Anda di halaman 1dari 117

I NYOMAN SUARKA

ANAK AGUNG GEDE BAWA


FONOLOGI
BAHASA JAWA KUNO

DWI CIPTA MEDIATAMA


2018
I NYOMAN SUARKA DWI CIPTA MEDIATAMA
FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO ANAK AGUNG GEDE BAWA 2018
FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO

I NYOMAN SUARKA
ANAK AGUNG GEDE BAWA

PENERBIT
CV. DWI CIPTA MEDIATAMA
FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO

PENULIS

I Nyoman Suarka

Anak Agung Gede Bawa

ISBN : 978-979-18728-9-8

LAYOUT

CV. DWI CIPTA MEDIATAMA

DESAIN SAMPUL

Ari Suprapta

PENERBIT
CV. DWI CIPTA MEDIATAMA
Jln. Gunung Soputan I No.9, Denpasar 80119, Bali
Phone : (0361) 482 500, E-mail:dwicipta_bali@yahoo.com

Cetakan I, Oktober 2018

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan


cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit
PRAKATA
Puji syukur di panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Kuasa
atas rahmatNya, buku Fonologi Bahasa Jawa Kuno dapat disusun
dan diselesaikan pada waktunya. Buku ini merupakan tindak lanjut
dari penelitian Hibah Grup Riset Universitas Udayana yang dibiayai
dari Dana PNBP Tahun Anggaran 2018 dengan Surat Perjanjian
Penugasan Nomor 383-53/UN14.4.A/LT/2018 tertanggal 28 Maret
2018.

Buku ini memuat persoalan fonologis dalam bahasa Jawa


Kuno seperti persoalan fonem dan aksara, cara pelafalanbunyi,
distribusi fonem, pola persukuan, serta perubahan bunyi dalam
bahasa Jawa Kuno. Karena itu, buku ini diharapkan dapat menambah
khazanah perbendaharaan referensi kejawakunaan yang selama ini
masih sangat terbatas adanya. Pengayaan bahan ajar kejawakunaan
sangat dibutuhkan dalam upaya perlindungan, pengembangan,
pemanfaatan, dan pembinaan Bahasa Jawa Kuno sebagai warisan
budaya bangsa. Peran Bahasa Jawa Kuno sangat strategis dalam
upaya pemajuan kebudayaan dan peradaban bangsa.

Sangat disadari bahwa buku ini berhasil disusun juga


berkat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, kami mengucapkan
terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Rektor
Universitas Udayana dan Ketua LPPM Unud yang telah memberikan
dana penelitian dan penerbitan buku ini. Ucapan terimakasih juga
disampaikan kepada Putu Eka Sura Adnyana, I Made Gede Wira
Bhuwana Putra, Komang Uchi Seni Purnama, I Wayan Degus
Jaya, dan Pande Putu Abdi Jaya Prawira, mahasiswa Program Studi
Sastra Jawa Kuno, yang telah membantu peneliti mengumpulkandan
mengolah data. Semoga budi baik adik-adik mendapat pahala mulia
dari Tuhan Yang Maha Pengasih.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, buku ini


dipersembahkan kepada pembaca budiman untuk dikritik dan
disempurnakan lebih jauh.
Denpasar, Oktober 2018

Penulis

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO i


iii
DAFTAR ISI

PRAKATA .......................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................ 4

BAB III METODE PENELITIAN ................................. 6

BAB IV FONEM DAN AKSARA JAWA KUNO

(AKSARA KAWI) .......................................................... 8

Fonem dan Aksara Jawa Kuno …………………………… 8

Cara Pelafalan Bunyi Bahasa Jawa Kuno ……………….... 14

Bunyi Vokal ……………………………………………...... 15

Bunyi Konsonan …………………………………………... 16

BAB V DISTRIBUSI FONEM DAN POLA

PERSUKUAN BAHASA JAWA KUNO ......................... 21


Distribusi Fonem Bahasa Jawa Kuno …………………...... 21
Pola Persukuan Bahasa Jawa Kuno ……………………..... 62
BAB VI PERUBAHAN BUNYI DALAM BAHASA
JAWA KUNO .................................................................... 77
Asimilasi ………………………………………………… 77
Disimilasi ………………………………………….. ......... 82
Kaidah Berurutan………………………………………...... 83
Penggabungan Vokal (Sandi) …………………………....... 86
ii
FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO v
Zeroisasi ………………………………………………… 91

Anaptiksis ……………………………………………..... 95

Metatesis ……………………………………………….. 99

Monoftongisasi dan Diftongisasi ……………………….. 100

Onek-onekan, guru laghu, dan guru basa: model


pelafalan bunyi-bunyi dalam bahasa Jawa Kuno ……… 101
BAB VII PENUTUP ...................................................... 106
DAFTAR PUSTAKA ...................................................... 109
BAB I

PENDAHULUAN

Bahasa Jawa Kuno merupakan salah bahasa Nusantara


termasuk kelompok bahasa Austronesia. Bahasa Jawa Kuno telah
berkembang sejak abad ke-9 hingga abad ke-15 di Jawa. Bahasa
Jawa Kuno memiliki keistimewaan karena karya sastranya berasal
dari abad ke-9 dan ke-10. Bahasa Jawa Kuno menampakkan
karakteristik yang sangat kuat sebagai bahasa Nusantara. Di satu
sisi, bahasa Jawa Kuno mendapat pengaruh luar biasa dari bahasa
Sansekerta, namun di sisi lain, bahasa Jawa Kuno dalam segala
struktur dan ciri-ciri pokok tetap menunjukkan diri sebagai bahasa
Nusantara (Zoetmulder, 1985:1—8).

Teeuw (1983:77—80) menyebutkan bahwa bidang penelitian


bahasa Jawa Kuno merupakan bagian penting dalam rangka
penelitian bahasa-bahasa dan sastra di Indonesia. Setidaknya ada tujuh
alasan strategis diajukan Teeuw berkelindan dengan keistimewaan
penelitian bahasa dan sastra Jawa Kuno, yaitu (1) bahasa Jawa Kuno
merupakan bahasa pengantar kebudayaan pramodern Indonesia
yang terpenting. Berkat bahasa Jawa Kuno, kita dapat memahami
dan mendalami kebudayaan bangsa Indonesia yang pernah tumbuh
dan berkembang pada masa lampau; (2) bahasa Jawa Kuno memiliki
ciri khas, terutama dalam hal puitik; (3) bahasa Jawa Kuno memiliki
peran strategis dalam sejarah bahasa Jawa dan bahasa-bahasa
Nusantara lainnya; (4) bahasa Jawa Kuno memiliki urgensi dalam
perbandingan bahasa-bahasa Nusantara atau bahasa-bahasa dalam
rumpun Austronesia; (5) bahasa Jawa Kuno memiliki khazanah
sastra pramodern Indonesia yang unggul, yang mengandung harta
karun keindahan, kearifan, kebajikan yang mampu memberikan
sumbangan yang khas pada khazanah sastra Indonesia dan sastra
dunia; (6) bahasa dan sastra Jawa Kuno merupakan sumber dari
banyak hasil sastra Nusantara, terutama sastra Jawa, sastra Sunda,
sastra Bali, sastra Sasak, sastra Melayu; serta (7) bahasa dan sastra

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 1


Jawa Kuno merupakan pintu utama diplomasi kebudayaan pada
masa Majapahit. Ketujuh alasan Teeuw tentang betapa pentingnya
penelitian bahasa Jawa Kuno dilakukan merupakan pandangan yang
layak dipertimbangkan dalam upaya penelitian bahasa Jawa Kuno
lebih lanjut sebagaimana dilakukan tim peneliti grup riset ini.

Suarka (2014:239—241) menjelaskan bahwa bahasa Jawa


Kuno telah dipilih dan ditetapkan sebagai bahasa resmi prasasti-
prasasti yang dikeluarkan Raja Udayana di Bali pada abad ke-10.
Bahasa Jawa Kuno dipilih dan ditetapkan sebagai bahasa resmi
prasasti karena potensinya sebagai bahasa yang kaya dengan nilai-
nilai religius dan sosial budaya yang dapat dijadikan sumber rasa
kebanggaan dan identitas kerajaan Bali pada saat itu. Kebijakan Raja
Udayana mampu menciptakan ruang yang memungkinkan tumbuh
subur serta berkembangnya bahasa dan sastra Jawa Kuno di Bali.
Hasil pertumbuhan dan perkembangan bahasa dan sastra Jawa Kuno
diwarisi hingga saat ini melalui dokumentasi ribuan naskah lontar.

Bahasa Jawa Kuno merupakan bahasa yang tidak lagi memiliki


penutur asli. Demikian pula peminatnya sangat terbatas. Lagi pula,
hasil-hasil penelitian dan buku-buku referensi tentang bahasa
Jawa Kuno sangat terbatas. Di sisi lain, sebagaimana dijelaskan di
atas, kedudukan dan fungsi bahasa Jawa Kuno sangat penting dan
strategis dalam berbagai aspek sebagai warisan budaya bangsa
Indonesia.Berkelindan dengan permasalahan tersebut, penelitian
fonologi bahasa Jawa Kuno dipandang penting dilakukan dalam
upaya pelestarian, pewarisan, dan pemberdayaan bahasa Jawa
Kuno sebagai sumber pengembangan bahasa Indonesia, terutama
di bidang fonologi, di samping menyediakan dan memperkaya
sumber referensi dalam pembelajaran bahasa Jawa Kuno di berbagai
perguruan tinggi yang mengajarkan matakuliah bahasa Jawa Kuno
di Indonesia, khususnya matakuliah Fonologi Bahasa Jawa Kuna.

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang


akan dikaji dalam penelitian ini meliputi:

(a) Bagaimana fonem dan huruf bahasa Jawa Kuno?

2 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


(b) Bagaimana cara pelafalan bunyi bahasa Jawa Kuno?

(c) Bagaimana distribusi fonem bahasa Jawa Kuno?

(d) Bagaimana pola persukuan bahasa Jawa Kuno?

(e) Bagaimana perubahan bunyi dan hukum sandi bahasa Jawa


Kuno?

Secara khusus penelitian ini menggali unsur-unsur fonologi


bahasa Jawa Kuno, antara lainfonem dan huruf, cara pelafalan
dan fungsi bunyi, distribusi fonem, hukum sandi, pola suku kata,
korespodensi bunyi, serta fitur distingtif bahasa Jawa Kuno. Di
samping itu, penelitian ini juga bertujuan memperkaya sumber-
sumber referensi tentang bahasa Jawa Kuno yang masih langka,
terutama di bidang fonologi.

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 3


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Persoalan fonologi bahasa Jawa Kuno telah diteliti beberapa


peneliti terdahulu sebagai berikut.

Mardiwarsito dan Harimurti Kridalaksana (1984) membahas


fonologi bahasa Jawa Kuno dalam buku berjudul Struktur Bahasa
Jawa Kuno. Persoalan fonologi yang dibahas masih terbatas pada
permasalahan abjad, fonotaktik, dan morfofonemik. Namun
demikian, buku tersebut memiliki relevansi dalam penelitian ini
sebagai sumber informasi fonologi bahasa Jawa Kuno, baik untuk
diikuti, dikembangkan, maupun dicermati ulang.

Seregeg (2003) menyinggung persoalan aksara bahasa Jawa


Kuno atau bahasa Kawi yang membedakannya atas dua bagian,
yaitu aksara swara (vokal) dan aksara wyanjana (konsonan), dengan
pandangan bahwa aksara Jawa Kuno atau Kawi sama seperti aksara
bahasa Sansekerta. Penelitian fonologi bahasa Jawa Kuno dalam
buku tersebut sangat terbatas, yakni sebatas melihat jenis aksara
dan keberadaan hukum sandi dalam bahasa Jawa Kuno. Akan tetapi,
buku tersebut relevan dengan penelitian ini sebagai sumber informasi
dalam pengembangan masalah fonologi bahasa Jawa Kuno, terutama
dari segi ejaan atau huruf.

Ranuh (tanpa tahun) membahas aspek fonologi bahasa Jawa


Kuno, yakni hukum sandi atau disebutnya sandi swara, dalam buku
berjudul Çakuntala Peladjaran Bahasa Kawi, Jilid 1. Dalam bahasa
Jawa Kuno, sandi swara dibedakan atas sandi dalam dan sandi luar.
Buku tersebut digunakan sebagai bahan ajar atau buku pelajaran
bahasa Kawi untuk siswa SMA sederajat. Cara pembahasan persoalan
fonologi bahasa Jawa Kuno dilakukan secara pragmentaris. Namun
demikian, buku tersebut juga relevan dengan penelitian ini, terutama
dalam upaya membahas hukum sandi yang ada dalam bahasa Jawa
Kuno.

4 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


Simanjuntak (1990) membahas tentang teori fitur distingtif
dalam fonologi generatif. Dalam buku tersebut dibahas persoalan
mengapa fonologi generatif penting dalam kancah pembicaraan
fonologi ke depan, serta apa dan bagaimana teori fitur distingtif dalam
fonologi generatif, termasuk perkembangan dan kritik atas teori fitur
distingtif dari berbagai kalangan. Buku tersebut memiliki relevansi
dengan penelitian ini dalam membahas fitur distingtif bahasa Jawa
Kuno yang memang belum pernah dibahas dalam penelitian fonologi
bahasa Jawa Kuno sebelumnya.

Pastika (2005) membahas fonologi bahasa Bali berdasarkan


pendekatan generatif transformasi. Ada beberapa pokok pikiran
dan konsep-konsep tentang fonologi yang dijelaskan dalam buku
tersebut dijadikan landasan dalam penelitian ini karena bahasa
Jawa Kuno dan bahasa Bali memiliki kedekatan fonologis. Konsep-
konsep yang dijadikan landasan dalam penelitian ini, yakni syarat-
syarat struktur morfem dan proses-proses fonologi. Syarat struktur
morfem yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah syarat-
syarat positif yang dibatasi hanya mengungkapkan rangkaian ruas
fonologis yang dibolehkan dalam morfem pangkal, tidak termasuk
rangkaian ruas fonologis yang dibolehkan dalam afiks. Syarat-syarat
positif sttuktur morfem itu digunakan untuk mendapatkan pola-pola
kanonik dari bentuk asal morfem. Pola-pola kanonik memberikan
informasi tentang pembatasan umum dari rangkaian ruas (konsonan
atau vokal) dalam gambaran fonologis kata-kata atau entri leksikal
bahasa Jawa Kuno.

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 5


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini direncanakan mengambil lokasi di beberapa


tempat penyimpanan naskah lontar sastra kakawin dan sastra parwa,
seperti Gedong Kirtya Singaraja; Perpustakaan Lontar Kantor Dinas
Kebudayaan Provinsi Bali; UPT Pusat Kajian Lontar Universitas
Udayana; Kolektor Lontar I Dewa Gede Catra di Amlapura,
Karangasem.

3.2 Jenis Pendekatan dan Sumber Data

Penelitian fonologi bahasa Jawa Kuno dirancang sebagai


penelitian bahasa secara sinkronik melalui pendekatan kualitatif
dengan menggunakan data berupa kata-kata, frase, dan kalimat
bahasa Jawa Kuno, baik yang ada di dalam teks kakawin,parwa,
tutur, kamus, buku.

Sumber data primer penelitian ini adalah Kamus Jawa Kuna-


Indonesia (Zoetmulder dan S.O. Ronson, 1995); teks sastra kakawin,
parwa, dan sastra tutur. Sumber data sekundernya meliputi buku,
jurnal, serta laporan hasil penelitian yang gayut dengan penelitian
ini.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, penelitian ini menggunakan


metode simak, yakni dengan menyimak penggunaan bahasa Jawa
Kuno dalam teks-teks berbahasa Jawa Kuno, seperti kakawin
dan parwa. Penerapan metode simak dalam upaya pengumpulan
data dibantu dengan teknik sadap dan teknik catat. Teknik sadap
maksudnya penyadapan penggunaan bahasa (Mahsun, 2007:92),
yakni bahasa Jawa Kuno secara tertulis dalam lontar sastra kakawin
dan sastra parwa. Penerapan teknik sadap dilengkapi dengan teknik
catat, yakni data yang telah terkumpul dicatat dalam kartu data agar
mudah diklasifikasi dan tidak hilang.
6 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO
3.4 Teknik Analisis Data

Dalam analisis data, penelitian ini menggunakan metode


padan intralingual, yakni dengan cara menghubungbandingkan
unsur-unsur yang bersifat lingual, yaitu unsur-unsur fonologi bahasa
Jawa Kuno, baik dengan teknik hubung-banding menyamakan
(HBS) maupun hubung-banding membedakan (HBB) serta teknik
hubung-banding menyamakan hal pokok (HBSP). Di samping itu,
dalam analisis data juga diterapkan metode padan ekstralingual
dengan cara menghubungkan masalah fonologi bahasa Jawa Kuno
dengan hal-hal yang berada di luar bahasa atau konteks (Mahsun,
2007: 118—121).

3.5 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Hasil analisis data disajikan menggunakan metode informal,


menggunakan uraian melalui kata-kata termasuk penggunaan
terminologi yang bersifat teknis. Di samping itu, penyajian hasil
analisis data juga menerapkan metode formal dengan menggunakan
tanda-tanda atau lambang-lambang yang berlaku dalam bidang ilmu
linguistik. Teknik penyajiannya disesuaikan dengan format laporan
hasil penelitian Hibah Grup Riset Universitas Udayana.

3.6 Bagan Alir Penelitian

Penelitian fonologi bahasa Jawa Kuno yang telah dilakukan


peneliti terdahulu dijadikan bahan referensi untuk memperluas
wawasan fonologis peneliti dalam mengkaji sistem fonologi bahasa
Jawa Kuno lebih lanjut. Penelitian fonologi bahasa Jawa Kuno
dimulai dari pendeskripsian dan analisis secara komprehensif serta
mendalam tentang satuan-satuan fonologi bahasa Jawa Kuno. Hasil
analisis tersebut berupa kaidah-kaidah fonologi bahasa Jawa Kuno.
Selanjutnya, kaidah-kaidah fonologi bahasa Jawa Kuno itu disajikan
dalam bentuk buku referensi (tercetak dan ber-ISBN) sebagai bahan
ajar matakuliah Fonologi Bahasa Jawa Kuno di setiap program studi
yang menawarkan matakuliah Fonologi Bahasa Jawa Kuno atau
bahasa Kawi yang ada di Indonesia.

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 7


BAB IV

FONEM DAN AKSARA JAWA KUNO (AKSARA KAWI)

Fonem dan Aksara Jawa Kuno

Bahasa Jawa Kuno memiliki sejarah masa perkembangan


sangat panjang, meliputi masa berabad-abad. Bahasa Jawa Kuno
pertama kali ditemukan dalam Prasasti Sukabumi tertanggal 25
Maret 804. Prasasti Sukabumi merupakan piagam pertama yang
menggunakan bahasa Jawa Kuno. Sejak saat itu pula, bahasa Jawa
Kuno dipakai dalam kebanyakan dokumen resmi. Karena itu, tanggal
25 Maret 804 diklaim sebagai tonggak awal sejarah bahasa Jawa
Kuno (Zoetmulder, 1985: 3—4).

Seiring dengan perkembangan bahasa Jawa Kuno yang


meliputi masa sangat panjang, tampaknya aksara Jawa Kuno juga
mengalami perkembangan. Pada masa awal, bahasa Jawa Kuno
ditulis menggunakan aksara Jawa Kuno atau juga disebut aksara
Kawi, yakni jenis aksara yang berasal dari aksara Pallawa. Casparis
(1975) membagi tahapan perkembangan aksara Jawa Kuno, yaitu:

(1) Aksara Jawa Kuno/Aksara Kawi Tahap Awal meliputi


masa periode 750—925 M. Bentuk hurufnya terdiri atas
tipe bentuk kuna, sebagaimana ditemukan dalam Prasasti
Dinoyo di Malang, Prasasti Sangkhara di Sragen, Prasasti
Plumpungan di Salatiga; serta tipe bentuk standar, seperti
ditemukan dalam Prasasti Rukam dan Prasasti Munduan di
Temanggung, dan Prasasti Rumwiga di Bantul.

(2) Aksara Jawa Kuno/Aksara Kawi Tahap Akhir meliputi masa


periode 925—1250 M. Aksara Jawa Kuno/Kawi periode
ini ditemukan dalam Prasasti Lemahabang di Lamongan,
Prasasti Cibadak di Sukabumi, dan Prasasti Ngantang di
Malang.

8 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


(3) Aksara Jawa Kuno periode Majapahit meliputi masa periode
1250—1450 M. Aksara Jawa Kuno/Kawi jenis ini ditemukan
dalam Prasasti Kudadu di Mojokerto, Prasasti Adan-adan di
Bojonegoro, dan Prasasti Singhasari di Malang.

Tampaknya setelah periode Majapahit berakhir, aksara Jawa


Kuno/aksara Kawi tidak lagi digunakan menuliskan bahasa Jawa
Kuno. Pada periode berikutnya, ada kemungkinan peran aksara
Jawa Kuno/Aksara Kawi digantikan oleh aksara Jawa, aksara Bali,
aksara Sunda, dan aksara Buda dalam penulisan bahasa Jawa Kuno,
terutama penulisan bahasa Jawa Kuno di dalam karya sastra, baik
sastra parwa, kakawin, maupun tutur-tattwa. Jawa, Bali, Sunda
merupakan wilayah pewaris bahasa dan sastra Jawa Kuno yang
diduga memiliki aksara berasal dari aksara Jawa Kuno/aksara Kawi.

Di Bali, sejak bahasa Jawa Kuno mulai masuk ke Bali


pada abad ke-11, yakni pada masa pemerintahan Raja Udayana
Warmadewa sampai saat ini masih tetap dipelihara dan ditulis
dengan menggunakan aksara Bali Swalalita. Bahasa Jawa Kuno
dipakai media dalam penggubahan karya sastra kakawin, parwa, dan
tutur-tattwa. Demikian pula, bahasa Jawa Kuno digunakan dalam
seni pertunjukan wayang, baik wayang kulit maupun wayang orang
serta dramatari, seperti dramatari gambuh, arja, dan sendratari.

Aksara Bali Swalalita memiliki 15 fonem vokal, terdiri atas


a, à, i, ì, u, ù, å, æ, í, e, ai, o, au, ê, ö. Fonem /í/ (í dirga) yang ada di
dalam aksara Jawa Kuno/Aksara Kawi tidak ditemukan dalam vokal
aksara Bali Swalalita. Sementara itu, fonem konsonan aksara Bali
Swalalita terdiri atas 33 buah, meliputik, kh, g, gh, ò,c, ch, j, jh, ñ,
þ, þh, ð, ðh, ó, t, th, d, dh, n, p, ph, b, bh, m, y, r, l, w, ú, û, s, h. Akan
tetapi, bunyi ð, ðh, dan dh ditulis dengan lambang aksara yang sama,
yakni /ŒÒ/ yang disebut dengan istilah d-madu.

Demikian pula, masyarakat di sekitar wilayah Merapi-


Merbabu sebagai pewaris tradisi sastra Jawa Kuna di Jawa Tengah
memiliki aksara sendiri dalam menuliskan bahasa Jawa Kuno, yang
disebut aksara Buda (van der Molen, 1983, Wiryamartana, 1990).

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 9


Namun demikian, pembicaraan fonem bahasa Jawa Kuno dalam
penelitian ini tetap berdasarkan hasil identifikasi aksara Jawa Kuno
dengan bentuk standar sebagaimana dikemukakan oleh Holle (1882).

Fonem ialah satuan bunyi terkecil yang dapat membedakan


makna (Haryanta, 2012:73). Fonem juga merupakan bunyi fungsional.
Fonem dilambangkan dengan huruf yang diapit di antara dua garis
miring (Verhaar, 2010:67). Sebagaimana bahasa-bahasa umumnya,
bahasa Jawa Kuno memiliki fonem yang dilambangkan dengan
huruf Jawa Kuno. Hasil-hasil penelitian terdahulu menyebutkan
bahwa fonem bahasa Jawa Kuno terdiri atas fonem vokal dan fonem
konsonan (Mardiwarsito dkk., 1984; Zoetmulder dkk., 1995).

Sebagaimana dikemukakan Holle (1882), fonem konsonan


bahasa Jawa Kuno terdiri atas 33 fonem, yaitu k, kh, g, gh, ò,c, ch,
j, jh, ñ, þ, þh, ð, ðh, ó, t, th, d, dh, n, p, ph, b, bh, m, y, r, l, w, ú, û,
s, h yang dilambangkan dengan huruf (aksara Jawa Kuno) sebagai
berikut.

Sumber: Aksara Kawi – Wikipedia bahasa Indonesia

10 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


Fonem vokal bahasa Jawa Kuno terdiri atas 16 fonem, terdiri
atas a, à, i, ì, u, ù, e, ai, o, au,ê, ö, å, æ, í, í yang dilambangkan dengan
huruf (aksara) Jawa Kuno sebagai berikut.

Sumber: Aksara Kawi – Wikipedia bahasa Indonesia

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 11


Zoetmulder (1985; 1995) menyatakan bahwa fonem vokal
bahasa Jawa Kuna hanya berjumlah 13 buah, terdiri atas a, à, ê, ö,
i, ì, u, ù, å, e, ai, o, au. Vokal æ, í, dan í (dirga) tidak ditemukan
pemakaiannya dalam kosa kata Jawa Kuno, baik pada karya sastra
parwa, kakawin, maupun tutur-tattwa.

Bahasa, aksara, dan sastra Jawa Kuno banyak mendapat


pengaruh dari aksara, bahasa, dan sastra Sanskerta (Holle, 1882;
Brandes, 1889, Casparis, 1975; Zoetmulder, 1985). Diduga bahwa
aksara Jawa Kuno berasal dari aksara Pallawa yang kemudian
dimodifikasi di Jawa sekitar abad VIII. Dalam setiap bahasa, akulturasi
merupakan faktor perubahan yang penting, dan perkembangan yang
dialami bahasa Jawa Kuno. Dalam proses modifikasi aksara Pallawa,
aksara Jawa Kuno tetap mempertahankan ciri-cirinya sebagai aksara
Nusantara. Salah satu bukti adalah munculnya vokal ě (pepet) dan ö
(pepet panjang) yang tidak ditemukan dalam aksara Pallawa ataupun
dalam bahasa Sanskerta. Proses akulturasi dalam bahasa Jawa Kuno
menunjukkan keunikan bahwa unsur-unsur asing dibaurkan ke
dalam bahasa Jawa Kuno sedemikian rupa sehingga susunan dan
sifatnya sebagai sebuah bahasa Nusantara tetap utuh. Dalam proses
meminjam dan mencangkokkan kata-kata Sanskerta ke dalam bahasa
Jawa Kuno umumnya tidak mengalami perubahan fonetis. Tidak
ditemukan jejak bahwa kata-kata Sanskerta disesuaikan dengan
pola-pola bunyi dalam bahasa Jawa Kuno (Zoetmulder, 1985:13).

Bahasa Jawa Kuno tidak lagi memiliki penutur asli. Lagipula,


bahasa Jawa Kuno hanya diwarisi melalui bahan-bahan tertulis.
Akan tetapi, jika dapat diasumsikan bahwa versi lisan bahasa Jawa
Kuno itu tidak jauh berbeda dengan versi tertulis (Zoetmulder, 1985:
11), maka ada kemungkinan dari segi artikulasi fonetis, baik tempat
maupun cara artikulasi terhadap konsonan dan vokal bahasa Jawa
Kuno diinterpretasikan berdasarkan perbandingan dengan bahasa
Sanskerta atau sistem yang disanskertakan, kecuali vokal ê, ö yang
tidak ada dalam bahasa Sanskerta sehingga diperbandingkan dengan

12 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


bahasa Jawa dan bahasa Bali. Dengan demikian, konsonan bahasa
Jawa Kuno dapat dikelompokkan menurut artikulasi fonetisnya
sebagai berikut.
gutturals (kaóþhya) : k, kh, g, gh, ÿ

palatals (tàlavya) : c, ch, j, jh, ñ


linguals (mùrdhanya) : þ, þh, ð, ðh, ó
dentals (daóþya) : t, th, d, dh, n
labials (oûþhya) : p, ph, b, bh, m

sibilan (uûma) : s (dental), û (lingual),


ú (palatal)
semivokal : y, r, l, w

aspirat (visarga) :h

Fonem vokal bahasa Jawa Kuno dapat dikelompokkan


menurut artikulasi fonetisnya, yakni posisi lidah dan bentuk bibir
sebagai berikut.

bunyi rendah-depan-tak bulat : a, à


bunyi tinggi-depan-tak bulat : i, ì
bunyi tinggi-belakang-bulat : u, ù
bunyi tengah-depan-tak bulat :e

bunyi agak rendah-depan-tak bulat : ai

bunyi tengah-belakang-bulat :o
bunyi agak rendah-belakang-bulat : au

bunyi tengah-pusat-tak bulat : ê, ö

bunyi tengah-pusat-tak bulat : å, æ

bunyi tengah-pusat-tak bulat : í, í

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 13


Cara Pelafalan Bunyi Bahasa Jawa Kuno

Cara melafalkan bunyi bahasa menggunakan alat ucap.


Muslich (2009) menyatakan bahwa organ-organ tubuh yang
digunakan sebagai alat ucap dapat dibagi menjadi tiga komponen,
yaitu (1) komponen supraglotal, terdiri atas rongga kerongkongan,
rongga hidung, dan rongga mulut. Alat-alat ucap pada rongga mulut
bagian atas, meliputi bibir atas (labium), gigi atas (dentum), pangkal
gigi atas (alveolum), langit-langit keras (palatum), langit-langit
lunak (velum), anak tekak (uvula). Alat-alat ucap pada rongga mulut
bagian bawah meliputi bibir bawah (labium), gigi bawah (dentum),
ujung lidah (apeks), tengah lidah (lamina), belakang lidah (dorsum),
dan akar lidah (radiks); (2) komponen laring, di dalamnya terdapat
pita suara yang berfungsi sebagai klep yang mengatur arus udara
antara paru-paru, mulut, dan hidung; (3) komponen subglotal,
terdiri atas paru-paru kiri dan kanan, saluran bronkial, dan saluran
pernafasan (trakea).

