati Purwa namanya. Maka raja di dalam
negeri Darwati Purwa itu akan Maharesi Kala namanya.

26
– HIKAYAT SRI RAMA –

Maka diceritakanlah Maharesi Kala itu tiada lainlah akan pekerjaannya hanya
ia bertapa juga. Maka apabila pagi-pagi hari ia pun turunlah ke dalam laut sehingga
pusatnya. Maka ia pun lalu menyembah matahari. Setelah suda maka ia pun naiklah
kembali ke rumahnya. Demikianlah pekerjaannya Maharesi Kala itu sehari-hari./
27 Hatta, maka berapa lamanya Maharesi Kala itu bertapa itu, maka kepada suatu
hari ia bertapa di dalam laut itu. Sedang ia berdiri maka peti besi itu pun datanglah
bergulung-gulung pada kaki baginda. Maka pada ketika itu belum lagi baginda
berhenti daripada memuji, maka peti itu pun datanglah serta diiriknya dengan ibu
kakinya serta ditekannya. Setelah suda ia bertapa dan memuja itu, maka lalu ia
berseru-seru kepada hambanya. Katanya, “Hai kamu sekalian, marilah, apakah
gerangan yang datang bergulung-gulung ini kepada kakiku ini.” Maka segala
hamba sahayanya maharesi itu pun lalu segerahlah datang mendapatkan Maharesi
Kala itu. Maka lalu diangkatkannya. Maka lalu dilihatnya oleh baginda sebuah peti
besi. Maka lalu disurunya bawalah kepada hambanya pulang ke rumanya. Setelah
datang ke istanahnya maharesi itu, maka baginda itu pun memanggail istrinya.
Maka kata Maharesi Kala, “Hai Permaisuri Minurama Dewi, lihatlah aku mendapat
sebuah peti besi ini, apakah gerangan isinya?” maka permaisuri pun segerahlah
keluar duduk laki-istri. Maka lalu dibukanya oleh Maharesi Kala peti itu. Maka
demi terbuka peti itu, maka lalu teranglah segala rumahnya maharesi itu. Maka
dilihatnya oleh Maharesi Kala ada seorang kanak-kanak perempuan terlalu elok
sekali parasnya dan warna tubunya seperti emas sepuluh mutu. Adapun maka pada
brahmana itu tiadalah taranya dan tiada lagi celanya lagi rupanya kanak-kanak itu.
Maka pada ketika itu juga air susunya Putri Minurama Dewi pun berpancur-pancur
keluar. Maka akan Maharesi Kala pun keluar lalu pergi mengambil buah lontar
empat pulu. Lalu ditanamnya berbanjar-banjar keempat pulunya seraya katanya itu,
“Barangsiapa yang dapat memanah pohon lontarku empat pulu sebanjar ini dengan
sekali pana serta terus keempat pulunya, maka kuberikannya anakku ini akan jadi
istrinya.”
Setelah suda baginda menanam lontar itu, maka baginda pun naik ke atas
istanahnya, maka dinamai budak itu Sita Dewi. Maka lalu dipeliharakannya akan
anakanda baginda itu hingga besarlah ia. Maka masyhurlah kepada segala alam
akan Maharesi Kala ada anaknya seorang perempuan terlalu elok sekali parasnya
dan warna tubunya seperti emas sepuluh mutu yang suda tersepu. Maka pada zaman
itu, seorang pun tiada ada bandingannya lagi seperti rupa Sita Dewi itu.
Hatta berapa lamanya, maka datanglah akan usianya putri itu kepada dua belas
tahun umurnya. Maka banyaklah segala raja-raja daripada negeri asing-asing akan
yang berkehendak akan dia. Datanglah meminang pada Tuan Putri Sita Dewi itu.
Maka berkatalah Maharesi Kala, “Bukan tiada hamba hendak memberikan anak
hamba ini kepada tuan-tuan sekalian, tetapi adalah pula niat hamba yang telah suda,
hamba berkata, ‘Barangsiapa yang dapat memanah pohon lontar yang berbanjar
empat pulu itu dengan sekali pana, maka teruslah keempat pulunya dan lagi ada
suatu panah di halaman hadapan ruma hamba itu, maka barangsiapa dapat
mengangkatkannya, dipanahkannya kepada pohon lontar itu dengan sekali panah
juga terus keempat puluhnya, maka hamba berikannya anak hamba akan dia itu.”
Setelah segala anak raja-raja itu menengar kata Maharesi Kala itu demikian, maka

27
– HIKAYAT SRI RAMA –

28 segala anak raja-raja sekalian pun berhimpunlah datang ke negeri Darwati)/ Purwa
maka oleh Maharesi Kala diperiksainya siapa-siapa yang suda datang dan siapa-
siapa yang belum datang. Maka kata segala anak raja-raja itu, “Akan (kami)
sekalian ini telah datang, adalah yang lain itu kami tiada tahu.” Setelah dilihat oleh
Maharesi Kala akan anak raja-raja itu sekaliannya suda datang hanya anak Dasarata
Maharaja juga yang belum datang, maka pikir Maharesi Kala itu, ‘Adapun akan
Dasarata Maharaja itu raja besar lagi tiada harus ia datang sendirinya.’
Sebermula akan terdengarlah kepada Maharaja Rawana akan warta Dewi Sita
itu terlalu elok sekali parasnya, tiada dapat dibagaikan lagi pada zaman itu, ialah
taranya daripada segala perempuan yang di dalam ‘alam Dunia ini. Akan sekarang
segala anak raja-raja yang di dalam Dunia ini habislah pergi ke negeri itu hendak
memana pohon lontar yang empat puluh itu.
Maka Maharaja Rawana pun menyuruh berlengkap dan mengambil rata
kenaikannya yang sakti terbang itu. Setelah suda berlengkap akan segala
kelengkapan, maka baginda pun naiklah ke atas ratanya, lalu ia terbang menuju
negeri Darwati Purwa dengan segala bala tentaranya yang tiada tepermanai
banyaknya dengan segala bunyi-bunyian gegap gempita bunyinya seperti langit
runtu lakunya. Setelah berapa lamanya rata itu terbang, maka Maharaja Rawana
pun sampailah ke negeri Darwati Purwa. Maka baginda pun berhentilah di luar kota
negeri itu. Maka Maharaja Rawana pun menyuruh seorang tentaranya, “Pergilah
engkau beritahu kepada Maharesi Kala itu bahwa aku suda datang hendak memana
pohon lontar yang empat puluhnya.” Maka tentaranya pun menyembah lalu ia
berjalan masuk ke dalam kota mengadap kepada maharesi itu. Maka segala kata
Maharaja Rawanaitu pun disampaikannya kepada Maharasi Kala. Maka kata
maharesi, “Baiklah. Hamba lagi hendak mengimpunkan segala raja-raja di dalam
‘alam ini, sekaliannya lagi hamba suruh panggil.” Setelah bintara mendengar kata
Maharesi Kala itu demikian, maka ia pun bermohon kembali mengadap Maharaja
Rawana. Maka segala kata Maharesi Kala itu sekaliannya dipersembahkannya
kepada Maharaja Rawana demikian. Maka Maharesi Kala pun mengadap kepada
Maharaja Rawana. Maka kata Maharaja Rawana, “Hai, Resi Kala. Adapun hamba
datang ini hendak memana pohon lontar yang empat puluh itu.” Maka kata/
29 Maharesi Kala, “Baiklah, Tuanku, tetapi nantilah karena hamba lagi hendak
mengimpunkan segala anak raja-raja di dalam ‘alam Dunia ini.” Maka kata
Maharaja Rawana, “Siapa yang lagi belum datang itu? Segeralah tuan hamba suruh
panggil akan dia itu.” Maka kata Maharesi Kala, “Adapun sekalian anak raja-raja
di dalam Dunia ‘alam ini sekaliannya suda datang dan yang belum datang itu anak
Dasarata Maharaja yang bernama Sri Rama dan sudaranya karena ia belum tahu
karena belum hamba beri tahu kepadanya. Adapun Dasarata Maharaja itu raja besar
dan raja tua tiada harus kami sekalian membilangi dia.” Setelah Maharaja Rawana
mendengar kata Maharesi Kala demikian itu, maka ia pun tertawa-tawa dengan
sepuluh mulutnya dan kedua puluh bahunya, maka kata Maharaja Rawana, “Jika
demikian segeralah tuan hamba panggil akan anak Dasarata Maharaja, tetapi pada
bicara hamba. Jikalau anak Dasarata Maharaja itu datang, di mana tempatnya Sri
Rama dan Laksamana itu duduk? Sungguh ia raja dan namanya juga anak raja,
tetapi karena ia miskin tiada dapat Sri Rama itu duduk dengan segala anak raja-raja
yang banyak itu.” Setelah Maharaja Resi Kala mendengar kata Maharaja Rawana

28
– HIKAYAT SRI RAMA –

demikian, maka ia bermohonlah kembali kepada istrinya. Maka segala perkataan


Maharaja Rawana itu semuanya dikatakannya kepada permaisuri. Maka sembah
Putri Minurama Dewi, “Ya, Tuanku. Adapun pada bicara hati hamba, baiklah Tuan
Dasarata Maharaja itu Duli Yang Dipertuan suruh panggil karena Dasarata
Maharaja itu raja juga lagi sakti dan gagah berani dan elok parasnya dan masyhur
warnanya. Adapun Sri Rama itu tubuhnya seperti zamrud yang hijau dan seperti
warna air laut dan hamba dengar Sri Rama itu tatkala ia marah maka keluarlah
kepalanya seribu, dan tangannya dua ribu, dan kakinya dua ribu. Adapun
kelakuannya tatkala ia marah itu seperti kelakuan Mahabisnu.” Dan apabila
Maharesi Kala mendengar kata Putri Minurama Dewi itu, maka kata Maharesi Kala,
“Aku telah tahulah asalnya itu dan Sri Rama itu anak Dasarata Maharaja dan jikalau
ia miskin baiklah aku sendiri memanggil anaknya Dasarata Maharaja yang bernama
Sri Rama itu.” Maka sembah Permaisuri Minurama Dewi, “Seharusnyalah Yang
Dipertuan pergi sendiri akan menyambut Sri Rama itu. Siapa ada juga pandangan
30 tuanku kepada/ Dasarata Maharaja karena segalah anak-anak raja-raja itu yang
datang kemari itu sekaliannya takluk kepada Maharaja Rawana dan mengerjakan
barang perintahnya dan di dalam hukumnya.” Maka Maharesi Kala itu berkata,
Sebenarnyalah kata tuan putri itu.” Maka maharesi pun berlengkaplah dengan
empat puluh orang sertanya pergi menyambut anak Dasarata Maharaja yang
bernama Sri Rama itu.
Alkisah maka tersebutlah perkataan Sri Rama dan Laksamana pergi mencari
Begawan Nilapurba hendak berguru bertapa bersama-sama. Syahdan maka Sri
Rama Laksamana bermohon bersama-sama pergi mengadap ayahanda dan
bundanya, Tuan Putri Mandudari itu. Maka berapa ditahaninya oleh ayahanda dan
bundanya itu, tiada juga ia mau tinggal di negeri. Maka ia pergi juga kedua
bersaudara. Maka Sri Rama dan Laksamana pun hendak pergi mencari Begawan
Nilapurba, maka baginda laki-istri pun tiadalah berdaya lagi. Maka baginda pun
menyuruhkan segala raja-raja mengiringkan ananda kedua itu. Setelah hadirlah
sekalian maka Sri Rama dan Laksamana pun bermohonlah kepada ayahanda dan
bundanya, maka lalu dipeluknya oleh ayahanda dan bundanya baginda kedua itu.
Setelah suda maka ananda kedua pun bermohonlah lalu berjalan diiringkan oleh
segala anak-anak raja dan menteri hulubalang dan berapa ribu rakyat mengiringkan
dia itu.
Hatta berapa lamanya berjalan itu maka Sri Rama dan Laksamana pun
sampailah ke gunung tempat segala maharesi dan brahmana bertapa itu. Maka
dilihatnya oleh segala maharesi dan brahmana bertapa itu akan rupa Sri Rama itu
dan Laksamana itu. Maka semuanya pun heranlah tercengang-cengang seraya
berkata sama sendirinya, “Selama kita duduk di atas gunung ini belumlah pernah
kita melihat rupa manusia yang akan demikian ini. Pada bicara hamba bukanlah ia
manusia ini bahwa ini dewa juga diturunkan oleh Dewata Mulia Raya merupakan
dirinya seperti manusia.” Setelah demikian maka Sri Rama pun bertanya kepada
segala maharesi yang bertapa itu, katanya, “Hai, tuan sekalian. Di mana tempatnya
Begawan Nilapurba bertapa itu? Tunjukkanlah apa kiranya kepada hamba.” Maka
sekalian maharesi berkata, katanya, “Hai, orang muda. Siapakah tuan hamba ini dan
31 apah kehendak tuan hamba bertanyakan tempat/ Begawan Nilapurba?” Maka kata
Sri Rama, “Hambalah anak Dasarata Maharaja dan nama hamba disebut orang Sri

29
– HIKAYAT SRI RAMA –

Rama dan saudara hamba bernama Laksamana dan hamba datang ini hendak
berguru ‘ilmu orang bertapa kepada Begawan Nilapurba.” Maka kata segala
maharesi dan brahmana, “Sungguhlah tuan hamba daripada anak cucu begawan
juga maka demikian laku tuan hamba ini. Jikalau demikian, marilah hamba
tunjukkan akan tempat Begawan Nilapurba bertapa itu.” Maka Sri Rama dan
Laksamana pun berjalanlah diiringkan oleh segala maharesi dan brahmana itu.
Maka segala raja-raja dan menteri dan rakyat yang banyak itu pun berhentilah di
bawa gunung itu.
Sebermula akan Begawan Nilapurba itu pun tahulah akan Sri Rama dan
Laksamana datang hendak berguru itu kepadanya itu. Maka ia pun berangkat dari
atas gunung itu, lalu ia mendapatkan Sri Rama itu dan Laksamana. Setelah Sri
Rama melihat Begawan Nilapurba itu datang maka ia pun hendak menyembah kaki
Begawan Nilapurba, maka segeralah dipegangnya oleh Begawan Nilapurba.
Katanya, “Hai, cucuku. Jangan tuan hamba menyembah kaki hamba dan tahulah
hamba akan kehendak cucuku itu datang mendapatkan hamba di atas gunung ini.”
Maka dibawanya Sri Rama dan Laksamana dan segala raja-raja dan segala
hulubalang naik ke atas gunung tempat pertapaanya itu. Lalu dipegangnya tangan
Sri Rama dan Laksamana, lalu dibawanya duduk bersama-sama kepada balai itu.
Arkian maka balai itu pun membesarkan dirinya menjadi tujuh puluh ruang
besarnya balai itu. Maka Begawan Nilapurba pun menyuruh segala maharesi dan
brahmana dan segala raja-raja dan menteri naik duduk di atas balairung itu. Setelah
demikian maka Begawan Nilapurba pun berkata kepada Sri Rama dan Laksamana,
“Hai, Cucuku. Adapun sebab hamba duduk bertapa pada gunung ini karena hamba
hendak bertemu dengan cucuku juga.” Maka kata Sri Rama, “Ya, Tuanku. Apa juga
sebab tuan hamba hendak bertemu dengan hamba?” Maka kata Begawan Nilapurba,
“Hai, Cucuku. Dengarlah oleh cucuku, hamba bercerita tatkalah belum menjelma
Dasarata Maharaja dan tatkala itu Maharaja Rawana menyuruh utusan dua orang
rasaksa datang kepada nenenda Dasarata Cakrawati. Maka titah kepada hulubalang
dua orang itu katanya, “Hai, Hulubalang rasaksa kedua. Pergilah kamu kembali
32 kepada tuanmu si Rawana/ itu. Katakan kepada tuanmu dan jangan ia hendak
berperang dengan aku karena aku raja tua, tiadalah layaknya ia melawan aku karena
si Rawana itu kanak-kanak, dan pada bicaraku dengan anakku Dasarata Maharaja
itu lagi tiada dapat si Rawana itu menang daripadanya. Dan jikalau si Rawana itu
hendak berperang, kepada suatu zaman kelak datang juga yang bernama Sri Rama.
Itulah yang membunu si Rawana dan tatkala hari kemudian kelak segalah anak
cucunya dan segalah kaum keluarganya itu sekaliannya dibinasakan oleh cucuku,
Sri Rama, juga.” Syahdan setelah suda nenekda bertitahh kepada hulubalang
rasaksa kedua itu, maka nenekda pun mengambil amping intan dua gentang lebih
daripada santapan nenekda itu. Maka lalu diberikannya kepada hulubalang kedua
itu. Maka kata paduka nenekda, “Hai, Rasaksa kedua. Katakanlah kepada tuanmu
si Rawana itu bahwa aku suruh makan amping intan dua gentang ini. Apabila dapat
dimakannya si Rawana amping ini, maka datang ia ke negeriku bermain-main.”
Setelah suda nenekda bertitahh kepada rasaksa kedua itu, maka keduanya pun
bermohonlah kembali ke Langkapuri mengadap kepada Maharaja Rawana dan
segalah hal ihwalnya yang akan dilihat dan didengarnya semuanya disembakan
kepadanya, Maharaja Rawana. Setelah Maharaja Rawana mendengar semba

30
– HIKAYAT SRI RAMA –

hulubalang kedua itu, maka ia pun terlalu marah lalu ia berlengkap datang
menyerang nenekda.” Maka sekaliannya itu diceritakan oleh Begawan Nilapurba
tatkala Maharaja Rawana mendatangi negeri Dasarata Cakrawati kepada Sri Rama
dan Laksamana seraya katanya, “Hai, Cucuku, daripada sekarang apa gerangan
untung hamba maka dipertemukan oleh Dewata Mulia Raya dengan cucuku ini?
Adapun segala kesaktian ini hamba berikanlah kepada tuan hamba kedua
bersaudara ini.” Setelah Sri Rama dan Laksamana mendengar kata Begawan
Nilapurba itu, maka terlalu suka hatinya. Maka oleh Begawan Nilapurba, Sri Rama
dan Laksamana diperjamunya dan segala maharesi dan brahmana dan segala raja-
raja dan menteri, hulubalang sekalian makan dan minum dan segala buah-buahan
yang ada lagi di dusunnya setelah suda makan, maka kata Sri Rama kepada Perdana
Menteri Bikrama Puspajaya. “Hai, Mamanda. Baiklah kembali dahulu karena
33 negeri ayahanda terlalu sunyi. Apabila genaplah tiga bulan/ hamba duduk di gunung
ini maka datanglah mamanda mendapatkan hamba.” Setelah Bikrama Puspajaya
dan raja-raja dan menteri mendengar kata Sri Rama demikian, maka Bikrama
Puspajaya dan segala raja-raja dan menteri hulubalang sekaliannya pun
bermohonlah kepada Sri Rama dan Laksamana dan kepada Begawan Nilapurba.
Lalu berjalan turun dari atas gunung itu, maka Bikrama Puspajaya pun bertemulah
dengan segala rakyat yang banyak itu. Lalu kembali ke negerinya
Mandupuranegara. Adapun akan segala anak raja-raja dan segala anak orang kaya-
kaya, ada tujuh puluh orang yang tinggal bersama-sama dengan Sri Rama dan
Laksamana itu. Maka Sri Rama dan Laksamana pun bergurulah akan serta orang
bertapa. Setelah suda maka Sri Rama dan Laksamana pun bertapa hampir tempat
Begawan Nilapurba bertapa itu. Setelah berapa lamanya ia bertapa di atas gunung
Gangsa Indra, sehari-hari bermain-mainkan senjata juga ia itu demikian sehari-hari.
Alkisah maka tersebutlah perkataan naga Pertala Seganda Dewa bertapa itu.
Tatkala Mahabisnu dan Merak Emas bertapa di atas gunung Bimacalam itu, maka
naga Pertala Seganda Dewa bertapa di bawa gunung itu. Maka tatkala Mahabisnu
dan Batara Dewa dan Merak Emas turun menjelma kepada Dasarata Maharaja itu,
maka naga Seganda Dewa pun tiada tahu. Maka pada sekali waktu ia pergi kepada
pertapaan Mahabisnu itu. Maka sembahnya, “Ya, Tuanku, kepada bilangan hamba
ini dan sedang tuanku menjelma baiklah akan menjadi raja manusia di dalam ‘alam
Dunia ini.” Maka tiadalah didengarnya suara Mahabisnu itu. Maka ia pun tahulah
akan Mahabisnu suda turun menjelma itu. Maka lalu ia berjalan turun dari gunung
itu, lalu masuk hutan rimba belantara mencari Sri Rama. Maka Begawan Nilapurba
pun tahulah akan naga Pertala Seganda Dewa mencari Sri Rama itu. Setelah
sampailah ke gunung Gangsa Indra, maka ia pun lalu naik ke atas gunung itu. Maka
dilihatnya ada seorang muda bertapa di atas bunga seroja, terlalu baik parasnya dan
warna tubuhnya seperti warna zamrud. Maka lalu diperamat-ramatinya oleh naga
Seganda Dewa akan orang itu. Lalu dikenalnya akan Mahabisnu itu, maka ia lalu
34 sujud meniharap di hadapan Sri Rama. Setelah dilihat oleh/ Sri Rama naga Seganda
Dewa datang mendapatkan dia, maka ia pun terlalu sukacita hatinya. Maka kata Sri
Rama, “Hai, Naga Seganda Dewa. Adapun aku bertapa di gunung ini pun aku
hendak bertemu kepadamu juga.”
Maka lalu naga Pertala Seganda Dewa menjadikan dirinya anak pana tiga biji.
Maka dinamai oleh Sri Rama Gandiwati dan satu dinamai Peliwati dan satu dinamai

31
– HIKAYAT SRI RAMA –

Cendiwati. Setelah suda naga Pertala menjadi anak pana itu, maka Sri Rama pun
pergilah mendapatkan Begawan Nilapurba. Maka kata Sri Rama, “Ya, Tuanku.
Jikalau ada kasi tuanku akan hamba ini mohonkan pana pada tuanku karena hamba
telah ada anak pana tiga biji dianugrahkan oleh Dewata Mulia Raya itu pun adalah
kepada hamba sehingga ibunya juga yang hamba belum peroleh.” Setelah Begawan
Nilapurba mendengar kata Sri Rama itu demikian, maka Begawan Nilapurba
tahulah akan asalnya anak pana itu, “Dan adalah hamba melihat suatu ibu pana di
hadapan ruma maharesi bernama Maharesi Kala. Pana itulah yang dapat menjadi
senjata akan tuan hamba dan ialah yang membunu Maharaja Rawana dan anak
cucunya dan segala kaum keluarganya daripada pertapaan Dewa Ranggi dan Resi
Muni yang tiga puluh tiga kawi itu.” Maka oleh Begawan Nilapurba diambilnya
suatu cawang tongkatnya lalu diberikannya kepada Sri Rama seraya katanya, “Dan
sementara tuan hamba belum boleh ibu pana daripada Maharesi Kala itu, ambilah
olehmu tuan hamba cawang tongkat ini dahulu perbuatkan ibu pana tuan hamba itu.
Adapun tongkat ini daripada asalnya Mahabisnu juga dianugrahkan kepada
hamba.” Setelah Sri Rama mendengar kata Begawan Nilapurba itu demikian, maka
ia pun terlalu sukacitanya. Maka lalu ia pergi kepada tempat bertapa itu.
Setelah berapa lamanya Sri Rama dan Laksamana bertapa di Gunung Gangsa
Indra itu, maka baginda kedua pun banyaklah beroleh kesaktian daripada Begawan
Nilapurba itu. Berapa tipu perang dan hikmat perang diajarkan oleh Begawan
Nilapurba akan Sri Rama kedua bersaudara itu.
Setelah genaplah tiga bulan Sri Rama bertapa itu di Gunung Gangsa Indra itu,
maka Sri Rama pun berkira-kira hendak kembali ke negeri. Sebermula maka
35 Bikrama Puspajaya pun pergi akan mendapatkan Sri Rama dan Laksamana/ itu dan
ia memberi tahu kepada anak raja-raja dan anak menteri sekalian dan hulubalang
rakyat sekalian, tiga ribu sertanya pergi. Setelah suda berhimpun sekalian, maka
Menteri Bikrama Puspajaya masuk mengadap Dasarata Maharaja. Setelah datang
ke dalam istana, maka ia pun berdatang semba katanya, “Ya, Tuanku Sah ‘Alam.
Adapun patik hendak bermohon pergi menyambut anakda Sri Rama dan
Laksamana karena sampailah janjinya paduka anakda dengan patik sekalian ini.”
Maka titahh baginda, “Hai, Perdana menteri. Baiklah engkau segera mendapatkan
anakda kedua itu karena kita pun terlalu rindu akan dia.” Maka perdana menteri pun
bermohonlah dengan segala anak raja-raja dan menteri hulubalang rakyat sekalian.
Lalu ia berjalan keluar menuju Gunung Gangsa Indra itu. Setelah berapa lamanya
berjalan, maka ia pun sampailah lalu naik ke atas gunung itu.
Arkian maka Sri Rama dan Laksamana pun bermohonlah kepada Begawan
Nilapurba. Maka dipeluk diciumnya oleh Begawan Nilapurba. Setelah suda maka
Sri Rama dan Laksamana pun berjalanlah turun dari atas Gunung Gangsa Indra itu
dengan segala raja-raja dan menteri, hulubalang, rakyat sekalian. Setelah berapa
lamanya, maka ia pun sampailah ke negeri lalu masuk mendapatkan ayahanda
bunda. Setelah datang lalu ia sujud pada kaki ayahanda bundanya, maka dipeluk
diciumnya oleh ayahanda bunda laki-istri. Setelah demikian maka Sri Rama dan
Laksamana pun duduklah di dalam istana dipeliharakan ayahanda bundanya
baginda.

32
– HIKAYAT SRI RAMA –

Alkisah maka tersebutlah perkataan Maharesi Kala tatkala ia tinggal Sri Rama
ke negeri Mandupuranegara itu akan mintak Sri Rama kepada Dasarata Maharaja
dan [segala] (setelah) Maharesi Kala mendengar kata Permaisuri Minurama Dewi
itu demikian. Maka kata Maharesi Kala, “Sebenarnnyalah kata tuan itu. Jikalau
demikian, baiklah aku sendiri pergi memanggil anak raja kedua.” Maka ia pun
berjalanlah segera menuju negeri Mandupuranegara itu. Maka terdengarlah kepada
Dasarata Maharaja akan Maharesi Kala datang itu. Maka baginda pun keluarlah
mendapatkan Maharesi Kala itu. Setelah bertemu, maka oleh Dasarata Maharaja
lalu dibawanya Maharesi Kala itu masuk ke dalam negeri lalu ke istana. Maka lalu
didudukkannya di atas singgasana yang maha tinggi serta dipermulianya dengan
seribu kemuliaan.
Setelah demikian maka kata Dasarata Maharaja, “Apakah pekerjaan tuan
36 hamba/ datang sendiri dengan perjalanan jauh ini? Jikalau barang sesuatu kehendak
tuan hamba, tiadakah dapat tuan hamba menyuruh kepada hamba karena tuan
hamba pernah bapa kepada hamba?” Maka kata Maharesi Kala, “Adapun karena
tuan hamba raja besar dan yang bangsawan sebab itulah maka datang sendiri.”
Maka segala hal ihwalnya mendapat Putri Sita Dewi itu sekalian diceritakannya
kepada Dasarata Maharaja. Setelah baginda mendengar kata akan Maharasi Kala
itu demikian, maka kata Dasarata Maharaja, “Baiklah dan anak tuan hamba bawalah
anak hamba dua orang; namanya Berdana dan seorang namanya Citradana.” Maka
lalu disuruhnya panggil oleh baginda akan anakda kedua itu. Maka Berdana
Citradana pun datang mengadap duli ayahanda baginda. Maka titahh baginda, “Hai,
Anakku kedua. Engkau dipanggil oleh Maharesi Kala dan apa pekerjaan yang
disuruhnya itulah engkau kerjakan.” Maka Maharesi Kala pun bermohonlah kepada
Dasarata Maharaja. Lalu ia berjalan membawa Berdana Citradana itu. Setelah
datang keluar pintu kota itu, maka kata Maharesi Kala, “Berhentilah dahulu,”
seraya katanya, “hai, Anakku kedua. Adapun akan jalan ini, ke mana jalan perginya
ke negeri hamba karena ada empat persimpangan? Dan suatu simpangan itu tujuh
belas hari perjalanannya, maka sampai ke negeri hamba. Dan suatu jalan dua puluh
hari, maka sampai ke negeri hamba. Dan persimpangan itu tengah tiga puluh hari
perjalanan, maka sampai ke negeri hamba. Adapun akan jalan yang tujuh belas hari
itu, ada seorang rasaksa dan namanya itu Janggin, terlalu besar dan bantalnya tidur
itu sebuah bukit. Ada tatkala zaman Bermaraja, berapa kali menyuruhkan segala
hulubalang dan rakyat berpuluh laksa akan membunu rasaksa Janggin itu, tiada juga
terbunu olehnya. Maka datanglah kepada zaman Maharaja si Rawana ini hendak
membunu dia, berapa ribu hulubalang dan berapa ratus rakyat yang pergi itu pun
tiada juga mati. Adapun kepada jalanan yang dua puluh hari itu, ada seekor badak
besarnya seperti bukit dan namanya itu Agigandi dan kulitnya itu seperti kulit
nangka. Dan kepada jalan yang tengah tiga puluh hari itu, ada seekor ular
37 Suranggini namanya, terlalu besar dan panjangnya/ itu seribu depa, barangkali
menghebus segala rumput dan segala pohon kayu yang empat lima peluk itu
sekaliannya pun habis seperti dimakan api hembusan ular itu. Dan kepada jalan
yang empat puluh hari itu, suatu pun tiada mara bahayanya. Maka sahut Berdana
Citradana, “Baiklah kepada jalan tiada bahalanya.” Setelah Maharesi Kala
mendengar kata Berdana Citradana itu, maka ia pun pikir di dalam hatinya, ‘Jikalau

33
– HIKAYAT SRI RAMA –

demikian, tiadalah jadi pekerjaanku oleh anak raja kedua ini. Baiklah aku hantarkan
kembali kepada Dasarata Maharaja.’
(Maka Maharesi Kala pun lalu kembali membawa keduanya itu. Setelah itu
datang kepada Dasarata Maharaja,) maka lalu ia (berkata), “Mengapa maka tuan
hamba kembali ini?” Maka sahut Maharesi Kala, “Ya, Tuanku. Adapun pada bicara
hamba akan paduka anakda kedua ini, tiada akan dapat mengerjakan yang sesuatu
itu. Jikalau ada kerunia duli Yang Dipertuan akan hamba mohonkan paduka anakda
yang bernama Sri Rama itu.” Maka titahh Maharaja Dasarata, “Adapun yang akan
hamba seorang ini, tiadalah dapat bercerai dengan hamba karena hamba suda tua
dan hamba harap hanya anak hamba Sri Rama itu juga yang melawan akan seteru
hamba.” Maka sahut Maharesi Kala itu, “Jikalau anakda yang lain diberi oleh Yang
Dipertuan, niscaya tiadalah hamba bawa dan sia-sialah ia tiada menimbulkan nama
Sri Maharaja. Dan jika Sri Rama pergi bersama-sama dengan hamba, maka dapatlah
mengerjakan seperti kehendak hamba, lagipun masyhur nama Sah ‘Alam (di dalam)
Dunia ini dan segera pula peputra kembali kepada Sri Maharaja.
Setelah Dasarata Maharaja mendengar kata Maharesi Kala itu, maka disuruhnya
panggil oleh baginda itu akan Sri Rama. Maka Sri Rama pun datang. Maka titahh
Dasarata Maharaja, “Hai, Anakku, Sri Rama. Pergilah engkau dengan Maharesi
Kala, yang mana pekerjaan yang disuruhnya itu maka kerjakan olehmu itu.” Maka
sembah Sri Rama, “Dengan daulat Duli cerpu Sah ‘Alam, dengan nugrah Dewata
Mulia Raya, jadi juga barang pekerjaan itu dan segera juga hamba mengunjung Sah
‘Alam.” Setelah demikian, maka Sri Rama pun sujud kepada kaki ibunya. Maka
tatkala itu Laksamana pun hendak dibawanya oleh Maharesi Kala maka tiadalah
diberinya oleh Dasarata Maharaja seraya katanya, “Janganlah tuan pergi karena
engkaulah yang ganti (abang)mu Sri Rama akan dapat aku pandang dan bunda pun
38 terlalu amat rindukan engkau itu.” Maka sahut Putri/ Mandudari, “Biarlah ia pergi
mengikut sudaranya. Jikalau ia tinggal di dalam negeri ini, masakan ia jadi raja.”
Setelah demikian, maka Laksamana pun mengikut sudaranya.
Apabila datang ke pintu kota, maka Maharesi Kala pun berkata akan perjalanan
yang empat persimpangan jalan itu, “Akan sekarang akan jalan mana yang kita
ikut? Adapun jalan yang tiga itu terlalu amat sukarnya karena ada balanya. Adapun
jalan itu suatu juga yang baik.” Maka sahut Sri Rama, “Adapun jalan yang tiga itu
baik kita ikut karena kepada bicara hamba jikalau belum hamba buangkan bala yang
tiga itu tempat dari dalam Dunia ini, bukanlah hamba anak Dasarata Maharaja dan
cucu Dasarata Cakrawati dan tiadalah hamba berjalan dari sini.” Setelah suda, maka
Sri Rama dan Laksamana pun berjalanlah bersama-sama Maharesi Kala mengikut
jalan itu. Maka maharesi pun berjalanlah dahulu. Dan apabila dekatlah pada tempat
Janggin rasaksa itu, Maharesi Kala pun berhentilah. Maka Sri Rama pun datanglah
mendapatkan Maharesi Kala dan Laksamana, maka ia pun berjalan dari
belakangnya Sri Rama. Apabila Sri Rama datanglah kepada tempatnya rasaksa
Janggin itu, maka dilihatnya oleh Sri Rama akan rasaksa Janggin itu lagi tidur dan
besarnya seperti bukit. Maka segala rumput dan segala pohon kayu yang
ditumpunya seperti ditiup topan, demikianlah lakunya sebab kena topan nafas
rasaksa Janggin itu. Maka Sri Rama pun pikir di dalam hatinya, ‘Adapun binatang
ini betina jikalau aku bunu sedang ia lagi tidur ini, [masak aku] (kelak apa) dikata
orang segala ‘alam kepada aku ini.’ Maka lalu dikata oleh Sri Rama, “Tangilah, hai

34
– HIKAYAT SRI RAMA –

Rasaksa,” katanya serta digerakkannya oleh Sri Rama kakinya rasaksa Janggin itu.
Maka rasaksa Janggin pun terkejut lalu bangun daripada tidurnya. Maka dilihatnya
oleh rasaksa Janggin ada seorang laki-laki muda terlalu elok parasnya dan suatu
pana yang dipegangnya dan ia berdiri kepada tempat kakinya tidur itu. Maka kata
Janggin itu, “Hai, Orang muda. Hendak ke mana engkau maka berani engkau
datang kepada tempatku ini? Jikalau engkau hendak lalu maka segeralah engkau
pergi dari sini.” Maka kata Sri Rama, “[Yang](Hai) Janggin, Adapun aku datang ini
hendak membunu engkau tadi engkau lagi tidur. Jika aku bunu inilah kata orang di
39 dalam ‘alam dunia/ ini. Jikalau aku membunu selagi tidur lagi pun engkau
perempuan.”
Setelah rasaksa Janggin itu mendengar kata Sri Rama itu, maka Janggin itu pun
tertawa seraya katanya, “Hai, Orang muda. Siapa namamu?” Maka sahut Sri Rama,
“Akulah yang bernama Sri Rama, anak Dasarata Maharaja, cucu Dasarata
Cakrawati.” Maka kata rasaksa Janggin, “Hai, Sri Rama, terlalu sekali aku sayang
akan engkau karena rupamu dan namamu pun terlalu elok. Syahdan engkau anak
raja besar dan artawan dan dermawan dan lagi aku dengar namamu dan bapamu
pun terlalu masyhur. Dan sekarang hendak ke mana engkau, pergilah.” Maka sahut
Sri Rama, “Aku tiada mau pergi dari sini.” Maka kata rasaksa Janggin, “Hai, Anak
Dasarata Maharaja. Tiadakah engkau mendengar aku dan wartaku? Adapun tatkala
zaman Bermaraja dahulu kala itu datang kepada zaman Maharaja Rawana
menyuruh segala tentaranya yang berpuluh laksa mendatangi aku sekalian, habis
aku bunu dan barang aku makan. Adapun akan engkau apalah indanya kepada aku
dan di sela gigiku pun kurang.”
Maka kata Sri Rama, “Hai, Janggin. Janganlah banyak katamu lagi. Apa barang
kehendakmu adalah aku.” Setelah Janggin mendengar kata Sri Rama itu demikian,
maka lalu ia berdiri berpeluk tubuhnya lalu dihelanya nafasnya. Maka pohon kayu
yang ada tiga empat peluk itu pun sekaliannya habis roboh, datang ke hadapannya.
Maka dilepaskannya pula nafasnya, maka segala pohon kayuitu pun habis
bermambungan berterbangan ke udara. Maka lalu diambilnya sebuah batu seperti
gunung besarnya lalu dilontarkannya kepada Sri Rama, maka segera
ditangkiskannya oleh Sri Rama.
Maka Janggin pun terlalu marah, maka diambilnya pula segala batu yang besar-
besar lalu dilontarkan kepada Sri Rama, maka segera ditangkiskannya oleh (Sri
Rama). Maka Janggin pun terlalu marah lalu dilontarkannya dengan batu seperti
hujan datangnya kepada Sri Rama akan suatu pun tiada mengenai akan Sri Rama.
Maka Janggin pun bertempik seraya katanya, “Apakah dayamu akan membunu aku
karena akan nyawaku di dalam anak lidahku.” Maka Sri Rama pun hadirlah
memegang panahnya, maka lalu dibetulinya kepada lidanya rasaksa Janggin itu.
40 Setelah kena panahnya, maka Janggin itu pun lalailah seketika, lalu rubuh/ seperti
bunyinya guruh. Maka Janggin itu pun matilah.
Maka Maharesi Kala pun datanglah bersama-sama anaknya Laksamana
mendapatkan Sri Rama. Maka dilihatnya bangkai Janggin itu seperti bukit
besarnya. Maka Maharasi Kala pun heranlah melihat gagah berani Sri Rama itu.
Maka kata Sri Rama kepada Maharesi Kala itu dan Laksamana, “Marilah kita
berjalan kepada simpangan tempat badak itu, yang bernama Agigandi itu.” Maka ia

35
– HIKAYAT SRI RAMA –

berjalan itu, maka ia pun kedengaranlah suara badak itu. Maka Maharesi Kala dan
segala orang yang mengiringkan baginda itu pun naik di pohon kayu yang besar.
Setelah badak itu melihat Sri Rama itu datang, maka ia pun mengusir kepada Sri
Rama, bunyinya seperti halilintar membelah bunyinya. Setelah hampir badak itu,
maka lalu dipanahnya oleh Sri Rama, kena lambungannya terus ke sebelah. Maka
badakitu pun matilah, maka terniharap tiada dapat disembelih lagi. Maharesi Kala
dan Laksamana dan segala orang yang mengiringkan itu pun datanglah
mendapatkan Sri Rama. Maka Maharesi Kala pun heranlah akan melihat gagah
perkasa Sri Rama itu.
Maka Sri Rama dan Maharesi Kala dan Laksamana pun berjalanlah kepada
tempat Suranggin itu. Maka Maharesi Kala dan Laksamana pun naiklah ke atas
pohon kayu. Adapun tatkala itu Suranggin pun lagi tidur di dalam tempatnya, maka
Sri Rama pun bertempik. Setelah didengarnya oleh Suranggin suara manusia itu,
maka ia pun keluarlah. Maka lalu dipanahnya oleh Sri Rama, kena kepalanya naga
itu. Maka lalu ia mengempaskan dirinya menderu seperti guruh bunyinya, lalu ia
mati. Maka Maharesi Kala dan segala orang-orang mengiringkan ia itu pun turunlah
dari kayu, lalu mendapatkan Sri Rama. Maka sekaliannya pun heranlah melihat
besarnya naga itu dan heranlah ini akan melihat gagah beraninya Sri Rama itu.
Maka Maharesi Kala dan Sri Rama dan Laksamana dan segala orang banyak itu
pun berjalanlah menuju negeri Darwati Purwa.
Setelah berapa lamanya berjalan itu, maka ia pun sampailah ke negeri Darwati
Purwa. Maka dari pagi-pagi hari itu pun berkepunglah segala anak raja-raja yang
hendak memana dan hendak kepada Sita Dewi itu. Setelah segala anak raja-raja
melihat Maharesi Kala itu akan datang itu, maka segala anak raja-raja, “Hai, itu
41 Maharesi Kala. Dan anak Dasarata Maharaja/ itu yang bernama Sri Rama itu
datangkah ia tuan panggil?” Maka kata Maharesi Kala, “Hai, segala anak raja-raja.
Mengapa ia tiada datang? Karena hamba pergi memanggil sendiri itu, sedang tuan
sekalian tiada hamba panggil lagi datang sendiri. Adapun akan sekarang lihat oleh
tuan sekalian saktinya akan anak panahnya itu, kepada bicara hamba ialah yang
dapat memana pohon lontar itu yang empat puluh sebanjar itu dengan sekali dan
juga terus keempat puluhnya itu dan Sri Rama itulah yang berolehkan anak hamba
Putri Sita Dewi, dianugrahkan oleh Dewata Mulia Raya.” Setelah Maharesi Kala
berkata-kata dengan segala anak raja-raja itu, maka ia pun lalu berjalan membawa
Sri Rama dan Laksamana dan segala anak orang yang kaya-kaya tujuh puluh orang
itu. Setelah anak raja-raja mendengar kata Maharesi Kala itu demikian, maka
sekaliannya pun marah, katanya, “Jikalau kita pun tiada beroleh terus memana
pohon lontar yang empat puluh itu dan yang anaknya itu saja kita rebut juga.”
Syahdan maka Sri Rama dan Laksamana pun disuruhnya duduk di dalam taman
oleh Maharesi Kala itu, maka terdengar kepada Maharaja Rawana akan Maharesi
Kala telah datanglah membawa Sri Rama itu. Maka Maharaja Rawana pun
menyuruhkan bintaranya pergi kepada Maharesi Kala itu, titahhnya, “Pergilah
engkau katakan kepada Maharesi Kala itu: Mana tah anak Dasarata Maharaja itu
yang bernama Sri Rama itu? Esok harilah suruhlah ia dan segala anak raja-raja akan
memana pohon lontar yang empat puluh itu supaya ia lihat gagah perkasa dan
saktinya segala anak raja-raja itu.” Maka bintara itu pun pergilah, lalu berjalan
masuk ke dalam kota. Setelah datanglah kepada Maharesi Kala itu, maka segala

36
– HIKAYAT SRI RAMA –

kata Maharaja Rawana itu sekaliannya disampaikannya kepada Maharesi Kala itu.
Maka kata Maharesi Kala, “Hai, Bintara. Kembalilah engkau, katakan kepada
Maharaja Rawana adapun akan Sri Rama itu setelah datanglah ia akan hamba
panggil dan esok harilah hamba hendak menjamu segala anak raja-raja yang banyak
itu. Apabila suda makan, maka segala anak raja-raja itu pun pergilah memana pohon
lontar yang empat puluh sebanjar itu di hadapan maligai anak hamba dengan sekali
pana juga terus keempat puluhnya maka hamba berikanlah anak hamba itu yang
bernama Putri Sita Dewi itu akan jadi istrinya. Setelah didengar oleh bintara itu/
42 kata Maharesi Kala itu, maka ia pun bermohonlah kembali mengadap kepada
Maharaja Rawana. Maka segala kata Maharesi Kala itu sekaliannya
dipersembahkan kepada Maharaja Rawana.
Sebermula maka Maharesi Kala pun berlengkaplah akan berjamu segala anak
raja-raja itu. Maka ia pun pergilah kepada segala anak raja-raja itu yang banyak di
luar kota itu. Maka kata Maharesi Kala, “Hai, Tuan-tuan sekalian, anak raja-raja
yang datang ke negeri hamba ini. Esok harilah akan hendak dari pagi-pagi hari tuan
sekali masuk ke dalam kota akan mengangkat panah hamba dan pohon lontar yang
empat puluh itu.” Setelah segala raja-raja mendengar kata Maharesi Kala itu
demikian, maka sekaliannya pun tertawa, seraya katanya, “Lihatlah Sri Rama itu,
tiada ia tahu akan kadar dirinya itu, miskin dan hina. Bukan pekerjaannya yang
hendak dikerjakan, bukan layaknya itu duduk di gunung juga bertapa, makan ubi
keladi itulah akan layaknya. Dan adalah ia seperti sicabulah hendak menyapai
bulan, tiada tahu akan kadar dirinya ḍa’if itu. Nanti esok hari jikalau Maharesi Kala
itu berjamu, siapakah yang mau duduk bersama-sama itu? Hamba tiada sudi duduk
makan bersama dengan [dengan] Sri Rama itu.” Maka pada malam itu Maharesi
Kala pun berangkatlah akan berjamu segala anak raja-raja dan membaiki tempat
segala anak raja-raja berdiri akan memana pohon lontar itu.
Setelah hari siang dari pagi-pagi hari, maka segala anak raja-raja itu pun
memakailah segala pakaian indah-indah bertatakan ratna mutu manikam masing
dengan kenaikannya. Seperti laku orang berarak, ia masuk ke dalam negeri Darwati
Purwa itu dengan segala bunyiannya dan segala rakyat gegap gempita bunyinya dan
terlalu ‘aẓimat bunyinya masuk kedua kota itu. Setelah berhimpunlah segala anak
raja-raja itu kepada pohon lontar itu, maka Maharaja Rawana pun naiklah ke atas
ratanya, Singa Terbang namanya. Lalu berangkat masuk ke dalam negeri diiringkan
oleh segala raja-raja dan menteri dan segala hulubalang dan segala rakyatnya dan
[aku] (seperempat bahagian) juga yang beroleh masuk ke dalam negeri, dan tinggal
setengahnya di luar kota. Dua puluh ribu yang tiada beroleh masuk ke dalam kota,
43 tiadalah dapat berjamu lagi terlalu‘aẓimat/ bunyinya.
Maka pada tatkala itu, Indrajat pun turun dari keindraan dan dengan segala anak
raja-raja keindraan datang ke negeri Darwati Purwa itu. Pada pikirnya hendak
melihat termasa segala anak raja-raja itu akan memana pohon lontar itu. Maka kata
Indrajat kepada istrinya itu, Putri Kemala Dewi Indra itu, katanya, “Ya, Adinda.
Sayangnya kakanda suda beristri akan tuan ini. Jikalau tuan tiada, sekarang juga
(kakanda) memana pohon lontar itu yang empat puluh di hadapan maligai Putri Sita
Dewi itu. Dan jikalau aku pana pohon lontar itu, niscaya teruslah keempat puluhnya
dan anak Maharesi Kala itu pun kakanda peroleh.” Setelah tuan putri mendengar

37
– HIKAYAT SRI RAMA –

kata suaminya itu, maka tuan putri pun menjeling seraya tersenyum angran- angran
ia akan Putri Sita Dewi itu, seraya katanya, “Siapatah ada taruhnya di dalam Dunia
ini seperti anak Maharesi Kala? Dan banyaklah juga Yang Dipertuan pergi melihat
termasa anak raja-raja itu yang hendakkan anaknya Maharesi Kala itu.” Setelah
Indrajat mendengar kata istrinya itu, maka ia pun tersenyum seraya menyuruhkan
bintaranya menghiasi rata terbang akan kenaikkannya. Setelah suda maka ia pun
bermohon kepada istrinya, lalu naik ke atas ratanya Singa Terbang. Maka segala
anak raja-raja yang takluk kepada Indarajat itu pun datanglah sekaliannya, masing-
masing dengan kenaikkannya, mengiringkan Indrajat itu. Maka Indrajat pun
berangkatlah turun ke negeri Darwati Purwa dengan segala bunyi-bunyinya terlalu
‘aẓimat bunyinya.
Sebermula maka Maharesi Kala pun berjamu kepada segala anak raja-raja itu
akan minum, maka kata segala anak raja-raja itu, “Manatah anak Dasarata Maharaja
yang baru turun dari gunung itu bertapa makan ubi keladi itu? Marilah keluar
supaya kami lihat rupanya dan pakaiannya dan banyak rakyatnya yang datang
mengiringkan akan dia itu supaya kami sekalian bertanding sikap dengan dia.”
Setelah suda makan, maka sekalian anak raja-raja itu pun bersikap mengangkat
panah yang di hadapan maligai tuan putri itu. Maka pada tatkala itu Indrajat pun
datanglah dengan segala anak raja-raja, dewa, mambang, indra, cindra sekaliannya
pun turunlah dari udara dengan segala bunyinya. Setelah Maharaja Rawana
44 (melihat) Indrajat datang itu, maka baginda pun/ terlalu sukacita hatinya. Dan
setelah dilihat oleh Indrajat akan ayahanda baginda itu ada di negeri Maharesi Kala
itu, maka ia pun segeralah turun dari atas ratanya, datang mengadap kepada
baginda. Maka titahh maharaja, “Hai, Indrajat. Segeralah engkau angkat panahnya
Maharesi Kala itu. Panahkan oleh anakku kepada pohon lontar yang empat puluh
sebanjar itu di hadapan maligai Sita Dewi itu dengan sekali panah juga terus
keempat puluhnya itu supaya engkau beroleh anaknya Maharesi Kala itu.” Setelah
Indrajat mendengar titahh ayahanda baginda itu demikian, maka ia pun berdatang
sembah, katanya, “Ya, Tuanku Syah ‘Alam. Pada bicara patik siapalah dari segala
raja-raja di dalam ‘alam Dunia ini yang dapat mengangkat anak panah itu? Adapun
patik (dengar) habarnya (kata) segala dewa-dewa dan indra, panah itu asalnya
daripada tulang belakang seorang maharesi yang bertapa dua ratus tahun, maka
dianugrahkan oleh Batara Guru kepada Batara Brama maka diperoleh Maharesi
Kala itu.” Setelah Maharaja Rawana mendengar sembah Indrajat itu demikian,
maka ia pun diam dirinya.
Sebermula maka segala anak raja-raja itu pun datang hendak mengangkat panah
itu. Jangankan terangkat, bergerak pun tiada. Setelah dilihat oleh Maharesi Kala
panah itu tiada terangkat oleh segala anak raja-raja itu yang banyak itu, maka
katanya, “Hai, segala anak raja-raja. Barangsiapa hendakkan anak hamba, Putri Sita
Dewi itu, segeralah angkat panah hamba itu. Panahkan kepada pohon lontar yang
empat puluh itu biarlah terus keempat puluhnya supaya hamba berikan anak hamba
Sita Dewi itu akan jadi istrinya dengan suka hati hamba.” Setelah segala anak raja-
raja mendengar kata Maharesi Kala itu demikian, maka kata segala anak raja-raja,
“Adapun sekaliannya disuruh mengangkat panah seperti bukit besarnya ini, (di
manakah bole terangkat, jikalau dengan pana kami sendiri dapatlah kami panahkan
lontar itu.)” berseru-seru dengan nyaring suaranya. (Setelah Maharesi Kala

38
– HIKAYAT SRI RAMA –

menengar kata segala anak raja-raja itu, maka ia pun tersenyum-senyum seraya)
katanya, “Hai, segala anak raja yang datang ke negeri hamba ini. Dan barangsiapa
yang hendakkan anak hamba Putri Sita Dewi. Panahlah pohon lontar yang empat
puluh sebanjar itu dengan sekali panah juga teruslah keempat puluhnya.” Setelah
segala anak raja-raja itu mendengar kata Maharesi Kala itu, maka sekaliannya pun
bersikaplah lalu dipanahnya pohon lontar itu masing-masing dengan panahnya
sendiri. Maka ada yang terus dua, maka ada yang terus empat, ada yang terus lima,
45 ada yang terus enam, ada yang/ terus tujuh, ada yang terus delapan, ada yang terus
sembilan, ada yang terus sepuluh. Maka kelakuan ia memanah itu dengan tempik
soraknya dan terlalu ‘aẓimat bunyinya bercampur-baur dengan segala bunyi-
bunyian.
Katanya, “Jikalau kurang sepohon atau dua pohon, maka terus hambalah yang
empunya tuan yang beroleh anak tuan hamba yang bernama Putri Sita Dewi itu.”
Maka kata Maharesi Kala, “Baiklah dan hamba turut seperti kata tuan hamba
sekalian, tetapi jikalau ada orang yang dapat memanah pohon lontar itu dengan
sekali panah juga maka teruslah keempat puluhnya, bagaimana pula bicara tuan
hamba sekalian?” Maka kata segala anak raja-raja itu, “Jikalau ada yang seperti kata
tuan hamba itu, ialah yang beroleh anak tuan hamba.” Setelah Maharaja Rawana
mendengar kata segala anak raja-raja itu demikian, maka Maharaja Rawana pun
terlalu marah. Lalu ia turun dari atas ratanya yang bernama Singa Terbang itu, maka
dilihatnya panah itu terlalu besar seperti bukit. Maka ia pun heranlah melihat
besarnya ibu panah itu, seraya pikir di dalam hatinya, ‘Jikalau tiada terangkat
olehku akan ibu panah ini akan aku, niscaya besarlah malu aku di dalam Dunia ini.
Jikalau demikian baiklah aku panahkan dengan anak panahku sendiri karena ada
juga panahku yang sakti yang aku peroleh dari pertapaanku ini tiada kupanahkan.
Sedang gunung lagi bila aku panahkan, istimewa pula ini pohon lontar yang
berbanjar yang empat puluh pohon itu berapa juga kadarnya. Jikalau aku panahkan
dengan sekali panah juga, niscaya lulur letak menjadi duli.’ Setelah suda ia berpikir
demikian, maka Maharaja Rawana pun mengeluarkan anak panahnya yag bernama
Surahnama. Maka lalu dipanahkannya kepada pohon lontar itu, dua pohon yang lagi
tiada terus itu. Maka segala anak raja-raja pun bersoraklah dengan segala rakyatnya
[dengan segala] seperti tagar, maka kepada pikirnya telah teruslah pohon lontar itu.
Maka kata segala anak raja-raja itu, “Memanahlah anak Dasarata Maharaja yang
bernama Sri Rama itu yang baharu turun dari gunung yang makan ubi keladi itu.
Panahlah pohon lontar itu.” Maka Maharaja Rawana pun menitahkan seorang
bintaranya pergi bersama-sama dengan Maharesi Kala itu. Maka dilihatnya tinggal
dua pohon yang belum terus. Maka bintara itu pun kembalilah mengadap Maharaja
Rawana, sembahnya, “Ya, Tuanku Sri Raja. Adapun lontar itu yang dipanah oleh
46 tuanku itu tinggal dua pohon yang belum terus.” Setelah Maharaja/ Rawana
mendengar kata bintara itu, maka ia pun kemalu-maluan. Lalu ia marah, seraya
katanya, “Hai, Maharesi Kala! Barangsiapa yang dapat memanah pohon lontar itu
maka teruslah keempat puluhnya itu ialah yang beroleh anak tuan hamba itu. Dan
jika tiada terus keempat puluhnya itu, hambalah yang beroleh akan dia itu.” Maka
kata Maharesi Kala, “Sebenarnyalah kata tuan hamba itu.” Maka Maharesi Kala
pun lalu pergi mendapatkan Sri Rama itu, seraya katanya, “Hai, penghulu segala
Dewa Zanggi dan penghulu Resi Muni! Segeralah engkau panah pohon lontar itu

39
– HIKAYAT SRI RAMA –

karena pun asalnya panah itu daripada nenek tuan hamba juga yang empunya
senjata itu.” Maka Sri Rama pun berangkatlah. Maka lalu dikenakannya panah itu
daripada talinya. Maka tatkala Sri Rama mengenakan tali panah itu terlalu gegak
gempita bunyinya seperti halilintar akan membelah segala bukit lakunya demikian.
Maka segala anak raja-raja itu pun pingsanlah tiada kabarkan dirinya sebab
mendengar bunyi panah itu. Tinggal Maharaja Rawana juga dan Indra(jat) yang
terdiri di atas ratanya akan melihat Sri Rama memanah lontar itu. Maka Sri Rama
pun berjalan ke tepi pohon lontar itu. Maka dilihatnya segera bermakan anak
panahnya itu, maka lalu dipanahkan anak (panahnya) sendiri yang bernama Gandi
Dewata Naga Pertala, Segandi Dewa. Maka lalu dipanahkan kepada pohon lontar
lalu terus keempat puluhnya tiada bertahan lagi. Maka segala anak raja-raja itu pun
terkejutlah daripada pingsannya mendengar bunyi Sri Rama memanah itu. Maka
dilihatnya oleh Maharaja Rawana dan Indrajat dan segala anak raja-raja akan pohon
lontar itu maka terus dipanah oleh Sri Rama. Maka segala anak raja-raja dan segala
bala tentaranya pun bersoraklah seperti tagar gemuruh bunyinya seperti akan
sampai ke langit rasanya.
Setelah dilihat oleh Maharesi Kala akan pohon lontar itu terus keempat
puluhnya, tiadalah bertahan lagi, maka ia pun segeralah naik ke atas maligai
anaknya, Putri Sita Dewi itu. Maka kata Maharesi Kala, “Hai, Anakku Sita Dewi!
Segeralah tuan turun menyembah kaki suamimu yang bernama Sri Rama itu.” Maka
Sita Dewi pun turun dari atas maligainya dengan segala dayang-dayangnya dan
inang pengasunya datang kepada Sri Rama. Maka segera dipegangnya oleh Sri
Rama akan tangan Sita Dewi itu, dipimpinnya naik ke atas maligai itu.
Setelah dilihat oleh Maharaja Rawana dan Indrajat dan segala anak raja-raja
akan rupa Sita Dewi itu terlalu elok parasnya seperti anak-anakan emas, akan
47 cahayanya seperti bulan purnama empat belas hari kilau-kilauan dan tiada/ dapat
ditantang nyata, seperti bidadari dari dalam surga kayangan Indraloka, maka
sekaliannya pun heranlah melihat akan rupa Sita Dewi itu. Maka kata Maharaja
Rawana dan Indrajat, “Pergilah ambil olehmu Sita Dewi itu kepada tangan Sri
Rama itu, bawa naik keindraan akan jadi istrimu yang muda. Dan apa kehendaknya
Sri Rama itu, akulah yang menahaninya dengan segala anak raja-raja ini karena
terlalu sangat membilangkan orang lakunya itu.” Setelah Indrajat mendengar titahh
ayahnya demikian itu, maka sembanya, “Ya, Tuanku Syah ‘Alam. Terlalu sukar
seperti titahh tuanku itu, baik masanya dapat patik kerjakan. Jikalau tiada, alangkan
malunya dan jahatnya nama patik, terlalu ‘aib nama Yang Dipertuan kepada segala
jagat Dunia ini disebut orang. Adapun akan Sri Rama itu orang benar dan bukan
barang gagah beraninya dan perkasanya dan saktinya kepada zaman ini segala raja-
raja di dalam ‘alam Dunia ini takluk kepadanya. Seorang pun tiada berani
menantang matanya seperti ia membunu rasaksa yang bernama Janggin itu.
Siapakah raja dalam ‘alam Dunia ini yang dapat memunu dia? (Da)ripada zaman
purbakala, segala dan sekaliannya raja-raja hendak membunu bala tiga ekor itu
dengan berapa laksa hulubalang dan berapa keti rakyat tiada juga ia mati dan habis
segala rakyat dimakannya. Dan lagi patik habarnya daripada segala dewa-dewa itu,
adapun Sri Rama itulah daripada Mahabisnu turun menjelma kepada Dasarata
Maharaja. Maka demikian saktinya dan dianugrahkan oleh Dewata Mulia Raya
akan Sita Dewi itu menjadi istri Sri Rama. Akan baik Duli Tuanku akan berangkat

40
– HIKAYAT SRI RAMA –

ke negeri Langkapuri supaya patik iringkan.” Setelah Maharaja Rawana mendengar


sembah Indrajat itu demikian, maka ia pun berdiam dirinya. Maka Maharaja
Rawana dan segala anak raja-raja itu pun bermohonlah kepada Maharesi Kala.
Masing-masing pulang ke negerinya dengan malunya.
Maka di dalam antara segala anak raja-raja yang banyak itu empat orang yang
sangat marahnya akan Sri Rama dan Laksamana dan berdendam di dalam hatinya.
Maka ia pun menyuruh dengan segala hulubalangnya. Maka katanya, Apabila Sri
Rama keluar dari dalam negeri itu, kita pergi mengadap dia. Dan jikalau ia sambut
pergi ke negerinya, kita datangi.” Maka keempat anak raja-raja itu pun
menyuruhkan segala
48 hulubalang pergi mengadap/ Sri Rama itu. Maka katanya, “Hai, segala
hulubalangku sekalian. Pergilah engkau tunggui jalannya Sri Rama itu. Dan apabila
ia kembali ke negerinya, kelak kamu segeralah beri tahu kepada aku. Adapun akan
Sri Rama itu telah tahulah ia akan kehendak keempat anak raja-raja itu, maka Sri
Rama pun tinggallah bersama-sama anak raja-raja itu. Dan ia bersama-sama dengan
adinda Laksamana itu menunggui Tuan Putri Sita Dewi itu di dalam negeri Darwati
Purwa itu.
Sebermula akan Maharesi Kala itu dan setelah Maharaja Rawana dan segala
anak raja-raja itu suda kembali itu maka masing pulang ke negerinya itu, maka
Maharesi Kala pun pikir di dalam hatinya, katanya, “Baiklah aku hendak melihat
bijaksananya Sri Rama ini.” Maka ia lalu pergi mendapatkan inangnya Sita Dewi
seraya katanya, “Hai, Anakku. Marilah tuan aku bawa ke ruma berhala itu karena
aku hendak melihat ‘arif bijaksana tunanganmu itu karena ia itu anak raja besar lagi
bangsawan dan dermawan. Asalnya daripada Mahabisnu turun ia menjelma kepada
Dasarata Maharaja.” Setelah suda ia berkata itu maka lalu dibawa Putri Sita Dewi
masuk ke dalam ruma berhala itu. Adapun akan berhala itu ada seribu banyaknya
sekaliannya itu daripada emas belaka. Maka (kata) Maharesi Kala, “Hai, Anakku,
Sita Dewi. Ini engkau diam bersama-sama dengan berhala ini dan apabila Sri Rama
datang janganlah engkau bergerak daripada tempatmu ini.” Setelah suda ia berpesan
kepada Sita Dewi itu, maka ia pun keluarlah daripada ruma berhala itu maka lalu
ditutupnya (ruma berhala) itu. Maka Maharesi Kala itu pun pergilah kepada Sri
Rama dan Laksamana, katanya, “Hai, Anakku kedua. Adakah tuan melihat Sita
Dewi itu ke mana perginya? Karena berapa hamba cari tiada juga bertemu.” Setelah
Sri Rama dan Laksamana mendengar kata Maharesi Kala itu demikian, maka
hatinya pun berdebar-debarlah, seraya katanya, “Tiadakah hamba melihat ke mana
perginya.” Maka Maharesi Kala pun lalu berlari-lari pulang seperti orang gopo-
gopo lakunya. Maka Sri Rama dan Laksamana pun lalu pergi akan mencari Sita
Dewi. Segenap tempat dicarinya tiada juga bertemu. Setelah datang ke ruma berhala
itu, maka Sri Rama dan Laksamana pun masuk ke sana kemari dicarinya tiada juga
bertemu dengan Sita Dewi itu. Maka kata Laksamana, “Ya, Tuanku, kalau-kalau
49 tersamar Sita Dewi itu dengan/ berhala yang banyak ini.” Maka kata Sri Rama,
“Benarlah seperti kata Adinda itu.” Maka lalu diperiksanya di dalam satu-satu
berhala itu, tiada juga bergelap matanya. Maka datanglah kepada beberapa ratus
berhala itu, dikenalnya tiada juga bergelap matanya. Maka datanglah kepada tempat
Sita Dewi itu, maka lalu dikenalnya oleh Sri Rama mata Sita Dewi. Maka Sita Dewi
pun menangis, maka dikenallah oleh Sri Rama. Maka lalu disambutnya, lalu

41
– HIKAYAT SRI RAMA –

didukungnya, dibawanya pulang kembali ke rumahnya dengan sukacita hatinya,


seraya dibujuknya dengan kata yang manis-manis dengan perkataan yang lemah
lembut. Maka Sita Dewi pun diamlah. Maka Sri Rama pun keluarlah lalu duduk di
balai bersama-sama Laksamana seraya katanya, “Hai, Adinda. Adapun pekerjaan
ini daripada Maharesi Kala juga yang empunya perbuatan.” Maka Laksamana pun
tertawa-tawa, seraya katanya, “Benarlah seperti kata tuanku itu.”
Setelah seketika itu maka Maharesi Kala pun datang ke rumahnya Sri Rama,
maka kata Maharesi Kala itu, “Adakah tuan bertemu dengan adinda Sita Dewi itu?”
Maka kata Sri Rama, “Adalah hamba dapat adinda itu di dalam ruma berhala ia
duduk menyamarkan dirinya kepada berhala yang seribu itu.” Setelah Maharesi
Kala mendengar itu, maka ia pun kemalu-maluan karena Sri Rama itu telah tahulah
akan kehendaknya itu. Maka Sri Rama pun tersenyum-senyum akan melihat
kelakuan Maharesi Kala itu. Setelah demikian, maka Maharesi Kala pun
menyuruhkan pergi memberi tahu Permaisuri Minurama Dewi akan menyambut
Sita Dewi itu. Maka permaisuri pun datanglah diiringkan oleh segala hamba
sa(ha)yanya dan segala dayang dan inang pengasunya Sita Dewi itu. Setelah datang
ke ruma Sri Rama dan Laksamana, maka Sri Rama dan Laksamana pun segera turun
menyembah kepada permaisuri, seraya katanya, “Silakanlah tuanku masuk. Adalah
anakda itu patik bertemu kepada ruma berhala yang seribu itu.” Maka permaisuri
pun masuklah ke dalam mendapatkan Sita Dewi. Setelah Sita Dewi melihat
bundanya datang itu, maka ia pun segeralah berangkat daripada tempatnya duduk,
lalu ia menyembah kepada bundanya. Maka oleh permaisuri lalu dipeluknya dan
diciumnya dengan sukacitanya. (Maka lalu dibawanya keluar. Maka Maharasi
Kala) dan permaisuri pun berjalanlah keluar membawa anakda pulang (ke
istananya. Maka Sri Rama dan Laksamana) pun pergilah mengiringkan dari/
50 belakang. Setelah ke istana, maka (ia) pun pergi mendapatkan permaisuri dan Sita
Dewi. Maka Maharesi Kala pun berjamukan permaisuri dan Laksamana akan
makan minum dan santap segala nikmat. Setelah suda, maka Sri Rama dan
Laksamana pun bermohonlah kepada Maharesi Kala dan permaisuri, lalu kembali
ke tempatnya.
Sebermula maka permaisuri pun bertanya kepada Sita Dewi, seraya katanya,
“Hai, Anakku, buah hatiku dan cahaya mataku. Apakah ada kelakuan Sri Rama itu
kepadamu karena anakku sama baik parasnya dengan dia? Tiada dapat juga hatinya
berahi akan anakku.” Maka kata Sita Dewi itu, “Adapun tatkala patik diambilnya
dari ruma berhala itu, didukungnya patik, dibawanya ke rumahnya. Maka patik pun
menangis juga hendak turun daripada dukungannya itu tiada dapat, lalu dibawanya
ke rumahnya lalu dibujuknya patik dengan kata yang lemah lembut. Setelah
diamlah patik, maka lalu ia keluar duduk dengan Laksamana. Maka tinggallah patik
sendiri, maka suatu pun tiada datang salah lakunya itu dan perkataannya yang salah
itu pun tiada kepada patik. Setelah Maharesi Kala dan permaisuri mendengar kata
Putri Sita Dewi demikian itu, maka baginda dua laki-istri itu pun sukacita. Maka
kata Maharesi Kala kepada permaisuri, “Hai, Adinda. Akan sekarang apatah bicara
tuan hamba akan kita ini?” Maka kata permaisuri, “Mana bicara kakanda, patik
sekadar menurut saja.” Maka kata Maharesi Kala, “Jika demikian berlengkaplah
adinda kepada bulan timbul ini, kakanda hendak memulai pekerjaan berjaga-jaga
akan anak kita Sita Dewi ini dengan Sri Rama itu.”

