Anda di halaman 1dari 164

Fiqh Muamalah

dalam Konteks Ekonomi Kontemporer

Penyusun :

Tim Manajemen Perbankan Syari’ah 2012 B

Penanggung Jawab:

Muhammad Yusuf

Editor:

Laili Hastuti

Syarifah

Design & Layout :

Nadialhuda Latif

Laili Hastuti

Cetakan pertama,

Sya’ban 1435 H / Juni 2014

1
Kata Pengantar

Puja dan Puji syukur kehadirat Allah SWT. Tuhan yang maha kuasa
atas segala kekuasaanya, maha Penyayang yang sayangnya tidak terpilah,
maha Pengasih dan tidak pilih kasih. Sehingga atas IzinNYAlah dan
kemudahan yang Allah limpahkan, maka buku “Fiqh Muamalah dalam
Konteks Ekonomi Kontemporer” bisa terselesaikan dengan lancar.
Shalawat serta salam kepada baginda Nabi Besar Rasulullah saw, beserta
keluarga dan sahabat beliau, yang telah berjasa menyampaikan kalimat
dan pesan Allah kepada seluruh ummat manusia di dunia, semoga
limpahan Rahmat Allah senantiasa tercurahkan kepada mereka semua.
Aaamin
Seiring dengan adanya amanat dan tugas membuat sebuah Buku
Fiqh Muamalah, ucapan banyak terimakasih atas dukungan semua teman-
teman “Ukhuwwah MPS12B” sehingga terwujudlah apa yang menjadi
rencana bersama untuk membuat sebuah buku yang semoga dapat
memberi manfaat kepada banyak orang dan menjadi amal jariyah bagi
kita semua, dan dengan tugas ini juga telah menjadi suatu momen yang
pas untuk membaca lebih banyak lagi literatur dan mengkaj ilebih dalam
lagi ilmu tentang “akad-akad dalam transaksi perekonomian Islam” yang
menjadi dasar bagi kami dalam menuntut ilmu Ekonomi di kampus STEI
SEBI.
Banyak pihak yang telah memberikan kontribusinya dalam
penyusan buku ini, mewakili kelas “MPS12B” mengungkapkan rasa
Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Bapak Firmansyah, SE.I
sebagai Dosen yang selalu membimbing kami dalam mengkaji ilmu Fiqh
Muamalah pada semester IV (Empat) ini di kampus STEI SEBI, dan

2
semoga apa yang beliau inginkan untuk membuat kami lebih paham ilmu
ini menjadi nyata dan tak lupa ucapan terima kasih kepada Teman-teman
yang menjadi bagian dari Tim Penyusun buku ini sampai buku ini
diterbitkan, hanya do’a yang bisa dihaturkan kepada Allah semoga Allah
membalas dan melipat gandakan kebaikan teman-teman semua. Aaamin
Dengan segala daya dan upaya segala makhluknya serta dengan
segala kesempurnaan yang berusaha diraih, maka sesungguhnya
kesempurnaan hanya milik Allah. Dengan ini kami menyadari ada banyak
susunan kata dan cara penulisan yang kurang benar dalam Buku ini, atas
dasar inilah kami mohon maaf dan dengan sangat mengharapkan Saran
danKritikan yang bersifat membangun, karna bagi seorang muslim sejati
untuk mengambil hikmah pada setiap kesalahan yang diperbuat, maka
dengan ini kami akan terus berusaha melakukan yang terbaik dan belajar
untuk menjadi lebih baik.
Dan akhirnya, kami ucapkan selamat membaca dan semoga
mendapat banyak manfaatdari buku “Fiqh Muamlah dalam Konteks
Ekonomi Kontemporer” yang ada dihadapan para pembaca saat ini.
Aaamin.

Muhammah Yusuf
(Ketua Mahasiswa Manajemen Perbankan Syari’ah 2012 B)

3
DAFTAR ISI
Kata Pengantar......................................................................................................................................... i
Daftar Isi ………………………………………………………………………..……….………………….ii
KONSEP DASAR MU’AMALAH............................................................................................................. 5
BAI' (JUAL-BELI) ..................................................................................................................................... 5
Definisi bai' ( jual-beli) .................................................................................................................. 5
Hukum bai'.......................................................................................................................................... 5
Bentuk-bentuk bai' .......................................................................................................................... 6
Rukun Bai' ........................................................................................................................................... 7
Syarat-syarat Sah Bai' ..................................................................................................................... 8
Qabdh (Penerimaan Barang) .................................................................................................... 10
Khiyar ................................................................................................................................................ 12
Persyaratan dalam jual-beli ...................................................................................................... 16
Jenis-jenis persyaratan dalam bai' ......................................................................................... 17
Waktu Bai' ........................................................................................................................................ 20
Tempat Bai'...................................................................................................................................... 20
Bai' Yang Diharamkan ................................................................................................................. 21
Faktor penyebab sebuah muamalat diharamkan............................................................. 21
PRINSIP DASAR MU’AMALAH KONTEMPORER ........................................................................ 44
MUSYARAKAH (1) ......................................................................................................................... 44
MUDHARABAH (2) ........................................................................................................................ 57
MURABAHAH (3) ........................................................................................................................... 72
SALAM (4) ......................................................................................................................................... 78
ISTISHNA’ (5) .................................................................................................................................. 95
WADI’AH (6) ................................................................................................................................. 102
IJARAH (7) ..................................................................................................................................... 113
HAWALAH (8) .............................................................................................................................. 118
WAKALAH (9) .............................................................................................................................. 124
KAFALAH (10).............................................................................................................................. 130
GADAI (11) .................................................................................................................................... 139
JU’ALAH (12) ................................................................................................................................ 151

DAFTAR PUSTAKA ………………………………….……………………………………………...160

4
KONSEP DASAR MU’AMALAH

BAI' (JUAL-BELI)

Definisi bai' ( jual-beli)


Secara bahasa bai' berarti: menerima sesuatu dan memberikan
sesuatu yang lain. Kata bai' turunan dari kata "baa" berarti: depa.
Hubungannya adalah kedua belah pihak (penjual dan pembeli)
saling mengulurkan depanya untuk menerima dan memberikan. Secara
istilah bai' berarti: saling tukar-menukar harta dengan tujuan
kepemilikan.

Hukum bai'
Hukum asal bai' adalah mubah, namun terkadang hukumnya bisa
berubah menjadi wajib, haram, sunat dan makruh tergantung situasi dan
kondisi berdasarkan asas maslahat.
Dalil yang menjelaskan tentang hukum asal bai' berasal dari Al quran,
Hadist, Ijma dan logika:

Allah berfirman:
     

"… Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan


riba." (Al Baqarah: 275)

Nabi bersabda :
" Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar (pilihan untuk meneruskan
atau membatalkan akad jual-beli) selama mereka belum berpisah"
HR. Bukhari- Muslim.

Para ulama islam sejak zaman nabi hingga sekarang sepakat bahwa
bai' secara umum hukumnya mubah. Sedangkan menurut logika, Seorang
manusia sangat membutuhkan barang-barang yang dimiliki oleh manusia

5
yang lain dan jalan untuk memperoleh barang orang lain tersebut dengan
cara bai' dan islam tidak melarang manusia melakukan hal-hal yang
berguna bagi mereka.

Bentuk-bentuk bai'
Dari berbagai tinjauan, bai' dapat dibagi menjadi beberapa bentuk.
Berikut ini bentuk-bentuk bai':

1. Ditinjau dari sisi obyek akad bai' dibagi menjadi:


1. Tukar-menukar uang dengan barang. Ini bentuk bai' berdasarkan
konotasinya.
Misalnya: Tukar-menukar mobil dengan rupiah.
2. Tukar-menukar barang dengan barang, disebut juga dengan
muqayadhah (barter). Misalnya: Tukar-menukar buku dengan jam
tangan.
3. Tukar-menukar uang dengan uang, disebut juga dengan sharf.
Misalnya: Tukar-menukar rupiah dengan real.

2. Ditinjau dari sisi waktu serah-terima, bai' dibagi menjadi 4 bentuk:


1. Barang dan uang serah-terima dengan cara tunai. Ini bentuk asal
bai'.
2. Uang dibayar dimuka dan barang menyusul pada waktu yang
disepakati, ini dinamakan salam.
3. Barang diterima dimuka dan uang menyusul, disebut juga dengan
bai' ajal (jual-beli tidak tunai). Misalnya: Jual-beli kredit.
4. Barang dan uang tidak tunai, disebut juga bai' dain bi dain (jual-
beli hutang dengan hutang).
3. Ditinjau dari cara menetapkan harga, bai' dibagi menjadi:
1. Bai' musawamah (jual-beli dengan cara tawar-menawar), yaitu:
jualbeli dimana pihak penjual tidak menyebutkan harga pokok
barang akan tetapi menetapkan harga tertentu dan membuka
peluang untuk ditawar. Ini bentuk asal bai'.

6
2. Bai' amanah, yaitu: jual-beli dimana pihak penjual menyebutkan
harga pokok barang lalu menyebutkan harga jual barang tersebut.
Bai' jenis ini terbagi lagi menjadi 3 bagian:
- Bai' Murabahah yaitu: pihak penjual menyebutkan harga
pokok barang dan laba. Misalnya: Pihak penjual
mengatakan," barang ini saya beli dengan harga Rp. 10.000
dan saya jual dengan harga Rp. 11.000 atau saya jual dengan
laba 10% dari modal.
- Bai' wadh'iyyah, yaitu: pihak penjual menyebutkan harga
pokok barang dan menjual barang tersebut dibawah harga
pokok. Misalnya: Penjual berkata," barang ini saya beli
dengan harga Rp.10.000,- dan akan saya jual dengan harga
Rp. 9.000,- atau saya potong 10% dari harga pokok.
- Bai' tauliyah, yaitu: penjual menyebutkan harga pokok dan
menjual barangnya dengan harga tersebut. Misalnya: Penjual
berkata," barang ini saya beli dengan harga Rp.10.000,- dan
saya jual sama dengan harga pokok".

Rukun Bai'
Bai' memiliki 3 rukun:
1. Pelaku transaksi, yaitu: penjual dan pembeli.
2. Obyek transaksi, yaitu: harga dan barang.
3. Akad (transaksi), yaitu: segala tindakan yang dilakukan kedua-
belah pihak yang menunjukkan mereka sedang melakukan
transaksi, baik tindakan tersebut berbentuk kata-kata atau
perbuatan. Ada 2 bentuk akad:
a. Akad dengan kata-kata, dinamakan juga dengan ijab-qabul. Ijab,
yaitu: kata-kata yang diucapkan terlebih dahulu. Misalnya: Penjual
berkata," baju ini saya jual dengan harga Rp. 10.000,-
b. Qabul, yaitu: kata-kata yang diucapkan kemudian. Misalnya:
Pembeli berkata," barang saya terima".
c. Akad dengan perbuatan, dinamakan juga dengan mu'athah.
Misalnya: Pembeli memberikan uang Rp. 10.000,- kepada penjual

7
kemudian mengambil barang yang senilai itu tanpa terucap kata-
kata dari kedua belah-pihak.

Syarat-syarat Sah Bai'


Suatu bai' tidak sah bila tidak terpenuhi dalam suatu akad 7 syarat;
1. Saling rela antara kedua-belah pihak. Kerelaan antara kedua belah
pihak untuk melakukan transaksi syarat mutlak keabsahannya,
berdasarkan firman Allah:

            

            

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan


harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu."
( An Nisaa: 29 ).

Sabda nabi:
Bai' (jual-beli) haruslah atas dasar kerelaan (suka sama-suka).
HR. Ibnu Majah.
Jika seseorang dipaksa menjual barang miliknya dengan cara yang
tidak dibenarkan hukum maka penjualan yang dia lakukan batal
dan tidak terjadi peralihan kepemilikan. Demikian pula halnya
bila seseorang dipaksa membeli.
Adapun bila seseorang dipaksa melakukan akad atas dasar hukum
maka
akad yang dilakukan sah. Misalnya: Seseorang yang dililit hutang
dipaksa oleh qadhi (hakim) untuk menjual harta yang dimilikinya
guna melunasi beban terhadap hutangnya. Yang serupa dengan
pemaksaaan adalah canda dan sungkan. Misalnya: Seseorang
menjual/membeli barang dikarenakan sungkan atau bergurau.

8
Maka akad yang dilakukan tidak sah karena ketiadaan unsur suka
sama-suka.
2. Pelaku akad adalah orang yang dibolehkan melakukan akad, yaitu
orang yang telah baligh, berakal, dan mengerti, maka akad yang
dilakukan oleh anak di bawah umur, orang gila atau idiot, tidak
sah kecuali dengan seijin walinya. Berdasarkan firman Allah,

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum


sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu)
yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. (An Nisaa: 5).
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-
hartanya. (AnNisaa: 6).

Anak kecil dikecualikan dari kaidah yang ada di atas, dia boleh
melangsungkan akad yang bernilai rendah, seperti: membeli
kembang gula.
3. Harta yang menjadi obyek transaksi telah dimiliki sebelumnya
oleh kedua pihak. Maka tidak sah menjual-membeli barang yang
belum dimiliki tanpa seizin pemiliknya.
Berdasarkan sabda Nabi: "Jangan engkau jual barang yang bukan
milikmu". (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Adapun wakil, wali anak kecil dan orang gila serta pengurus anak
yatim statusnya disamakan dengan pemilik. Jika seseorang
menjual barang orang lain tanpa izin akadnya tidak sah. Akad ini
dinamakan oleh para ahli fiqh tasharruf fudhuli.
4. Obyek transaksi adalah barang yang dibolehkan agama. Maka
tidak boleh menjual barang haram, misalnya: khamer, rokok, alat
musik, kaset lagu, video porno dll.
Berdasarkan sabda Nabi: Sesungguhnya Allah bila mengharamkan
suatu barang juga mengharamkan nilai jual barang tersebut. (HR.
Ahmad). Termasuk dalam hal ini barang yang asal hukumnya

9
haram namun dibolehkan dalam keadaan darurat, seperti bangkai
saat darurat, anjing buru dan anjing jaga. Tidak dibenarkan juga
menjualnya. Berdasarkan sabda Nabi: Uang hasil penjualan anjing
adalah najis (HR. Muslim).
5. Obyek transaksi adalah barang yang bisa diserahterimakan. Maka
tidak sah menual mobil hilang, burung di angkasa, dll karena tidak
dapat diserahterimakan. Berdasarkan hadist nabi: Abu Hurairah
meriwayatkan bahwa Nabi melarang jual beli gharar (penipuan).
(HR. Muslim).
6. Obyek transaksi diketahui oleh kedua belah pihak saat akad.
Maka tidak sah menjual barang yang tidak jelas. Misalnya: Penjual
mengatakan, "Aku jual mobil kepadamu" dan pembeli
mengatakan "Aku terima", sedangkan dia belum melihat dan
belum mengetahui spesifikasi mobil tersebut. Berdasarkan hadist
Nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah di atas tentang larangan
jual-beli gharar. Obyek transaksi dapat diketahui dengan dua cara;
- Barang delihat langsung pada saat akad atau beberapa saat
sebelumnya yang diperkirakan barang tersebut tidak
berubah dalam jangka waktu itu.
- Spesifikasi barang dijelaskan dengan sejelas-jelasnya seakan-
akan orang yang mendengar melihat barang tersebut.
7. Harga harus jelas saat transaksi. Maka tidak sah jual-beli dimana
penjual mengatakan "Aku jual mobil ini kepadamu dengan harga
yang akan kita sepakati nantinya". Berdasarkan Hadist di atas
yang melarang jual beli gharar.

Qabdh (Penerimaan Barang)


Dari penjelasan di atas telah kita ketahui bahwa akad jual beli yang
sah akan berdampak beralihnya kepemilikan barang dari penjual kepada
pembeli, kepemilikan beralih dikarenakan akad, sekalipun belum terjadi
qabdh.
Misalnya: penjual berkata, "Aku jual mobilku kepadamu dengan
harga 50 juta rupiah", pembeli berkata, "Saya terima". Dengan kata-kata

10
tersebut kepemilikan barang telah berpindah dari penjual kepada
pembeli walaupun surat balik nama belum keluar. Apabila surat balik
nama telah keluar saat itu dikatakan kepemilikan mobil telah berpindah
dan telah terjadi qabdh.
Dengan demikian, qabdh berarti pihak pembeli telah dapat
menggunakan barang tersebut, dan qabdh lebih dari sekedar peralihan
kepemilikan.

A. Konsekwensi Qabdh
Ada dua hal yang merupakan konsekwensi qabdh:
1. Kewenangan menggunakan barang, seperti: menjualnya kembali.
Dan tidak sah seseorang yang membeli barang kemudian dia jual
kembali sebelum terjadi qabdh atas barang tersebut.
Berdasarkan sabda nabi: Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa
nabi bersabda," barang siapa membeli makanan maka jangan
dijual sebelum terjadi serah terima barang" (HR. Bukhari-
Muslim).
Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, ia berkata," aku bertanya
kepada rasulullah, jual-beli apakah yang diharamkan dan yang
dihalalkan? Beliau bersabda," hai keponakanku! Bila engkau
membeli barang jangan dijual sebelum terjadi serah terima". HR.
Ahmad.
Hikmah akad ini diharamkan, karena pihak penjual masih
mengusai barang yang dijual, manakala dia tahu pembeli meraup
keuntungan yang besar dari penjualan barang tersebut ke pihak
lain, kemungkinan dia enggan menyerahkannya. Hal ini sering
menyebabkan sengketa antara tiga pihak. Dan islam sangat
menjaga untuk tidak terjadinya permusuhan dan kebencian
sesama pemeluknya.
2. Tanggungjawab barang berpindah dari pihak penjual kepada
pembeli. Jikalau barang lenyap setelah terjadi jual beli dan
sebelum terjadi qabdh maka barang berada dalam tanggungan
pihak penjual karena barang masih dalam garansinya, kecuali

11
sebab lenyapnya oleh si pembeli. Dikecualikan dari kaidah di atas
bilamana penjual bermaksud menyerahkan barang kepada
pembeli, tetapi pembeli mengulur waktu sehingga barang lenyap.
Maka garansi ditanggung pembeli, karena kelalaiannya.

B. Cara qabdh
Penentuan cara qabdh merujuk kepada kebiasaan yang berlaku,
caranya berbeda berdasarkan jenis barang, misalnya:
1. Qabdh properti seperti rumah dan tanah dengan cara member
peluang kepada pembeli untuk menempatinya.
2. Qabdh makanan, pakaian dan perkakas dengan cara
memindahkannya dari tempat semula.
3. Qabdh emas, perak dan permata dengan cara mengambilnya
dengan tangan.
4. Qabdh uang dengan cara memegangnya dengan tangan atau
dibukukan dalam rekening bank
5. Qabdh mobil dengan cara membawanya keluar dari tempat
semula atau dengan cara menerima dokumen yang telah
tercantum nama pembeli. Dan begitu seterusnya, qabdh setiap
barang merujuk kepada kebiasaan yang berlaku.

Khiyar
Menurut bahasa khiar berasal dari kata ikhtiar yang bermakna
memilih. Menurut istilah khiar adalah hak pelaku transaksi untuk
meneruskan atau membatalkan akad.

Jenis-jenis khiar, di antaranya :


1. Khiar majelis.
a. Majelis berarti: tempat transaksi, dengan demikian khiar majelis
berarti hak pelaku transaksi untuk meneruskan atau membatalkan
akad selagi mereka berada dalam tempat transaksi dan belum
berpisah.

12
Dalil : Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam bahwa Nabi bersabda,
"Penjual dan pembeli memiliki hak khiar selama mereka belum
berpisah maka jika keduanya jujur dan saling terbuka niscaya akad
mereka diberkahi dan jika keduanya berdusta dan saling menutupi
dicabut keberkahan dari akad yang mereka lakukan". (HR. Bukhari
Muslim).
Hikmah Penetapan Hukum Khiar
Terkadang, seseorang setelah menjual atau membeli suatu barang
timbul dalam dirinya penyesalan maka dengan khiar majelis dia
berhak untuk rujuk.
Waktu Khiar Majelis
Khiar majelis merupakan hak kedua pihak, waktunya dimulai dari
awal akad dan berakhir saat jasad kedua belah pihak berpisah dari
tempat akad berlangsung sekalipun akad tersebut berlangsung
lama.
Bila akad berlangsung via telepon waktu khiar berakhir dengan
ditutupnya telepon. Dan bila berlangsung via internet menggunakan
program mesenger maka hiar berakhir dengan ditutupnya program
tersebut. Dan bila berlangsung dengan cara mengisi daftar belanja
maka ijabnya dengan mengisi daftar yang kemudian dikirim ke
pihak penjual, sedangkan pengiriman daftar dari pihak penjual
dianggap sebagai qabul. Dan khiar berakhir dengan terkirimnya
daftar belanja yang telah diisi sebelumnya.
Menafikan/menggugurkan khiar: Dibolehkan menafikan dan
menggugurkan khiar majelis. Menafikan khiar, yaitu: kedua belah
pihak sepakat sebelum melakukan akad untuk tidak ada hak khiar
bagi keduanya dan akad menjadi tetap dengan ijab dan qabul.
Menggugurkan khiar, yaitu: kedua pihak melakukan transaksi,
setelah transaksi dan sebelum berpisah mereka sepakat
menggugurkan khiar, ini biasanya terjadi manakala mejelis akad
terlalu lama.
Upaya tipuan untuk menggugurkan khiar: Tidak dibenarkan
kedua-belah pihak melakukan tipuan untuk menggugurkan khiar,

13
seumpama: bersegera meninggalkan majelis akad dengan maksud
hak khiar gugur dari pihak lain.
Berdasarkan hadist nabi : Penjual dan pembeli memiliki hak khiar
selama mereka belum berpisah, kecuali akad khiar syarat dan tidak
dibolehkan seseorang sengaja meninggalkan majelis akad karena
khawatir pihak lain membatalkan akadnya. HR. Ahmad.
2. Khiar Syarat
Khiar syarat, yaitu: kedua pihak atau salah satunya berhak
memberikan persyaratan khiar dalam jangka waktu tertentu.
Misalnya: Pembeli berkata," aku beli barang ini dengan syarat aku
berhak khiar selama 1 minggu. Maka dia berhak meneruskan atau
membatalkan transaksi dalam tempo tersebut sekalipun barang itu
tidak ada cacatnya.

"Diriwayatkan dari Amru bin Auf bahwa Nabi bersabda," Orang islam
terikat dengan persyaratan (yang mereka buat) selagi syarat itu tidak
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram".
(HR.Tirmizi).

Syarat sah khiar syarat: Agar khiar syarat dianggap sah disyaratkan
2 hal:
o Kedua belah pihak saling rela, baik kerelaannya terjadi sebelum
atau saat akad berlangsung.
o Waktunya jelas sekalipun jangkanya panjang

Berakhirnya masa khiar syarat, Khiar syarat berakhir ditandai


dengan berakhirnya jangka waktu yang telah disepakati atau
keduanya sepakat mengakhiri waktu khiar sebelum berakhirnya
waktu yang disepakati sebelumnya.
3. Khiar Aib
Khiar aib yaitu hak pilihan untuk meneruskan atau membatalkan
akad dikarenakan terdapat cacat pada barang yang mengurangi
harganya. Misalnya:

14
− Retak pada dinding rumah yang merupakan obyek akad.
− Mesin mobil tidak berfungsi.
− Banyak terdapat buah busuk dibagian bawah keranjang saat
membelinya dalam jumlah besar.
Hukum menutupi cacat barang, Bila terdapat cacat yang mengurangi
harga barang maka pihak penjual berkewajiban menjelaskannya kepada
pembeli, jika tidak dilakukannya maka dia termasuk orang yang menipu.

Diriwayatkan dari Abu Huraira bahwa Nabi melewati setumpuk tepung


gandum yang dijual, lalu Beliau memasukkan tangannya ke dalam
tumpukan tersebut ternyata bagian dalamnya basah, Beliau bertanya,"Apa
ini hai penjual tepung?", ia menjawab, "Terkena hujan wahai Rasulullah",
lalu Beliau bersabda, "Mengapa engkau tidak meletakkannya di bagian
atas sehingga orang dapat melihatnya. Sesungguhnya orang yang menipu

Dari Uqbah bin Amir, ia berkata, "Aku mendengar Nabi bersabda, "Seorang
muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, tidak dibenarkan seorang
muslim menjual barang yang cacat kepada saudaranya melainkan ia
jelaskan cacatnya". HR. Ibnu Majah.

Hak pembeli barang cacat, Seseorang yang membeli barang, ternyata


barang tersebut cacat dan dia tidak mengetahui sebelumnya maka dia
berhak memilih;
o Mengembalikan barang dan menarik kembali uang yang telah
dibayar.
o Menahan barang serta meminta sebagian dari uang yang telah
dibayarkannya sesuai dengan kekurangan harga barang tersebut
dikarenakan cacat. Misalnya: pak Saleh membeli mobil dengan harga
54 juta rupiah, ternyata transmisinya tidak berfungsi maka untuk
menentukan berapa uang yang harus dikembalikan penjual maka
harga mobil ditaksir oleh pedagang dalam keadaan baik umpamanya
seharga 45 juta rupiah dan dalam kondisi transmisi rusak seharga 40
juta rupiah. Dengan demikian selisih antara 2 harga Rp. 5 juta sama

15
dengan 1/9 dari harga keseluruhan. Maka pembeli boleh pilih antara
menarik kembali seluruh uangnya yaitu 54 juta rupiah atau
mengambil mobil tersebut dan menarik 1/9 dari 54 juta rupiah = 6
juta rupiah.
Menjual Barang Dengan Syarat tidak ada jaminan, Apabila penjual
memberikan persyaratan kepada pembeli bahwa tidak ada jaminan
kerusakan pada barang dan pembeli menyetujui persyaratan tersebut,
maka apakah lepas tanggung jawab penjual? Ataukah pembeli masih
berhak menuntut kerugian jika kelak dia menemukan cacat?
Hal ini ada 2 macam:

1. Bila penjual menjelaskan cacatnya dan pembeli tahu, umpamanya:


penjual berkata,"oli mesin mobil sering berkurang," atau cacatnya
nyata, umpamanya: tampak jelas bekas tabrakan pada bagian luar
mobil. Maka penjual telah lepas tanggungannya dan pembeli tidak
memiliki khiar lagi.
2. Pembeli tidak tahu cacat barang dan penjual mensyaratkan lepas
tanggungan dari segala cacat barang. Misalnya: Ia berkata, "Aku jual
barang ini kepadamu dengan syarat aku lepas tanggungan dari segala
cacatnya.

Dalam hal ini, pihak penjual lepas tanggungan dari seluruh cacat
barang andai dia benar-benar tidak mengetahui cacat sebelumnya karena
khiar adalah hak pembeli manakala dia rela hal itu dibolehkan.
Namun jika penjual tahu cacat barang sebelumnya lalu
menyembunyikan dan mensyaratkan lepas tanggungan dari seluruh cacat
barang maka dia tetap menjamin kerusakan barang tersebut, karena
tindakan ini termasuk penipuan dan pengelabuan, padahal nabi bersabda:
" Sesungguhnya orang yang menipu tidak termasuk golonganku".

Persyaratan dalam jual-beli


Maksud memberikan pesyaratan dalam jual beli adalah: salah satu
pihak memberikan persyaratan tertentu di luar ketentuan akad agar

16
mendapat nilai tambah. Misalnya: pak Ahmad membeli mobil dengan
syarat mobil tersebut harus dikirim ke kota di luar kota akad dilakukan.

Perbedaan persyaratan dalam jual-beli dan syarat sah jual-beli,


yaitu:
1. Syarat sah jual-beli ditetapkan oleh agama sedangkan memberikan
persyaratan dalam jual-beli ditetapkan oleh salah satu pihak pelaku
transaksi.
2. Bila syarat sah jual-beli dilanggar maka akad yang dilakukan tidak
sah, namun bilamana persyaratan dalam jual-beli yang dilanggar
maka akadnya tetap sah hanya saja pihak yang memberikan
persyaratan berhak khiar untuk melanjutkan atau membatalkan
akad.

Hukum asal memberikan persyaratan dalam bai' adalah sah dan


mengikat, maka dibolehkan bagi kedua belah pihak menambahkan
persyaratan dari akad awal.
Dalil:
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu". (Al Maidah:1).

"Diriwayatkan dari Amru bin Auf bahwa Nabi bersabda," Orang islam
terikat dengan persyaratan (yang mereka buat) selagi syarat itu tidak
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram". HR. Tirmizi.

Jenis-jenis persyaratan dalam bai'


Jenis-jenis persyaratan dalam bai' dapat dibagi menjadi 2 bagian:
1. Persyaratan yang dibenarkan, dan ini merupakan hukum asal bai',
diantaranya:
 Persyaratan yang sesuai dengan tuntutan akad. Misalnya: seseorang
membeli mobil dan mensyaratkan kepada penjual agar menanggung
cacatnya. Jaminan barang bebas dari cacat sudah menjadi kewajiban
penjual baik disyaratkan oleh pembeli maupun tidak akan tetapi
persyaratan disini bisa bertujuan sebagai penekanan.

17
 Persyaratan tautsiqiyyah, yaitu: penjual mensyaratkan pembeli
mengajukan dhamin (penjamin/guarantor) atau barang agunan.
Biasanya untuk jual-beli tidak tunai (kredit). Dan bilamana pembeli
terlambat memenuhi angsuran maka penjual berhak menuntut
penjamin untuk membayar atau berhak menjual barang agunan serta
menutupi angsuran dari hasil penjualan barang tersebut.
 Persyaratan washfiyyah, yaitu: pembeli mengajukan persyaratan
kriteria tertentu pada barang atau cara tertentu pada pembayaran.
Misalnya: Pembeli mensyaratkan warna mobil yang diinginkannya
hijau atau pembayarannya tidak tunai.
 Persyaratan manfaah pada barang. Misalnya: Penjual mobil
mensyaratkan memakai mobil tersebut selama 1 minggu sejak akad,
atau pembeli kain mensyaratkan penjual untuk menjahitnya.
 Persyaratan taqyidiyyah, yaitu: salah satu pihak mensyaratkan hal
yang bertentangan dengan kewenangan kepemilikan. Misalnya:
Penjual tanah mensyaratkan pembeli untuk tidak menjualnya ke
orang lain karena tanah tersebut bersebelahan dengan rumahnya
dan dia tidak ingin mendapatkan tetangga yang kurang baik.
 Persyaratan akad fi akad, yaitu : menggabung dua akad dalam satu
akad. Misalnya:
− Penjual berkata," saya jual mobil ini kepadamu seharga 40 juta
rupiah dengan syarat anda jual rumah anda kepada saya seharga
150 juta rupiah.
− Penjual berkata," saya jual mobil ini kepadamu seharga 40 juta
rupiah dengan syarat anda sewakan rumah anda kepada saya
seharga 5 juta rupiah selama 1 tahun. Persyaratan ini dibolehkan
selama salah satu akadnya bukan akad qardh.
 Syarth jaza'I (persyaratan denda/kalusul penalti), yaitu: persyaratan
yang terdapat dalam suatu akad mengenai pengenaan denda apabila
ketentuan akad tidak dipenuhi. Persyaratan ini dibolehkan jika obyek
akadnya adalah kerja dan bukan harta. Misalnya:
− Seseorang membuat kesepakatan dengan kontraktor untuk
membangun rumah seharga 500 juta rupiah. Rumah tersebut akan

18
diterimanya setelah 1 tahun sejak akad ditandatangani, bilamana
penyerahannya terlambat maka kontraktor dikenakan denda
dengan pemotongan sebanyak 1% dari harga keseluruhan untuk
setiap bulan keterlambatan. Persyaratan denda ini termasuk riba
dayn yang diharamkan.
 Syarat takliqiyyah. Misalnya: Penjual berkata," saya jual mobil ini
kepadamu dengan harga 50 juta rupiah jika orang tuaku setuju.
Lalu pembeli berkata," saya terima". Dan jika orang tuanya setuju
maka akad menjadi sah. Termasuk dalam syarat ini persyaratan
uang muka. Hampir keseluruhan bentuk persyaratan di atas
dibolehkan oleh islam dan wajib dipenuhi, karena keinginan
manusia berbedabeda dan hal ini sesuai dengan tujuan umum
jual-beli dibolehkan.

2. Persyaratan yang tidak dibenarkan, terbagi menjadi 2 bagian:


 Persyaratan yang dilarang oleh agama, diantaranya; persyaratan
menggabung akad qardh dengan bai'. Misalnya: pak Ahmad
meminjamkan uang kepada pak Khalid sebanyak 50 juta rupiah
dan akan dikembalikan dalam jumlah yang sama dengan syarat
pak Khalid menjual mobilnya kepada pak Ahmad dengan harga 30
juta rupiah. Persyaratan ini hukumnya haram karena merupakan
media menuju riba, karena harga mobil pak Khalid mungkin lebih
mahal daripada tawaran pak Ahmad akan tetapi dia merasa
sungkan menaikkan harga mobil mengingat pinjaman yang akan
diterimanya.

Rasulullah bersabda:
"Tidak dihalalkan menggabung akad pinjaman uang dengan akad
bai'". HR. Abu Daud.

 Persyaratan yang bertentangan dengan tujuan akad. Misalnya:


Seseorang menjual mobilnya dengan syarat kepemilikannya tidak
berpindah kepada pembeli. Persyaratan ini bertentangan dengan

19
tujuan akad, karena tujuan akad bai' adalah perpindahan
kepemilikan barang dari penjual kepada pembeli dan dengan
adanya persyaratan ini maka akad bai' menjadi semu. Inilah
bentuk-bentuk persyaratan yang tidak dibenarkan dan tidak wajib
dipenuhi, berdasarkan sabda nabi:
"Setiap persyarata yang bertentangan dengan agama Allah tidak
sah sekalipun berjumlah 100 persyaratan". HR. Bukhari-Muslim.