Alat ucap dalam bahasa Jawa Kuno terdiri atas kaóþha


(tenggorokan), tālu (anak tekak), oûþhya (bibir), mūrdhā (langit-
langit), danta (gigi), dan jihwā (lidah). Alat-alat ucap bisa berperan
sebagai alat ucap aktif (artikulator) dan alat ucap pasif (titik
artikulasi). Alat ucap tersebut mengalami berbagai kemungkinan
pertemuan dalam menghasilkan bunyi yang di kalangan fonetisi
disebut artikulasi (Muslich, 2009).

Bahasa Jawa Kuno dikatagorikan sebagai bahasa mati karena


tidak lagi digunakan oleh penutur aslinya dalam berkomunikasi
sehari-hari. Sekalipun di Bali bahasa Jawa Kuno masih digunakan
secara lisan dalam seni pertunjukan wayang misalnya, hal itu tidak
dapat dijadikan bukti valid karena orang Bali bukanlah penutur asli
bahasa Jawa Kuno. Karena itu, pelafalan bunyi bahasa Jawa Kuno
sulit dipastikan sehingga hanya bisa dilakukan interpretasi melalui
perbandingan, baik dengan bahasa Sanskerta (aksara Pallawa)
sebagai asalnya maupun bahasa (aksara) Bali dan bahasa (aksara)
Jawa sebagai bentuk perkembangannya. Dengan demikian, cara
pelafalan aksara Jawa Kuno/aksara Kawi dalam penelitian ini dapat
dijelaskan sebagai berikut.
14 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO
Bunyi Vokal:

[a] diucapkan dengan cara mengaturdepan lidahdalam posisi


merendah sehingga menjauh dari langit-langit keras
dan posisi bibir merata atau tidak bulat. Rahang bawah
diturunkan sejauh-jauhnya dari rahang atas. Misalnya,
[a] pada [aran], pada [abala]. Di Bali, [a] pada akhir kata
bahasa Jawa Kuno diucapkan seperti [ǝ] sesuai dengan
dialek Bali. Misalnya, [a] pada [abhaya] akan diucapkan
[abhayǝ]

[ā] diucapkan seperti [a] tetapi lebih panjang. Misalnya, [ā]


pada [ādika], pada [abhāwa], pada [ābhā]. Di Bali, [ā]
pada akhir kata bahasa Jawa Kuno diucapkan seperti
[ǝ] tetapi lebih panjang. Misalnya, [ā] pada [ābha] akan
diucapkan [ābhǝ]

[i] diucapkan dengan cara mengatur depan lidah dalam posisi


meninggi mendekati langit-langit keras dan posisi bibir
merata atau tidak bulat. Misalnya, [i] pada [ika], pada
[ilik], pada [iki]

[ī] diucapkan seperti [i] tetapi lebih panjang. Misalnya, [ī]


pada [īśa], pada [iûīka], pada [akûohióī]

[u] diucapkan dengan cara menaikkan bagian belakang lidah


mendekati langit-langit keras dan posisi bibir membulat.
Misalnya, [u] pada [uga], pada [ubub], pada [udu]

[ù] diucapkan seperti [u] tetapi lebih panjang. Misalnya, [ù]


pada [ùna], pada [mùrka], pada [wadhù]

[e] diucapkan dengan cara menaikkan bagian depan lidah


dan posisi bibir merata atau tidak bulat. Misalnya, [e]
pada [ebeg], pada [jaleśa], pada [jambe]

[ai] diucapkan dengan mengatur posisi lidah agak rendah dan


posisi bibir merata atau tidak bulat. Misalnya, [ai] pada
[aig], pada [aiśwarya], pada [daitya]
FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 15
[o] diucapkan dengan menaikkan bagian belakang lidah
sehingga agak mendekati langit-langit keras dan posisi
bibir membulat. Misalnya, [o] pada [ogha], pada [obor]

[au] diucapkan dengan mengatur posisi lidah agak merendah


dan posisi bibir membulat. Misalnya, [au] pada [auûadha],
pada [śauca], pada [saubhāgya]

[ě] diucapkan dengan mengatur posisi lidah merata di bagian


tengah, rahang bawah dalam posisi netral, dan posisi bibir
tidak membulat. Misalnya, [ě] pada [êðêk], pada [rêÿkà]

[ö] diucapkan seperti [ê] tetapi lebih panjang. Misalnya, [ö]


pada [öd], pada [söÿ], pada [rêÿö]

[å] diucapkandengan mengatur posisi lidah merata di bagian


tengah dan sedikit digetarkan, rahang bawah dalam
posisi netral, dan posisi bibir tidak membulat. Misalnya,
[å] pada [åûi], pada [tåûóa]

Bunyi Konsonan:

[k] diucapkan dengan cara mengatur pangkal lidah sebagai


artikulator agar menyentuh langit-langit lunak sebagai
titik artikulasi. Misalnya, [k] pada [kajar], pada [kakara],
pada [karttika], pada [padik]

[kh] diucapkan seperti [k] tetapi disertai hembusan h


(aspirat). Misalnya, [kh] pada [khadga], pada [mekhala],
pada [mukhya], pada [mukha]

[g] diucapkan dengan cara mengatur pangkal lidah sebagai


artikulator agar menyentuh langit-langit lunak sebagai
titik artikulasi. Misalnya, [g] pada [gadā], pada [gagak],
pada [aděg]

16 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


[gh]diucapkan seperti [g] tetapi disertai hembusan h
(aspirat). Misalnya, [gh] pada [ghana], pada [wighna],
pada [aghåóa], pada [amogha]

[ÿ] diucapkan dengan cara arus udara yang mengalir melalui


rongga mulut ditutup rapat, tetapi dialirkan lewat rongga
hidung. Misalnya, [ÿ] pada [ÿaran], pada [amaÿan], pada
[mariÿ]

[c] diucapkan dengan cara mengatur posisi bagian tengah


lidah sebagai artikulator agar menyentuh langit-langit
keras sebagai titik artikulasi. Arus udara ditutup rapat,
lalu dilepas secara perlahan-lahan. Misalnya, [c] pada
[cakar], pada [cacad], pada [waca].

[ch] diucapkan seperti [c] tetapi diikuti dengan h (aspirat)


dihembus. Misalnya, [ch] pada [chāyā], pada [chidra],
pada [chedaÿga], pada [iccha]

[j] diucapkan dengan cara mengatur posisi bagian tengah


lidah sebagai artikulator agar menyentuh langit-langit
keras sebagai titik artikulasi. Arus udara ditutup rapat,
lalu dilepas secara perlahan-lahan. Misalnya, [j] pada
[jaga], pada [gajah], pada [yajña], pada [paÿkaja]

[jh] diucapkan seperti [j] disertai h (aspirat) yang


dihembuskan. Misalnya, [jh] pada [jhag], pada [nirjhara],
pada [jhaþiti], pada [jharjharita]

[ñ] diucapkan dengan mengatur bagian tengah lidah agar


menyentuh langit-langit keras, dan arus udara yang
mengalir melalui rongga mulut ditutup rapat, tetapi
dialirkan lewat rongga hidung. Misalnya, [ñ] pada
[ñaman], pada [kañcana], pada [yajña]

[þ] diucapkan dengan cara ujung lidah sebagai artikulator


menyentuh kaki gigi atas sebagai titik artikulasi.
Misalnya, [þ] pada [þika], pada [kuþāra], pada [tuûþa]

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 17


[þh] diucapkan seperti [þ] diikuti h (aspirat) yang dihembuskan.
Misalnya, [þh] pada [þhara], pada [anteûþhikarya], pada
[påûþha]

[ð] diucapkan dengan cara ujung lidah (apeks) sebagai


artikulator menyentuh kaki gigi atas (alveolum) sebagai
titik artikulasi. Misalnya, [ð] pada [ðah], pada [ðêðês],
pada [ðaðaÿan]

[ðh] diucapkan seperti [ð] disertai h (aspirat) yang


dihembuskan. Misalnya, [ðh] pada [dāðhā]

[ó] diucapkan dengan cara ujung lidah (apeks) sebagai


artikulator menyentuh kaki gigi atas (alveolum) sebagai
titik artikulasi, arus udara yang melewati rongga mulut
ditutup rapat, tetapi arus udara dialirkan lewat rongga
hidung. Misalnya, [ó] pada [aóþêÿ], pada [nirbaóa]

[t] diucapkan dengan cara ujung lidah menyentuh gigi atas.


Misalnya, [t] pada [tabêh], pada [śaratala], pada [sarat]

[th] diucapkan seperti [t] disertai h (aspirat) yang


dihembuskan. Misalnya, [th] pada [thàni], pada [sthiti],
pada [yatha], pada [pathya]

[d] diucapkan dengan cara ujung lidah menyentuh gigi atas.


Misalnya, [d] pada [dadi], pada [bhadra], pada [śabda],
pada [padma], pada [sad]

[dh] diucapkan seperti [d] disertai h (aspirat) yang


dihembuskan. Misalnya, [dh] pada [dhwaja],
pada [dhyana], pada [madhya], pada[dhana], pada
[dhanurdhara], pada [mudha]

[n] diucapkan dengan cara ujung lidah menyentuh gigi atas


danarus udara yang melewati rongga mulut ditutup rapat,
tetapi dialirkan lewat rongga hidung. Misalnya, [n] pada
[ndak], pada [naga], pada [nagantun]

18 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


[p] diucapkan dengan cara bibir bawah sebagai artikulator
menyentuh bibir atas sebagai titik artikulasi. Misalnya,
[p] pada [panah], pada [sapta], pada [tapa], pada [harěp]

[ph] diucapkan seperti [p] diikuti h (aspirat) yang


dihembuskan. Misalnya, [ph] pada [phala], pada
[phālguna], pada [phalāśrama]

[b] diucapkan dengan cara bibir bawah sebagai artikulator


menyentuh bibir atas sebagai titik artikulasi. Misalnya,
[b] pada [bapa], pada [sabda], pada [atab]

[bh] diucapkan seperti [b] diiukti h (aspirat) yang


dihembuskan. Misalnya, [bh] pada [bhaga], pada
[wibhawa], pada [sabhya], pada [sabha]

[m] diucapkan dengan cara ujung lidah menyentuh gigi atas


danarus udara yang melewati rongga mulut ditutup rapat,
tetapi dialirkan lewat rongga hidung. Misalnya, [m] pada
[mala], pada [mambaÿ], pada [karma], pada [malam]

[s] diucapkan dengan cara ujung lidah menyentuh gigi atas


dan arus udara dihambat sedemikian rupa, tetapi tetap
dapat keluar lewat rongga mulut. Misalnya, [s] pada
[sada], pada [pastha], pada [raras]

[ś] diucapkan dengan cara mengatur bagian tengah lidah


menyentuh langit-langit keras dan arus udara dihambat
sedemikian rupa, tetapi tetap dapat keluar lewat rongga
mulut. Misalnya, [ś] pada [śrī], pada [paścat]

[û] diucapkan dengan cara ujung lidah sebagai artikulator


menyentuh kaki gigi atas sebagai titik artikulasidan arus
udara dihambat sedemikian rupa, tetapi tetap dapat keluar
lewat rongga mulut. Misalnya, [û] pada [ûadpaða], pada
[śiûya], pada [wiûaya], pada [warûa]

[y] diucapkan dengan cara mengatur bagian tengah lidah


sebagai artikulator menyentuh langit-langit keras sebagai
FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 19
titik artikulasi, dan udara keluar melalui rongga mulut
dengan menutupkan velik pada dinding faring. Misalnya,
[y] pada [yoni], pada [haywa], pada [apuy]

[r] diucapkan dengan cara mengatur ujung lidah menyentuh


gusi atau kaki gigi atas serta arus udara ditutup dan
dibuka berulang-ulang secara tepat. Misalnya, [r] pada
[rawi], pada [karóa], pada [sêkar]

[l] diucapkan dengan cara mengatur ujung lidah menyentuh


gusi atau kaki gigi atas serta arus udara ditutup
sedemikian rupa sehingga masih bisa keluar melalui sisi
rongga mulut. Misalnya, [l] pada [lwah], pada [lama],
pada [kalpa], pada [alal]

[w] diucapkan dengan cara mengatur bibir bawah sebagai


artikulator menyentuh bibir atas sebagai titik artikulasi.
Misalnya, [w] pada [wana], pada [sawya], pada [bhawa]

[h] diucapkan dengan cara udara yang keluar dari paru-paru


digesekkan ke tenggorokan. Misalnya, [h] pada [hulun],
pada [duhka], pada [pêjah]

20 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


BAB V
BAB V
DISTRIBUSI FONEM DAN POLA PERSUKUAN
DISTRIBUSI FONEM DAN POLA PERSUKUAN BAHASA JAWA
BAHASAKUNO
JAWA KUNO

Distribusi Fonem Bahasa Jawa Kuno


Distribusi fonem ialah persebaran fonem ke berbagai posisi.
Menurut Parera (1983) distribusi fonem bisa berfokus pada lingkungan
tutur, kata, morfem, unsur suprasegmental, dan suku kata. Namun, model
distribusi fonem semacam itu tidak bisa ditemukan dalam semua bahasa
(Muslich, 2009). Oleh karena itu, distribusi fonem bahasa Jawa Kuno
dalam penelitian ini lebih banyak dilihat dari suku kata dan kata didasari
pertimbangan situasi dan kondisi bahasa Jawa Kuno sebagai bahasa yang
tidak lagi digunakan sebagai medium komunikasi sehari-hari dan tidak
lagi memiliki penutur asli.
A. Fonem Vokal:
Distribusi fonem vokal bahasa Jawa Kuno dilihat dalam
hubungannya dengan suku kata atau kata adalah masing-masing sebagai
berikut.

Fonem Distribusi dalam hubungannya dengan suku kata dan atau kata
Vokal Awal Tengah Akhir
/a/ [aběn] ‘serang’ [bahni] ‘api’ [bhīma]
[abdhi] ‘samudera’ [caóði] ‘candi’ ‘menakutkan’
[adyut] ‘sinar’ [dagdhi] [citra] ‘lukisan’
[agni] ‘api’ ‘terbakar’ [dina] ‘hari’
[aho] ‘siang hari’ [ganti] ‘gilir’ [eka] ‘satu’
[aji] ‘teks suci’ [hasti] ‘gajah’ [guhya] ‘rahasia’
[akěn] ‘seperti’ [jaÿgut] ‘dagu’ [hima] ‘kabut’
[alěh] ‘letih’ [kantên] ‘jelas’ [ika] ‘itu’
[ambět] ‘lentur’ [lampus] ‘mati’ [jihwa] ‘lidah’
[aóðěg] ‘henti’ [maksih] ‘masih’ [kita] ‘kamu’
[aÿgěh] ‘tetap’ [nandini] ‘lembu [lima] ‘lima’
[añjing] ‘anjing’ putih’ [megha] ‘awan’
[apuh] ‘kapur’ [pasti] ‘tentu’ [nitya] ‘selalu’
[ardi] ‘gunung’ [raśmi] ‘pesona’ [ora] ‘tidak’
[astri] ‘doa-doa’ [sadyuh] ‘sorga’ [peda] ‘kejam’
[atus] ‘ratus’ [tambiÿ] ‘pinggir [ruddha]
[awe] ‘memberi [wagyu] ‘geger’ ‘terhalang’
isyarat’ [yan] ‘jika’ [tīra] ‘tepi’
[ayut] ‘tergila-gila’ [ūrdha] ‘tinggi’
[wīja] ‘bibit’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 21


[yuddha] ‘perang’
/ā/ [ābhā] ‘semarak’ [bāp] ‘banyak’ [alā] ‘menjulur’
[ācāri] [ācārya] ‘guru’ [bhrā] ‘kilau’
‘perempuan’ [dān] ‘siap’ [ceûþā] ‘isyarat’
[ādi] ‘permulaan’ [gāóðewa] ‘busur [daÿstrā] ‘taring’
[āgama] ‘agama’ panah’ [gadā] ‘gada’
[āhuti] ‘korban [hāt] [hiÿsā] ‘luka-luka’
suci’ ‘keprihatinan’ [iÿā] ‘gerak’
[ājña] ‘perintah’ [jāhnawi] ‘sungai’ [jihwā] ‘lidah’
[ākrti] ‘bentuk’ [kārya] ‘tugas’ [kanyā] ‘dara’
[ālocita] [lāÿgūla] ‘ekor’ [lambā] ‘bulu’
‘pertimbangan’ [māÿśa] ‘daging’ [maÿkā] ‘maka’
[ānana] ‘mulut] [nāstika] ‘kafir’ [nanā] ‘rusak’
[āpti] ‘harap’ [pādya] ‘air [ÿkā] ‘di sana’
[ārya] ‘ningrat’ pembasuh’ [pāramitā]
[āśih] ‘berkah’ [rājya] ‘istana’ ‘kebajikan’
[ātma] ‘jiwa’ [sāk] ‘pecah’ [ratā] ‘rata’
[āwaraóa] [tāmra] ‘tembaga’ [sabhā]
‘halangan’ [wāhya] ‘tampak ‘pertemuan’
[āyuûa] ‘umur’ luar’ [tatā] ‘aturan’
[yātra] ‘ziarah’ [ulā] ‘ular’
[wêÿā] ‘lubang’
[yathā] ‘seperti’

/i/ [ibha] ‘gajah’ [biÿgêl] ‘gelang [adi] ‘permulaan’


[icuk] ‘bujuk’ kaki’ [bahni] ‘api’
[idêr] ‘putar’ [bintaÿ] ‘bintang’ [bari] ‘sekejap’
[igêl] ‘tari’ [biñcaÿ] ‘rindu’ [camêti] ‘cemeti’
[ihatra] ‘di sini’ [cihna] ‘ciri’ [candiki] ‘kolam’
[ijyā] ‘korban’ [cipta] ‘pikiran’ [dadi] ‘jelma, jadi’
[ika] ‘itu’ [digda] ‘tekun’ [dami] ‘jerami’
[ilir] ‘alir’ [dik] ‘arah’ [êmbi] ‘tangis’
[ilu] ‘ikut’ [dhik] ‘ancaman’ [eÿgi] ‘goyah’
[imbuh] ‘tambah’ [gimbal] ‘gimbal’ [gaóði] ‘busur’
[inak] ‘enak’ [giÿgaÿ] [ganti] ‘ganti’
[iÿêr] ‘gerak’ ‘guncang’ [gupi] ‘bicara’
[iñcut] ‘lika-liku’ [hir] ‘pelan-pelan’ [hani] ‘padi
[ipuk] ‘pelihara’ [jihma] ‘bohong’ kuning’
[iraÿ] ‘malu’ [kimburu] [hari] ‘singa’
[isêp] ‘hisap’ ‘cemburu’ [idi] ‘usik’
[iti] ‘demikian’ [lintaÿ] ‘bintang’ [iki] ‘ini’
[iwak] ‘ikan’ [liÿ] ‘kata’ [jampi] ‘obat

22 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


[iya] ‘sungguh’ [liñcak] ‘lincah’ penawar’
[minda] ‘biri-biri’ [janmi] ‘manusia’
[miÿmaÿ] [jāti] ‘status lahir’
‘terbalik’ [kasturi] ‘kesturi’
[nimna] ‘kasar’ [kaki] ‘kakek’
[nindya] ‘cela’ [kalambi] ‘baju’
[ÿis] ‘cepat’ [kawi] ‘pujangga’
[pióða] ‘rupa’ [lagi] ‘lagi’
[pinta] ‘pinta’ [lindi] ‘pesona’
[piÿhe] ‘putih’ [mandi] ‘mujarab’
[piñcang] [mantri] ‘menteri’
‘pincang’ [maÿsi] ‘tinta’
[rimbas] ‘kapak’ [nami] ‘nama’
[rióði] ‘bola’ [nīti] ‘ilmu politik’
[riÿgit] ‘wayang’ [paðahi]
[riñci] ‘rinci’ ‘genderang’
[simpaÿ] [pêti] ‘hitam’
‘simpang’ [peni] ‘barang
[siódêt] ‘jerat’ mulia’
[siÿ] ‘apapun’ [pipi] ‘pipi’
[siñjaÿ] ‘kain’ [prāói] ‘mahluk
[timbal] ‘timbal’ hidup’
[tindak] ‘tindak’ [rabi] ‘istri’
[tióðes] ‘tindas’ [åûi] ‘pendeta’
[tiÿgal] ‘tinggal’ [riÿi] ‘tajam’
[tiñjo] ‘tinjau’ [rukmi] ‘emas’
[wighna] [sagi] ‘jenis hewan
‘bencana’ air’
[wiÿkiÿ] [sêmi] ‘tunas’
‘punggung’ [siddhi] ‘sukses’
[taji] ‘taji’
[têpi] ‘tepi’
[titi] ‘aturan’
[tåpti] ‘puas’
[uri] ‘belakang’
[wahni] ‘api’
[wêli] ‘beli’
/ī/ [īrûya] ‘dengki’ [bhīma] [bāóī] ‘bahasa’
[īs] ‘alir’ ‘mengerikan’ [bhaÿgī] ‘cara’
[īśa] ‘yang [bhīru] ‘penakut’ [bratī] ‘pertapa’
berkuasa’ [bhīûaóa] [ceþī] ‘pembantu’
[īśāna] ‘nama ‘menakutkan’ [dampatī] ‘suami-
Siwa’ [bhīta] ‘takut’ istri’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 23


[īśitwa] [dīkûā] ‘inisiasi’ [dhyayī] ‘kusuk’
‘keunggulan’ [dīna] ‘murung’ [dewatī] ‘dewi’
[īśwara] ‘raja’ [dīpa] ‘lampu’ [gharióī] ‘istri’
[īśwari] ‘ratu’ [dhīra] ‘berani’ [hênī] ‘pasir’
[dīrgha] ‘panjang’ [hilī] ‘arus’
[gīta] ‘nyanyian’ [lakûmī] ‘semarak’
[grhīta] ‘diterima’ [luÿgī] ‘naik’
[hīna] ‘hina’ [mahiûī] ‘ratu’
[hīs] ‘aliran’ [mālinī] ‘nama
[jīwa] ‘hidup’ metrum’
[kīróa] ‘tersebar’ [mañjarī]
[kīrti] ‘jasa’ ‘serangkai bunga’
[krīda] ‘main’ [metrī] ‘kebajikan’
[līlā] ‘main’ [nadī] ‘sungai’
[līna] ‘musnah’ [narī] ‘perempuan’
[mīna] ‘ikan’ [nawamī]
[nāgawīthī] ‘jalan ‘kesembilan’
naga’ [padminī] ‘wanita
[nīca] ‘hina’ ulung’
[pīta] ‘kuning’ [påthiwī] ‘tanah’
[prīti] [purī] ‘istana’
‘kesenangan’ [putrī] ‘putri’
[samīpa] ‘di [rāgī] ‘tergila-gila’
samping] [rewatī] ‘nama
[śarīra] ‘tubuh’ gugus bintang’
[śīghra] ‘segera’ [rirī] ‘lemah
[tīrtha] ‘air suci’ lembut’
[wīja] ‘benih’ [śacī] ‘istri Dewa
[wīra] ‘pahlawan’ Indra’
[wwīt] ‘asal-usul’ [śikharióī]
‘gunung’
[smarī] ‘Ratih’
[śåī] ‘kesuburan’
[sukī] ‘pusat roda’
[swī] ‘desakan’
[tamwī] ‘tamu’
[tandrī] ‘lesu’
[ūróī] ‘berpakaian
wol’
[usī] ‘serang’
[wāgiśwarī] ‘dewi
bicara’
[waitarinī] ‘nama

24 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


sungai’
[yakûī] ‘raksasa
perempuan
[yogī] ‘pertapa’
[yuwatī] ‘gadis
remaja’
/u/ [ubhaya] ‘janji’ [abuk] ‘sombong’ [abu] ‘abu’
[ubêÿ] ‘keliling’ [buntal] ‘tombak’ [adu] ‘adu’
[ucap] ‘ucap’ [cuóðuk] ‘temu’ [bahu] ‘sering’
[ucul] ‘timbul’ [duk] ‘waktu’ [camuru] ‘anjing’
[udaka] ‘air’ [ðumpil] ‘ikut [cupu] ‘pot keci’
[uðul] ‘menganga’ serta’ [dadu] ‘dadu’
[ugra] ‘hebat’ [êluk] ‘bengkok’ [ðalu] ‘saling
[ugug] ‘enggan’ [êmuk] tatap’
[uhuh] ‘teriak’ ‘selubung’ [ênu] ‘jalan’
[uhut] [guluÿ] [êru] ‘ujung’
‘memberitahu’ ‘gelinding’ [ewu] ‘seribu’
[ujar] ‘ujar’ [hub] ‘pelindung’ [garu] ‘garu’
[ujwala] ‘menyala’ [iÿguÿ] ‘goyang’ [gisu] ‘bingung’
[ukêl] ‘gulungan’ [jrum] ‘tipu daya’ [halu] ‘pentung’
[ukih] ‘tangkap’ [kum] ‘merendam [hyu] ‘ikan hiu’
[ulah] ‘ulah’ diri’ [jalu] ‘laki-laki’
[ulêÿ] ‘jalin’ [lumpat] ‘lompat’ [juru] ‘kepala’
[umah] ‘rumah’ [mudgara] ‘palu’ [kayu] ‘pohon’
[umbaÿ] ‘apung’ [nuknuk] ‘himpit’ [ketu] ‘tanda’
[unata] ‘tinggi’ [ÿuk] ‘pertikel [lêsu] ‘lemah’
[uóðuh] ‘kocok’ penegas’ [luru] ‘pucat’
[unmatta] [ñamut] ‘samar’ [madhu] ‘madu’
‘bingung’ [oyuh] ‘ayo’ [mululu]
[upadi] ‘pengganti’ [pukpuk] ‘jenis ‘menyembur’
[upêk] ‘tekan’ burung’ [namu] ‘lenyap’
[uroja] ‘buah dada’ [sugya] [ÿêlu] ‘sakit
[urut] ‘utas’ ‘mungkin’ kepala’
[usap] ‘usap’ [śuddhi] ‘murni’ [ñambu] ‘jambu’
[usên] ‘cepat’ [tuÿgir] [oru] ‘campur-
[utêk] ‘otak’ ‘punggung’ baur’
[uwah] ‘ulang’ [turóa] ‘dengan [padu] ‘sudut’
[uyuh] ‘air cepat’ [pitu] ‘tujuh’
kencing’ [upup] ‘cekik’ [rabu] ‘lumpur
[wruh] ‘tahu’ kering’
[wuÿkuk] [renu] ‘pasir’
‘bongkok’ [sādhu] ‘baik’
[yukti] ‘cocok’ [setu] ‘jembatan’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 25


[yuyut] ‘buyut [tiru] ‘tiru’
lelaki’ [ulu] ‘telan’
[wibhu] ‘kuasa’
[yuyu] ‘kepiting’
/ū/ [ūha] ‘mengerti’ [amūrti] ‘tanpa [asū] ‘mengikat
[ūna] ‘kurang’ bentuk’ menjadi satu]
[ūnādika] ‘sesuatu [bhūh] ‘bumi’ [birū] ‘biru’
yang dikerjakan [bhūmi] ‘bumi’ [bhrū] ‘kening’
atau tidak [bhūr] ‘bumi’ [dudū] ‘bukan’
dikerjakan’ [cūla] ‘cula’ [gulū] ‘leher’
[ūnarātri] ‘kurang [cūróa] ‘bedak’ [hapū] ‘kapur’
semalam’ [cūrnita] ‘remuk’ [hêmū]
[ūr] ‘pergi’ [dūm] ‘bagi’ ‘mengandung’
[ūr.dha] ‘luhur’ [dhū.pa] ‘dupa’ [hênū] ‘jalan’
[ūrdhabhāwana] [dūra] ‘jauh dari’ [hrū] “anak panah’
‘meditasi yang [gūdha] [igū] ‘goyang’
agung’ ‘tersembunyi’ [ilū] ‘air liur’
[ūrdhadeha] [gupgūp] ‘gugup’ [itū] ‘ukuran’
‘bagian atas badan’ [ghūróa] [kêmū] ‘kumur’
[ūrmi] ‘ombak’ ‘bergema’ [kihū] ‘ambruk’
[ūróā] ‘permata di [krūra] ‘galak’ [kipū] ‘kipu’
dahi’ [kūÿ] ‘cinta’ [kukū] ‘mendekur’
[ūróī] ‘memakai [kūr.ma] ‘penyu’ [kusū] ‘suram’
pakaian wol’ [lūd] ‘lagipula’ [lampū]
[ūta] ‘yang [lūm] ‘layu’ ‘menyerah’
ditenun’ [luÿ] ‘pucuk’ [layū] ‘lari cepat’
[ūtagahana] ‘amat [muhūrta] ‘satuan [lêbū] ‘debu’
dalam’ waktu’ [lióðū] ‘gempa’
[mūlya] ‘mulia’ [lulū] ‘lolong’
[mūrcha’ pingsan’ [lurū] ‘jatuh’
[ÿūni] ‘lebih [namū] ‘kata seru’
dulu’ [nyū] ‘kelapa’
[pūh] ‘patah’ [rêmpū] ‘hancur’
[pūrwa] [riÿgū] ‘goyang’
‘permulaan’ [rurū] ‘gugur’
[pūta] ‘murni’ [tawū] ‘timba’
[rūg] ‘hancur’ [tū] ‘benang’
[rūkûa] ‘lesu’ [turū] ‘tidur’
[rūm] ‘indah’ [ulū] ‘bergantung’
[sampūróa] [wadhū] ‘istri’
‘sempurna’ [walū] ‘labu’
[samūha] [wêlū] ‘keliling’
‘kumpulan’
26 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO
[śūóya] ‘kosong’
[tūb] ‘pukul’
[tūs] ‘aliran’
[tūt] ‘ikut’
[ulūka] ‘burung
hantu’
[wūk] ‘busuk’
[wūt] ‘campur’
/e/ [ebeg] ‘tutup [adeÿ] ‘diam’ [abe] ‘sedikit
pelana’ [baðeg] kesempatan’
[edan] ‘gila’ ‘minuman keras’ [ade] ‘beda’
[egar] ‘riang [beñjiÿ] ‘esok [bade] ‘wadah
[eka] ‘satu’ pagi’ mayat’
[elik] ‘benci’ [chedya] ‘rusak’ [cabe] ‘cabai’
[embuh] ‘imbuh’ [ceÿkok] ‘lekuk’ [cale] ‘cela’
[ena] ‘datanglah’ [den] ‘adakala’ [de] ‘oleh’
[eóðe] ‘jenis [deÿ] ‘dendeng’ [dede] ‘bukan’
perisai’ [eñjer] ‘potongan [êmbe] ‘embek’
[eÿgi] ‘goyah’ kain’ [gade] ‘gadai’
[eñcok] ‘mendarat’ [ewer] ‘tarik’ [gale] ‘tolak’
[epek] ‘telapak [gempor] ‘lesu’ [hale] ‘salah’
tangan’ [geñjoÿ] [ike] ‘ini’
[er] ‘air’ ‘goncang’ [inte] ‘intai’
[esêm] ‘senyum’ [heÿ] ‘bagian [jahe] ‘jahe’
[estu] ‘nyata’ luar’ [jambe] ‘buah
[ewer] ‘tarik’ [her] ‘tunggu’ pinang’
[eyuÿ] ‘goyah’ [jeÿgot] ‘janggut’ [kale] ‘gelang
[jer] ‘cair’ lengan’
[kabeh] ‘semua’ [kêle] ‘sembrono’
[ken] ‘kain’ [lale] ‘tembok’
[ler] ‘ke utara’ [lambe] ‘bibir’
[les] ‘hindar’ [maÿke] ‘sekarang’
[men] ‘hibur’ [mêne] ‘kini’
[meÿkene] ‘jadi’ [ÿkene] ‘sini’
[nêÿgeh] ‘konon’ [pahe] ‘beda’
[netra] ‘mata’ [paóðe] ‘pandai
[ÿel] ‘lelah’ besi’
[ñer] ‘merasuk [rame] ‘indah’
[per] ‘banjir’ [rare] ‘bayi’
[pet] ‘cari’ [sale] ‘jenis buah’
[reh] ‘status’ [samage] ‘jenis
[reges] ‘tidak pohon’
berdaun’ [tabe] ‘ampun’
FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 27
[sep] ‘cepat’ [tambe]
[seûþawa] ‘kritik’ ‘permulaan’
[tembak] [unte] ‘gulung’
‘tembak’ [ure] ‘jurai’
[teÿkek] ‘jenis [wage] ‘nama hari’
burung’ [we] ‘matahari’
[upekûa] ‘sabar’
[weh] ‘beri’
[weśma] ‘rumah’
[yen] ‘jika’
/ai/ [aih] ‘kata seru’ [bhaikûa] [wai] ‘matahari’
[aig] ‘cepat’ ‘mengemis’ [wuyai] ‘uye’
[air] ‘air’ [bhairawa] [lêngai] ‘berjalan’
[aiśanya] ‘timur ‘menakutkan’
laut’ [caitya] ‘makam
[aiśwarya] suci’
‘kekuasaan’ [daitya] ‘raksasa’
[daiwa] ‘takdir’
[jaimini] ‘nama
pendeta’
[kailaśa] ‘nama
gunung’
[maitri]
‘kebajikan’
[maithuna]
‘sanggama’
[nairiti] ‘barat
daya’
[naiyāyika] ‘tahu’
[śaila] ‘gunung’
[sainya] ‘prajurit’
[śaiwa] ‘pemuja
Siwa’
[waibhatsya]
‘memuakkan’
[wai.cit.ryan]
‘kecakapan’
[waidya] ‘tabib’
/o/ [obor] ‘siksa’ [aboÿ] ‘tidak [aho] ‘siang’
[ocak] ‘guncang’ sudi’ [ambo] ‘pengiring’
[odod] ‘urat darah’ [acokûa] ‘najis’ [ba.o] ‘bangau’
[ogha] ‘wanita [ārogya] ‘sehat’ [bo] ‘bau busuk’

