Anda di halaman 1dari 124

Bahasa Bagongan

Soepomo Poedjosoedarmo
Laginem

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA
BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
2014

i
Bahasa Bagongan

BAHASA BAGONGAN

Penyusun
Soepomo Poedjosoedarmo
Laginem

Penyunting
Wiwin Erni Siti Nurlina

Diterbitkan pertama kali oleh:


KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA
BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Jalan I Dewa Nyoman Oka 34, Yogyakarta 55224
Telepon (0274) 562070, Faksimile (0274) 580667

Cetakan Pertama:
November 2014
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
BAHASA BAGONGAN, Soepomo Poedjosoedarmo, dkk., Yogyakarta:
Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2014
(viii, 114hlm,; 14,5x21cm)
ISBN: 978-602-1048-10-8

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Sanksi Pelanggaran Pasal 72, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang


Hak Cipta.
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak m elakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak
Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

ii
Bahasa Bagongan

PENGANTAR
KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI DIY

Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 dan Peraturan Peme-


rintah No. 57 Tahun 2014 dengan tegas menyatakan bahwa peme-
rintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, wajib
mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra
(Indonesia dan daerah) agar tetap memenuhi kedudukan dan
fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan per-
kembangan zaman. Dalam rangka memenuhi kewajiban itulah,
Balai Bahasa Provinsi DIY pada tahun 2014 ini melakukan serang-
kaian kegiatan, di antaranya, ialah penerbitan buku kebahasaan
dan kesastraan.
Kegiatan penerbitan buku ini dilakukan sebagai tindak lanjut
dari kegiatan pengembangan dengan tujuan agar apa yang telah
dihasilkan dapat diketahui dan/atau dimanfaatkan oleh khala-
yak. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Permendikbud No.
21 Tahun 2012 bahwa Balai Bahasa memiliki kewajiban memasya-
rakatkan hasil-hasil pengembangan (pengkajian, penelitian, dan
kodifikasi) kepada masyarakat. Diharapkan penerbitan hasil-
hasil pengembangan kebahasaan dan kesastraan ini dapat
menjadi sarana bagi peningkatan keterampilan dan kemampuan
masyarakat dalam berbahasa dan bersastra.
Buku berjudul Bahasa Bagongan karangan Soepomo
Poedjosoedarmo dan Laginem ini merupakan hasil penelitian
yang dilakukan pada tahun 1984. Pengamatan dan pembahasan
bahasa Bagongan ini belum pernah dilakukan. Padahal, bahasa

iii
Bahasa Bagongan

tersebut merupakan bahasa yang sangat spesifik penggunaannya,


yaitu khusus di lingkungan keraton Yogyakarta.
Buku Bahasa Bagongan ini berisi tentang bentuk dan pemakai-
an bahasa Bagongan. Di samping itu, diuraikan juga pemeroleh-
an bahasa Bagongan dan perkembangannya.
Sebagai salah satu budaya, bahasa Bagongan perlu dilakukan
inventarisasi sebelum terjadi kepunahan karena penuturnya
semakin menyusut. Untuk itu, penerbitan buku ini dilakukan.
Dengan membaca buku ini masyarakat dapat mengetahui perihal
bahasa Bagongan secara lebih lengkap.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh tim
kerja, baik penulis, penilai, penyunting, maupun panitia pener-
bitan sehingga buku ini layak dibaca oleh khalayak (masyarakat).
Kami yakin bahwa tak ada satu pun kerja yang sempurna, dan
oleh karenanya, kehadiran buku ini terbuka bagi kritik dan saran.
Kami hanya ingin buku ini membuka cakrawala hidup dan pikiran
kita.

Yogyakarta, November 2014

Drs. Tirto Suwondo, M. Hum.

iv
Bahasa Bagongan

KATA PENGANTAR

Penelitian tentang bahasa Bagongan ini ternyata telah mem-


bukakan pengetahuan kita kepada dimensi fungsi kebahasaan
yang boleh dikatakan baru. Bahasa Bagongan di kalangan kera-
jaan Jawa tidak sekadar dipakai sebagai alat komunikasi, me-
lainkan ada fungsi lain yang dibebankan padanya. Bahasa
Bagongan dipakai dalam kehidupan kerajaan sebagai simbol
kebesaran kerajaan.
Pengetahuan semacam ini terlihat sepele, tetapi betul-betul
telah menjadikan kita bertambah pengetahuan. Maka dari itu,
kami para anggota tim peneliti sangat berterima kasih kepada
Saudara Pemimpin Proyek Penelitian Balai Penelitian Bahasa dan
Sastra, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Yogyakarta
yang telah berkenan memberi tugas kepada kami para anggota
tim peneliti untuk meneliti persoalan bahasa Bagongan ini.
Bermula tim ini beranggotaan Prof. Dr. Soepomo
Poedjosoedarmo, Dra. Laginem, dan Dr. Gloria Soepomo. Tim
ini juga diperkuat oleh R.M. Suyamto yang dalam kegiatan ini
bertindak sebagai pembantu peneliti. R.M. Suyamto telah ber-
hasil mengumpulkan data yang kami perlukan, baik yang berupa
data percakapan maupun yang berupa data tertulis. Pencaharian
data juga telah mendapat bantuan dari Daru Winarti dan Endang
Kurniati. Akan tetapi, karena kesibukannya, Dr. Gloria Soepomo
kemudian tidak dapat mengikuti penelitian ini sampai selesai.

v
Bahasa Bagongan

Walaupun begitu, kami sungguh merasa berterima kasih atas


bantuan serta tambahan gagasan yang beliau berikan kepada kami
untuk terselesaikannya tugas penelitian ini.
Kami juga menyampaikan banyak terima kasih atas nasihat
dan saran yang diberikan kepada kami oleh Prof. Drs. M. Ramlan,
yang dalam kegiatan penelitian ini telah bertindak sebagai kon-
sultan kami.
Penelitian laporan ini dilaksanakan oleh Sabarisman dan oleh
Suharso. Untuk itu, para anggota tim peneliti juga menyampaikan
banyak terima kasih.

Ketua Tim

Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo

vi
Bahasa Bagongan

DAFTAR ISI

PENGANTAR KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI DIY... iii


KATA PENGANTAR .................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................. vii

BAB I
PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Penelitian ............................................. 1
1.2 Masalah Penelitian dan Ruang Lingkup ..................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................ 5
1.4 Kerangka Teori ............................................................... 5
1.5 Metodologi ...................................................................... 6
1.6 Populasi dan Sampel ...................................................... 7

BAB II
BENTUK BAHASA BAGONGAN ............................................. 9
2.0 Pendahuluan .................................................................... 9
2.1 Hakekat Bahasa Bagongan ........................................... 9
2.2 Dialek Bahasa Bagongan ............................................. 12
2.3 Undha Usuk Bahasa Bagongan ................................... 16
2.4 Ragam Bahasa Bagongan ............................................ 19
2.5 Kekhususan Bahasa Bagongan ................................... 20
2.6 Contoh Pemakaian ....................................................... 23

BAB III
PEMAKAIAN BAHASA BAGONGAN .................................. 43
3.0 Pendahuluan .................................................................. 43
3.1 Kekhasan Pemakaian Bahasa Bagongan .................. 43

vii
Bahasa Bagongan

3.2 Situasi Pemakaian Bahasa Bagongan ........................ 45


3.3 Pemakaian Bahasa Bagongan ..................................... 48
3.4 Pemakaian Bahasa Kedaton di Surakarta ................ 49
3.5 Pokok Pembicaraan ...................................................... 50
3.6. Tujuan Pemakaian Bahasa Bagongan ........................ 50
3.7 Keadaan Pemakaian Bahasa Bagongan Dewasa Ini54

BAB IV
PEMEROLEHAN BAHASA BAGONGAN ........................... 69
4.1 Cara Belajar ................................................................... 69
4.2 Pelajar ............................................................................. 72
4.3 Macam Kesalahan ......................................................... 73
4.4 Penyebab Kesalahan .................................................... 83

BAB V
PERKEMBANGAN BAHASA BAGONGAN ....................... 87
5.1 Petunjuk dari Dokumen Tertulis ............................... 87
5.2 Dari Mana Asal Nama Bahasa Bagongan ................ 88
5.3 Bahasa Bagongan Yogyakarta vs. Bahasa Kedaton
Surakarta ........................................................................ 90
5.4 Kemungkinan Bentuk Bahasa Kedaton Zaman
Mataram ......................................................................... 94
5.5 Kesimpulan .................................................................. 101

BAB VI
KESIMPULAN ............................................................................ 103

DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 107


LAMPIRAN ................................................................................. 109

viii
Bahasa Bagongan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian


Dalam sistem sopan-santun bahasa Jawa terdapat apa yang
disebut bahasa Bagongan. Istilah ini dipakai di Yogyakarta. Di
daerah Surakarta, dan barangkali di daerah Jawa lainnya, istilah
bahasa Kedaton lah yang sering dipakai.
Bahasa Bagongan memiliki kekhasan sendiri apabila diban-
dingkan dengan variasi tutur yang lain. Berbeda dengan dialek,
yang pemakaiannya dilatarbelakangi oleh asal usul si penutur,
bahasa Bagongan tidak dipakai kata asal atau latar belakang si
penuturnya. Memang betul bahwa bahasa Bagongan ini hanya
dipakai oleh orang-orang yang memiliki latar belakang “profesi”
tertentu, tetapi bukan itu saja yang menentukan pemakaiannya.
Bahasa Bagongan di segi lain juga mirip-mirip dengan undha-
usuk, yang pemakaiannya ditentukan oleh sikap si penutur de-
ngan orang yang diajak berbicara. Namun, seperti di atas telah
dikatakan bahwa bukan sikap santun dan tidaknya si penutur
itu saja yang menentukan pemakaiannya. Agak mirip dengan
ragam tutur, bahasa Bagongan juga ditentukan dengan suasana
tutur. Akan tetapi, pemakaian bahasa Bagongan ini rasanya juga
ditentukan oleh hal lain di samping suasana tutur itu. Lalu, apa-
kah yang menjadi faktor penentu dipakainya bahasa Bagongan
itu? Hal ini perlu diteliti. Namun, karena banyak orang belum
mengetahui tentang seluk beluk bahasa Bagongan ini, bentuk
dari bahasa Bagongan itu sendiri perlu dilukiskan terlebih

1
Bahasa Bagongan

dahulu. Bagaimanakah sebetulnya bentuk bahasa Bagongan?


Adakah ia menyerupai bahasa Jawa yang biasanya dipakai di
dalam kehidupan sehari-hari? Ataukah bahasa Bagongan itu
berbentuk sama sekali lain daripada bentuk bahasa Jawa yang
biasanya?
Penelitian tentang bahasa Bagongan ini penting, artinya
paling tidak dari sudut kepentingan inventarisasi kebahasaan.
Karena kelangsungan hidup dan kelangsungan pemakaian ba-
hasa Bagongan itu sangat erat hubungannya dengan kelangsung-
an tradisi kerajaan Jawa, sedangkan kelangsungan tradisi kera-
jaan Jawa tampaknya tidak tampak cerah di dalam sejarah ke-
hidupan di Indonesia, sebaiknyalah penelitian ini segera dila-
kukan. Dengan demikian, segala sesuatu tentang bahasa Ba-
gongan ini dapat dicatat dengan baik. Di kemudian hari, apabila
bahasa Bagongan ini tidak dipakai lagi, segala sesuatunya telah
dapat kita ketahui dengan baik, dan intisarinya yang dapat kita
manfaatkan telah dapat kita kuasai dengan baik.
Selanjutnya, hal yang juga menarik untuk diketahui ialah
faktor yang kiranya telah menyebabkan timbulnya bahasa Ba-
gongan ini. Kalau kita mengatakan bahwa bahasa Bagongan
timbul dalam alam kerajaan, mengapa kerajaan-kerajaan lainnya
di dunia ini tidak banyak yang menimbulkan variasi bahasa se-
perti bahasa Bagongan ini? Di dalam sejarah kerajaan Inggris,
Belanda, Jerman, dan kerajaan lain di Eropa rasanya belum per-
nah timbul suatu variasi kebahasaan seperti bahasa Bagongan
ini. Barangkali di beberapa kerajaan besar di daerah Asia ada
yang pernah memakai suatu variasi kebahasaan seperti bahasa
Bagongan ini, tetapi kalau memang begitu, lalu apakah maknanya
dengan timbulnya bahasa Bagongan ini?
Adakah gejala yang timbul dengan dipakainya bahasa Ba-
gongan di dalam suatu sistem keistanaan ini merupakan hal sehat
atau yang tidak sehat bagi perkembangan kehidupan keistanaan
itu? Adakah hal itu harus kita coba untuk kita cegah perkem-
bangannya atau kita usahakan hidup subur? Pertanyaan seperti

2
Bahasa Bagongan

ini kiranya akan dapat terjawab apabila bahasa Bagongan ini


diteliti dengan baik. Pertanyaan yang berhubungan erat dengan
usaha pembinaan dan pengembangan bahasa ini akan dapat
terjawab apabila segala sesuatunya tentang bahasa Bagongan
ini sudah diteliti dengan seksama.
Dari sudut ilmu linguistik, pengetahuan tentang bahasa
Bagongan ini terang akan memberi tambahan yang menggem-
birakan, mengingat bahwa gejala seperti bahasa Bagongan ini
tidak banyak terdapat di tempat lain.
Sebetulnya, perihal bahasa Bagongan ini pernah juga ditulis
oleh beberapa sarjana lain. Astuti Hendrarto melaporkan adanya
bahasa Bagongan ini dihadapan peserta seminar bahasa–bahasa
Austronesia ke I di Honolulu. (Astuti Hendrarto, 1974). Jauh
sebelum itu pernah juga ditulis secara singkat oleh seorang sarja-
na Belanda di suatu majalah ilmiah terbitan negeri Belanda
(Djawa?). Astuti Hendrarto dalam makalahnya telah menyajikan
analisis yang cukup jelas tentang bentuk bahasa Bagongan beserta
beberapa contoh pemakaiannya. Berdasarkan analisis Astuti
Hendrarto itu, laporan yang sekarang disajikan ini diusahakan
kelengkapannya. Datanya ditambah dan segi penglihatannya pun
dibuat lebih komprehensif daripada apa yang telah pernah disaji-
kan. Permasalahan yang ditampilkan dalam penelitian kali ini
mencakup hal-hal yang diusahakan lebih luas dari penelitian yang
dulu pernah diadakan. Tujuan penelitian kali ini walaupun mirip
dengan apa yang telah pernah ada dibuat lebih luas jangkauan-
nya. Adapun pernyataan tentang tujuan dan rumusan tentang
permasalahan itu disajikan dalam bagian berikut.

1.2 Masalah Penelitian dan Ruang Lingkup


Sejalan dengan yang disebutkan di atas, hal yang sangat
menarik untuk diteliti ialah bentuk bahasa Bagongan itu, pema-
kaiannya dalam kehidupan sehari-hari, dan sejarah timbulnya
di kalangan kehidupan istana.

3
Bahasa Bagongan

Tentang hal bentuk, hal yang menarik perhatian ialah persa-


maan dan perbedaan bahasa Bagongan itu dengan bentuk variasi
tutur bahasa Jawa lainnya, seperti tingkat tutur ngoko, madya,
atau krama. Dilihat juga persamaan dan perbedaannya dengan
ragam tutur informal, formal, dan barangkali dengan ragam sas-
tra, persamaan dan perbedaannya dengan dialek bahasa Jawa
standar Yogyakarta–Surakarta atau dialek bahasa Jawa yang
lain. Ada kekhasan apakah pada sistem bunyinya, sistem morfo-
sintaksisnya, dan juga dalam perbendaharaan katanya.
Tentang hal pemakaiannya, hal yang menarik perhatian ialah
luasnya jangkauan pemakaian bahasa Bagongan itu dalam ke-
hidupan sehari-hari yaitu dari sudut (a) komponen tuturnya,
(b) situasi tutur yang dapat terjadi dengan bahasa Bagongan,
(c) tempat pemakaian, (d) suasana peristiwa, (e) peserta pemakai-
an (penutur, orang yang diajak bicara, dan orang yang kebetulan
hadir), (f) tujuannya, dan (g) topik pembicaraan yang dikomu-
nikasikan. Adakah Bahasa Bagongan ini dipakai dalam segala
situasi, oleh setiap orang Jawa, untuk menyampaikan segala mak-
sud pembicaraan, dan topik pembicaraan seperti lazimnya
disampaikan oleh Bahasa Jawa? Ataukah bahasa Bagongan itu
hanya digunakan oleh orang-orang tertentu kepada orang-orang
tertentu pula, dalam menyampaikan topik pembicaraan yang
terbatas, dalam tempat atau waktu peristiwa yang terbatas saja?
(Hymes, dan Soepomo, 1979).
Perihal sejarah timbulnya ini sebetulnya sangat menarik
untuk diperhatikan. Apabila kita dapat mengenali bagaimana
sejarah timbulnya, di masa yang akan datang kita dapat meng-
usahakan arah perkembangan bahasa kita pada umumnya dengan
lebih baik. Sejarah timbulnya bahasa Bagongan ini dapat memberi
pengetahuan kepada kita akan beberapa kecenderungan perkem-
bangan suatu bahasa apabila bahasa itu berada di dalam konteks
situasi yang tertentu. Pengetahuan semacam ini tentu sangat ber-
guna dalam bidang perencanaan bahasa. Dalam hal ini yang per-
lu kita pertanyakan ialah faktor apa yang telah mendorong lahir-

4
Bahasa Bagongan

nya bahasa Bagongan itu. Kemudian yang juga kita pertanyakan


ialah proses perkembangan bahasa Bagongan itu dalam pema-
kaiannya sehari-hari.
Jadi, secara singkat dapat dirumuskan bahwa ruang lingkup
penelitian ini telah meliputi hal-hal berikut.
a. Bagaimanakah bentuk bahasa Bagongan itu?
b. Bagaimanakah pemakaiannya sehari-hari?
c. Bagaimanakah sejarah dan proses kehidupannya?

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian bahasa Bagongan ini bertujuan memperoleh (a)
perian tentang bentuk, (b) pemakaiannya sehari-hari, serta (c)
latar belakang keberadaannya.

1.4 Kerangka Teori


Tujuan yang sifatnya bermacam-macam ini menuntut adanya
pendekatan yang bermacam-macam pula.
Tujuan pertama yaitu untuk memperoleh perian tentang ben-
tuk bahasa Bagongan, kerangka kerja seperti yang lazimnya di-
pakai untuk menghasilkan tata bahasa deskriptif telah diterap-
kan. Di dalam praktek, bahasa Bagongan dikumpulkan kemudian
dianalisis dari berbagai segi kebahasaan, tatabunyi, morfosin-
taksis, dan perbendaharaan katanya. Dengan kata lain, kerangka
kerja seperti yang biasanya dipakai oleh para sarjana linguistik
struktural telah ditetapkan.
Untuk memperoleh gambaran tentang pemakaiannya di da-
lam kehidupan sehari-hari, cara kerja dengan pengamatan secara
langsung telah ditetapkan. Akan tetapi, pencatatan dengan kaset
recorder secara sembunyi ternyata amat sulit dikerjakan. Dalam
prakteknya, pemakaian bahasa Bagongan secara wajar dalam
percakapan sehari-hari amat sulit ditemukan. Kenyataannya se-
karang ini, apa yang menurut aturan seharusnya dijalankan de-
ngan memakai bahasa Bagongan ternyata banyak dijalankan de-
ngan bahasa Jawa biasa. Hasil rekaman yang berhasil diperoleh

5
Bahasa Bagongan

oleh anggota tim dan disajikan di dalam laporan ini sebagai con-
toh pada umumnya dibuat dengan diketahui oleh peserta per-
cakapan. Bahkan sebetulnya, percakapan itu dibuat karena per-
mintaan anggota tim.
Dengan demikian cara kerja seperti yang biasanya dikerjakan
oleh para sosiolinguis di dalam penelitiannya dengan teknik pe-
ngumpulan data secara “menyadap” percakapan orang tidak ber-
hasil dikerjakan. Cara seperti yang ditempuh oleh Wolf dan Poe-
djosoedarmo tidak dapat diterapkan secara penuh. Namun demi-
kian, cara analisis tetap dijalankan dengan memperhatikan “kom-
ponen tutur” seperti dikerjakan oleh Wolf dan Poedjosoedarmo
itu (1981 a) dan juga oleh Poedjosoedarmo, dkk. (1981 b).
Selanjutnya, untuk memperoleh gambaran tentang latar
belakang timbulnya bahasa Bagongan, tentang proses perkem-
bangannya telah diterapkan cara penelitian yang agak lain. Da-
lam hal ini pemeriksaan kepada beberapa dokumen tertulis kuno
telah dijalankan, walaupun dengan sangat menyesal perlu dila-
porkan bahwa hasilnya sama sekali tidak memuaskan. Wawan-
cara dengan orang-orang yang dianggap tahu mengenai perkem-
bangan bahasa Bagongan ini juga dijalankan. Akan tetapi, sekali
lagi, hasilnya juga belum seperti yang diharapkan.
Secara singkat perlu dicatat bahwa di dalam penelitian ini
telah dijalankan beberapa cara penelitian yang berbeda-beda.

1.5 Metodologi
Sejalan dengan kerangka teori yang bermacam-macam untuk
menuju ke tujuan yang berbeda-beda, dalam penelitian ini telah
diterapkan teknik pengumpulan data dan teknik analisis yang
bebeda-beda pula. Untuk mengumpulkan data yang akan dipakai
untuk memperoleh gambaran tentang bentuk bahasa Bagongan,
telah dikumpulkan data percakapan yang telah dituturkan oleh
para abdi dalem keraton Yogyakarta. Di samping itu, beberapa
surat yang ditulis oleh Pamerintah Hageng Karaton Yogyakarta
pun juga telah dikumpulkan. Terhadap data inilah analisis

6
Bahasa Bagongan

deskriptif-analitis untuk mendapatkan aturan gramatika bahasa


Bagongan itu diterapkan.
Untuk memperoleh gambaran tentang pemakaiannya, para
anggota tim peneliti telah mencoba mengamati pemakaian ba-
hasa Bagongan ini di dalam istana Kraton Yogyakarta. Di sam-
ping itu, ada yang telah terkumpul dan dianalisis dengan mem-
perhatikan berbagai komponen tutur seperti disebutkan di atas.
Di samping itu, peraturan pemakaian seperti tertera di dalam
brosur yang diterbitkan oleh pihak Pamerintah Hageng Istana
Yogyakarta juga diteliti. Agar lengkap, maka wawancara terha-
dap beberapa abdi dalem istana Yogyakarta pun telah dijalankan
untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut tentang pemakaian
bahasa Bagongan itu.
Guna mendapatkan gambaran tentang riwayat timbulnya
dan proses perkembangan kehidupan atau pemakaian bahasa
Bagongan ini pemeriksaan terhadap kitab-kitab lama seperti kitab
Raja Kapa Kapa dan beberapa babad lainnya, serta terhadap do-
kumen-dokumen yang diterbitkan oleh pihak Pamerintah Ha-
geng Karaton Yogyakarta telah dilakukan. Akan tetapi, dari pe-
meriksaan tersebut, hasilnya ternyata masih sangat mengecewa-
kan. Tidak banyak keterangan yang dapat digali untuk dapat
menjawab pertanyaan yang diajukan di dalam penelitian ini. Wa-
wancara terhadap beberapa punggawa Kraton Yogyakarta pun
ternyata belum dapat mengungkap rahasia timbulnya bahasa
Bagongan ini.

1.6 Populasi dan Sampel


Bahasa Bagongan masih di pakai di istana Yogyakarta. Akan
tetapi, di istana Surakarta, pemakaiannya sudah amat langka.
Bahasa Kedaton hanya dipakai barangkali dalam upacara-upa-
cara tradisional kekratonan yang keberadaannya termasuk agak
jarang. Maka dari itu, dalam persoalan populasi ini boleh dikata-
kan bahwa Bahasa Bagongan di Yogyakarta lah yang dapat di-

7
Bahasa Bagongan

amati dengan baik. bahasa Kedaton Surakarta agak kurang dapat


diperiksa karena memperoleh datanya teramat sulit.
Sampel yang terkumpul diusahakan dengan memperhatikan
faktor komponen tutur seperti disebutkan di atas, yaitu dengan
memperhartikan adanya peserta pembicaraan yang berbeda-
beda, situasi tutur yang berbeda-beda, maksud dan tujuan
percakapan yang berbeda-beda, pokok pembicaraan yang
berbeda-beda dan seterusnya.

8
Bahasa Bagongan

BAB II
BENTUK BAHASA BAGONGAN

2.0 Pendahuluan
Di dalam bab ini akan dibahas hal-hal yang berhubungan
dengan bentuk bahasa Bagongan atau bahasa Kedhaton. Yang
dimaksud dengan bentuk di sini ialah wujud bahasa Bagongan
itu dari berbagai segi unsur kebahasaan, tata ucap, tata bentuk
kata, tata kalimat dan inventarisasi kosa katanya. Di samping
itu, juga wujud bahasa Bagongan dari segi berbagai varian tutur-
nya, undha-usuk, dialeknya, dan ragamnya.
Untuk membahas hal ini telah dikumpulkan keterangan dari
dua buah sumber. Sumber pertama ialah data tutur yang berupa
percakapan dan surat-surat yang memuat wacana bahasa Ba-
gongan. Sumber kedua ialah peraturan yang diterbitkan oleh
pihak Keraton Yogyakarta beserta wawancara antara anggota
tim dengan beberapa personil staf punggawa Keraton Yogya-
karta. Dari kedua sumber itu analisis tentang bentuk bahasa
Bagongan berikut ini ditulis.