42
– HIKAYAT SRI RAMA –

Arkian setelah datanglah kepada ketika yang baik, maka Maharesi Kala pun
memulai pekerjaan berjaga-jaga lima belas hari lima belas malam memalu segala
bunyi-bunyian terlalu ramai. Makan minum dan segala maharesi dengan segala
orang isi negeri Darwati Purwa itu bersuka-sukaan. Setelah genaplah lima belas hari
lima belas malam berjaga-jaga itu, maka Permaisuri Minurama Dewi pun
menghiasi Tuan Putri Sita Dewi itu dengan seberhana pakaian yang keemasan dan
yang indah-indah, maka terlalu elok parasnya Sita Dewi itu gilang-gemilang kilau-
kilauan, tiada dapat ditantang nyata dan seperti lenyap daripada tempatnya duduk
itu. Setelah (suda dihiasnya itu, lalu didudukkannya di atas peterana yang
51 keemasan) dihadap oleh segala dayang-dayang dan inang/ pengasuhnya (sekalian.
Maka Maharesi Kala pun lalu pergilah) menyambut Sri Rama diiringkan oleh
segala muridnya, (anak raja-raja, dan segala hamba sahayanya. Setelah) datang ke
istana Paduka Sri Rama, maka pada ketika itu pun suda memakai (pakaian yang)
keemasan dan yang indah-indah. Setelah Sri Rama melihat Maharesi Kala datang
dengan segala muridnya Maharesi Kala yang banyak itu, maka Sri Rama dan
Laksamana pun segeralah turun menyembah pada Maharesi Kala itu. “Adapun akan
ayahanda datang ini dengan segala maharesi ini dan segala anak raja-raja sekalian
akan menyambut anakda.” Maka Sri Rama pun dinaikkannya ke atas gajah
berpayung ubar-ubar kuning, lalu berjalan dengan segala bunyi-bunyian terlalu
ramai.
Setelah datang ke istana, maka Maharesi Kala pun memegang tangan Sri Rama,
lalu didudukkannya di kanan Tuan Putri Sita Dewi. Maka bersandinglah keduanya
anak raja-raja itu, sama baik parasnya seperti matahari dan bulan dipagar bintang
maka gemarlapan cahayanya tiada dapat dibagikan, maka istana itu pun teranglah
oleh cahaya baginda dua laki-istri itu. Maka nasi persantapan dan nasi adap-adap
itu pun dibawa oleh oranglah. Maka permaisuri pun datanglah akan menyuapi
anakda baginda itu kedua. Setelah suda santap, maka lalu santap sirih. Maka tirai
kelambu daripada duangga yang keemasan pun dilabukan orang. Maka Paduka Sri
Rama dan Putri Sita Dewi pun duduklah di dalam tirai kelambu yang tujuh lapis.
Maka berkasilah dan berguraulah bersuka-sukaan. Maka Maharesi Kala pun
duduklah di balai besar berjamukan Laksamana dan segala maharesi dan segala
anak raja-raja dan menteri yang tujuh puluh itu dan segala orang isi negeri Darwati
itu makan dan minum bersuka-sukaan terlalu ramai, masing-masing melakukan
kesukaannya. Setelah suda, maka masing bermohon kembali ke rumahnya. Adapun
Sri Rama dengan Putri Sita Dewi itu terlalu amat berkasih-kasihan dua laki-(istri)
seketika pun tiada dapat bercerai dan maharesi dengan Tuan Putri Minurama Dewi
pun terlalu amat kasi sayangnya dan gemar ia melihat anakda dua laki-istri itu, dan
bertambah-tambah pula ia melihat budi pekerti Sri Rama itu terlalu baik.
Syahdan berapa lamanya Sri Rama duduk di dalam negeri Darwati itu, maka
baginda pun terkenanglah akan ayah bundanya. Maka ia pun bermohonlah kepada
52 Maharesi Kala dan Permaisuri Minu/rama Dewi hendak membawa istrinya Putri
Sita Dewi pulang ke negerinya. Maka oleh Maharesi Kala dan Permaisuri
Minurama Dewi akan dilengkapnya akan Sita Dewi dengan pakaian yang indah-
indah berapa perangkat dan berapa emas dan perak dan permata ratna mutu
manikam dan segala dayang-dayang inang pengasunya dan diberinya sahaya laki-
laki dan perempuan ada kadar tujuh puluh orang. Maka Sri Rama pun bermohon

43
– HIKAYAT SRI RAMA –

kepada Raja Maharesi Kala dan kepada Permaisuri Minurama Dewi pun memeluk
dan mencium anakda dua laki-istri itu dengan tangisnya. Maka kata permaisuri,
“Hai, Anakku Sita Dewi, baik-baik tuan bertaruhkan diri kepada kakanda itu.
Jangan tuan berkeras hati dan yang mana bicara dan sukanya, tuan turut.” Setelah
itu, maka Sita Dewi pun menyembah kepada ayah bundanya. Setelah suda, maka
Sri Rama dan Laksamana pun bermohonlah kepada baginda dua laki-istri. Lalu
berjalan keluar membawa Sita Dewi dan diiringkan oleh segala anak menteri yang
tujuh puluh orang itu dengan segala hamba sahayanya mengikut jalan ke negeri
Mandupuranegara.
Setelah datang kepada persimpangan jalan Lurah itu, maka hulubalang empat
orang yang disuruhkan oleh anak raja-raja yang empat itu akan menunggui jalan itu
pun segeralah menyuruh memberi tahu kepada anak raja yang empat itu. Maka
keempatnya anak raja-raja itu pun masing-masing dari negerinya dengan segala
tentaranya. Adapun akan anak Raja Lurah itu yang bernama Tarelok dan anak Raja
Maharta bernama Raja Raraja dan anak Raja Lupadang itu bernama Yararaja dan
anak Raja Ja’mi itu bernama Indrawadi. Maka segala anak raja-raja yang empat
orang itu pun berjalanlah mendapatkan Sri Rama itu. Ada yang membawa orang
selaksa berkuda, dan ada yang membawa dua puluh laksa berkuda, ada yang
membawa lima laksa orang berkuda. Maka keempat anak raja-raja itu pun
bertemulah di tengah padang jalan. Maka lalu musyawarat. Maka kata Indrawadi,
“Adapun jikalau Sri Rama itu mati oleh kita, akan istrinya Sita Dewi itu
bagaimana?” Maka kata Yararaja, “[kepada ketumbukan] Siapa yang memana Sri
Rama itu ialah yang beroleh Sita Dewi itu. [bagaimana] Adapun jika kita lawan
53 bertanding yang perang dengan Sri Rama itu sukarlah karena/ ia orang gagah,
melainkan kita tempuhkan segala dengan segala senjata dan segala bala tentaranya
kita sekalian keempat buah negeri.” Maka ketiga anak raja-raja itu, “Benarlah
seperti bicara tuan hamba itu.”
Sebermula maka Sri Rama pun tahulah akan keempat anak raja-raja itu
mengadang dia. Maka kata Sri Rama kepada Laksamana, “Hai, Adinda, bawalah
kakanda Sita Dewi dan segala dayang-dayang biti perwara sekalian masuk ke dalam
goa gunung itu.” Maka lalu dibawanya oleh Laksamana masuk berlindung ke dalam
goa gunung itu. Maka Sri Rama pun berdirilah di hadapan pintu goa itu (dengan)
panahnya. Setelah seketika, maka daripada kedua pihak anak raja-raja itu dan bala
tentaranya itu pun datanglah dengan tempik soraknya seperti guruh bunyinya
[dan](akan) datanglah. Maka lalu ditimpukannya kepada Sri Rama dengan segala
senjata seperti hujan yang maha lebat itu. Maka kata Sri Rama, “Hai, segala
sudaraku, anak raja-raja besar. Mengapatah maka laku tuan hamba demikian itu
mengadang orang berjalan karena hamba tiada berdosa? Jikalau kita berkasih-
kasihan sama kita anak raja-raja besar alangkah baiknya.” Maka kata anak raja-raja
itu, “Sungguhlah kita hendak berkasih-kasihan akan tetapi kembalikan istrimu Sita
Dewi itu kepada Maharesi Kala supaya jangan sekalian kita beristrikan akan dia itu,
maka hati kami sekalian sukalah akan berkasihan dengan tuan hamba.” Setelah Sri
Rama mendengar kata keempat anak raja-raja itu demikian, maka ia pun tertawa
seraya katanya, “Terlalu sekali tuan hamba sangat bebal akan mengatakan
perkataan yang demikian itu. Adapun setelah suda dianugrahkan oleh Dewata
Mulia Raya akan hambalah yang beroleh akan dia itu. Adapun yang terlalu sekali

44
– HIKAYAT SRI RAMA –

akan tuan hamba sekalian ini dengan muda-muda tuan hamba dan baik paras. Akan
sekarang ayahanda pun suda tua jikalau ia mati siapa yang jadi ganti akan ayahanda
di atas kerajaan? Itulah yang hamba katakan.” Maka kata anak raja yang keempat
itu, “Janganlah perbanyak kata. Barangsiapa yang beruntung ialah akan beroleh Sita
Dewi itu.” Maka lalu dipanahnya oleh anak raja itu akan Sri Rama itu. Maka
datangnya anak panah itu seperti hujan yang lebat dan serta tempik soraknya segala
tentara daripada keempat pihak itu seperti halintar yang membelah bumi dan bumi
pun bergerak rasanya dan langit akan rontok bunyinya. Maka lalu dibalasnya/
54 oleh Sri Rama. Lalu dipanahnya maka tiadalah bertahan lagi pergi ibu panahnya Sri
Rama itu. Jikalau seribu berbanjar, seribu terus. Jikalau selaksa berbanjar, selaksa
terus. Jikalau tiga laksa berbanjar, tiga laksa terus. Demikianlah kelakuan Sri Rama
memanah itu, tiadalah menderita lagi anak raja-raja yang keempat itu.
Seketika lagi maka kelihatanlah anak Raja Lurah yang bernama Tarelok itu
dengan kudanya, maka lalu dipanahnya oleh Sri Rama akan lehernya, lalu gugur ke
tanah. Maka Sri Rama pun berseru-serulah, katanya, “Hai, Anak raja-raja ketiga!
Jikalau tuan lari pun, tiada akan lepas dari tanganku. Jikalau engkau hendak hidup,
marilah engkau menyembah kakiku mintak ampun kepadaku.” Maka anak raja-raja
Lupadang dan anak Raja Ja’mi pun datanglah meniharap kepada Sri Rama dan serta
mencium kakinya. Maka kata Sri Rama, “Baiklah sekarang tuan hamba pulang ke
negeri tuan hamba, tetapi janganlah tuan hamba lupa akan hamba karena bukannya
salah daripada (hamba) adapun yang salah itu tuan juga.” Maka anak raja kedua itu
pun berjalanlah kembali pulang ke negerinya dan tiadalah beroleh lagi
kebaktiannya kepada Sri Rama selamanya hidup itu.
Adapun akan Raja Daraja itu pikir di dalam hatinya itu, ‘Daripada aku
menyembah kepada Sri Rama, baiklah aku mati.’ Maka ia lalu memulangkan
kudanya, seraya katanya, “Hai, Sri Rama. Jikalau ada gagah beranimu ikutlah aku.”
Setelah Sri Rama mendengar kata anak raja-raja itu, maka lalu diikutnya oleh Sri
Rama. Maka dinantikannya Yararaja Daraja dengan segala hulubalangnya. Setelah
tiga ratus orang setelah hampir, maka kata Yararaja Daraja, “Hai, Sri Rama. Engkau
datang hendak mangantarkan nyawamu ini kepada tanganku.” Maka kata Sri Rama,
“Hai, Raja Daraja, terlalu sayang aku akan engkau ini karena nyawamu suda tiada.
Kelak engkau mati, siapa yang gantimu di atas kerajaan itu?” Maka kata Yararaja
Daraja, “Tiadalah aku mau hidup lagi. Jikalau aku menyembah kepadamu itu,
niscaya menjadi dua bahagi kemaluanku ini. Baiklah aku mati.” Maka kata Sri
Rama, “Hai, Yararaja Daraja, janganlah demikian katamu itu. Baiklah juga kita
berkasih-kasihan sama kita anak raja besar, hendaklah ada barang sesuatu tandanya
kebajikan daripadamu itu dan tiada mau akan menyembah kepadaku. Marilah
berikan makotamu itu kepada aku.” Maka kata Yararaja Daraja, “Jikalau aku
55 berikan makotaku ini kepadamu dan apatah/ rasaku memandang mukamu dan
memandang muka bapaku.” Maka kata Sri Rama, “Jika demikian, marilah barang
apah senjatamu itu datangkanlah kepada aku.” Maka kata Raja Daraja, “Hai, Sri
Rama. Jikalau engkau sungguh laki-laki yang pahlawan, tahanlah olehmu bekas
tanganku.” Maka lalu segera dipanahnya maka segera ditangkiskan oleh Sri Rama,
seraya katanya, “Hai, Raja Daraja, sungguh engkau laki-laki, tetapi belum sampai
laki-lakimu dan bicaramu pun tiadalah berketentuan.” Maka dibalas oleh Sri Rama,
kena lehernya lalu ia gugur ke bumi. Maka segala hulubalang pun membawa mayit

45
– HIKAYAT SRI RAMA –

Yararaja Daraja itu kembali kepada ayahnya. Maka sempurnalah nama mayitnya
itu laki-laki, maka oleh ayahnya Yararaja Sina itu pun keluar mendapatkan mayit
anakda. Maka Yararaja Sina pun menangis, seraya katanya, “Aduh, anakku, baiklah
engkau maka mati dengan nama yang baik dan nama laki-laki.” Maka lalu
disuruhnya timbunkan kelambak dan kesturi dan gaharu dan kapur barus dan kuma-
kuma. Maka lalu dibakarnya anakda itu, habunya dimasukkannya ke dalam candi
emas yang permata. Maka kata Yararaja Sina, “Selama aku lagi hidup di dalam
Dunia ini bahwa daripada anakda dan cucuku jangan lagi berbaikkan anak cucunya
Sri Rama dan cicitnya Dasarata Maharaja itu.
Sebermula maka Sri Rama pun berjalan membawa istrinya, Putri Sita Dewi, dan
Laksamana dengan segala hamba sahayanya dan inang pengasunya. Berapa
lamanya berjalan itu, maka ia pun sampailah kepada tempat Janggin itu. Maka
dilihatnya oleh Sri Rama tempat itu terlalu baik dengan ratanya dan pada sama
tengahnya ada suatu bukit kecil dan di atas bukit itu terlalu rata. Maka kata Sri
Rama kepada Laksamana, “Hai, Adinda, akan tempat ini terlalu baik akan diperbuat
negeri.” Maka lalu ia berjalan dari sana.
Berapa lamanya maka ia pun sampailah ke negeri Beranta Indra namanya dan
nama rajanya itu Maharaja Pusparama. Adapun asalnya daripada raja keindraan
daripada Dewa Ranggi juga turun ke Dunia menjelma akan menjadi manusia dan
terlalu amat saktinya pada zaman itu, lagi raja tua dan ialah yang memegang kilat
dan guruh, petir, halintar.
Adapun baginda itu senantiasa bertapa juga kerjaannya. Maka sekali peristiwa
ia pun duduklah di atas singgasana dihadap oleh segala raja-raja dan menteri
56 hulubalang, sida, bintara, dan bala tentaranya sekalian. Maka diwar/ takan oranglah
kepada baginda bahwa Sri Rama, anak Dasarata Maharaja, baharu datang dari
negeri Darwati Purwa itu membawa istrinya yang bernama Sita Dewi itu, anak
Maharaja Resi Kala itu. Akan sekarang telah hampirlah ia akan sampai ke negeri
ini. Setelah Maharaja Pusparama mendengar sembah orang itu, maka baginda pun
terlalu marah seperti ular berbelit-belit lakunya, tiadalah terkata-kata lagi. Maka
segala raja-raja dan menteri hulubalang itu dan rakyat sekalian pun takutlah akan
melihat baginda mereka itu sebab ia mendengar nama Sri Rama itu senama dengan
dia. Maka katanya, “Baiklah, Dasarata Maharaja menamai anaknya Sri Rama,
daripada zaman purbakala datang kepada zaman ini belum lagi dan lagi segala raja-
raja di dalam ‘alam Dunia ini yang bernama Sri Rama, hanya aku juga yang
bernama Sri Rama. Adapun jikalau Sri Rama itu tiada mengubahkan namanya dan
tiada mau menurut kataku itu sehingga aku lenyapkanlah ia dari dalam dunia ini
supaya diketahui bekas tanganku.” Maka baginda pun menitahkan menteri
menyuruh berlengkap dan berhimpun segala raja-raja dan menteri dan segala
hulubalang, rakyat sekalian yang tiada tepermanai banyaknya itu dan berlengkap
segala senjata dan gajah dan kuda. Setelah suda lengkap sekalian, maka Maharaja
Pusparama pun keluarlah dari dalam kotanya mendapatkan Sri Rama, diiringkan
oleh bala tentaranya yang tiada tepermanai itu dan segala bunyi-bunyian terlalu
‘aẓimat bunyinya, gegap gempita suaranya. Maka Sri Rama pun tahulah akan
Maharaja Pusparama datang hendak berperang dengan dia itu dan marah dengan
dia. Maka kata Sri Rama kepada Laksamana, “Hai, Adinda, bawalah kakanda Sita
Dewi dan segala dayang-dayangnya sekalian kepada suatu tempat biarlah kakanda

46
– HIKAYAT SRI RAMA –

seorang juga berlawan dengan Maharaja Pusparama, tetapi kita tiada salah
kepadanya itu.” Maka Sri Rama pun berdirilah di tengah padang itu serta
memegang anak panahnya yang tiga bilah itu.
Syahdan maka Maharaja Pusparama pun menyuruhkan seorang hulubalangnya,
katanya, “Pergilah engkau, katakan kepada Sri Rama itu jikalau ia hendak berkasih-
kasihan dengan aku dan hendaklah ia mengubah namanya. Adapun yang bernama
demikian itu, hanyalah aku di dalam ‘alam Dunia ini. Dan jikalau tiada juga
menurut seperti kataku ini, niscaya aku lenyapkanlah dari dalam dunia ini dan
57 dirasai/ bekas tanganku.”
Maka hulubalang itu pun pergilah kepada Sri Rama. Maka sekaliannya
disampaikanlah kepada Sri Rama. Maka Sri Rama pun tersenyum-senyum, katanya,
“Hai, Hulubalang. Pergilah tuan hamba sampaikan kepada Maharaja Pusparama itu,
adapun akan nama hamba itu telah dianugrahkan oleh Dewata Mulia Raya dan
tiadalah hamba mau mengubahkan nama hamba ini dan suatu pun tiadalah salah
kepada hamba dan jikalau Maharaja Pusparama hendak menanyai hamba ini
seboleh-bolehnya hamba lawan juga. Jikalau mati sekali dengan nama laki-laki.”
Maka hulubalang itu pun kembalilah kepada Maharaja Pusparama
menyampaikan segala kata Sri Rama itu. Maka baginda pun terlalu marah
mendengar kata Sri Rama itu. Maka lalu ia memecut kudanya mendapatkan Sri
Rama itu, katanya, “Hai, Sri Rama, tiadalah engkau ketahui aku maka engkau
hendak berlawan dengan aku. Jikalau engkau hendak hidup, marilah engkau segera
menyembah kakiku supaya aku lepaskan engkau kembali ke negerimu bertemu
bapamu, Dasarata Maharaja itu, karena terlalu sayang aku melihat rupamu lagipun
engkau kanak-kanak. Dan jikalau tiada juga engkau mau menurut seperti kataku itu,
sekarang rasai bekas tanganku dan anak panahku yang sakti ini.” Setelah Sri Rama
mendengar akan kata Pusparama itu, maka kata Sri Rama, “Hai, Pusparama, tahulah
aku akan raja lagi raja tua dan sakti, tetapi engkau tiada berbudi dan aku tiadalah
malu akan engkau dan tiada mau aku menurut katamu. Maulah aku akan mencobah
gagah beranimu dan sakti. Adapun akan hamba ini suatu tiada salah atau berbuat
angkara kepada tuan hamba itu pun tuan hamba hendak berperang juga akan
mengajukan hamba orang muda dan belum biasa berperang, tetapi seboleh-
bolehnya juga hamba melawan mencobah gagah berani tuan hamba itu.” Setelah
Maharaja Pusparama mendengar kata Sri Rama itu, maka ia pun terlalu marah lalu
dipanahnya. Maka segera ditangkisnya oleh Sri Rama anak panahnya itu kepada
Maharaja Pusparama, maka ia pun ditangkiskannya serta tiada mengenai. Maka
dibalas oleh Sri Rama dipanahnya kepada Maharaja Pusparama, maka ia pun
ditangkiskanya serta tiada mengenai.
Maka lalu dipanah-panahnya kepada Maharaja Pusparama, maka lalu
ditangkiskannya juga, maka seorang pun tiada berkenaan. Daripada tengah hari
sampai malam ia berperang itu, tiada juga ia ada yang beralahan, keduanya sama
58 gagah berani lagi sakti. Maka katanya akan Maharaja/ Pusparama, “Hai, Sri Rama,
berhentilah kita dahulu karena hari pun suda malam, esok hari kita berperang pulak
di sanalah engkau lihat akan saktiku dan segala senjataku dan kesaktian anak
panahku itu. Maka ia lalu kembali dengan segala rakyatnya. Maka Sri Rama pun

47
– HIKAYAT SRI RAMA –

kembalilah mendapatkan Laksamana. Maka Sita Dewi pun terlalu sukacita melihat
Sri Rama datang itu.
Sebermula maka diwartakan oranglah kepada Dasarata Maharaja bahwa Sri
Rama setelah kembali dari negeri Darwati Purwa itu. Sekarang ia hendak berperang
dengan Maharaja Pusparama itu. Setelah baginda mendengar kabar akan anakda
itu, maka baginda pun bertitahh kepada anaknya, perdana, kepada perdana menteri
menyuruh berlengkap karena baginda hendak pergi mendapatkan Sri Rama akan
melarangkan anakda itu jangan berperang dengan Maharaja Pusparama itu karena
ia raja tua, lagi sakti dan amat gagah berani. Setelah suda baginda berlengkap, maka
ia pun keluar dari negeri Mandupuranegara.
Setelah berapa lamanya baginda berjalan, maka ia pun sampailah kepada tempat
Sri Rama berhenti itu. Setelah Sri Rama dan Laksamana melihat ayahanda baginda
itu datang, maka ketiganya pun segera berlari-lari datang menyembah sujud pada
kaki baginda itu. Maka segera dipeluk dicium oleh baginda akan anakda ketiga itu.
Maka titahh baginda, “Hai, Anakku, janganlah engkau berperang kepada Maharaja
Pusparama itu karena ia lagi raja tua dan lagi raja pertapa dan terlalu sakti.” Maka
sembah Sri Rama, “Ya, Tuanku Syah ‘Alam, bahwa sekali-kali tiada mau patik
undur daripada tempat ini jikalau belum ada bertentuan akan pekerjaan patik
dengan Maharaja Pusparama itu karena terlalu malunya rasa patik mendengar
katanya itu dan seperti ia juga seorang laki-laki di dalam Dunia ini dan tiada
membilangkan Duli Sengalam dan tiada memberi upama sekali akan patik. Maka
sebab itulah maka patik hendak mencobah gagah berani dan saktinya. Jikalau tiada
patik mati olehnya, niscaya ialah mati oleh patik.” Maka baginda pun tiada terbicara
lagi olehnya.
Maka terdengarlah kabar Dasarata Maharaja mendapatkan anaknya itu, maka
terdengar kepada Maharaja Pusparama. Maka ia pun terlalu marah. Setelah
keesokkan harinya, maka Maharaja Pusparama pun berjalanlah ke tengah
peperangan kepada padang itu diiringkan oleh segala bala tentaranya yang tiada
59 tepermanai banyaknya itu. Maka ia pun berseru-seru, katanya,/ “Hai, Sri Rama!
Marilah kita berperang! Keluarlah engkau! Akan pada hari ini akan kesuda-sudaan
pekerjaanmu supaya engkau ketahui gagahku dan beraniku dan engkau hendak
membenarkan hatimu tiada tahu akan kadar dirimu itu maka engkau hendak
melawan aku.” Setelah Sri Rama mendengar kata Maharaja Pusparama itu
demikian, maka ia pun menyembah ayahanda. Maka Sri Rama dan Laksamana pun
berjalan ke tengah peperangan kepada padang itu. Maka lalu berdiri memegang
panahnya. Maka Maharaja Pusparama pun datanglah serta dipandangnya kepada
Sri Rama, maka ia pun terlalu marah. Lalu ia bertempik serta ia mengeluarkan anak
panahnya, katanya, “Hai, Sri Rama, baiklah engkau takluk kepada aku dan
menyembah kakiku supaya sentosa dirimu.” Maka kata Sri Rama, “Ṣabarlah
dahulu, apa kehendakmu datangkan kepada aku.” Maka kata Maharaja Pusparama,
“Jikalau demikian, hai, Sri Rama, baiklah engkau tangkiskan anak panahku ini.
Adapun akan panahku itu tiadalah supaya yang dapat akan menangkiskan dia.”
Maka lalu dipanahkannya kepada Sri Rama, maka segera ditangkiskannya oleh
Sri Rama, suatu pun tiada mengenai dia itu. Maka lalu dikeluarkan anak panahnya
yang sakti maka lalu dipanahkannya kepada Sri Rama. Maka keluar api bernyala-

48
– HIKAYAT SRI RAMA –

nyala seperti gunung datang mengusir Sri Rama. Maka Sri Rama pun segera
memanahkan anak panahnya, maka keluarlah hujan terlalu lebat maka api itu pun
padamlah. Maka Maharaja Pusparama pun terlalu sangat marahnya karena anak
panahnya binasa oleh Sri Rama itu. Maka lalu dikeluarkannya sekali lagi anak
panahnya yang sakti itu, lalu dipanahkan kepada Sri Rama. Maka anak panah itu
pun menjadi batu dan gunung beribu-ribu dan berlaksa-laksa datang hendak
menimpa kepada Sri Rama. Maka Sri Rama pun segeralah memanahkan anak
panahnya. Maka keluar angin ribut dan topan terlalu gegak bunyinya dan segala
gunung itu (jatuh) ke dalam laut. Setelah dilihat oleh Maharaja Pusparama
panahnya tewas itu oleh Sri Rama itu, maka ia pun terlalu marah. Maka
dikeluarkannya pula anak panahnya suatu lagi yang diperolehnya daripada
pertapaan. Maka kata [Sri Rama akan] Maharaja Pusparama, “ (Sri Rama ingatlah
engkau) akan menangkiskan anak panahku ini. Adapun anak panah itulah yang
tiada dapat ditangkiskan oleh segala raja-raja di dalam ‘alam Dunia ini.” Maka lalu
dipanahkannya kepada Sri Rama. Maka anak panah itu pun menjadi gunung api
terlalu besar dan banyak serta hendak memenuhi udara, lakunya ia hendak
60 menimpa/ Sri Rama dan Laksamana dan Dasarata Maharaja. Dan setengah menjadi
rasaksa besarnya seperti gunung bulu ramanya pun panjang, dan terangnya seperti
api bernyala-nyala datang mengusir Sri Rama terlalu banyak seolah-olah memenuhi
‘alam ini. Maka Dasarata Maharaja dan Laksamana pun takutlah akan dahsyat ia
melihat gunung api itu seperti akan menimpa lakunya dan melihat rasaksa terlalu
banyak mengusir Sri Rama dengan tempik soraknya seperti guruh dan halintar
seperti bumi akan binasa lakunya. Kata Dasarata Maharaja, “Hai, Anakku Sri
Rama, ke mana kita melepaskan (diri) daripada bahala ini? Baiklah anakku ikut dan
turut daripada kehendak itu Maharaja Pusparama supaya kita lepas daripada bahala
ini dan anakku pun berkasih-kasihan dengan dia dan ia pun rasa besar dan lagi
terlalu amat sakti.” Maka kata (Laksamana), “Ya, Kakanda, benarlah kata Duli
Yang Dipertuan itu, baiklah kakanda turut seperti titahh Syah ‘Alam itu.” Maka
kata Sri Rama, “Ya, Tuanku Sri Maharaja, ṣabarlah dahulu Syah ‘Alam biarlah
patik melawan Maharaja Pusparama itu.” Maka baginda pun tiadalah terkata-kata
melihat lakunya Sri Rama itu.
Setelah demikian, maka Sri Rama pun memegang anak panahnya yang sakti
lalu dipanahkan. Maka keluarlah hujan ribut dan kilat petir halilintar, kilat
sambung-menyambung dengan terlalu amat kerasnya. Maka segala gunung api itu
pun habislah berterbangan ditiup angin dan padamlah. Maka dipanahkannya pula
suatu anak panahnya, maka menjadi ular naga beribu laksa seperti gunung besarnya.
Maka segala rasaksa itu pun habislah ditelan naga itu, tiada lagi tinggal.
Setelah itu oleh Maharaja Pusparama segala senjatanya habis binasa oleh Sri
Rama itu, maka ia pun terlalu heran dan dahsat akan kelakuan itu. Maka kata Sri
Rama, “Hai, Pusparama, manatah lagi senjatamu yang sakti itu. Marilah memberi
kepada aku datangkan sekarang (kepada) aku kemudian pulak aku memberi balas
kepadamu supaya engkau ketahui akan gagahku ini dan beraniku,” seraya
mengeluarkan akan panahnya yang bernama Gandiwati. Maka sembah Gandiwati,
“Ya, Tuanku, Apa kehendak tuanku? Maharaja Pusparama itu patik bunukah ia atau
patik buangkan ke dalam laut atau patik masukkan ke dalam bumi?” Maka kata Sri
Rama itu, “Hai, Gandiwati. Janganlah engkau bunu akan dia itu karena ia raja tua,

49
– HIKAYAT SRI RAMA –

sekadar engkau tunjukkan saktiku ini juga.” Maka lalu dipanahkannya kepada
Maharaja Pusparama maka anak panah itu pun menjadi Raja Naga Pertala Seganda
Dewa. Maka ia pun datanglah mengusir Maharaja Pusparama. Maka apabila dilihat
61 oleh/ Maharaja Pusparama, naga itu terlalu besar datangnya ternganga-nganga
mulutnya itu hendak meealan lakunya. Maka terlalu dahsyatnya dan amat takutnya,
maka lalu ia berlari-lari mengusir ngerinya.
Setelah datang ke pintu kota, maka dilihatnya naga itu ada di pintu kota. Maka
lalu ia naik keindraan, maka dilihatnya naga ada juga di Indraan. Maka lalu ia turun
ke dalam laut, maka dilihatnya naga itu ada di dalam laut. Maka ia pun larilah ke
dalam bumi, maka dilihatnya naga itu ada di dalam bumi. Maka Maharaja
Pusparama pun larilah ke atas bumi, maka oleh anak panah itu lalu diusirnya akan
Maharaja Pusparama ditangkapnya lalu diikatnya, maka lalu dibawanya ke hadapan
Sri Rama. Maka segeralah diwartakan oleh Sri Rama seraya kasihan melihat
Maharaja Pusparama itu orang tua. Maka Maharaja Pusparama pun datanglah
menyembah kaki Sri Rama seraya ia mintak ampun kepada Sri Rama. Maka
dilihatnya tubuh Sri Rama itu seperti air laut yang seperti zamrud yang telah
terupama berkilat-kilat rupanya. Maka Maharaja Pusparama pun tahulah akan Sri
Rama itu asalnya daripada Mahabisnu. Maka di dalam hatinya, ‘Haruslah maka
demikian saktinya, tiadalah sekali terlawan olehku.’ Maka kata Sri Rama, “Hai,
Maharaja Pusparama, akan sekarang apatah lagi kehendak tuan hamba?” Maka kata
Sri Maharaja Pusparama, “Adapun yang salah itu ayahanda juga, ini lebih ampun
tuanku juga kepada hamba dan hamba tiada tahulah akan asal tuan hamba dan gila
apa hamba melawan tuan hamba berperang ini.” Maka kata Sri Rama, “Hai,
Bapaku, Maharaja Pusparama, akan sekarang baiklah tuan hamba kembali ke negeri
tuan hamba, tetapi janganlah tuan hamba lupa akan hamba.” Maharaja Pusparama
pun bermohonlah kepada Sri Rama dan Laksamana dan menyembah kepada
Dasarata Maharaja. Lalu ia kembali ke negerinya Beranta Indra.
Maka Dasarata Maharaja pun kembalilah ke negerinya membawa anakda
baginda ketiga itu dengan sukacitanya melihat anakda gagah perkasa dan pahlawan
dan saktinya dan sangat beraninya anakda baginda itu. Setelah berapa lamanya
berjalan, maka baginda pun sampailah ke negerinya Mandupuranegara. Maka
baginda pun lalu masuk ke istananya membawa anakda baginda itu. Maka Sri Rama
dan Sita Dewi dan Laksamana pun datanglah menyembah bundanya, Tuan Putri
Mandudari, lalu ia meniharap pada kaki bundanya dan baginda. Maka dipeluk dan
dicium oleh Tuan Putri Mandudari akan anakda baginda ketiga itu dengan
62 sukacitanya melihat mantunya/ itu, Tuan Putri Sita Dewi, terlalu baik parasnya.
Maka Tuan Putri Mandudari pun terlalu amat kasih sayangnya akan Sita Dewi.
Seketika pun tiada dapat bercerai melainkan pada tatkala beradu juga. Maka
Berdana Citra(dana) pun datang menyembah kakanda baginda ketiganya itu. Maka
Dasarata Maharaja pun bersuka-sukaan dan segala raja-raja dan hulubalang
sekalian makan dan minum dengan segala bunyi-bunyian. Maka baginda pun
berbicara dengan segala raja-raja hendak merajakan anakda baginda Sri Rama dan
menyuruh memanggil Maharesi Purwa Kesna Indra.
Setelah datang maharesi itu, maka baginda pun datang berdirilah memberi
hormat akan dia, seraya katanya, “Apakah pekerjaan Sri Maharaja memanggil

50
– HIKAYAT SRI RAMA –

hamba ini?” Maka kata baginda, “Adapun hamba hendak merajakan anakda yang
bernama Sri Rama dan tuan hamba seperti mana sudara kepada hamba, maka
hendaklah dengan perintah tuan hamba itu akan mengadap akan anakda itu
sempurna pekerjaan hamba ini dan hendaklah tuan hamba lihat di dalam nujum tuan
hamba.” Maka maharesi itu pun berdiam dirinya itu seketika, maka katanya,
“Adapun di dalam ‘ilmu firasat hamba ini akan anakda Sri Rama itu terlalu baik
sekali ia menjadi raja di dalam negeri ini dan jikalau menjadi raja maka tuan hamba
itu tiada lama di dalam Dunia ini.” Setelah itu maka hidangan pun diangkat orang
ke hadapan segala raja-raja dan menteri dan sida-sida, bintara, biduanda, maka
baginda pun santaplah sehidangan Maharesi Kesna Indra. Setelah suda makan lalu
makan seraya dan memakai bahu-bahuan, maka baginda pun menyuruh perdana
menteri berlengkap dan mengimpunkan segala raja-raja dan menteri hulubalang,
sida, bintara, biduanda, rakyat sekalian haḍir sehingga menantikan hari yang baik
juga itu.
Adapun Sri Rama dan Laksamana pun itu sediakala pergi berburu juga dengan
segala anak raja-raja dan segala hulubalang, maka apa yang diperolehnya itu
dipersembahkan kepada bundanya dan setengah disuruhnya hantarkan kepada
sudaranya dan setengah dibawanya kembali ke istananya dan setengah
dibahagiakannya kepada hulubalang dan menteri, rakyat sekalian. Maka segala
mereka itu melihat budi pekertinya baginda itu terlalu sangat baik dengan tegur
sapanya akan rakyat itu. Maka segala raja-raja dan hulubalang rakyat sekalian pun
terlalu kasihnya akan baginda mesra. Istimewa pula ayahanda baginda jangan
63 dikata lagi terlalu sukacitanya melihat budi pekertinya bunda baginda itu/ dengan
tegur sapanya akan segala hamba sahayanya di dalam itu. Maka baginda pun
menitahkan bintaranya yang bernama Maharama Sura pergi akan menyambut
Perwita Maharesi. Maka bintara itu pun pergilah. Setelah sampai maka sembah
Maharama Sura, “Tuanku dipersilakan oleh maharaja karena ia hendak merajakan
paduka cucunda Sri Rama.” Maka Perwita Maharesi pun terlalu sukacitanya karena
Sri Rama hendak dirajakan oleh baginda itu. Maka ia pun berlengkaplah. Setelah
suda, maka ia pun berjalan ke negeri Mandupuranegara diiringkan oleh maharaja.
Setelah berapa lamanya, maka Perwita Maharesi pun sampailah ke negeri
Mandupuranegara. Lalu ia masuk mendapatkan Dasarata Maharaja. Setelah
baginda melihat Perwita Maharesi datang itu, maka baginda pun segeralah turun
akan mendapatkan maharesi. Setelah datang lalu berpeluk bercium. Setelah itu,
maka didudukkan oleh baginda di atas kursi yang keemasan bertatahkan ratna mutu
manikam berumbai-rumbaikan mutiara. Maka segala maharesi dan brahmana itu
pun duduklah masing-masing dengan tempatnya. Setelah itu, maka hidengan pun
diangkat orang. Maka baginda pun santaplah sehidangan Perwita Maharesi maka
Sri Rama dan Laksamana pun makanlah sehidangan. Maka Berdana Citra (dana)
makanlah dua bersudara. Maka segala raja-raja makan samanya raja, dan menteri
makan samanya menteri, dan hulubalang makan samanya hulubalang, dan rakyat
pun samanya rakyatnya.
Setelah suda makan, kata Perwasat Maharasi kepada segala brahmana yang
banyak itu, “Adapun anak raja ini, jikalau ia menjadi raja bukan barang-barang
baiknya dan jika keluar dari negeri ini maka Berdana Citradana jadi raja.” Maka
Perwita Maharesi berkata kepada Dasarata Maharaja, “Adapun yang hamba dengar

51
– HIKAYAT SRI RAMA –

Sri Maharaja berjanji hendak merajakan Berdana Citradana juga di dalam negeri
ini.” Maka kata Dasarata Maharaja, “Adapun akan janji hamba demikian, tetapi
suda hamba akan pintak kepada Baliadari.” Maka pada masa itu si Bungkuk pun
adalah duduk di bawa mendengar baginda berkata-kata dengan Perwita Maharesi,
maka ia pun segera masuk ke dalam. Maka sembahnya kepada Baliadari, “Mengapa
tuan putri tiada menuntut akan perjanjian Sri Maharaja itu dengan tuan putri?”
Maka kata Baliadari, “Hai, Bungkuk, biarlah Sri Rama menjadi raja karena ia anak
yang tua.”
Setelah keesokkan harinya maka si Bungkuk pun datang pulak, seraya katanya,
64 “Mengapa tuan/ putri berdiam dirinya? Adapun akan Sri Rama itu esoklah akan
menjadi raja kerajaan kelak di dalam negeri ini. Akan ananda Berdana Citra(dana)
niscaya tiada berguna kepada segala menteri dan tuan putri pun tiada juga berguna
lagi kepada segala rakyat dan hulubalang dan yang muliakan hanya bunda Sri Rama
juga karena anaknya menjadi raja. Maka kata Baliadari, “Hai, Bungkuk, adapun
pada bicaraku jikalau Sri Rama itu menjadi raja dapat juga anak kerajaan.” Maka
kata si Bungkuk, “Patik dengar Paduka Sri Maharaja adalah perjanjian dengan
tuanku hendak merajakan ananda kedua itu. Baiklah tuan hamba tuntut kepada Sri
Maharaja karena baginda itu raja bangsawan lagi artawan dan dermawan lagi
budiman, tiada akan baginda itu mau mengubahkan namanya dan janjinya.”
Setelah Baliadari mendengar kata si Bungkuk demikian, maka ia pun pikir di dalam
hatinya, ‘Benarlah kata si Bungkuk ini.’ Maka ia lalu berjalan mengadap baginda.
Maka ketika baginda pun lagi duduk seorang dirinya, maka Baliadari pun datang
seraya menyembah katanya, “Ya, Tuanku Sri Maharaja, patik mohonkan ampun
dan karunia di bawa Duli Cerpu Sri Maharaja. Adapun akan menjadi Syah ‘Alam
hendak merajakan anak patik Berdana Citradana di dalam negeri ini. Akan sekarang
mengapa paduka tuan hendak merajakan paduka ananda Sri Rama itu?” Setelah
baginda mendengar sembah Baliadari itu, maka baginda pun diamlah seketika
dengan dukacita hatinya. Maka titahh baginda, “Adapun akan perjanjianku itu
tiadalah aku mengubahkan akan dia.” Maka baginda pun mengambil kain lalu
baginda berselubung dengan dukacitanya, tiadalah terbicara akan pada hatinya.
Maka Baliadari pun keluarlah duduk di muka pintu mengadap, ia takut akan
segala raja-raja dan menteri datang akan mengadap baginda itu. Kalau-kalau ia
datang, maka Baliadari pun menyuruh dayangnya empat orang, katanya, “Pergilah
engkau sekalian kepada Sri Rama. Katakan olehmu disilakan oleh Sri Maharaja.”
Maka keempat dayang-dayang itupun pergilah kepada Sri Rama, maka sembahnya,
“Tuanku dipersilakan oleh ayahanda.” Maka baginda pun segeralah berangkat lalu
berjalan. Setelah datang ke pintu istana, maka ia bertemulah dengan Baliadari,
maka kata Baliadari, “Janganlah tuan masuk dahulu karena ayahanda lagi beradu.
Adapun akan pesan Paduka ayahanda kepada patik, katakan kepada anakku Sri
Rama itu tiadalah ia akan jadi raja di dalam kerajaan di dalam negeri ini”/
65 Setelah Sri Rama mendengarkan kata Baliadari itu demikian, maka ia pun terlalu
sukacita hatinya. Maka kata Sri Rama, “Hai, Ibuku, bahwa hamba pun terlalu suka
sekali melihat sudara hamba akan jadi raja kerajaan di dalam negeri ini karena
hamba pun lagi hendak pergi bertapa juga menjadi maharesi. Adapun yang
kehendak hamba akan negeri ini setelah hamba berikanlah kepada sudara hamba

52
– HIKAYAT SRI RAMA –

Berdana Citradana.” Maka Sri Rama pun lalu kembali ke rumahnya hendak pergi
bertapa.
Maka kepada hari itu genaplah empat belas hari bulan. Adapun akan Perwita
Maharesi telah ia melihat Dasarata Maharaja tiada keluar karena pada hari itulah
genap pada bilangan hari yang baik, maka ia pun segeralah berangkat, lalu masuk
ke dalam istana. Maka lalu bertemu dengan Baliadari, maka kata Baliadari,
“Janganlah tuan hamba masuk karena baginda lagi beradu. Jikalau apa sekalipun
kehendak raja-raja dan menteri akan titahh baginda disuruh mengerjakan dia.”
Setelah Perwita Maharesi mendengar kata Baliadari, maka Perwita Maharesi pun
terlalu marah seraya katanya, “Hai, perempuan celaka yang hendak membunu laki-
lakiku ini tiadalah engkau memberi masuk.” Maka lalu ia berjalan masuk ke dalam
istana mendapatkan baginda, maka dilihatnya baginda lagi beradu. Maka oleh
Perwita Maharesi itu pun segeralah dibangunkannya, maka baginda pun
[beradulah] bangunlah daripada beradu itu, lalu duduk.
Maka kata Perwita Maharesi, “Mengapakah tuan hamba alfa pekerjaan ini
karena ketikanya pun suda sampai?” Maka kata Dasarata Maharaja, “Hai,
Sudaraku, akan sekarang ini tiadalah Sri Rama itu menjadi raja kerajaan di dalam
negeri ini karena hamba telah berjanji kepada Baliadari tatkala hamba lagi kesakitan
akan sakit barah dahulu itu hamba hendak merajakan anaknya, Berdana Citradana,
di dalam negeri ini.” Setelah maharasi mendengar kata Dasarata Maharaja itu
demikian, maka dilihatnya Baliadari mengadap baginda. Maka kata Perwita
Maharesi, “Hai, Baliadari, tiadalah perempuan yang seperti engkau ini, tiada sekali-
kali takut setia ini. Dan jikalau anaknya menjadi raja kerajaan di dalam negeri ini,
niscaya Sri Rama keluar ini dari negeri ini mengikut menjadi maharesi. Adapun di
dalam nujum dan firasat kami segala maharesi dan brahmana, jikalau Sri Rama
keluar dari negeri ini, niscaya Dasarata Maharaja mayitlah ia dengan seketika itu
juga, tiadalah sempat berpesan lagi. Adapun yang Sri Rama itu akan kehendaknya
66 akan menjadi maharesi juga.”/ Maka Perwita Maharesi pun lalu keluarlah dari
dalam istana.
Adapun akan segala raja-raja dan menteri hulubalang dan segala biduanda dan
segala rakyat hina-dina, kecil dan besar sekaliannya telah haḍirlah masy’if masing-
masing dengan sapanya, dan segala gajah kuda pun lengkaplah dengan segala
perhiasannya, dan segala perarakan pun sedialah, dan payung kerajaan yang
bermuliakan intan pun sedialah terkembanglah, dan jogan kerajaan daripada
mutiara dikarang pun terdirilah.
Setelah raja melihat maharesi datang dengan seorang dirinya itu, maka segala
raja-raja pun berkata dan menteri, “Ya, Tuanku. Mengapa duli melambatkan
pekerjaan ini karena ketika pun telah sampailah?” Maka kata Perwita Maharesi,
“Hai, Tuan-tuan sekalian, bahwa sekarang kamu beroleh dukacita sebab kematian
raja kamu.” Setelah menteri hulubalang mendengar kata demikian, maka sekalian
itu pun heran seperti dengan dukacitanya. Maka sembah segala mereka itu,
“Apakah sebabnya maka tuanku bertitahh demikian? Dan apalah kepada
penglihatan tuanku, katakan pula kepada hamba sekalian ini.” Maka kata Perwita
Maharesi, “Adapun akan sekarang bahwa Sri Rama tiada mau ia menjadi raja di
dalam negeri ini, adapun yang jadi raja kerajaan Berdana dan Citradana. Maka

53
– HIKAYAT SRI RAMA –

sebab itulah hamba berkata demikian karena di dalam nujum dan firasat kami segala
maharesi dan brahmana yang tua, apabila Sri Rama ke luar dari negeri ini, niscaya
maharaja pun matilah dengan seketika itu juga.” Maka segala menteri-menteri dan
hulubalang rakyat sekalian pun berkata, “Adapun kami sekalian ini, jikalau Sri
Rama tiada menjadi raja di dalam negeri ini, yang kami sekaliannya tiadalah kami
suka apa kehendaknya Berdana dan Citradana. Barang ke mana tuan kami, Sri
Rama, pergi itu kami sekaliannya mengikutlah dengan anak bini kami bawalah.”
Sebermula maka Sri Rama pun masuk ke dalam istana mendapatkan ayahanda
baginda. Setelah datang, maka ia lalu sujud pada kaki baginda dan bunda, maka
dipeluk dan dicium oleh bundanya, lalu ditangisinya akan anakda baginda itu. Maka
Sita Dewi pun menangis seraya menyembah kepada bunda baginda, maka kata
Tuan Putri Mandudari, “Janganlah tuan meninggalkan bunda dan apatah jadinya
bunda ditinggal tuan. Patik pun tiada mau tinggal mati hidup patik hendak bersama-
sama juga dengan paduka anakda itu.” Setelah tuan putri mendengar kata Putri Sita
Dewi itu, maka mungkin bebal hatinya dan tiadalah terkata-kata lagi dengan
dukacitanya. Maka Sri Rama dan Sita Dewi pun menyembah kaki bundanya dan
ayahanda baginda, lalu ia naik ke atas ratanya./
67 Setelah dilihat oleh Sri Rama dan Laksamana kakanda hendak pergi itu, maka
ia lalu berguling-guling menangis kepada kaki bundanya baginda dan kakanda Sri
Rama, katanya, “Tiadalah aku mau bercerai dengan kakanda itu.” Maka berapa
dibujuknya oleh bundanya, tiada juga ia mau tinggal mati hidup hendak pergi juga.
Maka tuan putri pun pikir di dalam hatinya, ‘Baiklah ia pergi dengan sudaranya.
Jikalau ia tinggal pun tiadalah menjadi raja.’ Maka kata Sri Rama, “Hai, Adinda
Laksamana, marilah adinda pergi dengan kakanda. Jikalau adinda tinggal pun tiada
juga menjadi raja di dalam negeri ini.” Setelah Laksamana mendengar kata Sri
Rama itu, maka ia pun lalu meninggalkan segala pakaian kerajaan dan
meninggalkan pintunya yang bernaga itu dan memberikan makotanya kepada
bundanya. Maka lalu ia sujud pada bundanya, maka oleh bunda baginda lalu
dipeluknya dan diciumnya akan anakda ketiga itu serta dengan airmatanya. Maka
Sri Rama dan Laksamana dan Sita Dewi pun bermohonlah kepada bunda baginda,
lalu ia naik ke atas ratanya, lalu ia berjalan keluar.
Setelah dilihat oleh Maharama Sura akan Sri Rama dan Laksamana berjalan itu,
maka ia pun segeralah pergi mengikut. Maka segala raja-raja dan segala menteri
dan hulubalang, sida-sida, biduanda, rakyat sekalian pun berjalanlah mengikut Sri
Rama dan anak istrinya, katanya, “Ya, Tuanku. Janganlah patik sekalian
ditinggalkan. Jikalau mati-hidup patik di bawa Duli Tuanku juga.” Maka Sri Rama
pun tiadalah terkata-kata lagi, maka lalu ia berjalan keluar dari negeri itu. Maka
orang pun gemparlah sekalian pun menangis takut tiada sempat mengikut Sri Rama
itu. Maka Tuan Putri Mandudari dan Baliadari pun terkejutlah, seraya ia menangis
melihat baginda itu sekonyong-sekonyong hilang, tiada dengan suatu sebab dan
suatu pun tiada sakit. Maka baginda pun sekonyong-sekonyong mati dengan
seketika itu juga. Maka turun Putri Mandudari pun menyuruhkan dayangnya empat
orang segera pergi memberi tahu kepada Sri Rama dan Laksamana. Maka dayang-
dayang empat orang itu pun berjalanlah segera.
Setelah datang keluar pintu kota, maka lalu ia bertemu dengan Sri Rama dan
Laksamana. Maka sembahnya itu, “Tuanku dipersilakan oleh paduka bunda

54
– HIKAYAT SRI RAMA –

melihati paduka ayahanda suda hilang.” Setelah Sri Rama mendengar sembah
dayang-dayang itu maka katanya, “Hai, Dayang-dayang, kembalilah engkau
katakan sembaku ke bawa hadirat Duli Cerpu paduka bunda dan tiadalah aku
68 kembali lagi karena aku hendak bangat pergi/ ke gunung bertapa. Adapun akan
mayit paduka ayahanda itu, adinda kedua akan mengerjakannya akan dia itu. Itu
pun akan mayit paduka ayahanda itu patik serahkanlah kepada Dewata Mulia
Raya.” Maka dayang-dayang itu pun menyembah, lalu segera kembali.
Setelah dayang ke istana maka segala pesan Sri Rama itu disampaikannya
kepada tuan putri. Maka tuan putri pun mangkin sangat menangis karena
hulubalang Sri Rama dan Laksamana maka tiadalah ia mau kembali, terlalu
dukacita hatinya. Maka bunyi tangis orang di dalam istana itu pun menderu seperti
ombak mengalun di pintu. Maka segala raja-raja dan menteri dan segala hulubalang
pun datanglah keluar kota mendapatkan Sri Rama, maka sembah segala menteri
yang tua-tua itu, “Ya, Tuanku Syah ‘Alam, patik mohonkan ampun di bawa Cerpu
Tuanku. Jikalau kiranya dapat dengan karunia tuanku, baik juga Yang Dipertuan
kembali dahulu ke dalam negeri akan melihati mayit paduka ayahanda Sri Maharaja
dan menentukan adinda kedua itu.” Maka titahh Sri Rama, “Hai, Bapakku sekalian
dan segala sudaraku, adapun akan hamba ini tiada lagi kembali karena hamba
hendak bangat akan pergi bertapa.”
Setelah demikian maka hari pun malam, maka pikir Sri Rama, ‘Jikalau aku pergi
membawa rakyat banyak ini, niscaya tiada sampai akan hendak hatiku ini.’ Maka
baginda pun diamlah menantikan orang sunyi tidur. Setelah harilah jauh malam,
maka segala rakyat pun habis tidur sekalian. Maka baginda pun segeralah
membangunkan Laksamana dan Sita Dewi, seraya katanya, “Marilah kita berjalan
pada tengah malam ini supaya jangan diikut oleh segala rakyat.” Maka rata
kenaikkan baginda pun disuruh oleh baginda kembali masuk ke dalam negeri. Maka
Sri Rama pun berjalanlah masuk hutan rimba belantara yang tiada berketahuan itu.
Setelah hari siang, maka dilihatnya orang banyak baginda itu telah tiada. Maka
akan dilihatnya rata baginda masuk ke negeri, maka segala raja-raja dan menteri
hulubalang sekalian pun terlalu sukacita hatinya, seraya katanya, “Marilah kita
sekalian masuk karena tuan kita Sri Rama suda masuk ke dalam negeri.” Maka
segala mereka itu pun berjalanlah masuk ke dalam negeri, maka dilihatnya baginda
itu tiada sehingga rata baginda juga yang masuk. Maka segala mereka itu pun terlalu
sangat dukacitanya, maka lalu ia masuk mengadap Tuan Putri Mandudari hendak
69 mendengarkan titahh tuan putri itu. Maka kata tuan putri,/ “Hai, Tuan-tuan sekalian,
adapun akan aku ini tiada empunya bicara lagi, pergilah tuan-tuan sekalian kepada
Baliadari dan kepada Berdana dan Citradana yang empunya perintah di dalam
negeri ini karena bukannya anak hamba yang menjadi raja di dalam negeri ini.”
Maka sembah segala raja-raja itu, “Ya, Tuanku, tuan putri. Jikalau tuanku tiada
bertitahh kepada kami sekalian ini, bahwa kami sekalian mengerjakan barang
sesuatu yang disuruhkan oleh Berdana Citradana itu seolah-olah darhakalah kami
sekalian.”
Setelah Putri Mandudari mendengar kata segala raja-raja dan menteri dan
hulubalang demikian itu, maka kata Putri Mandudari, “Hai, Tuan-tuan sekalian,
banyaklah sabar dahulu. Jikalau apa-apa tuan kehendak, tuan sekalian nantilah

55
– HIKAYAT SRI RAMA –

kemudian.” Jikalau sudalah perintah, maka tuan putri pun segeralah menyuruh
memanggil Perwita Maharesi kelak di istana (me)merintahkan baginda itu. Maka
Perwita Maharesi pun masuklah ke istana memerintahkan mayit baginda itu, maka
Perwita Maharesi pun masuklah dengan Maharama Sura dan segala permenteri
yang besar-besar dan brahmana. Maka Perwita Maharesi pun menyuruhkan
mengerjakan segala raja-raja dan segala menteri yang besar-besar dan brahmana
dan menyuruhkan segala menteri yang tua-tua berbuatkan dia emas bertatahkan
ratna mutu manikam. Maka Maharama Sura pun menggerahkan segala menteri
berbuat keranda.
Setelah sudalah maka lalu dibawanya masuk ke istana. Maka oleh Perwita
Maharesi dengan empat orang brahmana. Maka dipujanya mayit Dasarata Maharaja
itu, maka dimandikannya dengan air mawar dan dibubuhnya kelambak dan
narwastu dan kuma-kuma dan ‘ambar. Setelah suda, maka lalu dimasukkannya ke
dalam keranda emas itu. Di keranda itu pun ditaruhnya di atas maligai. Setelah suda,
maka kata Perwita Maharesi, “Berdana Citradana adapun sekarang ini siapakah
menjadi raja di dalam negeri ini supaya segeralah kita mengerjakan mayit ayahanda
ini? Adapun membakar itu segala raja-raja yang tua-tua itu tiadalah dapat barang
orang. Jikalau ada raja yang berbangsa menanggung buyung berisi tulang raja ini,
adapun Dasarata Maharaja ini raja besar lagi berbangsa lagi raja tua. Sungguhpun
Berdana Citradana anak kepada baginda karena ia anak kepadanya lagi anak yang
muda. Adapun Sri Rama itu anak istrinya yang tua, seperkaranya Citradana menjadi
70 raja, ia sekalipun tiadalah/ dapat mengerjakan mayit baginda itu.”
Setelah Berdana Citradana mendengar kata Perwita Maharesi itu, maka kata
Berdana Citradana, “Ya, Banua Datu. Jikalau dapat kiranya mohonkan hamba
jangan naik raja-raja di dalam negeri ini. Jikalau hamba belum mendengar titahh
Yang Dipertuan Sri Rama itu, sekali-kali hamba tiada mau naik raja. Adapun negeri
ini tuanku Sri Rama juga yang empunya dan jikalau barang di mana ada kabarnya
tuanku Sri Rama itu hamba hendak dapatkan anakku juga dan hamba sembahkan
juga negeri ini kepadanya dan di mana titahhnya di sanalah hamba dan di mana
pekerjaan yang diserahkan hamba kerjakan.” Setelah Perwita Maharesi mendengar
kata Berdana Citradana itu, maka terlalu sukacita hatinya, seraya katanya, “Hai,
Anakku Berdana Citradana, bahwa sungguhlah besar raja bangsawan lagi artawan
dan budiman lagi dermawan demikianlah bicaramu dan anakku menjadi raja di
dalam negeri ini. Maka hendak sebab dengan raja itu barang negeri dan
mengajarnya engkau turut pada yang kebajikan itu karena ia.” Maka segala raja-
raja dan menteri dan hulubalang rakyat sekalian pun terlalu suka mendengar kata
Perwita Maharesi itu, maka kata Berdana Citradana kepada Perwita Maharesi,
“Adapun akan hamba, yang mana bicara kehendak tuanku itu hamba kerjakan
karena hamba ini orang muda belum tahu kepada ‘akal bicara.” Maka lalu ia berkata
kepada maharaja menyuruhkan empat orang penghulu dengan seribu rakyat peri
mencari Sri Rama kepada segenap negeri dan segenap tempat bertanyakan kabar
Sri Rama itu. Maka Perwita Maharesi pun bermohonlah kepada Tuan Putri
Mandudari dan Baliadari dan kepada Berdana Citradana, seraya katanya, “Hai,
Anakku kedua lupa akan Sri Rama dan Laksamana seraya itu sudaramu yang tua,
ialah akan ganti ayahanda baginda.”

56
– HIKAYAT SRI RAMA –

Maka Berdana Citradana pun sujud pada kaki maharesi itu, maka disuruhnya
segala raja-raja kepada baginda itu mengantar Perwita Maharesi pun kembalilah ke
negerinya serta berkata kepada segala raja dan menteri dan hulubalang itu, “Hai,
segala hulubalang sudaraku sekalian, adapun akan Citradana itu pitaruhkulah akan
tuan sekalian. Jikalau ada salahnya, tuanku tegur dan ajari oleh tuan sekalian dan
jangan dilainkan karena ia orang muda belum sampai kepada budi bicara.” Maka
Maharaja Sura dan segala raja-raja dan hulubalang pun bermohonlah, lalu kembali
ke negerinya Mandupuranegara. Maka Berdana dan Citradana pergilah dengan/
71 murahnya dan tegur sapanya kepada segala menteri itu dan sediakala ia akan
menyuruhkan bertanyakan warta Sri Rama kepada segala negeri dan berlengkap
akan membakar mayit ayahanda baginda. Maka Tuan Putri Mandudari pun
sediakala memberi dirham kepada brahmana dan kepada segala miskin di dalam
negeri itu dan sediakala dengan dukacitanya akan paduka anakda itu ketiga itu.
Alkisah maka tersebutlah perkataan Sri Rama dan Laksamana berjalan di dalam
hutan belantara itu tiadalah berketahuan. Setelah berapa lamanya, maka ia pun
bertemulah dengan suatu dusun Maharesi Anggasa Dewa namanya dan muridnya
pun ada empat ratus orang sertanya duduk pada dusun itu. Maka Sri Rama dan
Laksamana pun datanglah. Setelah dilihat oleh Anggasa Dewa akan Sri Rama itu,
maka kata Sri Rama, “Adapun maka hamba datang ini hendak bertanya di mana
tempat menjadi maharesi?” Maka kata Maharesi Anggasa Dewa itu, “Jikalau
tuanku hendak bertapa, baiklah di sini bersama-sama hamba.” Maka kata Sri Rama,
“Adapun yang kasih tuan hamba itu sampailah hamba menerima dia, tetapi hamba
hendak jauh sekali daripada orang banyak ini.” Maka oleh Maharesi itu
diperjamunya akan Sri Rama dan Laksamana akan Sita Dewi makan buah-buahan
isi dusun itu.
Setelah keesokkan harinya dari pagi-pagi hari, maka Sri Rama pun
bermohonlah kepada Maharesi Anggasa Dewa itu, maka kata Maharesi Anggasa
Dewa itu, “Jikalau tuanku hendak bertemu kepada maharesi yang sakti, turutlah
jalan yang kanan maka segeralah tuan bertemu.” Maka Sri Rama pun berjalanlah
tiga orang itu. Berapa melalui hutan rimba belantara yang tiadalah berketahuan itu.
Tiada berapa lamanya, maka ia pun sampailah ke dalam hutan Cindra Puspa
namanya. Maka dilihatnya ada suatu sungai terlalu amat luasnya dan tiadalah
titiannya akan menyeberang itu, maka kata Sri Rama, “Hai, Adinda Laksamana.
Jikalau kita lambat menyeberang ini kalau-kalau kita didapatinya oleh segala raja-
raja dan menteri mengikut kita itu, banyaklah kerah kita menyeberang dari sini
supaya kita lepas daripadanya.” Maka kata Laksamana, “Apa ‘akal kita
menyeberang sungai ini?” Maka kata Sri Rama, “Adapun kakanda hendak
memanahkan Gandi Dewata ini akan titian kita menyeberang sungai ini.” Maka
kata Laksamana, “Benarlah seperti kata tuanku itu.” Maka Sri Rama pun
mengeluarkan anak panahnya, maka kata Sri Rama, “Hai, Gandi Dewata, pergilah
72 engkau aku/ panahkan ke seberang sungai ini. Matamu lekatkan kepada tebing
seberang itu, kakimu lekatkan di sini.” Maka lalu dipanahkan oleh Sri Rama itu,
maka anak panah itu pun menjadi seperti pagar dan matanya lekat ke seberang
sungai itu dan kakinya itu lekat di sini. Maka Sri Rama dan Laksamana dan Sita
Dewi pun berjalanlah di atas anak panah itu. Setelah datang seberang maka
diambilnya anak panahnya, maka lalu berjalan.

57
– HIKAYAT SRI RAMA –

Berapa lamanya berjalan itu, maka ia pun sampailah dan bertemulah dengan
sebuah gunung terlalu besar seperti akan sampai ke langit tingginya. Maka
dilihatnya oleh baginda terlalu banyak rumah di bawanya gunung itu. Seketika itu,
maka seorang lalu pergi ke sungai akan mengambil ikan. Setelah dilihatnya akan
Sri Rama dan Laksamana dan Sita Dewi, maka ia pun heranlah tercengang-
cengang. Seketika maka ia lalu datang mendapatkan Sri Rama, katanya, “Hai,
Orang muda, di mana tuan hamba dan hendak ke mana tuan?” Maka kata Sri Rama,
“Adapun nama hamba Sri Rama dan seorang ini sudara hamba, Laksamana
namanya, dan seorang istri hamba.” Setelah ia mendengar anak Dasarata Maharaja
itu, maka ia pun sujud, lalu menyembah kaki Sri Rama. Maka kata Sri Rama, “Apa
nama gunung ini dan kampung ini apalah namanya penghulunya?” Maka sembah
orang itu, “Adapun akan penghulu kami ini Kikukan namanya dan perahu pelang
dan pukat di dalam benua ini selaksa banyaknya sekalian Kikukanlah yang
memegang dia.” Maka kata Sri Rama, “Pergilah beritahu kepadanya bahwa aku
datang ini hendak bertemu dengan dia.” Maka orang itu pun pergilah memberi tahu
kepada Kikukan, katanya, “Ya, Penghulu kami, bahwa adalah hamba bertemu
dengan tiga orang; dan dua orang laki-laki dan seorang itu perempuan terlalu elok
rupanya dan mengatakan namanya itu Sri Rama dan yang seorang itu Laksamana
namanya. Adapun yang perempuan itu istrinya terlalu elok parasnya itu.” Setelah
Kikukan mendengar sembah sakainya itu demikian maka ia pun segeralah pergi
dengan segala hambanya dan sahayanya segala sakainya.
Setelah datang ke hadapan Sri Rama, maka lalu ia sujud di kaki Sri Rama. Maka
oleh Sri Rama sangat dipermuliakannya. Maka sembah Kikukan, “Apakah untung
hamba ini maka tuan datang ke tempat hamba ini?” Maka istrinya dipermulianya.
Maka sembah Kikukan, “Apakah untung hamba ini maka tuan datang ke tempat
hamba ini sekalian?” Maka istri Kikukan yang bernama Ranisuri itupun datanglah
73 ke istananya/ Sita Dewi dengan segala hamba sahayanya, maka lalu dibawanya Sri
Rama dan Laksamana dan Sita Dewi ke rumahnya. Lalu didudukkan di atas putaran
yang keemasan. Maka Kikukan laki-istri pun duduklah mengadap Sri Rama dan
Sita Dewi itu. Maka sembahnya, ”Ya, tuanku, adapun akan hamba ini sedia hamba
juga ke bawa duli paduka neneda Dasarata Maharaja Cakrawati. Adapun sekali
peristiwa hamba pergi memukat pada sungai ini dengan segala hamba sahaya
melabukan pukat kepada kuala sungai ini, maka kepiasan tiga ekor ikan terlalu
besar. Maka hambamu hendak naikkan ke perahu tiadalah boleh. Maka hambamu
jerat dengan tali besar maka bantai, dan hambamu belah perutnya, dan hambamu
lihat di dalam perut ikan itu ada suatu batu empat persegi dan lebarnya empat depa
dan tebalnya tiga hasta. Maka hambamu pikir, ‘Adapun akan ini bukannya batu di
dalam laut akan batu ini dibuangkan oleh orang juga.’ Maka hambamu lihat ada
suratnya. Maka datanglah seorang hamba sahayamu hendak mengasahkan
pedangnya kepada batu itu dan ia pun tahulah membaca surat. Maka lalu dibacanya
surat batu itu demikian bunyinya, “Adapun batu emas yang dibuangkan akan ke
dalam laut ini kepada suatu kelak beroleh kepada anak cucunya juga dan hendaklah
dibahagikan sahayanya kepada segala fakir dan miskin dan yang tiga bahagi ini
akan dia.” Setelah hamba mendengar bunyi surat batu itu, maka hambamu pun
terlalu sukacitanya. Maka hambamu di rumahnya akan yang sahayanya itu kepada
segala fakir dan miskin dan tiga bahagi itu kepada hambamu. Dan jikalau orang ada
hendak duduk bersama-sama hambamu ini, maka hamba berilah tempat dan

58
– HIKAYAT SRI RAMA –

hambamu to(lo)ngilah akan dia. Akan sekarang, baiklah Yang Dipertuan menjadi
raja di sini karena hamba sekalian ini pun sedia juga ke bawa duli tuanku.” Maka
kata Sri Rama, “Adapun akan kasih bapa dan ibu itu sampailah, jikalau hamba
hendak menjadi raja di negeri ini hanyalah. Adapun akan sekarang hamba hendak
bertapa juga menjadi maharesi.”
Maka Kikukan pun berjamu akan baginda ketiga itu makan dengan sepertinya.
Maka Sri Rama ketiga bersudara pun duduklah pada tempat itu. Maka Kikukan pun
tiadalah taksir lagi akan meliharakan Sri Rama ketiga bersudara itu dengan
hormatnya dipermulianya. Adapun Mamirani Suri pun tiadalah taksir ia berbuat
74 kebaktian akan Sita Dewi. Sediakala dibawanya bermain-main/ ke laut dengan
segala perempuan pergi mengiringkan tuan putri dan istri Kikukan.
Setelah berapa lamanya baginda duduk pada tempat Kikukan itu, maka baginda
pun bermohonlah kepada Kikukan dua laki istri. Maka Kikukan pun sujudlah pada
kaki Maharaja Sri Rama dan Laksamana dan Sita Dewi, pun berpeluk dan bercium
dengan Mirani Suri dan bertangis-tangisan. Maka kata Sri Rama, “Hai, Bapaku,
adapun jikalau telah hamba berdapat hamba duduk ditasir hamba, niscaya hamba
suruh jemputi bapaku dan ibuku.” Maka Sri Rama dan Laksamana dan Sita Dewi
pun berjalanlah masuk hutan rimba belantara tiadalah berketahuan. Tiadalah berapa
lamanya melalui gunung dan bukit yang tinggi-tinggi dan berapa melalui gunung
yang luas-luas. Tiadalah berapa lamanya, maka ia pun sampailah kepada tempat
seorang maharesi bernama Wirata Sakti dan muridnya delapan.
Maka pada ketika itu Maharesi Wirata Sakti pun takutlah memuja Barata
dengan segala bunyi-bunyian dan meranguni pun ramai ber(bu)nyi sendirinya.
Maka oleh Sri Rama, [hai] Sita Dewi dan Laksamana (ditinggalkannya) dengan
suatu anak panahnya yang bernama Purwa Gandi kepada satu tempat itu menunggui
suami Sita Dewi. Maka Sri Rama pun kepada Maharesi Wirata Sakti memuja itu
melihat segala maharesi memuja dan berbagai lakunya bait dan masing-masing
kepada tahunya dan masing-masing ‘ilmunya terlalu ‘azimat bait. Dan maka oleh
Sri Rama dibuati suatu syarat, maka segala bunyi-bunyian pun habislah sunyi, tiada
berbunyi dan segala maharesi pun di dalam tiadalah keluar dan suara laki-laki.
Maka segala maharesi itu pun heranlah melihat hal itu.
Maka Maharesi Wirata Sakti pun tahulah akan Sri Rama dan Laksamana datang
kepada tempatnya itu. Maka ia pun segeralah keluar mendapatkan Sri Rama. Lalu
dipegangnya tangan Sri Rama, lalu dibawanya duduk bersama-sama, katanya, “Hai,
Anakku Sri Rama, apa sebab maka di bawa ini?” seraya katanya, “Hai, Anakku Sri
Rama maka adalah sebabnya maka anaknya malukan dirimu demikian itu?
Tiadakah tuan hamba menjadi raja di dalam negeri Mandupuranegara
menggantikan paduka adinda baginda, maka adindanya serupa ini?” Setelah Sri
Rama mendengar kata Maharesi Wirata Sakti demikian itu, maka Sri Rama pun
tersenyum-senyum, seraya katanya, “Siapalah tuanku ini dan berapalah lamanya
suda tuanku bertapa ini?” Maka katanya Maharesi Wirata Sakti, “Setelah tujuh ratus
75 tahun hamba bertapa di sini/ dan hambalah sudara Maharesi Sepangar dan yang
tengah. Adapun neneda Cakrawati itu sama tuanya dengan hamba ini dan sudara
hamba Maharesi Begawan Katama dengan Dasarata Raman itu sama tuanya. Itu
hamba tahu akan tuan hamba dan asal tuan hamba telah tahulah.” Maka kata Sri

59
– HIKAYAT SRI RAMA –

Rama, “Adapun akan hamba hendak bertapa juga, tetapi kepada tempat yang tiada
sampai manusia, di sanalah hamba hendak bertapa.” Maka kata Maharesi Wirata
Sakti, “Jikalau engkau anakku hendak bertapa, banyaklah di sini karena anakku
hanyalah seorang bertapa. Betapa hal anakku.” Maka kata Sri Rama, “Adapun
hamba kemari ini tiga bersudara dengan adinda yang perempuan hamba bawa.”
Maka kata Maharesi Wirata Sakti, “Setelah tuan tinggalkan adinda itu tiadalah
bawa kemari.” Maka kata Sri Rama, “Ya, Tuanku, hamba tiadalah tahu akan dusun
ini tempat tuanku itulah, maka hamba tinggalkan adinda itu dengan Laksmana.”
Maka kata Maharesi Wirata Sakti, “Baiklah anakku ada adinda itu kemari.” Maka
kata tuan (Wirata Sakti), “Pergilah panggil adinda itu.”
Maka Sri Rama pun memanggil adinda Laksamana dan Sita Dewi ke ruma
Maharesi Wirata Sakti itu. Maka segala bunyi-bunyian yang tiada terbunyi itu pun
baharulah berbedalah dan segala maharesi itu dan brahmana yang tiadalah keluar
suaranya membaca itu pun baharulah bersuara. Maka Maharesi Wirata Sakti pun
keluarlah pada tempat memuja itu. Lalu ia berjalan ke rumahnya. Maka Sri Rama
pun memberi ‘isarat kepada Laksamana dan Sita Dewi. Akan Laksamana dan Sita
Dewi pun menyembah kepada Maharesi Wirata Sakti. Maka oleh Maharesi Wirata
sakti saksani akan Laksamana dan Sita Dewi artinya memberi doa.
Setelah itu maka hari pun malam, maka segala maharesi dan brahmana pun
berhentilah dari memuja, lalu kembali masuk pulang ke tempatnya. Maka Sri Rama
ketiga bersudara pun diperjamunya oleh Maharesi Wirata Sakti. Maka Sri Rama
ketiga bersudara pun berhentilah di ruma Maharesi Wirata Sakti. Setelah keesokan
harinya, maka Sri Rama pun hendak bermohon maka kata maharesi, “Hai, Anakku,
nantilah barang sehari dua hari lagi karena ayahanda belum puas bermain-main
bergurau dengan anakku.” Maka Sri Rama pun berhentilah kadar lima hari maka
baru ilmu dan saktian dan ‘isarat segala maharesi itu diajarkan oleh baginda akan
Sri Rama dan Laksamana. Setelah genaplah lima hari, maka Sri Rama pun
bermohon kepada maharesi. Maka baginda pun memberi saksani akan ketiganya/
76 serta mereka itu pun berjalanlah menuju hutan rimba belantara itu. Berapa lamanya,
maka ia pun sampailah ke dalam hutan Indrapuanam.
Adapun akan hutan itu tempat rasaksa berburu itu dan bermain-main. Maka
pada tatkala itu baginda berjalan itu, Sri Rama dahulu, dan Sita Dewi di tengah,
Laksamana di belakang. Kemudian, setelah datang ke tengah hutan itu, ada seorang
rasaksa terbang di udara bernama Purbaita. Adapun rasaksa itu tiadalah lain
kerjanya melainkan berburu juga selama-lamanya dengan lembingnya. Sampailah
maka dilihatnya ada orang berjalan tiga orang di dalam hutan itu. Maka di dalam
hatinya, ‘Adapun perempuan ini sudaranya apakah atau istrinya? Maka lalu indah-
indah parasnya. Baiklah aku tangkap perempuan ini, aku persembahkan kepada
Maharaja Rawana supaya aku dianugrahinya aku kerajaan pada sebuah negeri.’
Setelah suda ia pikir demikian itu, maka ia pun turun dari udara, lalu disambarnya
Sita Dewi dibawanya terbang ke udara. Setelah dilihat oleh Laksamana, maka ia
pun segera mengambil anak panahnya, maka anak panah itu pun jatuh. Maka Sri
Rama pun melihat ke belakang, maka dilihatnya Sita Dewi telah tiadalah. Maka
dilihatnya Laksamana lagi hendak memanah. Maka Sri Rama, “Hai, Adinda. Ke
mana kakanda Sita Dewi itu dan apakah yang hendak dipanah oleh adinda?” Maka
sembah Laksamana, “Ya, Tuanku, adinda Sita Dewi itu setelah disambar oleh

60
– HIKAYAT SRI RAMA –

rasaksa dibawanya terbang ke udara, itulah maka adinda hendak memanah akan
dia.” Maka Sri Rama pun segeralah mengeluarkan anak panahnya yang bernama
Gandiwati, lalu dipanahkan ke udara. Maka kenalah lehernya Purbaita seperti
tersembeli rupanya, maka jatuhlah melayang-layang. Maka segera disambut oleh
Sri Rama. Maka lalu ia berjalan daripada tempat itu, maka ia pun gugurlah ke bumi
menjadi wali hancur luluh. Maka Sri Rama pun berjalanlah itu.
Berapa lamanya maka ia pun sampailah ke tengah bukit Indrapuanam namanya.
Maka dilihatnya maka oleh Sri Rama kaki bukit itu bertingkat-tingkat terlalu indah-
indah dan pada sama tengah bukit itu ada suatu padang. Maka daripada empat
penjurunya itu keluar air mengalir ke padang itu, terlalu jernih dan ia berbelit-belit
rupanya. Maka kata Sri Rama, “Hai, Adinda Laksamana, terlalu indahlah tempat
ini. Jikalau baginda beroleh rakyat tiga keti sampailah kakanda perbuat akan negeri.
Adapun akan negeri Mandupuranegara itu setelah diberikan oleh paduka ayahanda
baginda kepada Berdana Citradana.” Maka kata Laksamana, “Benarlah seperti
titahh tuanku itu. Janganlah Yang Dipertuan lalu pesannya paduka ayahanda itu.”
Maka
77 Sri Rama pun/ berbuat akan suatu rumah tempat bertapa pada kaki bukit Puaẓam
itu. Maka Laksamana pun berbuat suatu rumah kecil tempatnya bertapa sebelah
bukit itu. Maka ia pun bertetaplah. Setelah ia berhenti, maka ia pun berjalan di
dalam hutan belantara rimba itu bermain-main mencari segala buah-buahan akan
Sri Rama. Setelah petang hari, maka ia pun pulang membawa buah-buahan akan
Sri Rama. Demikian sediakala akan pekerjaannya Laksamana itu, maka Sri Rama
pun pikir di dalam hatinya, ‘Adapun akan hamba tiga orang juga, jikalau datang
satu-satu hal Sita Dewi atau sakit ia adalah ia akan melihara akan dia, dan jikalau
akan siapakah teman Sita Dewi itu sungguhpun ada sudaranya Laksamana laki-laki
akan pohonkan kepada dia melihara ia akan teman Sita Dewi itu.’ Maka kata Sri
Rama, “Hai, Adinda Laksamana, esok hari janganlah adinda pergi ke dalam hutan
karena kakanda hendak berbuat hamum memohonkan kepada Dewata Mulia Raya
akan teman adinda Sita Dewi akan meliharakan adinda itu, ia seorang diri tiada
temannya yang disuruhnya.” Maka sembah Laksamana, “Benarlah seperti titahh
tuanku itu.”
Setelah keesokan harinya dari pagi-pagi, maka Laksamana pun datanglah
membawa bunga lalang seberkas setelah buah-buahan yang di kaki gunung itu
Indrapuanam itu. Lalu dipersembahkan bunga lalang itu kepada Sri Rama, maka
Laksamana pun pergi pula mengambil kayu api akan berbuat hamum itu. Maka kata
Sri Rama, “Pergilah adinda mandi bersuci tubuh adinda.” Maka Laksamana pun
pergilah mandi kepada air yang mengalir turun dari bukit itu. Setelah suda, maka ia
pun datanglah mengadap Sri Rama dan menjadikan api berbuat hamum itu. Maka
pucuk lalang dan buang itu pun dijadikan oleh Laksamana dua belas berkas, maka
lalu diberikannya hadapan Sri Rama. Maka Sri Rama pun memuja membaca
wedam mintak doa kepada Dewata Mulia Raya dengan bagai yang diperpintaknya
di dalam pujanya itu.
Hatta maka lalang itu pun menjadi dua belas orang; tujuh perempuan dan lima
laki-laki. Maka yang perempuan itu pun terlalu elok parasnya dengan mudanya
seperti empat belas tahun umurnya. Maka Sri Rama pun berhenti daripada memuja
itu. Maka orang yang laki-laki itu, dua orang diberikan oleh Sri Rama akan teman

61
– HIKAYAT SRI RAMA –

Laksamana. Maka Sita Dewi pun terlalu sukacita hatinya beroleh teman orang tujuh
perempuan itu. Maka Sri Rama dan Laksamana pun bertapa juga kerjanya itu.
78 Alkisah maka tersebutlah perkataan Maharaja Rawana/ tatkala ia kena panas
matahari dan peri mengatakan tatkala Maharaja Rawana membunu Berkansinga
dan istri Berkansinga yang bernama Surapandaki itu ditinggalkannya di dalam
bentengnya dan peri mengatakan tatkala Surapandaki beranakkan Darasinga dan
menyuruhkan anaknya pergi bertapa dan peri mengatakan tatkala Laksamana
beroleh pedang dianugrahkan oleh Batara Indra akan membunu Darasinga dan peri
mengatakan tatkala Surapandaki hendakkan Sri Rama dan Laksamana dan peri
mengatakan tatkala Surapandaki mintak Sri Rama dan Sita Dewi itu.
Sebermula segala permaisuri Maharaja Rawana duduk di dalam istana dihadap
oleh segala gundiknya dan dayangnya. Adapun akan gundik Maharaja Rawana itu
tiga laksa enam ribu itu banyaknya, lain daripada dayangnya dan biti perwara. Maka
tatkala bercahaya-cahaya matahari pun daripada ki(si)-kisi maligai itu, maka
kenalah kepada tubuh Maharaja Rawana. Maka ia pun terlalu marah dan murkakan
pada matahari. Maka titahh Maharaja Rawana, “Lihatlah matahari ini terlalu
bangat, bahwa aku duduk di dalam istanaku ini maka dipanasinya.” Maka dengan
seketika itu juga, disuruhnya tinggal iparnya yang bernama Bergansinga dan
sudaranya, Maharaja Bibisanam. Maka keduanya pun datang, maka titahh Maharaja
Rawana, “Hai, sudaraku kedua. Akan sekarang aku hendak pergi menyerang
matahari itu. Adapun segala ‘alam Dunia ini sudalah takluk kepada aku, hanyalah
matahari juga yang belum takluk kepada aku.” Maka sembah Raja Bibisanam, “Ya,
tuanku Syah Alam, patik mohonkan ampun dan karunia ke bawa duli tuanku.
Jikalau dapat karunia, janganlah duli tuanku Syah Alam pergi dan jika tuanku pergi
niscaya datanglah bala dan salah duli Syah Alam. “Setelah Maharaja Rawana
mendengar sembah Maharaja Bibisanam itu, maka baginda pun terlalu marah
seraya berpaling kepada Berkansinga. Maka titahh Maharaja Rawana, “Hai
Berkansinga, apa bicaramu?” Maka sembah Berkansinga, “Benarlah titahh tuanku
itu. Adapun akan matahari itu mencari perkelahian dan terlalu bangat ia kepada
Syah Alam dihadap oleh segala bintara di balairung itu. Tiada mau upamakan Syah
Alam tatkala di hadap di dalam istana maka dipanasin ke istana pula tuanku. Itulah
maka patik katakan matahari itu terlalu bangat.” Setelah itu Maharaja Rawana
mendengar kata Berkansinga itu, maka titahh Maharaja Rawana, “Hai,
Berkansinga, sekarang engkau
79 akan gantilah aku duduk di dalam negeri/ Langkapuri ini jikalau barang sesuatu hal
istimewa.”
Maka Maharaja Rawana pun memakai segala senjatanya dan kesepuluh
kepalanya itu pun dikenakannya sepuluh makotanya yang amat bercahaya-cahaya
dan memakai sepuluh dahinya dan mengenakan penetaknya pada kedua puluh
tangannya dan dua puluh bagai senjata dipegangnya. Maka Maharaja Rawana pun
naiklah ke atas ratanya lalu diterbangkan oleh ratanya itu ke udara. Maka kata
Maharaja Rawana, “Hai, rata, terbangkan aku ke langit hendak menaklukkan
matahari.” Maka rata itu pun terbang kepada hawan, maka panas pun terlalu sangat
tiadalah terkira-kira lagi oleh Maharaja Rawana akan panas itu seperti akan
hancurlah rasa tubuhnya, seraya katanya, “Hai, rata, segera turunkan aku kembali

62
– HIKAYAT SRI RAMA –

ke negeriku karena aku terlalu kepanasan.” Maka rata itu pun segera terbang turun
ke negeri.
Adapun tatkala itu Maharaja Rawana suda pergi itu, maka negeri Langkapuri
pun terserahlah kepada Berkansinga melihati baik dan apabila hari malam maka
Berkansinga pun mengeluarkan lidahnya maka dikelilinginya kota Langkapuri itu
dengan lidahnya seperti dulang tertudung. Demikianlah Berkansinga meliharakan
negeri Langkapuri itu. Maka Maharaja Rawana pun kembali daripada tiada
menderita akan panas itu. Maka ia pun datang ke sisi kota Langkapuri itu. Maka
Maharaja Rawana pun kembalilah daripada ketika itu hari pun tengah malam, maka
dilihatnya oleh Maharaja Rawana pin(tu) kota itu pun tertutup. Maka ia pun tiadalah
beroleh masuk. Maka Maharaja Rawana oleh bekas lelah oleh panas matahari lalu
baginda manjat kota itu hendak masuk. Setelah datang kepada Berkansinga itu,
maka dirasain licin, maka lalu gugur ke bawa kota. Maka pada sangka Maharaja
Rawana akan lidah Berkansinga itu ular juga, maka baginda pun terlalu marah.
Maka lalu dihunus pedangnya. Maka baginda pun naik pula perlahan-lahan ke atas
kota itu, maka lalu diparangnya oleh baginda lidah Berkansinga itu, putuslah. Maka
Berkansinga pun berteriak-teriak dan mengempaskan dirinya. Lalu ia jatuh ke
dalam laut. Maka suaranya Berkansinga itu ber(te)riak-teriak itu pun kedengaranlah
kepada Maharaja Rawana. Maka segeralah didapatinya, maka dilihatnya
Berkansinga mati jatuh ke dalam laut dan lidahnya putus. Maka Maharaja Rawana
pun minta dibukai pintu. Setelah terbukalah pintu kota, maka baginda pun masuk
lalu ke istana pula. Maka titahh Maharaja Rawana kepada Putri Mandudaki,
“Apalah dayaku karena sudalah perangnya anakku bahwa sudara/ Berkansinga suda
tiada
80 dengan (tanpa) sebab.”
Setelah hari siang, maka wartanya Berkansinga itu pun matilah setelah suda
maka masyhurlah kepada segala negeri Langkapuri, Berkansinga mati berpunggal
lidahnya oleh Maharaja Rawana tiadalah dengan dosanya. Maka segala raja-raja itu
pun berkata, “Barang sesuatu pekerjaan hendak dengan periksaan. Apabila menteri
jahat dan salah hukumnya dan rakyatnya salah maka tiadalah dihukumnya dan tiada
diperiksanya oleh rajanya, maka dosanya itu sekalian jatuh ke atas rajanya juga.
Adapun akan kerajaan itu tempat Dewata Mulia Raya. Adapun kita di dalam Dunia
ini tiadakan kekal melainkan lagi akan mati juga kesudaannya.” Setelah didengar
kepada istrinya Berkansinga itu bahwa suaminya telah mati dibunu oleh Maharaja
Rawana itu, maka Surapandaki pun pergilah ke tepi laut, ia menangis dengan bagai-
bagai bunyi ratapnya. Setelah itu maka Surapandaki pun kembalilah ia ke
rumahnya. Adapun akan buntingnya, setelah sampailah kepada beranak, maka ia
pun beranaklah seorang laki-laki terlalu baik rupanya, maka terlalu kasih ia. Maka
dinamai oleh bundanya Darasinga. Maka dipeliharakannya dengan sepertinya.
Setelah berapa lamanya, maka Darasinga pun besarlah. Apabila terdengar oleh
Maharaja Rawana Surapandaki setelah beranak laki-laki itu, maka ia pun
menitahkan seorang bintaranya pergi memanggil dia, disuruhnya bawa anaknya,
“Katakanlah olehmu bahwa aku terlalu sangat rindu akan dia dan aku hendak
melihat anaknya itu.” Maka bintaraitu pun pergilah ke rumah Surapandaki. Maka
segala titahh Maharaja Rawana itu pun disampaikan kepada Surapandaki. Maka
Surapandaki pun masam mukanya seraya memanggil anaknya, maka kata

63
– HIKAYAT SRI RAMA –

Surapandaki, “Hai, Anakku, bahwa engkau dipanggil oleh Maharaja Rawana.”