28 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


rindu’ [bobot] ‘hamil’ [cañco] ‘terkenal’
[okok] ‘genta sapi’ [bontit] ‘keriting’ [do] ‘dua’
[olih] ‘oleh’ [codya] ‘paksa’ [ergulo] ‘mawar
[om] ‘memang’ [cor] ‘sumpah’ putih’
[on] ‘jika’ [doh] ‘jauh’ [gêlo] ‘kasar’
[oÿkara] ‘suku kata [dok] ‘burung [go] ‘lembu’
suci’ hantu’ [hano] ‘enau’
[opak] ‘dorong’ [êcok] ‘taruhan’ [ho] ‘jernih’
[orêg] ‘huru-hara’ [eÿgok] ‘goyang’ [ijo] ‘hijau’
[oûadha] ‘obat’ [goh] ‘sapi’ [iko] ‘itu’
[otot] ‘otot’ [goóðala] ‘anting- [jro] ‘dalam’
[owah] ‘ubah’ anting’ [ko] ‘kau’
[owêl] ‘segan’ [hol] ‘peluk’ [kamalo] ‘jenis
[oya] ‘ada’ [hop] tumbuhan’
[oyuh] ‘ayo’ ‘memikirkan’ [lañjo] ‘jenis
[iÿoÿ] ‘aku’ penyakit’
[jog] ‘tiba’ [logoko]
[joÿ] ‘payung’ ‘bungkuk’
[kol] ‘peluk’ [lo] ‘lebar’
[kon] ‘suruh’ [maÿ.ko] ‘jadi’
[lod] ‘laut’ [me.ÿo] ‘toleh’
[lolya] ‘resah’ [meñ.co] ‘beo’
[mok.ûa] ‘lenyap’ [namo] ‘hormat’
[mon] ‘jika’ [ndo] ‘permintaan’
[nohan] [pado] ‘hamba
‘beruntung’ wanita’
[nom] ‘muda’ [pióðo] ‘dua kali’
[ÿgon] ‘tempat’ [rêko] ‘konon’
[poûya] ‘nama [reÿo] ‘tertinggal’
bulan’ [ro] ‘dua’
[potra] ‘cucu’ [sato] ‘binatang’
[ron] ‘daun’ [tamo] ‘kegelapan’
[ros] ‘ruas’ [tam.po] ‘minuman
[ton] ‘lihat’ keras’
[tos] ‘keturunan’ [wado] ‘jenis keris’
[ubon] ‘ternak’ [wiro] ‘sedih’
[uðoda] ‘gantung’
[woh] ‘buah’
[wot] ‘bawa’
[yogya] ‘benar’
[yojya]
‘disatukan’
/au/ [auûadha] ‘obat’ [kaulawa] ‘salah -

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 29


[aum] ‘aksara suci’ satu dari 11
karaóa’
[kaumara] ‘anak
muda’
[kaurawa]
‘keturunan
wangsa Kuru’
[kau.śa.la]
‘kemakmuran’
[kaustubha] ‘jenis
permata’
[pauûya] ‘nama
bulan’
[śauca] ‘kesucian’
[śrauta] ‘telinga’
/ě/ [êbak] ‘serang’ [abên] ‘serang’ [raóðê] ‘pohon
[êcok] ‘taruhan’ [aÿên] kapuk’
[êdul] ‘keras ‘pemikiran] [raÿrê] ‘pohon
kepala’ [bantêr] ‘hebat’ kapuk’
[êgêp] ‘terengah- [bêndu] ‘marah’ [wêðê] ‘basi,
engah’ [cakêt] ‘jepit’ busuk’
[êhah] ‘mengeluh’ [cêÿga] [bākapê] ‘jenis
[êkah] ‘merintih’ ‘sombong’ ikan’
[êluh] ‘air mata’ [ðêm] ‘sunyi’
[êmbat] ‘gemulai’ [dêÿ.ki] ‘irihati’
[ênah] [êmbêk] ‘isak
‘meletakkan’ tangis’
[êóðas] ‘kepala’ [êsês] ‘deru’
[êÿgêp] [eñcêp] ‘cibir’
‘pura’pura’ [esêm] ‘senyum’
[êñêt] ‘sunyi [gêg] ‘kencang’
senyap’ [gulêm]
[êpêp] ‘sembunyi’ ‘mendung’
[êri] ‘duri’ [hêlêd] ‘telan’
[êsah] ‘desah’ [hirêÿ] ‘hitam’
[êtêt] ‘tolak’ [idêr] ‘edar’
[êwel] ‘caci maki’ [igêl] ‘tari’
[êyeh] ‘air’ [jêÿêr] ‘terdiam’
[ji.êm] ‘kamar
tidur’
[kêcêk] ‘cakap’
[kitêr] ‘itar’
[lêmbu] ‘sapi’
30 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO
[liÿêr] ‘pikat’
[mêndêm]
‘mabuk’
[melêm] ‘jenis
ikan’
[nêb]
‘pengendalian
diri’
[nênêh] ‘tepat’
[ÿêr] ‘partikel
deskriptif’
[ñêg] ‘partikel
deskriptif’
[orêg] ‘gempar’
[owêl] ‘segan’
[pêtêÿ] ‘gelap’
[purêt] ‘kerdil’
[rêmbês] ‘kucur’
[riÿgêk] ‘putar’
[sêb] ‘asap’
[siðêp] ‘salah
sangka’
[têbêÿ] ‘tebal]
[tiÿkêr]
‘terlindung’
[ubêd] ‘ganggu’
[ulêm] ‘layu’
[wêltêk] ‘pancar’
[wintên] ‘intan’
/ö/ [öb] ‘naung’ [adöh] ‘tindas’ [alö] ‘gaduh’
[öd] ‘pendek’ [ayöm] ‘teduh’ [asö] ‘maju’
[ölwan] ‘lahap’ [böh] ‘bengkak’ [bêntêlö]
[bök] ‘penuh’ ‘bergelang’
[döh] ‘kata seru’ [bun.tê.lö] ‘?’
[döm] ‘sunyi’ [dêdö]
[êsör] ‘potong’ ‘berdekatan’
[gajöÿ] ‘gayung’ [dêlö] ‘pandang’
[gêgöÿ] ‘pegang [êlö] ‘tak tahu
erat’ malu’
[göÿ] ‘besar’ [ênö] ‘siram’
[hamöÿ] ‘berbau [gêgö] ‘pegang’
busuk’ [halêlö]
[höb] ‘naungan’ ‘mengaum’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 31


[iÿöt] ‘sadar’ [hêlö] ‘lahap’
[jöÿ] ‘kaki’ [iwö] ‘namun’,
[kawör] ‘takut’ memperhatikan’
[köl] ‘tahan’ [kapö] ‘kuping’
[köm] ‘rendam’ [kêdö] ‘ingin
[löm] ‘lemah’ sekali’
[löÿ] ‘sinar’ [laÿö] ‘pengalaman
[ÿöt] ‘?’ estetik’
[ÿör] ‘pertikel [lö] ‘tegang’
deskriptif’ [lêgö] ‘lalai’
[ÿös] ‘pertikel [maÿö] ‘terpesona’
deskriptif’ [mêÿö]
[ñöt] ‘pertikel ‘menganga’
deskriptif’ [pakö] ‘paku’
[pöh] ‘perah’ [parö] ‘dekat’
[pöm] ‘tertutup’ [rêÿö] ‘dengar’
[pöÿ] ‘mumpung’ [riwö] ‘sibuk’
[saÿlök] ‘lengket’ [sênö] ‘sinar’
[söb] ‘hembus’ [sêóðö] ‘sedih’
[söh] ‘lebat’ [taÿgö] ‘tetap
[sök] ‘penuh’ bertahan’
[söÿ] ‘cahaya’ [têgö] ‘sulit
[taÿgöÿ] ‘tabah’ bergerak’
[töb] ‘lebat’ [u.ö] ‘?’
[usör] ‘jenis [walêlö] ‘seteguk’
tumbuhan’ [wêrö] ‘mabuk’
[wök] ‘babi’
[wör] ‘terbang’
/å/ [åcu] ‘jenis balai’ [adåśya] ‘idak [bhartå] ‘suami’
[åju] ‘lurus’ tampak’ [dhatå] ‘gelar
[åóa] ‘hutang’ [aghåóa] ‘kejam’ Dewa Brahma’
[åûi] ‘pendeta’ [bhåti] ‘bantuan’ [pitå] ‘leluhur’
[åta] ‘benar’ [bhåtya]
[åtu] ‘musim’ ‘pasukan’
[dåwya] ‘milik’
[dhåti]
‘keteguhan’
[gåha] ‘rumah’
[ghåóā] ‘belas
kasih’
[håbuk] ‘tepung
sari’
[håtśalya] ‘luka di

32 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


hati’
[jåmbhana]
‘menguap’
[kåpā] ‘sayang’
[kåśa] ‘kurus’
[måcchika]
‘kalajengking’
[måga] ‘binatang
buruan’
[nåpa] ‘raja’
[nåśaÿsa] ‘kejam’
[pådana] ‘piutang’
[påûþha]
‘punggung’
[śågāla] ‘srigala’
[såja] ‘ciptaan’
[tåóa] ‘rumput’
[tåûóa] ‘cinta’
[wåddha] ‘tua’
[wåkûa] ‘pohon’

Berdasarkan distribusi fonem vokal bahasa Jawa Kuna di atas


Berdasarkan distribusi fonem vokal bahasa Jawa Kuna di
dapat dijelaskan lebih jauh bahwa fonem /e/ yang berada di akhir kata
atas dapat dijelaskan lebih jauh bahwa fonem /e/ yang berada di
dasar tertentu seringkali digantikan dengan [-ay] atau [-ya]. Misalnya,
akhir
padakata
[awe]dasar tertentu
dan [away]; seringkali
[rare] dan [raray],digantikan
[gawe] dandengan
[gaway]; [-ay] atau
[jule] dan
[-ya]. Misalnya,
[julay]; [kale] danpada [awe] [lale]
[kalay]; dan [away];
dan [lalay];[rare]atau
danpada
[raray],
[rame] [gawe]
dan
dan [gaway]; [jule] dan [julay]; [kale] dan
[ramya]; [maÿke] dan [maÿkya]; [maÿgale] dan [maÿgalya]. [kalay]; [lale] dan [lalay];
atau padaFonem [rame] /ê/dan
bahasa [ramya];
Jawa Kuno [maÿke]tidak dan [maÿkya];
ditemukan [maÿgale]
distribusinya di
dan kata dasar yang berawal /y/. Fonem /ö / bahasa Jawa Kuno tidak
[maÿgalya].
tengah
ditemukan distribusinya di tengah kata dasar yang berawal fonem /c/, /m/,
/o/, /r/,Fonem
dan /y/./ê/ bahasapula,
Demikian JawafonemKunovokaltidak/ö ditemukan
/ bahasa Jawa distribusinya
Kuno tidak
di tengah kata dasar yang berawal /y/. Fonem /ö / bahasa Jawa/c/,
ditemukan distribusinya di akhir kata dasar yang berakhir fonem /j/,
Kuno
/n/, /o/,
tidak dan fonemdistribusinya
ditemukan /y/. Fonem vokal /å / tidakkata
di tengah ditemukan
dasar distribusinya
yang berawal di
tengah kata dasar yang dimulai dengan fonem /c/,
fonem /c/, /m/, /o/, /r/, dan /y/. Demikian pula, fonem vokal /ö / /ě/, /e/, /i/, /l/, /o/, /r/,
/u/, /y/.
bahasa JawaSementara
Kuno tidakitu, fonem
ditemukanvokal distribusinya
/æ//í/ belum ditemukan
di akhir kata distribusi
dasar
pemakaiannya di dalam bahasa Jawa Kuno (lihat Zoetmulder dkk, 1995;
yang berakhir fonem /c/, /j/, /n/, /o/, dan fonem /y/. Fonem vokal /å
Warna dkk., 2011).
/ tidak ditemukan
Berdasarkan distribusinya
tingkat frekuensidi tengah kata dasar
distribusinya, fonemyang /ê/ dimulai
bahasa
dengan fonem /c/, /ě/, /e/, /i/, /l/, /o/, /r/, /u/, /y/. Sementara
Jawa Kuno jarang berada di akhir kata dasar, sebagaimana pula fonem itu, fonem
vokal /æ//í/ belum ditemukan distribusi pemakaiannya
semivokal /å/. Fonem diftong /ai/ dalam bahasa Jawa Kuno langka di dalam
bahasa Jawapemakaiannya
ditemukan Kuno (lihat Zoetmulder
di akhir katadkk, dasar,1995; Warna dkk.,
kemungkinan 2011).
digantikan
oleh /ay/ atau /ya/. Fonem diftong /au/ tidak ditemukan pemakaiannya di
akhir kata dasar. Fonem vokal /ī/, /ö/, /å/, dan diftong /ai/, serta /au/ jika
FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 33
Berdasarkan tingkat frekuensi distribusinya, fonem /ê/ bahasa
Jawa Kuno jarang berada di akhir kata dasar, sebagaimana pula
fonem semivokal /å/. Fonem diftong /ai/ dalam bahasa Jawa Kuno
langka ditemukan pemakaiannya di akhir kata dasar, kemungkinan
digantikan oleh /ay/ atau /ya/. Fonem diftong /au/ tidak ditemukan
pemakaiannya di akhir kata dasar. Fonem vokal /ī/, /ö/, /å/, dan
diftong /ai/, serta /au/ jika dilihat distribusinya di awal kata dasar,
dapat dikatakan fonem yang memiliki frekuensi distribusi terbatas
pada kata-kata dasar tertentu. Kata-kata bahasa Jawa Kuno yang
dimulai dengan fonem vokal /å/, diftong /ai/, dan /au/ kebanyakan
merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta.
dilihat distribusinya di awal kata dasar, dapat dikatakan fonem yang
memiliki frekuensi distribusi terbatas pada kata-kata dasar tertentu. Kata-
A. bahasa
kata Fonem Konsonan
Jawa Kuno yang dimulai dengan fonem vokal /å/, diftong /ai/,
dan /au/ kebanyakan merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta.
Distribusi fonem konsonan bahasa Jawa Kuno dilihat dalam
A. Fonem Konsonan
hubungannya dengan
Distribusi katakonsonan
fonem dasar atau morfem
bahasa Jawa asal
Kunoadalah
dilihat sebagai
dalam
berikut.
hubungannya dengan kata dasar atau morfem asal adalah sebagai berikut.

Fonem Distribusi dalam hubungannya dengan kata dasar/morfem


Konsonan asal
Awal Tengah Akhir
/b/ [babah] ‘pintu’ [abda] ‘tahun’ [abab] ‘nafas’
[bāyu] ‘angin’ [babar] ‘hancur’ [cacab] ‘debur,
[bacot] ‘hidung’ [bomboÿ] ‘adu’ wabah’
[bêbêd] ‘ikat’ [cabwal] ‘cebol’ [cêb] ‘partikel
[bêbêÿ] [dibya] ‘mulia’ deskriptif’
‘terbendung’ [êmbih] ‘tangis’ [êbêb] ‘isap’
[bêtah] ‘tahan’ [ebeg] ‘tutup [halab] ‘tampak
[böh] ‘bengkak’ pelana’ sejenak’
[bela] ‘bela’ [gêbrad] ‘cepat [höb] ‘naungan’
[berag] ‘gembira’ dan berulang- [i.bab] ‘sobek’
[bero] ‘juling’ ulang’ [jub] ‘subur’
[bibi] ‘ibu’ [hêmban] ‘bawa’ [kêkêb] ‘tutup’
[bilih] ‘boleh jadi’ [ibêr] ‘terbang’ [kêlêb]
[bodhi] ‘pohon [jambul] ‘jambul’ ‘tenggelam’
bodi’ [kabeh] ‘semua’ [lablab] ‘nama
[bontit] ‘keriting’ [labdha] ‘berhasil’ jabatan’
[bra.ta] ‘sikap’ [mambaÿ] [mwab]
[brêk] ‘keroyok’ ‘kelompok rakyat’ ‘mendidih’
[brekot] [nabda] ‘berbunyi’ [nêb] ‘endap’
‘terhuyung’ [obor] ‘obor’ [pa.rab] ‘nama’
[bris] ‘tebal’ [piambêk] [rab[ ‘getar’
[brokosokan] ‘sendiri’ [rêbab] ‘rebab’
‘hantu hutan’ [prabala] ‘kokoh’ [rurub] ‘tutup’
[bubar] ‘bubar’ [rabdha] ‘siap’ [sab] ‘genang’
[bubul] ‘tembus’ [sabraÿ] ‘asing’ [silib] ‘selinap’
[buhaya] ‘buaya’ [têmbiÿ] ‘sisi’ [têlêb] ‘hebat’
[ubêÿ] ‘itar’ [tub] ‘lebat’
[wibajra] ‘tanpa [ubub] ‘ububan’
kekerasan’ [urab] ‘kobar’
[wwab]

34 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


‘mendidih’

/bh/ [bhadra] ‘untung’ [abheda] ‘tersusun -


[bhāryā] ‘istri’ rapat’
[bhasma] ‘abu’ [bībhatsa] ‘jijik’
[bheda] ‘beda’ [durbhaga] ‘sial’
[bhairawa] [durbhiksa]
‘menakutkan’ ‘kelaparan’
[bhīna] [gambhīra]
‘menakutkan’ ‘seram’
[bhīru] ‘penakut’ [ibha] ‘gajah’
[bhoga] [ibhakara] ‘belalai
‘makanan’ gajah’
[bhoja] ‘makan’ [jåmbhana]
[bhrā] ‘kilauan’ ‘menguap’
[bhramara] ‘lebah’ [kubhikûa]
[bhåÿga] ‘lebah ‘kelaparan’
hitam’ [lobha] ‘rakus’
[bhrukuþi] ‘alis’ [nabha] ‘langit’
[bhūbhāga] [nabhastala]
‘daerah’ ‘udara’
[bhujaga] ‘ular’ [prabhā] ‘sinar’
[bhuwana] ‘bumi’ [prabhata] ‘fajar’
[rabhasa] ‘kejam’
[sabhaya] ‘takut’
[sambhrama]
‘sambut’
[ubhaya] ‘janji’
[waibhatsya]
‘memuakkan’
[wibhuh]
‘melingkupi’
/c/ [cabar] ‘pengecut’ [ācāra] ‘adat’ -
[cabe] ‘cabe’ [añco] ‘jala’
[cacad] ‘cacat’ [bacot] ‘hidung’
[cacah] ‘potong’ [cañcala] ‘getar’
[cêcêd] ‘kelakar’ [durācāra] ‘jahat’
[cêcêk] ‘titik, [êcok] ‘jenis
cecak’ taruhan’
[celeÿ] ‘babi’ [gêcêk] ‘terburu-
[celu] ‘rindu’ buru’
[cicir] ‘kesasar’ [hañcaÿ] ‘?’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 35


[cidra] ‘cacat’ [iccha] ‘hasrat’
[crol] ‘palsu’ [iñcut] ‘berliku-
[codya] ‘paksa’ liku’
[cora] ‘pencuri’ [kacaÿ] ‘kacang’
[culik] ‘culik’ [laca]
[cunduk] ‘temu’
[cwalika] ‘suku
bangsa’
/ch/ [chanda] ‘prosodi’ [acchedya] ‘kebal’ -
[chattra] ‘payung’ [gucchaka]
[chāyā] ‘cahaya’ ‘rumpun’
[cheda] ‘irisan’ [iccha]
[chedya] ‘rusak’ ‘keinginan’
[mleccha]
‘biadab’
[mūrchā]
‘pingsan’
[mūrchita]
‘pingsan’
[nicchā] ‘tolak’
[tuccha] ‘hina’
/d/ [dadah] ‘kurban’ [adbhuta] [alad] ‘jilat’
[dadak] ‘tiba-tiba’ ‘mengagumkan’ [bahud] ‘angkuh’
[dadali] ‘jenis [bada] ‘bujuk’ [bêbêd] ‘ikat’
burung’ [bheda] ‘beda’ [cacad] ‘cacat’
[dadar] ‘gosok’ [candramā] [cod] ‘jenis
[dadi] ‘menjadi’ ‘bulan’ burung’
[dagan] ‘kaki’ [codya] ‘paksa’ [êlêd] ‘telan’
[dagdha] ‘bakar’ [dêdêr] ‘saling [öd] ‘pendek’
[dāhana] merapat’ [gêbrad]
‘pembakaran’ [êdul] ‘keras ‘mempercepat’
[dakûióa] ‘selatan’ kepala’ [hêlêd] ‘sekali
[dalu] ‘malam’ [edan] ‘gila’ telan’
[dama] ‘cinta [gadgada] ‘gagap’ [jêbad] ‘kesturi’
kasih’ [hadyan] ‘tuan’ [kampid] ‘sayap’
[dāna] ‘dana’ [hidu] ‘air liur’ [lad] ‘iris’
[daÿū] ‘dahulu’ [idêk] ‘injak’ [lūd] ‘lagipula’
[dêdêg] ‘tinggi’ [jadi] ‘jenis buah’ [mêlêd] ‘rindu’
[dêlö] ‘pandang’ [kadācit] ‘pada [odwad] ‘akar’
[dede] ‘bukan’ waktu’ [parad]
[deśa] ‘desa’ [kidaÿ] ‘kijang’ ‘mengikir’
[deûþi] ‘jenis ilmu [ladiÿ] ‘lading’ [parud] ‘parut’

36 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


hitam’ [mada] ‘mabuk’ [rampad]
[dilat] ‘lidah’ [medinī] ‘bumi’ ‘rampok’
[dīna] ‘murung’ [nāda] ‘bunyi’ [rêgêd] ‘kotor’
[dodot] ‘kain’ [nindya] ‘cela’ [rêÿkêd] ‘lebat’
[doh] ‘jauh’ [odod] ‘urat [riwêd] ‘susah’
[drawya] ‘milik’ darah’ [sad] ‘nyata’
[dudug] ‘sampai’ [pada] ‘baris’ [sarad]
[durlabha] ‘sukar [peda] ‘keras hati’ ‘makanan’
didapatkan’ [radin] ‘bersih’ [subud] ‘tangkis’
[dweûa] ‘benci’ [rudita] ‘tangis’ [tad] ‘tidak’
[dyastu] [sādara] ‘hormat’ [talad]
‘sekalipun’ [sodama] ‘bungkusan
‘kunang-kunang’ makanan’
[tadwat] ‘begitu’ [tud] ‘tandan
[udaka] ‘air’ bunga pisang’
[wadana] ‘mulut’ [udud] ‘isap’
[ulad-alid]
‘goyah’
[uwad-awid]
‘tarik-menarik’
[walad] ‘potong’
[wwad] ‘akar’
[yad] ‘jika’
/dh/ [dhana] ‘uang’ [ādhāra] ‘tempat’ -
[dhani] ‘tempat [baddhaka]
menyimpan’ ‘tahanan’
[dhanuh] ‘busur’ [biddhanāga]
[dhānya] ‘beras’ ‘langit-langit’
[dhara] [dagdha]
‘pembawa’ ‘terbakar’
[dhāraka] ‘tabah’ [digdhā] ‘langit
[dhārana] merah’
‘menguasai’ [gandha] ‘bau
[dharani] ‘tanah’ harum’
[dharma] [gandharwa]
‘kewajiban’ ‘mahluk setengah
[dhairya] ‘teguh’ dewa’
[dhīh] [jagaddhita]
‘kecerdasan’ ‘kesejahteraan
[dhikkāra] ‘kutuk’ dunia’
[dhīra] ‘teguh’ [jaladhara] ‘awan’
[dhåti] ‘keputusan’ [jaladhi] ‘laut’
[dhūpa] ‘dupa’ [krodha] ‘marah’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 37


[dhwaja] [kûuradhara]
‘bendera’ ‘tajam’
[dhwasta] [labdha] ‘berhasil’
‘tumbang’ [lubdhaka]
[dhyāna] ‘pemburu’
‘meditasi’ [madhubrata]
[dhyayī] ‘kusuk’ ‘kumbang’
[madhyama]
‘menengah’
[nidhāna] ‘wadah’
[nirdhuma] ‘tak
berasap’
[oûadha] ‘obat’
[prabaddha]
‘himpun’
[pradhana]
‘utama’
[pratidhwani]
‘gema’
[rodha] ‘tindih’
[ruddha]
‘terhalang’
[sādhaka] ‘ahli’
[sādhya] ‘tercapai’
[udadhi] ‘laut’
[udhāni] ‘sadar’
[uddhata] ‘sengit’
[wādhaka]
‘rintangan’
[widha] ‘bentuk’
[yuddha] ‘perang’
/ð/ [ðaða] ‘dada’ [aðam] ‘matang’ [ûað] ‘enam’
[ðaðal] ‘robek’ [aðeÿ] ‘sepi’
[ðaduÿ] ‘tali [baðyag]
besar’ ‘minuman keras’
[ðahar] ‘makanan’ [baóðaÿ]
[ðêðêk] ‘dedak’ ‘tawanan’
[ðêh] ‘kata seru’ [caóði] ‘candi’
[ðêÿên] ‘teman’ [cióðaga]
[ðeðel] ‘cabut’ ‘pandan’
[ðiðik] ‘sedikit’ [ðêðêt] ‘tebal’
[ðimin] ‘dahulu’ [dêóða] ‘denda’
[ðomas] ‘delapan [êðêk] ‘bungkuk’
38 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO
ratus’ [êðêm] ‘padam’
[ðudat] ‘robek’ [gaday] ‘gadai’
[ðuðuk] ‘bongkar, [gêðoÿ] ‘gedung’
duduk’ [giðê-giðö]
[ðuðut] ‘tarik ‘gemetar’
keluar’ [haðaÿ] ‘hadang’
[ðuhuÿ] ‘keris’ [hiðêp] ‘pikiran’
[ðukuh] [iðêm] ‘rindu’
‘pertapaan’ [ióðaÿ] ‘pertapa
[ðulaÿ] ‘dulang’ wanita’
[ðumpak] [jaða] ‘bodoh’
‘tendang’ [kaðat] ‘lambat’
[ðuÿkul] [kiðukus]
‘bungkam’ ‘runduk’
[ðusun] ‘dusun’ [lêóðö] ‘bujur’
[ðuwêt] ‘jenis [lióðuÿ] ‘lindung’
pohon’ [maóðaga]
[ðuyuÿ] ‘duyung’ ‘bubur’
[maóðala]
‘wilayah’
[nāði] ‘nadi’
[pêðêk] ‘abdi’
[puóðut] ‘ambil’
[raóða] ‘janda’
[raóðu] ‘pohon
kapok’
[saóðiÿ] ‘sisi’
[saóðuÿ]
‘sandung’
[têða] ‘makan’
[tióðih] ‘tindih’
[uðik] ‘naik’
[uðul] ‘menganga’
[waðawa] ‘kuda
betina’
[wiðure] ‘biduri’
/ðh/ - [dåðha] ‘teguh’ -
/g/ [gabah] ‘gabah’ [agra] ‘puncak’ [adêg] ‘berdiri’
[gabus] ‘gabus’ [agrodha] [baðog] ‘makan’
[gêcêk] ‘terburu- ‘beringin’ [badyag]
buru’ [bagas] ‘jenis ‘minuman keras’
[gocara] ‘diskusi’ hewan air’ [caÿkag] ‘loncat’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 39