Waktu Bai'
Bai' tidak terikat dengan waktu tertentu dan dibolehkan melakukan
bai' kapan saja selama tidak menyebabkan tertinggalnya suatu kewajiban.
Dengan demikian tidak dibolehkan orang yang wajib shalat jumat
melakukan akad setelah azan dikumandangkan karena saat itu dia
diperintahkan untuk bersegera menuju masjid melakukan rangkaian
shalat jumat, berdasarkan firman Allah:

               

      

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at,


maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Al
Jumu'ah : 9).

Tempat Bai'
Bai' tidak disyaratkan dilakukan pada tempat tertentu, boleh
dilakukan dimana saja kecuali di masjid. Berdasarkan sabda Nabi:

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash bahwa nabi melarang
berjual beli di dalam masjid. HR. Abu Daud.

20
Diantara hikmah pelarangan ini agar masjid terjaga dari kegaduhan
yang melalaikan seperti yang terjadi di pasar. Termasuk dalam larangan
ini juga melakukan transaksi jual-beli saham dengan menggunakan
PDA/telepon genggam saat berada di dalam masjid.

Bai' Yang Diharamkan


Diantara keagungan islam dan keindahannya bahwa muamalat
yang diharamkan tidaklah terlalu banyak, berbeda dengan muamalat
yang dibolehkan jumlahnya tidak terbatas, karena memang hukum asal
muamalat adalah mubah. Kalau kita perhatikan muamalat yang
diharamkan akan kita dapati bahwa;
1. Setiap muamalat yang diharamkan, Allah berikan gantinya. Misalnya:
Allah mengharamkan riba, sebagai gantinya dihalalkan jual beli tidak
tunai, Allah mengharamkan judi, sebagai gantinya maka dihalalkan
perlombaan dan lain-lain.
2. Muamalat yang diharamkan umumnya mengandung kezaliman, maka
hikmah pengharamannya menjaga tatanan hidup bermasyarakat dari
efek kezaliman.

Faktor penyebab sebuah muamalat diharamkan


Para ulama menjelaskan secara umum faktor penyebab muamalat
yang diharamkan ada 3 hal:
1. Kezaliman.
2. Gharar (tipuan).
3. Riba.

Faktor Pertama : kezaliman.


Manakala sebuah muamalat mengandung kezaliman terhadap salah
satu pihak atau pihak manapun jua niscaya diharamkan. Berdasarkan
firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu". (An Nisaa': 29).

21
Kezaliman menafikan suka sama-suka dan termasuk juga memakan
harta orang lain dengan jalan yang batil. Diantara bentuk-bentuk jual-beli
yang diharamkan karena mengandung kezaliman, yaitu;
1. Ghisysy, yaitu dengan cara menyembunyikan cacat barang atau
dengan cara menampilkan barang yang bagus dan menyelipkan
diselanya barang yang jelek. Bai' ini diharamkan berdasarkan sabda
nabi :
" Sesungguhnya orang yang menipu tidak termasuk golonganku".

2. Najasy. secara bahasa berarti membangkitkan. Sedangkan secara


istilah memiliki beberapa bentuk;
 Seseorang menaikkan harga pada saat lelang sedangkan dia tidak
berniat untuk membeli; baik ada kesepakatan sebelumnya antara
dia dan pemilik barang atau perantara, maupun tidak.
 Penjual menjelaskan kriteria barang yang tidak sesungguhnya.
 Penjual berkata," harga pokok barang ini sekian," padahal dia
berdusta.
Najasy dengan seluruh bentuk di atas hukumnya haram, karena
merupakan penipuan dan pengelabuan terhadap pembeli. Namun
demikian, hukum akad jual-beli tetap sah dan pembeli berhak
memilih antara mengembalikan barang atau meneruskan akad, jika
harga barang yang dibelinya jauh lebih mahal dari harga pasaran.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, ia berkata," rasulullah melarang


najsy". HR. Bukhari- Muslim.

3. Menjual, membeli dan menawar barang yang terlebih dahulu dijual,


dibeli dan ditawar oleh muslim yang lain. Misalnya:
− Menjual barang yang terlebih dahulu dijual oleh muslim yang lain,
penjual berkata kepada orang yang telah membeli suatu barang
dengan harga Rp. 10.000,- dari orang lain," aku jual barang yang
sama kepadamu dengan harga Rp. 9.000,- atau aku jual barang yang

22
lebih bagus kwalitasnya kepadamu dengan harga Rp. 10.000,-"
berharap pembeli membatalkan akad dengan orang lain dan
membeli darinya.
− Membeli barang yang terlebih dahulu dibeli oleh muslim yang lain,
pembeli berkata kepada penjual yang telah menjual barangnya
dengan harga Rp. 9.000,-," saya beli barang tersebut dari anda
dengan harga Rp. 10.000,- ".
− Menawar barang yang terlebih dahulu ditawar oleh muslim yang
lain, seseorang mendapati dua orang yang sedang tawarmenawar
dan keduanya hampir sepakat, lalu dia berkata kepada penjual,"
saya beli barang anda dengan harga di atas tawarannya," atau dia
berkata kepada pembeli," saya tawarkan kepada anda barang yang
sama dengan harga yang lebih murah."
Menawar barang yang terlebih dahulu ditawar oleh muslim yang lain
hukumnya haram dengan 2 syarat:
1. Bilamana hampir terjadi saling kecocokan harga. Dengan
demikian dalam tahap awal tawar-menawar dan masih jauh dari
kecocokan harga dibolehkan bagi pihak ketiga untuk menawar.
2. Jual-belinya tidak dengan cara lelang. Dengan demikian saat
lelang dibolehkan menawar barang yang sedang ditawar. Seluruh
akad diqiyaskan dengan jual-beli. Maka jika seseorang
mengajukan lamaran ke salah satu instansi dan instansi tersebut
menyatakan diterima dia lebih berhak mengisi lowongan tersebut
daripada orang lain. Adapun jika belum keluar pernyataan
diterima dibenarkan orang lain mengajukan lamaran.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa nabi bersabda,"janganlah


sebagian kalian menjual barang yang terlebih dahulu dijual oleh
muslim yang lain". Dalam riwayat Muslim," janganlah seorang muslim
menawar barang yang terlebih dahulu ditawar oleh saudaranya
muslim yang lain". HR. Bukhari Muslim.

23
Hikmah larangan menjual, membeli dan menawar barang yang
terlebih dahulu dijual, dibeli dan ditawar oleh muslim yang lain
adalah menutup celah terjadinya permusuhan dan pertiakaian
sesama muslim.

4. Ihtikar (menimbun barang).


Ihtikar yaitu menahan barang yang merupakan hajat orang
banyak dengan tidak menjualnya agar permintaan bertambah dan
harga menjadi naik, saat itulah kemudian ia menjualnya.
Para ulama sepakat bahwa ihtikar secara umum hukumnya
haram.
Diriwayatkan dari Mu'amar bin Abdullah bahwa Nabi bersabda,
"Orang yang melakukan ihtikar berdosa". (HR. Muslim).

Syarat ihtikar diharamkan bilamana terdapat 2 hal;


o Melakukan ihtikar pada saat harga melambung, adapun
menimbun barang pada waktu harga murah tidak dinamakan
ihtikar.
o Barang yang ditimbun merupakan hajat orang banyak dan mereka
terimbas dengan tindakan tersebut, seperti makanan pokok,
bahan bakar, material bangunan, dll. Adapun barang yang tidak
termasuk kebutuhan pokok sehari-hari maka tidak diharamkan
menimbunnya.
5. Menjual barang yang digunakan untuk maksiat, Menjual barang yang
mubah kepada pembeli yang diketahui akan menggunakannya untuk
berbuat maksiat diharamkan, seperti: menjual anggur kepada pabrik
minuman keras dan menjual senjata kepada perampok.
Begitu juga akad sewa, seumpama; menyewakan tempat kepada
orang yang menjual barang haram, seperti kaset musik atau
menyewakan gedung kepada bank konvensional dan lain-lain.

24
Firman Allah: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran". (Al Maidah: 2).

Bentuk jual beli ini merupakan kezaliman terhadap pembeli karena


membantunya berbuat maksiat padahal seharusnya dia dinasehati agar
berhenti berbuat maksiat.

Faktor Kedua: Gharar (Penipuan).


Gharar menurut bahasa berarti: resiko, tipuan dan menjatuhkan
diri atau harta ke jurang kebinasaan. Menurut istilah, gharar berarti: jual
beli yang tidak jelas kesudahannya.
Jadi, asas gharar merupakan ketidakjelasan. Ketidakjelasan itu bias
terjadi pada barang atau harga.

Ketidakjelasan pada barang disebabkan beberapa hal:


 Fisik barang tidak jelas. Misalnya: Penjual berkata," aku menjual
kepadamu barang yang ada di dalam kotak ini dengan harga Rp.
100.000,-." dan pembeli tidak tahu fisik barang yang berada di dalam
kotak.
 Sifat barang tidak jelas. Misalnya: Penjual berkata," aku jual sebuah
mobil kepadamu dengan harga 50 juta rupiah". Dan pembeli belum
pernah melihat mobil tersebut dan tidak tahu sifatnya.
 Ukurannya tidak jelas. Misalnya: Penjual berkata," aku jual kepadamu
sebagian tanah ini dengan harga 10 juta rupiah".
 Barang bukan milik penjual, seperti menjual rumah yang bukan
miliknya.
 Barang tidak dapat diserah terimakan, seperti menjual jam tangan
yang hilang.

Ketidakjelasan pada harga disebabkan beberapa hal:

25
1. Penjual tidak menentukan harga. Misalnya: Penjual berkata," aku jual
mobil ini kepadamu dengan harga sesukamu". Lalu mereka berpisah
dan harga belum ditetapkan oleh kedua belah pihak.
2. Penjual memberikan 2 pilihan dan pembeli tidak menentukan salah
satunya. Misalnya: Penjual berkata,"saya jual mobil ini kepadamu jika
tunai dengan harga 50 juta rupiah dan jika tidak tunai dengan harga
70 juta rupiah". Lalu mereka berpisah dan pembeli membawa mobil
tanpa menentukan harga yang mana disetujuinya.
3. Tidak jelas jangka waktu pembayaran. Misalnya: Penjual berkata,"
saya jual motor ini dengan harga 5 juta rupiah dibayar kapan anda
mampu". Jika kita amati bentuk-bentuk diatas jelaslah bahwa seluruh
akadnya mengandung unsur untung-rugi (spekulasi). Bila salah satu
pihak mendapat keuntungan pihak lain mengalami kerugian, inilah
hakikat gharar. Pembeli kotak yang tidak mengetahui isinya dengan
harga Rp. 100.000,- mungkin mendapat untung jika ternyata isinya
seharga Rp. 130.000,- dan mungkin mengalami kerugian jika
ternyata isinya seharga Rp. 90.000,- . Dan begitulah seterusnya
bentuk-bentuk akad yang lain.

Hubungan Gharar dengan Qimar


Qimar sama dengan gharar, karena asasnya juga ketidakjelasan
yang berkemungkinan mendatangkan kerugian atau keuntungan. Hanya
saja perbedaan antara keduanya bahwa qimar biasa terjadi pada
permainan atau perlombaan sedangkan gharar terjadi pada akad jual-beli.

Diantara bentuk qimar:


1. Dua orang atau lebih melakukan sebuah permainan dan masing-
masing mengeluarkan sejumlah uang dengan syarat yang keluar
sebagai pemenang dari permainan tersebut mengambil seluruh uang.
2. Dua orang atau lebih melakukan taruhan. Dengan mengatakan jika
yang keluar sebagai pemenang adalah kesebelasan yang saya
unggulkan maka anda harus membayar uang sekian dan jika
sebaliknya maka saya bayar uang kepada anda sekian.

26
Hubungan Gharar dengan Maysir
Gharar adalah salah satu bentuk maysir, karena maysir terbagi 2:
1. Maysir yang diharamkan karena mengandung unsur qimar,
seperti misalnya diatas. Ini berarti maysir semakna dengan
gharar.
2. Permainan yang diharamkan sekalipun tidak disertai pembayaran
uang. Sebagian ulama salaf ditanya tentang maysir, dia
menjawab," segala bentuk permainan yang melalaikan dari shalat
dan zikrullah termasuk maysir.
Pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim serta
mereka menukilnya dari mayoritas para ulama. Menurut mereka
sebab diharamkannya maysir bukanlah karena mengandung
unsure spekulasi, akan tetapi karena maysir melalaikan seseorang
dari shalat, zikrullah dan menimbulkan kebencian serta
permusuhan, sedangkan fungsi uang hadiah hanyalah sebagai
penarik orang untuk ikut serta dalam permainan tersebut.

Hubungan Gharar dengan Mukhatarah (spekulasi).


Mukhatarah lebih umum daripada gharar. Mukhatarah terbagi 2:
1. Mukhatarah yang disebabkan oleh ketidakjelasan barang atau
harga. Mukhatarah jenis ini termasuk qimar dan gharar.
2. Mukhatarah yang disebabkan oleh karena pelaku akad belum dapat
memastikan keuntungan dari akad niaga yang mereka lakukan,
akan tetapi barang dan harganya jelas bagi mereka, yang tidak jelas,
apakah akad niaga ini akan mendatangkan keuntungan besar atau
sebaliknya. Mukhatarah jenis ini dibolehkan dan tidak termasuk
gharar karena seluruh akad niaga tidak terlepas dari mukhatarah
jenis ini.
Ibnu taimiyah berkata," tidak ada satupun dalil yang dapat
mengharamkan seluruh bentuk mukhatarah. Bahkan sebaliknya
Allah dan Rasul-Nya tidak mengharamkan seluruh bentuk
mukhatarah yang pelaku akad masuk ke dalam area untung dan

27
rugi. Karena seluruh pelaku niaga mengharapkan keuntungan dan
menghindari kerugian. Dengan demikian mukhatarah jenis ini
dibolehkan berdasarkan dali dari Al quran, hadist dan ijma, dan
seorang pedagang dapat disebut mukhathir (spekulan).

Berdasarkan hal di atas maka jual beli yang dilakukan secara cepat
terhadap beberapa jenis barang seperti saham yang mengandung unsur
spekulasi tinggi karena pembeli kemungkinan mendapat keuntungan
dalam beberapa saat atau sebaliknya tidaklah dianggap qimar apabila
rukun dan syarat jual beli terpenuhi, yang diantaranya barang dan harga
jelas.

Hukum Bai' Gharar


Bai' gharar hukumnya haram berdasarkan Al-Qur'an, hadist dan
ijma.

1. Dalil Al-Qur'an, firman Allah Ta'ala:


           

            

            

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,


berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan
itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu
bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara
kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi
kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu
(dari mengerjakan pekerjaan itu)". (Al-Maidah : 90-91)

28
2. Hadist
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi melarang jual beli Hashah
(jual beli tanah yang menentukan ukurannya sejauh lemparan batu) dan
juga melarang jual beli Gharar. HR. Muslim.

3. Ijma'
Para ulama sepakat bahwa bai' gharar secara umum hukumnya
haram.

Hikmah pelarangan bai' gharar


Syariat islam melarang bai' gharar karena beberapa hal,
 termasuk memakan harta dengan cara yang batil
 menimbulkan permusuhan sesama muslim
 mengumpulkan harta dengan cara untung-untungan dan judi
menyebabkan seseorang lupa mendirikan shalat dan zikrullah serta
menghancurkan dan menghilangkan keberkahan harta.
 Membiasakan seseorang menjadi pemalas, karena tidak perlu susah-
payah.
 Mengalihkan konsentrasi berfikir dari hal yang berguna kepada
memikirkan keuntungan yang bersifat semu.

Beberapa bentuk bai' gharar pada masa jahiliyah


Nabi melarang beberapa bentuk bai' karena mengandung unsure
gharar, diantaranya:
1. Bai' Hashah. Misalnya: Seseorang menjual tanahnya seukuran jauh
lemparan batu yang dia lakukan.
2. Bai' mulamasah dan munabazah. Misalnya: Penjual berkata," kain
yang manasaja yang engkau sentuh atau lemparkan ke saya, saya jual
dengan harga sekian".
3. Bai' hablul hablah, yaitu: menjual janin dari janin yang ada di perut
unta yang sedang hamil. Atau menjual suatu barang dengan cara
tidak tunai dengan jangka waktu hingga janin dari janin yang ada di
perut unta yang hamil ini lahir.

29
4. Menjual buah yang belum masak, karena buah yang masih muda
sebelum dipetik sangat rentan terkena hama, tapi bila warna
buahnya sudah berubah menjadi kekuning-kuningan atau kemerah-
merahan maka dibolehkan.
5. Bai' madhamin dan malaqih. Bai' madhamin yaitu: menjual sperma
yang berada dalam sulbi unta jantan. Bai' malaqih: menjual janin unta
yang masih berada dalam perut induknya.

Kriteria Gharar Yang Diharamkan


Gharar dihukumi haram bilamana terdapat salah satu criteria
berikut:
1. Jumlahnya besar. Jika gharar yang sedikit tidak mempengaruhi
keabsahan akad, seperti: pembeli mobil yang tidak mengetahui
bagian dalam mesin atau pembeli saham yang tidak mengetahui
rincian aset perusahaan.
Ibnu Qayyim berkata," gharar dalam jumlah sedikit atau tidak
mungkin dihindari niscaya tidak mempengaruhi keabsahan akad,
berbeda dengan gharar besar atau gharar yang mungkin dihindari".
(zaadul maad jilid.V hal. 820).

Al Qarafi berkata," gharar dalam bai' ada 3 macam:


- Gharar besar membatalkan akad, seperti menjual burung di
angkasa.
- Gharar yang sedikit tidak membatalkan akad dan hukumnya
mubah, seperti ketidakjelasan pondasi rumah atau ketidakjelasan
jenis benang qamis yang dibeli.
- Gharar sedang, hukumnya diperselisihkan oleh para ulama.
Apakah boleh atau tidak." ( furuuq jilid.III hal. 265).
Al Baji berkata," gharar besar yaitu rasionya dalam akad terlalu
besar sehingga orang mengatakan bai' ini gharar". ( Muntaqa jilid.
5 hal. 41).
2. Keberadaannya dalam akad mendasar. Jika gharar dalam akad hanya
sebagai pengikut tidak merusak keabsahan akad. Dengan demikian

30
menjual binatang ternak yang bunting, menjual binatang ternak yang
menyusui dan menjual sebagian buah yang belum matang dalam satu
pohon dibolehkan. Walaupun janin, susu dan sebagian buah tersebut
tidak jelas, karena keberadaanya hanya sebagai pengikut.
3. Akad yang mengandung gharar bukan termasuk akad yang
dibutuhkan orang banyak. Jika suatu akad mengandung gharar dan
akad tersebut dibutuhkan oleh orang banyak hukumnya sah dan
dibolehkan.

Ibnu Taimiyah berkata," mudharat gharar di bawah riba, oleh karena


itu diberi rukhsah (keringanan) jika dibutuhkan oleh orang banyak,
karena jika diharamkan mudharatnya lebih besar daripada
dibolehkan". (Qawaid nuraniyah hal.140).

Dengan demikian dibolehkan menjual barang yang tertimbun dalam


tanah, seperti: wortel, bawang, umbi-umbian dan menjual barang
yang dimakan bagian dalamnya, seperti: semangka telur dan lain-lain
sekalipun terdapat gharar. Karena kebutuhan orang banyak untuk
menjual dengan cara demikian tanpa dibuka terlebih dahulu bagian
dalamnya atau dicabut dari tanah.
4. Gharar terjadi pada akad jual-beli. Jika gharar terdapat pada akad
hibah hukumnya dibolehkan. Misalnya: Seseorang bersedakah
dengan uang yang ada dalam dompetnya padahal dia tidak tahu
berapa jumlahnya. Atau seseorang yang menghadiahkan bingkisan
kepada orang lain, orang yang menerima tidak tahu isi dalam
bingkisan tersebut, maka akadnya sah walaupun mengandung
gharar.

Faktor Ketiga : Riba


Menurut bahasa riba berarti bertambah. Sesuatu menjadi riba
apabila ia bertambah. Semakna dengan ini firman Allah Ta'ala;

31
"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah." (Al
Baqarah:276).

Menurut istilah riba berarti bertambah atau keterlambatan dalam


menjual harta tertentu.

Hukum Riba
Riba hukumnya haram berdasarkan Al-Qur'an, hadist dan ijma. Riba
termasuk dosa besar dan 7 dosa yang membinasakan. Allah tidak pernah
mengumumkan perang dalam Al-Qur'an terhadap seorang pembuat dosa
apapun kecuali dosa pemakan riba. Siapa yang menghalalkan hukum riba
divonis kafir karena mengingkari suatu kewajiban yang diketahui seluruh
umat islam. Adapun orang yang melakukan riba tanpa menganggap
hukumnya halal divonis fasik.
Al Mawardi berkata,
"Tidak satu agama samawi pun yang menghalalkan riba".

Allah berfirman menjelaskan syariat umat-umat terdahulu,


"Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka
telah dilarang daripadanya" (An Nisaa' : 161).

Dalil pengharaman riba


1. Al Qur'an
"Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (Al
Baqarah : 275).

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan


sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu
tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya". (Al Baqarah : 278 -279).

32
Sarakhsyi berkata, "Dalam ayat-ayat tersebut, Allah menjelaskan 5
ancaman untuk pemakan riba;

1. Bagai kemasukan syetan, fiman Allah:


"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila". (Al Baqarah: 275).
2. Kemusnahan, firman Allah
"Allah memusnahkan riba". (Al-Baqarah : 276).
Yang dimaksud dengan kemusnahan adalah hartanya menjadi
hilang. Menurut pendapat ahli tafsir lain musnah keberkahan dan
tidak dapat digunakan oleh pemilik atau ahli warisnya.

3. Perang, firman Allah:


"Bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu".
(Al-Baqarah : 279).
4. Kafir, firman Allah:
"Dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-
orang yang beriman". (Al-Baqarah : 278).
Dan diakhir ayat riba Allah berfirman:
"Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam
kekafiran, dan selalu berbuat dosa". (Al-Baqarah : 276).
Tafsirnya: orang akan menjadi kafir bila menghalalkan riba, dan
berdosa jika hanya memakannya.
5. Kekal di neraka bagi orang yang menghalalkannya, firman Allah:
"Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya".
(Al Baqarah : 275).
2. Hadist Nabi.

Diriwayatkan dari Abu Huraira, Nabi bersabda, “Jauhi 7 hal yang


membinasakan! Para sahabat berkata, “Wahai, Rasulullah! apakah itu?
Beliau bersabda, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang

33
diharamkan Allah tanpa hak, memakan harta riba, memakan harta anak
yatim, lari dari pertempuran, dan menuduh wanita beriman yang lalai
berzina.” Muttafaq ’alaih .

Diriwayatkan dari Jabir, ia berkata," Rasulullah mengutuk orang yang


makan harta riba, pemberi harta riba, penulis akad riba dan saksi
transaksi riba. Mereka semuanya sama". HR. Muslim.

3. Ijma'
Para ulama sepakat bahwa hukum riba haram. Setiap muslim yang
melakukan transaksi pinjam meminjam, jual beli berkewajiban
terlebih dahulu mempelajari tentang muamalah ini agar transaksinya
sah serta terhidar dari transaksi haram walaupun syubhat. Dan enggan
mempelajarinya adalah dosa dan kesalahan. Bagaimanapun juga orang
yang tidak tahu hukum muamalat akan terjerumus dalam riba,
disegaja maupun tidak.

Diriwayatkan dari para ulama salaf bahwa mereka melarang


melakukan transaksi niaga sebelum mempelajari fiqh muamalat agar
tidak terjerumus dalam riba.
Diriwayat dari Umar, ia berkata,"Jangan seorang pun berdagang di
pasar Madinah kecuali orangyang mengerti fiqh muamalat, bila tidak ia
akan terjerumus dalam riba".

Diriwayatkan dari Ali, ia berkata, "Orang yang tidak mengerti fiqh


muamalat dan melakukan niaga, ia akan berlumuran riba, kemudian
berlumuran, kemudian berlumuran".

Macam-macam riba
Riba terbagi dua:
1. Riba Dayn, yaitu riba yang terdapat dalam akad hutang seperti
pinjam meminjam uang dan jual beli tidak tunai.
Jenis ini terbagi 2:

34
 Penambahan hutang saat jatuh tempo
Bentuknya, seseorang memiliki kredit terhadap orang lain
dalam bentuk pinjaman uang atau jual beli berjangka,
tatkala jatuh tempo pembayaran, debitur tidak mampu
membayar, maka pihak kreditur menambah jangka waktu
pembayaran dengan syarat hutang bertambah.
Misalnya: Pak Saleh membeli mobil pak Khalid seharga 50
juta rupiah yang akan dilunasi dalam waktu 3 tahun. Tatkala
jatuh tempo pembayaran pak Saleh tidak memiliki uang
untuk membayar, maka pak Khalid berkata, "Aku beri
tenggang waktu satu tahun lagi dengan syarat hutang
bertambah menjadi 55 juta rupiah". Tambahan 5 juta rupiah
itu yang dinamakan dengan riba. Riba bentuk ini paling
berbahaya dan sangat diharamkan. Bentuk ini dalam istilah
fiqh dinamakan zidni unzhirka (beri aku tambahan piutang,
aku beri engkau tambahan tenggang waktu).
Dalilnya adalah firman Allah Ta'ala:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan
riba dengan berlipat ganda". (Ali Imran : 130).
Qatadah menafsirkan ayat ini, "Bentuk riba jahiliyah adalah
seseorang menjual barang tidak tunai hingga jangka waktu
tertentu, bila jatuh tempo waktu pembayaran pembeli tidak
mampu melunasinya ia harus membayar lebih dan waktu
pembayaran diundur".
 Riba yang disyaratkan pada akad pinjam meminjam
Bentuknya, seseorang kredit kepada orang lain dengan
persyaratan debitur membayar lebih dari uang yang
diterimanya.
Jenis ini disebut riba qardh, karena ribanya terdapat pada
akad qardh (pinjam-meminjam), dimana persyaratan riba
pada saat akad qardh berlangsung dan bukan pada saat jatuh
tempo pembayaran.

35
Misalnya: Pak Saleh butuh uang tunai maka ia meminta
pinjaman kepada pak Khalid sebanyak 50 juta rupiah, yang
akan dibayar setelah 1 tahun. Pak Agung menyanggupi
dengan syarat dikembalikan sebesar 55 juta rupiah.
Dalil haramnya riba al qardh, firman Allah Ta'ala
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya".
(Al Baqarah : 278-279).
Ayat di atas menjelaskan bahwa kreditur yang bertaubat dan
meninggalkan transaksi riba hanya boleh mengambil
sejumlah uang yang ia pinjamkan dan semua sisanya adalah
penganiyaan. Para ulama sepakat bahwa setiap bunga dari
pinjaman yang disyaratkan oleh kreditur pada akad pinjam
meminjam termasuk riba.

Hikmah Riba Dayn diharamkan


Riba diharamkan karena mendatangkan dampak negatif
terhadap
individu dan masyarakat. Dampak negatif terhadap individu adalah
kebutaan nurani pelaku ribu dengan keegoisan, keserakahan, kikir,
dan menjadi budak harta yang berakhir dengan kondisi yang
dijelaskan Allah tentang pelaku riba.

"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri


melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila". (Al Baqarah : 275).

36
Orang ini bagaikan orang gila harta. Dampaknya terhadap
masyarakat adalah bila mana riba telah menjalar pada kehidupan
sebuah masyarakat akan tampak efek negatifnya dari sisi sosial dan
ekonomi;
- Dari sisi sosial, masyarakat akan dipenuhi rasa egois, dengki
serta benci dan bukan saling kasih dan tolong. Masyarakat
terbagi menjadi dua golongan; kaya dan miskin, seperti
kenyataan yang terjadi di negara kapitalis, dimana golongan
kaya bersenang-senang tanpa susah dan lelah dari hasil bunga
riba yang diterima dari kaum miskin. Pada saat yang sama
golongan miskin menghabiskan umur mereka untuk
membayar bunga hutang yang menghimpit mereka, yang terus
berlipat ganda dengan berlalunya masa. Bilamana si miskin
terlambat membayar bunga, si kaya tanpa belas kasihan tidak
ragu untuk menjual harta si miskin yang menjadi agunan lalu
mengambil kreditnya yang jauh lebih besar daripada hutang
pokok.
Kesimpulan akhir dari sistem ekonomi kapitalis ini bahwa
golongan kaya bertambah kaya dan golongan miskin jadi
bertambah miskin.
- Dari sisi ekonomi, riba menyebabkan dampak negative
terhadap ekonomi sebuah Negara, di antaranya;
 Riba menyebabkan berkurangnya proyek dibidang produksi
barang, karena para pemilik modal umumnya menginginkan
keuntungan tanpa mau menghadapi resiko kerugian. Maka
cara yang aman hanyalah dengan memberikan kredit dan
mendapatkan (interest) bunga. Dan cara ini tidak terlalu
memberikan andil dalam memajukan ekonomi sebuah
Negara.
 Riba menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat.
Dalam teori ekonomi dijelaskan bahwa meningkatnya
jumlah uang yang beredar disebabkan banyaknya kredit
yang dikucurkan bank dan para pemilik modal di suatu

37
Negara. Hal ini akan berdampak menurunnya daya beli
mata uang Negara tersebut, karena banyaknya jumlah uang
yang beredar tidak diikuti dengan banyaknya jumlah barang
dan jasa yang tersedia. Berbeda dengan profit (laba) yang
dibolehkan dalam syariah, karena laba tersebut dihasilkan
dari korelasi uang dan kerja. Maka banyaknya jumlah yang
beredar diikuti secara riil dengan banyaknya jumlah barang
dan jasa yang tersedia.
 Riba menyebabkan tingginya harga barang dan jasa. Karena
para pemilik usaha membiayai usaha mereka dengan kredit
berbunga, maka mereka terpaksa menaikkan harga jual
barang produksi untuk menutupi semua biaya produksi
yang begitu tinggi disebabkan bunga kredit yang mesti
mereka bayar.
2. Riba bai'.
Riba yang obyeknya adalah akad jual-beli.
Riba jenis ini terbagai 2:
- Riba Fadhl, yaitu: menukar harta riba yang sejenis dengan
ukuran atau jumlah yang berbeda.
Penjelasan definisi:
- Maksud kata "harta riba" adalah: harta yang merupakan
obyek riba, yaitu; emas, perak (uang/alat tukar) dan
makanan pokok yang bisa disimpan dalam waktu lama.
- Maksud kata "sejenis" adalah: jenis harta riba. Emas
dengan seluruh macamnya satu jenis, kurma dengan
seluruh macamnya satu jenis, mata uang real Saudi
dengan segala bentukya (kertas, logam, simpanan di
rekening bank dan surat berharga, seperti: cek) satu jenis,
mata uang rupiah satu jenis.
- Maksud kata " ukuran atau jumlah yang berbeda" adalah
tidak sama ukurannya. Misalnya:
- Menukar satu gantang kurma jenis sukari dengan 2
gantang kurma jenis barhi dengan cara tunai.

38
- Menukar 100 gram emas baru dengan 200 gram emas
usang dengan cara tunai.
- Menukar Rp. 10.000,- kertas dengan Rp. 9.800,- logam
dengan cara tunai.

Dalil
Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit bahwa nabi bersabda," emas
ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, kurma ditukar
dengan kurma, gandum bulat ditukar dengan gandum bulat, garam
ditukar dengan garam, dan gandum panjang ditukar dengan
gandum panjang, haruslah semisal dan sama ukurannya serta
tunai. Apabila jenisnya berbeda, ukurannya juga boleh berbeda
dengan syarat tunai". HR. Muslim.

- Riba Nasi'ah, disebabkan keterlambatan serah-terima barang.


yaitu: menukar harta riba dengan harta riba yang 'illatnya sama
dengan cara tidak tunai.
Maksud kata "'illatnya sama" barang yang merupakan obyek
tukar-menukar sama illatnya, seperti keduanya adalah alat tukar,
atau keduanya makanan pokok yang tahan lama, baik jenisnya
sama ataupun tidak. Maksud kata "tunai" transaksi serah-terima
kedua barang dilakukan pada saat yang sama.
Misalnya:
- Menukar 1 gantang kurma dengan 1 gantang gandum dengan
cara tidak tunai.
- Menukar 100 gram emas dengan 100 gram emas dengan cara
tidak tunai.
- Menukar SR. 100 ,- dengan Rp. 2.000,- dengan cara tidak tunai.

Dalil
Diriwayatkan dari Umar bin Khattab bahwa nabi bersabda,"
menukar emas dengan emas adalah riba kecuali dilakukan dengan
cara tunai, menukar gandum bulat dengan gandum bulat adalah

39
riba kecuali dilakukan dengan cara tunai, menukar kurma dengan
kurma adalah riba kecuali dilakukan dengan cara tunai, menukar
gandum panjang dengan gandum panjang adalah riba kecuali
dilakukan dengan cara tunai ". HR. Bukhari Muslim.

Hadist ini menjelaskan bahwa menukar barang yang sejenis


haruslah tunai. Sabda nabi dalam hadist yang diriwayatkan oleh
Ubadah di atas: "Dan apabila jenisnya berbeda ukurannya juga
boleh berbeda dengan syarat tunai".
Hadis ini Menjelaskan bahwa menukar barang yang tidak sejenis
dan masih satu 'illat juga harus dengan cara tunai.

Macam-macam harta riba.