2.1 Hakekat Bahasa Bagongan


Apa yang disebut bahasa Bagongan sebetulnya bukanlah
bahasa yang mandiri, yang hakekatnya berlainan dengan bahasa
Jawa. Bahasa Bagongan sebetulnya walaupun varian dari bahasa
Jawa saja. Hampir keseluruhan unsur kebahasaannya, seperti
tata ucap, tata bentuk kata, tata kalimat, dan inventarisasi kata-
nya sama dengan tata ucap, tata bentuk kata dan tata kalimat

9
Bahasa Bagongan

bahasa Jawa. Di dalam bab 2.5 dikemukakan bahwa perbedaan


dengan varian tutur yang lain dalam bahasa Jawa ialah bahwa
bahasa Bagongan ini menggunakan beberapa kata yang berbeda
dengan kata-kata yang dipakai di dalam varian bahasa Jawa
yang lain. Di samping itu, bahasa Bagongan ini juga menggu-
nakan aturan pembentukan kata kerja dan kata benda yang agak
berbeda dengan aturan pembentukan kata kerja dan kata benda
yang lazim terpakai di dalam varian tingkat tutur krama.
Varian tutur yang manakah bahasa Bagongan itu? Apakah
bahasa Bagongan itu merupakan undha-usuk tambahan di luar
undha-usuk yang biasanya dibicarakan orang, yaitu tingkat ngoko,
krama, dan madya? Ataukah bahasa Bagongan ini menjadi ragam
tutur tambahan di luar ragam tutur informal, formal, dan
kesastraan seperti lazimnya dibicarakan orang?
Memang bahasa Bagongan ini menyerupai dialek profesi
apabila kita bersetuju bahwa dialek ialah varian tutur yang per-
bedaannya ditentukan oleh latar belakang pemakainya. Dalam
hal ini, bahasa Bagongan memang khusus dipakai oleh para pung-
gawa Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta. Akan tetapi,
pemakaian oleh para punggawa Keraton ini tidak merata meliputi
segala macam komunikasi. Bahasa Bagongan hanya dipakai oleh
para punggawa itu pada waktu mereka berada di kompleks ke-
raton, dan utamanya pada waktu Sri Sultan berada di tengah-
tengah mereka. Jadi, bahasa Bagongan tidaklah persis dengan
dialek, apalagi dialek geografi, dialek usia, dialek jenis kelamin,
atau dialek etnis. (Soepomo P, 1983).
Bahasa Bagongan juga menyerupai tingkat tutur. Jadi, ia
seolah-olah merupakan tingkat undha-usuk tambahan di samping
tingkat ngoko, krama, dan madya (Soepomo P, 1968). Ia menyeru-
pai tingkat tutur terutama karena bahasa Bagongan ini berada
dalam kerangka varian tutur yang diapakai untuk menyampai-
kan rasa hormat dan sopan-santun kepada orang yang diajak
berkomunikasi. Wujudnya menggunakan tingkat tutur krama,
kecuali imbuhan untuk kata kerja dan kata benda yang tidak

10
Bahasa Bagongan

mengikuti pola tingkat tutur krama, melainkan mengikuti tingkat


tutur ngoko. Jadi dari sudut bentuk tingkat tuturnya, bahasa Ba-
gongan ini menyeruapai tingkat tutur krama yang bercampur
madya. Dari ketentuan yang tertera dalam surat Pranatan Sowan/
Marak Lan Basa Bagongan (Paguyuban Habdidalem Pensiunan,
terlampir) dan dari hasil wawancara dapat diperoleh suatu ca-
tatan bahwa tampaknya bahasa Bagongan itu dimaksudkan un-
tuk menimbulkan rasa sama rata sama rasa di antara punggawa
keraton. Rasa yang bernada demokratis ini dinyatakan dengan
penggunaan bahasa Bagongan yang bentuknya setengah krama
dan setengah madya itu. Mungkin saja, cita rasa krama itu untuk
menyampaikan rasa hormat kepada teman yang diajak berbi-
cara, sedangkan cita rasa madya dimaksudkan untuk keakraban.
Akan tetapi, bahasa Bagongan ini pun bukanlah tingkat tutur
yang murni, karena pemakaiannya terbatas pada situasi yang
tertentu saja. Di luar kompleks keraton, bahasa Bagongan hanya
dipakai oleh para anggota staf punggawa keraton pada waktu
mereka itu berada di kompleks keraton, terutama pada waktu
raja hadir.
Kalau mengingat bahwa bahasa Bagongan hanya dipakai di
dalam situasi yang tertentu maka kita teringat pada apa yang
disebut ragam, yang pemakaiannya memang ditentukan atau
dipengaruhi oleh suasana percakapan. Kita mengenal ragam in-
formal, ragam formal, dan ragam sastra. Ragam informal dipakai
pada waktu situasi percakapan tidak begitu resmi atau santai
saja. Ragam formal dipakai apabila situasi tutur bersifat resmi.
Ragam sastra dipakai apabila situasi tutur bersifat indah, sengsem
atau menawan hati. (Soepomo P, 1983). Kalau mengingat hal
ini, yaitu bahwa varian tutur yang pemakaiannya ditentukan
oleh situasi percakapan, rasanya bahasa Bagongan inipun dapat
dikatakan suatu ragam bahasa atau ragam tutur. Bahasa Ba-
gongan ialah suatu ragam tutur bahasa Jawa yang dipakai dalam
situasi kedinasan keraton. Namun, seperti apa yang dikatakan
di atas, ragam ini pun tidaklah seratus persen sifatnya. Karena

11
Bahasa Bagongan

di samping dipakai dalam situasi tertentu, bahasa Bagongan juga


dipakai untuk menunjukkan tingkat kesopanan tertentu dan juga
untuk dipakai oleh orang-orang tertentu saja.
Jadi, apa yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan
bahwa bahasa Bagongan sebetulnya ialah campuran dari varian
undha-usuk, varian dialek profesi, dan varian ragam. Bahasa Ba-
gongan ialah campuran dari ketiganya. Setengahnya ia merupa-
kan varian undha usuk karena ia juga dipakai untuk menyampai-
kan suatu pernyataan sopan santun. Setengahnya, ia juga berupa
varian ragam karena bahasa Bagongan itu juga dipakai untuk
menggambarkan suasana percakapan tertentu. Setengahnya lagi,
bahasa Bagongan itu juga berupa varian dialek profesi sebab
varian tutur bahasa Bagongan ini hanya dipakai oleh penutur
yang terbatas, yaitu para abdi dalem dan keluarga keraton.

2.2 Dialek Bahasa Bagongan


Kalau bahasa Bagongan ini merupakan varian saja dari ba-
hasa Jawa, lalu bahasa Bagongan itu termasuk varian dari dialek
yang mana? Dari dialek Yogyakarta-Surakartakah, Banyumas-
kah, atau dari dialek yang lain-lain? Dari dialek kelas sosialnya,
ia termasuk dialek orang berkelas tinggikah atau rendahkah atau
menengahkah?
Di atas telah disebutkan bahwa rasanya bahasa Bagongan
itu sudah dapat digolongkan pada golongannya dialek profesi,
yaitu “bahasa” khusus yang digunakan oleh orang-orang dari
profesi tertentu. Bahasa Bagongan hanya digunakan oleh para
punggawa keraton dan para abdi dalem keraton. Namun, varian
yang berwujud bahasa Bagongan ini apabila diletakkan kepada
jaringan dialek geografi, dimanakah letaknya? Jawabnya ialah
bahwa bahasa Bagongan ini termasuk golongan dialek Bahasa
Jawa baku, yang umumnya terpakai di Surakarta dan Yogya-
karta. Artinya, bahasa Bagongan itu bukannya dari dialek Ba-
nyumas, dialek Surabaya atau yang lain-lain. Jadi, wujud bahasa
Bagongan ialah pada dasarnya bahasa Jawa yang dipakai oleh

12
Bahasa Bagongan

orang-orang dari daerah Yogyakarta dan Surakarta dan dari


daerah-daerah sekitarnya. Dari dialek itu, varian tutur krama
diambil. Dari varian tutur krama itu apabila ada bentuk kata kerja,
kata kerja itu afiksasinya berupa afiksasi ngoko saja, dan apabila
ada kata benda jadian, afiksasinya juga berbentuk ngoko, dan
kemudian ada beberapa kata yang berbentuk khusus kata dari
bahasa Bagongan.
Semua gejala dari sistem fonologi dan morfosintaksis yang
ada di dalam dialek geografi bahasa Jawa Surakarta dan Yog-
yakarta digunakan dalam bahasa Bagongan itu. Bunyi /o/ yang
ada pada kebanyakan kata-kata bahasa Jawa dialek Surakarta
dan Yogyakarta ada pada bahasa Bagongan ini. Sebagai contoh
kata-kata gongsa ‘gamelan’, sorya, ‘tanggal; karsa ‘kehendak’, konca
‘teman’, wiyoga ‘pemukul gamelan’, sango ‘sembilan’, tata ‘tata.
atur’, sarta ‘serta’, sedasa ‘sepuluh’, rama (gelar kepada seseorang
yang terhormat), mila ‘memang’.
Ucapan bunyi /b/, /d/, dan /g/ pada akhir kata pun men-
jadi seperti tak-bersuara. Jadi, ucapan ini mengikuti pola dialek
Surakarta dan Yogyakarta, dan bukannya dialek Banyumas.
Kata-kata tugas dan kata-kata lain yang berfrekuensi tinggi
kesemuanya merupakan kata tugas dan kata bermakna yang
biasa terpakai di dalam dialek bahasa Jawa Yogyakarta dan
Surakarta. Contoh:
saking - dari
dhateng - ke
ing - di
kangge - untuk
dumugi - sampai
ngantos - sampai, sehingga
kaliyan - dengan
sarta - serta
utawi - atau
lajeng - lalu
kaping - ke

13
Bahasa Bagongan

wanci - saat
sampun - sudah
dereng - belum
meh - hampir
memper - menyerupai
kados - seperti
radi - agak
miturut - menurut
taksih - masih
keleres - kebetulan
badhe - akan
malih - lagi
asring - sering
mila - memang
mangke - nanti
benjing - besuk
sinten - siapa
kagem - untuk
jalaran - karena
nanging - tetapi
sanes - bukan
mbokmanawi - barangkali
kajawi - kecuali
manawi - kalau
kepareng - boleh
wong - (partikel)
miyos - keluar
mlebet - masuk
tedhak - turun
minggah - naik
sumerep - tahu, melihat
mriksani - melihat, memeriksa
matur - berkata
ngandika - berkata

14
Bahasa Bagongan

dhawuh - memberi perintah


kondur - pulang
tindak - berjalan
ndherek - ikut
paring - beri
sowan - menghadap
kendel - berhenti
sare - tidur
mireng - mendengar
midhanget - mendengar
suwun - minta
mundhut - minta
Jadi, kata-kata yang terpakai, terutama kata-kata krama dan
krama inggil diambil dari kosakata dialek bahasa Jawa dari daerah
sekitar Yogyakarta–Surakarta.
Sebetulnya, tentang dialek ini orang dengan cepat dapat
menduga bahwa yang terpakai ialah tutur krama maka dialeknya
tentunya berupa dialek Yogyakarta–Surakarta, sebab tingkat
tutur krama ini yang menjadi standar juga berupa dialek baku
Yogyakarta–Surakarta?
Selanjutnya, apabila dilihat dari kelasnya, apakah bahasa
Bagongan ini termasuk pada golongan dialek kelas tinggi atau-
kah dialek kelas rendah? Terhadap pertanyaan ini, jawabnya
tentu saja sangat gampang. Bahasa Bagongan termasuk pada
golongan dialek kelas tinggi. Bukankah hanya orang-orang ter-
pilih saja yang betul-betul menggunakan variasi bahasa ini? Bu-
kankah hanya orang-orang yang sangat dekat dengan raja saja
yang menggunakan varian bahasa ini? Jadi, dalam hal ini, ke-
pandaian berbahasa Bagongan sebetulnya merupakan ciri dari
orang-orang yang dekat dengan raja. Kepandaian menggunakan
bahasa Bagongan berarti keturunan keluarga bangsawan atau
berarti orang yang telah berhasil menempatkan dirinya pada
kalangan istana raja.

15
Bahasa Bagongan

2.3 Undha Usuk Bahasa Bagongan


Jika dtinjau dari tingkat tuturnya atau tingkat undha-usuk,
bahasa Bagongan dapat digolongkan pada tingkat tutur krama
yang bercampur tingkat madya. Artinya, pada garis besarnya,
bahasa Bagongan ini menggunakan leksikon krama, tetapi terasa
adanya campuran madya karena imbuhan yang dapat di-ngoko-
kan dinyatakan di dalam bentuk ngoko. Kita tahu bahwa tingkat
tutur yang menggunakan kata-kata krama, tetapi sementara itu
juga menggunakan imbuhan ngoko, lalu tingkatnya terasa madya.
Akan tetapi, tingkat tutur bahasa Bagongan ini tidak juga dapat
dikatakan madya seratus persen karena bahasa Bagongan itu
menggunakan kata-kata tugas dan kata-kata berfrekuensi tinggi
yang berbentuk krama penuh dan bukannya berbentuk madya
seperti lazimnya digunakan oleh tingkat tutur madya.
Seperti kita lihat di dalam contoh, kata-kata yang terpakai
di dalam bahasa Bagongan itu biasanya ialah kata-kata dari
tingkat krama. Contoh pada tabel berikut.

Bentuk yang terpakai B. Indonesia Bentuk Madya


ingkang yang sing
benjing besuk njing
kaping ke ping
sampun sudah mpun
kaliyan dengan kalih
badhe akan ajeng
dhumateng ke teng

Kita cenderung mengatakan bahwa bahasa Bagongan ialah


tingkat krama dan bukannya tingkat madya karena apabila ada
kata-kata yang mempunyai bentuk alternatif krama-ngoko, kata-
kata krama-lah yang dipakai. Di dalam tingkat tutur madya se-
ringkali pilihan jatuh pada kata-kata yang bertingkat ngoko,
apabila bentuk madya tidak ada.

16
Bahasa Bagongan

Kata yang terpakai


B. Indonesia Bentuk Ngoko
(bentuk krama)
serat surat layang
saking dari saka
kados seperti kaya
dinten hari dina
utawi atau utawa
wanci saat wayah
gongsa gamelan gamelan
ingkang yang sing
ngangge memakai nganggo
ijem hijau ijo

Di samping itu, tingkat tutur madya biasanya penuh dengan


bentuk yang kurang lengkap. Kata-kata yang terpakai ditandai
oleh adanya penanggalan-penanggalan yang menjadikan tingkat
itu terasa informal dan kurang begitu menghormati. Berbeda
dengan keadaan itu, bahasa Bagongan ini tidak dibenarkan
menggunakan kata-kata yang berbentuk tidak lengkap. Di sana-
sini kata-kata yang terpakai, bahkan berbentuk sastra, lebih
lengkap daripada apa yang biasanya terpakai sehari-hari. Di
sana-sini terpakai kata-kata imbuhan Kawi, yang menjadikan
kata itu lalu terasa literer. Contoh:

Bentuk yang terpakai B. Indonesia Bentuk Biasa


kakersakake dikehendaki dikersakake
handhawuhake memerintahkan ndhawuhake
mangangge memakai ngangge
dhumateng ke dhateng
mangaler ke utara ngaler
sinerat ditulis di (pun) serat
lumebet masuk mlebet

Awalan ka-, aN-, maN-, dan sisipan –um- dan –in- merupakan
imbuhan Kawi. Imbuhan ini biasanya diapakai untuk memen-
carkan arti indah dalam pemakaian bahasa sekarang ini.
17
Bahasa Bagongan

Jadi, satu-satunya hal yang menyebabkan bahasa Bagongan


ini terasa agak seperti undha-usuk madya ialah adanya ketentuan
menggunakan imbuhan ngoko di-, -ake, dan –e. Seandainya tanpa
ketentuan penggunaan imbuhan ngoko itu, dan imbuhan itu di-
ganti dengan imbuhan krama dipun-, -aken, dan –ipun, maka ting-
kat tutur bahasa Bagongan itu akan secara penuh terasa sebagai
tingkat krama.
Lalu tingkat krama yang manakah bahasa Bagongan itu? Kita
tahu bahwa tingkat krama itu bermacam-macam, ada yang tinggi,
ada yang tengahan, dan ada pula yang agak rendah. Pada umum-
nya, tingkat krama yang terpakai ialah krama yang tergolong hor-
mat. Di dalam buku tata bahasa, tingkat ini sering disebut tingkat
muda krama, yaitu tingkat krama yang menggunakan kata-kata
krama inggil (kata-kata honorifif) terutama untuk perkerjaan atau
milik yang ada pada orang yang diajak berbicara. Untuk membi-
carakan orang ke-3 yang tidak hadir dan yang sangat terhormat
tentu saja kata-kata krama inggil itu menjadi keharusan.
Di dalam prakteknya, penggunaan kata-kata krama inggil un-
tuk perbuatan dan milik orang ke-2 yang menjadi teman berbicara
ini dapat berkurang apabila si orang ke-2 ini berstatus lebih
rendah dari si penutur. Kata-kata krama inggil ini menjadi lebih
banyak apabila si orang ke-2 memiliki status sosial yang lebih
tinggi daripada si penutur. Sebagai contoh percakapan di bawah
ini antara Kanjeng Gusti yang memiliki status lebih tinggi dari-
pada teman percakapannya hanya menggunakan kata sumerep
‘tahu, melihat’ dan bukannya priksa yang sebenarnya lebih hor-
mat. Dalam percakapan berikutnya Bandara yang lebih tua juga
hanya menggunakan tata krama untuk menunjuk kepada per-
buatan si teman bicara yang lebih muda usianya. Di dalam perca-
kapan itu kata mireng ‘mendengar’ dipakai dan bukannya kata
yang lebih hormat, yaitu midhanget.
Namun, pada umumnya memang kata-kata krama inggil ini
ditampilkan apabila hal ini menunjuk kepada perbuatan atau
milik orang kedua yang diajak berbicara. Dalam percakapan an-

18
Bahasa Bagongan

tara Kanjeng Gusti yang berstatus lebih tinggi terdapat kata mrik-
sani ‘melihat’ (krama inggil) yang ditujukan kepada seorang Ban-
dara yang statusnya lebih rendah.

2.4 Ragam Bahasa Bagongan


Ditinjau dari segi formal tidaknya, bahasa Bagongan daoat
dikatakan termasuk ragam tutur yang sifatnya formal. Hal ini
sesuai dengan klasifikasi bahasa Bagongan sebagai tingkat tutur
krama. Ragam bahasa informal biasanya ditandai dengan bebe-
rapa hal, yaitu adanya banyak penanggalan, struktur kalimat
yang longgar (ada pengulangan dan pembalikan), pemakaian
partikel kalimat penginformal, penggunaan istilah dari dialek
yang kurang baku, adanya alih kode, diapakainya gatra tag (Ing-
gris) atau sastra tambahan, dan penggunaan interjeksi. (Soepomo
P, 1983). Dalam contoh yang tersaji dan juga dalam pemakaian
pada umumnya, hal-hal seperti itu tidak ada.
Penanggalan memang terkadang juga ada, tetapi hal itu sebe-
tulnya amat jarang, dan hanya ada apabila pembicaraan menjadi
sangat akrab. Di dalam contoh percakapan antara Kanjeng Gusti
yang masih berusia muda terdapatlah penanggalan pada kata
dados ‘jadi’ menjadi dos, enggeh, ‘ya’ menjadi nggèh dan mekaten
‘begitu’ menjadi ngaten. Karena penanggalan itulah, percakapan
itu lalu terasa akrab dan bernada jenaka. Maka dari itu, tanda
penginformal yang lainnya pun juga terpakai. Di dalam percakap-
an seperti itu sering dipakai interjeksi ha, la, lo, dan sebagainya.
Di dalam percakapan yang akrab itu terdapat juga partikel
anu. Partikel yang menunjukkan keraguan si penutur ini pun
sebetulnya terasa kurang mengenai di dalam pemakaian bahasa
Bagongan di sini. Hal itu lalu menjadikan kalimat-kalimat terasa
agak informal. Bersamaan dengan hal itu, pada si penutur yang
sama terdapat juga partikel kok dan juga pemakaian interjeksi ha
dan é.
Data semacam itu jumlahnya sangat terbatas, dan dalam hal
peraturan pemakaian, rasanya agak kurang mengena. Yang terasa

19
Bahasa Bagongan

mengena ialah data yang lengkap, tidak mengalami penanggalan


penggunaan kata, suku kata, atau penanggalan apa pun. Di sam-
ping itu, pemakaian partikel seperti anu, kok, wong, dan interjeksi
seperti ha dan é tidak terjadi.

2.5 Kekhususan Bahasa Bagongan


Bagian belakang dari buku kecil yang berjudul Pranatan So-
wan/Marak lan Basa Bagongan, Salebeting Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat (Peraturan Menghadap dan Bahasa Bagongan, di da-
lam Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat), terdapat keterangan
tentang pemakaian bahasa Bagongan untuk Keraton Yogyakarta.
Di situ dikatakan bahwa di wilayah halaman Keraton Yogyakarta
semua percakapan memakai bahasa Bagongan atau bahasa Ke-
raton. Kecuali Sri Sultan, tidak boleh ada orang menggunakan
bahasa tingkat ngoko. Para Gusti apabila bercakap-cakap dengan
para abdi dalem juga harus menggunakan bahasa Bagongan. Para
abdi dalem yang diajak bercakap pun harus menjawabnya di dalam
bahasa Bagongan. Semua orang bercakap dengan bahasa yang
sama. Manira digunakan untuk menyebut diri sendiri, dan pa-
kenira dipakai untuk menyebut orang yang diajak bercakap. Tidak
boleh ada orang yang menggunakan nandalem atau adalem.
Dari segi leksikonnya hanya ada sebelas (11) kata yang khu-
sus merupakan kata bahasa Bagongan. Kata-kata itu ialah:
B. Bagongan B. Krama Biasa B. Indonesia
henggeh inggih ya
mboya mboten tidak
manira kulo saya
pakenira sampeyan kamu
punapi punapa (menapa) apa
puniki menika (ngoko: iki) ini
puniku menika (ngoko: iku) itu
wenten wonten ada
nedha sumawi, sumonggo silakan, ayo
besaos kemawon saja
seyos sanes lain

20
Bahasa Bagongan

Kata-kata lain sama dengan kata-kata krama biasa. Kalau di


dalam kalimat diperlukan kata-kata krama inggil, kata-kata krama
inggil itu pun sama dengan kata-kata krama inggil biasanya.
Di samping kekhususan kata, pedoman pemakaian bahasa
Bagongan itu juga menyebutkan kekhususan lain dalam ting-
katan morfologi. Akhiran pembentuk kata benda yang biasanya
dikatakan dengan –ipun dalam tingkat tutur krama harus disajikan
dalam bentuk –e dalam bahasa Bagongan. Jadi, bentuknya persis
sama dengan bentuk akhiran pembentuk kata benda tingkat
ngoko. Demikian juga akhiran pembentuk kata kerja –aken (krama)
tidak boleh dipakai, dan sebagai gantinya ialah akhiran dalam
tingkat ngoko –aké haruslah dipakai. Untuk awalan pembentuk
kata kerja pasif krama ­dipun-, biasanya awalan ka- yang sifatnya
dapat dikatakan ngoko/krama dipakai. Dengan begitu, dari su-
dut imbuhan tingkat tutur itu memang terasa ngoko. Apabila hal
ini dicampur dengan kata-kata yang bersifat krama, tingkat tu-
tur itu lalu terasa madya.
Sebagai contoh pangagemé ‘pakaiannya’, pojaré ‘katanya’, pi-
sowané ‘menghadapnya’, dintené ‘harinya’, sapanunggilané ‘lain-
lainnya’, kakersakaké ‘dikehendaki’, nyaekaké ‘memperbaiki’, nyo-
wanaké ‘menghadapkan’, nyuwunaké ‘memintakan’, marengaké
‘memberikan’, dikersakaké ‘dikehendaki’, diparingaké ‘diberikan’.

Bahasa Kedaton di Surakarta


Sedikit berbeda dengan bentuk bahasa Bagongan yang ter-
pakai di keraton Yogyakarta, bahasa Kedaton di Surakarta meng-
gunakan tata kalimat yang sama dengan yang digunakan di da-
lam bentuk undha-usuk krama. Artinya, semua awalan dan akhiran
yang dipakai juga menggunakan awalan dan akhiran krama.
Awalan pasif dipun- digunakan dan bukannya awalan di-.
Akhiran –aken dan –ipun digunakan dan bukannya akhiran –ake
dan –é.
Bahasa Kedaton di Surakarta ini tidak dapat dikatakan
mengarah kepada kedemokrasian. Berbeda dengan yang dipakai

21
Bahasa Bagongan

di Yogyakarta, di Surakarta ini ada tingkat-tingkatan yang ber-


beda-beda, yaitu sebagai berikut.
a) Manungkara, yaitu yang digunakan oleh para bangsawan
tinggi, seperti oleh Kangjeng Gusti dan Bandara Pangeran.
b) Mangungkak basa, yang digunakan oleh para punggawa
pangkat tinggi satu sama lain.
c) Angagok wicara, yang digunakan oleh bangsawan tinggi
kepada orang pangkatnya lebih rendah.
Dalam hal kosakata khusus, di Surakarta digunakan kata-
kata khas sejumlah 40 buah. Kata-kata itu ialah sebagai berikut.
(Untuk keterangan lebih lanjut tentang bahasa Kedaton yang
dipakai di keraton Surakarta ini, periksalah Astuti Hendrato,
1973).
ampun - sudah
mboya - tidak
besaos - saja
ndhedhegi - menunggu
puniki - ini
curiga - keris
manira - saya
enggeh - ya
kadipundi - bagaimana
sumitra - singa
sardula - harimau
lebak - biasa
mara - saya
nedha - silakan
para - kamu
pojar - carita
robaya - aku
seta - mau
tabeh - jam
tembung - cemeti
wenten - ada

22
Bahasa Bagongan

jengandika - kamu
panten - kamu
puniku - itu
darbe - punya
eco - enak
estu - harus
kagengan dalem - gajah
kapatedhan - diberi
kuda - kuda
meksih - masih
mekaten - begini
olih - dapat
pakenira - kamu
punapi - apa
seyos - lain
sikon - parang
tambang - tali
wanita - istri
wikana - tidak tahu

Untuk Keraton Surakarta, kata ganti orang penggunaanya


diatur sebagai berikut:
1. mara ‘saya’ dan para ‘kamu’ untuk anak pejabat istana;
2. manira ‘saya’ dan dan pakenira ‘kamu’ untuk para punggawa;
3. kula ‘saya’ dan jengandika ‘kamu’ untuk para panewu mantri;
4. robaya ‘saya’ dan panten ‘kamu’ untuk para pujangga.

2.6 Contoh Pemakaian


Dalam bab ini disajikan beberapa contoh percakapan dan
surat-surat yang terwujud di dalam bahasa Bagongan. Pertama
kali disajikan percakapan yang terjadi di Keraton Yogyakarta.
Kemudian, disajikan wacana bahasa Bagongan dalam bentuk
surat. Akhirnya, disajikan contoh dari Surakarta. Karena sulitnya
mendapatkan data aktual di dalam keraton Surakarta, di dalam

23
Bahasa Bagongan

bab ini hanyalah disajikan data yang telah tertulis dari penerbitan
lain.
Contoh berikut merupakan rekaman percakapan yang terjadi
di Keraton Yogyakarta pada bulan November 1984. Peserta per-
cakapan masing-masing berpangkat lurah, bekel, dan gebayan.
Bekel : Pakenira punika aneh, ki Lurah.
Kamu ini aneh ki Lurah
(Kamu itu aneh, ki Lurah).
Sampun tiyang alit Ngayogyakarta boya sami gumuna.
Jangan orang kecil Ngayogyakarta tidak sama heran
(Jangankan rakyat kecil di Yogyakarta tak heran).
Tiyang manira ingkang sampun dados geminte Batawijah
Orang saya yang sudah menjadi warga Betawi
(Bahkan saya yang berlatar belakang warga kota Jakarta)
Centrum enggeh tumut gembira sanget
Central juga ikut gembira sekali
(Dan demikian juga ikut bergembira sekali)
Gabayan : “Puniku sampun salerese, kang Bekel.
Itu sudah sewajarnya kang Bekel
(Hal itu sudah sewajarnya, kang Bekel).
Cobi pakenira caosaken
Coba kamu rasakan
(Coba anda rasakan).
Manira rak mentas kecalan pepundhen, mangka lajeng
Saya kan baru kehilangan leluhur, kemudian lalu
(Saya kan baru saja kehilangan leluhur, kemudian lalu)
angsal lelintu, lah rak mesti bingah sanget.
dapat ganti, la kan tentu senang sekali
(mendapatkan gantinya, kau senang sekali).
Nalika surud dalem ingkang Sinuhun seda kodur, kados
Ketika wafat paduka tuan yang diraja wafat pulang seperti
(ketika Sri Paduka mangkat, macam
punapi besaos geogragé tetiyang ing Ngayogya ageng alit.
apa saja kacau orang di Ngayogya besar kecil

24
Bahasa Bagongan

apa kacaunya orang di Yogyakarta besar dan kecil?).