[gadā] ‘gada’ [bhagna] ‘hancur’ [cêÿgêg] ‘hiasan
[gagā] ‘gaga’ [cagêr] ‘jamin’ rambut’
[gajih] ‘lemak’ [cêÿga] [dêlêg] ‘tegak’
[galak] ‘galak’ ‘sombong’ [dudug]
[gamêl] ‘pegang’ [dagdha] ‘hangus’ ‘sepanjang’
[gêlis] ‘cepat’ [digjaya] [êlêg] ‘lecut’
[gêlö] ‘kejam’ ‘menang’ [ebeg] ‘tutup
[geger] ‘geger’ [êgêp] ‘terengah- pelana’
[gempor] ‘lusuh’ engah’ [gaðag] ‘celana
[gigal] ‘lepas’ [egar] ‘riang’ panjang’
[gilir] ‘gilir’ [gadgada] ‘gagap’ [gêbog] ‘batang
[go] ‘sapi’ [gêgêh] ‘teguh’ pohon pisang’
[goða] ‘goda’ [haga-haga] ‘liar’ [ilag] ‘tidak
[grah] ‘lemah’ [higā] ‘tulang mungkin’
[grêbêg] rusuk’ [jujug]
‘gemuruh’ [iguh] ‘goyang’ ‘langsung’
[gåha] ‘rumah’ [igul] ‘liak-liuk’ [jugug]’
[gugu] ‘percaya’ [jaga] ‘jaga’ gonggong’
[guhya] ‘rahasia’ [jaÿga] ‘jenis [kêtug] ‘dentum’
[gyā] ‘segera’ tanaman’ [kêg] ‘dengkur’
[gyat] ‘kaget’ [kaga] ‘burung’ [lêgêg]
[laga] ‘lawan’ ‘terhalang’
[lagna] ‘telanjang’ [lisig] ‘cerdas’
[maga] ‘kecewa’ [mêgêg]
[maÿgala] ‘doa’ ‘tercengang’
[naga] ‘gunung’ [mêlêðog] ‘retak’
[nêÿguh] ‘konon’ [pajêg] ‘rencana’
[ÿgwan] ‘tempat’ [pilêg] ‘pilek’
[ogya] ‘benar’ [rampog]
[pagêh] ‘tetap’ ‘serang’
[pêÿgak] ‘curam’ [rêgag] ‘kecewa’
[rêÿgaÿ] [sêsêg] ‘gemetar’
‘renggang’ [sisig] ‘memoles
[riÿgit] ‘wayang’ gigi’
[sadigawe] [taóðêg] ‘tidak
‘menghalangi’ mau’
[sugyan] [têgêg] ‘bingung’
‘mungkin’ [ugug] ‘segan’
[tagih] ‘tagih’ [ulug] ‘tak
[têguh] ‘teguh’ cukup’
[ugra] ‘kuat’ [warêg] ‘puas’
[uraga] ‘ular’ [wêwêg]
[wagug] ‘bingung’ ‘tercengang’

40 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


[wêgig] ‘nakal’
[yogya] ‘benar’
/gh/ [ghana] ‘awan’ [aghoûa] -
[ghanāgama] ‘konsonan tak
‘musim hujan’ bersuara’
[ghaóþa] ‘genta’ [aghåóa] ‘kejam’
[ghāra] ‘istri’ [bhrūnaghna]
[gharinī] ‘istri’ ‘menggugurkan
[ghasita] janin’
‘dihabiskan’ [dāgha] ‘ingin’
[ghaþa] ‘periuk’ [dirgha] ‘panjang’
[ghātaka] [dirghya]
‘pembunuhan’ ‘panjang’
[ghaþi] ‘jam’ [jaghana] ‘pantat’
[ghora] ‘hebat’ [kåtaghna] ‘kejam’
[ghoûa] ‘huruf [lāghawa]
hidup’ ‘tangkas’
[ghoûana] [laghu] ‘pendek’
‘pengumuman’ [māgha] ‘nama
[ghotaka] ‘kuda’ bulan’
[ghrāóa] ‘hidung’ [megha]
[ghrātā] ‘pencium’ ‘mendung’
[ghåta] ‘mentega’ [nirghana] ‘tak
[ghūróa] berawan’
‘bergema’ [ogha] ‘wanita
[ghūróita] ‘riuh’ jatuh cinta’
[ghūróitatara] [raghu] ‘nama
‘sangat keras’ wangsa’
[ghyana] ‘awan’ [raghawa]
[ghyaþita] ‘jam’ ‘keturunan Raghu]
[ghyor] ‘partikel [saÿgha] ‘jumlah’
hormat’ [saÿghya]
[ghyora] ‘dahsyat’ ‘rombongan’
[wighata] ‘tak
terganggu’
[wighna]
‘rintangan’
/h/ [habalaÿ] ‘lempar’ [ahita] ‘musuh’ [abah] ‘pakaian
[habêt] ‘pukul’ [bahni] ‘api’ kuda’
[haða] ‘tulang [brahma] [bêlah] ‘belah’
daun’ ‘minuman keras’ [caÿgah] ‘garpu’
[haji] ‘raja’ [cihna] ‘ciri’ [cawuh] ‘tanpa

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 41


[hala] ‘jahat’ [dahat] ‘sangat’ pikir’
[hamba] ‘hamba’ [êhah] ‘mengeluh’ [döh] ‘kata seru’
[hana] ‘ada’ [gahwara] ‘dalam [dyah] ‘kata
[haÿan] ‘ringan’ gua’ sandang’
[hapit] ‘apit’ [guhya] ‘rahasia’ [êhah]
[harip] ‘kantuk’ [ihatra] ‘ di sini’ ‘mengeluh’
[hêb] ‘naung’ [jahya] ‘jahe’ [embuh]
[hêli] ‘pergantian’ [jahnawi] ‘sungai’ ‘tambah’
[höt] ‘sempit’ [kahal] ‘keras’ [gagah] ‘berdiri
[hema] ‘emas’ [kahit] ‘kait’ tegak’
[her] ‘tunggu’ [lahru] ‘musim [gubah] ‘gorden’
[hiÿsā] kemarau’ [harih] ‘hibur’
‘membunuh’ [luhuÿ] ‘lebih [hênah] ‘letak’
[hilaÿ] ‘hilang’ baik’ [iguh] ‘goyang’
[hudan] ‘hujan’ [mahantên] [kakah] ‘keras’
[hulu] ‘kepala’ ‘paviliun’ [kêdêh] ‘ingin
[hol] ‘peluk’ [mihat] ‘lihat’ sekali’
[homa] ‘kurban [nahan] [lampah]
api’ ‘demikian’ ‘perjalanan’
[hrêbuk] ‘serbuk’ [nihan] ‘begini’ [luh] ‘air mata’
[hrêdaya] ‘hati’ [pahit] ‘pahit’ [malah] ‘bahkan’
[hyaÿ] ‘dewa’ [pahula] ‘hadiah’ [manah] ‘pikiran’
[hyun] ‘ingin’ [rahi] ‘dahi’ [nênêh] ‘cocok’
[rahuÿ] ‘raung’ [nyuh] ‘kelapa’
[sahur] ‘jawab’ [olah] ‘gerak’
[sihuÿ] ‘taring’ [osah] ‘gelisah’
[tahên] ‘tahan’ [pagêh] ‘teguh’
[têhêr] ‘lalu’ [pejah] ‘mati’
[uhuh] ‘jerit’ [rêÿih] ‘rengek’
[uhut] ‘larang’ [rêrêh] ‘diam’
[wāhya] ‘bagian [sah] ‘pergi’
luar’ [sih] ‘kasih’
[wehweh] ‘beri’ [têðuh] ‘teduh’
[titah] ‘rencana’
[uwah] ‘ulang’
[weh] ‘beri’
[yayah] ‘ayah’
/j/ [jaba] ‘luar’ [aja] ‘jangan’ -
[jabuÿ] ‘jenis [ājñā] ‘perintah’
tumbuhan’ [bajra] ‘kilat’
[jada] ‘bodoh’ [bija] ‘bibit’
[jadi] ‘nama buah’ [doja] ‘bendera’
[jaga] ‘jaga’ [gajah] ‘gajah’
42 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO
[jagat] ‘dunia’ [gobraja]
[jahit] ‘bahan ‘kandang sapi’
tenun’ [haji] ‘raja’
[jahloka] ‘hewan [hañjawar] ‘jenis
air’ pohon’
[jaja] ‘dada’ [ijiÿ] ‘sembunyi’
[jajar] ‘deret’ [ijya] ‘korban’
[jaka] ‘perjaka’ [jajah] ‘jelajah’
[jala] ‘air’ [jajal] ‘coba’
[jalir] ‘pelacur’ [kajaÿ] ‘tabir’
[jamah] ‘jamah’ [kêjêÿ] ‘kaku’
[jambat] ‘panjang [lajêÿ] ‘lari’
lebar’ [lajja] ‘malu’
[janma] ‘manusia’ [majja] ‘sungsum’
[janur] ‘janur’ [majyum] ‘obat
[joÿ] ‘perahu’ bius’
[japa] ‘doa’ [nija] ‘pembawaan
[jara] ‘tua’ lahir’
[jasuÿ] ‘bawang [ojwala] ‘bersinar’
putih’ [pajaÿ] ‘sinar
[jāti] ‘kelahiran’ bulan’
[jawuh] ‘hujan’ [pijêr] ‘selalu’
[jiwita] ‘hidup’ [rāja] ‘raja’
[jaya] ‘menang’ [rujit] ‘sobek’
[sajêÿ] ‘tuak’
[sajjana] ‘orang
bijak’
[tajêm] ‘tajam’
[tujah] ‘tikam’
[ujar] ‘ujar’
[ujwalita]
‘menyala’
[waja] ‘gigi’
[yajña] ‘korban’

/jh/ [jhara] ‘air terjun’ [nirjhara] ‘air -


[jhatiti] ‘seketika’ terjun’
/k/ [kabêt] ‘lambat’ [akûara] ‘huruf’ [ajak] ‘ajak’
[kabeh] ‘semua’ [akûi] ‘mata’ [awak] ‘tubuh’
[kacah] ‘debur’ [bakta] ‘bawa’ [babak] ‘lecet’
[kacaÿ] ‘kacang’ [bhakti] ‘bakti’ [biÿkuk]
[kadācit] [cakra] ‘cakra’ ‘bengkok’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 43


‘kebetulan’ [cakûu] ‘mata’ [cacak] ‘decak’
[kadal] ‘kadal’ [daksa] ‘cakap’ [cucuk] ‘paruh’
[kaga] ‘burung’ [dikûa] ‘inisiasi’ [dawak] ‘diri’
[kagok] ‘aneh’ [êkah] ‘desah’ [diÿkik] ‘intip’
[kahal] ‘keras [eka] ‘satu’ [ênêk] ‘sedih’
kepala’ [golaka] ‘bola’ [êntak] ‘rintih’
[kahi] ‘pasti’ [goksira] ‘susu [galak] ‘galak’
[kajaÿ] ‘tabir’ sapi’ [gulak] ‘berputar’
[kajar] ‘jenis [hāraka] [hawuk] ‘abu’
tumbuhan’ ‘makanan’ [hêbak] ‘serbu’
[kaka] ‘kakak’ [hêÿkara] [iluk] ‘ikut’
[kakap] ‘kakap’ ‘sombong’ [inak] ‘enak’
[kala] ‘jahat’ [iksu] ‘tebu’ [jambak]
[kalasā] ‘tikar’ [ikut] ‘ikut’ ‘jambak’
[kamal] ‘asam’ [jaka] ‘perjaka’ [jalak] ‘jenis
[kampuh] ‘kain’ [jukuÿ] ‘sampan’ burung’
[kanaka] ‘emas’ [kêkêb] ‘tutup’ [kapuk] ‘kapok’
[kanyā] ‘gadis’ [kinkin] ‘usaha’ [kêcêk] ‘obrol’
[kon] ‘suruh’ [lakûa] ‘sepuluh [lek] ‘bulan’
[kapan] ‘kapan’ ribu’ [limbak]
[kapwa] ‘semua’ [lakûmi] ‘gelombang’
[karana] ‘sebab’ ‘semarak’ [maÿkuk]
[kariÿêt] [maksih] ‘masih’ ‘jongkok’
‘keringat’ [makûika] ‘lalat’ [marak]
[kasaÿ] ‘peti [nakûatra] ‘sehingga’
pakaian’ ‘bintang’ [nak] ‘anak’
[kaûþa] ‘jahat’ [nālika] ‘jam’ [namuk]
[kathā] ‘cerita’ [okih] ‘tangkap’ ‘nyamuk’
[katara] ‘jelas’ [pakpak] ‘bujuk’ [ombak] ‘ombak’
[kawah] ‘kawah’ [pakûa] ‘paksa’ [otêk] ‘otak’
[kawi] ‘pujangga’ [rakûa] ‘jaga’ [pacêk] ‘paku’
[rakta] ‘merah’ [pucak] ‘puncak’
[sākûāt] ‘seperti’ [racik] ‘ramu’
[sakta] ‘ketagihan’ [rakrak]
[têkyak] ‘tokek’ ‘bingung’
[tikûó] ‘tajam’ [sabuk] ‘sabuk’
[ukêl] ‘gulung’ [sêsök] ‘sesak’
[ukta] ‘perkataan’ [têkêk] ‘cekik’
[waktra] ‘mulut’ [têÿgêk] ‘leher’
[wākya] ‘ujaran’ [uðik] ‘maju’
[yakûa] ‘yaksa’ [upêk] ‘pilu’
[yukti] ‘benar- [wāk] ‘bicara’
benar’ [wök] ‘babi
44 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO
hutan’

/kh/ [khaga] ‘burung’ [ākhya] ‘sebutan’ -


[khāóðawa] ‘nama [duhkha] ‘duka’
hutan’ [duhkhita] ‘derita’
[khaóþhanātha] [gomukha]
‘gelar Siwa’ ‘kawah neraka’
[khara] ‘keledai’ [kathākhya]
[khyāti] ‘terkenal’ ‘cerita’
[lekha] ‘tulisan’
[likhita] ‘tulisan’
[mekhala’ ikat
pinggang’
[mukha] ‘mulut’
[nakha] ‘kuku’
[rekha] ‘gambar’
[sakhā] ‘teman’
[śākhā] ‘cabang’
[sakhi] ‘teman
wanita’
[waikhānasa]
‘pertapa’
[weśākha] ‘nama
bulan’
/l/ [lābha] ‘untung’ [alah] ‘kalah’ [abul] ‘sembur’
[labdha] ‘berhasil’ [alêh] ‘lelah’ [alal] ‘rindu’
[laca] ‘petunjuk’ [bhalla] ‘anak [babal] ‘tembus’
[ladi] ‘layani’ panah’ [bogol] ‘tanpa
[laga] ‘lawan’ [balmīka] ‘sarang senjata’
[lahur] ‘lancar’ semut’ [cabwal] ‘kerdil’
[lajêr] ‘tiang [calya] ‘cacat’ [cêmbul] ‘hitam’
utama’ [ciplak] ‘kecap’ [ðaðal] ‘robek’
[lajjita] ‘malu’ [dalih] ‘sangka’ [dêl] ‘kusut’
[lāka] ‘merah’ [dilah] ‘lidah api’ [êdul] ‘tahan’
[lakûaóa] ‘tanda’ [êlêg] ‘lecut’ [êpil] ‘sembunyi’
[lala] ‘ranum’ [êluk] ‘bengkok’ [gasul] ‘kejam’
[lêbur] ‘lebur’ [galba] ‘jambak’ [gubêl] ‘peluk’
[lêmês] ‘lemas’ [gilis] ‘gilas’ [hawal] ‘ulang
[liman] ‘gajah’ [halisyus] ‘angin kali’
[lanā] ‘kekal’ topan’ [hol] ‘peluk’
[lindi] ‘menarik’ [hili] ‘arus’ [igêl] ‘tari’
[liÿgih] ‘duduk’ [ilat] ‘lidah’ [igul] ‘liak-liuk’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 45


[lipur] ‘hibur’ [ilik] ‘benci’ [jêjêl] ‘sesak’
[liraÿ] ‘enau’ [jalma] ‘manusia’ [jêmbul] ‘hitam’
[liriÿ] ‘lirikan’ [jilak] ‘juling’ [kadal] ‘kadal’
[lastari] ‘lestari’ [kalpa] ‘aturan’ [kol] ‘peluk’
[listuhayu] [kilwiûa] ‘dosa’ [manol] ‘jenis
‘cantik’ [lalêh] ‘pesona’ burung’
[latah] ‘bingung’ [liÿlaÿ] ‘murni’ [maÿgêl] ‘marah’
[lêtêh] ‘noda’ [mālya] ‘karangan [ÿel] ‘lelah’
[lêwih] ‘lebih’ bunga’ [ÿilil] ‘menjulang
[luwar] ‘pisah’ [mêlêÿ] ‘berkilau’ tinggi’
[lwah] ‘sungai’ [nalaÿsa] ‘kesal’ [oñjal] ‘bawa’
[lyab] ‘penuh’ [nīlotpala] ‘teratai [owêl] ‘segan’
[lyan] ‘lain’ biru’ [pandêl] ‘endap’
[olah] ‘kelakuan’ [papal] ‘patah’
[olih] ‘hasil’ [rampal] ‘pecah’
[pallawa] ‘tunas’ [raÿkal]
[pilis] ‘pelipis’ ‘rangkak’
[salwaÿ] ‘celah’ [sambal] ‘nama
[śilpika] ‘perajin’ jabatan’
[talutuh] ‘noda’ [sêsêl] ‘sesal’
[tiliÿ] ‘condong’ [tahil] ‘ukuran
[ulyar] berat’
‘bercahaya’ [tal] ‘pohon tal]
[ulyat] ‘meregang’ [ulul] ‘atap’
[wallaba] [ukal] ‘pukul’
‘kekasih’ [waÿkyul]
[wilwa] ‘pohon ‘cangkul’
maja’ [wêl] ‘cebol’
[yugala] ‘jodoh’
/m/ [mbaÿ] ‘sisi’ [amba] ‘luas’ [aðam] ‘matang’
[mben] ‘besok’ [ambêk] ‘pikiran’ [alam]
[macan] ‘macan’ [bāma] ‘kiri’ ‘terpesona’
[mada] ‘mabuk’ [bhūmi] ‘bumi’ [balêm] ‘tenang’
[maga] ‘kecewa’ [cambra] ‘anjing’ [baóðêm]
[maha] ‘besar’ [campah] ‘ejek’ ‘lempar’
[mahiûa] ‘kerbau’ [dambha] ‘loba’ [caÿkêm] ‘mulut’
[maja] ‘pohon [dampati] ‘suami- [cotom] ‘wadah’
maja’ istri’ [dalêm] ‘dalam’
[mêja] ‘jiwa’ [êmbêÿ] [dom] ‘jarum’
[makara] ‘udang’ ‘berlinang’ [garêm] ‘garam’
[makuþa] [êmbun] ‘ubun- [gêgêm]
‘mahkota’ ubun’ ‘genggam’
[mêlêk] ‘meluas’ [gambhīra] ‘lebar’ [höm] ‘kumpul’
46 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO
[mêlik] ‘jauh’ [gampaÿ] [hêlêm] ‘kelak’
[mamêÿ] ‘kosong’ ‘gampang’ [iðam] ‘idam’
[mami] ‘kami’ [hamba] ‘hamba’ [idêm] ‘setengah
[manah] ‘pikiran’ [hambêÿ] mekar’
[mona] ‘diam’ ‘terhenti’ [jamjam] ‘puas’
[mapaÿ] ‘tiba- [imbuh] ‘tambah’ [jarum]
tiba’ [impên] ‘ringkas’ ‘perantara’
[mpu] ‘pendeta’ [jamjam] ‘puas’ [köm] ‘rendam’
[mrak] ‘burung [jampyan] ‘obat’ [krêm] ‘bersatu
merak’ [kambaligi] padu’
[mrik] ‘harum’ ‘asam’ [lamlam]
[masa] ‘bulan’ [kampuh] ‘kain’ ‘terpesona’
[mastaka] ‘kepala’ [lampus] ‘mati’ [lum] ‘layu’
[mataÿ] [limbak] [malêm] ‘malam’
‘sehingga’ ‘gelombang’ [nêm] ‘enam’
[mitra] ‘teman’ [mambaÿ] [nwam] ‘muda’
[mawa] ‘dan juga’ ‘kelompok rakyat’ [om] ‘tentu’
[mawi] ‘mungkin’ [mami] ‘kami’ [pöm] ‘rahasia’
[maya] ‘maya’ [nama] ‘nama’ [pêóðêm] ‘kubur’
[mayan] [namuk] ‘nyamuk’ [rêm] ‘gelap’
‘meskipun’ [ombak] ‘ombak’ [rūm] ‘harum’
[parampara] [sêlêm] ‘selam’
‘beriringan’ [siram] ‘siram’
[pramatta] [tām] ‘tidak’
‘gembira’ [tamtam] ‘ramah’
[rampas] ‘rampas’ [ukêm] ‘jenis
[sêmbah] hewan air’
‘sembah’ [ulam] ‘ikan’
[tumpês] ‘hancur’
[umpêt] ‘umpat’
[wimba]
‘bayangan’
[yamani] ‘neraka’
/n/ [na] ‘demikian’ [anta] ‘akhir’ [apan] ‘karena’
[nābhi] ‘pusar’ [bandha] ‘ikat’ [baribin]
[nibrata] ‘pertapa’ [candra] ‘bulan’ ‘bingung’
[nica] ‘nista’ [danta] ‘gigi’ [bun] ‘kabut’
[nadī] ‘sungai’ [êntak] [crêmin] ‘cermin’
[nidra] ‘tidur’ ‘mengerang’ [cuntên]
[ndi] ‘di mana’ [ena] ‘ke mari’ ‘menemui’
[nagara] ‘negara’ [gandha] ‘bau’ [dandan]
[nigraha] [hantêb] ‘berat’ ‘berkemas’
‘hukuman’ [induÿ] ‘ibu’ [don] ‘tujuan’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 47


[nahan] [janma] ‘manusia’ [êbun] ‘embun’
‘demikian’ [jênêk] ‘asyik’ [gêlon] ‘kasar’
[nihan] ‘begini’ [kêna] ‘kena’ [guntên] ‘guru’
[nija] ‘tak cocok’ [kênêp] ‘tidur’ [hantên] ‘jabatan’
[nêkêt] ‘terpikat’ [lana] ‘selalu’ [hayun] ‘datar’
[nêknêk] ‘himpit’ [līna] ‘mati’ [ikan] ‘ikan’
[nalasa] ‘sedih’ [manda] ‘lemah’ [ikihên] ‘ini’
[nīla] ‘biru tua’ [mīna] ‘ikan’ [jajan] ‘jenis
[nimitta] ‘tanda’ [ninda] ‘cela’ ikan’
[nimna] ‘dasar’ [nini] ‘nenek’ [jantên] ‘suami’
[nandana] ‘anak [onta] ‘unta’ [kon] ‘suruh’
laki-laki’ [pantês] ‘pantas’ [kinkin] ‘usaha’
[ninda] ‘fitnah’ [pinta] ‘pinta’ [len] ‘lain’
[napuÿsaka] [rantas] ‘pecah’ [lon] ‘lambat’
‘banci’ [runtuh] ‘roboh’ [mben] ‘besok’
[nipuóa] ‘pandai’ [sanmata] ‘puji’ [mon] ‘jika’
[naryama] [sinwam] ‘sulur’ [ndan] ‘tetapi’
‘pemimpin’ [tandaÿ] ‘tindak’ [nohan] ‘untung’
[nora] ‘bukan’ [tindak] ‘langkah’ [opwan] ‘kalau’
[naûþa] ‘hilang’ [undur] ‘undur’ [pan] ‘sebab’
[niûþa] ‘nista’ [unêÿ] ‘rindu’ [pisan] ‘satu kali’
[natha] ‘raja’ [wanti] ‘ulang’ [rantên] ‘adik
[nitya] ‘selalu’ [wanya] ‘lain’ laki-laki’
[nawa] ‘sembilan’ [yantra] ‘alat’ [rapwan]
[niwedya] ‘sehingga’
‘sesajen’ [santên] ‘intisari’
[naya] ‘siasat’ [santun] ‘tepung
[niyata] ‘pasti’ sari’
[ton] ‘lihat’
[tuntun] ‘tuntun’
[ulun] ‘abdi’
[wêlun]
‘beterbangan’
[yan] ‘jika’
/ó/ - [aóða] ‘telur’ -
[aóimā] ‘atom’
[bāóa] ‘anak
panah’
[bhāóða] ‘barang
dagangan’
[caóða] ‘bengis’
[cióðe] ‘jenis kain
sutra’
48 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO
[daóða] ‘tongkat’
[droóa] ‘timba’
[êóðêk] ‘jongkok’
[êóðut] ‘lumpur’
[eóðe] ‘jenis
perisai’
[gaóa] ‘kawanan’
[guóðala] ‘anting-
anting’
[haóðap] ‘rendah’
[ióða] ‘menjelma’
[inoûóa] ‘panas
terik’
[jīróa] ‘tua’
[jiûóu] ‘menang’
[karóa] ‘telinga’
[karuóa] ‘kasih’
[lakûaóa] ‘tanda’
[lióðih] ‘serbu’
[maóðaga] ‘bubur
nasi’
[maóðala]
‘wilayah’
[nipuóa] ‘pandai’
[nirbāóa]
‘nirwana’
[paóðita]
‘terpelajar’
[puóðut] ‘ambil’
[raóa] ‘perang’
[rióðiÿ] ‘dekat’
[saóða] ‘tiang’
[sióði] ‘sindir’
[taóða] ‘bendera’
[tuóða]
‘moncong’
[uóða] ‘angkat’
[uóðuh] ‘kocok’
[wāóðira]
‘beringin’
/ÿ/ [ÿabar] ‘kobar’ [aÿap] ‘terbuka’ [aðeÿ] ‘reda’
[ÿak] ‘pertikel’ [aÿga] ‘anggota [alaÿ]
[ÿambus] ‘dengus’ badan’ ‘melintang’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 49


[ÿaÿā] ‘pedas’ [baÿêt] ‘cepat’ [baluÿ] ‘tulang’
[ÿêlu] ‘sakit [buÿkah] [binaÿ] ‘merah’
kepala’ ‘pangkal’ [celeÿ] ‘babi’
[ÿêr] ‘pertikel [caÿcaÿ] ‘ikat’ [curiÿ] ‘jenis alat
penegas’ [cuÿkiÿ] ‘keras musik’
[ÿês] ‘pertikel kepala’ [dalaÿ] ‘dalang’
penegas’ [daÿū] ‘dulu’ [dulaÿ] ‘suap’
[ÿel] ‘lelah’ [diÿkik] ‘intip’ [ênêÿ] ‘sunyi’
[ÿgan] ‘dengan [êÿgah] ‘desah’ [eÿ] ‘bagian luar’
jelas’ [êÿgon] ‘tempat’ [gaðiÿ] ‘gading’
[ÿgwan] ‘tempat’ [eÿgi] ‘cemas’ [guÿ] ‘besar’
[ÿhulun] ‘hamba’ [gaÿga] ‘air suci’ [harêÿ] ‘arang’
[ÿikik] ‘mengikik’ [gêÿgöÿ] ‘kuat’ [hiruÿ] ‘hidung’
[ÿilil] ‘tinggi’ [haÿan] ‘ringan’ [imêÿ] ‘bingung’
[ÿis] ‘tiba-tiba’ [haÿsa] ‘angsa’ [ituÿ] ‘hitung’
[ÿkā] ‘sana’ [iÿgil] [jaguÿ] ‘jagung’
[ÿke] ‘sini’ ‘menjulang’ [jaÿkuÿ] ‘jenis
[ÿko] ‘engkau’ [iÿguÿ] ‘goyang’ burung’
[ÿlih] ‘tidak [jaÿan] ‘sayur’ [kambaÿ]
berdaya’ [jiÿga] ‘jingga’ ‘terapung’
[ÿrês] ‘kesakitan’ [kaÿkuÿ] [kumbaÿ]
[ÿūni] ‘dulu’ ‘kangkung’ ‘kumbang’
[ÿunÿun] ‘sedih’ [kaÿśa] [laÿgêÿ]
[ÿwaÿ] ‘aku’ ‘perunggu’ ‘langgeng’
[liÿga] ‘lingga’ [laÿkuÿ] ‘lebih’
[liÿgih] ‘duduk’ [maliÿ] ‘pencuri’
[maÿkā] [miÿmaÿ]
‘demikian’ ‘terbalik’
[miÿiÿ] ‘harum’ [naÿhiÿ] ‘hanya’
[nêÿgêh] ‘konon’ [napuÿ] ‘netral’
[ÿasÿas] [ÿoÿ] ‘aku’
‘khawatir’ [oraÿ] ‘orang’
[oÿkara] ‘suku [pêniÿ] ‘renggut’
kata suci’ [piliÿ] ‘pelipis’
[paÿgih] ‘temu’ [raÿkaÿ]
[puÿgêl] ‘patah’ ‘rangkak’
[raÿgah] ‘cabang’ [rêÿgiÿ] ‘licah’
[rêÿrêÿ] ‘musim [siluhuÿ]
hujan’ ‘sembunyi’
[saÿkêp] ‘lengkap’ [suÿsuÿ]
[suÿsaÿ] ‘terbalik’ ‘songsong’
[têÿgêk] ‘leher’ [tambaÿ] ‘tali’
[tuÿtuÿ] ‘puncak’ [têmbaÿ] ‘pukul’
50 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO
[uÿgah] ‘naik’ [uliÿ] ‘raung’
[uÿguh] ‘berada’ [uluÿ] ‘jenis
[waÿkaÿ] ‘cacat’ burung’
[wuÿkuk] [wwaÿ]
‘bungkuk’ ‘manusia’
/ñ/ [ñaman] ‘segar’ [añco] ‘jala’ -
[ñambu] ‘jambu’ [añjali] ‘puja’
[ñamu] ‘lenyap’ [bañcana]
[ñamuûþi] ‘bencana’
‘menggenggam’ [bañwal] ‘lucu’
[ñamut] ‘samar’ [cañcala] ‘getar’
[ñapñap] ‘suram’ [cañco] ‘terkenal’
[ñêg] ‘pertikel [êñêt] ‘sunyi’
deskriptif’ [eñcêp] ‘cibir’
[ñêñêr] ‘amat [gañcaÿ] ‘cepat’
elok’ [hañar] ‘baru’
[ñêp] ‘dingin’ [iñjiÿ] ‘pagi’
[ñêpñêp] [jañji] ‘janji’
‘linglung’ [kañcana] ‘emas’
[ñer] ‘rasuk, [lañcaÿ] ‘kasar’
luluh’ [mañura] ‘merak’
[ñöt] ‘partikel [ñêñêr] ‘amat
deskriptif’ elok’
[ñen] ‘inilah’ [oñjal] ‘ambil’
[ñwak] ‘kata seru’ [pañca] ‘lima’
[rañca] ‘bingung’
[sañcaya]
‘kumpul’
[taña] ‘tanya’
[uñak] ‘tikam’
[wañcira] ‘kijang’
/p/ [pabaye] ‘nama [apan] ‘sebab’ [alap] ‘ambil’
jabatan’ [bapa] ‘ayah’ [bāp] ‘banyak’
[pacaryan] ‘wadah [bapra] ‘dinding’ [cêp] ‘kata seru’
sampah’ [cāpa] ‘busur’ [ðaðap] ‘perisai’
[pêðaÿ] ‘pedang’ [cipta] ‘cipta’ [êgap] ‘terengah-
[pêgat] ‘putus’ [dīpa] ‘lampu’ engah’
[pahat] ‘sadap’ [dipta] ‘sinar’ [eñcep] ‘cibir’
[pajaÿ] ‘sinar [êpêp] ‘sembunyi’ [garap] ‘raba’
bulan’ [êpek] ‘ambil’ [halêp] ‘cantik’
[pakûa] ‘paksa’ [gampaÿ] ‘mudah’ [idêp] ‘batin’
[pêkik] ‘bagus’ [gêpuk] ‘pukul’ [jêjêp] ‘tahu’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 51