Obyek harta riba bai' ada 6 jenis seperti yang disebutkan
dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ubadah di atas.
Enam jenis ini bisa dikelompokkan menjadi 2 bagian:
- Uang Emas dan perak, illatnya adalah barang berharga yang
merupakan alat pembayar, dan diqiyaskan barang yang sama
fungsinya, seperti: mata uang modern. Setiap mata uang sebuah
Negara merupakan jenis tersendiri. Real Saudi satu jenis, Rupiah
Indonesia satu jenis dan emas satu jenis. Adapun barang biasa
yang bukan merupakan alat pembayar, seperti: barang tambang,
rumah, mobil, barang elektronik dan furnitur tidak merupakan
harta riba.
- Empat jenis makanan, yaitu: gandum bulat, kurma, garam dan
gandum panjang, illatnya bahan makanan pokok dan tahan lama.
Dan diqiyaskan makanan yang fungsinya sama, yaitu makanan
pokok suatu negeri yang bisa mengeyangkan dan tahan lama,
seperti: beras, jagung, kacang arab dan lain-lain. Adapun barang
yang tidak mengeyangkan dan tidak tahan lama, seperti: buah-
buahan, sayuran, susu, kue dan obat-obatan tidak merupakan
harta riba.

40
Kaidah dalam riba bai'
Dalam tukar menukar harta riba ada 5 kemungkinan yang terjadi:
1. Menukar harta riba dengan harta riba yang sejenis, seperti: emas
ditukar dengan emas dan mata uang rupiah ditukar rupiah. Untuk
keabshan akad ini dibutuhkan 2 syarat:
- Ukuran keduanya harus sama.
- Serah terima kedua barang harus tunai.
Jika syarat pertama tidak terpenuhi akad ini dinamakan riba
fadhl, jika syarat kedua tidak terpenuhi akad ini dinamakan riba
nasi'ah dan jika kedua syarat tidak terpenuhi akad ini dinamakan
riba fadhl-nasi'ah.
2. Menukar harta riba dengan harta riba yang tidak sejenis tapi satu
illat, seperti: menukar kurma denga gandum, menukar emas
dengan perak, menukar emas dengan rupiah atau menukar real
dengan rupiah. Untuk keabsahan akad ini dibutuhkan satu syarat
saja, yaitu: serah-terima kedua barang harus tunai dan tidak
disyaratkan ukurannya sama.
Jika syaratnya tidak terpenuhi akad ini disebut riba nasi'ah.
3. Menukar harta riba dengan harta riba yang tidak sejenis dan tidak
satu illat, seperti: menukar kurma dengan emas atau menukar
beras dengan uang rupiah.
4. Menukar harta riba dengan yang bukan harta riba, seperti:
menukar mobil dengan uang rupiah atau menukar rumah dengan
uang dolar.
5. Menukar yang bukan harta riba dengan yang bukan harta riba,
seperti menukar jam tangan dengan telepon genggam atau
menukar satu mobil baru dengan 2 mobil usang.

Untuk nomor 3, 4 dan 5 tidak disyaratkan sama ukuran dan juga


tidak disyaratkan serah terima dengan cara tunai. Sebaliknya,
dibenarkan melakukan akad dengan ukuran berbeda dan tidak
tunai (hutang). Maka boleh menukar mobil dengan uang rupiah
dengan cara kredit dan boleh menukar 1 telepon genggam dengan

41
2 telepon genggam serta serah-terimanya baru dilakukan setelah
1 minggu.

Hikmah Riba bai' diharamkan.


Riba bai' diharamkan dalam rangka menutup celah terjadinya
riba dayn. Karena riba fadhl ukurannya berbeda namun tunai dan
riba nasi'ah tidak tunai namun ukurannya sama. Hal ini
merupakan celah untuk terjadinya riba besar yaitu: riba dayn
yang dilakukan oleh orang jahiliyah. Karena hakikat riba dayn
adalah kumpulan dari fadhl dan nasi'ah dimana terdapat ukuran
yang tidak sama dan tidak tunai. Orang yang memberikan kredit
sebanyak Rp. 100.000,- dengan persyaratan dikembalikan
Rp.110.000,- pada hakikatnya dia telah menggabungkan riba fadhl
dan riba nasi'ah. Karena itu riba bai' diharamkan akar tidak
terjadi riba yang besar yaitu: riba dayn.
Ibnu Qayyim berkata," dalam transaksi tukar-menukar mata
uang dan harta riba diharamkan kedua belah pihak berpisah
sebelum saling serah terima barang agar ini tidak dijadikan celah
untuk menghalalkan riba dayn yang merupakan induk riba. Maka
syariah menghindarinya dengan mewajibkan serah-terima dengan
cara tunai dan mewajibkan ukurannya sama. Kedua barang yang
menjadi obyek transaksi yang sejenis tidak boleh berlebih dari
lainnya agar tidak ditukar segantang kurma bagus dengan 2
gantang kurma kwalitas rendah sekalipun nilai rasio segantang
kurma bagus sama dengan 2 gantang kurma kwalitas rendah demi
menutup celah orang menghalalkan riba dayn yang merupakan
induk riba. Yaitu: bila menukar segantang kurma bagus sama
dengan 2 gantang kurma kwalitas rendah dengan cara tunai saja
dilarang padahal kwalitasnya berbeda tentulah larangan
penukaran jenis yang sama kwalitasnya, seperti mata uang
dengan cara penambahan jumlah sebagai imbalan pengunduran
waktu pembayaran lebih dilarang lagi.

42
Inilah hikmah pelarangan riba fadhl yang tidak banyak
diketahui orang, sehingga sebagian orang mengatakan," saya tidak
mengerti, kenapa riba fadhl diharamkan," padahal hikmah
pelarangannya telah dijelaskan Allah, yaitu: menutup celah
pelegalan riba dayn … riba dengan kedua bentuknya diharamkan,
riba dayn diharamkan karena mengandung kezaliman dan riba
bai' diharamkan sebagai penutup celah pelegalan riba dayn,
dengan penjelasan ini terbukti kesempurnaan syariah dalam
pelarangan dua bentuk riba. Dan ulama yang tidak membenarkan
dalil sad zariah (menutup celah) bagi mereka pelarangan riba bai'
merupakan taabudi (tidak diketahui hikmahnya).

Perbedaan antara riba dayn dengan riba bai'


- Riba bai' diharamkan untuk sad zariah, sedangkan riba dayn
diharamkan karena zatnya.
- Riba bai' hanya pada 6 jenis harta, sedangkan riba dayn berlaku
pada seluruh jenis harta sesuai dengan ijma para ulama.
Indikasinya bahwa riba yang dilakukan orang jahiliyah yang
kemudian diharamkan Al quran obyek transaksinya adalah unta.
Dan unta tidak termasuk salah satu 6 harta riba.

43
PRINSIP DASAR MU’AMALAH KONTEMPORER

MUSYARAKAH (1)

Pengertian Musyarakah

Secara etimologi: Al-Musyarakah atau “Asy-Syirkah” berarti


“percampuran” atau percampuran antara sesuatu dengan yang
lainnya.1Sedangkan secara terminology, Para Ulama berbeda dalam
memberikan pengertian Musyarakah itu diantaranya ialah:

1. Hanafiah: al-musyarakah adalah akad yang dilakukan oleh dua


orang yang bersyirkah (bekerjasama) dalam modal dan keuntungan2
2. Percampuran dua bagian orang -atau lebih- yang melakukan
kerjasama tanpa ada keistimewaan satu sama lain (al-Jurjani, at-
ta’rifat (111).
3. Malikiah: al-musyarakah adalah suatu keizinan untuk bertindak
secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta
mereka (Ad-dardir, Hasyiah ad-dasuki (3/348)
4. Syafi’iyah: al-musyarakah adalah adanya ketetapan hak atas sesuatu
bagi dua orang –atau lebih- yang melakukan kerjasama dengan cara
yang diketahui (masyhur) (Al-khathib, Mughni al-muhtaj (2/211)
5. Hanabilah: al-musyarakah adalah berkumpul (sepakat) dalam suatu
hak dan perbuatan/tindakan (Ibn Qudamah, al-mughni (5/109).

Dalam buku “Bank Syariah, dari teori ke praktik” yang ditulis oleh
Muhammad Syafi’i Antonio, Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua
pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan
bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan.

1
Ibn Mandzur, Lisan Al-‟Arab (10/448, Az-Zubaidi, Taj al-‟arus (7/148)
2
(Ibn „Abidin, Radd al-mukhtar „ala ad-dur al-mukhtar (3/364).

44
Sedangkan Sunarto Zulkifli, dalam bukunya “Panduan Praktis
Transaksi Perbankan Syariah” menuliskan bahwa yang dimaksud dengan
musyarakah adalah akad kerjasama atau percampuran antara dua pihak
atau lebih untuk melakukan suatu usaha tertentu yang halal dan produktif
dengan kesepakatan bahwa keuntungan akan dibagikan sesuai nisbah yang
disepakati dan risiko akan ditanggung sesuai porsi kerjasama.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa al-musyarakah adalah


akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di
mana masing-masing pihak memberikan konstribusi dana (atau amal
/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai kesepakatan.

Rukun dan Syarat dalam Akad Musyarakah


1. Rukun Akad Musyarakah atau Unsur – unsur yang harus ada dalam
akad musyarakah
a) Pelaku terdiri dari para mitra
b) Porsi kerjasama (berupa modal dan kerja)
c) Objek musyarakah (Proyek/Usaha)
d) Ijab qabul
e) Nisbah keuntungan (bagi hasil)
2. Syarat Akad Musyarakah atau ketentuan syariah dalam musyarakah
a. Pelaku : mitra harus cakap hukum dan baligh
b. Objek musyarakah harus :
 Modal:
- Modal yang diberikan harus tunai
- Modal yang diserahkan dapat berupa uang tunai, emas,
asset perdagangan atau asset tak berwujud seperti hak
paten dan lisensi.
- Apabila modal yang diserahkan dalam bentuk nonkas,
maka harus ditentukan nilai tunainya terlebih dahulu
dan harus disepakati bersama.
- Modal para mitra harus dicampur, tidak boleh dipisah.

45
c. Porsi Kerjasama :
- Partisipasi mitra merupakan dasar pelaksanaan
musyarakah
- Tidak dibenarkan salah satu mitra tidak ikut
berpartisipasi
- Setiap mitra bekerja atas dirinya atau mewakili mitra’
- Meskipun porsi mitra yang satu dengan yang lainnya
tidak harus sama, mitra yang
- bekerja lebih banyak boleh meminta bagian keuntungan
lebih besar.
d. Ijab qabul
Ijab qabul disini adalah pernyataan tertulis dan ekspresi
saling ridha antara para pelaku akad.
e. Nisbah
- Pembagian keuntungan harus disepakati oleh para
mitra.
- Perubahan nisbah harus disepakati para mitra.
- Keuntungan yang dibagi tidak boleh menggunakan nilai
proyeksi akan tetapi harus menggunakan nilai realisasi
keuntungan.

Landasan Hukum Akad Musyarakah


a. Firman Allah QS. Shad [38]: 24
             

             

"…Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikat


itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian lain, kecuali
orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; dan amat
sedikitlah mereka ini…."
Firman Allah QS. An-Nisaa’: 12:
(… maka mereka berserikat pada sepertiga);

46
b. Hadits Rasulullah SAW.
 “Allah swt.berfirman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orangyang
bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak
yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari
mereka.”(HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim, dari
Abu Hurairah).
 HR. Al-Bukari: (Allah akan ikut membantu doa untuk orang
berserikat, selama di antara mereka tidak saling menghiananti).
 HR. Abu Daud dan Al-Hakim: (Tangan (pertolongan) Allah berada
pada dua orang yang bersyarikat (melakukan transaksi
musyarakah), selama mereka tidak ada pengkhianatan).
 HR. At-Thabrani dari Ibn Umar,Rasulullah bersabda: (Tiada
kesmpurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada
shalat bagi yang tidak bersuci).
Dalam sejumlah hadits Rasulullah disebutkan bahwa ketika beliau
diutus, banyak masyarakat di sekitarnya mempraktikkan kerjasama
dalam bentuk musyarakah dan Rasulullah membolehkan transaksi
tersebut.

c. Al-Ijma’ (Konsensus)
Para tokoh ulama sepanjang zaman telah melakukan ijma’
(consensus) terhadap legitimasi akad Musyarakah karena kebutuhan
manusia terhadap hal tersebut jelas terlihat3.

d. Secara rasio
Setiap individu atau golongan tertentu sangat memerlukan adanya
transaksi musyarakah (kegiatan partnership dengan yang lainnya) baik
dalam aktifitas perdagangan atau investasi guna terwujudnya saling
manfaat antara satu sama lain, karena ada pihak-pihak (individu) tertentu
memiliki modal yang cukup, namun tidak memiliki kemampuan
manajerial dalam mengelola modal tersebut.

3
(Lihat: Ibn Qudamah dalam Al-Mughni dan Imam As-Sarkhasi dalam Al-Mabsuth).

47
Di lain pihak, kondisi saat ini sangat menghendaki adanya transaksi
partnership dalam melakukan aktifitas keuangan dan ekonomi
(perdagangan dan investasi) dengan semakin ketatnya kompetisi dan
meluasnya jangkauan kegiatan tersebut dengan banyak industri-industri
raksasa yang tidak mungkin hanya ditangani orleh satu orang. Maka
dengan sistem transaksi musyarakah diharapkan akan dapat mengelola
dengan baik sumber kekayaan alam yang ada baik dengan bentuk
investasi atau perdagangan.

Pembagian Akad Musyarakah


Ketika melihat pembagian Musyarakah itu berdasarkan pembagian
jumhur ulama, walaupun terdapat beberapa perbedaan, secara garis besar
terbagi dalam dua pembagian, yaitu berupa:

I. Syirkat al-amlak (musyarakah pemilikan) yaitu persekutuan


(kerjasama partnership) antara dua orang atau lebih dalam
kepemilikan salah satu barang dengan salah satu sebab
kepemilikan. musyarakah ini dapat tercipta karena warisan, wasiat,
hibah, jaul beli atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan
suatu asset oleh dua orang atau lebih. Dalam pembagian ini, Ulama
Fiqh membaginya dalam 2 pembagian ialah:

a. Syirkah ikhtiyar atau perserikatan yang dilandasi pilihan


orang yang berserikat karena perserikatan muncul akibat
tindakan hukum kedua orang berserikat tersebut.
b. Syirkah ijbari (perserikatan yang muncul secara paksa
bukan atas keinginan orang yang berserikat); yaitu
sesuatu yang ditetapkan menjadi milik dua orang atau
lebih tanpa kehendak mereka, seperti harta warisan yang
diterima karena adanya kematian dari salah satu keluarga.

48
II. Syirkat al-’uqud (akad musyarakah /kontrak) yaitu akad kerjasama
antara dua orang atau lebih dan bersepakat untuk berserikat dalam
modal dan keuntungan dan merupakan salah satu jenis transaksi
yang dikenal dalam transaksi akad Tijarah. Dan dalam pembagian
ini ulama membagi Musyarakah kedalam 5 Jenis, yaitu :

a. Syarikah Al-Mufāwadah

Gambar 1.1 Skema Musyarakah Mufawadah

Musyarakah Mufawadah adalah transaksi kerjasama antara dua


orang atau lebih, dengan porsi dana (modal) yang sama dan
berpartisipasi dalam kerja/usaha, masing-masing setiap pihak membagi
keuntungan dan kerugian secara sama. kata“mufawadah” adalah
“musawah” (kesamaan).

Jumhur ulama (Hanafiah, Malikiah dan Hanabilah) membolehkan


dengan syarat memiliki porsi yang sama baik dalam berperan pada
modal, hutang dan pelaksanaan operasional. Sementara Syafi’iah tidak
membolehkan, karena ada percampuran pada modal, menurutnya
keuntungan merupakan, sehingga tidak boleh ada perserikatan pada
hasil (cabang) kalau tidak ada persekutuan pada asalnya.

49
b. Syarikah Al-‘Inan
Musyarakah al-‘Inan dalah kontrak antara dua orang atau lebih,
dimana setiap pihak memberikan porsi dari kesulurahan dana dan
berpartisipasi dalam kerja, dengan kesepakatan berbagi dalam
keuntungan dan kerugian. Bagian masing-masing pihak tidak harus
selalu sama, sesuai dengan kesepakatan mereka.
Ulama fiqh secara ijma’ (konsensus) membolehkan bentuk
transaksi seperti ini. Adapun landasan dalillnya berdasarkan hadits
bahwa Rasulullah saw pernah melakukan kerjasama seperti ini dengan
Al-Saib bin Syarik kemudian para sahabatnya melegitimasi kerjasama
tersebut. Namun para ulama fiqh klasik memberikan ketentuan-
ketentuan yang berpariasi dalam kerjasama tersebut, diantaranya ialah:
 Hanabilah: hanya membolehkan dalam syaraikahal-abdan
(badan) dan syarikah al-maal (harta);
 Malikiah: mensyaratkan adanya izin bertindak atas nama
kerjasama tersebut dari ke dua pihak;
 Hanafiah: mensyaratkan adanya ijab-qabul untuk menjadi
representative,sehinga ada amanah dalam mengembangkan usaha
(modal) kerjasama tersebut.

Gambar 1.2 Skema Musyarakah Al-‘Inan

c. Syarikah Al-‘abdan
Musyarakah Al-Abdan adalah kontrak kerja sama antara dua orang
seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi
keuntungan, seperti kerjasama para dokter, advokasi, dan kerjasama

50
seprofesi lainnya. Kerjasama ini sering juga disebut “syarikah al-amal”
atau “syarikah ash-shanâi’”.
Dan perbedaan ulama terdapat dalam beberapa hal yaitu:
 Malikiah: mensyaratkan adanya kesepakatan dalam jenis usaha
dan tempat kerja
 Ulama klasik lainnya: tidak menetapkan syarat semacam itu,
namun
 Hanafiah: menganggap tidak boleh melakukan kesepakatan
kerjasama semacam ini untuk amlak ‘ammah (fasilitas umum) dan
bahkan mereka cenderung mengkategorikannya sebagai syarikah
al-mufawadah.

Gambar 1.3 Skema Musyarakah Al-abdan

d. Syarikah al-Wujuh
Musyarakah Wujuh adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau
lebih yang tidak memiliki modal, namun memiliki “reputasi dan prestise
baik” atau ahli dalam bisnis. Dengan reputasi dan prestise itu, ia membeli
barang dengan bentuk kredit lalu menjualnya secara tunai. Hasil
(keuntungan dan kerugian) dari kerjasama tersebut dibagi berdasarkan
jaminan kepada pensuplai yang disediakan oleh setiap mitra.

Kontrak kerjasama seperti ini tidak memerlukan modal, karena


hanya didasarkan atas kepercayaan dan jaminan tersebut.Kerjasama
seperti ini lazim disebut sebagai syarikah al-mafâlis (syarikah piutang).

51
Dan dalam hukum Syarikah Al-Wujuh terdapat perbedaan dalam
kebolehannya, diantaranya:

 Malikiah, Syafi’iah, Zhahiriah (Ulama Klasik) cenderung tidak


membolehkan;
 Hanafiah dan Hanabilah: menganggapnya boleh.

Gambar 1.4 Skema Musyarakah Wujuh

e. Syarikah Mudharabah

Gambar 1.5 Skema Syirkah Mudharabah

Syirkah Mudharabah adalah syirkah dua pihak atasu lebih dengan


ketentuan, satu pihak menjalankan kerja (amal) sedangkan pihak lain

52
mengeluarkan modal (mal)4.Istilah mudharabah dipakai oleh ulama Iraq,
sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qiradh5. Sebagai contoh: Khairi
sebagai pemodal memberikan modalnya sebanyak 100 ribu kepada Abu
Abas yang bertindak sebagai pengelola modal dalam pasar ikan.
Ada 2 bentuk lain sebagai variasi syirkah mudharabah. Pertama, 2
pihak (misalnya A dan B) sama-sama memberikan mengeluarkan modal
sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan menjalankan kerja
sahaja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi
modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya
memberikan konstribusi modal tanpa konstribusi kerja.Kedua-dua
bentuk syirkah ini masih tergolong dalam syirkah mudharabah (An-
Nabhani, 1990:152).

Dalam syirkah mudharabah, hak melakukan tasharruf hanyalah


menjadi hak pengelola.Pemodal tidak berhak turut campur dalam
tasharruf.Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang
ditetapkan oleh pemodal. Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai
kesepakatan di antara pemodal dan pengelola, sedangkan kerugian
ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudharabah berlaku
wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung
kerosakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-
Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung
kerugian jika kerugian itu terjadi kerana melanggar syarat-syarat yang
ditetapkan oleh pemodal.

Syarikah Al-Mudhārabah adalah bagian dari kontrak kerjasama yang


banyak dipraktikan diberbagai lembaga keungan dan aktifitas
perekonomian syraiah, karena kerjasama ini lebih mengacu pada profit
and loss sharing, di mana pihak pemodal (rabbul maal) memberikan
modal kepada pengusaha (mudharib) supaya dapat mengelolanya dalam

4
(An-Nabhani, 1990: 152)
5
(Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836).

53
bisnis.Keuntungan dibagi di antara mereka berdua sesuai dengan
kesepakatan yang telah ditetapkan.

 Syafi’iah: kerjasama berbentuk mudharabah ini tidak boleh


dilakukan kecuali berbentuk “uang tunai” bukan barang;
 Jumhur Ulama: membolehkan dengan uang tunai, barang yang
bernilai atau yang lainnya.
Dalam proyek perbankan dikenal beberapa aplikasi di antaranya:
“pembiayaan proyek” dan “modal venture”.

Praktek Akad Musyarakah dalam Perbankan


Dalam “pembiayaan proyek”, al-musyarakah biasanya diaplikasikan
untuik pembiayaan proyek, dimana nasabah dan bank sama-sama
menyediakan dana untuk proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai,
nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah
disepakati untuk bank.Jenis usaha yang dapat dibiayai antara lain
perdagangan, industri/manufacturing, usaha atas dasar kontrak, dan lain-
lain berupa modal kerja dan investasi. Contoh: Pembiayaan Konsumtif,
Pembiayaan Koperasi, dan Pembiayaan Korporasi pada Bank
Muamalat.

Adapun Skema Pembiayaan Musyarakah pada Bank Muamalat,


ialah : Bank Muamalat Indonesia pada Produk Kongsi Pemilikan Rumah
Syariah (KPRS) menggunakan dua Akad yaitu Musyarakah wal Ijarah.
Adapun Akad Musyarakah yaitu akad kerja sama antara dua pihak atau
lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan
resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Sedangkan
akad Ijarah yaitu akad sewa menyewa yang mana pemilik dana membeli
barang yang dimaksud dan kemudian menyewakannya kepada yang
membutuhkan aset tersebut, transaksi Ijarah dilandasi dengan adanya
perpindahan manfaat (hak guna), bukan perpindahan kepemilikan (hak
milik). Adapun rumusan masalahnya adalah: Bagaimana praktek akad

54
Musyarakah wal Ijarah dalam produk KPRS pada Bank Muamalat Indonesia
dan Apakah pelaksanaan akad tersebut sudah sesuai dengan nilai-nilai
Muamalah Islam? Jenis penelitian ini dilihat dari objeknya termasuk
penelitian lapangan atau field research yang dilakukan di bank Muamalat
Indonesia Semarang. Untuk mendapatkan data yang valid, penulis
menggunakan beberapa metode pengumpulan data yaitu dokumentasi
meliputi: brosur-brosur KPRS, contoh draf akad perjanjian KPRS serta
struktur organisasi bank Muamalat Indonesia.

Sedangkan pengumpulan data melalui wawancara diperoleh dari


Manager BMI dan Costumer servis serta nasabah BMI. Pelaksanaan kongsi
pemilikan rumah syari’ah (KPRS) di bank Muamalat Indonesia
menggunakan dua akad yaitu: Akad Musyarakah dan Ijarah. Yang berarti
bahwa akad Musyarakah adalah akad yang digunakan oleh pihak bank
untuk memberikan dana kepada nasabah yang mengajukan KPRS dan tidak
ada kesepakatan pembagian untung dan rugi. Serta besar kecil dana yang
diberikan kepada nasabah ditentukan sendiri oleh pihak bank. Sedangkan
akad Ijarah adalah akad yang dibebankan kepada nasabah untuk
membayar sejumlah dana sewa yang telah ditentukan oleh pihak bank
sebagai imbalan karena telah mengurus rumah nasabah yang menjadi
objek KPRS disertai dengan pemindahan kepemilikan atas rumah tersebut
pada akhir pelunasan pembayaran.

Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa: pelaksanaan


Akad Musyarakah dan Ijarah pada KPRS kurang sesuai dengan
pengamalannya dalam nilai-nilai dalam Muamalah Islam. karena dalam
pelaksanaan akad Musyarakah tersebut harus dilakukan oleh dua
orang/lebih untuk mengadakan suatu perkongsian/perserikatan dalam
menangani sebuah proyek dan mengadakan kesepakatan baik dalam hal
pemberian modal serta pembagian keuntungan dan kerugian, selain itu
juga menjalankan usaha atau proyek tersebut secara bersama-sama.
Sedangkan dalam pelaksanaan akad Ijarah yaitu akad pemindahan hak
guna atas barang dan jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti

55
dengan pemindahan kepemilikan (milkiyyah/ ownership) atas barang itu
sendiri.Dalam konteks boleh dilakukan asalkan menggunakan akad Ijarah
Muntahiyya Bittamlik6.

Manfaat dan Pengaruh Akad Musyarakah pada Perbankan


Dalam tuntunan ajaran islam dijelaskan bahwa kerja sama dalam
melakukan kegiatan kebaikan di masyarakat adalah sangat dianjurkan
bahkan dapat bernuansa wajib. Hal ini karena faktor manfaat yang diraih
oleh pihak-pihak yang melakukan kerja sama. Adapun beberapa Manfaat
dari Pembiayaan secara musyarakah dalam perekonomian, diantaranya:
1) Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada
saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
2) Bank tidak berkewajiban membayar dalam dalam jumlah tertentu
kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan
dengan pendapatan/hasil usaha bank, sehingga bank tidak pernah
mengalami negative/spread.
3) Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow /
arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.
4) Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha
yang benar-benar halal, aman dan menguntungkan, karena
keuntungan yang riil dan benar-benar terjadi itulah yang dapat
dibagikan.
5) Prinsip bagi hasil dalam mudharabah/musyarakah ini berbeda
dengan prinsip bunga tetap, dimana bank akan menagih penerima
pembiayaan (nasabah), bahkan sekalipun merugi dan terjadi
krisis ekonomi.

6
http://eprints.walisongo.ac.id/1435/

56
MUDHARABAH (2)

Pengertian Al Mudharabah

Kata mudharabah berasal dari kata dharb ( ‫ ) ضزة‬yang berarti


memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini maksudnya
adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha.7
Menurut M. Syafi’i Antonio, mudharabah adalah akad kerja sama
antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan
seluruh modal (100%), sedangkan pihak lain (mudharib) menjadi
pengelola, dimana keuntungan usaha dibagi dalam bentuk prosentase
(nisbah) sesuai kesepakatan, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh
pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola,
dan jika kerugian itu diakibatkan oleh kelalaian si pengelola, maka si
pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.8

Skema Mudharabah

Landasan Syariah Al Mudharabah


Secara umum, landasan syariah mudharabah mencerminkan
anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat - ayat dan
hadits berikut ini.

7
Muhammad Rawas Qal‟aji, Mu‟jam Lughat al-Fuqaha (Beirut: Darun-Nafs, 1985)
8
Ahmad asy-Syarbasyi, al-Mu‟jam al-Iqtisad al-Islami (Beirut: Dar Alamil Kutub,
1987)

57
a. Al Qur’an

              

“dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian


karunia Allah” (Al-Muzzammil [73]: 20).”

Kata yang menjadi wajhud-dilalah atau argument dari ayat di atas


adalah yadhribun yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarti
melakukan suatu perjalanan usaha.
        

“tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil


perdagangan) dari Tuhanmu....”. (al-Baqarah : 198).

Kedua ayat tersebut di atas, secara umum mengandung kebolehan


akad mudharabah, bekerjasama mencari rezeki yang ditebarkan Allah
SWT di muka bumi.
b. As-sunnah
Di antara hadits yang di berkaitan dengan mudharabah adalah hadits
yang di riwayatkan oleh Ibn majah dari Shuhaib bahwa nabi SAW.
bersabda, yang artinya:
“tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual beli yang di
tangguhkan, melakukan qiradh (memberi modal kepada orang lain), dan
yang mencampurkan gandum dengan tepung untuk keluarga, bukan untuk
diperjualbelikan.”(HR.Ibn Majah dari Shuhaib)
c. Ijma
Di antara ijma’ dalam mudharabah, adanya riwayat menyatakan
bahwa jamaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk
mudharabah. Perbuatan tersebut tidak di tentang oleh yang lainnya.
d. Qiyas
Mudharabah di qiyaskan kepada al-musyaqah (menyuruh
seseorang untuk mengelola kebun). Selain di antara manusia, ada yang

58
miskin dan ada pula yang kaya. Di satu sisi, banyak orang kaya yang tidak
dapat mengusahakan hatanya. Di sisi lain, tidak sedikit orang yang miskin
yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Oleh karena itu, dengan
adanya mudharabah ditujukan untuk memenuhi kebutuhan kedua
golonngan di atas, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam rangka
memenuhi kebutuhan mereka.

Rukun Al Mudharabah
Al Mudharabah seperti usaha pengelolaan lainnya memiliki tiga
rukun:
1. Adanya dua pelaku yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola
(mudharib).
2. Objek transaksi kerja sama yaitu modal, usaha, dan keuntungan.
3. Pelafalan perjanjian.
Sedangkan imam Al Syarbini dalam Syar AlMinhaaj menjelasakan
bahwa rukun Mudharabah ada lima, yaitu modal, jenis usaha, keuntungan,
pelafalan transaksi, dan dua pelaku transaksi.9 Ini semua ditinjau dari
perinciannya dan semuanya tetap kembali kepada tiga rukun di atas.
Rukun pertama: adanya dua pelaku.

Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola
modal. Disyaratkan pada rukun pertama ini keduanya memiliki
kompetensi beraktifitas (Jaiz Al Tasharruf) dalam pengertian mereka
berdua baligh, berakal, rasyid dan tidak dilarang beraktivitas pada
hartanya10

Sebagian ulama mensyaratkan bahwa keduanya harus muslim


atau pengelola harus muslim, sebab seorang muslim tidak ditakutkan
melakukan perbuatan riba atau perkara haram.11 Namun sebagian
lainnya tidak mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja

9
Lihat Takmilah AL Majmu‟ Syarhu Al Muhadzab imam nawawi oleh Muhammad Najieb Al Muthi‟i
10
Al Fiqh Al Muyassar op.cit hal169.
11
Lihat Al Bunuk Al Islamiyah op.cit hal 123.

59
sama dengan orang kafir yang dapat dipercaya dengan syarat harus
terbukti adanya pemantauan terhadap aktivitas pengelolaan modal dari
pihak muslim sehingga terlepas dari praktek riba dan haram.12

Rukun kedua: objek transaksi.


Objek transaksi dalam mudharabah mencakup modal, jenis usaha,
dan keuntungan.
a. Modal
Dalam sistem mudharabah ada empat syarat modal yang harus
dipenuhi:
1. Modal harus berupa alat tukar/satuan mata uang (Al Naqd) dasarnya
adalah ijma’13atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad,
menurut pendapat yang rojih.14
2. Modal yang diserahkan harus jelas diketahui.15
3. Modal yang diserahkan harus tertentu.
4. Modal diserahkan kepada pihak pengelola modal dan pengelola
menerimanya langsung dan dapat beraktivitas dengannya.16
Jadi dalam mudharabah disyaratkan modal yang diserahkan harus
diketahui dan penyerahan jumlah modal kepada mudharib (pengelola
modal) harus berupa alat tukar seperti emas, perak dan satuan mata uang
secara umum.Tidak diperbolehkan berupa barang kecuali bila ditentukan
nilai barang tersebut dengan nilai mata uang ketika akad transaksi,
sehingga nilai barang tersebut yang menjadi modal mudharabah.
Contohnya, seorang memiliki sebuah mobil toyota kijang lalu
diserahkan kepada mudharib(pengelola modal), maka ketika akad kerja
sama tersebut disepakati wajib ditentukan harga mobil tersebut dengan
mata uang, misalnya Rp 95 juta, maka modal mudharabah tersebut adalah
Rp 95 juta.

12
Lihat kitab Maa La Yasa‟u Al Taajir Jahlulu, karya prof. DR Abdullah Al Mushlih
13
Lihat Maratib Al Ijma‟ hal 92 dan Takmilah AL Majmu‟ op.cit 15/143
14
Pendapat inilah yang dirojihkan syeikh Ibnu Utsaimin dalam Al Syarhu Al Mumti
15
Takmilah AL Majmu‟ op.cit 15/145
16
ibid 15/146-147

60
Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat karena menentukan
pembagian keuntungan.Apabila modal tersebut berupa barang dan tidak
diketahui nilainya ketika akad, bisa jadi barang tersebut berubah harga
dan nilainya seiring berjalannya waktu, sehingga memiliki konsekuensi
ketidakjelasan dalam pembagian keuntungan.

b. Jenis Usaha
Jenis usaha di sini disyaratkan beberapa syarat:
1. Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan.
2. Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang
menyulitkannya, seperti ditentukan jenis yang sukar sekali
didapatkan, contohnya harus berdagang permata merah delima atau
mutiara yang sangat jarang sekali adanya.17
Asal dari usaha dalam Mudharabah adalah di bidang perniagaan dan
bidang yang terkait dengannya yang tidak dilarang syariat. Pengelola
modal dilarang mengadakan transaksi perdagangan barang-barang
haram seperti daging babi, minuman keras dan sebagainya.18
3. Pembatasan waktu penanaman modal
Diperbolehkan membatasi waktu usaha dengan penanaman modal
menurut pendapat madzhab Hambaliyyah19.Dengan dasar diqiyaskan
(dianalogikan) dengan sistem sponsorship pada satu sisi, dan dengan
berbagai kriteria lain yang dibolehkan, pada sisi yang lainnya.20

c. Keuntungan
Setiap usaha dilakukan untuk mendapatkan keuntungan,
demikian juga Mudharabah.Namun dalam Mudharabah disyaratkan
pada keuntungan tersebut empat syarat:
1. Keuntungan khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama yaitu
pemilik modal (investor) dan pengelola modal.

