Anda di halaman 1dari 10

Aplikasi Brata Siwaratri

Dalam Kehidupan Sehari-hari


Oleh : I Gede Manik, S.Ag, Badung
Hari Raya Siwaratri merupakan han raya berdasarkan atas pranata masa
yang dirayakan setiap setahun sekali. Tepatnya jatuh pada Purwaning Tilem
Kepitu. Untuk tahun mi Malam Siwaratni jatuh pada tanggal 16 Januari 2008.
Han suci Siwaratri sangat identik dengan begadang semalam suntuk serta
cerita Lubdhaka yang dikarang oleh Empu Tanakung.
Difinisi Siwarat.ri menurut Ketut Sukartha dan kata “Siwaratri” berasal Siwa
dan Ratri. Siwa artinya Puncak dan Ratri artinya malam. Siwaratri berarti
puncak malam. Sedangkan difinisi menurut Tjok Rai Sudharta “Siwaratri
artinya malam Siwa. Siwa berasal dari bahasa sansekerta yang artinya baik
hati, suka memaafkan, memberi harapan dan membahagiakan. Dalam hal ini
kata Siwa adalah sebuah gelar terhadap menifestasi Ida Sang Hyang Widi
Wasa yang diberi nama gelar kehormatan “Dewa Siwa” yang berfungsi
sebagai pemralina atau pelebur. Ratri artinya malam. Malam disini
maksudnya kegelapan. Jadi Siwaratri artinya malam untuk melebur
kegelapan hati menuju jalan yang terang.
Hari Siwaratri menyimpan makna serta simbul yang sangat mendalam
sebagai bahan renungan yang tak pernah habis untuk dikaji. Tidak cukup
hanya dengan prosesi ritualitas semata, melainkan harus dipahami makna-
makna yang terkandung didalamnya. Dengan adanya pemahaman yang
benar serta dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka hari suci
keagamaan akan sesuai dengan tujuan perayaan hari raya tersebut. Kegiatan
ritual Siwaratri mesti dilaksanakan sesuai petunjuk sastra. Di samping itu juga
tidak kalah pentingnva yakni merealisasikan makna-makna simbolis yang
terkandung didalamnya ke dalam wujud/kehidupan sehari-hari.
Makna Brata Siwaratri dalam kehidupan sehari-hari
Pada waktu pelaksanaan Brata Siwaratri sebagai lambang yang bennilai
sakral bertujuan untuk melenyapkan sifat-sifat buruk. Menurut Tjok Rai
Sudharta, brata Siwaratri berasal dari bahasa Sansekerta. Kata “Brata”
artinya janji, sumpah, pandangan, kewajiban, laku utama, keteguhan hati.
Brata Siwaratri dapat disimpulkan sebagai laku utama/janji untuk berteguh
hati melaksanakan ajaran Siwaratri. Brata Siwaratri tidak berhenti sampai
pelaksanaan Hari Raya Siwaratri saja, melainkan perlu diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Tanpa adanya aplikasi/wujud dalam kehidupan sehari-
hari maka hari raya itu akan tanpa makna dan akan lewat begitu saja. Brata
Siwaratri dilaksanakan selama 36 jam. Brata ini mulai dan pukul 06.00
panglong ping 1 sampai pukul 18.00 Tileming sasih Kepitu. Brata Siwaratri
dengan melaksanakan upawasa, monobrata dan jagra.
1. Jagra (berjaga/tidak tidur/melek/ waspada)
Brata Jagra ini paling mudah dilakukan, sebab semua orang mampu untuk
tidur semalam suntuk. Dalam cerita Lubdhaka jagra ini disimbolkan oleh
Lubdhaka yang tidak tidur di atas pohon bila semalam suntuk. Untuk
mengusir kantuknya Lubdhaka memetik daun “bila” sehingga dosanya
terlebur. Jagra dalam pelaksanaan Siwaratri dapat dilakukan dengan jalan
tidak tidur semalam 36 jam.