Maka kata Darasinga, “Hai, Ibuku, akan Maharaja Rawana itu orang manakah maka
ia menyuruh memanggil beta ini?” Maka ia pun menangis dan ibunya pun menangis
seraya paduka katanya, “Hai, Anakku, buah hatiku dan cahaya mataku. Adapun
akan Maharaja Rawana itulah sudaraku yang tua dan ialah menjadi raja di dalam
negeri ini.” Maka kata Darasinga, “Kepada perginya bapaku itu?”
Setelah bintara itu mendengar demikian, maka ia pun berdirilah melihat kepada
Surapandaki, takut ia memberi tahu kepadanya anaknya akan kematian bapanya itu,
Bergansinga itu. Maka kata ibunya, “Hai, Anakku, bahwa bapamu lagi disuruhkan
81 oleh umakmu Maharaja Rawana naik keindraan kepada/ segala raja-raja yang
belum takluk kepada uakmu itu.” Dan setelah itu, maka Darasinga pun diamlah
mendengar kata bundanya itu. Maka kata Surapandaki, “Hai, Bintara, katakanlah
sembah hamba ke bawa duli Maharaja Rawana. Adapun hamba ini lagi beranti dua
puluh hari dan apabila suda beranti hamba maka hamba datanglah mengadap Sri
Maharaja.” Maka bintara itu pun pergilah mengadap kepada Maharaja Rawana,
maka segala pesan Surapandaki itu pun disampaikan kepada Maharaja Rawana.
Setelah berapa lamanya, maka Darasinga itu pun besarlah. Adalah kira-kira
tujuh tahun umurnya, maka disuruhnya belajar ngaji oleh bundanya kepada seorang
maharesi brahmana Gandari. Setelah berapa lamanya, maka Darasinga pun tahulah
mengaji dan belajar ahlan nujum. Setelah melihat nujum, telah datang ‘umurnya
kepada dua puluh tahun, maka ia pun bertapa pula. Maka kata Darasinga, “Hai,
Ibuku, ke manakah perginya bapaku tiada aku lihat?” Maka kata bundanya, “Hai,
Anakku. Adapun akan bapamu lagi disuruhkan oleh uakmu maharaja pergi ke
dalam bumi menangkap segala raja-raja yang di dalam bumi itu.” Maka Darasinga
pun diamlah.
Hatta pada suatu hari Darasinga bermain-main dengan segala kanak-kanak yang
banyak itu, maka adalah tersalah katanya kepada Darasinga. Maka ia pun marah
lalu digocohnya dan ditamparnya segala kanak-kanak itu. Maka kanak-kanak itu
pun berteriak-teriak menangis, seraya katanya, “Hai, Darasinga. Engkau anak
sudara Sri Maharaja Rawana, itulah maka engkau lihat dan perbuat akan sekalian
(demikian ini sebab demikianlah bapamu itu dibunu oleh Maharaja Rawana dan
jikalau sunggu engkau gagah dan berani, pergilah balaskan kematian bapamu itu).”
(Setelah ia menengar kata kawan-kawannya itu, maka ia pun amarahlah. Maka lalu
ia kembali pulang ke rumahnya dengan tangisnya. Maka ia berkata, “Hai, Ibuku,
berkata-kata benarlah ibuku akan sekarang ini. Ke manakah perginya bapaku itu?”
setelah Surapandaki menengar kata anaknya daripada sangat hendak mendengar
kabar bapanya itu. Maka pikir bundanya, ‘Baiklah aku katakan akan rahasia ini
kepadanya’. Maka kata Surapandaki, “Hai, Anakku, bahwa bapamu itu telah
matilah ia dibunu oleh Maharaja Rawana. Suatu pun tiada apa kuasanya sebab
Maharaja Rawana pergi menyerang matahari maka negeri ini diserahkan oleh
Maharaja Rawana kepada bapamu mengawali dia. Setelah datanglah Maharaja
Rawana daripada menyerang matahari itu, maka bapamu pun dibununya oleh
Maharaja Rawana.” Setelah Darasinga mendengar kata bundanya itu demikian,
maka ia pun berdiam dirinya.

64
– HIKAYAT SRI RAMA –

Setelah keesokan harinya maka kata Darasinga, “Hai, Ibuku, manakah segala
nujum dan sastra bapaku itu, maka marilah aku lihat.” Maka oleh ibunya lalu
diambilnya segala nujum dan sastra itu diberikannya kepada anaknya. Maka oleh
Darasinga dilihatnyalah dalam nujum itu segala bagai-bagai lagi akan datang bala
dengan Maharaja Rawana itu. Maka lalu ia pergi kepada gurunya, Maharesi
Gandaria, membawakan sastranya dan nujumnya itu. Setelah datang maka
Darasinga pun lalu sujudlah kepada kaki gurunya serta dengan tangisnya. Maka
kata gurunya, “Apakah sebabnya maka anakku menangis ini? Apakah yang ada
kelihatan yang kurang maka engkau menangis?” Maka sembah Darasinga, “Ya
Tuanku, lihat apalah dalam sastra dan nujum ini.” Maka lalu diambil oleh Maharesi
Gandaria sastra dan nujum itu dari tangannya, maka dilihatnya peri kematian
Bergansinga itu tiada dengan dosanya. Mati dengan kebaktian kepada Maharaja
Rawana itu dan peri kematian Maharaja Rawana pun sekalian adalah dalam sastra
dan nujum itu.
Maka kata gurunya, “Hai Darasinga, apakah yang engkau tangiskan ini?
Bukankah ada mengatakan peri kematian Maharaja Rawana dalam sastra dan
nujum ini, akan sekarang perbuatlah dari dan ikutilah oleh tuan hamba seperti kata
yang di dalam nujum, dan janganlah bersalahan lagi dan bersangkal lagi supaya
masyhurlah nama tuan hamba kepada segala alam Dunia ini.” Maka Darasinga pun
menyembah seraya katanya, “Ya Tuanku, katakanlah seperti di dalam sastra dan
nujum itu akan kematian Maharaja Rawana itu supaya hambamu berjalan dan
hambamu perbuat.” Maka oleh Maharesi Gandaria dilihatnya pula dalam sastra dan
nujum itu, diperamat-amatinya. Setelah nyatalah, maka lalu ia berkata kepada
Darasinga, “Hai Anakku, dengarkanlah oleh engkau ramalnya dalam sastra dan
nujum ini.” Maka lalu Maharesi Gandaria pun membacalah sastra itu dan nujum itu
akan demikian bunyi, ‘Adapun barangsiapa apabila peri membunu Maharaja
Rawana itu jikalau ia dapat bertapa dua belas tahun lamanya. Maka tatkala ia
bertapa maka anugerah daripada Dewata Mulia Raya sebila pedang bernama
Pamanda Wali dan jikalau genaplah tapanya dua belas tahun maka hendaklah ia
pergi mandi berlimau pada suatu kolam di udara bernama Puspasalam. Setelah suda
mandi, maa ia memberi maka seribu orang brahmana. Setelah suda, maka baharulah
ia dapatlah membunu Maharaja Rawana itu adanya.’ Maka Darasinga pun terlalu
amat sukacita menengar perkataan di dalam sastra dan nujum itu dan habislah
diperiksainya akan peri kematian Maharaja Rawana itu. Maka ia pun bermohonlah
kepada gurunya dan lalu kembalilah ke rumahnya.
Maka segala yang didengarnya itu sekalian dikatakannya kepada bundanya.
Maka bundanya pun terlalu sukacita hatinya seraya ia katanya, “Hai Anakku,
segerahlah engkau bertapa kepada hutan Indrapuanam itu karena hutan itu sunyi
tiada pernah ada manusia sampai ke sana.” Maka Darasinga, “Baiklah hai ibuku,
tetapi aku hendak menanggap seribu brahmana dahulu supaya jangan susah lagi
mencari dia itu.” Maka ia pun pergilah mencari brahmana itu serta ditangkapnyalah.
Setelah beroleh seribu orang, maka lalu dipenjaranya segala brahmana itu di dalam
gua batu karena pikirnya supaya jangan sampai menjadi susah buat cari brahmana
lagi.
Setelah suda maka Darasinga pun kembalilah kepada bundanya. Maka
Surapandaki dengan anaknya pun lalu pergi bertapa ke dalam hutan Indrapuanam.

65
– HIKAYAT SRI RAMA –

Maka ia pun bertemulah dengan rumpun bulu betung. Maka kata Surapandaki, “Hai
Anakku, di sinilah baik engkau bertapa dan tuju hari sekali aku nanti datang
mendapatkan engkau membawa nasi dan gulai akan anakku.”
Maka Darasinga pun masuklah ke dalam rumpun bulu betung itu. Maka
Surapandaki pun kembalilah ke rumahnya. Setelah keesokan harinya, maka ia pun
datanglah mendapatkan anaknya membawa nasi sebakul dan gulai sepinggan akan
anaknya makan itu. Maka ia pun kembalilah ke rumahnya. Demikianlah sediakala
pekerjaan Surapandaki akan memeliharakan pada anaknya Darasinga itu bertapa
adanya.
Sebermula, maka tersebutlah Sri Maharaja Rawana duduk di maligainya dengan
istrinya Putri Mandudaki itu. Maka Maharaja Rawana tercintakan pada anaknya
yang bernama Indrajat, seraya katanya, “Hai Tuan putri, telah lamalah aku tiada
naik di atas keindraan bersuka-sukaan dengan anakku Indrajat itu. Akan sekarang,
marilah tuan putri kita pergi bersama-sama dengan aku mendapatkan Indrajat dan
Putri Kemala Dewi itu.” Maka kata tuan putri, “Ya Syah Alam, patik pun terlalu
sangat rindu akan Tuan Putri Kemala Dewi itu dan patik dengar ia pun telah beranak
seorang perempuan terlalu elok parasnya. Itulah maka patik sangat hendak melihat
cucunda itu. Akan patik hendak ambil akan anak dan patik pun tiada beroleh anak.”
Maka Maharaja Rawana pun segeralah menitahkan biduanda memanggil saudarany
yang bernama Bibisanam itu. Setelah datang itu, maka titahh baginda, “Hai
Bibisanam, adapun akan sekarang aku hendak pergi mendapatkan anakku Indrajat
di keindraan membawa perempuan dan segala gundik-gundikku dan tiadalah aku
membawa rakyatku banyak sehingga hulubalang juga kadar selaksa yang pergi
mengiringkan aku dan tiadalah lama aku pergi. Adapun engkau dan segala raja-raja
dan menteri hulubalang dan sida-sida bintara sekalian tinggallah akan di sini
menunggui negeri Langkapuri ini.” Maka sembah Maharaja Bibisanam, “Ya
Tuanku Sri Maharaja, adapun jikalau Yang Dipertuan) berangkat membawa
perempuan tiadalah dapat tiada tuanku menyesal juga, tetapi di dalam itu pun mana
titahh tuanku patik junjung.” Maka titahh Maharaja Rawana, “Hai (Bibi)sanam
sia(pa)kah segala raja-raja yang dapat melawan aku dan raja yang manakah yang
terlebi besar daripada aku? Karena segala ‘alam ini Dunia suda menjadi hambaku,
takluk kepada aku. Akan tapi sekarang siapakah yang hendak berbuat darhaka
kepada aku? Segeralah tunjukkan siapa aku binasakan negerinya.” Setelah
Maharaja Bibisanam melihat Maharaja Rawana murka itu, maka ia pun diamlah.
Maka Maharaja Rawana menyuruh memanggil rata kenaikan yang sakti terbang
sendirinya, maka ia pun naiklah ke atas ratanya lagi. Katanya, “Hai rata Indra Puspa
Loka, segera aku terbangkan aku ke negeri keindraan Nanjukmayapurba itu.” Maka
rata itu pun terbanglah ke udara. Maka segala bunyi-bunyian pun dipalu oranglah
terlalu ‘aẓimat bunyinya. Maka terdiri jogannya yang dipermuliakan permata
82 dikarang sembilan seribu bagai banyaknya dan/ berkembang payung hibar-hibar
seribu bagai warnanya. Sekaliannya bertatahkan ratna mutu manikam berumbai-
rumbaikan mutiara dikarang. Maka segala indra pun terlalu haru-haru bunyinya.
Maka rata itu pun terbanglah menuju keindraan Nanjukmayapurba itu.
Alkisah maka tersebutlah perkataan Maharaja Balia dan bersuka-sukaan di
dalam rimba Dayanya dengan Maharaja Semburan dan segala raja-raja yang
banyak. Maka dilihatnya bayang-bayang rata, maka (kata) Maharaja Balia kepada

66
– HIKAYAT SRI RAMA –

Maharaja Semburan, “Hai, Handaiku, pada hati hamba tiadalah yang lain siapa
berani melintas daripada pihak negeri hamba ini, melainkan Rawana juga yang lalu
di udara.” Maka Maharaja Balia pun terlalu marah. Maka baginda pun lalu
memandang di udara, maka dilihatnya rata ketiganya. Maka kata Maharaja Balia
Indra, “Hai, Kakeku, lihatlah Rawana itu tiada sekali-sekali berbudi dan tiada mau
umpa(ma)kan orang maka berani ia lalu dari negeri hamba ini. Bukan ia suda
merasai bekas tangan hamba, maka sekarang maka ia hendak membesarkan dirinya
pula.” Maka kata Maharaja Semburan, “Hai, Handaiku. Kalau-kalau Rawana itu
tiada tahukan ia handainya bermain-main pada rimba ini maka beranilah ia lalu
daripada tempat ini.” Maka kata Maharaja Balia, “Hai, Handaiku, tiada demikian
bahwa Rawana itu tiadalah sekali-kali mau umpamakan hamba.” Maka Maharaja
Balia pun lalu turun dari atas balai gedung itu. Setelah dilihatnya oleh Maharaja
Hanuman akan Raja Balia Indra sangat marah itu hendak pergi mendapatkan
Maharaja Rawana itu, maka Hanuman pun segera turun dari atas balai itu, seraya
katanya, “Ya, Tuanku, janganlah tuanku pergi sendiri akan menangkap akan
Maharaja Rawana itu biarlah hambamu seorang pergi mendapatkan Rawana itu
supaya patik pun tangkap dengan hidupnya, patik persembahkan ke bawa duli
tuanku. Patik pun terlalu berahi melihat rupanya dikabarkan orang lengannya dan
tangannya dua puluh dan kepalanya sepuluh.”
Maka kata Maharaja Balia Indra, “Hai, Anakku, janganlah engkau melawan
Maharaja Rawana itu berperang karena ia tua lagi raja besar dan engkau pun lagi
kanak-kanak.” Maka kata Hanuman, “Jikalau tuanku tiada memberikan paduka
berperang dengan Rawana itu pun sudalah, tetapi patik hendak pergi juga melihat
tuanku berperang dengan Maharaja Rawana itu.” Maka kata Maharaja Balia itu,
“Jikalau anakku hendak melihat ia berperang itu baiklah, tetapi jangan anakku
83 masuk berperang menolong aku dan/ anakku lihat juga aku berperang dengan
Rawana itu.”
Maka Maharaja Balia pun lalu mengampirkan gadanya ke bumi. Maka ia pun
terbanglah ke udara mendapatkan Maharaja Rawana, maka Hanuman pun melihat
ke udara lalu ia mengikut Maharaja Balia yang bertempik dan bersorak berseru-seru
dengan nyaring suaranya, seperti hali(li)ntar yang membela bunyinya, katanya,
“Hai, Rawana, terlalu sekali engkau berbudi dan tiada mau akan aku! Patutllah
engkau lalu di atas kepalaku sedang lagi aku bersuka-sukaan dengan segala raja-
raja yang di bawanya itu.” Setelah Maharaja Rawana mendengar bunyi tempik
sorak Maharaja Balia itu, maka ia pun terkejut lalu berpaling maka dilihatnya
Maharaja Balia itu. maka Putri Mandudaki pun mendengar tempik suara Maharaja
Balia itu.
Maka Maharaja Rawana pun murka ia melihat Maharaja Balia Indra itu. Maka
lalu dipanahnya dengan anak panahnya yang daripada pertapaan bernama Hunam
Cindra, maka anak panah itu pun menjadi api, seperti gunung besarnya beribu-ribu.
Maka belaku pun penuhlah dengan api datang membakar Maharaja Balia itu. Maka
Maharaja Balia pun mengirikan ramanya maka keluarlah hujan terlalu lebat. Maka
segala gunung yang beribu-ribu itu pun padamlah. Maka Maharaja Rawana pun
segera mengeluarkan suatu lagi anak panahnya yang sakti dianugrahkan oleh Batara
Brama akan dia. Maka tatkala Batara Brama memberi anak panahnya itu, maka
katanya, “Hai, Rawana, janganlah engkau berperang dengan segala lawanmu itu.

67
– HIKAYAT SRI RAMA –

Jikalau telah habislah segala senjatamu dan segala kesaktianmu yang engkau
pertapa itu, maka tiadalah membunu lawanmu. Maka baharulah anak panahnya itu
kulawankan dan kupanahkan kepada lawanmu itu senjata membunu ia dengan anak
panahnya ini dan namanya Bermanikram.” Maka oleh Maharaja Rawana lalu
disembahnya anak panah itu. Setelah dilihat oleh Maharaja Balia akan anak panah
Maharaja Rawana itu, maka dikatanya memberi akan Batara Brama akan Rawana
itu. Maka ia pun pikir, ‘Jikalau aku tangkap anak panahnya sekarang atau aku
panahkan, niscaya patahlah olehnya. Maka dan Batara pun gusarlah akan dia dan
menjadi seterulah ia kepada aku. Jikalau demikian baik Rawana itu kuberi maka
sementara itu belum melepaskan anak panahnya itu.’ Setelah suda Maharaja Balia
itu pikir demikian, maka lalu ia memeluk maka menangkap Mandudaki dari atas
ratanya itu. Maka maharaja itu ditendangkannya rata itu dengan sebela kakinya
84 menendangkan/ Maharaja Rawana dari atas ratanya lalu jatuh ke dalam laut dengan
ratanya. Maka segala hulubalang yang puluh laksa itu melarikan segala gundiknya
Maharaja Rawana itu yang selaksa enam ribu itu, kembalilah ke negeri Langkapuri.
Maka Maharaja Balia pun kembalilah membawa Putri Mandudaki ke dalam rimba
bersama-sama Hanuman.
Setelah dilihat oleh Maharaja Semburan dan Maharaja Sugriwa dan Patih
Jambuan dan segala raja-raja kera yang banyak itu dan kera dan maharaja kera dan
Sri Hanuman datang membawa seorang perempuan terlalu elok parasnya. Maka
Maharaja Semburan dan segala raja-raja kera yang banyak itu semuanya pun heran
karena segala raja-raja itu dan akan Maharaja Balia juga berdiri dengan gadanya
dan kata Maharaja Semburan, “Hai, Handaiku. Akan perempuan mana handaiku
bawa itu?” Maka kata Maharaja Balia, “Hai, Handaiku, inilah istrinya Maharaja
Rawana yang didapatinya kepada Dasarata Maharaja itu.” Maka kata Maharaja
Semburan, “Hai, Handaiku. Apakah perinya maka handaiku beroleh akan istri
Maharaja Rawana ini karena hamba dengar kabarnya Maharaja Rawana terlalu
gagah perkasanya dan bukan barang-barang beraninya dan kerajaannya pun terlalu
amat besarnya dan raja-raja di dalam ‘alam ini, seorang pun tiada dapat melalui
kepada barang kehendaknya. Maka itulah hamba terlalu heran melihat handaiku
dapat melawan Maharaja Rawana itu.” Maka Maharaja Balia pun tertawa-tawa
mendengar katanya Maharaja Semburan itu, seraya katanya, “Adapun akan
Maharaja Rawana itu telah hamba tendanglah dengan ratanya, maka jatulah ke
dalam laut.” Maka kata Maharaja Semburan, “Akan sekarang istrinya Rawana ini
handaiku hendak kembalikan engkau kepadanya itu atau handaiku hendak
pergikah?” Maka kata Maharaja Balia itu, “Tiadalah hamba kembalikan lagi putri
ini, hendak dipakai karena hamba tiada beristri.” Maka kata Maharaja Semburan,
“Baiklah, handaiku perbuat akan istri, putri ini terlalu elok rupanya. Adapun akan
sekarang jikalau ia kembalilah handaiku, hamba ini hendak bermohonlah kepada
handaiku karena negeri hamba terlalu sunyi. Siapa tahu karena takut Rawana itu
marah akan hamba karena ia pun tahulah akan hamba berkasih-kasihan dengan
handaiku dan ia pun telah malu.” Maka kata Maharaja Balia, “Benarlah seperti kata
handaiku itu.” Maka Maharaja Balia pun memberi hadiah akan Maharaja
85 Semburan/ daripada perak dan emas berpulu-pulu itu baharulah dan beberapa puluh
tobak permata ratna yang kuat dan manikam. Maka segala hulubalang Maharaja

68
– HIKAYAT SRI RAMA –

Semburan yang sepuluh laksa itu pun diberi nugrah oleh Maharaja Balia masing-
masing pada kadarnya.
Setelah suda itu, maka Maharaja Balia pun berpeluk bercium dengan Maharaja
Semburan itu. Maka Maharaja Semburan pun bercium dengan Patih Jamburan dan
kepada Maharaja Sugriwa dan kepada Hanuman dan kepada segala raja-raja itu.
Maka Maharaja Semburan pun bermohonlah kepada Maharaja Balia lalu naik ke
udara menuju negerinya itu. Maka Maharaja Balia pun kembalilah ke negerinya,
negeri Kedahsina membawa Putri Mandudaki. Setelah sampai ke negerinya itu,
maka ia pun kawinlah dengan dia, Putri Mandudaki. Maka barangkali Maharaja
Balia hendak bersuka-sukaan dengan Putri Mandudaki, maka baginda pun
menjadikan dirinya seorang laki-laki. Maka terlalu elok parasnya seperti tatkala ia
nyelam kepada kolam hutan matahari bintang itu. Demikianlah rupanya Maharaja
Balia itu terlalu amat saktinya, berbagai-bagai rupa tuan datanglah dijadikannya
dirinya. Dan berapa lamanya Maharaja Balia duduk dengan Putri Mandudaki itu,
maka baginda pun terlalu sukacita hatinya karena terlalu hasrat hendak beranak itu.
Maka Maharaja Balia pun menyuruhkan memungut anak kera dan lutung,
kungkung, siamang [maka pada suatu] (akan inang pengasuhnya) tuan putri itu,
maka baginda pun menyuruhkan Maharaja Sugriwa dan segala hulubalang kera dan
beruk dan lutung itu pergi menyerang segala negeri raja-raja manusia. Maka titahh
Maharaja Balia, “Pergilah tuan liat, tuan hamba kutitahhkan kepada segala negeri
dan raja-raja manusia yang ada beranak perempuan itu. Ambilah olehmu barang
empat puluh orang, tetapi jangan kau binasakan isi negeri sampai aku ambil anak
raja-raja itu juga dan janganlah kau lalui seperti titahhku ini dan janganlah engkau
lambat pergi ini sehingga dua puluh hari juga engkau pergi datang.” Setelah
Maharaja Sugriwa mendengar titahh Maharaja Balia itu, maka ia pun segera
memandang kepada Maharaja Hanuman. Maka di dalam hatinya, ‘Jikalau aku pergi
dengan Hanuman ini, jangankan empat buah negeri juga seribu negeri pun datang
aku alahkan di dalam dua tiga hari juga pergi datang.’ Setelah Maharaja Balia
melihat kelakuan Maharaja Sugriwa itu demikin, maka baginda pun tahulah
86 akan kehendaknya itu. Maka/ di dalam hati baginda, ‘Jikalau demikian kelakuan
Sugriwa ini, niscaya tiadalah sampai yang seperti kehendaknya ini.’ Maka ia pun
memandang kepada Sri Hanuman. Maka sembah Sri Hanuman, “Ya, Tuanku. Patik
bercakap mengambil putri yang empat puluh itu dengan sehari juga patik pergi
datang, patik yang seperti kehendak tuanku itu.”
Setelah Maharaja Balia mendengar cakap Sri Hanuman itu, maka baginda pun
berbangkit dari atas singgasana datang memeluk mencium Hanuman itu, seraya
katanya, “Hai, Anakku. Segeralah engkau pergi dan jangan engkau membunu
manusia dan membinasakan negerinya sehingga engkau ambil anaknya perempuan
yang baik parasnya juga.” Setelah Hanuman mendengar pesan baginda itu
demikian, maka ia pun bermohonlah kepada baginda.
Maka lalu ia berjalan menuju negeri segala raja-raja manusia itu. Setelah sampai
kepada sebuah negeri raja manusia itu, maka seraya Hanuman pun menjadikan
dirinya seperti rupa merak. Maka lalu ia terbang ke istana raja itu. Maka dilihatnya
raja itu ada duduk dengan anaknya, dua orang perempuan terlalu elok rupanya.
Maka merak itu pun datanglah menari-nari jalannya ke hadapannya tuan putri itu.
Maka tuan putri kedua itu pun terlalu suka melihat merak itu pandai menari, terlalu

69
– HIKAYAT SRI RAMA –

indah tarinya terkeliling di dalam istana itu. Maka terlihatlah oleh segala dayang-
dayang. Maka dayang-dayang sekalian pun bertepuk-tepuk karena ia melihat merak
itu terlalu suka ia melihat lakunya merak itu. Maka tuan putri pun naiklah ke atas
belakang merak itu. Maka merak itu pun melihat ke istana lalu ia terbang ke udara.
Maka putri itu pun ditaruhnya di dalam hutan. Maka dengan demikian empat puluh
putri yang didapatinya daripada segala anak raja-raja manasia yang baik parasnya
itu daripada empat puluh buah negeri diperolehnya. Maka oleh Sri Hanuman
keempat puluhnya putri itu segala didukungnya, maka lalu dibawanya melompat
menuju ke negeri Ketagina dan seketika juga ia datanglah ke hadapan Maharaja
Balia. Setelah baginda melihat Sri Hanuman datang itu, maka baginda pun terlalu
sukacita hatinya. Maka lalu dipeluknya dan diciumnya akan anakda Hanuman itu.
Maka keempat puluhnya putri itu, maka ditaruhnya di hadapan Maharaja Balia.
Maka dilihat oleh baginda segala perempuan itu sekaliannya baik parasnya. Maka
baginda pun membawa masuk ke dalam istana kepada Putri Mandudaki. Maka kata
87 baginda, “Hai, perawan putri/ itulah segala perputri anak segala raja-raja manusia.
Ambil oleh tuan (putri akan dayang-dayang tuan putri).” (Setelah) Putri Mandudaki
melihat segala perputri empat puluh itu maka terlalu sukacita hatinya dan
sungguhpun ada banyak dayang-dayang itu pada baik rupanya dan indah-indah
pakaiannya dan mukanya. Maka Putri Mandudaki barulah berkata-kata dan
bersenda-senda dan bergurau dengan putri yang empat puluh itu. Maka kata
Maharaja Balia, “Hai, Tuan putri, apa yang ada pada kehendak tuan putri itu?
Katakanlah kepada hamba supaya hamba carikan.” Maka kata Putri Mandudaki,
“Baiklah suda putri empat puluh ini akan teman hamba bermain-main dan kata-kata
hamba karena hamba tiada tahu akan ba(hasa) orang di dalam negeri ini.” Maka
Maharaja Balia pun tertawa dan sukacita terlalu kasi sayangnya akan tuan putri itu.
Maka datanglah kepada tujuh bulan hamil tuan putri itu. Maka Maharaja Balia
pun terlalu sukacita hatinya dan mangkin bertamba-tamba kasi sayangnya akan tuan
putri itu, seperti menanting minyak yang penuh, demikian rasa hatinya baginda dan
tiada baginda berburu dan bermain-main kepada tempat yang jauh lagi, melainkan
suka baginda bersuka-sukaan makan dan minum dengan Sri Hanuman dan segala
raja-raja dan menteri dan hulubalang segala rakyat dan bala tentara sekaliannya
dengan segala bunyi-bunyian terlalu ‘aẓimat bunyinya dan memberi nugrah akan
segala bala tentaranya yang tiada tepermanai banyaknya itu. Demikian kelakuannya
Maharaja Balia di dalam negeri [Langkapuri] Kitagena itu.
Alkisah maka kepada hikayat Maharaja Rawana itu tatkala jatuh ke dalam laut
bersama-sama dengan rata kenaikannya. Maka titahh Maharaja Rawana, “Hai Rata,
segeralah terbangkan aku kepada tempat berperang dengan Maharaja Balia itu.”
Maka rata itu pun terbanglah ke udara. Setelah sampai kepada tempat berperang itu,
maka ia pun dilihatnya oleh Maharaja Balia baginda tiada pada tempat itu. Maka
Maharaja Rawana pun turunlah kepada dusun Maharaja Balia itu. Maka dilihatnya
di sana pun tiada juga. Maka Maharaja Rawana pun pikir di dalam hatinya, ‘Jikalau
aku serang negerinya, baik juga ia alah olehku, tetapi jika ia alah olehnya, niscaya
dukalah aku beroleh malu. Baik aku pergi kepada Begawan Nilacikru, kusuruh
mintak kepadanya istriku itu, niscaya diberinya karena Nilacikru itu gurunya.’
Setelah demikian pikirnya, maka kata Maharaja Rawana, “Hai Rata, terbangkanlah
aku kepada tempat Begawan Nilacikru itu.” Maka rata itu pun terbanglah.

70
– HIKAYAT SRI RAMA –

Setelah sampai kepada tempat Begawan Nilacikru itu, maka pada ketika itu Sri
88 Begawan lagi duduk di dalam kuil dihadap oleh segala maharesi dan/ brahmana dan
mahayogi lagi membaca wedam terlalu merdu suaranya, seperti genta bunyinya.
Maka Maharaja Rawana pun turun daripada ratanya, berjalan mendapatkan
Begawan Nilacikru itu. Setelah segala maharesi dan brahmana melihat Maharaja
Rawana datang, maka mereka itu pun semuanya habis lari, ada yang tinggal
wedamnya, ada yang tinggal sangganya, ada yang tinggal gentanya daripada
takutnya akan Maharaja Rawana itu kalau ia datang hendak membinasakan segala
tempat bertapa itu. Maka Begawan Nilacikru pun lagi juga membaca wedam itu
tiadalah bergerak dari tempatnya. Setelah suda ia membaca wedam itu, maka ia pun
mengangkatkan mukanya. Maka dilihatnya Maharaja Rawana berdiri di
hadapannya itu. Maka kata Begawan Nilacikru, “Hai, Rawana, apalah kehendakmu
engkau datang kepada aku ini?” Maka kata Rawana, “Ya, Tuanku. Jikalau ada kasi
bapaku akan hamba hendaklah mintak tolong. Jikalau mau bapaku menolong
hamba ini, apa kehendak bapaku hamba beri.” Maka kata Begawan Nilacikru, “Hai,
Rawana, apa kehendakmu katakan supaya aku dengar.” Maka Maharaja Rawana
pun menangis seraya mengatakan segala hal ihwalnya berperang dengan Maharaja
Balia itu dan peri istrinya diambil oleh Maharaja Balia itu sekaliannya
dikatakannya. Maka kata Begawan Nilacikru itu, “Atas hamba pergi kepada
Maharaja Balia itu mintak istri tuan hamba itu, tetapi ada suatu kehendak hamba.
Jikalau tuan hamba turut seperti kehendak hamba itu, mau hamba menolong tuan
hamba itu.” Maka kata Rawana, “Apakah kehendak tuan akan kerajaan [tuan]
hamba itu?” (Maka kata Begawan Nilacikru, “Tiadalah akan hamba ini
berkehendak kerajaan tuan hamba itu tetapi bahwa) jikalau dapat kiranya, janganlah
tuan hamba binasakan segala orang bertapa dan segala dusun halaman segala
maharesi yang bertapa itu. Janganlah tuan hamba haru-biru akan dia. Itu yang
kehendak hamba supaya kekal tuan hamba di atas kerajaan dan bertamba-tamba
kebesaran tuan hamba datang anak cucu tuan hamba.” Maka kata Maharaja
Rawana, “Ya, Tuanku, tiadalah hamba berbuat satu kerjaan yang tiada berkenan
kepada tuanku dan mana titah tuanku hamba turutlah dan jikalau hamba berbuat
barang sesuatu telah dilarangkan, mana titah tuanku katakanlah atas hambamu.”
Maka kata Sri Begawan, “Jikalau demikian kata tuan hamba itu, baiklah dan
marilah kita pergi kepada Maharaja Balia itu.” Maka baginda pun lalu ke luar dari
alam kuil membawa wedamnya.
Setelah dilihat oleh segala maharesi dan brahmana akan kelakuan Maharaja
Rawana mengadap kepada Sri Begawan itu dengan takut sopannya tiadalah seperti
89 dahulu kala/ kelakuannya itu, maka sekalian maharesi pun datanglah mengadap
begawan itu. Maka kata baginda, “Hai, Maharaja Rawana, adakah kenaikan tuan
hamba melihat akan tempat kita pergi itu?” Maka kata Maharaja Rawana, “Adalah
hamba membawa rata kenaikannya hamba.” Setelah Sri Begawan mendengar kata
Rawana itu maka baginda pun berangkat seraya katanya kepada segala maharesi
dan brahmana itu, “Hai, Tuan-tuan sekalian, tinggallah menunggui ruma hamba,
kuil ini tunggui begitu. Adapun hamba dengan empat orang maharesi yang tua-tua
juga pergi.” Maka lalu ia terbang ke udara menuju negeri Langkurkatin itu. Maka
Begawan Nilacikru dengan Maharaja Rawana dan maharesi empat orang itu pun
berjalan di udara.

71
– HIKAYAT SRI RAMA –

Setelah berapa lamanya, maka ia pun sampailah ke negeri Langkurkatin. Maka


rata itu pun turun dari udara datang kepada suatu tempat. Maka orang Begawan
(kepada Maharaja Rawana, “Hai Anakku, duduklah di sini”. Maka kata Maharaja
Rawana,) “Baiklah, Tuanku.” Maka Sri Begawan dengan empat itu berjalan masuk.
Setelah sampai kepada pintu negeri itu, maka Sri Begawan pun menyuruhkan
seorang begawan memberi tahu kepada Maharaja Balia itu. Maka begawan itu pun
berjalanlah masuk ke dalam istana Maharaja Balia. Maka pada ketika itu Maharaja
Balia pun lagi duduk di balai dihadap oleh segala raja-raja dan menteri dan
hulubalang, ceteria, dan kesatria, sida-sida, bintara, biduanda, serta rakyat yang
tiada tepermanai banyaknya itu. Setelah dilihat oleh Maharaja Balia maharesi
datang, maka dikenalnya begawan anak muridnya Begawan Nilacikru itu. Maka
segeralah ditegur oleh baginda, “Hai, Sudara Begawan.” “Adapun hamba datang
ini memberi tahu sudara tuanku akan guru kita datang mendapatkan tuan hamba.”
Setelah Maharaja Balia mendengar gurunya datang itu, maka ia pun segeralah
berangkat pergi mendapatkan Begawan Nilacikru. Maka Sri Hanuman dan Patih
Jamburan dan Maharaja Sugriwa dan segala raja-raja dan menteri dan hulubalang
sekaliannya pergi mengiringkan baginda dan Begawan Kanak.
Setelah itu, maka ia melihat Begawan Nilacikru datang itu. Maka Maharaja
Balia pun segeralah ia datang menyembah Begawan Nilacikru. Maka oleh Begawan
Nilacikru segerahlah didapatnya dan ciumnya akan Maharaja Balia. Maka
sembahnya, “Baiklah, tuanku masuk ke dalam negeri mengirik di ruma hamba.”
Maka kata begawan, “Hai Anakku, suatu kehendak ayahanda kepada anakku.
Jikalau anakku beri yang kehendak ayahanda itu, maka maulah ayahanda masuk ke
negeri.” Setelah Maharaja Balia mendengar kata Begawan Nilacakru itu, maka ia
90 pun berkata, “Ya, Tuanku, baik juga dahulu ke istana/ hambamu dan jikalau juga
kepada hambamu yang seperti kehendak tuanku itu hambamu.” Setelah Sri
Begawan mendengar kata Maharaja Balia itu, maka terlalu suka hatinya. Maka
baginda lalu masuk ke dalam kota diringkan oleh Maharaja Balia. Maka lalu masuk
ke istana sekali-sekali. Maka oleh Maharaja Balia lalu didudukkannya di atas
singgasana. Maka begawan empat orang itu pun didudukkannya di atas kursi yang
keemasan bersama-sama dengan Maharaja Hanuman. Maka Maharaja Balia pun
duduk di atas singgasana.
Maka hidengan yang nikmat serta lezat berbagai-bagai perbuatannya dan
pelbagai rasanya buatan orang negeri Langkurkatin itu pun diangkat oranglah ke
hadapan Begawan Nilacikru dan ke hadapan segala hulubalang dan menteri
sekalian. Maka Begawan Nilacikru pun makan bersama-sama dengan Maharaja
Balia itu dan setengah begawan pun makanlah empat orang sehidangan, dan
Maharaja Sugriwa dan anak Patih Jamburan dan Sri Hanuman pun makanlah tiga
orang sehidangan. Maka segala raja-raja itu pun makanlah sama rajanya, dan
menteri dan hulubalang masing-masing pada hidengannya. Maka tiadalah makan
sirih, demikianlah ‘adat orang negeri Langkurkatin itu. Maka sembah Maharaja
Balia, “Ya, Tuanku. Apakah pekerjaan tuanku datang kepada hamba ini?” Maka
kata Begawan Nilacikru, “Hai, Anakku, adalah yang ayahanda pintak kepada
anakku itu supaya anakku masyhur kepada segala dewa-dewa Zanggi dan kepada
Rasimuni yang tiga puluh tiga itu supaya masyhur nama anakku kepada segala
dewa-dewa dan indra dan kepada segala ‘alam ini akan nama anakku raja yang

72
– HIKAYAT SRI RAMA –

pahlawan dan budiman dan bangsawan dan artawan dan dermawan dan lagi anak
Raja Indra yang bertapa.” Setelah suda Begawan Nilacikru memuji Maharaja Balia
itu, maka baginda pun bersuka-sukaan kepada telinga Maharaja Balia itu, katanya,
“Hai, Anakku, adapun aku datang ini disuruhkan oleh Maharaja Rawana. Maka
sembahnya kepada anakku jikalau ada nugrah anakku akan dia, hendaklah
dipohonkannya istrinya akan anakku di dalam itu pun lebih pula anakku
memandang akan muka ayahanda sendiri datang mendapatkan anakku ini dan
jikalau anakku hendak beristri yang lain, baik ayahanda pohonkan kepada Dewata
Mulia Raya itu niscaya dianugrahkan oleh Dewata Mulia Raya anak akan istri
anakku yang baik parasnya.” Setelah Maharaja Balia mendengar kata Begawan
Nilacikru itu, maka ia pun berdiam dirinya tunduk berpikir di dalam hatinya,/
91 ‘Adapun putri itu su(da) bunting dengan aku. Bagaimana aku mengembalikan putri
itu kepadanya? Dan jikalau aku tiada kembalikan niscaya bergeraklah hati guruku
dan menjadi darhakalah aku kepadanya.’ Setelah suda ia berpikir demikian, maka
katanya, “Ya, Tuanku, adapun akan perempuan itu telah hamba pakai, suda bunting
ia dengan hamba tujuh bulan sekarang ini.” Maka kata Sri Begawan, “Hai, Anakku,
lamalah juga anakku hendak memberikan putri itu kepada Rawana itu. Adapun
anak yang di dalam perutnya itu bercukuplah ayahanda mengeluarkannya anak
yang di dalam perut putri itu dengan tiada bersakit.” Setelah Maharaja Balia
mendengar kata begawan itu demikian, maka kata Maharaja Balia, “Baiklah,
anakkulah merana hidup juga anak hamba itu.”
Setelah demikian, maka oleh Sri Begawan lalu dibawanya Maharaja Balia
kepada suatu taman yang sunyi. Maka begawan empat orang itu masuklah ke dalam
taman itu. Maka Putri Mandudaki pun masuklah dengan empat orang dayang-
dayangnya anak raja-raja manusia atau yang bersama-sama dengan Mandudaki.
Maka oleh Begawan dibawanya naik ke atas balai, maka disuruhnya labukan
tirainya. Maka kata baginda, “Hai, Anakku, Maharaja Balia. Suruhlah ambil
kambing betina. Maka maharaja pun menyuruh Sugriwa pergi mengambil kambing
betina. Setelah datang kambing itu, maka Begawan Nilacikru lalu dibelahnya perut
putri itu dan perut kambing itu pun dibelahnya. Maka diambil anak yang di
dalamnya itu lalu dimasukkan ke dalam perut kambing itu. Maka dimantrainya
seketika itu juga, maka perut kambing dan perut putri itu pun baiklah seperti dahulu
kala. Setelah Maharaja Balia melihat saktinya Begawan Nilacikru itu, maka terlalu
sukacita hatinya seraya katanya, “Ya, Tuanku itu, katalah hamba persembahkan
akan sekarang. Jikalau ada karunianya tuanku akan hambamu, hendak
memohonkan istri yang lain pula karena hamba pun tiada beristri.” Setelah Sri
Begawan mendengar kata Maharaja Balia itu, maka katanya, “Baikah, hai, Anakku
tetapi ayahanda hendak mengantarkan putri ini dahulu karena ada Maharaja
Rawana menantikan ayahanda di luar negeri ini dan apabila suda memberikan maka
ayahanda kembali pula.” Maka kata Maharaja Balia, “Yang mana titahh tuanku
hamba turut.” Maka Putri Mandudaki pun sujudlah kepada Maharaja Balia,
katanya, “Hai, Mandudaki, adapun akan dayang-dayang tuan putri atau raja-raja
manasia yang empat puluh itu boleh oleh-oleh tuan putri karena ia suda biasa
bersama-sama dengan tuan putri.” Maka Putri Mandudaki pun terlalu sukacita
hatinya beroleh putri empat puluh itu, maka putri Mandudaki pun berjalanlah

73
– HIKAYAT SRI RAMA –

92 diringkan oleh segala dayang-dayang/ dan Begawan Nilacikru dan begawan empat
orang itu dan akan Patih Jamburan pun dititahhkan oleh Maharaja Balia pergi
mengantar Sri Begawan itu. Maka Sri Begawan pun sampailah ke tempatnya
Maharaja Rawana itu menanti. Setelah Maharaja Rawana melihat Begawan
Nilacikru itu datang membawa Putri Mandudaki dengan segala dayang-dayangnya
itu. Maka terlalu sukacita hatinya, maka ia berlari-lari datang menyembah kaki
Begawan Nilacikru. Maka kata Sri Begawan, “Hai, Anakku, Maharaja Rawana.
Adapun akan janji anakku dengan ayahanda janganlah berubah.” Maka kata
Maharaja Rawana, “Ya, Tuanku, jikalau hamba mati maka lupalah hamba akan
janji hamba kepada tuanku.” Maka Tuan Putri Mandudaki pun datanglah
menyembah kaki Begawan Nilacikru. Maka Maharaja Rawana pun bermohonlah
kepada baginda, maka lalu naik ke atas ratanya dan tuan putri dan segala dayang-
dayang yang empat puluh itu. Maka rata itu pun terbanglah kembali ke Langkapuri.
Setelah Maharaja Rawana sudalah kembali itu, maka baginda pun kembalilah
kepada Maharaja Balia. Setelah datang ke dalam istana taman itu, maka Maharaja
Balia pun segera turun mendapatkan gurunya itu. Maka lalu dibawanya naik ke atas
balai perak. Maka begawan empat orang itu pun duduklah bersama-sama anak
Jamburan di atas balai perak itu. Maka kata Begawan Nilacikru, “Hai, Anakku,
sekarang ayahanda hendak berbuat hamum hendak memohonkan istri anakku
kepada Dewata Mulia Raya dan anakku suruhlah cucuku Hanuman pergi
mengambil bunga seribu.” Maka Maharaja Balia pun menyuruhkan Hanuman pergi
mencari seperti kehendak baginda itu. Maka Hanuman pun bermohonlah lalu
berjalan menuju Gunung Indrapuanam. Setelah berapa lamanya, maka ia pun
sampai ke Gunung Indrapuanam. Maka Hanuman pun naiklah ke atas gunung itu.
Maka dilihatnya perbagai-bunga warna bunga itu adalah di atas gunung itu, maka
lalu dibongkarnya gunung itu dan dikiliknya. Maka dibawanya melompat ke
hadapan Begawan Nilacakru dan Maharaja Balia. Setelah dilihat Hanuman datang
membawa gunung tempat segala bunga-bunga itu, maka baginda kedua pun heran
melihat gagah sakti Sri Hanuman itu. Maka gunung itu diletakkannya di tengah
halaman itu. Maka oleh Begawan Nilacikru disuruhnya Begawan Kanu dan
Begawan Singkarama dan daun kayu dan pucuk lalang. Maka Begawan Nilakrama
dan Begawan Maharaja disuruhnya ke atas Indrapuanam memungut bunga itu.
Setelah diambilnya segala bunga itu, maka lalu dipersembahkan kepada Sri
93 Begawan./ (Begawan) Kanun dan Begawan Singkrama Nila pun datanglah
membawa daun kayu dan pucuk lalang muda kepada Sri Begawan.
Setelah lengkaplah segala kelengkapan akan berbuat hamum itu, maka Sri
Begawan menyuruhkan menjadikan api kepada empat penyuru. Setelah bernyala-
nyala api itu, maka segala bau-bauan yang harum dibawanya pun dituangkan oleh
Sri Begawan kepada empat penyuru api hamum itu. Maka daun kayu dan pucuk
lalangitu pun berkasi dijadikan empat berkas. Maka lalu disandarkannya kepada
empat penyuru api hamum itu. Maka Begawan Nilacakru pun duduklah pada suatu
singgasana yang keemasan akan membaca wedam memuji Dewata Mulia Raya.
Maka antara dua jam lamanya itu maka pucuk lalang itu pun menjadi seekor katak-
katak hijau, seperti zamrud rupanya. Maka katak-katak itu pun dipujanya oleh Sri
Begawan dengan empat orang itu. Setelah seketika, maka katak-katak itu pun
menjadi seorang putri terlalu elok parasnya dan indah-indah pakaiannya. Setelah

74
– HIKAYAT SRI RAMA –

itu, maka api hamum itu pun padamlah. Maka berdirilah sebuah maligai tujuh
pangkat dengan perhiasannya terlalu indah-indah. Setelah dilihat oleh Maharaja
Balia dan segala orang banyak kepada tempat itu ada seorang putri terlalu indah-
indah rupanya dan terlebi daripada Putri Mandudaki dan berdiri di maligai tujuh
pangkat dengan perhiasannya itu, maka terlalu sukacita hatinya Maharaja Balia,
maka ia sujud pada Sri Begawan. Maka kata Sri Begawan, “Hai, Anakku, akan putri
ini Dewi Brama Kemala namanya dan bawalah oleh anakku naik ke atas maligai
karena dibawa.” Maka kata Sri Begawan, “Tiadalah mengapa, baik juga anakku
dahulu. Sekaranglah ayahanda tiada naik.” Maka Maharaja Balia pun tiadalah juga
naik. Maka oleh Sri Begawan, maka lalu dipegangnya tangan Maharaja Balia. Maka
kata Sri Begawan, “Hai, Anakku, peganglah tangan istrimu ini bawa naik ke atas
maligai itu.”
Maka Maharaja Balia pun memegang tangan Putri Kemala Dewi itu. Maka
begawan pun datanglah. Setelah datang ke istana maligai itu, Maharaja Balia pun
dikawinkan oleh Sri Begawan dengan Putri Brama Kemala Dewi. Setelah suda,
maka Sri Begawan pun bermohonlah kepada Maharaja Balia pun hendak pergi
mengantarkan baginda. Maka kata baginda, “Janganlah anakku mengantar
ayahanda lagi. Adapun akan cucuku yang di dalam perut kambing itu pun telah
hampirlah akan keluar dan jikalau jadi kanak-kanak cucuku itu peliharakanlah baik-
baik, maka Sri Anggada namanya.” Setelah suda baginda berpesan itu, maka
baginda pun berjalanlah dengan empat begawan itu. Maka Maharaja Balia itu pun/
94 kembalilah ke istananya membawa istrinya itu. Maka baginda pun memberi nugrah
akan segala raja-raja dan menteri dan hulubalang dan rakyat kecil dan besar
sekaliannya memberi dirham akan segala fakir miskin.
Setelah datanglah kepada delapan bulan, maka budak itu pun keluar dari perut
kambing itu. Maka dilihatnya oleh Maharaja Balia anaknya itu laki-laki. Maka
terlalu elok parasnya, seperti pualam sofa dan sekaliannya pun terlalu kasi. Maka
baginda Sri Anggada pun dipeliharakan dengan sepertinya. Setelah berapa lamanya,
maka Sri Anggada pun besarlah. Maka istri baginda yang bernama Putri Dewi
Brama Kemala itu pun hamillah. Setelah genaplah bulannya, maka putri itu pun
beranaklah seorang laki-laki terlalu elok parasnya dan sekalian pun pada terlalu
pahlawan maka dinamai oleh baginda Nila. Maka Sri Hanuman pun datanglah
mengadap baginda, maka sembah Hanuman, “Ya, Tuanku, jikalau ada karunia duli
Syah ‘Alam hambamu hendak bermohon pergi bertapa dan mencari bapa hamba.”
Adapun akan kata Begawan Nilapurba itu, “Sekarang telah hampirlah hambamu
bertemu dengan bapa hamba itu.”” Setelah baginda mendengar Sri Hanuman, maka
kata Maharaja Balia, “Baiklah, tetapi jangan bawa anakku bertapa itu dan ayahanda
pun hendak pergi juga.” Maka Hanuman pun bermohonlah kepada baginda dan
kepada Maharaja Sugriwa dan Patih Jambuan. Maka lalu ia berjalan ke dalam hutan
rimba belantara, maka bertemulah dengan sepohon asam jauh terlalu besarnya dan
buahnya pun terlalu lebat. Maka Hanuman pun naiklah ke atas pohon asam itu.
Maka lalu didudukkannya, maka segala buahnya itu pun dimakannya.
Setelah Hanuman suda pergi, maka Maharaja Balia memanggil Patih Jambuan,
“Hai, samanya, adapun hamba ini hendak pergi bertapa sembilan ratus tahun,
lihatlah oleh bapaku di dalam nujum bapaku datanglah itu.” Maka Patih Jambuan
pun melihat nujum itu. Setelah suda, maka kata Patih Jambuan, “Baiklah tuanku

75
– HIKAYAT SRI RAMA –

segera pergi bertapa. Adapun yang kehendak tuanku itu adalah dianugrahkan oleh
Dewata Mulia Raya.” Setelah Maharaja Balia mendengar kata Patih Jambuan itu
demikian, maka titah baginda kepada Maharaja Sugriwa, “Hai, Sudaraku,
tinggallah engkau menunggui negeri ini. Adapun akan anakku Sri Anggada dan
Nila berilah tahulah kepadanya itu dan peliharakanlah baik-baik ia. Jangan diberi
jauh bermain-main dan jika ada menyerang suatu hal segera engkau beri tahu
kepada aku ke Gunung Intaidi itu.” Maka sembah Sugriwa, “Maka mana titahh
tuanku patik
95 junjung.” Maka Maharaja/ Balia pun memeluk mencium anaknya kedua itu, seraya
katanya, “Hai, Anakku kedua, duduklah engkau dengan hambamu ini. Adapun
sepeninggal aku ini janganlah engkau bermain-main ke luar dari negeri ini.” Setelah
suda baginda berpesan itu kepada Sugriwa dan Patih Jambuan dan kepada kedua
itu, maka baginda pun masuklah ke dalam istana, baginda lalu bermohon kepada
bundanya dan istrinya. Maka baginda pun mengambil gadanya, maka lalu
dihalanjarkannya di muka pintu istana. Maka kata Maharaja Balia, “Hai, Gada,
barangsiapa hendak berbuat khianat di dalam negeri istana ini janganlah tiada
engkau, paluku, binasakan.” Maka ia pun berjalanlah menuju Gunung Intaidi.
Setelah itu, maka ia pun sampailah ke gunung itu. Maka baginda pun lalu naik ke
atas gunung itu serta dilihatnya terlalu banyak maharesi yang tua-tua bertapa di atas
gunung itu.
Sebermula pada orang bertapa itu ada yang berdiri atas kakinya sebelah serta
berdekap tubuh beribu-ribu tahun lamanya. Ada yang di atas pohon kayu, maka
pada ketika itu, maka diikatnya pada pohon kayu itu kepalanya ke bawa itu pun
beribu-ribu tahun. Ada yang ditanamnya dirinya di dalam tanah hingga
pinggangnya. Maka Maharaja Balia pun bertanya kepada seorang maharesi,
katanya, “Apalah kehendak bertapa itu?” Maka segala maharesi itu pun sekaliannya
mengatakan kehendaknya masing-masing yang didapatinya kepada Dewata Mulia
Raya. Maka kata segala maharesi itu, “Akan tuan hamba itu apa kehendak kepada
Dewata Mulia Raya? Jikalau kesaktian pelbagai ada segala kepada tuan hamba dan
katanya berani tuan hamba pun masyhurlah pada segala ‘alam, seorang pun segala
raja-raja tiadalah dapat melawan tuan hamba dan jikalau kebesaran dan kemuliaan
tuan hamba terlalu besar daripada segala raja-raja kera dan beruk dan lutung
sekaliannya di dalam hukum tuan hamba. Sekarang apa lagi hendak bertapakan ini?
Dan lihatlah oleh tuan hamba tapakan ini, kami sekalian ini tinggal dengan tiada
beranak tiada beristri.” Setelah Maharaja Balia mendengar kata segala maharesi itu,
maka ia pun berkata, “Adapun akan kehendak hamba kepada Dewata Mulia Raya
itu tiadalah dapat hamba katakan kepada tuan sekalian dan jikalau sampailah seperti
kehendak hamba itu maka baharulah hamba katakan.” Setelah suda ia berkata itu,
maka pada ketika itu juga Maharaja Balia memulai mengikut bertapa pertapaan.
Adapun kehendak hatinya bertapa itu tidur telantang tiga ratus tahun, demikianlah
kehendak Maharaja Balia bertapa itu. Maka bertapalah ia melintangkan dirinya di
atas gunung Intaidi dengan demikian juga senantiasa ia itu.
Alkisah kepada hikayat Begawan Katama itu, anak Sang Perdana. Maka Sang
96 Perdana itu/ penunggu pintu Dasarata Maharaja, anak Dasarata Cakrawati. Adapun
permulaan hikayat ini ada seorang maharesi bernama Begawan Katama, istri Brama
Indra Dewi. Adapun Dewi Indra itu tiada lain pekerjaannya itu hanya bertapa juga.