17
lihat Fiqih Ekonomi Keuangan Islam op.cit hal 176
18
lihat Maratib Al Ijma‟ op.cit hal 92,
19
Al Mughni op.cit 7/177
20
fikih Ekonomi Keuangan Islam op.cit. 177

61
Seandainya disyaratkan sebagian keuntungan untuk pihak ketiga,
misalnya dengan menyatakan: ‘Mudharabah dengan pembagian 1/3
keuntungan untukmu, 1/3 untukku dan 1/3 lagi untuk istriku atau
orang lain, maka tidak sah kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut
mengelola modal tersebut, sehingga menjadi qiradh bersama dua
orang.21 Seandainya dikatakan: ’separuh keuntungan untukku dan
separuhnya untukmu, namun separuh dari bagianku untuk istriku’,
maka ini sah karena ini akad janji hadiah kepada istri.22
2. Pembagian keuntungan untuk berdua tidak boleh hanya untuk satu
pihak saja. Seandainya dikatakan: ‘Saya bekerja sama Mudharabah
denganmu dengan keuntungan sepenuhnya untukmu’ maka ini
dalam madzhab Syafi’i tidak sah.23
3. Keuntungan harus diketahui secara jelas.
Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi
pemilik modal (investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya
dibagi dengan persentase bersifat merata seperti setengah, sepertiga
atau seperempat.24
Apabila ditentuan nilainya, contohnya dikatakan kita bekerja sama
Mudharabah dengan pembagian keuntungan untukmu satu juta dan
sisanya untukku’ maka akadnya tidak sah. Demikian juga bila tidak
jelas persentase-nya seperti sebagian untukmu dan sebagian lainnya
untukku.
Dalam pembagian keuntungan perlu sekali melihat hal-hal berikut:
1. Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun
kerugian hanya ditanggung pemilik modal.25Ibnu Qudamah
dalam Syarhul Kabir menyatakan: “Keuntungan sesuai dengan
kesepakatan berdua.” Lalu dijelaskan dengan pernyataan:
“Maksudnya dalam seluruh jenis syarikat dan hal itu tidak ada

21
lihat juga Al Mughni op.cit 7/144
22
Takmilah Al Majmu‟ op.cit 15/160
23
ibid 15/159
24
untuk masalah kerugian dalam Mudharabah silahkan lihat makalah Ustadz Abu
Ihsan dalam mabhas ini.
25
Al Mughni op.cit 7/138

62
perselisihannya dalam Al Mudharabah murni.” Ibnul Mundzir
menyatakan: “Para ulama bersepakat bahwa pengelola berhak
memberikan syarat atas pemilik modal 1/3 keuntungan atau ½ atau
sesuai kesepakatan berdua setelah hal itu diketahui dengan jelas
dalam bentuk persentase.”26
2. Pengelola modal hendaknya menentukan bagiannya dari
keuntungan. Apabila keduanya tidak menentukan hal tersebut maka
pengelola mendapatkan gaji yang umum dan seluruh keuntungan
milik pemilik modal (investor).27Ibnu Qudamah menyatakan:
“Diantara syarat sah Mudharabah adalah penentuan bagian (bagian)
pengelola modal karena ia berhak mendapatkan keuntungan dengan
syarat sehingga tidak ditetapkan kecuali dengannya. Seandainya
dikatakan: Ambil harta ini secara mudharabah dan tidak disebutkan
(ketika akad) bagian pengelola sedikitpun dari keuntungan, maka
keuntungan seluruhnya untuk pemilik modal dan kerugian
ditanggung pemilik modal sedangkan pengelola modal mendapat gaji
umumnya. Inilah pendapat Al Tsauri, Al Syafi’i, Ishaaq, Abu Tsaur dan
Ashhab Al Ra’i (Hanafiyah).”28Beliaupun merajihkan pendapat ini.
3. Pengelola modal tidak berhak menerima keuntungan sebelum
menyerahkan kembali modal secara sempurna. Berarti tidak
seorangpun berhak mengambil bagian keuntungan sampai modal
doserahkan kepada pemilik modal, apabila ada kerugian dan
keuntungan maka kerugian ditutupi dari keuntungan tersebut, baik
kerugian dan keuntungannya dalam satu kali atau kerugian dalam
satu perniagaan dan keuntungan dari perniagaan yang lainnya atau
yang satu dalam satu perjalanan niaga dan yang lainnya dalam
perjalanan lain. Karena makna keuntungan adalah kelebihan dari
modal dan yang tidak ada kelebihannya maka bukan keuntungan.
Kami tidak tahu ada perselisihan dalam hal ini.29

26
Al Bunuk Al Islamiyah op.cit hal 123.
27
Al Mughni op.cit 7/140.
28
Ibid 7/165.
29
Al Bunuk Al Islamiyah op.cit 123.

63
4. Keuntungan tidak dibagikan selama akad masih berjalan kecuali
apabila kedua pihak saling ridha dan sepakat.30Ibnu Qudamah
menyatakan: “Keuntungan jika tampak dalam mudharabah, maka
pengelola tidak boleh mengambil sedikitpun darinya tanpa izin
pemilik modal. Kami tidak mengetahui dalam hal ini ada perbedaan
diantara para ulama.
Tidak dapat melakukannya karena tiga hal:
 Keuntungan adalah cadangan modal, karena tidak bisa dipastikan
tidak ada kerugian yang dapat ditutupi dengan keuntungan
tersebut.sehingga berakhir hal itu tidak menjadi keuntungan
 Pemilik modal adalah mitrra usaha pengelola sehingga ia tidak
memiliki hak membagi keuntungan tersebut untuk dirinya.
 Kepemilikannya atas hal itu tidak tetap, karena mungkin sekali
keluar dari tangannya untuk menutupi kerugian.Namun apabila
pemilik modal mengizinkan untuk mengambil sebagiannya, maka
diperbolehkan; karena hak tersebut milik mereka berdua.”31

Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu


pihak sebelum dilakukan perhitungan akhir terhadap usaha tersebut.
Sesungguhnya hak kepemilikan masing-masing pihak terhadap
keuntungan yang dibagikan adalah hak yang labil dan tidak akan bersikap
permanen sebelum diberakhirkannya perjanjian dan disaring seluruh
bentuk usaha bersama yang ada. Adapun sebelum itu, keuntungan yang
dibagikan itupun masih bersifat cadangan modal yang digunakan
menutupi kerugian yang bisa saja terjadi kemudian sebelum dilakukan
perhitungan akhir.

Perhitungan akhir yang mempermanenkan hak kepemilikan


keuntungan, aplikasinya dibagi menjadi dua macam:

30
Al Mughni op.cit 7/172
31
Fiqih Ekonomi Keuangan Islam op.cit hal 181-182.

64
1. Perhitungan akhir terhadap usaha. Yakni dengan cara itu pemilik
modal bisa menarik kembali modalnya dan menyelesaikan ikatan
kerjasama antara kedua belah pihak.
2. Finish cleansing terhadap kalkulasi keuntungan. Yakni dengan cara
penguangan aset dan menghadirkannya lalu menetapkan nilainya
secara kalkulatif, di mana apabila pemilik modal mau dia bisa
mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar kembali, berarti harus
dilakukan perjanjian usaha baru, bukan meneruskan usaha yang
lalu.32
Rukun ketiga: Pelafalan Perjanjian (Shighah Transaksi).
Shighah adalah ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak
pelaku transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah ini
terdiri dari ijab qabul. TransaksiMudharabah atau Syarikat dianggap sah
dengan perkataan dan perbuatan yang menunjukkan maksudnya.33
a. Syarat Pelafalandalam Mudharabah 34
Pengertian syarat dalam Al Mudharabah adalah syarat-syarat
yang ditetapkan salah satu pihak yang mengadakan kerjasama berkaitan
dengan Mudharabah. Syarat dalam Al Mudharabah ini ada dua:
 Syarat yang shahih (dibenarkan) yaitu syarat yang tidak menyelisihi
tuntutan akad dan tidak pula maksudnya serta memiliki maslahat
untuk akad tersebut.
Contohnya,pemilik modal mensyaratkan kepada pengelola tidak
membawa pergi harta tersebut keluar negeri atau membawanya
keluar negeri atau melakukan perniagaannya khusus dinegeri
tertentu atau jenis tertentu yang gampang didapatkan.Maka syarat-
syarat ini dibenarkan menurut kesepakatan para ulama dan wajib
dipenuhi, karena ada kemaslahatannya dan tidak menyelisihi
tuntutan dan maksud akad perjanjian mudharabah.
 Syarat yang fasad (tidak benar). Syarat ini terbagi tiga:

32
Al Fiqh Al Muyassar op.cit hal 169.
33
Diambil dari catatan penulis dari pelajaran fiqih dari Syeikh prof. DR. Hamd Al
Hamaad ditahun keempat pada kuliah hadits di Universitas Islam Madinah
tahun 1419H dan kitab Al Mughni op.cit 7/175-177
34
Al Mughni op.cit 7/172

65
a. Syarat yang meniadakan tuntutan konsekuensi akad, seperti
mensyaratkan tidak membeli sesuatu atau tidak menjual sesuatu
atau tidak menjual kecuali dengan harga modal atau dibawah
modalnya. Syarat ini disepakati ketidakbenarannya, karena
menyelisihi tuntutan dan maksud akad kerja sama yaitu mencari
keuntungan.
b. Syarat yang bukan dari kemaslahatan dan tuntutan akad, seperti
mensyaratkan kepada pengelola untuk memberikan Mudharabah
kepadanya dari harta yang lainnya.
c. Syarat yang berakibat tidak jelasnya keuntungan seperti
mensyaratkan kepada pengelola bagian keuntungan yang tidak
jelas atau mensyaratkan keuntungan satu dari dua usaha yang
dikelola, keuntungan usaha ini untuk pemilik modal dan yang
satunya untuk pengelola atau menentukan nilai satuan uang
tertentu sebagai keuntungan. Syarat ini disepakati kerusakannya
karena mengakibatkan keuntungan yang tidak jelas dari salah
satu pihak atau malah tidak dapat keuntungan sama sekali.
Sehingga akadnya batal.

Jenis Al Mudharabah
Para ulama membagi Al Mudharabah menjadi dua jenis:
1. Al Mudharabah Al Muthlaqah (Mudharabah bebas). Pengertiannya
adalah sistem mudharabah dimana pemilik modal (investor/Shohib
Al Maal) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan
jenis usaha, tempat dan waktu dan dengan siapa pengelola
bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan kepada Mudhorib
(pengelola modal) melakukan apa saja yang dipandang dapat
mewujudkan kemaslahatan.
2. Al’Mudharabah Al’Muqayyadah (akad Mudharabah yang terbatas).
Pengertiannya pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada
pengelola dan menentukan jenis usaha atau tempat atau waktu atau
orang yang akan bertransaksi dengan Mudharib. Jenis kedua ini
diperselisihkan para ulama keabsahan syaratnya, namun yang rajih

66
bahwa pembatasan tersebut berguna dan tidak sama sekali
menyelisihi dalil syar’i, itu hanya sekedar ijtihad dan dilakukan
dengan kesepakatan dan keridhoan kedua belah pihak sehingga
wajib ditunaikan.
Perbedaan antara keduanya hal ini terletak pada pembatasan
penggunaan modal sesuai permintaan investor.

Jenis-Jenis Mudharabah
1. Mudharabah Muthlaqah (General Investment)
1) Shahibul maal tidak memberikan batasan-batasan
(restriction) atas dana yang di investasikannya. Mudharib di
beri wewenang penuh mengelola dana tersebut tanpa terikat
waktu, tempat, jenis usaha dan jenis pelayanannya.
2) Aplikasi perbankan yang sesuai dengan akad ini ialah time
deposit biasa.

Skema mudharabah mutlaqah dapat di gambarkan sebagai berikut.

Dalam skema mudharabah muthlaqah terdapat beberapa hal yang


sangat berbeda secara fundamental dalam hal nature of relationship
between bank and custemer pada bank konvensional.
a. Penabung atau deposan syari’ah adalahinvestor dengan sepenuh-
penuhnya makna investor. Dia bukanlah lender atau creditor bagi
bagi bank seperti halnya di bank umum. Dengan demikian secara
prinsip, penabung dan deposan entitled untuk risk dan return dari
hasil usaha bank.

67
b. Bank memiliki dua fungsi: kepada deposan atau penabung, ia
bertindak sebagai pengelola (mudharib), sedangkan kepada dunia
usaha, ia berfungsi sebagai pemilik dana (shahibul maal). Dengan
demikian, baik ‘ke kiri maupun ke kanan”, bank harus sharing risk
and return (lihat skema sebelumnya).
c. Dunia usaha berfungsi sebagai pengguna dan pengelola dana yang
harus berbagi hasil dengan pemilik dana, yaitu bank. Dalam
pengembangannya, nasabah pengguna dana dapat juga menjalin
hubungan dengan bank dalam bentuk jual beli, sewa dan fee based
services.
2. Mudharabah Muqayyadah
i. Shahibul maal akan memberikan batasan atas dana yang
diinvestasikannya. Dan mudharib hanya bisa mengelola dana
tersebut sesuai dengan batasan yang di berikan oleh shahibul
maal. Misalnya hanya untuk jenis usaha tertentu saja, tempat
tertentu, waktu tertentu, dan lain-lain.
ii. Aplikasi perbankan yang sesuai dengan akad ini ialah special
investment.
Special investment melalui mudharabah muqayyadah dapat di
gambarkan dalam skema berikut ini.
Penghimpunan Dana
(Mudharabah Muqayyadah)

Keterangan:
Dalam investasi dalam menggunakan konsep mudharabah muqayyadah
pihak bank terikat dengan ketentuan-ketentuan yang telah di tetapkan
oleh shahibul maal, misalnya:
i. Jenis investasi
ii. Waktu dan tempat

68
Produk special investment based on restricred mudaharabah ini
sangat sesuai dengan special hight networth individuals atau company
yang memiliki kecenderungan investasi khusus.
Di samping itu, special investment merupakan modus funding and
financing, sekaligus yang sangat cocok pada saat-saat krisis dan sektor
perbankan mengalami kerugian yang menyeluruh. Dengan special
invenstment investor tertentu tidak perlu menanggung overhead bank
yang terlalu besar karena seluruh dananya masuk ke proyek khusus
dengan return dan cost yang di hitung khusus pula.

Aplikasi Dalam Perbankan


Mudharabah biasanya di terapkan pada produk - produk pembiayaan
dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, mudharabah di terapkan
pada:
a) Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan
khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, dan sebagainya;
deposito berjangka;
b) Deposito spesial (special investment), dimana dana yang dititipkan
nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya mudharabah saja
atau ijarah saja.

Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah di terapkan untuk:


a) Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa.
b) Investasi khusus, di sebut juga mudharabah muqayyadah, dimana
sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-
syarat yang telah di tetapkan oleh shahibul maal.

Manfaat Mudharabah
1. Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat
keuntungan usaha nasabah meningkat.
2. Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah
pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/

69
hasil usaha bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami
negatif spread.
3. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash
flow/arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan
nasabah.
4. Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha
yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan karena
keuntungan yang konkret dan benar-benar terjadi itulah yang
akan dibagikan.
5. Prinsip bagi hasil dalam mudharabah ini berbeda dengan prinsip
bunga tetap dimana bank akan menagih penerima pembiayaan
(nasabah) satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang
dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.

A. Resiko Mudharabah
1. Side streaming : nasabah menggunakan dana itu bukan seperti
yang di sebut dalam kontrak.
2. Lalai dan kesalahan yang di sengaja.
3. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah apabila nasabahnya
tidak jujur.
Aplikasi mudharabah dapat di gambarkan dalam skema berikut ini.

70
Contoh Pehitungan Praktis Al Mudharabah
Seorang pedangang yang memerlukan modal untuk berdagang
dapat mengajukan permohonan untuk pembiayaan bagi hasil seperti
mudharabah, di mana bank bertindak selaku shahibul maal dan nasabah
selaku mudharib. Caranya adalah dengan menghitung dulu perkiraan
pendapatan yang akan diperoleh nasabah dari proyek yang bersangkutan.
Misalnya, dari modal Rp.30.000.000 diperoleh pendapatan Rp. 5.000.000
per bulan. Dari pendapatan ini harus disisihkan dahulu tabungan
pengembalian modal, misalnya Rp.2.000.000. Selebihnya, dibagi antara
bank dengan nasabah dengan kesepakatan dimuka, misalnya 60% untuk
nasabah dan 40 % untuk bank.35

35
lihat Adiwarman Karim, “Teknik Perhitungan Pembiayaan Mudharabah (bagian
1)”, Jurnal Bank Syariah, Edisi 2 Oktober 1994, hlm.27. Jakarta

71
MURABAHAH (3)

Istilah Al-Murabahah berasal dari kata bahasa Arab Al-ribh


(keuntungan), dibentuk dengan wazan (pola pembentukan kata)
mufa’alat yang mengandung arti saling. Oleh karena itu, secara
terminologi, didefinisikan dengan redaksi yang variatif. Ahmad al-Syaisy
al Qaffal mengatakan, al-murabahat ialah tambahan terhadap modal,bagi
al-sayid sabiq, Murabahah penjualan barang seharga pembelian disertai
dengan keuntungan yang dberikan oleh pembeli, artinya ada tambahan
harga dari harga nilai beli.
Adapun arti Murabahah secara umum adalah akad jual beli atas
barang tertentu,dimana penjual menyebutkan harga pembelian barang
kepada pembeli kemudian menjual kepada pihak pembeli dengan
mensyaratkan keuntungan yang diharapkan sesuai jumlah tertentu.
Dalam akad Murabahah , penjual menjual barangnya dengan meminta
kelebihan atas harga beli dengan dengan harga jual. Perbedaan antara
harga jual dengan harga beli barang disebut margin keuntungan.36.
Adapun Firman Allah yang berkenaan dengan murabahah yaitu dalam QS.
An-Nisa(4) : 29.

Dasar Hukum dan Syarat Murabahah


1. Dasar Hukum murabahah
a. QS. Al-Baqarah [2] : 275
     

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”


b. Hadits Riwayat Ibn Majah
Dari Suhaib al-Rumi r.a, bahwa Rasulullah Saw, bersabda : “Tiga
hal yang didalamnya terdapat keberkatan : jual beli secara
tangguh, muqaradhan (mudharabah), dan mencampur gandum
dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual” (HR.
Ibn Majah).

36
Isma‟il, perbankan Syari‟ah(Jakarta: Prenada Media Group) H.138

72
c. Fatwa Dewan Syariah
d. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Umum
e. UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
f. UU No. 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM
2. Syarat-Syarat Murabahah
Dalam melakukan transaksi murabahah terdapat syarat-syarat
yang harusdipenuhi, antara lain :
a. Bank Islam memberitahu biaya modal kepada nasabah.
b. Kontrak pertama harus sah.
c. Kontrak harus bebas dari riba.
d. Bank Islam harus menjelaskan setiap cacat yang terjadi
sesudah pembeliandan harus membuka semua hal yang
berhubungan dengan cacat.
e. Bank Islam harus membuka semua ukuran yang berlaku bagi
harga pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara
hutang.
f. Jika syarat dalam 1, 4 atau 5 tidak dipenuhi, pembeli memiliki
pilihan:
1) Melanjutkan pembelian seperti apa adanya.
2) kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan.
3) membatalkan kontrak

Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian


suatu barang atau aset kepada bank syariah. Jika bank syariah menerima
permohonan tersebut, bank harus membeli terlebih dahulu aset yang
dipesannya secara sah dengan pedagang. Bank membeli barang
keperluan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah
dan bebas riba. Dalam hal ini bank harus memberitahukan secara jujur
harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
Dalam aplikasi bank Syariah , bank merupakan penjual atas objek
barang dan nasabah merupakan pembeli. Bank menyediakan barang yang
dibutuhkan oleh nasabah dengan membeli barang dari Supplier,
kemudian menjualnya kepada nasabah dengan harga yang lebih tinggi

73
dibandingkan dengan harga beli yang dilakukan oleh bank syariah.
Pembayaran atas transaksi Murabahah dapat dilakukan dengan cara
membayar sekaligus pada saat jatuh tempo atau melakukan pembayaran
angsuran selama jangka waktu yang disepakati.
Imam Syafi’i menyatakat pendapatnya bahwa jika seseorang
menunjukkan sebuah komoditi kepada seseorang dan berkata : belikan
sesuatu untukku dan aku akan memberimu keuntungan sekian dan orang
itu kemudian membelikan sesuatu untuknya , maka transaksi demikian
ini adalah sah.37

Contoh kasus murabahah, seperti, terjadi jual beli sesuatu barang


pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang nilainya disepakati
kedua belah pihak penjual dalam hal ini memberi tahu harga produk yang
ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahan.
Misalnya,Anda membutuhkan untuk pembelian mobil. Dalam bank
konvensional, Anda akan dikenakan bunga dan diharuskan membayar
cicilan bulanan selama waktu tertentu disektor perbankkan, suku bunga
yang berlaku dan dapat saja berubah.
Dalam sistem bank syariah, tentu saja produk seperti ini juga
tersedia. Namun bentuknya bukan kredit, melainkan menggunakan
prinsip jual –beli yang diistilahkan dengan Murabahah. Dalam hal ini
,bank syariah akan membeli mobil yang Anda inginkan terlebih dahulu,
kemudian menjualnya lagi kepada Anda. Harganya sedikit mahal, sebagai
bentuk keuntungan buat bank syariah. Karena bentuk keuntungan bank
syariah sudah disepakati

Rukun Murabahah
Rukun dari akad murabahah yang harus dipenuhi dalam setiap
transaksi, yaitu sebagai berikut :
- Penjual (ba’i) adalah pihak yang memiliki barang untuk dijual,.
- Pembeli (musytari) adalah pihak yang memerlukan dan akan
membeli barang. (Dalam hal ini pihak harus memenuhi kriteria

37
Hakim Abl Atang, fiqih Perbankan Syariah ,(Jakarta:Rafika Aditama) Hlm.225-227

74
bahwa pihak tersebut cakap hukum, sukarela dalam pengertian tidak
dalam keadaan dipaksa/terpaksa/di bawah tekanan).
- Objek akad, yaitu mabi’ (barang dagangan) dan tsaman (harga).Harga
dalam hal ini pun sudah harus jelas berapa jumlahnya. Harga inilah
yang akan ditambahkan margin oleh Bank Syariah yang akan
disepakati oleh pihak nasabah. Bank Syariah berperan sebagai
pembeli dari pihak penjual. Objek tersebut berkriteria:
1. Tidak termasuk yang diharamkan atau dilarang, bermanfaat
penyerahannya dari penjual ke pembeli dapat dilakukan
merupakan hak milik penuh pihak yang berakad sesuai
spesifikasinya antara yang diserahkan penjual dengan yang
diterima pembeli.
- Shighah, yaitu Ijab (serah) dan Qabul (terima). Akad harus jelas dan
disebutkan secara spesifik dengan siapa berakad, antara ijab dan
qabul harus selaras baik spesifikasi barang maupun harga dari objek
tersebut, tidak menggantungkan pada klausul yang baru akan terjadi
pada hal/kejadian yang akan datang.

Jenis Murabahah
a) Murabahah Bil Wakalah
Berdasarkan penjelasan diatas, murabahah merupakan akad jual
beliatas barang tertentu, dimana penjual menyebutkan harga pembelian
barang kepada pembeli kemudian menjual kepada pihak pembeli dengan
mensyaratkan keuntungan yang diharapkan sesuai jumlah tertentu.
Dalam akad Murabahah, penjual menjual barangnya kepada nasabah atau
pihak yang membeli dengan meminta kelebiahan atas harga beli dengan
harga jual.
Sedangkan secara bahasa Al-Wakalah atau al-wikalah berarti al-
tafwidh (penyerahan, pendelegasian, dan pemberian mandat). Secara
bahasa ,al-wakalah didefinisikan sebagai sebuah transaksi dimana
seseorang menunjuk orang lain untuk menggantikan dalam mengerjakan
pekerjaannya.

75
Dalam wakalah, sebenarnya pemilik urusan (Muwakkil) itu dapat
secara sah untuk mengerjakan pekerjaanya secara sendiri. Namun,
karena ada sesuatu dan lain hal urusan itu diserahkan kepada orang lain
yang dipandang mampu untuk menggantikannya. Oleh karena itu,jika
seseorang (muwakkil) itu orang yang tidak ahli untuk mengerjakan
urusannya itu seperti orang gila atau anak kecil maka tidak sah untuk
mewakilkan orang lain Contoh kasus wakalah, seseorang mewakilkan
kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali nikah dalam pernikahan
anak perempuannya.
Ijma’ ulama membolehkan wakalah karena dipandang sebagai
tolong menolong atas dasar kebaikan dan takwa yang diperintahkan Allah
SWTdan Allah SWT berfirman dalam Surat Al- Maidah ayat 2.

Ada Beberapa Rukun yang harus dipenuhi dalam Wakalah


1. Orang yang mewakilkan (muwakkil), syaratnya dia berstatus
sebagai pemilik urusan atau benda dan menguasai serta dapat
bertindak terhadap harta tersebut dengan dirinya sendiri. Jika
muwakkil itu bukan pemiliknya atau bukan orang yang ahli
maka batal. Dalam hal ini maka anak kecil dan orang gila tidak
sah jadi muwakkil karena tidak termasuk orang yang berhak
untuk bertindak.
2. Wakil (orang yang mewakili),syaratnya ialah orang yang barakal.
Jika ia idiot,gila atau belum dewasa maka batal. Tapi menurut
Hanafiyah anak kecil yang cerdas (dapat membedakan yang baik
dan yang buruk) sah menjadi wakil alasannya bahwa
AmrSayydiyah Ummu Salamah mengawinkan ibunya kepada
rasullulah,saat itu masih kecil yang belum baliq.
3. Muwakkalfiih (sesuatu yang diwakilkan)
a. pekerjaan atau urusan itu dapat diwakilkan atau digantikan
oleh orang lain.
b. pekerjaan itu dimiliki oleh muwakkil sewaktu akad wakalah.
Oleh karena itu tidak sah berwakil menjual sesuatu yang
belum dimilikinya

76
c. Pekerjaan itu diketahui secara jelas. Maka tidak sah
mewakilkan sesuai yang masih sama, seperti “aku jadikan
engkau sebagai wakilku untuk mengawini anakku.
d. Shighah yang diiringi kerelaan dari mewakil “saya wakilkan
atau serahkan pekerjaan ini kepada kamuuntuk mengerjakan
pekerjaan ini”, kemudian diterima oleh wakil. Seandainya si
wakil tidak mengucapkan kabul tetap dianggap sah.

Jika dilihat dari kasus murabahahbil wakalah, hal termasuk


pembiayaan multi akad dan diperbolehkan dalam ajaran Islam dengan
catatan akad-akad tersebut bersifat independen, meskipun memiliki
keterkaitan satu sama lain. Menanggapi hal tersebut , Anas bin Malik
mengatakan bahwa jika seseorang membeli sebuah barang dari orang lain
dengan harga beli tunai 15 dinar atau harga beli 20 dinar kredit, maka
transaksi tersebut tidak sah jika kedua akad itu (yaitu beli tunai dan beli
kredit) menyatu dalam satu kesepakatan jual beli yang sama.
Sedangkan yang dimaksud dengan akad-akad yang bersifat
independen adalah semua kontrak yang ada, tidak saling
mempersyaratkan antara satu dengan yang lain. Sehingga semuanya
saling terpisah (namun saling mendukung), misalnya, akad nasabah
dengan bank untuk membeli sebuah tanah, dengan menggunakan skema
pembiayaan murabahah bil wakalah pada prakteknya ada dua tahap,
yaitu :
1. Bank membeli tanah dari Developer dengan menunjuk nasabah
sebagai wakilnya (akad wakalah), sehingga tanah tersebut
biasanya sesuai dengan keinginan nasabah.
2. Bank menjual tanah tersebut kepada nasabah dengan akad
murabahah. Dalam hal ini, wakalah bukan merupakan syarat
terjadinya murabahah tetapi mendukung murabahah .
Demikian pula dengan pembiayaan multi akad lainnya. Pada
contoh kasus diatas, jika murabahah berdiri sendiri tanpa didampingi
wakalah, ada kemungkinan tanah yang dibeli Bank tidak sesuai dengan
keinginan nasabah, sehingga rumah tersebut mungkin tidak terjual.

77
SALAM (4)

Pengertian As.Salam
Salam secara etimologi berarti memberikan, dan meninggalkan dan
mendahulukan.38 Artinya, mendahulukan (penyerahan) modal. Salam
disebut juga “salaf”, Istilah salam adalah bahasa dari masyarakat Hijaz
sedangkan salaf dikenal dimasyarakat Iraq.39 Salaf berarti mendahulukan
modal (ra‟sul mâl). Sedangkan salam, maknanya lebih terfokus pada
penyerahan modalnya di tempat aqad.40 Oleh karena itu, salam lebih
umum karena salaf dikaitkan juga dengan pinjaman, sebagaimana
diungkapkan oleh Abdul Rahman al-Jaziri.

Sedangkan secara terminologi didefinisikan sebagai suatu upaya


mempertukarkan suatu nilai (uang) sekarang dengan suatu barang
tertentu yang masih berada dalam perlindungan pemiliknya dan akan
diserahkan kemudian.41 Secara sederhananya transaksi Menjual suatu
barang yang peyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-
cirinya disebutkan dengan jelas dan pembayaran dilakukan terlebih
dahulu, sedangkan barang diserahkan dikemudian hari sesuai
kesepakatan awal. Artinya, bahwa yang diberlakukan adalah prinsip ba’i
(jual beli) suatu barang tertentu antara pihak penjual dan pembeli
sebesar harga pokok ditambah nilai keuntungan yang di sepakati, dimana
waktu penyerahan barang dilakukan di kemudian hari sementara
penyerahan uang dibayarkan dimuka (secara tunai).
Fuqaha Hanafiyah mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu
barang yang penyerahannya ditunda atau menjual suatu barang yang
yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan

38
Lisanul arab, h. 290
39
Abdul Rahman al-Jaziri, al-Fiqh „alal Mazahibil arba‟ah, (Beirut: Darul Fikri, Juz
II, t. th), h. 302
40
Muhammad Abd. Aziz Hasan Zaîd, At-Tatbîq al-Mu‟âshirah Liaqdi as-Salâm,
(Kairo: Ma‟had al-„Alami Lilfikri al-Islâmi, 1996), h. 14
41
Hasan Ayub, Fiqh Al-Mu‟âmalah al-Mâliyah fil Islâm, Cet. I (Kairo: Dar Salâm,
2003), h. 175

78
barangnya diserahkan dikemudian hari”.42Fuqaha Hanabilah dan
Syafi’iyah mendefinisikannya dengan “Akad yang telah disepakati untuk
membuat sesuatu dengan ciri-ciri tertentu dengan membayar harganya
terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kepada pembeli
dikemudian hari”. Sedangkan Fuqaha Malikiyah mendefinisikannya
dengan: “Jual-beli yang modalnya dibayar terlebih dahulu, sedangkan
barangnya diserahkan sesuai dengan waktu yang telah disepakati”.43

Walaupun ada sedikit perbedaan pendapat antar fuqaha, tetapi


intinya tetap sama, Salam adalah jual-beli barang dimana pembeli
memesan barang dengan spesifikasi yang telah ditentukan sebelumnya,
dengan pembayaran diawal sebelum barang selesai dibuat, baik secara
tunai maupun angsuran, dan penyerahan barangnya dilakukan pada
waktu yang disepakati di kemudian hari. Dengan demikian dalam
transaksi Salam, pembeli pemesan memiliki piutang barang terhadap
penjual, dan sebaliknya penjual mempunyai utang barang kepada
pembeli.

Landasan Hukum
Dasar hukum salam terdapat dalam al.Qur’an, hadits dan juga ijma
para ulama.
               