Sapunika sampun pinaringan panglipur, angsal pepunden
Sekarang sudah diberi penghibur mendapat leluhur
enggal, lho sinten tiyangé mboya mongkok, enggèh
baru siapa orangnya tidak bangga ya
mboya kang Bekel”.
Tidak kang Bekel
(Sekarang telah mendapat pengganti yang baru sehingga
tidak kacau lagi. Siapa yang tidak bangga, kang Bekel).
Bekel : “Enggeh dhi Gebayan.
Ya dik Gebayan
(‘Ya, dik Bayan).
Raos pakenira pancèn jodho kaliyan manira
Rasa kamu memang jodo dengan saya
(Pendapatmu itu memang cocok dengan pendapat saya)
Anamung menawi manira, ingkang manira mantepi sanget
Hanya kalau saya yang saya tekuni sangat
Puniku namung saebab.
Itu hanya satu hal.
(bagi saya hanya satu hal yang saya pentingkan).
Lurah : Bab tetingalan kaliyan bab kendhuren, rak enggeh ta?”
Hal pertemuan dengan hal konduri rak ya
(Hal perayaan dan kenduri, iya kan?)
Bekel : “Hiyah mbok sampun ngaten, ki Lurah.
Ya partikel jangan begitu ki Lurah
(Ah jangan begitu ki Lurah).
Prekawis seneng-seneng puniku, manira anggep nomor kalih.
Masalah senang-senang itu saya anggap nomor dua
Ingkang manira mantepi puniku, dene ingkang sami
Yang saya tekuni itu sedangkan yang sama
Ngrenggani praja kejawen puniku terus menerus modheren.
Menghiasi kerajaan Jawa itu terus menerus modern.
Enggèh penggalih dalem, enggèh jembaring pangawikan dalem.
Ya pikiran tuan ya luasnya pengetahuan tuan

25
Bahasa Bagongan

(Perkara bersenang-senang itu saya anggap nomor dua.


Yang kupentingkan orang-orang yang menduduki tahta
kerajaan tanah Jawa itu terus-menerus modern. Baik
pikiran beliau maupun luasnya pengetahuan beliau).
Mekaten puniku, saking panginten manira, mesti ageng
Demikian itu dari perkiraan saya, pasti besar
Sanget dayané dhateng kawontenané praja dalah
Sangat manfaatnya ke keadaan kerajaan serta
Tiyang-tiyang alit.
Orang-orang kecil.
(Demikian itu menurut hemat saya. Tentulah besar
pengaruhnya kepada keadaan kerajaan serta kepada
rakyat kecil).
Gebayan : Saya sagedhagan puniki kang Bekel.
Apalagi waktu ini kang Bekel.
(Apalagi waktu ini kang Bekel).
Ngarsa dalem sapuniki dhasare sampun mencit sanget
Sri Paduka sekarang dasarnya memang sudah
memuncak sangat
Pasinaon dalem, sebab cara tiyange alit ngaten
Sekolah tuan sebab cara orangnya kecil demikian
Sampun angsal dhidhikan pamulang luhur, dados
Sudah mendapat pendidikan di sekolah tinggi jadi
Wawasan dalam temtu wiyar sanget.
Tinjauan tuan pasti luas sangat.
(Sri Paduka sekarang ini dasarnya memang sudah luas
pengetahuannya di mata orang kecil beliau sudah
berpendidikan tinggi, jadi wawasan beliau tentu saja
sudah amat luas).
Mangka sampun priksa Eropa ingkang modhern, dados
Padahal sudah tahu Eropa yang modern, jadi
Mboya ketang sakedhik, pangawikan dalem wau mesti
Walaupun hanya sedikit kepandaian tuan tadi pasti

26
Bahasa Bagongan

Wonten ingkang kaeberaken nyaekaken panggesanganing


Ada yang diberikan untuk menyempurnakan kehidupan
Tiyang alit.
Orang kecil
(Apabila beliau sudah mengetahui eropa modern, jadi
entah banyak entah sedikit tentu ada ilmu itu yang
diberikan untuk menyempurkan penghidupan rakyat
kecil).
Kejawi punika, manira sitingarah pun mesthekaké,
Kecuali itu saya memikirkan mau memastikan
Yén kawontaning praja sarta tetiyang alit ing
Kalau keadaan kerajaan serta orang kecil di
Ngayogya mesthi bade mindhak saé
Ngayogya pasti akan lebih baik

Contoh percakapan berikut juga terjadi di keraton Yogya-


karta pada bulan November 1984. Peserta percakapan masing-
masing berpangkat lurah.
Pangkat lurah I : Pakenira sowan, ca
Kamu menghadap teman
(Kamu menghadap, Saudara)
Pangkat Lurah II : Enggéh
Ya
(‘Ya’)
Pangkat lurah I : Pakenira puniku sowan napi caos
Kamu itu menghadap atau member
(Kamu itu akan menghadap atau bertuhas jaga)
Pangkat lurah II : Enggéh manira badhé sowan
Ya saya akan menghadap
(Ya saya akan menghadap)
Pangkat lurah I : Lo rumiyin pakenira puniku rak caos ta
Lho dahulu kamu itu member kan
(Lho dahulu kamu berjugas jaga biasa kan?)

27
Bahasa Bagongan

Pangkat lurah II : Enggéh leres, nanging sampun senten tigang wulan


Ya benar tapi sudah ada 3 bulan
Puniki, manira dikersakeké mbantu wénten
Ini saya diminta membantu ada
Tepas K.H.P. – Krida Mardawa
Tepas K.H.P. – Krida Mardawa
(Ya benar, tapi sudah ada 3 bulan ini, saya
diminta membantu di Tepas K.H.P. – Krida
Mardawa).
Pangkat lurah I : O, ngaten ta, menawi makaten lajeng saben dinten
O, begitu, kalau demikian menghadapnya tiap
sore hari.
Pangkat lurah II : Enggéh saben dinten. Wanci jam sangga dumugi
jam setunggal
(Ya, setiap hari, dari pukul 09.00 sampai pukul
13.00)
Pangkat lurah II : Lajeng diparingi kewajiban napi garapané
Selanjutnya diberi pekerjaan apa pekerjaannya
(Lalu diberi kewajiban apa)
Pangkat lurah II : Enggéh keparengipun pangageng manira
dikersakaké nyepeng bagéan personalia kaliyan
bagéan humas
Ya kehendak membesar saya diminta memegang
bagian personalia dan bagian humas
(Kehendak pembesar akan diminta memegang
bagian personalia dan bagian humas)
Pangkat lurah I : “Wah kagolong radi pokok-pokok puniku”
Wah tergolong agak pokok itu
(Wah tergolong agak pokok itu)
Pangkat lurah II : Enggéh
Ya
(‘Ya’)
Pangkat lurah I : Lajeng kalebet mindhak énthéng napi awrat enggéh
Lalu termasuk bertambah ringan apa berat

28
Bahasa Bagongan

(Lalu termasuk bertambah ringan atau berat


ya?)
Pangkat lurah II : Enggéh kagolong radi mindhak awrat samudaya-
nipun enggéh puniku ngengingi bab wekdal, kaliyan
ubarampé ingkang kanggé majeng”
Ya termasuk agak bertambah berat segalanya
ya itu mengingat bab waktu dengan perleng-
kapan yang maju
(‘Ya tergolong agak berat mengingat bak
waktunya dan segala perlengkapannya)
Pangkat Lurah I : “Menawi mekaten lajeng sampun mboya sowan caos
akenira”
Kalau demikian lalu sudah tidak menghadap
lapor kamu
(‘Kalau begitu lalu sudah tidak menghadap
untuk bertugas jaga lagi’)
Pangkat lurah II : Enggéh, mboya”
Ya tidak
(Ya, tidak)
Pangkat Lurah I : “O, enggéh-enggéh leres, enggéh mugi-mugi saged
dilimpahi kanthi énthéng lan seneng
O ya ya benar ya mudah-mudahan.
‘Ya, ya, benar. Semoga bisa dijalani dengan
senang dan dirasakan enteng’
Pangkat lurah II : Enggéh matur nuwun sanget. Sampung kepareng ki
lurah.
Ya, terima kasih sangat sudah permisi ki lurah
(‘Ya terima kasih, permisi ki lurah)

Berikut ini percakapan dari Surakarta. Percakapan ini dipetik


dari buku Tata Sastra, 1967:38).
B.P. : “Kanca bekel, Raden Pawirakusuma. Punapi pekenira mangke
mundur caos”
Tuan bekel Raden Pawirakusuma apa kamu nanti
mundur lapor.
29
Bahasa Bagongan

(Temen bekel, Raden Pawirakusuma, apakah kamu


nanti pulang)
R.B. : Enggéh, bendara pangeran
Ya, tuan pangeran
( Ya, bendara pangeran)
B.P : “Lah mangké sareng menira besaos. Wénten kencané pojaran
margi. Eco yén wénten petukan lereta sisan
Nanti bersama saya saja ada temannya berbicara di
jalan enak kalau ada jemputan kereta sekali
‘Nanti sama-sama saya saja. Ada teman ngobrol di jalan.
Apabila jika ada jemputan
R.B. : “Enggéh B.P. menira tumut”
Ya saya menurut
“Ya B.P. saya menurut saja.”

Contoh percakapan dari kraton Surakarta lagi. Percakapan


ini dipetik dari buku karti basa, 1964: 81
Dadap : “Kala wingi ing griya jengandika kados wemtem tamu”
Kemarin di rumah anda seperti ada tamu.
‘Kemarin di rumahmu kelihatannya ada tamu’
Waru : “Enggéh tamu adi kula”
Ya tamu adik saya
‘Ya tamu adik saya’
Dadap : “Lo, puniku adi ingkang pundi? Punapi jengandika meksih
derbe adi malih”
Lo itu adik yang mana apa anda masih mempunyai adik
lagi
‘Lo itu adik yang mana? Apakah kamu masih punya
adik lagi?’
Waru : “Puniku adi kula ingkang angka tiga, griane ing Gunungkidul
Itu adik saya yang nomor tiga rumahnya di Gunungkidul
‘Itu adik saya nomor tiga rumahnya di Gunungkidul’
Dadap : “Enggeh layak, tiyang kula saweg miring sapuniki. Sajake
kok wenten damel ingkang prelu”

30
Bahasa Bagongan

Ya wajar orang saya sedang mendengar sekarang rupa-


rupanya ada yang
‘Ya wajar, sebab saya baru tahu sekarang, rupa-rupanya
ada keperluan’
Waru : “Boya, naming tuwi, margi kangen, sampun lami boya
kepanggih. Mawi mbekta angsal-angsal, nanging...peksi
deruk, seyos tetedan utawi wulu wedaling dusun.
Tidak hanya menengok saja sebab rindu sudah lama
tidak bertemu. Kalau membawa buah tangan tetapi….
Burung tekukur membawa makanan atau hasil tanaman
dusun
‘Tidak, hanya menjenguk saja, sebab kangen, sudah
lama tidak jumpa. Sambil membawa oleh-oleh,
tapi….burung merpati, bukan makanan atau hasil desa.’
Dadap : “Meksi bade punapi sampun dados”
Masih akan apa sudah jadi
‘Masih kecil apa sudah jadi’
Waru : “Sampun dados. Malah pojare adi kula, unggele “kuk”
sungsun tiga”.
Sudah jadi malahan katanya adik saya suaranya ‘kuk’
tingkat tiga
‘Sudah jadi. Tambahan lagi kata adik saya, suara-
nya”kuk” susun tiga’
Dadap : “Kula kok pepengin meninga derbe jengandika deruk sunda
puniku”
Saya kok ingin melihat mempunyai kamutekukur tingkat
tiga
‘Saya kok ingin melihat burung merpati sunda punya
itu’
Waru : “Lah wawi dateng ing griya kula. Namun sapuniki kok kenda,
dereng purun mengel, dening alihan enggen puniku punapi”
La mari datang di rumah saya hanya sekarang diam
belum mau bunyi oleh pindah tempat itu apa

31
Bahasa Bagongan

‘Mari datang ke rumah saya. Tetapi sekarang kok diam,


belum ingin berbunyi, mungkin disebabkan pindah
tempat’
Dadap : “Peksi oceh-ocehan puniku mila sering wenten ingkang kendel,
angel tangguhe. Yen mekaten benjing besaos yen sampun
mungel mali kula jengandika kabari”
Burung berkicau itu maka sering ada yang berhenti
sukar diperkirakan kalau demikian besok saya kalau
sudah bernyanyi lagi saya engkau beritau.
‘Burung berkicau itu sering ada yang diam, sulit
mengajarinya’. ‘Kalau begitu, besok saja jika sudah
berkicau lagi saya kabari.
Waru : “enggeh prayogi”
Ya baiklah
‘Baiklah’
(Karti Baca, 1946:81)

K.H. Sri Wandana Karaton Tedhakan


Ngayogyakarta Turunan
________________________
Angka: 55/KHSW/’84
Nomor
Bab : Pesowanan Ngabekten Serat saking Kawedanan Hageng Sri Wandawa
Hal : Penghadapan berbakti Surat dari Kawedanan besar Sri Wandana
(menghadap untuk ‘Surat dari pembesar Kawedanan Hageng Sri
Menyatakan Rasa bakti) Wandana’
Wiyose K.H. Sri Wandawa Kakersakake Handhawuhake
Keluarga K.H. Sri Wandawa disuruh memerintahkan
(Assalam, K.H. Sri Wandana disuruh memerintahkan’)
Mbenjing ing dinten sabtu Pon sarta ngahad wage tanggal kaping
Besok dihari sabtu pond an minggu wage tanggal kali
(‘besok hari sabtu pond an minggu wage tanggal 1 dan 2 syawal
tahun Ehe 1916 yang

32
Bahasa Bagongan

1 sarta 2 syawal Ehe 1916 ngajeng punika ngarsa dalem lenggah


1 dan 2 syawal ehe 1916 depan ini depan tuan duduk
Akan datang sri paduka tuan (raja) berkenan duduk menerima sembah
dari putra,
Sinikawa nampi pisiwanipun sahos bekti putra dalam sentana dalem
Dihadap memerima datangnya member sembah putra tuan saudara tuan
Di singgasana untuk menerima penyampaian rasa bakti setia putra
serta
Sarta abdi dalem jaler istri ingkang kalebet pranatan.
Dan hamba tuan laki-laki, wanita yang termasuk peraturan
Keluwarga dan abdi baik laki maupun perempuan seperti tersebut
dalam peraturan)
Kejawi puniku wiyos hajad dalem garebeg mbenjing ing dinten
Kecuali itu keluar kemauan Tuan garebek besok di hari
(kecuali itu kehendak sri Paduka garebeg yang akan datang jatuh
hari sabtu pon
Setu pon tanggal kaping : 1syawal ehe 1916 ngajeng puniki.
Sabtu pon tanggal kali 1 syawal ehe 1916 depan ini
Tanggal, 1 syawal ehe 1916 yang akan datang)
Kawiyosake kados garebeg siyam ingkang kapengker
Dikeluarkan seperti garebeg puasa yang kemarim
(dikeluarkan seperti garebeg puasa yang baru lalu)
Ingkang punika lajeng dhumawuhe manira sunggo
Yang ini terus pemerintahnya saya persilahkan
(Karenanya supaya segera duperintahkan. Silahkan.)
Sinirat tanggal kaping : 22 siyam ehe 1916
Atau tanggal kaping 22 siyam ehe 1916
(ditulis tanggal, 22 puasa 1916)
Utawi surya kaping : 21 juni 1984
Atau tanggal kali 21 juni 1984
(atau tanggal, 21 juni 1984)

33
Bahasa Bagongan

Hudani
Keterangan
1. ngagem pasowanan
memakai penghadapan
‘memakai penghadapan’
2. menawi ngarsa dalem sampun lenggah kagunangan dalem regol
kamagangan
kalau depan tuan sudah duduk kepunyaan tuan pintu gerbang
kamagangan
‘kalau tuan (raja) sudah duduk, pintu gerbang kamangangan
dan danapertapa disuruh men
3. sarta danapertapa kakersakake nutup sarta dijaga abdi dalem
serta danapertapa disuruh menutup serta dijaga hamba tuan
menutup dan harap dijaga abdi dalem dan
4. mboya kepareng kangge lumebet medal
tidak boleh untuk masuk keluar
‘tidak diperbolehkan untuk keluar masuk’

Katur:
Kepada

Para pengageng Kawedanan/Tepas


Para pembesar Kawedanan Tepas
‘Para pembesar Kawedanan/Tepas
Wiyose pengageng parentah Hageng Karaton nglajengaken tedhakan
Keluarga pembesar pemerintah pembesar keratin melanjutkan
menyalin
Hatta, pembesar parentah keratin melanjutkan salinan surat dari KH.
Sri wandawa Keraton yang
Serat saking K.H. Sri Wandawa Karaton titimangsani tanggal
Surat dari K.H. Sri wandawa keraton yang tanggali tanggal
Tertanggal, 22 puasa ehe 1916 atau tanggal 21 juni 1984, no 55/
KHSW/84

34
Bahasa Bagongan

Kaping, 22 siyam ehe 1916 utawi surya kaping, 22 Juni 1984 angka 55/
KHSW/84
Ke 22 puasa ehe 1984 atau tanggal ke 22 Juni 1984 nomor 55/KHSW/
84
Hal pasowanan ngabekten
Tentang hal menghadap di hadapan sri paduka
Untuk menyatakan bakti setia
Ingkang puniku menira sumangga
Yang itu saya serahkan
Utuk itu saya persilahkan.

Sinerat surya kaping : 21 juni 1984


Ditulis tanggal kali 21 Juni 1984
‘ditulis tanggal 21 Juni 1984

Pangageng
Pembesar
Parentah Hageng Karaton
Parentah Hageng Karaton
Parentah Besar Karaton

K.H. Sri Wandawa Karaton


Ngayogyakarta

Angka: 107/KHSW/84
Nomor
Bab : Sekaten tahun Jimawal 1917
Hal : Sekaten tahun Jimawal 1917
Serat saking kawedanan Hageng Sri Wandawa
Surat dari kawedanan besar Sri Wandawa
‘Surat dari kawedanan besar Sri Wandawa

Wiyose, DHAWUH TIMBALAN DALEM NGARSA DALEM SAMPEYAN


DALEM INGKANG SINUWUN

35
Bahasa Bagongan

Lahirnya, perintah panggilan raja depan raja kaki raja yang sinuwun
Hatta, perintah sri paduka.
KH. Sri Wandawa kakersakaken handhawuake kados ing ngandap puniki.
KH. Sri Wandawa diharapkan pemerintahkan seperti di bawah ini
‘KH. Sri Wandawa diharapkan memerintahkan seperti di bawah ini’
1. Binjing ing dinten kamis kliwon tanggal kaping 5 mulud jimawal 1917
Besok di hari kamis kliwon tanggal kali 5 mulud jimawal 1917
‘Besok hari kamis kliwon tanggal 5 maulud tahun jimawal 1917
atau tanggal, 19 November 1984

Utawi surya kaping 29 November 1984 wanci jan 16.00 (4 sore) kagungan
Atau tanggal kali waktu pukul 16.00 (4 sore) kepunyaan
Pukul 16.00 (empat sore)

Dalem gongso kanjeng kyai sekati kekersakaken miyosake dhumateng


Tuang gamelan kanjeng kyai sekati diperintahkan mengeluarkan ke
Kanjeng kyai sekati diperintahkan untuk dikeluarkan ke

Kagungan dalem bangsal ponconiti


Bansal ponconiti

Panatane kyai Guntur madu sarta kanjeng kyai nogowilopo wonten ing
Pengaturannya kyai Guntur madu dan kangjeng kyai nogowilopo
ada di
Mengaturnya kanjeng kyai Guntur madu dan kanjeng nogowilopo
di bansal ponconiti

Kagungan dalem bangsal ponconiti kapitajengaken K.H.P. Krida


Mardawa
Kepunyaan raja bangsal ponconiti dipercayakan K.H.P. Krida
Mardawa
Dan raja dipercayakan kepada K.H.P. Krida Mardawa

Ingkang nabuh habdi dalem wijaya ngangge beskap ijem samiran


Yang memukul hamba raja wijaya memakai pakai hijau berenda

36
Bahasa Bagongan

‘pemukulnya hamba raja berpakaian beskap berwarna hijau


bersamir seperti adat yang sudah berlaku’

Kados adat ing sampun


Seperti adat yang sudah.

2. Wanci jam 20.00 (8 dalu) ngarsa dalem utusan maringake udhik-udhik


Waktu pukul 20.00 (8 malam) tuan memerintahkan memberikan
sedekah uang
‘pukul 20.00 (8 malam) tuan (raja) memerintahkan supaya mem-
bagikan uang dengan ditaburkan

Kasebar ing papan gongsa


Ditabur di tempat gamelan
Di tempat gamelan

Gandeng kaliyan kaleres dinten malem jumuah kagungan dalem


Bersamaan dengan kebetulan hari malah jumat kepunyaan tuan
‘Karena hari malam jumat gamelan tuan (raja) tidak dibunyikan,
namun

Gongsa boya mungel, nanging habdi dalem kanca wiyaga kekersakake


Gamelan tidak berbunyi tetapi hamba tuan teman niyaga dipe-
rintahkan
Para abdi dalem niyaga diperintahkan menghadap seperti pada
waktu gamelan tuan (raja) berbunyi

Sowan kados nebawi kagungan dalem gongso mungel, badhe nampi


Menghadap seperti kalau kepunyaan tuan gamelan berbunyi
akan menerima maka mereka akan menerima

Paring dalem udhik-udhik


Pemberian tuan sedekah uang
Hadiah sri paduka yang berupa udhik-udhik itu

37
Bahasa Bagongan

Wanci jam 24.00 (12 dalu) kagungan dalem gongso kanjeng kyai
Waktu pukul 24.00 (12 malam) kepunyaan tuan gamelan kanjeng
kyai
‘Pukul 24.00 (12 malam) gamelan tuan kanjeng kyai sekati
dikeluarkan ke

Sekati kawiyosake dhumateng kagungan dalem masjid agung


Sekati dikeluarkan ke kepunyaan tuan masjid besar
Masjid agung milik belau

Lampahe saking kagungan dalem bangsal pancawati mengale, miyos


Jalannya dari kepunyaan tuan bangsal pancawatu ke utara,
lewat
‘Jalannya dari bangsal pancawati ke utara, lewah siti hinggil,
sebelah

Siti hinggil, sekilen tratag mengaler, dumugi tratag tarub agung


tumedhak
Siti hinggil sebelat teratak ke utara sampai teratak tarub agung
sampai
Barat teratak ke utara, sampai teratak tarub agung sampai
pagelaran, ke utara

Pagelaran, mengaler alun-alun eler, dumugi sakidul waringin sengkeran


Pagelaran, ke utara alun-alun utara, sebelah selatan beringin
dipagari
Alun-alun utara, sampai selatan pohon beringin yang berpagar
ke barat masuk

Mengilen mlebet regol masjid ageng, lajeng katata wenten pagongan


Ke barat masuk pintu gerbang masjid besar terus diatur ada tempat
gamelan
Masuk pintu gerbang masjid besar, selanjutnya diatur di tempat
gamelan

Eler sarta kidul, kahurung-hurung prajurit sarta kajagi panitya


Utara serta selatan dikelilingi prajurit serta dijaga panitya
38
Bahasa Bagongan

Di sebelah utara dan selatan, dikelilingi prajurit serta dijaga


panitya

Perayaan sekaten kodya Yogyakarta sarta polisi kawilujengan lampah


Perayaan sekaten kodya Yogyakarta serta polisi keselamatan jalan
Perayaan sekaten kodya Yogyakarta serta polisi

3. Wenten ing kagungan plataran kagungan dalem mesjid agung ungele


kanjeng
Ada di kepunyaan halaman kepunyaan tuan mesjid besar
bunyinya kanjeng
‘Di halaman masjid besar kanjeng kyai sekati dipukul mulai pukul
8.00 sampai pukul

Kyai sekati wiwit jam 08.00 dumugi jam 12.00 kendel


Kyai sekati mulai pukul 08.00 sampai pukul 12.00 berhenti
12.00 baru berhenti

Mungel malih jam 14.00 (2 siang) dumugi jam 17.00 (5 sonten) kendel
Berbunyi lagi pukul 14.00 ( 2 siang) sampai pukul 17.00 ( 5 sore)
berhenti
Dipukul lagi pukul 14.00 (2 siang) sampai pukul 17.00 (5 sore)
baru berhenti

Lajeng mungel malih jam 20.00 (8 dalu) dumugi jam 24.00 (12 dalu)
Selanjutnya berbunyi lagi pukul 20.00 (8 malam) sampai pukul
24.00 (12 malam)
‘Selajutnya dipukul lagi pukuk 20.00 (8 malam) sampai pukul
24.00 (12 malam)

Menawi dinten malem jumuah siyang boya kapareng mungel


Kalau hari jumat malam tidak boleh dipukul
‘Kalau hari malam jumat dan siang tidak boleh dibunyikan’

4. Panjagine kawilujengan salebete kagungan dalem gonso kanjeng kyai


Penjagane keselamatannya selamanya kepunyaan tuan gamelan
kanjeng kyai

39
Bahasa Bagongan

‘Keselamatan gamelan kanjeng kyai sekati selama berada di


bangsal pancawati dan di halaman

Sekati wenteng ing bangsal ponconiti sarta ing pagongan plataran


Sekati ada dibangsal ponconiti serta ditempat gamelan halaman
Masjid dipercayakan kepada hamba tuan K.H.P krida mardawa
dan dibantu oleh

Mesjid kapitajengake habdi daleh reh K.H.P krida mardawa kabantu


Mesjid dipercayakan hamba tuan pemerintah K.H.P krida
mardawa dibantu
Panitia perayaan sekaten dan polisi’

5. Ing dinten malem kemis paing (malem grebeg) kajungan dalam gangsa
Di hari malam kamis paing malam gerebeg kepunyaan tuan
gamelan
‘Pada hari malam kamis paing (malam gerebeg) gamelan tuan
kanjeng kyai sekati

Kanjeng kyai sekati taksih mungel


Kanjeng kyai sekati masih berbunyi
Masih berbunyi

Ngarsa dalem utawi wakil dalem paring udhik-udhik wenten ing


Depan tuan atau tuan pemberian sedekah uang ada di
Sri paduka tuan memberi sedekah udik-udik di tempat gamelan
sebelah selatan

Papan gongso pagongan kidul sata eler puenapu dene ing lebet masjid
Tempat gamelan selatan serta utara apa sedangkan di dalam
masjid
Dan utara serta di dalam masjid

Bibare ungele kagungan dalem gongso kanjeng kyai sekati sarta


Selesainta bunti kepunyaan tuan gamelan kanjeng kyai sekati
serta

40
Bahasa Bagongan

‘Setelah kyai sekati selesai dipukul, pulangnya menanti sri


paduka (raja) dan wakil
Tuan (raja) sesudah pulang dari masjid agung

Lampah kundure kagungan dalem gongso kanjeng kyai sekati kados


Jalannya pulangnya kepunyaan tuan gamelan kanjeng kyai sekati
seperti
‘Perjalanan pulang kanjeng kyai sekati seperti pada waktu
keluarnya dulu

Naliko miyose lajeng sumare wenten ing kagungan dalem bangsal sri
Ketika kelaurnya terus bertempat ada di kepunyaan tuan bangsal
sri
Dan terus diistirahatkan di bangsal sri manganti milik sri paduka

Ingkan puniku lajeng dhumawuhe ingkang sami kawongan sumongga


Yang it uterus pemerintahnya kepada yang sama bertugas
Untuk itu pelaksanaan perintah kepada yang berkewajiban, kami
persilahkan.

