Soepomo Poedjosoedarmo
Laginem
i
Bahasa Bagongan
BAHASA BAGONGAN
Penyusun
Soepomo Poedjosoedarmo
Laginem
Penyunting
Wiwin Erni Siti Nurlina
Cetakan Pertama:
November 2014
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
BAHASA BAGONGAN, Soepomo Poedjosoedarmo, dkk., Yogyakarta:
Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2014
(viii, 114hlm,; 14,5x21cm)
ISBN: 978-602-1048-10-8
ii
Bahasa Bagongan
PENGANTAR
KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI DIY
iii
Bahasa Bagongan
iv
Bahasa Bagongan
KATA PENGANTAR
v
Bahasa Bagongan
Ketua Tim
vi
Bahasa Bagongan
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Penelitian ............................................. 1
1.2 Masalah Penelitian dan Ruang Lingkup ..................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................ 5
1.4 Kerangka Teori ............................................................... 5
1.5 Metodologi ...................................................................... 6
1.6 Populasi dan Sampel ...................................................... 7
BAB II
BENTUK BAHASA BAGONGAN ............................................. 9
2.0 Pendahuluan .................................................................... 9
2.1 Hakekat Bahasa Bagongan ........................................... 9
2.2 Dialek Bahasa Bagongan ............................................. 12
2.3 Undha Usuk Bahasa Bagongan ................................... 16
2.4 Ragam Bahasa Bagongan ............................................ 19
2.5 Kekhususan Bahasa Bagongan ................................... 20
2.6 Contoh Pemakaian ....................................................... 23
BAB III
PEMAKAIAN BAHASA BAGONGAN .................................. 43
3.0 Pendahuluan .................................................................. 43
3.1 Kekhasan Pemakaian Bahasa Bagongan .................. 43
vii
Bahasa Bagongan
BAB IV
PEMEROLEHAN BAHASA BAGONGAN ........................... 69
4.1 Cara Belajar ................................................................... 69
4.2 Pelajar ............................................................................. 72
4.3 Macam Kesalahan ......................................................... 73
4.4 Penyebab Kesalahan .................................................... 83
BAB V
PERKEMBANGAN BAHASA BAGONGAN ....................... 87
5.1 Petunjuk dari Dokumen Tertulis ............................... 87
5.2 Dari Mana Asal Nama Bahasa Bagongan ................ 88
5.3 Bahasa Bagongan Yogyakarta vs. Bahasa Kedaton
Surakarta ........................................................................ 90
5.4 Kemungkinan Bentuk Bahasa Kedaton Zaman
Mataram ......................................................................... 94
5.5 Kesimpulan .................................................................. 101
BAB VI
KESIMPULAN ............................................................................ 103
viii
Bahasa Bagongan
BAB I
PENDAHULUAN
1
Bahasa Bagongan
2
Bahasa Bagongan
3
Bahasa Bagongan
4
Bahasa Bagongan
5
Bahasa Bagongan
oleh anggota tim dan disajikan di dalam laporan ini sebagai con-
toh pada umumnya dibuat dengan diketahui oleh peserta per-
cakapan. Bahkan sebetulnya, percakapan itu dibuat karena per-
mintaan anggota tim.
Dengan demikian cara kerja seperti yang biasanya dikerjakan
oleh para sosiolinguis di dalam penelitiannya dengan teknik pe-
ngumpulan data secara “menyadap” percakapan orang tidak ber-
hasil dikerjakan. Cara seperti yang ditempuh oleh Wolf dan Poe-
djosoedarmo tidak dapat diterapkan secara penuh. Namun demi-
kian, cara analisis tetap dijalankan dengan memperhatikan “kom-
ponen tutur” seperti dikerjakan oleh Wolf dan Poedjosoedarmo
itu (1981 a) dan juga oleh Poedjosoedarmo, dkk. (1981 b).