Dalam kehidupan sehari-hari makna jagra ini dapat diaplikasikan dengan cara
selalu eling (waspada, ingat, berfikir, dll.) terhadap sang diri. Dalam
kehidupan ini kita tidak bisa lepas dan musuh-musuh, baik itu yang berasal
dari dalam diri (sad ripu, sapta timira dan Sad atatayi) maupun dari luar diri.
Untuk menghadapi musuh-musuh tersebut diperlukan kewaspadaan yang
relatif tinggi, sehingga kita bisa terlepas dari musuh-musuh tersebut.
Kewaspadaan yang tinggi tentunya diperoleh dengan menggunakan pikiran.
Kedatangan Hari Suci Siwaratri mengajak kita untuk merenung agar selalu
tetap mawas diri dan menyadari diri kita yang sejati. Sebagaimana tersurat
didalam Wrehaspati Tatwa, bahwa nafsu dan keinginan tidak pernah putus
didalam diri kita. Kesadaran akan lenyap bila kita hanya tidur. Orang yang
selalu terbelenggu oleh tidur (turu) disebut dengan papa. Pengertian papa
sangat berbeda dengan pengertian dosa. Pengertian papa dalam hal ini
adalah keadaan yang selalu terbelenggu oleh raga atau indriya yang
dinyatakan sebagai turu (tidur). Tidur berarti juga malas. Orang yang malas
bekerja akan menimbulkan kekacauan pikiran sehingga lupa akan
keberadaan dirinya sendiri. Dengan demikian pikiran merupakan sumber
segala yang dilakukan oleh seseorang. Baik-buruk perbuatan manusia
merupakan pencerminan dari pikiran. Bila baik dan suci pikiran seseorang
maka sudah barang tentu perbuatan dan segala penampilan akan bersih dan
baik. Berusaha berpikir untuk tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal,
berfikir buruk serta percaya dengan hukum karma.
Dalam hidup ini semasih kita mampu, perlu diisi dengan kerja yang sesuai
dengan dharma. Mengenai kerja ini dinyatakan oleh Bhagawadgita III sebagai
berikut:
III.3
O, Arjuna, manusia tanpa noda; di dunia ini ada dua jalan hidup yang telah
Aku ajarkan dari jaman dahulu kala. Jalan ilmu pengetahuan bagi mereka
yang mempergunakan pikiran dan yang lain dengan jalan pekerjaan bagi
mereka yang aktif.
III. 4
Bukan dengan jalan tiada bekerja orang mencapai kebebasan dari perbuatan.
Pun juga tidak melepaskan diri orang akan mencapai kesempurnaan.
III. 5
Sebab siapa pun tidak akan dapat tinggal diam, meskipun sekejap mata,
tanpa melakukan pekerjaan. Tiap-tiap orang digerakkan oleh dorongan
alamnya dengan tidak berdaya apa-apa lagi.
III. 20
Hanya dengan penbuatan, Prabu Janaka dan lain-lainnya mendapat
kesempurnaan. Jadi kamu harus juga melakukan pekerjaan dengan
pandangan untuk memelihara dunia.
Di samping untuk memelihara dunia yang kita pijak ini, kerja juga dapat
menghindari kehancuran duniâ baik secara spiritual maupun material.
Disamping itu juga, kerja dapat meningkatkan kedudukan sehingga menjadi
manusia yang lebih sempurna. Jika kita sudah bekerja maka dapat
mengurangi ketergantungan kita terhadap orang lain. Disamping itu,
diharapkan untuk tidak terikat dengan hasil pekerjaan yang kita lakukan. Hasil
yang diperoleh dari kerja diharapkan untuk sumbangkan kepada yang
membutuhkan.
2. Upawasa (tidak makan dan minum)
Upawasa dapat diartikan sebagai pengendalian diri dalam hal makan dan
minum. Pada waktu Siwaratri puasa ini dilakukan dengan jalan tidak makan
dan minum. Dalam kehidupan sehari-hari dapat diaplikasikan dengan cara
selalu makan makanan yang bergizi yang dibutuhkan oleh jasmani maupun
rohani. Disamping itu, dalam hal untuk mendapatkan makanan yang kita
makan hendaknya dicari dengan usaha-usaha yang digariskan oleh dharma.