Sinerat tanggal kaping 14 sapar jimawal 1917


Ditulis tanggal kali 14 sapar jimawal 1917
Ditulis tangal 14 sapar jimawal 1917

Utawi surya kaping 2 november 1984


Atau tanggal 2 november 1984
‘Atau tanggal 2 november 1984’

Pengageng
pembesar

G.B.P.H, Suryobronto

41
Bahasa Bagongan

42
Bahasa Bagongan

BAB III
PEMAKAIAN BAHASA BAGONGAN

3.0 Pendahuluan
Di dalam bab ini akan dibahas pemakaian bahasa Bagongan
dalam kehidupan sehari-hari. Secara berturut-turut akan disaji-
kan kekhasan pemakain, situasi yang menjadi kontek pemakaian,
tujuan pemakaian, dan keadaan pemakaian dewasa ini.
Apa yang disajikan di sini terutama disimpulkan dari penga-
matan pemakaian di Keraton Yogyakarta, yaitu dari hasil wa-
wancara antara anggota tim dengan beberapa orang penggawa
keraton, serta dari sumber tertulis seperti dilampirkan di bagian
lampiran.

3.1 Kekhasan Pemakaian Bahasa Bagongan


Berbeda dengan variasi tutur yang lain, bahasa Bagongan
ini keberadaannya diatur oleh suatu peraturan. Kita tidak ber-
hasil mendapatkan peraturan yang diikuti di jaman dahulu kala.
Kita hanya dapat memperoleh peraturan yang tertulis akhir-
akhir ini saja. Mungkin saja peraturan itu masih sama dengan
apa yang dipakai oleh orang di zaman yang telah silam. Namun
yang jelas, peraturan itu tertulis dalam bahasa yang terpakai
oleh orang-orang zaman sekarang.
Seperti dapat dibaca dalam peraturan itu, aturan itu tidak
saja hanya meliputi cara pemakaiannya, melainkan juga aturan
tentang bentuk tata katanya, dan juga pemilihan beberapa kata-
katanya.

43
Bahasa Bagongan

Dengan peraturan ini kita tahu bahwa orang-orang meng-


anggap pemakaian bahasa itu dapat diatur seperti lazimnya yang
terjadi pada tata busana, peraturan tanda kebangkatan, serta
tata cara lainnya yang berhubungan dengan upacara-upacara
keprotokolan.
Dalam pranatan sowan/marak lan basa Bagongan dapat kita
baca bahwa pemakaian bahasa Bagongan itu hanya merupakan
satu bagian saja dari peraturan yang mengatur tata cara bagai-
mana para punggawa dan keluarga raja pada waktu mereka
menghadap dan menjalankan tugas di dalam kraton. Di samping
pemakaian bahasa Bagongan, dijelaskan juga ada beberapa
macam peristiwa pasowanan (menghadap), apa yang terjadi dan
apa yang harus dilakukan oleh para mereka yang menghadap
dan juga oleh raja pada waktu peristiwa itu. Kemudian juga,
pakaian apa yang harus mereka kenakan. Di dalam pranatan (per-
aturan) itu diterangkan bahwa ada lima pasowanan (kemengha-
dapan) yang termasuk penting, yaitu sowan padintenan (meng-
hadap harian), sowan nyirami kagungan dalem pusaka (menghadap
untuk memandikan pusaka raja), sowan mauludan (menghadap
untuk menghadiri peristiwa selamatan hari besar maulud nabi),
sowan ngabekten (menghadap untuk menyampaikan pengabekti
atau rasa setia dan hormat), dan sowan murgan (menghadap pada
wktu raja mempunya hajad seperti khitanan dan mengawinkan
putra-putranya). Di dalam masing-masing pasowanan itu diatur
siapa saja yang harus hadir, apa yang mereka kerjakan, dan
pakaian apa yang harus mereka kenakan. Pada peristiwa seperti
di atas itulah para punggawa diharuskan bercakap dalam bahasa
Bagongan.
Dikatakan bahwa bahasa itu tunduk pada aturan atau rule
governed itu adalah hal yang biasa. Bukan hanya pemakainnya
yang tunduk pada aturan, tetapi juga sampai tata ucap, tata ben-
tuk kata, tata kalimat, dan juga pola artinya. Namun, aturan itu
biasanya ada tanpa seolah-oleh diikuti oleh sangsi-sangsi politik.
Artinya, apabila ada kesalahan pakai, yang berbicara tidak akan

44
Bahasa Bagongan

terkena sangsi dari sang raja atau dari punggawa di atasnya. Akan
tetapi, lain dengan aturan gramatika yang biasa dan pemakaiaan
aturan yang konvensional itu, peraturan pemakaian dan wujud
bahasa Bagongan itu memang agak aneh dan seolah-olah me-
mang ada kaitannya dengan sangsi kepangkatannya. Artinya,
apabila seorang punggawa atau abdi dalam keraton tidak mau
tunduk dengan peraturan pasowanan dan peraturan pemakaian
bahasa Bagongan itu, dia tentunya akan mendapatkan sangsi
dari pihak kraton.
Di samping itu, aturan bahasa yang biasa, yang bersifat
aturan gramatika dan aturan lan yang konvensional, biasanya
mengalami perubahan sesuai dengan perubahan yang terjadi
secara alamiah karena pengaruh perubahan masyarakat, penga-
ruh perubahan gramatika yang wajar dan berlangsung secara
evolusioner (soepomo, 1981), serta pengaruh kontak dengan ba-
hasa lain. Kalau ada perubahan pada peraturan yang adanya
ditetapkan melalui surat ketetapan, seperti yang ada pada bahasa
Bagongan ini, perubahan itu tidaklah seperti yang disebutkan
itu. Perubahan itu akan melalui ketetapan yang serupa. Dalam
hal ini, ada kemungkinan besar bahwa dalam perkembangan
aturan bentuk dan pemakaian bahasa Bagongan itu akan meng-
alami perubahan yang sifatnya berlainan dengan apa yang tertera
dalam ketetapan yang dibuat secara “politis kerajaan” itu. Arti-
nya, apa yang ditetapkan dengan surat ketetapan itu ada ke-
mungkinan besar akan berbeda dengan apa yang betul-betul
terjadi pada peraturan gramatika dan aturan pemakaian bahasa
Bagongan itu dalam kehidupan sehari-hari yang betul-betul
terjadi.

3.2 Situasi Pemakaian Bahasa Bagongan


Seperti disebutkan di atas, bahasa Bagongan dipakai pada
tempat dan situasi tertentu. Tempatnya ialah kompleks keraton.
Situasinya ialah pada waktu para punggawa, abdi dalem dan
keluarga raja, berada dalam suasana pasowanan. Dalam ketentuan

45
Bahasa Bagongan

ini tersirat bahwa di luar suasana dan tempat seperti tersebut


bahasa Bagongan tidak dipakai. Yang dipakai di luar situasi itu
adalah bahasa Jawa yang biasa. Dalam keadaan sekarang, bahasa
Indonesia juga sering dipakai.
Untuk memberi gambaran yang agak jelas tentang situasi
yang menjadi konteks pemakaian bahasa Bagongan, di bawah
ini disajikan terjemahan bebas dari salah satu halaman dari Pra-
natan Sowan/Marak lan Basa Bagongan
Menghadap haria bagi abdi dalem setingkat bupati
Pakaian yang harus dikenakan ialah sebagai berikut.
a. Kain bebed, sedapat mungkin pola batiknya bukan pola parang
rusak barong: kain itu diwiru secara engkel (dilipat di bagian
pinggir depan).
b. Bersabuk lonthong/amben dan dengan memakai sabuk jamus,
timang dengan gaya Yogyakarta
c. Baju model pranakan, kainnya dari kain lurik, dasarnya hitam,
model kurung, atau boleh memakai baju beskap putih, kain
setelan, buah baju makutha.
d. Berikat kepala, pola batik selain pola parang rusak barong,
cara Yogyakarta
Apabila ujung ikat kepala ber-sinthing, maka tidak boleh
keduanya naik ke atas (njagreg).
Mengenakan keris, rangka dan deder-nya bergaya Yogyakar-
ta, keris ini dipakai di dalam sabuk. Rangka dimiringkan
(ngogleng) ke kanan, dan tidak boleh dikawal, yaitu dalam
posisi miring ke kiri.
Apabila mengenakan jam tangan, jam itu harus diletakkan di
dalam lengan baju.
Berjalan masuk melalui regol (pintu gerbang) sri manganti,
regol kemagangan, atau lewat butulan tamanan. Apabila perjalanan
telah sampai di dalam dan masuk ke pintu gerbang, maka busana
supaya diperiksa sekali lagi. Kalau perlu dapat duduk sebentar,
memeriksa kerapihan pakaian. Adakah semuanya telah rapi, kan-
cing baju telah dikancingkan, wiru telah rapi di tempatnya, dan

46
Bahasa Bagongan

ikat kepala telah lurus (jejeg). Apabila kesemuanya telah beres,


perjalanan diteruskan dengan tangan kiri memegang wiru, tangan
kanan melenggang sementara (lambeyan sawetawis), pandangan
mata ditetapkan ke depan lurus, tidak boleh menoleh ke kiri
dan ke kanan. Kalau ada teman berjalan, sebaiknya perjalanan
itu bergerak satu persatu (urut kacang), tidak berdampingan,
tidak bersenda gurau. Berjalan di sebelah pinggir dan terus maju
ke tempat tujuan. Kalau perjalanan lewat regol gapura, di situ
supaya berhenti sebentar, duduk menghadap bangsal prabayeksa,
menyembah dan lalu mengambil tempat duduk untuk selanjutnya
menghadap (sowan). Wiru kain diatur dan ditempatkan di bawah
kaki bagian telapak kanan. Sesudah memberikan sembah lalu
duduk dengan tangan ngapurancang (dipertemukan). Kalau akan
melanjutkan perjalanan, tubuh berjongkok, menyembah, lalu
berdiri, dan selanjutnya berjalan menuju tempat tujuan. Kalau
akan berjalan melewati plataran (halaman), sebaiknya langkah
masuk itu melewati gerbang butulan dan terus ke sebelah timur
regol gapura.
Pada waktu menghadap di plataran dalam kedhaton, siapa
pun tidak diperkenankan merokok. Percakapan harus dilang-
sungkan dalam bahasa Bagongan, kecuali terhadap Kanjeng Gus-
ti Pangeran Adipati Anom Hamangkunegara. (kepada K.G.P.A.A
Hamengkunegara ini percakapan dilangsungkan dengan tingkat
undha-usuk krama plus leksikon krama inggil).
Apabila para abdi dalem akan naik trap ke bangsal kothak,
bangsal kecana serta bangsal prabasuyasa, mereka harus berjongkok
dahulu menghadap bangsal, menyembah, kemudian pantat di-
angkat dulu dan diletakkan di atas lantai, lalu kaki ditarik,
berjongkok menyembah lagi, lalu mengatur cara duduk, dengan
wiru ditata lagi seperti digambarkan di atas. Inilah sowan.
Apabila hendak istirahat mundur, pertama harus berjong-
kok, menyembah dengan menghadap ke bangsal prabuyasa, turun
trap, menghadap belakang, berjongkok lagi, menyembah, ber-
diri, tangan kiri memegang wiru kain, tangan kanan melenggang,

47
Bahasa Bagongan

dan terus berjalan keluar dari regol. Apabila dalam perjalanan


menarik diri ini melewati plataran kedhaton dan melewati bagian
depan regol gapura, di situ harus berhenti sebentar untuk sowan.
Demikianlah gerak langkah yang menjadi konteks pema-
kaian bahasa Bagongan. Pemakaian bahasa Bagongan ini
ditekankan betul pada waktu raja hadir dalam suasana pasowanan
itu. Ini berarti bahwa apabila raja atau Kanjeng Gusti Pangeran
Adipati Anom Hamengkunegara tidak hadir, peraturan pema-
kaian bahasa Bagongan itu tidaklah harus dijalankan dengan
setepat-tepatnya.

3.3 Pemakaian Bahasa Bagongan


Di istana Yogyakarta, pemakaian bahasa Bagongan ini dite-
rapkan oleh siapa pun yang kebetulan bertugas dalam pasowanan,
baik oleh mereka yang bersetatus lebih rendah ke yang lebih
tinggi atau sebaliknya. Seperti tergambar dalam peraturan yang
ada dalam pranatan sowan/marak dan basa Bangongan, sebetulnya
pada punggawa dan abdi dalem itu dibagi dalam jenjang kepang-
katan yang berbeda-beda, mulai dari yang sangat tinggi ke yang
agak rendah. Yang tinggi ialah keluarga raja, terutama yang telah
secara resmi diangkat sebagai pangeran.
Dalam praktek pisowanan mereka mempunyai peraturan tata
busana tempat duduk serta cara-cara masing-masing di dalam
melaksanakan tugasnya.
Di dalam pranata sowan di atas tercantum adanya pembagian
golongan punggawa antara lain seperti berikut:
1. Punggawa laki-laki yang terdiri atas kelompok-kelompok
sebagai berikut.
a. 1. Para gusti bendara pangeran
2. Para bandara yang belum diangkat menjadi pangeran
3. K.P.H Adibroto (menantu raja)
b. Abdi dalem yang berpangkat bupati
2. a. Para abdi dalem punakawan gangsal jungan
b. Para abdi dalem daerah gangsal jungan

48
Bahasa Bagongan

3. Para bendara cucu dan suami dari cucu


4. Putri, yang terdiri dari antara lain
a. Klangenan dalem
b. G.K.R Anom
c. Para lurah putri
d. Para isteri lurah pangeran
e. Para janda klangenan dalem
f. Para gusti bendara putri
5. a. Abdi dalem penghulu
b. Abdi dalem pamethakan, suranata, punakawan kyai, abdi
dalem juru kunci reh puralaya.
Menurut apa yang tertulis dalam pranatan (peraturan), antara
yang tersebut di atas itu harus dipakai bahasa Bagongan apabila
mereka berada dalam suasana pasowanan (menghadap). Baik dari
yang setingkat lebih rendah ke lebih tinggi atau sebaliknya ba-
hasa Bagonganlah yang seharusnya digunakan.
Akan tetapi, nanti akan kita ketahui bahwa pranatan itu ter-
nyata tidak mudah ditaati. Terhadap para gusti bendara pange-
ran dan para bendara seringkali tingkat krama (krama muda)-lah
yang terpakai.

3.4 Pemakaian Bahasa Kedaton di Surakarta


Berbeda dengan bahasa Bagongan yang dipakai di Yogya-
karta, bahwa Kedaton di Surakarta sekarang ini sudah jarang
sekali digunakan. Apabila di Yogyakarta kita masih sering dapat
mendengarkan beberapa abdi dalem bercakap dalam bahasa Ba-
gongan, di Surakarta percakapan semacam ini sudah boleh di-
katakan sulit sekali ditemui. Menurut Astuti Hendrarto, bahasa
Kedaton digunakan apabila ada upacara besar, seperti peringat-
an naik tahta Sri Sunan. Akan tetapi, di dalam kehidupan sehari-
hari, bahasa kedaton sudah tak terdengar lagi.

49
Bahasa Bagongan

3.5 Pokok Pembicaraan


Tentang maksud tujuan pembicaraan yang dapat diliput de-
ngan sarana komunikasi bahasa Bagongan secara teori tidak ter-
batas. Artinya, apa saja dapat disampaikan dengan bahasa Ba-
gongan itu. Perintah, surat ketetapan, permintaan, pemberitahu-
an biasa, percakapan yang berisi hal yang tidak serius, perca-
kapan tentang perkembangan politik kenegaraan, kesemuanya
secara teori seharusnya dapat disampaikan dengan bahasa Ba-
gongan ini.
Bahasa Bagongan tentu saja dapat digunakan untuk berbagai
hal itu karena bukankah perbedaan antara bahasa Bagongan dan
yang bukan Bagongan hanyalah sedikit saja. Perbedaanya hanya
terdapat pada beberapa kata berfrekuensi tinggi saja dan juga
pada satu awalan dan dua akhiran. Jadi, apa pun dapat dituturkan
dengan bahasa Jawa yang bukan Bagongan, seharusnya dapat
disampaikan dengan bahasa Bagongan itu.
Hal ini juga benar dalam hal topik pembicaraan. Apa saja
seharusnya dapat dituturkan dengan bahasa Bagongan itu. Di
dalam data yang akan disajikan nanti kita dapati percakapan
tentang seorang keluarga yang baru saja mengunjungi si pembi-
cara. Ketika itu si tamu itu membawakan oleh-oleh burung balam.
Pada saat itu terdapat percakapan tentang kemahiran Sri Sultan,
percakapan tentang rencana melihat sekaten, percakapan tentang
sejarah beberapa lagu atau gending Jawa, dan berbagai surat pe-
rintah serta pemberitahuan.

3.6. Tujuan Pemakaian Bahasa Bagongan


Diperkirakan ada dua tujuan dari pemakaian bahasa Ba-
gongan di dalam kalangan istana. Pertama ialah pemeliharaan
tradisi yang menyatakan bahwa sesuatu kerajaan yang besar
itu ditandai dengan digunakannya bahasa Bagongan semacam
ini. Kedua ialah suatu usaha agar diantara para punggawa istana
itu ada perasaan yang kurang lebih demokratis, sama rasa sama
rata.

50
Bahasa Bagongan

Penggunaan bahasa Bagongan sebagai simbol kerajaan yang


besar, yang sebetulnya juga dicerminkan di dalam dunia pertun-
jukan wayang. Di dalam pewayangan, terutama pertunjukan wa-
yang kulit dengan cerita mahabarata, dipeganglah suatu prinsip
bahwa di dalam jejer negera Astina percakapan antara Prabu
Suyudana dengan para keluarganya dijalankan dengan bahasa
Bagongan atau bahasa Kedaton. Hal ini dilakukan karena kera-
jaan Astina tempat Prabu Suyudana itu bertahta, merupakan ke-
rajaan yang maha besar, yang mempunyai daerah yang amat
luas dan dihormati oleh banyak negara yang berada di sekitar
Astina itu. Tidak ada kerajaan lain yang berhak menggunakan
bahasa Kedaton kecuali negara Astina itu. Satu-satunya kerajaan
lain yang juga menggunakan bahasa semacam Bagongan ialah
kerajaan para dewa di khayangan Junggrisalaka, tempat betara
guru bertahta mengatur dan mengawasi jalannya roda dunia.
Adanya tradisi pemahaman seperti inilah maka di keraton
Yogyakarta dan Surakarta digunakan bahasa Bagongan dan ba-
hasa Kedaton dalam peristiwa pasowanan, yang ada dalam kom-
plek istananya. Simbol yang dipakai untuk menadai kerajaan
yang besar sebetulnya tidaklah terbatas pada bahasa Bagongan
saja. Ada banyak hal lain yang oleh banyak orang dianggap sim-
bol yang menjadi tanda adanya kerajaan yang besar, misalnya
pusaka-pusaka yang berupa senjata, seperti keris dan tombak,
pusaka dalam bentuk bendera, dalam bentuk benda upacara re-
ligi seperti benda-benda emas pada dhalang sawung galing, dalam
bentuk singgasana; alat budaya tinggi seperti gamelan, wayang;
peninggalan kesenian ritual seperti wayang orang, sesuatu jenis
tarian tels. Seperti kita catat banyak orang masih merasa agak
beruntung bahwa dalam musibah kebakaran dalam istana Sura-
karta pusaka-pusaka yang berupa keris dan tombak pusaka serta
sebangsanya masih dapat diselamatkan. Seandainya pusaka-pu-
saka semancam itu pun ikut terbakar, kesuraman kraton Sura-
karta tentu jauh lebih cepat lajunya.

51
Bahasa Bagongan

Simbol kebesaran yang berupa tradisi seni pertunjukan dise-


butkan oleh Soedarsono di dalam disertasinya yang berjudul
“Wayang Wong in The Yogyakarta Kraton” (Soedarsono, 1984).
Di dalam disertasi itu disebutkan bahwa pertunjukkan wayang
wong di Yogyakarta dan bedaya ketawang di Surakarta menjadi
simbol kebesaran kerajaan. Menurut Soedarsono, dimilikinya
tradisi menyelenggarakan wayang orang di Kraton setiap tahun-
nya dari jam 6.00 pagi sampai jam 6.00 sore, dan juga upacara
labuhan untuk Kanjeng Ratu Kidul, beserta pusaka-pusakannya
yang berupa senjata dari tosan aji dan juga tamansari menjadikan
kraton Yogyakarta memiliki aura kraton yang berwibawa.
Di samping untuk dipakai sebagai simbol kerajaan besar, para
abdi dalem kraton mengatakan bahwa dipakainya bahasa Ba-
gongan ini dimaksudkan untuk menciptakan suasana kebersamaan
yang baik antara pada punggawa dan abdi dalem kraton itu.
Kenyataan bahwa bahasa Bagongan itu memakai imbuhan ngoko
dimaksudkan untuk menjalin perasaan yang lebih akrab di antara
para pemakainya. Di samping itu, dalam pranatan sowan/marak lan
basa Bagongan disebutkan bahwa semua abdi dalem dan punggawa
kraton di dalam pasowanan-nya harus menggunakan bahasa
Bagongan itu secara ‘sami-sami’. Tidak ada yang merendahkan
diri dan tidak ada yang meninggikan diri. Dengan bahasa Ba-
gongan diharapkan timbul perasaan sama rata dan sama rasa.
Pikiran semacam ini timbul disebabkan oleh kenyataan bah-
wa bahasa Jawa yang dipakai sehari-hari oleh orang-orang Jawa
terdiri dari beberapa tingkat. Ada tingkat ngoko yang biasanya
dipakai kepada orang yang si penutur tidak perlu merasa ada
rasa enggan (kepada anak, pembantu, saudara muda, dan orang-
orang yang lebih rendah status sosialnya). Ada tingkat tutur
krama yang harus dipakai apabila seorang penutur berbicara ke-
pada orang yang dihormatinya, yang tidak boleh diperlakukan
seenaknya (kepada orang yang belum dikenal, kepada saudara
tua, kepada atasan, atau kepada orang lain yang lebih tinggi
status sosialnya). Ada lagi tingkat tutur atau undha-usuk madya,

52
Bahasa Bagongan

yang dipakai apabila seorang penutur berbicara kepada sese-


orang yang si penutur dapat merasa santai tetapi harus cukup
santun (kepada orang yang berumur tua dari kalangan yang
berstatus sosial kurang tinggi, kepada teman yang agak dekat,
dls). (Soepomo, 1969). Dengan demikian terasa bahwa bahasa
Jawa itu agak kurang demokratis. Maka agar antara punggawa
istana itu ada perasaan sama rata dan sama rasa yang lebih baik,
agar antara mereka itu timbul rasa persatuan yang lebih akrab,
bahasa Bagongan itu lalu dipakai. Jadi, pemakaian bahasa Ba-
gongan ini diharapkan dapat menimbulkan rasa senasib dan se-
penanggungan antara para pemakainya; dapat menimbulkan
perasaan saru korp kesatuan di antara punggawa istana yang
baik; menjauhkan rasa kelas-kelasan antara punggawa istana;
dan menjauhkan rasa perpecahan di antara mereka.
Pemakaian bahasa Bagongan sebagai simbol kebesaran kera-
jaan barangkali dapat dianggap mungkin saja muncul dan ber-
kembang di kerajaan lain di dunia ini. Keingginan suatu sistem
kerajaan untuk mengangungkan kerajaannya dengan berbagai
lambang kebesaran kiranya dapat dianggap universal. Jadi, ka-
lau seandainya ada di dunia ini kerajaan lain yang menggunakan
bahasa sebagai lambang kebesaran, kita dapat memakluminya.
Maksud kedua, yaitu menggunakan bahasa Bagongan seba-
gai sarana pendemokrasian hubungan antara para pungawa ista-
na yang telah terbiasa hidup dengan berkelas-kelas dan unik di
dalam masyarakat Jawa ini. Pemakaian bahasa Bagongan untuk
menghindari pemakaian bahasa krama, madya, dan ngoko hanya
terjadi dalam masyarakat seperti masyarakat Jawa yang padanya
telah berkembang suatu bahasa yang mengenal tingkat tutur
dengan pembagian yang amat tegas dan berpilah-pilah.
Usaha pendemokrasian di kalangan punggawa kraton ini
kiranya juga pernah terjadi di awal abad duapuluh ini di ka-
langan rakyat biasa. Dengan munculnya gerakan djawa dwipa
itu bukanlah bahasa Bagongan yang dikampanyekan, melainkan
ialah pemakaian tingkatt ngoko bagi setiap orang, tanpa meman-

53
Bahasa Bagongan

dang tingkat kelas sosial pesertanya. Ada gerakan lain yang


memilih menggunakan tingkat krama terhadap siapa pun. Sisa
gerakan Djawa Dwipa ini masih terlihat akhir-akhir ini di kota
Surakarta (Sukarman).