Selanjutnya, untuk memperoleh gambaran tentang latar
belakang timbulnya bahasa Bagongan, tentang proses perkem-
bangannya telah diterapkan cara penelitian yang agak lain. Da-
lam hal ini pemeriksaan kepada beberapa dokumen tertulis kuno
telah dijalankan, walaupun dengan sangat menyesal perlu dila-
porkan bahwa hasilnya sama sekali tidak memuaskan. Wawan-
cara dengan orang-orang yang dianggap tahu mengenai perkem-
bangan bahasa Bagongan ini juga dijalankan. Akan tetapi, sekali
lagi, hasilnya juga belum seperti yang diharapkan.
Secara singkat perlu dicatat bahwa di dalam penelitian ini
telah dijalankan beberapa cara penelitian yang berbeda-beda.
1.5 Metodologi
Sejalan dengan kerangka teori yang bermacam-macam untuk
menuju ke tujuan yang berbeda-beda, dalam penelitian ini telah
diterapkan teknik pengumpulan data dan teknik analisis yang
bebeda-beda pula. Untuk mengumpulkan data yang akan dipakai
untuk memperoleh gambaran tentang bentuk bahasa Bagongan,
telah dikumpulkan data percakapan yang telah dituturkan oleh
para abdi dalem keraton Yogyakarta. Di samping itu, beberapa
surat yang ditulis oleh Pamerintah Hageng Karaton Yogyakarta
pun juga telah dikumpulkan. Terhadap data inilah analisis
6
Bahasa Bagongan
7
Bahasa Bagongan
8
Bahasa Bagongan
BAB II
BENTUK BAHASA BAGONGAN
2.0 Pendahuluan
Di dalam bab ini akan dibahas hal-hal yang berhubungan
dengan bentuk bahasa Bagongan atau bahasa Kedhaton. Yang
dimaksud dengan bentuk di sini ialah wujud bahasa Bagongan
itu dari berbagai segi unsur kebahasaan, tata ucap, tata bentuk
kata, tata kalimat dan inventarisasi kosa katanya. Di samping
itu, juga wujud bahasa Bagongan dari segi berbagai varian tutur-
nya, undha-usuk, dialeknya, dan ragamnya.
Untuk membahas hal ini telah dikumpulkan keterangan dari
dua buah sumber. Sumber pertama ialah data tutur yang berupa
percakapan dan surat-surat yang memuat wacana bahasa Ba-
gongan. Sumber kedua ialah peraturan yang diterbitkan oleh
pihak Keraton Yogyakarta beserta wawancara antara anggota
tim dengan beberapa personil staf punggawa Keraton Yogya-
karta. Dari kedua sumber itu analisis tentang bentuk bahasa
Bagongan berikut ini ditulis.
9
Bahasa Bagongan
10
Bahasa Bagongan
11
Bahasa Bagongan
12
Bahasa Bagongan
13
Bahasa Bagongan
wanci - saat
sampun - sudah
dereng - belum
meh - hampir
memper - menyerupai
kados - seperti
radi - agak
miturut - menurut
taksih - masih
keleres - kebetulan
badhe - akan
malih - lagi
asring - sering
mila - memang
mangke - nanti
benjing - besuk
sinten - siapa
kagem - untuk
jalaran - karena
nanging - tetapi
sanes - bukan
mbokmanawi - barangkali
kajawi - kecuali
manawi - kalau
kepareng - boleh
wong - (partikel)
miyos - keluar
mlebet - masuk
tedhak - turun
minggah - naik
sumerep - tahu, melihat
mriksani - melihat, memeriksa
matur - berkata
ngandika - berkata
14
Bahasa Bagongan
15
Bahasa Bagongan
16
Bahasa Bagongan
Awalan ka-, aN-, maN-, dan sisipan –um- dan –in- merupakan
imbuhan Kawi. Imbuhan ini biasanya diapakai untuk memen-
carkan arti indah dalam pemakaian bahasa sekarang ini.
17
Bahasa Bagongan
18
Bahasa Bagongan
tara Kanjeng Gusti yang berstatus lebih tinggi terdapat kata mrik-
sani ‘melihat’ (krama inggil) yang ditujukan kepada seorang Ban-
dara yang statusnya lebih rendah.