Melalui upawasa ini kita dituntut untuk selektif dalam hal makan dan minum.
Makanan yang kita makan disamping untuk kebutuhan tubuh, juga nanti akan
bersinergi membentuk dan merangsang pikiran, perkataan dan perbuatan.
Kualitas makan akan mempengaruhi intensitas Tri Guna (sattwam, rajas dan
tamas) pada manusia. Makanan yang kita makan hendaknya dimasak oleh
orang yang berhati baik yang memperhatikan kesucian dan gizi dari makanan
tersebut. Disamping itu juga, cara memasak makanan perlu memperhatikan
tentang suci dan cemar, bersih dan kotor serta cara penyajian makanan.
Mengenai makanan dinyatakan dalam Bhagawadgita sebagai berikut:
III.13
Orang yang makan apa yang tersisa dan yadnya, mereka itu terlepas dan
segala dosa. Akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makanan
untuk kepentingannya sendiri mereka itu adalah makan dosanya sendiri.
XVII. 7
Bahkan makanan yang disenangi oleh semua, adalah tiga macam juga.
Demikian juga yadnya-yadnya, tapa dan dana. Dengarkanlah perbedaan dari
semua ini.
XVII. 8
Makanan-makanan yang meninggikan hidup, tenaga, kekuatan, kesehatan
dan suka cita, yang manis yang lunak, banyak mengandung zat-zat makanan
dan rasa enak adalah yang disukai oleh orang yang baik (sattwika).
XVII. 9
Makanan-makanan yang terlalu pahit, masam, asin, pedas, kering, keras dan
angus dan menimbulkan kesakitan, duka cita dan pen yakit disukai oleh orang
yang bernafsu (rajasika).
XVII. 10
Makanan yang basi, hambar, berbau, dingin, sisa kemarinnya dan kotor
adalah yang disukai oleh orang yang bodoh (tamasika).
Disamping makanan, minuman juga diatur oleh sastra agama. Minuman yang
dilarang orang agama yaitu minuman yang banyak mengandung penyakit
sehingga mempengaruhi pikiran. Minuman yang perlu dihindari yakni
minuman yang menyebabkan mabuk. Orang yang sering mabuk prilakunya
akan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Setiap orang dengan anggota badannya akan berprilaku dan berbuat. Jika
dilandasi dengan ajaran agama sudah barang tentu perbuatan yang
dilakukan adalah perbuatan yang baik dan benar. Oleh karena itu, perbuatan
yang baik dan benar tersebut dinamakan Kayika Parisudha. Setiap orang
selagi masih hidup, selamanya akan berbuat dan melakukan sesuatu
perbuatan (karma). Karma ini akan menentukan kehidupan seseorang.
Berkarma dalam kehidupan sekarang ini berarti mempersiapkan diri untuk
kehidupan yang akan datang. Orang yang sadar/eling akan berusaha dalam
kehidupannya untuk berbuat yang baik berdasarkan darma. Hal ini
disebabkan karena semua orang mengharapkan adanya kehidupan yang
lebih baik dan lebih menyenangkan dimasa-masa yang akan datang.
3. Monobrata (berdiam diri/tidak bicara)
Monobrata ini dapat diartikan berdiam diri atau tidak mengeluarkan kata-kata.
Brata ini relatif sulit untuk dilakukan. Aplikasi dalam kehidupan sehari-hari dari
berata ini yakni berkata-kata atau berbicara yang dapat menyejukkan hati
orang lain. Perkataan sangat perlu diperhatikan dan diteliti sebelum
dikeluarkan. Karena perkataan merupakan alat yang terpenting bagi manusia,
guna menyampaikan isi hati dan maksud seseorang. Dari kata-kata kita
memperoleh ilmu pengetahuan, mendapat suatu hiburan, serta nasehat
nasehat yang sangat berguna baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Dalam
Niti Sastra V. 3 disebutkan sebagai berikut:
Wacika nimittanta manemu laksmi,
Wacika nimittanta manemu duhka,
Wacika nimittanta pati kapangguh,
Wacika nimittanta manemu lmitra,
Artinya :
Karena perkataan memperoleh bahagia,
Karena perkataan menemui kesusahan,
Karena perkataan menemukan kematian
Karena perkataan memperoleh sahabat.