76
– HIKAYAT SRI RAMA –

Setelah berapa lamanya, Begawan Katama itu pergi bertapa, maka Dewi Indra pun
naiklah keindraan. Maka Dewi Indra pun bermuka dengan dewa keindraan. Setelah
itu, maka Dewi Indra pun kembalilah ke rumahnya.
Setelah berapa lamanya, maka Dewi Indra pun hamillah. Setelah genaplah
bulannya, maka ia pun beranaklah seorang laki-laki terlalu elok parasnya. Apabila
Begawan Katama melihat anaknya, maka terlalu sukacita hatinya maka dinamai
anaknya itu Maharaja Balia, seraya katanya, “Adapun Anakku ini jikalau ia besar
niscaya menjadi raja besar dan pahlawan gagah berani dan tiada berani siapa
melalui barang kehendaknya dan titahhnya dan tiadalah dapat segala raja-raja di
dalam ‘alam mencoba gagah beraninya.” Maka kelakuannya Begawan Katama pun
sediakala sukacita melihat anaknya itu tiadalah diberinya jauh daripada sisinya.
Sebermula akan pekerjaan Dewi Indra itu sekaliannya ada oleh anak Dewi
Anjani atawa anaknya yang tua. Maka bundanya pun pergi bermuka dengan raja
keindraan, maka dilihatnya oleh Dewi Anjani tatkala beroleh sebuah jumbul manik
Astagina namanya yang pemberi raja keindraan kepada Dewi Indra. Maka dirampas
oleh Dewi Anjani kepada bundanya. Maka lalu dibukanya kepada anaknya oleh
Dewi Indra. Maka kata bundanya, “Hai, Anakku, adapun pekerjaan itu jangan
engkau katakan kepada bapamu akan pekerjaan ini, ambil olehmu manik Astagina
ini. Jangan kamu beri lihat Maharaja Balia Raja itu.” Setelah Dewi Anjani pun
diamlah.
Setelah berapa lamanya, maka Begawan Katama itu pun pergilah di gunung.
Maka Dewi Indra pun bermuka dengan anak raja mambang. Setelah suda, maka ia
pun kembali ke rumahnya. Setelah demikian, maka Dewi Indra pun bunting pula.
Setelah genap bulannya, maka ia pun beranak seorang laki-laki maha elok rupanya.
Maka Begawan Katama pun menamai anaknya itu Sugriwa Sri, terlalu sukacita
hatinya melihat anaknya kedua itu. Setelah berapa lamanya, maka Maharaja Balia
dan Sugriwa pun besarlah serta dengan gagahnya dan beraninya pada zaman itu.
Seorang pun tiada berani menantang matanya.
Setelah berapa lamanya itu, maka disuruhnya panggil Maharaja Balia dan
Sugriwa oleh Maharaja Rawana. Jangankan ia mangadap Raja Rawana. Maka
97 Maharaja Rawana pun/ sunyi hulubalang habis ditinggalkannya dan dibununya.
Adapun akan kata Maharaja Balia itu, “Bahwa oleh karena istrinya aku tangkap dan
aku tendangkan dengan ratanya dan aku gocoh kepalanya itu pun punggallah, maka
tenangkan hatiku.” Setelah berapa lamanya, maka sudaranya Dewi Anjani itu pun
bermain-main akan cucuk manik Astagina kepada suatu tempat. Maka Maharaja
Balia pun pikir di dalam hatinya, ‘Lihatlah bundaku itu kepada sudaraku perempuan
pun diberinya manik Astagina itu, kepada aku tiada diberinya.’ Maka Maharaja
Balia pun segeralah datang kepada sudaranya Dewi Anjani, katanya, “Hai,
Sudaraku, marilah aku lihat manik Astagina itu aku pinjam. Mengapa karena
permainan?” Maka tiadalah diberinya oleh Dewi Anjani itu. Berapa kali
dipintaknya oleh Maharaja Balia, tiada juga diberinya. Maka Maharaja Balia pun
terlalu marah, maka lalu dirampasnya manik Astagina itu daripada tangan
sudaranya itu. Maka Dewi Anjani pun berteriak-teriak. Maka lalu ditelannya manik
Astagina itu. Maka Dewi Anjani lalu mengatakan kata rahasia itu, “Hai, Balia dan
Sugriwa bukannya anak kepada bapaku maka ia hendak berbesar-besarkan hatinya

77
– HIKAYAT SRI RAMA –

kepada aku.” Maka perkataan itu pun kedengaran kepada Begawan Katama, seraya
ia berkata, “Hai, Anakku, Dewi Anjani, katakan olehmu siapa bapanya Balia dan
Sugriwa ini.” Maka sembah Dewi Anjani, “Ya, Tuanku, tinggal ayahanda pergi
bertapa maka bunda pun naik keindraan lalu bermuka dengan seorang anak raja
indraan. Maka diberinya bundanya manik Astagina. Maka pun bunda kembalilah
ke rumahnya. Setelah berapa lamanya, maka bunda pun beranaklah akan Balia
Raja. Manik Astagina diberikannya kepada hamba. Maka kata bundanya, “Hai,
Dewi Anjani, akan pekerjaan ini jangan engkau katakan kepada bapamu.” Maka
hamba pun diamlah. Maka bunda pun pergi pula keindraan, maka bunda pun
bermuka pula dengan raja mambang. Maka bunda pun beranak Sugriwa. Maka
segala perseteru hamba maka bermain-main akan manik Astagina ini serta terlihat
oleh Balia Raja. Maka ia datang kepada hamba, maka dipintaknya manik Astagina
itu kepada kami. Maka tiadalah kami berikan, maka lalu dirampasnya daripada
tangan hamba ini.”
Setelah Begawan Katama mendengar kata anaknya itu demikian, maka baginda
pun terlalu marah. Maka lalu dipanggilnya istrinya, “Hai, Dewi Indra. Mengapa
engkau punya perbuatan yang demikian?” Maka sembah Dewi Indra, “Ya, Tuanku,
98 bahwa tiada sekali-kali tiada perbuatan/ hamba jahat.” Maka kata Begawan
Katama, “Hai, Dewi Indra. Jikalau tiada engkau bermuka, di mana engkau beroleh
manik Astagina itu?” Maka Dewi Indra pun diam dirinya. Maka kata Begawan
Katama, “Hai, Dewi Indra. Jikalau Balia dan Sugriwa itu anakku, marilah kita suruh
menyelam pada kolam di hutan maharesi karena di dalam hutan itu ada dua buah
kolam. Suatu kolam airnya jernih dan suatu kolam itu airnya keruh.”
Setelah itu, maka Begawan Katama pun berjalanlah ke hutan. Setelah sampai
ke dalam hutan, Begawan Katama, “Hai, Balia Raja dan Sugriwa, jikalau bukan
engkau anakku, demi Dewata Mulia Raya aku pinta rupa engkau seperti kera.
Jikalau sungguh engkau anakku, jadilah rupamu seperti rupa Indra Dewa.” Maka
seketika itu juga Balia dan Sugriwa menjadilah kera.cMaka Begawan Katama pun
terlalu dukacita hatinya sebab ia melihat akan hal anaknya itu. Maka Begawan
kembalilah ke rumahnya. Maka Balia Raja dan Sugriwa pun pergilah keduanya
berjalan ke dalam hutan lalu ke negeri Lakur. Maka Balia Raja dan Sugriwa perdana
menjadi raja. Maka Sugriwa pun dijadikannya Mangkubumi.
Maka Maharaja Balia pun bersahabat dengan seorang raja kera lalu besar
kerajaannya. Adapun rakyatnya terlalu banyak dua belas yujan dan delapan bulan
jauhnya dari negeri Kitagena itu. Maka olehnya Maharaja Balia perjalanan delapan
bulan itu dijalankannya dengan sehari juga pergi datang mendapatkan sahabatnya
yang bernama Maharaja Semburan. Maka Maharaja Semburan pun demikian juga
karena ia pun bermuka kepada seorang. Maka demikianlah kesaktian Maharaja
Semburan itu, maka ia pun bertemu dengan Maharaja Balia sebabkan sampai Batara
Indra. Karena Maharaja Semburan bermuka dengan seorang dayang-dayangnya
Batara Indra, sebab itulah maka Maharaja Semburan menjadi raja kera, tetapi
Maharaja Semburan itu terlalu saktinya dan gagah beraninya. Maka segala raja-raja
di dalam Dunia ini tiadalah dapat menantang matanya itu, melainkan Maharaja
Balia juga yang disumpahinya. Ia bersahabat dengan Maharaja Balia dan pada
sebulan empat ratus diberikannya dayang-dayang perempuan oleh Maharaja
Semburan kepada Maharaja Balia pun segala perempuan yang elok parasnya. Itulah

78
– HIKAYAT SRI RAMA –

maka Maharaja Balia terlalu kasi akan Maharaja Semburan seperti sudaranya.
Setelah itu, maka Maharaja Balia dan Sugriwa setelah Begawan Katama kembali
ke rumahnya, tetaplah di dalam negeri Lakur Ketagina. Maka segala beruk,
kungkung, siamang, lutung sekalian di dalam hukumnya [maka]
99 Maharaja Balia/ dan Sugriwa.
Setelah Begawan Katama kembali ke rumahnya itu. Maka ia berkata, “Hai,
Dewi Indra, bahwa antara kita bercerailah.” Apabila Dewi Indra mendengar kata
Begawan Katama itu, maka katanya, “Hai, Dewi Anjani, karenamulah aku bercerai
dengan bapamu itu. Syahdan maka anakku kedua pun menjadi kera keduanya.
Adapun demi Dewa(ta) Mulia Raya bahwa mulutmu pun ternganga-nganga seratus
tahun.” Setelah demikian, maka pada ketika itu juga Dewi Anjani mulutnya
ternganga-nganga. Setelah dilihat oleh Begawan Katama anaknya demikian itu,
maka ia pun terlalu dukacita hatinya sebab melihat anaknya demikian itu. Maka
Dewi Anjani pun segera bermohon kepada ibunya dengan malu lakunya lalu ia
pergi ke tengah laut bertapa di atas jarum. Maka ia pun berdirilah di atas jarum itu
seratus tahun dengan mulutnya ternganga-nganga. Setelah demikian, maka
Begawan Katama pun bercerailah dengan Dewi Indra. Maka Begawan Katama pun
pergilah mengikut bertapa seperti dahulu kala itu dengan dukacitanya daripada hal
demikian itu.
Alkisah maka tersebutlah perkataan akan kejadian Hanuman itu. Tatkala itu Sri
Rama lagi duduk di atas serjanya. Adapun pikir ia di dalam hatinya, ‘Siapa yang
dapat bertapa di tengah laut ini, melainkan Dewi Anjani juga, cucu Sang Perdana,
anak Begawan Katama.’ Maka terlalu amat elok parasnya. Setelah ia berpikir
demikian itu, maka berahinya pun datang daripada sangat ‘asiknya ia pun turun.
Maka oleh baginda diambilnya dua kempal mani itu, maka dibungkusnya dengan
manikam itu. Setelah suda, maka dipanggilnya Raja Bayuwita serta bertitahh, “Hai,
Bayuwita, terbangkanlah olehmu manikam itu, masukkan ke dalam mulut
perempuan yang bertapa di tengah laut itu.” Setelah Bayuwita mendengar titah
baginda itu, maka ia pun menerbangkan manikam itu ke dalam mulut. Dewi Anjani
pun hamillah. Maka ia pun segeralah kembali ke negerinya dan mulutnya itu
terapatlah seperti sediakala.
Syahdan maka pertapaannya pun genaplah seratus tahun. Setelah ia kembali ke
rumahnya, maka dilihatnya oleh akan bapanya pun tiada di dalam istananya dan
bundanya pun suda kembali keindraan dan sudaranya pun suda menjadi raja di
negeri Langkurkatin. Maka buntingnya itu pun genaplah bulannya. Maka pada
ketika itu hari jumat ada ketika tengah hari, maka Dewi Anjani pun beranaklah
100 seperti rupa kera/ maka rupanya seperti kapas. Maka pada tatkala itu didengarnya
suatu suara, demikian bunyinya, “Hai, Dewi Anjani, namai olehmu cucuku itu
Maharaja Hanuman.” Maka sembahnya, “Dan siapa bapanya anak hamba ini dan
tuanku itu siapa?” Maka ia pun bersuara pula, demikian bunyi, “Hai, Dewi Anjani.
Barangsiapa mengenal anting-anting telinganya anakmu itu, itulah bapanya dan aku
ini neneknya dan namaku ini Sang Perdana.” Setelah Dewi Anjani mendengar kata
suara itu, maka ia pun sukacita hatinya. Maka suara itu pun tiadalah kedengaran
lagi. Maka Dewi Anjani mendengar kata suara itu, maka ia pun menamai anaknya
Maharaja Hanuman. Maka disusuinya. Maka baharulah diisapnya, maka susu

79
– HIKAYAT SRI RAMA –

bundanya itu pun kuranglah. Maka bundanya pun pingsanlah. Seketika itu
Hanuman pun lapar pula hendak menyusu, maka dilihatnya susu bundanya pun
keringlah. Maka kata Hanuman, “Hai, Ibuku, mintak aku makanan karena aku
terlalu lapar.” Maka Hanuman berkata kepada bundanya itu, maka keluarlah
daripada mulut Hanuman bintang berhamburan. Maka bundanya pun heran melihat
saktinya anaknya itu. Maka sahut bundanya, “Hai, Anakku, adapun akan makanan
tuan itu segala buah-buahan yang merah atawa makanan Anakku.” Setelah
demikian itu, maka Hanuman pun berjalanlah ia ke dalam hutan. Maka dilihatnya
oleh Hanuman ke Magrib suatu pun tiada buah-buahan akan makannya itu.
Maka Hanuman pun melihat ke Masyrik, maka dipandangnya tatkala matahari
akan terbitnya. Maka Hanuman pun melompat kepada matahari, maka seketika itu
pun juga maka matahari pun berpaling melihat akan Hanuman. Maka Hanuman pun
menjeritlah. Maka kata matahari, “Siapa gerangan kanak-kanak ini?” Maka segala
bulunya Hanuman pun muncullah. Maka tatkala itu Sang Perdana ada bertapa di
tepi laut, maka dilihatnya seperti bintang jatuh dari langit. Setelah demikian, maka
air laut itu pun terlalu hangat. Maka kata Sang Perdana, “Ini tiada lain daripada
cucuku juga Hanuman dibununya oleh matahari.” Maka Sang Perdana pun terlalu
marah kepada matahari, maka kata Sang Perdana, ‘Sungguhlah matahari
menunjukkan saktinya pada kanak-kanak ini. Jikalau cucuku Maharaja Hanuman
itu tiada dihidupkannya oleh matahari itu, maka diperanginya oleh Maharaja Balia
itu karena Hanuman itu anak sudaranya.’ Maka Sang Perdana pun menyuruhkan
101 seorang maharesi memanggil Maharaja Balia/ dan Sugriwa.
Maka ia pun datang mengadap Sang Perdana, maka segala hal ihwalnya Dewi
Anjani beranakkan Hanuman itu maka jadilah serupa kera yang dibunu oleh
matahari itu semuanya diceritakan oleh Sang Perdana kepada Maharaja Balia dan
Sugriwa. Setelah Maharaja Balia dan Sugriwa mendengar kata Sang Perdana itu
demikian, maka Maharaja Balia pun terlalu marah kepada matahari. Maka sembah
Maharaja Balia, “Ya, Tuanku Maharesi, sekarang hamba pulang ke angkasa pergi
menangkap matahari itu jikalau tiada menghidupkan Maharaja Hanuman itu dengan
seketika itu.” Maka Sang Perdana pun berseru-seru suaranya seperti guruh dan
halintar membelah bunyinya, demikianlah katanya, “Hai, Matahari! Segeralah
engkau hidupkan cucuku Maharaja Hanuman itu karena ia lagi kanak-kanak
tiadalah tahu bahasa. Adapun jikalau engkau tiada hendak menghidupkan cucuku
itu niscaya peranglah kepada aku ini. Aku suda lama bertapa dua belas tahun
seorang pun segala raja-raja di dalam ‘alam ini tiadalah yang berani kepada aku,
hanya Rawana juga yangberbuat jahat kepada anak cucuku Maharaja Hanuman dan
jikalau engkau tiada hidupkan sekarang juga, aku datangi kepada engkau. Jikalau
aku mati pun sudalah jikalau aku hidupkan barang sekuasaku akan melawan engkau
berperang.” Setelah matahari mendengar suara Sang Perdana itu, maka matahari
pun bahrulah tahu akan Hanuman mati itu. Maka kata matahari, “Hai, Sang
Perdana, segeralah engkau hampunkan segala (tulang) tuan hamba maharaja itu
supaya hamba hidupkan seperti sediakala dan hamba ajari segala hikmat dan
tahulah akan berperang karena hamba tahu akan Maharaja Hanuman sampai kemari
akan pada tempat ini dan tahulah hamba akan cucu tuan hamba.” Setelah Sang
Perdana mendengar kata matahari itu, maka ia pun dan menyuruh Maharaja Balia
dan menyuruhkan segala ikan yang di dalam laut itu akan mengampunkan segala

80
– HIKAYAT SRI RAMA –

tulang Hanuman yang jatu ke dalam laut itu. Maka segala tulang Hanuman itu
habislah dicari oleh segala ikan dibawanya ke tepi laut itu. Setelah segala tulang
Hanuman itu lengkap, maka matahari pun tiadalah bergerak daripada tempatnya
adalah kadar satu jam lamanya.
Maka Hanuman pun hiduplah seraya dilihatnya akan Sang Perdana, Maharaja
Balia. Maka kata Hanuman, “Siapakah tadi aku lihat seperti buah kayu terlalu amat
merah?” Maka kata Sang Perdana, “Hai, Cucuku, Maharaja Hanuman. Aku
nenekmu dan yang seorang ini sudara ibumu. Adapun sebab aku datang kemari ini
102 oleh karenamu./ Tadi engkau dibunu oleh matahari karena engkau hendak makan
dia itu. Karena ia tiada tahu akan engkau cucuku, sekarang engkau sudalah
dihidupkannya. Jikalau engkau (tiada) dihidupkannya, niscaya juga aku datangi.”
Setelah Maharaja Hanuman mendengar kata Sang Perdana itu, maka kata
Hanuman, “Ya, Tuanku, Maharaja Balia, karena hamba hendak pergi kepada
matahari itu karena hamba hendak berguru akan segala hikmat dan tipu perang
seketika itu juga hamba datang kemari.” Maka kata Sang Perdana, “Baiklah segera
cucuku kembali supaya aku menanti di tengah laut ini.” Setelah Hanuman
mendengar kata Sang Perdana itu, maka Hanuman pun segeralah pergi kepada
matahari itu. Maka seketika itu juga pun datanglah kepada matahari. Maka kata
matahari, “Hai, Kanak-kanak, siapa namamu?” Maka kata Hanuman, “Hambalah
yang bernama Maharaja Hanuman, cucu Batara Sang Perdana.” Maka kata
matahari, “Sungguhlah engkau anak sudara Maharaja Balia maka engkau dapat
sampai kemari kepada tempatku ini. Sekarang apa pula kehendakmu kepada aku?”
Maka sembah Hanuman, “Ya, Tuanku, jikalau dapat kiranya, hamba mintak
ajarkan oleh tuanku segala hikmat dan segala tipu perang itu.” Setelah didengar
oleh matahari akan kata Hanuman itu, maka matahari pun segera mengajarkan
seribu hikmat perang dan tipu perang di dalam laut dan darat dan di dalam bumi
dan tipu perang segala dewa-dewa dan indra, peri dan dewa, mambang dan hikmat
membunu jin dan rasaksa. Setelah suda ajarkan oleh matahari akan saktian dari
pantas berjalan melompat. Setelah suda diajarkan oleh matahari itu, maka ia pun
(pergi mengadap) Perdana dan Maharaja Balia dan Sugriwa. Maka segala hal
ihwalnya pun habislah dikatakannya kepada Sang Perdana dan Maharaja Balia
karena ia hendak mendapatkan bundanya. Maka kata Sang Perdana, “Hai, Cucuku,
Hanuman pergilah engkau bertapa dan mencari bapamu barang ke mana.” Setelah
suda dipesannya oleh Sang Perdana dan diajarkannya lima ratus perkara hikmat dua
ratus perkara kesaktian. Setelah suda itu, maka Hanuman pun kembalilah kepada
bundanya dan Sang Perdana pun kembalilah mengikut tapanya seperti dahulu kala
itu. Maka Maharaja Balia itu sebulan sekali dan setengah bulan sekali, ia datang
menyembah sujud kepada kaki Sang Perdana. Maka Maharaja Balia pun berguru
kepada Sang Perdana akan segala hikmat dan tipu perang dan Maharaja Semburan
pun bergurulah kepada Sang Perdana.
Arkian setelah datang Hanuman kepada bundanya. Maka diceritakannya tatkala
103 ia dibunu oleh matahari itu dan peri ia bertemu dengan neneknya/ dan Maharaja
Balia dan Sugriwa itu, semuanya dikatakannya kepada bundanya. Setelah didengar
oleh bundanya, maka ia pun heranlah melihat gagah perkasanya anaknya itu. Maka
kata bundanya, “Hai, Anakku, bukannya itu buah kayu akan makanan anakku,

81
– HIKAYAT SRI RAMA –

itulah matahari namanya itu.” Setelah didengar oleh Hanuman kata bundanya itu,
maka Hanuman pun pikir di dalam hatinya, ‘Inilah buah kayu yang dikatakan oleh
bundaku itu pun terlalu lebat di dalam rimba belantara itu.’ Maka oleh Hanuman
dicabutnya pohon kayu itu, maka dibawanya kepada bundanya itu. Setelah itu maka
bundanya pun heranlah seraya katanya, “Hai, Anakku, inilah buah kayu makanlah
oleh anakku. Inilah yang dikatakan makanan oleh anakku.” Setelah didengar oleh
anakda kata bundanya itu, maka ia pun terlalu sukacita hatinya. Maka ia pun pergi
sehari mencari buah kayu dibawanya kepada bundanya. Demikianlah ia memberi
akan bundanya itu sehari-hari.
Berapa lamanya maka Hanuman pun besarlah ada kira-kira dua belas tahun
‘umurnya itu. Maka Hanuman bertanya kepada bundanya, “Hai, Ibuku, manalah
bapaku?” Maka sahut bundanya, “Hai, Anakku, akan bapamu itu aku tiadalah tahu,
tetapi jikalau ada orang mengenal anting-antingmu itu itulah bapamu, tuanmu.”
Setelah didengar oleh Hanuman akan kata bundanya itu demikian, maka Hanuman
pun diamlah, seraya ia pikir. Setelah demikian, maka Hanuman pun pergi bertapa
seraya meliharakan bundanya. Demikianlah kelakuannya Hanuman itu kepada tiap-
tiap hari adanya.
Alkisah maka datang kepada hikayat Maharaja Rawana tatkala ia kembali akan
membawa istrinya, Putri Mandudaki, pulang ke negerinya. Setelah sampailah ke
negeri Langkapuri, maka Maharaja Rawana pun terlalu sukacita hatinya karena
beroleh kemaluan itu sedikit. Maka ia pun menyuruhkan akan seorang bentaranya
pergi keindraan akan mengambil anaknya Indrajat itu dan menyuruhkan seorang
bintaranya pergi ke dalam bumi akan memanggil anaknya Patala Maharani dan
menyuruhkan memanggil anaknya ke dalam laut yang bernama Gangga Mahasura
dan menitahkan bintaranya pergi ke Gunung Gayuran Gangsa akan memanggil
sudaranya yang bernama Kumbakarna dan menyuruhkan Maharaja Bibisanam
memanggil segala raja-raja yang takluk kepadanya dan segala menteri dan
hulubalang dan rakyat sekalian tiada tepermanai itu, sekaliannya datang mengadap
kepada Maharaja Rawana. Maka pada tatkala itu pun memberi titah kepada
sudaranya yang delapan orang dan kepada anaknya yang tiga orang dan kepada
104 raja-raja hulubalang sekalian/ itu, demikianlah titahhnya, “Hai, Sudaraku sekalian
dan Anakku, segala menteriku dan hulubalangku sekalian. Adapun aku hendak
pergi menyerang Maharaja Balia itu, apalah bicara kamu sekalian akan pekerjaan
ini? Bahwa daripada zaman ini seorang pun tiada yang beroleh daripada segala raja-
raja dapat akan kebesaran lain daripada aku di dalam ‘alam Dunia ini. Istimewa
daripada kekayaan dan kemuliaan seperti aku ini kemaluan dan seperti aku ini yang
dianugrahkan oleh Dewata Mulia Raya. Adapun Maharaja Balia itu seteruku yang
aku hendak dibununya tanganku sendirinya. Maka segala handaiku karena ia tiada
tahu pernah bekas tanganku karena inilah maka dapat membunu dia karena tiada
berapa banyak orangnya.” Setelah didengar oleh segala anak Maharaja Rawana dan
segala raja-raja dan segala sudaranya itu akan titah Maharaja Rawana itu, tatkala ia
seorang daripada segala raja-raja yang banyak itu tiadalah berdatang sembah ke
bawa duli Maharaja Rawana karena segala raja-raja pada tatkala itu pada takut
melihat kelakuan Maharaja Rawana itu akan memberi titah itu serta dengan
marahnya itu. Setelah demikian maka anaknya yang tua pun berdirilah di hadapan
segala raja-raja itu, seraya katanya, “Ya, Tuanku Syah ‘Alam. Adapun yang

82
– HIKAYAT SRI RAMA –

dipersembah ini setelah sediakala pun Indrajat akan memohonkan karunia ke bawa
cerpu Sri Maharaja. Adapun pada bicara patik mengatakan Yang Dipertuan hendak
pergi menyerang negeri Maharaja Balia itu karena sediakala yang diperhamba duli.
Setelah mendengar Yang Dipertuan itu suda berjanji kepada Begawan Nilacikru
dan bagaimana pun tuanku berjanji dahulu hari, maka sekarang akan menjadi laut
itu. Apatah nama duli Yang Dipertuan dikata segala ‘alam dan segala raja-raja yang
di dalam Dunia ini akan melawan gurunya karena akan Begawan Nilacikru itu?
Jikalau sehari pun Yang Dipertuan melawan kera ini, apa namanya kepada Syah
‘Alam?” Apabila Maharaja Rawana mendengar sembah Indrajat itu, maka ia pun
berdiam dirinya. Maka kepada tatkala itu [ia](Kumbakrna) kembali karena ia pun
terlalu (marah) kepada Indrajat, seraya katanya, “Hai, Indrajat, apatah yang
dikatakan kepada Begawan Nilacikru itu? Jikalau tuan hamba sekalian akan takut
melawan Begawan Nilacikru itu, biarlah hamba seorang juga melawannya karena
ia bukan guru kepada hamba.” Setelah didengar oleh Maharaja Rawana akan kata
Kumbakarna itu, maka Maharaja Rawana pun terlalu sukacita.
Maka Maharaja Rawana pun menanggalkan pakaiannya daripada tubuhnya,
105 maka dianugrahkan pakaian itu/ kepada Kumbakarna. Maka titah Maharaja
Rawana, “Hai, Kumbakarna, engkau sudaraku yang akan dapat gantiku kerajaan di
dalam negeri ini.” Maka pada tatkala itu Kumbakarna pun bercakaplah ke bawa duli
Maharaja Rawana. Demikianlah cakapnya, “Ya, Tuanku, adapun Maharaja Balia
dan Sugriwa hambalah melawannya dan ke bawa duli Sengalam, hamba pohonkan
hulubalang yang gagah lagi berani barang dua laksa hendak disuruh melawan segala
kera dan lutung, siamang, kungkung yang takluk kepada Maharaja Balia itu karena
segala raja-raja itulah yang diharap oleh hamba bantunya.” Setelah didengar oleh
Maharaja Rawana sembah Kumbakarna itu, maka titah Maharaja Rawana, “Hai,
Sudaraku, baiklah jangankan hulubalang selaksa jikalau sepuluh laksa sekalipun
aku adakan kepada sudaraku.
Hatta maka Maharaja Rawana pun berlengkaplah. Setelah suda lengkap, maka
Kumbakarna pun bermohonlah kepada Maharaja Rawana. Lalu ia berjalanlah
menuju negeri Langkurkatin diiringkan oleh segala hulubalang selaksa dan segala
bala tentaranya yang tiada tepermanai banyaknya itu. Setelah berapa lamanya,
Kumbakarna dan segala bala tentaranya berjalan itu, maka ia pun sampailah ke
seberang pulau Langkapuri. Maka tatkala itu, Kumbakarna pun bertemulah dengan
dusun tempat maharesi dan brahmana bertapa itu. Maka segala dusun itu habislah
dibinasakan oleh segala rakyat Kumbakarna itu dan rumahnya segala maharesi itu
habislah dibinasakannya. Setelah maharesi melihat Kumbakarna datang itu dengan
segala rakyatnya akan membinasakan segala dusun dan halaman maharesi itu, maka
maharesi sekaliannya pun habislah lari, tiadalah berketahuan lagi perginya. Maka
kata segala maharesi yang lari itu, “Adapun jikalau kita lari ke dalam hutan ini
niscaya didapatinya oleh segala rasaksa. Jikalau demikian, baiklah kita membawa
diri kepada Maharaja Balia di negeri Langkurkatin karena Maharaja Balia itu terlalu
kepada segala orang yang bertapa.” Maka kata seorang maharesi, “Benarlah seperti
kata tuan hamba itu.”
Setelah demikian, maka segala maharesi pun berjalan ke negeri Langkurkatin
itu. Tiada berapa lamanya, maka mereka itu pun sampailah ke negeri Langkurkatin.
Lalu masuk ke dalam kota itu. Lalu mengadap kepada Maharaja Balia dan Sugriwa.

83
– HIKAYAT SRI RAMA –

Maka kata Maharaja Sugriwa, “Hai, Maharesi, hendak ke mana sekalian tuan
hamba ini?” Maka ujarnya segala maharesi itu semuanya dikatakannya kepada
Maharaja Sugriwa. Setelah didengarnya segala kata maharesi itu, maka kata
106 Maharaja Sugriwa, “Baiklah./ Jikalau Kumbakarna datang itu, akulah melawannya
itu. Adapun tuan hamba sekalian ini duduklah di dalam negeri ini, tetapi sudaraku
Maharaja Balia itu lagi bertapa di Gunung Intaidi. Adapun akan Kumbakarna itu,
hambalah melawannya dan jikalau Maharaja Rawana itu datang sendirinya, baharu
hamba akan menyuruh panggil sudara hamba Maharaja Balia.” Setelah maharesi
mendengar kata Sugriwa itu, maka ia pun terlalu suka dan segala maharesi pun
duduklah di negeri itu.
Setelah berapa lamanya Kumbakarna berjalan itu, maka ia pun akan hampirlah
ke negeri Langkurkatin. Adalah kira-kira sehari perjalanan akan sampai, maka
Kumbakarna dan segala hulubalang rakyat sekalian yang tiada tepermanai itu.
Setelah berapa harinya di dalam hutan tiada juga sampai karena dengan berkat
pertapaan Maharaja Balia maka Kumbakarna dan segala rakyat itu sekalian
terpusing-pusing berjalan di dalam hutan itu, tiada mendapat jalan. Maka terpusing-
pusing tujuh hari tujuh malam, tiada juga Kumbakarna mendapat jalan yang betul
itu. Maka Kumbakarna pun berheranlah akan dirinya. Maka segala rakyat itu
semuanya kelaparan ada di dalam hutan dan semuanya lari kembali ke negerinya.
Setelah segala hulubalang yang tua-tua itu melihat akan kelakuan itu, maka ia pun
berdatang sembah kepada Maharaja Kumbakarna, “Ya, Tuanku Syah ‘Alam,
setelah hamba mohonkan ampun dan karunianya ke bawa duli Yang Dipertuan,
adapun hamba sekalian bukannya berperang dengan segala maharaja kera itu
karena rakyat tuanku habislah lari kembali. Adapun jika salahku ini juga kita
merasai demikian ini, niscaya habislah segala rakyat kelaparan dan jikalau bertemu
dengan lawan Maharaja Balia itu, apatah halnya segala rakyat pun kelaparan ini?”
Setelah Maharaja Kumbakarna mendengar sembah segala hulubalang itu, maka
tiadalah Kumbakarna berkata-kata. Maka ia pikir, “Benarlah katamu itu sekalian
karena yang kita pergikan itu hanya rakyat kita juga. Adapun jikalau gagah berani
kita seorang masihkah akan menjadi pekerjaan ini, barang sesuatu pekerjaan tuan
tiadalah dapat kita kerjakan.” Setelah demikian, maka Kumbakarna pun kembalilah
dengan segala hulubalangnya dan rakyatnya itu sekalian lalu menuju ke tepi laut.
Setelah berapa lamanya, maka Kumbakarna pun sampailah ke tepi laut
penyeberangan ke negeri Langkapuri. Maka Kumbakarna pun barulah bertemu
107 dengan sebuah gunung. Maka di atas gunung terlalu banyak pohon/ kayu dan segala
buah-buahan karena gunung itu tempat segala maharesi bertapa itu. Maka gunung
itu telah ditinggalkan oleh segala maharesi. Maka pada tatkala itu Kumbakarna pun
naik ke atas gunung itu dan segala rakyat sekalian masing-masing melakukan
kesukaannya akan memakan segala buah-buahan itu. Maka pada ketika itu segala
buah-buahan pun habislah dimakannya oleh segala rakyat Kumbakarna dan
janganlah buahnya dan daunnya habis dimakannya itu. Setelah demikian, maka
Kumbakarna pun turunlah dari atas gunung itu. Lalu berjalan ke negeri Langkapuri.
Setelah sampai, maka pada tatkala itu Maharaja Rawana pun sedang dihadap
oleh segala anaknya dan sudaranya dan segala menteri, hulubalang, rakyat sekalian
dengan segala balatentaranya. Maka Kumbakarna pun datang mengadap kepada

84
– HIKAYAT SRI RAMA –

Maharaja Rawana. Setelah dilihat oleh Maharaja Rawana, maka ia pun berdebar-
debarlah hatinya dan beroleh warna mukanya. Maka Kumbakarna itu pun sangat
pula beroleh warna mukanya dan tatkala itu Maharaja Rawana pun tunduk diam.
Setelah demikian, maka Kumbakarna pun berdatang sembah kepada Maharaja
Rawana, “Ya, Tuanku Sri Maharaja, adapun patik dititahhkan oleh Yang Dipertuan
menyerang ke negeri Maharaja Balia, maka patik sekalian pun sampailah ke pinggir
negerinya. Ada kira-kira sehari perjalanannya juga akan sampai, maka patik
sekalian pun sesat di dalam hutan tujuh hari tujuh malam, tiada bertemu akan jalan
yang benar. Maka tatkala itu segala rakyat pun habis lari pulang kembali.” Maka
Kumbakarna pun berhikayatlah akan Maharaja Balia berperang. Kata bicara itu
semuanya dipersembahkan kepada Maharaja Rawana. Setelah Maharaja Rawana
mendengar sembah Maharaja Kumbakarna itu demikian, maka ia pun pikir, ‘Jikalau
telah seperti kata Kumbakarna itu, niscaya perbuatan Begawan Nilacikru juga
karena ia dengan serta dengan Maharaja Balia karena ia terlalu kasi kepada
Maharaja Balia.’ Maka tatkala itu Indrajat pun memandang kepada Maharaja
Bibisanam. Maka Maharaja Bibisanam pun memandang kepada Indrajat. Maka
keduanya tersenyum lalu tunduk diam dirinya. Maka segala raja-raja yang banyak
itu melihat Maharaja Bibisanam dan Indrajat itu tersenyum-senyum. Maka segala
raja-raja itu pun tahulah artinya karena Kumbakarna dan Maharaja Rawana itu
beroleh kemaluan. Maka tatkala itu Maharaja Rawana pun sampailah ke dalam
istana, maka segala raja-raja dan indra dan menteri dan hulubalang sekalian pun
108 masing- masing/ pulang kembali ke rumahnya. Maka pada tatkala itu Kumbakarna
pun bermohonlah kepada Maharaja Rawana lalu kembali ke negeri Kaliuran
Gangsa namanya itu.
Alkisah maka tersebutlah hikayat Laksamana bermain-main ke dalam hutan.
Datanglah kepada suatu hari pertapaannya, Darasinga baharulah delapan tahun
lamanya ia bertapa. Maka dengan takdir Dewata Mulia Raya, maka turunlah sebilah
pedang akan nugrahnya Batara Indra akan Darasinga. Maka pada tatkala itu,
Laksamana pun berjalanlah ke dalam hutan. Maka dilihatnya oleh Laksamana satu
pedang turun dari indraan itu melayang-layang datang menuju rumpun buluh
betung tujuh rumpun itu. Maka dilihatnya oleh Laksamana akan sebilah pedang
turun dari indraan. Maka Laksamana segeralah melompat lalu disambarnya pedang
itu oleh Laksamana. Maka dilihatnya pedang itu terlalu indah-indah segala akan
perbuatannya dan namanya pedang itu Cindrawali terlalu eloknya. Maka di dalam
hatinya Laksamana, ‘Jikalau demikian, baiklah aku persembahkan kepada tuanku
Sri Rama karena pedang ini turun dari indraan. Pedang ini aku cobakan kepada
rumpun buluh betung tujuh rumpun ini kalau-kalau tiada dimakannya.’ Setelah
demikian, maka diparangnya oleh Laksamana akan pedang itu pada rumpun buluh
itu dengan sekali tatak juga, delapan yujan hutan rimba itu safan putus-putus dengan
kayu-kayuan yang sepuluh peluk besarnya pun putuslah. Maka demikianlah
kesaktiannya pedang itu.
Syahdan maka Laksamana pun saktinya Darasinga bertapa di dalam buluh
betung itu pun putuslah terpelanting ke hadapan Laksmana itu. Maka Laksmana
pun heranlah seraya berkata-kata, “Demi Dewata Mulia Raya bahwa sekali-kali aku
tiada tahu akan manusia di dalam rumpun buluh ini.” Setelah suda Laksamana pun
menetakkan pedang itu ke kanan, maka segala hutan kayu itu yang kanan segera-

85
– HIKAYAT SRI RAMA –

segera delapan yujan yang beterbangan segala kayu. Ia maka ditetakkan pula ke kiri
pun demikian juga habislah beterbangan segala kayu yang enam peluk besarnya itu
berterbangan ke udara. Setelah Laksamana melihat makan pedang itu terlalu amat
tajamnya, maka Laksamana pun heranlah. Maka lalu ia kembali kepada Sri Rama.
Setelah datang kepada Sri Rama itu, maka Laksamana pun menyembah kaki Sri
Rama, katanya, “Ya, Tuanku Syah Alam, adapun pedang ini lainnya pakaian
109 tuanku karena pedang ini turun dari indraan, patik dapat di dalam rumpun/ buluh
betung itu. Maka patik cobakan kepada hutan pun kayu yang lima enam peluk itu
habislah putus-putus oleh pedang ini.” Maka kata Sri Rama, “Laksamana adapun
senjataku ini panah. Adapun padang ini ambillah oleh Adinda.” Setelah demikian,
maka Laksamana pun kembalilah kepada tempatnya bertapa itu.
Maka tatkala itu Surapandaki pun datanglah mendapatkan anaknya bertapa itu
membawa nasi sebakul dan gulai sepinggan akan Darasinga itu. Maka dilihatnya
oleh Surapandaki akan kepala anaknya itu setelah terpunggal dua terpelanting.
Maka kata Surapandaki, “Tiada lain orang yang memenggal kepala anakku ini
hanya Laksamana juga karena ia sediakala bermain-main di dalam hutan ini. Jikalau
bukan Laksmana, melainkan sudaranya juga yang bernama Sri Rama, tiada lain
yang membunu anakku ini, tetapi Sri Rama itu tiada akan mau gerangan karena
orang bertapa.” Setelah Surapandaki berkata itu, maka ia pun pikirlah, ‘Adapun
sekarang ini ke mana pula aku mengadukan halku?’ Maka Surapandaki pun
berjalanlah menuju negeri Darkala Sena karena kaum sepupunya Raja Rawana.
Setelah berapa lamanya, maka Surapandaki pun sampailah ke negeri Maharaja
Darkala Sena. Lalu ia masuk ke istananya mendapatkan maharaja itu. Maka
maharaja itu pun heranlah ia melihat akan Surapandaki itu, seraya katanya,
“Surapandaki apa sebabnya maka engkau datang serupa ini?” Maka sahut
Surapandaki dengan tangisnya, katanya, “Hai, Sudaraku, adapun yang dahulu hari
aku harap Maharaja Rawana akan sekarang telah menjadi seteru aku sebab daripada
pekerjaannya tiada patut maka jadi demikian halku ini.” Maka kata Maharaja
Darkala Sena, “Apa sebabnya Maharaja Rawana berbuat pekerjaan yang demikian
itu kepada sudaraku?” Maka sahut Surapandaki, “Hai, Sudaraku, maka kepada tuan
hamba juga hamba katakan hal hamba ini. Adapun akan suami hamba Bergansinga
itu dengan berapa kebaktiannya kepada Maharaja Rawana tiada dengan sebab
dibununya itu karena itulah maka hamba pergi membawa anak hamba ke hutan
rimba belantara daripada sakit hati hamba. Maka datang Laksamana itu hendak
akan hamba maka hamba tiada mau akan dia. Maka anak hamba dibununya. Sebab
itulah maka hamba datang kepada tuan hamba hendak mintak tolong.” Setelah
didengar oleh Maharaja Darkala Sena kata Surapandaki itu demikian, maka
maharaja itu pun terlalu marah seperti api bernyala-nyala dan seperti singa hendak
110 menerkam/ lakunya seraya ia bertempik katanya, “Baiklah, Laksamana dan Sri
Rama itu menunjukkan laki-lakinya kepada perempuan. Bahwa akulah akan
lawannya.” Maka pada tatkala itu, ada seorang perdana menteri tahu akan alim ahli
alnujum serta ia berdatang sembah, “Ya, Tuanku, Syah Alam. Adapun hamba ini
mohonkan ampun dan karunia ke bawa duli Syah ‘Alam, jangan tuanku bertitah
yang demikian ini karena Sri Rama dan Laksamana itu bukan barang-barang
sepertinya dan ialah manusia yang jadikan oleh Dewata Mulia Raya di dalam Dunia
ini. Jikalau duli Sengalam ambil dengan keras, niscayalah binasalah rakyat kita

86
– HIKAYAT SRI RAMA –

karena Sri Rama itu bukannya barang-barang gagah beraninya, seperti ia memana
pohon lontar yang empat puluh pohon itu dengan sekali panah juga terus dan
membunu rasaksa yang bernama Janggin itu dengan sekali panah juga terus lalu
mati dan seperti menikamkan Gagak Sura itu dan seperti ia membunu ular naga
bernama Suranagin dan seperti bunu badak yang bernama Agigandi dan seperti
menangkap Maharaja Pusparama. Alangkah gagah beraninya dan sakti, tetapi
kepada bicara hamba melawan Sri Rama itu baik juga dengan ‘akal supaya rakyat
Sri Maharaja jangan binasa. Baiklah, Adinda itu Surapandaki itu pergi kepada Sri
Rama menyerupakan dirinya seorang perampuan yang baik parasnya. Maka
pergilah bersuamikan dirinya kepada Sri Rama. Jikalau Sri Rama suda berdudukkan
dengan dia, jadi akan istrinya, barang pun pekerjaannnya mudahlah barang
kehendak tuanku, niscaya berlakulah atas Sri Rama.” Setelah Maharaja Darakala
Sena dan Surapandaki mendengar kata Semandari Sena itu, maka kata baginda,
“Jikalau demikian, baiklah bicaramu itu.” Setelah demikian, maka Maharaja
Darakala Sena pun menyuruhkan hulubalang dua orang, katanya, “Hai, Hulubalang,
pergilah engkau bawa Surapandaki ini, jangan kelihatan kepada Sri Rama dan
Laksamana biarlah Surapandaki seorang juga pergi kepada Sri Rama bertapa itu.”
Setelah suda, maka Surapandaki dan hulubalang kedua itu pun naiklah ke atas
ratanya lalu berjalan.
Setelah berapa lamanya berjalan itu, maka ia pun sampailah kepada tempat Sri
Rama bertapa itu. Maka kata Surapandaki, “Hai, Hulubalang, duduklah engkau
kepada tempat ini, aku seorang juga pergi ke tempat Sri Rama bertapa itu.” Maka
Surapandaki pun menjadikan dirinya seorang perempuan terlalu elok parasnya.
Lalu ia berdiri di hadapan Sri Rama. Maka Surapandaki pun melakukan
kehendaknya kepada Sri Rama. Maka kata Sri Rama, “Hai, Perempuan, apatah
111 engkau/ melakukan ini karena aku suda beristri. Adapun jikalau engkau hendak
bersuami, pergilah engkau kepada sudaraku Laksamana. Ia ada di balik bukit ini
rumahnya karena ia belum beristri kalau-kalau ia mau beristrikan engkau.”
Setelah Surapandaki mendengar kata Sri Rama itu demikian, maka
Surapandaki pun segeralah pergi kepada Laksamana di balik bukit itu. Maka
didapatinyalah Laksamana lagi bertapa dan memuji. Maka Surapandaki pun datang
seraya melakukan dirinya berbagai-bagai laku di hadapan Laksmana. Jangan
ditegurnya oleh Laksamana perempuan itu, dipandangnya pun tiada. Maka
Surapandaki pun marah lalu ia kembali kepada Sri Rama. Maka Surapandaki pun
terlalu marah akan Sita Dewi, seraya katanya, “Hai, Perempuan celaka, mengapa
maka engkau duduk di dalam hutan? Lagipula perempuan itu mengikut laki-laki
bertapa sedang layaknya ia duduk akan di dalam negeri menjadi istri Maharaja
Rawana.” Maka muka Sri Rama itu pun ditunjuknyalah oleh Surapandaki dan muka
Sita Dewi pun akan ditunjuknya juga. Maka Sita pun menangis sebab mukanya
ditunjuk oleh Surapandaki itu. Maka Sri Rama pun terlalu marah, seraya ia pikir di
dalam hatinya, ‘Adapun perempuan ini jikalau aku kenakan suatu hukum atasnya
karena aku diperbuatnya laku ini hendak ia pun aku bunu karena ia perempuan dan
seperkara lagi ia belum sampai dosanya. Jika demakian baiklah aku suruh
potongkan tangannya kedua dan kusuruh rumpungkan hidungnya kepada
Laksamana.’ Setelah suda ia pikir diemakian itu, maka kata Sri Rama, “Hai,
Perempuan muda, marilah sini aku hendak berkata kepadamu.” Maka Surapandaki

87
– HIKAYAT SRI RAMA –

pun datanglah kepada Sri Rama. Maka kata Sri Rama, “Hai, Surapandaki,
hendaklah aku berkata kepadamu. Maka aku ini tiada dapat benar istri dua karena
istriku ini terlalu amat bersetia kepada aku dan bertemu kepada aku. Adapun jika
engkau hendak bersuami biarlah engkau pergi kepada sudaraku itu Laksamana di
balik bukit ini.” Maka kata Surapandaki, “Hai, Sri Rama, coba-coba juga sekarang
beristri aku karena aku terlalu baik daripada istrimu dan terlalu lebi elok aku.” Maka
sahut Sri Rama, “Hai, Perempuan dalela, pergilah engkau sekali ini kepada
Laksamana supaya engkau aku beri tanda daripada aku supaya Laksamana maukan
engkau sebab melihat tanda daripada aku.” Maka kata Surapandaki, “Baiklah, beri
112 tanda kepada aku supaya aku tunjukkan kepada Laksamana.”/ Maka kata Sri Rama,
“Marilah belakangmu aku surat.”
Setelah suda disuratnya oleh Sri Rama belakangnya itu akan suatu ‘alamat,
demikianlah bunyinya, ‘Bahwa perempuan ini pesuruhanku hai Laksamana.
Apabila ia datang jangan tiada engkau tangkap maka engkau kerat tangannya dan
rumpungkan hidungnya karena ia menunjukkan mukaku dan Sita Dewi dengan
didustainya akan Sita Dewi.’ Setelah suda, maka disuruhnya Surapandaki pergi
kepada Laksamana itu. Maka dilihatnya oleh Surapandaki Laksamana lagi juga
duduk tiadalah kabarkan dirinya pekerjaan yang lain. Maka Surapandaki pun
datanglah ke hadapan Sri Laksamana itu. Maka tiadalah dipedulikan oleh
Laksamana melainkan memuja juga.
Setelah Surapandaki melihat kelakuan Laksamana itu, maka kata Surapandaki,
“Hai, Laksamana, mengapa maka engkau tiada mau akan aku dan tiada malu
engkau melihat aku datang ini disuruhnya oleh Sri Rama datang kemari mencari
engkau ini?” Setelah didengar oleh Laksamana, maka ia pun lalu berpaling melihat
kepada Surapandaki, seraya ia berkata, “Hai, Perempuan, siapa engkau ini dan
darimana engkau datang dan siapa akan namamu?” Maka sahut Surapandaki, “Hai,
Laksamana. Adapun aku datang ini daripada Sri Rama surukan aku datang
mendapatkan engkau di sini.” Maka kata Laksamana, “Hai, Perempuan muda.
Jikalau sungguh daripada tuanku datanglah engkau kemari dan apa tandamu yang
engkau suda bertemu kepada tuanku itu?” Maka kata Surapandaki, “Ada Sri Rama
memberi tanda kepada aku ini.” Maka kata Laksamana, “Marilah aku lihat tandamu
itu.” Maka Surapandaki pun berdirilah, maka akan ditunjukkannya surat yang di
belakangnya itu.
Maka dilihatnya oleh Sri Laksamana. Maka kata Laksamana, “Sungguhlah surat
ini daripada Sri Rama yang menyurat dia ini.” Maka lalu dibacanya seraya ia
tersenyum katanya, “Hai, Perempuan muda yang baik parasnya. Adapun di dalam
surat ini ia mengatakan disuruhnya tangkap engkau dan titah tuanku Sri Rama dan
disuruhnya potong tanganmu dan disuruhnya rumpungkan hidungmu karena
engkau menunjuk-nunjuk mukanya tuanku Sri Rama dan engkau menunjuk-nunjuk
muka Sita Dewi.” Setelah Surapandaki mendengar kata Laksmana itu demikian,
maka Surapandaki pun heranlah akan dirinya serta ia pun hendak lari tiadalah dapat
karena ia suda dipegang oleh Laksamana tangannya dan rambutnya. Maka
Surapandaki pun marah serta ia menjadikan dirinya rasaksa terlalu besar seperti
113 gunung./ Maka ia terbang ke udara kepada cintanya supaya Laksamana gugur ke
bumi hancur luluh lantak menjadi duli. Demikianlah kiranya pada tatkala itu tangan

88
– HIKAYAT SRI RAMA –

Laksamana memegang rambutnya Surapandaki itu, tiadalah lepas dan berapa


hendak dilepaskan oleh Surapandaki itu tiada juga terlepas. Maka Surapandaki pun
terbang ke udara terlalu amat tingginya. Maka rasaksa Surapandaki pun mangkin
besarlah tubuhnya. Maka Laksamana pun terlalu marah lalu mengunus pedangnya
lalu dikeratnya kedua tangannya Surapandaki itu serta dirumpungkannya
hidungnya. Maka Surapandaki pun terlalu sangat marah karena ia merasai sakit itu
dan darahnya pun berhamburan. Maka lalu ia turun ke bumi dengan Laksamana.
Arkian maka segala dewa-dewa, indra yang di kayangan itu pun mintak doa
kepada Laksamana supaya selamat daripada hara bahaya. Maka Surapandaki pun
gugurlah ke bumi belakangnya dahulu dan seperti gunung rubuh suaranya. Maka
Laksamana pada tatkala itu tediri di atas dadanya Surapandaki itu. Setelah
demikian, maka Surapandaki pun berangkatlah lalu berjalan perlahan-lahan pergi
mendapatkan hulubalang kedua itu. Maka kata hulubalang itu, “Apa sebabnya tuan
putri menjadi demikian ini?” Maka sahut Surapandaki, “Hai, Hulubalang kedua,
segeralah engkau bawa aku kepada sudaraku Maharaja Darakala Sena.” Setelah
hulubalang itu mendengar kata Surapandaki itu, maka lalu dibawanya segera naik
ke atas ratanya lalu ia berjalan mendapatkan Maharaja Darakala Sena. Setelah
datang Surapandaki itu, maka dilihatnya oleh baginda (a)kan hal Surapandaki itu
demikian. Maka Maharaja Darakala Sena pun terlalu marah. Maka baginda pun
menyuruh memanggil perdana menteri bernama Semandan Sena. Setelah datang,
maka titah baginda, “Hai, Semandan Sena, segeralah engkau kapungkan segala bala
tentara aku yang delapan yujan itu karena aku hendak mendatangi Sri Rama dan
Laksamana kepada bukit itu karena ia tiada bersopan kepada segala raja-raja yang
besar-besar itu.” Setelah Menteri Semandan Sena mendengar titah Maharaja
Darakala Sena itu, maka ia pun segeralah naik ke atas ratanya yang besar itu seperti
bukit. Maka segala rakyat yang tiada tepermanai itu pun berjalanlah seperti ribut
akan turun bunyinya daripada kebanyakan rakyat itu di dalam negeri Indrapuanam
dan segala hulubalang itu delapan yujan jauhnya.
114 Maka Maharaja Darakala Sena pun ber/ jalanlah ke Gunung Indrapuanam dengan
segala hulubalang dan segala rasaksa itu. Maka baginda pun bertitah, “Hai, segala
hulubalangku, adapun kita berperang dengan Sri Rama itu dan Laksamana,
janganlah kita bertanding-tanding dan apabila kita sampai di bukit itu, maka kita
kepung bukit itu dengan gajah, kuda dan segala rakyat kita yang banyak ini, sekali-
kali jangan kita lawan bertanding. Dan jikalau kita berperang dengan Sri Rama itu
dengan bertanding yang niscaya habislah rakyat kita mati dibununya karena ia
terlalu ‘arif daripada memana.” Setelah suda segala menteri dan hulubalang
mendengar titah Maharaja Darakala Sena itu demikian, maka sembah mereka itu,
“Ya, Tuanku Syah ‘alam, sebenarnyalah titah tuanku itu. Adapun jikalau bicara
patik sekalian pun demikian juga jikalau bertanding pun binasalah rakyat tuanku.”
Setelah suda bicara, maka Maharaja Darakala Sena pun sampailah kepada tempat
Sri Rama bertapa itu. Setelah sampai, maka rakyat dan hulubalang pun tertempik
soraknya seperti tagar dan guruh bunyinya datang mengepung Sri Rama dan
Laksmana. Adapun Sri Rama dan Laksamana pikir di dalam hatinya, ‘Siapa juga
yang berseteru dengan aku ini karena aku tiadalah berdosa?’ Setelah baginda
berkata demikian, maka segala rasaksa pun datanglah mengepung Sri Rama dan
Laksamana dengan tempik soraknya seperti tagar bunyinya. Maka dipanahnya oleh
hulubalang itu, maka kata Sri Rama kepada Laksamana, “Hai, Adinda, pergilah

89
– HIKAYAT SRI RAMA –

dahulu periksai siapa nama rajanya siapa yang datang itu.” Maka Laksmana pun
segeralah mengambil pedangnya yang bernama Cindawali lalu ia turun
mendapatkan hulubalang dan segala rakyat itu.
Setelah datang, maka Laksamana pun bertanya kepada segala rakyat, “Siapa
kamu dan apa kehendak kamu sekalian dan apa dosa kami? Maka segala kamu
datang mengepung ruma kami ini karena kami orang bertapa.” Maka kata segala
rasaksa, “Adapun maharaja kami ini Maharaja Darakala Sena. Maka kami datang
ini hendak menangkap tuan hamba dua bersudara.” Setelah Laksamana mendengar
kata segala rasaksa itu, maka ia segerahlah kembali mengadap Sri Rama serta
diwartakannya kepada Sri Rama. Maka Sri Rama pun tersenyum-senyum seraya
berangkat lalu ia mengambil panahnya dalam seloka itu, demikian bunyinya akan
dia, ‘tercing saburwa watam’ apabila Sri Rama mengambil panahnya yang bernama
Gandiwati. Maka
115 Laksamana/ pun berdatang sembah kepada Sri Rama, demikian sembanya, “Tuanku
biarlah sekali ini hambamu melawan segala rasaksa itu.” Maka kata Sri Rama, “Hai,
Adinda, karena kita ini dua bersudara jikalau mati pun bersama-sama dan jikalau
hidup pun bersama-sama juga. Adapun tatkala kakanda berperang ini adinda
meliharakan belakang kakanda itu saja supaya aku memana rasaksa. Lihatlah oleh
adinda akan bekas tangan kakanda.”
Setelah suda ia berkata-kata itu, maka Sri Rama dan Laksamana pun turunlah
dari atas pertapaannya lalu berdiri di tanah halaman rumahnya. Maka segala
hulubalang dan segala rasaksa dan gajah, kuda pun datanglah berkeliling akan
mengepung ruma Sri Rama serta dipanahnya seperti hujan yang lebat itu. Maka Sri
Rama maka pun memanah dengan anak panahnya yang bernama Gandiwati lalu
dilepaskannya anak panahnya itu. Maka tiadalah berhingga lagi makan anak panah
itu semuanya. Yang banjar seribu maka teruslah seribu, dan yang berbanjar dua ribu
maka teruslah dua ribunya, dan yang berbanjar selaksa maka teruslah selaksa.
Setelah demikian, maka Sri Rama pun memanakan kepada yang bergajah dan yang
berkuda dan segala rakyat, tiadalah berhingga lagi. Maka segala rakyat dan segala
rasaksa itu pun habislah mati dan yang setengah itu undur. Maka Maharaja Darakala
Sena pun terlalu marah seperti ular berbelit-belit. Maka baginda sendiri
menggerakan segala rakyat itu dan segala hulubalang yang undur itu. Maka
barangsiapa yang tiada masuk perang itu habislah dibununya. Maka segala rasaksa
itu pun masuk perang pula, maka Maharaja Darakala Sena pun bertempik
sendirinya masuk perang dan memanakan anak panahnya yang sakti itu. Maka
tiadalah juga mengenai kepada Sri Rama dan Laksamana. Maka Sri Rama itu pun
sebagai juga memanah tiadalah menderita lagi matinya. Jikalau selaksa berbanjar,
selaksa terus.
Maka tatkala itu Laksamana pun memarang akan segala rakyat itu dengan
pedangnya. Jikalau dua laksa, dua laksa terus dan putus-putus ditetaknya oleh
pedang itu. Maka diparangnya pula kepada yang bergajah dan yang berkuda maka
putus-putus orangnya sekali itu. Setelah Perdana Menteri Semendan Sena melihat
kelakuan Sri Rama dan Laksamana memanah itu dan memarang dengan pedangnya
itu, maka tiadalah berhingga lagi matinya rakyat dan hulubalang. Maka barang yang
di tatak oleh pedang itu tiadalah menderita lagi matinya. Maka segala hulubalang,

90
– HIKAYAT SRI RAMA –

rakyat terlalu banyak mati terpunggal oleh pedang itu dan bangkainya pun
bertimbun-timbunan seperti bukit. Demikian maka kata perdana menteri, “Jika
116 demikian perang kita kepada/ Sri Rama dan Laksamana dan lagi pun terlalu amat
saktinya. Karena adatnya orang berperang itu berganti-ganti akan matinya, maka
peranglah namanya ini. Jangankan ia mati luka pun tiada dan bulu romanya pun
tiada gugur. Jikalau demikian, baiklah aku mintak ampun kepada Sri Rama seraya
diampuninya dosaku. Jikalau aku pertuan kepada Sri Rama itu anak raja besar dan
kulihat daripada segala nujum seteruku segala raja-raja di dalam ‘alam ini yang
dijadikan oleh Dewata Mulia Raya tiada seperti Sri Rama dan Laksamana terlalu
besar bangsanya dan sikapnya dan beraninya. Jikalau ia menjadi raja di dalam
‘alam, alangkan baiknya.” Setelah Menteri Semandan Sena suda berpikir demikian,
maka Sri Rama pun memanahkan anak panahnya yang bernama Gandiwati. Maka
anak panah itu pun bernyala-nyala pada seluruh padang dan Bukit Indrapuanam itu,
datangnya hendak menikam rakyat rasaksa itu. Setelah dilihat oleh Perdana Menteri
Semandan Sena, maka ia pun segeralah meniarap di tanah sujud kepalanya kepada
anak pana itu.
Maka Gandiwati pun datanglah kepada perdana menteri itu hidup manikam dia.
Maka dilihatnya oleh anak panah itu akan Semandan Sena sujud di hadapannya.
Maka kata anak pana itu, “Rasaksa siapa namamu dan siapa engkau?” Maka
sembah perdana menteri itu, “Ya, Tuanku anak panah, adapun hamba ini sedialah
hamba duli tuanku Sri Rama juga. Bahwa hambalah Suramaharaja Suramenteri Sri
Maharaja Dasarata.” Setelah anak pana itu mendengar kata menteri Semandan Sena
itu, maka ia pun pergilah manikam segala rakyat rasaksa yang lain dan yang lagi
tingggal itu maka ia pun habis mati dan yang tinggal pun habis lari. Setelah dilihat
oleh Maharaja Darakala Sena akan segala rakyatnya demikian itu, maka baginda
pun terlau marah lalu bertempik datang ke hadapan Sri Rama. Maka pada tatkala
itu Laksamana memutar pedangnya memarang pada segala rakyat rasaksa, maka
kenalah kepada orang yang mengempalakan rata Maharaja Darakala Sena mati lalu
mati dan terkena pula kepada Maharaja Darakala Sena lalu terpunggal amat dan
ratanya pun binasalah. Maka Maharaja Darakala Sena pun matilah.
Setelah Surapandaki mendengar Maharaja Darakala Sena mati itu, maka ia pun
kembalilah ke rumahnya. Setelah demikian, maka Sri Rama pun kembalilah dengan
kemenangannya. Maka Perdana Menteri Semandan Sena pun datanglah mengadap
kepada Sri Rama seraya ia menyembah katanya, “Ya, Tuanku Sri Maharaja,
117 adapun/ patik yang diperhamba mohonkan ampun dan karunianya di bawa duli
cerpu Syah Alam karena patik ini sedia di bawa duli cerpu Syah Alam.” Maka titah
Sri Rama, “Hai, Perdana menteri, adapun negeri Darakala Sena itu aku serahkanlah
kepadamu, tetapi engkau sekali sebulan sekali datang dengan aku.” Maka perdana
menteri pun berdatang sembah dengan takutnya seraya meniarap di kaki Sri Rama,
seraya sembahnya, “Ya, Tuanku Syah ‘Alam, akan patik ini dua kali jadi hamba di
bawa lebu duli Yang Dipertuan dan yang mana akan titah tuanku patik junjung di
atas batu kepala patik.” Setelah demikian, maka ia sujudlah kepada Sri Rama seraya
berdatang sembanya, “Ya, Tuanku, patik mohonkan ampun di bawa duli Sri
Maharaja, patik bermohon kembalilah ke negeri Maharaja Darakala Sena karena
takut akan Maharaja Rawana kalau-kalau ia datang kemari.” Maka titah Sri Rama,
“Hai, Semandan Sena, segeralah engkau melihat negeri itu.” Maka perdana menteri

91
– HIKAYAT SRI RAMA –

itu pun sujudlah pada Sri Rama lalu ia berjalan kembali ke negerinya. Lalu masuk
ke dalam kota, lalu masuk ke istananya. Maka dilihatnya anak istri Maharaja
Darakala Sena itu sekalian berlari-larian akan mendapatkan perdana menteri
dengan tangisnya. Maka lalu ia berkata-kata, “Hai, Perdana Menteri, di mana Yang
Dipertuan engkau tinggalkan?” Maka kata perdana menteri, “Adapun dahulu kala
Maharaja Darakala Sena pegang ini negeri. Setelah ia suda mati berperang, maka
negeri ini Sri Rama yang berolehnya dan akan titah Sri Rama hambalah yang
disuruhnya memegang negeri ini dan barang yang daripada segala rakyat yang
tinggal di dalam ini hambalah yang memegang dia akan sekarang. Apatah bicara
tuan hamba sekalian? Adapun jikalau tuan hamba sekalian hendak bertuankan
kepada Sri Rama itu, marilah hamba bawa kepadanya tuan-tuan sekalian pergi
mengadap kepada Sri Rama supaya tuan-tuan sekalian mendengar titahnya Sri
Rama itu.”
Setelah demikian anak raja-raja yang bernama Persatsuda itu pun berkata, “Hai,
Perdana Menteri, jikalau negeri bapaku ini Sri Rama yang beroleh dia, bahwa aku
tiada mau duduk di dalam negeri ini. Aku hendak bertapa menjadi maharesi, aku
pohonkan kepada Dewata Mulia Raya, aku hendak membalaskan darahnya bapaku
itu kepada Sri Rama itu.” Maka sahut perdana menteri, “Hai, Persatsuda, jikalau
tuanku bertapa seratus tahun sekalipun tiadalah tuan hamba dapat membunu Sri
Rama dan Laksamana itu karena ayahanda berkata itu sebab kasi ayahandamu
terlalu banyak kepada tuan hamba. Dan jikalau tuan hamba hendak memohonkan
118 kesaktian itu,/ pergilah hamba bertapa.” Setelah itu, maka Persat(suda) pun
berlengkaplah ia membawa anak istrinya dan bundanya dan rakyat yang mana kasi
akan dia sekalian mengikut Persatsuda. Adapun segala rakyat yang mengikut
Persatsuda itu adalah kira-kira empat laksa lagi perempuan. Setelah suda lengkap,
maka Persatsuda pun berjalanlah ke negeri Langkapuri mendapatkan Maharaja
Rawana.
Adapun tatkala itu baginda pun teringat akan sudaranya Surapandaki. “Karena
lamalah ia suda tiada datang kepada aku ini dan apa bicara aku barangkali gusar ia
kepada aku sebab lakinya mati. Adapun lakinya mati itu bukannya sengaja aku akan
membunu lakinya. Akan sekarang ini baiklah juga adinda suruh panggil karena
lamalah aku tiada bertemu dengan dia itu.” Setelah Putri Mandudaki mendengar
titah [Sri Rama] Maharaja Rawana itu, maka ia pun menyuruh dayang-dayangnya
empat orang pergi memanggil Surapandaki itu. Maka tatkala itu, Surapandaki ada
lagi di dalam tirai kelambu, hanya suaranya juga yang kedengaran keluar itu,
katanya, “Persembahkan olehmu aku lagi sakit. Apabila aku baik, aku datang
mengadap Sri Maharaja.” Maka dayang-dayang itu pun kembalilah seraya
dipersembahkannya segala kata Surapandaki itu kepada Maharaja Rawana. Maka
titah Maharaja Rawana, “Jika sakit sekalipun hendak juga aku bertemu sendiri.”
Maka titah Maharaja Rawana kepada bintaranya, “Pergilah engkau panggil
Surapandaki bawa datang kepada aku.” Maka bintara kedua itu pun pergilah ke
ruma surapandaki. Setelah datang ia ke rumahnya, maka penunggu pintu itu
tiadalah memberi masuk kepada bintara itu. Setelah demikian, suruhan itu pun
masuklah kembali mempersembahkan kepada Maharaja Rawana, “Ya, Tuanku,
adapun patik kedua dititahhkan oleh tuanku memanggil paduka adinda kedua lalu
ditutupinya pintu tiadalah diberinya masuk.” Setelah Maharaja Rawana mendengar

92
– HIKAYAT SRI RAMA –

sembah kedua bintara itu, maka baginda pun segeralah pergi ke rumahnya
Surapandaki. Setelah datang, maka Maharaja Rawana pun lalu masuk ke rumahnya
lalu ke peraduan sekali. Setelah dilihat oleh Maharaja Rawana akan Surapandaki
itu tidur berselubung, maka disentakkannya oleh Maharaja Rawana kain
selubungnya itu. Maka dilihatnya akan Surapandaki rumpung hidungnya dan
tangannya pun kutung. Maka titah Maharaja Rawana, “Hai, Surapandaki, apa
sebabnya maka halmu demikian ini?” Maka kata Surapandaki, “Setelah suda suami
hamba mati dibunu
119 oleh tuanku maka adalah hamba duka/ cita. Maka hamba pun pergilah membawa
diri hamba ke dalam hutan rimba tiadalah berketahuan. Maka pada tatkala itu
hamba bertemu dengan Laksamana di dalam hutan. Maka hamba pun
dikehendakkannya oleh Laksmana, maka hamba tiada mau akan dia. Maka anak
hamba pun dibununya dan hidung hamba pun dirumpungkannya dan tangan hamba
pun dirumpungkannya ya Sengalam.” Setelah demikian, maka baginda mendengar
kata Surapandaki itu demikian, maka Maharaja Rawana pun terlalu marah akan
Laksamana, seraya bertitah, “Adapun Laksamana itu menunjukkan laki-lakinya
kepada perempuan. Jika ia sungguh laki-laki berani, datanglah ia kepada aku maka
laki-laki namanya. Baiklah Laksamana itu tiada beristri, bahwa sudaranya Sri Rama
itu kelak aku balaskan kemaluan sudaraku itu.” Maka pada ketika itu juga Maharaja
Rawana menyuruh memanggil anak Gagak Nasar dua orang seorang bernama
Mahaloka dan seorang bernama Janggisura. Maka keduanya orang itu serupa ke
dengan anjing. Setelah datang keduanya, maka titahh Maharaja Rawana, “Adapun
engkau kedua hendak aku suruh pergi kepada tempat pertapaan Sri Rama, maka
seorang kamu menjadi kijang emas dan seorang kamu menjadi kijang perak.
Pergilah ke hadapan Sri Rama maka engkau tertari-tari dan terlompat-lompat di
hadapan Sri Rama itu.” Maka sembah Mahaloka dan Prabu Janggisura, “Ya,
Tuanku, patik kedua ini dititahhkan oleh Paduka Sri Maharaja boleh juga patik
pergi, tetapi tiadalah patik dapat kembali lagi karena Sri Rama itu terlalu sakti.
Jikalau patik kedua ini tiada akan lepas daripada patik dititahhkan ini, patik pergi
juga seraya ia mohonkan ampun dan karunianya, tetapi kepada bicara patik baiklah
juga paduka Sri Maharaja melihat Sri Rama dan Laksamana. Karena patik dengar
Sri Rama itu lagi berbuat hamum, lagi hendak memohonkan kesaktian kepada
Dewata Mulia Raya. Baik juga duli Yang Dipertuan menitahkan seorang
hulubalang pergi susul kepada tempat Sri Rama itu dan Laksamana.” Setelah suda
sembah Mahaloka dan Prabu Janggisura demikian, maka titah Maharaja Rawana,
“Hai, Mahaloka dan Prabu Janggisura, siapa yang patut aku suruhkan kepada
tempat Sri Rama itu?” Maka sembah Mahaloka dan Prabu Janggisura, “Ya, Tuanku
Sri Maharaja, baik juga tuanku menitahkan ayahanda sendiri pergi kalau ia dapat
kepada tempat/ Sri Rama
120 membuat hamum itu membawa daging lembu sekepal.” Maka titah Maharaja
Rawana, “Jikalau demikian, baiklah ayahmu aku suru pergi dahulu.”
Maka seketika itu juga Maharaja Rawana menitahkan memanggil Gagak Nasar.
Setelah datang ke hadapan Maharaja Rawana, maka kata Maharaja Rawana,
“Adapun tuan hamba suruh panggil karena tuan hamba hulubalang besar dan lagi
hamba harap akan melawan seteru hamba.” Maka sembah Gagak Nasar, “Adapun
yang titah tuan itu patik junjung di atas batu kepala patik, tetapi pergi patik ini

93
– HIKAYAT SRI RAMA –

tiadalah akan kembali lagi daripada patik dititahhkan oleh paduka Sri Maharaja,
niscaya patik pergilah.” Setelah Gagak Nasar suda berdatang sembah itu, maka ia
pun sujud menyembah pada kaki Maharaja Rawana. Maka baginda pun memberi
suatu tanda akan Gagak Nasar supaya dikenal oleh segala rasaksa dan diberi oleh
baginda sekepal daging lembu. Setelah itu maka Gagak Nasar pun terbanglah ke
udara maka dengan seketika juga maka ia pun sampailah kepada tempat Sri Rama
bertapa itu.
Adapun pada tatkala itu Sri Rama lagi berbuat hamum duduk memuja
memohonkan kesaktian kepada Dewata Mulia Raya. Maka tatkala itu Gagak Nasar
pun ada haḍir di udara dengan sekepal daging lembu pada tangannya. Maka Sri
Rama tiada kabarkan ia lagi memuja. Maka pada tatkala itu lalu Laksamana
melayani Sri Rama seraya ia melihat ke udara. Maka dilihatnya Gagak Nasar
terbang di udara dengan sekepal daging lembu. Maka Laksamana pun segera
berdatang sembah, “Ya, Tuanku, lihatlah Gagak Nasar ia hendak menyampaki
daging lembu pada hamum ini.” Maka Sri Rama pun segeralah mengambil puntung
api hamum itu lalu dilontarkannya oleh Sri Rama akan Gagak Nasar itu. Setelah
dilihat oleh Gagak Nasar itu melontarkan puntung itu, maka ia pun larilah dan
puntung api itu pun mengusir. Lalu ke dalam laut, maka diikutnya oleh puntung api
itu. Maka lalu ia lari ke dalam goa, maka Gagak Nasar pun berteriak-teriak. Maka
Gagak Nasar pun pecahlah perutnya lalu mati di dalam goa itu. Maka Maharaja
Rawana pun ternanti-nanti akan Gagak Nasar itu telah mati dibunu oleh Sri Rama.
Maka Maharaja Rawana pun tahulah akan Gagak Nasar itu telah mati.
Adapun Persatsuda anak Raja Darakala Sena pada tatkala itu, maka ia pun
datanglah mengadap kepada Maharaja Rawana membawa dirinya. Maka Maharaja
Rawana pun mangkin sangat marahnya mendengar Maharaja Darakala Sena itu
121 setelah mati/ dibunu oleh Sri Rama dan melihat suda datang dengan anak bininya.
Maka titah Maharaja Rawana, “Hai, Anakku Persatsuda[lah], adapun kematian
bapamu itu akulah kelak yang membalaskan dia.” Setelah demikian, maka
disuruhnya ambil ratanya. Setelah datang rata itu, maka ia pun naiklah ke atas
ratanya. Maka Mahaloka dan Perjanggisura pun naiklah ke atas ratanya bersama-
sama dengan Maharaja Rawana. Maka ia pun terbanglah dari Langkapuri.
Setelah berapa lamanya, maka Maharaja Rawana pun sampailah ke tana besar,
seraya ia bertitah, “Hai, Mahaloka dan Janggisura, pergilah engkau kepada tempat
Sri Rama itu bertapa itu. Maka seorang menjadikan dirimu kijang emas dan seorang
engkau menjadikan dirinya kijang perak. Maka kamu kedua pergilah ke hadapan
rumahnya Sri Rama. Maka kamu kedua tertari-tari dan terlompat-lompat di hadapan
Sri Rama.” Maka Mahaloka dan Perjanggisura pun sujudlah pada kaki Maharaja
Rawana.
Setelah demikian itu, maka ia pun berjalanlah menuju jalan ke ruma Sri Rama.
Setelah datang ke hadapan ruma Sri Rama, maka ia pun menjadikan dirinya kijang
emas dan kijang perak. Maka ia pun tertari-tari dan terlompat-lompat di hadapan
Sri Rama. Setelah dilihat oleh istri Sri Rama yang bernama akan Sita Dewi itu akan
kijang itu keduanya tertari-tari dan terlompat-lompat, maka kata Sita Dewi kepada
Sri Rama, “Ya, Tuanku, tangkaplah kijang itu yang dua ekor akan permainan
hamba.” Maka kata Sri Rama, “Adapun akan kijang itu tiadalah dapat ditangkap

94
– HIKAYAT SRI RAMA –

hidap, nantilah hamba panah keduanya pun dapat.” Maka kata Sita Dewi, “Tiadalah
hamba mau akan ia mati karena hamba hendak hidup juga.” Setelah Sri Rama
mendengar kata istrinya itu, maka Sri Rama pun segeralah mengambil panahnya
lalu turun dari rumahnya. Maka Sri Rama pun memanggil Laksamana seraya
katanya, “Hai, Laksamana, tinggal adinda menunggui kakanda Sita Dewi. Aku
hendak pergi mengikut kijang dua ekor itu.” Setelah Sri Rama berkata demikian,
maka baginda pun berjalanlah.
Setelah kijang itu melihat Sri Rama datang mengikut dia itu, maka kijang itu
pun larilah. Maka diikutnya juga oleh Sri Rama itu. Setelah Sri Rama suda jau dari
rumahnya, maka Maharaja Rawana pun bersembunyi di dalam hutan. Maka ia pun
berseru-seru mintak tolong suaranya itu seperti suara Sri Rama. Maka terdengarlah
122 kepada Sita Dewi./ Maka Sita Dewi pun berkata kepada Laksamana, “Hai, Adinda
Laksamana, suara kakanda itu suara sudara tuan hamba, ia mintak tolong
bunyinya.” Maka kata Laksamana, “Ya, Tuanku, janganlah kira apa tuanku
dengarnya kata dan bunyi suara itu di dalam hutan juga.” Setelah demikian maka
suara itu pun berbunyi pula mintak tolong seperti suara Sri Rama suaranya.
Maka kata Sita Dewi, “Hai, Adinda, nyatalah suara kakanda itu mintak tolong.”
Maka kata Laksamana, “Ya, Tuanku, jangan tuanku dengar akan suara itu karena
kakanda itu bukan barang-barang dijadikan oleh Dewata Mulia Raya. Sedang ia
membunu Gagak Nasar ini lagi kakanda tiada minta`k tolong.” Maka kata Sita
Dewi, “Hai, Laksamana, baik juga adinda pergi menolong kakanda itu kalau-kalau
ada kesukaran adinda itu.” Maka kata Laksamana, “Ya, Tuanku, karena patik ini
disuruhnya menunggui tuanku. Sekarang apa lagi patik hendak pergi jika ada suatu
hal tuan putri di belakang patik terlalu jahat kepada kakanda.” Setelah demikian
maka kedengaranlah suara orang minta tolong itu, maka kata Sita Dewi, “Hai,
Adinda Laksamana, apa adinda hendak bunukah sudara adinda itu? Kepada bicara
kakanda, baik juga adinda pergi mendapatkan akan kakanda itu kalau-kalau ada
juga kesukaran maka kakanda mintak tolong.” Maka kata Laksamana, “Bahwa
paduka kakanda itu tiada bole dibinasakan oleh segala manusia dan segala binatang
yang di dalam hutan ini. Jikalau segera patik tinggalkan tuan putri ini kalau-kalau
datang sesal patik.” Maka kata Sita Dewi, “Aku tahulah budi pekerti adinda
Laksamana itu. Jikalau mati Sri Rama itu, niscaya engkau itu ambil (aku) akan
istrimu.” Setelah Laksamana mendengar kata Sita Dewi itu demikian, maka ia pun
menangis seraya katanya, “Ya, Tuanku, mengapa tuanku bertitah yang demikian
kepada patik?” Adapun daripada sebab malu Laksamana itu mendengar kata Sita
Dewi itu bukannya dikatakan, maka Laksamana pun menangis. Maka kata
Laksamana, “Hamba menangis ini oleh karena harap paduka kakanda menaruhkan
tuan hamba kepada patik, tetapi karena suda perjanjian itu ditetapkan oleh Dewata
Mulia Raya.” Setelah demikian, maka Laksamana pun turunlah lalu mengelilingi
ruma Sita Dewi seraya ia menggores tanah dengan telunjuknya seraya katanya,
123 “Hai, Bumi, pitarukulah Sita Dewi ini kepadamu. Adapun barangsiapa/ akan
melangka gores ini, tangkap olehmu kakinya.” Setelah Laksamana suda berpesan
kepada bumi demikian itu, maka Laksamana pun berjalanlah dengan airmatanya
bercucuran sebab terkenangkan pesannya sudaranya. Maka Laksamana pun
berjalanlah dengan empat orang brahmana. Setelah jauh Laksmana berjalan itu
daripada mata orang banyak tiadalah kelihatan lagi.