[pêlêk] [hapêk] ‘pengap’ [kakap] ‘kakap’
‘tenggelam’ [hapit] ‘apit’ [laóðêp]
[pilih] ‘pilih’ [ipik] ‘muncul’ ‘runcing’
[paman] ‘paman’ [ipuk] ‘pelihara’ [mêÿgêp] ‘pura-
[panah] ‘panah’ [japa] ‘doa’ pura’
[pênuh] ‘penuh’ [kapwa] ‘semua’ [nêp ] ‘jenis
[poûya] ‘nama [kipit] ‘cepat’ pohon’
bulan’ [lapat] ‘samar’ [papag] ‘sambut’
[pêpês] ‘retak’ [liput] ‘liput’ [prāpta] ‘tiba’
[pêpêt] ‘tutup’ [mapaÿ] ‘tiba- [rêrêp] ‘istirahat’
[paryaÿka] tiba’ [rêsêp] ‘resap’
‘tempat tidur’ [mpu] ‘pendeta’ [sasap] ‘rata’
[prabhā] ‘sinar’ [napuÿ] ‘netral’ [sikêp] ‘tangkap’
[pracêta] ‘terang’ [opak] [tap] ‘susun’
[pasaÿ] ‘pasang’ ‘menganjurkan’ [tatap]
[pāśa] ‘jerat’ [papag] ‘temu’ ‘mengatasi’
[pati] ‘mati’ [pipil] ‘pungut’ [usap] ‘usap’
[pêtêÿ] ‘gelap’ [rampad] ‘rampas’ [ulap] ‘silau’
[puguh] ‘tegar’ [ripta] ‘dokumen’
[pupul] ‘kumpul’ [sapta] ‘tujuh’
[pwaÿkulun] [sipta] ‘kata’
‘hambamu’ [tapak] ‘jejak’
[pyak] ‘galak’ [tapwan] ‘belum’
[upabhoga]
‘makanan’
[upadeśa]
‘intruksi’
[wilāpa] ‘puisi’
[yapwan] ‘jika’
/ph/ [phala] ‘buah’ - -
[phalabi]
‘kekasih’
[phalguna] ‘nama
bulan’
[phira] ‘binatang
buas’
/r/ [rāt] ‘dunia’ [aran] ‘nama’ [abêr] ‘lambat’
[rabhasa] ‘kejam’ [baribin] [babar] ‘hancur’
[rubuh] ‘roboh’ ‘bingung’ [bubar] ‘bubar’
[racana] ‘susunan’ [carma] ‘kulit’ [cacar]
‘racut’ bawa’ [darpa] ‘binal’ ‘masakan’
[radin] ‘bersih’ [êrêb] ‘potong’ [clor] ‘curang’

52 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


[radyan] ‘tuan’ [garawal] [dadar]
[raga] ‘nafsu’ ‘terburu-buru’ ‘mengasah’
[ragêt] ‘tanda’ [harûa] ‘senang’ [dulur] ‘teman’
[rahagi] ‘sinar’ [irir] ‘kipas’ [ênêr] ‘arah’
[rahasya] ‘rahasia’ [jrih] ‘takut’ [ewer] ‘tarik’
[rajya] ‘kerajaan’ [karóa] ‘telinga’ [gantar] ‘terang’
[rajuÿ] ‘hewan [liriÿ] ‘lirikan’ [gubar] ‘gong
air’ [mārdawa] kecil’
[rakêt] ‘lekat’ ‘merdu’ [hur] ‘daripada’
[rakûa] ‘jaga’ [marma] [idêr] ‘edar’
[rambaÿ] ‘luas’ ‘mendalam’ [jênar] ‘kuning’
[rêmêk] ‘hancur’ [nartaki] [kêtêr] ‘getar’
[rantas] ‘pecah’ ‘penyanyi wanita’ [kober] ‘bendera’
[rênêb] ‘rimbun’ [naryama] [lor] ‘utara’
[rapuh] ‘letih’ ‘pemimpin’ [mār] ‘sebar’
[rêpat] ‘susun’ [orêg] ‘huru-hara’ [natar] ‘tanah’
[raras] ‘cantik’ [orog] ‘bakar’ [olur] ‘julur’
[rêrêb] ‘tutup’ [parwa] ‘paruh’ [puyur] ‘gemar’
[raśmi] ‘pesona’ [prêm] ‘tidur’ [ririr] ‘landai’
[rasuk] ‘pakai’ [raryan] ‘istirahat’ [samar] ‘samar’
[ratna] ‘permata’ [riris] ‘gerimis’ [titir] ‘berkali-
[ratêÿ] ‘masak’ [sarpa] ‘ular’ kali’
[rawas] ‘hanyut’ [srêg] ‘sengit’ [tutur] ‘sadar’
[rêwêk] ‘sergap’ [tarka] ‘terka’ [ukir] ‘ukir’
[ryak] ‘ombak’ [tirtha] ‘air suci’ [ukur] ‘ukur’
[ūrdha] ‘tinggi’ [wör] ‘terbang’
[urug] ‘timbun’ [wuwur] ‘tabur’
[wīrya] ‘kekuatan’ [yar] ‘jika’
[yātra]
‘perjalanan’
/s/ [sabha] ‘rapat [astra] ‘anak [alas] ‘hutan’
umum’ panah’ [apus] ‘ikat’
[sabraÿ] [asti] ‘adalah’ [bagus] ‘bagus’
‘seberang’ [basah] ‘basah’ [bobos]
[sêbit] ‘robek’ [bhasma] ‘abu’ ‘melarikan diri’
[saciwa] ‘sekutu’ [dastar] ‘ikat [cawis] ‘siap’
sicil] ‘kikir’ kepala’ [daryas] ‘burung
[sadā] ‘selalu’ [ðusun] ‘dusun’ hantu’
[siddha] ‘sukses’ [êsês] ‘deru’ [dêlês] ‘jenis
[sadyuh] ‘sorga’ [esêm] ‘senyum’ ular’
[sagraha] ‘siap’ [gasal] ‘ganjil’ [ênês] ‘diam-
[sahya] ‘sangat [gêsêÿ] ‘hangus’ diam’
kuat’ [hasta] ‘tangan’ [gabus] ‘asah’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 53


[sajjana] ‘orang [hāsya] ‘tawa’ [grêmus] ‘cakar’
bijak’ [isêr] ‘geser’ [huwus] ‘telah’
[sakûi] ‘saksi’ [jasun] ‘bawang [hyas] ‘hias’
[salisuh] ‘lestari’ putih’ [iÿis] ‘ringis’
[sambut] ‘sambut’ [kasturi] ‘kesturi’ [kawês] ‘kagum’
[sana] ‘tempat’ [kisik] ‘desis’ [lêlês] ‘lenyap’
[saput] ‘tutup’ [laÿse] ‘tirai’ [lumis] ‘linang’
[sara] ‘kolam’ [maÿsa] ‘mangsa’ [mêlês]
[sthira] ‘teguh’ [nastapa] ‘sedih’ ‘berkilau’
[sarwi] ‘sambil’ [osah] ‘gelisah’ [nyus] ‘keriput’
[sasar] ‘sesat’ [pastha] ‘inti’ [ÿrês] ‘haru’
[satya] ‘jujur’ [prastāwa] ‘saat’ [pupus] ‘tumpas’
[sawaÿ] ‘seperti’ [rasa] ‘rasa’ [pras] ‘adopsi’
[sparśana] [rêsya] ‘kereta’ [raras] ‘pesona’
‘sentuhan’ [sasya] ‘jagung’ [raris] ‘terus’
[srêt] ‘gagap’ [taskara] ‘pencuri’ [sus] ‘kering’
[sor] ‘kalah’ [usên] ‘cepat’ [totos]
[sisih] ‘sisi’ [wistara] ‘jelas’ ‘keturunan’
[ulês] ‘tutup’
[wus] ‘akhir’
[yas] ‘hias’
/ś/ [śabara] ‘nama [aśani] ‘petir’ -
suku’ [āścarya] ‘heran’
[śabda] ‘bunyi’ [baśa] ‘kekuasaan’
[śaca] ‘persiapan’ [darśana] ‘contoh’
[śaci] ‘istri Indra’ [daśa] ‘sepuluh’
[śaka] ‘nama [eśānya] ‘timur
suku’ laut’
[śākhā] ‘dahan’ [gaśca] ‘sangat’
[śāla] ‘rumah’ [håtśalya] ‘luka di
[śama] ‘tenang’ hati’
[śānta] ‘sentosa’ [hutāśana] ‘api’
[śaÿku] ‘tombak’ [iśa] ‘yang
[śeûa] ‘sisa’ berkuasa’
[śewa] ‘pengikut [iśitwa]
Siwa’ ‘keunggulan’
[śighra] ‘segera’ [kaśa] ‘jenis
[śikha] ‘puncak’ rumput’
[śila] ‘tingkah [kaśmala] ‘najis’
laku’ [lalāśa] ‘kain
[śilā] ‘batu’ tenun’
[śobha] [maśaka]
‘cemerlang’ ‘nyamuk’
54 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO
[śoca] ‘suci’ [maśāka] ‘ukuran
[śodha] ‘murni’ berat’
[śoka] ‘sedih’ [nāśa] ‘musnah’
[śubha] ‘baik’ [niścala] ‘kokoh’
[śuci] ‘suci’ [niścaya] ‘pasti’
[śuddha] ‘bersih’ [ośwāsa] ‘nafas’
[śudra] ‘nama [paścat] ‘lalu’
kasta’ [paścima] ‘barat’
[śukti] ‘kerang [rāśi] ‘tumpukan’
mutiara’ [raśmi] ‘pesona’
[śūla] ‘tombak’ [śaśa] ‘kelinci’
[śūnya] ‘kosong’ [śāśwata] ‘abadi’
[śūra] ‘pahlawan’ [tatśeûa] ‘sisa’
[śuśrūûa] ‘patuh’ [tośwāsa] ‘nafas’
[śyena] ‘burung [uśwāsa] ‘tarik
elang’ nafas’
[wiśiróa] ‘hancur’
[wiśiûþa] ‘khusus’
[yaśa]
‘kehormatan’
/û/ [ûað] ‘enam’ [aûþa] ‘delapan’ -
[ûaûþi] ‘enam [aûþi] ‘jenis
puluh’ chanda’
[ûaûþhi] ‘yang [apekûa] ‘hormat’
keenam’ [bakûa] ‘menari’
[ûaþ] ‘enam’ [bhakûa] ‘makan’
[ûaþpada] [cakûu] ‘mata’
‘kumbang’ [ceûþa] ‘usaha’
[ûoðaśa] ‘enam [duûkara] ‘sulit’
belas; [duûþa] ‘jahat’
[ghoûa]
‘keributan’
[ghoûita]
‘perintah’
[harûa] ‘senang’
[iûīkā] ‘alang-
alang’
[iûþi] ‘ingin’
[jyeûþha]
‘pertama’
[jyotiûa] ‘ahli
perbintangan’
[kaûþa] ‘jahat’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 55


[kāûþha] ‘kayu’
[loûþa] ‘bongkahan
tanah’
[meûa] ‘domba’
[mokûa] ‘lepas’
[nakûtra] ‘bintang’
[oûþha] ‘bibir’
[oûþra] ‘unta’
[pāruûya] ‘kejam’
[puruûa] ‘ulung’
[rêûi] ‘guru’
[rūkûa] ‘suram’
[såûþa] ‘ciptaan’
[sūkûma] ‘halus’
[tiûþa] ‘buah dada’
[twiûþa] ‘kera’
[uûa] ‘malam’
[uûóa] ‘panas’
[weûa] ‘pakaian’
[wiûþaka] ‘bata’
[yuûa] ‘usia’
/t/ [ta] ‘partikel [atag] ‘kerah’ [atat] ‘burung
penegas’ [atgata] ‘cemas’ kakatua’
[tā] ‘tidak ada’ [bataÿ] ‘duga’ [awat] ‘awal’
[tabaÿ] ‘jenis [butêÿ] ‘marah’ [bañcut] ‘cabut’
tumbuhan’ [catra] ‘payung’ [biñjat] ‘nama
[tabêh] ‘pukul’ [citta] ‘pikiran’ jabatan’
[tuccha] ‘hina’ [ðatêÿ] ‘datang’ [cat] ‘cat’
[taðah] ‘makan’ [dūta] ‘utusan’ [crêt] ‘sembur’
[tadin] ‘tinggal’ [êntak] ‘rintih’ [dawut] ‘cabut’
[tagih] ‘tagih’ [êntas] ‘seberang’ [dukut] ‘rumput’
[tagu] ‘tergila- [estu] ‘nyata’ [emut] ‘ingat’
gila’ [gati] ‘jalan’ [gênêt] ‘kuat’
[tahap] ‘minuman’ [gīta] ‘nyanyian’ [gêñjut] ‘ayun’
[tahên] ‘tahan’ [hatur] ‘tampak’ [hêlêt] ‘sekat’
[tajêm] ‘tajam’ [hita] ‘untung’ [höt] ‘sempit’
[tajo] ‘periuk’ [itêk] ‘hidup’ [iÿut] ‘marah’
[taÿkis] ‘tangkis’ [iti] ‘begitu’ [iñcut] ‘berliku-
[takut] ‘takut’ [jatmika] ‘sopan’ liku’
[talaga] ‘kolam’ [juti] ‘tipu’ [jagat] ‘dunia’
[talêh] ‘gairah’ [kathā] ‘cerita’ [jahit] ‘kain
[tambak] [kita] ‘kamu’ tenun’
‘dinding’ [lantas] ‘lurus’ [kabêt] ‘lambat’
56 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO
[tampuh] ‘tiba- [lintu] ‘berturut- [kalit] ‘rebut’
tiba’ turut’ [liput] ‘liput’
[taóðiÿ] ‘tanding’ [mata] ‘mata’ [lot] ‘gigih’
[tanêh] ‘tindih’ [mitra] ‘teman’ [mahat] ‘orang
[taÿgama] ‘cepat’ [nātya] ‘tarian’ suci’
[tañcêb] ‘tancap’ [nitya] ‘selalu’ [mihat] ‘lihat’
[tapak] ‘jejak’ [otwat] ‘otot’ [nêkêt] ‘lengket’
[tarajaÿ] ‘terjang’ [pati] ‘mati’ [pikat] ‘pikat’
[tarima] ‘terima’ [pūta] ‘bersih’ [pulut] ‘lekat’
[tasak] ‘matang’ [ratā] ‘datar’ [rāt] ‘dunia’
[tatab] ‘ketuk’ [rati] ‘senang’ [riwut] ‘topan’
[tawur] ‘korban’ [satya] ‘jujur’ [sat] ‘kering’
[têbah] ‘tepuk’ [sutra] ‘sutra’ [sêbit] ‘sobek’
[têðun] ‘turun’ [tattwa] ‘hakikat’ [tasmāt] ‘karena
[teja] ‘sinar’ [uttama] ‘utama’ itu’
[tiba] ‘jatuh’ [wastu] ‘nyata’ [tat] ‘tidak’
[tolih] ‘toleh’ [yatna] ‘hati-hati’ [ulyat] ‘regang’
[trêjuÿ] ‘jurang’ [upêt] ‘fitnah’
[trêk] ‘terhalang’ [widyut] ‘petir’
[tuduh] ‘perintah’ [wwat] ‘bawa’
[tyup] ‘tiup’ [yapwat] ‘kalau’
[yat] ‘jika’
/th/ [thāni] ‘kekal, [atha] ‘maka’ -
daerah’ [athawa] ‘atau’
[catuûpatha]
‘perempatan’
[daśaratha] ‘nama
raja’
[gāthā] ‘bait’
[kathā] ‘cerita’
[kathamapi]
‘tetapi’
[kathana]
‘dongeng’
[manmatha]
‘nafsu cinta’
[manthana]
‘tongkat
pengebor’
[nātha] ‘raja’
[pastha] ‘inti’
[pathya] ‘cocok’
[ratha] ‘kereta’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 57


[sārathi] ‘kusir’
[sthāna] ‘tempat’
[tathāpi] ‘tetapi’
[tathāgatā]
‘Buddha’
[upastha]
‘kelamin’
[upasthita]
‘unggul’
[wastha] ‘gelar’
[yathā] ‘seperti’
/þ/ [þaÿkasāyaka] [aûþa] ‘delapan’ -
‘jenis senjata’ [aþi] ‘ikat rambut’
[þekþekan] ‘jenis [baþaÿ] ‘bangkai’
serangga’ [bhaþþa] ‘tuan’
[þikā] ‘gambar’ [caþaka]
[þok] ‘partikel ‘sombong’
onomatope’ [cêþþa] ‘ahli’
[þoÿ] ‘partikel [duûþa] ‘dusta’
onomatope’ [dwiûþa] ‘kiasan’
[êþþahāsa] ‘tertawa
lebar’
[gaþik] ‘gesek’
[ghaþa] ‘kolam’
[hoûþra] ‘unta’
[iûþa] ‘ingin’
[iûþi] ‘ingin’
[jaþā] ‘rambut
dipilin’
[karkaþa] ‘ketam’
[kuþa] ‘benteng’
[kūþa] ‘puncak’
[lalāþa] ‘dahi’
[laþi] ‘bibir’
[mañjeþi] ‘jenis
kain’
[muûþi] ‘tinju’
[naþya] ‘tarian’
[niûþa] ‘nista’
[oûþra] ‘unta’
[pêþa] ‘gambar’
[pêþak] ‘putih’
[rāûþra] ‘negara’

58 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


[sakaóþaka] ‘duri’
[santuûþa] ‘amat
puas’
[taþāka] ‘kolam’
[tāþakā] ‘nama
raksasa’
[ucchiûþa] ‘sisa’
[upadåûþa]
‘contoh’
[wåûþi] ‘hujan’
[yaûþi] ‘tongkat’
/þh/ - [apaþha] ‘kutuk’ -
[dhaniûþhā] ‘nama
gugus bintang’
[dharmeûþhi]
‘amat saleh’
[guûþha] ‘ibu jari’
[jyeûþha] ‘kepala’
[jyeûþhi]
keunggulan’
[kaniûþha]
‘termuda’
[kaóþha] ‘leher’
[niûþha] ‘nista’
[niûþhura] ‘kejam’
[parameûþhi]
‘Yang Tertinggi’
[pāþha] ‘hafalan’
[pratiûþha]
‘berdiri’
[sargeûþhāni]
‘berada di dunia
yang tercipta’
[śaþha] ‘sesat’
[wiûþha] ‘diam’
/w/ [wā] ‘bara pijar’ [awak] ‘tubuh’ -
[waca] ‘baca’ [awur] ‘kacau’
[wāda] ‘ucapan’ [bawa] ‘bawa’
[wadana] ‘mulut’ [baya] ‘mungkin’
[wagêd] ‘ulung’ [cawis] ‘siap’
[wah] ‘banjir’ [cuwa] ‘kecewa’
[waja] ‘gigi’ [dawā] ‘panjang’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 59


[wāk] ‘bicara’ [dewa] ‘dewa’
[wāla] ‘anak- [êwel] ‘umpat’
anak’ [ewer] ‘tarik’
[wāma] ‘kiri’ [gawa] ‘bawa’
[wana] ‘hutan’ [giwaÿ] ‘gempar’
[waÿal] ‘berani’ [hawan] ‘jalan’
[wañci] ‘curang’ [huwā] ‘lepas’
[wara] ‘terpilih’ [iwa] ‘memang’
[wās] ‘jelas’ [iwêÿ] ‘namun’
[wāta] ‘ingin’ [jawuh] ‘hujan’
[wawa] ‘bawa’ [kawi] ‘pujangga’
[wayah] ‘usia’ [lawan] ‘lawan’
[wêdi] ‘takut’ [mawa] ‘dan juga’
[we] ‘matahari’ [nawa] ‘sembilan’
[wicara] ‘diskusi’ [owah] ‘ubah’
[woÿ] ‘orang’ [pawana] ‘angin’
[wrā] ‘urai’ [rawi] ‘matahari’
[wåddha] ‘tua’ [sawah] ‘sawah’
[wuda] ‘telanjang’ [tawa] ‘lemah’
[wwit] ‘asal’ [taya] ‘tidak ada’
[wyāghra]
‘harimau’
/y/ [ya] ‘partikel [aywa] ‘jangan’ [apuy] ‘api’
penegas’ [bayaÿ] ‘ragu- [daraway] ‘alir’
[yadi] ‘meskipun’ ragu’ [ðaray] ‘anak
[yah] ‘partikel [byūha] ‘aturan’ kecil’
penegas’ [cyuta] ‘jatuh’ [gaday] ‘gadai’
[yajña] ‘korban’ [dyun] ‘periuk’ [gaway] ‘kerja’
[yakti] ‘sungguh’ [dyūta] ‘judi’ [halay] ‘salah’
[yamani] ‘neraka’ [êyêh] ‘air seni’ [hêlay] ‘helai’
[yan] ‘jika’ [eyor] ‘guyur’ [ilay] ‘cara’
[yapwan] ‘jika’ [gyā] ‘ingin’ [julay]
[yar] jika’ [gyuk] ‘gempar’ ‘sembrono]
[yaśa] ‘kemuliaan’ [hyaÿ] ‘dewa’ [kalay] ‘gelang
[yatha] ‘seperti’ [hyun] ‘ingin’ lengan’
[yawat] ‘kalau’ [indriya] ‘indria’ [kasay] ‘bedak
[yayā] ‘pasti’ [iya] ‘benar- wangi’
[yen] ‘jika’ benar’ [lalay] ‘tunas’
[yodha] ‘pejuang’ [jaya] ‘jaya’ [lambay] ‘bibir’
[yoga] ‘yoga’ [jyoti] ‘sinar’ [palupuy]
[yogya] ‘patut’ [kāya] ‘tubuh’ ‘contoh’
[yuddha] ‘perang’ [layah] ‘condong’ [panay] ‘periuk’
[yuga] ‘usia [maya] ‘maya’ [pilay] ‘nama
60 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO
dunia’ [naya] ‘siasat’ jabatan’
[yugala] [oya] ‘ada’ [raray] ‘anak
‘pasangan’ [payuÿ] ‘payung’ kecil’
[yukti] ‘benar’ [raya] ‘raya’ [rumbay] ‘subur’
[yuûa] ‘usia’ [sadyuh] ‘sorga’ [sampay] ‘jijik’
[yuta] ‘juta’ [tayuÿ] ‘miring’ [saway] ‘panggil’
[yuwa] ‘muda’ [uyak] ‘kejar’ [tambay]
[yuyut] ‘cicit’ [wyatara] ‘kira- ‘permulaan’
[ywa] ‘partikel kira’ [tamuy] ‘tamu’
penegas’ [yuyu] ‘kepiting’ [uray] ‘urai’
[way] ‘matahari’
[wway] ‘air’

Berdasarkan tabel data distribusi konsonan bahasa Jawa Kuno di


Berdasarkan tabel data distribusi konsonan bahasa Jawa
atas dapat dijelaskan bahwa fonem konsonan /bh/, /c/, /ch/, /dh/, /ðh/,
Kuno di atas
/gh/, /j/, /jh/, dapat dijelaskan
/kh/, /ó/, bahwa
/ñ/, /ph/, /ś/, fonem
/û/, /þ/, konsonan
/þh/, /w/ /bh/,
tidak bisa /c/, /ch/, /
menempati
dh/, /ðh/, /gh/, /j/, /jh/, /kh/, /ó/, /ñ/, /ph/, /ś/, /û/, /þ/,
posisi di akhir kata dasar atau morfem asal. Mardiwarsito dan Harimurti /þh/, /w/ tidak bisa
menempati
Kridalaksanaposisi di akhir
(1984:33) kata dasar
menyatakan ataufonem
bahwa morfem asal. Mardiwarsito
konsonan bahasa Jawa
dan
Kuno Harimurti
yang tidakKridalaksana
bisa menempati(1984:33)
posisi di akhirmenyatakan
kata dasar bahwa fonem
atau morfem
konsonan
asal hanyabahasa
sebelas Jawa Kuno
konsonan, yang
yaitu /b/,tidak bisa/ð/,menempati
/bh/, /c/, posisi
/dh/, /kh/, /ph/, /þ/, di
akhir katadan
/th/, /þh/, dasar
/w/. atau morfem
Penelitian asal menemukan
ini telah hanya sebelas konsonan,
sebanyak yaitu
tujuh belas
fonem
/b/, /bh/,konsonan yang /kh/,
/c/, /ð/, /dh/, tidak /ph/,
bisa menempati
/þ/, /th/, /þh/,posisi
dandi/w/. akhirPenelitian
kata dasarini
atau morfem asal bahasa Jawa Kuno.
telah menemukan sebanyak tujuh belas fonem konsonan yang Ada kemungkinan hal tidak
itu
disebabkan alat ucap penutur bahasa Jawa Kuno
bisa menempati posisi di akhir kata dasar atau morfem asal bahasa tidak memungkinkan
melafalkan fonem-fonem tersebut ketika berada di akhir kata dasar atau
Jawa Kuno. Ada kemungkinan hal itu disebabkan alat ucap penutur
morfem asal.
bahasa Jawa FonemKuno tidak bahasa
konsonan memungkinkan
Jawa Kuno melafalkan
yang tidakfonem-fonem
ditemukan
tersebut
menempati posisi awal kata dasar atau morfem asalmorfem
ketika berada di akhir kata dasar atau asal./ó/, dan
adalah /ðh/,
/þh/. Konsonan /ch/ ditemukan di awal lima kata dasar atau morfem asal.
KonsonanFonem /jh/ konsonan
ditemukan bahasa
di awalJawadua Kuno yang tidak
kata dasar. ditemukan
Konsonan /kh/
menempati
ditemukan diposisi awal kata
awal lima katadasar.
dasarKonsonan
atau morfem asal adalah
/ph/ ditemukan /ðh/,
di awal
dankata
empat
/ó/, /þh/.dasar
Konsonan /ch/ ditemukan
atau morfem di awal
asal. Konsonan /û/ lima kata dasar
ditemukan di awalatau
enam kata dasar atau morfem asal. Konsonan /þ/ hanya
morfem asal. Konsonan /jh/ ditemukan di awal dua kata dasar. ditemukan di awal
lima kata dasar atau morfem asal. Konsonan /th/ hanya ditemukan di awal
Konsonan /kh/ ditemukan di awal lima kata dasar. Konsonan /ph/
satu kata dasar atau morfem asal, yakni pada kata [thāni] ‘kekal, daerah’.
ditemukan
Karena itu di awal
dapat empat kata
dikatakan bahwadasar atau morfem
konsonan asal. Konsonan
tersebut memiliki frekuensi/û/
ditemukan di awaldi enam
distribusi terbatas katadasar
awal kata dasar atau
atau morfem
morfem asal asal. Konsonan
pada bahasa Jawa/þ/
hanya ditemukan di awal lima kata dasar atau morfem asal. Konsonan
Kuno.
/th/ hanya Konsonan
ditemukan bahasa Jawasatu
di awal Kuno yang
kata tidak
dasar atau ditemukan
morfem di tengah
asal, yakni
kata dasar atau morfem asal adalah /ph/. Sementara itu,
pada kata [thāni] ‘kekal, daerah’. Karena itu dapat dikatakan bahwa konsonan /ðh/
dan /jh/ hanya ditemukan satu kali berada di tengah kata dasar atau
konsonan
morfem asal,tersebut
yakni memiliki
pada kata frekuensi distribusi
[dåðha] ‘teguh’ terbatas ‘air
dan [nirjhara] di awal kata
terjun’.
dasar atau morfem
Mardiwarsito asal pada
dan Harimurti bahasa Jawa
Kridalaksana Kuno.
(1984) tidak ada menjelaskan
FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 61
Konsonan bahasa Jawa Kuno yang tidak ditemukan di tengah
kata dasar atau morfem asal adalah /ph/. Sementara itu, konsonan /
ðh/ dan /jh/ hanya ditemukan satu kali berada di tengah kata dasar
atau morfem asal, yakni pada kata [dåðha] ‘teguh’ dan [nirjhara] ‘air
terjun’. Mardiwarsito dan Harimurti Kridalaksana (1984) tidak ada
menjelaskan konsonan-konsonan bahasa Jawa Kuno yang tidak bisa
menempati posisi di awal atau di tengah kata dasar atau morfem asal
pada bahasa Jawa Kuno.