Artinya : “Wahai orang-orang beriman apabila melakukan transaksi tidak


secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu
mencatatnya....” (QS. Al-Baqarah 282)
Dengan ayat ini Ibn Abbas berkata; “Saya bersaksi bahwa Salaf
(Salam) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh

42
Ibn “Abidin, Radd al-Mukhtar „ala al-Durr al-Mukhtar, vol.4, (Beirut: Dar al-Fikr,
t.t), h. 212
43
Wahbah Zuhaili, FiqhulIslaam wa „adillatuhu, (Beirut: Darul Fikri, juz V,1997), h.
3603-3604

79
Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya”.Ia lalu membaca ayat tersebut di
atas.44
Dalam hal ini Rasullullah bersabda:

“Barang siapa yang melakukan sesuatu pesanan (salam), hendaklah


dilakukan menurut takaran tertentu yang telah diketahui dan timbangan
tertentu yang telah diketahui, sampai waktu tertentu yang telah diketahui
kedua belah pihak pula.
Diriwayatkan dalam dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw, sewaktu tiba
di Madinah dimana masyarakatnya melakukan transaksi salam dengan
buah-buahan dalam jangka waktu setahun, dua tahun ataupun tiga tahun.
Sedangkan ijma‟ ulama mengatakan sebagaimana yang diutarakan
oleh Ibnu Munzir: bahwa alim ulama telah sepakat bahwa hukumnya
boleh, dengan pertimbangan bahwa telah ada nash shahih (al.Qur’an dan
hadits) yang mendukung sebagai landasan hukum dan banyak orang
membutuhkan transaksi ini.45

Rukun dan Syarat As.Salam


Sebagaimana yang telah diketahui bahwa setiap transaksi aqad
wajib akan adanya rukun, dan transaksi salam sendiri termasuk kedalam
transaksi keuangan dari ba’i (jual beli). Jadi rukun salam dengan rukun
jual beli adalah sama. Hanya saja dalam salam ada perbedaan syarat yang
lebih banyak daripada jual beli pada umumnya.
Menurut jumhur ulama (kecuali Hanafiyah) ada 4 rukun salam :
 Adanya shigat, yaitu adanya ijab dan qabul
 Dua orang yang bertransaksi (muslam atau rabbu salam dan
muslam ilaih)
 Obyek, yaitu muslim alaih (Muslam fiihi atau barang dan ra‟sul
mâl atau harga)
 Uang / modal

44
M.Syaf‟I Antonio, Bank Syari‟ah Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), h. 108
45
Wahbah Zuhaili, FiqhulIslaam wa „adillatuhu...., h. 3603

80
Sedangkan syarat yang diberlakukan dalam salam adalah harga
(ra‟sul mâl) dan barang (muslam fîhi). Semua mazhab sepakat bahwa
transaksi salam sah dengan enam syarat: yaitu jenis, sifat, jumlah, waktu
penyerahan barang, harga jual diketahui. Dan tempat penyerahan barang
ditentukan.46
Mereka juga sepakat kebolehan salam dalam ukuran, timbangan serta
jumlahnya. Seperti penjumlahan buah lauz (jenis kacang-kacangan) dan
telur.47Tetapi berbeda pendapat dalam hal harga (ra‟sul mâl) dan barang
yang dimaksud. Demikian pula berbeda dalam hal boleh tidaknya
membatalkan sebagian dari salam yang telah disepakati.48
Syarat harga (ra‟sul mâl): Dalam kategori harga, terdapat dua syarat49:
 Harganya jelas
 Harga diserahterimakan di tempat majelis
Sebagaimana yang telah dipahami bahwa aqad salam merupakan
perpanjangan aqad jual beli. Oleh karena salah satu persoalan mendasar
yang harus ada adalah penentuan harga secara jelas. Tapi karena salam
terkait dengan serah terima harga di awal dan barang belakangan,
sehingga muncul persoalan,50 di antaranya:
- Apakah harga yang disepakati (hari ini) akan disesuaikan dengan
perubahan harga pada masa mendatang?
- Atau kesepakatan harga tersebut dikondisikan dengan harga pasar
tertentu?
- Ataukah misalnya penentuan harga lebih kurang 5% dari harga
yang berlaku, mengingat bahwa fluktuasi harga selalu menurun jika
dibandingkan dengan hari-hari berikutnya?

46
Wahbah Zuhaili, FiqhulIslaam wa „adillatuhu...., h. 3605
47
Wahbah Zuhaili, FiqhulIslaam wa „adillatuhu...., h. 3605
48
Wahbah Zuhaili, FiqhulIslaam wa „adillatuhu...., h. 3605
49
Hasan Ayub, Fiqh Al-Mu‟âmalah al-Mâliyah fil Islâm, Cet. I (Kairo: Dar Salâm,
2003), h. 175
50
Muhammad Abd. Aziz Hasan Zaîd, At-Tatbîq al-Mu‟âshirah Liaqdi as-Salâm, .... h.
29.

81
- Atau, harga ditetapkan sesuai dengan ketentuan pada waktu
transaksi tanpa terpengaruh dengan harga yang berlaku pada saat
penyerahan barang?

Pada komprensi Ekonomi Islam Intrnasional Kedua, November


1984, yang berlangsung di Tunis, yang diikuti oleh para ahli ekonom
Islam, persoalan-persoalan yang terlontar ditengah para perserta adalah
hal-hal yang disebutkan di atas. Pada akhirnya, lahir fatwa yang
berkenaan:
 Hal mendasar dalam jual-beli salam (syarat) adalah harus
ditentukan harga pada saat berlangsungnya aqad.
 Boleh menentukan jumlah harga sesuai dengan harga yang berlaku
pada pasar tertentu ketika aqad dilaksanakan.
 Boleh menambah atau mengurangi harga yang disesuaikan dengan
harga yang berlaku pada dua pasar tertentu.
 Tidak dibolehkan menentukan harga yang disesuaikan dengan
harga yang akan berlaku pada masa mendatang.
Fatwa ini sejalan dengan pendapat (Ustadz Mustafa Ahmad az-
Zarqâ): bahwa penentan harga pada pasar labil adalah disesuaikan
dengan harga yang sedang berjalan, atau sedang berfluktuasi, dan
tidak memastikan harga tertentu yang akan berlaku pada masa
mendatang ketika aqad berlangsung. Pernyataan ini dikutip dari
Imam Ahmad, sementara tidak diketemukan ungkapan sama pada
tiga ulama mazhab lainnya.

Adapun menurut menurut imam Nawawi51, syarat salam lahir dari


syarat diberlakukan pada syarat jual beli, di antaranya adalah:
 Penyerahan harga (ra‟sul mâl) harus berlangsung di tempat
transaksi. Jika tidak, maka aqad salam batal.
 Barang yang akan diserahkan dapat diakui sebagai utang.

51
Imam Nawâwi, Hâsyiyatânî Qalyûbî Wa „Umairah, Jilid 2. (Beirut: Darul Fikr,
1995). h.305

82
 Harus jelas tempat penyerahan barang (ra‟sul mâl) yang
dimaksud

Sedangkan, syarat barang (Muslam Fiih), Imam Hanafi menuliskan


beberapa syarat52, yaitu:
 Jenisnya jelas, misalnya beras pada tanam-tanamaan, atau jenis
hewan.
 Diketahui macamnya; misalnya, tepung atau beras cianjur
 Menjelaskan sifatnya; apakah bermutu tinggi, sedang ataupun
rendah
 Dijelaskan kadar nilai dan harganya; takaran atau timbangannya
 syarat (harga atau barang) tidak mengandung riba
 Barang ditentukan dan ditangguhkan.
 Jenis barang dijual terdapat di pasaran sesuai dengan jenis dan
sifatnya dalam aqad, dan berlaku sesuai dengan perjanjian aqad
sampai diserahterimakannya barang itu.
 Aqadnya pasti
 Tempat penyerahan barang jelas.
 Barang yang dimaksud hendaknya mencerminkan harganya

Skema Akad As.Salam

Transaksi salam dalam syariat Islam dilahirkan guna mewujudkan


maslahat dan menghilangkan hal-hal yang merusak bagi segenap
manusia. Makna dan nilai inilah yang terkandung dalam aqad salam yang
bertujuan untuk kemudahan urusan umat.

52
Wahbah Zuhaili, FiqhulIslaam wa „adillatuhu...., h. 3608

83
Dengan mempraktekannya, efesiensi dapat dicapai. Kemungkinan,
ada orang yang memiliki modal besar sekarang tapi dia butuh kepada
sesuatu (barang) pada masa akan datang. Ataupun sebaliknya dengan
pihak lain. Sehingga dengan adanya transaksi dari kedua orang yang
saling membutuhkan tersebut akan dapat melancarakan kepentingan
urusannya. Dan dengan tidak secara langsung, hal ini dapat pula
mewujudkan maslahat bagi masyarakat secara umum. Sama dengan
ungkapan ulama, Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni:
“dengan demikian, manusia butuh bentuk transaksi aqad salam, karena
modal operasional pertanian,perkebunan, dan perdagangan membutuhkan
biaya (cost) tersendiri, mungkin saja pihak lain dapat memenuhinya,
sehingga terjadi hubungan mutualism di antaranya.
Oleh karena itu, salam diperbolehkan agar terjadi satu bentuk transaksi
yang saling meringankan”.53

Perbedaan salam dengan jual beli umum


 Harga barang dalam pesanan tidak boleh dirubah dan harus
diserahkan seluruhnya ketika transaksi itu berlangsung. Misalnya
produsen barang berutang terhadap produsen yang lain, lalu barang
yang dipesan itu dibayar dengan utang itu, bukan dengan uang tunai.
Dalam jual beli salam yang sah ini tidak boleh dilakukan, karena
tujuan dari jual beli pesanan dengan cara ini tidak sejalan. Oleh
karena itu, unsur harga yang harus diserahkan ketika aqad sangat
menentukan sah atau tidaknya jualbeli salam. Berbeda dengan jual
beli biasa, pembeli bisa saja membayar barang yang ia beli dengan
utang penjual kepada pembeli. Dalam artian utang lunas dan barang
diambil oleh pembeli.
 Harga yang diberikan berbentuk tunai, bukan berbentuk cek mundur.
Jika harta yang diserahkan oleh pemesan adalah cek mundur, maka
jual beli salam batal, karena modal untuk membantu produsen tidak

53
Muhammad Abd. Aziz Hasan Zaîd, At-Tatbîq al-Mu‟âshirah Liaqdi as-Salâm, .... h.
18.

84
ada. Berbeda dengan jual beli biasa, harga yang diserahkan boleh saja
berbentuk cek mundur.
 Pihak produsen (Muslam Ilaih) tidak dibenarkan menunda
pembayaran harga pembelian, karena jika hal itu terjadi maka jual
beli ini bukan lagi salam. Sedangkan jual beli biasa pihak produsen
boleh berbaik hati untuk menunda penerimaan harga barang ketika
barang telah selesai diserah terimakan.
 Menurut Imam Hanafi, modal atau harga boleh dijamin oleh
seseorang yang hadir dalam aqad dan penjamin ini bertanggung
jawab dan membayar harga itu juga. Akan tetapi menurut Zufar bin
Zuhail, harga itu tidak boleh dijamin oleh seseorang, dengan alasan
boleh saja terjadi penundaan pembayaran harga yang seharusnya
dibayarkan tunai waktu aqad.54 Sementara, dalm jual beli biasa,
persoalan harga yang dijamin oleh seseorang atau dibayar dengan
uang jaminan, tidaklah menjadi masalah, yang penting keduanya
sepakat.

Perbedaan Salam dengan Ijon


Jual-beli Salam tidak sama dengan jual beli Ijon, karena dalam jual
beli Salam kualitas dan kuantitas barang serta waktu penyerahannya
sudah ditentukan dan disepakati sebelumnya, pengukuran dan spesifikasi
barang telah jelas, sesuai dengan hadis Rosulullah yang diriwayatkan ibnu
Abbas “Barangsiapa melakukan transaksi salam, hendaknya ia melakukan
dengan takaran dan timbangan yang jelas dan untuk jangka waktu yang
jelas pula” dan salam juga mununtut akan adanya keridhoan antara
kedua belah pihak terutama dalam kesepakatan harga.
Allah SWT berfirman “....kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka diantara kalian ....”(an.Nisaa:29). Hal
inilah yang membedakan kehalalan salam karena tidak ada unsur gharar
(tidak jelas) didalam transaksinya.
Sedangkan ijon, barang yang dijualbelikan tidak diukur dan
ditimbang dengan jelas dan spesifik. Begitu juga dengan penetapan harga

54
Wahbah Zuhaili, Fiqhul Islam wa „adillatuhu...., h. 3628-3629

85
yang seringkali diputuskan sepihak tanpa memandang keridhoan satu
sama lain. terdapat unsur ketidak jelasan (gharar) dalam hal jumlah
barang yang diperjual belikan. Demikian pula tidak ada kejelasan
mengenai waktu penyerahannya.

Perbedaan salam dan istishna


Menurut jumhur fuqaha, jual-beli Istisna’ itu sama dengan salam,
yakni jual beli sesuatu yang belum ada pada saat akad sedang
berlangsung (bay’ al-ma’dum). Tetapi menurut fuqaha Hanafiyah, ada 2
perbedaan penting antara Salam dan Istisna’, yaitu:

 Cara pembayaran dalam Salam harus dilakukan pada saat akad


berlangsung, sedangkan dalam istisna’ dapat dilakukan pada saat
akad berlansung, bisa diangsur atau bisa di kemudian hari.
 Salam mengikat para pihak yang mengadakan akad sejak semula.
Sedangkan istisna’ menjadi pengikat unutk melindungi produsen
sehingga tidak ditinggalkan begitu saja oleh konsumen yang tidak
bertanggung jawab.55

55
M. Syafi‟I, Bank Syariah…, h. 114

86
Aplikasi Salam dalam perbankan syari’ah
Dalam perbankan syariah, akad Salam diaplikasikan setidaknya
dengan tiga model:
 Pertama, model akad Salam Tunggal Hakiki, dimana bank benar-
benar melakukan pembelian barang dan kemudian terjun
langsung dalam bisnis penjualan barang itu.
 Kedua, model akad Salam Tunggal Hukmi (formal), dimana bank
tidak benar-benar bermaksud membeli barang, karena setelah itu
bank menjualnya kembali kepada penjual pertama dengan akad
Bay’ Murabahah Bisaman Ajil, atau menyuruh menjualnya ke
pihak lain dengan akad Wakalah.
 Ketiga, model akad Salam Paralel, dimana bank melakukan dua
akad Salam secara simultan, yakni akad Salam dengan nasabah
yang butuh barang dan akad Salam dengan nasabah yang butuh
dana untuk memproduksi barang. Jika nasabah yang
membutuhkan barang itu tadi tidak membayar harga dimuka,
maka akadnya itu adalah istisna’.

Di perbankan Syariah, jual beli salam lazim ditetapkan pada


pembelian alat-alat pertanian, barang-barang industri, dan kebutuhan
rumah tangga. Nasabah yang memerlukan biaya untuk memproduksi
barang-barang industri bisa mengajukan permohonan pembiayaan ke
bank syari’ah dengan skim jual-beli salam. Bank dalam hal ini berposisi
sebagai pemesan (pembeli) barang yang akan diproduksi oleh nasabah.
Untuk itu bank membayar harganya secara kontan. Pada waktu yang
ditentukan, nasabah menyerahkan barang pesanan tersebut kepada bank.
Berikutnya bank bisa menunjuk nasabah tersebut sebagai wakilnya untuk
menjual barang tersebut kepada pihak ketiga secara tunai.

Bank bisa juga menjual kembali barang itu kepada nasabah yang
memproduksinya itu secara tangguh (bisaman ajil) dengan mengambil
keuntungan tertentu. Jadi setelah akad Salam tuntas dengan
diserahkannya barang oleh nasabah (penjual) kepada bank (pembeli),
masih ada beberapa akad lain yang mengiringinya. Kalau bank kemudian

87
menunjuk nasabah tersebut sebagai wakil bank untuk menjual barang itu
secara tunai kepada pihak ketiga, maka yang terjadi adalah akad jual beli
murabahah bisama ajil. Dengan beralihnya kepemilikan barang itu
kepada nasabah, sedangkan ia belum membayar sepeserpun kepada
bank, maka timbullah dayn (hutang). Selanjutnya, walaupun tidak wajib,
biasanya diikuti dengan akad rahn, dimana bank menahan barang
jaminan, baik berupa barang yang sudah dibeli kembali oleh nasabah itu
tadi atau barang lain.56

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa bank tidak selalu


mudah untuk menjual kembali barang industri yang dibelinya itu, baik
kepada pihak ketiga maupun kepada nasabah. Untuk itu lalu dilakukanlah
akad Salam parallel, yaitu dua akad salam yang dilakukan secara simultan
antara bank dan nasabah di satu pihak dan antara bank dan pemasok
barang (supplier) di pihak lain. Menurut Dewan Pengawas Syari’ah Rajbi
Investemen Corporation, Salam paralel ini diperkenankan dengan syarat
pelaksanaan akad salam yang pertama.57

Di bank-bank Islam yang sudah mapan seperi di Sudan, Bahrain,


dan negara-negara Timur Tengah lainnya, transaksi dilakukan dengan
system Salam Tunggal. Konsekuensinya, bank harus memiliki inventory
yang dikelola secara professional agar tidak mengalami kerugian. Bank
juga harus menyediakan gudang tempat penyimpanan (Warehouse)
barang, baik milik sendiri maupun menyewa dari pihak lain. Jadi bank
dalam hal ini bertindak sebagai pedagang yang terjun langsung dalam
persaingan bisnis komoditi. Sedangkan di negara-negara yang masih
memegang paradigma bank sebagai intermediary institution di mana bank
tidak malakukan transaksi perdagangan secara langsung, maka
mekanisme yang memungkinkan adalah salam paralel. Artinya bank
melakukan transaksi salam dengan produsen (Salam pertama) jika bank

56
Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2004), h. 96
57
M. Syafi‟I, Bank Syariah dari teori ke praktek…, h.110

88
sudah memiliki nasabah sebagai calon pembeli (Salam kedua). Bank
dalam hal ini tidak perlu mengoperasikan gudang karena pengiriman
barang bisa dilakukan langsung dari produsen kepada pembeli. Dalam
prakteknya, bisa saja taransaksi antara bank dengan calon pembeli
(pemesan) terjadi lebih dahulu (Salam pertama),
kemudian bank mencari produsen untuk memenuhi pesanan tersebut
(Salam kedua).58

Aplikasi as.Salam dalam praktek bisnis Online


Dengan adanya perubahan zaman, semua dituntut serba cepat,
mudah, dan praktis.Begitu pula yang diinginkan konsumen. Bagi banyak
konsumen, aktivitas berbelanja terkadang menyita banyak waktu. Belum
lagi ketika menghadapi pencarian terhadap satu produk yang jarang di
pasaran (limited edition). Konsumen harus memasuki beberapa pusat
perbelanjaan tanpa petunjuk. Ibaratnya mencari jarum kecil di tumpukan
jerami. Sudah menguras tenaga, membuang waktu pula. Salah satu
kemajuan teknologi, informatika yang banyak membantu perdagangan
/bisnis ialah internet. Dengan memanfaatkan jaringan online, orang dapat
memasarkan barang sebanyak mungkin, dan mendapatkan konsumen
sebanyak mungkin pula.

Walau demikian, bukan berarti bebas menjalankan perniagaan


sesuka hati.Berbagai batasan yang berlaku dalam syariat tetap harus
diindahkan, agar perniagaan online sejalan dengan syariat Allah ‘Azza wa
Jalla.

Para ulama sepakat, tidak sah hukum jual-beli jika pemilik situs
tidak memiliki barang-barang yang ia tampilkan pada situsnya. Biasanya
proses ini berlangsung seperti berikut: saat pembeli mengirim aplikasi
permohonan barang, pemilik situs menghubungi pemilik barang tanpa
melakukan akad jual-beli, sebatas konfirmasi keberadaan barang. Setelah

58
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk,
dan Implementasi Operasional Bank Syariah, (Jakarta: Djambatan, 2001), h.100-102

89
ia meyakini keberadaan barang, ia lalu meminta pembeli mentransfer
uang ke rekeningnya. Setelah uang ia terima, barulah ia membeli barang
tersebut dan mengirimkannya ke pembeli, atau meminta pemilik barang
mengirim langsung ke pembeli.
Akad jual-beli tersebut tidak sah karena ia menjual barang yang
bukan miliknya. Akad ini mengandung unsur gharar, tersebab pada saat
akad berlangsung, penjual belum dapat memastikan apakah barang dapat
ia kirim ke pembeli atau tidak. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam Radhiyallahu
‘anhu, ia berkata, “Wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku untuk
membeli suatu barang, kebetulan barang tersebut sedang tidak kumiliki,
apakah boleh aku menjualnya kemudian aku membeli barang yang
diinginkannya dari pasar? Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, ”Jangan engkau jual barang yang belum engkau miliki! (HR.
Abu Daud. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani)

Solusi Syar’i
Agar jual-beli tersebut menjadi sah, pemilik situs dapat melakukan
langkah-langkah berikut:
- Beritahu setiap calon pembeli bahwa penyediaan aplikasi
permohonan barang bukan berarti ijab dari penjual (pemilik situs).
- Setelah calon pembeli mengisi aplikasi dan mengirimkannya,
pemilik situs tidak boleh menerima langsung akad jual-beli. Akan
tetapi ia beli terlebih dahulu barang tersebut dari pemilik barang
sesungguhnya dan ia terima, kemudian baru ia jawab permohonan
pembeli dan memintanya untuk mentransfer uang ke rekening
miliknya. Lalu barang dikirimkan ke pembeli.
- Untuk menghindari kerugian akibat pembeli via internet menarik
keinginannya untuk membeli selama masa tunggu, sebaiknya
penjual di situs mensyaratkan kepada pemilik barang
sesungguhnya bahwa ia berhak mengembalikan barang selama tiga
hari sejak barang dibeli, ini yang dinamakan khiyar syarat.

90
Jika langkah-langkah tersebut diikuti, jual-belinya menjadi sah dan
keuntungannya pun menjadi halal. Sebagian orang menawarkan solusi
untuk pemilik situs yang belum memiliki barang dengan cara mengubah
akad jual-beli menjadi akad salam. Salam adalah akad pemesanan barang,
dengan uang dibayar tunai di muka dan barang nanti diserahkan setelah
beberapa lama waktunya. Akad salam tersebut hukumnya disepakati
boleh oleh seluruh ulama.

Hal tersebut berdasarkan hadis, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa


sallam datang ke Madinah dan beliau mendapati penduduk Madinah
melakukan akad salam (dan barang diserahkan) setelah berlalu dua dan
tiga tahun. Maka beliau bersabda, “Barang siapa yang melakukan
transaksi salam hendaklah ditentukan berat serta ukuran barangnya dan
waktu serah-terima barang juga jelas.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pemilik situs membuat akad pemesanan dari pembeli kepadanya,


dengan syarat uang dikirim tunai seluruhnya pada saat itu juga oleh
pemesan, lalu pemilik situs mencari tahu di pasar apakah barang yang
dipesan itu ada atau tidak. Jika ternyata ada, dia melakukan transaksi
salam dengan pemesan (pengunjung situs). Setelah uang diterimanya, ia
membeli barang yang dipesan lalu mengirimkannya kepada pemesan
(pengunjung situs).

Bila yang dilakukan hanya sebatas memasang gambar barang atau


kriteria barang, dan bukan sebagai pemilik atau perwakilannya, ada dua
kemungkinan yang bisa terjadi:
 pedagang mensyaratkan pembayaran secara tunai kepada setiap
calon pembeli. Dengan demikian, calon pembeli melakukan
pembayaran lunas tanpa ada yang terutang sedikit pun atas setiap
barang yang ia pesan. Metode ini merupakan perniagaan dengan
skema akad salam. Metode ini dibenarkan secara syariat
walaupun pada saat transaksi tidak memiliki barang. Dan

91
syaratnya sekali lagi, harus menerima uang dari pembeli secara
tunai.
 Muhammad bin Abil Mujalid mengisahkan: “Pada suatu hari aku
diutus oleh Abdullah bin Syaddad dan Abu Burdah untuk bertanya
kepada sahabat Abdullah bin Aufa. Mereka berdua berpesan:
bertanyalah kepadanya, apakah dahulu sahabat Nabi semasa hidup
Nabi memesan gandum dengan pembayaran lunas di muka? Ketika
sahabat Abdullah ditanya demikian, beliau menjawab: Dahulu kami
memesan gandum, sya’ir (satu jenis gandum dengan mutu rendah),
dan minyak zaitun dalam takaran, dan tempo penyerahan yang
disepakati dari para pedagang Negeri Syam. Muhammad bin Abil
Mujalid kembali bertanya: Apakah kalian memesan langsung dari
para pemilik ladang? Abdullah bin Aufa kembali menjawab: Kami
tidak bertanya kepada mereka, tentang hal itu.” (HR. Al-Bukhari)
 tidak menerima pembayaran tunai atau hanya menerima uang
muka.
Salah satu ciri khas perniagaan secara online adalah barang yang
menjadi obyek transaksi hanya bisa diserah-terimakan selang
beberapa waktu.Serah terima fisik barang secara langsung dalam
jual-beli secara online adalah suatu hal yang mustahil dapat
dilakukan.Dalam kondisi ini, keduanya melakukan transaksi yang
sama-sama terutang.Sementara secara hukum, transaksi ini
termasuk transaksi bermasalah. Imam Ahmad bin Hambal
berkata: “Tidak ada hadis sahih satu pun tentang larangan
menjual piutang dengan piutang, akan tetapi kesepakatan ulama
telah bulat bahwa tidak boleh memperjual-belikan piutang
dengan piutang.”
Ungkapan senada juga diutarakan oleh Ibnul Munzir. (at-Talkhis
al-Habir oleh Ibnu Hajar al-Asqalany 3:406 dan Irwa’ul Ghalil oleh
al-Albani 5:220-222)
Karena itu agar tidak terjerumus dalam akad jual-beli utang
dengan utang, maka lawan transaksi harus melakukan

92
pembayaran secara tunai, sehingga skema jual beli yang anda
lakukan menjadi transaksi salam.

Tinjaun Fikih
Solusi ini didasarkan atas takhrij dari pendapat Mazhab Syafi’i yang
membolehkan melakukan akad salam tunai dengan syarat barangnya ada
di pasaran. Zakariya Al-Anshary berkata, “Akad salam tunai dibolehkan …
akan tetapi jika barang yang dipesan tidak ada maka akad salamnya tidak
sah.” (Asna al Mathalib, jilid II, hal. 124)

Para pendukung pendapat tersebut menafsirkan hadis yang


melarang menjual barang yang tidak dimiliki bahwa maksud hadis
tersebut adalah bahwa seorang menjual barang yang telah ditunjuk
(barang yang itu), barang tersebut masih milik orang lain, kemudian dia
membeli barang yang telah disepakati tadi dari pemiliknya, lalu dia
menyerahkannya kepada pembeli.

Maka maksud hadis Hakim bin Hizam adalah “janganlah engkau


menjual barang yang ditunjuk, padahal barang itu bukan milikmu!“
Menafsirkan hadis yang melarang menjual barang yang bukan miliknya
dengan penafsiran tersebut tidaklah tepat. Karena Hakim bin Hizam tidak
menjual barang yang telah ditunjuk (barang yang itu), karena tradisi yang
berlaku saat itu tidak ada orang menjual bahan makanan dan kain dengan
menunjuk bahan makanan dan kain milik orang lain.
Akan tetapi dari konteks hadis tersebut jelas bahwa seseorang
datang kepada Hakim dan ia menginginkan barang dengan spesifikasi
tertentu (bahan makanan atau kain), lalu ia membuat akad jual-beli,
kemudian ia mencari barang sesuai dengan spesifikasi yang diminta dan
membelinya, lalu menyerahkannya kepada pembeli. Hal ini yang dilarang
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis Hakim bin Hizam.
Larangan tersebut berarti larangan melakukan akad salam tunai.

93
Maka salam tunai hukumnya tidak dibolehkan. Dan pendapat yang
melarang akad salam tunai merupakan pendapat mayoritas para ulama
dari Mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali. (Zaadul Ma’ad, jilid V, hal. 719)
Dan menurut Mazhab Hanbali bahwa jarak waktu antara akad
salam dan penyerahan barang haruslah dalam waktu yang diperkirakan
harganya berbeda. Karena maqshad (tujuan) akad salam, pembeli
mendapat harga yang lebih murah, di mana ia telah menyerahkan uang
tunai di muka dan barang akan diterimanya kemudian hari, dan dalam
akad salam penjual mendapatkan dana segar untuk memenuhi kebutuhan
usaha atau pribadinya. Maka, jika akad salam dilangsungkan dalam waktu
yang tidak ada pengaruh terhadap harga barang hilanglah maqshad akad
ini. (Al Mughni, jilid IV, hal 220)59

59
Dr. Erwandi Tarmizi MA, harta haram mu‟amalat kontemporer,( Bogor; BMI
publishing, 2012) hl.227-234

94
ISTISHNA’ (5)

Pengertian Istishna’
Berasal dari kata‫( سْغ‬shana’a) yang artinya membuat, kemudian
ditambah huruf alif, sin dan ta’ menjadi ‫( استصْبع‬istashna’a) yang berarti
meminta dibuatkan sesuatu. Istishna’ atau pemesanan secara bahasa
artinya meminta di buatkan. Menurut terminologi ilmu fiqih artinya
perjanjian terhadap barang jualan yang berada dalam kepemilikan
penjual dengan syarat di buatkan oleh penjual, atau meminta di buatkan
secara khusus sementara bahan bakunya dari pihak penjual.
Contohnya, seseorang pergi ke salah satu tukang, misalnya tukang
kayu, tukang besi atau tukang jahit. Lalu mengatakan; “Tolong buatkan
untuk saya barang X sejumlah sekian”. Syarat sahnya perjanjian
pemesananan ini adalah bahwa bahan baku harus berasal dari si tukang.
Kalau berasal dari pihak pemesan atau pihak lain, tidak disebut
pemesanan, tetapi menyewa tukang.

Transaksi Bai’ al-istishna’ merupakan kontrak penjualan antara


pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang
menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui
orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang
telah di sepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah
pihak bersepakat atsa harga serta sistem pembayaran di lakukan di muka,
melalui cicilan atau di tangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang
akan datang.
Menurut Ulama fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis
khusus dari bai’ as-salam.Biasanya jenis ini di pergunakan di bidang
manufaktur dan konstruksi.Dengan demikian, ketentuan bai’ al-istishna,
mengikuti ketentuan dan aturan bai’ as-salam.

Dasar Hukum Istishna’


Dasar Hukum transaksibai’ istishna’ terdapat dalam Al-Qur’an dan
Al-Hadits.

95
a. Al-Qur’an
            

              

                

         

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak


secara tunai untuk waktu yang tidak di tentukan, hendaklah kamu
menuliskannya….”(al-Baqarah:282).
Dalam kaitan ayat tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat
tersebut tentang transaksi bai’ as-salam.Hal ini tampak jelas dari
ungkapan beliau, “saya bersaksi bahwa salaf (salam) yang di jamin untuk
jangka waktu tertentu telah di halalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan di
izinkan-Nya.”Ia lalu membaca ayat tersebut diatas.

b. Al-Hadits
“Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan
dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula untuk jangka
waktu yang di ketahui”.
Dari Suhaib r.a bahwa Rasulullah saw bersabda,“Tiga hal yang di
dalamnya terdapat keberkahan : jual beli secara tangguh, muqaradhah
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan
rumah, bukan untuk di jual.”(HR Ibnu Majah)

Mengingat Bai’ Al-Istishna merupakan lanjutan dari Bai’ as-salam


maka secara umum dasar hukum yang berlaku pada Bai’ as-salam juga
berlaku pada Bai’ al-Istishna’.Sungguhpun demikian para ulama
membahas lebih lanjut “keabsahan” Bai’ al-Istishna’ dengan penjelasan
berikut.

96
Menurut Mazhab Hanafi, bai’ al-istishna’termasuk akad yang di
larang karena bertentangan dengan semangat bai’secara qiyas.Mereka
mendasarkan kepada argumentasi bahwa pokok kontrak penjual harus
ada dan dimiliki oleh penjual, Sedangkan dalam Istishna’, pokok kontrak
itu belum ada atau tidak di miliki penjual.Meskipun demikian, Mazhab
Hanafi Menyetujui kontrak Istishna’ atas dasar Istihsan karena alasan-
alasan berikut ini.

1. Masyarakat telah mempraktekkan bai’ al-Istishna’ secara luas dan


terus menerus tanpa ada keberatan sama sekali. Hal demikian
menjadikan bai’ al-istishna sebagai kasus ijma’ atau konsensus
umum.
2. Didalam Syariah dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap
qiyas berdasarkan ijma’ ulama.
3. Keberadaan al-istishna’ di dasarkan atas kebutuhan masyarakat.
Banyak orang seringkali memerlukan barang yang tidak tersedia di
pasar sehingga mereka cenderung untuk melakukan kontrak agar
orang lain membuatkan barang untuk mereka.
4. Bai’ al-istishna’ sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan
kontrak selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan
syariah.

Sebagian Fuqaha kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-istishna’


adalah sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang
jual beli biasa dan si penjual akan mampu mengadakan barang tersebut
pada saat penyerahan. Demikian juga terjadinya kemungkinan adanya
perselisihan atas jenis dan kualitas suatu barang dapat diminimalkan
dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan material
pembuatan barang tersebut.

Rukun dan Syarat Istishna


Pelaksanaan bai’ al-istishna’ harus memenuhi sejumlah rukun berikut ini.

1. muslam atau pembeli


2. muslam ilaih atau penjual

97
3. modal atau uang
4. muslam fiihi
5. sighah atau ucapan
Syarat Bai’ al-istishna’
Di samping segenap rukun harus terpenuhi, bai’ al-istishna’ juga
mengharuskan tercukupinya segenap syarat pada masing-masing rukun.
Di bawah ini akan di uraikan di antara dua rukun terpenting, yaitu modal
dan barang.

a. Modal Transaksi Bai al-istishna’


1. Modal harus diketahui.
2. Penerimaan pembayaran salam.
b. Al-muslam fiihi (Barang)
1. Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang.
2. Harus bisa diidentifikasi secara jelas.
3. Penyerahan barang dilakukan dikemudian hari.
4. Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus
ditunda pada suatu waktu kemudian, tetapi mazhab syafi’i
membolehkan penyerahan segera.
5. Boleh menentukan tanggal waktu dimasa yang akan datang
untuk penyerahan barang.
6. Tempat penyerahan.
7. Penggantian muslam fiihi dengan barang lain.

Jenis Istishna’
Istishna’ Pararel
Dalam sebuah kontrak al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan
pembuat menggunakan subkontrakator untuk melaksanakan kontrak
tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna’
kedua untuk memenuhi kewajibannya kepada kontrak pertama. Kontrak
baru ini di kenal sebagai istishna’ pararel.
Istishna’ pararel dapat di lakukan dengan syarat:(a) akad kedua
antara bank dan subkontraktor terpisah dari akad pertama antara bank

98
dan pembeli akhir dan (b) akad kedua di lakukan setelah akad pertama
sah.
Ada beberapa konsekuensi saat bank Islam menggunakan kontrak
pararel. Diantaranya sebagai berikut.
1. Bank Islam sebagai pembuat kontrak pertama tetap merupakan
satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksaaan
kewajibannya. Istishna’ pararel atau subkontrak untuk sementara
harus di anggap tidak ada. Dengan demikian sebagai shani’ pada
kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas setiap
kesalahan, kelalaian atau pelanggaran kontrak yang berasal dari
kontrak pararel.
2. Penerima subkontrak pembuatan pada istishna’ pararel
bertanggung jawab terhadap bank Islam sebagai pemesan. Dia
tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan
nasabah pada kontrak pertama akad. Bai’ al-istishna’ kedua
merupakan kontrak pararel, tetapi bukan merupakan bagian atau
syarat untuk kontrak pertama. Dengan demikian kedua
kontraktersebut tidak memunyai kaitan hukum samasekali.
3. Bank sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau
mengadakan barang, bertanggungjawab kepada nasabah atas
pelaksanaan subkontraktor dan jaminan yang timbul darinya.
Kewajiban inilah yang membenarkankeabsahan istishna’ pararel,
juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau
ada.