19
Bahasa Bagongan
20
Bahasa Bagongan
21
Bahasa Bagongan
22
Bahasa Bagongan
jengandika - kamu
panten - kamu
puniku - itu
darbe - punya
eco - enak
estu - harus
kagengan dalem - gajah
kapatedhan - diberi
kuda - kuda
meksih - masih
mekaten - begini
olih - dapat
pakenira - kamu
punapi - apa
seyos - lain
sikon - parang
tambang - tali
wanita - istri
wikana - tidak tahu
23
Bahasa Bagongan
bab ini hanyalah disajikan data yang telah tertulis dari penerbitan
lain.
Contoh berikut merupakan rekaman percakapan yang terjadi
di Keraton Yogyakarta pada bulan November 1984. Peserta per-
cakapan masing-masing berpangkat lurah, bekel, dan gebayan.
Bekel : Pakenira punika aneh, ki Lurah.
Kamu ini aneh ki Lurah
(Kamu itu aneh, ki Lurah).
Sampun tiyang alit Ngayogyakarta boya sami gumuna.
Jangan orang kecil Ngayogyakarta tidak sama heran
(Jangankan rakyat kecil di Yogyakarta tak heran).
Tiyang manira ingkang sampun dados geminte Batawijah
Orang saya yang sudah menjadi warga Betawi
(Bahkan saya yang berlatar belakang warga kota Jakarta)
Centrum enggeh tumut gembira sanget
Central juga ikut gembira sekali
(Dan demikian juga ikut bergembira sekali)
Gabayan : “Puniku sampun salerese, kang Bekel.
Itu sudah sewajarnya kang Bekel
(Hal itu sudah sewajarnya, kang Bekel).
Cobi pakenira caosaken
Coba kamu rasakan
(Coba anda rasakan).
Manira rak mentas kecalan pepundhen, mangka lajeng
Saya kan baru kehilangan leluhur, kemudian lalu
(Saya kan baru saja kehilangan leluhur, kemudian lalu)
angsal lelintu, lah rak mesti bingah sanget.
dapat ganti, la kan tentu senang sekali
(mendapatkan gantinya, kau senang sekali).
Nalika surud dalem ingkang Sinuhun seda kodur, kados
Ketika wafat paduka tuan yang diraja wafat pulang seperti
(ketika Sri Paduka mangkat, macam
punapi besaos geogragé tetiyang ing Ngayogya ageng alit.
apa saja kacau orang di Ngayogya besar kecil
24
Bahasa Bagongan
25
Bahasa Bagongan
26
Bahasa Bagongan
27
Bahasa Bagongan
28
Bahasa Bagongan
30
Bahasa Bagongan
31
Bahasa Bagongan
32
Bahasa Bagongan
33
Bahasa Bagongan
Hudani
Keterangan
1. ngagem pasowanan
memakai penghadapan
‘memakai penghadapan’
2. menawi ngarsa dalem sampun lenggah kagunangan dalem regol
kamagangan
kalau depan tuan sudah duduk kepunyaan tuan pintu gerbang
kamagangan
‘kalau tuan (raja) sudah duduk, pintu gerbang kamangangan
dan danapertapa disuruh men
3. sarta danapertapa kakersakake nutup sarta dijaga abdi dalem
serta danapertapa disuruh menutup serta dijaga hamba tuan
menutup dan harap dijaga abdi dalem dan
4. mboya kepareng kangge lumebet medal
tidak boleh untuk masuk keluar
‘tidak diperbolehkan untuk keluar masuk’
Katur:
Kepada
34
Bahasa Bagongan
Kaping, 22 siyam ehe 1916 utawi surya kaping, 22 Juni 1984 angka 55/
KHSW/84
Ke 22 puasa ehe 1984 atau tanggal ke 22 Juni 1984 nomor 55/KHSW/
84
Hal pasowanan ngabekten
Tentang hal menghadap di hadapan sri paduka
Untuk menyatakan bakti setia
Ingkang puniku menira sumangga
Yang itu saya serahkan
Utuk itu saya persilahkan.
Pangageng
Pembesar
Parentah Hageng Karaton
Parentah Hageng Karaton
Parentah Besar Karaton
Angka: 107/KHSW/84
Nomor
Bab : Sekaten tahun Jimawal 1917
Hal : Sekaten tahun Jimawal 1917
Serat saking kawedanan Hageng Sri Wandawa
Surat dari kawedanan besar Sri Wandawa
‘Surat dari kawedanan besar Sri Wandawa
35
Bahasa Bagongan
Lahirnya, perintah panggilan raja depan raja kaki raja yang sinuwun
Hatta, perintah sri paduka.