Kata-kata yang baik, benar dan jujur serta diucapkan dengan lemah lembut
akan memberikan kenikmatan bagi pendengarnya. Dengan perkataan
seseorang akan memperoleh kebahagiaan, kesusahan, teman dan kematian.
Hal ini akan memberi arti yang sesungguhnya tentang kegunaan kata dan
ucapan sebagai sarana komunikasi antara manusia yang satu dengan yang
lainnya.
Perkataan yang baik, sopan, jujur dan benar itulah yang perlu kita terapkan
dalam kehidupan sehari-hari. Menghindari kata-kata jahat menyakitkan, kotor
(ujar ahala), keras, menghardik, kasar (ujar apergas), memfitnah (ujar
pisuna), bohong (ujar pisuna) dan lain-lain yang perlu dihindari dalam
pergaulan. Adanya 10 (sepuluh) pengendalian diri yang dapat dilakukan
dalam kehidupan yang disebut karmaphala. Hal ini sesuai dengan apa yang
tersurat dan tersirat dalam Sarasamuscaya 73 sebagai berikut:
Hana karmaphatha ngaranya, khrtaning indriya, sepuluh kwehnya, ulakena,
kramanya : prawerttiyaning manah sakareng, telu kwehnya, ulahaning wak
pat pwarttyaning kaya, telu pinda sepuluh, prawerttyaning kaya, wak, manah
kengeta”
Artinya:
adalah karmapatha namanya, yaitu pengendalian hawa nafsu, sepuluh
banyaknya yang patut dilaksanakan gerak pikiran tiga (3) banyaknya,
ucapan/perkataan empat (4) jumlahnya, gerak tindakan/laksana tiga (3)
banyaknya, Jadi sepuluh (10) jumlahnya perbuatan yang timbul dan gerakan
badan, perkataan, dan pikiran, itulah yang patut dilaksanakan.
Dengan demikian, hakekatnya Hari Suci Siwaratri adalah sebagai media
introsfeksi diri untuk senantiasa mawas diri serta menyadari akan Sang Diri
Sejati. Siwaratri bukanlah malam penebusan dosa, tetapi malam yang
disediakan secara khusus untuk senantiasa mencapai kesadaran akan Sang
Diri. Siwaratri merupakan perenungan diri sehingga dapat meminimalkan
perbuatan dosa dalam kehidupan sehari-hari. Adalah tanpa makna jika
merayakan Siwaratri justru yang diperoleh hanya kantuk dan lapar yang
sangat menyiksa. Mari dalam Siwaratri dan diawal tahun 2008 mulai kembali
memburu kebajikan dengan membunuh musuh-musuh dalam diri dengan
memohon tuntunan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Semoga ada manfaatnya.•
WHD. No. 492 Desember 2008.
Perayaan Hari Suci Siwaratri bagi umat Hindu merupakan kegiatan
keagamaan rutin tahunan yang dirayakan setiap Purwaning Tilem
sasih kepitu. Terakhir untuk tahun 2009 dirayakan tepat pada
malam pergantian tahun ke tahun 2010. Siwaratri sendiri memiliki
makna malam perenungan dosa.
Perayaan Siwaratri pada awalnya dikenal dari Kisah Seorang
pemburu bernama Lubdaka. Suatu hari saat melakukan perburuan,
ia sama sekali tidak mendapatkan buruan. Lubdaka tidak membawa
makanan ataupun minuman. Oleh karena hari sudah menjelang
malam maka ia memutuskan untuk memanjat sebuah pohon yang
dikenal dengan pohon Billa di tepi telaga. Tujuannya adalah agar
tidak dimakan oleh hewan buas.. Hari pun menjelang malam,
Lubdaka tidak berani tidur karena takut terjatuh, maka ia terjaga
semalaman sambil memetik satu persatu daun billa agar tidak
mengantuk.