Perbedaan antara Salam dan Istishna’


Menurut jumhur fuqaha, jual beli istisna’ itu sama dengan salam,
yakni jual beli sesuatu yang belum ada pada saat akad berlangsung (bay’
al-ma’dum). Menurut fuqaha Hanafiah, ada dua perbedaan penting antara
salam dengan istisna’, yaitu :

1. Cara pembayaran dalam salam harus di lakukan pada saat akad


berlangsung, sedangkan dalam istisna’ dapat di lakukan pada saat
akad berlangsung, bisa di angsur atau bisa di kemudian hari.

99
2. Salam mengikat para pihak yang mengadakan akad sejak semula,
sedangkan istisna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen
sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen yang tidak
bertanggungjawab.
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Insitut Bankir Indonesia
mendefinisikan istisna’ sebagai akad antara pemesan dengan pembuat
barang untuk suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan atau jual beli
suatu barang yang baru akan di buat oleh pembuat barang. Dalam istisna’,
bahan baku dan pekerjaan penggarapannya menjadi kewajiban pembuat
barang. Jika bahan baku di sediakan oleh pemesan, maka akad tersebut
berubah menjadi ijarah.

Perbandingan Antara Bai’ as-Salam dan bai’ al-Istishna’


SUBJEK SALAM ISTISHNA ATURAN DAN KETERANGAN
Pokok Muslam Barang di tangguhkan dengan
Mashnu’
Kontrak Fiihi spesifikasi.
Bisa saat
kontrak, bisa di Cara penyelesaian pembayaran
Di bayar
Harga angsur, bisa merupakan perbedaan utama
saat kontrak
dikemudian antara salam dan istishna’.
hari
Salam mengikat semua pihak
sejak semula, sedangkan istishna’
Mengikat Mengikat menjadi pengikat untuk
Sifat
secara asli secara ikutan melindungi produsen sehingga
Kontrak
(thabi’i) (taba’i) tidak di tinggalkan begitu saja
oleh konsumen secara tidak
bertanggung jawab.
Baik salam pararel maupun
Kontrak Salam Istishna’ istishna’ pararel sah asalkan
Pararel Pararel Pararel kedua kontrak secara hukum
adalah terpisah.

100
Aplikasi Istishna’ di Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia berinteraksi
dengan sesamanya untuk mengadakan berbagai transaksi ekonomi, Salah
satunya adalah jual beli yang melibatkan dua pelaku, yaitu penjual dan
pembeli. Biasanya penjual adalah produsen , sedangkan pembeli adalah
konsumen. Pada kenyataannya, konsumen kadang memerlukan barang
yang belum di hasilkan sehingga konsumen melakukan transaksi jual beli
dengan produsen dengan cara pesanan. Di dalam perbankan syariah, jual
beli Istishna’ lazim di tetapkan pada bidang konstruksi dan manufaktur.

Contoh Kasus
CV. Selayang Pandang yang bergerak dalam bidang pembuatan dan
penjualan sepatu memperoleh order untuk memebuat sepatu anak
sekolah SMU senilai RP. 60.000.000,-.dan mengajukan permodalan
kepada Bank Syariah Plaju. Harga perpasang sepatu yang di ajukan adalah
Rp.85.000,- dan pembayarannya di angsur selama tiga bulan. Harga
perpasang sepatu di pasaran sekitar rp. 90.000,-. Dalam hal ini Bank
Syariah Plaju tidak tahu berapa biaya pokok produksi. CV.Selayang
Pandang hanya memberikan keuntungan Rp. 5.000,- perpasang atau
keuntungan keseluruhan adalah RP. 3.529.412,-yang diperoleh dari
hitungan Rp. 60.000.000/Rp. 85.000xRp. 5.000 = rp. 3.529.412.
Bank Syariah Plaju dapat menawar harga yang diajukan oleh CV. Selayang
Pandang dengan harga yang lebuh murah, sehingga dapat di jual kepada
masyarakat dengan harga yang lebih murah pula. Katakanlah misalnya
Bank Syariah Plaju menawar harga Rp. 86.000,-per pasang, sehingga
masih untung Rp. 4.000,- perpasang dengan keuntungan keseluruhan
adalah:Rp. 60.000.000/Rp. 86.000xRp. 4.000 = Rp. 2.790.697

101
WADI’AH (6)

Pengertian Wadi’ah
Kata wadi’ah berasal dari kata wada’a yang bermakna
meninggalkan dan sesuatu yang ditinggalkan seseorang pada orang lain
untuk dijaga disebut wadi’ah.Secara istilah , Wadi’ah adalah sesuatu yang
dititipkan oleh satu pihak ( pemilik ) kepada pihak lain dengan tujuan
untuk dijaga. 60
Menurut Hanafiyyah, Wadi’ah adalah memberikan kekuasaan
kepada orang lain atas suatu barang yang dimiliki dengan tujuan untuk
dijaga, baik secara verbal atau dengan isyarat (dilalah) . Misalnya, “Aku
titipkan barang ini kepada engkau”, kemudian pihak lain menerimanya
dengan jelas.
Menurut Syafiiyyah dan Malikiyyah ,Wadi’ah adalah pemberian
mandat untuk menjaga sebuah barang yang dimiliki atau barang yang
secara khusus dimiliki seseorang dengan cara-cara tertentu. Tidak boleh
menitipkan baju yang sedang terbang ditiup angin , karena ini termasuk
dalam kategori harta yang sia-sia ( tidak ada kekhususan untuk dimiliki )
,yang bertentangan dengan prinsip Wadi’ah.61

Landasan Syari’ah

Menitipkan atau menerima titipan adalah tindakan yang


diperbolehkan. Bahkan, orang yang mampu menjaga barang titipan
tersebut dianjurkan untuk menerima barang titipan dan orang yang
dititipi harus menjaganya secara semestinya. Wadi’ah suatu bentuk
amanah yang harus dikembalikan jika si pemilik memintanya. Berikut
adalah landasan hukum Wadi’ah.

1. Landasan Al-Qur’an
           

60
Sabiq,Sayyid.2010.Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq jilid 3.Jakarta
61
Zuhaili,1998,V,hal 37-38.

102
“Jika sebagian dari kalian mempercayai sebagian yang lain maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah,Tuhannya”. ( Qs.Al-Baqarah : 283 )
Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa hendaklah orang yang
diberikan kepercayaan atas titipan menunaikan amanah dengan sebaik-
baiknya. Dalam penjagaan dan pelihara, apabila diminta untuk
mengembalikannya maka harus mengembalikan titipan tersebut.

2. Hadits

Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Turmudzi : “


Tunaikanlah amanah itu kepada orang yang memberi amanah kepadamu
dan jangan kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu”.
Hadits ini menjelaskan bahwa akad titipan ini harus diberikan
kepada orang yang terpecaya dalam penjagaan dan pemeliharaan harta
titipan ,dan tidak adanya pengkhianatan atas amanah .

3. Ijma

Dalam setiap kurun waktu, ulama sepakat (ijma) atas keabsahan


praktik Wadi’ah , karena masyarakat sangat membutuhkannya, bahkan
sampai pada tahap darurat.

Rukun dan Syarat Wadi’ah

Menurut mayoritas ulama , rukun akad Wadi’ah terdiri atas


‘akidain (penitip dan penerima), wadi’ah (barang yang dititipkan), dan
sighat (ijab qabul). Dan syarat yang ada pada akad secara umumnya yakni
baligh, berakal dan rusyd (cerdas).
Rukun Wadi’ah
o Benda yang disimpan / dititipkan (wadi’ah)
o Pemilik barang/uang, yang bertindak sebagai pihak yang
menitipkan (muwaddi’)
o Pihak yang menyimpan atau memberikan jasa custodian
(mustawda’)

103
o Ijab qabul (sighat)
Syarat Wadi’ah
o Benda ya ng dititipkan diisyaratkan harus benda yang bisa untuk
disimpan. Apabila benda tersebut tidak bisa disimpan, seperti
burung di udara atau benda yang jatuh ke dalam air, maka wadi’ah
tidak sah.
o Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan benda yang dititipkan
harus benda yang mempunyai nilai (qimah) dan dipandang
sebagai maal walaupun najis. Seperti anjing yang bisa
dimanfaatkan untuk berburu atau menjaga keamanan.

Jenis Wadi’ah

Wadiah Yad Al-Amanah


Akad penitipan barang/uang di mana pihak penerima titipan
tidak diperkenankan menggunakan barang/uang yang dititipkan
dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan
barang titipan yang bukan diakibatkan perbuatan atau kelalaian
penerima.

Skema Wadiah Yad Al-Amanah

Penitip Penyimpan
(Muwaddi) ( Mustawda )

 Penitip (Muawaddi): menitipkan barang/ uang yang akan


dititipkan kepada penyimpanan (mustawda’)
 Penyimpan (Mustawda’) menyimpan barang atau uang yang
dititipkan oleh penitip (Muawaddi)

Wadiah Yad Dhamanah


Akad penitipan barang/uang di mana pihak penerima titipan
dengan atau tanpa izin pemilik barang/uang dapat memanfaatkan

104
barang/uang titipan dan harus bertanggung jawab terhadap
kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan. Semua manfaat dan
keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang/uang tersebut
menjadi hak penerima titipan.

Skema Wadiah Yad Dhamanah

Penitip Penyimpan
Muwaddi Mustawda’
M

Pemanfaatan
barang/jasa

Penyimpan boleh memanfaatkan barang/uang titipan.

Keuntungan sepenuhnya menjadi milik penyimpan.

Penyimpan dapat memberikan insentif (bonus) kepada


penitip yang tidak boleh dijanjikan

Berubah nya Akad Wadi’ah

Menurut Malikiyyah,akad wadiah akan berubah dari yad al


amanah menjadi yad al dhamanah , ketika :62

 Aset titipan diberikan oleh penerima titipan kepada orang lain


tanpa adanya alasan atau udzur syar’i yang diperbolehkan.
 Aset titipan dipindahkan dari satu wilayah ke wilayah lain,bukan
dan satu rumah kerumah lain yang masih satu wilayah
62
Antonio,Muhammad syafii,2007.Pengantar Fiqh Muamalah

105
 Aset titipan dicampur dengan aset lain,sehingga sulit untuk
dibedakan
 Aset titipan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi
 Aset titipan disia-siakan dan dirusak,tidak dijaga sebagaimana
mestinya
 Menyalahi aturan/syarat yang ditetapkan oleh pemilik aset

Jaminan atas Wadi’ah

Jika ada kerusakan pada barang titipan maka orang yang dititipi
tidak bertanggung jawab kecuali jika kerusakan tersebut karena kelalaian
atau kesengajaan orang yang dititipi.Sebagaimana dijelaskan pada hadits
riwayat Daruquthni63.Amr bin Syu’aib meriwayatkan dari ayahnya dari
kakeknya bahwa Nabi saw.bersabda,“Barangsiapa yang dititipi sesuatu
maka ia tidak bertanggung jawab memberikan ganti rugi” ( h.r. Ibnu
Majah )

Bonus pada Wadi’ah kepada Mustawda

Menurut Malikiyah dan Hanafiyah, jika barang titipan itu


dimanfaatkan oleh mustawda’ (misalnya bank, red), kemudian
dikembalikan lagi secara utuh, ditambah kelebihan yang tidak
disyaratkan sejak awal, maka hukumnya boleh.
Menurut Syafi’iyah, hal itu tidak boleh.
Tetapi ada sebagian Malikiyah yang berpendapat bahwa
keuntungan dari pemanfaatan harta wadiah diserahkan
(disadaqahkan) untuk Baitul Mal.

Pembagian Wadi’ah dan Penerapannya pada Perbankan Syari’ah


Secara umum, terdapat dua jenis Wadi’ah, yaitu :
1. Wadi’ah yad al-amanah (Trustee Defostery)
Al- wadi’ah Yad Al-Amanah, yaitu titipan barang/harta
yang dititipkan oleh pihak pertama (penitip) kepada pihak lain
(bank) untuk memelihara (disimpan) barang/uang tanpa
63
Sabiq,Sayyid.2010.Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq jilid 3 hal 409 .Jakarta

106
mengelola barang/ harta tersebut. Dan pihak lain (bank) tidak
dibebankan terhadap kerusakan atau kehilangan pada
barang/harta titipan selama hal tersebut. Aplikasinya di
perbankan yaitu: safe deposit box.64
Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh
dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima titipan.
b. Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima
amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga
barang yang dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya.
c. Sebagai kompensasi, penerima titipan diperkenankan
untuk membebankan biaya kepada yang menitipkan.
d. Mengingat barang atau harta yang dititipkan tidak boleh
dimanfaatkan oleh penerima titipan, aplikasi perbankan
yang memungkinkan untuk jenis ini adalah jasa penitipan
atau safe defosit box.

2. Wadi’ah yad adh-dhamanah (Guarantee Depository)


Wadi’ah ini merupakan titipan barang/harta yang
dititipkan oleh pihak pertama (nasabah) kepada pihak lain (bank)
untuk memelihara barang/harta tersebut dan pihak lain (bank)
dapat memanfaatkan dengan seizin pemiliknya dan menjamin
untuk mengembalikan titipan tersebut secara utuh setiap saat,
saat si pemilik menghendaki. Konsekuensinya jika uang itu
dikelola pihak lain (bank) dan mendapat keuntungan, maka
seluruh keuntungan menjadi milik pihak lain (bank) dan bank
boleh memberikan bonus atau hadiah pada pihak pertama
(nasabah) dengan dasar tidak ada perjanjian sebelumnya.
Aplikasinya di perbankan, yaitu : tabungan dan giro tidak
berjangka.65

64
Muhammad Syafi‟I Antonio, Bank Syari‟ah dari Teori ke Praktik , Gema Insani
Press, Jakarta, 2001, h. 110
65
Nasroen Harun, Fiqh Muamalah, Gema Media Pratama, Jakarta, 2007, h. 103

107
Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat
dimanfaatkan oleh yang menerima titipan.
b. Karena dimanfaatkan,barang dan harta yang dititipkan
tersebut tentu dapat menghasilkan manfaat. Sekalipun
demikian, tidak ada keharusan bagi penerima titipan
untuk memberikan hasil manfaat kepada si penitip.
c. Produk perbankan yang sesuai dengan akad ini.

Prinsip wadi’ah yad dhamanah inilah yang secara luas


kemudian diaplikasikan dalam dunia perbankan syari’ah dalam
bentuk produk-produk pendanaan, yaitu:
Giro (Current Account) Wadi’ah
Tabungan (Saving Account) Wadi’ah

Wadi’ah yad-Amanah Berubah Menjadi Wadi’ah yad-Dhamanah


Perubahan sifat amanat berubah menjadi wadi’ah yang bersifat
dhamanah (ganti-rugi). Yaitu kemungkinan tersebut adalah:
1. Barang itu tidak dipelihara oleh orang yang dititipi. Dengan
demikian halnya apabila ada orang lain yang akan merusaknya,
tetapi dia tidak mempertahankannya, sedangkan dia mampu
mengatasi (mencegahnya).
2. Barang titipan itu dimanfaatkan oleh orang yang dititipi,
kemudian barang itu rusak atau hilang. Sedangkan barang
titipan seharusnya dipelihara, bukan dimanfaatkan.
3. Orang yangdititipi mengingkari ada barang titipan kepadanya.
Oleh sebab itu, sebaiknya dalam akad wadi’ah disebutkan jenis
barangnya dan jumlahnya ataupun sifat-sifat lain, sehingga
apabila terjadi keingkaran dapat ditunjukkan buktinya.
4. Orang yang menerima titipan barang itu, mencampuradukkan
dengan barang pribadinyasehingga sekiranya ada yang rusak

108
atau hilang, maka sukar untuk menentukannya, apakah
barangnya sendiri yang rusak (hilang) atau barang titipan itu.
5. Orang yang menerima titipan itu tidak menepati syarat-syarat
yang dikemukakan oleh penitip barang itu, seperti tempat
penyimpanan dan syarat-syarat lainnya.66

Aplikasi Wadi’ah dalam Perbankan

Dalam hal ini, adanya pembahasan tentang adanya produk-


produk perbankan syariah yang termasuk dalam penghimpunan
dana(funding), yakni giro, tabungan, dan deposito.
Secara umum, yang dimaksud dengan giro adalah simpanan yang
penariknya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek bilyet
giro, sarana perintah bayar lainnya, atau dengan pemindahbukuan.
Adapun yang dimaksud dengan giro syari’ah adalah giro yang
dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah.Dalam hal ini,Dewan
Syari’ah Nasional telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa giro
yang dibenarkan secara syara adalah giro yang dijalankan berdasarkan
prinsip wadiah dan mudharabah.

a. Giro wadiah
Yang dimaksud dengan giro wadiah adalah giro yang
dijalankan berdasarkan akadwadiah, yakni titipan murni yang
setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki.Dalam
konsep wadiah, yad al dhommanah, pihak yang menerima titipan
boleh menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang yang
dititipkan. Hal ini berarti bahwa wadi’ah yad al dhomanah,
mempunyai implikasi hukum yang sama dengan qardh, yakni
nasabah bertindak sebagai pihak yang meminjamkan uang dan
bank bertindak sebagai pihak yang dipinjami. Dengan demikian,
pemilik dana dan bank tidak boleh saling menjanjikan untuk

66
M. Ali Hasan. 2003. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh
mu‟amalat). Rajawali Pers. Jakarta. Hal 249

109
memberikan imbalan atas penggunaan atau pemanfaatan dana
atau barang titipan tersebut.

Dalam kaitannya dengan produk giro, bank syariah


menerapkan prinsip yang memberikan hak kepada bank syariah
untuk menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang
titipannya, sedangkan bank syariah bertindak sebagai pihak yang
dititipi yang disertai hak untuk mengelola dana titipan dengan
tanpa mempunyai kewajiban memberikan bagi hasil dari
keuntungan pengelolaan dana tersebut. Namun demikian, bank
syariah diperkanankan memberikan insentif berupa bonus
dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya. Dari pemaparan di
atas, dapat dinyatakan beberapa ketentuan umum giro wadiah
sebagai berikut:

1. Dana wadiah dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan


komersil dengan syarat harus menjamin pembayaran
kembali nominal dana wadiah tersebut.
2. Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi
hak milik atau ditanggung bank, sedang pemilik dana tidak
dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian. Bank
dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana
sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat tapi
tidak boleh diperjanjikan dimuka.
3. Pemilik dana wadiah dapat menarik kembali dananya
sewaktu-waktu (on call), baik sebagian ataupun seluruhnya.

Seperti yang dikemukakan di atas, bank dapat memberikan bonus


atas penitipan dana wadiah. Pemberian bonus dimaksud merupakan
kewenangan bank dan tidak boleh diperjanjikan di muka.67

67
Adiwarman Karim, Islamic Banking, Jakarta, Rajawali Press, h. 288-28

110
Dalam memperhitungkan bonus tersebut, hal-hal yang harus
diperhatikan adalah:
Tarif bonus wadiah merupakan besarnya tarif yang diberikan bank
sesuai ketentuan.
Saldo terendah adalah saldo terendah dalam satu bulan
Saldo rata-rata harian adalah total saldo dalam satu bulan dibagi hari
bagi hasil sebenarnya menurut bulan kalender.
Saldo harian adalah saldo pada akhir hari.
Hari efektif adalah hari kalender tidak termasuk hari-hari tanggal
pembukaan atau tanggal penutupan, tetapi termasuk hari tanggal
tutup buku.
Dana giro yang mengendap kurang dari satu bulan karena rekening
baru dibuka awal bulan atau ditutup tidak pada akhir bulan tidak
mendapatkan bonus wadiah, kecuali apabila penghitungan bonus
wadiahnya atas dasar saldo harian.

b. Tabungan Wadi’ah
Di samping giro, produk perbankan syariah lainnya
termasuk produk penghimpunan dana (funding) ada tabungan.
Berdasarkan UU NO. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU
NO.7 Tahun 1992 tentang perbankan, yang dimaksud dengan
tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat
dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak
dapat ditarik dengan cek, bilyet giro dan atau lainnya yang dapat
dipersamakan dengan itu.
Adapun yang dimaksud dengan tabungan syariah adalah
tabungan yang dijalankan berdasarkan prinsip syariah.Dalam hal
ini, Dewan Syari’ah Nasional mengeluarkan fatwa yang
menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan adalah tabungan
yang berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah.
Ketentuan umum tabungan wadiah adalah sebagai berikut:

111
Tabungan wadiah merupakan tabungan yang bersifat
titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap
saat (on call) sesuai dengan kehendak pemilik harta.
Keuntungan dan kerugian dari penyaluran dana atau
pemanfaatan barang menjadi milik atau tanggungan bank,
sedangkan nasabah penitip tidak dijadikan imbalan dan
tidak menanggung kerugian.
Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik
harta sebagai sebuah insentif selama tidak diperjanjikan
dalam akad pembukaan rekening.68

68
Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta:PT.Raja
Grafindo Persada, 2010), h. 339

112
IJARAH (7)
Pengertian
Al-Ijarah berasal dari kata al-Ajru yang berarti Al’lwadhu (ganti).
Dari sebab itu AtsTsawab (pahala) dinamai Ajru (upah).69 Menurut
pengertian Syara’, Al-Ijarah ialah: Urusan sewa menyewa yang jelas
manfaat dan tujuanya, dapat diserah terimakan, boleh dengan ganti
(upah) yang telah diketahui (gajian tertentu).70Seperti halnya barang itu
harus bermanfaat, misalkan: rumah untuk ditempati, mobil untuk
dinaiki.Pemilik yang menyewakan manfaat disebut Mu’ajjir (orang yang
menyawakan). Pihak lain yang memberikan sewa disebut Musta’jir (
orang yang menyawa = penyewa). Dan, sesuatu yang di akadkan untuk
diambil manfaatnya disebut Ma’jur ( Sewaan). Sedangkan jasa yang
diberikan sebagai imbalan manfaat disebut Ajran atau Ujrah (upah). Dan
setelah terjadi akad Ijarah telah berlangsung orang yang menyewakan
berhak mengambil upah, dan orang yang menyewa berhak mengambil
manfaat, akad ini disebut pula Mu’addhah (penggantian).71

Dasar Hukum
Dasar–dasar hukum atau rujukan Ijarah adalah:
Dasar hukum Ijarah dalam Al-Qur’an adalah :

    

“Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah


upahnya.”(Al-Talaq:6).
Dasar Hukun Ijarah Dari Al-Hadits:

“Barang siapa yang meminta untuk menjadi buruh, beritahukanlah


upahnya.” (HR. Abdul Razaqdari Abu Hurairah).

69
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13, (Bandung : PT. AL – Ma‟arif, 1987) hlm. 7.
70
Syamsuddin Abu Abdillah, Terjemah FHATHUL QARIB,(Surabaya : CM Grafika,
2010) hlm. 209.
71
Sayyid Sabiq, Op.Cit,...hlm. 9.

113
Landasan Ijma’nya ialah:
Umat islam pada masa sahabat telah ber ijma’ bahwa ijarah
diperbolehkan sebab bermanfaat bagi manusia. .72
Rukun Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, Rukun Ijarah adalah ijab dan qabul, antara lain
dengan menggunakan kalimat: al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira’, danal-ikra.

Adapun menurut jumhur ulama, rukun ijarah ada 4, yaitu:


1. Aqid (orang yang akad).
2. Shigat akad.
3. Ujrah (upah).
4. Manfaat.

Syarat Sah Ijarah


Ada 5 syarat sah dari ijarah, diantaranya:
1. Kerelaan dari dua pihak yang melakukan akad ijarah tersebut,
2. Mengetahui manfaat dengan sempurna barang yang diakadkan,
sehingga mencegah terjadinya perselisahan,
3. Kegunaannya dari barang tersebut,
4. Kemanfaatan benda dibolehkan menurut syara’,
5. Objek transaksi akad itu (barangnya) dapat dimanfaatkan
kegunaannya menurut kriteria, dan realita.73

Pembagian dan Hukum Ijarah


Ijarah terbagi menjadi dua, yaitu ijarah terhadap benda atau sewa-
menyewa, dan ijarah atas pekerjaan atau upah-mengupah.

Hukum sewa-menyewa
Dibolehkan ijarah atas barang mubah, seperti: rumah, kamar, dan
lain-lain. Tetapi dilarang ijarah terhadap benda-benda yang diharamkan.

72
Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si. FIQH MUAMALAH, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada), hlm. 116
73
Sayyidsabiq, Op.Cit., hlm. 12-13

114
Ketetapan Hukum Akad dalam Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, ketetapan akad ijarah adalah kemanfaatan
yang sifatnya mubah. Menurut ulama Malikiyah, hukum ijarah sesuai
dengan keberadaan manfaat. Para ulama Hanabilah dan Syafi’iyah
berpendapat bahwa hukum ijarah tetap pada keadaannya, dan hukum
tersebut menjadikan masa sewa seperti benda yang tampak.

Cara Memanfaatkan Barang Sewaan


Sewa Rumah
Jika seseorang menyewa rumah maka dibolehkan untuk
memanfaatkannya sesuai kemauannya, baik dimanfaatkan sendiri atau
dengan orang-orang lain, bahkan boleh disewakan lagi atau dipinjamkan
pada orang lain.
Sewa Tanah
Sewa tanah diharuskan untuk menjelaskan tanaman apa yang akan
ditanam atau bangunan apa yang akan didirikan di atasnya. Jika tidak
dijelaskan ijarah dipandang rusak.
Sewa kendaraan
Dalam menyewa kendaraan, baik hewan atau kendaraan lainnya
harus dijelaskan salahsatu diantara dua hal, yaitu waktu dan tempat. Juga
harus dijelaskan barang yang akan dibawa atau benda yang akan
diangkut .
Perbaikan Barang Sewaan
Menurut ulama Hanafiyah, jika barang yang disewakan rusak,
pemiliknyalah yang berkewajiban memmperbaikinya, tetapi ia tidak
boleh dipaksa. Apabila penyewa bersedia memperbaikinya, ia tidak
diberikan upah sebab dianggap sukarela. Adapun hal-hal kecil seperti
membersihkan sampah atau tanah merupakan kewajiban penyewa.

Kewajiban Penyewa Setelah Habis Masa Sewa


1. Menyerahkan kunci jika yang disewa rumah
2. Jika yang disewa kendaraan, ia harus menyimpannya kembali
ditempat asalnya

115
Hukum Upah-Mengupah
Upah-mengupah atau ijarah ‘ala al-a’mal, yakni jual-beli jasa.
Biasanya berlaku dalam beberapa hal seperti menjahitkan pakaian,
membangun rumah, dan lain-lain. Ijarah ‘ala al a’mal, terbagi dua, yaitu:
a. Ijarah Khusus
Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya,
orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang
telah memberinya upah.
b. Ijarah Musytarik
Yaitu ijarah dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerja-
sama. Hukumnya dibolehkan bekerja-sama dengan orang lain.74

Hak Menerima Upah


1. Selesai bekerja
Seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahwa
Rasulullah SAW, bersabda:
“Berikanlah olehmu upah orang bayaran sebelum keringatnya
kering.”75
2. Mengalirnya manfaat, jika ijarah untuk barang
Karena apabila dalam suatu barang itu telah terjadi kerusakan
maka akad ijarah itupun batal.
3. Memungkinkan mengalirnya manfaat jika masanya berlangsung.
4. Mempercepat dalam bentuk akad ijarah (bayaran).

Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah


Ijarah adalah jenis akad lazim, yang salah satu pihak yang berakad
tidak memiliki hak fasakh, karena ia merupakan akad pertukaran, kecuali
didapati hal yang mewajibkan fasakh. Seperti di bawah ini:

74
Prof. DR. H. Rachmat Syafe‟I, M.A., Op.Cit.,hlm. 131-134
75
Dimyauddin Djuaini, Pengantar FIQH MUAMALAH,( Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2010), hlm. 156

116
a. Terjadi aib terhadap barang sewaan yang kejadiannya di tangan
penyewa atau terlihat aib lama padanya.
b. Rusaknya barang yang disewakan.
c. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, atau selesainya pekerjaan,
atau berakhirnya masa, kecuali jika terdapat uzur yang mencegah
fasakh.76

Aplikasi Ijarah di Lembaga Keuangan Syariah


Bank-bank Islam yang mengoperasikan produk ijarah, dapat
melakukan leasing, baik dalam bentuk operting lease maupun financial
lease.Akan tetapi, pada umumnya bank-bank tersebut lebih banyak
menggunakan Ijarah Muntahiya bit-Tamlik, karena lebih sederhana dari
sisi pembukuan. Selain itu, bank pun tidak direpotkan untuk mengurus
pemeliharaan aset, baik pada saat leasing maupun sesudahnya.

76
SayyidSabiq, Op.Cit.,hlm. 21

117
HAWALAH (8)

Pengertian Hawalah
Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hawalah ialah al intiqal
dan al tahwil, artinya memindahkan atau mengalihkan. Abdurrahman al-
Jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut
bahasa adalah : ‫( اىْقو ٍِ ٍحو اىى ٍحو‬Annaqlu min mahallin ilaa mahalli)
“Pemindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain”. (al-Fiqh ‘ala
madzahib al-Arba’ah, hal.210)

Menurut syara’, pengertian hiwalah menurut para ulama


mendefinisikannya antara lain sebagai berikut :
a. Menurut Hanafiyah, hiwalah adalah: “memindahkan tagihan dari
tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya
tanggung jawab kewajiban pula”.
b. Menurut Maliki, Syafi’i dan Hanbali, hiwalah adalah :“pemindahan
atau pengalihan hak untuk menuntut pembayaran hutang dari
satu pihak kepada pihak yang lain”. Kalau diperhatikan, maka
kedua definisi di atas bisa dikatakan sama. Perbedaannya terletak
pada kenyataan bahwa madzhab Hanafiyah menekankan pada
segi kewajiban membayar hutang. Sedangkan ketiga madzhab
lainnya menekankan segi hak menerima pembayaran hutang.

Landasan Hukum
1. Al-Qur’an
            

 

Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu


bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar”. (Q.S. Al-Baqarah 2 :282)

118
2. As-Sunnah
Rasulullah Saw bersabda,
“Memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang
kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan
kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah
beralih (diterima pengalihan tersebut). (HR Jama’ah).

Rasulullah Saw bersabda, “Orang yang mampu membayar hutang


haram atasnya melalaikan hutangnya. Apabila salah seorang di
antara kamu memindahkan hutangnya kepada orang lain,
hendaklah diterima pemindahan itu, asal yang lain itu mampu
membayar”. (HR Ahmad & Baihaqi)
3. Ijma’
Kesepakatan ulama (ijma’) menyatakan bahwa hiwalah boleh
dilakukan

Jenis Hiwalah
Madzhab Hanafi membagi hiwalah dalam beberapa bagian :
1) Ditinjau dari segi objek akad, hiwalah dibagi menjadi 2 jenis :
a. Hiwalah al-haqq yaitu apabila hutang yang dipindahkan itu
merupakan hak menuntut hutang (pemindahan hak).
b. Hiwalah al-dain yaitu apabila yang pindahkan itu kewajiban
untuk membayar hutang (pemindahan hutang/kewajiban).
2) Ditinjau dari jenis akad, hiwalah dibagi menjadi 2 jenis :
a. Hiwalah al-Muqayyadah yaitu pemindahan sebagai ganti dari
pembayaran hutang muhil (pihakbpertama) kepada muhal /
pihak kedua (pemindahan bersyarat)
Contoh : A berpiutang kepada B sebesar 5 dirham. Sedangkan B
berpiutang kepada C sebesar 5dirham. B kemudian memindahkan
atau mengalihkan haknya untuk menuntut piutangnya yang
berada pada C kepada A sebagai ganti pembayaran hutang B
kepada A. Dengan demikian hiwalah al-muqayyadah pada satu sisi
merupakan hiwalah al haq karena mengalihkan hak menuntut

119
piutangnya dari C ke A (pemindahan hak). Sedangkan pada sisi
lain, sekaligus merupakan hiwalah al dain karena B mengalihkan
kepada A menjadi kewajiban C kepada A (pemindahan hutang/
kewajiban)
b. Hiwalah al-Muthlaqah yaitu pemindahan hutang yang tidak
ditegaskan sebagai ganti rugi dari pembayaran hutang muhil
(pihak pertama) kepada muhal /pihak kedua (pemindahan
mutlak).
Contoh : A berhutang kepada B sebesar 5 dirham. Kemudian A
mengalihkan hutangnya kepada C sehingga C berkewajiban
membayar hutang A kepada B tanpa menyebutkan bahwa
pemindahan hutang tersebut sebagai ganti rugi dari pembayaran
hutang C kepada A. Dengan demikian, hiwalah al-muthlaqah
hanya mengandung hiwalah al-dain saja karena yang dipindahkan
hanya hutang A kepada B menjadi hutang C kepada B.