KH. Sri Wandawa kakersakaken handhawuake kados ing ngandap puniki.
KH. Sri Wandawa diharapkan pemerintahkan seperti di bawah ini
‘KH. Sri Wandawa diharapkan memerintahkan seperti di bawah ini’
1. Binjing ing dinten kamis kliwon tanggal kaping 5 mulud jimawal 1917
Besok di hari kamis kliwon tanggal kali 5 mulud jimawal 1917
‘Besok hari kamis kliwon tanggal 5 maulud tahun jimawal 1917
atau tanggal, 19 November 1984
Utawi surya kaping 29 November 1984 wanci jan 16.00 (4 sore) kagungan
Atau tanggal kali waktu pukul 16.00 (4 sore) kepunyaan
Pukul 16.00 (empat sore)
Panatane kyai Guntur madu sarta kanjeng kyai nogowilopo wonten ing
Pengaturannya kyai Guntur madu dan kangjeng kyai nogowilopo
ada di
Mengaturnya kanjeng kyai Guntur madu dan kanjeng nogowilopo
di bansal ponconiti
36
Bahasa Bagongan
37
Bahasa Bagongan
Wanci jam 24.00 (12 dalu) kagungan dalem gongso kanjeng kyai
Waktu pukul 24.00 (12 malam) kepunyaan tuan gamelan kanjeng
kyai
‘Pukul 24.00 (12 malam) gamelan tuan kanjeng kyai sekati
dikeluarkan ke
Mungel malih jam 14.00 (2 siang) dumugi jam 17.00 (5 sonten) kendel
Berbunyi lagi pukul 14.00 ( 2 siang) sampai pukul 17.00 ( 5 sore)
berhenti
Dipukul lagi pukul 14.00 (2 siang) sampai pukul 17.00 (5 sore)
baru berhenti
Lajeng mungel malih jam 20.00 (8 dalu) dumugi jam 24.00 (12 dalu)
Selanjutnya berbunyi lagi pukul 20.00 (8 malam) sampai pukul
24.00 (12 malam)
‘Selajutnya dipukul lagi pukuk 20.00 (8 malam) sampai pukul
24.00 (12 malam)
39
Bahasa Bagongan
5. Ing dinten malem kemis paing (malem grebeg) kajungan dalam gangsa
Di hari malam kamis paing malam gerebeg kepunyaan tuan
gamelan
‘Pada hari malam kamis paing (malam gerebeg) gamelan tuan
kanjeng kyai sekati
Papan gongso pagongan kidul sata eler puenapu dene ing lebet masjid
Tempat gamelan selatan serta utara apa sedangkan di dalam
masjid
Dan utara serta di dalam masjid
40
Bahasa Bagongan
Naliko miyose lajeng sumare wenten ing kagungan dalem bangsal sri
Ketika kelaurnya terus bertempat ada di kepunyaan tuan bangsal
sri
Dan terus diistirahatkan di bangsal sri manganti milik sri paduka
Pengageng
pembesar
G.B.P.H, Suryobronto
41
Bahasa Bagongan
42
Bahasa Bagongan
BAB III
PEMAKAIAN BAHASA BAGONGAN
3.0 Pendahuluan
Di dalam bab ini akan dibahas pemakaian bahasa Bagongan
dalam kehidupan sehari-hari. Secara berturut-turut akan disaji-
kan kekhasan pemakain, situasi yang menjadi kontek pemakaian,
tujuan pemakaian, dan keadaan pemakaian dewasa ini.
Apa yang disajikan di sini terutama disimpulkan dari penga-
matan pemakaian di Keraton Yogyakarta, yaitu dari hasil wa-
wancara antara anggota tim dengan beberapa orang penggawa
keraton, serta dari sumber tertulis seperti dilampirkan di bagian
lampiran.