3.7 Keadaan Pemakaian Bahasa Bagongan Dewasa Ini


Dalam kenyataanya keadaan dan pemakaian bahasa Ba-
gongan sekarang ini agak menyimpang dari ketentuan yang ada
di dalam peraturan. Hal ini tentu saja merupakan gejala yang
biasa dan dapat diduga dari awal mulanya. Bentuk pemakaian
bahasa lumrahnya tidak dapat diatur secara ketat dengan ber-
pegang pada peraturan dan pranatan. Di dalam sejarah kita amati
orang membuat ketetapan yang berupa gerakan untuk merombak
sistem undha-usuk Jawa menjadi satu tingkat saja. Seperti dika-
takan di atas, yang sangat keras dan menggebu-ngebu diusaha-
kan oleh mereka yang menghendaki bahwa bahasa Jawa me-
makai tingkat tutur saja (Djawa Dwipa), tetapi gerakan yang
sudah memakan tenaga dan secara beramai-ramai itu pun kandas.
Lawan dari gerakan Djawa Dwipa ialah gerakan krama dewa,
mengusahakan agar tingkat tutur bahasa jawa tinggal satu saja,
tetapi berbentuk krama. Tingkat krama dianggap sebagai bahasa
yang sopan. Namun usaha mendemokrasikan bahasa yang sopan
tersebut juga kandas. Di eropa kita amati adanya usaha yang
dikerjakan oleh para ahli untuk menciptakan bahasa internasional
yang berupa bahasa Esperanto. Keinginan ini hidup dalam waktu
lama, tetapi usaha ini pun tidak menghasilkan hasil yang sesuai
dengan harapan.
Penyimpangan yang terjadi antara lain ada pada bentuknya.
Di dalam ketentuan dikatakan bahwa imbuhan pembentuk kata
kerja dan kata benda seharusnya dibuat dalam bentuk ngoko.
Akhiran bahasa Indonesia –kan seharusnya mempunyai terjemah-
an dalam bahasa Bagongan itu –ake (ngoko) dan bukannya –aken
(krama), dan apa yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dalam bentuk –nya seharusnya berbentuk –e dalam ba-

54
Bahasa Bagongan

hasa Bagongan, dan bukannya –ipun (krama). Dalam kenyata-


annya, dalam pemakaian sehari-hari di Kraton Yogyakarta ben-
tuk krama ini sering terjadi. Pemakaian seperti ini terjadi apabila
seseorang dengan status kepangkatan yang lebih rendah berbi-
cara kepada seseorang dari status kepangkatan yang lebih tinggi.
Berikut sekedar contoh.
Dialog kanjeng gusti dengan bendara
Kanjeng gusti : ”Punapi rama manke mriksane sekatos”
Apakah ayah nanti melihat sekaten
’Apakah ayah nanti melihat sekaten’
Para bendara : “Ha yen (menawi) kanjeng gusti badhe ngersakaken
Ha kalau kanjeng gusti akan menginginkan
‘Ha. Kalau kanjeng gusti akan
Mriksani sekatos, ha mangke manira dhrekaken
mriksani
Melihat sekaten nanti saya antarkan melihat
Melihat sekaten nanti akan saya antarkan ke
alun-alun’
Wenten ngalun-alun
Ada alun-alun
Kanjeng gusti : “O enggeh, nggeh manira nggeh kalian badhe
mirengaken
O ya ya saya ya dengan akan mendengarkan
‘O ya saya juga akan mendengarkan bunyi
gamelan sekaten
Gangso sekaten, ha mangke nggeh kaliyan pakenira
Gamelan sekaten ha nanti ya dengan anda
Ha nanti juga dengan anda
Para bendara : “Oh enggeh nggeh mangke manira sagah ndhereaken
Oh ya ya nanti saya sanggup mengantar
‘Oh ya nanti saya sanggup mengantarkan
kanjeng gusti melihat
Kanjeng gusti meriksani sekaten, ha mila gen-
dhingipeun

55
Bahasa Bagongan

Kanjeng gusti melihat sekaten ha maka lagunya


Ha memang gendingnya
Punika wah ngrangin.
Ini wah halus
Itu wah indah sekali
Kanjeng gusti : “Enggeh, ha punika miturut sejarah, puniku yasan
Ya, ha ini menurut sejarah ini buatan
‘Ya itu menurut sejarah gending ini buatan
zaman kerajaan demak’
Jaman kraton demak
Zaman kerajaan demak
Dos gendhing sekaten puniku yasan kraton demak
Jadi lagu sekaten itu buatan kerajaan demak
‘Jadi lagu sekaten itu buatan kerajaan demak’
Para bendara : “O ngaten, ha kanjeng gusti puniku malah ngertos
O demikian ha kanjeng gusti itu malahan tahu
‘O, demikian, kanjeng gusti malahan tahu’
Manira matur sembah nuwun
Saya menyampaikan terima kasih
‘Saya menyampaikan terima kasih’

Contoh dialog gusti dengan abdi dalem


Kanjeng gusti : “Ca, kok manira sumerep kapal cemen puniku kepale
Teman saya melihat kuda hitam itu kudanya
Saudara, saya seperti melihat ada kuda hitam.
Itu kudanya
Sinten nggeh, kok kadis sae.
Siapa yang seperti baik
Siapa ya? Tampaknya baik
Abdi dalem : “Non inggih. Menika mbok menawi kapalipun raka
dalem
Ya ya ini mungkin kudanya kakak tuan
‘Ya, ini mungkin kudanya kakak tuan’

56
Bahasa Bagongan

Menika mbokmenawi, wak menika pundhutan awis


wong ulesipun
Ini mungkin ini pembelian mahal orang
warnanya
‘Ini mungkin mahal harganya, karena warna
bulunya baik’
Sae sanget
Baik sangat.
Kanjeng gusti : “O enggeh, ha kapal manira puniku wong anu, napi
puniku
O ya ha kuda saya itu orang apa itu
‘ya kuda saya itu takut bunyi tambur
Ajrih tambur, uger miring tambur lajeng anu, napi
Takut tambur asal mendengar tambur terus apa
‘Asal mendengar bunyi tambur terus menjadi
takut’
Lajeng ajrih.
Terus takut
Abdi dalem : “O ha menika anu, mbokmenawi mila dereng kulina
O ha ini mungkin maka belum biasa
‘O ha iya, karena belum biasa, nanti kalau su-
dah biasa
Mangke yen sampun kulina miring tambur, asring
Nanti kalau sudah biasa mendengar tambur
sering
Mendengar bunyi tambur dan sering ikut
latihan perang akan
Menjadi
Nderek perjuritan, ha mbokmenawi mangke lajeng
sanget atul
Ikut latihan perang mungkin nanti terus sangat
biasajuga
Menika
Ini

57
Bahasa Bagongan

Kanjeng gusti : “O enggeh. Menira nggeh sampun ndhawuhi kanca


O ya saya ya sudah memerintahkan teman
‘O, ya saya sudah menyuruh pelatih kuda,
supaya latihan
Panegar supaya negari, mirengke tambur supados
Pelatih supaya melatih mendengarkann
tambur supaya
‘kuda mendengarkan bunyi tambur, agar tidak
takut
sampun ajrih, penegar-penegar sampun manira
sami ndhawuhi
Sudah takut pelatih-pelatih sudah saya sama
perintah
‘pelatih-pelatih kuda sudah saya suruh’
Abdi dalem : “Ha yen ngaten menika sampun sae sanget menika
Ha kalau demikian ini sudah baik sangat ini
Kalau demikian itu sudah baik

Contoh dialog pada bendara yang lebih tua dengan yang muda
Para bendara sepuh: “Dimas napi pakenira asring miring gending
Adik apa engkau sering mendenga lagu
‘Apakah adik sering mendengar lagu salatun
dalam sekaten
Sekaten ingkang namane gending salatun punika
Sekaten yang namanya lagu salatun ini
Itu siapa penciptanya?
Yasa sinten?
Ini buatan siapa
Para bendara enem: “Ha punika sa ngertos menira kamas, punika
gendhing
Ha ini sepengetahuan saya kakak, itu lagu
Sepengetahuan saya, gending itu ciptaan kanjeng
Sekaten salatun puniku yasanipun kanjeng raden
Sekaten salatun itu buatannya kanjeng raden

58
Bahasa Bagongan

Raden Wiraguna
Wiraguna, wenten punapi to kangmas
Waraguna, ada apa ta kangmas
Ada apa, kak
Para bendara sepuh: “Enggeh puniku kok anu, punapi puniku, e lagone
Ya itu apa itu lagunya
Ya lagunya hampir sama dengan lagu andhong
andhong
Puniku kok radi memper kaliyan andhong-andhong
Itu agak sama dengan andhong-andhong
Para bendara enem : “ O ha mila, mila radi memper andhong-andhong
kaliyan
O maka maka agak sama andhong-andhong
dengan
‘O, memang lagu andhong-andhong itu hamper
sama dengan lagu
salatun’
salatun punika, mila radi memper ha wong ingkang
salatun iitu agak sama karena penciptanya
yasa enggeh sami punika
buatan ya sama itu
juga sama
para bendara sepuh: “Sab (sebab) wenten malih, gendhing atur-atur
gendhing
sebab ada lagi lagu atur-atur lagu
sebab ada lagi gending atur-atur dang ending
sekaten napi malih. Puniku puniku kok memper-
memper
sekaten apa lagi itu hamper sama
sekaten itu kok juga hamper sama.
Para bendara enem : “O ha enggeh, sak ngertos manira puniku gending
O ya seperngetahuan saya ini lagu
‘O ya, sepengetahuan saya lagu-lagu sekaten
memang dibuat agak

59
Bahasa Bagongan

Gending sekaten punika mila radi memper-memper


amargi
Lagu sekaten ini maka agak sama-sama sebab
Mirip satu sama lain, senan lagu sekaten dibuat
seperti salat’
Gendhing sekaten punika dipun emba kados dene
tiyang salat
Lagu sekaten ini dibuat seperti orang salat.
Para bendara sepuh: “O enggeh, mila lagune gendhing sekaten puniku
Ya maka lagunya lagu sekaten ini
Oya, maka lagu sekaten itu memang berbeda
dengan lagu lainnya.
Mila kaliyan gendhing ingkang sanes
Maka bedanya dengan lagu-lagu lain
Sekaten, dados punika lagu punapi punika, dos
upami
Sekaten jadi ini lagu apa ini jadi umpama
Kangge nyarengi beksan mboya wenten
Untuk mengiringi tarian tidak ada
‘Jadi lagu apa itu, kalau diiringi tarian tidak
bisa’
Para bendara enem: “O he enggeh, kama ha puniku naming kagem
gendhing besaos
O iya kakak itu hanya untuk lagu saja
‘Oya kakak, itu hanya untuk lagu sekaten saja.

Dalam contoh percakapan di atas, antara Kanjeng Gusti dan


Bendara terpakailah bentuk-bentuk akhiran krama itu. Bendara
yang berpangkat lebih rendah dari pada Kanjeng Gusti merasa
harus menghormat Kanjeng Gusti, dan karenanya ia memasuk-
kan bentuk-bentuk hormat bahkan pada kata-kata yang seharus-
nya berbentuk ngoko.

60
Bahasa Bagongan

Contoh:
ngersakaken ‘menghendaki’
manira ndherekaken ‘saya hantarkan’
manira sagah ndherekaken ‘saya sanggup mengantarkan’
gendhingipun ‘lagunya’

Sebaliknya, Kanjeng Gusti pun ternyata juga menyatakan


rasa hormatnya. Bahkan, bentuk yang seharusnya dinyatakan
dalam ngoko pun juga tersaji dalam bentuk krama. Contoh :
kapalipun ‘kudanya’
ulesipun ‘warnanya’
Untuk kata ini dan itu di abdi dalem itu pun menggunakan menika
dari leksikon krama yang sungguh-sungguh.
Penyimpangan seperti itu tentu dapat dimengerti karena
tidak mudahlah untuk menambah apa yang dalam kehidupan
sehari-harinya telah biasa dilakukan ke dalam bentuk yang ra-
sanya artificial. Bahasa sebetulnya bukanlah simbol penyampai
pesan saja, melainkan juga menjadi pengejawantahan tingkatan
hubungan perorangan. Artinya, dengan bahasa itu secara tidak
disengaja orang menunjukkan tingkat seberapa ia merasa hormat
dan akrab dengan orang-orang yang sedang diajak bicara. Apa-
bila seorang sudah biasa menggunakan tingkat krama pada sese-
orang lain, dan tiba-tiba harus merubahnya dengan tingkat yang
mendekati madya seperti di dalam bahasa Bagongan, orang itu
pun merasa kikuk. Di dalam kehidupan di luar Kraton kita sering
mengalami hal-hal semacam itu. Orang yang dalam kehidupan
sehari-harinya telah terbiasa menggunakan bahasa Indonesia
pada waktu berkomunikasi dengan O2 (orang kedua) maka sulit-
lah apabila ia harus mengantinya dengan memakai bahasa Jawa
tingkat ngoko atau tingkat krama. Sebaliknya akan kikuk juga me-
reka yang sudah terbiasa menggunakan bahasa Jawa tingkat
krama pada waktu mereka itu harus berbicara dengan bahasa
Indonesia. Dalam masyarakat yang sifatnya dwibahasa, masing-
masing bahasa itu dapat berarti tingkat keakraban dan tingkat

61
Bahasa Bagongan

penghormatan tertentu. Dalam masyarakat yang sifatnya ekaba-


hasa (monolingual), variasi bahasa dapat berarti seperti itu. Maka
dari itu, sulitlah bagi seseorang untuk menganti variasi tutur
yang digunakan dari variasi yang sudah dibiasai dalam kehi-
dupan sehari-hari ke variasi lainnya hanya karena pengaruh si-
tuasi tertentu.
Selanjutnya, sehubungan dengan situasi pemakaian, perasa-
an wibawanya pun mengalami perubahan juga. Dalam pasowanan
sehari-hari, Kraton sekarang sudah tidak diliputi suasana agung
seperti yang barangkali terjadi di jaman dahulu. Kraton sekarang
ini sering ditinggalkan oleh rajanya. Di Yogyakarta Sri Sultan
sering harus berada di Jakarta, karena tugas nasional. Kerena-
nya, istana sering beliau tinggalkan dan beliau wakilkan kepada
Kanjeng Gusti atau Pangeran kepercayaannya. Dalam keadaan
seperti ini tentu saja suasananya jadi agak berbeda apabila beliau
sendiri ada di tempat. Keadaan seperti ini kiranya dapat juga
mempengaruhi penggunaan bahasa Bagongan dalam percakapan
sehari-hari.
Di samping itu, istana sekarang ini bukan saja merupakan
tempat tinggal raya yang mempunyai suasana agung dan kera-
mat, melainkan juga sudah menjadi obyek turisme, baik bagi
turis luar negeri mau pun turis dalam negeri. Dalam hal fungsi
sebagai obyek turisme inilah maka situasi itu dapat juga mem-
pengaruhi pemakaian simbol-simbol keagungan seperti bahasa
Bagongan itu.
Jadi, kenyataan bahwa sekarang ini istana bukan lagi men-
jadi pusat pemerintahan kebijaksanaan, dan keangungan maka
suasana yang semacam itu juga mempengaruhi semangat para
punggawa dalam menerapkan pemakaian bahasa Bagongan. Se-
ringkali kita dapati bahwa antara abdi dalem menjalankan tu-
gasnya sehari-hari mereka memakai bahasa Jawa yang biasa,
yang terbilang bukan bahasa Bagongan. Untuk mendapatkan
data bahasa Bagongan ini bukan barang yang mudah. Seringkali

62
Bahasa Bagongan

para abdi dalem harus menciptakan suasana dan kesempatan secara


khusus untuk menampilkan bahasa Bagongan.
“Kelengahan” para abdi dalem dalam menerapkan keten-
tuan berbahasa Bagongan ini disadari oleh para abdi dalem itu,
akan tetapi hal ini pun kiranyanya tidak menjadi rasa keberatan
yang mendalam. Sangsinya pun boleh dikatakan hampir tidak
ada. Artinya, apabila kelengahan ini diketahui oleh atasannya,
maka sangsi administratif atau yang lain-lain tak akan menimpa
dirinya yang akan berakibat sangat merugikan bagi kehidupan-
nya.
Tentang pemakaiannya, semangat yang meliputi pengabdian
pada diri mereka sekarang ini bukan lagi semangat yang bersifat
monoloyalitas kepada sang raja, melainkan semangat pengabdian
yang sifatnya lebih ke semangat cinta bakti. Mereka mengabdi
pada istana karena mereka merasa senang berada di lingkungan
wibawa raja, dan bukannya karena tahu bahwa mati dan hidup-
nya dipertaruhkan dalam pengabdian itu. Pengabdiannya di
istana bukan lagi pengabdian yang bersifat profesional, melain-
kan pengabdian iklas yang timbul dari rasa setia karena kharisma
kerajaan. Suasana rasa pengabdian para punggawa seperti ini
tentu saja agak merugikan pemakaian bahasa Bagongan, karena
untuk menerapkan suatu pranata yang dalam prakteknya agak
menyimpang dari kebiasaan yang terbiasa dalam kehidupan se-
hari-hari yang biasanya diperlukan paksaan-paksaan sekedarnya.
Punggawa kraton sekarang iini kebanyakan ialah pensiunan
dari pegawai pamong praja. Mereka sudah berusia cukup lanjut.
Abdi dalem yang berumur muda terbilang langka adanya. Kalau
di kraton ada punggawa yang terbilang muda usia, maka biasa-
nya punggawa itu punya profesi tertentu di luar istana yang
dianggap memberikan nafkah, dan pekerjaannya di istana seba-
gai punggawa hanyalah dianggap sambilan saja.
Tujuan pemakaian bahasa Bagongan dapat diutarakan dalam
keadaan dewasa ini. Seperti dikatakan di atas, tujuan dipakainya
bahasa Bagongan ialah untuk (a) menjadi simbol tambahan ke-

63
Bahasa Bagongan

agungan kerajaan, dan, (b) menimbulkan rasa persatuan di antara


para pungggawa Kraton.
Dalam mencapai tujuan pertama, yaitu untuk menambah wi-
bawa kejayaan kraton, bahasa Bagongan sekarang ini rasanya
menjadi tidak begitu afektif. Rasanya simbol-simbol kebesaran
semacam ini hanya efektif apabila kerajaan itu benar-benar besar
dalam arti politis dan ekonomis. Kerajaan pada dasarnya meru-
pakan lembaga politis. Jadi, apabila kerajaan itu memang jaya
dalam hal kehidupan politiknya, simbol-simbol yang dapat me-
nyimboli kejayaannya akan menjadi mudah untuk berfungsi.
Akan tetapi apabila sebaliknya yang terjadi, simbol-simbol yang
dimaksudkan untuk melambangi kebesaran lalu menjadi kurang
berfungsi dengan baik. Dalam keadaan sekarang ini bahasa
Bagongan hanya berfungsi sebagai ‘dokumentasi’ dari apa yang
pada zaman dahulu dianggap orang benar. Bahasa Bagongan
sekarang menjadi perbendaharaan peninggalan sejarah yang me-
narik, tetapi tidak lagi mencerminkan keadaan yang sebenarnya.
Nasib seperti ini sebetulnya juga dialami oleh simbol-simbol
kerajaan lain. Wayang wong, misalnya, sekarang ini rasanya hanya
menjadi obyek kesenian belaka. Kepada wayang wong yang dulu
dianggap ritual dan sakral itu sekarang sering diadakan menye-
suaian-penyesuaian yang sifatnya artistik. Dalam penampilan
pertunjukan wayang wong di aula SMKRI bulan Januari 1985,
kostun dan iringan gamelan untuk wayang wong mataraman telah
mendapat penyesuaian-penyesuaian yang pertimbanganya ialah
dari sudut seni. Untuk kostum penari putri telah ditampilkan
kotang model zaman modern, dan untuk sajian gamelan mikrofon
dipakai dengan sebanyak-banyaknya.
Juga terhadap Tamansari yang konon fungsinya juga menjadi
salah satu simbol kebesaran kerajaan, sekarang ini nasibnya ku-
rang lebih menjadi obyek turisme belaka.
Tujuan yang kedua, yaitu menciptakan rasa persatuan yang
baik di kalangan punggawa istana, barangkali memang dapat
tercapai. Seperti dapat kita catat bahwa sebetulnya pranatan

64
Bahasa Bagongan

sowan/marak lan bahasa Bagongan itu juga diterbitkan oleh per-


satuannya punggawa istana. Rasanya, memang persatuan itu me-
mang ada. Akan tetapi, tujuan yang lain, yaitu agar timbul rasa
sama rata dan sama rasa, seperti yang ditujukan di atas rasanya
kurang dapat terealisasi dengan baik. Tingkat-tingkat kepang-
katan, baik yang bersumber dari darah bangsawan maupun yang
bersumber kepada pencapaian birokrasi keistanaan, sangat mem-
pengaruhi pranatan pemakainnya. Apa yang dimaksud “sama-
sama”, agar punggawa satu sam lain menggunakan bahasa yang
sama-sama, yang tingkat-tingkatannya tidak ada, dalam ke-
nyataannya tidak tercapai secara seratus prosen. Yang rendah
masih menghormati yang tinggi dengan memakai bentuk krama
dan krama inggil, sedang yang tinggi agak lebih leluasa dalam
menggunakan bahasa seperti yang ditentukan.
Selanjutnya, bahasa yang dimaksudkan untuk menjadikan
para pemakainya menjadi akrab, menjadi bersatu seperti itu
biasanya lalu berakibat eksklusif. Artinya, bahasa itu lalu mengu-
cilkan orang-orang yang tdak berbahasa seperti itu. Jadi apa
yang dimaksud untuk pendemokrasian para kaluwarga akhirnya
juga menjadikan orang lain tidak masuk ke dalamnya. Karena
kelompok sosial yang mengunakan bahasa eksklusif bahasa Ba-
gongan itu bersifat tinggi, maka usaha pendemokrasian para
anggota ini lalu memberikan dampak yang kurang demokratis
bagi keseluruhan masyarakat Jawa, terutama pada zaman dahulu
pada waktu feodalisme sedang dalam keadaan jaya-jayanya.
Hal-hal seperti ini, yaitu bahwa usaha penyatuan dalam ke-
lompok dapat menimbulkan rasa eksklusif bagi kelompok lain,
sebetulnya terjadi pada penggunaan variasi kebahasaan yang
lain. Sebagai contoh dialek kedaerahan, dialek kelas sosial, peng-
gunaan idiom sang, atau penggunaan jargon dalam kelompok
profesi tertentu selalu dapat menimbulkan keintiman diantara
para pemakai, tetapi sekaligus juga menimbulkan rasa terasing
bagi mereka yang tidak menjadi anggota pemakai dialek itu.
Bukankah kata-kata dalam apa yang disebut bahasa rahasia juga

65
Bahasa Bagongan

menimbulkan rasa yang demikian? Maka dari itu, seperti dialek


profesi itu, bahasa Bagongan juga menimbulkan rasa terasing
bagi orang-orang yang tidak menggunakannya. Dengan kata
lain, kelompok punggawa yang memakai bahasa Bagongan itu
lalu menjadi kelompok yang menyendiri.
Jadi, tujuan baik menimbulkan rasa demokrasi di antara para
punggawa keraton ini akhirnya juga menimbulkan rasa yang tidak
demokrasi seperti itu bagi orang-orang yang berada diluar
punggawa kraton. Pada zamannya raja berjaya dan feodalisme
masih hebat, bahasa Bagongan seperti itu dapat berfungsi sebagai
ciri tambahan bagi mereka yang tergolong kelas tinggi.
Selanjutnya, ada salah satu hal yang menarik untuk diberi
komentar dalam hal pemakaian bahasa Bagongan di zaman seka-
rang. Pemakaian bahasa Bagongan di kalangan pewayangan tera-
sa sama sekali berlainan dengan apa yang biasanya diterapkan
di dalam kraton. Di dalam pewayangan, bukannya para pung-
gawa yang menggunakan bahasa Bagongan tetapi bahkan si raja
lah yang memakai. Jadi di keraaan besar seperti Astinapura,
Prabu Suyudana yang biasa digambarkan memakai bahasa Ba-
gongan itu pada waktu dia berbicara pada keluwarga atau pena-
sehatnya yang terdekat. Di kerajaan para dewa di Junggring-
saloka, Bathara Guru juga menggunakan bahasa Bagongan itu.
Terkadang Bathara Narada, perdana menteri dari Bathara Guru,
juga digambarkan memakai bahasa Bagongan. Jadi, bukannya
antar para punggawa yang menerapkan bahasa Bagongan satu
sama lain, melainkan si raja lah yang memakainya. Berikut ialah
sekedar contoh.
Contoh di kerajaan Astina.
Prabu Suyudana : Sampun dadi runtangin ati pakenira paman, manira
timbale wenten ngajengan manira
(Jangan menjadi bingung hati-mu paman, saya
panggil di hadapan saya)
(Paman jangan kaget saya panggil kemari)

66
Bahasa Bagongan

Patih Sengkuni : Kawula nuwun anak prabu, sakelangkung kumejat


Saya mohon anak prabu, kelewat terkejut
Kumitir kecarus waras, kados tinebaning sima lepat
Gemetar bercampur was, seperti ditembak
harimau luput,
Ningali thatit mboten sumerep sangkaning gelap
Melihat kilat tidak melihat asalnya cahaya
Wonten ing njawi sanget kuwatosing mana kulo
Ada diluar sangat khawatir hati saya
Sareng wonten ngarsanipun anak prabu, mboten
gadhah
Sarenta ada didepan anak prabu, tidak punya
Manah ingkang kumarasan
Hati yang kawatir
(Ya, anak prabu, sungguh terkejut gemetar cam-
pur rasa khawatir, bagaikan ditubruk harimau
tidak kena atau seperti melihat thatit tanpa
dapat mengetahui asal muasalnya, begitulah
rasa hati saya tadi pada waktu diluar istana,
tetapi setelah berada dihadapan anak prabu,
kekhawatiran hati saya menjadi lenyap)
Prabu Suyudana : Lha puniku panapi melane paman, panekira wenten
Lha apa itu sebabnya paman, kamu ada
Ing njawi sanget kuwatosing manah pakenira,
sareng
Di luar sangat khawatir hatimu, serenta
Wenten ngajengan panira. Mboya gadhah manah
ingkang
Ada di depan saya, tidak punya hati yang
Kumarasan
Was-was
(Nah itu sebabnya, paman, kamu diluar merasa
sangat khawatir, tetapi setelah berada di ha-
dapan saya lalu tidak merasa was-was lagi)

67
Bahasa Bagongan

Patih Sengkuni : Kawula nuwun anak prabu, kawula upameaken


kawula
Saya mohon anak prabu, saya umpamakan saya
alit sadaya, ingkang kapatrapan dedosan, dosa
kecil semua, yang terkena dosa, dosa
Sakit sayogi anak prabu ingkang nyakitana, dosa
Sakit semoga anak prabu yang menyakitinya,
dosa
pejah sayogi anak prabu ingkang mejahana
mati semoga anak prabu yang membubuhnya
Senajan pun bapak piyambak, mboten siyang pantara
Walaupun bapak sendiri, tidak siang atau
dalu sampun sumao ing sakarsaipun anak prabu
malam sudah siap dikehendak anak prabu
(Ya, anak prabu. Saya andaikan rakyat kecil
yang terkena kesalahan, kalau harus sakit maka
semoga sang prabu lah yang menghukumnya
sakit, dan seandainya harus dihukum mati
maka sang prabulah yang semoga membunuh-
nya. Begitu pun bagi saya sendiri, entah malam
entah siang hari saya sudah siap menerima apa
pun yang menjadi kehendak sang prabu)

Dari contoh di atas dapat dibaca bahwa prabu Suyudana


lah yang memakai bahasa Bagongan itu. Dia menggunakan istilah
manira, pakenira, wenten, mboya, puniku, punapi, dsb. Di dalam
pemakaian sehari-hari di kraton justru pada abdi dalemlah yang
harus menggunakan bahasa Bagongan itu satu terhadap yang
lain. Raja sendiri menggunakan tingkat tutur yang biasa ada
pada undha-usuk sehari-hari.
Mengapa dalam pewayangan sekarang ini terjadi hal yang
demikian, sulit sekali dicari jawabnya dalam penelitian ini.

68
Bahasa Bagongan

BAB IV
PEMEROLEHAN BAHASA BAGONGAN

Bagi orang yang berminat dan mempelajari pemerolehan


bahasa, setiap variasi tutur tentulah menjadi obyek yang menarik
baginya dari sudut proses pemerolehannya. Demikian pula ba-
hasa Bagongan ini. Maka dari itu, walau pun barang sekilas,
proses pemerolehan bahasa Bagongan ini pun akan diulas dalam
bagian ini.
Akan tetapi, karena pemakaian bahasa Bagongan ini boleh
dikatakan sudah tidak begitun popular lagi, maka penelitian
tentang hal ini pun tidak dapat dijalankan dengan baik. Apa
yang disajikan di sini hanya berdasarkan kepada wawancara
yang dijalankan oleh anggota tim kepada beberapa punggawa
kraton Yogyakarta.