Pola Persukuan Bahasa Jawa Kuno

Pola persukuan adalah suatu urutan berulang dari tempat


vokal dan konsonan yang terdapat pada suku kata dalam suatu
bahasa. Pola persukuan itu juga disebut pola kanonik (Pastika, 2005)
atau istilah yang juga sering dipakai ialah fonotaktik (phonotactics).
Fonotaktik dapat diartikan sebagai urutan fonem yang dimungkinkan
dalam suatu bahasa atau pemerian dan sistem pengaturannya dalam
bidang fonemik (Saputra, 2012).

Pola persukuan dalam sebuah bahasa dapat dipahami melalui


dua teori, yaitu (1) teori sonoritas dan (2) teori prominans. Teori
sonoritas menjelaskan bahwa sebuah rangkaian bunyi bahasa yang
diucapkan oleh penutur selalu terdapat puncak-puncak kenyaringan
(sonoritas) di antara bunyi-bunyi yang diucapkan. Puncak kenyaringan
tersebut ditandai dengan denyutan dada yang menyebabkan paru-
paru mendorong udara keluar. Satuan kenyaringan bunyi yang diikuti
dengan satuan denyutan dada yang menyebabkan udara keluar dari
paru-paru disebut satuan silaba atau suku kata. Sementara itu, teori
prominans lebih menitikberatkan pada gabungan sonoritas dan ciri-
ciri suprasegmental, terutama jeda (juncture). Ketika rangkaian
bunyi diucapkan, selalu terdengar satuan kenyaringan bunyi, juga
terasa jeda di antaranya, yakni kesenyapan sebelum dan sesudah
puncak kenyaringan. Batas di antara bunyi-bunyi puncak itu ditandai
dengan tanda tambah (+) (Muslich, 2009:73). Lebih jauh, Muslich
(2009:74—75) menjelaskan bahwa berdasarkan teori sonoritas dan
teori prominans diketahui bahwa sebagian besar struktur kata terdiri
atas satu bunyi sonor berupa vokoid, baik tidak didahului dan diikuti

62 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


kontoid, didahului dan diikuti kontoid, didahului kontoid saja,
maupun diikuti oleh kontoid saja, yang dapat dirumuskan:

(K) V (K)

Bunyi vokal ditandai dengan V, bunyi konsonan ditandai


dengan K, dan bunyi semi konsonan ditandai dengan A1/2K (cf.
Saputera, 2012). Berdasarkan rumus tersebut dapat dijelaskan
bahwa vokal (V) merupakan unsur yang harus ada pada setiap suku
kata atau silaba. Dengan demikian, konsonan (K) dipandang sebagai
unsur manasuka.

Dalam praktiknya lebih lanjut, persoalan penyukuan kata


atau silabisasi dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) silabisasi fonetis,
yakni penyukuan kata didasarkan pada realitas pengucapan yang
ditandai oleh satuan hembusan napas dan satuan bunyi sonor; (2)
silabisasi fonemis, yakni penyukuan kata didasarkan pada struktur
fonem bahasa bersangkutan; dan (3) silabisasi morfologis, yakni
penyukuan kata didasarkan pada proses morfologis ketika sebuah
kata dibentuk.

Berdasarkan teori silabisasi di atas, silabisasi dalam


bahasa Jawa Kuno tampak menunjukkan keunikan atau bahkan
penyimpangan. Misalnya, jika dikatakan bahwa vokal merupakan
unsur yang harus ada dalam setiap suku kata, maka dalam bahasa
Jawa Kuno justru ditemukan suku kata yang hanya terdiri atas satu
konsonan, seperti [ŋ] dan [n] sebagai partikel penentu atau partikel
penegas.

Contoh:

/karaóa nira n ðatêŋ/ ‘sebabnya ia itu datang’

/maŋkana ŋ krāmanya/ ‘begitulah aturannya’

Keberadaan bahasa Jawa Kuno yang tidak memiliki penutur


asli ataupun bahasa yang diwarisi hanya melalui tulisan pada naskah

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 63


danyakni
prasasti, membawa
penyukuan katakonsekuensi
didasarkan penentuan
pada struktur pola penyukuan
fonem bahasa kata
bersangkutan; dan (3) silabisasi morfologis, yakni
bahasa Jawa Kuno dapat dilakukan berdasarkan silabisasi fonemis dan penyukuan kata
didasarkan pada
morfologis, yakniproses morfologis
silabisasi ketikadiinterpretasikan
tersebut sebuah kata dibentuk. berdasarkan
Berdasarkan teori silabisasi di atas, silabisasi dalam bahasa Jawa
pada struktur fonem dan proses morfologis ketika sebuah kata
Kuno tampak menunjukkan keunikan atau bahkan penyimpangan.
dibentuk.
Misalnya,Dijika
sisidikatakan
lain, pengaruh
bahwa vokal bahasa Sansekerta
merupakan yangharus
unsur yang dominan
ada
dalam
dalambahasa Jawakata,
setiap suku Kuno juga
maka dipertimbangkan
dalam bahasa Jawa Kuno dalam menentukan
justru ditemukan
silabisasi
suku katasebuah morfem
yang hanya terdiriasal
ataspangkal. Sebagaimana
satu konsonan, seperti [ŋ]diketahui
dan [n]
sebagai partikel penentu atau partikel penegas.
bahwa bahasa Sansekerta kadangkala mempunyai silabisasi sebuah
Contoh:asal pangkal atau kata dasar berbeda dengan silabisasi
morfem
/karaóa nira n ðatêŋ/ ‘sebabnya ia itu datang’
bahasa-bahasa Nusantara. Hal itu disebabkan ada bunyi-bunyi dalam
/maŋkana ŋ krāmanya/ ‘begitulah aturannya’
bahasa Sansekerta
Keberadaan yang dianggap
bahasa Jawa Kuno sebagai
yangsatu
tidakfonem justru
memiliki di dalam
penutur asli
bahasa-bahasa
ataupun bahasaNusantara
yang diwarisidipandang sebagai
hanya melalui dua pada
tulisan fonem berbeda.
naskah dan
Misalnya, [kû] dalamkonsekuensi
prasasti, membawa kata [akûara]. Dalam
penentuan polabahasa Sansekerta,
penyukuan kata
kata bahasa
Jawa Kuno dapat dilakukan berdasarkan
[akûara] dibangun oleh silaba: V+KV+KV. Namun, dalam bahasa- silabisasi fonemis dan
morfologis,
bahasa yakni silabisasi
Nusantara, baik dalam tersebut diinterpretasikan
bahasa Jawa, bahasa berdasarkan pada
Bali, maupun
struktur fonem dan proses morfologis ketika sebuah kata dibentuk. Di sisi
bahasa Indonesia kata [akûara] akan disilabisasi fonemis menjadi
lain, pengaruh bahasa Sansekerta yang dominan dalam bahasa Jawa Kuno
VK+KV+KV karena bunyi
juga dipertimbangkan dalam[kû] dibedakan
menentukan menjadi
silabisasi duamorfem
sebuah bunyi yang
asal
berbeda,
pangkal.yaitu [k] dan [s]
Sebagaimana sesuai dengan
diketahui struktur
bahwa bahasa fonem bahasa
Sansekerta Jawa
kadangkala
Kuno.
mempunyai silabisasi sebuah morfem asal pangkal atau kata dasar
berbeda dengan silabisasi bahasa-bahasa Nusantara. Hal itu disebabkan
ada bunyi-bunyi
Berdasarkan teoribahasa
dalam silabisasi dan beberapa
Sansekerta pertimbangan
yang dianggap sebagai satudi
fonem
atas, justru diatau
silabisasi dalam bahasa-bahasa
pola Nusantara
kanonik dalam dipandang
bahasa sebagaidapat
Jawa Kuno dua
fonem berbeda. Misalnya,
dirinci sebagai berikut. [kû] dalam kata [akûara]. Dalam bahasa
Sansekerta, kata [akûara] dibangun oleh silaba: V+KV+KV. Namun,

No Struktur Suku Contoh


Kata
1 K [n] ‘pertikel konjungtif’
[ŋ] ‘partikel konjungtif’
2 V [i] ‘di’
3 KV [bi] ‘istri’
[bo] ‘bau busuk’
[dhā] ‘kata seru: baik, bagus’
[de] ‘oleh’
[du] ‘pojok’
[ge] ‘terburu-buru’
[go] ‘lembu’
[ho] ‘jernih’
[ka] ‘ke’
64 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO
[lö] ‘tegang’
[na] ‘seperti’
[ni] ‘pertikel konektif’
[ri] ‘di’
[si] ‘si’
4 VK [ah] ‘kata seru’
[Ah] ‘suku kata suci’
[an] ‘pertikel konektif’
[aŋ] ‘pertikel penentu’
[Aŋ] ‘suku kata suci’
[ih] ‘kata seru’
[iŋ] ‘di’, ‘pada’
[uh] ‘kata seru’
[er] ‘air’
[oh] ‘kata seru’
5 KVA1/2K [luy] ‘kembali’
[way] ‘air’
6 KKVA1/2K [wway] ‘air’
[dway] ‘mundur’
7 KVK [baŋ] ‘merah’
[bāp] ‘penuh’
[bar] ‘tiba-tiba’
[bok] ‘onomatope (benda jatuh)’
[bong] ‘tak sudi’
[bor] ‘partikel deskriptif’
[bos] ‘suram’
[bot] ‘berat, gaya’
[bhūh] ‘bumi’
[bun] ‘embun’
[buŋ] ‘tunas bambu’
[bhūr] ‘bumi’
[cat] ‘cat’
[cĕb] ‘partikel deskriptif’
[cĕt] ‘sekejap’
[dan] ‘siap’
[don] ‘tuju’
[göŋ] ‘besar’
[höb] ‘sembunyi’
[hĕt] ‘sempit’
[jag] ‘dengan cepat’
[jöŋ] ‘kaki’
[kon] ‘suruh’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 65


[luŋ] ‘tunas’
[mār] ‘lemah’
[nir] ‘tidak’
[ŋel] ‘lelah’
[ñĕp ] ‘dingin’
[pöh] ‘perahan susu’
[sĕb] ‘asap’
[tan] ‘tidak’
[ton] ‘lihat’
[weh] ‘beri’

8 KKV [bhrā] ‘cahaya’


[bhrū] ‘alis’
[gro] ‘raung’
[hru] ‘anak panah’
[hwa] ‘hening’
[jro] ‘dalam’
[kre] ‘baju baja’
[lwā] ‘lebar’
[mpu] ‘yang mulia’
[nda] ‘pertikel deiktik: lihatlah’
[ndi] ‘di mana, yang mana’
[pra] ‘para’
[rwa] ‘dua’
[rwi] ‘duri’
[śrī] ‘makmur’
[sru] ‘cepat’
[twa] ‘uwak’
[wrā] ‘tergerai’
[wre] ‘kera’
[wri] ‘takut’
[ywa] ‘partikel penegas’
9 KKVK [brĕm] ‘berem’
[brĕk] ‘keroyok’
[bwat] ‘berat’
[byuh] ‘banyak’

66 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


[byut] ‘lebat’
[clor] ‘curang, palsu’
[dyun] ‘periuk’
[dyus] ‘mandi’
[grĕt] ‘kusut’
[grit] ‘decit’
[groŋ] ‘jurang’
[hraŋ] ‘gemuruh’
[hrih] ‘malu’
[jrih] ‘takut’
[jriŋ] ‘jenis pohon’
[jrit] ‘jerit’
[krap] ‘lari’
[krig] ‘muncul’
[krut] ‘keriput’
[lwir] ‘seperti’
[lyab] ‘penuh’
[lyud] ‘lumpur’
[lyus] ‘lentur’
[mwaŋ] ‘dan’
[mwah] ‘dan’
[ndan] ‘tetapi, kemudian’
[ŋgan] ‘seolah-olah’
[ŋhiŋ] ‘tetapi’
[prah] ‘kebiasaan’
[pras] ‘adopsi’
[prih] ‘usaha’
[ryak] ‘ombak’
[sraŋ] ‘tanding’
[srĕg] ‘dahsyat’
[srik] ‘semerbak’
[tyas] ‘hati’
[tyup] ‘tiup’
[wwaŋ] ‘manusia’
[wrin] ‘takut’
[wrih] ‘tahu’
10 KKKV [ndwa] ‘di mana, yang mana’
[strī] ‘istri’
11 KKKVK [ŋgwan] ‘tempat’
[kryak] ‘pertikel onomat’
[kryan] ‘bangsawan’
[kryaŋ] ‘gemerincing’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 67


Berdasarkan data di atas dapat dijelaskan bahwa dalam bahasa
Jawa Kuno, pola persukuan, silabisasi, atau pola kanonik terdapat
sebelas jenis silaba. Mardiwarsito dan Harimurti Kridalaksana
(1984) hanya menemukan sepuluh jenis silaba dalam bahasa Jawa
Kuno, yaitu V, K, KV, VK, KVV, KVK, KKV, KKVK, KKKV, dan
KKKVK. Contoh pola KVV dalam bahasa Jawa Kuno menurut
Mardiwarsito dan Harimurti Kridalaksana (1984:34) terdapat pada
kata [luy]. Dengan demikian, bunyi [y] pada kata [luy] dianggap
sebagai vokal. Akan tetapi dalam penelitian ini, bunyi [y] dalam kata
[luy], [way], [wway], [dway] dikatagorikan sebagai semi konsonan
sehingga ditandai A1/2K.

Kombinasi pola persukuan atau pola kanonik bahasa Jawa


Kuno tersebut membentuk kata dasar bahasa Jawa Kuno sebagai
berikut.

Jumlah Pola Contoh


Suku Persukuan
1 1. K [n] ‘pertikel konjungtif’
(ekasuku) [ŋ] ‘partikel konjungtif’
2. V [i] ‘di’
3. KV [bi] ‘istri’
[bo] ‘bau busuk’
[dhā] ‘kata seru: baik, bagus’
[de] ‘oleh’
[du] ‘pojok’
[ge] ‘terburu-buru’
[go] ‘lembu’
[ho] ‘jernih’
[ka] ‘ke’
[lö] ‘tegang’
[na] ‘seperti’
[ni] ‘pertikel konektif’
[ri] ‘di’
[si] ‘si’
4. VK [ah] ‘kata seru’
[Ah] ‘suku kata suci’
[an] ‘pertikel konektif’
[aŋ] ‘pertikel penentu’

68 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


[Aŋ] ‘suku kata suci’
[ih] ‘kata seru’
[iŋ] ‘di’, ‘pada’
[uh] ‘kata seru’
[er] ‘air’
[oh] ‘kata seru’
5. [luy] ‘kembali’
KVA1/2K [way] ‘air’
6. [wway] ‘air’
KKVA1/2 [dway] ‘mundur’
K
7. KVK [baŋ] ‘merah’
[bāp] ‘penuh’
[bar] ‘tiba-tiba’
[bok] ‘onomatope (benda jatuh)’
[bong] ‘tak sudi’
[bor] ‘partikel deskriptif’
[bos] ‘suram’
[bot] ‘berat, gaya’
[bhūh] ‘bumi’
[bun] ‘embun’
[buŋ] ‘tunas bambu’
[bhūr] ‘bumi’
[cat] ‘cat’
[cĕb] ‘partikel deskriptif’
[cĕt] ‘sekejap’
[dan] ‘siap’
[don] ‘tuju’
[göŋ] ‘besar’
[höb] ‘sembunyi’
[hĕt] ‘sempit’
[jag] ‘dengan cepat’
[jöŋ] ‘kaki’
[kon] ‘suruh’
[luŋ] ‘tunas’
[mār] ‘lemah’
[nir] ‘tidak’
[ŋel] ‘lelah’
[ñĕp ] ‘dingin’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 69


[pöh] ‘perahan susu’
[sĕb] ‘asap’
[tan] ‘tidak’
[ton] ‘lihat’
[weh] ‘beri’
8. KKV [bhrā] ‘cahaya’
[bhrū] ‘alis’
[gro] ‘raung’
[hru] ‘anak panah’
[hwa] ‘hening’
[jro] ‘dalam’
[kre] ‘baju baja’
[lwā] ‘lebar’
[mpu] ‘yang mulia’
[nda] ‘pertikel deiktik: lihatlah’
[ndi] ‘di mana, yang mana’
[pra] ‘para’
[rwa] ‘dua’
[rwi] ‘duri’
[śrī] ‘makmur’
[sru] ‘cepat’
[twa] ‘uwak’
[wrā] ‘tergerai’
[wre] ‘kera’
[wri] ‘takut’
[ywa] ‘partikel penegas’
9. KKVK [brĕm] ‘berem’
[brĕk] ‘keroyok’
[bwat] ‘berat’
[byuh] ‘banyak’
[byut] ‘lebat’
[clor] ‘curang, palsu’
[dyun] ‘periuk’
[dyus] ‘mandi’
[grĕt] ‘kusut’
[grit] ‘decit’
[groŋ] ‘jurang’
[hraŋ] ‘gemuruh’
[hrih] ‘malu’
[jrih] ‘takut’

70 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


[jriŋ] ‘jenis pohon’
[jrit] ‘jerit’
[krap] ‘lari’
[krig] ‘muncul’
[krut] ‘keriput’
[lwir] ‘seperti’
[lyab] ‘penuh’
[lyud] ‘lumpur’
[lyus] ‘lentur’
[mwaŋ] ‘dan’
[mwah] ‘dan’
[ndan] ‘tetapi, kemudian’
[ŋgan] ‘seolah-olah’
[ŋhiŋ] ‘tetapi’
[prah] ‘kebiasaan’
[pras] ‘adopsi’
[prih] ‘usaha’
[ryak] ‘ombak’
[sraŋ] ‘tanding’
[srĕg] ‘dahsyat’
[srik] ‘semerbak’
[tyas] ‘hati’
[tyup] ‘tiup’
[wwaŋ] ‘manusia’
[wrin] ‘takut’
[wrih] ‘tahu’
10. KKKV [ndwa] ‘di mana, yang mana’
[strī] ‘istri’
11. [ŋgwan] ‘tempat’
KKKVK [kryak] ‘pertikel onomat’
[kryan] ‘bangsawan’
[kryaŋ] ‘gemerincing’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 71


Dalam penelitian ini ditemukan 11 (sebelas) jenis pola
persukuan atau pola kanonik yang membentuk kata dasar bahasa
Jawa Kuno yang tergolong ekasuku. Mardiwarsito dan Harimurti
Kridalaksana (1984) hanya menemukan 8 (delapan) macam pola
persukuan pada kata dasar bahasa Jawa Kuno yang tergolong
ekasuku.
Kata dasar bahasa Jawa Kuno yang terdiri atas dua suku
(dwisuku) memiliki pola-pola kanonik sebagai berikut.

Jumlah Suku Pola Persukuan Contoh


2 (dwisuku) 1. V+KV [e+wu] ‘seribu’
2. V+KVK [a+lap] ‘ambil’
3. V+KVA1/2K [a+puy] ‘api’
4. V+KKV [i+ccha] ‘hasrat’
5. VK+KV [ar+tha] ‘kekayaan’
6. VK+KKV [ir+ûya] ‘dengki’
7. VK+KVK [am+bêk] ‘pikiran’
8. VK+KKVK [am+pyal] ‘jnis bam-
bu’
9. KV+KV [ba+pa] ‘ayah’
10. KV+KVK [sa+hut] ‘gigit’
11. KV+KKV [tu+ccha] ‘kosong’
12. KVK+KV [mūr+kha] ‘kejam’
13. KVK+KVK [tuŋ+tuŋ] ‘ujung’
14. KVK+KVA1/2K [paó+ðay] ‘pande’
15. KVK+KKV [śās+tra] ‘ilmu penge-
tahuan’
16. KVK+KKVK [tam+pyak] ‘deburan’
17. KKV+KV [pra+bhū] ‘raja’
18. KKV+KVK [nda+tan] ‘sama seka-
li tidak’
19. KKV+KKV [wya+ghra] ‘macan’
20. KV+KKVK [ka+gyat] ‘kaget’
21. KV+KKKVK [ra+kryan] ‘tuan’
22. KKVK+KV [wyar+tha] ‘sia-sia’

72 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


Berdasarkan data pola persukuan atau pola kanonik di
atas, penelitian ini telah menemukan 22 (dua puluh dua) jenis pola
persukuan atau pola kanonik kata dasar bahasa Jawa Kuno yang
dibangun dua segmen suku kata (dwisuku). Sementara Mardiwarsito
dan Harimurti Kridalaksana (1984) hanya menemukan 16 (enam
belas) jenis pola persukuan pada kata dasar bahasa Jawa Kuno yang
terbangun atas dua suku kata (dwisuku).

Kata dasar bahasa Jawa Kuno dengan pola persukuan atau


pola kanonik terdiri atas tiga suku kata (trisuku) dapat disimak
sebagai berikut.

Jumlah Suku Pola Persukuan Contoh


3 (trisuku) 1. V+KV+KV [u+ru+ru] ‘memabukkan’
2. VK+KV+KV [ut+phu+la] ‘pucuk’
3. VK+KKV+KV [uj+jwa+la] ‘kilauan’
4. VK+KKVK+KV [an+tyan+ta] ‘luar biasa’
5. KV+KV+KV [sā+ga+ra] ‘samudera’
6. KV+KV+KVK [sa+ka+rĕŋ] ‘sebentar’
7. KV+KV+KVA1/2K [pa+lu+puy] ‘contoh’
8. KV+KV+KKVK [di+ŋa+ryan] ‘betapa luar
biasa’
9. KV+KVK+KV [ka+laŋ+ka] ‘noda’
10. KV+KVK+KVK [ta+luk+tak] ‘jenis kincir
air’
11. KV+KVK+KKV [ma+taŋ+nya] ‘karena itu’
12. KV+KKV+KV [bi+pra+ya] ‘maksud’
13. KVK+KVK+KV [mar+yan+ta] ‘batas’
14. KVK+KV+KVK [tam+bi+luŋ]‘wadah’
15. KVK+KV+KV [waŋ+ka+wa] ‘pelangi’
16. KVK+KV+KKV [sam+ba+ddha] ‘hubun-
gan’
17. KVK+KKV+KV [sam+bhra+ma] ‘sibuk’
18. KVK+KVK+KKV [sam+ban+ddha] ‘sebab’
19. KKV+KV+KV [pra+bhā+ta] ‘fajar’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 73


20. KKV+KV+KVK [pri+ha+wak] ‘sendiri’
21. KKV+KVK+KV [sphu+liŋ+ga] ‘percikan
api’
22. KKV+KVK+KVK [tri+wak+wak] ‘jenis bu-
rung’
23. KKV+KKVK+KV [pra+tyak+ûa] ‘jelas’
24. KKVK+KV+KV [brāh+ma+óa] ‘pertapa’
25. KKVK+KVK+KV [brāh+mok+ta] ‘ucapan’

Berdasarkan data di atas pola persukuan atau pola kanonik


pada kata dasar bahasa Jawa Kuno yang terdiri atas tiga suku
(trisuku) ditemukan sebanyak 25 (dua puluh lima) jenis pola
kanonik. Mardiwarsito dan Harimurti Kridalaksana (1984) hanya
menemukan 18 (delapan belas) jenis pola persukuan trisuku pada
kata dasar bahasa Jawa Kuno.

Pola persukuan atau pola kanonik kata dasar bahasa Jawa


Kuno yang terdiri atas empat suku (catursuku) dapat disimak sebagai
berikut.

Jumlah Suku Pola Persukuan Contoh


4 (catursuku) 1. V+KV+KV+KV [u+dā+sī+na] ‘netral’
2. V+KV+KKV+KV [a+nu+gra+ha] ‘an-
ugerah’
3. VK+KVK+KV+KV [an+tar+lī+na] ‘lenyap’
4. VK+KVK+V+KKV [an+tar+i+kûa] ‘langit’
5. KV+KV+KV+KV [tu+ha+ga+na] ‘tetap’
6. KV+KV+KVK+KV [pa+ri+pak+wa]
‘matang’
7. KV+KV+KKV+KV [pa+ri+gra+ha] ‘pem-
berian’
8. KV+KV+KVK+KKV [ma+hi+ran+dhra]
‘lubang tanah’
9. KV+KVK+V+KV [ka+tham+a+pi] ‘akan
tetapi’

74 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


10. KV+KVK+KV+KV [pu+nar+bha+wa] ‘la-
hir kembali’
11. KV+KV+KV+KVK [ta+la+pa+kan]
‘telapak kaki’
12. KV+KVK+KV+KVK [ta+lam+pa+kan]
‘telapak kaki’
13. KVK+KVK+KV+KV [dur+lak+ûa+óa] ‘mala
petaka’
14. KVK+KV+KV+KV [sam+bo+dha+na] ‘na-
sihat’
15. KVK+KKV+KKV+KV [paŋ+kti+kra+ma] ‘ter-
atur’
16. KKV+KVK+KV+KKV [prā+yaś+ci+tta] ‘to-
bat’
17. KKV+KV+KKV+KV [pra+ti+ûþhi+ta] ‘di-
tempatkan’
18. KKV+KV+KV+KV [pra+ni+dhā+na] ‘rin-
du’
19. KKV+KV+KKVK+KV [pra+ti+spar+dhi]
‘saingan’
20. KKV+KKV+KV+KV [pra+sta+ra+na] ‘kursi’
21. KKV+KKV+KVK+KV [pra+nni+keû+þa] ‘jenis
hiasan’

Berdasarkan data pola persukuan atau pola kanonik kata


dasar bahasa Jawa Kuno yang memiliki segmen empat suku kata
(catursuku) di atas dalam penelitian ini ditemukan 21 (dua puluh
satu) jenis pola persukuan. Mardiwarsito dan Harimurti Kridalaksana
(1984) hanya menemukan 7 (tujuh) jenis pola persukuan pada kata
dasar bahasa Jawa Kuno yang memiliki empat silaba (catursuku).

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 75


Penelitian ini juga telah menemukan kata dasar bahasa
Jawa Kuno yang memiliki pola persukuan terdiri atas lima silaba
(pancasuku) sebagai berikut.

Jumlah Pola Persukuan Contoh


Suku
5 (panca- 1. KV+KVK+KV+KV+KVK [ka+ram+ba+la+ngan]
suku) ‘jenis perhiasan’
2. KV+KV+KVK+KV+KVK [ka+ma+lan+ti+ngan]
‘jenis laba-laba’
3. KV+KV+KVK+KV+KV [ta+la+mas+ta+ka] ‘je-
nis pohon’
4. KV+KV+KV+KV+KV [pa+ri+po+ûi+ta] ‘tekun’
5. KV+KV+KKV+KV+KV [pa+ra+byā+pā+ra]
‘menganggu urusan
orang lain’
6. KKV+KVK+KV+KV+KV [ p r a + s u p + t a + p a + d a ]
‘tertidur lelap’

Kata dasar bahasa Jawa Kuno yang memiliki silaba lima


suku kata seperti tersebut di atas, tidak semata-mata merupakan
unsur serapan dari bahasa Sansekerta, melainkan juga merupakan
kata-kata asli Nusantara. Mardiwarsito dan Harimurti Kridalaksana
(1984) tidak ada menemukan kata dasar bahasa Jawa Kuno yang
memiliki silaba lima suku (pancasuku).

Ada pula kata dasar bahasa Jawa Kuno memiliki


segmen atau silaba terdiri atas delapan suku kata, yakni
[pa+ras+pa+ro+pa+sar+pa+na] ‘saling tolong menolong’
dengan pola kanonik KV+KVK+KV+KV+KV+KVK+KV+KV.
Zoetmulder dan S.O Robson (1982:1291) menyatakan bahwa
kata [parasparopasarpana] merupakan unsur serapan dari bahasa
Sansekerta.

76 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


BAB VI

PERUBAHAN BUNYI DALAM BAHASA JAWA KUNO

Bunyi-bunyi lingual condong berubah karena lingkungannya.


Perubahan bunyi lingual tersebut dapat berdampak pada dua
kemungkinan, yaitu perubahan fonetis dan perubahan fonemis.
Perubahan fonetis adalah apabila perubahan bunyi lingual itu tidak
sampai membedakan makna ataupun mengubah identitas fonem,
maka bunyi-bunyi tersebut masih merupakan alofon atau varian
bunyi dari fonem yang sama. Perubahan fonemis adalah perubahan
bunyi lingual yang telah menimbulkan perbedaan makna ataupun
mengubah identitas fonem sehingga bunyi-bunyi tersebut merupakan
alofon dari fonem yang berbeda. Jenis-jenis perubahan bunyi
tersebut berupa asimilasi, disimilasi, modifikasi vokal, netralisasi,
zeroisasi, metatesis, diftongisasi, monoftongisasi, dan anaptiksis
(Muslich, 2009:118). Namun, dalam analisis perubahan bunyi pada
bahasa Jawa Kuno pada penelitian ini meliputi asimilasi, disimilasi,
kaidah berurutan, penggabungan vokal (sandi), zeroisasi, anaptiksis,
metatesis, diftongisasi, dan monoftongisasi.

Asimilasi

Asimilasi ialah perubahan bunyi dari dua bunyi yang tidak


sama menjadi bunyi yang sama atau hampir sama. Asimilasi terjadi
karena bunyi-bunyi bahasa itu diucapkan secara berurutan sehingga
berpotensi untuk saling memengaruhi dan dipengaruhi (Muslich,
2009:118). Schane (dalam Pastika, 2005:20) mengatakan bahwa
asimilasi sebagai proses fonologi merupakan suatu ruas menerima
ciri-ciri dari suatu ruas yang berdekatan. Asimilasi dibedakan atas
empat macam, yaitu (i) konsonan mengasimilasi ciri-ciri vokal; (ii)
vokal mengasimilasi ciri-ciri konsonan; (iii) konsonan mengasimilasi
ciri-ciri konsonan; dan (iv) vokal mengasimilasi ciri-ciri vokal.