Malam itu ternyata bertepatan dengan purwaning tilem sasih
kepitu. Saat itu adalah saat dimana Dewa Siwa melakukan Tapa
Bratha. Saat memetik daun billa tersebut, daunnya berjatuhan dan
mengenai lingga siwa. Maka saat itu Lubdaka secara tidak langsung
melakukan pemujaan terhadap siwa.Sekian lama waktu berjalan,
Lubdaka pun meninggal karena sakit. Saat dia meninggal, Atmanya
(Rohnya) menuju sunia loka, bala tentara Sang Suratma (Malaikat
yang bertugas menjaga kahyangan) telah datang menjemputnya.
Mereka telah menyiapkan catatan hidup dari Lubdaka yang penuh
dengan kegiatan Himsa Karma (memati-mati). Namun pada saat
yang sama pengikut Siva pun datang menjemput Atma Lubdaka.
Mereka menyiapkan kereta emas. Lubdaka menjadi rebutan dari
kedua balatentara baik pengikut Sang Suratma maupun pengikut
Siva. Ketegangan mulai muncul, semuanya memberikan
argumennya masing-masing. Mereka patuh pada perintah
atasannya untuk menjemput Atma Sang Lubdaka.
Saat ketegangan memuncak Datanglah Sang Suratma dan Siva.
Keduanya kemudian bertatap muka dan berdiskusi. Sang Suratma
menunjukkan catatan hidup dari Lubdaka, Lubdaka telah
melakukan banyak sekali pembunuhan, sudah ratusan bahkan
mungkin ribuan binatang yang telah dibunuhnya, sehingga sudah
sepatutnya kalo dia harus dijebloskan ke negara loka.
Siva menjelaskan bahwa; Lubdaka memang betul selama hidupnya
banyak melakukan kegiatan pembunuhan, tapi semua itu karena
didasari oleh keinginan/niat untuk menghidupi keluarganya. Dan dia
telah melakukan tapa brata (mona brata, jagra dan
upavasa/puasa) salam Siva Ratri/Malam Siva, sehingga dia
dibebaskan dari ikatan karma sebelumnya. Dan sejak malam itu Dia
sang Lubdaka menempuh jalan hidup baru sebagai seorang petani.
Oleh karena itu Sang Lubdaka sudah sepatutnya menuju Suarga
Loka (Sorga). Akhirnya Sang Suratma melepaskan Atma Lubdaka
dan menyerahkannya pada Siva. (Kisah ini adalah merupakan
Karya Mpu Tanakung, yang sering digunakan sebagai dasar
pelaksanaan Malam Siva Ratri). Untuk cerita lengkapnya bisa baca
disini.
Begitulah kisah sang Lubdaka yang menjadi dasar pelaksanaan
perayaan Siwaratri. Kalau melihat kisah tersebut, kebanyakan
masyarakan melakukan penafsiran yang salah tentang malam
Siwaratri. Malam siwaratri di anggap sebagai malam penghapusan
dosa. Dalam Agama Hindu Dosa kita tidak akan bisa dihapuskan
karena kita mengenal akan adanya hukum Karmaphala. Ingatkah
kalian bahwa sang Pandawa pun tak luput dari dosa, mereka
sempat di jebloskan di neraka.
Malam Siwaratri sebenarnya merupakan suatu malam perenungan
atas perbuatan-perbuatan yang telah kita lakukan selama ini agar
kita bisa intropeksi diri. Umumnya Siwaratri dilaksanakan dengan
laku brata :
Mona Brata (pengendalian dalam kata-kata). Mona brata sering
diistilahkan dengan tidak mengucapkan kata-kata sepatahpun.
Sehingga hal seperti ini bisa menimbulkan kesalah-pahaman.