4.1 Cara Belajar


Berbeda dengan bahasa formal dan informal, tingkat tutur
halus (krama), biasa (ngoko), atau pun madya, Bahasa Bagongan
ini tidak dipelajari oleh anggota masyarakat dari sejak masa umur
mudanya. Jadi, bahasa Bagongan ini tidak diperoleh ‘dengan
sendirinya’ seperti variasi tutur tersebut. Dari sudut pemeroleh-
annya, bahasa Bagongan terlebih menyerupai bahasa kedua.
Artinya, orang yang ingin menguasainya haruslah mempelajari-
nya dengan sengaja pada waktu ia sudah dewasa, sudah tergo-
long bukan umur anak lagi. Orang ini baru akan mempelajarinya

69
Bahasa Bagongan

sesudah ia memutuskan diri dan diterima menjadi abdi dalem


atau punggawa kraton.
Dalam kenyataannya sekarang, baik di dalam kraton atau
pun di luar kraton tidak ada sekolah atau khursus yang secara
khusus mengajar abdi dalem atau calon abdi dalem untuk ber-
bicara dengan Bahasa Bagongan ini.
Barangkali karena sederhananya aturan bentuk dan pema-
kaian bahasa Bagongan ini, maka orang mengganggap tidak
perlu mengadakan sekolah yang khusus mengajarkan bahasa
Bagongan ini. Di sekolah-sekolah umum pun bahasa Bagongan
ini tidak pernah memiliki kedudukan khusus di dalam kuriku-
lum.
Apa yang terjadi ialah bahwa pada waktu para abdi dalem
itu bertugas caos (menghadap, masuk dinas di dalam keraton),
maka mereka lalu melatih diri bercakap-cakap dengan rekan-
rekannya. Mereka yang sudah pandai melatih yang masih ma-
gang (berstatus calon abdi dalem).
Di dalam melatih diri ini pedoman pun telah dijelaskan atau
diberikan kepada para abdi dalem muda ini. Dalam melatih diri
ini, maka pembeberan contoh yang baik berjalan secara informal.
Artinya, contoh itu terjadi pada waktu para magang atau calon
dengan para mentornya dalam keadaan pergaulan yang sifatnya
informal, tidak dipersiapkan khusus untuk pelajaran bahasa Ba-
gongan itu. Pembeberan (exposure) terjadi melalui percakapan
spontan dari para punggawa lainnya yang sudah mahir menggu-
nakan bahasa Bagongan itu, dari surat-surat perintah atau surat
edaran yang dikeluarkan oleh Parentah Hageng Karaton, dsb.
Demikian pula penyapaan, pertanyaan, perintah, pemberita-
huan yang di dalam proses belajar-mengajar berfungsi sebagai
suatu sarana prompting (penyapaan), kesemuanya itu terjadi se-
cara spontan dan situasional, digerakan oleh kebutuhan berko-
munikasi yang betul-betul ada dan aktual.
Frekuensi latihan banyak sedikitnya tergantung kepada para
abdi dalem sendiri untuk berlatih. Apabila ia ingin banyak ber-

70
Bahasa Bagongan

latih, akan berusahalah abdi dalem itu mengadakan banyak per-


cakapan dengan menggunakan bahasa Bagongan itu dengan te-
mannya. Namun, apabila ia kurang rajin, tak ada paksaan apa
pun yang mengharuskannya berlatih secara banyak.
Koreksi terhadap kesalahan yang dibuat oleh seseorang pe-
nutur dijalankan melalui dua orang. Pertama, melalui pembe-
beran lain yang benar. Jadi, kesalahan itu dikoreksi oleh diri
sendiri. Kesalahan semacam ini biasanya bersifat kesalahan ka-
rena kurangnya latihan saja dan bukan karena kekeliruan dalam
memahami aturan. Pengertian tentang bentuk bahasa Bagongan
yang benar sebetulnya tidak sulit untuk dipahami. Kedua, dija-
lankan oleh teman sejawat para abdi dalem sendiri. Artinya,
pada waktu kesalahan terjadi, teman sejawat lalu membetul-
kannya.
Tentang motivasi belajar, dewasa ini rasanya tidaklah terlalu
besar. Artinya, terhadap mereka yang ingin menguasai rasanya
tidak ada dorongan khusus yang tergolong hebat untuk mem-
pelajarinya. Dari para punggawa keraton yang berhasil diwa-
wancarai oleh anggota tim tidak tampak adanya hasrat yang
luar biasa untuk mempelajari dan menguasainya.
Kurangnya motivasi belajar ini barangkali disebabkan oleh
beberapa hal, antara lain oleh adanya kesadaran bahwa kegu-
naannya sekarang ini pada umumnya dianggap kurang begitu
mendesak dan oleh tantangan kesulitannya yang boleh dikata-
kan hampir tidak ada. Di samping itu, tentu ada faktor lain se-
perti karena kenyataan bahwa keuntungan (reward) yang dapat
diperoleh oleh para pelajar dalam hal bahasa Bagongan ini sebe-
tulnya memang sangat kecil. Artinya, bahwa dengan kemahiran
berbahasa Bagongan seorang abdi dalem tidak akan secara oto-
matis naik pangkat, bahwa masyarakat umum pada umumnya
juga kurang memberi penghargaan atau penghormatan kepada
pencapaian dalam hal bahasa Bagongan ini.
Frekuensi pemakaian bahasa Bagongan ini di Yogyakarta
memang tidak begitu tinggi. Di Surakarta kebanyakan orang

71
Bahasa Bagongan

mengatakan bahwa eksistensinya sudah mendekati kepunahan.


Di Yogyakarta sekarang ini Sri Sultan sendiri jarang berada di
Keraton. Beliau banyak berada di Jakarta. Maka dari itu, sebagai
akibatnya maka penggunaan bahasa Bagongan itu jadi juga ku-
rang sering.
Gairah pemakaian tampaknya juga tidak cenderung menaik.
Hal ini terutama disebabkan oleh adanya pertanyaan kelanjutan
keberadaan keraton ini di waktu yang akan datang. Banyak
orang Yogyakarta yang dewasa ini bertanya-tanya di dalam hati-
nya mengenai kelanjutan tradisi keraton ini di waktu yang akan
datang. Karena masalah inilah gairah untuk mempelajari bahasa
Bagongan ini bagi orang-orang yang bersangkutan atau calon
abdi dalem kurang mendapat perhatian yang serius.

4.2 Pelajar
Seperti dikatakan di atas, para abdi dalemlah yang pertama-
tama berkepentingan untuk mempelajari bahasa Bagongan ini
karena mereka harus menggunakannya dalam waktu dan tempat
yang telah ditentukan oleh peraturan keraton. Para abdi dalem
ini perlu mempelajarinya karena menurut ketentuan semua surat
menyurat resmi keraton juga ditulis di dalam bahasa Bagongan
itu.
Di samping para abdi dalem dan punggawa keraton, para
dalang pun perlu menguasai bahasa Bagongan ini sebab ada ke-
tentuan bahwa dalam adegan tertentu bahasa Bagongan ini juga
harus dipakai. Untuk menandai bahwa sesuatu kerajaan ialah
kerajaan yang besar, salah satu yang dipakai sebagai simbolnya
ialah pemakaian bahasa Bagongan itu. Di dalam tradisi pewa-
yangan, kerajaan Astina selalu digambarkan dengan dialog Pra-
bu Suyudana dengan para penasihatnya yang menggunakan ba-
hasa Bagongan. Kecuali kerajaan Astina, kerajaan para dewa di
Suralaya pun biasanya digambarkan dengan dialog bahasa
Bagongan.

72
Bahasa Bagongan

Perbedaan antara pemakaian di dalam keraton zaman seka-


rang dengan pemakaian dalam pewayangan ialah bahwa di da-
lam keraton bahasa Bagongan itu dipakai oleh para abdi dalem
dan punggawa keratin. Namun, di dalam pewayangan bahasa
Bagongan itu dipakai hanya oleh Raja yang tergolong Agung,
atau oleh para dewa yang menduduki tahta pimpinan atau pang-
kat yang tertinggi. Jadi, di dalam kerajaan Astina, hanya Prabu
Suyudana yang biasa menggunakan bahasa Bagongan, sedangkan
di Kedewataan Suralaya hanya Betara Guru dan Betara Narada
yang menggunakannya.
Dari praktek pemakaian itu, sering kita dengar adanya ke-
luhan bahwa para dalang seringkali membuat kesalahan di dalam
memakai bahasa Bagongan. Kesalahan pemakaian ini menjadi
pertanda bahwa dalang itu dari sudut peraturan keraton kurang
mahir.

4.3 Macam Kesalahan


Kesalahan yang sering dibuat orang pada dasarnya dapat
digolongkan dalam beberapa golongan, antara lain ialah sebagai
berikut.
a. Kesalahan undha-usuk
b. Kesalahan ragam
c. Kesalahan pemilihan kata

4.3.1 Kesalahan Undha-Usuk


Yang dimaksud dengan kesalahan undha-usuk ialah kesalahan
dalam menentukan tingkat kehormatan yang dibawakan dengan
bahasa Bagongan itu. Di dalam ketentuannya, bahasa Bagongan
itu haruslah berada di antara tingkat krama dan madya, dengan
segalanya dinyatakan dalam bentuk krama kecuali imbuhan yang
berkaitan dengan kata kerja dan kata benda. Untuk imbuhan
kata kerja dan kata benda bentuk imbuhan ngoko yang dipakai.
Di dalam data yang ada pada tim peneliti, seringkali terda-
pat bahwa segala sesuatunya dinyatakan di dalam bentuk krama.

73
Bahasa Bagongan

Bentuk krama ini meliputi bentuk kata kerja dan kata bendanya.
Dalam hal ini tingkat tuturnya terlalu tinggi.
Contoh kesalahan undha-usuk ini yang paling jelas ialah yang
sudah disajikan dalam bab III, percakapan antara Kajeng Gusti
dan Bendara dan antara Kanjeng Gusti dan abdi dalem. Di dalam
contoh-contoh itu orang yang tergolong rendah status kepang-
katannya memilih untuk menggunakan tingkat tutur yang ben-
tuknya boleh dikatakan sama sekali krama. Jadi, si Bandara
menggunakan bentuk krama terhadap Kanjeng Gusti, dan abdi
dalem menggunakan bentuk yang serupa untuk ditujukan ke-
pada Kanjeng Gusti.
Mungkin hal ini merupakan perkembangan sekarang. Arti-
nya, dalam pemakaiannya sekarang hal itu lah yang dianggap
benar. Dalam wawancara antara anggota tim dengan para pung-
gawa kraton yang mengatakan bahwa hal seperti yang tertera
itulah yang betul. Kalau demikian halnya, jelas bahasa Bagongan
sekarang ini telah mempunyai aturan yang sedikit menyimpang
dari pranatan yang ada.

4.3.2 Kesalahan Ragam


Ragam dalam pembahasan ini ialah varian tutur yang per-
bedaannya satu sama lain ditentukan oleh situasi bicara yang
ada (Soepomo, 1983). Dalam hal ini paling tidak kita bedakan
adanya ragam tutur informal, ragam tutur formal, dan ragam
tutur sastra. Ragam tutur informal dipakai apabila suasana bicara
termasuk bernada santai, tidak resmi. Ragam tutur formal dipa-
kai apabila suasana bicara bernada resmi atau kedinasan. Ragam
sastra dipakai pada waktu suasana bicara bernada indah, seng-
sem atau menawan hati.
Ragam tutur informal ditandai oleh beberapa ciri kebahasa-
an, antara lain adanya penanggalan-penanggalan, pemakaian
partikel kalimat penginformal, alih kode, adanya kata seru, peng-
gunaan dari unsur-unsur dialek non-standar, gatra tambahan
atau gatra tag, dsb. Ragam formal ditandai oleh adanya ke-

74
Bahasa Bagongan

lengkapan bentuk, keruntutan susunan, tidak ada alih kode atau


pengulangan yang tak perlu, dan adanya ketepatan pemilihan
kata, idiom dan unsur bahasa lainnya. Ragam sastra menyerupai
ragam formal ditambah adanya pemakaian unsur arkais, perha-
tian khusus kepada irama dan unsur suprasegmental lainnya,
dan “gaya bahasa”, seperti adanya metafora yang berlebihan,
simile, dan sebangsanya.
Ragam bahasa Bagongan seperti dilukiskan di bagian terda-
hulu ialah ragam bahasa baku, ragam tutur standar. Jadi hal ini
berarti bahwa di dalam bahasa Bagongan tidak dibenarkan ada-
nya ciri-ciri penginformasian seperti tersebut di atas. Akan tetapi
dalam prakteknya, di sana-sini kita dapati juga gejala-gejala
penginformalan itu.
Di dalam contoh berikut tersajilah percakapan antara abdi
dalem berpangkat lurah (lurah I dan lurah II), dan antara abdi
dalem berpangkat bekel, lurah, dan gebayan. Di dalam dua con-
toh ini terdapat contoh ragam yang kadang-kadang terasa tidak
terlalu formal. Pembicaraan kadang-kadang mengalir ke arah
suasana percakapan yang agak informal, karena di dalam kalimat-
kalimatnya terdapat beberapa ciri ragam informal seperti adanya
penanggalan-penanggalan, alih kode, penggunaan interjeksi dan
penggunaan apa yang disebut gatra supplementer (Gloria
Poedjosoedarmo, 1976).
Contoh berikut ialah rekaman percakapan yang terjadi di
keraton Yogyakarta pada bulan November 1984, seperti dicon-
tohkan pada Bab II. Karena menariknya bentuk ini maka di sini
kami cantumkan lagi, agar pembahasan menjadi jelas.
Lurah I : Pakenira sowan, ca
Kamu menghadap teman
‘Kamu menghadap, Saudara’
Lurah II : Enggéh
Ya
‘Ya’

75
Bahasa Bagongan

Lurah I : Pakenira puniku sowan napi caos


Kamu itu menghadap atau memberi
‘Kamu itu akan menghadap atau bertugas jaga’
Lurah II : Enggéh manira badhé sowan
Ya saya akan menghadap
‘Ya saya akan menghadap’
Lurah I : Lo rumiyin pakenira puniku rak caos ta?
Lho dahulu kamu itu member kan
‘Lho dahulu kamu berjugas jaga biasa kan?’
Lurah II : Enggéh leres, nanging sampun wenten tigang wulan
Ya benar tapi sudah ada 3 bulan
Puniki, manira dikersakeké mbantu wénten
Ini saya diminta membantu ada
Tepas K.H.P. – Krida Mardawa
Tepas K.H.P. – Krida Mardawa (Kaudana Hageng
Punakawan)
‘Ya benar, tapi sudah ada 3 bulan ini, saya diminta
membantu di Tepas K.H.P. – Krida Mardawa’.
Lurah I : O, ngaten ta, menawi makaten lajeng saben dinten?
‘O, begitu, kalau demikian menghadapnya tiap sore
hari.’
Lurah II : Enggéh saben dinten. Wanci jam sangga dumugi jam
setunggal
(Ya, setiap hari, dari pukul 09.00 sampai pukul 13.00)
Lurah II : Lajeng diparingi kewajiban napi garapané
Selanjutnya diberi pekerjaan apa pekerjaannya
‘Lalu diberi kewajiban apa’
Lurah II : Enggéh keparengipun pangageng manira dikersakaké
nyepeng bagéan personalia kaliyan bagéan humas
Ya kehendak pembesar saya diminta memegang bagian
personalia dan bagian humas
‘Kehendak pembesar akan diminta memegang bagian
personalia dan bagian humas’

76
Bahasa Bagongan

Lurah I : “Wah kagolong radi pokok-pokok puniku”


Wah tergolong agak pokok itu
‘Wah tergolong agak pokok itu’
Lurah II : Enggéh
Ya
‘Ya’
Lurah I : Lajeng kalebet mindhak énthéng napi awrat enggéh
Lalu termasuk bertambah ringan apa berat
‘Lalu termasuk bertambah ringan atau berat ya?’
Lurah II : Enggéh kagolong radi mindhak awrat samudayanipun
enggéh puniku ngengingi bab wekdal, kaliyan ubarampé
ingkang kanggé majeng”
Ya termasuk agak bertambah berat segalanya ya itu
mengingat bab waktu dengan perlengkapan yang maju
‘Ya tergolong agak berat mengingat bak waktunya dan
segala perlengkapannya’
Lurah I : “Menawi mekaten lajeng sampun mboya sowan caos
pakenira”
Kalau demikian lalu sudah tidak menghadap lapor
kamu
‘Kalau begitu lalu sudah tidak menghadap untuk
bertugas jaga lagi’
Lurah II : “Enggéh, mboya”
Ya tidak
‘Ya, tidak’
Lurah I : “O, enggéh-enggéh leres, enggéh mugi-mugi saged
dilimpahi kanthi énthéng lan seneng
O ya ya benar ya mudah-mudahan.
‘Ya, ya, benar. Semoga bisa dijalani dengan senang dan
dirasakan enteng’
Lurah II : Enggéh matur nuwun sanget. Sampung kepareng ki lurah.
Ya, terima kasih sangat sudah permisi ki lurah
‘Ya terima kasih, permisi ki lurah’

77
Bahasa Bagongan

Contoh berikut ialah rekaman percakapan yang lain.


Bekel : “Pakenira punika aneh, ki Lurah. Sampun tiyang alit
Ngayogyakarta boya sami gumuna. Tiyang manira ingkang
sampun dados geminte Batawijah Centrum enggeh tumut
gembira sanget.”
‘Kamu itu aneh, ki Lurah. Sudahlah orang kecil di
Yogyakarta tak usah heran, sebab saya sudah menjadi
Batawijah Centrum juga ikut bergembira sekali’.
Gabayan : “Puniku sampun salerese, kang Bekel. Cobi pakenira
caosaken. Manira rak mentas kecalan pepundhen, mangka
lajeng angsal lelintu, lah rak mesti bingah sanget. Nalika
surud dalem ingkang Sinuhun seda kodur, kados punapi
besaos geogragé tetiyang ing Ngayogya ageng alit. Sapunika
sampun pinaringan panglipur, angsal pepunden enggal, lho
sinten tiyangé mboya mongkok, enggèh mboya kang Bekel”.
‘Hal itu sudah sewajarnya, kang Bekel. Coba anda
rasakan. Saya kan baru saja kehilangan leluhur,
kemudian mendapat gantinya, lah kan senang sekali.
ketika Ingkang Sinuhun wafat, maka orang-orang di
Yogyakarta kacau. Sekarang telah mendapat pengganti
yang baru sehingga tidak kacau lagi. Siapa yang tidak
bangga, kang Bekel’.
Bekel : “Enggeh dhi Gebayan. Raos pakenira pancèn jodho kaliyan
manira. Anamung menawi manira, ingkang manira mantepi
sanget. Puniku namung saebab.”
‘Ya, dik Bayan. Kamu itu memang cocok dengan aku.
Bagi saya itu hal yang saya pentingkan’.
Lurah : “Bab tetingalan kaliyan bab kendhuren, rak enggeh ta?”
‘Hal pertemuan dan kendhuren, iya kan.’
Bekel : “Hiyah mbok sampun ngaten, ki Lurah. Prekawis seneng-
seneng puniku, manira anggep nomor kalih.
‘Ah jangan begitu ki Lurah. Masalah senang-senang itu
saya anggap nomor dua,
Ingkang manira mantepi puniku, dene ingkang sami

78
Bahasa Bagongan

yang saya cocoki itu mengapa yang sama


Ngrenggani praja kejawen puniku terus menerus modheren.
Menghias kerajaan Jawa itu terus menerus modern.
Enggèh penggalih dalem, enggèh jembaring pangawikan
dalem.
Ya hati beliau ya luasnya kepandaian beliau
Mekaten puniku, saking panginten manira, mesti ageng
sanget.
Demikian itu dari perkiraan saya, tentu besar sekali
dayané dhateng kawontenané praja dalah tiyang-tiyang alit.
wibawanya keadaan kerajaan dan orang-orang kecil.
‘Ah jangan begitu ki lurah. Perkara bersenang-senang
itu saya anggap nomor dua, yang kepentingan orang-
orang yang menempati tanah Jawa it uterus menerus
modern, itulah pendapatku. Perkiraan saya tentu besar
kekuatan orang-orang kecil itu.’
Gebayan : “Saya sagedhagan puniki kang Bekel. Ngarsa dalem sapuniki
Apalagi waktu ini kang Bekel. Sri Paduka ini
dhasare sampun mencit sanget pasinaon dalem, sebab cara
dasarnya memang sudah memuncak sekali pelajaran
beliau sebab cara
tiyange alit ngaten: sampun angsal dhidhikan pamulangan
orangnya kecil begitu: sudah mendapat pendidikan
sekolah
luhur, dados wawasan dalam temtu wiyar sanget. Mangka
sampun
tinggi, jadi wawasan beliau pasti lebar sekali padahal
sudah
priksa Eropa ingkang modhern, dados mboya ketang sakedhik,
tahu Eropa yang modern, jadi tidak terbilang sedikit
pangawikan dalem wau mesti wenten ingkang kaeberaken
nyaekaken
kemampuan beliau jadi tentu ada yang direntangkan
untuk memperbaiki

79
Bahasa Bagongan

panggesanganing tiyang alit.


kehidupan orang kecil.
Kejawi punika, manira sitingarah pun mesthekaké, yén
kawontaning praja
Kecuali itu saya tentu berani memastikan kalau keadaan
kerajaan
sarta tetiyang alit ing Ngayogya mesthi bade mindhak saé
serta orang-orang kecil di Yogya tentu akan tambah baik.
‘Sudah ada dorongan kang Bekel. Ngarsa dalem se-
karang sudah luas pengetahuannya, orang kecil meng-
anggap dia sudah berpendidikan tinggi, jadi wawasan
beliau pasti sangat luas. Dan lagi sudah mengenal Ero-
pa yang sangat modern, jadi walau sedikit, kepandaian
beliau tadi tentu ada yang disebarkan untuk memper-
baiki kehidupan rakyat kecil. Kecuali itu, saya berani
memastikan bahwa keadaan kerajaan serta rakyat kecil
di Yogya pasti akan tambah baik’

Dalam percakapan pertama antara abdi dalem lurah, terda-


pat penanggalan suku kata sebagai berikut.
data dari kata b. Indonesia
ca kanca teman, saudara
napi punapi apa, atau
ngaten makaten begitu

Di samping itu, di dalam percakapan itu juga digunakan


interjeksi sebagai berikut: lho, o,wah. Selanjutnya, di dalam perca-
kapan itu juga dipakai partikel penginformal seperti rak, ‘kan’,
ta ‘bukan’, enggeh ‘ya’.
Akhirnya, di dalam percakapan itu juga dipakai kata-kata
yang rasanya berasal dari Bahasa Indonesia, dan menyebabkan
percakapan itu terasa kurang formal. Contohnya ialah: mbantu
‘membantu’, personalia, dan humas.

80
Bahasa Bagongan

Di dalam percakapan berikutnya terdapatlah penanggalan


sukukata sebagai berikut:
data dari kata b. Indonesia
ngaten mekaten begitu

Di dalam percakapan itu juga terdapat penanggalan kata


dari frasa sampun malih ‘apa lagi’ menjadi hanya sampun saja. Di
samping itu, terpakai juga istilah sapaan seperti ki Lurah, kang
Bekel, dhi Gebayan. Juga terdapat kata interjeksi seperti lha, lho,
hiyah ‘ah’, kata-kata yang bukan dari leksikon bahasa Jawa stan-
dar pun dipakai untuk memberi nuansa lucu, misalnya geminte
Batawiyah Centrum. Terus menerus modheren, dhidhikan.
Akhirnya, di dalam percakapan itu juga terdapat partikel
penginformal seperti rak ‘kan’, ta ‘bukan’, mbok ‘bagaimana kalau’.
Di dalam kedua percakapan itu juga banyak dijumpai apa
yang oleh Gloria Poedjasoedarmo dinamakan gatra suplementer
yang dalam hal ini dapat juga dijadikan salah satu ciri pengin-
formal kalimat. Sebagai contoh, istilah sebutan yang terletak di
akhir kalimat semuanya ialah gatra tambahan. Di samping itu
pertanyaan yang menggantung di belakang seperti enggeh mboya
‘ya tidak ’, rak enggeh ta?, ‘kan begitu bukan?’ sebetulnya juga
berbentuk gatra tambahan. Gatra tambahan yang berbentuk
subjek kalimat ialah misalnya:
Lajeng diparing kewajiban napi garapane?
(Lalu diberi kewajiban apa pekerjaannya?)
Enggeh kagolong radi awrat samudyanipun.
(Ya tergolong agak berat kesemuanya)
Menawi mekaten lajeng sampun mboya sowan pakenira?
(Kalau begitu lalu sudah tidak menghadap kau?)
.... sapuniki dhasare sampun mencit sanget pasinaon dalem.
(.... sekarang dasarnya sudah memuncak sekali pelajaran beliau)
dll.

81
Bahasa Bagongan

Ada juga pola kalimat bahasa Indonesia yang digunakan di


dalam percakapan itu dan oleh karenanya juga menambah rasa
informalnya si kalimat.
.... dene ingkang sami ngrenggani praja kejawen puniku terus menerus
moderen, inggih pengalih dalem, inggih jembaring pangawikan
dalem.
(.... adapun yang sama mengemban praja kejawaan itu terus
menerus modern, ya hati beliau, ya ilmu beliau).

Demikianlah contoh-contoh hal yang menjadikan ragam ba-


hasa Bagongan itu terasa agak informal. Pemakaian unsur leksi-
kon dan sintaktik bahasa Indonesia, pemakaian gatra suplemen-
ter, klausa tag, partikel penginformal, penyebutan istilah sapaan,
penanggalan suku kata, pemakaian interjeksi, kesemuanya itu
telah ikut menjadikan kalimat-kalimat bahasa Bagongan tersebut
di atas menurun kadar keresmiannya. Dan ini seharusnya tidak
terjadi.

4.3.3 Kesalahan Pemilihan Kata


Di samping kesalahan yang berakibat merubah suasana per-
cakapan atau tingkat rasa santun dan hormat kepada orang yang
diajak bicara, ada kesalahan yang sifatnya kecil saja, yaitu kesa-
lahan pemakaian kata. Seperti kita ketahui dari Bab II, Bahasa
Bagongan mempergunakan kata-kata khusus yang jumlahnya
tidak banyak. Dari jumlah kata khusus yang hanya sedikit itu
pun orang masih juga keliru memakainya secara cepat.
Di dalam data yang ada yang seringkali dikatakan secara
bukan leksikon bahasa Bagongan ialah:
punapi ‘apa’ yang sering dikatakan punapa
puniki ‘ini’ yang sering dikatakan menika
puniku ‘itu’yang sering dikatakan menika
seyos ‘lain’ yang sering dikatakan sanes
tedha ‘suruh’ yang sering dikatakan suwun atau dhawuh

82
Bahasa Bagongan

Kesalahan semacam itu tentu saja mudah dimengerti, karena


kata-kata khusus yang terpakai di dalam leksikon bahasa Ba-
gongan memang kata-kata yang termasuk berfrekuensi sangat
tinggi. Kata–kata itu seringkali muncul di dalam pemakaian ba-
nyak kalimat.

4.4 Penyebab Kesalahan


Dalam penelitian kesalahan yang dibuat oleh anak SD di
Daerah Istimewa Yogyakarta dalam mempelajari bahasa Indo-
nesia, Soepomo dkk. mengatakan bahwa paling tidak ada tujuh
macam penyebab kesalahan. Ketujuh penyebab kesalahan itu
ialah sebagai berikut.
1. Adanya kurang pengertian si anak terhadap pengertian apa
yang harus dikatakan.
2. Adanya interferensi dari bahasa ibu.
3. Adanya analogi dari apa yang telah dipelajari, tetapi analogi
itu ternyata keliru.
4. Adanya gejala hiperkorek.
5. Adanya kenyataan bahwa kemampuan otak anak memang
belum berkembang secara cukup.
6. Adanya sikap sembrono yang sedang merundung diri si anak.
7. Campuran dari sebab-sebab di atas.

Dalam hal usaha menyajikan bentuk bahasa Bagongan secara


betul, para abdi dalem itu sering membuat kesalahan karena:
1. Sikap lengah, santai atau sembrono.
2. Karena keterampilan pemakian yang masih perlu ditingkat-
kan.
3. Karena rasa hormat kepada orang yang diajak berbicara yang
mendalam.