43
Bahasa Bagongan
44
Bahasa Bagongan
terkena sangsi dari sang raja atau dari punggawa di atasnya. Akan
tetapi, lain dengan aturan gramatika yang biasa dan pemakaiaan
aturan yang konvensional itu, peraturan pemakaian dan wujud
bahasa Bagongan itu memang agak aneh dan seolah-olah me-
mang ada kaitannya dengan sangsi kepangkatannya. Artinya,
apabila seorang punggawa atau abdi dalam keraton tidak mau
tunduk dengan peraturan pasowanan dan peraturan pemakaian
bahasa Bagongan itu, dia tentunya akan mendapatkan sangsi
dari pihak kraton.
Di samping itu, aturan bahasa yang biasa, yang bersifat
aturan gramatika dan aturan lan yang konvensional, biasanya
mengalami perubahan sesuai dengan perubahan yang terjadi
secara alamiah karena pengaruh perubahan masyarakat, penga-
ruh perubahan gramatika yang wajar dan berlangsung secara
evolusioner (soepomo, 1981), serta pengaruh kontak dengan ba-
hasa lain. Kalau ada perubahan pada peraturan yang adanya
ditetapkan melalui surat ketetapan, seperti yang ada pada bahasa
Bagongan ini, perubahan itu tidaklah seperti yang disebutkan
itu. Perubahan itu akan melalui ketetapan yang serupa. Dalam
hal ini, ada kemungkinan besar bahwa dalam perkembangan
aturan bentuk dan pemakaian bahasa Bagongan itu akan meng-
alami perubahan yang sifatnya berlainan dengan apa yang tertera
dalam ketetapan yang dibuat secara “politis kerajaan” itu. Arti-
nya, apa yang ditetapkan dengan surat ketetapan itu ada ke-
mungkinan besar akan berbeda dengan apa yang betul-betul
terjadi pada peraturan gramatika dan aturan pemakaian bahasa
Bagongan itu dalam kehidupan sehari-hari yang betul-betul
terjadi.
45
Bahasa Bagongan
46
Bahasa Bagongan
47
Bahasa Bagongan
48
Bahasa Bagongan
49
Bahasa Bagongan
50
Bahasa Bagongan
51
Bahasa Bagongan
52
Bahasa Bagongan
53
Bahasa Bagongan
54
Bahasa Bagongan
55
Bahasa Bagongan
56
Bahasa Bagongan
57
Bahasa Bagongan
Contoh dialog pada bendara yang lebih tua dengan yang muda
Para bendara sepuh: “Dimas napi pakenira asring miring gending
Adik apa engkau sering mendenga lagu
‘Apakah adik sering mendengar lagu salatun
dalam sekaten
Sekaten ingkang namane gending salatun punika
Sekaten yang namanya lagu salatun ini
Itu siapa penciptanya?
Yasa sinten?
Ini buatan siapa
Para bendara enem: “Ha punika sa ngertos menira kamas, punika
gendhing
Ha ini sepengetahuan saya kakak, itu lagu
Sepengetahuan saya, gending itu ciptaan kanjeng
Sekaten salatun puniku yasanipun kanjeng raden
Sekaten salatun itu buatannya kanjeng raden
58
Bahasa Bagongan
Raden Wiraguna
Wiraguna, wenten punapi to kangmas
Waraguna, ada apa ta kangmas
Ada apa, kak
Para bendara sepuh: “Enggeh puniku kok anu, punapi puniku, e lagone
Ya itu apa itu lagunya
Ya lagunya hampir sama dengan lagu andhong
andhong
Puniku kok radi memper kaliyan andhong-andhong
Itu agak sama dengan andhong-andhong
Para bendara enem : “ O ha mila, mila radi memper andhong-andhong
kaliyan
O maka maka agak sama andhong-andhong
dengan
‘O, memang lagu andhong-andhong itu hamper
sama dengan lagu
salatun’
salatun punika, mila radi memper ha wong ingkang
salatun iitu agak sama karena penciptanya
yasa enggeh sami punika
buatan ya sama itu
juga sama
para bendara sepuh: “Sab (sebab) wenten malih, gendhing atur-atur
gendhing
sebab ada lagi lagu atur-atur lagu
sebab ada lagi gending atur-atur dang ending
sekaten napi malih. Puniku puniku kok memper-
memper
sekaten apa lagi itu hamper sama
sekaten itu kok juga hamper sama.