Karena jika seorang teman sedang bertandang kerumah dan
menyapa atau bertanya, tapi yang ditanya tidak menyahut,
menyebabkan orang menjadi tersinggung. Maunya melakukan tapa
mona brata, justru malah melakukan himsa karma, karena
membuat orang lain menjadi jengkel dan sakti hati. Kalaupun
punya niat tapa brata semacam itu, sebaiknya pergi ke hutan atau
ketempat yang sunyi, jauh darikeramaian.
Upawasa yaitu pengendalian dalam hal makan dan minum. Jadi
disini ditekankan tidak diharuskan untuk berpuasa/tidak makan dan
minum semalam suntuk. Melainkan pengendalian dalam hal makan
dan minum. Umat dibebaskan untuk melaksanakan bratanya, mau
puasa ya silahkan, tidakpun tidak apa-apa. Hanya saja brata itu
berlaku untuk seterusnya.
Jagra yaitu pengendalian tidur atau dalam keadaan jaga semalam
suntuk hingga menjelang pagi disertai melakukan pemujaan kepada
Siwa sebagai pelebur kepapaan. Jadi pada malam Siwaratri itu yang
terpenting adalah begadang demi dia (Siwa). Bukan begadang main
gaple atau nonton TV. Pada keesokan harinya melaksanakan Darma
Santhi, pergi saling menungjungi kerumah sahabat, handai toland
sambil bermaaf-maafan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Malam Siwaratri bukanlah malam
peleburan dosa, melainkan peleburan kepapaan dari kelemahan
sifat-sifat manusia. Semua manusia memiliki kepapaan, karena
dibelengu oleh nafsu-nafsu indrianya/raganya.
Jadi sangat dianjurkan bagi Umat Hindu untuk melakukan Bratha
Siwaratri sehari sebelum Purnamaning sasih Kepitu. Yang tujuannya
mengurangi kepapaan dan nafsu-nafsu indria yang dimiliki oleh
manusia. Dalam hubungannya dengan pengendalian nafsu indria,
ada 7 kegelapan yang harus dikendalikan yang disebut Sapta
Timira yang terdiri dari: Surupa (mabuk karena rupawan/rupa
tampan atau cantik), Dhana (mabuk karena
kekayaan), Guna(mabuk karena kepandaian), Kasuran (mabuk
karena kemegahan), kulina(mabuk karena keturunan
bangsawan), Yowana (mabuk karena keremajaan),Sura (mabuk
karena minuman keras).
Makna Siwaratri adalah agar manusia menyadari bahwa kita
dipengaruhi oleh 7 kegelapan. Kegelapan itulah yang harus
diterangi secara jasmani dan rohani dengan meningkatkan
pengetahuan dan pengamalan ajaran kerohanian.
Yang paling penting sekali adalah berkat dari Sang Hyang Siwa
sendiri. Beliaulah yang akan menghapus kepapaan, ketidak
berdayaan melawan hawa nafsunya sendiri. Mungkin ribuan orang
akan menyoraki dan mencaci maki seorang penjahat yang
mendapat hukuman. Bahkan pula dilempari dengan batu. Namun
beliau (Sang Hyang Sada Siwa) menangis melihat umat-Nya dalam
kesengsaraan. Beliau tidak membenci malah lebih bersimpati pada
mereka yang mengalami nasib buruk seperti itu.
Itulah keutamaan beliau, tidak membenci siapapun, walaupun
penjahat kelas kakap yang dibenci jutaan manusia. Beliau tetap
berbelas kasih. Bersedia mengampuni, asal umat-Nya dengan tulus
iklas berserah diri, pasrah total kehadapan-Nya.
Beliau sendiri yang akan mebimbing dan memutuskan keadilan-
Nya. Maka sangat dianjurkan untuk melaksanakan brata Siwaratri
ini kepada siapa saja. Karena pintu tobat dan pengampunan pada
hari itu terbuka lebar-lebar.