Rukun Hawalah
Menurut madzhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan
yang melakukan hiwalah) dari muhil (pihak pertama) dan Kabul
(pernyataan menerima hiwalah) dari muhal (pihak kedua) kepada muhal
‘alaih (pihak ketiga). Menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali,
rukun hiwalah ada 6 :
d. Pihak pertama (muhil) yaitu orang yang menghiwalahkan
(memindahkan) utang
e. Pihak kedua (muhal) yaitu orang yang dihiwalahkan (orang yang
mempunyai utang kepada muhil)
f. Pihak ketiga (muhal ‘alaih) yaitu orang yang menerima hiwalah
g. Ada piutang muhil kepada muhal
h. Ada piutang muhal ‘alaih kepada muhi
i. Ada sighat hiwalah yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya, “Aku
hiwalahkan utangku yang hak bagi engkau kepada fulan” dan kabul
dari muhal dengan kata-katanya, “Aku terima hiwalah engkau”.
(Ahmad Idris, Fiqh al-Syafi’iayah, hal. 57-58)

120
Syarat Hawalah
Semua Imam madzhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hanbali) menyatakan
bahwa hiwalah menjadi sah apabila sudah terpenuhi syarat syarat yang
berkaitan dengan muhil (pihak pertama), muhal dan muhal‘alih serta
berkaitan dengan hutang tersebut.
1. Syarat bagi muhil (pihak pertama) adalah :
a. Baligh dan berakal Hiwalah tidak sah dilakukan oleh anak
kecil walaupun ia sudah mengerti (mumayyiz) ataupun
dilakukan oleh orang gila.
b. Ridha. Jika muhil (pihak pertama) dipaksa untuk melakukan
hiwalah maka akad tersebut tidak sah.
2. Syarat bagi muhal (pihak kedua) adalah:
a. Baligh dan berakal
b. Ada persetujuan (ridha) dari muhal terhadap muhil yang
melakukan hiwalah (madzhab Hanafi, sebagian besar
madzhab Maliki dan Syafi’i) Persyaratan ini ditetapkan
berdasarkan pertimbangan bahwa kebiasaan orang
dalam membayar hutang berbeda beda, ada yang mudah dan
ada pula yang sulit. Sedangkan menerima pelunasan itu
merupakan hak muhal. Jika hiwalah dilakukan secara sepihak
saja, muhal dapat saja merasa dirugikan, contohnya apabila
ternyata muhal‘alaih (pihak ketiga) sudah membayar utang
tersebut.
3. Syarat bagi muhal ‘alaih (pihak ketiga) adalah :
a. Baligh dan berakal
b. Ada persetujuan (ridha) dari muhal ‘alaih (madzhab Hanafi).
Sedangkan menurut madzhab lainnya (Maliki, Syafi’i dan
Hanbali) tidak mensyaratkan hal ini sebab dalam akad
hiwalah, muhal ‘alaih dipandang sebagai objek akad. Dengan
demikian persetujuan tidak merupakan syarat sah hiwalah.
4. Syarat yang diperlukan bagi hutang yang dialihkan adalah :
a. Sesuatu yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam
bentuk hutang piutang yang sudah pasti.

121
b. Apabila pengalihan utang itu dalam bentuk hiwalah
almuqayyadah, semua ulama fikih sepakat bahwa baik hutang
muhil kepada muhal maupun muhal ‘alaih kepada muhil harus
sama jumlah dan kualitasnya. Jika antara kedua utang tersebut
terdapat perbedaan jumlah (hutang dalam bentuk uang)
atau perbedaan kualitas (hutang dalam bentuk barang) maka
hawalah tidak sah. Tetapi apabila pengalihan itu dalam bentuk
hiwalah al-muthlaqah (madzhab Hanafi) maka kedua hutang
tersebut tidak mesti sama, baik jumlah maupun kualitasnya.
c. Madzhab Syafi’i menambahkan bahwa kedua hutang tersebut
harus sama pula waktu jatuh temponya. Jika tidak sama
maka tidak sah.

Konsekuensi Akad Hiwalah


1. Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban sebagai muhil untuk
membayar hutang kepada muhal dengan sendirinya menjadi
terlepas (bebas). Sedangkan menurut sebagian ulama madzhab
Hanafi antara lain Kamal bin Humman, kewajiban tersebut masih
tetap ada selama pihak ketiga belum melunasi hutangnya kepada
muhal.
2. Akad hiwalah menyebabkan lahirnya hak bagi seorang muhal
untuk menuntut pembayaran hutang kepada muhal ‘alaih
3. Madzhab Hanafi yang membenarkan terjadinya hiwalah al-
muthlaqah berpendapat bahwa jika akad hiwalah al-muthlaqah
terjadi karena inisiatif dari muhil maka hak dan kewajiban antara
muhil dan muhal ‘alaih yang mereka tentukan ketika melakukan
akad hutang piutang sebelumnya masih tetap berlaku, khususnya
jika jumlah hutang piutang antara ketiga pihak tidak sama.

Akad Hiwalah Berakhir


Akad hawalah berakhir jika terjadi hal-hal berikut :
1. Salah satu pihak yang melakukan akad tersebut membatalkan akad
hiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap.

122
2. Muhal melunasi hutang yang dialihkan kepada muhal ‘alaih
3. Jika muhal meninggal dunia, sedangkan muhal ‘alaih merupakan
ahli waris yang mewarisi harta muhal.
4. Muhal‘alaih menghibahkan atau menyedekahkan harta yang
merupakan hutang dalam akad hiwalah tersebut kepada muhal.
5. Muhal membebaskan muhal ‘alaih dari kewajibannya untuk
membayar hutang yang dialihkan tersebut.
6. Menurut madzhab Hanafi, hak muhal tidak dapat dipenuhi karena
pihak ketiga mengalami pailit (bangkrut) atau wafat dalam keadaan
pailit. Sedangkan menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali
selama akad hiwalah sudah berlaku tetap karena persyaratan sudah
dipenuhi maka akad hiwalah tidak dapat berakhir dengan
mengalami alasan pailit

123
WAKALAH (9)

Pengertian Wakalah
Wakalah adalah penyerahan, pendelegasian, atau pemberian
mandat. Wakalah pada bahasa Arab disebut juga tafwidh, yang artinya
memberikan sesuatu urusan kepada orang lain atau biasa disebut
diwakilkan. terdapat beberapa opini tentan gpengertian wakalah.
Menurut Syafi’i Antonio, al-Wakalah adalah memberikan kekuasaan dari
seorang kepada yang lain dalam hal-hal yang diwakilkan. Dalam
alMajallah dijelaskan al Wakalah adalah seseorang menyerahkan urusan
dagangannya atau bisnis lainnya kepada orang lain dengan dan dengan
demikian ia dapat menggantikan peranannya berkaitan dengan bisnis
yang ia jalankan.

Menurut Syafi’i dan Hanbali menjelaskan wakalah adalah


pelimpahan wewenang oleh seseorang kepada orang lain sebagai
pengganti dirinya atau mewakili kepentingannya dalam mengurus
urusannya selama dia masih hidup.
Abu Hanifah berpendapat bahwa wakil tersebut boleh menjual
sebagaimana kehendak wakil itu sendiri, kontan atau berangsur-angsur
seimbang dengan harga kebiasaan maupun tidak, baik kemungkinan
adanya kecurangan maupun tidak, baik dengan uang negara yang
bersangkutan maupun dengan uang negara lain. Inilah pengertian mutlak
menurut Imam Abu Hanifah.

Dari pengertian- pengertian tersebut, penulis dapat mengambil


makna, bahwa wakalah adalah pemberian kuasa dari seseorang kepada
orang lain untuk melakukan sesuatu yang tidak bertentangan dengan
prinsip Islam. Wakalah dapat diartikan sempit dan luas, tergantung dari
sudut mana kita melihatnya.

124
Secara umum, wakalah dapat dilakukan untuk berbagai hal
selama tidak melanggar ketentuan Islam. Jika dilihat dari sudut pandang
ekonomi, pemberian kuasa tersebut menyangkut aspek- aspek ekonomi.
Berbeda halnya ketika wakalah diterapkan pada dunia politik, maka
pelimpahan kekuasaan tersebut akan berhubungan dengan dunia politik.

Ayat dan Hadits Riwayat

               

              

          

“Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di


antara mereka sendiri.Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah
berapa lamakah kamu berada (disini?)". Mereka menjawab: "Kita berada
(disini) sehari atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu
lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah
salah seorang di antara kamu untuk pergi kekota dengan membawa uang
perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik,
maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia
berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu
kepada seorangpun.”(QS: Al-KahfiAyat: 19)

         

Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir);


sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi
berpengetahuan” (QS (QS Yusuf : 55)

125
               

                

    

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu´amalah tidak secara tunai)


sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi
jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya,
maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah
MahaMengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS Al-Baqarah (2:283)

”Bahwasanya Rosululloh SAW mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang


Anshar untuk mewakilinya untuk mengawinkan (qabul perkawinan Nabi
dengan) dengan Maimunah binti al-Harits.” (HR. Malik dalam al-
Muwaththa’)

“Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW untuk menagih hutang kepada
beliau dengan cara kasar, sehingga para sahabat berniat untuk
“menanganinya”. Beliau bersabda, ‘Biarkan ia, sebab pemilik hak berhak
untuk berbicara;’ lalu sabdanya, ‘Berikanlah (bayarkanlah) kepada orang
ini unta umur setahun seperti untanya (yang dihutang itu)’. Mereka
menjawab, ‘Kami tidak mendapatkannya kecuali yang lebih tua.’ Rasulullah
kemudian bersabda: ‘Berikanlah kepada-nya. Sesungguhnya orang yang
paling baik di antara kalian adalah orang yang paling baik di dalam
membayar.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)

126
Fatwa No: 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah
1. Ketentuan tentang Wakalah:
Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak
untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan
kontrak (akad).Wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan
tidak boleh dibatalkan secara sepihak
2. Rukun dan syarat wakallah
 Syarat-syarat muwakkil (yang mewakilkan)
Pemilik sah dan Orang Mukallaf dan muwwayiz
 Syarat-syarat wakil (yang mewakili)
cakap hukum, dapatmengerjakan,danamanah
 Hal-hal yang diwakilkan
Diketahui dengan jelas,
Tidak bertentangan dengan syari’ah,
Dapat diwakilkan menurut syari’ah Islam
3. Shigat
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.

127
Jenis – Jenis Wakalah
1. Wakalah al mutlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak,
tanpa batasan waktu dan untuk segala urusan.
2. Wakalah al muqayyadah, yaitu penunjukan wakil untuk
bertindak atas namanya dalam urusan-urusan tertentu.
3. Wakalah al ammah, perwakilan yang lebih luas dari al
muqayyadah tetapi lebih sederhana daripada al mutlaqah.

Berakhirnya Akad Al-Wakalah


1. Matinya salah seorang dari yang berakad karena salah satu
syarat sah akad adalah orang yang masih hidup.
2. Bila salah seorang yang berakad gila, karena syarat sah akad
salah satunya orang yang berakad mempunyai akal.
3. Dihentikanya pekerjaan yang dimaksud, karena jika telah
berhenti, dalam keadaan seperti ini al-wakalah tidak
berfungsi lagi.
4. Pemutusan oleh orang yang mewakili terhadap wakil
sekalipun wakil belum mengetahui (pendapat Syafi’i dan
hambali), sedangkan menurut Mazhab Hanafi wakil wajib
mengetahui hal itu, maka tindakannya itu tak ubah seperti
sebelum diputuskan, untuk segala hukumanya.
5. Wakil memutuskan sendiri, menurut Mazhab Hanafi tidak
perlu orang yang mewakili mengetahui pemutusan dirinya
atau tidak perlu kehadirannya, agar tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan.
6. Keluarnya orang yang mewakili dari status pemilikan

Penerapan Dalam Kehidupan


Wakalah bukan saja berupa materi, tetapi juga ada penerapan yang
sudah lama diterapkan.
Berikut contoh Wakallah dalam kehidupan sehari – hari :
 Transfer &Kliring

128
Transfer uang nasabah, kliring antar bank. Bank mewakili
nasabah dalam mengirim uang ke nasabah bank lain.
 Pembayaran rutin
Gaji, zakat, shodaqoh, biaya rutin nasabah lainnya. Kewajiban kita
sebagai manusia yang berpenghasilan lebih yaitu melakukan
pembayaran rutin seperti menuaikan zakat, shodaqoh dan
lainnya. Melalui badan atau lembaga kemanusiaan.
 Asuransi
Asuransi Jiwa, Kerugian, Reasuransi. Jika misalnya kita mendapat
musibah yang tak terduga, segala tanggungan akan dibiayai /
terwakilkan oleh pihak asuransi.
 Letter of Credit
L/C Ekspor dan Impor, melakukan penjualan ke luar negeri via
transportasi antara negara lalu dijual kembali oleh perwakilan
/reseller.
 Transaksi Investasi
Investasi, investor menanamkan modal di suatu perusahaan lalu
oleh perusahaan dikembangkan kembali uang investasi tersebut.

129
KAFALAH (10)

Definisi Kafalah

Kafalah secara bahasa artinya adh-dhamanu (menggabungkan),


atau a-dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan za’amah (tanggungan).

Sedangkan menurut istilah, kafalah merupakan jaminan yang di


berikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi
kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung77. Dalam pengertian lain
,kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang di
jamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai
penjamin.
Makna Kafalah menurut mazhab hanafi adalah suatu tindakan
penggabungan tanggungan orang yang menanggung dengan tanggungan
penanggung utama terkait tuntutan yang berhubungan dengan jiwa,
hutang, barang atau pekerjaan. Sedangkan definisi menurut ulama
terkemuka lainnya, kafalah adalah penggabungan antara dua tanggungan
terkait tuntutan dan hutang78.

Kafalah kadang di sebut juga sebagai wakalah bersyarat79. Dalam


hal ini kita bersedia memberikan jasa kita untuk melakukan sesuatu atas
nama orang lain, jika terpenuhi kondisinya, atau jika sesuatu terjadi.

Menurut Syafi’i Antonio (1999), kafalah adalah jaminan yang


diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi
kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Sedangkan menurut Bank
Indonesia (1999), kafalah adalah akad pemberian jaminan yang diberikan
satu pihak kepada pihak lain dimana pemberi jaminan bertanggung jawab

77
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek. Cet.14. Jakarta:
Gema Insani.2009. hal. 123.
78
As-Sayyid Saabiq, Fikih Sunnah 5. Jakarta: Cakrawala Publishing. 2009. hal. 386.
79
Adiwaraman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. Cet.7.
Jakarta:Rajawali Pers. 2010. hal. 69.

130
atas pembayaran kembali suatu hutang yang menjadi hak penerima
jaminan80.

Landasan Hukum Kafalah


Dasar hukum kafalah dapat dipelajari dari Al-Qur’an, Al-Hadist
dan Ijma. Dalam Al-Qur’an terdapat pada bagian yang mengisahkan Nabi
Yusuf, yaitu Al-Qur’an Surat Yusuf : 72 yang artinya:

            

“Penyeru-penyeru itu berseru,”Kami kehilangan piala Raja, barangsiapa


yang dapat mengembalikannya akan memperoleh makanan (seberat)
beban unta dan aku menjamin terhadapnya.” (Q.S. Yusuf : 72).
Kata za’im yang artinya penjamin dalam Surat Yusuf tersebut adalah
gharim, orang yang bertanggung jawab atas pembayaran. Sedangkan Ibnu
Abbas menafsirkan kata za’iim berarti sama dengan kata kafiil.
Dalam Al-Qur-an Surat Al-Maidah (5) : 2 Allah berfirman yang
artinya:

                  

“Tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa,


dan janganlah tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan
pelanggaran.”(QS. Al-Mai’dah : 2).
Memberikan jaminan kepada orang lain merupakan perwujudan tolong
menolong.
Landasan syariah dalam jaminan kafalah pada ayat di atas
dipertegas dalam hadits Rasulullah sebagai berikut:
“Telah dihadapkan kepada Rasulullah saw… (mayat seorang laki-laki untuk
dishalatkan). Rasulullah saw bertanya,”Apakah ia mempunyai warisan?”
Para sahabat menjawab,”Tidak.” Rasulullah bertanya lagi, ”Apakah ia

80
Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, hal. 31

131
mempunyai hutang?” Sahabat menjawab, ”Ya, sejumlah tiga dinar.”
Rasulullah pun menyuruh para sahabat untuk menshalatkannya (tetapi
beliau sendiri tidak). Lalu Abu Qatadah berkata, “Saya menjamin
hutangnya, ya Rasulullah.” Maka Rasulullah pun menshalatkan mayat
tersebut.(H.R. Bukhari no. 2127, kitab Al-Hawalah).
Zaa’iim Gaarimun, artinya: “orang yang menjamin berarti dia
adalah berutang (sebab jaminannya tersebut)” (HR. Abu Daud, Turmudzi
dan memposisikannya sebagai hadits hasan. Dan Ibnu Hibban
menjadikannya hadits shahih)81.
Juga dalam sabda Rasulullah SAW sebagai berikut:
“Allah menolong hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya.”
Sedangkan dalam Al-Ijma, Para ulama sepakat dengan bolehnya
kafalah karena sangat dibutuhkan dalam mu’amalah masyarakat. Dan
agar pihak yang berpiutang tidak dirugikan dengan ketidakmampuan
orang yang berutang82. Hanya saja, mereka berbeda pendapat dalam
beberapa hal. Perlu diketahui, kafalah yang dilakukan dengan niat yang
ikhlas mempunyai nilai ibadah yang berbuah pahala.

Rukun dan Syarat Kafalah


Rukun dan syarat kafalah adalah sebagai berikut83:
1. Pihak Penjamin (Kafiil), syaratnya:
 Baligh (dewasa) dan berakal sehat.
 Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan
hartanya dan rela (ridha) dengantanggungan kafalah tersebut.
2. Pihak Orang yang berutang (Ashiil, Makfuul ‘anhu), syaratnya:
 Sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin.
 Dikenal oleh penjamin.
3. Pihak Orang yang Berpiutang (Makfuul Lahu), syaratnya:
 Diketahui identitasnya.

81
Antonio, Syafi’i, Bank Syariah: Wacana Ulama & Cendekiawan, Jakarta 1999
82
Bank Syariah: Konsep, Produk dan Implementasi Operasional, Jakarta: Djambatan,
2001
83
FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 11/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Kafalah

132
 Dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa.
 Berakal sehat.
4. Obyek Penjaminan (Makful Bihi), syaratnya:
 Merupakan tanggungan pihak/orang yang berutang, baik berupa
uang, benda, maupunpekerjaan.
 Bisa dilaksanakan oleh penjamin.
 Harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin
hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan.
 Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya.
 Tidak bertentangan dengan syari’ah (diharamkan).

Akad Dalam Kafalah


Menurut madzhab Hanafi dan Syafi’i: akad tersebut bisa jadi
sharih/terang-terangan, kinayah (sindiran). Dengan kata lain semua
lafadz yang menurut kebisaaan mengandung makna perjanjian kafalah.
 Akad Sharih artinya terang-terangan, menggunakan kata “jamin”
atau sinonimnya. Contoh, saya menjamin utangnya, saya menanggung
utangnya, utangnya saya jamin, utangnya saya tanggung, kalau ia
tidak mampu saya yang membayarnya.
 Akad Kinayah artinya tidak menggunakan kata “jamin” atau
semisalnya, tetapi bisa dipahami dari kata-katanya, ia sebagai
penjamin. Seperti, biarkan dia, jangan lagi usik dia dengan utang itu,
tagihlah saya, percayalah pada saya, jika niatnya menjamin, maka
harus ia tepati, jika tidak maka batal.
Jika ia berkata,”hak fulan ada pada saya”, ini bis dipahami sebagai
titipan (wadi’ah), bisa juga sebagai kewajiban (utang), kecuali ia
menambahkan kata-kata yang menguatkan salah satunya.

Macam-Macam Kafalah
1. Kafalah Bi Al-Mal, adalah jaminan pembayaran barang atau
pelunasan utang. Bentuk kafalah ini merupakan sarana yang
paling luas bagi bank untuk memberikan jaminan kepada para
nasabahnya dengan imbalan/fee tertentu.

133
2. Kafalah Bi An-Nafs, adalah jaminan diri dari si penjamin. Dalam
hal ini, bank dapat bertindak sebagai Juridical Personality yang
dapat memberikan jaminan untuk tujuan tertentu84.
3. Kafalah Bi At-Taslim, adalah jaminan yang diberikan untuk
menjamin pengembalian barang sewaan pada saat masa sewanya
berakhir. Jenis pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan oleh
bank untuk keperluan nasabahnya dalam bentuk kerjasama
dengan perusahaan, leasing company. Jaminan pembayaran bagi
bank dapat berupa deposito /tabungan, dan pihak bank
diperbolehkan memungut uang jasa/fee kepada nasabah tersebut.
4. Kafalah Al-Munjazah, adalah jaminan yang tidak dibatasi oleh
waktu tertentu dan untuk tujuan/kepentingan tertentu. Dalam
dunia perbankan, kafalah model ini dikenal dengan bentuk
performance bond (jaminan prestasi).
5. Kafalah Al-Mu’allaqah, Bentuk kafalah ini merupakan
penyederhanaan dari kafalah al-munjazah, di mana jaminan
dibatasi oleh kurun waktu tertentu dan tujuan tertentu pula85.

Kebolehan dan Batas Tanggung Jawab Penanggung (Kafil)


Hukum Kafalah (menanggung seseorang) adalah boleh apabila
orang yang ditanggung memiliki tanggung jawab atas hak Adami
(menyangkut hak manusia). Misalnya menanggung orang yang mendapat
hukuman Qishas. Hukuman itu merupakan tanggung jawab yang hampir
sama dengan tanggung jawab atas harta benda. Maksud menanggung
disini adalah, menanggung orangnya agar tidak melarikan diri
menghindari hukuman, bukan menanggung hukuman atas orang itu.
Menanggung orang yang dihukum, akibat dosa terhadap hak Allah
SWT yaitu hudud tidaklah sah. Hudud adalah sanksi terhadap suatu

84
Abdullah Alwi Haji Hasan, S a l e s a n d C o n t r a c t s E a r l y I s l a m i c C o m m e r c i a l
L a w (N e w D e l h i : K i t a b B h a y a n . 2 0 0 6 ) h a l . 1 4 4 .
85
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema
Insani. 2001) Hal. 123.

134
kemaksiyatan yang telah ditetapkan kadarnya oleh syara’ guna mencegah
kemaksiyatan yang serupa. Misalnya, dihukum karena berzina, homo
seksual, menuduh berzina, meminum khamar, murtad, pembegal, dan
mencuri. Bahkan kita diperintahkan untuk menghalangi perbuatan-
perbuatan tersebut serta memberantasnya sekuat tenaga. Nabi Saw.,
bersabda :
“Tidak ada kafalah dalam had” (HR. Al-Baihaqi)86
Jika orang yang ditanggung (yang akan dihukum) meninggal
dunia, orang yang menanggung tidak dikenai hukuman hudud , seperti
apa yang sedianya akan dijatuhkan kepada orang yang ditanggung. Ia
tidak harus menggantikannya sebagaimana kalau menanggung harta
benda87.

Ketentuan-ketentuan Hukum Terkait Kafalah88

1. Begitu yang di tanggung tidak ada atau hilang, maka penanggung


harus menjamin dan tidak boleh keluar dari kafalah kecuali
dengan pelunasan hutang darinya atau dari pihak tertanggung
utama (tertanggung), atau dengan adanya pembebasan oleh
pemberi hutang sendiri dari hutang, atau mengundurkan diri dari
kafalah, dan dia berhak untuk mengundurkan diri, karena itu
adalah haknya.
2. Pihak yang di tanggung haknya, maksudnya pemberi hutang,
berhak untuk membatalkan kesepakatan kafalah secara sepihak
meskipun orang yang di tanggung hutangnya atau penanggung
tidak ridha. Namun sebaliknya, pihak tertanggung dan
penanggung tidak berhak untuk membatalkan kesepakatan
kafalah secara sepihak.

86
Op. Cit, Al-Hafidh Ibn Hajar Al-Asqalani, hal. 187.
87
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar Fi Hal Ghayatul
Ikhtishar Juz I (Semarang: Toha Putra.) hal. 280.
88
Ibid hal. 393.

135
Berakhirnya Kafalah
Kafalah berakhir apabila89:
 Ketika utang telah diselesaikan, baik oleh orang yang berutang
atau oleh penjamin. Atau jika kreditor menghadiahkan atau
membebaskan utangnya kepada orang yang berutang.
 Kreditor melepaskan utangnya kepada orang yang berutang, tidak
pada penjamin. Maka penjamin juga bebas untuk tidak menjamin
utang tersebut. Namun, jika kreditor melepaskan jaminan dari
penjamin, bukan berarti orang yang berutang telah terlepas dari
utang tersebut.
 Ketika utang tersebut telah dialihkan (transfer utang/hawalah).
Dalam kasus ini baik orang terutang ataupun penjamin terlepas
dari tuntutan utang tersebut
 Ketika penjamin menyelesaikan ke pihak lain melalui proses
arbitrase dengan kreditor.
 Kreditor dapat mengakhiri kontrak kafalah walaupun penjamin
tidak menyetujuinya

Aplikasi Kafalah Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah

a. Kafalah bin-Nafs
Contoh aplikasi kafalah bin-Nafs, misalkan seorang nasabah yang
mendapatkan pembiayaan dengan jaminan nama baik dan ketokohan
seseorang atau pemuka masyarakat. Walaupun bank secara fisik tidak
memegang barang apapun , tetapi bank berharap tokoh tersebut dapat
mengusahakan pembayaran ketika nasabah yang di biayai mengalami
kesulitan.
b. Kafalah bit-Taslim
Jenis pemberian jaminan ini dapat di laksanakan oleh bank untuk
kepentingan nasabahnya dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan
penyewaan (leasing company).Jaminan pembayaran bagi bank dapat

89
http://www.kampusbisnisnyasolo.com/wp-content/plugins/…/download.php?id…;

136
berupa deposito/tabungan dan bank dapat membebankan uang jasa (fee)
kepada nasabah itu.
c. Kafalah al-Munjazah
Pemberian jaminan dalam bentuk performance bonds “jaminan
prestasi”, suatu hal yang lazim di kalangan perbankan dan hal ini sesuai
dengan bentuk akad[90].

d. Bank Garansi
Bank Garansi merupakan jaminan pembayaran yang di berikan oleh
bank kepada suatu pihak, baik perorangan, perusahaan, badan, atau
lembaga keuangan lainnya dalam bentuk surat jaminan[91]. Garansi bank
dapat di berikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu
kewajiban pembayaran.
e. Syariah Card
Kafalah dapat di aplikasikan dalam syariah card di samping
menggunakan akad qard, ariyah atau ijarah.Kafalah dalam hal penerbit
kartu adalah penjamin (kafil) bagi pemegang kartu terhadap Merchant
atas semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transkasi antara
pemegang kartu dengan Merchant, dan/atau penarikan tunai dari selain
bank atau ATM bank penerbit kartu92.
f. Pembukaan L/C (Letter of Credit) Impor
PembukaanL/Cakan menimbulkan kewajiban bagi issuing bank untuk
melakukan pembayaran kepada beneficiary (eksportir/penjual), karena
issuing (bank pembuka L/C) bank mengambil alih kewajiban importir
untuk membayar barang yang di bayar kepada eksportir. Untuk itu issuing
bank akan meminta jaminan pembukaan L/C dari importir yang berupa
setoran marginal deposit/MD93.
g. Standby L/C

90
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek. Cet.14. Jakarta:
Gema Insani.2009. hal. 125.
91
Kasmir. Dasar-dasar Perbankan. Cet.2. Jakarta:Rajawali Pers. 2003. hal 194.
92
http://sharianomics.wordpress.com/2010/11/25/akad-pada-syariah-card/#more-
3031
93
http://garansibank.blogspot.com/2010/01/sekilas-cara-menerbitkan-lc.html

137
Standby L/C adalah suatu janji tertulis bank yang bersifat irrevocable
(tidak dapat di batalkan) yang di terbitkan atas permintaan pemohon
untuk membayar kepada beneficiary (eksportir/penjual) atau bank yang
mewakili beneficiary untuk melakukan penagihan, apabila dokumen yang
di serahkan telah sesuai dengan persyaratan dokumen yang tercantum
dalam standby L/C. Dengan demikian , standby L/C ini dapat berfungsi
sebagaimana layaknya garansi maupun L/C di mana pemegang jaminan
akan mendapat pembayaran dari bank sepanjang sesuai persyaratan
standby L/C94.
h. Asuransi Syariah (takaful)
Perusahaan asuransi merupakan pihak penanggung atau penjamin,
sedangkan peserta asuransi adalah pihak tertanggung atau yang di jamin.
Sehingga dalam suatu asuransi terdapat perjanjian antar kedua belah
pihak, dimana pihak yang terjamin di wajibkan membayar premi asuransi
dalam masa tertentu, lalu pihak yang menjamin akan mengganti kerugian
jika terjadi sesuatu pada diri si terjamin95.

94
http://www.bankmandiri.co.id/article/sl01.aspx
95
Ahmad Rodoni dan Abdul Hamid. Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta:Zikrul. 2008.
hal 95-96.

138
GADAI (11)
Pengertian Gadai
Gadai dalam bahasa di kenal dengan istilah Al-rahn yang berarti al-
tsubut (tetap) dan al-habs (tahanan).Adapun gadai secara istilah
(terminologi) adalah pinjam-meminjam uang dengan menyerahkan
barang dan dengan batas (bila telah sampai waktunya tidak di tebus,
maka barang tersebut menjadi milik orang yang memberi pinjaman).96
Dalam literature fiqih, gadai (ar-rahn) diartikan dengan menjadikan
barang sebagai jaminan dari hutang, sebagai pengganti jika hutang
tersebut tidak bisa di bayar.
Menurut Imam Abu Zakaria Al-anshari dalam kitabnya Fathul
Wahab mendefinisikan al-rahn adalah menjadikan barang/benda yang
bersifat harta sebagai kepercayaan dari suatu hutang yang dapat di
bayarkan dari harta benda itu bila hutang tidak di bayar. Menurut Imam
Ibnu Qudhamah dalam Kitb al-Mughni adalah sesuatu benda yang
dijadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari harganya,
apabila yang berhutang tidak sanggup membayarnya dari orang yang
berpiutang.97
Sedangkan definisi al-rahn menurut Syafi’i Antonio adalah menahan
salah satu harta milik nasabah atauRahin sebagai barang jaminan atau
marhun atas hutang/pinjaman atau marhun bihyang diterimanya.Marhun
tersebut memiliki nilai ekonomis.Dengan demikian,Pihak yang menahan
atau penerima gadai atau murtahin memperoleh jaminan Untukdapat
mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.98
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa rahn
adalah menahan harta si peminjam barang sebagai jaminan yang
diterimanya, atau akad utang-piutang dengan menjadikan barang yang
bernilai harta sebagai jaminan.

96
Rahmat syafie, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia Bandung,.hlm 159
97
Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia, UGM press Yogyakarta,.hlm 88
98
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Cetakan 1, Kerjasama
Gema Insani Press dengan Tazkia Institute, GIP, Jakarta: 2001. hal. 128.

139
Fungsi Gadai Syariah
Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah 283 Ayat 2 dijelaskan bahwa
gadai padahakikatnya merupakan salah satu bentuk dari konsep
muammalah, dimana sikapmenolong dan sikap amanah sangat
ditonjolkan. Begitu juga dalam hadist Rasulullah Saw. dari Ummul
Mu’minin ‘Aisyah ra. yang diriwayatkan Abu Hurairah, di sananampak
sikap menolong antara Rasulullah Saw, dengan orang Yahudi saat
Rasulullah Saw menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi
tersebut. Maka pada dasarnya, hakikat dan fungsi Pegadaian dalam Islam
adalah semata-mata untuk memberikan pertolongan kepada orang yang
membutuhkan dengan bentuk marhun sebagai jaminan, dan bukan untuk
kepentingan komersiil dengan mengambil keuntungan yang sebesar-
besarnya tanpa menghiraukan kemampuan orang lain.99
Produk rahn disediakan untuk membantu nasabah dalam
pembiayaan kegiatan multiguna. Rahn sebagai produk pinjaman, berarti
Pegadaian syariah hanya memperoleh imbalan atas biaya administrasi,
penyimpanan, pemeliharaan, dana suransi marhun, maka produk rahn ini
biasanya hanya digunakan bagi keperluan fungsi sosial-konsumtif, seperti
kebutuhan hidup, pendidikan dan kesehatan.100 Sedangkan rahn sebagai
produk pembiayaan, berarti Pegadaian syariah memperoleh bagi hasil
dari usaha rahin yang dibiayainya.

Rukun Dan Syarat Gadai


1. Rukun Gadai
Dalam praktek gadai, ada beberapa rukun yang menjadi kerangka
penegaknya, dintaranya adalah:
 Aqid (orang yang berakad) yaitu:
o rahin (orang yang menggadaikan barang).

99
Muhammad dan Solikhul Hadi, Op.cit, hlm. 63
100
Yadi Janwari dan H.A. Djajuli, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat: Sebuah
Pengenalan,Edisi 1, Cetakan 1, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2002. hlm. 80.