Keberadaan bahasa Jawa Kuno yang hanya diwarisi hingga


kini melalui tradisi tulis (pernaskahan), menyulitkan kita untuk
menganalisis asimilasi fonetis secara tepat. Bahasa Jawa Kuno saat
ini tidak lagi memiliki penutur asli yang memang dapat dipastikan
FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 77
kebenaran fonetisnya. Lagipula, fonem-fonem yang biasanya
diklaim sebagai lingkup alofon dari fonem yang sama, baik dalam
posisi sonoran maupun posisi koda, justru dalam bahasa Jawa Kuno
akan menjadi fonem yang berbeda. Misalnya, bunyi nasal pada kata
tentang dan tendang dalam bahasa Indonesia. Bunyi nasal pada
tentang diucapkan apiko-dental karena bunyi yang mengikutinya,
yaitu [t] juga apiko-dental. Bunyi nasal pada tendang diucapkan
apiko-alveolar karena bunyi yang mengikutinya, yaitu [ð] juga
apiko-alveolar (Muslich, 2009: 120). Perubahan bunyi semacam
itu sulit diidentifikasi dalam bahasa Jawa Kuno karena kita tidak
dapat memastikan bagaimana suatu kata diucapkan oleh penutur
asli bahasa Jawa Kuno. Sebagai contoh kata aóða ‘telur, tangga,
ombak’;andha ‘buta, gelap’; andaka ‘nama gajah, sapi jantan, mati’;
andhaka ‘nama suku’, aóðêg ‘henti’;aóðêk ‘henti, duduk’;aóðêh
‘tekan’;andêl ‘tetap’;aóðêm ‘jatuh’;andoŋ ‘jenis tanaman hias’;
andul ‘jenis tanaman hias’. Perubahan bunyi nasal pada kata-kata
tersebut lebih dikenal sebagai asimilasi fonemis daripada asimilasi
fonetis. Karena itu, pembahasan asimilasi bunyi bahasa Jawa Kuno
dalam penelitian ini lebih pada asimilasi fonemis.

Asimilasi fonemis pada bahasa Jawa Kuno tampak jelas


terlihat pada asimilasi Nasal (anuswara) sebagai bentuk konsonan
mengasimilasi ciri-ciri konsonan. Prefiks N- (aN-, maN-, paN-)
selalu berasimilasi dengan bunyi obstruen yang mengikutinya. Hal
ini dapat dilihat sebagai berikut.

1) /aN-+babar/ [amabar], [ambabar] ‘membeberkan’

2) /maN-+babar/ [mamabar], [mambabar] ‘membeberkan’

3) /paN-+babar/ [pamabar], [pambabar] ‘pembeber’

4) /aN-+bhakûa/ [amakûa], [ambhakûa] ‘memakan’

5) /maN-+bhakûa/ [mamakûa], [mambhakûa] ‘memakan’

6) /paN-+bhakûa/ [pamakûa], [pambhakûa] ‘pemakan’

7) /aN-+cumbana/ [añumbana] ‘mencium’


78 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO
8) /maN-+cumbana/[mañumbana] ‘mencium’

9) /paN-+cumbana/ [pañumbana] ‘pencium’

10) /aN-+dadi/ [andadi], [aŋdadi] ‘menjadi’

11) /maN-+dadi/ [mandadi], [maŋdadi] ‘menjadi’

12) /paN-+dadi/ [pandadi], [paŋdadi] ‘penjelma’

13) /aN-+dhana/ [andhana], [aŋdhana] ‘memberi dana’

14) /maN-+dhana/ [mandhana], [maŋdhana] ‘memberi dana’

15) /paN-+dhana/ [pandhana], [paŋdhana] ‘pemberian dana’

16) /aN-+grĕk/ [aŋgrĕk] ‘mendorong’

17) /maN-+grĕk/ [maŋgrĕk] ‘mendorong’

18) /paN-+grĕk/ [paŋgrĕk] ‘pendorong’

19) /aN-+hulu/ [aŋhulu] ‘menghulu’

20) /maN-+hulu/ [maŋhulu] ‘menghulu’

21) /paN-+hulu/ [paŋhulu] ‘penghulu’

22) /aN-+jĕnĕŋ/ [añjĕnĕŋ], [aŋjĕnĕŋ] ‘berhenti’

23) /maN-+jĕnĕŋ/ [mañjĕnĕŋ], [maŋjĕnĕŋ] ‘berhenti’

24) /paN+jĕnĕŋ/ [pañjĕnĕŋ], [paŋjĕnĕŋ] ‘perhentian’

25) /aN-+kol/ [anol] ‘memeluk’

26) /maN-+kol/ [manol] ‘memeluk’

27) /paN-+kol/ [panol] ‘pemeluk’

28) /aN-+lurug/ [aŋlurug] ‘menyerang’

29) /maN-+lurug/ [maŋlurug] ‘menyerang’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 79


30) /paN-+lurug/ [paŋlurug] ‘penyerang’

31) /aN-+panah/ [amanah] ‘memanah’

32) /maN-+panah/ [mamanah] ‘memanah’

33) /paN-+panah/ [pamanah] ‘yang dipakai memanah’

34) /aN-rasa/ [aŋrasa] ‘merasa’

35) /maN-+rasa/ [maŋrasa] ‘merasa’

36) /paN-+rasa/ [paŋrasa] ‘perasa’

37) /aN-+sabraŋ/ [anabraŋ] ‘menyeberang’

38) /maN-+sabraŋ/ [manabraŋ] ‘menyeberang’

39) /paN-+sabraŋ/ [panabraŋ] ‘penyeberang’

40) /aN-+śabda/ [anabda] ‘bersuara’

41) /maN-+śabda/ [manabda] ‘bersuara’

42) /paN-+śabda/ [panabda] ‘penyuara’

43) /aN-+ton/ [anon] ‘melihat’

44) /maN-+ton/ [manon] ‘melihat’

45) /paN-+ton/ [panon] ‘pelihat’

46) /aN-+wawa/ [amawa] ‘membawa’

47) /maN-+wawa/ [mamawa] ‘membawa’

48) /paN-+wawa/ [pamawa] ‘pembawa’

49) /aN-+yogya/ [aŋyogya] ‘membenarkan’

50) /maN-+yogya/ [maŋogya] ‘membenarkan’

51) /paN-+yogya/ [paŋyogya] ‘pembenaran’

80 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


52) /aN-+aran/ [aŋaran] ‘bernama’

53) maN-+aran/ [maŋaran] ‘bernama’

54) /paN-+aran/ [paŋaran] ‘yang bernama’

55) /aN-+ādi/ [aŋādi] ‘menjadi yang pertama’

56) /maN-+ādi/ [maŋādi] ‘menjadi yang pertama’

57) /paN-+ādi/ [paŋādi] ‘penjadi pertama’

58) /aN-+inum/ [aŋinum] ‘meminum’

59) /maN-+inum/ [maŋinum] ‘meminum’

60) /paN-+inum/ [paŋinum] ‘yang meminum’

61) /aN-+īśitwa/ [aŋīśitwa] ‘mengungguli’

62) /maN-+īśitwa/ [maŋīśitwa] ‘mengungguli’

63) /paN-+īśitwa/ [paŋīśitwa] ‘yang mengungguli’

64) /aN-+ěluk/ [aŋěluk] ‘membengkok’

65) /maN-+ěluk/ [maŋěluk] ‘membengkok’

66) /paN-+ěluk/ [paŋěluk] ‘pembengkok’

67) /aN-+öd/ [aŋöd] ‘memendek’

68) /maN-+öd/ [maŋöd] ‘memendek’

69) /paN-+öd/ [paŋöd] ‘yang memendek’

70) /aN-+egar/ [aŋegar] ‘menghibur’

71) /maN-+egar/ [maŋegar] ‘menghibur’

72) /paN-+egar/ [paŋegar] ‘penghibur’

73) /aN-+upāya/ [aŋupāya] ‘berupaya’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 81


74) /maN-+upāya/ [maŋupāya] ‘berupaya’

75) /paN-+upāya/ [paŋupāya] ‘pengupaya’

76) /aN-+ūha/ [aŋūha] ‘memikir’

77) /maN-+ūha/ [maŋūha] ‘memikir’

78) /paN-+ūha/ [paŋūha] ‘pemikiran’

79) /aN-+oûadha/ [aŋoûadha] ‘mengobati’

80) /MaN-+oûadha/ [maŋoûadha] ‘mengobati’

81) /paN-+oûadha/ [paŋoûadha] ‘pengobatan’

Data di atas menunjukkan bahwa asimilasi prefiks N- (aN-, maN-


, paN-) mengalami dua proses fonologi, yaitu (1) prefiks N- (aN-
, maN-, paN-) mengasimilasi bunyi obstruen yang mengikutinya
(lihat data 1—53); dan (2) bunyi obstruen itu akan dilesapkan setelah
asimilasi terjadi. Prefiks N- /ŋ-/ akan tetap /ŋ-/ jika dibubuhkan pada
morfem pangkal yang dimulai dengan vokal apapun (lihat data 52—
81). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa asimilasi nasal /ŋ-/
tersebut merupakan asimilasi wajib.

Disimilasi

Disimilasi ialah perubahan bunyi dari dua bunyi yang sama


atau mirip menjadi bunyi yang tidak sama atau berbeda (Muslich,
2009:120). Disimilasi pada bahasa Jawa Kuno dapat terjadi pada
vokal dan konsonan.

Disimilasi vokal dalam bahasa Jawa Kuno ditunjukkan pada data


sebagai berikut.

1) /ubat+ubat/ [ubat abit] ‘memukul-mukul’

2) /ulad+ulad/ [ulad alid] ‘berubah-ubah’

3) /ugal+ugal/ [ugal agil] ‘bergoyang-goyang’

82 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


4) /ular+ular/ [ular alir] ‘bergerak kian ke mari’

5) /urah+urah/ [urah arih] ‘bergerak terus menerus’

6) /umak+umak/ [umak amik] ‘komat-kamit’

7) /uwad+uwad/ [uwad awid] ‘tarik menarik’

8) /kitip+kitip/ [katap kitip] ‘gerak-gerik’

Data 1—7) di atas menunjukkan bahwa /a/ pada suku terakhir atau
pasangan /a/-/a/ berubah menjadi [i] pada bentuk pengulangannya.
/u/ pada suku awal atau pasangan /u/-u/ berubah menjadi [a] pada
bentuk pengulangannya. Data 8) menunjukkan bahwa /i/, baik pada
suku kata awal maupun pada suku kata terakhir berubah menjadi [a].

Disimilasi konsonan pada bahasa Jawa Kuno dapat dijelaskan


sebagai berikut.

a) /nir+tåûóa/ [niståûóa] ‘tanpa cinta’

b) /nir+þhura/ [niûþhura] ‘tanpa kasih sayang’

c) /nir+śaraóa/ [niśśaraóa] ‘tanpa pertolongan’

Data di atas menunjukkan bahwa: (1) bunyi /r/ pada ruas atau
suku kata pertama ataupun pasangan /r/-/r/ berubah menjadi [s, û,
ś]; (2) perubahan /r/ disesuaikan dengan konsonan homorgan yang
mengikutinya; dan (3) perubahan tersebut menembus batas fonem,
yakni [r] merupakan alofon dari fonem /r/, [s] adalah alofon dari
fonem /s/, [û] alofon adalah dari fonem /û/, dan [ś] merupakan alofon
dari fonem /ś/, sehingga disebut disimilasi fonemis.

Kaidah Berurutan

Kaidah berurutan merupakan salah satu dari empat jenis


kaidah fonologi selain kaidah-kaidah yang mengubah ciri, kaidah
pelesapan dan penyisipan; serta kaidah yang menggunakan variabel
(Schane dalam Pastika, 2005:21). Jika ruas-ruas mengalami
perubahan, ada tiga hal yang perlu diketahui, yaitu (i) ruas-ruas

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 83


mana yang berubah; (ii) bagaimana ruas-ruas itu berubah; dan (iii)
dalam keadaan bagaimana ruas-ruas itu berubah.

Kaidah berurutan di dalam bahasa Jawa Kuno dapat dilihat


sebagai berikut.

(a) /dur+śasana/ [duśśasana] ‘tidak beretika’

(b) /nir+kala/ [niûkala] ‘tidak terbagi’

(c) /nir+cala/ [niścala] ‘tidak bergerak’

(d) /nir+priya/ [niûpriya] ‘tidak menyenangkan’

(e) /nir+sahāya/ [nissahāya] ‘tanpa kawan’

(f) /nir+teja/ [nisteja] ‘tidak bersinar’

Data (a—f) di atas menyatakan bahwa ruas atau prefiks /


dur-/ berubah menjadi [duś], dan /nir-/ berubah menjadi [niû], [niś],
[nis]. Perubahan tersebut terjadi karena penyesuaian dengan bunyi
homorgan yang mengikutinya. Perubahan prefiks /dur-/ dan /nir-/
tersebut merupakan kaidah berturutan wajib.

Kaidah berurutan lainnya dalam bahasa Jawa Kuno juga


dapat disimak sebagai berikut.

(i) /bapa+ku/ [bapaŋku] ‘ayahku’

(ii) /ari+ku/ [ariŋku] ‘adikku

(iii) /ibu+ku/ [ibuŋku] ‘ibuku’

(iv) /bapa+ta/ [bapanta] ‘ayahmu’

(v) /ari+ta/ [arinta] ‘adikmu’

(vi) /ibu+ta/ [ibunta] ‘ibumu’

(vii) /anak+ku/ [anakku] ‘anakku’

(viii) /anak+ta/ [anakta] ‘anakmu’


84 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO
(ix) /panah+ta/ [panahta] ‘panahmu’

(x) /ujar+ta/ [ujarta] ‘katamu’

Data (i—x) di atas menyatakan bahwa: (1) pronomina pertama


posesif /-ku/ dan pronomina kedua posesif /-ta/ jika bergabung
dengan morfem asal pangkal berakhir dengan vokal ataupun koda
dapat terjadi kaidah berurutan fonologis berupa penambahan bunyi
nasal /ŋ/ dan /n/; (2) bunyi nasal /ŋ/ tetap [ŋ] karena homorgan
dengan bunyi /k/ dan nasal /ŋ/ menjadi /n/ menyesuaikan dengan
bunyi /t/ homorgan; (3) pronomina pertama posesif (-ku) dan
pronomina kedua posesif (-ta) akan tetap jika melekat pada morfem
asal pangkal berakhir konsonan atau sonoran; (4) kaidah berurutan
tersebut menjadi wajib; dan (5) perubahan bunyi pada data (i—x)
merupakan kaidah berurutan katagori asimilasi fonemis karena telah
melampui batas fonem, yakni /a/ merupakan alofon dari fonem [a],
/i/ alofon dari fonem [i], /u/ alofon dari fonem [u], /k/ alofon dari
fonem [k], /r/ alofon dari fonem [r], dan /h/ alofon dari fonem [h].

Kaidah berurutan pada bahasa Jawa Kuno juga ditemukan


dalam frase bilangan sebagai berikut.

a) /rwa+puluh/ [rwaŋ puluh] ‘dua puluh’

b) /tĕlu+puluh/ [tĕluŋ puluh] ‘tiga puluh’

c) /tĕlu+tahun/ [tĕluŋ tahun] ‘tiga tahun’

d) /lima+iwu/ [limaŋ iwu] ‘lima ribu’

e) /saŋa+atus/ [saŋaŋ atus] ‘sembilan ratus’

f) /pat+puluh/ [pataŋ puluh] ‘empat puluh]

g) /nĕm+puluh/ [nĕmaŋ puluh] ‘nem puluh’

h) /pat+wĕngi/ [pataŋ wĕngi] ‘empat malam’

Data a—h) di atas menyatakan bahwa: (i) kata bilangan


pertama (induk) yang berakhir dengan vokal (koda) akan mendapat

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 85


penambahan [ŋ] setelah vokal akhir, jika diikuti oleh kata bilangan
kedua (modifikator) dalam frase bilangan; (ii) kata bilangan pertama
(induk) yang berakhir dengan konsonan (sonoran) akan mendapat
penambahan [aŋ] setelah konsonan akhir, jika diikuti oleh kata
bilangan kedua (modifikator) dalam frase bilangan bahasa Jawa
Kuno; (iii) kaidah berurutan tersebut bersifat wajib; dan (iv) kaidah
fonologi pada frase bilangan tersebut merupakan asimilasi fonemis
karena telah melampaui batas fonem.

Penggabungan vokal (Sandi)

Penggabungan vokal bersama-sama kaidah berurutan


merupakan salah satu dari kaidah fonologi selain kaidah-kaidah
yang mengubah ciri, kaidah pelesapan dan penyisipan; serta kaidah
yang menggunakan variabel (Schane dalam Pastika, 2005:21).
Dalam bahasa Jawa Kuno, kaidah penggabungan vokal dinamakan
sandhi. Zoetmulder (1995: 1012) mengatakan bahwa sandhi
adalah hubungan efonik bunyi-bunyi. Mardiwarsito dan Harimurti
Kridalaksana (1984:37) mengatakan sandi adalah hasil luluhan dua
vokal.

Kaidah penggabungan vokal (sandi) dalam bahasa Jawa


Kuno dibedakan atas dua jenis, yaitu:

(1) sandi dalam, yakni penggabungan vokal yang terjadi di


dalam morfem asal pangkal atau kata dasar.

Misalnya:

/ma+aran/ [mȃran] ‘bernama’

/a+iraŋ/ [eraŋ] ‘malu’

/sa+umah/ [somah] ‘suami/istri’

/rĕŋö+ĕn/ [rĕŋön] ‘dengarkan’

/mari+an/ [maren] ‘henti’


86 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO
(2) sandi luar, yakni penggabungan vokal yang terjadi di
luar morfem asal pangkal.

Misalnya:

/māsa+abda/ [māsȃbda] ‘masa tahun’

/nara+indra/ [narendra] ‘raja’.

/wrĕka+udara/ [wrĕkodara] ‘nama Bhima’

/muni+indra/ [munȋndra] ‘pendeta agung’

/tuhu+uttama/ [tuhûttama] ‘sungguh mulia’

Kaidah penggabungan vokal (sandi) pada bahasa Jawa Kuno


dapat dijelaskan lebih jauh sebagai berikut.

1) /a+a/ [ȃ] /bapa+anak/ [bapȃnak] ‘ayah anak’

2) /a+ā/ [ȃ] /ma+ābhā/ [mȃbhā] ‘bersinar’

3) /ā+a/ [ȃ] /bhrā+abaŋ/ [bhrȃbaŋ] ‘bersinar merah’

4) /ā+ā/ [ȃ] /mahā+ādi/ [mahȃdi] ‘maha utama’

5) /a+i/ [e] /ŋka+i/ [ŋke] ‘di sana di’

6) /a+ī/ [e] /nara+īśwara/ [nareśwara] ‘raja’

7) /ā+i/ [e] /mahā+iûudhi/ [maheûudhi] ‘tempat anak pa


nah yang besar’

8) /ā+ī/ [e] /mahā+īśwara/ [maheśwara] ‘raja besar’

9) /a+u/ [o] /ma+ulah/ [molah] ‘bergerak’

10) /a+ū/ [o] /jana+ūna/ [janona] ‘orang bacal’

11) /i+i/ [ȋ] /kapi+indra/ [kapȋndra] ‘raja kera’

12) /i+ī/ [ȋ] /ādi+īśa/ [ādȋśa] ‘penguasa utama’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 87


13) /ī+i/ [ȋ] /śrī+indra/ [śrȋndra] ‘raja yang mulia’

14) /ī+ī/ [ȋ] /nārī+īśwarī/ [nārȋśwarī] ‘ratu’

15) /u+u/ [û] /sādhu+uttama/ [sādhûttama] ‘bijak dan mulia’

16) /u+ū/ [û] /ranu+ūta/ [ranûta] ‘danau yang san


gat dalam’

17) /ū+u/ [û] /birū+urub/ [birûrub] ‘bercahaya keb


iruan’

18) /ū+ū/ [û] /birū+ūróā/ [birûróā] ‘permata biru’

Data 1—18) di atas menyatakan bahwa: (i) vokal /a/ dan /ā/
jika bergabung dengan vokal /a/ dan /ā/ akan berubah menjadi [ȃ];
(ii) vokal /a/ dan /ā/ jika bergabung dengan vokal /i/ atau /ī/ akan
berubah menjadi [e]; (iii) vokal /a/ dan /ā/ jika bergabung dengan
vokal /u/ atau /ū/ akan berubah menjadi [o]; (iv) vokal /i/ dan /ī/
jika bergabung dengan vokal /i/ atau /ī/ akan berubah menjadi [ȋ];
(v) vokal /u/ dan /ū/ jika bergabung dengan vokal /u/ atau /ū/ akan
berubah menjadi [û]; (vi) dalam penggabungan tersebut vokal /a,
ā, i, ī, u, ū/ mengalami pelesapan; (vii) penggabungan vokal dalam
bahasa Jawa Kuno merupakan kaidah besar karena penggabungan
vokal tersebut terjadi dalam banyak kata dan kelompok kata; (viii)
penggabungan vokal tersebut merupakan kaidah wajib.

Ada pula penggabungan vokal (sandi) dalam bahasa Jawa


Kuno menimbulkan perubahan dan pelesapan dari salah satu vokal
yang bergabung, sebagai berikut.

(1) /i+a/ [ya] /kadi+a/ [kadya] ‘seperti’

(2) /i+ā/ [yā] /ri+ādikāla/ [ryādikāla/ ‘pada zaman


purba’

(3) /ī+a/ [ya] /śrī+adhipati/ [śryadhipati] ‘tuan raja yang


mulia’

88 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


(4) /ī+ā/ [yā] /śrī+ādikāwi/ [śryādikāwi] ‘pujangga
yang terkemuka’

(5) /i+u/ [yu] /ri+uri/ [ryuri] ‘di belakang’

(6) /i+ū/ [yū] /jaladhi+ūta/ [jaladhyūta] ‘lautan dalam’

(7) /ī+ū/ [yū] /strī+ūrdha/ [stryūrdha] ‘wanita


unggul’

(8) /i+e/ [ye] /ri+eñjiŋ/ [ryeñjiŋ] ‘pada pagi hari’

(9) /ī+e/ [ye] /nārī+eka/ [nāryeka] ‘wanita


tunggal’

(10) /i+o/ [yo] /mari+ombak/ [maryombak] ‘berhenti


berombak’

(11) /ī+o/ [yo] /dewī+oûadhi/ [dewyoûadhi] ‘dewi obat’

(12) /u+a/ [wa] /tuhu+aji/ [tuhwaji] ‘raja sejati’

(13) /u+ā/ [wā] /guru+ājñā/ [gurwājñā] ‘perintah guru’

(14) /ū+a/ [wa] /daŋū+alaŋghya/ [daŋwalaŋghya] ‘dulu tak


terkalahkan’

(15) /ū+ā/ [wā] /dudū+ālekhana/ [dudwālekhana] ‘bukan


lukisan’

(16) /u+i/ [wi] /ibu+iŋsun/ [ibwiŋsun] ‘ibuku’

(17) /u+ī/ [wī] /wadhu+īrûya/ [wadhwīrûya] ‘wanita


suka iri hati’

(18) /ū+i/ [wi] /lampū+isun/ [lampwisun] ‘menyerahkan


diriku’

(19) /ū+ī/ [wī] /lĕbū+īśwara/ [lĕbwīśwara] ‘debu kaki raja’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 89


(20) /u+e/ [we] /laku+eñjiŋ/ [lakweñjiŋ] ‘berjalan
pagi-pagi’

(21) /ū+e/ [we] /dudū+esuk/ [dudwesuk] ‘bukan besok’

(22) /ö+a/ [wa] /rĕngö+akĕn/ [rĕngwakĕn] ‘dengarkan’

(23) /ö+i/ [wi] /lĕbö+iŋsun/ [lĕbwiŋsun] ‘keinginanku’

(24) /e+a/ [aya] /gawe+akĕn/ [gawayakĕn] ‘membuatkan’

(25) /e+i/ [ayi] /gawe+inak/ [gawayinak] ‘membuat enak’

(26) /e+u/ [ayu] /gawe+ulah/ [gawayulah] ‘membuat


ulah’

(27) /e+o/ [ayo] /gawe+oûadhi/ [gawayoûadhi] ‘membuat


obat’

(28) /a+ĕ/ [a] /wawa+ĕn/ [wawan] ‘agar dibawa’

(29) /ā+ĕ/ [ā] /lĕbā+ĕn/ [lĕbān] ‘agar


dilapangkan’

(30) /i+ĕ/ [i] /wri+ĕn/ [wrin] ‘ditakuti’

(31) /ī+ĕ/ [ī] /hilī+ĕn/ [hilīn] ‘dialirkan’


(32) /u+ĕ/ [u] /tuhu+ĕn/ [tuhun] ‘benar-benar’

(33) /ū+ĕ/ [ū] /dudū+ĕn/ [dudūn] ‘bukanlah’

(34) /e+ĕ/ [e] /gawe+ĕn/ [gawen] ‘kerjakanlah’

(35) /ö+ĕ/ [ö] /rĕŋö+ĕn/ [rĕŋön] ‘dengarkanlah’

Data (1—35) di atas menyatakan bahwa: (a) vokal /i/ dan


/ī/ jika mengalami penggabungan (sandi) dengan vokal /a, ā, u, ū,
e, o/ akan berubah menjadi [y] danvokal yang diajak bergabung
tidak mengalami pelesapan; (b) vokal /u/ dan /ū/ jika mengalami
penggabungan (sandi) dengan /a, ā, i, ī, e, o/ akan berubah menjadi
[w] danvokal yang diajak bergabung tidak mengalami pelesapan; (c)
90 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO
vokal /ö/ jika mengalami penggabungan dengan vokal /a, ā, i, ī, u,
ū, e, o/ akan berubah menjadi [w] danvokal yang diajak bergabung
tidak mengalami pelesapan; (d) vokal /e/ jika bergabung dengan
vokal /a, ā, i, ī, u, ū, o/akan berubah menjadi [ay]danvokal yang
diajak bergabung tidak mengalami pelesapan; (e) vokal /ĕ/ pada
prefiks /-ĕn/ jika mengalami penggabungan dengan vokal /a, ā, i, ī,
u, ū, e, o, ö/ di akhir morfem asal pangkal akan mengalami pelesapan
yang mungkin disebabkan vokal /ĕ/ tergolong vokal lemah. Pastika
(2005:88) mengatakan bahwa ciri ketidaktegangan yang dimiliki
vokal /ĕ/ mengakibatkan vokal /ĕ/ sering dilesapkan pada lingkungan
tertentu.

Zeroisasi

Zeroisasi adalah penghilangan fonemis sebagai akibat upaya


penghematan atau ekonomisasi pengucapan (Muslich, 2009:123).
Zeroisasi biasa terjadi pada penuturan bahasa-bahasa di dunia,
termasuk bahasa Jawa Kuno.

Zeroisasi yang ditemukan dalam Bahasa Jawa Kuno meliputi


tiga jenis sebagai berikut.

(1) Aferesis ialah proses penghilangan atau penanggalan satu


atau lebih fonem pada awal kata dasar.

Misalnya:

/abhyāsā/ [bhyās] ‘kebiasaan’

/ālocita/ [locita] ‘pertimbangan’

/māśa/ [āśā] ‘putus asa’

/asih/ [sih] ‘kasih sayang’

/bobotoh/ [botoh] ‘penjudi’

/adan/ [dan] ‘siap’

/hade/ [ade] ‘lain’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 91


/haðêp/ [aðêp] ‘hadap’

/hyas/ [yas] ‘hias’

/hyaŋ/ [yaŋ] ‘dewa’

/ksetra/ [setra] ‘kuburan’

/lalasta/ [lasta] ‘pinggir sungai’

/lulumut/ [lumut] ‘lumut’

/ndamah/ [mah] ‘ayo’

/hêmas/ [mas] ‘emas’

/êmbên/ [mbên] ‘besok’

/ndak/ [dak] ‘partikel deiktik,


lihatlah’

/aŋgān/ [gān] ‘tampak’

/hrêguŋ/ [rêguŋ] ‘deru’

/saŋaskāra/ [askāra] ‘penyucian’

/asiŋ/ [siŋ] ‘apapun’

/tapsara/ [apsara] ‘bidadara’

/tatan/ [tan] ‘tidak’

/wuwus/ [uwus] ‘kata-kata’

/wuyuŋ/ [uyuŋ] ‘marah’

/wwaya/ [waya] ‘ada’

/wwit/ [wit] ‘asal-usul’

/wway/ [way] ‘air’

92 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


(2) Sinkop ialah proses penghilangan atau penanggalan satu atau
lebih fonem di tengah kata dasar.

Misalnya:

/āyuûya/ [āyuûa] ‘hidup’

/bandyaga/ [bandaga] ‘pedagang’

/brahmahatya/ [brahmātya] ‘membunuh (pendeta)’

/caóþaka/ [caþaka] ‘sombong’

/caŋwli/ [cawli] ‘kain kasa’

/daŋhan/ [daŋan] ‘busur’

/daraway/ [draway] ‘alir’

/gambhìra/ [gabhìra] ‘luas’

/icchā/ [ica] ‘hasrat’

/jiriŋ/ [jriŋ] ‘tajam’

/kamaŋkara/ [kamakara] ‘lupa diri’

/karamayan/ [karamyan] ‘jenis tanaman melata’

/karêyah/ [krêyah] ‘kera’

/kisyapum/ [kisapum] ‘pangkuan’

/laŋghyana/ [laŋghana] ‘durhaka’

/laŋwi/ [laŋi] ‘renang’

/mahāyati/ [mayati] ‘pendeta’

/mahottama/ [mottama] ‘paling utama’

/majyum/ [majum] ‘obat tidur’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 93


/marakata/ [markata] ‘zambrud’

/maranyan/ [marayn] ‘supaya’

/nalaŋsa/ [nalasa] ‘kesal’

/palestra/ [palatra] ‘mati’

/saŋskāra/ [saskāra] ‘pelantikan’

/taŋkis/ [takis] ‘tangkis’

/utpêtti/ [upêti] ‘lahir’

(3) Apokop ialah proses penghilangan atau penanggalan satu


atau lebih fonem di akhir kata dasar.