Para bendara enem : “O ha enggeh, sak ngertos manira puniku gending
O ya seperngetahuan saya ini lagu
‘O ya, sepengetahuan saya lagu-lagu sekaten
memang dibuat agak
59
Bahasa Bagongan
60
Bahasa Bagongan
Contoh:
ngersakaken ‘menghendaki’
manira ndherekaken ‘saya hantarkan’
manira sagah ndherekaken ‘saya sanggup mengantarkan’
gendhingipun ‘lagunya’
61
Bahasa Bagongan
62
Bahasa Bagongan
63
Bahasa Bagongan
64
Bahasa Bagongan
65
Bahasa Bagongan
66
Bahasa Bagongan
67
Bahasa Bagongan
68
Bahasa Bagongan
BAB IV
PEMEROLEHAN BAHASA BAGONGAN
69
Bahasa Bagongan
70
Bahasa Bagongan
71
Bahasa Bagongan
4.2 Pelajar
Seperti dikatakan di atas, para abdi dalemlah yang pertama-
tama berkepentingan untuk mempelajari bahasa Bagongan ini
karena mereka harus menggunakannya dalam waktu dan tempat
yang telah ditentukan oleh peraturan keraton. Para abdi dalem
ini perlu mempelajarinya karena menurut ketentuan semua surat
menyurat resmi keraton juga ditulis di dalam bahasa Bagongan
itu.
Di samping para abdi dalem dan punggawa keraton, para
dalang pun perlu menguasai bahasa Bagongan ini sebab ada ke-
tentuan bahwa dalam adegan tertentu bahasa Bagongan ini juga
harus dipakai. Untuk menandai bahwa sesuatu kerajaan ialah
kerajaan yang besar, salah satu yang dipakai sebagai simbolnya
ialah pemakaian bahasa Bagongan itu. Di dalam tradisi pewa-
yangan, kerajaan Astina selalu digambarkan dengan dialog Pra-
bu Suyudana dengan para penasihatnya yang menggunakan ba-
hasa Bagongan. Kecuali kerajaan Astina, kerajaan para dewa di
Suralaya pun biasanya digambarkan dengan dialog bahasa
Bagongan.
72
Bahasa Bagongan
73
Bahasa Bagongan
Bentuk krama ini meliputi bentuk kata kerja dan kata bendanya.
Dalam hal ini tingkat tuturnya terlalu tinggi.
Contoh kesalahan undha-usuk ini yang paling jelas ialah yang
sudah disajikan dalam bab III, percakapan antara Kajeng Gusti
dan Bendara dan antara Kanjeng Gusti dan abdi dalem. Di dalam
contoh-contoh itu orang yang tergolong rendah status kepang-
katannya memilih untuk menggunakan tingkat tutur yang ben-
tuknya boleh dikatakan sama sekali krama. Jadi, si Bandara
menggunakan bentuk krama terhadap Kanjeng Gusti, dan abdi
dalem menggunakan bentuk yang serupa untuk ditujukan ke-
pada Kanjeng Gusti.
Mungkin hal ini merupakan perkembangan sekarang. Arti-
nya, dalam pemakaiannya sekarang hal itu lah yang dianggap
benar. Dalam wawancara antara anggota tim dengan para pung-
gawa kraton yang mengatakan bahwa hal seperti yang tertera
itulah yang betul. Kalau demikian halnya, jelas bahasa Bagongan
sekarang ini telah mempunyai aturan yang sedikit menyimpang
dari pranatan yang ada.
74
Bahasa Bagongan
75
Bahasa Bagongan
76
Bahasa Bagongan
77
Bahasa Bagongan
78
Bahasa Bagongan
79
Bahasa Bagongan
80
Bahasa Bagongan
81
Bahasa Bagongan
82
Bahasa Bagongan
83
Bahasa Bagongan
84
Bahasa Bagongan
85
Bahasa Bagongan
86
Bahasa Bagongan
BAB V
PERKEMBANGAN BAHASA BAGONGAN
87
Bahasa Bagongan
88
Bahasa Bagongan
90
Bahasa Bagongan
para
pojar
robaya
seta
tabeh
tembung
jengandika
panten
darbe
eco
estu
kagungan dalem
kapatedhan
kuda
meksih
mekoten
olih
sikon
tambang
wanita
wikana
91
Bahasa Bagongan
92
Bahasa Bagongan
pa pada segi tata-ucap, tata bentuk kata, pada tata kalimat, dan
barangkali juga pada bentuk varian undha-usuknya. Perubahan
yang biasanya terjadi dengan cepat ialah pada segi kosa katanya
(Hall, 1964).