95
– HIKAYAT SRI RAMA –

Maka Maharaja Rawana pun datanglah serta merupakan dirinya seperti seorang
brahmana seraya ia berdiri di hadapan ruma Sita Dewi, seraya katanya, “Hai,
Menantu Dasarata Maharaja, berilah tuanku suatu nugerah akan aku sebab aku ini
orang miskin.” Maka kata Sita Dewi, “Hai, Brahmana, suatupun tiada kepada aku
hanyalah bunga juga yang ada pada tanganku ini.” Maka kata Maharaja Rawana,
“Hai, Menantu Dasarata Maharaja, berilah apa kiranya barang yang dinugerahkan
kepada hambamu.” Maka Sita Dewi pun hendak ia mengunjukkan bunga itu. Maka
Maharaja Rawana berkata, “Aku seorang brahmana terlalu miskin aku mintak maka
[nan] tiadalah dapat aku lalu dari sini karena ada gores Laksamana ini. Jikalau ada
(k)arunianya tuan hamba ini, hendaklah tuan hamba mengunjukkan sendiri keluar
gores ini.” Maka Sita Dewi pun turunlah ke tanah, maka diunjukkannya bunga itu
kepada brahmana itu. Maka kata brahmana, “Ya Tuanku, akan tuan putri karena
hambamu tiadalah dapat akan melangka gores ini. Jikalau ada (k)arunianya tuan
putri mintak unjukkan keluar gores ini sedia kita menanti karena terlalu besar
pahalanya tuan putri.” Setelah demikian, maka tuan putri pun berdirilah di dalam
gores, maka tangannya mengunjukkan keluar gores itu kepada brahmana. Maka
ditangkapnya tangan Sita Dewi oleh brahmana itu lalu diterbangkannya ke udara.
Maka pada tatkala itu Sita Dewi berkain warna emas. Maka oleh Sita Dewi
diselendangkannya kain itu dan dicarik-cariknya dua jadi lebarnya. Lalu
dibuangkannya sepanjang jalan itu karena pada pikirnya supaya jadi akan tandanya
juga dapat diikut oleh Sri Rama. Maka pada tatkala itu Maharaja Rawana dan Sita
Dewi diterbangkan oleh rata kesaktian.
Sebermula telah demikian maka dilihatnya oleh seekor burung Jantayu, anak
Maharesi Kisuberisu, yang jadi segala guru maharesi yang banyak dan terlalu sakti
pada zamannya Bermaraja sampai sekarang, ada lagi hidup dan terlalu sangat
124 tapanya/ dan ialah yang menyumpahi Maharaja Rawana tatkala ia membawa Putri
Mandudaki ke negeri Langkapuri. Maka kata maharesi pada tatkala itu, “engkau
mati di dalam tangan maharaja manusia dan kera.” Adapun akan maharesi itu tiga
bagi anaknya; adapun yang tua itu Garuda Mahabiru dan anaknya yang tengah itu
menjadi burung Garuda Semkana namanya, itulah yang menerbangkan bulan, dan
anaknya yang bungsu itulah menjadi Jantayu besarnya seperti bukit. Maka tatkala
itu Jantayu melihat ke udara, maka dilihatnya Maharaja Rawana terbang dengan
ratanya melarikan seorang perempuan terlalu elok parasnya dan pakaiannya pun
lengkap daripada keemasan. Maka pada hati Jantayu, ‘Tiada lain perempuan ini
yang dilarikan oleh Maharaja Rawana ini melainkan Sita Dewi juga, istri Sri Rama,
ṣahabatku karena Sri Rama itu bukannya orang lain dengan aku. Jikalau demikian,
baiklah aku ambil Sita Dewi itu daripada tangan Maharaja Rawana itu.’ Maka ia
pun segeralah terbang mendapatkan Maharaja Rawana.
Setelah bertemu dengan Rawana, maka kata Jantayu, “Hai, Rawana, mengapa
maka engkau melarikan istri Sri Rama itu? Dan tiadalah ingat engkau suda berjanji
dengan Nabi Adam tiada engkau mau perbuatan yang salah di dalam Dunia.
Mengapa engkau sekarang akan melalui janjimu dengan baginda itu?” Setelah
Rawana mendengar kata Jantayu itu, maka kata Rawana, “Hai, Jantayu, mengapa
engkau peduli pada pekerjaanku ini? Aku berbuat dia, akulah yang punya perolehan
akan dia.” Maka kata Jantayu, “Hai, Rawana, bukan demikian yang aku katakan.
Adapun aku lihat segala raja-raja itu takut dengan katanya, dengan ‘adilnya dan

96
– HIKAYAT SRI RAMA –

‘adatnya, tiadalah ia mengubahkan janjinya setelahnya dan pula meliharakan


sitanya dan rahasianya dan melindungkan segala rakyat yang terniaya itulah yang
aku katakan maka raja besar namanya.” Setelah Maharaja Rawana mendengar kata
Jantayu itu demikian, maka Maharaja Rawana pun terlalu marah seraya katanya,
“Hai, Kisuberisu, kadar mukamu berkata demikian kepadaku ini karena engkau
hambaku ini lagi sakai kepada aku ini.” Setelah Jantayu mendengar kata Rawana
itu demikian, maka Jantayu pun terbanglah ke udara. Maka segala kayu dan batu
yang besar itu maka lalu dilontarinya Rawana seraya ia berbunyi seperti guruh
bunyinya suaranya serta dengan marahnya seraya mengembangkan kedua/
125 sayapnya.
Maka segala batu dan kayu yang besar-besar itu habis beterbangan akan
menimpa Maharaja Rawana, maka tatkala itu Maharaja Rawana pun tiadalah dapat
hampir kepada Jantayu itu. Maka segeralah dipagutnya oleh Jantayu itu, kepalanya
putus-putus tiga maka tumbuh pula tiga. Maka dipagutnya pula lima kepala Rawana
itu, maka tumbuh pula lima. Maka Maharaja Rawana pun terlalu marah karena ia
hendak hampir kepada Jantayu itu tiadalah dapat sebab ratanya kena angin Jantayu
itu terlalu keras maka ratanya pun terpusing-pusing tiadalah dapat dekat. Maka
Jantayu pun berbunyi seperti guruh suaranya dan keluar api dari mulutnya seperti
gunung beratus-ratus datangnya. Maka Maharaja Rawana pun terlalu sangat
marahnya sebab kepanasan tiada dapat mendekati itu. Maka Maharaja Rawana pun
bertempik suaranya seperti tagar. Maka Jantayu pun berbunyi pelbagai suaranya
ada yang seperti kilat. Maka ramailah Jantayu berperang dengan Maharaja Rawana
akan melihat saktinya Maharaja Rawana dengan Jantayu itu. Karena Jantayu
mengeluarkan kesaktian, maka keluarlah angin dan hujan dari tubuhnya. Maka
maka segala api yang seperti gunung itu pun habislah berterbangan ke laut. Maka
tatkala itu maka baharulah Maharaja Rawana dapat hampir kepada Jantayu itu.
Setelah dilihat oleh Jantayu, maka ia pun segeralah terbang ke udara pula. Maka
datanglah bukit dan batu seperti hujan yang lebat datangnya. Maka Maharaja
Rawana pun segera turunlah seraya menangkiskan dengan gadanya itu. Maka suatu
pun tiadalah akan (mengenai) pelontarnya Jantayu itu. Maka kata Rawana, “Hai,
Jantayu, marilah kita berperang sama-sama seorang.” Maka kata Rawana, “Hai, rata
yang sakti, hampirkan aku kepada Jantayu.” Maka rata pun segaralah terbang
mendapatkan Jantayu itu.
Setelah bertemu dengan Jantayu, maka suara Rawana pun bertempik serta
keluar bicaranya dan suaranya dan kepalanya sepuluh dan tangannya dua puluh
serta dengan marahnya. Maka kata Rawana, “Hai, anak Kisuberisu, ingat-ingat
engkau.” Setelah Jantayu mendengar kata Rawana itu, maka ia pun hendak segera
memagutnya kepalanya. Maka segeralah dipalunya dengan gadanya, maka kenalah
sayapnya Jantayu itu. Lalu patah maka Jantayu pun marah lalu bertempik maka
sayapnya yang patah itu pun segeralah sembuh seperti dahulu kala. Maka Jantayu
pun mengerakkan sayapnya kedua belah itu, maka keluarlah api/ dan angin terlalu
126 keras seperti topan ribut seperti turun ke bumi. Maka segala bukit dan kayu yang
besar-besar habis berterbangan seperti kapas dibusar itu.
Sebermula maka diceritakan oleh orang yang empunya cerita ini tatkala Jantayu
marah itu empat belas pada sangka bumi hutan rimba belantara itu menjadi padang

97
– HIKAYAT SRI RAMA –

sebab kena hawa sayapnya Jantayu itu. Tatkala itu rata Rawana pun gugur ke bumi
empat puluh depa jauhnya ratanya itu daripadanya. Maka Maharaja Rawana pun
segeralah bangun naik pula ke atas ratanya. Maka segeralah dipecutnnya ratanya
itu lalu mengusir Jantayu. Maka Rawana pun bertempik dengan marahnya. Setelah
bertemu, maka ia pun berperanglah pula. Maka berapa kali dipagutnya Maharaja
Rawana itu, putus-putus maka tumbuh pula. Maka Jantayu pun demikian juga.
Maka ia pun berperang juga tujuh hari tujuh malam tiadalah berhenti. Maka
Maharaja Rawana pun pikir di dalam hatinya, ‘Jikalau demikian juga akan
berperang dengan Jantayu ini, tiadalah akan mati olehku karena sangat saktinya.
Baiklah aku perdayakan Jantayu itu supaya ia mati.’ Maka Rawana pun berseru-
seru dengan nyaring suaranya, katanya, “Hai, Jantayu, jika demikian kita berperang
sepuluh tahun tiadalah akan beralahan seperti laku perang kita ini.” Maka kata
Jantayu, “Hai, Rawana, sekarang apa bicaramu aku dengar?” Maka kata Rawana,
“Hai, Jantayu, maka maukah engkau menurut kataku maka aku mau berkata?”
Maka sahut Jantayu, “Jikalau benar pada hatiku maka maulah aku menurut seperti
katamu karena engkau itu aku lihat tiada teguh akan siamu itu.” Maka sahut
Rawana, “Hai, Jantayu, adapun kepada bicaraku baik juga kita berperang ini kita
bersetia-setiaan dan engkau menunjukkan tempat nyawamu dan aku pun
menunjukkan tempat nyawaku kepadamu.” Setelah Jantayu mendengar kata
Rawana itu, maka kata Jantayu, “Hai, Rawana, aku pun demikian juga
kehendakku.” Setelah Jantayu berkata-kata itu, maka didengarnya oleh Sita Dewi
kata Jantayu itu demikian. Maka Sita Dewi pun berseloka dengan bahasa burung,
demikian bunyinya, “Hai, Jantayu, jangan engkau bersetia dengan Maharaja
Rawana bukannya tempat menaruh setia tuan. Adapun orang dalam Dunia ini orang
setiawan lain daripada tuanku Sri Rama, tiada pada bicaraku.” Adapun Jantayu
tiada tahu arti seloka itu yang daripada Sita Dewi, maka pada tatkala itu pun Jantayu
berkata pula, “Sekarang ini siapatah yang dahulu mengatakan nyawanya
sekarang?” Maka sahut Rawana, “Akulah dahulu akan mengeluarkan kata.” Maka/
127 kata Jantayu, “Benarlah katamu itu.”
Setelah demikian Rawana pun berkata, “Hai, Jantayu dengarlah kataku ini baik-
baik.” Maka kata Jantayu, “Katakanlah olehmu.” Maka kata Rawana, “Barangsiapa
melawan aku berperang jikalau ia tiada tahu akan tempat nyawaku itu tiada aku
mati selagi ada bulan dan matahari ini.” Maka sahut aku pun demikian juga maka
kata Rawana, “Hai, Jantayu, adapun tempat nyawaku ini di dalam ibu kakiku.”
Maka kata Jantayu, “Adapun akan nyawaku kepada pangkal sayapku.”
Setelah Maharaja Rawana mendengar kata Jantayu itu, maka ia pun terlalu
sukacita hatinya seraya bertempik seraya katanya, “Hai, Anak Kisuberisu, ingat-
ingat engkau,” serta diangkatnya gadanya. Maka Jantayu pun segeralah terbang ke
udara, maka lalu akan diikutnya ke udara. Setelah dilihatnya oleh Jantayu akan
Rawana itu mengikut dia itu, maka Jantayu pun mengerakkan sayapnya. Maka
keluar asap gelap kelam kabut. Maka Jantayu pun tiadalah dilihat oleh Rawana.
Maka lalu disambarnya kaki Maharaja Rawana sepuluh itu, maka tumbulah pula.
Maka Jantayu pun heranlah. Maka Rawana pun segeralah memalu dengan gadanya
akan penggal sayapnya Jantayu itu. Maka dengan sekali pukul juga patah penggal
sayapnya itu. Maka Maharaja Rawana pun bertempik. Maka Jantayu pun tiadalah
berdaya lagi serta ia pun gugur ke bumi. Maka Sita Dewi pun segera mengunus

98
– HIKAYAT SRI RAMA –

cincinnya daripada jarinya, maka dilontarkannya kepada Jantayu itu. Maka cincin
itu pun masuklah ke dalam mulut Jantayu itu.
Setelah demikian, maka Maharaja Rawana pun kembalilah ke negerinya. Maka
Jantayu pun mengadap ka langit mintak doa, katanya “Ya, Tuanku, pertemukan
apalah kiranya hambamu dengan suami Sita Dewi yang bernama Sri Rama itu.”
Maka dengan seketika itu datang dua ekor burung hinggap kepada pohon kayu.
Maka kata burung seekor itu, “Inilah akan perolehannya orang yang peduli bini
orang maka termati-mati.” Maka kata burung yang seekor itu, “Jangan engkau
berkata demikian karena barang yang benar itulah dikerjakannya.” Maka kedua
burung itu pun terbanglah, maka Jantayu pun mintak doa pula.
Sebermula maka tersebutlah perkataan Sri Rama tatkala ia mengikut kijang
emas dan perak itu tiada juga dapat ditangkap oleh baginda. Sri Rama pun terlalu
marah maka diambilnya panahnya yang bernama Gandiwati itu. Maka lalu
dipanahnya kijang itu, maka teruslah lalu mati. Maka diambilnya oleh baginda akan
128 kayu./ Maka lalu digandarinya keduanya lalu dibawanya pulang kembali kepada
tempat pertapaannya. Setelah berapa lamanya, akan baginda berjalan itu. Maka
bertemulah ia dengan adinda Laksmana, maka kata Sri Rama, “Mengapakah maka
Adinda datang mendapatkan kakanda ini dan kakanda Sita Dewi mengapa maka
ditinggalkan?” Setelah Laksamana mendengar akan titah Sri Rama itu, maka
Laksamana pun menceritakan kepada baginda Sri Rama segala perihal ihwalnya itu
demikian. Setelah Sri Rama mendengar hikayat Laksamana, maka kedua kijang itu
pun dihempaskannya ke bumi maka disuruhnya bawa kepada Laksamana. Maka
kata Sri Rama, “Baiklah hendak hidupkan peliharakan oleh Dewata Mulia Raya
juga pada tempatnya Sita Dewi itu.”
Hatta Sri Rama pun sampailah ke rumahnya. Setelah masuk ke dalam ruma,
maka dilihatnya adinda Sita Dewi pun tiada. Maka Sri Rama pun bertanya kepada
hamba sahayanya perempuan yang ada duduk itu, katanya, “Di mana Sita Dewi?”
Maka sembah segala hambanya, “Ya Sengalam, patik tiada tahu perginya paduka
adinda itu.” Setelah Sri Rama mendengar sembah segala dayang-dayang itu, maka
Sri Rama pun rubuhlah pada tempat Sita Dewi itu empat puluh hari empat puluh
malam. Maka tatkala itu Laksamana pun meriba kepala kakanda Sri Rama sambil
ia menangis seraya baginda mintak doa, “Ya Mulia Raya, nugrahkanlah akan
hambamu ini karena meliharakan sudara hamba Sri Rama.” Setelah demikian, maka
kedengaranlah suatu suara, demikian bunyinya, “Hai, Laksamana. Baiklah engkau
dianugrahkan engkau sebab tiada makan dan tidur tiada sahwat dengan perempuan.
Maka dua belas tahun lamanya akan perceraian Sri Rama dengan Sita Dewi.”
Setelah demikian, maka Sri Rama pun membukakan matanya, maka dilihatnya oleh
baginda akan Laksamana itu ada meriba kepalanya. Maka dilihat kepada muka
Laksmana ada ia berkata, “Hai, Sudaraku, di mana engkau dengar Sita Dewi itu?”
Maka sembah Laksamana, “Ya, Tuanku, hai tiadalah tahu akan tempat kakanda itu,
tiadalah berketahuan. Adapun akan sekarang apalah kejadian tuanku? Jikalau
demikian, marilah kita pergi mencari adinda itu kalau-kalau ada kedengaran
wartanya supaya kita datangi.” Adapun tatkala itu segala hamba sahayanya laki-
laki dan perempuan semuanya disuruhnya oleh Sri Rama kembali ke negeri
Darawati Purwa kepada Maharesi Kala serta disuruhnya memberi tahu segala hal

99
– HIKAYAT SRI RAMA –

ihwalnya Sita Dewi itu telah hilang. Setelah itu, maka segala hamba sahayanya pun
kembalilah serta dengan dukacitanya serta dengan tangisnya sepanjang jalan
129 dengan airmatanya. Setelah sampai ke negerinya/ maka lalu dipersembahkan segala
hal ihwalnya Sita Dewi hilang itu. Setelah Putri Mandudari mendengar kabar
anakda baginda Sita Dewi hilang itu, maka baginda pun terlalu dukacita.
Sebermula maka Sri Rama dan Laksmana pun pergilah akan mencari Sita Dewi
itu. Maka ia pun berjalanlah di dalam hutan sekalian dan rimba belantara. Setelah
berapa lamanya berjalan itu, maka mereka itu pun tiada juga bertemu akan
bertanyakan warta Sita Dewi itu. Setelah demikian, maka dilihatnya ada seekor
burung jantan di atas pohon kayu dengan empat ekor burung betina di atasnya itu.
Maka Sri Rama pun bertanya, “Hai, Burung, adakah engkau lihat istriku akan
dilarikan orang?” Maka sahut burung jantan itu, “Engkaukah yang bernama Sri
Rama? Adapun aku dengar masyhur nama laki-laki dan gagah berani tiada terlawan
di tengah medan perangan dua bersudara ini akan binimu tiadalah terpelihara
perempuan seorang dan lihatlah olehmu aku ini empat ekor biniku lagi dapat konon
dan engkau manusia dua orang dengan sudaramu tiadalah dapat meliharakan
binimu seorang itu.” Maka kata Sri Rama, “Hai, Burung jantan, tiadalah ada
kasihanmu akan aku maka engkau melihat aku serupa ini serta engkau berkata yang
garang ini. Maka aku mintak kepada Dewata Mulia Raya semoga-moga binimu
lenyap daripada mata engkau, tiadalah engkau lihat dia hampir dengan engkau.”
Maka dengan takdir Mulia Raya, maka tatkala itu juga burung jantan itu pun butalah
dan bininya yang empat ekor itu pun duduklah di sisinya, tiadalah dilihatnya lagi
daripada kebesaran Dewata Mulia Raya.
Maka Sri Rama dan Laksamana pun berjalanlah siang malam tiadalah berhenti.
Maka Sri Rama pun bertemulah dengan seekor bangau lagi minum air. Maka Sri
Rama pun bertanya kepada bangau itu, katanya, “Hai, Bangau, adakah engkau
melihat biniku dilarikan orang?” Maka kata bangau itu, “Ya, Tuanku, Sri Rama,
adapun hamba mencari makanan hamba di dalam benua ini, maka hamba lihat ada
bayang-bayang ini maka nyatalah Maharaja Rawana membawa perempuan
seorang. Adapun kainnya itu kesumburan emas, tetapi perempuan mana itu hamba
tiada tahu. Adapun kenyataannya daripada kain panjinya itu digugurkannya ke
bumi.” Maka kata Sri Rama, “Baharulah kepadamu aku mendengar kabar bertanya
Dewi Sita yang nyata itu. Adapun sekarang apa kehendakmu bangau yang engkau
pintak kepada aku supaya aku pohonkan kepada Dewata Mulia Raya?” Maka kata
bangau, “Ya Tuanku, hamba pohonkan kepada tuan hamba akan berdiri kepada
suatu tempat datang danau ini dengan lebih leher hamba/ panjang sampai akan
130 makanan hamba.” Maka kata Sri Rama, “Baiklah, engkau peroleh seperti
kehendakmu itu.” Maka kata Sri Rama, “Apa tiadakah sukar leher bangau panjang
itu kalau-kalau akan dijerat orang, tetapi barang pintaknya itulah kita pohonkan
kepada Dewata Mulia Raya.”
Setelah suda ia mintak doa kepada bangau itu, maka ia pun berjalanlah dengan
Laksamana itu. Adapun sepeninggal Sri Rama dan Laksmana berjalan itu, maka
datang seorang kanak-kanak ada (k)a danau itu hendak mengambil air. Maka
dilihatnya oleh kanak-kanak itu lehernya bangau itu terlalu panjang seperti ular.
Maka lalu dijeratnya oleh kanak-kanak itu lalu dibawanya ke pasar hendak akan

100
– HIKAYAT SRI RAMA –

dijualnya. Maka lalu bertemu pula kepada Sri Rama dan Laksamana akan kanak-
kanak itu membawa burung bangau. Maka kata Sri Rama, “Ini kanak-kanak
membawa seekor burung bangau.” Maka kata Laksamana, “Apa tiadakah tuan
hamba kenal akan bangau inilah yang bertemu dengan kita dahulu?” Maka oleh Sri
Rama lalu ditebusnya dengan sebentuk cincin kepada kanak-kanak itu, maka (kata)
Sri Rama kepada bangau itu, “Telah yang engkau pintak kepada aku dahulu itu
hendakkan lehermu panjang, inilah perolehanmu. Adapun kehendak hatiku engkau
duduk kepada suatu tempat sebuah benua bernaung seperti empat ekor burung
bininya betina sediakala mengantarkan makanan. Maka engkau itulah
kehendakku.” Maka kata bangau, “Ya Tuanku, hamba junjunglah perintah tuanku
itu.” Setelah suda Sri Rama memintak doa akan bangau itu, maka ia pun berjalanlah
ke dalam hutan rimba. Maka Sri Rama pun hauslah hendak minum air, maka ia pun
berkata kepada Laksamana, “Hai Adinda, carikan aku air.” Maka kata Laksamana,
“Ya Tuanku, ke mana hamba pergi mencari air itu?” Maka kata Sri Rama, “Aku
panahkan anak panahku ini, ikutlah olehmu dan di mana jatuhnya anak panah itu
adalah air akan di sana.” Setelah suda demikian, maka dipanahkan oleh Sri Rama
akan Gandiwati lalu diikutnya oleh Laksmana. Maka anak panah itu pun jatulah
kepada suatu luluk mata air. Maka diperbuatnya oleh Laksmana sehelai daun kayu
ditimbanya air lalu diisinya dan anak panaitu pun dibantutnya lalu dibawanya
kembali kepada Sri Rama. Maka baharulah hendak diminumnya oleh Sri Rama itu,
maka dirasainya air itu terlalu busuk. Maka kata Sri Rama kepada Laksamana, “Di
mana Adinda ambil air ini?” Maka kata Laksamana, “Di tempat jatunya anak pana
itu juga di sanalah hamba ambil air ini.” Maka kata/ Sri Rama, “Hai Adinda, marilah
131 tunjukkan aku akan tempat air ini.” Setelah demikian, maka Sri Rama pun
berjalanlah bersama-sama Laksamana itu. Setelah sampai kepada tempat air itu,
maka dilihatnya oleh Sri Rama akan air itu berlinang-linang. Maka kata Sri Rama,
“Apalah sebabnya maka air ini berlinang-linang? Ada juga binatang besar mati di
hulu sungai ini.” Setelah demikian, maka keduanya pun pergilah akan mengikut
jalan ke hulu sungai itu.
Syahdan maka Sri Rama pun bertemulah dengan seekor burung itu terlalu besar
seperti gunung tertambat dan sayapnya yang sebelah itu rubuh. Maka dikenalnya
oleh Sri Rama akan burung itu. Maka kata Sri Rama, “Hai, Jantayu, mengapatah
maka halmu ini demikian?” Maka kata Jantayu, “Tuanku Sri Rama adalah sebab
daripada hamba ini berlawan dengan Maharaja Rawana.” Itu pun semuanya akan
dikatakannya kepada Sri Rama seraya maka ia setelah memintak doa kepada
Dewata Mulia Raya mengadah ke langit ia, “Ya Tuanku jangan kiranya hamba
dimatikan dahulu sebelum bertemu dengan tuanku Sri Rama supaya hamba
memberi tahu akan hal istrinya dilarikan oleh Maharaja Rawana. Adapun sekarang
baiklah hamba mati daripada merasai yang demikian supaya tuan hamba membakar
hamba.” Setelah suda ia berkata-kata itu, maka cincin istrinya yang dilontarkan oleh
Dewi Sita itu pun dikeluarkannya daripada mulutnya Jantayu itu, seraya katanya,
“Inilah cincin istri tuanku. Tatkala hamba berperang maka hamba gugur ke bumi
maka istri tuanku pun melontarkan cincin. Inilah tuanku cincin tuanku itu.” Maka
Sri Rama pun terlalu sukacita. Maka kata Sri Rama, “Hai Jantayu, itulah
kebaktianmu kepada aku setelah sempurnalah kasimu itu akan aku.” Maka Jantayu
pun berpesan akan Sri Rama dan memberi tahu akan sudaranya itu terlalu sakti
seraya katanya, “Jikalau Tuanku akan mayit hamba ini jangan kepada bumi yang

101
– HIKAYAT SRI RAMA –

ada tempat manusia itu dan jikalau tuan hamba pergi ke negeri Langkapuri itu
jangan tiada singgah di tepi laut akan menyerang ke Langkapuri itu karena di situ
ada suatu gunung bernama Gandaranam. Di dalam bukit itu ada suatu dara hamba
bernama Disampani bertapa pada gunung itu. Adapun hamba ini setengah bulan
sekali pergi mengantarkan akan makanan dia.” Maka kata Sri Rama, “Hai Jantayu,
apa sebabnya maka sudaramu itu bertapa di dalam bukit?” Maka kata Jantayu, “Ya
Tuanku, ada suatu hari sudara hamba yang bernama Disampani itu hendak mencari
makanan ke bukit Kapa maka sudara hamba pun terbanglah ke udara.
132 Maka (sudara) hamba pun bertemulah dengan matahari. Maka sayap/ sudara itu
pun hanguslah. Maka tatkala itu hamba pun ada berlindung di bawa sayap sudara
hamba. Setelah dilihat oleh matahari akan hal sudara hamba, maka kata matahari,
“Hai Disampani bahwa aku sekali-kali tiada tahu akan engkau. Sekarang pergilah
engkau bertapa kepada bukit Gandaraanam. Adapun tatkala zaman Mahabisnu
turun menjelma kepada Sri Rama, maka ia esok menyuruhkan anaknya seekor kera
yang bernama Hanuman dan sudara hamba pergilah ke sana duduk tapa di dalam
bukit itu dan sekarang ini hamba akan matilah, maka ia tiada tahu. Itulah sebabnya
hamba berpesan kepada tuanku itu dan jangan tuanku tiada singgah pada gunung
itu.” Maka kata Sri Rama, “Hai Jantayu, baiklah, yang mana pesan tuan hamba itu
tiadalah hamba lalui.” Setelah suda berpesan itu, maka Jantayu pun mati.
Maka Sri Rama pun menyuruhkan Laksamana mencari tempat yang tiada ada
sampai manusia. Maka Sri Rama pun memberikan suatu tongkat. Maka kata Sri
Rama, “Hai Laksamana, apabila tongkat ini menujamkan dirinya, itulah tempat
yang tiada digari oleh manusia.” Maka Laksamana pun berjalanlah membawa
tongkat itu berkeliling mencari tempat tiada juga bertemu yang tiada sampai
manusia itu kepadanya. Maka dilihatnya oleh Laksamana daripada segala tempat
itu sampai juga manusia datang kepada segala tempat itu. Setelah demikian
Laksamana pun kembalilah kepada Sri Rama, katanya, “Ya Tuanku, berkeliling
patik pergi mencari tempat tiada juga dapat yang seperti kehendak tuanku itu.”
Maka kata Sri Rama, “Hai Laksamana, angkatlah segala kayu-kayu itu semuanya,
bubuhkan di atas tanganku ini.” Maka Laksamana pun mengimpunkan segala kayu
api itu ke atas tangan Sri Rama itu. Setelah suda, maka bangkai Jantayu itu pun
dibakar oleh Laksamana pada tangan Sri Rama. Berapa lamanya maka api itu pun
padamlah. Maka dilihatnya oleh Laksamana akan tangan Sri Rama pun tiada mara
bahayanya. Maka Laksamana pun heranlah akan melihat saktinya Sri Rama itu.
Setelah demikian, maka kakanda pun berjalanlah daripada tempat membakar
bangkai itu dua bersudaranya.
Alkisah maka tersebutlah perkataan hikayat Kerbau Amuk dan peri mengatakan
tatkala ia membunu bapanya dan peri mengatakan tatkala ia berlawan dengan
Maharaja Balia. Maka Adalah seekor kerbau jantan terlalu besar ia diam pada suatu
padang terlalu amat luasnya padang itu hampir ke negeri Langkurkatin. Maka
apabila ia akan beranak jantan,/ maka anaknya pun dibununya dan kepada tiap-tiap
133 hari empat puluh rumpun bulu betung itu dibongkarkannya akan makanan segala
kerbau yang betina itu beratus-ratus itu, demikianlah perkasanya dan gagahnya
kerbau itu.

102
– HIKAYAT SRI RAMA –

Adapun pada zaman itu seekor pun kerbau jantan habis dibununya oleh Kerbau
Amuk itu dan tiada lagi berlawan dan apabila ia beranak laki-laki maka dibununya.
Adapun pada sekali itu adalah kerbau betina bunting. Setelah besarlah suda hampir
akan beranak, maka kerbau yang bunting itu pun pergilah jauh-jauh berundurkan
dirinya. Maka ia bertemulah dengan seekor goa batu. Syahdan maka ia pun
masuklah ke dalam goa itu. Maka ia pun beranaklah. Setelah suda ia beranak laki-
laki itu, maka ditinggalkannya akan anaknya itu di dalam goa itu. Maka ia pun
kembalilah ke dalam kawannya yang banyak itu. Maka antara sehari maka ia pun
datanglah ke dalam goa itu diberinya susu anaknya.
Setelah berapa lamanya, maka anaknya itu pun besyarlah. Maka datang kepada
suatu masa maka anak kerbau itu pun bertanyalah akan bapanya, “Hai Ibuku, siapa
bapaku?” Maka sahut ibunya, “Hai Anakku, jangan engkau bertanyakan bapamu
itu dan apabila dilihat oleh bapamu itu tiadalah engkau hidup.” Maka kata anaknya,
“Betapa gagahnya bapaku itu.” Maka kata ibunya, “Adapun gagahnya bapamu itu
sehari empat puluh rumpun bulu betung dibongkarnya akan sekalian makanan
bininya.” Adapun anak kerbau itu betapa kelakuan bapanya itu diturutnya, maka
sehari dibongkar empat puluh rumpun buluh betung itu dibongkarnya.
Setelah berapa lamanya, maka ia pun terlebi besar daripada bapanya. Maka anak
kerbau itu pun bertanya kepada ibunya, “Hai, Ibuku, bawa aku kepada bapaku.”
Maka dipandang oleh ibunya terlalu baik anaknya itu daripada bapanya dan tapak
kakinya itu pun terlebih besar daripada bapanya. Setelah dilihat oleh ibunya
dapatlah ia melawan bapanya itu, maka dibawanya anaknya itu ke padang
mendapatkan bapanya. Setelah dilihat oleh bapanya maka dari jauh seekor kerbau
jantan datang dari padang itu, maka lalu diusirnya kerbau jantan itu. Maka keduanya
pun bertemulah lalu berkelahi dari pagi-pagi sampai tengah hari. Maka tempatnya
berkelahi itu lebu duli pun berterbangan menjadi kelam daripada bekas tapak
134 kakinya itu. Demikianlah gagahnya dua/ ekor kerbau itu kedua. Setelah waktu
tengah hari itu, maka Kerbau Amuk itu pun matilah oleh anaknya. Maka barang
yang ada kerbau betina bini bapanya itu semuanya diperbininya. Maka sampailah
ia binatang itu, maka tiadalah tahu baik dan jahat dan kepada sehari juga lima puluh
rumpun bulu betung yang dibongkarnya akan makanan bininya yang banyak itu.
Demikianlah peri gagahnya itu. Setelah datang kepada (hari ia pergi mencari
lawannya, maka bertemulah dengan suatu piusu besar maka lalu dibongkarnya oleh
Kerbau Amuk itu tempatnya dengan tanduk. Setelah habis terbongkar itu, maka
kebanyakan piusu itu pun habislah berhamburan dan setengahnya mati itu tererek
oleh kerbau itu. Maka kata segala ani-ani itu, “Hai Kerbau Amuk, suda engkau
membunu bapamu, sekarang datang pula engkau kepada binatang ini yang naif lagi
lemah. Inilah engkau hendak menunjukkan gagahmu itu pergilah engkau ke negeri
Lakurkatin kepada Maharaja Balia, raja segala kera, beruk, lutung, siamang. Di
situlah engkau menunjukkan gagahmu dan perkasamu.” Setelah Kerbau Amuk
menengar kata ani-ani itu. Maka kerbau itu pun pergilah ia ke negeri Lakur kepada
Maharaja Balia, maka disanggahnya pintu kota Maharaja Balia itu dengan
gembiranya.
Maka pada tatkala itu, Maharaja Balia pun heran sebab menengar bunyi kerbau
itu. Maka kata Maharaja Balia, “Bunyi apa di luar pintu kota itu terlalu hebat
suaranya?” Maka titahh Maharaja Balia kepada seorang bintaranya, “Pergilah

103
– HIKAYAT SRI RAMA –

engkau lihat bunyi apa suaranya di luar itu!” Maka bintara pun segera berlari-lari.
Maka dilihatnya ada seekor kerbu terlalu amat besarnya, ialah yang berbunyi
dengan gembiranya serta menyinggung lakunya. Maka bintara itu pun segera
kembali akan mempersembahkan kepada Maharaja Balia. Maka titahh Maharaja
Balia kepada bintaranya itu, “Pergilah engkau pula kepada kerbau itu. Tanyakanlah
apa kehendaknya maka ia datang ke negeriku ini dan mengapa ia menunjukkan
perkasanya di pintu gerbangku ini?” Maka bintara itu pun pergilah. Maka segala
titahh Maharaja Balia itu semuanya dikatakannya kepada kerbau itu.
135 Maka sahut Kerbau Amuk, “Hai Bintara, bahwa aku dengar Maharaja Balia/
terlalu sangat gagah berani tiada berlawan. Sebab itulah, aku datang ini hendak
menunjukkan gagahku dan aku hendak mencoba perkasanya Balia Raja itu.
Pergilah engkau kembali kepada rajamu itu. Katakanlah persembahanku segala
kataku ini!”
Setelah disampaikan kepada Maharaja Balia, maka kata Maharaja Balia, “Hai
Bintara, akan pergilah engkau katakan kepada kerbau itu di mana ia hendak
berlawan kepada aku?” Maka bintara itu pun pergilah kepada kerbau itu. Maka kata
bintara, “Hai, titahh maharaja itu di manakah tempat engkau hendak berlawan
kepada Sri Maharaja?” Maka kata kerbau itu, “Hai, Bintara, katakanlah kepada
Balia Raja aku hendak berlawan di dalam goa batu.” Setelah bintara menengar kata
Kerbau Amuk itu, maka lalu disampaikannya kepada Raja Balia itu. Maka titahh
Maharaja Balia kepada sudaranya, Raja Sugriwa, “Hai Sudaraku, bahwa aku ini
hendak pergi berperang dengan Kerbau Amuk ke dalam goa batu maka engkau
peliharakanlah baik-baik. Jikalau darah puti keluar maka akulah yang mati dan
jikalau darah mera maka niscaya Kerbau Amuk yang mati.” Maka setelah suda ia
berkata, maka Balia Raja pun lalu berjalanlah masuk ke dalam goa.
Setelah ia berhadapan itu maka lalu disorongnya oleh kerbau akan Maharaja
Balia. Maka Balia Raja pun segera menangkap tanduk Kerbau Amuk itu, maka lalu
dihempaskannya kepada batu itu. Maka kerbau itu pun tertiharap di batu itu lalu
muntahkan darah, maka mengalirlah keluar dari dalam lubang goa itu. Maka
Kerbau Amuk dengan seketika itu juga matilah. Maka setelah dilihatnya oleh
Sugriwa akan darahnya itu, yang di bawa puti yang di atas mera, maka disangkanya
darah yang puti itu darahnya Maharaja Balia dan yang mera itu darahnya Kerbau
Amuk serta disangkanya oleh Sugriwa itu Maharaja Balia itu telah matilah dan
kerbau itu pun telah mati juga. Setelah demikian, maka Sugriwa pun lalu
menyuruhkan menutup pintu goa itu dengan batu besar-besar itu. Setelah suda,
maka segeralah ia kembali ke istana Balia Raja. Maka ia pun lalu naik raja dan ia
136 duduk di atas singga)/sana kepada tempat Maharaja Balia semayam itu, maka
disuruhnya panggil segala anak istrinya itu. (Istri) Maharaja Balia itu hendak
dibuatnya istri. Maka kata istri Maharaja Balia, “Nantilah dahulu barang tujuh hari.
Jikalau Maharaja Balia tiada datang, mana kehendak Sugriwa kami turutkan
sekalian.” Maka Sugriwa pun diamlah. Adapun setelah suda Misasura mati, maka
Maharaja Balia hendak keluar. Maka dilihatnya kepada pintu goa itu tertutup
dengan batu besar-besar maka lalu ditendangnya batu itu dengan kakinya, maka
pintu goa itu pun rubuh. Maka Maharaja Balia pun keluarlah dari dalam goa itu lalu
ia kembali masuk ke dalam istana. Maka didapatinya oleh Maharaja Balia akan
Sugriwa itu setelah duduk di atas singgasana kerajaan karena ia menjadikan dirinya

104
– HIKAYAT SRI RAMA –

raja. Setelah dilihat oleh Maharaja Balia peri demikian itu, maka ia pun terlalu mara
seraya ia melompat. Setelah dilihat oleh Sugriwa itu akan Maharaja Balia melompat
itu, maka ia pun segeralah turun dari atas singgasana. Maka kata Maharaja Balia,
“Hai, Sugriwa, mengapatah pekertimu demikian dan lakumu dan pekerjaan engkau
demikian, tiadalah dengan periksamu maka Engkau melakukan kehendakmu itu di
dalam istanaku ini?” Maka sembah Sugriwa, “Adapun akan titah tuan hamba pada
masa itu kepada hamba, “Apabila darah puti keluar akulah yang mati dan apabila
darah yang merah keluar, Misasura yang mati.” Maka hamba lihat darah merah dan
darah puti pun keluar, maka pada bicara patik jikalau demikian jadi keduanya yang
mati.” Maka kata Maharaja Balia, “Jikalau demikian sekalipun hendaklah dengan
periksamu dahulu, mengapatah sajanya engkau kehendaki dahulu akan kerajaanku
dan engkau hendak akan istriku maka demikian pekertimu tiadalah harus sekali
dibaiki.” Setelah demikian maka Maharaja Balia pun turunlah lalu ditangkapnya
pinggang Sugriwa lalu dilontarkannya jatu ke dalam hutan rimba belantara. Setelah
itu maka Maharaja Balia pun naiklah di atas singgasana kerajaan dihadap oleh
segala raja-raja dan bala tentara sekalian.
Adapun akan Sugriwa itu pada tatkala akan dilontarkan oleh Maharaja Balia itu,
maka jatulah ia pada suatu padang, duduklah ia kepada tempat itu dengan
dukacitanya serta dengan tangisnya. Maka Sugriwa pun bertapa pada tempat itu
tiadalah maka dan tiada minum dengan laparnya dan dahaganya serta ia
terkenangkan anak bininya./ Maka kata Sugriwa, “Sudalah akan kehendak Dewata
137 Mulia Raya kepada aku.” Setelah berapa lamanya ia bertapa itu, maka dengan takdir
Dewata Mulia Raya itu maka tahi matanya Sugriwa itu menjadi bukit dan
airmatanya menjadi sungai mengalir airnya. Maka Sugriwa pun duduklah di dalam
tahi matanya yang seperti gunung itu dengan lapar dahaganya, demikianlah
senantiasa itu.
Hatta arkian maka tersebutlah perkataan Hanuman. Maka ia bermohon kepada
bundanya Dewi Anjani ia hendak pergi mencari bapanya lalu ia pergi mendapatkan
neneknya Sang Perdana itu terlalu sakti. Maka Sri Hanuman pun berjalanlah
mencari Sang Perdana, seraya katanya, “Aku hendak bertanyakan akan bapaku
karena ia terlalu terus penglihatannya supaya ada tunjukkannya akan bapaku.”
Maka ia pun berjalanlah. Setelah ia sampailah kepada tempat pertapaan Sang
Perdana itu, maka ia lalu menyembah kepada Sang Perdana. Maka Sang Perdana
pun tahulah akan cucunya Hanuman datang. Ia maka segeralah ditegurnya oleh
baginda, seraya katanya, “Hai, Cucuku Hanuman, apa kehendakmu kepada aku?”
Maka sembah Sri Hanuman, “Ya Tuanku sebab hambamu datang ini hendak tahu
akan bapa hamba itu. Jikalau ada karunianya tuanku akan hamba supaya hamba
pergi mencari bapa hamba.” Setelah didengar oleh Sang Perdana akan kata Sri
Hanuman itu, maka baginda pun berdiam dirinya. Setelah demikian, maka Sang
Perdana pun bertitah, “Hai Cucuku, segeralah engkau pergi mendapatkan Maharaja
Balia. Adapun akan Sugriwa itu telah menjadi lawan akan membunu mamakmu,
Maharaja Balia, tetapi barangsiapa kelak mengenal anting-antingmu yang ada pada
telingamu itu maka itulah (bapamu).” Setelah suda Sri Hanuman mendengar titah
Sang Perdana itu, maka Sri Hanuman pun sangat kelaparan. Maka dilihat oleh Sri
Hanuman pohon asam jawa terlalu lebat buahnya, maka Sri Hanuman pun pamit
lalu ia melompat ke atas pohon asam jawa itu. Maka dimakannya buahnya itu dan

105
– HIKAYAT SRI RAMA –

pada tatkala itu Sri Rama dan Laksamana di atas rimba di bawa pohon asam itu dan
Sri Hanuman memakan pohon asam itu. Maka dilihatnya ke bawa, maka
terpandanglah kepada Sri Rama itu tidur terlalu indah rupanya dan yang seorang itu
laki-laki terlalu sekali nyadar dan yang seorang itu duduk meriba kepalanya yang
tidur itu. Maka dilihatnya oleh Hanuman akan tidurnya itu suda tiga hari tiga malam
tiadalah kabarkan dirinya.
138 Maka yang mereba itu tiadalah bergerak-gerak./ Maka Sri Hanuman pun pikir
di dalam hatinya, ‘Siapa gerangan ini terlalu hormat dan saktinya lagi baktinya
kepada sudaranya?’ Setelah demikian, maka Sri Hanuman pun mengambil suatu
ranting asam itu, maka dilihatnya oleh Laksamana ada suatu kera puti bertengger
pada daun asam itu serta ia memakan buahnya. Maka Sri Hanuman pun mengambil
pula ranting asam itu, maka dilontarkannya kepada Laksamana dan segala daunnya
dan rantingnya kepada Laksamana. Maka segera ditangkapnya oleh Laksamana
maka dilihatnya oleh Sri Hanuman itu segala pelontarnya itu tiada mengenai kepada
Laksamana. Maka Sri Hanuman pun terlalu mara sebab dilihatnya akan Laksamana
itu tiadalah ia bergerak daripada mereba kepala Sri Rama itu. Maka dilihatnya oleh
Sri Hanuman kepada sisinya itu ada anak panah hanyalah tiga biji. Maka Sri
Hanuman pun segera turun dari atas pohon asam itu. Maka direbutnyalah anak pana
itu, maka tiadalah diberinya oleh Laksamana serta dipegangnya. Maka dikuatinya
juga oleh Sri Hanuman itu. Maka dapatlah ke tangannya anak pana itu. Maka Sri
Hanuman pun segeralah naik pula ke atas pohon asam itu. Maka Laksmana pun
heranlah sebab melihat gagahnya itu akan Sri Hanuman. Maka Laksamana pun
membangunkan Sri Rama, maka Sri Rama pun terkejut bangun daripada tidurnya,
seraya katanya, “Hai, Laksamana, mengapa engkau membangunkan aku karena aku
lagi sedap tidurnya?” Maka kata Laksamana, “Ya, Tuanku, Laksamana maka berani
menggerakkan tuanku lagi tidur ini sebab ada seekor kera puti di atas pohon asam
ini. Maka dilontarkannya patik dengan segala pohon asam ini dan rantingnya asam
itu tiada juga kena sebab patik tangkiskan segala pelontarnya itu. Setelah demikian,
maka ia pun datanglah dari atas pohon asam itu datang merebut anak pana Sang
Dipertuan itu tiga bilah lalu dibawanya naik ke atas pohon asam ini. Sebab itulah
maka patik berani menggerakkan Yang Dipertuan.” Setelah Sri Rama mendengar
kata Laksamana itu demikian, maka titah Sri Rama, “Hai, Laksamana, sekarang ke
mana perginya kera puti itu maka tiadalah kelihatan kepada pohon asam ini dan lagi
jikalau ada mengapa maka ia itu tiada nampakkan dirinya? Jikalau demikian/ itu,
139 Adinda Laksmana tiada mau bersama-sama dengan kakanda, menyesal kiranya
mengikut kakanda, pergilah adinda barang ke mana dan kembalilah adinda ke
negeri mendapatkan bunda menjadi raja di dalam negeri. Adapun kakanda ini
biarlah seorang diri pergi barang ke mana akan mencari Dewi Sita itu.” Setelah
didengar oleh Laksamana akan kata kakanda itu, maka Laksmana pun memintak
doa. Maka dengan ditakdirkan oleh Dewata Mulia Raya, maka pohon asam itu pun
menjadi kecillah. Maka Sri Hanuman pun kelihatanlah dipandang oleh Sri Rama.
Maka dilihatnya seekor kera puti terlalu indah-indah rupanya. Maka kata Sri Rama,
“Hai, Adinda, itulah kera kecil. Lihatlah oleh adinda ia ada beranting-anting kepada
telinganya itu.” Setelah didengar oleh Hanuman akan kata Sri Rama itu, maka ia
pun segeralah turun dari atas pohon asam itu. Lalu meniharap sujud kepada kaki Sri
Rama. Maka kata Sri Rama, “Hai, Adinda Laksamana, bahwa kera ini nyatalah anak
kakanda.” Setelah Laksamana mendengar kata Sri Rama demikian itu, maka

106
– HIKAYAT SRI RAMA –

Laksamana pun tersenyum. Maka kata Sri Rama, “Hai, kera puti, siapa namamu
dan di mana datangmu?” Maka sembah Sri Hanuman, “Ya, Tuanku, hambalah yang
bernama Hanuman dan nama ibu hamba Dewi Anjani, anak Maharaja Begawan
Katama dan Raja Begawan Katama itu anak Sang Perdana.” Setelah Sri Rama
mendengar kata Sri Hanuman itu, maka Sri Rama pun terlalu sukacita hatinya.
Maka kata Sri Rama, “Hai Hanuman, sekarang ini engkau ke mana?” Maka sembah
Hanuman, “Sekarang patik hendak pergi ke negeri Langkurkatin, hendak
mendapatkan mamak hamba, Maharaja Balia dan Maharaja Sugriwa. Adapun akan
Maharaja Sugriwa itu tiada lagi di dalam negeri sebab berkelahi dengan Maharaja
Balia. Maka segala ini tiadalah patik jadi pergi karena patik hendak mengiringkan
tuanku barang ke mana.” Maka titah Sri Rama, “Hai Hanuman, pergilah engkau
dahulu mendapatkan mamakmu, Maharaja Balia, karena aku ini tiadalah
berketahuan pergiku ini.” Maka kata Sri Hanuman, “Jika tuan pergi setahun dan
seribu tahun sekalipun, pergi barang ke mana patik hendak bersama-sama juga akan
mengiringkan tuanku.” Maka kata Sri Rama, “Pergilah juga engkau mendapatkan
mamakmu dahulu dan jika aku hendak bertemu kepada engkau itu niscaya aku cinta
namamu hendaklah segera engkau datang mendapatkan aku.”
Setelah itu maka Hanuman pun sujudlah. Maka diceritakannya seperti kata Sang
140 Perdana/ itu, “Barangsiapa akan mengenal anting-anting itulah bapamu.” Maka kata
Sri Rama, “Benarlah seperti kata Sang Perdana itu, engkaulah anakku. Pergilah
engkau kembali dahulu mendapatkan mamakmu ke negeri Langkurkatin itu.” Maka
Hanuman sujudlah pada kaki Sri Rama dan Laksamana lalu ia berjalan pergi ke
negeri Langkurkatin itu. Maka setelah itu sampai, lalu ia masuk mendapatkan
Maharaja Balia. Pada tatkala itu Maharaja Balia pun sedang dihadap orang segala
hulubalang dan segala bala tentaranya, maka dilihatnya Hanuman pun datang.
Maka Maharaja Balia pun terlalu sukacita melihat anak sudaranya datang itu. Maka
Hanuman pun segeralah menyembah kaki Maharaja Balia. Maka dipeluk
diciumnya akan anakda Hanuman itu, maka ia pun duduklah di negeri
Langkurkatin.
Sebermula maka tersebutlah perkataan Sri Rama. Maka ia pun berjalanlah
dengan Laksamana. Berapa lamanya berjalan itu, maka baginda pun terlalu amat
dahaganya itu. Maka kata Sri Rama, “Hai Laksamana, pergilah adinda mencari air
karena kakanda terlalu amat sekali dahaganya.” Maka kata Laksamana, “Ya
Tuanku, di mana tempat mencari air karena hamba tiada tahu sebab kita berjalan
ini di tengah bukit?” Maka Sri Rama pun memanahkan anak panahnya disuruhnya
ikut oleh Laksamana. Maka ia sampailah kepada tempat Sugriwa akan dilontarkan
oleh Maharaja Balia itu. Maka anak panah itu pun jatulah di dalam suatu lopak.
Maka Laksamana pun mengambil sehelai daun kayu diperbuatnya tempat air itu
dan anak panah itu pun diambilnya dibawanya kembali. Setelah datang air itu, maka
hendak diminumnya oleh Sri Rama. Maka air itu berbauk airmata. Maka kata Sri
Rama, “Hai Adinda Laksamana, di mana Adinda ambil air ini?” Maka kata
Laksamana, “Pada tempat anak panah tuanku itulah.” Maka kata Sri Rama,
“Marilah tunjukkan aku ke tempat itu.” Maka baginda pun berjalanlah ke tempat
air itu.
Setelah datang dilihatnya oleh Sri Rama air mengalir itu dari kaki gunung itu,
maka diikutnya oleh adinda lalu naik ke atas kota itu pada air yang mengilir itu.

107
– HIKAYAT SRI RAMA –

Maka baginda kedua pun sampailah ke atas gunung. Maka dilihatnya oleh baginda
ada suatu tasik terlalu besar. Maka di tepi tasik itu tulang ikan berpuluh-puluh
timbunannya seperti gajah. Maka dilihat oleh Sri Rama dan Laksamana itu ada
sebuah gunung. Maka kata Sri Rama, “Marilah kita ke sana.” Baginda pun pergilah
kepada tempat itu. Maka/ dilihatnya di bawa gunung itu ada sebuah layang. Maka
141 di dalam layang itu maka keluarlah seorang rasaksa besarnya seperti bukit dan
tubuhnya seperti warna rupanya dan jarinya hitam terlalu besar dan rambutnya
seperti darah yang merah dan tujuh depa panjangnya. Maka ia berdirilah dan
rambutnya itu buluh betung serumpun. Setelah dilihat oleh Sri Rama dan
Laksamana, maka ia pun terlalu heran. Maka ia bersuara guruh seperti suaranya
seraya katanya, “Hai, manusia di mana engkau datang ini dan siapa namamu?”
Maka kata Laksamana, “Akulah Laksamana dan inilah sudaraku yang bernama Sri
Rama.” Maka kata Sri Rama, “Adapun aku datang kemari aku hendak mencari
istriku yang dilarikan oleh orang. Akan tetapi, engkau ini siapa namamu?” Maka
rasaksa itu, “Adapun namaku ini Dati Janggala telah seribu tahun hamba bertapa di
sini. Adapun nama bapa hamba adalah disebut orang Dasarata Maharaja dan terlalu
sekali bangsawan lagi darmawan dan pahlawan di bawa langit ini. Adapun akan
engkau ini apa gerangan saktimu maka dapat engkau kedua sampai ke tempatku
ini? Dan jikalau engkau membunu aku mana kehendakmu dan barang sekuasamu
dan sekuasakulah melawan. Akan tetapi, jikalau engkau hendak baik kepadaku dan
kalau-kalau ada juga kebajikan daripada aku.” Setelah demikian, maka kata Sri
Rama, “Hai, Rasaksa, kepada hatiku sekali-kali aku tiada mau hendak berbuat jahat
kepada segala rasaksa atawa kepada yang lain sekalipun suatu sekalian barang yang
berbuat jahat kepada aku barang sekuasaku melawan dia.”
Setelah rasaksa itu Dati Janggala mendengar kata Sri Rama itu demikian serta
dilihatnya tubu Sri Rama itu seperti zamrud diperamat-ramatinya maka ia pun
sujudlah pada kaki Sri Rama, seraya katanya, “Adapun Tuanku ini daripada anak
cucu Mahabisnu juga maka warna tubuh tuanku ini seperti zamrud seharusnyalah
hamba berbuat kebaktian kepada tuanku. Jikalau jangan kiranya hambamu bertapa
dua ratus tahun ini niscaya barang ke mana tuan hamba, hamba ikutlah. Sekuasa
hambalah mengerjakan pekerjaan tuanku.” Maka kata Sri Rama, “Menerima
kasihlah hamba biarlah tuan hamba menujukan pertapaan tuanku dahulu besoklah.
Jikalau ada kesukaran tuan hamba boleh hamba cita nama tuan hamba hendaklah
tuan hamba segera datang mendapatkan tuan hamba.” Maka Jati Janggala, “Baiklah
tuanku dan ada suatu hari persembah patik ke bawa duli tuanku. Jikalau/ tuanku
142 berjalan kelak jangan tuanku sekali-kali mengikut jalan ke kiri, melainkan ke kanan
juga tuanku turut supaya bertemu dengan negeri orang banyak.” Setelah Sri Rama
mendengar kata Dati Janggala itu, maka Sri Rama dan Laksamana pun
bermohonlah kepada rasaksa Dati Janggala itu lalulah turun dari atas gunung itu.
Maka baginda pun berjalanlah menurut seperti kata rasaksa itu.
Setelah berapa lamanya berjalan itu, maka ia pun sampailah kepada suatu
padang. Maka Sri Rama pun terlalu amat dahaganya. Maka diambilnya anak
panahnya maka lalu dipanahkannya, seraya katanya, “Ikutlah Adinda.” Maka
diikutnyalah oleh Sri Laksamana. Maka anak pana itu pun jatulah kepada suatu
sungai kecil. Maka ia pun mengambil sehelai daun diperbuatnya timba, maka
diisinya air dan panah itu pun akan diambilnya lalu dibawanya kepada Sri Rama.

108
– HIKAYAT SRI RAMA –

Setelah datang air itu, maka Sri Rama pun minumlah. Maka dirasainya masin air
itu dan hangus. Maka kata Sri Rama, “Hai Laksamana, di mana engkau ambil ini?”
Maka kata [Sri Rama](Laksmana), “Kepada tempat jatu anak pana ini.” Maka kata
Sri Rama, “Marilah kita ke sana.” Maka ia pun berjalanlah keduanya kepada tempat
air itu.
Setelah datang,, maka dilihatnya oleh Sri Rama, bukannya air yang benar maka
air itu airmata orang. Maka kata Sri Rama, “Hai, Adinda Laksamana, marilah kita
turut di mana hulunya akan air ini.” Maka ia pun berjalanlah keduanya akan
mengikut hulu air itu dari pagi-pagi datang kepada tengah hari. Maka dilihatnya
oleh Sri Rama dan Laksamana dari jauh itu ada sebuah bukit tahi mata binatang.
Maka di dalam tahi mata itulah keluar air itu. Maka Sri Rama dan Laksamana pun
heranlah akan dia itu. Maka kata baginda, “Yang bertimbun-timbun ini tahi mata
rupanya dan apalah kehendaknya gerangan kepada Dewata Mulia Raya.” Setelah ia
pikir demikian, maka Sri Rama pun menunjamkan tongkatnya. Maka jadilah sebuah
kolam terlalu indah perbuatannya, maka baginda pun mandilah kepada kolam itu
kedua bersudara.
Setelah suda ia mandi, maka baginda pun memuja kepada Dewata Mulia Raya.
Setelah suda, maka Sri Rama pun datanglah kepada tempat Sugriwa itu. Maka kata
baginda, “Hai, Hamba Dewata, siapa engkau ini dan apa kehendaknya maka engkau
selaku ini?” Setelah Maharaja Sugriwa mendengar kata manusia itu, maka ia pun
pikir di dalam hatinya, ‘Siapa gerangan ini maka ia pun dapat sampai kemari?
Jikalau demikian, baiklah aku keluar bertemu dengan dia itu kalau-kalau ada juga/
143 kebajikan kepada aku, karena manusia itu barangkali dilebihkan oleh Dewata Mulia
Raya.’ Setelah demikian maka Maharaja Sugriwa pun keluarlah dari dalam tahi
matanya itu. Maka setelah dilihat oleh Sugriwa dua orang laki-laki manusia terlalu
indah-indah sekali rupanya dan sikapnya seperti Mahabisnu tiada berlawan dan
yang seorang itu sikapnya seperti rajawali lakunya, tiadalah akan membilang
lawannya. Setelah demikian, maka Sugriwa pun sujudlah pada kaki Sri Rama.
Maka kata Sri Rama, “Hai, kera, siapa namamu dan apa kehendakmu maka engkau
bertapa di sini dengan demikian halmu ini?” Maka sembah Sugriwa, “Syah ’Alam,
ya Tuanku, hambamu yang bernama Sugriwa, sudara Maharaja Balia, raja segala
kera, beruk, lutung dan kungkung, siamang, raja di negeri Langkurkatin.” Maka
kata Sri Rama, “Hai, Maharaja Sugriwa, apa sebabnya maka tuan hamba bertapa
kepada tempat ini dan apa sebabnya maka tuan hamba menangis?” Maka sembah
Sugriwa, “Ya Tuanku, maka sebab patik menangis dan bertapa pada tempat ini
karena istri hamba yang muda diambil oleh sudara hamba yang jadi raja itu dan
hamba pun dipalunya. Setelah suda itu, maka hamba pun ditangkapnya lalu
dilontarkannya pada tempat ini. Itulah sebabnya. Adapun tuanku ini siapa dan apa
kehendak tuanku datang kemari ini?” Maka kata Sri Rama, “Adapun namaku ini
Sri Rama dan sudaraku ini Laksamana. Hamba ini anak Dasarata Maharaja, cucu
Dasarata Cakrawati. Adapun sebab aku datang ini hendak mencari akan istriku
dilarikan orang, akan tetapi di dalam kabar Maharaja Rawana yang melarikan
istriku itu dan hamba berjalan itu hendak bertanyakan tempat negerinya itu.”
Setelah Sugriwa mendengar kata Sri Rama itu, maka kata Sugriwa, “Jikalau
sungguh tuanku hendak menolong hambamu membunu sudara hamba dan
mengembalikan istri hamba kepada hamba, maka hambalah akan menunjukkan

109
– HIKAYAT SRI RAMA –

negeri Rawana itu dan barang pekerjaan tuanku hambalah yang mengerjakan dan
menolong tuanku baru berperang dengan Sri Rawana itu dan barang pekerjaan
tuanku atas hambalah dan hamba ini terlalu banyak rakyat dan lagi baik tuanku
dipersilakan kepada tempat hambamu.” Maka kata Sri Rama, “Jikalau demikian,
bawalah hamba pergi ke sana kepada tempat sudaramu itu supaya aku menolong
engkau.” Setelah itu, maka Sugriwa pun terlalu amat sukacitanya. Maka ia pun
144 pikir di dalam/ hatinya, ‘Karena sudaraku Maharaja Balia itu terlalu gagah lagi
pahlawan di bawa langit ini seorang pun tiadalah dapat melawan dia. Sedang
Maharaja Rawana lagi tiada dapat melawan dia dan lagi rasaksa yang bernama
Katibihara itu kepalanya tiga ribu dan tangannya enam ribu dan jika ia menangkap
ikan di dalam laut itu dapat dibakarnya kepada matahari itu. Akan tetapi, di dalam
kabarnya yang dapat membunu Maharaja Balia itu sekadar dua orang manusia juga
yang dapat membunu Maharaja Balia itu. Jika demikian, baiklah manusia dua orang
ini aku coba dahulu supaya aku lihat gagah dan saktinya.’ Maka sembah Maharaja
Sugriwa, “Baiklah, Tuanku. Kita berjalan pergi ke negeri hamba.” Maka Maharaja
Sugriwa pun membawa Sri Rama dan Laksamana berjalan di dalam hutan Andana.
Adapun hutan itu empat yujan luasnya dan tiada lain yang tumbuh pada hutan itu
hanyalah pohon lontar juga. Maka Sri Rama pun tahulah akan kehendak Sugriwa
itu hendak mencoba dia dan ia takut kalau tiada terbunu dengan Maharaja Balia itu.
Maka Sri Rama pun bertanya kepada maharaja, “Hai, Sugriwa, hendak ke mana
kita ini dan jalan mana yang kita turut ini?” Maka kata Maharaja Sugriwa, “Ya,
Tuanku, adapun akan jalan ini jalan pergi kepada sudara hamba.” Setelah itu maka
ia pun sampailah kepada hutan Andana itu, maka dilihat oleh Sri Rama hutan itu
terlalu banyak sekali pohon lontar tiadalah tepermanai. Maka sembah Sugriwa, “Ya
Tuanku, jikalau ada karunianya tuanku akan patik, panahkanlah pohon lontar ini
biar habis semuanya luluh lantak sekali supaya hambamu termasa.” Maka Sri Rama
pun tersenyum-senyum. Maka kata baginda, “Hai, Sugriwa, jikalau engkau hendak
melihat termasa aku memana, pergilah engkau dengan Laksamana duduk jauh-jauh
supaya pohon lontar itu aku pana.” Maka Sugriwa pun segeralah berjalan dengan
Laksamana duduk pada suatu batu besar berlindung adalah kira-kiranya seratus
depa jauhnya daripada tempat Sri Rama memana itu. Maka Sri Rama pun
mengeluarkan panahnya, maka tatkala itu ia hendak mengeluarkan akan pananya
itu yang bernama Gandiwati. Maka kata Sri Rama, “Hai, Sugriwa, engkau lihat
baik-baik.” Setelah demikian, lalu dipanahkan oleh Sri Rama. Maka segala binatang
yang buas-buas itu semuanya dan segala marga satwa-satwa dan segala pohon kayu
145 pun habislah semuanya ter/ bongkar maka keluar api dari dalam pana itu bernyala-
nyala. Maka Sri Rama pun bertempik maka lalu panahkannya. Maka suaranya
seperti halintar membela. Maka segala bukit itu pun bernyala-nyalalah keluar api
bernyala-nyala ke udara. Maka pada tatkala itu, Maharaja Sugriwa dan Laksamana
pun pingsanlah tiada kabarkan dirinya sebab mendengar suara itu. Maka dengan
sekali panah itu juga maka hutan itu pun menjadi padanglah. Maka Laksamana dan
Sugriwa pun terkejutlah lalu bangun. Maka dilihatnya segala pohon lontar itu
habislah luluh latak.
Setelah demikian, maka Sri Rama pun melihat kepada Laksamana dan Sugriwa.
Maka Laksmana dan Sugriwa pun sujudlah. Maka Sugriwa pun heranlah melihat
Sri Rama itu sangat pahlawan dan sakti itu, seraya sembanya, “Ya, Tuanku, adapun

110
– HIKAYAT SRI RAMA –

tatkala patik berjanji dengan tuanku itu adalah sedikit satu hati patik. Akan sekarang
telah hamba lihatlah duli Yang Dipertuan bukan barang pahlawan dan saktinya.
Maka hamba baharulah suka dan haraplah yang diperhamba kepada tuanku.”
Setelah Sri Rama mendengar kata Sugriwa itu, maka baginda pun tersenyum.
Setelah demikian maka Sri Rama pun akan berjalanlah dibawa oleh Sugriwa
itu. Maka datanglah pada suatu rimba, maka dilihat oleh Laksamana itu ada tujuh
batang nangka dan di dalam satu batang itu besarnya tujuh peluk itu. Adapun
nangka itu ada di atasnya itu ular dan naga. Adapun naga itu besarnya seperti bukit.
Maka tatkala ia berlingkar, maka pohon nangka itu pun bergelung dan apabila ia
menjulurkan dirinya naga itu, maka pun nangka itu pun berbanjarlah. Maka sembah
Sugriwa, “Marilah kita pergi kepada pohon nangka itu.” Maka Sri Rama pun
pergilah kepada tempat naga itu. Maka tatkala itu dilihatnya naga itu melingkar,
maka Sri Rama pun menggerakkan naga itu. Maka naga itu pun terkejut lalu ia
membetulkan dirinya. Maka segala pohon nangka itu pun berbanjarlah. Maka lalu
dipanahnya oleh Sri Rama pohon nangka itu, maka pohon nangka itu pun habis
luluh latak. Maka anak pana itu pun kembalilah.
Setelah demikian, maka dibawanya oleh Sugriwa akan Sri Rama itu masuk ke
dalam. Setelah datang kepada persimpangan jalan ke negeri itu, maka dibawanya
pula masuk ke dalam hutan yang bernama hutan Markasa. Maka di dalam hutan itu,
maka dilihatnya oleh Sri Rama dan Laksamana ada suatu gunung dari bumi sampai
ke udara tingginya gunung itu,/ maka kata Sri Rama, “Hai, Sugriwa, gunung apa ini
146 yang terlalu tingginya dan besarnya?” Maka Sugriwa, “Ya Tuanku Syah ‘Alam
inilah gunung tulang rasaksa yang bernama Katibihara itu dan rasaksa itulah yang
dibunu oleh sudara Yang Diperhamba dan rasaksa itu tiga ribu kepalanya dan enam
ribu kakinya dan enam ribu tangannya dan enam ribu bininya. Barangkali bininya
hendak mandi ke laut maka dihimpunkannya air laut itu dengan tangannya supaya
air laut itu jangan bercampur air masin dan air tawar.
Hatta maka Katibihara itu pun bertemulah dengan sudara hamba, Maharaja
Balia, di dalam hutan ini. Maka lalu ia berperang. Maka Katibihara pun matilah
dibunu oleh sudara patik.” Maka kata Sri (Rama), “Demikianlah mahluk dijadikan
oleh Dewata Mulia Raya.” Maka kata Sugriwa, “Ya Tuanku panalah tulang ini biar
luluh latak.” Maka kata Sri Rama, “Tiadalah aku mau memanah tulang ini karena
sama dengan tulang budak karena aku sayang anak panahku.” Setelah itu maka Sri
Rama pun datanglah lalu dikawikannya tulang itu dengan ibu kakinya, maka tulang
itu pun jatuhlah ke laut bertaburan. Setelah dilihat oleh Sugriwa akan perkasa Sri
Rama itu, maka Sugriwa pun heranlah dan terlalu sukacita hatinya. Setelah
demikian maka Sugriwa pun sujudlah pada kaki Sri Rama, seraya katanya, “Ya
Tuanku. Jikalau demikian gagah tuanku, dapatlah tuanku ini membunu sudara patik
karena tatkala tuanku berjanji dengan patik itu maka adalah syak hati patik karena
patik juga belum tahu gagah dan sakti tuanku. Sekarang ini haraplah patik tuanku
penolong kepada patik ini dan karena sebab itulah patik membawa tuanku pergi ke
dalam hutan ini.” Setelah didengar oleh Sri Rama, maka ia pun tersenyum lalu
berkata, “Hai, Sugriwa, sekarang segeralah bawa aku kepada sudaramu itu.”
Setelah demikian, maka ketiga pun berjalanlah menuju negeri Langkurkatin.
Tiadalah berapa lamanya berjalan itu, maka ia pun sampailah ke negeri itu. Maka

111
– HIKAYAT SRI RAMA –

kata Sri Rama, “Hai, Sugriwa, bawalah aku kepada sudaramu kelak ke dalam
negeri. Segeralah engkau masuk ke dalam kota, engkau ajak sudaramu berperang
dan apabila engkau bertangkap kepada sudaramu, maka akulah yang memana
sudaramu itu.” Setelah Sugriwa mendengar kata Sri Rama itu, maka Sugriwa pun
pergilah masuk ke dalam kota serta ia datang, seraya katanya, “Hai, Balia, segeralah
engkau keluar berperang dengan aku sama seorang kita bercakak pinggang karena
aku telah bertapa.” Setelah didengar oleh Maharaja Balia akan Maharaja/ Sugriwas
147 itu telah datang lalu ia mengajak keluar kota berperang. Maka pikir maharaja Balia,
‘Ada juga Maharaja Sugriwa ini yang diharapnya dan dibesarkannya maka Sugriwa
demikian lakunya.’ Maka maharaja Sugriwa pun berseru-seru pula, seraya katanya,
“Hai, Maharaja Balia, marilah engkau keluar dari kotamu itu supaya kita
bertangkap sama seorang karena aku suda bertapa. Apa takut gerangan engkau
dengan aku marilah persembahkan anak istrimu kepada aku?” Setelah didengar
oleh Maharaja Balia akan kata Sugriwa itu, maka ia terlalu marah. Maka ia pun
segeralah keluar dari dalam kota itu. Maka dilihatnya Sugriwa ada terdiri datang
padang itu. Maka lalu segeralah diusirnya oleh Maharaja Balia, maka lalu dipalunya
oleh Maharaja Balia dan Sugriwa itu digocohnya dan pecah-pecah dan berdarah-
darah segala tubuhnya.
Maka pada tatkala itu hendak dipanah oleh Sri Rama akan Maharaja Balia itu,
maka dilihatnya Maharaja Balia itu sama besarnya dengan Sugriwa dan rupanya
sama dan tingginya pun sama dan hendak dipanahnya oleh Sri Rama dari tepi hutan
itu kalau-kalau kena Sugriwa karena orang sama rupanya dan sama besarnya. Maka
Sri Rama pun diamlah pada tempatnya berdiri itu. Adapun Sugriwa telah berdarah
berluncuran darahnya dan tubuhnya pun bengkak-bengkak dihempaskan oleh
Maharaja Balia. Setelah ia bangun, maka ia pun segeralah berlari-lari kepada Sri
Rama di tepi hutan. Maka Maharaja Balia pun kembalilah ke istananya.
Setelah sampai Sugriwa kepada Sri Rama, maka ia pun berkata seraya katanya,
“Ya, Tuanku, manatah janji tuanku hendak menolong hamba? Maka hamba rasai
suatu tiada penolong tuanku akan patik.” Maka kata Sri Rama, “Hai, Maharaja
Sugriwa, dapat daya aku hendak membunu Maharaja Balia itu karena engkau sama
rupanya dan aku lihat kalau-kalau kena engkau. Sekarang ini marilah aku tandai
dirimu itu supaya aku kenal.” Setelah demikian, maka Sri Rama pun mengambil
akar kayu dan diikatnya kepada pinggang Sugriwa maka diambilnya pula daun
pinang maka diikatnya kepada buntut Sugriwa. Maka kata Sri Rama, “Pergilah
engkau bertangkap kepada sudaramu engkau itu kepada tempat kemarin itu.” Maka
Sugriwa pun segeralah berjalan pergi mengajak Maharaja Balia berperang serta
datang. Katanya, “Hai, Balia, segeralah engkau keluar berperang dengan aku sama
seorang.” Serta didengarnya oleh Maharaja Balia, Sugriwa mengajak dia berperang
148 itu, maka ia pun/ tertawa-tawa gelak-gelak lalu keluar dari dalam istananya seraya
diusirnya akan Sugriwa itu. Lalu dipalunya maka tatkala akan Maharaja Balia
memalu Sugriwa itu, maka Sugriwa pun dipanah oleh Sri Rama akan Maharaja
Balia itu serta datang anak panah itu. Maka dilihat oleh Maharaja Balia maka
segeralah dipanahnya ditangkapnya anak panah itu, seraya katanya, “Siapa yang
memana aku ini karena aku tiada berdosa?” Setelah demikian maka Sri Rama pun
menunjukkan dirinya lalu ia keluar dari tepi hutan itu, seraya ia berkata, “Akulah
Sri Rama, anak Dasarata Maharaja.” Maka kata Maharaja Balia, “Jika demikian

112
– HIKAYAT SRI RAMA –

engkau raja bangsawan lagi darmawan serta budiman dan artawan dan setiawan.
Adapun gagahmu pun masyhurlah kepada segala ‘alam ini yang aku dengar dan
sekarang ini mengapa maka engkau tiada dengan periksamu lagi siapa yang sala
dan siapa yang benar? Mengapa maka engkau dengarkan Sugriwa? Ampun kata
karena Sugriwa itu orang darjana dan terlalu amat.” Maka kata Sri Rama, “Hai,
Maharaja Balia, karena Sugriwa itu mengatakan dirinya itu terniaya oleh tuan
hamba maka ia mintak tolong kepada hamba.” Maka diceritakan oleh Sri Rama peri
ia kehilangan istrinya itu dan peri Maharaja Sugriwa bercakap hendak menolong ia
itu dan diceritakannya dari permulaannya sampai kesudaannya diceritakan oleh Sri
Rama itu. “Setelah itu, maka hamba bercakap menolong dia dan hamba berjanji ia
hendak menolong hamba.” Maka kata Maharaja Balia, “Jika tuan hamba hendak
kata perkataan hamba dengan Sugriwa itu dari permulaannya, baiklah hamba
ceritakan.” Maka diceritakan oleh Maharaja Balia kepada Sri Rama dari
permulaannya datang kepada kesudaannya semuanya diceritakan dari
permulaannya. “Dan seperkara lagi dimakan lagi akan jadi akan perkerjaan tuan
akan Sugriwa hendak menolong tuan itu dan jikalau hamba dengan tiada berkala
lagi akan mengambil istri tuan hamba itu dengan mudanya juga.” Maka kata Sri
Rama, “Jika demikian, marilah anak panah tuan hamba kembalikan.” Maka kata
Maharaja Balia, “Dimakan dapat kembali lagi karena apabila ia terlepas dari
tanganku ini niscaya ia menikam pula kepada aku.” Maka kata Sri Rama, “Marilah
kembalikan kepada hamba anak panah itu.” Maka kata Maharaja Balia, “Hai Sri
Rama. Jikalau mati hamba di dalam tangan tuan hamba ini supaya tuan hamba
menjadi ṣahabat tuan hamba kepada hamba.” Maka Sri Rama pun tersenyum dan
Sri Maharaja pun tertawa-tawa, seraya katanya, “Tiadakah tuan hamba tahu akan
149 adat anak/ panah tuan hamba ini? Jika ia lepas daripada ibunya niscaya ia sampurlah
barang yang dimakṣud oleh tuan hamba itu, sekali-kali baharulah ia kembali kepada
tuan hamba karena sungguhnya hamba tahu akan asalnya anak panah tuan hamba
itu. Adapun asalnya senjata Mahabisnu karena paduka nenekda itu anak
Mahabisnu. Karena aku ini raja tua karena aku tahu perkataan Sang Prabu Kala
karena aku ini sama dengan Dasarata Cakrawati dan Dasarata Maharaja bapa
engkau itu pintu kepada hamba ini. Dan Dasarata Raman itu, moyang akan tuan,
itulah sama-sama tuanya. Maka hamba seorang juga lagi tinggal raja tua dan yang
lagi tinggal sekarang Maharaja Datikatama, bapa Maharaja Datikuca, pintu
Maharaja Balia. Kesna Demi itu tempatnya di sebelah Masrik. Adapun di dalam
Dunia ini ialah yang tiada takluk kepada raja-raja yang hamba katakan itu. Adapun
Maharaja Rawana itu terlalu malu ia akan hamba.” Setelah Sri Rama mendengar
kata Maharaja Balia itu demikian, maka Sri Rama pun hendak mengambil anak
panahnya itu daripada tangan Maharaja Balia. Maka tiadalah diberinya oleh
Maharaja Balia. Kemudian anak panah itu pun dihantarkannya ke bumi oleh
Maharaja Balia. Maka anak panah itu pun yang akan terbang ke udara. Setelah itu
maka anak pana itu pun turunlah pula ke bumi lalu ia menikam Maharaja Balia.
Maka pada tatkala itu Maharaja Balia pun segeralah memegang tangan Sri Rama,
maka lalu ia berpesan, “Hai, Sri Rama, sungguhpun tuan hamba lagi pahlawan dan
gagah perkasa dan anak raja besar lagi bangsawan dan hendaklah tuan hamba
meneguhkan janji tuan hamba [ke] dengan hamba. Tuan hamba kabulkan akan kata
hamba ini.” Maka kata Sri Rama, “Hai, Maharaja Balia, janji yang mana tuan
hamba kehendaki kepada hamba ini?” Maka kata Maharaja Balia, “Adapun janji
hamba ini jangan tuan hamba ubahkan dan jangan tuan hamba lalui. Adapun yang