Misalnya:

/apuh/ [apu] ‘kapur’

/bhuwah/ [bhuwa] ‘langit’

/dhanuh/ [dhanu] ‘busur’

/gajah/ [gaja] ‘gajah’

/goh/ [go] ‘lembu’

/pitarah/ [pitara] ‘nenek moyang’

/ratih/ [rati] ‘kesenangan’

/riŋih/ [riŋi] ‘tajam’

/tuŋleh/ [tuŋle] ‘nama hari’

/wibhuh/ [wibhu] ‘kuasa’

/wuh/ [wù] ‘teriak’

94 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


Zeroisasi yang terjadi pada bahasa Jawa Kuno, baik dalam
bentuk aferesis, sinkop, maupun apokop tidak hanya disebabkan
penghematan demi memudahkan dalam pengucapan sebagaimana
terjadi pada bahasa-bahasa di dunia, melainkan juga untuk memenuhi
kaidah metrum, terutama dalam sastra kakawin yang bahasanya
diikat oleh jumlah suku kata dalam satu baris (wrětta) dan komposisi
suku kata panjang (guru) dan suku kata pendek (laghu) dalam satu
baris (mātra).

Anaptiksis

Anaptiksis atau suara bakti adalah perubahan bunyi dengan


jalan menambahkan bunyi vokal tertentu di antara dua konsonan
untuk memperlancar ucapan. Bunyi yang biasa ditambahkan adalah
bunyi vokal lemah. Dalam bahasa Indonesia, penambahan bunyi
vokal lemah biasanya terdapat dalam kluster (Muslich, 2009:126).
Namun, dalam bahasa Jawa Kuno, bentuk anaptiksis tidak hanya
berupa penambahan vokal di antara dua konsonan, melainkan
konsonan bahkan suku kata, baik untuk memperlancar ucapan
maupun memenuhi kaidah metrum, terutama dalam sastra kakawin.
Anaptiksis ada tiga jenis, yaitu:
1) Protesis, yakni proses penambahan atau pembubuhan bunyi
pada awal kata dasar atau morfem pangkal asal.
Misalnya:
/wasāna/ [awasāna] ‘kesimpulan’
/wasthā/ [awasthā] ‘keadaan’
/gělö/ [gěgělö] ‘kejam’
/balaŋ/ [habalaŋ] ‘lempar’
/kêóþa/ [kêkêóþa] ‘tepi’
/pu/ [mpu] ‘tuan, pendeta’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 95


/beñjiŋ/ [mbeñjiŋ] ‘besok’
/besuk/ [mbesuk] ‘besok’
/lumut/ [lulumut] ‘lumut’
/mas/ [hêmas] ‘emas’
/dak/ [ndak] ‘hendak’
/ŋoŋ/ [iŋoŋ] ‘aku’
/pêcut/ [pêpêcut] ‘cambuk’
/pêlik/ [pêpêlik] ‘jenis hiasan’
/rata/ [rarata] ‘rata’
/tuŋge/ [tutuŋge] ‘musik’
/watara/ [sawatara] ‘kira-kira’
/wyati/ [awyati] ‘langit’

/kamantyan/ [sakamantyan] ‘lalu’

2) Epentesis ialah proses penambahan atau pembubuhan bunyi


di tengah kata dasar atau morfem asal pangkal.

Misalnya:

/grêbêg/ [gêrêbêg] ‘gemuruh’

/griŋ/ [gêriŋ] ‘sakit’

/jriŋ/ [jiriŋ] ‘runcing’

/krêcêk/ [kêrêcêk] ‘gising’

/krêðap/ [kêrêðap] ‘kedip’

/krêŋês/ [kêrêŋês] ‘gilas’

/klêwuŋ/ [kêlêwuŋ] ‘cekung’

96 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


/marayan/ [maranyan] ‘agar’

/mêtah/ [mêntah] ‘mentah’

/mêta/ [mêtta] ‘mabuk’

/nalasa/ [nalaŋsa] ‘sedih’

/naŋiŋ/ [naŋhiŋ] ‘tetapi’

/ŋlih/ [ŋělih] ‘lemas’

/nåśaŋsa/ [nåśaŋsya] ‘lalim’

/palatra/ [palastra] ‘mati’

/pacatanda/ [pañcatanda] ‘pejabat tinggi’

/pajut/ [pañjut] ‘lampu’

/parokûa/ [parokûya] ‘sembunyi’

/patola/ [patawala] ‘kain cita’

/patra/ [pattra] ‘daun’

/pramata/ [paramata] ‘permata’

/puca/ [puccha] ‘lalai’

/sênaddha/ [sênnaddha] ‘siap’

/siŋit/ [siŋhit] ‘mirip’

/sipiŋ/ [simpiŋ] ‘jenis kerang’

/swah/ [suwah] ‘jiwa’

/tapak/ [tampak] ‘jejak’

/tan/ [taman] ‘tidak’

/tan/ [tapwan] ‘tidak’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 97


/tuŋa/ [tuŋha] ‘pinggir’

/udaraga/ [udayaraga] ‘jenis kain’

/yan/ [yapwan] ‘jika’

3) Paragog ialah proses penambahan atau pembubuhan bunyi


pada akhir kata dasar atau morfem pangkal.

Misalnya:

/awaruthi/ [awaruthinì] ‘pasukan’

/bhawiûya/ [bhawiûyati] ‘kemudian’

/paramananda/ [paramanandana/ ‘jiwa semesta’

/prajadhipa/ [prajadhipati] ‘raja’

/prihati/ [prihatin] ‘sedih’

/candra/ [candrama] ‘bulan’

/kanya/ [kanyaka] ‘gadis’


/waluy/ [waluya] ‘kembali’

/upajiwa/ [upajiwana] ‘penghidupan’

/ikana/ [ikanaŋ] ‘itu’

/karóaweûþa/ [karóaweûþana] ‘anting-anting’

/kulawandhu/ [kulawandhuwarga] ‘keluarga’

Data di atas menunjukkan bahwa kata-kata bahasa Jawa


Kuno yang mengalami anaptiksis, baik protesis, epentesis, maupun
paragog bukan hanya bunyi-bunyi lemah, melainkan juga bunyi-
bunyi kuat bahkan melewati batas suku kata. Anaptiksis itu terjadi
bukan sekadar memudahkan pengucapan melainkan juga memenuhi
kaidah sastra kakawin.
98 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO
Metatesis

Metatesis ialah perubahan urutan bunyi fonemis pada suatu


kata sehingga menjadi dua bentuk kata yang bersaing (Muslich,
2009:125). Dalam bahasa Jawa Kuno, kata-kata yang mengalami
metatesis tidak terlalu banyak atau termasuk kaidah kecil. Kata-kata
yang mengalami metatesis dalam Bahasa Jawa Kuno, misalnya:

(1) /wêltih/ [wlêtih] ‘beras bertih’

(2) /wêltik/ [wlêtik] ‘serak’

(3) /wêltuk/ [wlêtuk] ‘letup’

(4) /lumumpat/ [mlumpat] ‘melompat’

(5) /lumaku/ [mlaku] ‘jalan’

(6) /krêcêk/ [kêrcêk] ‘bising’

(7) /krêðap/ [kêrðap] ‘kedip’

(8) /krêtêg/ [kêrtêg] ‘dentum’

Monoftongisasidan Diftongisasi

Monoftongisasi ialah perubahan dua bunyi vokal atau vokal


rangkap (diftong) menjadi vokal tunggal (monoftong). Diftongisasi
ialah perubahan bunyi vokal tunggal (monoftong) menjadi dua
bunyi vokal atau vokal rangkap (diftong) secara berurutan (Muslich,
2009:125—126). Dalam Bahasa Jawa Kuno, monoftongisasi dan
diftongisasi tidak hanya berupa vokal melainkan juga semivokal.
Monoftongisasi dan diftongisasi dalam bahasa Jawa Kuno dapat
dijelaskan lebih jauh sebagai berikut.

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 99


Kata Dasar Monoftongisasi Diftongisasi Arti
(1) Om Om Aum ‘suku kata
suci’
(2) api api apuy ‘api’
(3) oûadha oûadha auûadha ‘obat’
(4) awe awe away ‘lembai’
(5) bale bale balay ‘balai’
(6) baye baye bayai ‘jabatan’
(7) berawa berawa bhairawa ‘dahsyat’
(8) cetra cetra caitra ‘nama bulan’
(9) drawe drawe draway ‘alir’
(10) dherya dherya dhairya ‘teguh’
(11) detya detya daitya ‘daitia’
(12) dewa dewa daiwa ‘takdir’
(13) dure dure duray ‘nama buah’
(14) eh eh aih ‘hai’
(15) er er air ‘air’
(16) erāwana erāwana airāwana ‘nama gajah’
(17) eśānya eśānya aiśānya ‘timur laut’
(18) eśwarya eśwarya airśwarya ‘kuasa’
(19) gawe gawe gaway ‘buat’
(20) wwe wwe wway, wai ‘air’
(21) gule gule gulay ‘gulai’
(22) rare rare raray ‘bayi’
(23) komara komara kaumara ‘kanak-kanak’
(24) poûya poûya pauûya ‘nama bulan’
(25) kośala kośala kauśala ‘kemakmuran’
(26) śoca śoca śauca ‘suci’

Data (1—26) di atas menyatakan bahwa: (a) vokal-vokal


dalam bahasa Jawa Kuno yang dapat mengalami diftongisasi ataupun
monoftongisasi adalah vokal /o/ menjadi /au/ dan vokal /e/ menjadi
/ai/ atau /ay/; (b) diftongisasi dan monoftongisasi pada bahasa Jawa
Kuno bisa terjadi di awal, di tengah, dan di akhir morfem asal

100 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


pangkal; (c) adakalanya vokal /e/ jika berada di akhir morfem asal
pangkal, selain mengalami diftongisasi menjadi /ay/ atau /ai/ dapat
juga mengalami asimilasi fonemis menjadi /ya/. Hal ini dapat dilihat
misalnya pada kata /bhage/ menjadi [bhagya] ‘bahagia’, /madhe/
menjadi [madhya] ‘madia’, /waluy/ menjadi [waluya] ‘kembali’.
Namun kasus tersebut terjadi secara terbatas pada beberapa kata
sehingga dapat dikatagorikan kaidah terbatas dan tidak wajib.

Onek-onekan, guru laghu, dan guru basa: model pelafalan bunyi-


bunyi dalam bahasa Jawa Kuno

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa bahasa


Jawa Kuno tidak lagi memiliki penutur asli sehingga bagaimana
bunyi-bunyi bahasa Jawa Kuno dilafalkan atau realisasi fonetis
bunyi-bunyi bahasa Jawa Kuno tidak dapat dipastikan, melainkan
hanya bisa diinterpretasi, terutama melalui penutur pewarisnya,
yakni orang Bali.

Orang-orang Bali Hindu merupakan pewaris bahasa dan


sastra Jawa Kuno. Bahasa Jawa Kuno mulai masuk ke Bali pada
masa pemerintahan Raja Udayana Warmadewa pada abad ke-10.
Hal ini dapat dibuktikan melalui kemunculan Prasasti Bwahan
A berangka tahun 916 Saka (996 M) sebagai prasasti Bali Kuno
pertama yang menggunakan bahasa Jawa Kuno (Goris, 1954;
Suarka, 2014). Sejak kemunculan Prasasti Bwahan A, penggunaan
bahasa Jawa Kuno dalam prasasti Bali Kuno diterapkan oleh
raja-raja Bali Kuno selanjutnya. Pada masa Kerajaan Gelgel di
bawah pemerintahan Dalem Watur Enggong pada abad ke-16,
intensitas penggunaan bahasa Jawa Kuno semakin meningkat,
tidak hanya dalam penggubahan karya sastra kakawin,parwa, tutur/
tattwa,purana, dan babad, melainkan juga dalam seni pertunjukan
dan praktik keagamaan Hindu di Bali. Meskipun demikian, lafalisasi
bunyi-bunyi bahasa Jawa Kuno yang dilakukan orang-orang Bali
belum dapat dipastikan kebenaran, kepastian, ataupun ketepatannya,
sekali lagi karena orang Bali bukan merupakan penutur asli bahasa
Jawa Kuno. Hal ini dapat dibuktikan melalui abjad bahasa Bali yang
dinamakan Anacaraka, hanya terdiri atas delapan belas konsonan

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 101


dan enam vokal. Konsonan beraspirat seperti /ch/, /kh/, /gh/, /ph/, /
bh/, /th/, /dh/; ataupun retofleks seperti /þ/, /þh/, /ð/, /ðh/, /ó/; serta
sibilant /ś/ (palatal) dan /û/ (retofleks) yang dikenal dalam abjad Jawa
Kuno justru tidak dikenal dalam abjad bahasa Bali (wrehastra). Ada
kemungkinan alasannya adalah orang-orang Bali sulit melafalkan
fonem-fonem tersebut. Ada upaya berkompromi terhadap fonem-
fonem bahasa Jawa Kuno yang sulit direalisasikan secara fonetis
oleh orang Bali dengan memadukan bunyi-bunyi yang sejatinya
berbeda ke dalam lambang bunyi yang sama, yang dikenal dengan
istilah aksara mamadu, seperti da-madu. Bunyi ð, ðh (retofleks) dan
dh (dental) dilambangkan dengan fonem yang sama [Œ].

Sebagai pewaris bahasa Jawa Kuno, meskipun orang-orang


Bali Hindu bukan penutur asli bahasa Jawa Kuno, mereka memiliki
model pelafalan bunyi-bunyi bahasa Jawa Kuno, yaitu onek-onekan,
guru laghu, dan guru basa yang biasa dilakukan dalam pembacaan
karya sastra Jawa Kuno, seperti kakawin, parwa, purana, tutur/
tattwa, dan babad.

Onek-onekan ialah cara melafalkan bunyi bahasa Jawa Kuno


yang ditulis dengan aksara Bali, terutama vokal panjang/o/, / I/, /U
/ dengan tujuan guna dapat membedakan vokal panjang itu sebagai
dirgha atau sandi. Bunyi vokal panjang seperti /o/, / I/, /U / bisa
menjadi dirgha dan juga sandi. Vokal panjang /o/ bisa dialihaksarakan
[ā] jika dirgha dan juga bisa menjadi [ã] jika merupakan sandi.
Demikian pula vokal panjang / I/ dapat dialihaksarakan menjadi /ì/
jika dirgha dan /î/ jika sandi; vokal /U / menjadi /ù/ jika dirgha dan
/ü/ jika sandi. Sebagai contoh dapat dilihat sebagai berikut.

Vokal Dirgha Sandi


/o/ [kāla] ‘waktu’ [kakãji] ‘kakanda raja’

[kala] ‘jahat’

/ I/ [bhìta] ‘takut’ [narîśwari] ‘ratu’

[biti] ‘tusuk gigi’


/U / [lurù] ‘jatuh’ [prabhüttama] ‘raja utama’

[luru] ‘pucat’

102 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


Orang Bali jika melafalkan (ngonek) aksara dirgha /ā/ pada
[kāla] ‘waktu’ adalah dengan ciri-ciri punggung lidah berada pada
posisi rendah belakang tak bulat dan diucapkan lebih panjang
daripada vokal /a/ pada [kala] ‘jahat’. Vokal /ì/ pada [bhìta] ‘takut’
dilafalkan dengan ciri-ciri punggung lidah berada di posisi tinggi
tegang dan diucapkan lebih panjang daripada vokal /i/ pada [biti]
‘tusuk gigi’. Vokal /ù/ pada [lurù] ‘jatuh’ dilafalkan dengan ciri-
ciri punggung lidah berada di posisi belakang bulat tegang serta
diucapkan lebih panjang daripada vokal /u/ pada [luru] ‘pucat’.

Vokal /ã/ sebagai sandi pada [kakãji] ‘kakanda raja’ diucapkan


dengan dua tahap pelafalan, yaitu pertama dilafalkan dengan ciri-ciri
punggung lidah berada di belakang tak bulat seperti pelafalan bunyi
/ə/ sehingga dilafalkan [kakə], dan kedua, dilanjutkan pelafalan bunyi
/a/ pada [aji] dengan ciri-ciri punggung lidah berada pada posisi
rendah-belakang. Dengan demikian vokal /ã/ sebagai sandi pada
[kakãji] ‘kakanda raja’ ketika dilafalkan (onek) menjadi [kakəaji].
Oleh karena itu, jika cara vokal /ã/ pada [kakãji] dilafalkan (onek)
sama dengan vokal /ā/ sebagai dirgha seperti pada [kāla] ‘waktu’
dipandang kurang tepat dan bahkan bisa menimbulkan kesalahan
arti.

Vokal /î/ sebagai sandi pada [narîśwari] ‘ratu’ dilafalkan


dua tahap. Pertama, vokal /î/ dilafalkan dengan posisi punggung
lidah tinggi tegang tak bulat [i], kedua, dilanjutkan dengan cara
mengalihkannya ke posisi kendur [I] menjadi [nariIśwari].

Vokal /ü/ sebagai sandi pada [prabhüttama] ‘raja utama’


dilafalkan dua tahap, yaitu dilafalkan dengan posisi punggung lidah
di belakang bulat dan tegang [u], kemudian dilakukan pengenduran
[U] sehingga menjadi [prabhuUttamə].

Guru laghu di samping sebagai kaidah metrum dalam sastra


kakawin juga dapat dipandang sebagai cara melafalkan bunyi-bunyi
bahasa Jawa Kuno, terutama bunyi vokal. Sebagai kaidah metrum,
guru yang umumnya ditandai (-) merupakan suku kata panjang,
terdiri atas suku kata terbuka (koda) yang mendapat vokal panjang

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 103


ataupun diftong dan suku kata tertutup (sonoran). Laghu yang
umumnya ditandai (u) adalah suku kata pendek, terdiri atas suku
kata terbuka (koda) tanpa vokal panjang ataupun diftong. Contoh
guru dan laghu dalam sastra kakawin dapat dilihat sebagai berikut.

[saŋśùrãmrihayajña riŋ samara mahyunilaŋanikaŋ


paraŋmuka] ‘seorang ksatria berupaya melakukan kurban
suci di medan perang, hendak menghilangkan segala
kejahatan musuh’ (Kakawin Bharatayuddha, I.1.1)

Larik kakawin Bharatayuddha di atas terdiri atas dua puluh


tiga suku kata (wrčtta) dengan komposisi gurulaghu (mātra): /---/
uu-/u-u/uu-/uuu/uuu/-u-/uu. Suku kata yang dapat dikatagorikan
guru adalah suku kata 1, 2, 3, 6, 8, 12, 19, 21. Suku kata yang
dikatagorikan laghu adalah suku kata 4, 5, 7, 9, 10, 11, 13, 14, 15,
16, 17, 18, 20, 22. Suku kata 23 bisa dianggap guru dan juga bisa
laghu karena posisinya berada di akhir larik.

Vokal /a/ pada [saŋ], [yaj], [mah], [kaŋ], dan [raŋ] sebagai suku
kata tertutup atau guru sehingga dilafalkan dengan posisi punggung
lidah rendah belakang tak bulat kendur, [sAŋ], [yAj], [mAh], [kAŋ],
[rAŋ] dan wajib diucapkan lebih panjang daripada vokal /a/ pada
[ha], [ña], [sa], [ma], [ra], [la], [ŋa], [pa] yang berkatagori suku kata
pendek (laghu). Vokal /ã/ pada [rã] sekalipun berada pada suku kata
terbuka, tetapi karena merupakan vokal panjang (sandi) sehingga
wajib diucapkan panjang seperti pengucapan vokal /ã/ pada kasus
[kakãji] di atas.

Vokal /i/ pada [ri], [ni], [ni] dilafalkan dengan ciri-ciri ruas
fonetis depan tak bulat tegang tinggi serta tidak dipanjangkan
karena berkatagori laghu. Vokal /i/ pada [riŋ] dilafalkan dengan
posisi ruas fonetis depan tak bulat tinggi kendur menjadi [rIŋ] serta
wajib dipanjangkan meskipun bukan vokal panjang, tetapi karena
merupakan suku kata tertutup berkatagori guru.

Vokal /u/ pada [yu] dan [mu] dilafalkan dengan ciri-ciri


ruas fonetis belakang bulat tegang dan tidak dipanjangkan karena
berkatagori laghu. Sementara itu, vokal /ū/ merupakan vokal panjang
104 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO
(dirgha) sekalipun berada pada suku kata terbuka, tetapi karena suku
kata tersebut berkatagori guru sehingga dilafalkan dengan ciri-ciri
ruas fonetis belakang bulat tegang dan wajib dipanjangkan.

Data di atas menyatakan bahwa (1) pelafalan vokal dalam


bahasa Jawa Kuno ditentukan oleh posisinya dalam morfem asal
pangkal; (2) panjang pendek pengucapan vokal bahasa Jawa Kuno
tidak hanya ditentukan oleh keberadaan fonem vokal sebagai vokal
panjang atau vokal pendek, melainkan juga posisi vokal tersebut
pada suku kata berkatagori guru maupun laghu; (3) pelafalan vokal
panjang sebagai dirgha dan sebagai sandi wajib dibedakan.

Guru basa merupakan cara melafalkan kata/kalimat


(membaca kata/kalimat) guna mendapatkan arti kata atau kalimat.
Guru basa diterapkan dalam pembacaan teks bahasa Jawa Kuno yang
ditulis menggunakan aksara Bali dengan sistem silabik. Berhadapan
dengan teks seperti itu, pembaca hanya akan berhadapan dengan
deretan suku kata tanpa putus. Apalagi teks tersebut merupakan teks
sastra parwa, tutur/tattwa, purana, dan babad dengan bentuk bahasa
tidak diikat oleh kaidah matra. Karena itu, kemungkinan kesalahan
dalam pembacaan teks sangat tinggi. Perhatikan contoh berikut.

kkojimhorojyuai[Õir

(Prastanikaparwa)

Data di atas dapat saja menghasilkan berbagai macam hasil


bacaan, bukan hanya karena pembaca tidak mengenal dan tidak
mampu membaca aksara Bali, melainkan juga jika pembaca tidak
mengenal guru basa. Ada kemungkinan teks tersebut dibaca: /
kakə jimə harə jayu distirə/ atau /kakaji maharə jayu distirə/ dan
seterusnya. Jika dibaca seperti itu, maka teks itu akan kehilangan arti
atau makna. Karena itu, berdasarkan guru basa, teks tersebut mesti
dibaca: /kakəaji māharājə yuðiûþirə/ ‘kakanda Maharaja Yudistira’.
Pelafalan (pembacaan) fonem dengan guru basa membantu
pengguna atau pembaca bahasa Jawa Kuno dalam menemukan arti
atau makna kata dan kalimat.

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 105


BAB VII

PENUTUP

Bahasa Jawa Kuno memiliki fonem vokal sebanyak 13 (tiga


belas) buah, terdiri atas vokal /a/, /ā/, /i/, /ī/, /u/, /ū/, /e/, /ê/, /ö/, /å/,
/o/, /ai/, dan /au/. Fonem konsonan bahasa Jawa Kuno berjumlah 33
(tiga puluh tiga) buah, terdiri atas /b/, /bh/, /c/, /ch/, /d/, /dh/, /ð/, /
ðh/, /g/, /gh/, /j/, /jh/, /k/, /kh/ /l/, /m/, /n/, /ÿ/, /ñ/, /p/, /ph/, /r/, /s/, /ś/,
/û/, /t/, /th/, /þ/, /þh/, /w/, dan /y/. Fonem konsonan tersebut memiliki
frekuensi distribusi beragam.

Cara pelafalan bunyi bahasa Jawa Kuno hanya bersifat


interpretatif karena bahasa Jawa Kuno tidak memiliki penutur asli
lagi. Interpretasi pelafalan fonem bahasa Jawa Kuno dilakukan
dengan cara membandingkan pelafalannya dengan pelafalan fonem
bahasa Sansekerta sebagai bahasa yang banyak mempengaruhi
bahasa Jawa Kuno dan bahasa Bali serta bahasa Jawa yang diduga
banyak mendapat pengaruh bahasa Jawa Kuno.

Dilihat dari distribusi fonem, ada fonem konsonan bahasa


Jawa Kuno yang tidak ditemukan menempati posisi di awal kata
dasar atau morfem asal, yakni /ðh/, /ó/, dan /þh/. Ada pula fonem
konsonan bahasa Jawa Kuno yang tidak ditemukan menempati
posisi di akhir kata dasar atau morfem asal, yaitu /bh/, /c/, /ch/, /dh/,
/ðh/, /gh/, /j/, /jh/, /kh/, /ó/, /ñ/, /ph/, /ś/, /û/, /þ/, /þh/, /w/.

Penelitian ini berhasil menemukan 11 (sebelas) jenis


pola suku kata/silaba/kanonik bahasa Jawa Kuno melebihi hasil
penelitian Mardiwarsito dan Harimurti Kridalaksana (1984) yang
hanya menemukan 10 (sepuluh) jenis pola suku kata/silaba/kanonik
bahasa Jawa Kuno. Kesebelas macam pola suku kata/silaba/kanonik
tersebut membentuk kata-kata Jawa Kuno. Penelitian ini berhasil
menemukan 11 (sebelas) pola kanonik eka suku/satu suku, 22 (dua
puluh dua) pola kanonik dwi suku/dua suku, 25 (dua puluh lima) pola
kanonik tri suku/tiga suku, 21 (dua puluh satu) pola kanonik catur

106 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


suku/empat suku, dan 6 (enam) pola kanonik panca suku/lima suku.
Mardiwarsito dan Harimurti Kridalaksana (1984) hanya menemukan
8 (delapan) jenis pola kanonik ekasuku, 16 (enam belas) pola kanonik
dwisuku, 18 (delapan belas) pola kanonik trisuku, dan 7 (tujuh) pola
kanonik catursuku. Pola kanonik pancasuku tidak ditemukan dalam
penelitian Mardiwarsito dan Harimurti Kridalaksana (1984).

Penelitian ini juga menemukan bentuk-bentuk perubahan


bunyi pada bahasa Jawa Kuno meliputi asimilasi, disimilasi, kaidah
berurutan, penggabungan vokal (sandi), zeroisasi, anaptiksis,
metatesis, diftongisasi, dan monoftongisasi.

Masyarakat Bali Hindu sebagai pewaris bahasa Jawa Kuno


mengenal istilah onek-onekan, guru laghu, dan guru basa sebagai
model atau cara melafalkan atau membaca teks Jawa Kuno, baik
teks sastra kakawin, parwa, tutur/tattwa, purana, maupun babad.
Pelafalan vokal dalam bahasa Jawa Kuno ditentukan oleh posisinya
dalam morfem asal pangkal. Panjang pendek pengucapan vokal
bahasa Jawa Kuno tidak hanya ditentukan oleh keberadaan fonem
vokal sebagai vokal panjang atau vokal pendek, melainkan juga
posisi vokal tersebut pada suku kata berkatagori guru maupun laghu.
Pelafalan vokal panjang sebagai dirgha dan sebagai sandi wajib
dibedakan guna dapat menemukan arti atau makna kata dan kalimat.

Saran

Sesuai amanat Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang


Pemajuan Kebudayaan, bahasa dan sastra Jawa Kuno merupakan
kekayaan dan identitas bangsa yang sangat diperlukan untuk
memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia di tengah dinamika
perkembangan dunia. Melihat keberadaan bahasa dan sastra Jawa
Kuno sebagai warisan budaya bangsa Indonesia, pemerintah
perlu menjadikan bahasa dan sastra Jawa Kuno sebagai investasi
untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa.Karena itu,
studi kebahasaan Jawa Kuno perlu dilakukan secara intensif oleh
berbagai pihak, baik pemerintah, kelompok peneliti maupun peneliti
FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 107
perorangan mengingat bahasa Jawa Kuno, termasuk sastranya,
memiliki peranan strategis dalam pengembangan dan pengayaan
bahasa Indonesia. Di samping itu, sumber referensi ataupun buku
teks tentang bahasa Jawa Kuno masih sangat terbatas adanya
sehingga perlu lebih dikembangkan dan ditingkatkan, baik dari segi
kuantitas maupun kualitas.

108 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO


DAFTAR PUSTAKA

Bawa, I Wayan dan I Wayan Pastika. 2002. Austronesia: Bahasa,


Budaya, dan Sastra. Denpasar: CV Bali Media.

Haryanta, Agung Tri. 2012. Kamus Kebahasaan dan Kesusastraan.


Surakarta: Aksarra Sinergi Media.

Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada.

Mardiwarsito, L. Dan Harimurti Kridalaksana. 1984. Struktur


Bahasa Jawa Kuna. Ende Flores: Nusa Indah.

Muslich, Masnur. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia Tinjauan


Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Bumi
Aksara.

Pastika, I Wayan. 2005. Fonologi Bahasa Bali Sebuah Pendekatan


Generatif Transformasi. Kuta-Bali: Pustaka Larasan.

Ranuh, I G.K. t.th. Çakuntala Peladjaran Bahasa Kawi, Jilid 1.


Singaraja: NV Bali Dharma.

Seregeg, I Wayan. 2003. “Wyakarana Kawi”. Stensilan. Gerokgak,


Buleleng.

Simanjuntak, Mangantar. 1990. Teori Fitur Distingtif dalam Fonologi


Generatif. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Suarka, I Nyoman. 2014. “Raja Udayana dan Politik Bahasa


Kerajaan”, Raja Udayana Warmadewa. Editor I Ketut
Ardhana & I Ketut Setiawan. Denpasar: Pustaka Larasan
bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Gianyar dan
Pusat Kajian Bali Unud.

Surada, I Made. 2009. Kamus Sanskerta-Indonesia. Surabaya:


Pāramita.

Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: PT


Gramedia.

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 109


Verhaar, J.W.M. 2010. Asas-asas Linguistik Umum. Cetakan
ketujuh. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang


Pandang. Cetakan kedua. Jakarta: Djambatan.

_______1993. Bahasa Parwa, Jilid I, II. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

_______. 1994. Sekar Sumawur: Bunga Rampai Bahasa Jawa Kuna,


Jilid I, II. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Zoetmulder, P.J. and S.O. Robson. 1982. Old Javanese-English


Dictionary I, II. ‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

_______1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia, Jilid 1, 2. Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama.

110 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO

Anda mungkin juga menyukai