4.4.1 Kesalahan Karena Sikap Sembrono


Di dalam pergaulan hidup, terutama di dalam komunikasi
antara teman sejawat yang telah lama menjalin rasa persaudaraan

83
Bahasa Bagongan

atau persahabatan, maka seringkali suasana pergaulan yang san-


tai pun mewarnainya. Suasana yang agak santai demikian ter-
nyata juga seringkali terjadi dalam pergaulan beberapa orang
abdi dalem. Di dalam komunikasi sehari-hari, walau mereka itu
sedang berada di dalam kompleks tugas keraton pun, kalimat-
kalimat yang bernada jenaka seing terlontarkan. Di dalam ke-
adaan yang demikian inilah antara lain, maka tingkat keformalan
kode tutur lalu mengendor. Sebagai akibatnya, maka ragam tutur
yang terlontar pun lalu menjadi bersifat kurang formal juga. Di
dalam contoh percakapan antara beberapa orang abdi dalem
yang ragamnya terasa menurun dari ragam formal agak informal
di atas merupakan contoh dari keadaan yang demikian itu.

4.4.2 Keterampilan yang Kurang Sempurna


Kepandaian berbahasa Bagongan memang merupakan pen-
capaian. Maka dari itu buat kebanyakan orang bahasa Bagongan
ini lalu sering dianggap sebagai pertanda keberadaan seseorang
di dalam status sosial yang tinggi.
Keterampilan berbahasa Bagongan ini tentu saja menuntut
adanya latihan yang rutin. Kalau latihan itu tidak dijalankan
dengan baik, kesalahan-kesalahan tentu saja akan dilakukan oleh
para pembicaranya. Kesalahan seperti dalam hal pemilihan kata
merupakan contoh yang jelas dari kurangnya latihan atau ku-
rangya kecermatan pemakaian. Padahal, sebetulnya hal-hal yang
terlibat di dalam bahasa Bagongan ini secara linguistik sedikit
saja. Akan tetapi, apabila latihan itu kurang banyak dikerjakan
dan apabila pemakaiannya kurang cermat, kesalahan akan
timbul.
Latihan yang kurang menyebabkan apa yang sudah dibiasa-
kan oleh pembicara senantiasa timbul kembali di dalam perca-
kapan. Jadi, dengan kata lain kesalahan ini sebetulnya menyeru-
pai kesalahan yang sifatnya interferensi. Berbeda dengan inter-
ferensi yang biasa dimengerti oleh orang ialah bahwa dalam
hal bahasa Bagongan ini yang mengganggu bukanlah kebiasaan

84
Bahasa Bagongan

di dalam bahasa ibu dan yang diganggu ialah kepandaian di


dalam bahasa asing, melainkan gangguan dari bahasa yang bukan
Bagongan ke bahasa Bagongan.

4.4.3 Karena Rasa Hormat yang Mendalam


Bahasa Bagongan memang mempunyai banyak ciri yang me-
nyerupai undha usuk dan ragam tutur yang bermacam-macam.
Di satu pihak bahasa Bagongan sangat mirip dengan ragam tutur
bahasa formal. Adanya akhiran –e, -ake, dan awalan di-, bahasa
Bagongan lalu sering terasa seperti ragam bahasa informal. Dalam
hal ini, bahasa Bagongan terasa seperti tutur madya. Demikianlah,
kesalahan ke jurusan ragam yang informal itu pun sering dibuat
orang. Dalam lukisan di atas, para abdi dalem pada waktu ber-
cakap-cakap beberapa kali menjadi agak kurang informal.
Akan tetapi sebaliknya, sekarang ini ada pengertian apabila
seseorang abdi dalem berbicara terhadap Kanjeng Gusti atau
seseorang Bendara Pangeran, seharusnyalah mereka itu meng-
gunakan undha-usuk yang termasuk krama betul. Artinya, akhiran
dan awalan yang khusus dipakai untuk bahasa Bagongan (di-, -
e, dan -ake) lalu tidak boleh dipakai. Dengan demikian, rasa hor-
mat itu lalu dinyatakan dengan secara penuh. Hal ini sangat
mudah dijalankan oleh para abdi dalem itu karena memang di
dalam kehidupan sehari-hari terhadap orang yang berstatus so-
sial sangat tinggi, seperti Kanjeng Gusti dan Bandara Pangeran
itu sudah sewajarnyalah mereka menunjukkan rasa hormatnya
yang mendalam. Terhadap mereka itu, sebetulnya pemakaian
bahasa Bagongan bahkan terasa amat sulit karena bahasa Ba-
gongan sebenarnya agak terasa madya.
Demikianlah, terhadap bangsawan yang sangat tinggi ini
para abdi dalem juga lalu menggunakan tingkat undha-usuk yang
sangat hormat. Sekarang hal ini bahkan sudah diterima. Apakah
dari dulu memang begitu keadaannya? Menurut peraturan yang
berlaku walau terhadap orang yang tinggi status sosialnya pun
seharusnya bahasa Bagongan yang dipakai. Di dalam pranatan

85
Bahasa Bagongan

disebutkan bahwa terhadap para punggawa yang mana pun seha-


rusnya diterapkan bahasa Bagongan. Rasa sama-sama ditekan-
kan. Akan tetapi, rasa hormat yang mendalam inilah barangkali
bahasa Bagongan yang berbau madya itu lalu tidak begitu sesuai
untuk diterapkan kepada orang yang sangat dihormati itu.
Demikianlah gambaran tentang sebab musabab timbulnya
kesalahan pemakaian. Yang penting dicatat di sini ialah kenyata-
an bahwa kesalahan itu timbul bukan karena para punggawa
itu menganggap bahwa bahasa Bagongan ini ialah hal yang re-
meh saja. Para punggawa pada umumnya akan merasa senang
dan bangga apabila mereka mahir menggunakan bahasa Ba-
gongan itu dengan lancar dan tanpa kesalahan. Bahasa Bagongan
buat mereka masih merupakan hal yang bernilai tinggi. Akan
tetapi, karena pemakaiannya yang semakin jarang, kemahiran-
nya pun semakin tidak terurus dengan baik. Kecuali itu, kesa-
lahan penggunaan tingkat tutur yang berbeda, yang bahkan me-
naik karena kesalahan itu berupa pemakaian tingkat krama yang
sangat halus, pada dasarnya ialah karena si pemakai merasa harus
menyatakan diri dalam suasana hormat yang mendalam. Jadi,
bukan karena kejengkelan terhadap bahasa Bagongan itu sendiri.
Kesalahan penurunan ragam dari ragam yang seharusnya formal
ke yang kurang formal disebabkan oleh suasana akrab yang tim-
bul pada waktu percakapan terjadi, dan bukan perasaan negatif
kepada bahasa Bagongan itu sendiri. Jadi, kesalahan tingkat tutur
dan ragam ini sebetulnya semacam kesalahan yang disebabkan
oleh keterbiasaan yang telah mendarah daging pada suasana
tutur yang tertentu.
Terhadap kesalahan leksikon, pada umumnya para abdi da-
lem merasa malu. Artinya, merasa bahwa seharusnya mereka
tidak berbuat begitu. Mereka merasa bahwa mereka harus me-
ngoreksi diri. Kesalahan dalam pemakaian leksikon ini seolah
seperti kesalahan seorang pelajar yang sedang mempelajari se-
suatu bahasa.

86
Bahasa Bagongan

BAB V
PERKEMBANGAN BAHASA BAGONGAN

Di dalam bab ini akan dibahas proses perkembangan bahasa


Bagongan sedapat mungkin. Dikatakan di sini sedapat mungkin
karena proses perkembangan ini kebanyakan hanyalah meru-
pakan hipotesis atau pendapat belaka. Pembuktian kebenarannya
sulit dilakukan. Berikut ini akan disajikan hal-hal yang didapat
oleh anggota tim dari data tertulis, dan kemudian akan disajikan
pemikiran yang dikembangkan berdasarkan data tersebut.

5.1 Petunjuk dari Dokumen Tertulis


Kecuali surat seperti Pranata Sowan/Marak lan Basa Bagongan
(terlampir), hal-hal yang dapat diambil dari data tertulis tentang
sejarah perkembangan bahasa Bagongan ini sungguh sangat sedi-
kit. Barangkali, para anggota tim belum beruntung menemukan
kitab yang memuat hal-hal yang dapat dipakai untuk melacak
perkembangan bahasa Bagongan ini. Dari kitab bertuliskan ak-
sara Jawa tulisan tangan, seperti Raja Kapakapa, Arjunawiwaha,
Babad Kartasura, didapat petunjuk bahwa sebagian besar kata-
kata yang dipakai di dalam bahasa Bagongan itu memang ada
di situ. Kebanyakan kata-kata itu memang tergolong pada go-
longannya kata Kawi. Oleh karena itu seringkali terdapat dalam
kitab-kitab babad atau serat yang menurut ukuran sekarang telah
tergolong lama. Kata-kata seperti mboya, wenten, punapi, puniku,
dan sebagainya itu memang terdapat di dalam kitab lama seperti

87
Bahasa Bagongan

Arjunawiwaha, babad Kartasura, dan sebangsanya. Karena tergolong


arkais, itulah maka kata-kata itu memacarkan nuansa indah.
Akan tetapi, selain menemukan pemakaian kata-kata seperti
yang terdapat di dalam kosa kata khusus Bagongan atau bahasa
Kedaton ini sejauh ini kami belum berhasil menemukan keterang-
an yang jelas tentang kapan bahasa Bagongan itu mulai dipakai,
bagaimana bentuknya yang semula, apa yang telah terjadi di
dalam perjalanan sejarahnya, dan sebangsanya.
Keterangan yang jelas hanyalah kami peroleh dari surat pra-
natan terlampir. Dari mana surat itu dikutip atau diperoleh? Ba-
rangkali salah satu sumber di Kedaton dapat menjawabnya
kemudian.

5.2 Dari Mana Asal Nama Bahasa Bagongan


Istilah bahasa Bagongan kiranya menarik perhatian. Me-
ngapa justru istilah Bagongan yang dipakai? Di Kraton Surakarta
istilah bahasa Kedaton-lah yang dipakai. Istilah ini kiranya tidak
menimbulkan pertanyaan karena bahasa yang khusus itu me-
mang dipakai di kalangan istana oleh para punggawa Kedaton.
Akan tetapi, istilah yang dipakai di Yogyakarta terasa agak aneh.
Mengapa justru bahasa Bagongan.
Untuk istilah ini ada beberapa pendapat yang dapat dicatat
oleh anggota tim. Masing-masing ada yang dapat dikatakan ma-
suk akal, Akan tetapi, sukarlah kiranya kali ini diambil kesim-
pulan tentang penjelasan yang betul.
Ada beberapa abdi dalem dan juga ahli bahasa Jawa yang
mengatakan bahwa istilah “Bagongan” ini datang dari kenyataan
bahwa bahasa itu dipakai oleh para punakawan keraton pada
waktu mereka saling bercakap satu sama lain. Oleh karena abdi
dalem kurang lebih dapat dipersamakan kedudukannya sebagai
punakawan, bahasa yang mereka pakai pun lalu diberi nama
bahasa Bagongan. Di dalam dunia pewayangan diketahui bahwa
Bagong ialah punakawan keluarga Pandawa. Pendapat itu ada
betulnya, karena memang betul bahwa bahasa Bagongan itu di-

88
Bahasa Bagongan

pakai oleh orang-orang yang berstatus punakawan raja. Namun,


kelemahannya ialah mengapa justru istilah Bagong yang dipakai,
dan bukannya nama punakawan yang lain seperti Semar, Ga-
reng, dan Petruk? Mengapa bukan bahasa Semaran atau Ga-
rengan atau Petrukan. Mengapa justru Bagongan? Tentang per-
tanyaan ini ada sementara abdi dalem yang beranggapan bahwa
punakawan Bagong itulah yang rasa demokrasinya paling tebal
di antara keempat punakawan Pandawa itu.
Para abdi dalem lain yang sempat ditemui oleh anggota tim
mengingatkan bahwa tokoh punakawan Bagong sebetulnya me-
mang hanya ada di Yogyakarta. Artinya, di daerah kerajaan
Surakarta tokoh Bagong itu memang tidak ada. Di Surakarta,
punakawan Pandawa itu berjumlah tiga orang saja, yaitu Semar,
Gareng, Petruk. Bagong itu ciptaan Yogyakarta, seperti tokoh
wayang Wisanggeni dan Antasena. Ketiga tokoh wayang ini
sebetulnya ada kemiripan watak satu sama lain. Mereka itu me-
rupakan tokoh-tokoh yang baik, berbudi luhur, penuh dengan
goodwill (kemauan baik), hanya saja baik Wisanggeni, Antasena,
maupun Bagong agak kurang dapat memenuhi tuntunan aturan
etiket atau aturan unggah-ungguh yang ada. Mereka itu tidak
dapat berbahasa krama (halus dan hormat) sama sekali (yaitu
pada Wisanggeni dan Antasena) atau bahasa halusnya kurang
sempurna (Bagong). Menurut kata banyak orang tokoh-tokoh
semacam ini, yang baik budi, tetapi agak kurang halus unggah-
ungguh-nya, banyak mencerminkan watak orang Yogyakarta.
Bersamaan dengan ini, beberapa ahli ada yang berpendapat bah-
wa diberi nama Bagongan karena bahasa itu berbentuk setengah
madya. Jadi, kurang halus, tetapi dipakai oleh orang-orang yang
taat pada raja, setia, dan penuh dengan kemauan baik. Pemakai
bahasa Bagongan ini juga merupakan tokoh-tokoh yang tangguh
seperti Bagong, Antasena, dan Wisanggeni. Ketiganya selalu
sanggup menunaikan tugas kewajiban dengan baik.
Mana dari dua pendapat di atas yang benar-benar meng-
gambarkan asal-usul pemberian ini, sangat sukar untuk dipasti-
kan. Mungkin juga ada keterangan yang lain.
89
Bahasa Bagongan

5.3 Bahasa Bagongan Yogyakarta vs Bahasa Kedaton Surakarta


Seperti disebutkan di depan apa yang disebut Yogyakarta
sebagai bahasa Bagongan, di Surakarta disebut bahasa Kedaton.
Bentuk dari keduanya agak berbeda. Akan pemakaiaannya boleh
dikatakan sama. Register bahasa itu ada untuk dipakai oleh para
punggawa istana, terutama pada waktu mereka bertugas di ista-
na dan pada waktu Sri Sultan atau Sri Sunan ada di istana. Akan
tetapi, bentuknya berbeda sedikit. Bahasa Bagongan yang di-
pakai di Yogyakarta lebih sederhana daripada yang dipakai di
Surakarta. Bahasa Bagongan di Yogyakarta hanya melibatkan
sebelas kata yang termasuk khusus kata bahasa Bagongan, di
Surakarta dipakailah 40 buah kata khusus. Di Yogyakarta kata-
kata khusus itu hanya meliputi kata–kata:
(h) enggeh
mboya
manira
pakenira
punapi
puniki
puniku
wenten
nedha
besaos
seyos
Di Surakarta dipakai kata-kata seperti di atas ditambah dengan
kata-kata berikut.
ampun
ndhehegi
curiga
kadi pundi
sumitra
sardula
lebak
mara

90
Bahasa Bagongan

para
pojar
robaya
seta
tabeh
tembung
jengandika
panten
darbe
eco
estu
kagungan dalem
kapatedhan
kuda
meksih
mekoten
olih
sikon
tambang
wanita
wikana

Apa artinya perbedaan ini? Adakah ini berarti bahwa bahasa


Kedaton yang terpakai di Surakarta lebih berkembang dari ba-
hasa Bagongan yang terpakai di Yogyakarta? Atau kah bahasa
Bagongan yang ada di Yogyakarta sudah mengalami penciutan
dari apa yang mulanya memiliki kosakata khusus yang berjumlah
banyak?
Pertama-tama yang perlu dicatat ialah bahwa semua kata-
kata khusus yang terpakai di Yogyakarta terdapat di dalam kosa
kata khusus bahasa Kedaton yang terpakai di Surakarta. Jadi,
sebetulnya agak mudah bagi kita untuk mengatakan bahwa ba-
hasa Bagongan di Yogyakarta merupakan penciutan dari bahasa
Kedaton di Surakarta, atau bahwa bahasa Kedaton di Surakarta

91
Bahasa Bagongan

merupakan perkembangan bahasa Kedaton yang tadinya


dipakai di keraton sebelum Keraton Mataram pecah menjadi
dua. Dalam hal ini kita beranggapan bahwa tadinya sebelum
Keraton Mataram pecah menjadi dua, menjadi Kraton Surakarta
dan Yogyakarta, telah dipakai bahasa khusus istana itu. Kiranya
anggapan semacam ini memang masuk akal, apalagi jika kita
percaya bahwa bahasa Kedaton (Bagongan) ini merupakan salah
satu kelengkapan kebesaran kraton seperti halnya simbol
kebesaran seperti tombak tertentu, keris tertentu, singgasana,
benda upacara keemasan, dan lambang kebesaran istana lainnya.
Kiranya kita dapat dengan pasti menduga bahwa apa pun yang
sekarang ini dimiliki bersama dan dijaga secara khitmat baik
oleh Kraton Surakarta maupun oleh Kraton Yogyakarta sebetul-
nya telah ada pada Kraton Mataram sebelum Kraton Mataram
itu pecah menjadi dua. Masing-masing kraton itu ingin meles-
tarikan tradisi Kraton Mataram, dan terlebih lagi masing-masing
kraton itu ingin memiliki kebesaran seperti yang dimiliki oleh
Kraton Mataram sebelum masa perpecahan.
Kalau dugaan ini benar, kita dapat dengan nyaman ber-
pendapat bahwa memang bahasa Kedaton atau bahasa Bagongan
itu telah ada pada jaman kerajaan Mataram. Bahasa Bagongan
atau Bahasa Kedaton itu juga merupakan lambang kebesaran
kraton pada jaman Mataram.
Namun, bentuk bahasa bahasa Kedaton atau bahasa Ba-
gongan di zaman Mataram pra-perpecahan dapat dipastikan
berbeda dengan bentuk bahasa Kedaton yang ada di Surakarta.
Mungkin sekali, bentuk bahasa Kedaton zaman Keraton Mata-
ram pra-perpecahan ini bahkan juga berbeda dengan bentuk ba-
hasa Bagongan yang ada di Yogyakarta. Perubahan bentuk ini
kiranya bukan merupakan hal yang luar biasa. Perubahan bentuk
ini termasuk hal yang lumrah, mengingat bahwa pada galibnya
keadaan kebahasaan itu memang berubah-ubah sepanjang seja-
rah hidupnya. Perubahan itu mungkin berjalan lambat, tetapi
mungkin saja juga berjalan cepat. Perubahan itu mungkin menim-

92
Bahasa Bagongan

pa pada segi tata-ucap, tata bentuk kata, pada tata kalimat, dan
barangkali juga pada bentuk varian undha-usuknya. Perubahan
yang biasanya terjadi dengan cepat ialah pada segi kosa katanya
(Hall, 1964).
Sesuai dengan hal itu, dalam tempo yang tidak terlalu lama
bentuk kosa kata khusus yang terpakai di Keraton Surakarta
lalu sangat berbeda dengan bentuk kosa kata khusus yang ter-
pakai di Keraton Yogyakarta. Dalam tempo kurang lebih dua
abad ada 29 (dua puluh sembilan) buah kata yang menjadikan
bentuk bahasa Kedaton di Surakarta berbeda dengan bentuk
bahasa Bagongan di Yogyakarta.
Sekarang persoalannya apakah jumlah perbedaan 29 buah
kata ini disebabkan oleh adanya perkembangan atau oleh adanya
penciutan pemakaian. Dengan kata lain, apakah hal ini berarti
bahwa selama di abad itu (dari zaman Perjanjian Gianti yang
menandai pecahnya kerajaan Surakarta dengan kerajaan Yogya-
karta) bahasa Kedaton di Surakarta telah menambahkan kedua-
puluh sembilan buah kata itu ke dalam kosa kata bahasa Ba-
gongan, atau kah keduapuluh sembilan buah kata itu telah meng-
hilang dari pemakaian selama Keraton Yogyakarta berdiri.
Penghilangan hal yang dianggap keramat kiranya kurang
masuk akal. Ada orang mengatakan bahwa kalau ada benda
keramat yang menghilang dari kraton, maka orang pun akan
bersusah payah mencoba menggantinya dengan duplikat yang
amat menyerupai benda keramat itu, sehingga orang lama kela-
maan juga lalu menganggap benda pengganti itu sekeramat se-
perti yang telah hilang. Ada orang mengatakan bahwa sekarang
ini baik di Kraton Yogyakarta maupun di Kraton Surakarta ter-
dapat tombak yang masing-masing mempunyai nama yang
sama, yaitu nama Kyai Plered, yang oleh masing-masing kraton
dijadikan salah satu pusaka pujaan. Menurut ceriteranya, Kyai
Plered itu asalnya memang hanya satu saja jumlahnya. Namun
apabila hal ini benar, yaitu bahwa baik di Yogyakarta maupun
di Surakarta ada tombak yang masing-masing bernama Tombak

93
Bahasa Bagongan

Kyai Plered, maka ide bahwa apabila ada benda atau lambang
pusaka yang hilang hal itu akan diusahakan ketemunya atau
penggantinya dengan hal yang serupa. Dengan kata lain, hal
yang dianggap pusaka atau keramat akan dijaga keras jangan
sampai menghilang.
Dari pemikiran di atas ini, kiranya perkembanganlah yang
kiranya terjadi, dan bukannya penciutan bentuk. Perkembangan
bentuk kosakata khusus semacam ini kiranya juga telah didalami
oleh kosa-kata khusus krama dan krama inggil. Kata-kata seperti
selangkung ‘dua puluh lima’, wantun ‘berani’, milai ‘mulai’, sanes
‘beda’ sekarang sudah menjadi bentuk krama yang boleh dikata-
kan standar. Padahal beberapa dekade yang lalu bentuk itu pada
umumnya tidak dapat diterima atau bahkan tidak terdengar.
Kosakata khusus yang terpakai di dalam tingkat krama sekarang
ini menjadi lebih banyak dari kosa kata khusus krama yang ter-
pakai di beberapa dekade yang lalu.
Berdasarkan pemikiran seperti di atas ini, kita dapat meng-
ambil perkiraan bahwa kosakata bahasa Kedaton yang terpakai
di Surakarta telah mengalami perkembangan yang cukup pesat,
sedangkan yang terpakai di Keraton Yogyakarta agak mendekati
bentuk kosakata yang terpakai di jaman Keraton Mataram pra
perpecahan.

5.4 Kemungkinan Bentuk Bahasa Kedaton Zaman Mataram


Bahwa kosakata khusus dalam bahasa Kedaton Surakarta
telah mengalami perkembangan. Dapat diperkirakan dari kenya-
taannya bahwa kosakata khusus bahasa Kedaton itu banyak yang
tidak terdapat di dalam kamus Bahasa Kawi, melainkan dari
leksikon bahasa Jawa yang termasuk agak baru. Di bawah ini
kami daftar kata-kata yang tidak terdapat di dalam kamus
Winter Sr. maupun dalam kamusnya Zutmulder, melainkan
hanya terdapat di dalam kamus bahasa Jawa baru seperti ka-
rangan Prawiraatmadja. Kata-kata itu ialah sebagai berikut.