140
o murtahin (yang menerima gadai), yaitu orang yang
memelihara barang gadai sebagai imbalan uang yang
dipinjamkan.
 Ma’qud wa ma’qud alaih (yang diakadkan), meliputi 2 hal:
o Marhun (barang yang dijadikan jaminan).
o Marhun bih (utang yang karenanya diadakan gadai).
 Shighat (akad gadai).
Ahmad Azhar Basyir mengatakan :“Akad adalah suatu
perikatan antara ijab dan qabul dengan cara yang
dibenarkan syara’, yang merupakan adanya akibat-akibat
hukum pada obyeknya. Ijab adalah pernyataan pihak
pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan sedangkan
qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.”
Sedangkan menurut Prof. Hasbi ash-Shiddieqiy :“Akad
adalah perikatan antara ijab dan qabul yang dibenarkan
syara’, yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak.
Gambaran yang menerangkan maksud diantara kedua belah
pihak itu dinamakan ijab dan qabul.Ijab adalah permulaan
penjelasan yang terbit dari salah seorang yang berakad,
untuk siapa saja yang memulainya. Qabul adalah yang terbit
dari tepi yan lain sesudah adanya ijab buat menerangkan
persetujuannya.”
Ulama Hanafiyah berpendapat, rukun rahn itu hanya
ijab (pernyataan menyerahkan barang sebagai jaminan
pemilik barang) dan qabul (pernyataan kesediaan memberi
utang dan menerima barang jaminan itu). Menurut Ulama
Hanafiyah, agar lebih sempurna dan mengikat akad rahn,
maka diperlukan qabdh (penguasaan barang) oleh pemberi
utang. Adapun rahin, murtahin, marhun, dan marhun bih itu
termasuk syarat-syarat rahn, bukan rukunnya.101

101
Nasrun Haroen, Fiqh Mumalah, Cetakan Pertama, Gaya Media Pratama, Jakarta:
2000. hlm. 254.

141
2. Syarat Gadai
a. Aqid
Kedua aqid yaitu rahin dan murtahin harus memenuhi
kriteria al-aliyah. Menurut ulama Syafi’iyah, ahliyah adalah
orang yang telah sah dalam jual-beli, yakni berakal dan
mumayyiz, tetapi tidak disyaratkan harus baligh. Dengan
demikian anak kecil yang sudah mumayyiz dan orang yang
bodoh berdasarkan izin dari walinya dibolehkan melakukan
rahn.
Menurut ulama Hanafiyah, ahliyah dalam rahn seperti
pengertian ahliyah dalam jual-beli dan derma. Rahn tidak
boleh dilakukan oleh orang yang mabuk, gila, bodoh atau
anak kecil yang belum baligh.
Begitu pula seorang wali tidak boleh menggadaikan
barang orang yang dikuasainya kecuali jika dalam keadaan
madarat dan meyakini bahwa pemegangnya dapat dipercaya.
b. Marhun (barang)
Marhun adalah barang yang dijadikan jaminan oleh
rahin.Para ulama fiqih sepakat mensyaratkan marhun
sebagaimana persyaratan barang dalam jual-beli sehingga
barang tersebut dapat dijual untuk memenuhi hak murtahin.

Ulama Hanafiyah mensyaratkan marhun antara lain:


 Dapat diperjual-belikan.
 Bermanfaat.
 Jelas.
 Milik rahin.
 Tidak bersatu dengan harta lain.
 Dipegang (dikuasai) oleh rahin.
 Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.102

102
Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia, UGM press
Yogyakarta,.hlm 92

142
c. Marhun bih (utang)
Marhun bih adalah hak yang diberikan ketika rahn. Ulama
Hanafiyah memberikan beberapa syarat yaitu:
 Marhun bih hendaklah barang yang wajib diserahkan
Menurut ulama selain Hanafiyah, marhun bih hendaklah
berupa utang yang wajib diberikan kepada orang yang
menggadaikan barang, baik berupa uang ataupun
berbentuk benda.
 Marhun bih memungkinkan dapat dibayarkan Jika marhun
bih tidak dapat dibayarkan, rahn menjadi tidak sah sebab
menyalahi maksud dan tujuan dari disyariatkannya rahn.
 Hak atas marhun bih harus jelas. Dengan demikian, tidak
boleh memberikan 2 marhun bih tanpa dijelaskan utang
mana menjadi rahn. Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah
memberikan 3 syarat bagi marhun bih :
- Berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan
- Utang harus lazim pada waktu akad
- Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan
murtahin.
d. Shighat
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam
bahwa shighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau
dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena rahn itu jual-beli,
jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn
tetap sah.
Adapun menurut ulama selain Hanafiyah, syarat dalam
rahn ada yang shahih dan ada yang rusak. Uraiannya sebagai
berikut :
 Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa syarat dalam rahn
ada 3 :
o Syarat shahih, seperti mensyaratkan agar rahin cepat
membayar sehingga jaminan tidak disita

143
o Mensyaratkan sesuatu yang tidak bermanfaat, seperti
mensyaratkan agar hewan yang dijadikan jaminannya
diberi makanan tertentu. Syarat seperti itu batal
tetapi akadnya sah
o Syarat yang merusak akad, seperti mensyaratkan
sesuatu yang akan merugikan murtahin.
Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mengatakan apabila
syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad itu, maka
syarat itu dibolehkan, namun apabila syarat itu bertentangan dengan
tabiat akad rahn, maka syaratnya batal. Kedua syarat dalam contoh
tersebut, termasuk syarat yang tidak sesuai dengan tabiat rahn,
karenanya syarat itu dinyatakan batal. Syarat yang dibolehkan itu,
misalnya, untuk sahnya rahn itu, pihak murtahin minta agar akad itu
disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi, sedangkan syarat yang batal,
misalnya, disyaratkan bahwa marhun itu tidak boleh dijual ketika rahn itu
jatuh tempo, dan rahin tidak mampu membayarnya.103

Sedangkan Hendi Suhendi menambahkan, dalam akad dapat


dilakukan dengan lafadz, seperti penggadai rahin berkata; “Aku gadaikan
mejaku ini dengan harga Rp 20.000” dan murtahin menjawab; “Aku
terima gadai mejamu seharga Rp 20.000”. Namun, dapat pula dilakukan
seperti: dengan surat, isyarat atau lainnya yang tidak bertentangan
dengan akad rahn.104

Hukum Gadai
Para ulama sepakat bahwa rahn dibolehkan, tetapi tidak diwajibkan
sebab gadai hanya jaminan jika kedua pihak tidak saling mempercayai.
Hukum rahn secara umum terbagi menjadi dua, yaitu sahih dan ghair
sahih (fasid). Rahn sahih adalah rahn atau gadai yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dijelaskan di atas, sedangkan rahn fasid adalah
rahn yang tidak memenuhi persyaratan tersebut.

103
Nasrun Haroen, Op.cit. hlm. 255.
104
Ibid. hlm. 107

144
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rahn ghair sahih terbagi
menjadi dua, yaitu:
1. Batal, tidak memenuhi persyaratan pada asal akad, seperti aqid
(orang yang berakad) tidak ahli.
2. Fasid, tidak terpenuhinya persyaratan pada sifat akad, seperti
borg (barang) masih berkaitam dengan oranh lain.

a. Hukum Rahn Sahih / Rahn Lazim


Kelaziman rahn bergantung pada rahin, bukan murtahin. Rahin
tidak memiliki kekuasaan untuk membatalkannya, sedangkan murtahin
berhak membatalkannya kapan saja sesuai dengan keinginannya.
Selain itu, menurut pandangan jumhur ulama, gadai baru
dipandang sah bila borg (barang yang dijadikan jaminan) telah diterima
oleh murtahin. Sedangkan menurut ulama Malikiyah cukup dengan
adanya ijab-qabul kemudian meminta kepada rahin untuk menyerahkan
borg.
b. Hukum Rahn Fasid
Jumhur ulama Fiqih sepakat bahwa gadai yang dikategorikan tidak
sah dan menyebabkan akad batal atau rusak, yakni tidak adanya dampak
hukum pada borg. Dengan demikian, murtahin tidak memiliki hak untuk
menahannya, Rahin juga diharuskan meminta kembali borg. Jika murtahin
menolak dan borg sampai rusak, murtahin dipandang atau bisa dikatakan
sebagai perampas. Oleh karena itu harus menggantinya, baik dengan
barng yang sama atau dengan sesuatu yang sama nilainya. Dan jika rahin
meninggal tapi masih berutang, murtahin lebih berhak atas rahn fasid
tersebut sebagaimana pada rahn sahih.

Pendapat ulama Malikiyah hampir sama dengan pendapat ulama


Hanafiyah, bahwa jika rahn didasarkan pada akad yang fasiad. Murtahin
lebih berhak atas barang daripada orang-orang yang memiliki piutang
lainnya. Adapun jika borg rusak ditangan murtahin, hukumnya
sebagaimana pada rahn sahih. Sedangkan ulama Syafi`iyah dan
Hanbaliyah berpendapat bahwa hukum akad rahn fasid sama dengan

145
hukum akad sahih dalam hal ada atau tidaknya tanggung jawab atas borg.
Jika pada akad sahih, murtahin tidak bertanggung jawab atas borg,
apalagi pada akad yang tidak sahih, jika borg ditangan murtahin rusak
dan kerusakan itu bukan disebabkan olehnya, maka sebagaimana pada
akad sahih ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.105

Berakhirnya Akad Rahn (Gadai)


Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai
tidak boleh ada syarat-syarat, semisal ketika akad gadai diucapkan
“apabila rahin tidak mampu melunasi utangnya hingga waktu yang telah
ditentukan, maka marhun (jaminan) menjadi milik murtahin sebagai
pembayaran utang”, sebab ada kemungkinan pada waktu pembayaran
telah ditentukan untuk membayar utang harga marhun akan lebih kecil
dari pada utang rahin (orang yang memberikan jaminan) yang harus
dibayar, yang mengakibatkan kerugian pada pihak murtahin. Sebaliknya
ada kemungkinan juga harga marhun pada waktu pembayaran lebih
besar jumlahnya dari pada utang yang harus dibayar, yang akibatnya
akan merugikan rahin. Apabila syarat diatas diadakan dalam akad gadai,
akad gadai tetap sah tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu
diperhatikan.

Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan, rahin


belum membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual jaminan atau
marhun, pembeliannya boleh murtahin (orang yang menerima) itu
sendiri atau yang lain tetapi harus dengan harga yang umum berlaku
pada waktu itu. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan
akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah utangnya,
sisanya dikembalikan pada rahin.Sebaliknya, harga penjualan marhun
kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran
kekurangannya.106Berdasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Al-

105
Ibid,.hlm 170-176
106
Hendi suhendi, Fuqih Muamalah, RajaGrafindo Persada Jakarta,.hlm 110

146
Baihaqi yang artinya “Rahn itu tidak boleh dimiliki, rahn itu milik orang
yang menggadaikan. Ia berhak atas keuntungan dan kerugiannya.” 107

Dapat disimpulkan bahwa akad rahn berakhir dengan hal-hal


sebagai berikut :
1. Barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya.
2. Rahin membayar hutangnya.
3. Dijual dengan perintah hakim atas perintah rahin.
4. Pembebasa hutang dengan cara apapun, meskipun tidak ada
persetujuan dari pihan rahin.108

Dasar Hukum Gadai


Boleh tidaknya transaksi gadai menurut islam, diatur dalam Al-
Qur`an, Sunnah dan Ijtihad.

1. AL-QUR’AN
Ayat al-qur`an yang dapat dijadikan dasar hukum dalam
gadai adalah firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 283 :

“Dan jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak


secara tunai) sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis,
maka hendaklah ada barang jaminan yang di pegang (oleh yang
berpiutang) akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain , hendaklah yang di percayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya). Dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah (tuhanya). dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksianya, karena barang siapa
menyembunyikanya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang
kotor (berdosa hatinya) dan Allah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (QS.Al-Baqarah:283)

107
Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia, UGM press
Yogyakarta,.hlm 98
108
Ibid.

147
2. AL-HADITS
Artinya :
Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda : Apabila
ada ternak digadaikan, maka punggungnya boleh dinaiki oleh
orang yang menerima gadai, karena ia telah mengeluarkan biaya.
Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh
diminum oleh orang yang menerima gadai, karena ia telah
mengeluarkan biaya. Kepada orang yang naik atau minum, maka
ia harus mengeluarkan biaya perawatannya.( HR. Bukhari).

3. IJTIHAD
Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai, jumhur
ulama juga berpendapat boleh dan mereka tidak pernah
berselisih pendapat mengenai hal ini.Jumhur ulama berpendapat
bahwa gadai disyariatkan pada waktu tidak bepergian atau pada
waktu bepergian, berargumentasi kepada perbuatan Rasulullah
SAW terhadap riwayat hadis tentang orang Yahudi di Madinah
pada hadis yang telah disebutkan di atas.Adapun keadaan dalam
perjalanan seperti ditentukan dalam QS.Al-baqarah:283.

karena melihat kebiasaan dimana rahn dilakukan pada


waktu bepergian. Adh-Dhahak dan penganut madzhab Az-Zahri
berpendapat bhwa rahn tidak disyari`atkan kecuali pada waktu
bepergian, berdasar pada ayat Al-qur`an tadi. Pernyataan mereka
telah terbantahkan dengan adanya hadis tersebut.109

Hikmah Disyariatkannya Gadai


Disyariatkannya gadai adalah untuk memelihara harta supaya tidak
hilang hak pemberi pinjaman, dan apabila telah jatuh tempo, penggadai
atau peminjam wajib membayar.Namun apabila penggadai atau
peminjam tidak bisa membayarnya, maka penguasa barang boleh menjual

109
Ibid.,hlm 91

148
barang jaminan tersebut dengan izin pemilik barang.Jika pemilik barang
tidak mengizinkan, maka penguasa barang boleh memaksanya untuk
membayar utangnya atau menjual barang yang digadaikan.Jika tidak,
niscaya penguasa atau pemerintah yang menjualnya dan membayarkan
utangnya. Dalam Al-Qur’an telah ditegaskan:

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara


tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang).” (Q.S. Al-Baqarah: 283).

Dikuatkan juga dengan sebuah hadits:


Dari Aisyah r.a:

‫ان النبً اشترٌ طعاما من يهىدي الً اجل و رهنه ذرعا من حديد‬
,"Sesungguhnya Nabi SAW membeli makanan dari seorang
Yahudi secara bertempo dan beliau SAW menggadaikan baju
perangnya yang terbuat dari besi."(Muttafaqun 'alaih).

Jadi, gadai adalah amanah yang diberikan kepada kreditur atau


peminjam utang dan ia tidak bertanggung jawab atas barang tersebut
kecuali ia melakukan tindakan atau perbuatan yang melampaui batas atau
lalai dalam mengemban amanah si penggadai. Biaya gadai adalah kepada
yang menggadaikan, dan sesuatu yang memerlukan biaya, maka bagi
penerima gadai diperbolehkan untuk mengambil manfaat dari barang
yang digadaikan peminjam tersebut. Misalnya, yang digadaikan adalah
sepeda motor, maka penerima gadai boleh mengendarainya. Atau gadai
hewan ternak, maka penerima gadai boleh memerah susunya sekedar
biaya nafkahnya. Imam Syafi’ie mengatakan sebagai berikut:

“Barang gadai dapat diambil manfaatnya menurut syara’ meskipun pada


saat yang akan dating, seperti hewan yang masih kecil, dia boleh
digadaikan sebab nantinya dapat diambil manfaatnya.”

149
Gadai yang telah disyariatkan ini juga merupakan bagian dari
muamalah, karena itu gadai juga mengutip prinsip-prinsip muamalah,
antara lain:
1. Dilaksanakan dengan memelihara keadilan dan menghindari
unsur-unsur penganiayaan.
2. Dilakukan atas dasar suka sama suka.
Maka ringkasnya, disyariatkannya gadai ialah untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia serta menciptakan jalinan hubungan kasih
sayang antar umat manusia, juga mendapatkan pahala di sisi Allah SWT.

150
JU’ALAH (12)

Pengertian Ju’alah
Secara Bahasa (etimologis) dalam al Mu’jam al Wasith, al Ju’alah
merupakan :
‫ “ٍب ٌجؼو ػيى اىؼَو ٍِ أجز‬Apa saja yang di jadikan upah atas suatu
pekerjaan.” Adapun di dalam Kamus al Bisri, kalimat al Ju’alah berarti
(‫اىجبئشة‬/ hadiah/ persen) dan juga berarti (‫اىؼَىىت‬/ komisi). Sedangkan Dr.
Wahbah al Zuhaili mendefinisikan al Ju’alah secara bahasa sebagai
berikut:
Al Jualah adalah apa saja yang dijadikan (imbalan) bagi seseorang
atas suatu pekerjaan atau apa saja yang diberikan seseorang untuk
melaksanakan suatu pekerjaan tertentu. Dalam istilah perundang-
undangan dinamakan dengan janji untuk memberikan hadiah.”

Sedangkan Definisi al Ju’alah Menurut Istilah (terminologis). Imam


Syamsyuddin Muhammad ibnu al Khotib asy Syarbini yang juga diikuti
oleh Dr. Wahbah al Zuhaili dalam kitabnya mendefinisikan al Ju’alah
dengan ungkapan sebagai berikut:

‫اىتشاً ػىض ٍؼيىً ػيى ػَو ٍؼٍِ أو ٍجهىه ػسز ػيَه‬. “Suatu kelaziman
(tanggung jawab) memberikan imbalan yang disepakati atas suatu
pekerjaan tertentu atau pekerjaan yang belum pasti bisa dilaksanakan.”

Sayyid Sabiq mendefinisikan al Ju’alah yaitu:

‫اىجؼبىت ػقد ػيى ٍْفؼت ٌظِ حصىىهب مَِ ٌيتشً بجؼو‬. “ al Ju’alah adalah akad
atas suatu manfaat yang diperkirakan akan mendapatkan imbalan
sebagaimana yang dijanjikan atas suatu pekerjaan. Menurut Drs.Imron
Ju’alah adalah tindakan penetapan orang yang sah pentasarrufannya
(penggunaannya) tentang suatu ganti yang telah diketahui jelas atas
pekerjaan yang ditentukan. Menurut Sulaiman Rasjid Jialah(Ju’alah) ialah
meminta agar mengembalikan barang yang hilang dengan bayaran yang

151
ditentukan, misal seseorang yang kehilangan seekor kuda dia berkata ”
siapa yang mendapatkan kudaku dan mengembalikan kepadaku, maka
aku bayar sekian..”.

Dari berbagai definisi diatas, pendapat-pendapat tersebut pada


esensinya adalah sama. Perbedaan definisi dalam hal tersebut hanyalah
perbedaan yang bersifat lafdzi (perbedaan dalam hal lafadz saja)
sedangkan konten dan esensinya adalah sama. Namun perlu di pahami
bahwa dalam Ju’alah bukan hanya sekedar untuk meminta pengembalian
barang yang hilang sebagaimana dalam definisi Sulaiman Rasjid. Begitu
juga imbalan yang digunakan tidak harus identik dengan dengan bayaran
uang. Definisi yang dipaparkan oleh Sulaiman Rosyid diatas cenderung
mengarah pada salah satu contoh dalam hal ju’alah seperti
mengembalikan barang yang hilang. Kalau kita pahami konsep Ju’alah
dalam al Qur’an dan al Hadist tidak sebatas pada pengembalian barang
yang hilang bahkan untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang belum pasti
bisa dikerjakan seperti dalam kasus para sahabat yang meruqyah
pemimpin kaum dan diberikan imbalan sekumpulan kambing.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas al Ju’alah bisa diartikan


sebagai suatu akad perjanjian untuk memberi imbalan atas suatu
pekerjaan tertentu atau pekerjaan yang masih belum pasti bisa
dikerjakan. Apabila pekerjaan tersebut telah tunai dan memenuhi syarat
maka janji untuk pemberian imbalan tersebut bersifat lazim. jika digali
lebih jauh kelaziman pemberian imbalan tersebut sesuai dengan kaidah
usul fiqh. ‫اىَىاػٍد ببمتسبة صىر اىتؼبىٍق تنىُ السٍت‬. “Janji-janji yag dikaitkan
dengan syarat, sifatnya mengikat (tidak dapat ditarik kembali).” Dalam
hal ini para ulama sepakat atas keharusan melaksanakan sebuah janji
yang dibuat dalam bentuk jaminan seperti dalam masalah al Ju’alah. Dari
definisi ini maka sayembara atau perlombaan berhadiah yang hadiahnya
dari satu pihak merupakan bagian dari al Ju’alah, Karena syarat-syaratnya
hampir mirip dan serupa dengan Ju’alah.

152
Dasar Hukum Ju’alah
Dalam Al.Qur’an Allah SWT menerangkan kasus al Ju’alah pada
kisah Nabi Yusuf AS beserta saudara-saudaranya, yaitu dalam surat Yusuf
ayat 72 ketika mengisahkan peristiwa hilangnya alat takar raja ketika
terjadi musim paceklik.

“Allah SWT berfirman : Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami


kehilangan gelas piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya
akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku
menjamin terhadapnya". (QS. Yusuf: 72)”

Ibnu jarir dalam tafsirnya menjelaskan tentang makna (‫)صىاع‬


sebagai berikut:

‫ ومذىل قبه أهو اىتأوٌو‬.ً‫ هى اإلّبء اىذي مبُ ٌىسف ٌنٍو به اىطؼب‬، "‫ و"اىصىاع‬.
“ ash Shuwa’adalah bejana yang di gunakan Nabi Yusuf AS untuk
menakar makanan. Demikianlah yang dikatakan para ahli tafsir.”
Kemudian Ibnu Jarir juga menyebutkan 10 riwayat dimana semuanya
serupa menjelaskan hal tersebut satu diantaranya adalah dari Sa’id bin
Jubair dari Ibnu Abbas.

:‫ قبه‬. ‫ مهٍئت اىَ ُّنىك‬:‫(صىاع اىَيل) قبه‬:‫ػِ سؼٍد بِ جبٍز ػِ ابِ ػببص فً هذا اىحزف‬
‫ومبُ ىيؼببص ٍثيه فً اىجبهيٍت ٌَ ْش َزةُ فٍه‬.

“Dari Sa’id bin Jubair dari Inu Abbas tentang maksud (‫)صىاع اىَيل‬
dalam ayat tersebut berkata: bahwa bejana tersebut bentuknya seperti
cangkir tempat minum dan pada masa Abbas, kaum jahiliyah mempunyai
barang tersebut digunakan untuk minum.”
Ibnu Katsir dalam tafsirnya juga menjelaskan makna kalimat
tersebut.
،‫ ومبُ ٍثو اىَنىك‬،‫مبُ ٍِ فضت ٌشزبىُ فٍه‬
“Alat takar tersebut terbuat dari perak yang digunakan mereka
untuk minum. Dan bentuknya seperti… kalimat tersebut menjelaskan
bahwa raja pada waktu itu melakukan Ju’alah dalam bentuk sayembara
153
berhadiah bagi yang bisa menemukan alat takar tersebut dan baginya
komisi berupa (‫حَو بؼٍز‬/ bahan makanan seberat beban unta). Jadi tetap
sah jika dalam ju’alah imbalan bagi yang menemukan barang bukanlah
uang.
Adapun makna ayat Allah SWT.

ً‫ وىَِ جبء ببىصىاع حَو بؼٍز ٍِ اىطؼب‬:‫ ٌقىه‬، )‫(وىَِ جبء ىه حَو بؼٍز‬:‫وقىىه‬

“Berkata Ibnu jarir bahwa makna ayat (‫وىَِ جبء ىه حَو بؼٍز‬/ dan
barang siapa yang bisa menemukan, maka baginya imbalan makanan
seberat beban unta) maksudnya adalah bagi siapa saja yang bisa
menemukan takaran tersebut maka baginya imbalan makanan seberat
beban unta.”
Ibnu Katsir berkata untuk mengomentari ayat ini:

‫ { َوأََّب بِ ِه َس ِػٍ ٌٌ } وهذا ٍِ ببة اىضَبُ واىنفبىت‬،‫ٍز } وهذا ٍِ ببة اى ُج َؼبىت‬


ٍ ‫ َوىِ ََ ِْ َجب َء بِ ِه ِح َْ ُو بَ ِؼ‬.

ٍ ‫ ) َوىِ ََ ِْ َجب َء بِ ِه ِح َْ ُو بَ ِؼ‬menunjukkan tentang bab al Ju’alah.


“Ayat Allah (‫ٍز‬
Dan ayat Allah (ٌٌ ٍ‫ ) َوأََّب بِ ِه َس ِػ‬ayat ini menunjukkan bab tentang adh
Dhomanah dan al kafalah dalam Islam. Dari berbagai penjelasan tersebut
menunjukkan bahwa al Ju’alah merupakan muamalah yang dibolehkan.
Penjelasan Ibnu Katsir dalam ayat tersebut jelas sekali bahwa ayat itu
merupakan dalil di bolehkannya al Ju’alah.

Rukun dan Syarat Ju’alah


Rukun Ju’alah yaitu:
1. Sighot
2. Ja’il adalah pihak yang berjanji akan memberikan imbalan tertentu
atas pencapaian hasil pekerjaan (natijah) yang ditentukan
3. Maj’ul lah adalah pihak yang melaksanakan Ju’alah
4. Maj’ul ‘alaih adalah pekerjaan yang ditugaskan
5. Upah / hadiah/ fee

154
Agar pelaksanaan Ju’alah dipandang sah, harus memenuhi syarat-syarat:
a. Orang yang menjanjikan upah atau hadiah harus orang yang
cakap untuk melakukan tindakan hukum, yaitu: baligh, berakal
dan cerdas. Dengan demikian anak-anak, orang gila dan orang
yang berada dalam pengampuan tidak sah melakukan Ju’alah.
b. Upah atau hadiah yang dijanjikan harus terdiri dari sesuatu yang
berharga atau bernilai dan jelas juga jumlahnya. Harta yang
haram tidak dipandang sebagai harta yang bernilai (Madzhab
Maliki, Syafi’i dan Hanbali). Tidak boleh ada syarat imbalan
diberikan di muka (sebelum pelaksanaan Ju’alah).
c. Ijab harus disampaikan dengan jelas oleh pihak yang menjanjikan
upah walaupun tanpa ucapan Qabul dari pihak yang
melaksanakan pekerjaan. Antara pekerjaan dan batas waktu yang
ditetapkan untuk menyelesaikannya boleh digabungkan seperti
seseorang berkata, “barangsiapa dapat membuat baju dalam satu
hari maka ia dapatkan bayaran sekian” jika ada orang yang dapat
membuat baju dalam satu hari maka ia berhak mendapatkan
komisi/fee.
d. Pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu harus mengandung
manfaat yang jelas dan boleh dimanfaatkan menurut hukum
syara’.
e. Madzhab Maliki dan Syafi’i menambahkan syarat, bahwa dalam
masalah tertentu, Ju’alah tidak boleh dibatasi dengan waktu
tertentu, seperti mengembalikan (menemukan) orang yang
hilang. Sedangkan Madzhab Hanbali membolehkan pembatasan
waktu.

Sifat Akad Ju’alah


Mazhab Maliki, Syafi'i dan Hanbali memandang bahwa akad Ju’alah
bersifat sukarela, sehingga apa-apa yang dijanjikan boleh saja di batalkan
oleh kedua belah pihak. Namun yang menjadi perbedaan adalah waktu
kapan dibolehkannya pembatalan akad tersebut. Madzab Maliki
mengatakan dibolehkannya pembatalan Ju’alah sebelum masuk kedalam
amal yang diinginkan. Dalam madzhab Syafi’i dan Hambali dibolehkan

155
membatalkan Ju’alah kapan saja sebagaimana dengan akad-akad
muamalah lainnya. Jika seandainya pembatalan sebelum amal atau
sesudah amal maka keduanya sama-sama tidak berhak mendapatkan
imbalan. Yang pertama karena memang belum memulai amal dan yang
kedua karena tujuan yang dimaksud tidak tercapai. Namun jika yang
membatalkan pihak yang berjanji memberikan imbalan setelah amal
dimulai maka pendapat yang paling benar dalam madzab Syafi’i orang
tersebut mendapat upah atas apa yang dia kerjakan karena memang
Ju’alah adalah amal yang dijanjikan imbalan.

156
157
DAFTAR PUSTAKA

 Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional (edisi kedua, 2003), Dewan


Syariah Nasional majelis Ulama Indonesia dan Bank Indonesia
 Akad dan Produk Bank Syariah, Ascarya
 Kapita Selekta Perbankan Syariah di Indonesia, Prof. Dr. Abdul Ghofur
Anshori, S.H.,M.H
 Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari‟ah, Sunarto Zulkifli
 Apa dan bagaimana Bank Islam, H. Muhammad Syafi‟I Antonio, M.Ec
 M. Syafi’i Antonio, Bank Syari‟ah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema
Insani, Cet ke-1, 2008,
 Adiwarman Karim, “Teknik Perhitungan Pembiayaan Mudharabah
(bagian 1)”, Jurnal Bank Syariah, Edisi 2 Oktober 1994
 Karim,Adiwarman A, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan,
Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004.
 Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia,
Konsep, Produk, dan Implementasi Operasional Bank Syariah, Jakarta:
Djambatan, 2001.
 Dr. Erwandi Tarmizi MA, harta haram mu‟amalat kontemporer,
 ( Bogor; BMI publishing, 2012)
 M. Ali Hasan. 2003. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh
mu’amalat). Rajawali Pers. Jakarta
 Adiwarman Karim, Islamic Banking, Jakarta, Rajawali Press
 Abu Abdillah, Syamsuddin. 2010. Terjemah FHATHUL QARIB.
Surabaya : CM Grafika.
 Djuwaini, Dimyauddin. 2010. Pengantar FIQH MUAMALAH.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
 Hasbi Ash Shiddieqi, Teungku Muhammad. 1997. Hukum-hukum Fiqih
Islam. Yogyakarta : PT. Pustaka Rizki Putra.
 Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah 13. Bandung : PT. AL – Ma’arif.
 Suhendi, Hendi. 2005. Fiqh Muamalah. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.
 Syafe’i Rachmat. 2004. Fiqih Muamalah. Bandung : Pustaka Setia.

158
 Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syari‟ah, (Jakarta: Sinar Grafika,
2008).
 Kholis Budiono, Program studi Timur Tengah dan Islam wakalah,
kafalah, dan hiwalah ( Jakarta: Universitas Indonesia, 2011)
 Muhammad Tahir Mansuri, Islamic Law of Contracts and business
Transaction (New Delhi: Adam Publishers and Distributors. 2006)
 Ahmad Isa Asyur,Fikih al-Muyassar fi al-Muamalah, (Terj).
(Solo:PustakaMantiq, 1995).
 FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 11/DSN-
MUI/IV/2000 Tentang Kafalah
 M. Dumairi Nor, dkk, EkonomiSyariahVersiSalaf, (Pasuruan
:PustakaSidogiri, 2008.)
 asmir. Dasar-dasar Perbankan. Cet.2. Jakarta:Rajawali Pers. 2003.
 Ahmad Rodoni dan Abdul Hamid. Lembaga Keuangan Syariah.
Jakarta:Zikrul. 2008. hal 95-96.
 Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah
 Suhendi, Hendi. 2010, Fiqih Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
 Syafie, Rahmat. 2001, Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.
 Abdul, Anshori Ghofur. 2006, Gadai Syariah di Indonesia. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
 Supriadi, Skripsi Mu‟amalah: Gadai Tanah Pada Masyarakat Bugis
Dalam Perspektif Hukum Islam, 2004, UIN Sunan Kalijaga.

159
Tim Redaksi
Lulu mursyidah, Bekasi 04 Juli 1994,
Asal : Bekasi,
@mursyidahlulu

Lailatun Nazilah, Jakarta, 06 Juli 1994,


Asal : Bekasi,
lailatunnazilah@gmail.com

Siti hosinah, Pontianak, 10 November 1992,


Asal : Kalimantan barat,
hosinahsiti@gmail.com

Nira Khalifah, Ciamis 01 Februari 1993,


Asal : Ciamis Jabar

Nadia Huda Latif , Bandung, 18 Desember 1993,


Asal : Padalarang, Bandung,
ulhusnalatifa@yahoo.com

Maulidatus Solikhah, Mojokerto 07 Agustus 1994


Asal : Ciputat, Tangsel
Maulida55@rocketmail.com

Laili Hastuti, Bogor, 01 Januari 1995


Asal : Depok,
lhaily25@yahoo.com

Izzatul Jannah Zunaira, Jakarta 13 Oktober 1994,


Asal : Sawangan, Depok,
Izzatuljannah95@yahoo.com

Syarifah, Jakarta, 01 April 1994,


Asal : Cipayung, depok,
aqilah_syarifah@yahoo.com

Muthiah, Jakarta 14 Februari 1994


,Asal : Bekasi,
muthiah1994@gmail.com

Puti zafira, Bandung, 05 November 1993,


Asal : Depok,
puti_zafira511@yahoo.com

Khanifah nurfaizah, Tegal, 16 Maret 1994,


Asal :Tegal, Jateng,
khanifah_nf@yahoo.com

160
Abdur Rob Rasyid, Jakarta, 18 Juli 1992,
Asal : Jakarta
abduhchelsea12@gmail.com

Muhammad Rizki kosasih, Depok, 21 april 1993,


Asal : Depok
rizkimuhammad33@rocketmail.com

Haerul akbar, Garut 19 Oktober 1993,


Asal : Garut, Jabar
ibnumajer19@gmail.com

Irham Nurmuttaqien, Bogor, 25 April 1994,


Asal : Bogor
irhamnurmuttaqien@gmail.com

Muhammad wahyu awaludin,


Jakarta, 21 Oktober 1993,
Asal : Jakarta,
wahyusyariahbussinesman@gmail.com

Muhammad Fadhil,
Pariaman, 13 Februari 1994,
Asal : Pariaman, Sumbar,
annajah18@gmail.com

Muhammad Yusup Sahrul,


Bogor, 28 Juli 1994,
Asal : Bogor

Mhammad Arif Zarkasih, Tanggerang 16 Mei 1993,


Asal : Tangerang Selatan

Achmad rizal, Serang 06 Maret 1994,


Asal : Serang, Banten,
achmadrizalsdqi@gmail.com

Rafiki subarkah, Kuta cane 28 Februari 1994,


Asal : Aceh Tenggara,
rafiki_do@muslim.com

161
Miftahul Ihsan,
Jakarta, 25 Juli 1994,
Asal : Cibinong Bogor,
ihsanmiftahul80@yahoo.com

Ibnu Mukti A.S.,


Tegal 23 September 1994,
Asal : Depok Jabar,
alfisyahrin23@gmail.com

Muhammad yusuf,
Makasar 09 Desember 1993,
Asal : Sinjay, Sulsel,
yusufmuhammad163@gmail.com

Muhammad rizky al jundi,


Garut, 03 April 1994,
Asal : Cimahi, Jabar,
rizqy20_9a@yahoo.com

Ihsan fikri, Depok, 03 Juni 1994,


Asal : Depok
ihsanfikrimps12b@gmail.com

Nasihul khoer,
Ciamis, 24 November 1993,
Asal : Ciamis
khoer93@gmail.com

162
163

Anda mungkin juga menyukai