113
– HIKAYAT SRI RAMA –

pernama istri sembah jangan tuan hamba berikan kepada Sugriwa. Adapun pesan
hamba (anak hamba) orang yang dua itu jangan tiada tuan hamba kasihi dan seorang
itu namanya Anggada dan seorang itu nama Angnila jangan tiada tuan hamba baikki
hatinya. Adapun yang Sugriwa itu tiadalah dapat mengerjakan pekerjaan tuan
hamba dan ada anak sudara hamba bernama Sri Hanuman itu apa-apa barang
150 pekerjaan itu jadi olehnya, itulah pitaruh tuan/ hambalah kepada tuan hamba dan
anak sudara hamba dan segala rakyat hamba itu.
Setelah suda Maharaja Balia berpesan itu, maka baharulah akan dilepaskannya
tangan Sri Rama itu. Maka Maharaja Balia pun putus nyawanya. Setelah suda putus
nyawa Maharaja Balia itu, maka keluar suatu cahaya seperti teja besarnya menerus
ke langit. Maka matahari pun mereduplah dan ke gunung pun membangun serta
hujan pun rintik-rintik basah dan kilat petir pun sayup-sayup bunyinya seperti laku
orang kesusahan rupanya. Setelah itu maka disuruh oleh Sri Rama mandikan mayit
Maharaja Balia itu kepada Sugriwa dan Laksamana pun mengusuk tubuhnya
Maharaja Balia. Maka Sri Rama pun menyucurkan air. Setelah suda mandi, maka
titahh Sri Rama pada Sugriwa, “Pergilah engkau ambil kelambak dan gaharu kapur
dan kesturi.” Maka disuruhnya bubuhkan padanya.
Setelah itu maka dibakarnya mayit Maharaja Balia itu oleh Sri Rama dan
Laksamana. Setelah suda dibakarnya, maka Sri Rama pun berjalanlah ke istana
Maharaja Balia itu dibawanya oleh Sugriwa. Maka tatkala itu orang negeri
Langkurkatin itu kecil dan besar semuanya, tua dan muda sekalian pun datang
mengadap kepada Sri Rama. Maka pada tatkala itu ada seekor kera tua, Patih
Jamburan namanya, bapa tua Maharaja Balia. Maka titah Sri Rama, “Paman Patih
Jamburan, pamanlah memerintah segala kera yang banyak ini dan di bawa panah
itu Sugriwa dan di bawa Sugriwa itu Hanuman dan di bawa Hanuman itu Nila
Anggada dan di bawa Nila Anggada itu maka anak Maharaja Balia, Nola Nila
namanya dan di bawa Nola Nila, Anggada Mahabiru dan di bawa Anggada
Mahabiru itu Karang Toila. Maka di bawa Karang Toila itu Anola Nila. Maka di
bawa Anola Nila itu segala raja-raja kera, lutung, kungkung, siamang. Maka segala
raja-raja itu sekalian haḍirlah mengadap Sri Rama dengan takutnya.
Alkisah maka tersebutlah perkataan bunda Sri Rama. Setelah Sri Rama suda
hilang ngembara itu, maka putri Mandudari pun terlalu susah hatinya sebab bercerai
dengan anakda baginda itu. Berapa lamanya suda itu, maka bertamba pula
mendengar kabar anaqda kehilangan istri itu. Maka Sri Rama dan Laksamana pun
membuangkan dirinya di dalam hutan rimba belantara mencari istrinya, Sita Dewi.
151 Maka Putri/ Mandudari pun heranlah dan tiada berapa lamanya maka ia pun sakit.
Tiada berapa lamanya sakit itu, maka ia pun sampailah mautnya lalu mati. Setelah
hilang Putri Manudari itu, maka Berdana Citradana pun memberi tahu kepada
Perwita Maharesi. Maka kata Perwita Maharesi, “Hai, Berdana Citradana. Jikalau
demikian, pergilah engkau memberi tahu kepada baginda Sri Rama dan
Laksamana.” Maka Berdana Citradana, “Ya, Tuanku, di mana patik tahu akan
paduka anakda itu karena anakda Sri Rama dan Laksamana itu telah berapa tahun
patik tiada tahu wartanya dan tempatnya tiada?” Maka kata Perwita Maharesi, “Hai,
Anakku kedua, adapun Sri Rama itu dan Laksamana ada di negeri Langkurkatin, di
negeri Maharaja Balia ialah raja kera, beruk, lutung, kungkung, siamang. Jikalau

114
– HIKAYAT SRI RAMA –

anakku hendak bertemu, pergilah anakku ke sana.” Setelah didengar kata Perwita
Maharaja itu demikian, maka Berdana dan Citra pun menyembah keduanya kepada
Perwita Maharesi lalu ia kembali ke negerinya musyawarat kepada segala raja-raja
dan menteri. Adapun akan kata Berdana Citradana, “Baik juga kita persembahkan
negeri ini kepada baginda itu, mana juga titah baginda itu sekaliannya kita junjung.
Adapun tatkala itu dahulu paduka bunda Mandudari ada hidup dan sekarang ia telah
mati melainkan paduka kakanda Sri Rama dan Laksamana juga akan mengganti di
atas kerajaan ini telah ialah yang empunya ini negeri. Telah ia suda musyawarat
demikian itu, maka titah Berdana kepada menteri Maharesi Sura, “Hai, Mamanda,
adapun akan mamandala sekarang akan menunggui ini karena hamba kedua ini
hendak pergi mendapatkan kakanda Sri Rama itu dan Laksamana ke negeri
Langkurkatin.” Maka titah Berdana Citradana kepada segala raja-raja sekalian,
“Hai, Tuan-tuan sekalian, tinggallah menunggui negeri dan yang mana kata
mamanda menteri Maharesi Sura tuan sekalian turutlah dan yang mana kerja
diperintahkannya mamanda itu kerjakanlah oleh tuan sekalian.” Setelah suda ia
berpesan itu, maka Berdana Citradana pun berbuatlah akan keranda emas akan Putri
Mandudari setelah suda disembahkannya di dalam keranda emas Putri Mandudari.
Setelah itu, maka Berdana dan Citradana pun masuklah berlengkap hendak
mendapatkan akan Sri Rama dan Laksamana dengan segala bala tentaranya.
152 Hatta maka keluarlah ia dengan segala raja-raja sekalian lalu/ berjalan menuju
jalan ke negeri Langkurkatin. Setelah berapa lamanya berjalan itu, melalui gunung
beratus-ratus padang dan hutan rimba belantara itu dan berapa melalui sungai yang
besyar dan yang ‘ajaib-ajaib turun dari atas gunung itu dan airnya mengalir dan
derasnya pada tengah padang itu lalu diikutnya. Maka hampirlah akan sampai ke
negeri Langkurkatin. Setelah itu, maka terdengarlah kepada kabarnya Sri Rama
bahwa Berdana Citradana itu datang hendak mendapatkan Sri Rama dan
Laksamana. Maka Sri Rama pun terlalu sukacita, maka titahnya, “Hai, Adinda
Laksmana, marilah kita mendapatkan adinda itu.” Maka ia pun berkemaslah lalu
berjalan. Setelah itu, maka Patih Jamburan dan Sugriwa dan Nila Anggada dan
Anggada Mahabiru dan Nola Nila dan Karang Toila, semuanya pergi mengiringkan
Sri Rama dan Laksamana pergi mengalu-alukan Berdana dan Citradana.
Setelah dilihat oleh Berdana dan Citradana akan kakanda Sri Rama dan
Laksmana datang mengalu-alukan dia itu, maka segera ia turun dari atas gajahnya.
Lalu ia segera berlari menyembah kaki Sri Rama dan Laksamana. Maka segeralah
disambut oleh Sri Rama dan Laksamana lalu dipeluknya dan diciumnya oleh Sri
Rama akan sudaranya kedua itu dan bertangis-tangisan keempat bersudara itu.
Setelah suda lalu ia berjalan masuk ke dalam negeri lalu ke dalam istana, maka
Berdana Citradana pun duduklah di atas singgasana dibawa Laksamana itu. Setelah
itu, maka ia pun berdatang sembah kepada Sri Rama, “Ya, Tuanku, patik datang ini
memberi tahu akan paduka bunda pun suda hilang dan mayitnya itu patik simpan.
Jikalau ada karunianya Yang Dipertuan akan hambamu dua bersudara ini, baik juga
tuanku kembali ke negeri supaya patik sekalian Pertuanku di dalam negeri
Mandupuranegara akan ganti paduka ayahanda itu supaya kami sekalian membakar
mayit paduka ayahanda itu dan bunda.” Maka titah Sri Rama, “Mengapa maka
adinda berkata demikian? Karena negeri Mandupuranegara itu telah diserahkan
oleh ayahanda akan adinda kedua ini, berapa besar batu kepala patik kakanda akan
melalui titah ayahanda itu.” Maka sembah Berdana Citradana, “Jikalau

115
– HIKAYAT SRI RAMA –

dianugrahkan ayahanda kepada patik pun negeri ini akan patik kedua berapa besar
batu kepala patik duduk di atas kerajaan karena tuanku lagi ada yang patik pertuan
dan patik
153 persembahkan negeri itu/ akan duli Yang Dipertuan akan suka hati patik.” Maka
titah Sri Rama, “Janganlah adinda kedua bicarakan lagi karena dahulu negeri itu
paduka ayahanda dianugrahkan olehnya kepada adinda kedua. Jikalau adinda kedua
berikan juga negeri itu kepada kakanda bahwa sekali-kali kakanda tiada mau dan
janganlah kakanda adinda lagi banyak bicara yang demikian itu.” Maka Berdana
dan Citradana pun meniharap pada kaki Sri Rama dan Laksamana, seraya katanya,
“Jikalau demikian juga titah tuanku, patik pohonkanlah akan kaus tuanku itu patik
rajakan di dalam negeri hamba. Hamba sembunyikan di atas batu kepala patik.”
Setelah demikian, maka Sri Rama pun memeluk mencium sudaranya kedua serta
diberinya kaus. Maka diambilnya oleh Berdana Citradana dan kaus itu lalu
dibununya di atas mahkotanya maka dikenakannya di kepalanya. Setelah demikian
maka Sri Rama pun berjamu akan sudaranya makan minum dan bersuka-sukaan
dengan segala raja-raja, citra, sida-sida, bintara, dan hulubalang, rakyat sekalian.
Setelah suda (de)mikian, maka Berdana Citradana pun bermohonlah kepada Sri
Rama. Maka kata Sri Rama, “Adapun akan sudaraku sekalian aku rajakanlah akan
sudaraku kedua ini menjadi raja di dalam negeri Mandupuranegara. Adapun adinda
menjadi raja hendaklah meninggal nama dan perbuatan yang baik dan adil dan
periksakan segala rakyat dan jangan terniaya dan menganiaya supaya beroleh
kemuliaan daripada Dewata Mulia Raya dan menyempur(na)kan nama nenekmu
yang kita karena Dunia ini tiada kekal sehingga nama kita yang baik juga. Itulah
yang tiada hilang dan tiada binasa hai Sudaraku.” Setelah suda baginda berkata
demikian, maka ia pun bertitah kepada segala menteri dan hulubalang sekalian,
“Hai, segala tuan-tuan pitarulah akan sudaraku kedua ini, barangkali ada suatu
khilaf atau bebal jangan diambil kepada hati, melainkan ṣabarlah tuan-tuan sekalian
akan dia.”
Setelah suda, maka Berdana pun bermohonlah lalu naik ke atas gajahnya. Lalu
naiklah masing-masing segala hulubalang, rakyat sekalian dengan kendaraannya.
Adapun Sri Rama pun naik gajah dan Laksamana di kepala gajahnya Sri Rama
dengan Berdana bertambalan dengan rangga. Maka berjalanlah mereka itu. Maka
dilihat oleh Sugriwa, maka ia pun menangis sebab melihat keempat bersudara
berangkat itu, seraya akan berkata, “Demikianlah maka/ orang bersudaralah
154 namanya, lihatmu sekalian orang. Adapun jikalau sungguh sekali pun hamba sala
dapat juga diampuni oleh Maharaja Balia karena ialah yang tertua daripada hamba.”
Maka sahut Sri Rama, “Sungguhnyalah seperti kata tuan hamba itu hai Sugriwa.
Demikian pada rasa hati hamba ini.”
Hatta berjalanlah Sri Rama itu empat hari empat malam perjalanan akan
mengantarkan sudaranya. Setelah genaplah empat hari empat malam, maka kata Sri
Rama, “Hai, Adinda kedua. Jika tiada pekerjaan hamba ini niscaya hamba pergilah
akan membakar mayit paduka ayahanda dan bunda itu. Maka sekarang apatah
dayaku soal-soal membalas terkenalah hamba kepada ayahanda bunda rupanya itu,
melainkan Dewata Mulia Raya juga yang terlebih tahu akan hal kakanda ini.” Maka
Sri Rama pun berpeluk bercium dan bertangis-tangisan keempat bersudara.

116
– HIKAYAT SRI RAMA –

Setelah suda, maka Berdana Citradana pun bermohon lalu kembali ke


negerinya. Setelah demikian, maka Sri Rama pun kembalilah dengan Laksamana
dan segala raja-raja kera, beruk, lutung, dan segala tentara sekalian. Setelah itu,
datang lalu ia masuk ke dalam istana duduk dengan Laksamana dihadap oleh segala
raja-raja dan menteri sekalian dengan takutnya kepada Maharaja Sri Rama dan
Laksamana. Adapun pada tatkala itu Sri Rama pun terlalu dukacita akan istrinya
Dewi Sita itu selama ia hilang itu tiadalah lain cintanya hendak mengambil istrinya
juga daripada Maharaja Rawana itu dan membicarakan hendak menyerang negeri
Langkapuri itu. Maka titah Sri Rama, “Hai, Laksamana, apa bicaranya sekarang ini
Sugriwa itu? Manatah janji itu hendak menolong aku itu?” Sembah Laksamana,
“Ya, Tuanku, mana titah Yang Dipertuan juga? Jikalau demikian, baiklah hamba
pergi ke negeri Langkurkatin mendapatkan Maharaja Sugriwa itu.” Setelah
demikian, maka Sri Rama pun bertitah, “Baiklah engkau pergi segera-segera.”
Maka Laksamana pun bermohonlah kepada Sri Rama, lalu berjalan.
Setelah berapa lamanya, maka ia pun sampailah ke negeri Langkurkatin itu lalu
masuk ke dalam negeri lalu ke istana. Adapun pada tatkala itu Maharaja Sugriwa
pun sedang dihadap oleh segala anak cucunya dan Patih Jambuan dan Nila
Anggada, “Sekarang ini apa bicara tuan hamba akan pekerjaan janji kita dengan Sri
Rama itu karena lamalah suda baginda itu menitahkan kita pergi ke Gunung
Gandaraanam? Adapun jikalau kita sekalian ini mengiringkan/ Sri Rama pergi
155 menyerang ke Langkapuri, apalah hal kita karena tiada dapat tiada Maharaja
Semburan datang menyerang negeri kita ini dan sementara ia belum tahu akan
kematian sudara hamba Maharaja Balia itu. Dan apabila ia suda mendengar
Maharaja Balia suda mati itu tentulah ia datang ke negeri ini niscaya binasalah
negeri ini dan segala anak bini kita habislah ditawannya karena Maharaja Semburan
itu ṣahabat kepada Maharaja Balia serta sangat saktinya dan perkasanya dan
anaknya yang bernama Nilabati itu pun terlalu sangat gagah dan sakti dan adapun
jau negerinya itu tujuh bulan perjalanan dari negeri kita ini. Adapun Maharaja
Semburan itu tiap-tiap hari ia datang kemari dengan segala balatentaranya. Syahdan
itulah yang hamba takutkan. Adapun sekarang ini, apatah bicara bapaku dan anakku
sekalian?” Maka sahut Patih Jambuan dan Nila Anggada, “Mana juga bicara tuan
hamba, kami sekalian kerjakan.” Maka kata Maharaja Sugriwa, “Itulah yang hamba
takutkan karena harap Maharaja Sri Rama itu kepada kita sekalian akan menolong
baginda itu karena hamba sangat takut akan mengubahkan janji hamba dengan
baginda itu, karena baginda itu anak raja besar.”
Telah demikian, maka Laksamana pun datanglah. Maka Maharaja Sugriwa pun
lalu turun dengan segala raja-raja kera itu serta berlari-lari menyembah Laksamana
itu dan segala raja-raja kera lalu dibawanya naik didudukkannya di atas singgasana
yang bertatahkan ratna mutu manikam berumbai-rumbaikan mutiara. Maka
Maharaja Sugriwa pun mengadap serta dengan takutnya dan dimuliakannya dengan
hormatnya. Setelah suda, maka kata Laksamana, “Hai, Maharaja Sugriwa, adapun
hamba datang ini disuruhkan oleh Sri Rama. Adapun janji tuan hamba akan
sekarang ini apatah kabarnya karena janji itu suda terlalu lama. Apa sebabnya maka
tuan hamba tiada datang mengadap baginda itu karena janji tuan hamba hendak
menolong baginda itu akan menyerang Maharaja Rawana itu ke Langkapuri?
Adapun Tuanku Sri Rama jikalau ia berkata, “Sugriwa tiada mau mendapatkan aku

117
– HIKAYAT SRI RAMA –

sekarang ini juga anak panaku ini aku panahkan ke negerinya akan mengerat leher
Sugriwa dan akan mengerat leher segala anak cucunya dan akan membinasakan
negerinya dan aku hancurkan luluh latak menjadi duli supaya diketahuinya akan
aku”” Maka Maharaja Sugriwa dan segala isi istana meniharap di kaki Laksamana
156 segera berkata, “Ya Tuanku Syah/ ‘Alam. Adapun maka sebab patik sekalian ini
lambat akan mengadap paduka Maharaja Sri Rama karena takut akan maharaja
Semburan akan hendak datang menyerang negeri ini.” Maka kata Laksamana,
“Akan sekarang apa bicara tuan hamba sekalian karena hamba hendak segera
kembali.” Maka sembah Sugriwa, “Ya Tuanku, jika ada ampun dan karunianya
Yang Dipertuan akan hamba ini bertaguhlah dahulu barang tujuh hari karena hamba
hendak berlengkap dan tetapi segala hulubalang hamba ini hamba suruh bersama
mengiringkan tuanku mengadap paduka kakanda itu dan persembahan hal
hambamu sekalian ini.” Maka kata Laksmana, “Manatah hulubalang tuan hamba
itu?” Maka Maharaja Sugriwa pun menyuruh memanggil Hanuman. Maka
Hanuman pun segeralah datang mengadap Laksamana itu. Maka Laksamana pun
pikir di dalam hatinya, ‘Adapun kera ini suda aku bertemu dengan dia.’ Maka
Maharaja Sugriwa dan Patih Jambuan dan segala raja-raja pun sujudlah kepada
Laksamana. Maka baginda pun bermohonlah kepada Sugriwa. Maka Sugriwa
dengan segala raja-raja kera pun pergilah mengiringkan keluar negeri. Setelah
Laksamana dan Hanuman suda jauh itu, Maharaja Sugriwa pun kembali pula ke
dalam istana.
Hatta berapa lamanya Laksamana dan Sri Hanuman berjalan itu, maka
Laksamana pun sampailah ke tempat Sri Rama itu. Maka Laksamana pun masuklah
mengadap kepadanya maka Sri Hanuman pun tinggallah di luar itu di balai perak.
Setelah Laksamana datang, lalu ia menyembah kaki Sri Rama. Maka disambut oleh
Sri Rama serta dipeluknya dan diciumnya akan sudaranya itu dengan sukacita
hatinya. Maka titah Sri Rama, “Hai, Adinda, manatah Sugriwa itu?” Maka lalu
disembakannya dan perkataan Maharaja Sugriwa, “Adapun akan sekarang adalah
hamba bawa akan hulubalangnya dan hamba tinggalkan di luar kepada balai perak
itu.” Maka kata Sri Rama, “Hai, Sudaraku, bawalah ia masuk karena aku hendak
melihat rupanya.” Maka Laksamana pun segeralah keluar memanggil sang
Hanuman. Maka sang Hanuman pun segeralah datang lalu sujud di kaki Sri Rama.
Maka segeralah disapunya kepalanya oleh Sri Rama sang Hanuman itu, seraya
katanya, “Mengapa maka Maharaja Sugriwa tiadalah datang mengadap aku?” Maka
Hanuman pun berdatang sembah seraya ia memandang ke bumi maka terlalulah
hebat rupanya tiadalah terlawan di tengah medan peperangan dan bulunya pun
terlalu puti seperti kapas dibusar dan sembilan belas tiap- tiap ekornya daripada
157 intan/ dan manikam terlalu indah-indah rupanya. Sang Hanuman pun
persembahkan segala hal ihwalnya Sugriwa itu. Maka tatkala Hanuman berkata itu,
maka keluarlah bintang berhamburan daripada mulutnya itu. Maka dilihat oleh Sri
Rama. Maka baginda pun terlalu amat heran akan saktinya sang Hanuman itu.
Setelah berapa lamanya, maka Maharaja Sugriwa pun datanglah dengan segala
balatentaranya mengadap Sri Rama seraya ia menyembah kepada kaki Sri Rama
seraya dipersembahkannya segala hal ihwalnya dan dari ia lambat datang itu. Maka
Sri Rama pun memandang kepada sang Hanuman seraya ia bertitah, “Hai,
Hanuman, segeralah engkau aku suruh memanggil Maharaja Semburan, bawa akan

118
– HIKAYAT SRI RAMA –

suratku ini berikan padanya dan suruh ia datang mengadap kepada aku dengan
segeranya.” Maka sembah sang Hanuman, “Ya, Tuanku, adapun titah Yang
Dipertuan itu patik junjunglah. Akan tetapi, adalah sukar patik karena hamba
seorang bukan patik akan takut kepada Maharaja Semburan itu. Kalau-kalau patik
kedatangan maut di tengah jalan, siapa akan yang tahu biarlah ada yang membawa
kabar ke bawa duli Tuanku demikian jadi sia-sialah pekerjaan Yang Dipertuan
menyuruh patik pergi itu.” Maka titah Sri Rama kepada Maharaja Sugriwa,
“Sekarang apa bicara tuan hamba? Siapa temannya Hanuman itu karena negerinya
itu terlalu amat jauh?” Maka sembah Sugriwa, “Ya Tuanku, adapun yang teman
Hanuman pergi itu patiklah pergi bersama-sama.” Setelah itu, maka didengar oleh
Sri Rama akan sembah Sugriwa itu. Maka baginda pun menyuruh membuat surat
kepada Laksamana.
Setelah demikian, maka Sri Rama pun berangkatlah duduk kepada maligai
emas. Maka Laksamana pun menyuratlah. Setelah suda suratnya, maka lalu
dipersembahkannya kepada Sri Rama. Maka kata Sri Rama, “Bacalah surat ini, aku
dengar.” Maka dibacalah oleh Laksamana demikian bunyinya, ‘Bahwa ini surat
daripada Maharaja Sri Rama datang kepadamu. Hai Maharaja Semburan, apabila
datang suratku ini jangan tiada engkau junjung di atas kepalamu dan engkau segera
datang dengan anak cucumu dan hulubalangmu dan segala balatentaramu dan serta
persembahanmu kepada aku supaya kerajaanmu tiadalah gugurkan daripada
tempatnya dan engkau aku jadikan daripada kedudukan daripada segala raja-raja
kera itu. Syahdan aku raja daripada segala ‘alam ini dan raja-raja anak cucunya
Maharaja Balia, ṣahabatmu itu, semuanya suda menjadi hambaku dan mengerjakan
titahhku dan aku asal daripada Mahabisnu turun ke dunia lalu/ menjelma kepda
158 seorang menjadi Sri Rama dan ketahui olehmu akan nama ini setelah masyhurlah
kepada segala raja-raja. Jikalau engkau tiada mau datang dan bersetia [ke] dengan
aku ingat-ingat engkau, sekarang juga datanglah anak panahku yang bernama
Gandiwati aku panahkan supaya ia menjerat-jerat batang lehermu dan segala anak
cucumu dan segala hulubalangmu dan rakyat engkau sekalian aku binasakan supaya
engkau ketahui bekas tanganku dan saktinyaku. Akan tetapi, baik juga tuan hamba
datang kepada hamba supaya sempurnalah negeri tuan hamba itu datang kepada
anak cucu tuan hamba.’ Setelah Sri Rama mendengar bunyi surat itu, maka ia pun
berkenanlah kepada hatinya. Maka kata Sri Rama kepada Laksamana, “Hai,
Adinda, pergilah panggil sang Hanuman dan Maharaja Sugriwa.” Maka Laksamana
pun memanggil Sugriwa dan Hanuman. Maka Sugriwa pun segeralah datang
dengan Hanuman. Lalu menyembah kepada Sri Rama, maka titah Sri Rama seraya
diunjukkannya surat itu, katanya, “Pergilah engkau bawa suratku ini dan berikan
kepada Maharaja Semburan” Maka segeralah disambut oleh sang Hanuman lalu
akan dijunjungnya di atas batu kepalanya. Maka sang Hanuman dan Sugriwa pun
bermohonlah lalu keduanya berjalan.
Setelah sampai kepada suatu tempat perhentian, maka kata Hanuman, “Hai,
Bapaku, pada bicara bapaku, adapun kita ini jikalau berjalan di tanah niscaya lambat
karena negeri Maharaja Semburan itu terlalu jauh. Jikalau demikian, baiklah kita
melompat supaya segera sampai.” Maka keduanya pun melompatlah. Tiada berapa
jam lamanya, maka sang Hanuman dan Maharaja Sugriwa pun sampailah ke negeri
Maharaja Semburan. Maka ia pun berhentilah kepada suatu balai di luar pintu

119
– HIKAYAT SRI RAMA –

gerbang. Maka hari pun malamlah. Maka sang Hanuman pun berkata kepada
Maharaja Sugriwa, “Hai, Mamakku, apa bicara kita karena jika kita katakan
pesuruh tuan kita Sri Rama niscaya tiada diterimanya surat ini. Jika demikian,
baiklah kita katakan daripada Maharaja Balia supaya segera disambutnya surat ini.
Jikalau tiada demikian akan tempo kita niscaya sukarlah pekerjaan ini menjadi sia-
sialah juga dan binasalah Maharaja Semburan ini dengan negerinya.
Setelah suda ia berbicara itu, maka keduanya pun tidurlah. Setelah hari siang,
maka sang Hanuman pun berjalanlah masuk ke dalam kota. Setelah sampai di luar
kota, maka sang Hanuman pun mintak bukakan pintu. Maka sahut penunggu pintu
itu, “Hendak ke mana dan darimana tuan hamba datang kedua ini dan siapa/ nama
159 tuan hamba kedua?” Maka kata Hanuman, “Kami ini utusan daripada Maharaja
Balia dan aku ini hulubalang Maharaja Balia hendak mengadap Maharaja
Semburan memberi akan surat rajaku.” Maka penunggu pintu itu pun berkata, “Hai,
hulubalang, nantilah oleh tuan hamba dahulu di sini karena lagi hamba hendak
memberi tahu kepada Menteri Perkasamula.” Maka penunggu itu pun pergilah
memberi tahu Menteri Perkasamula. Maka penunggu itu pun pergilah. Dan
mendengar kata penunggu pintu itu, maka ia pun pergilah mengadap Maharaja
Semburan seraya sembanya, “Ya Tuanku Sri Maharaja, adapun di luar kota
hulubalang Maharaja Balia dua orang hendak mengadap Yang Dipertuan membawa
surat.” Maka titah baginda, “Pergilah engkau sambut surat daripada sudaraku itu
dan bawalah segala anak raja-raja dan sida-sida, bintara, hulubalang sekalian pun
berlengkaplah segala perkakasan hendak akan menyambut surat itu. Betapa ‘adat
segala raja-raja yang besar-besar itu kerjakan olehmu.” Maka Menteri Perkasamula
pun menyembah lalu pergi menggerahkan segala bala tentaranya itu dan anak raja-
raja sekalian lalu pergi mendapatkan sang Hanuman [maka] (dan) Maharaja
Sugriwa. Dan setelah bertemu dengan Hanuman, maka sang Hanuman pun
mengambil surat dari kepalanya lalu diunjukkannya kepada sang Perkasamula.
Maka disambutnya lalu dibubuhkannya kepada cincin peramas dan manikam
tetampurak kuningan. Maka terkembanglah payung empat puluh, maka segala
bunyi-bunyian pun dipalu oranglah terlalu ramai. Maka sang Hanuman dan
Maharaja Sugriwa pun berjalanlah dahulu.
Seketika berjalan, maka sampailah pada istananya Maharaja Semburan. Tatkala
itu Maharaja Semburan lagi duduk di atas singgasana yang keemasan dan memakai
mahkota manikam ditatahkan dengan permata sembilan warna berbagai cahayanya
seperti matahari sedang terbit warnanya, terlalu sikap Maharaja Semburan itu
duduk dihadap oleh segala hulubalang balatentara. Setelah suda, maka surat itu pun
diunjukkannya oleh sang Hanuman. Maka disambut oleh tentaranya, maka
disuruhnya oleh Maharaja Semburan baca pada bintaranya itu. Maka segeralah baca
oleh bintaranya seraya ia menyembah. Setelah didengar oleh Maharaja Semburan
bunyi di dalam surat itu datang daripada Sri Rama, maka ia pun pingsanlah. Setelah
ia ingat daripada pingsan itu, seketika itu pingsan pula sekira-kira genaplah tiga kali
maka ia pun sadarkan dirinya seraya ia bertitah, “Hai, Perkasamula, tanya
olehmu apa tandanya Maha/ bisnu itu?” Maka Perkasamula pun menyembah,
seraya
160 katanya, “Hai, hulubalang Sri Rama, apa tandanya maka dikatakan aṣal daripada
Mahabisnu itu?” Maka kata sang Hanuman, “Adapun tandanya itu anak panah

120
– HIKAYAT SRI RAMA –

baginda itu terlalu sakti, itulah tandanya.” Setelah didengar oleh Maharaja
Semburan, maka ia pun berkata, “Jikalau demikian, bukannya Mahabisnu karena
aku tahu asalnya Mahabisnu itu dan tandanya itu kepalanya tiga dan tangannya
empat, itulah tandanya, dan suatu tangannya memegang tongkat dan suatu
tangannya memegang bunga wijaya mala dan suatu tangannya menempa bumi.
Jikalau tiada demikian bukannya Mahabisnu.” Maka titah Maharaja Semburan,
“Hai, Perkasamula, tutupkan olehmu pintu kota ini dan hulubalang Sri Rama itu
suruh halaukan keluar karena ia amat dusta dan sekarang juga suruh ia pergi dari
negeriku ini akan kembali kepada tuannya Sri Rama. Akan aku ini sekali-kali tiada
mau mengadap dia dan apa kehendaknya karena aku pun raja besar dan namaku
pun telah masyhur kepada ‘alam Dunia ini.” Setelah demikian, maka sang Hanuman
dan Maharaja Sugriwa pun dihalaukannya keluar kota. Maka tatkala ia
mengalaukan itu, maka sang Hanuman pun tertawa-tawa. Maka Hanuman pun
keluarlah lalu ia berhenti pada tempatnya tidur itu. Setelah demikian, maka
Perkasamula pun menggerahkan segala hulubalangnya dan segala balatentaranya
sekalian bertunggu dengan segala senjatanya haḍir mengadap duli sang Hanuman
dan Sugriwa dan segala hulubalang dan raja-raja pun berkawalah pada malam itu
dan Perkasamula pun berkawalah juga.
Setelah demikian, maka sang Hanuman pun berbicara kepada Sugriwa. Maka
katanya, “Hai, [Hanuman] Mamakku, sekarang apa bicara Mamakku akan
Maharaja Semburan ini? Ia tiadalah mau menurut tuan kita Sri Rama. Dia kata “Apa
tandanya Mahabisnu?” Sekadar yang hamba lihat anak panahnya juga itulah yang
aku katakan kepada Maharaja Semburan itu. Akan sekarang ini sia-sialah pekerjaan
kita kedua ini, suatu pun tiada menjadi. Adapun jikalau kita ini kembali kepada
baginda itu tiada membawa Maharaja Semburan itu akan mengadap baginda terlalu
sangat takut hamba. Jikalau demikian baiklah hamba bawa juga Maharaja
Semburan ini.” Maka kata Maharaja Sugriwa, “Betapa ‘akal tuan hamba bawa?”
Maka kata Hanuman, “Hai, Mamakku, lihatlah juga kuasa Dewata Mulia Raya
kepada hamba.”
161 Hatta maka Hanuman/ dan Sugriwa pun bersikaplah dan pada ketika itu
hulubalang yang mengawali Hanuman itu pun habislah tidur tiada kabarkan dirinya.
Maka Hanuman dan Sugriwa pun berjalanlah masuk ke dalam pagar Maharaja
Semburan lalu ke istananya. Maka dilihatnya oleh Hanuman segala hulubalangnya
yang tongkat itu lagi. Jika maka Hanuman pun membaca suatu menterinya. Maka
segala orang yang jaga itu semuanya tidurlah. Maka Hanuman pun masuk ke dalam
istana Maharaja Semburan. Maka dilihatnya segala gundiknya yang selaksa enam
ribu itu sekalian habislah tidur berkaparan tiada kabarkan dirinya. Maka oleh
Hanuman habislah digundiknya sekalian gundik Maharaja Semburan. Maka sang
Hanuman pun mencari tempat Perdana Maharaja Semburan. Maka bertemulah
baginda itu lagi cadar tidur di atas singgasana. Maka dilihatnya oleh Hanuman di
atas maligai itu, ada sebuah kemala lalu diambilnya oleh sang Hanuman. Maka lalu
diangkatnya Maharaja Semburan itu dengan singgasananya sekali dilompatkannya
lalu ke udara. Maka Maharaja Sugriwa pun mengikut dari belakang.
Setelah berapa lamanya Sri Hanuman melompat itu, maka ia pun sampailah di
Gunung Gandaraanam. Maka singgasana itu pun dilakakkannya di luar maka sang
Hanuman dan Sugriwa pun berjalanlah masuk lalu bertemu dengan Laksamana.

121
– HIKAYAT SRI RAMA –

Maka lalu dibawanya mengadap kepada Sri Rama. Maka kata baginda, “Hai,
Hanuman, apakah belum lagi engkau pergi ini?” Maka ia pun menyembah seraya
sembanya, “Ya Tuanku Syah ‘Alam, akan Maharaja Semburan itu telah adalah
hamba bawa.” Maka kata Sri Rama, “Sekarang bawalah ia kepada aku.” Maka sang
Hanuman pun menyembah lalu segera pergi mengambil Maharaja Semburan lalu
dibawanya kepada Sri Rama. Maka dilihatnya oleh Sri Rama dan Laksamana akan
Maharaja Semburan itu terhantar tiadalah kabarkan dirinya di atas singgasana itu.
Maka Sri Rama pun terlalulah heran akan saktinya Hanuman itu. Maka Sri Rama
pun bertitah, “Segera bangunkan Maharaja Semburan ini.” Maka berapa
dibangunkan tiadalah juga bangun Maharaja Semburan itu, tiadalah ingatkan
dirinya. Maka titah Sri Rama, “Ambil anak panahnya Segandiwati itu, basuh.”
Maka segeralah diambilnya oleh Laksamana anak pana itu lalu dibasuhnya. Maka
disiramkannya akan air anak panah itu kepada tubuhnya Maharaja Semburan. Maka
ia pun terkejut lalu duduk bangun. Maka dilihatnya dirinya di hadapan Sri Rama
maka ia pun heranlah akan dirinya karena ia melihat/ bukan negerinya, seraya ia
162 pun kemalu-maluan serta tunduk berdiam dirinya. Maka titah Sri Rama, “Hai,
Maharaja Semburan, sekarang apa bicaramu?” Maka Maharaja Semburan pun
berpandang kepada Sri Rama, maka ia pun pingsan pula. Maka disuruhnya oleh Sri
Rama akan serasi air anak pana itu. Maka Maharaja semburan pun ingatlah akan
dirinya sambil ia melihat kepada Sri Rama itu. Maka dikenalnya Mahabisnu karena
semuanya ada tandanya padanya itu. Maka ia pun segeralah sujud pada kaki Sri
Rama serta katanya, “Ya Tuanku Syah ‘Alam, patik mohonkan ampun ke bawa duli
Syah Alam, patut hambamu pertuankan dulu Syah Alam karena ada tandanya
Mahabisnu itu semuanya ada tuanku ini. Adapun kata Hanuman hanyalah anak
pana saja sebab itulah hamba tiada percaya. Akan sekarang hambamu ini telah
percayalah dan jadi hambalah ke bawa duli Syah Alam.”
Sebermula maka tersebutlah perkataan Tuan Putri Segandilela, istri Maharaja
Semburan. Setelah hari siang, maka Tuan Putri Segandilela pergi ke maligai hendak
mendapatkan Maharaja Semburan. Maka dilihatnya tiada laki, tempat singgasana
itu pun tiada juga. Maka dicarinya oleh tuan putri kalau-kalau ia beradu kepada
tempat gundiknya sekalian. Maka dicarinya tiada juga bertemu. Maka gemparlah di
dalam istana itu. Maka Menteri Perkasamula pun terkejut daripada tidurnya maka
dilihatnya rajanya hilang dengan istananya maka Menteri Perkasamula pun
segeralah membangunkan rakyatnya yang bertunggu itu seraya itu pun masuk ke
dalam istana, maka gemparlah di dalam istana itu. Maka tuan putri pun menanngis
terlalu sangat lalu pingsan. Maka segeralah dicucuri air oleh segala bini menteri itu,
maka ia pun ingatlah. Setelah itu maka tuan putri pun segeralah menyuruh
memanggil anakda Nilabati. Maka ia pun datanglah mengadap bundanya. Maka
kata bundanya, “Hai, anakku, buah hatiku dan cahaya mataku, adapun akan bapamu
setelah dilarikan oleh hulubalang Sri Rama dibawanya pergi dengan singgasananya
sekali. Jikalau anakku tiada pergi mengambil bapamu itu, tiadalah ia akan kembali
lagi, niscaya aku pun matilah sebab bercintakan bapamu.” Setelah Nilabati
mendengar kata bundanya itu, maka ia pun terlalu marah seperti ular berbelit-belit
dan seperti singa menerkam lakunya. Maka Nilabati pun sujudlah pada bundanya.
Maka ia pun segeralah keluar. Maka ia keluar itu bertemulah dengan Raja Hawara

122
– HIKAYAT SRI RAMA –

163 serta dengan hulubalang/ rakyat sekalian bercawis hendak pergi menutul Raja
Semburan. Maka kata Nilabati, “Hai, Raja Hawara, jikalau engkau hendak pergi
tuan pergilah ke Gunung Gandaraanam.” Maka Nilabati pun berjalanlah ia di udara.
maka Nilabati pun menjadikan dirinya seekor lalat emas. Maka ia pun terbanglah
ke udara menuju Gunung Gandaraanam. Maka dengan seketika Nilabati pun
sampailah ke gunung itu, maka dilihatnya bapanya lagi tengah berkata-kata dengan
Sri Rama. Maka Nilabati pun hinggaplah kepada telinga Maharaja Semburan,
seraya katanya, “Ya, Tuanku, patik datang ini hendak membawa tuanku kembali
dan hendak membunu kera yang dua itu.” Maka kata Maharaja Semburan itu,
“Jangan tuan berkata demikian karena manusia dua ini orang bukannya barang-
barang orang. Ia ini mulia kepada Dewa Mulia Raya. Inilah tandanya Mahabisnu
dan aku pun suda menyembah menjadi hambanya karena ia ini diturunkan oleh
Dewa Mulia Raya menjadi Sri Rama karena kepada aku lengkap suda kelihatan
tandanya. Maka segeralah engkau tunjukkan dirimu kepadanya.” Setelah Nilabati
mendengar kata bapanya itu, maka ia pun segeralah menjadikan dirinya seekor kera.
Maka ia pun duduklah mengadap Sri Rama di belakang ayahnya. Setelah dilihat
oleh Sri Rama, maka Sri Rama pun bertanya kepada Maharaja Semburan, seraya
katanya, “Hai, Maharaja Semburan, siapa yang duduk di belakang tuan hamba itu?”
Maka sembah Maharaja Semburan, “Ya Tuanku, inilah anak patik bernama
Nilabati. Ia datang ini mendapatkan patik.” Maka Nilabati pun disuruh oleh
ayahandanya menyembah kepada Sri Rama. Maka ia pun menyembalah kepada Sri
Rama. Maka baginda pun terlalu sukacita hatinya beroleh hulubalang sakti itu dan
gagah berani. Maka titah Sri Rama, “Hai, Maharaja Semburan, akan tuan hamba ini
orang tua tiadalah dapat bersakit dan mengerjakan pekerjaan yang sukar dan
berlelah. Baik tuan hamba jikalau ada kasi tuan hamba akan anakda Nilabati itu
berilah kepada hamba.” Maka sembah Maharaja Semburan, “Mana titah tuanku,
patik junjung karena patik ini hamba ke bawa duli Yang Dipertuan.” Maka titahh
Sri Rama, “Jikalau demikian, baiklah tuan hamba segera kembali ke negeri tuan
hamba berlengkap karena hamba hendak segera pergi ke negeri Langkapuri.”
Setelah itu, maka Maharaja Semburan dan Nilabati pun sujudlah pada kaki Sri
Rama lalu berjalan di udara.
Maka perjalanan yang tujuh bulan itu dijalaninya dengan tujuh hari juga.
Setelah ia sampai ke negerinya, maka segala bala tentaranya pun datanglah berlari-
lari serta dengan suka/ citanya melihat rajanya datang itu. Maka Maharaja
164 Semburan pun sampailah pada istananya, maka Tuan Putri Segandilela pun
datanglah menyembah kaki Maharaja Semburan itu. Maka kata Maharaja
Semburan, “Hai, Adinda, terlalu sekali bahagia hamba karena beroleh tuan hamba
Sri Rama. Adapun pada bicara hatiku, ‘jikalau demikian dikatakannya oleh
Hanuman seperti tanda yang aku lihat itu, niscaya pun aku sendiriku pergi
mengadap Mahabisnu’ Adapun akan sekarang ini anakda Nilabati yang aku berikan
jadi hambanya dan mengerjakan barang pekerjaan Sri Rama yang disuruhnya.
Adapun akan sekarang ini hamba hendak berlengkap segala rakyat senjata gajah
dan kuda akan sediakan anakda Nilabati karena Sri Rama itu hendak segera pergi
menyerang Rawana ke Langkapuri.” Maka sembah putri, “Ya Tuanku, tatkala
tuanku dibawa oleh Hanuman itu, pada bicara patik dibunulah oleh Sri Rama. Maka
patik pun seperti gila rasanya. Maka patik suruh panggil Raja Hawara. Maka kata
patik padanya itu akan lihatlah di dalam nujumnya itu ke mana dibawanya Yang

123
– HIKAYAT SRI RAMA –

Dipertuan oleh hulubalang Sri Rama. Maka Raja Hawara pun melihat di dalam
nujumnya akan duli Yang Dipertuan tiada mengapa dan segera juga kembali
dibawanya oleh anakda Nilabati akan pulang ke negeri ini dengan sempurna suatu
pun tiadalah mara bahaya baginda.” Setelah itu, maka Maharaja Semburan pun
duduklah di atas singgasana dihadap oleh segala raja-raja dan menteri hulubalang
sekalian makan dan minum bersuka-sukaan dengan segala hulubalang dan
balatentaranya.
Setelah suda makan minum, maka ia pun memanggil akan menterinya yang
bernama Perkasamula. Maka Menteri Perkasamula pun datanglah hendak
menyembah, maka titah Maharaja Semburan, “Hai, Perkusamula, berlengkaplah
engkau segala rakyat hulubalang sekalian dan segala raja-raja itu dengan alat
senjatanya itu di tengah padang negeri Ketakian Purwa itu,” seraya katanya, “Hai
Perkasamula, adapun rakyat yang delapan laut itu tinggalkan empat dan segala
hulubalang pun demikian juga. Adapun yang empat laut itulah mengiringkan pergi
itu dan yang empat laut tinggalkan akan menunggui negeri kita. Siapa tahu kalau-
kalau Maharaja Rawana itu datang ke negeri kita ini.” Maka titahh baginda, “Hai
Anakku Nilabati dan buah hatiku, sekarang baiklah anakku segera mendapatkan
tuan kita Sri Rama kelak baginda itu murkakan kita menjadi darhakalah kita karena
165 baginda itu/ harapkan kita.” Maka sembah Nilabati, “Ya Tuanku Syah Alam, patik
junjung titah tuanku itu.” Maka baginda pun memberi persalin akan anakda dan
segala hulubalang yang mengiringkan dia itu. Maka Nilabati pun sujudlah
bermohon akan menyembah kaki ayahanda dan bundanya, maka dipeluk diciumnya
oleh bundanya, seraya katanya, “Baik-baik tuan meliharakan diri tuan.” Maka
Nilabati pun berjalanlah keluar dengan segala rakyatnya dan hulubalangnya. Maka
adalah yang dipilihnya hulubalangnya itu ada tujuh orang yang berjalan dahulu
menjadi cucuk senjata.
Hatta berapa lamanya berjalan itu, maka ia pun sampailah kepada suatu gunung
bernama Karang Kemala segala maharesi yang bertapa di atas gunung itu pun
pergilah mengalu-alukan Nilabati itu. Maka dibawanya ke tempatnya dan akan
dipermulianya Nilabati itu dan diperjamunya. Setelah suda maka Nilabati pun
bermohonlah kepada maharesi yang bernama Bramasakti lalu berjalan menuju
tempat Sri Rama kepada Gunung Gandaraanam diringkan oleh segala hulubalang
dan bala tentaranya itu.
Sebermula maka tersebutlah tatkala Maharaja Semburan suda kembali itu, maka
akan Maharaja Sugriwa pun bermohonlah pada Sri Rama kembali ke negerinya
Langkurkatin hendak berangkat. Maka datanglah Patih Jambuan dan Nila Anggada
dan Anggada Mahabiru. Setelah demikian, maka datanglah pula Karang Toila, dan
Nola Nila, dan Raja Gunungsina, dan Sang Krana, dan Indra, dan sang Daramula,
dan Raja Jabalgiri, dan rakyat itu dua yujan rakyatnya. Kemudian daripada itu,
datang pula raja kera tiga bersudara: seorang namanya sang Nala, dan seorang
namanya sang Kemandaraja di Gunung Molisina dan rakyatnya tengah empat yujan
banyaknya. Suda itu datang pulak Kramajaya itu, raja kera tiga bersudara dan
seorang namanya sang Garuda, dan seorang namanya Kramasura, dan seorang
namanya sang Warta, yaitu raja pada Gunung Andi Segara banyak rakyatnya dua
ratus laksa. Setelah itu, maka datang pula raja kera empat bersudara: seorang
namanya sang Praksa, dan seorang namanya sang Kerta, dan yang seorang namanya

124
– HIKAYAT SRI RAMA –

sang Pinasa, dan seorang namanya sang Purtamala, raja pada Gunung Maharama,
tiga ratus laksa rakyatnya. Kemudian datang pula raja kera lima bersudara:
namanya sang Dantakrama, dan seorang namanya sang Prajuma, dan seorang
namanya Pertala, dan seorang namanya sang Pupusmanda, dan yang seorang
namanya Kubit, raja kepada Gunung Indrasamala dan raja kepada Gunung Peranta/
166 Bayu, empat laksa banyaknya rakyatnya itu. Kemudian datang pula raja kera tiga
bersudara: seorang namanya Purasa dan seorang namanya daripada Jaksa, raja
daripada Gunung Indraselasi, rakyatnya pun terlalu banyak tiga puluh yujan.
Kemudian datang pula raja kera di gunung Malikesna terlalu amat besar negerinya
dan rakyatnya pun terlalu banyak duduk mengadap matahari hidup Maharaja
Biduran namanya, anak baginda itu dua orang: seorang namanya sang Sura dan
seorang namanya Perjangga. Anak maharaja itu terlalu pahlawan lagi ternama pada
segala negeri. Adapun maka raja-raja sekaliannya pun sudalah berhimpun datang
ke negeri Langkurkatin dengan rakyatnya yang tiada tepermanai banyaknya itu.
Maka Maharaja Sugriwa pun berjalanlah dengan segala bunyi-bunyian terlalu
‘aẓimat bunyinya mengikut jalan ke Gunung Gandaraanam. Maka tatkala itu, maka
Maharaja Nilabati pun berjalanlah dengan segala balatentaranya yang empat laut
itu dengan segala bunyi-bunyian seperti langit akan runtuh rasanya. Setelah
demikian, maka ia pun bertemulah sulu. Maka ia pun bertanya sulu daripada
Maharaja Nilabati, “Hai, Kamu, bintara darimana dan siapa namanya penghulu
kamu?” Maka sahut sulu itu, “Adapun kami ini hulubalang dan balatentara daripada
negeri Langkurkatin dan nama Maharaja kami, Maharaja Sugriwa, hendaklah
mengadap Maharaja Sri Rama di Gunung Gandaraanam. Adapun tuan hamba ini
darimana dan siapa namanya raja tuan hamba dan hendak ke mana?” Maka sahut
hulubalang itu, “Adapun kami ini hulubalangnya dan rakyatnya Maharaja
Semburan akan mengiringkan anak baginda yang bernama Nilabati hendak
mendapatkan Maharaja Sri Rama ke Gunung Gandaraanam.” Setelah demikian,
maka berjalanlah penghulu sulu itu keduanya. Seketika berjalan itu, maka
kelihatanlah tunggal panji-panji berkibar-kibaran terlalu elok dan indah-indah
rupanya berbagai-bagai warnanya. Maka terkembanglah payung daripada mutiara
dikarang tiga puluh tiga. Maka membawa payung itulah raja kera dan raja lutung,
siamang dan segala hulubalang Maharaja Sugriwa, masing-masing dengan
kenaikannya. Kemudian daripada itu, maka kelihatanlah suatu poso berpayung
intan dikarang, di bawa payung itu anak Maharaja Balia tujuh belas tuba ekornya
daripada emas diiringkan oleh segala yang pilihan dan segala balatentaranya
dengan segala bunyi-bunyian terlalu ramai. Kemudian maka kelihatanlah Maharaja
Sugriwa duduk di atas kenaikannya gajah puti, kenaikannya Maharaja Balia. Maka
terdirilah payung delapan payung yang/ indah-indah. Maka di belakang Maharaja,
167 Patih Jambuan dan anak cucunya Maharaja Sugriwa diiringkan oleh segala
balatentaranya yang tiada tepermanai banyaknya dan segala bunyi-bunyian dan
daripada sebab kebanyakan rakyat berjalan itu seperti air yang melili rupanya dan
seperti ombak mecah di pantai. Adapun bunyinya itu seperti ribut topan bunyinya
segala belantara berjalan itu.
Hatta maka bertemulah ia dengan Maharaja Sugriwa dengan Nilabati duduk di
atas kenaikannya gajah puti gadingnya hitam, maka berdirilah payung empat
sebelah daripada intan dikarang. Maka dilihat oleh Maharaja Sugriwa akan Nilabati

125
– HIKAYAT SRI RAMA –

itu terlalu hebat dan mengenakan makota yang manikam yang cemerlang
cahayanya diiringkan oleh segala hulubalangnya yang pilihan. Setelah habis
bertemu, maka Maharaja Sugriwa dan Nilabati pun sampailah ke Gunung
Gandaraanam lalu mengadap kepada Maharaja Sri Rama. Pada tatkala itu,
Laksamana dan sang Hanuman ada duduk di balai perak.
Arkian maka Laksamana segeralah masuk memberi tahu kepada Sri Rama.
Maka Maharaja Sri Rama pun segeralah keluar duduk di balai perak itu. Setelah
segala raja-raja melihat Sri Rama, maka segala mereka itu pun sujudlah
menyembah. Setelah suda, maka masing-masing duduk kepada tempatnya
mengadap paduka Sri Rama dengan takutnya dan hudamatnya akan Sri Rama.
Setelah demikian, maka Sri Rama pun bertitah kepada Maharaja Sugriwa, “Adakah
segala tuan-tuan raja-raja ini tahu akan nujum dan satir karena hamba hendak
menyuruh melihat Sita Dewi ke Langkapuri, apa gerangan halnya, adakah hidup
atau tiada.” Maka Maharaja Sugriwa pun berdatang sembah mengatakan Patih
Jambuan itu paham akan ‘ilmu nujum dan satir itu. Maka baginda pun berkata
kepada Patih Jambuan, “Lihatlah juga oleh tuan hamba di dalam nujum apalah
halnya Sita Dewi itu dan apa kelakuannya Maharaja Rawana akan Sita Dewi?”
Adapun tatkala Sri Rama berkata-kata kepada Patih Jambuan itu, maka berlinang-
linang airmatanya sebab terkenangkan Sita Dewi itu. Maka Patih Jambuan pun
berdatang sembah lalu membuka nujumnya. Maka dilihatnya akan Putri Sita Dewi
itu terlalu baik, maka ia pun dipersembahkan kepada Sri Rama, seraya katanya,
“Adapun Maharaja Rawana itu sekali-kali tiadalah dapat hampir kepada adinda dan
apabila Rawana hendak hampir empat puluh dapa jauhnya, maka Sita Dewi itu
hendak membunu dirinya, tetapi ada sedikit sukarnya karena paduka adinda yang
dipercintakan duli Yang Dipertuan itu.” Maka Sri Rama pun terlalu amat
sukacitanya. Setelah demikian, maka Sri Rama pun memberi nugrah akan Patih
168 Jambuan./ Maka Sri Rama pun bertitah kepada Maharaja Sugriwa, “Sekarang siapa
cakap pergi ke Langkapuri akan melihat Sita Dewi supaya bertanya kabarnya?”
Setelah demikian, maka seorang pun tiadalah yang menjawab akan titah Sri Rama.
Pada tatkala itu sang Hanuman ada duduk hampir kepada Laksamana, maka ia
pun berdiam dirinya. Maka Sri Rama pun bertitah, “Hai, Maharaja Sugriwa,
manatah yang dikatakan oleh Balia Raja ada seorang anak sudaranya yang bernama
sang Hanuman itu?” Maka sembah Raja Sugriwa, “Ya Tuanku, itulah kera kecil
yang duduk di penjuru hujung balai itu. Sebab ia cemar amat dengan tahi matanya
dan tahi hidungnya kotor, maka ia tiada hamba bawa hampir kepada tuan hamba
ini.” Maka Sri Rama bertitah Laksamana menyuruh memanggil Hanuman. Maka
Hanuman pun datanglah duduk dibawa hampir kepada Sri Rama. Maka titah Sri
Rama, “Hai, Hanuman, dapatlah engkau melompat tiga bulan perjalanan itu akan
melihati Sita Dewi ke Langkapuri?” Maka sembah Hanuman, “Mana pekerjaan
tuan hamba yang dititahhkan, hamba junjung di atas batu kepala hamba. Jika seribu
sekalipun nyawa hamba, hamba serahkan juga ke bawa duli tuan hamba. Tetapi
jikalau ampun dan karunianya kepada hambamu, pohonkan makan sehelai daun
dengan tuan hamba.” Maka Sri Rama pun tunduk tiada berbunyi seraya berpikir
seketika. Maka Sri Rama bertitah, “Baiklah, tetapi engkau hendak makan sehelai
daun dengan aku itu biarlah aku menanak di sini. Engkau pergilah mandi ke pusat
laut. Sedatangnya engkau dari sanalah, maka kita makan dari sanalah.” Setelah

126
– HIKAYAT SRI RAMA –

demikian, maka sang Hanuman pun berdatang sembah, “Baiklah, Tuanku, hamba
pergilah ke pusat laut menghaḍirkan nasi yang santapan tuan hamba.” Maka sang
Hanuman pun melompat lalu pergi mandi ke pusat laut.
Setelah seketika, maka datanglah ia sekali roma pun lagi basa. Maka pada
tangannya kanan pun berisi sembilan bagai permata dan pada tangannya kiri berisi
segala buah-buahan alamat datang daripada bahan solo. Maka oleh sang Hanuman
semuanya itu diberikan kepada Sri Rama. Maka baginda heran, maka Laksamana
pun dinugrahinya nasi itu. Maka dibubuhkannya pada sehelai daun pisang itu oleh
Laksmana lalu digoresnya daun pisang itu dengan telunjuknya pada sama tengah
daun pisang itu. Maka jadi bertulanglah daun pisang itu. Maka Sri Rama dan
Laksamana pun makanlah dari sebelah, maka Hanuman pun makanlah dari sebelah
itu. Maka sebabnya, maka datang sekarang daun itu jadi bertulang sama tengahnya
lalu sepanjangnya.
169 Adapun setelah suda makan,/ diambilnya oleh Sri Rama akan sebentuk cincin
daripada jarinya lalu diberikannya kepada Hanuman, seraya katanya, “Kalau-kalau
Sita Dewi tiada percaya akan engkau, tunjukkan ini olehmu akan tanda daripada
aku.” Maka diambilnya oleh Hanuman cincin itu lalu dikulumnya. Maka Hanuman
pun menyemba kaki Sri Rama. Maka lalu berjalan keluar. Maka ia pun hendak
melompat, maka ia bertempik ke bumi. Maka bumi tiad menderita tertanam ke
bawa. Maka Hanuman pun naik ke atas kayu yang besar bertempik hendak ia
melompat, maka kayu itu pun rubuh. Maka ia naik kepada batu yang besar hendak
bertempik, maka batu itu pun terbongkar. Maka Hanuman pun datang
mempersembahkan sekalian halnya, maka baginda pun berkata, “Hai, Hanuman,
marilah engkau melompat bertempik kepada tapak tanganku ini.” Maka Hanuman
pun menggerakkan dirinya, maka jadi sini tingginya sejengkal. Maka ia pun
menyembah kepada Sri Rama. Maka Hanuman pun mengadap ke Langkapuri.
Maka Hanuman pun melompat lalu bertempik kepada lengannya Sri Rama.
Adapun tatkala Hanuman melompat itu, maka tergugurlah maninya ke laut.
Maka raja ikan pun datang menelan mani Hanuman itu. Maka Hanuman melompat
itu, maka ia pun sampailah jatu kepada ruma Maharesi Kipabaran namanya. Maka
oleh maharesi diperjamunya dan ditanakkannya nasi seperiuk kecil. Maka kepada
hati Hanuman, ‘Jikalau dua tiga ratus periuk ini, maka baharulah sampai aku
makan.’ Maka kata maharesi itu, “Hai, Anakku, segeralah engkau makan nasi fakir
ini karena aku kasihani engkau.” Maka Hanuman pun makanlah nasi itu. Berapa
daya upayanya hendak menghabiskan nasi yang seperiuk kecil itu tiada juga habis.
Maka Hanuman pun heranlah melihat sakti maharesi itu, seraya katanya, “Berilah
hamba orang akan menunjukkan jalan itu,” seraya bermohonlah seraya berjalan ke
Langkapuri.
Setelah sampailah ia hendak masuk ke istana Maharaja Rawana, setelah itu
maka hambanya maharesi pun kembalilah. Maka Hanuman pun menjadikan dirinya
brahmana, maka ia pun duduklah di bawa pohon maja. Maka seketika Hanuman
duduk itu maka dilihatnya dan bertemulah ia dengan suatu perigi.
Sebermula pada ketika itu Hanuman duduk itu, maka dilihatnya ada empat
puluh orang dayang-dayang datang mengambil air kepada perigi itu. Sebermula
segala dayang-dayang itu masing-masing membawa buyung emas sekalian belaga.

127
– HIKAYAT SRI RAMA –

Maka Hanuman pun bertanya, “Hai, dayang ini, siapakah kamu semuanya
mengangkat air?” Maka sahut dayang-dayang itu, “Ada seorang/ Putri Sita Dewi,
170 bininya Sri Rama, dilarikan oleh Maharaja Rawana. Inilah air mandinya yang kami
angkat ini.” Setelah didengar oleh Hanuman, maka di dalam buyung yang banyak
itu maka buyung yang satu itu maka dimanterain. Maka semuanya dayang-dayang
pun kembalilah. Maka satu buyung itu tiada terangkat oleh dayang-dayang yang
empunya buyung itu. Maka dayang-dayang itu pun heranlah apa mulanya maka
demikian buyung ini. Selama-lamanya dibuat mengambil air dapat diangkat, maka
sekarang tiadalah dapat diangkatnya. Setelah demikian, maka kata Hanuman, “Hai,
dayang-dayang, maukah engkau aku tolong mengangkat buyungmu itu?” Maka
kata dayang-dayang, “Segeralah brahmana tolong supaya segeralah kami kembali
kelak tuan putri gusar akan hamba ini lama tiada datang.” Setelah demikian, maka
brahmana pun segeralah mengangkatkan buyung itu kepada dayang-dayang itu
serta cincin yang dikulumnya oleh Hanuman ia pun dijatuhkannya ke dalam
buyung. Setelah demikian, maka dibawanya buyung itu oleh dayang-dayang serta
ke hadapan Putri Sita Dewi. Maka disiramkannya air buyung itu kepada Sita Dewi.
Maka cincin itu pun jatulah kepada ribanya. Maka dilihatnya akan cincin itu
daripada Sri Rama, maka Sita Dewi pun bertanya, “Hai, dayang-dayang, siapa yang
engkau lihat pada tempat mengambil air?” Maka sahut dayang-dayang itu, “Ya
Tuanku, tatkala patik isi air buyung ini ada seorang maharesi ada duduk di bawa
pohon maja di sisi perigi itu.” Maka titah Sita Dewi, “Pergilah panggil olehmu
brahmana itu bawa kemari.” Maka dayang-dayang itu pun pergilah memanggil
kepada brahmana itu. Maka brahmana itu pun segeralah datang lalu masuk
mengadap kepada Sita Dewi. Maka disuruhnya duduk. Maka ditanyanya oleh Sita
Dewi, “Hai Brahmana, siapa engkau dan darimana Engkau datang?” Maka kata
brahmana itu, “Adapun hamba datang dari negeri Langkurkatin, hamba disuruh
oleh paduka kakanda Sri Rama akan melihati tuan hamba.” Maka katanya Sita
Dewi, “Apa-apa berita wartanya Sri Rama?” Maka kata brahmana itu, “Adapun
paduka kakanda Sri Rama sekarang ada duduk di dalam percintaan, sediakala
bercintakan tuan putri, sedia terhenti juga tiadalah lain yang dibicarakan melainkan
hendak mendengar berita kabar tuan putri juga. Sebab itulah maka patik dititahkan
oleh Sri Rama bertanyakan kabar tuan putri.” Maka kata Sita Dewi, “Hai,
Brahmana, siapa nama tuan hamba maka dititahhkan oleh Sri Rama datang
kemari?” Maka sahut brahmana, “Hambalah yang bernama Hanuman, anak sudara/
Maharaja
171 Balia, raja segala kera, beruk, lutung. Setelah suda diakunya hambanya anak oleh
Sri Rama akan hamba dan anak tuan hamba pun ibu ada disebut oleh kakanda
seperti mana ibumu yang menjadikan engkau, demikianlah bundamu Sita Dewi.”
Maka kata Sita Dewi, “Sayangnya aku suda bersumpah jika jangan aku yang lain
daripada Sri Rama niscaya aku suruh isap susuku ini kepadamu. Hai, Anakku
Hanuman, oleh sebab engkau membawa berita kabarnya Sri Rama kepada aku.”
Maka setelah Sita Dewi mendengar kata demikian itu, maka air susunya pun
berpancurlah keluar. Maka segeralah ditadahinya kepada daun pisang. Maka Sita
Dewi pun terlalu heran, maka kata Sita Dewi, “Hai, Hanuman, sungguhnyalah
engkau ini anakku juga dengan Sri Rama.” Maka demikian, maka air susu yang
kepada daun pisang pun diberikannya kepada Hanuman. Maka segeralah disambut
oleh Hanuman lalu diminumnya seraya sujudlah kepada Sita Dewi dengan

128
– HIKAYAT SRI RAMA –

sukacitanya. Maka diambilnya oleh Sita Dewi buah ampelam dua buah yang
santapan itu, maka diberikannya kepada Hanuman lalu dimakannyalah oleh
Hanuman buah ampelam itu. Maka Hanuman pun bertanya kepada Sita Dewi, “Ya
Tuanku, di mana pohonnya ampelam ini?” Maka kata Sita Dewi, “Ampelam ini di
dalam kebun Maharaja Rawana dipagarnya dengan pagar besi berkeliling di atas
jala-jalanya dengan ditambaknya segala margasatwa jangan dapat makan buah
ampelam ini dan seratus orang rasaksa yang mengawali kebun itu siang dan malam,
tiada lagi bergerak.” Maka kata Hanuman, “Tunjukkan juga pohonnya ampelam itu
kepada patik, nanti patik pergi mengambil dia.” Maka kata Sita Dewi, “Itulah
pohonnya yang di dalam kolam berikat emas itu.” Maka Hanuman pun pergilah
kepada pohon ampelam itu, maka ia pun menjadikan dirinya seekor kera kecil
sehasta dari tanah. Maka ia pun pergilah ke bawa pohon ampelam itu. Maka barang
yang ada daun kayu yang luruh dan rantingnya yang patah-patah dan gugur daunnya
itu, semuanya disapunya dari bawah pohonnya ampelam itu.
Setelah dilihat oleh segala rasaksa yang mengawali pohon ampelam itu, maka
ia berkata, “Hai, kera kecil, darimana engkau datang ini terlalu sekali baik
pekerjaanmu ini?” Maka sahut Hanuman, “Aku sedia diam di dalam negeri ini juga
apa tiadakah tuan hamba sekalian pandang akan hamba maka tuan sekalian tiada
akanlah hamba ini?” Maka kata segala rasaksa, “Baiklah sapu-sapu olehmu segala
daun-daun kayu yang luruh itu dan rantingnya kayu yang patah-patah itu supaya
engkau aku beri sisa buahnya ampelam itu.”/ Maka Hanuman dari pagi segera ada
172 sapuan kebun itu. Maka terlalu sukacita hati segala rasaksa itu melihat pekerjaan
Hanuman itu terlalu rajin. Setelah datang pada satu hari itu, maka segala rasaksa itu
dianugrahi minum oleh Maharaja Rawana. Setelah suda ia minum, maka
sekaliannya pun habis mabuk lalu tidur berguling-guling di bawa pohon ampelam
itu. Setelah dilihatnya segala rasaksa bunyi itu karena ia mabuk tiadalah kabarkan
dirinya itu, maka Hanuman pun naik di atas pohon ampelam itu. Maka
dimakannyalah segala buahnya dan setelah habislah segala yang masak itu maka
segala pucuknya dan bunganya dimakannya. Setelah habis maka segala daunnya
maka lalu dibongkarnya segala batangnya itu. Setelah habis rubuh segala pohon
ampelam itu, maka segala rasaksa pun bangunlah pagi-pagi hari. Maka dilihatnya
oleh rasaksa itu seraya katanya, “Siapatah yang empunya pekerjaan demikian ini?”
Maka segera dipanggilnya oleh rasaksa, kera kecil itu maka Hanuman pun turunlah.
Maka oleh segala rasaksa itu ditanyainya akan Hanuman itu, “Hai, kera kecil, siapa
engkau lihat yang membinasakan pohon ampelam itu?” Maka suatu pun tiadalah
disahutnya oleh Hanuman. Maka lalu diikatnya oleh rasaksa serta dibawanya
mengadap kepada Maharaja Rawana, seraya sembahnya, “Ya Tuanku, bahwa
pohon ampelam yang persantapan tuan hamba itu setelah dicabutnya oleh kera kecil
itu, membinasakan pohon ampelam itu sekaliannya habis pucuknya ke bawa dan
akarnya ke atas.” Maka Maharaja Rawana pun heranlah melihat kera kecil itu
sekian gagahnya dapat menyabut akar pohon kayu yang besar-besar itu. Maka
Maharaja Rawana pun bertanya kepada Hanuman, “Hai, kera kecil, sungguhkah
engkau menyabut segala pohon ampelam itu?” Maka ia pun tiada juga disahutinya
oleh Hanuman. Setelah demikian, maka titah Maharaja Rawana, “Bunulah oleh
kamu kera kecil ini.” Maka segala rasaksa pun datanglah, ada yang menikam
dengan tombaknya, ada yang menikam dengan lembingnya, ada yang menikam
dengan kerisnya, ada yang menetak dengan pedangnya, ada yang dengan kapak,

129
– HIKAYAT SRI RAMA –

ada yang memalu dengan gadanya. Maka jangankan dibunu, bulunya selembar pun
tiada gugur. Setelah demikian, maka Hanuman pun mengeluarkan ekornya seraya
dilingkarnya serta tinggilah. Maka ia pun duduk di atas ekornya yang dilingkarnya,
maka ia terlebih tinggi daripada Maharaja Rawana duduk di atas singgasana itu.
Setelah demikian, maka sudara Raja Rawana pun daripada tempatnya lalu ia
berdiri yang bernama Bibisanam/ itu seraya berdatang sembah kepada Raja
173 Rawana, “Ya Tuanku Syah ‘Alam, adapun pekerjaan kera kecil ini jangan
pemudahkan. Adapun kata satir dan nujum daripada dahulu kala yang akan
membinasakan Langkapuri inilah kera kecil juga.” Maka titah Maharaja Rawana,
“Apatah daya kita membunu kera kecil ini karena segala senjata itu tiadalah dapat
membunu dia?” Maka Hanuman pun menyahut, “Hai, Maharaja Rawana, jikalau
tuan hamba hendak membunu hamba dan jikalau hendakkan aku mati ambil kain
maka belitkan kepada tubuh hamba dan pada ekor hamba. Setelah suda tuangi
dengan minyak, suda itu bakarlah hamba, maka baharulah aku mati melompat-
lompat.” Setelah Raja Rawana mendengar kata Hanuman demikian itu, maka
disuruhnya belit ekornya dan tubuhnya Hanuman itu dengan kain. Setelah suda
dibelit tubuhnya dan ekor Hanuman itu dengan kain, maka beberapa ratus helai kain
itu. Maka titah Raja Rawana, “Siramkan dengan minyak.” Maka dibelit pula dengan
kain serta disiramnya pula dengan minyak. Maka belum juga cukup dan beberapa
gedong kain yang dibuka oleh bendahara ditutup membelit Hanuman. Setelah suda
demikian, maka titah Maharaja Rawana, “Bakarlah kera itu.” Maka dibakar
oranglah. Setelah bernyala-nyala api itu, maka habislah terbakar. Setelah bernyala
tubuh Hanuman itu, maka sehelai bulu romanya pun tiadalah hangus. Maka kain
tinggal kepada hujung ekornya tinggal bernyala-nyala. Maka Hanuman pun
melompat lalu kepada bubungan ruma istana Raja Rawana. Maka habislah hangus
rumanya dan maligainya pun hangus. Maka Hanuman pun melompat pula keluar
lalu kepada segala ruma orang di dalam negeri Langkapuri itu habislah hangus, satu
pun tiada tinggal lagi. Setelah suda Hanuman membakar itu, melainkan ruma Sita
Dewi juga yang tiada terbakar. Setelah demikian, maka Hanuman pun pergilah
mandi ke dalam laut qelazum4. Setelah suda menyelam itu, maka habislah padam
api itu kepada ekornya. Adapun tatkala itu orang negeri Langkapuri pun terlalu
haru-haru tiadalah berketahuan lagi dan segala kampungan pun habis menjadi habu,
suatu pun tiada yang tinggal. Maka Maharaja Rawana pun terlalu amat dukacita
hatinya karena sebab negerinya dan istananya itu habis terbakar oleh Hanuman.
Hatta maka Maharaja Rawana pun menitahkan bintaranya pergi memanggil
seorang Maharesi Kala Indra itu keindraan. Setelah suda, maka maharesi itu pun
segeralah datang mengadap Maharaja Rawana. Maka Raja Rawana pun segeralah
174 memberi hormat kepada maharesi, maka lalu dibawanya/ duduk bersama-sama.
Setelah demikian, maka kata Raja Rawana, “Adapun sekarang jika ada kasi tuan
hamba, maka hamba mintak tolong berbuat istana dan membaiki negeri hamba yang
terbakar ini.” Maka kata maharesi itu, “Baiklah.” Ia pun memintak doa kepada
Dewata Mulia Raya. Setelah suda memuja, maka datang pada suatu ketika malam
maka istana raja dan ruma segala orang-orang berdiri sendirinya lengkap dengan
segala bangun-bangunan dan pintu gerbang empat menahab dengan parit segala.
Demikianlah kesaktiannya maharesi. Adapun kota itu tujuh lapis yang tingginya

130
– HIKAYAT SRI RAMA –

empat puluh depa dan pada selapis tebalnya itu tujuh depa dan terlalu amat permai
perbuatannya kota itu.
Setelah hari siang, maka dilihat oleh segala makhluk yang banyak. Maka ia pun
terlalu heranlah akan perbuatannya. Maka Maharaja Rawana pun memberi nugrah
akan maharesi. Setelah demikian maka maharesi pun bermohonlah kepada
Maharaja Rawana lalu pulang keindraan.
Sebermuna maka tersebutlah pekerjaan Hanuman. Setelah suda mandi di dalam
laut qelazum itu, maka ia pun datang kepada Sita Dewi. Maka kata Hanuman, “Hai,
Ibu, kubawa kepada Sri Rama.” Maka kata Sita Dewi, “Hai, Anakku Hanuman, aku
suda bersumpah jangan dijamah oleh laki-laki yang lain tubuhku ini. Adapun akan
Sri Rama itu orang gagah tiadalah berlawan dan masyhur kepada segala ‘alam ini
dan kenamaan dan bininya dilarikan orang haruskah maka didapati pada orang lain?
Maka akan tuanku Sri Rama terlalu ‘aib disebut orang. Adapun yang kehendakkan
ini tiada demikian biarlah dibununya juga Rawana itu. Maka aku diambilnya
dengan gagahnya, maka sungguh ia ternama di dalam ‘alam ini. Itulah hai Anaqku,
pada kehendak hatiku ini dan segala kataku ini sampaikan kepada Sri Rama hubaya-
hubaya jangan tiada engkau katakan kepada tuanmu Sri Rama.” Setelah suda Sita
Dewi berpesan itu demikian, maka Hanuman pun bermohon kepada Sita Dewi
seraya katanya, “Ya Tuanku, tatkala hamba datang kemari ini hamba bertinjak
kepada lengannya tuanku Sri Rama baharulah hamba dapat melompat kemari.”
Maka kata Sita Dewi, “Hai, Hanuman anakku, pergilah engkau naik ke atas bukit
Ketagiran, di sanalah ada sebuah batu hitam bekas tapaknya Nabi Adam. Di sanalah
engkau bertinjak karena Nabi Adam tatkala turun dari dalam surga itulah tempatnya
turun.” Setelah demikian maka dipeluknya dan diciumnya Hanuman itu oleh
175 Sita Dewi lalu/ memberi satu kiriman cambul.
Setelah demikian, maka Hanuman pun berjalanlah menuju gunung itu. Maka
bertemulah ia dengan batu itu tempat Nabi Adam turun ke Dunia itu. Maka
Hanuman lalu meniharap menyembah kepada batu itu. Maka digerakkan dirinya
maka menjadikan dirinya seekor kera kecil sehasta juga tingginya. Maka
dipeluknya batu itu diciumnya. Setelah suda, maka ia pun naik ke atas batu itu lalu
bertempik seperti tagar suaranya. Lalu ia melompat menuju negeri Langkurkatin
mengadap Sri Rama seraya ia berhikayat daripada permulaannya sampai
kesudaannya ia kembali itu. Maka ia pun mengambil cambul daripada Sita Dewi
itu lalu diunjukkannya kepada Sri Rama. Maka disambut oleh baginda lalu
dibukanya di dalam cambul itu narwastu berisi bahu-bahuan terlalu harum bahunya.
Maka segala pesannya Sita Dewi semuanya disampaikannya oleh Hanuman pada
Sri Rama. Maka Sri Rama pun sukacita oleh mendengar Sita Dewi itu ada hidup.
Maka kata Sri Rama, “Semuanya pekerjaanmu itu sempurnalah, tetapi ada sedikit
jahat pekerjaanmu itu oleh membakar ruma orang Langkapuri karena terlalu sayang
aku akan negeri itu.” Maka Hanuman pun berdiam dirinya, maka titah Sri Rama
kepada Hanuman, “Sekarang apatah bicaramu akan membawa rakyat yang beratus
laksa karena negeri Langkapuri itu di tengah laut?” Maka kata Hanuman, “Ya
Tuanku Syah ‘Alam, pada bicara hambamu melainkan laut itu kita perbuat akan
tambak itu akan titian kita menyeberang ke Langkapuri.” Maka titah Sri Rama,
“Baiklah tuan pergi mengimpunkan segala rakyat kera di dalam negeri
Langkurkatin.” Setelah berkapunglah, maka pergilah Sugriwa dan Nila Anggada

131
– HIKAYAT SRI RAMA –

mengadap Sri Rama, seraya sembahnya, “Akan rakyat itu suda berkumpul adalah
lima yujan memandang jaunya dan rakyat daripada segala raja-raja keluaganya
hamba adalah lima yujan jauh menantang masing-masing berdiri di tengah padang.”
Maka titah Sri Rama, “Manatah baik kita menambak dan terlebih baik jika ada
tanjung supaya terdekat sedikit.”
Maka adalah dua orang hulubalang Nila Anggada: seorang namanya Daru dan
seorang namanya sang Dapara itu dititahhkan oleh Sri Rama dengan empat laksa
orang pergi mengiringkan dia. Maka ia pun pergilah sang Daru dan sang Dapara
pun berjalanlah menuju tempat tanjungan seraya naik ke atas sebuah gunung. Maka
dilihatnya sebuah goa berpangkat-pangkat seperti sebuah ruma. Maka ada seorang
176 maharesi duduk di ruma itu mengadap/ jentera mengintai benang. Maka datanglah
sang Daru dan sang Darapa bertanya, katanya, “Siapa nama tuan hamba ini?” Maka
sahut maharesi, “Adapun nama hamba ini Sahkuntala dan nama gunung ini Aẓuda
dan padang pun bernama Naruda dan tujuh ratus tahun lamanya hamba diam di sini
bertapa pada gunung ini. Akan hamba ini bukan anak siapa daripada pastu benang
Janggani terbuat oleh Batara Indra akan menunggu-menunggui kolam permandian
segala bidadari dan dewi-dewi. Maka puja hamba serta jadilah manusia empat
orang akan teman hamba berkata-kata duduk sama-sama. Sekarang orang itu lagi
hamba suruh membawa persembahan ampelam akan raja pada sebuah negeri Pura
Jentaka namanya dan nama raja itu Jayasinga namanya, raja rasaksa. Adapun
bala(te)ntaranya tiadalah tepermanai banyaknya. Sediakala angan-angan hendak
menyerang keindraan karena ia hendak mengambil segala dewi-dewi dan bidadari
dan peri akan dayang-dayangnya. Adapun tuan hamba sekalian ini di mana datang
kemari ini?” Maka kata sang Daru dan sang Darapara keduanya disuruhnya duduk
di atas tapak tangannya kiri. Maka tatkala itu ia pun mengintai benang maka
tangannya kiri itu diunjukkannya keindraan. Maka kata kedua hulubalang itu,
“Adalah hamba lihat sebuah pula besar di tengah laut berbetulan dengan tanjung
ini.” Setelah itu, maka ia pun turunlah di atas tangannya Maharesi Sahkuntala.
Maka kata maharesi, “Hai, Anakku, apatah pekerjaan Sri Rama maka hendak ke
Langkapuri?” Maka kata sang Daru, “Tiadakah tuan hamba tahu bahwa istrinya Sri
Rama itu dilarikan oleh Maharaja Rawana ke negerinya? Maka sebab itulah, [maka
itulah] maka hendak diikutnya oleh tuan kami.” Maka kata maharesi, “Hai, Anakku
kedua, persembahkanlah akan sembahkan ini kepada Sri Rama itu. Jikalau dapat,
baik juga Sri Rama datang kemari supaya terbunu Maharaja Jayasinga serta
anaknya yang bernama Surapala Dugala. Dewa-dewa itu mintak doa kepada
Dewata Mulia Raya akan bahagia Sri Rama beroleh kemenangan daripada teraniaya
oleh Maharaja Rawana dan Maharaja Jayasinga.” Maka kata sang Daru dan sang
Darapara, “Baiklah.”
Hatta arkian, maka kembalilah mereka itu. Duanya pun pergilah kepada Nila
Anggada serta mempersembahkan daripada segala penglihatannya dan segala
pesannya Maharesi Sahkuntala itu. Maka oleh Nila Anggada dipersembahkannya
itu kepada Sri Rama.
177 Syahdan maka Sugriwa disuruh panggil/ oleh Sri Rama serta dititahhkan,
“Adapun esok hari akan kita berjalan ke Gunung Azuda. Maka hendaklah tuan
hamba kerahkan rakyat dengan sepatutnya.