94
Bahasa Bagongan

mboya
manira
pakenira
besaos
sumitra (sudah ada tapi dengan arti lain)
pojar
robaya (sudah ada tapi dengan arti lain)
jengandika
kagengan dalem
mekaten
sikon
wikana

Keempat buah kata pertama di atas (mboya, manira, pakenira,


dan besaos) merupakan kata-kata khusus untuk bahasa Bagongan
Yogyakarta. Sisanya terdapat di dalam kamus Kawa Kuna, ter-
utama karangan Winter Sr. Di dalam kamus Zutmulder ada bebe-
rapa kata lagi yang tidak terdapat, seperti misalnya kata seyos.
Apakah artinya kenyataan ini, dapat dikatakan bahwa seba-
gian darikosa kata khusus bahasa Kedaton ini terdapat dalam
leksikon Jawa Kuna, tetapi sebagian lagi hanya terdapat dalam
leksikon Jawa Baru? Hal ini berarti bahwa kosakata Jawa Baru
ini terang tidak terpakai dalam bentuknya yang lama. Jadi, ko-
sakata khusus yang terpakai di zaman dahulu tentu lebih sedikit
jumlahnya daripada yang terpakai sekarang.
Mungkin saja hal ini lalu berarti bahwa semakin tua zaman-
nya, semakin sedikit pula kata-kata yang dimasukkan dalam
keharusannya kata-kata bahasa Kedaton atau bahasa Bagongan.
Lalu, bagaimanakah kira-kira bentuk kosakata khusus bahasa
Bagongan di zaman Kartasura atau sebelumnya. Kiranya, ko-
sakata khusus yang terpakai di zaman Mataram praperpecahan
keraton paling banyak ialah sama dengan yang ada di dalam
bahasa Bagongan di Yogyakarta. Mungkin sekali bentuknya bah-
kan berkurang dari itu. Kalau kita ingat bahwa kata-kata mboya,

95
Bahasa Bagongan

manira, pakenira, dan besaos tidak terdapat pada kamus Jawa Kuna,
barangkali jumlah kosakata khusus bahasa Kedaton di dalam
zaman keraton Mataram praperpecahan hanya berjumlah tujuh
buah. Jumlah ini didapat dari jumlah yang ada di dalam bahasa
Bagongan keraton Yogyakarta (11) dikurangi empat buah kata
tersebut di atas. Atau kalau diambil kira-kiranya, jumlah kosaka-
ta khusus itu berkisar antara tujuh buah sampai 11 buah.
Berpegangan pada perkiraan ini, maka perkembangan yang
ada pada keraton Yogyakarta barangkali juga hanya pada empat
buah kata seperti tersebut di atas, yaitu kata mboya, manira,
pakenira, dan besaos. Perkembangan dalam keraton Yogyakarta
ini dapat saja berarti penambahan kata baru, tetapi dapat juga
hanya penggantian kata lama dengan kata baru. Kata lama itu
barangkali telah ada pada pemakaian leksikon Jawa Kuna.
Penggantian ini mungkin saja terjadi, mengingat bahwa kata yang
terlibat ialah kata ganti nama pertama dan kedua, yang biasanya
merupakan kata pokok di dalam pembedaan tingkat tutur.
Apabila hal ini diteruskan, kita dapat memperkirakan bahwa
inovasi atau pembaharuan yang ada pada kosakata bahasa Ke-
daton di Surakarta berkisar pada antara 29 kata sampai dengan
33 buah kata. Dua puluh sembilan ialah kosakata semuanya diku-
rangi kosakata yang terpakai pada bahasa Bagongan. Jumlah 33
buah itu terjadi dari adanya penambahan empat buah kata ter-
sebut di atas.
Dengan demikian, bentuk bahasa Kedaton atau bahasa Ba-
gongan di zaman kerajaan Pajang, kerajaan Demak atau kerajaan
Majapahit tentu kurang dari apa yang terdapat di dalam kerajaan
Mataram. Biasanya bentuk yang paling dahulu ada untuk mem-
bedakan ragam atau tingkat tutur yang satu dengan yang lain
ialah kata-kata ganti nama seperti “saya”, “engkau”, “beliau”.
Perkiraan bahwa perkembangan atau inovasi kata-kata yang
ada di Surakarta jauh lebih banyak dari apa yang telah terjadi
di Yogyakarta memang secara sekilas dapat dikatakan aneh. Bu-
kankah keraton Yogyakarta berdirinya justru lebih belakangan

96
Bahasa Bagongan

daripada berdirinya keraton Surakarta? Mengapa justru Yogya-


kartalah yang kurang berkembang dalam hal penciptaan kata-
kata khusus ini?
Perkembangan pesat yang ada di Surakarta memang men-
cerminkan sikap hidup para bangsawan Surakarta dan bangsa-
wan Yogyakarta selama ini. Apabila di Surakarta ada kecende-
rungan untuk bersikap mengikuti perkembangan zaman, di Yog-
yakarta ada kecenderungan untuk sebanyak mungkin memper-
tahankan tradisi. Kecenderungan ini terjadi pada beberapa segi
kehidupan, terutama pada segi kehidupan keistanaan, dan kese-
nian. Sebagai misal, dalam hal penamaan kerajaan di Yogyakarta
ada semangat yang tinggi untuk mempertahankan nama Mata-
ram, sedangkan di Surakarta hasrat semacam itu tidak begitu
terasa tampak. Pemakaian bahasa Bagongan dewasa ini di Yog-
yakarta masih dijalankan dengan cukup baik dalam peristiwa
pasowanan sehari-hari, sedangkan di Surakarta bahasa Kedaton
hanya tinggal dipakai dalam upacara kebesaran tertentu saja.
Dalam hal tata busana pun kecenderungan semacam itu juga
tampak. Dari ikat kepala sampai ke bentuk baju beskap-nya di
Surakarta telah disesuaikan dengan tuntutan kepraktisan dan
ke-”indah”-an kontemporer, sedangkan di Yogyakarta bentuk
ikat kepala dan baju yang mempertahankan bentuk tradisional
(atau paling tidak paling mendekati bentuk tradisional) masih
cukup kelihatan. Pertunjukan wayang orang di Surakarta telah
berkembang menjadi pertunjukan yang bersifat seni hiburan,
dimainkan di atas panggung, sedangkan di Yogyakarta pertun-
jukan wayang orang itu dimaksudkan untuk menunjukkan keme-
gahan kerajaan. Dengan kata lain, di Yogyakarta wayang orang
itu masih berstatus ritual (Sudarsono, 1983). Pagelarannya dise-
lenggarakan di dalam pendapa.
Sikap hidup semacam ini mungkin juga telah mempengaruhi
pendapat rakyat tentang pembuatan jalan raya kota beserta tem-
pat pemandian. Di Yogyakarta jalan raya terpenting yang berna-
ma Malioboro ada aura sakralnya karena menghubungkan kra-

97
Bahasa Bagongan

ton dengan gunung Merapi. Apabila Sri Sultan bertahta di atas


singgasana menghadap ke utara, pandangan mata akan dilon-
tarkan melalui jalan itu, berpedoman kepada Tugu, dan terus
dapat menuju pemandian pun berhubungan dengan terowongan
bawah tanah, yang sementara orang percaya bahwa terowongan
itu dapat menuju ke laut Selatan dimana Kanjeng Ratu Kidul
bersemayam. Di Surakarta, tempat pemandian seperti Bale Kam-
bang dan jalan-jalan raya yang berbentuk megah dan indah itu
tidak mempunyai aura ritual atau sakral semacam itu. Peman-
dian, taman dan jalan raya itu berfungsi sebagai taman, jalan
raya, atau taman seperti konsep yang ada pada zaman modern
sekarang ini.
Karena sikap hidup seperti inilah barangkali inovasi dalam
hal kosakata khusus yang terpakai di dalam bahasa Bagongan
di Yogyakarta lalu tidak terbilang pesat majunya. Dengan kata
lain, bentuk tradisional akan bahasa Kedaton itu lebih kuat di-
pertahankan di Yogyakarta daripada di Surakarta.
Bagaimana dengan tingkat tuturnya? Di Yogyakarta bahasa
Bagongan menyerupai tingkat tutur madya, yaitu bahwa sebagian
dari penandanya yang berwujud imbuhan kata kerja dan kata
benda ada yang berbentuk ngoko. Awalan kata kerja pasif di-,
akhiran kata kerja –ake dan akhiran kata benda –e dipakai. Pa-
dahal dalam tingkat krama awalan dan akhiran itu seharusnya
berbentuk dipun-, -aken, dan –ipun. Karena imbuhan ngoko itulah
tingkat tutur bahasa Bagongan di Yogyakarta lalu berasa ber-
tingkat madya. Namun, di Surakarta bahasa Kedaton bertingkat
tutur krama seratus persen. Semua kata tugas, dan imbuhan yang
dapat berbentuk krama semua harus berbentuk krama. Tidak ada
yang diwujudkan dalam bentuk ngoko. Maka dari itu, kesemua-
nya lalu terasa sama sekali krama.
Lalu bagaimanakah bentuknya sebelum kerajaan percah
menjadi dua? Adakah bentuknya mendekati bentuk bahasa
Bagongan di Yogyakarta? Hal ini sukar dijawab. Untuk mencari
“the common denominator” (pembagi terbesar) atau hal-hal yang

98
Bahasa Bagongan

bersamaan antara keduanya dalam hal tingkat tutur tampaknya


sulit sekali.
Apabila kita menerapkan cara berpikir yang sama, yaitu
dengan berpendapat bahwa tentunya wujud dari tingkat tutur
di zaman yang lampau lebih sederhana daripada yang ada pada
zaman sekarang ini, kiranya kita dapat berpendapat bahwa ben-
tuk tingkat tutur bahasa Kedaton ini pun pada zaman lampau
juga lebih sederhana daripada bentuknya yang sekarang. Paling
tidak seperti keadaan kosakata khasnya, bentuk tingkat tuturnya
pun tidak semaju seperti yang ada pada bahasa Kedaton yang
terpakai di Surakarta.
Apakah hal itu lalu berarti bahwa bentuk bahasa Kedaton
ini di zaman kraton Mataram Kartasura-Kotagede- atau Mata-
ram Plered lalu mendekati bentuk yang terpakai di dalam bahasa
Bagongan yang terpakai di Yogyakarta. Hal ini sulit ditentukan.
Dalam hal bentuk awalan di- dan akhiran kata benda –e kiranya
dapat dikatakan begitu. Pada zaman dahulu bentuknya ialah
seperti itu, karena cognate-nya (bentuk ekuivalennya) di dalam
bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia lainnya pun juga
mendekati bentuk itu.
Bukankah bentuk awalan pasif itu di bahasa Melayu juga
di-, dan bentuk akhiran -nya-. Akan tetapi akhiran kata kerja –
ake, kiranya sulit untuk ditentukan karena di dalam bahasa
Melayu akhiran berbentuk –kan yang justru menyerupai bentuk
krama-nya. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut.
Jadi, kita berpendapat, bahwa tingkat tutur bahasa Kedaton
atau bahasa Bagongan itu pada zaman yang sudah lampau tentu-
nya lebih sederhana daripada bentuknya yang sekarang. Namun,
bagaimana persisnya kita tidak dapat menjawab dengan pasti.
Adakah proses perkembangan bahasa Bagongan mempunyai
kaitan dengan tingkat krama di dalam proses perkembangannya?
Apakah hal-hal semacam bahasa Bagongan ini menjadi penyebab
timbulnya tingkat krama di dalam sistem undha-usuk bahasa Jawa?
Ataukah sebaliknya, adanya sistem undha-usuk dengan tingkat

99
Bahasa Bagongan

krama-nya itu lalu menimbulkan bahasa Kedaton yang khusus


dipakai di kalangan punggawa raja di istana? Ataukah antara
keduanya, yaitu timbul dan digunakannya tingkat krama tidak
ada sangkut pautnya dengan timbulnya bahasa Kedaton atau
bahasa Bagongan? Pertanyaan ini sulit dijawab, barangkali lebih
sulit dari jawab asal usul terjadinya sistem undha-usuk yang
melibatkan pemakaian tingkat krama.
Kalau dilihat bahwa semakin tua zamannya semakin sedikit
kosakata khusus bahasa Bagongan yang dipakai, berarti semakin
sederhana bentuk bahasanya. Tampaknya, hal itu sejalan dengan
apa yang telah terjadi pada tingkat tutur krama yang dulu di
zaman kunanya kurang menunjukkan perbedaan jelas dengan
bentuk tingkat ngoko-nya. Bukankah sangat sulit untuk menen-
tukan apakah di zaman kerajaan Mahapahit dan sebelumya
bahasa Jawa telah terpecah menjadi bahasa yang ber-krama dan
ber-ngoko? Bukankah di dalam bahasa Jawa Kuna yang dapat
diidentifikasi dalam hal ini ialah istilah-istilah honorifik saja.
Jadi, untuk menunjukkan rasa hormat hanya perlu ditetapkan
orang istilah-istilah honorifik yang jumlahya tidak banyak untuk
kegiatan, benda milik, dan kata ganti orang kedua yang diajak
bercakap-cakap (I Made Suastika, 1983).
Kebanyakan bahasa, seperti di dalam bahasa Melayu (yang
sekarang menjadi bahasa Indonesia) sendiri hanya kata-kata
honorifik semacam inilah yang dipakai untuk menunjukkan rasa
hormat terhadap orang yang diajak berbicara atau terhadap
orang terhormat yang sedang dibicarakan. Kata-kata honorifik
ini sering dinamai “bahasa dalam”. Kata-kata “bahasa dalam”
jumlahnya juga tidak begitu banyak. Di dalam bahasa Inggris,
bahasa Jerman kata-kata honorifik semacam kata-kata “bahasa
dalam” itu juga ada dan jumlahnya juga tidak banyak.
Akan tetapi, kecuali kesejajaran yang ada pada pertumbuhan
bahasa Bagongan dengan pertumbuhan bentuk tingkat tutur
krama, adakah hal lain yang dapat kita nyatakan dalam hal kaitan
antara keduanya? Kita dapat juga membuat hipotesis bahwa

100
Bahasa Bagongan

adanya pemakaian bahasa yang khusus di dalam istana ini telah


menyebabkan pertumbuhan bentuk krama itu semakin menjadi-
jadi. Namun, hipotesis semacam itu sukar sekali dicarikan to-
pangnya. Barangkali, pertanyaan tentang jalinan antara bentuk
bahasa Bagongan dengan tingkat tutur krama ini sebaiknya kita
catat saja, dan penelitian yang lebih cermat dapat kita adakan
di kemudian hari.

5.5 Kesimpulan
Demikianlah hal-hal yang dapat kita sajikan dalam hal proses
perkembangan bahasa Bagongan. Teori-teori atau hipotesis da-
pat kita ketengahkan. Akan tetapi, bukti yang dapat dengan
jelas kita pegang sampai saat ini belum banyak yang dapat kita
temukan.
Jadi pernyataan dalam Pranatan Sowan/Marak lan Basa Ba-
gongan yang mengatakan bahwa bahasa Bagongan sudah dipakai
semenjak zaman kerajaan Sindok. Sebetulnya dalam penelitian
sekarang ini belum dapat dikuatkan dengan bukti-bukti yang
konkret. Artinya, apakah hal itu betul bahwa bahasa Bagongan
sudah ada semenjak kerajaan Majapahit atau kerajaan Sindok.
Kita sama sekali tidak dapat mengatakan dengan pasti ada atau
tidaknya. Kalau ada, kita tidak dapat mengatakan bentuknya
seperti apa. Mudah-mudahan di waktu yang akan datang hal
ini dapat dijelaskan.
Hal lain yang dapat kita simpulkan di sini ialah tentang ting-
kat kesakralan atau keritualan dari bahasa Bagongan itu. Perlu
diketahui bahwa proses perubahannya boleh dikatakan cukup
cepat, baik perubahan dalam bentuk maupun dalam pemakaian-
nya. Oleh karena itu, tingkat kesakralan bahasa Bagongan itu
tentunya tidak terlalu tinggi. Dapat kita perkirakan bahwa ting-
kat kesakralannya tidak begitu tinggi seperti kesakralan tombak
Kyai Plered atau senjata-senjata pusaka lainnya.

101
Bahasa Bagongan

102
Bahasa Bagongan

BAB VI
KESIMPULAN

Apa yang dapat disajikan di dalam laporan ini sebetulnya


kurang memuaskan. Data yang berbentuk percakapan aktual
tidak banyak diperoleh karena di dalam kenyataan pemakaian-
nya pun sudah sangat jarang terjadi. Yang dapat dengan gam-
pang diperoleh ialah data tertulis yang berupa surat perintah,
surat laporan, surat jawaban, dan surat ketetapan.
Data yang dari Surakarta boleh dikatakan sangat sedikit
jumlahnya. Terkadang terasa bahwa data yang dikumpulkan
seolah seperti mengada-ada. Artinya, data itu bukan wacana
yang wajar terjadi secara spontan, melainkan terjadi karena reka-
an atau pesanan. Hal ini semua memang ada benarnya, karena
bahasa Kedaton dan bahasa Bagongan itu sekarang sudah men-
dekati waktu tiadanya. Seperti dikatakan di depan, di Surakarta
bahasa Kedaton rasanya hanya dipakai di dalam peristiwa yang
amat penting, misalnya peringatan penobatan Sri Sunan. Di
dalam pasowanan sehari-hari, bahasa Kedaton sudah tidak dipakai
lagi. Untung saja bahwa di Yogyakarta hal ini masih belum sekri-
tis itu. Di dalam pasowanan, bahasa Bagongan masih dipakai,
terutama pasowanan yang tergolong agak penting, seperti paso-
wanan ngabekten.
Sehubungan dengan hal di atas, cara pengumpulan data
dengan sistem penyadap kaset tersembunyi kurang dapat ber-
hasil dengan baik. Kehadiran orang luar seperti anggota tim
peneliti saja sudah dengan cepat mempengaruhi kode bahasa

103
Bahasa Bagongan

ke register bahasa Jawa yang biasanya terjadi di dalam kehidupan


biasa luar pasowanan. Artinya, dengan adanya orang luar itu,
penggunaan bahasa Bagogan biasanya lalu menjadi urung.
Di dalam penelitian ini ada salah seorang anggota tim, yang
sudah termasuk golongan orang bangsawan. Beliau sebetulnya
dapat dengan leluasa bergaul dengan para abdi dalem atau ke-
luarga Raja yang terbilang sangat “tinggi” statusnya. Akan tetapi,
hasil perolehan datanya pun tidak seperti diharapkan sebelum-
nya. Hal ini bukan kesalahan siapa-siapa, melainkan pemakaian
bahasa Bagongan itu memang sudah semakin menghilang. Maka
dari itu, penelitian kali ini walau pun kurang menghasilkan hasil
seperti yang kami harapkan sebelumnya, paling tidak hal ini
dapat menjadi peringatan untuk segera membuat penelitian se-
lanjutnya yang lebih tekun lagi. Apabila hal pemakaian yang
sudah langka ini tidak segera ditekuni, kami khawatir bahwa
dalam waktu yang tidak lama lagi pelacakannya akan menjadi
semakin sulit.
Di dalam penelitian ini kami juga dibantu oleh beberapa
mahasiswi yang boleh dikatakan mempunyai kemudahan untuk
masuk ke istana dan berhubungan dengan para punggawa istana.
Akan tetapi, hasil perolehan datanya pun tetap memprihatinkan.
Terkadang mereka mengaku bahwa data percakapan yang di-
peroleh itu didapati melalui pesanan. Artinya, mereka meminta
kepada para punggawa itu berkenan memberikan contoh ber-
cakap dengan memakai bahasa Bagongan, dan barulah para
punggawa itu betul-betul bercakap dengan bahasa Bagongan
itu sekedar memenuhi permintaan mahasiswi yang permintaan-
nya sangat persuasif. Pernah terjadi bahwa data yang terkumpul
itu dituliskan oleh seorang abdi dalem yang kebetulan berkenan
memenuhi permintaan semacam itu.
Lukisan tentang proses perkembangan bahasa Kedaton atau
bahasa Bagongan pun terasa tidak memuaskan, karena yang
disajikan di dalam laporan itu kebanyakan bersifat hipotesis.
Hal ini dibuat karena langkanya data tertulis yang menjadi bukti

104
Bahasa Bagongan

dari perkembangan pemakaian bahasa Bagongan itu. Penelitian


proses perkembangan jadinya lalu bersifat seperti penelitian di
dalam ilmu bahasa komparatif-historis, dan bukannya penelitian
sejarah yang berdasarkan data dokumen yang memang betul-
betul ada. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa apabila kita
harus bersabar dan tekun menelusuri hal ini dalam tempo yang
berkepanjangan.
Sehubungan dengan ini, dikhawatirkan bahwa penelusuran
proses perkembangan bahasa Bagongan itu lalu menjadi seperti
proses penelusuran tingkat tutur ngoko-krama, yang pencaharian
dokumen tertulis untuk membuktikan hipotesisnya pun sudah
sangat sulit didapatkan. Sampai sekarang orang belum dapat
menemukan bukti tertulis yang menunjukkan kepada kita kapan
krama dan ngoko itu mulai pecah menjadi dua tingkat, dan bagai-
manakah bentuk perpecahan yang mula-mula? Dikhawatirkan
bahwa pelacakan perkembangan bahasa Bagongan pun akan me-
nemui kesulitan semacam itu. Maka dari itu, di samping saran
agar kita bersikap tekun di dalam penelitian selanjutnya, para
peneliti yang ingin melanjutkan usaha penelitian ini sebaiknya
bersedia menyelenggarakan penelitiannya dalam waktu yang
cukup longgar. Diperkirakan bahwa petunjuk-petunjuk tertulis
itu ada berserak-serak di berbagai serat atau babad atau surat
ketetapan, yang kesemuanya memerlukan waktu lama utnuk
mengumpulkannya menjadi satu penemuan yang memuaskan
rasa ingin tahu kita semua.

105
Bahasa Bagongan

106
Bahasa Bagongan

DAFTAR PUSTAKA

Alhadi, Syed Alwi. 1965. Adat Resam dan Adat Istiadat Melayu.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Anonim. 1946. Karti Basa. Jakarta: Kementrian Pengajaran,
Pendidikan, dan Kebudayaan.
Anonim. Serat Raja Kapakapa. (Manuskrip), tulisan tangan dengan
aksara Jawa.
Anonim. tt. “Pranata Sowan/Marak lan Basa Bagongan. (Salebeting
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat). Yogyakarta: Pagu-
yuban Habdidalem Pensiunan. (Stensilan).
Anonim. tt. Serat Babad Kartasura. (Manuskrip) bertuliskan tangan
dengan Aksara Jawa.
Anonim. 1930. “Verslag van het vijfde Congres,” Djawa, 10, No,
1-2.
Dempwolf, Otto. 1934. Vergleichende Lautlehre Des Austronesischen
Wortschatzes. I Band, Berlin.
Gumperz, J.J. dan D. Hymes (ed.). 1972. Directions in
Sosiolinguistics. Holt, Rinehart: Winston Inc.
Hendrato, A. 1974. “The Unique Function And Style of The Basa
Kedaton and Basa Bagongan.” First International Conference
on Comparative Linguistics.
Hall, R.A.Jr. 1964. Introductory Linguistics. Philadelphia: Chilton
Books, N.Y.
Mudjanattistomo, R.M. dkk. 2977. Pedhalangan Ngayogyakarta Jilid
I. Yogyakarta: Yayasan Habirandha.

107
Bahasa Bagongan

Noyowirongko, M. Ng. 1960. Serat Tuntunan Pedhalangan. 4 Jilid.


Jakarta: Departemen P.P. dan K.
Poejosoedarmo, Gloria. 1976. “Hipotese Perkembangan Sintaksis
Bahasa Jawa” Bahasa dan Sastra. Th. II, No. 4. Jakarta.
Poejosoedarmo, Soepomo. 1986, 1969. “The Javanese Speech
Levels,” Indonesia No. 6 dan 7, Cornell University.
______. 1978. “Tutur Ringkas Bahasa Indonesia”. Bahasa dan
Sastra. Th. IV, No. 1. Jakarta.
______. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa.
______. 1979. “Komponen Tutur.” Kongres M.L.I. ke II.
Yogyakarta (Stensilan).
Poejosoedarmo, Soepomo. 1978. “Interfensi Gramatikal Murid
SD di Daerah Yogyakarta dalam Mempelajari Bahasa
Indonesia”. (Stensilan).
Poejosoedarmo, Soepomo. 1983. Pengantar Sosiolinguistik.
(Manuskrip).
Poejosoedarmo, Soepomo, dkk. 1981. Fungsi dan Kedudukan Bahasa
Jawa di Jawa. (Manuskrip).
Satjadibrata, R. 1956. Undha-Usuk Bahasa Sunda. Jakarta: Balai
Pustaka.
Soedarsono. 1983. Wayang Wong in The Yogyakarta Kraton.
Disertasi. Universitas Michigan, Ann Arbor.
Suastika I Made. 1983. “Tingkat-Tingkat Bahasa Jawa Kuna”.
Makalah, Pascasarjana, UGM.
Wolff, J.U. dan Soepomo Poedjosoedarmo. 1982. Communicative
Codes in Central Java. Ithaca: N.Y. Cornell University.

108
Bahasa Bagongan

LAMPIRAN

Berikut ini dilampirkan sebagian kecil dari isi Pranatan Sowan/


Marak lan Basa Bagongan. Hal yang disajikan di sini ialah bab
yang memuat penggunaan bahasa Bagongan saja. Hal-hal lain
yang menyangkut tentang macam-macam pasowanan, tatacara
dalam tiap-tiap pasowanan, tata busana, langkah-langkah yang
dikerjakan oleh para kulawarga dan abdi dalem dalam setiap
pasowanan tidak disajikan di sini. Kami khawatir apabila semua-
nya disajikan, lampirannya akan menjadi amat tebal.
Pranatan mengenai pemakaian bahasa Bagongan ini akan
diberi terjemahan juga. Akan tetapi, karena halnya bukan me-
rupakan data bahasa seratus persen, terjemahannya pun hanya
akan kami adakan sekali di belakang bunyi pranatan yang asli.
Terjemahan ini boleh dikatakan amat mirip dengan bunyi aslinya.
Hal ini dibuat demikian agar para pembaca dapat mengikuti isi
pedoman itu dengan agak teliti. Terjemahan yang hanya diberi-
kan sekaligus di belakang untuk memudahkan para pembaca
dan juga memudahkan penterjemahnya.

109
Bahasa Bagongan

BASA KEDATON – BAGONGAN

Wonten salebeting kukuban plataran Karaton Ngayogyakarta sadaya


pangandikan ngagem basa Karaton utawi Bagongan. Boten wonten
ingkang wenang ngagem basa ngoko, kajawi Ngarsadalem Ingkeng
Sinuwun Kanjeng Sultan piyambak. Para Gusti manawi handangu
Abdi-dalem sinten kemawon inggih ngagem basa Bagongan. Samanten
ugi ingkang dipun dangu, mangsuli ngangge basa Bagongan, sami-
sami.
Yen nyebat badanipun piyambak manira, dateng sanesipun pakenira.
Boten nandalem-nandalem utawi adalem-adalem.

Boten “ipun” nanging “e”


Manawi nyebat barang utawi kagunganipun sinten, yen salebeting
pangandikan basa Bagongan boten ngangge “ipun” kadong ing basa
krama inggil, nanging “e” kados kalimrah ing basa krama madya.
Umpaminipun nyebat plonco utawi nyamping ugi barangipun sinten.
Boten plonconipun utawi nyampingipun ugi kagunganipun, nanging
plonconE utawi nyampingE ugi kangunganE.
Mila ing kawruh basa, basa Bagongan kalebet basa madya. Basa
Kedaton-Bagongan punika kalebet gampil cak-cakanipun, jalaran
namung wonten sawelas (11) tembung, inggih punika:

1. henggeh tegesipun = hinggih


2. mboya tegesipun = boten
3. menira (manira) tegesipun = kula
4. pekenira (pakenira) tegesipun = sampeyan
5. ponapi (punapi) tegesipun = punapa
6. peniki (puniki) tegesipun = punika (iki)
7. peniku (puniku) tegesipun = punika (iku)
8. wenten tegesipun = wonten
9. neda tegesipun = sumawi (sumangga)
10. besaos tegesipun = kemawon (bae)
11. seyos tegesipun = sanes (seje).

110
Bahasa Bagongan

Miturut Sejarah
Dening K.P.H. Brongtodiningrat Ngayogyakarta dipun andaraken
basa Kedaton-Bagongan sampun dangu sanget kagemipun ing Kadaton,
wiwit saderengipun jaman Mojopahit, ing Kedaton Galuh jamanipun
Mahaprabu Sindulo sampun ngagem basa Bagongan. Dumugi
jamanipun Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Agung Anyokrokusumo
Karaton Mataram ngagem basa Bagongan, ngantos jamanipun Ingkang
Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono I, hingga sapriki.

Ngayogyakarta, Sawal, Wawu 1913


Agustus 1981

111
Bahasa Bagongan

BASA KEDATON – BASA BAGONGAN

Di dalam wilayah halaman Keraton Yogyakarta semua per-


cakapan menggunakan bahasa Kedaton atau bahasa Bagongan.
Tidak ada yang dibenarkan memakai bahasa ngoko, kecuali Sri
Paduka Sultan sendiri. Para Gusti (Pangeran) apabila menanyai
abdi dalem juga menggunakan Bahasa Bagongan. Sama-sama.
Apabila menyebut diri sendiri manira, menyebut orang lain
pakenira. Bukannya nandalem-dandalem atau adalem-adalem.
Bukan –ipun tetapi –e
Apabila menyebut barang atau milik seseorang, dalam
bahasa Bagongan tidak diperbolehkan memakai akhiran –ipun
seperti dalam tingkat bahasa krama inggil, melainkan –e seperti
biasanya terdapat di dalam krama madya. Jika menyebut ploncon
atau kain milik siapa pun tidak boleh mengatakan plonconipun
atau nyampingipun melainkan ploncone atau nyampinge, dan juga
harus kagungane.
Di dalam pengetahuan tata kalimat, bahasa Bagongan sering
dimasukkan de dalam bagian bahasa madya.
Bahasa Kedaton-Bagongan itu termasuk mudah pene-
rapannya, karena hanya melibatkan sebelas (11) kata, yaitu
sebagai berikut.
1. henggeh artinya = ya
2. mboya artinya = tidak
3. menira (manira) artinya = saya
4. pekenira (pakenira) artinya = engkau
5. ponapi (punapi) artinya = apa
6. peniki (puniki) artinya = ini
7. peniku (puniku) artinya = itu
8. wenten artinya = ada
9. neda artinya = mari, silakan
10. besaos artinya = saja
11. seyos artinya = bukan, beda

112
Bahasa Bagongan

Menurut Sejarah
Oleh K.P.H. Brongtodiningrat di Yogyakarta dikatakan
bahwa bahasa Kedaton-Bagongan itu sudah lama sekali dipakai
di dalam istana, mulai sebelum kerajaan Majapahit. Bahasa
Kedaton-Bagongan ini sudah mulai dipakai pada zaman kerajaan
Galuh pada zamannya Mahaprabu Sindula. Hal ini terus dipakai
sampai zamannya Kanjeng Sultan Anyokrakusuma di Keraton
Mataram, dan terus dipakai oleh Sri Sultan Hamengkubuwana
I, dan terus sampai sekarang.

Yogyakarta, Sawal, Wawu. 1913


Agustus 1981

113
Bahasa Bagongan

114

Anda mungkin juga menyukai