Ada lagi disebutkan keutamaan brata Siwaratri dalam lontar
“Siwaratrikalpa” buah karya Mpu Tanakung, bahwa jika seseorang
mampu melaksanakan laku ; upawasa, mona brata dan jagra pada
hari itu, yang tujuannya memuja Sang Hyang Sada Siwa, serta
memohon pengampunan-Nya maka dosanya akan terhapus. Dan
beliau (Mpu Tanakung) juga mengisyaratkan bahwa brata Siwaratri
melebihi semua jenis yajna. Untuk itulah, seseorang jangan
berputus asa jika sudah terlanjur melakukan kesalahan. Karena
Siwaratri bisa dilaksanakan dimana saja (di rumah, di Pura, di
tempat sunyi, bahkan di Lembaga Pemasyarakatan / Penjara).
Justru disinilah mungkin ( di Lemaga Pemasyarakatan) brata
Siwaratri itu dilaksanakan lebih khusuk.
Yang mungkin menjadi pertanyaan kita selama ini adalah apa
sebenarnya tujuan pelaksanaan Mono bratha, Upasawa, dan Jagra.
Secara singkat tujuan dari ketiga bratha Siwaratri itu adalah
sebagai berikut:
1) Monobrata pada hari suci Siwaratri diarahkan untuk
mengucapkan nama Tuhan didalam lubuk hati secara terus
menerus, misalnya ; “Om Namah Siwa Ya, Om Namah Siwa Ya,….
Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya…
Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya…
Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya. . .dan seterusnya.
Ada kebiasaan umat yang membawa tasbih atau genitri. Ada juga
yang tidak membawa apa-apa. Yang penting adalah nilai
kekhusukannya.Tapa monbrata tujuannya adalah sangat luhur dan
mulia, terutama sekali untuk mengekang nafsu marah dan angkara
murka. Sebab kata-kata yang kasar bisa melukai perasaan orang
lain sampai bertahun-tahun.Maka orang yang dikuasai oleh nafsu
murkanya, tak dapat tidak niscaya ia melakukan perbuatan jahat,
sampai akhirnya dapat membunuh guru, dan sanggup ia membakar
hati seorang saleh, yaitu menyerang dia dengan kata-kata yang
kasarTambahan pula orang yang dikuasai oleh nafsu murka, sekali-
kali tidak tahu akan perkataan yang keliru dan yang benar, sekali-
kali mereka tidak mengenal perbuatan yang terlarang dan yang
menyalahi dharma serta sanggup mereka mengatakan sesuatu
yang tidak layak untuk dikatakan.
Maka monobrata diusahakan sekali untuk dilaksanakan meski tidak
hanya pada hari Suci Siwaratri saja. Karena begitu besar
manfaatnya, bagi pembentukan sifat dan karakter seseorang.
Hakekatnya yang disebut nafsu murka, adalah musuh didalam diri
kita ; jika ada orang yang dapat menghilangkan nafsu murka itu,
maka ia pun akan disegani, dipuji dan dihormati selama ia ada di
dunia.
2) Kemudian laku upawasa yaitu berpuasa tidak makan dan minum
adalah untuk menunjang jalannya brata monobrata. Supaya
konsentrasi seseorang yang menjalankan laku ini tidak pecah.
Mengistirahatkan kerja usus, lambung dan kerongkongan serta
mulut pada hari suci itu, untuk tujuan pemujaan. Berpuasa secara
fisik dan mental menjadikan tujuan itu terpusat kesatu arah.
Apalagi disertai dengan japam (pengulangan mantra), sehingga
meditasi itu menjadi khusuk.
3) Mejagra yaitu begadang semalam suntuk, dalam tradisi India ada
diistilahkan dengan “Akanda Bhajan”. Yaitu mengidungkan nama-
nama suci Tuhan selama 24 jam secara terus menerus, sambung
menyambung.
Begitupun halnya dengan mejagra, begadang semalam suntuk
sambil mengidungkan nama-Nya di dalam hati secara terus
menerus. Makna dari mejagra ini adalah, agar seseorang senantiasa
terjaga selama hidupnya, dengan kata lain tidak lupa diri (mabuk)
tidak dikuasai oleh 7 (tujuh) nafsu kemabukan itu.

Anda mungkin juga menyukai