132
– HIKAYAT SRI RAMA –

Hatta maka Sri Rama dan Laksamana berangkatlah ia berjalan serta raja-raja
kera dan beruk dan lutung dan kungkung dan siamang dengan segala bala
tentaranya di dalam hutan rimba belantara, seperti guruh di langit bunyinya yang
tiada keputusan. Setelah berapa lamanya berjalan itu, maka ia pun sampailah ke
Gunung Azuda. Maka Sri Rama pun naik ke atas gunung itu. Maka sang Daru dan
sang Darapara pun segeralah memberi tahu kepada Maharesi Sahkuntala
mengatakan Sri Rama datang. Maka Maharesi Sahkuntala pun segeralah datang
mendapatkan Sri Rama seraya disembahkan kepadanya segala hal ihwalnya yang
setelah suda dikatakannya kepada sang Daru dan Sang Darapara. Maka kata Sri
Rama, “Baiklah akan membinasakan Raja (Jaya)singa dan Raja Suranala itu. Jika
dengan nugrah Dewata Mulia Raya, maka hambalah juga yang mengerjakan itu.”
Maka akan Sri Rama pun dikenalnya oleh maharesi itu daripada aṣal Mahabisnu
itu.
Setelah demikian, maka Sri Rama pun memberi titah kepada Maharaja Sugriwa
dan Nila Anggada dan Hanuman dan Nilabati menyuruh menyucikan segala kayu-
kayuan pada Gunung Azuda. “Sehelai rumput jangan ada yang tinggal berkeliling
gunung itu datang kepada kaki gunung itu semuanya timbunkan ke laut karena kita
hendak perbuat tambak.” Maka Hanuman dan Nilabati dan segala raja-raja pergilah
membinasakan segala kayu-kayu yang besar-besar dilontarkannya ke laut yang
tempat akan diperbuat tambak. Empat hari juga habis segala kayu-kayu yang besar-
besar dilontarkan ke dalam laut sekalian, betapa pasir yang pantai laut demikian
diperbuatnya. Sehelai rumput pun tiada lagi tinggal. Oleh Maharesi Sahkuntala
dibawanya Sri Rama naik ke atas ke nigara melihat tasik yang diikatnya dengan
batu puti. Maka berapa ratus jambangan emas dan perak berisi buah-buahan
pelbagai barang yang tiada di dalam Dunia itu adalah di sana. Maka maharesi pun
mengambil segala buah-buahan yang persantapan Batara Indra, seraya katanya, “Ya
Tuanku santaplah oleh tuan hamba segala buah-buahan dan inilah bunga-bungaan.
Segala peri sebulan sekali tiadalah dapat hamba hantarkan kepada Maharaja
Jayasinga dan kepada anaknya Suranala. Jikalau tiada demikian, diperbinasakannya
178 hamba sekalian ini dan berapa indra diper/ hambanya karena sekarang ini lagi ia
berlengkap hendak menyerang keindraan, hendak mengambil segala peri akan
dayangnya segala dewa-dewa akan dibuatnya hambanya. Adapun jikalau dengan
nugrah Dewata Mulia Raya juga sahaja di dalam tangan tuan hamba juga
kematiannya itu.” Maka titah Sri Rama, “Baiklah hamba menyuruhkan kepadanya.
Dahulu kala ia mau berṣahabat kebajikan pada segala dewa-dewa dan jika ia tiada
mau berbuat kebajikan kepadanya baharulah kita berkira-kira.” Maka titah Sri
Rama kepada sang Daru dan sang Darapara membawa barang seratus laksa rakyat
pergi kepada Maharaja Jayasinga mengatakan niat itu, “Jikalau maharaja itu tiada
mau mengubahkan pekerjaannya itu akan segala dewa-dewa itu bahwa tiadalah
sopan hamba dan mana sekuasa hambalah berbuat baik pada segala dewa-dewa dan
indra dengan segeranya Dewata Mulia Raya itu.” Maka bermohonlah utusan kedua
itu lalu berjalan dengan segala rakyatnya.
Setelah berapa lamanya berjalan itu, maka ia pun sampailah ke negeri
Berjantaka. Setelah diberi orang tahu kepada Maharaja Jayasinga, maka oleh
seorang dibawanya masuk akan utusan keduanya itu. Setelah ia datang ke hadapan,
maka kata Raja Jayasinga, “Hai, utusan, apa kerjamu disuruh oleh Sri Rama datang

133
– HIKAYAT SRI RAMA –

kepada aku ini?” Maka sang Daru dan sang Darapara pun dipersembahkannya
segala pesan Sri Rama itu kepada Raja Jayasinga itu. Maka kata Raja Jayasinga itu,
“Hai, Kamu sekalian, sekarang engkau katakan kepada Sri Rama. Titahhkan ini:
mengapatah ia menyuruh kepada aku akan katanya tiada dengan sopannya dan tiada
dengan bahasa yang baik maka semuanya kera, beruk, lutung itu yang diharapan
makananku. Jikalau dua tiga ribu sekalipun dengan seorang hulubalangku juga
melawan akan dia itu tiada padannya. Jangan Sri Rama kelanggar akan pekerjaanku
itu, pekerjaan yang kepada dirinya itu baik kerjakan dahulu karena bininya itu
diambil oleh Maharaja Rawana itu juga. Suruhlah kerjakan kepadanya karena jika
ia aku kelanggar akan keduanya, pekerjaan sendirinya tiada diperolehnya.”
Setelah demikian, maka kedua utusan pun kembalilah mengadap kepada Sri
Rama. Maka segala kata Maharaja Jayasinga itu pun disampaikannya kepada Sri
Rama. Setelah didengarnya, maka Sri Rama pun memberi titah kepada Maharaja
Sugriwa dan Nila Anggada segala raja-raja, “Adapun tuan hamba tinggallah/
179 di sini akan mengerjakan tambak laut itu akan jalan kita ke Langkapuri. Adapun
aku dua bersudara, tiga dengan anakku Hanuman, aku hendak pergi mendapatkan
Maharaja Jayasinga.” Maka sembah Nila Anggada, “Ya Tuanku perjalanan
mendatangi negeri Berjantaka itu janganlah tuan hamba bercampur kaki duli Yang
Dipertuan dan hamba dua bersudara juga dititahhkan oleh Yang Dipertuan
menyerang Jayasinga itu.” Maka titah Sri Rama, “Baiklah, mana kehendakmu
berkenanlah kepada aku.” Maka Nila Anggada pun berlengkap rakyat empat yujan
banyaknya, maka penuhlah dengan rakyat serta berjalanlah ke negeri Berjantaka
itu.
Setelah didengarnya oleh Maharaja Jayasinga akan Nila Anggada itu datang
dengan segala balatentaranya. Maka Maharaja Jayasinga pun menyuruh bintaranya
memanggil kepada adinda Maharaja Bramakuasa dan Maharaja Jaluka di negeri
Perang Kandi dan adinda Maharaja Madusilan dan Maharaja Bramaberani di negeri
Perkatbaya itu akan datang membantu perang. Maka bintara itu pun berjalanlah
serta sampailah kepada raja-raja itu seraya mengadap kepadanya dan lagi barang
dipersembahkannya barang titahhnya Raja Jayasinga itu. Maka keempat raja-raja
itu pun berlengkap dengan segala hulubalangnya dan sekalian rakyatnya. Maka ia
berjalanlah.
Setelah berapa lamanya berjalan itu, maka ia pun sampailah ke negeri
Berjantaka. Maka Maharaja Jayasinga pun segeralah ia keluar pergi mengalu-
alukan adinda dan baginda. Setelah suda bertemu, maka ia masuklah ke dalam
istana lalu duduk di atas singgasana. Seketika duduk maka hidengan pun diangkat
oranglah maka baginda pun santaplah dan segala raja-raja yang datang itu berṣaf-
ṣaf dengan segala menteri-menteri hulubalang. Setelah suda makan, maka
datanglah pula perbagai-bagai makanan nikmat. Maka minuman pula diedarkan
orang. Maka segala anak raja-raja dan menteri dan hulubalang rakyat sekalian pun
minumlah. Setelah suda minum, maka segala hulubalang balatentara sekalian pun
semuanya pun keluar kota mendapatkan rakyat Nila Anggada. Setelah ia
berpandengan kedua rakyat, maka bahananya seperti langit akan runtuh rasanya.
Maka berpandenganlah kedua pihak rakyat itu terlalu ramai dan berapa darah
tampak ke atas bumi dan bangkai hulubalang itu pun bertimbun-timbunan seperti

134
– HIKAYAT SRI RAMA –

bukit besarnya. Maka hari pun malamlah. Maka kedua pihak rakyat pun kembalilah
ke tempatnya makan minum.
180 Setelah bersuka-sukaan, maka keesokkan harinya dari/ pagi-pagi, maka Nila
Anggada dengan segala balatentaranya datanglah ke tengah padang tempat
berperang itu. Maka penuhlah segala padang tiadalah dapat lagi lolos kaki segala
rakyat berjejak di bumi daripada pekerjaan dan kebanyakan rakyat. Maka
sekaliannya dengan tempik soraknya seperti tagar di langit bunyinya. Maka
terdengarlah kepada segala rasaksa. Maka ia pun terkejutlah sekaliannya dan
gemparlah segala rasaksa keluarlah dari dalam kota beserta Maharaja Jayasinga dan
segala raja-raja itu pun terkejutlah daripada tidurnya. Maka keluarlah Maharaja itu
dengan segala rasaksa di dalam kota seraya melihat rakyat Nila Anggada itu
tiadalah tepermanai banyaknya. Maka lalu berperang. Maka campur-baurlah kedua
rakyat itu. Maka Nila Anggada pun melompat lalu menangkap Maharaja Suranala
dan Maharaja Bramakusa dan Raja Jatilusa seraya diikatnya. Maka Maharaja
Jayasinga dan segala raja-raja yang takluk kepadanya itu pun larilah ke dalam kota
serta diperhambatnya sehingga tiada dapat lari lagi. Adapun Maharaja Madusilan
dan Maharaja Berani pun datanglah meniharap di tanah di hadapan Nila Anggada.
Demikianlah sembahnya, “Ya Tuanku, bahwa kami sekalian ini suda menjadi
hamba ke bawa tuanku. Tambahan kita kepada tuan hamba Sri Rama yang hamba
sekalian pertuan. Maka Nila Anggada pun menyuruh Maharaja Madusilan dan
Maharaja Maduberani membawa perdana menterinya dan hulubalang rakyat
sekaliannya. Setelah berkumpul, maka Nila Anggada pun berangkatlah membawa
rakyatnya beserta raja-raja yang ditangkapnya dengan segala raja-raja balatentara
sekalian.
Hatta berapa lamanya berjalan, maka ia pun sampailah ke tempat Sri Rama itu.
Maka Nila Anggadah pun berlari-lari menyembah kaki Sri Rama. Setelah suda,
maka Nila Anggada pun mempersembahkan pekerjaannya itu kepada Sri Rama.
Maka titah Sri Rama, “Baiklah, bahwa tiga buah negeri yang dialahkan ole Nila
Anggada yang memegang dia dan anaknya Maharaja Mandusilan yang bernama
Dewi Nilawarta dianugrahkan ole Nila Anggada.” Maka raja-raja yang tertangkap
itu disuruhnya bunu ole Sri Rama. Adapun Raja Madusilan dan Raja Berani itu juga
tiada dibunu ole Sri Rama karena ia suda meninggal dirinya dan lagi Nila Anggada
suda menjadi menantunya itu.
Alkisah maka tersebutlah perkataan Sri Rama menambak laut akan titian
menyeberang ke negeri Langkapuri. Maka Hanuman pun mengangkat-angkat
sebuah gunung lalu dilontarkannya ke laut. Setelah hampirlah akan sampai/
181 ke pulau Langkapuri tambak (itu). Maka datanglah kepada suatu tempat, berapa
ribu gunung ditambakkannya habis tenggelam daripada sangat dalamannya dan
airnya mercak keindraan. Maka Sri Rama pun marah serta diambilnya anak
panahnya yang bernama Gandiwati hendak dipanahkannya ke dalam laut itu. Maka
keluarlah seorang perempuan dari dalam laut itu terlalu elok parasnya. Maka kata
Sri Rama, “Hai, perempuan muda, siapa engkau ini dan apa pekerjaanmu datang
kemari ini? Apa hendak menolong aku ini?” Maka kata perempuan itu, “Ya Tuanku
Sri Rama. Adapun dilihat ole nenenda Maharaja Mahabisnu tuan hamba hendak
memana ke dalam laut, maka disuruh ole nenenda akan hamba datang memberi tahu
tuanku karena tempat ini terus ke bawa petalah bumi dengan air yang bernama

135
– HIKAYAT SRI RAMA –

maulhayyat. Jika tuan hamba akan hendak rakyat sekalian gagah berani lagi kebal
dan tiada mati akan senjata dan hendaklah air yang memercak itu disuruh minum
kepada segala rakyat tuanku karena yang memegang mata air itu nenenda
Mahabisnu.” Setelah suda perempuan itu berkata-kata, maka ia pun kembalilah ke
dalam laut. Maka Sri Rama pun menyembah sekalian rakyatnya meminum air itu.
Maka Hanuman pun melontarkan sebuah bukit di dalamnya itu, maka air itu pun
memercak keindraan maka segala rakyat itu pun berbuat menadah air laut itu,
seketika juga yang berole masing-masing. Maka hari pun malamlah. Setelah hari
siang, maka sekaliannya berkerjalah dengan sukacitanya, dengan demikian maka
tambak itu pun hampirlah sampai ke Langkapuri. Demikianlah.
Alkisah maka tersebutlah perkataan Maharaja Rawana tatkala melarikan Sita
Dewi, maka ditaruhnya kepada suatu taman. Adapun di dalam taman itu tujuh buah
maligai, masing-masing daripada batu yang indah-indah itu, seperti daripada pirus,
dan biduri, dan pualam, dan nilam, dan intan, dan kemala, dan manikam. Adapun
halamannya maligai itu daripada cermin dan perbuatannya orang di bawa bumi.
Maka disuruhnya Maharaja Rawana akan bini raja-raja rasaksa dan tujuh putri
rasaksa mengadap Putri Sita Dewi. Adapun pengulu dayang-dayang itu anak
Maharaja Bibisanam yang bernama Dewi Srijati. Sungguhnya pun demikian itu
indah-indah dilihat ole Sita Dewi tiada juga sukacita hatinya senantiasa dengan
dukacita hatinya serta dengan tangisnya. Apabila Raja Rawana datang kepada Sita
Dewi, maka Sita Dewi hendak membunu dirinya. Maka/ daripada sayangnya
182 Maharaja Rawana akan Sita Dewi, maka tiadalah dihampirnya.
Sediakala demikian, maka datanglah kepada suatu hari, maka Maharaja Rawana
pun datang kepada Sita Dewi hendakkan dia. Maka kata Sita Dewi, “Bagaimana
tuan hamba hendakkan hamba karena Sri Rama lagi hidup. Jika ia mati, dapat
tuanku, tetapi hendaklah tuanku bawa kepalanya kepada hamba kemari.” Maka kata
Maharaja Rawana, “Jika demikian, baiklah maka pergi membunu Sri Rama.” Maka
Raja Rawana pun kembalilah ke istananya, maka disuruhnya bintaranya panggil
Kala Sakti dan Purwa sekali. Setelah ia datang, maka maharaja pun mintak
lehernya. Maka kepalanya disuruhnya bubuh makota perasanya serta titahhnya
disuruhnya kepalanya itu bawa kepada Sita Dewi. Setelah Maharaja Rawana datang
ke rumahnya Sita Dewi, maka Sita Dewi ia pun menyuruhkan Dewi Srijati keluar
bertanya. Maka kata Dewi Srijati, “Ya Tuanku, suda aku berole kepala Sri Rama,
maka sang Dipertuan datang kemari.” Maka sahut Maharaja Rawana, “Inilah
kepalanya Sri Rama dan kepala Laksamana yang aku bawa karena tatkala perang
dengan Maharaja Sri Rama maka bangkai bertimbun-timbunan seperti gunung dan
darahnya seperti laut dan bangkai gajah kuda seperti pulau dan segala rata
berhanyutan di dalam laut darah. Demikianlah perinya terlalu ramai aku berperang
sekali ini.” Maka kata Dewi Srijati, “Sungguhnyalah kepalanya ini Sri Rama dan
Laksamana. Jikalau demikian, pergilah Yang Dipertuan mandi berlimau tujuh kali.
Maka esok hari apabila Yang Dipertuan suda mandi dan memakan buah-buahan,
maka baharulah tuanku datang kemari.” Maka kata Raja Rawana, “Baiklah,” serta
kembalilah ia ke istananya. Maka Dewi Srijati membawa kedua kepala itu kepada
Sita Dewi. Maka Sita Dewi pun terkejutlah seraya menangis sambil mengunus
senjatanya yang bernama Putram. Maka segera dipegang ole Srijati seraya katanya,
“Jangan tuanku membunu diri karena kepala itu belumlah nyata kepala paduka

136
– HIKAYAT SRI RAMA –

kakanda atawa bukankah biarlah patik melihati paduka kakanda itu kepada
tempatnya berperang.” Maka kata Sita Dewi, “Baiklah.” Maka Dewi Srijati pun
berjalanlah.
Setelah berapa lamanya, maka ia pun sampailah kepada tempat Sri Rama. Maka
ditanya ole Sri Rama, “Akan apa sebabnya datang kepada aku?” Maka ole Srijati
pun diceritakan hal-ihwalnya Sita Dewi itu./ Maka lalu diambilnya ikat
183 pinggangnya serta diberikannya kepada Dewi Srijati, seraya katanya, “Inilah yang
ditenunnya oleh Sita Dewi. Maka jadilah tanda hamba lagi hidup dan bawalah
persembahkan ole tuan hamba kepada Sita Dewi.” Maka Sri Rama pun
menyuruhkan Hanuman mengantarkan Dewi Srijati segera kembali. Maka
Hanuman pun berjalanlah bersama-sama Dewi Srijati serta didukungnya. Maka
sampailah keduanya kepada taman Sita Dewi. Maka Dewi Srijati pun masuklah ke
dalam taman itu. Maka Hanuman pun kembalilah. Setelah Dewi Srijati datang
kepada Sita Dewi, seraya sembahnya, “Adapun Raja Rawana itu pun terlalu amat
dustanya karena inilah tandanya paduka kakanda Sri Rama lagi hidup.” Maka kata
Sita Dewi, “Bahwa sungguhlah tuan hamba sampai kepada Sri Rama karena inilah
ikat pinggangnya yang ditenun ole hamba.” Maka pada ketika itu, maka Maharaja
Rawana pun datang, maka Dewi Srijati pun segera keluar. Maka kata Maharaja
Rawana, “Apatah bicaranya Sita Dewi? Maukah ia akan daku karena Sri Rama suda
mati?” Maka sembah Dewi Srijati, “Ya Tuanku, akan kepala Sri Rama, seketika ini
juga patik datang daripada tempatnya Sri Rama duduk dihadap ole segala rakyatnya
menambak laut.” Setelah Maharaja Rawana mendengar sembahnya Dewi Srijati itu,
maka ia pun terlalu marah seraya mengunus pedangnya hendak membunu dia.
Maka Dewi Srijati pun lari kepada Sita Dewi. Pada tatkala itu diusir ole Maharaja
Rawana lalu ke peraduan Sita Dewi. Maka Sita Dewi pun takutlah, seraya
sembahnya, “Ya Tuanku, bunulah patik akan ganti Dewi Srijati karena ia pergi patik
yang menyuruhnya pergi itu, bukan kehendaknya, dengan suruh patik.” Maka
Maharaja Rawana pun diam seketika kemudian maka ia menyuruh memindahkan
Sita Dewi di dalam kota besi harsani serta dititahhkan seorang menterinya bernama
Wiskranaksan menunggui Sita Dewi dengan segala rasaksa keliling kotanya itu.
Maka Maharaja Rawana pun bertitah kepada menterinya yang bernama Sagasadana
pergi melihati Sri Rama dan apa pekerjaan dan beberapa banyak rakyatnya
diperiksai. Maka Sagsadana pun berjalanlah serta menjadikan dirinya kera lalu
masuk menyulu pada tempat Sri Rama itu serta dilihatnya segala rakyat dan
pekerjaannya Sri Rama itu.
184 Maka Sagasadana pun berjalanlah/ kembali ke Langkapuri lalu mengadap
kepada Maharaja Rawana. Maka titah baginda, “Hai, Sagasadana, betapa
penglihatanmu itu?” Maka sembah Sagasadana, “Ya Tuanku Sri Maharaja,
sekarang pada penglihatannya patik ini tiada raja di dalam Dunia seperti Syah
‘Alam ini, tetapi soal-soal terlebi pula kebesarannya Sri Rama. Adapun tatkala patik
lihat Sri Rama itu, maka dahsatlah patik karena sikapnya yang tiada dapat diperikan
karena di dalam ‘alam ini seorang pun tiada dijadikan Dewata Mulia Raya seperti
Sri Rama itu dan rupanya dan warnanya. Maka lakunya itu seperti harimau akan
menerkam dan anak panahnya yang bernama Gandiwati itu terlalu saktinya tiada
menderita ole berlaksa-laksa banjar hulubalang jika dilepaskannya sehingga mati
juga. Adapun akan Laksamana dan segala hulubalang Sri Rama itu terlalu amat

137
– HIKAYAT SRI RAMA –

gagah beraninya dan sakqtinya itu.” Maka Maharaja Rawana pun terlalu marah
akan Sagasadana. Maka Sagasadana pun segeralah kembali ke rumahnya. Maka
Maharaja Rawana pun bertitah kepada anaknya, Gangga Mahasura, membinasakan
titian yang diperbuatkan ole Sri Rama itu. Maka dipanggilnya ole Gangga
Mahasura segala ikan di dalam laut maka disurunya binasakan akan segala tambak
itu. Setelah dilihat ole Hanuman akan ikan itu membinasakan tambak itu, maka
Hanuman pun turunlah ke dalam laut. Maka diharunya dengan ekornya, maka air
laut itu semuanya menjadi lumpur. Adapun segala ikan yang di dalam laut
semuanya habis mabuk seperti dituba. Maka segala ikan itu disuruhnya angkat ole
Hanuman kepada segala rakyat kera ikan itu serta disuruhnya makan. Maka
Hanuman pun melihat seekor ketam terlalu besar seperti pulau Langkapuri. Maka
ketam itu datang kepada tambak. Maka tambak itu maka disapitnya, maka tambak
itu pun terpunggal dua. Maka Hanuman pun heranlah hatinya maka lalu dihulurnya
ekornya ke dalam laut. Maka segera disapit ole ketam. Setelah tahulah rasanya suda
disapitnya ole ketam itu, maka Hanuman dilontarkannya ketam itu ke darat, sekira-
kira tiga hari perjalanan jaunya tengah hutan. Maka hutan yang di tengah ketam itu
jadilah empat persegi padang itu. Maka ole segala balatentara kera lalu dibununya
ketam itu serta dimakannya, tiada juga habis. Maka tambak itu diperbaikinya ole
Nila Anggada.
Maka Sri Rama pun berbicaralah hendak berangkat pergi menyerang negeri
185 Langkapuri itu. Maka berdatang sembah Patih Jambuan, “Ya Tuanku,/ hambamu
lihat di dalam nujum jangan berangkat karena Maharaja Rawana lagi mendirikan
suatu istana dan mendirikan pemberi Batara Brahma yaitu payung tujuh belas dan
tinggi sampai keindraan. Maka apabila Maharaja Rawana melihat kelengkapan
Yang Dipertuan serta mendirikan payung itu, maka segeralah panah ole tuanku
yang bercahaya-cahaya seperti matahari itu.” Maka Sri Rama pun terlalu sukacita
seraya bertitah, “Jika demikian aku binasakan kota Batara Brahma, maka ialah
gusar akan aku.” Maka kata Patih Jambuan, “Tiada mengapa itu [di] karena tuanku
itu daripada cucu Mahabisnu maka Batara Brahma itu tiadalah dapat melalui titah
Mahabisnu.” Setelah didengarnya itu, maka Sri Rama pun diamlah.
Setelah keesokan harinya daripada pagi-pagi hari, maka Sri Rama pun
berangkatlah. Maka pada tatkala itu Hanumanlah menjadi kenaikannya Sri Rama,
rupanya seperti singa, besarnya seperti gunung itu dan kepalanya seribu dan
tangannya dua ribu. Maka segala tangannya yang dua ribu itu lengkap dengan
pegangannya: maka tangannya yang empat puluh itu semuanya memegang payung,
dan yang empat puluh itu memegang keris dan yang gandi, dan empat puluh itu
memegang pedang, dan yang empat puluh itu memegang tombak, dan yang empat
puluh itu memegang panah, dan yang empat puluh itu perisai, dan tangannya
Hanuman yang seratus itu memegang pemalu segala bunyi-bunyian pelbagai
ragam. Setelah suda Sri Rama naik ke atas Hanuman, maka Sri Rama pun
berjalanlah dengan Maharaja Sugriwa dan Nila Anggada dan Nilabati dan anak
Maharaja Balia. Maka Laksamana berjalan di belakang menjadi akan penutup
segala baris raja-raja sekalian.
Maka sampailah segala balatentaranya Sri Rama itu datang ke pantai negeri
Langkapuri. Maka tatkala itu ada Maharaja Rawana duduk di atas maligainya yang
baharu didirikan dengan payungnya. Maka adalah Maharaja Bibisanam

138
– HIKAYAT SRI RAMA –

menunjukkan kepada Maharaja Rawana akan segala raja-raja dan hulubalang Sri
Rama itu. Maka tatkala Maharaja Rawana melihat akan Maharaja Sri Rama lewat
itu, maka ia pun tercengang-cengang dan dahsat lakunya melihat akan kelengkapan
kekayaan Sri Rama itu. Maka Sri Rama pun berjalanlah kepada tempat berbuat kota
dan mendirikan istana itu.
Sebermula maka Maharaja Rawana pun duduklah dihadap ole segala raja-raja
akan musawarat daripada peri akan berperang dengan Sri Rama itu. Maka adalah
seorang menteri tua bernama Bibisanam, maka ia/ berdatang sembah, “Ya Tuanku
186 Sah ‘Alam, sembah patik ke bawa duli Yang Dipertuan. Patik mohonkan ampun
dan karunianya karena pada bicara hambamu, baiklah juga Sita Dewi ini kita
kembalikan kepada Sri Rama supaya ia menjadi hulubalang johan pahlawan di
bawa istana Yang Dipertuan dan masyhurlah tuanku dan jikalau tiada Syah ’Alam
kembalikan istrinya Sri Rama itu, niscaya jatulah nama Yang Dipertuan kepada
segala ‘alam Dunia ini disebut orang mengambil istrinya orang sampai kepada hari
kemudian disebut orang. Demikianlah sembah hambamu ya Tuanku Syah ‘Alam.”
Setelah didengar ole Maharaja Rawana akan sembahnya Raja Bibisanam itu
demikian, maka Maharaja Rawana pun terlalu marah tiadalah berketahuan
mukanya merah padam warna rupanya seperti sang singa akan menerkam lakunya.
Maka disuruhnya keluar. Setelah demikian, maka Raja Bibisanam pun keluarlah
daripada istana Maharaja Rawana dengan kemaluannya lalu ia pulang ke rumahnya.
Setelah malamlah, maka dipanggilnya istrinya dan anaknya dua orang laki-laki.
Maka Maharaja Bibisanam dengan istrinya dan anaknya kedua pun pergilah
membawa dirinya kepada Sri Rama. Setelah Sri Rama mendengar akan Bibisanam
itu datang, maka ia pun keluarlah mendapatkan dia. Maka Raja Bibisanam pun
meniharap pada kaki Sri Rama. Maka segeralah dipeluk dan diciumnya ole Sri
Rama. Maka Sri Rama pun bertanya, “Mengapatah tuan meninggalkan Maharaja
Rawana itu?” Maka dihikayatkannya ole Raja Bibisanam segala hal-ihwalnya yang
seperti sembahnya kepada Raja Rawana, semuanya dipersembahkannya kepada Sri
Rama maka seraya pun terlalu sukacita. Maka Maharaja Bibisanam pun duduklah
bersama-sama dwngan Sri Rama dwngan sukacitanya dengan anak istrinya.
Alkisah maka tersebutlah perkataan Mahara(ja) Rawana. Maka anaknya
Indrajat pun berdatang sembah, “Ya Tuanku Syah ‘Alam. Jikalau ada karunia akan
patik, adapun akan Sri Rama itu baik Syah ‘Alam kembalikan istrinya yang
bernama Sita Dewi itu supaya akan termasyhur nama Yang Dipertuan.” Maka
Maharaja Rawana mendengarkan semba Indrajat itu, maka baginda pun berdiam
dirinya. Setelah keesok(an) harinya, maka Raja Rawana pun menyuruh sepuluh
orang hulubalangnya membawa seratus laksa rakyat yang memegang senjata akan
melihat Sri Rama. Maka ia pun berjalanlah. Setelah sampai mereka itu pada tempat
Sri Rama itu, maka Sri Rama dan Laksamana pun duduk kepada suatu tempat akan/
187 melihat hulubalang sepuluh orang itu betapa akan pertemuannya. Adapun Hanuman
dan Nila Anggada itu setelah bertemu dengan hulubalang yang datang itu, maka ia
pun berperanglah terlalu ‘aẓimat bunyinya segala rasaksa yang seratus laksa itu.
Maka ditangkapnya ole Hanuman itu akan hulubalang yang empat orang itu: dua
orang ditangkapnya dengan kakinya dan dua orang ditangkapnya dengan tangannya
kiri kanan. Maka [maka] Nilabati dan Nila Anggada pun menangkap hulubalang

139
– HIKAYAT SRI RAMA –

rasaksa itu empat orang dan Anggada Mahabiru dan Tulakila dan Karang Toila dan
Karang Berang pun menangkap yang dua orang hulubalang rasaksa itu. Maka
(rakyat) Raja Rawana yang seratus laksa itu pun berperanglah dengan hulubalang
Sri Rama yang delapan orang itu. Maka ditangkap ole Hanuman segala raksasa itu.
Maka segala rakyat raksasa itu pun habis dibununya, seorang tiada tinggal.
Setelah Maharaja Rawana mendengar warta itu, maka ia pun menyuruh
memanggil Kumbakarna. Maka Kumbakarna pun lagi tidur serta diguruslah seperti
tagar suaranya bergurus itu, tiadalah berputusan keluar masuk nafas. Maka beratus
orang yang datang membangunkan dia, tiada juga tiada ia kabarkan dirinya itu.
Bergerak pun tiada. Setelah demikian, maka orang dayang-dayang pun masuk ke
dalam lubang hidungnya Kumbakarna, maka dicabutnya bulu hidungnya itu. Maka
Kumbakarna berasin, maka keempat dayang-dayang itu pun berhambalanglah
keluar dari dalam lubang hidungnya itu. Maka bintara itu pun membantut bulu
kakinya, maka Kumbakarna pun terkejut lalu bangun daripada tidurnya serta
dibawanya bintara itu mengadap kepada Maharaja Rawana. Maka titah Maharaja
Rawana, “Sekarang apa bicaramu karena Sri Rama telah datang menyerang kita?”
Maka sembah Kumbakarna, “Ya Tuanku, sekarang adapun Sri Rama itu bukannya
barang-barang orang seperti ia membunu Janggin dan membunu Agigandi dan
membunu ular naga dan menghukumkan Gagak Sura seperti ia membunu Maharaja
Balia itu. Maka pada bicara patik itu, baiklah juga akan istri Sri Rama itu pun
kembalikanlah supaya termasyhur nama tuanku disebut orang itu.” Maka Maharaja
Rawana pun terlalu dukacita dan murkanya serta ia menyuruh mengimpunkan
segala rakyatnya. Maka berangkatlah ia berperang dengan Sri Rama itu.
Setelah bertemu, maka jadilah berperang maka segala bunyi-bunyian dan
tempik segala hulubalang kedua pihak itu seperti langit akan/ runtuh rupanya.
188 Setelah suda dua hari berperang, maka banyaklah hulubalang kedua pihak itu pun
matilah. Maka tiadalah yang teralah itu serta banyak hulubalang Maharaja Rawana
pun matilah.
Setelah keesokkan harinya, maka titah Maharaja Rawana kepada Kumbakarna,
“Jikalau engkau membunu Sri Rama itu bahwa kerajaanku yang sebelah Dunia ini
aku berikan kepada engkau.” Maka Kumbakarna pun bermohonlah serta berjalan
dengan hulubalang sepuluh orang. Setelah sampai ke tengah padang itu, maka ia
pun berseru-seru memanggil Sri Rama, katanya, “Hai Sri Rama! Jikalau engkau
gagah berani, marilah engkau berperang dengan aku di tengah medan (pe)perangan!
Engkau berlawan dengan aku supaya engkau merasa bekas tanganku! Marilah
engkau persembahkan istrimu ke bawa duli Maharaja Rawana dan pohonkan
ampun ke bawa duli Syah Alam.” Maka Sri Rama pun terlalu amat marahnya, maka
lalu diambilnya anak pananya lalu ia berjalan ke tengah padang peperangan seorang
dirinya. Setelah hampir kepada Kumbakarna, maka Kumbakarna pun segeralah
mengangkat cokmarnya ke atas kepalanya lalu ia berlari-lari datang ke hadapan Sri
Rama hendak memalu dia. Maka segeralah dipanahnya ole Sri Rama akan
Kumbakarna, maka kenalah lehernya Kumbakarna itu lalu putus terhampaling
kepalanya di tanah, maka badannya pun rubuhlah, seperti daun kayu yang maha
besar. Maka Sri Rama berkata pada segala hulubalangnya Kumbakarna itu,
“Bawalah cokmar Kumbakarna itu olemu pulang kepada Maharaja Rawana.” Maka
hulubalang yang sepuluh itu pun mara lalu mengikut perang dan mengangkat

140
– HIKAYAT SRI RAMA –

cokmarnya itu. Maka tatkala ia berdiri berbanjar, maka dipanahnya ole Sri Rama
dengan sekali pana juga habis semuanya terpunggal lehernya. Sepuluh orang itu
gugur ke bumi. Maka Sri Rama pun mengangkat cokmarnya Kumbakarna itu lalu
dilontarkannya kepada segala rakyatnya Raja Rawana. Maka rakyat itu beribu-ribu
yang mati ditempuh cokmar itu. Setelah demikian, maka kepala Kumbakarna itu
pun dilontarkannya ole Sri Rama kepada segala rakyat Maharaja Rawana. Maka
rakyat itu pun beribu-ribu yang mati. Maka Sri Rama pun kembalilah kepada
tempatnya. Maka Maharaja Rawana pun kembalilah ke istananya dengan
dukacitanya sebab sudaranya mati itu.
Setelah suda lepas daripada empat puluh hari itu, maka Sri Rama pun
menyuruhkan Hanuman pergi membawa surat kepada Maharaja Rawana. Demikian
bunyinya, “Jikalau Maharaja Rawana hendak berkasih-kasihan dengan hamba,
baiklah kembalilah istri hamba. Putri Sita Dewi kembalikan kepada hamba. Jikalau
maharaja itu tiada mau mengembali/ kan istri hamba, maka datanglah hamba
189 membinasakan nyawa orang beribu-ribu laqsa itu.” Maka Hanuman pun berjalanlah
serta mengadap kepada Maharaja Rawana lagi mengu(n)juqkan surat itu. Maka
titah Maharaja Rawana, “Hai, Hanuman, jika Sita Dewi itu hendaq aku kembalikan
kepada Sri Rama itu, niscaya dari mulanya datang juga Sri Rama itu aku hantarkan
kepadanya itu. Sekarang segala hulubalangku yang dua puluh enam itu suda mati
dan anaqku Kumbakarna pun suda mati dan segala rakyatku yang seratus laqsa pun
suda mati. Adapun Laksmana suda memulai pekerjaan ini karena ia akan hendaq
sudaraku Surapandaki, maka anaqnya yang bernama Darasingaitu pun dibununya
dan sudarakuitu pun dirumpungkannya hidung[an](nya) dan kupingnya itu. Maka
karena itulah, hatiku pun terlalu sangat ngeri akan dia itu tiadalah menderita
rasanya. Jika Sri Rama hendaqkan istrinya kembali itu, maka hendaqlah Sri Rama
menghatarkan sudaranya Laksmana kepada aku dengan ikatnya.” Maka Hanuman
pun menyaritakan hal mulanya Laksmana membunu anaknya Surapandaki itu, tiada
dengan sahajanya, lagipun akan sebab Surapandaki itu dari mulanya semuanya
dikatakannya ole Hanuman kepada Maharaja Rawana. Setelah Maharaja Rawana
mendengar kata Hanuman itu, maka ia pun terlalu mara, seraya bertitah, “Katakan
kepada Sri Rama: adapun istrinya itu tiadalah aku kembalikan kepadanya. Mana
kehendaq hatinya Sri Rama adalah aku. Hai, Hanuman, segeralah Engkau kembali
sampaikan kataku ini kepada Sri Rama.”
Maka Hanuman pun berdirilah tiada bermohon lagi kepada Raja Rawana seraya
pulang ia mengadap Sri Rama itu dan segala perkataan Maharaja Rawana semuanya
pun disampaikannya kepadanya. Maka kata Sri Rama, “Baiklah Rawana hendaq
menunjuqkan gaganya kepada aku. Hai, Hanuman, di sinilah kita menantikan
Maharaja Rawana.
Hatta seketika maka Raja Rawana menitahkan empat orangnya, “Menteri pergi
engkau ambil anakda Bilabisa di dalam gedung batu itu.” Maka menteri itu pun
pergilah serta dikeluarkannya dari dalam itu dengan tempatnya gedung itu. Setelah
datang anaknya ke hadapan Maharaja Rawana, maka segeralah dipeluknya dan
diciumnya anaknya itu, seraya katanya, “Hai, Anakku dan buah hatiku. Jikalau
dengan kiranya engkau dianugrahkan Dewata Mulia Raya serupa ini engkau
dapatlah akan gantiku kerajaan di dalam negeri Langkapuri ini. Adapun Maharaja
Bibisanam segeralah pergi/ kepada Sri Rama datang, ia berlari-lari seraya

141
– HIKAYAT SRI RAMA –

190 sembahnya, “Ya Tuanku Sengalam bahwa Maharaja Rawana itu ada anaknya
seorang laki-laki bernama Bilabisa, barang yang dipandangnya itu semuanya habis
hangus menjadi habu. Maka ditempanya emas seperti batulah kecil, maka itu pun
ditutupkannya ole Maharaja Rawana kepada mata anaknya itu. Tetapi, akan
sekarang hamba lihat di dalam nujum suda dikeluarkannya ole Maharaja Rawana
dari dalam gedung itu dan esoklah ia dibawanya akan ke tengah padang hendak
diadunya dan kepada segala rakyat Yang Dipertuan. Barangkali dibukakannya
tutup matanya itu, niscaya segala yang dilihatnya itu semuanya hangus menjadi
habu.” Maka seketika itu juga disuruhnya ole Sri Rama berbuat cermin besar
sependiri tingginya. Maka disuruhnya upam ole Sri Rama, maka cermin itu pun
cuacalah terang dan cermin itu adapun cermin itu diberikan kepada Hanuman itu
dengan pengajar Bibisanam juga. Setelah hari siang, maka Maharaja Rawana pun
mengimpunkan segala anaknya dan segala keluarganya dan segala raja-raja dan
perdana menteri ceteria dan segala sida-sida, bintara, dan segala hulubalangnya, dan
rakyatnya sekalian hina dan dina.
Setelah sudalah berhimpun, maka Maharaja Rawana pun keluarlah dari dalam
kotanya dengan segala bunyi-bunyian terlalu ‘aẓimat bunyinya dengan tempik
soraknya terlalu gagak gempita, seperti akan bergerak pula Langkapuri itu. Maka
Bilabisa didirikannya dan dihadapkannya ole Maharaja Rawana kepada Sri Rama.
Maka datanglah menteri dua orang akan membukakan tutup matanya Bilabisa itu.
Maka cermin besar itu disorongkan Hanuman dengan ekornya kepada muka
Bilabisa. Maka terpa(n)danglah kepada rupanya sendiri, kelihatan di dalam cermin
itu, maka Bilabisa itu pun menjadi habu sendirinya sebab melihat rupanya sendiri
di dalam cermin itu. Adapun menteri kedua yang membuka matanya Bilabisa itu,
keduanya ditangkap ole Hanuman dengan ekornya. Maka lalu dipatahkan lehernya
hulubalang kedua itu, maka lalu dilontarkannya kepala menteri kedua itu kepada
kaum Maharaja Rawana. Maka kenalah batang payung Maharaja Rawana, maka
kedua itu batang payung itu pun patahlah. Maka Maharaja Rawana pun heran
tercengang-cengang serta berdiam dirinya. Seketika maka ia pun terlalu sangat
marahnya akan Raja Bibisanam daripada sebab tiada daya upayanya lagi rasanya./
191 Kemudian, maka Patih Jambuan berperang dengan Prastama serta menangkap
dia. Maka Maharaja Rawana pun menyuruh timpu pada segala rakyatnya maka
dilihatnya ole Sri Rama Patih Jambuan ditimpu itu. Maka Sri Rama pun menyuruh
segala rakyat kera akan menolong Patih Jambuan.
Hatta arkian, maka prastama itu setelah suda diikatnya maka lalu dibawanya di
hadapan Sri Rama, maka Sri Rama pun memuji Patih Jambuan mengambil hatinya.
Maka Prastama pun disuruhnya penjarakan. Setelah demikian, maka Hanuman pun
segera pergi ke tengah padang lalu dipanjangkan tangannya lalu ditangkapnya
rakyat raksasa dengan sekali tangkap dua ratus raksasa yang kena, maka
sekaliannya rakyat Maharaja Rawana itu pun habis pecah lalu lari cerai-berai
tiadalah berketahuan lagi. Maka Hanuman pun persembahkan dua ratus raksasa itu
kepada Sri Rama. Maka hari pun malamlah.
Setelah keesokkan harinya, maka baginda Maharaja Rawana beserta menteri-
menteri membicarakan supaya dikembalikannya Putri Sita Dewi itu kepada Sri
Rama. Maka Maharaja Rawana merah padam mukanya tiadalah berketahuan
rupanya seperti api bernyala-nyala lakunya, seraya katanya, “Sekarang aku hendak

142
– HIKAYAT SRI RAMA –

menyuruh mencuri Sri Rama karena apa dia aku hendak membunu Sri Rama,
jikalau dipanah tiada ia akan luka, jikalau ditikam dengan senjata tiada ia luka,
jikalau dibakar tiada ia hangus, jika dibuangkan ke dalam laut tiada ia mati.” Maka
anak Raja Rawana yang bernama Bitaramarima menyamarkan dirinya seperti rupa
Hanuman hendak mencuri Sri Rama tidur itu. Maka hulubalang yang berkawal
istana Sri Rama itu melihat dia serta disangkanya Hanuman itu juga. Karena hari
suda siang, maka ia pun mengantuk sangat. Maka diambilnya ole Bitaramarima
akan obat maka disapukannya akan muka orang yang berkawal itu, maka ia pun
tiadalah ia kabarkan dirinya. Maka Bitaramarima pun masuklah ke istana Sri Rama
maka didapatinya Sri Rama lagi tidur. Maka diangkatnya dengan gentanya keluar,
maka lalu dilompatkannya ke udara lalu datang ke istananya serta ditaruhnya di
dalam rumanya berhala Sidami namanya.
Hatta arkian maka Hanuman pun datanglah mengadap Sri Rama itu. Maka ia
pun terlalu mara karena melihat segala orang berkawal itu tidur. Maka Hanuman
pun berdebar-debarlah hatinya, maka lalu dibangunkannya serta mendengar
habarnya
192 mengatakan “Tuanku sendiri tadi masuk/ ke dalam istana.” Maka Hanuman pun
masuk ke dalam istana, maka dilihatnya Sri Rama pun tiada dilihatnya Laksamana
dan Maharaja Bibisanam juga yang ada. Maka dibangunkannya serta haru-harulah
di dalam istana Sri Rama. Maka Laksamana pun menangis seperti orang kematian.
Maka kata Hanuman, “Demi Dewata Mulia Raya jika tiada aku (tiada) bertemu
dengan tuanku Sri Rama, tiadalah aku kembali.” Lalu ia melompat keindraan serta
turun ke dalam bumi akan mencari tuannya Sri Rama itu tiadalah juga bertemu
dengan dia. Maka Hanuman pun bertemu dengan seorang perempuan mengambil
air dengan buyung emas. Maka Hanuman pun bertanya kepada perempuan itu,
“Hai, Tuan putri, mengapa tuan putri mengambil air ini?” Maka kata tuan putri,
“Sebab hamba mengambil air ini akan memandikan anak hamba. adapun anak
hamba itu bernama Tangrani karena ia hendak dibunu ole Maharaja Bitaramarima
bersama-sama dengan Sri Rama karena dilihat di dalam nujum bahwa anak hamba
akan menjadi raja di dalam negeri ini.” Maka kata Hanuman, “Hai, Tuan putri,
dapatkah tuan putri membawa hamba di dalam buyung ini?” Maka kata ibu Rani,
“Bagaimana tuan hamba membawa masuk ke dalam buyung ini?” Maka kata
Hanuman, “Tuan putri bercakap juga. Adapun yang besar itu bole kecil.” Maka kata
ibu Rani, “Jikalau dapat tuan hamba masuk ke dalam buyung ini sekali pun karena
segala yang masuk itu ditimbang dan barang yang keluar dari kota besi semuanya
ditimbang ole Hanuman Tugangga, tetapi tuan katakanlah nama tuan dahulu.”
Maka kata Hanuman, “Hambalah hulubalang Sri Rama. Adapun nama hamba
Hanuman.” Maka kata ibu Rani, “Jika tuan hamba berani dapat segeranya tuan
hamba merajakan anak hamba supaya dapat hamba membawa tuan hamba.” Maka
kata Hanuman, “Baiklah dan hambalah yang merajakan anak tuan hamba itu.”
Maka Hanuman pun menjadikan dirinya seekor cacak lalu masuk ke dalam buyung,
maka lalu dibawanya ole ibu Rani masuk ke dalam kota besi. Setelah dilihat ole
Hanuman Tugangga, katanya, “Hai, Ibu Rani, marilah dahulu aku timbang buyung
itu.” Maka lalu ditimbangnya, maka teraju itu pun patah maka buyung itu pun jatuh
ke tanah. Maka Hanuman pun terpelanting keluar dari dalam buyung itu, lalu terdiri
di tanah. Adapun besarnya seperti dahulu juga. Maka kata Hanuman Tugangga,
“Siyapa engkau ini?” Maka kata Hanuman,/ “Janganlah banyak katamu. Apa

143
– HIKAYAT SRI RAMA –

193 kehendak hatimu aku adalah.” Maka Hanuman pun memandang ke kanan dan ke
kiri dilihat satu senjata pun tiada, maka lalu dirubuhkannya bangun-bangunan kota
besi. Maka lalu dipalukannya kepada Hanuman Tugangga, maka ia pun tiada
diperasakannya. Maka dengan demikian, maka habislah satu penjuru kota besi
bangun-bangunan itu dirubuhkan ole Hanuman.
Kemudian daripada itu, maka Hanuman Tugangga keduanya pun bertangkap
dan bergigitan. Maka suatu pun tiada beralahan. Setelah berapa lamanya
bertangkap-tangkapan itu, samalah keduanya. Maka Hanuman pun pikir di dalam
hatinya, ‘Karena ia tiadalah berlawan di dalam Dunia ini, maka hulubalang ini
dijadikan ole Dewata Mulia Raya seperti aku ini dan siyapa gerangan ia ini dan lagi
serupa dengan aku dan gagahnya pun sama dengan aku.’ Maka kata Hanuman,
“Hai, Pahlawan, berkata benarlah engkau. Siapa kamu ini dan darimana engkau dan
daripada asal apa engkau ini?” Maka kata Hanuman Tugangga, “Hamba ini anak
Hanuman dan nama hamba ini Hanuman Tugangga.” Maka kata Hanuman,
“Adakah Hanuman itu beranak?” Maka kata Hanuman Tugangga, “Adapun tatkala
Sri Hanuman itu disuruhkan ole Sri Rama pergi melihati Sita Dewi ke Langkapuri
daripada ghalib Hanuman tatkala ia melompat dari Langkurkatin datang ke
Langkapuri, maka ia pun anzallah maninya, maka ditelan ole raja ikan yang
bernama Jandan. Maka raja ikan itu pun buntinglah lalu beranak. Setelah berapa
lamanya, maka ia pun pergilah kepada suatu batu besar di tengah laut. Maka ia pun
beranakkan hamba. Maka tatkala itu, maka terdengarlah kepada Gangga Mahasura,
maka datanglah ia kepada tempat hamba itu, maka diambilnya hamba disuruhnya
peliharakan hamba dengan sepertinya. Maka lalu dipersembahkan oranglah hamba
kepada Maharaja Bitaramarima, maka negeri ini pun diserahkannya kepada hamba
sekalian di dalam hukum hambalah inilah. Maka hamba tiada mendapatkan
maharaja Sri Rama dan bapa hamba Hanuman ole karena kasi Mmaharaja
Bitaramarima terlalu banyak akan hamba.” Setelah itu maka kata Sri Hanuman
(berkata,) “Sungguhnyalah engkau ini anakku.” Arkian maka Hanuman Tugangga
pun menyembah kaki bapanya Hanuman. Setelah demikian, maka Hanuman pun
memeluk mencium akan anaknya, seraya katanya, “Aku datang kemari ini mencari
Bitaramarima ini karena ia melarikan Sri Rama ada ketika waktu fajar tadi.”/ Maka
194 kata anaknya, “Nantilah di sini, patik pergi mengambil Sri Rama.” Maka kata
Hanuman, “Janganlah anakku pergi karena bangsa kita tiada terdurhaka,” maka
kata Sri Hanuman, “Tinggallah anakku tunggui pintu ini, aku masuk.” Maka
Hanuman pun masuklah ke dalam pagar istana Bitaramarima itu. Maka dilihatnya
akan Sri Rama itu lagi tidur di atas gentanya itu, maka ole Hanuman ditangkapnya
ole segala raksasa itu maka dipoleskannya lehernya dan mukanya terpelanting ke
belakang, maka yang lain itu pun habis lari kepada Bitaramarima. Maka diambilnya
[di] genta Sri Rama dibawanya keluar. Setelah suda, maka (di)dengar ole
Bitaramarima Hanuman datang mengambil Sri Rama. Maka segeralah ia keluar
mengikut Hanuman suaranya seperti ribut. Setelah ia hampir kepada Hanuman
maka berperanglah ia kepada Hanuman, maka dilontarkannya ole Hanuman
keindraan serta jatuh ke bumi lalu berdiri. Maka berapa hulubalang yang gagah
datang menyerang Hanuman itu, maka tiadalah dapat mengalahkan dia karena
semuanya dilontarkannya keindraan. Maka kata Hanuman, “Hai, Anakku,
Hanuman Tugangga, tinggal engkau selagi ada Bitaramarima. Jangan anakku mau
menjadi raja kepadanya.” Maka Hanuman pun membawa genta Sri Rama.

144
– HIKAYAT SRI RAMA –

Setelah datang, maka dilihatnya ole Laksamana maka dibawanya naik ke


istana, maka lalu diambil ole Maharaja Bibisanam air mawar, maka lalu
dimantrainya dan disapukannya kepada muka Sri Rama karena tatkala diambil ole
Bitaramarima itu dikenakan suatu obat kepada muka Sri Rama itu. Setelah suda
disapunya ole Maharaja Bibisanam muka Sri Rama itu, maka ia pun terkejut lalu
bangun serta segala isi istana sekalian terlalu sukacita. Maka sekaliannya pun
datang menyembah kaki Sri Rama. Maka pada malam itu bersuka-sukaan makan
minum terlalu ramai.
Setelah hari siang maka berbunyilah gendang perang daripada pihak Maharaja
Rawana, maka Sri Rama pun keluarlah berperang seorang dirinya melawan
Bitaramarima itu dengan segala rakyatnya. Maka lalu dipanahnya serta kenalah
lehernya lalu putus maka kepalanya terpelanting dari atas ratanya. Ada punya anak
panahnya lagi banyak tinggal di atas ratanya, maka lalu diambilnya ole Sri Rama,
lalu dipanahkannya kepada musuhnya yang mati dibununya dengan berapa laksa
banyaknya. Maka Hanuman Tugangga dan segala raja yang takluk kepada/
195 Bitaramarima itu datang menaklukkan dirinya kepada Sri Rama. Maka Sri Rama
pun terlalu suka melihat rupa Hanuman Tugangga itu serupa sekali dengan
Hanuman. Maka lalu disapu-sapunya ole Sri Rama kepala Hanuman Tugangga dan
dinugrahinya tali leher yang dipakai ole Sri Rama itu delapan bagai warnanya
manikam itu. Adapun ekornya Hanuman Tugangga bertimbun-timbun dengan
kemala dan rupanya puti seperti perak dan mukanya seperti manusia sehingga
berekor dan beroma juga.
Sebermula maka tatkala itu Maharaja Rawana duduk dihadap ole segala
balatentaranya, maka titah Maharaja Rawana, “Apa bicara kamu sekalian? Siapa
yang dapat melawan Sri Rama itu?” Maka seorang pun tiadalah yang menyahut.
Maka sembah perdana menteri, “Ya, Tuanku. Siapatah lagi yang cakap melawan
Sri Rama itu karena paduka adinda itu suda mati, dan paduka anakda ketujuh itu
suda mati, dan hulubalang tuanku empat puluh itu suda mati, dan rakyat tuanku
tinggal. Sebagai adapun di dalam itu pun, siapa yang dititahhkan duli Yang
Dipertuan hanyalah lagi yang dapat melawan Sri Rama paduka anakda raja
keindraan juga lagi ada. Baginda itu seperti tahu dia yang terpaling dan jika anakda
itu tiada niscaya kemala negeri Langkapuri dan binasalah. Ya, Tuanku Sengalam,
patik mohonkan ampun ke bawa duli Yang Dipertuan, jikalau dapat baiklah Sita
Dewi itu dikembalikan.” Setelah Maharaja Rawana mendengar sembah perdana
menteri itu, maka Maharaja Rawana pun terlalu marah seperti api bernyala-nyala
dan seperti singa hendak menerkam lakunya. Maka Narajid pun berdatang pula
sembah, “Ya, Tuanku, patik mohonkan ampun dan karunianya. Adapun arti kata itu
karena seorang perempuan di dalam alam ini jadi haru-haralah dan adinda dan
anakda pun karunianyalah maka mati.” Maka titah Maharaja Rawana, “Jikalau
demikian jadi sebab sudaraku mati dan anakku mati, jika demikian, baiklah Sita
Dewi itu dibunu.” Maka sembah Narajid, “Ya, Tuanku Sengalam, apatah nama
Yang Dipertuan karena sekarang seorang perempuan dilarikan daripada lakinya
telah dua belas tahun lamanya sekarang lakinya datang menyerang adinda dan
anakda dan segala hulubalang sekaliannya itu habis dibununya dengan Sri Rama
tiadalah terlawan ole kita, maka perempuan hendak dibununya. Apa pula namanya

145
– HIKAYAT SRI RAMA –

196 Yang Dipertuan pada segala ‘alam/ terlalu ‘aib.” Maka titah Raja Rawana kepada
Narajid, “Ada suatu tapaku yang aku perole daripada rata itulah yang aku harap jika
dipuja pertapaanku itu. Jika setelah sampai pujanya, jangankan sudaraku dan
anakku mati, jikalau ular yang dipanah ole Sri Rama itu sekalipun hidup.” Maka
kata Narajid, “Jika demikian, apa bicara kita supaya Sri Rama berhenti daripada
perang ini?” Maka titah Maharaja Rawana, “Hai, Anakku, kita perbuat seorang
perempuan seperti Sita Dewi rupanya itu, maka bunu olemu. Barangkali terdengar
ole Sri Rama akan Sita Dewi itu telah mati niscaya masghul ia dengan
percintaannya dan tiadalah ia menganjarkan pekerjaan perang itu sediakala ia
dengan dukacitanya juga. Di dalam itu pun kita berhentilah perang, maka kita pun
segeralah memuja.” Setelah demikian titah Maharaja Rawana, maka lalu
diperbuatnya itu ole Narajid. Maka dicarinya perempuan yang baik rupanya lalu
dibununya maka dimasyhurkannya di dalam negeri itu, katanya Dewi Sita
dibununya. Adapun rahasia itu seorang pun tiada tahu.
Setelah suda diperbuatnya setahunya segala balatentaranya di dalam negeri
Langkapuri, maka segala orang Langkapuri pun dukacita serta dengan tangisnya.
Setelah suda, maka Narajid pun segeralah pergi dengan segala balatentaranya dan
segala alat senjatanya dan gajah, kuda, dan rata akan pergi memuja pada
pertapaannya itu. Adapun pada ketika itu, Hanuman pun datang menyamarkan
dirinya ke dalam kota Langkapuri karena ia hendak mendengar warta di dalam
negeri itu. Maka didengar ole Hanuman terlalu ribut bunyi tangis orang di dalam
itu mengatakan Sita Dewi itu mati dibunu ole Raja Rawana. Maka Hanuman pun
segeralah kembali dengan dukacitanya lalu ia pergi mendapatkan Sri Rama. Maka
Hanuman pun rebah di kaki Sri Rama seraya memeluk kakinya, maka dibangunkan
ole Sri Rama, seraya katanya, “Hai, (Ha)numan, apa sebabnya maka engkau
demikian? Apalah penglihatanmu dan di mana engkau lihat dan apa
pendengaranmu katalah kepada aku.” Maka kata Hanuman, “Ya, Tuanku Syah
‘Alam, sia-sialah yang diperlihatkan Yang Dipertuan karena patik dengar warta
adinda Sita Dewi setelah mati dibunu ole Raja Rawana.” Setelah didengar ole Sri
Rama kata Hanuman itu, maka Sri Rama pun pingsan tiadalah kabarkan dirinya
maka Laksamana pun datang ke sisi Sri Rama. Maka segala/ hulubalang sekalian
197 pun dengan dukacitanya mendengar warta yang demikian, maka seketika lagi maka
Maharaja Bibisanam pun datang kepada Sri Rama. Maka dilihatnya akan Sri Rama
lagi terhantar tiadalah kabarkan dirinya, maka Maharaja Bibisanam pun segeralah
mengambil air mawar lalu disapukannya ke muka Sri Rama dan seluruh tubuhnya.
Maka Sri Rama pun ingatlah akan dirinya lalu menangis. Maka kata Maharaja
Bibisanam, “Ya, Tuanku Sengalam, janganlah tuanku sangat dukacita jikalau
sungguh adinda Sita Dewi itu setelah mati karena pada hati patik tiada ia mati
melainkan pekerjaan perang ini haruslah kita kerjakan.” Maka kata Laksamana,
“Ya, Tuanku, pertama negeri Mandupuranegara kita tinggalkan, datang kita ke
tengah hutan, maka putri Sita Dewi kita dengarkan demikian pun dilarikan ole
Maharaja Rawana. Maka datang kita ke Langkapuri berperang pun karena Sita
Dewi juga. Akan sekarang wartanya Sita Dewi kita dengar demikian. Pada bicara
patik hendaklah seketika ini juga kita masuki kota Langkapuri itu, kita binasakan
yang bernama raksasa jikalau seberhama sekalipun jangan ditinggalkan. Jikalau
Rawana itu pun datang, kita selamkan ke dalam laut yang dalam itu. Jikalau ia lari
ke tujuh petalah bumi pun kita ikut ke bawa bumi. Jika ke angkasa pun kita ikut

146
– HIKAYAT SRI RAMA –

juga. Jikalau patik dititahhkan, dengan seketika ini juga patik kerjakan.” Setelah
suda Laksamana berdatang sembah demikian, maka Maharaja Sugriwa pun datang
kepada Sri Rama seperti orang bangun daripada tidurnya mengatakan mimpinya,
“Demikian ada sebuah maligai di dalamnya itu ada sebuah pelita yang terpasang,
maka patik berjalan lalu bertemu dengan Rawana. Maka lalu patik tendangkan
dadanya, maka ia jatu kepalanya di bawa. Maka paduka Sita Dewi sama-sama Yang
Dipertuan naik kE atas rata lalu menglililing kota Langkapuri. Inilah ya tuanku di
dalam mimpi patik.” Maka sembah Maharaja Bibisanam, “Ya, Tuanku, baik juga
patik itu Hanuman dititahhkan pergi melihat paduka adinda Sita Dewi.
Syahdan, belum lagi Sri Rama bertitah, maka kata Hanuman, “Ya, Tuanku,
biarlah patik pergi melihati paduka adinda Tuan Putri Sita Dewi itu.” Maka titah
Sri Rama, “Segeralah engkau pergi melihati Sita Dewi bangat-bangat engkau
kembali.” Maka Hanuman pun menyembah lalu berjalan ke kota Langkapuri.
198 Setelah demikian, maka Hanuman pun merupakan dirinya seperti/ seekor
burung, maka ia pun terbanglah kepada maligai Sita Dewi. Maka dilihatnya Sita
Dewi lagi duduk dengan dukacitanya dengan tangisnya. Maka Hanuman pun
segeralah kembali. Setelah datang ke tengah jalan, maka bertemu dengan biku dan
maharesi pergi kepada suatu tempat pertapaannya. Maka didengarnya ole Hanuman
di dalam orang banyak maka berkata-kata sama sendirinya, ‘Narajid itu disuruhkan
ole Maharaja Rawana memuja kepada pertapaannya.’ Setelah didengar ole
Hanuman kata orang itu, maka Hanuman pun segeralah kembalilah datang kepada
Sri (Rama). Maka sembah Hanuman, “Ya, Tuanku, paduka adinda Sita Dewi ada
patik lihat dengan dukacitanya.” Serta barang apa dilihatnya itu pun, dihikayatkan
ole Hanuman kepada Sri Rama itu. Maka pada ketika itu bertukarlah Sri Rama itu
duka dengan suka, seraya bertitah kepada Bibisanam akan membinasakan puja
Bitaramarima itu. Maka Laksamana pun bercakaplah dengan segala hulubalang itu
seraya bermohon lalu berjalanlah.
Setelah berapa lamanya berjalan itu, maka ia pun sampailah kepada tempat puja
itu. Maka lalu berperanglah terlalu garang itu. Maka Laksamana memana dengan
sekali pana juga beribu-ribu yang mati dan luka dan gajah, kuda pun beribu-ribu
yang mati, dan segala rata beribu-ribu yang binasa. Maka tiadalah tepermanai lagi
matinya raksasa itu terlalu banyak dari sebelah Laksamana memana dan Hanuman
memalu. Adapun tatkala itu perang di tepi laut maka darah itu pun mengalir seperti
air sungai. Adapun bangkai raksasa dan bangkai gajah kuda berhanyut-hanyutan ke
laut, maka air laut itu pun merah, seperti darah. Adapun Narajid pun tiada kabarkan
dirinya, ia lagi memuja. Adapun maka Maharaja Biruya dan hulubalang Bikrama
bersuara dari luar, “Bagaimana tempat memuja itu ya tuanku? Apa lagi dipuja ole
Yang Dipertuan karena rakyat tuanku lagi tiada tepermanai matinya? Dan jikalau
tiada tuanku segera keluar, niscaya habis mati segala rakyat tuanku.” Adapun kota
Langkapuri itu dimasukinya ole Laksamana, maka Narajid pun mara lalu bertitah,
“Janganlah engkau berdatang sembah lagi. Jikalau habis sekalian rakyatku masakan
tiada hidup lagi, tiada aku mau membantatkan puja tuanku ini. Setelah suda sampai
pujaku ini, niscaya segala yang mati itu pun hidup.”
Arkian maka Hanuman pun menyuruh anaknya Hanuman Tugangga
mengambil batu yang besar-besar/ maka ia membongkar bukit, lalu dilontarkannya

147
– HIKAYAT SRI RAMA –

199 kepada tempat Narajid memuja itu. Maka pada empat penjuru itu ada empat ribu
brahmana yang menyucurkan minyak sapi. Maka pelontar itu seperti hujan yang
lebat datangnya, maka segala brahmana itu pun tiadalah menderita lagi, sekaliannya
habis lari daripada tempatnya memuja itu. Maka puji-pujiannya pun bantatlah,
tiadalah ia sampai seperti kehendaknya itu. Maka Narajid pun marah. Maka
Laksamana pun memana dihujaninya dengan panahnya pada tempat Narajid
memuja itu, maka api di dalam tempat memuja itu pun padamlah. Maka asap api
itu pun berhamburanlah tiadalah berketahuan lagi kalam kabut datang keindraan
daripada kena lontar daripada bukit itu. Maka Narajid pun keluarlah dengan
marahnya lalu berperang. Maka tiadalah ia mendarita lagi seraya ia naiklah
keindraan lalu ia mendapatkan istrinya yang bernama Putri Kemala Dewi serta
dipeluknya dan ciumnya, katanya, “Adinda nyawa kakanda, dan cahaya mata
kakanda, dan buah hati kakanda, tinggallah tuan baik-baik. Adapun kakanda pergi
ini tiadalah kembali lagi.” Maka istrinya pun menangis maka ratap segala bidadari
pun seperti kumbang menyari kedengaran ke dalam Dunia. Maka Narajid pun
mengambil air mawar lalu disapunya kepada muka istrinya itu, maka katanya, “Ayo
ya adinda, bangunlah cahaya mata kakanda. Marilah kita bergurau dan bersendu
dengan kakanda karena pada hari ini kakanda menyudahkan kasi.” Maka Putri
Kemala Dewi pun terkejut lalu bangun sambil ia berkata, “Ayo ya kakanda jikalau
kakanda mati, beta turut mati, apatah gunanya hidup.” Maka kata Narajid, “Marilah
adinda tuanku kita pergi mandi bersama-sama dengan kakanda karena sekarang
inilah pertemuan kakanda akan adinda.” Maka tuan putri pun melangiri suaminya,
maka Narajid pun melangiri istrinya. Maka mandilah bersama-sama maka bidadari
segala pun melampaui wali kuning. Setelah suda mandi, maka baginda pun bersalin
pakaian keduanya memakai bau-bauan yang indah-indah dan perhiasan seperti
orang hendak mempelai. Maka Narajid pun duduklah di atas singgasana yang
bertatahkan ratna mutu manikam yang bercahaya-cahaya gilang-gemilang rupanya
terlalu elok seraya memangku istrinya dihadap ole segala bidadari. Adapun rupanya
Tuan Putri Kemala Dewi itu terlalu elok rupanya dari rupa yang keindaraan
sekaliannya itu. Maka nasi persantapan pun/ maka tiadalah juga ia tertelan ole Putri
200 Kemala Dewi akan nasi itu. Maka kata Narajid, “Nyawaku dan buah hatiku, pada
hari inilah kakanda menyuapi tuan, dan memandikan tuan, dan meriba tuan, dan
mendukung tuan, santaplah adinda.” Setelah Putri Kemala Dewi mendengar kata
suaminya itu, maka ia pun rabah, pingsan pula. Maka ditangisinya pula ole Narajid,
dan dipeluknya, dan diciumnya, seraya katanya, “Bangunlah adinda, nyawa
kakanda, sudalah tuanku karena kakanda hendak bermohon.” Maka Putri Kemala
Dewi pun tiadalah kabarkan dirinya dan berbagai-bagai cumbuan. Maka Narajid
serta dengan tangisnya itu pun akan istrinya, Putri Kemala Dewi, tiadalah juga
kabarkan dirinya, maka ributlah bunyi ratap keindaraan seperti ombak mengalun di
laut. Maka kedengaranlah kepada Maharaja Rawana, maka Narajid berpesan
kepada balatentaranya menyuruh menghiasi rata terbang. Maka Narajid tersadarlah
kepada anaknya Putri Indra Kesuma, maka disuruhnya bawa ole anakda. Maka Putri
Kesuma Dewi pun datanglah dibawa ole anakda, maka diciumnya ole Narajid,
seraya katanya, “Tinggallah nyawa buah hati ayahanda.” Maka Narajid pun berkata
kepada bundanya, Putri Kemala Dewi, “Ayo ya bunda, akan petaruh anakdalah
akan cucunda ini, baik-baik peliharakan karena hamba pergi ini tiadalah akan
kembali lagi.” Maka bundanya, Putri Kemala Dewi, pun tiada kabarkan akan
dirinya. Maka citra taman dan peri pun berdatang sembah, “Ya, Tuanku, banyaklah

148
– HIKAYAT SRI RAMA –

segala dewa-dewa dan mambang yang mati dipanah ole Sri Rama dan Laksamana.
Adapun Mangkubumi telah matilah dibunu ole Laksamana, dan ratanya pun
binasalah dipalu ole Hanuman, dan segala rasaksa banyak mati dibunu ole segala
hulubalang kera.” Setelah Narajid mendengar kata bintaranya itu, maka ia pun
terlalu mara sebab mendengar Mahabiru mati. Maka lalu diangkatnya istrinya itu
lalu diberikannya kepada inangnya.
Maka Narajid pun bertempik, maka keluarlah kepalanya tiga. Maka terlalu
gempita bunyinya tempik Narajid itu seperti halintar rasanya maka bergeraklah
pulau Langkapuri. Maka Narajid pun naiklah ke atas ratanya terbang, maka lalu ke
tengah padang peperangan. Setelah maharaja Rawana mendengar suara tempik itu,
maka ia pun terkejut lalu ia keluar naik ke atas ratanya. Pada bicaranya ada juga
kesukaran. Adapun Narajid pun turunlah memacukan ratanya ke tengah medan
peperangan, maka seribu kuda hijau yang ratanya/ berpusing seperti halintar dan
201 bersorak segala mambang seperti tagar bunyinya. Maka pulau Langkapuri pun
bergoncanglah seperti akan karam rasanya dan matahari pun tiadalah kelihatan
terlindung ole Narajid dan segala rakyatnya. Maka segala rakyatnya Sri Rama pun
gentarlah. Maka Narajid pun berlindunglah di dalam awan, maka Laksamana pun
mengikut ke dalam awan. Barang ke mana perginya pun diikutnya juga ole
Laksamana. Maka Hanuman pun mengikut Laksamana lalu hampir kepada Narajid.
Setelah dekat Laksamana kepada yang mengempalakan ratanya Narajid itu, maka
rata itu pun gugurlah ke bumi, maka suaranya gugur itu seperti tagar. Setelah dilihat
ole Narajid yang mengempalakan ratanya itu gugur ke bumi lalu mati, maka Narajid
sendiri mengempalakan padatinya itu. Setelah itu, maka kuda hijau yang seribu ada
pun dipanah ole Laksamana kudanya itu semuanya habis mampus dengan sekali
panah juga. Maka pada ketika itu datanglah alamat kepada Narajid, maka ia pun
kuranglah kuatnya.
Syahdan, maka lalu dipanahnya Narajid ole Laksamana pula ratanya itu kena,
maka binasalah. Maka diambilnya ole Hanuman sebuah gunung yang maha besar,
maka lalu dilontarkannya kepada Narajid. Maka ia pun gugurlah ke bumi. Maka
Narajid pun berdiri di tanah dengan panahnya, maka ia segera memana kepada Sri
Rama. Maka Sri Rama pun segera menangkiskan pananya Narajid itu serta
dibalasnya oleh Sri Rama anak panahnya yang bernama Gandiwati itu lalu kena
bahunya Narajid yang kanan itu putus lalu gugur ke bumi. Maka satu lagi tangannya
Narajid memana kepada Sri Rama, maka segera ditangkiskan ole Sri Rama. Maka
Sri Rama pun segeralah membalas dengan anak panahnya yang sakti. Maka kenalah
tangannya ketiganya lalu putus, maka Narajid pun tiadalah berdaya lagi. Maka
busur panahnya pun dilontarkannya kepada Sri Rama, maka diambilnya pula
senjatanya yang bernama Trisula dengan tangannya kiri. Maka lalu ia menyerbukan
dirinya ke dalam rakyat Sri Rama, maka banyaklah rakyat mati diamuknya ole
Narajid. Setelah demikian, maka dipanahnya ole Sri Rama bahunya kiri maka
ketiganya tangannya pun putus. Maka senjata itu pun gugurlah ke bumi. Maka
Narajid berdiri dengan tiada bertangan dan tubuhnya itu seperti tonggak. Maka
dipananya pula ole Sri Rama lalu kena lehernya putus terpelanting ke bumi. Maka

149
– HIKAYAT SRI RAMA –

202 Indra Narajid pun rubuhlah, maka bumi pun/ bergerak-gerak seperti gempa.
Syahdan, maka laut itu pun berombaklah, maka kedengaranlah keindraan dan
matahari pun kelihatanlah. Maka pada ketika itu terang benderang rupanya dan
bumi pun berubah pula dan negeri Langkapuri pun bergoncanglah seperti akan
karam lakunya, maka guruh pun berbunyilah dan kilat pun sambung-menyambung
kalam kabut lakunya. Maka segala dewa-dewa pun menghujani bunga rampai akan
Narajid, seperti hujan turun dari langit rupanya. Maka titah Sri Rama kepada segala
rakyat sekaliannya disuruhnya melihati bangkai Narajid itu. Maka sekaliannya
rakyat kera pun bersoraklah seperti tagar di langit, suaranya pun tiadalah
berputusan. Maka datang Anggada lalu ditindasnya kepalanya Narajid lalu
dibawanya ke hadapan Sri Rama. Maka Laksamana, dan Hanuman, dan segala
hulubalang semuanya datang mengadap Sri Rama dan Laksamana itu. Maka Sri
Rama pun berdirilah lalu dipegangnya tangan Laksamana dibawanya duduk dengan
sertanya lalu dipeluknya dan diciumnya. Maka titah Sri Rama, “Jikalau pekerjaan
bumi langit pun aku perole sekalipun, tiadalah sama dengan sudaraku ini datang
dengan sempurnanya.” Maka diambilnya ole Sri Rama kepala yang dilembingnya
serta dibawanya berjalan hendak dilontarkannya kepada Maharaja Rawana. Maka
ia pun tiadalah kelihatan karena ia tiada tahu akan anaknya mati itu disangkanya
lagi berperang. Maka Sri Rama pun berseru-seru dengan nyaring suaranya, katanya,
“Hai, Rawana, anakmu semuanya suda habis mati. Marilah kembalikan istriku
supaya dosamu aku ampuni dan engkau tiada aku gerakkan daripada tempatmu dan
daripada kerajaanmu dan aku pun kembalilah ke negeriku.” Setelah demikian, maka
didengar ole Maharaja Rawana akan anaknya mati dibunu itu, maka ia pun
meniharap serta menjatuhkan dirinya dari atas keindraan lalu berguling-guling di
bumi, maka ia pun meratap dengan sepuluh mulutnya itu dengan demikian bunyi
ratapnya daripada satu mulutnya, “Ya, Tuanku Narajid, segala dewa-dewa pun
tiadalah melawan dia pada segala alam ini dan segala mambang mana gerangan
yang menantang matanya. Bukankah aku menyuruh engkau, akulah yang membunu
engkau. Ya anakku wahai cahaya mataku, buah hatiku, keempat ‘alam ini pun
karamlah karena tuan cahaya mata hati ayahanda./ Apa akan katanya lagi hai
203 anakku Narajid, akulah membunu dia.” Setelah itu, maka ia pun mengulingkan
dirinya lalu ia pergi ke tengah padang peperangan itu. Setelah Maharaja Rawana
sampai ke tengah padang itu, maka ia mendapatkan mayit. Maka dilihatnya kepala
anaknya ketiga pun tiada, maka Maharaja Rawana pun terlalu amat dukacita. Maka
lalu dirubahnya mayit anaknya itu seraya dipeluknya, dan diciumnya, dan
ditangisinya terlalu sangat masghulnya. Maka Sri Rama, dan Laksamana, dan
segala hulubalangnya, dan segala rakyatnya sekalian pun menangis karena melihat
Maharaja Rawana terguling-guling di tengah padang peperangan itu daripada
sangat belas hatinya sekaliannya jadi turut menangiskan Narajid dan setengahnya
yang tertawa sebab melihat mulutnya Raja Rawana yang sepuluh itu semuanya
berkata-kata itu. Setelah berhentilah daripada menangis, maka Maharaja Rawana
pun pulanglah ke istananya, maka tersebutlah perkataan istrinya Maharaja Narajid
yang bernama Tuan Putri Kemala Dewi tatkala ia pingsan itu setelah ia mendengar
tempik Narajid itu. Maka ia pun terkejut daripada bangunnya serta dilihatnya
suaminya tiada serta dikabarkan orang akan dia suda mati.

150
– HIKAYAT SRI RAMA –

Hatta maka Tuan Putri Kemala Dewi pun menangis lalu pingsan tiadalah
kabarkan dirinya, maka bundanya pun datang dengan ratapnya dan tangisnya lalu
disiramnya akan tuan putri itu dengan air mawar. Maka tuan putri pun ingatlah akan
dirinya seraya dipeluknya dan diciumnya ole bundanya. Maka tuan putri pun
beratap demikian bunyinya, “Adu wahai tuan jamal, adu wahai nyawa adinda hilang
di mana adinda cari, lenyap di mana adinda cari di mana sekarang kakanda supaya
adinda dapatkan tuanku di padang mana gerangan tuanku, di gunung mana
gerangan tuanku, di rimba mana gerangan tuan, di medan mana kakanda konon
supaya adinda dapatkan tuan meninggalkan adinda malang. Celaka sedang tuan
meriba adinda, tuan pun lenyap daripada mata adinda. Di mana tempat tuanku
hilang supaya adinda pandang malang tinggal seorang diri, kakanda terlalu banyak
budinya tiada dapat kuutarakan, kakanda tiadalah dapat kubandingkan. Wahai
sudalah puas hati margasatwa yang kelak Laksamana badak memakan anaknya.
Wahai tuanku, anakku tinggal dengan yatimmu dan tinggal dengan piyatumu serta
jadi
204 pungut-pungutan anakda dan tuan/ orang serta jadi kematian-kematian orang. Hatta
maka tuan putri pun bermohonlah kepada bundanya hendak pergi bela maka
bundanya pun terlalu sangat menangis, maka dipeluknya dan diciumnya akan
anaknya. Maka dibujuknya dengan kata yang manis-manis tiadalah dirinya bela,
maka Tuan Putri Kemala Dewi pun mengambil keris hendak membunu dirinya.
Maka dipeluknya ole bundanya, maka kata bundanya, “Janganlah anakku membunu
diri. Baiklah tuan bela pada tempat padang peperangan di sanalah.” Setelah
demikian, maka dilengkapi ole bundanya dengan sepertinya, maka putri Kemala
Dewi dan segala bidadari pun turunlah kepada padang tempat Narajid berperang
itu. Maka dilihatnya mayit suaminya tiada berkepala dan tangannya pun tiada, maka
Putri Kemala Dewi pun meniharap lalu ia pingsan tiada kabarkan dirinya. Setelah
ia ingat daripada pingsan itu, maka dipeluknya dan diciumnya mayit suaminya
seraya meratap, “Adu tuanku, nyawa adinda, bilang junjunganku, berapa ratus kali
tuan pergi berperang dari masrik datang ke maghrib, daripada pasin datang kepada
pasin, tuan tiada mati dan luka. Jangankan luka, gores pun tiada. Sekarang inilah
sebab ole seorang perempuan yang diperebutkan itu, maka ia jadi demikian karena
sebab ialah maka ‘alam pun haru-haralah dan negeri Langkapuri pun hanguslah dan
keempat ‘alam pun binasalah dan tuanku pun mati karena Putri Sita Dewi, istri
orang ini yang diberahikan.” Setelah itu, maka didengarnya ole Rawana akan ratap
mantunya demikian itu, maka ia pun terlalu marah lalu ia mengambil padangnya
namanya siamak maka lalu ia naik ke atas ratanya hendak membunu Putri Kemala
Dewi. Maka segeralah ditagahkan ole Jamumenteri dengan perkataan yang ‘arif,
maka Maharaja Rawana pun manyarungkan padangnya lalu menjatuhkan dirinya
ke dalam bumi serta berguling-guling kepada mayit Narajid itu. Maka lalu
diambilnya mayit Narajid itu lalu dijunjungnya di atas kepalanya yang sepuluh itu,
maka dibawanya ke istananya perbagai ratap bunyinya dan suaranya pun
mendarulah ratap di dalam istana. Raja Rawana dan segala orang di dalam negeri
Langkapuri pun masuk ke dalam, maka ratap itu pun seperti ombak laut. Maka
segala orang keindraan pun meratap seperti bunyi guruh di langit. Maka/ Maharaja
205 Rawana pun memberi titah kepada menterinya dan segala hulubalangnya menyuruh
menghimpunkan gajah kuda dan rata.

151
– HIKAYAT SRI RAMA –

Setelah suda, maka mayit Narajid hendak dibakar dan araknya dengan segala
bunyi-bunyian. Maka Putri Kemala Dewi pun bersama-sama berarak dengan
perhiasannya seperti orang kawin lakunya dihadap ole segala bidadari. Setelah
sampai kepada tempat membakar itu, maka Maharaja Rawana menyuruh
menimbunkan kayu dan cendana dan kelambak dan kesturi dan gaharu.
Syahdan, maka Putri Kemala Dewi pun naik ke atas panggungan lalu ia
menjatuhkan dirinya ke dalam api dengan segala inang pengasunya. Setelah
hanguslah, maka habunya pun ditaruh di dalam cambul emas bertatakan ratna mutu
manikam. Maka Raja Rawana pun menyuruh berbuat candi emas ditata dengan
intan dan biduri pualam pusparagam dikenakan kepada candi itu. Maka mayit
Narajid dan Putri Kemala Dewi itu pun dimasukkan ke dalam candi emas. Setelah
suda, maka Maharaja Rawana pun kembalilah dengan dukacita. Setelah datang ke
istananya, maka Putri Mandudaki berdatang sembah lalu meniharap pada kaki
Maharaja Rawana lalu menangis, katanya, “Ya, Tuanku Sah Alam, jikalau ada
karunianya dan ampun Yang Dipertuan akan patik yang diperhamba, jikalau ada
tulus sembah hambamu, marilah apa istrinya Sri Rama kita kembalikan kepadanya
Sri Rama. Jikalau tuan hamba taruh, bukan ia dapat dipakai Yang Dipertuan dan
jikalau dapat dipakai ole Yang Dipertuan sekalipun, baik juga akan sekarang
karunianyalah Yang Dipertuan, terlalu haru-hara dan berbunu-bunuan paduka
adinda dan anakda.” Maka titah Maharaja Rawana, “Hai, Mandudaki, aku tahulah
akan bicaramu itu. Apabila Sita Dewi dapat aku pakai niscaya aku lebihkan dia
daripadamu, maka sebab itulah maka engkau menyuruhkan aku mengembalikan
Sita Dewi itu kepada Sri Rama.” Maka sembah Putri Mandudaki, “Bukan demikian
ya tuanku Sah ‘Alam, melainkan hamba sangat bercintakan kebesaran dan
kemuliaan Yang Dipertuan itu pun akan hilang karena seorang perempuan itu.
Syahdan, maka Maharaja Rawana pun menyuruhkan orang pergi memanggil
Sita Dewi. Setelah demikian, maka Sita Dewi pun datang sehingga empat puluh
depa jauhnya. Maka titah Maharaja Rawana, “Hai Sita Dewi, maukah engkau aku
kembalikan kepada Sri Rama?” Maka sembah Sita Dewi, “Ya, Tuanku Sri
Maharaja, jikalau paduka akan dikembalikan/ kepada Sri Rama ole Yang Dipertuan
206 kepada Sri Rama seperti Yang Dipertuan berapa bole pahala diperole Yang
Dipertuan dan berole kebesaran dan bertambah-tambah seperti Yang Dipertuan
berole pahala tatkala Yang Dipertuan bertapa bertemu dengan Nabi Adam.
Demikianlah kiranya.” Maharaja Rawana pun marah, maka Sita Dewi itu
disuruhnya kembali kepada tempatnya demikian.
Arkian setelah genaplah empat puluh hari Narajid, maka Maharaja Rawana pun
berbicara kepada segala menterinya akan pekerjaan berperang kepada Sri Rama
seraya ia bertitah, “Siapa yang dapat melawan Sri Rama berperang itu dan yang
bercakap membunu Sri Rama dan Laksamana itu?” Arkian maka seorang pun
tiadalah menyahut akan titah Maharaja Rawana, masing-masing mereka itu tunduk
berdiam dirinya seraya dengan takutnya. Adapun Maharaja Rawana menyuruh
Jamumenteri pergi ke Gunung Antapura Indra akan memanggil Maharaja
Bundanala yang suda bertapa tiga ratus tahun lamanya. Setelah suda berlengkap,
maka Jamumenteri pun pergilah berjalan ke gunung itu. Maka ia mendapatkan
Maharaja Bundanala lagi bertapa. Maka keduanya pun menyembah lalu duduk
bersama-sama. Maka ole Jamumenteri diceritakannya segala hal-ihwalnya

152
– HIKAYAT SRI RAMA –

Maharaja Rawana berperang dengan Sri Rama itu. Maka Jamumenteri pun
mengatakan lagi ia disuruh ole Maharaja Rawana akan memanggil Maharaja
Bundanala itu, maka Maharaja Bundanala itu tiadalah sudi mengikut karena belum
sampai dan genap pertapaannya. Maka ia pun dibujuk serta dipermuliakan ole
Jamumenteri sehingga tiada berdaya lagi rasanya. Maka kepada pikirnya Maharaja
Perdana Warna juga namanya, ‘Baiklah aku pergi. Apabila aku suda bertemu
kepada Maharaja Rawana itu, aku bermohon kembali akan mengganti pertapaanku
ini.’ Setelah itu, maka ia pun berkata, “Hai, Bapaku, mana kata ayahanda itu hamba
turut karena hamba pun sangat hendak bertemu dengan sudara hamba, Maharaja
Rawana.”
Setelah demikian maka pada keesokkan harinya, maka keduanya pun
berjalanlah. Setelah sampai ke negeri Langkapuri, setelah ia disambut ole Maharaja
Rawana dan yang mengalu-alukan Maharaja Perdana Warna dengan seribu
kemuliaan serta membawanya ke negeri Langkapuri, maka ia pun disambut ole
Maharaja Rawana lalu masuk ke dalam kota lalu naik ke istana serta maharaja
Rawana pun duduklah di atas singgasana bersama-sama Maharaja/ Perdana Warna.
207 Terlalu sangat dipermuliakannya serta diperjamunya tujuh hari tujuh malam
dengan segala bunyi-bunyian pun dipalu ole oranglah terlalu ramai suaranya, maka
segala orang yang berahi dan segala anak raja-raja pun berbangkitlah masing-
masing keluar menari terlalu ramai beranggap-anggapan terlalu ngibur ole langan
dan bersulang-sulangan. Maka piala yang bertatakan ratna mutu manikam pun diisi
oranglah daripada minuman arak dan anggur dan serbat gilang-gemilang warnanya
maka diperedarkan oranglah dan hidengan yang nikmat-nikmat berbagai-bagai cita
rasanya itu pun diangkat oranglah ke hadapan majelis itu.
Adapun tersebutlah perkataan Sri Rama itu. Arkian maka Maharaja Bibisanam
pun berdatang sembah, “Ya, Tuanku Sah ‘Alam, ada hamba (dengar) warta
Maharaja Perdana Warna telah datanglah dibawa ole Jamumenteri serta
dipanggilnya Maharaja Rawana akan berperang dengan kita. Maka habarnya terlalu
sakti dan gagah perkasa.” Maka Sri Rama pun tersenyum-senyum. Maka Maharaja
Bibisanam pun berkata, “Syahdan esok harilah ia keluar berperang dengan kita ya
tuanku, demikianlah di dalam nujum hambamu.” Maka Sri Rama pun berkata,
“Adapun akan Maharaja Perdana Warna itu hambalah akan lawannya.”
Setelah dini hari, maka Maharaja Rawana dan Maharaja Perdana Warna pun
berjalanlah keluar kota Langkapuri lalu keluar padang tempat berperang itu
diiringkan ole segala hulubalang dan segala tentaranya sekalian yang tiada
tepermanai banyaknya. Maka Hanuman pun bermohonlah kepada Sri Rama lalu ia
keluar di tengah padang tempat berperang diiringkan ole hulubalangnya lalu
ditempuhnya akan segala rakyat Maharaja Rawana lalu berperanglah dengan
gembiranya akan memukul cokmarnya dan padangnya. ada yang menikamkan
pandahannya, ada yang melontarkan dengan batu yang besar-besar, ada yang
memalu dengan kayu yang besar-besar, dan ada yang mengocoh, ada yang
menandang, maka tiadalah mendarita lagi ole rakyat raksasa dan terlalu banyak
matinya lalu larilah tiadalah berketahuan lagi. Setelah dilihat ole Maharaja
(Perdana) Warna, maka ia terlalu marah serta berseru-seru kepada Sri Rama suruh
keluar berperang. Maka Hanuman pun berkata, “Akulah lawan dahulu!” Maka
Maharaja Perdana Warna pun terlalu sangat marahnya lalu dipanahnya dengan

153
– HIKAYAT SRI RAMA –

panahnya yang sakti, maka jadilah berpanah-panahan keduanya itu dengan pana
angin dan hujan. Maka berapa batu dan gunung yang besar-besar itu dilontarkan ole
Hanuman, maka ditangkiskan ole Maharaja Perdana Warna/ maka suatu pun
208 tiadalah diperasakannya. Maka apabila hari malam, maka kedua pihaknya pun
kembalilah ke tempatnya duduk bersuka-sukaan. Maka dengan demikian, maka
keduanya pun berulang-ulang berperang.
Setelah suda tiga hari lamanya, maka Maharaja Perdana Warna pun
berperanglah dengan Sri Rama. Lamanya berpana panahnya yang sakti maka
tiadalah ia mengenai. Maka Maharaja Perdana Warna pun berseru-seru, katanya,
“Hai Sri Rama, marilah! Jikalau sungguh gagah berani dan terbilang dan masyhur,
manatah senjatamu supaya aku lihat saktinya?” Setelah Sri Rama mendengar kata
Raja Perdana Warna itu demikian, maka segeralah dikeluarkannya anak panahnya
yang bernama Gandiwati lalu dikeluarkannya dan dikenakannya kepada busurnya
maka lalu dilepaskannya anak panahnya itu. Maka guruh pun berbunyi sayup-sayup
dan hujan pun rintik-rintik dan teja pun membangun, itulah ‘alamat Maharaja
Perdana Warna akan mati. Maka segala anggota (badan)nya pun lemahlah dan
kuranglah kuatnya. Setelah demikian, maka Sri Rama pun memanakan anak
panahnya, gemuruh bunyinya seperti halintar akan membelah dan seperti kilat
bernyala-nyala rupanya. Maka Maharaja Perdana Warna pun terlalu dahsyatlah
akan dirinya. Lalu kena lehernya putus terpelanting gugur ke tanah. Maka badannya
pun terguling ke bumi tiadalah berkepala. Maka segala hulubalang Sri Rama pun
bersoraklah gemuruh bunyinya seperti akan bergeraklah bumi lakunya.
Arkian maka Sri Rama pun berseru-seru, katanya, “Hai, Maharaja Rawana!
Adakah lagi hulubalangmu yang kamu suruhkan akan melawan aku supaya aku
menantikan di padang ini, dan jika tiada hulubalangmu marilah engkau sendirimu
keluar berperang kepada aku sama seorang dan jangan membinasakan rakyat yang
banyak, dan jika engkau takut berperang kepada aku, engkau kembalikanlah istriku
Sita Dewi itu kepada aku supaya aku ampuni segala dosamu itu.” Maharaja Rawana
pun menyuruhkan seorang hulubalangnya mengatakan lagi tujuh hari baginda
keluar berperang karena ia lagi hendak mengeluarkan dan mengerjakan mayit
sudaranya Maharaja Perdana Warna itu. Maka Sri Rama pun kembalilah ke
tempatnya. Maka Maharaja Rawana pun mengerjakan mayit sudaranya itu dengan
sepertinya lagi diperarakkannya lalu dibakarnya dan habunya pun dimasukkannya
ke dalam cambul emas yang maha tinggi, maka diarak oranglah lalu dibawanya
kepada candi emas itu ditanamnya./
209 Maka tersebutlah perkataan Maharaja Rawana berbicara pekerjaan itu, maka
Jamumenteri pun berdatang sembah, “Ya Tuanku Sah ‘Alam, bukankah ada anak
angkat yang ditaruhkan ole tuan hamba di dalam bumi, ialah akan dapat melawan
Sri Rama sekalipun dapat dibununya maka namanya itu Mulapatani.” Adapun
Maharaja Rawana pun sadarkan Mulapatani serta ia pun berangkatlah turun lalu
berjalan ke bawa bumi. Maka Mulapatani diamlah di bawa tujuh petala bumi.
Adapun akan gagahnya: jikalau diminumnya maka air laut itu pun keringlah dan
bukit itu pun jika ditamparnya menjadi duli. Maka Maharaja Rawana pun pergilah
kepadanya. Setelah datang, maka dipeluknya dan diciumnya ole Maharaja Rawana
seraya dibawanya keluar dari dalam bumi lalu dibawanya ke istananya. Maka
diperjamunya makan minum dan diberinya maka diberinya nugrah maka lima ratus

154
– HIKAYAT SRI RAMA –

dan seribu penatak bernaga. Maka Mulapatani pun mengenakan zirah dan lima ratus
kepalanya lima ratus maka itu dijunjungnya dan seribu tangan seribu penatak dan
seribu tangannya seribu bagai senjatanya yang dipegangnya. Setelah suda
Mulapatani memakai pakaian itu, maka Maharaja Rawana pun menyuruh
membawa rata itu yang besar dan selaksa gajah yang menarik rata. Maka segala
bunyi-bunyian pun berbunyilah, maka Mulapatani pun naiklah ke atas ratanya maka
dipecutnya di tengah medan peperangan. Maka kedua pihak rakyat itu pun
berperanglah terlalu ramai dan beramukkan sehingga tiada tepermanai akan yang
banyak mati itu.
Setelah Sri Rama berpandanglah dengan Mulapatani, maka Mulapatani pun
melepaskan segala senjatanya kepada Sri Rama. Maka Sri Rama pun menangkiskan
segala senjatanya itu. Maka Sri Rama memana kepada Mulapatani, maka
dipanahnya penggallah seratus kepalanya lalu gugur ke bumi. Maka dipanahnya ole
Sri Rama bahunya itu penggal dua ratus. Maka dipanahnya pula ole Sri Rama kena
pahanya penggal dua ratus. Maka didengarnya ole Sri Rama akan suatu suara dari
udara, demikian bunyinya, “Hai Sri Rama pintasi olemu akan pana Mulapatani itu
sekali juga, jangan dua kali karena kematiannya Mulapatani telah tersurat di dalam
tanganmu.” Maka anak pana itu yang dipanakan ole Mulapatani itu berbunyi
datangnya, maka Sri Rama pun berlari ke iringan Mulapatani. Maka dipananya ole
Sri Rama kena lehernya Mula/ patani terpelanting kepalanya. Maka tinggal
210 kepalanya satu kepada badannya maka kata Mulapatani, “Hai, Sri Rama panalah
aku sekali lagi supaya segera aku mati.” Maka Sri Rama pun tersenyum seraya
berkata, “Dengan sekali itu juga aku memana engkau, tiadalah aku mau memana
lagi.” Maka Mulapatani pun rubuhlah, maka pada ketika itu bumi pun bergeraklah.
Maka ratanya pun dipalu ole Hanuman selaksa gajahnya yang menghela ratanya itu
pun mati dan ratanya pun binasalah. Maka dipersembahkan oranglah segala raksasa
kepada Maharaja Rawana, “Ya, Tuanku Sengalam, bahwa rakyat duli Yang
Dipertuan yang di bawa bumi itu mayitnya dan Mulapatani pun mati dibunu ole Sri
Rama dan berapa hulubalang sengalam pun mati dan seratus yujan itu menjadi laut
darah segala bangkai raksasa dan bangkai gajah dan kuda terdamparlah di kaki
Gunung Langkapuri.” Maka Maharaja Rawana pun terlalu marah serta ia pun
segeralah keluar naik ke atas ratanya seribu yang terbang dan seribu kuda yang
menarik ratanya itu. Maka berapa juga ‘alamat dan berapa ratus payung terkembang
di atas ratanya, maka datanglah ke tengah padang dengan segala bunyi-bunyian.
Maka dilihatnya ole Laksamana terlalu banyak orang berdiri di hadapan maka
balanya segala hulubalang itu terlalu tampak ia ke hadapan. Maka senjata Raja
Rawana pun datang, maka lalu kena bantal hulu hatinya. Maka Laksamana pun
rubuhlah, maka segera disambut ole Hanuman. Setelah dilihat ole [Laksamana dan]
Sri Rama akan Laksamana itu demikian, maka Sri Rama pun segeralah kembali.
Maka disambutnya ole Sri Rama lalu diribanya. Maka Sri Rama pun terlalu amat
dukacita. Maka kata Maharaja Bibisanam, “Jikalau tiada obat niscaya senjata itu
tambah berakarlah dan daunnya dan bercabang karena jikalau senjata ini hendak
dicabut [senjata] hati paduka adinda itu pun serta dicabut bersama-sama karena
senjata ini suda tertanam pada hati baginda ini.” Maka Hanuman pun pergi ke
Gunung Anjani akan mencari akar kayu akan obat Laksamana. Maka hari pun
malamlah dan bulan pun kelamlah sehingga tiada dapat Hanuman dapat mengambil

155
– HIKAYAT SRI RAMA –

akan yang dicarinya itu. Maka Hanuman pun mengangkat gunung itu daripada
tempatnya lalu ia berpikir ‘Kalau-kalau lampau, baiklah aku berjalan.’
211 Maka ia pun berjalanlah segera-segera. Maka Sri Rama pun/ terlalu sangat
dukacitanya sebab Hanuman lambat datang itu. Maka tatkala Hanuman suda datang
membawa sebuah gunung itu, maka Sri Rama pun terlalu dukacita, seraya katanya,
“Hai, anakku Hanuman, pergilah mengambil batu tempat mengasa di bawa tempat
petiduran Maharaja Rawana dengan Mandudaki.” Maka Sri Rama pun mengambil
akan kayu yang akan dipakainya pada luka Laksamana itu. Maka gunung itu pun
dilontarkannya ole Hanuman ke dalam laut lalu ia melompat pergi ke istana
Maharaja Rawana serta naik ke atas kota istana itu. Maka dilihatnya pintunya
terkunci, maka Hanuman pun menjadikan dirinya lalat hijau maka ia masul ke
dalam lubang kunci lalu dibukanya kunci itu maka pintu itu terbukalah. Maka
Hanuman pun masuk ke dalam maligai itu. Maka (Hanuman) itu menyimpulkan
rambutnya Maharaja Rawana dengan rambut Putri Mandudaki lalu ia mengambil
batu mengasa obat itu dibawanya ke hadapan Sri Rama. Maka ole Maharaja
Bibisanam diambilnya akar kayu lalu diasanya serta dibubuhnya kepada luka
Laksamana. Maka dengan seketika juga senjata itu tercabut daripada Laksamana
maka Laksamana pun hiduplah. Maka Sri Rama pun terlalu sukacita hatinya akan
melihat sudaranya itu.
Sebermula maka Maharaja Rawana pun terkejut daripada tidurnya itu, maka
dirasainya rambutnya itu terkumpul dengan rambut Mandudaki itu maka tiadalah
dapat terurai lagi. Maka Hanuman pun berseru-seru, “Hai Maharaja Rawana engkau
mengatakan dirimu gagah berani lagi sakti semalam aku pergi ke istanamu
mengambil batu pengasah obat Laksamana dan rambutmu pun aku kumpulkan
dengan rambut istrimu itu, mengapah engkau tiada kabarkan dirimu itu? Jangan
sebab aku takut kepada tuanku itu Sri Rama, aku (tiada) bunu engkau daripada
sebab aku takutkan tuanku Sri Rama. Maka sekarang Laksamana itu sudalah
sembuh daripada sakitnya.” Maka Maharaja Rawana pun terlalu sangat marahnya
lalu berkata, “Hai tuan putri, tamparlah kepala hamba.” Maka ditamparnya ole Tuan
Putri Mandudaki, maka simpulan rambut itu pun terbuka. Maka Sri Rama pun
datanglah mengalukan dia karena kepalanya suda ditampar ole perempuan.
Maka Maharaja Rawana pun mandi. Setelah suda mandi lalu ia memakai
seberhama pakaian dan lengkapan akan berperang. Maka ia pun datanglah kepada
212 tempat berperang dengan segala bunyi-bunyian dan segala/ hulubalangnya dan
rakyatnya terlalu gagak gempita dengan segala bunyi-bunyian. Maka belum ia mau
mengadap Sri Rama serta ia membunu terlalu banyak rakyat Sri Rama mati. Maka
hulubalang Sri Rama itu pun mengamuk ke dalam rakyat Raja Rawana. Maka
tiadalah terhingga akan rakyat Sri Rama mati dan pada kedua pihak rakyat itu. Maka
hari pun malam dan rakyat Sri Rama pun kembalilah dengan sukacitanya dengan
kemanangannya.
Setelah hari siang, maka Maharaja Rawana itu pun pergi memuja dengan segala
biku dan brahmana supaya Sri Rama itu dilemaskan dengan asap api memuja itu.
Maka Hanuman pun hendak membantatkan pekerjaan memuja itu, maka ia pun
melontarkan berapa bukit dan gunung, tetapi tiada dapat ia mengharukan Maharaja
Rawana memuja itu. Maka adalah seorang menteri Rawana bernama Mahadewa

156
– HIKAYAT SRI RAMA –

Menteri berkata, “Hai Hanuman pergilah engkau ambil istrinya Maharaja Rawana
bernama Mandudaki bawa kemari supaya ia bangun daripada memuja itu.” Maka
Hanuman pun melompat ke istana Maharaja Rawana. Setelah bertemu kepada Putri
Mandudaki lalu dibawanya dan didukungnya dengan kain tujuh lapis lalu
dibawanya ke hadapan Raja Rawana, seraya katanya, “Hai Raja Rawana, tiadakah
engkau malu dan engkau raja besar maka istrimu aku ambil engkau diam juga jika
sungguh laki-laki marilah kita berperang.” Setelah didengarnya suara itu, maka ia
pun membukakan matanya. Maka dilihatnya istrinya didukung ole Hanuman, maka
Maharaja Rawana pun berbangkit lalu mengunus kerisnya serta bertempik. Maka
Hanuman pun melompatlah kepada tempatnya memuja itu seraya ditendangkannya.
Setelah binasalah kerjaannya itu maka Hanuman pun larilah seraya dipermainnya
sambil mendukung putri Mandudaki. Maka Maharaja Rawana pun terlalu sangat
marahnya, maka Hanuman pun menguraikan rambutnya lalu didukungnya lalu ia
kembali kepada Sri Rama. Maka Maharaja Rawana pun kembalilah ke istananya
dengan tuan putri Mandudaki serta dengan dukacitanya sebab pekerjaannya itu
tiadalah sampai dengan kehendaknya.
Hatta maka hari pun sianglah, maka Maharaja Rawana pun berjalanlah ke
tengah padang peperangan. Maka Sri Rama dan Maharaja Rawana pun
berhadapanlah di tengah padang peperangan itu. Maka/ kata Sri Rama,
213 “Maharaja Rawana apatah yang engkau bawa senjatamu? [maka kata maharaja
Rawana] Maka datangkanlah kepada aku engkau perjamu aku makan dan minum
yang nikmat-nikmat dengan senjatamu.” Maka kata Maharaja Rawana, “Hai, Sri
Rama, nantilah olemu, jangan aku diperbuat seperti lawanmu yang lain itu.” Setelah
demikian maka keduanya itu pun berperanglah. Maka Maharaja Rawana pun
melontarkan pandahannya dan anak panahnya lalu dipanahnya kepada Sri Rama.
Maka itu pun ditangkiskan ole Sri Rama, maka Sri Rama pun memana dengan anak
panahnya Gandiwati kepada Maharaja Rawana. Maka putuslah delapan kepalanya
itu maka tumbuh pula delapan. Demikianlah kesaktian maharaja Rawana itu. Dan
apabila hari malam, maka ia pun berhentilah dan badannya sakit tiadalah
diperasakannya. Maka keduanya pun kembalilah ke tempatnya.
Setelah hari siang, maka Maharaja Rawana pun berjalanlah pula ke tempatnya
berperang itu dengan rata kenaikkannya. Maka berapa ratus tangannya memegang
senjata itu semuanya dilontarkannya kepada Sri Rama, tetapi suatu pun tiadalah
mengenai kepada Sri Rama. Maka Sri Rama pun memana kepala Maharaja Rawana
maka terpunggallah sembilan kepalanya itu maka segeralah disambut ole Hanuman
lalu dibawanya kepada Putri Mandudaki. Setelah dilihat ole Putri Mandudaki
kepala itu sembilan tengkorak nyatalah kepala suaminya itu lalu ia mengambil kain
lalu diselubunginya maka lalu ia menangis pada padangnya yang sakti. Dan yang
dipuja itu pun dilarikan ole Hanuman dibawanya kepada Sri Rama maka karena
itulah hilang puja Maharaja Rawana. Maka pada tatkala itu Sri Rama pun memana
kepala Maharaja Rawana yang kecil yang di bawa telinganya yang kanan lalu
terhambaling kepalanya itu, maka Maharaja Rawana pun rubuhlah tiadalah kuasa
berdiri lagi. Setelah itu, maka Sri Rama pun mengambil padang kepada tangan
Hanuman, maka lalu didapatkan kepada Maharaja Rawana. Maka kata Sri Rama,
“Hai, Maharaja Rawana, jika dahulu istriku engkau kembalikan kepada aku niscaya
aku menjadi hulubalangmu. Jika aku suda menjadi hulubalangmu lain pulak akan

157
– HIKAYAT SRI RAMA –

kebesaranmu dan kemuliaanmu dan bertambah-tambah dianugrahkan Dewata


Mulia Raya. Sekarang bahwa engkau tahu akan aku dan engkau rasailah bekas
tanganku.” Maka kata Raja Rawana, “Hai Sri/ Rama apa kata yang engkau katakan
karena suda
214 adatnya dan caranya laki-laki itu demikian. Jikalau ada lagi sekiranya patik akan
tiada dapat engkau berkata-kata demikian, sekarang apa lagi yang dikatakan lagi
kepada aku karena sebab daripada aku menuliskan kehendakku maka aku perolelah.
Adapun sekarang ini enyahlah engkau dari sini dan bunulah aku sekali lagi.”
Setelah demikian, maka Sri Rama pun (me)natakkan kepada Maharaja Rawana dan
habislah tubuhnya belah-belah itu pun tiadalah juga ia mati.
Maka Sri Rama pun berjalanlah dengan segala hulubalangnya dan segala rakyat
sekalian lalu masuk ke dalam kota Langkapuri diiringkan ole Laksamana, dan
Maharaja Bibisanam, dan Maharaja Sugriwa, dan Hanuman, dan Nilabati, dan
Anggada, dan Anila, dan Hanuman Tugangga, dan Anggada Mahabiru, dan Nola,
dan Karang Toila dengan tempik soraknya gemuruh bunyinya seperti akan
bergeraklah negeri Langkapuri. Maka Sri Rama pun berjalanlah lalu masuk ke
tempatnya Putri Sita Dewi itu. Maka Sri Rama pun terpandanglah ole Putri Sita
Dewi, maka ia pun segeralah turun dari atas maligainya itu datang berlari-lari
hendaklah menyembah kaki Sri Rama. Maka kata Sri Rama, “Hai, tuan putri, jangan
menjamah tubuhku takut karena engkau suda dipakai ole Maharaja Rawana.” Maka
sembah Putri Sita Dewi, “Ya, Tuanku Sri Maharaja, jangankan hamba Yang
Dipertuan dapat dijamah ole Maharaja Rawana karena jauh hambamu duduk
antaranya empat puluh depa jauhnya. Adapun hambamu telah bersumpah tiada mau
aku dijamah ole laki-laki yang lain melainkan duli Yang Dipertuan juga yang dapat
menjamah tubuh patik. Di dalam itu pun, jika tuanku tiada percaya akan patik, mana
sumpah akan hambamulah supaya patik junjung.” Maka [kata maka] Sri Rama pun
memanggil Hanuman juga seorang masuk ke dalam taman itu, maka disuruhnya
ngambil kelambak dan gaharu dan cendana. Maka disuruhnya timbunkan di
hadapan maligai Sita Dewi. Setelah suda, maka berapa gantang kesturi dan ambar
dan kuma-kuma minyak dituangkan kepada kayu itu. Maka Putri Sita Dewi pun
215 didudukkan di atas singgasana yang keemasan lalu diantarkan/ di atas kayu itu.
Maka Sri Rama pun duduk kepada sebuah singgasana yang lain, maka disuruhnya
bakarkan kayu itu dengan api pada empat persegi penyuruh maligai itu. (Se)telah
bernyala-nyala api itu, maka Sita Dewi pun berdirilah di atas singgasananya itu
maka ia memandang kepada Sri Rama lalu menyembah dari dalam api itu. (Se)telah
berapa lamanya bernyala-nyala, api itu pun padamlah. Jangankan Sita Dewi
dimakan api, singgasananya pun tiadalah hangus. Setelah Sri Rama melihat Sita
Dewi itu tiada hangus, maka ia pun dari atas singgasananya lalu berlari-lari
mendapatkan Sita Dewi lalu disambutnya seraya dipeluknya dan diciumnya. Maka
lalu dibawanya di ruma emas seraya menyuruh dayang-dayang mengambil air
mawar dan kuma-kuma dan narwastu. Maka Sita Dewi pun dimandikannya. Maka
Dewi Sita setelah suda dimandikannya dan Sri Rama pun duduklah bersama-sama
di atas singgasana yang keemasan bertatahkan ratna mutu manikam. Maka pada
tatkala itu segala istri dan gundik Maharaja Rawana dan segala dayang-dayang dan
perwaranya yang beribu-ribu dan berlaksa-laksa itu sekaliannya datang mengadap
kepada Maharaja Sri Rama itu. Maka segala isi negeri [ke] Langkapuri menghiasi

158
– HIKAYAT SRI RAMA –

negerinya maka berbunyilah segala bunyi-bunyian akan kesukaan terlalu ramai.


Pada ketika itu, adapun Jamahmenteri itu dipermuliakan ole Sri Rama serta
dudukkannya kepada sebuah singgasana sama taranya dengan singgasana Sri
Rama. Maka Sri Rama pun tiadalah mengubahkan perintah kerajaan serta
diperbaikinya hatinya seperti dahulu juga.
Syahdan beberapa lamanya Sri Rama duduk di dalam negeri Langkapuri maka
masyhur kepada segala raja-raja yang takluk kepada Maharaja Rawana itu
sekaliannya pun mengadap kepada Maharaja Sri Rama di negeri Langkapuri. Maka
Sri Rama pun menyuruhkan segala raja-raja itu yang suda membantu perang
Maharaja Rawana itu kembali ke negerinya. Maka raja itu tiadalah mau bercerai
dengan Sri Rama, maka Sri Rama pun memberi nugrah kepada raja-raja dan menteri
sekalian.
Adapun sebermula sudaranya Sri Rama yang bernama Berdana dan Citradana
pun berjalanlah ke negeri Langkapuri membawa anak istrinya dan hulubalangnya,
maka Sri Rama pun berlengkaplah akan pergi menyambut adinda keduanya serta
berjalan dengan Sita Dewi dan segala/ bala tentaranya dan beberapa segala
216 perempuan yang mengiringkan Sita Dewi itu akan mengalu-alukan istrinya
sudaranya Berdana dan Citradana. Maka Sri Rama pun bertemulah dengan
sudaranya lalu berpeluk-pelukkan empat bersudara dengan Laksamana. Maka Putri
Sita Dewi pun bertemulah Kikuwi Dewi, sudaranya perempuan Sri Rama, serta
dengan istrinya Berdana Citradana itu. Maka segala orang pun heranlah melihat Sita
Dewi yang di dalam Dunia ini. Maka segala orang itu pun bersuka-sukaan di tepi
laut itu. Maka Sri Rama pun menyuruh orang menyelam nasi-nasi pada laut itu,
maka terlalu banyak diperolenya besar-besar seperti telur hayam, ada yang seperti
telur angsa besarnya. Maka semuanya dianugrahkan kepada Berdana Citradana itu.
Maka dibawanya ole Sri Rama sudaranya kedua itu baiduri, dan zamrud, dan nilam,
dan pualam puspa ragam, dan zamrud, dan ratna mutu manikam. Maka lalu
dianugrahkannya juga pada sudaranya keduanya itu. Maka keduanya pun
menyembah, seraya katanya, “Ya, tuanku, sandi yang diperhamba hendak melihat
rupanya Maharaja Rawana karena sandi dengar ia lagi hidup wartanya di kaki bukit
Serindit.” Maka Sri Rama pun menyuruh Hanuman dan Maharaja Bibisanam akan
menunggui segala perempuan, maka Sri Rama dengan sudaranya itu pun pergilah
berjalan. Setelah sampai kepada kaki gunung, maka ia melihat Maharaja Rawana
bersandar kepada batu maka semua tubuhnya belah-belah berkas ditetak ole Sri
Rama. Maka darahnya dan nanahnya pun mengalir menjadi sungai. Maka kata Sri
Rama, “Hai, Rawana, betapa halmu sekarang ini?” Maka kata Maharaja Rawana,
“Apa lagi engkau tanyakan kepada aku karena suda ‘adatnya laki-laki orang.
Demikianlah akan kehendakku maka aku perole apa lagi katamu itu.” Setelah itu,
maka Sri Rama pun kembalilah dengan sudaranya serta istrinya serta pengiringnya
ke istananya.
Adapun akan adinda perempuan yang bernama Kikuwi Dewi didudukkannya
ole Sri Rama dengan Maharaja Bibisanam telah dikawinkanlah. Maka segala isi
istana dan isi negeri Langkapuri pun bersuka-sukaan terlalu ramai. Telah beberapa
lamanya, maka Maharasi Kala pun datanglah dengan Putri Manurama Dewi itu
mengadap kepada Sri Rama serta ia berhikayat tatkala ia mendapat Sita Dewi di
dalam peti. Maka Putri Mandudaki pun berkata kepada Sri Rama, “Ya, Tuanku,/

159
– HIKAYAT SRI RAMA –

217 jikalau sungguh seperti hikayat Maharasi Kala itu nyatalah Sita Dewi itu anak
hamba dengan Maharaja Rawana. Maka adalah Maharaja Bibisanam yang tahu itu,
maka disuruh panggil. Maka Maharaja Bibisanam (dipanggil). Maka datanglah
Maharaja Bibisanam seraya ia menyeritakan segala hal Sita Dewi itu. Maka
Maharasi Kala pun membawa peti itu. Setelah dilihat ole Putri Mandudaki dan
Maharaja Bibisanam, maka nyatalah akan Putri Sita Dewi itu anak Putri
Mandudaki. Maka sembah Maharaja Bibisanam, “Nyatalah peti besi ini perbuatan
hamba dan di dalam nujum hamba Sita Dewi juga yang membunu Maharaja
Rawana itu.” Maka Sri Rama pun menyuruh Sita Dewi menyembah kepada Putri
Mandudaki itu.
Arkian maka Sita Dewi pun datang berlari-lari lalu sujud pada Putri Mandudaki
nyatalah ia bundanya maka air susu Mandudaki pun berpancurlah kepada mulutnya
Sita Dewi itu. Maka kata Sri Rama, “Hai, Ibuku Mandudaki, bahwa sungguhnyalah
tuan hamba seperti mana ibu hamba yang menjadikan hamba.” Maka Sri Rama pun
segeralah turun mengangkatkan Mandudaki itu ke atas lalu disuruhnya mandikan.
Maka dianugrahkan segala pakaian seperti mana adat segala raja-raja yang besar-
besar. Setelah demikian, maka Putri Mandudakilah yang memerintakan di dalam
istana Sri Rama akan merintahkan akan segala isi istana dan menghukumkan segala
dayang-dayang, biti-biti perwaranya.
Setelah berapa lamanya, maka datanglah setahun lamanya, maka Berdana dan
Citradana duduk di negeri Langkapuri. Maka ia pun bermohonlah kepada Sri Rama
akan kembali ke negerinya Mandupuranegara. Maka Sri Rama pun mengantar
tengah laut akan sudaranya kedua itu. Maka Maharaja Bibisanam dan Nila Anggada
dititahhkan ole Sri Rama lalu ke negerinya sekali. Setelah itu, maka Bibisanam pun
kembalilah ke Langkapuri. Maka ia pun datanglah di atas sebuah bukit maka
dilihatnya tempat itu terlalu permainya sekali tiada tempat sebagainya, dan airnya
pun terlalu jernih, dan berapa mata air kepada puncak bukit itu turun berpangkat-
pangkat. Kemudian daripada itu, maka ia pun sampailah ke negeri Langkapuri
mengadap kepada Sri Rama serta menyampaikan akan sembanya Maharaja
Berdana dan Citradana, maka Bibisanam pun memuji-muji akan gunung itu terlalu
elok, maka jika dibuat negeri (alangkah baiknya). Maka Sri Rama pun memberi
titah
218 kepada Laksamana/ akan membuat negeri baharu di atas bukit itu. Maka
Laksamana pun berjalanlah dengan beberapa menteri dan orang yang pandai
bekerja dan beberapa laksa rakyat itu. Setelah sampai di bukitlah, bekerja beberapa
lamanya bekerja itu, maka negeri itu diperbuatkannyalah dengan tujuh kota dan
tujuh buah istana yang terlalu amat indah-indah daripada emas, dan permata, dan
batu pualam itu. Setelah suda negeri itu diperbuatnya, maka Sri Rama pun akan
berpindah. Maka Jamumenteri itu pun didudukkannya di dalam negeri Langkapuri
ole Sri Rama. Maka dipilihnya orang yang baik-baik itu dibawanya dan Sita Dewi
itu pun pindahlah. Adapun tatkala Sri Rama dan Sita Dewi berangkat itu seperti
orang berarak lakunya diiringkan ole segala balatentaranya yang tiada tepermanai
lagi dengan segala bunyi-bunyian terlalu ‘aẓimat bunyinya akan bergoncanglah
Langkapuri.
Setelah Sri Rama masuk ke dalam kota, maka ia pun terlalu sukacita hatinya.
Setelah demikian, maka disuruhnya mencari kepada segala ‘alam siapa yang baik

160
– HIKAYAT SRI RAMA –

rupanya daripada laki-laki dan perempuan, dan siapa yang kaya dan artawan dan
pandita yang bertapa, dan siapa yang budiman dan bijaksana, dan siapa yang gagah
dan berani, dan siapa yang pandai pada suatu pekerjaan, dan siapa yang tahu hikmat,
dan siapa yang tahu akan permainan Dunia akan menyukakan hati segala manusia
akan pindah kepada negeri yang baharu diperbuatnya. Setelah suda datang orang
itu, maka baginda pun memberi nugrah akan orang itu masing-masing dengan
kadarnya, maka sekalian mereka itu pun ditentukan tempatnya dan istananya di luar
di dalam negeri itu, melainkan masing-masing dengan pekerjaannya serta masing-
masing dengan kesukaannya daripada sebab adilnya Maharaja Sri Rama. Maka
negeri itu pun dinamainya negeri Daryapuranegara. Adapun maligai itu ada seribu
biliknya yang terlalu indah-indah perhiasannya sekali, maka Putri Sita Dewi
dihadap segala putri, maka rupanya terlebi daripada bidadari, dan warna tubuhnya
seperti emas yang baharu disapu, dan cahaya mukanya seperti matahari yang terbit
gilang-gemilang tiada dapat dipandang nyata, maka rupa segala putri yang
mengadap itu jadi suramlah.
Arkian maka ole Sri Rama akan Hanuman dijadikannya pengulu segala
hulubalang, maka Laksamana/ dijadikannya raja muda. Adapun Maharaja
219 Bibisanam dijadikannya Mangkubumi dan Dirgamboga dan Periaboga
dijadikannya perdana menteri. Setelah berapa lamanya Maharaja Sri Rama duduk
dengan Sita Dewi tiada juga berole anak, maka disuruhnya mintak obat kepada
Maharesi Kala. Maka diberinya ole maharesi dua biji geliga, seraya katanya,
“Adapun yang sebiji geliga disuruhnya santap kepada Sri Rama. Adapun yang
sebiji ini suruhlah santap dengan anakku Sita Dewi.” Maka pesuruan itu pun
bermohonlah. Setelah ia sampai, maka ia pun mengadap kepada Sri Rama itu. Maka
lalu disembahkannya kepada (Sri Rama) seraya akan pesan Maharesi Kala. Maka
diambil ole Sri Rama sebiji geliga itu lalu disantapnya dan yang sebijilah lalu
diberikannya kepada Sita Dewi lalu disantapnya.
Setelah beberapa lamanya, maka Sri Rama pun terlalu sukacita melihat istrinya
itu hamil. Setelah datanglah kepada lima bulan Sita Dewi hamil itu, maka Kikuwi
Dewi pun datang mengadap Sita Dewi. Adapun pada tatkala itu Sri Rama lagi
semalam dihadap hulubalangnya di pengadapan. Maka Kikuwi Dewi pun bertanya
kepada Sita Dewi, “Ya, Tuanku, bagaimana rupanya Maharaja Rawana? Dikatakan
orang sepulu kepalanya dan dua puluh tangannya, adakah tuan putri melihat
Maharaja Rawana tatkala ia marah itu?” Maka sahut Sita Dewi, “Hamba ada lihat
tatkala Maharaja Rawana melarikan hamba.” Maka Kikuwi Dewi pun berkata,
“Tuan putri tuliskanlah [apalah] (pada) kipas ini karena hamba ingin sangat hendak
melihat akan rupanya baginda itu.” Maka kata Sita Dewi, “Tiadalah hamba mau
karena bukan pekerjaan hamba sungguh ia bapa kepada hamba, tetapi ia suda
menjadi seteru kepada kakanda Sri Rama.” Maka kata Kikuwi Dewi, “Ya, Tuanku,
tuliskan juga karena patik hendak melihat akan rupanya baginda itu.” Maka Sita
Dewi pun menulis kepada sehelai kipas itu tatkala Maharaja Rawana sedang
marahnya itu. Setelah ditulisnya, maka diberikanlah kipas itu kepada Kikuwi Dewi.
Setelah demikian, maka Sita Dewi pun naik ke atas genta peranginan. Setelah
demikian, maka Sri Rama pun datang dari pengadapan, maka Kikuwi Dewi pun
[serta] melihat Sri Rama datang itu, maka ia pun takut akan kesalahannya itu sebab

161
– HIKAYAT SRI RAMA –

220 menyuruh/ menulis rupa Maharaja Rawana itu kepada Sita Dewi. Maka diambilnya
ole Kikuwi Dewi kipas itu lalu diletakkannya kepada dadanya Sita Dewi. Maka
tatkala itu Sita Dewi beradu terlalu nyadar, tiada kabarkan dirinya, maka Sri Rama
pun datang hampirkan kepada Sita Dewi. Maka dilihatnya rupa Maharaja Rawana
tertulis kepada kipas itu dan terdekap kepada dada Sita Dewi, dibawanya tidur.
Maka titah Sri Rama, “Siapa yang menulis rupa ini kepada kipas?” Maka sembah
Kikuwi Dewi, “Ya, Tuanku, paduka adinda Sita Dewi yang menulis itu. Setelah
suda ditulis ole adinda, maka lalu dibawanya beradu dipeluk ole adinda kipas itu.”
Setelah demikian, segeralah dibangunkan ole Sri Rama akan Sita Dewi terlalu
sangat murkanya. Maka Sita Dewi pun terkejut lalu bangun. Maka kata Sri Rama,
“Hai, Sita Dewi, mengapa engkau menulis rupanya Maharaja Rawana ini lalu
dipeluk tidur? Jikalau bapamu sekalipun, tiadalah harus lakumu demikian kepada
Maharaja Rawana. Aku pun tahulah semaja engkau hendakkan dia. Pada bicara aku
tiada perempuan sebagaimu yang setia dengan suaminya, akan sekarang baharulah
aku tahu akan pekertimu hendak berduakan aku.” Maka Sita Dewi pun terkejut,
maka dipandangnya Kikuwi Dewi ke kanan. Maka berkata pula Sri Rama dengan
marahlah, “Jikalau bapamu sekalipun tiada harus engkau demikian lakumu karena
suda bukan namanya ia hendakkan engkau sebermula akan seteruku itu. Berapa
lamanya aku berperang dengan dia itu. Jikalau ada lagi rasanya hendak
bersuamikan dia itu, mengapa engkau bersuami lain?” Maka sembah Sita Dewi,
“Ya, Tuanku, karena adinda Kikuwi Dewi hendak melihat rupa Maharaja Rawana.
Akan kata adinda, “Jikalau ada kasi kakanda Sita Dewi akan hamba, tuliskan apalah
rupanya Raja Rawana karena hamba ingin hendak melihat dia.” Maka hamba
tuliskan rupanya itu pada kipas yang diberikan pula kepada adinda. Maka hamba
pun masuk tidur dan siapa-siapa yang memubuh kipas itu kepada dada hamba itu
pun tiada tahu karena hamba tidur terlalu nyadar.” Maka kata Sri Rama, “Sahaja
engkau rindukan kepada Maharaja Rawana maka engkau menulis rupanya maka
lalu engkau bawa tidur. Adapun sekarang engkau larilah dari/ dalam istanaku
221 karena engkau menduakan aku. Di luar juga kasi kepada aku, adapun di dalam
hatimu kasi kepada yang lain juga. Dan jikalau engkau lambat turun dari sini
niscaya engkau aku penggal kepalamu.” Setelah Sita Dewi itu mendengar kata Sri
Rama demikian, maka ia pun takut lalu menyembah kepada kaki Sri Rama. Maka
Sita Dewi pun turun ke tanah, maka ia berbalik pula menyembah kaki Sri Rama.
Maka ia berkata, “Adapun barangsiapa berkata-kata demikian, hamba serahkanlah
kepada Dewata Mulia Raya. Adapun yang menulis itu ialah hamba kepada kipas
itu, tetapi dengan penyuruhnya Kikuwi Dewi. Adapun yang menaruhkan kipas di
atas dada hamba dan barangsiapa mengatakan kata yang tiada benarnya jangan
diberi ole Dewata Mulia Raya ia bole berkata-kata, jangan keluar katanya dari
dalam mulutnya. Jikalau aku dengan salahku keluar dari dalam negeri
Daryapuranegara ini, barang binatang kehidupan sekaliannya dengan sukanya aku
tinggalkan dan apabila dengan benarku aku keluar dari dalam negeri ini hendaklah
segala binatang yang di dalam negeri ini dengan percintaannya (keluar) sebab aku
keluar dari dalam negeri ini.” Setelah suda Sita Dewi berkata-kata itu dengan
sumpahnya, maka ia pun berjalanlah dengan empat puluh orang dayang-dayangnya
menuju jalan ke negeri Darawati Purwanegara akan negeri Maharesi Kala itu.
Setelah beberapa lamanya berjalan itu, maka wartanya pun kedengaranlah
kepada Maharesi Kala bahwa Putri Sita Dewi datang lagi berjalan. Maka Maharesi

162
– HIKAYAT SRI RAMA –

Kala pun segeralah keluar dari dalam negerinya lalu segera mendapatkan Sita Dewi.
Setelah maharesi bertemu kepada Sita Dewi, maka dibawanya masuk ke dalam
istananya. Maka maharesi pun bertanya kepada Sita Dewi, “Hai, Anakku, mengapa
engkau datang dengan rusak hatimu aku lihat?” Maka Sita Dewi pun berhikayatlah
akan segala perinya akan diusiri Sri Rama sekaliannya dipersembahkannya kepada
Maharesi Kala itu. Maka kata maharesi, “Duduklah anakku kepada aku. Apabila
engkau kemudian dikehendaki ole suamimu, engkau kembali pulang.” Setelah
demikian, maka Sita Dewi pun duduklah di negeri Darwati Purwa.
Maka beberapa lamanya hamil itu maka genaplah bulannya. Maka Sita Dewi
pun berputralah seorang laki-laki terlalu elok rupanya./ Setelah beberapa lamanya,
222 maka kanak-kanak itu pun besarlah. Sehari-hari pun tiada bercerai dengan
neneknya Maharesi Kala. Maka dinamai cucunda baginda itu Tilawi. Maka barang
ke mana maharesi pergi, maka kanak-kanak itu pun pergi juga sertanya tiada
ditinggalkannya. Maka sekali peristiwa, Maharesi Kala pergi mandi kepada suatu
mata air yang di hadapan (rumah) berhalanya, maka Tilawi pun pergi masa-masa.
Maka tatkala itu maharesi pergi mandi, maka ia pun lupa akan Tilawi itu. Maka
segala inang pengasunya pun berdiri memegang kain, maka ia sekaliannya lupa
akan Tilawi karena sebab melihat Maharesi Kala memuja itu. Tatkala mandi maka
semuanya pun lupa akan Tilawi itu, maka tatkala itu Tilawi pun pulanglah
sendirinya ke rumah bundanya. Maka maharesi pun bertanya kepada segala inang
pengasunya, “Ke mana perginya Tilawi ini?” Maka kata segala yang memegang
kain baju itu, “Baharu sekarang cucunda di sini, sandi sekalian lupa ke mana
perginya. Maka sandi sekalian tiada lihat dan karena sekarang ini berdiri di tepi
sungai ini.” Maka kata maharesi, “Jika demikian nyatalah kanak-kanak ini gugur
ke dalam sungai ini. Apatah kataku kepada ibunya? Apatah rasaku kembali ke
rumah akan melihat rupa ibunya karena anaknya telah mati?” Setelah demikian,
maka ia pun mengambil pucuk lalang muda seberangkas, maka ia pun duduklah di
bawa rumah berhala lalu dipucuk lalang muda itu dengan seketika dipujanya. Maka
lalang itu jadilah kanak-kanak seperti rupa Tilawi. Maka dipimpinnya tangan
kanak-kanak itu lalu dibawanya ke rumahnya. Maka dilihatnya Tilawi ada duduk
di sisi bundanya Sita Dewi itu. Maka katanya Sita Dewi, “Anak siapa dibawa ole
ayahanda ini? Serupa sekali dengan cucunda Tilawi.” Maka maharesi pun
berhikayat akan sebabnya itu. Maka kata Sita Dewi, “Jikalau demikian maka betapa
mengasihi Tilawi, demikianlah hamba mengasihi kanak-kanak ini.” Maka kanak-
kanak itu pun bersama-samalah dengan Tilawi. Maka dinamainya Gusi namanya.
Maka barang ke mana pun tiadalah bercerai keduanya itu.
Alkisah maka tersebutlah perkataan tatkala Sita Dewi duduk kepada Maharesi
Kala itu dua belas tahun lamanya, maka segala binatang kecil dan besar di dalam
negeri Daryapuranegara itu tiadalah yang berbunyi dan bersuara/ dan Kikuwi
223 Dewi pun jadi lidahnya tiadalah dapat berkata-kata. Maka Sri Rama pun bertitah,
“Hai, Sudaraku Laksamana, [yang siyapah dengan aku] sekarang nyatalah pada hati
kakanda akan kebenaran Sita Dewi. Maka selama ini (ia) keluar dari dalam negeri
ini, segala binatang di dalam negeri kita kecil dan besar tiada yang berbunyi dan
Kikuwi Dewi pun sekarang suda ia dua belas tahun lamanya tiadalah dapat berkata-
kata menjadi kelu. Maka pada bicara kakanda hendak pergi mengambil Sita Dewi.”
Maka titah Sri Rama kepada Hanuman dan Maharaja Bibisanam, “Adapun akan

163
– HIKAYAT SRI RAMA –

negeri ini pitaruhkulah kepadamu kedua, barang sebagainya baik dan jahat segala
orang di dalam negeri ini.” Setelah itu maka Sri Rama pun berjalanlah dengan
Laksamana menuju negeri Darwati Purwa itu.
Setelah beberapa lamanya, maka ia pun sampailah ke negeri itu. Maka tatkala
dilihat ole Maharesi Kala akan Sri Rama datang itu, maka ia pun segeralah turun
dari istananya lalu mendapatkan Sri Rama serta dibawanya naik ke istana. Maka
Maharesi Kala pun membawa dua kanak-kanak yang bernama Tilawi dan Gusi,
seraya katanya, “Ya, Tuanku, akan Tilawi dan Gusi ini banyaklah membunu
raksasa.” Maka kata Sri Rama, “Jika demikian pada bicara sandi, dapatlah akan
gantikan sandi.” Maka kata Maharesi Kala, “Sebenarnyalah kata tuan hamba itu.”
Maka Sri Rama pun hendak kembali pada Sita Dewi. Maka kata Maharesi Kala,
“Bukan hamba tahani itu, tetapi hamba hendak (lihat) bagaimana tuan hamba
perbesarkan nama tuan hamba. Jikalau tuan hendak kembali kepada Sita Dewi,
hendaklah tuan hamba seperti dahulu kala bekerjakan supaya sejuk mata hati
hamba, orang tua ini.” Maka kata Sri Rama, “Mana bicara ayahanda, hamba turut
karena tuan hamba ini seperti bapa hamba.” Setelah demikian itu, maka jadilah
berjaga-jaga empat belas hari empat belas malam. Maka Sri Rama dan Sita Dewi
dan Laksamana pun bermohonlah kepada Maharesi Kala dua laki-istri itu. Maka
kata Maharesi Kala, “Hamba pun bersama-sama mengantarkan tuan hamba kedua
laki-istri.” Setelah itu maka Sri Rama pun membawa Sita Dewi kembali ke negeri
Daryapuranegara.
Syahdan pada sehari-hari berapa puluh laksa saudagar, biya, peri yang kaya-
kaya datang mengalu-alukan dengan persembahannya kepada Sri Rama dan Sita
Dewi. Maka bertimbun-timbun harta, (antara) lain daripada emas dan/ perak yang
224 indah-indah perbagai rupanya. Maka Sri Rama pun memberikan itu kepada
Maharesi Kala tiadalah tinggal lagi, hanyalah yang tinggal persembahan itu kepada
Sita Dewi juga. Setelah demikian itu, maka Maharesi Kala pun kembalilah ke
negerinya. Setelah Sita Dewi suda pulang, maka segala margasatwa di dalam negeri
itu pun berbunyilah dengan sukanya dan Kikuwi Dewi pun datang menyembah
kepada Sri Rama dan Sita Dewi mohonkan ampun dengan karunia. Setelah suda ia
menyembah mintak ampun, maka Kikuwi Dewi pun baharulah berkata-kata. Maka
Sri Rama pun sediakala dengan sukacitanya dengan segala bunyi-bunyian terlalu
ramai. Adapun hukumnya terlalu adil dan pekerjaannya berbagai-bagai membaiki
kotanya dan segala senjatanya dan mengajari anaknya segala permainan ‘ilmu
hikmat. Maka dianugrahkan ole Dewata Mulia Raya akan Sri Rama di dalam Dunia
ini seorang pun tiada kepada masanya itu yang terlebih besar kerajaannya, dan
adilnya, dan gagah berani, dan perkasanya, dan murahnya, dan kerajaannya. Maka
akan anakda Tilawi itu pun dikawinkannya dengan Putri Kesuma Dewi, anak
Narajid, serta akan Tilawi itu pun dirajakannya di dalam negeri Daryapuranegara.
Adapun akan anaknya Gusi itu pun dikawinkannya ole Sri Rama dengan anaknya
Gangga Mahasura yang bernama Gangga Serani Dewi serta dirajakannya di dalam
negeri Langkapuri. Adapun Sri Rama merajakan Patih Jambuan di dalam negeri
Kelamburan Gangsa. Maka akan Nila Anggada itu dirajakannya kepada negeri
Antarapuranegara. Maka Nola Nila dirajakannya di negeri Indrapusat dan Nilabati
dirajakannya di dalam negeri Nilawangsa. Maka Nola dan Nila dirajakannya di
dalam negeri Astina. Maka Anggada dan Mahabiru dirajakannya di negeri

164
– HIKAYAT SRI RAMA –

Mandukapur. Maka Karang Toila dirajakannya di negeri Puranegara. Maka segala


hulubalangnya yang tiga puluh tiga itu maka semuanya dirajakannya pada negeri
yang kecil. Maka pada tiap-tiap raja itu dinugrahinya ole Sri Rama istrinya yang
terlalu elok parasnya serta terpilih di dalam segala anak bininya segala raja raksasa
[itu] yang mati itu. Setelah beberapa lamanya, maka Sri Rama pun berbuat suatu
negeri kecil pada tempat orang bertapa./
225 Maka baginda pun pindahlah dari negeri Daryapuranegara itu (ke) negeri yang
baharu
diperbuatnya. Maka dinamainya negeri itu Ayodyapuranegara.
Maka Sri Rama pun diamlah di sana dengan sang Hanoman. Syahdan
maka Maharaja Sri Rama dan Sita Dewi pun duduklah bersuka-sukaan dan
berkasih-kasihan dua laki-istri di dalam negeri itu dan kararlah di atas
kerajaannya, kepada anak cucunya pun
menjadi raja besar turun-
menurun. Demikianlah
ceritanya diceritakan
ole dalang yang
yang empunya
cerita dari
pada Maharaja
Sri Rama
dan Laksamana
yang ter
masyhur
namanya
di dalam tana benua Keling dan benua Siam, datang ke benua yang besar, datang
ke benua Turki, datang ke benua Wilanda sampai datang sekarang ini disebut
orang dan dihikayatkannya daripada hikayat (Sri Rama).
Tamatlah hikayat Maharaja Sri Rama./

165
– HIKAYAT SRI RAMA –

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Data
Hikayat Sri Rama Ml 136. Koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Katalogus
Baharuddin, Jazamuddin, & Jumsaari Jusof & Sudibyo Z. H. 1969. Katalog
Naskah-naskah Lama Melayu di Dalam Simpanan Muzium Pusat Jakarta.
Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Behrend, T. E. (peny.). 1998. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 4
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
Ecole Francaise D’extreme Orient.
Ronkel, S. van. 1909. Catalogus der Maleische Handschriften in het Muzeum van
het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, VBG jilid LVII.
Batavia: Albrecht & co.
Sutaarga, Amir dkk. 1972. Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat Dep.
P & K. Jakarta: Dirjen Kebudayaan.

Kamus
Iskandar, Teuku. 1970. Kamus Dewan. Kuala Lumpur: Percetakan Art Kuala
Lumpur.
Klinkert, H. C. 1947. Nieuw Maleisch-Nederlands Woordenboek met Arabisch
Karakter. Leiden.
Poerwadarminta, W.J.S. 1967. Kamus Umum Bahasa Indonesia (cetakan V).
Jakarta: Balai Pustaka.
Wilkinson, R. J. 1932. A Malay – English Dictionary (Romanised) part I (a-k) 1-
631, part II (l-z) 1-657. Tokyo: Daitoa Syuppan Kabusiki Kaisya.

Buku
Awang bin Ahmad. 1987. Hikayat Sri Rama. Brunei: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Braginsky, V.I. 1998. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu
dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS.
Greimas, A.J. 1983. Structural Semantics: an Attempt at a Method (Daniele
McDowel, Ronald Schleifer, dan Alan Velie, penerjemah. Lincoln and London:
University of Nebraska Press.

166
– HIKAYAT SRI RAMA –

Hooykas, C. 1958. “The Old-Javanese Ramayana, an Exemplary Kakawin as to


Form and Content”, VKANW, Nieuwe Reeks, dl. :XV No. 1. Amsterdam.
Ikram, Achadiati. 1980. Hikayat Sri Rama: Suntingan Teks disertai Telaah Amanat
dan Struktur. Jakarta: UIP.
Iskandar, Teuku. 1996. Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad. Jakarta:
LIBRA.
Karim, Nur [et. al.]. 2013. Katalog Naskah Pecenongan Koleksi Perpustakaan
Nasional: Sastra Betawi Akhir Abad ke-19. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.
Kumar, Ann dan John J. McGlynn. 1996. Illuminations: the Writing Traditions of
Indonesia: Featuring Manuscript from the National Library of Indonesia.
Jakarta: Lontar Foundation.
Kurniawan, Rudi. 1995. Hikayat Sri Rama Milik Muhammad Bakir. Jakarta: FSUI.
Liaw Yock Fang. 2011. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
P. Lal. 1995. Ramayana. Jakarta: Pustaka Jaya.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Pedoman Umum Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta: Balai Pustaka.
Rajantheran Muniandy. 1995. Hikayat Seri Rama: Perbandingan Versi Melayu,
Sanskrit, dan Tamil. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Ras, J.J. 2014. Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa (Achadiati Ikram,
penerjemah). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Robson, S.O. 1994. Prinsip-prinsip Filologi. Jakarta: RUL.
Sweeney, P.L. Amin. 1972. The Ramayana dan the Malay Shadow-play. Kuala
Lumpur.
Yousof, Ghulam-Sarwar. 2013. The Heritage of Asean Puppetry. Jakarta: Sena
Wangi.
Zaimar, Okke K.S. 2014. Semiotika dalam Analisis Karya Sastra. Tangerang:
Komodo Books.
Zoetmulder. P.J. 1974. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta:
Djambatan.

Laman Website
Kumar, Nitin. 2000. “Ganesha-the Elephant Headed God, Art, and Mythology”
dimuat dalam http://www.exoticindiaart.com/article/ganesha/, Akses: 4 Juni
2014, 21:20.

167
– HIKAYAT SRI RAMA –

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Putri Susanti, M. Hum. Lahir di Padang pada 23 Maret


1988. Anak dari Ibu Desrinawati dan Bapak Suhasril. Telah
menyelesaikan studi S1 di Prodi Indonesia UI pada tahun
2010 dan S2 di Departemen Susastra FIB UI pada tahun
2014. Sejak tahun 2009 telah mengajar sebagai tentor bahasa
Indonesia di sebuah bimbel dan sejak 2016 menjadi pengatur
jadwal. Kecintaan terhadap filologi mulai muncul sedari
sekolah dasar yang diteruskan sampai lulus S2.

168

Anda mungkin juga menyukai