Sesuai dengan hal itu, dalam tempo yang tidak terlalu lama
bentuk kosa kata khusus yang terpakai di Keraton Surakarta
lalu sangat berbeda dengan bentuk kosa kata khusus yang ter-
pakai di Keraton Yogyakarta. Dalam tempo kurang lebih dua
abad ada 29 (dua puluh sembilan) buah kata yang menjadikan
bentuk bahasa Kedaton di Surakarta berbeda dengan bentuk
bahasa Bagongan di Yogyakarta.
Sekarang persoalannya apakah jumlah perbedaan 29 buah
kata ini disebabkan oleh adanya perkembangan atau oleh adanya
penciutan pemakaian. Dengan kata lain, apakah hal ini berarti
bahwa selama di abad itu (dari zaman Perjanjian Gianti yang
menandai pecahnya kerajaan Surakarta dengan kerajaan Yogya-
karta) bahasa Kedaton di Surakarta telah menambahkan kedua-
puluh sembilan buah kata itu ke dalam kosa kata bahasa Ba-
gongan, atau kah keduapuluh sembilan buah kata itu telah meng-
hilang dari pemakaian selama Keraton Yogyakarta berdiri.
Penghilangan hal yang dianggap keramat kiranya kurang
masuk akal. Ada orang mengatakan bahwa kalau ada benda
keramat yang menghilang dari kraton, maka orang pun akan
bersusah payah mencoba menggantinya dengan duplikat yang
amat menyerupai benda keramat itu, sehingga orang lama kela-
maan juga lalu menganggap benda pengganti itu sekeramat se-
perti yang telah hilang. Ada orang mengatakan bahwa sekarang
ini baik di Kraton Yogyakarta maupun di Kraton Surakarta ter-
dapat tombak yang masing-masing mempunyai nama yang
sama, yaitu nama Kyai Plered, yang oleh masing-masing kraton
dijadikan salah satu pusaka pujaan. Menurut ceriteranya, Kyai
Plered itu asalnya memang hanya satu saja jumlahnya. Namun
apabila hal ini benar, yaitu bahwa baik di Yogyakarta maupun
di Surakarta ada tombak yang masing-masing bernama Tombak
93
Bahasa Bagongan
Kyai Plered, maka ide bahwa apabila ada benda atau lambang
pusaka yang hilang hal itu akan diusahakan ketemunya atau
penggantinya dengan hal yang serupa. Dengan kata lain, hal
yang dianggap pusaka atau keramat akan dijaga keras jangan
sampai menghilang.
Dari pemikiran di atas ini, kiranya perkembanganlah yang
kiranya terjadi, dan bukannya penciutan bentuk. Perkembangan
bentuk kosakata khusus semacam ini kiranya juga telah didalami
oleh kosa-kata khusus krama dan krama inggil. Kata-kata seperti
selangkung ‘dua puluh lima’, wantun ‘berani’, milai ‘mulai’, sanes
‘beda’ sekarang sudah menjadi bentuk krama yang boleh dikata-
kan standar. Padahal beberapa dekade yang lalu bentuk itu pada
umumnya tidak dapat diterima atau bahkan tidak terdengar.
Kosakata khusus yang terpakai di dalam tingkat krama sekarang
ini menjadi lebih banyak dari kosa kata khusus krama yang ter-
pakai di beberapa dekade yang lalu.
Berdasarkan pemikiran seperti di atas ini, kita dapat meng-
ambil perkiraan bahwa kosakata bahasa Kedaton yang terpakai
di Surakarta telah mengalami perkembangan yang cukup pesat,
sedangkan yang terpakai di Keraton Yogyakarta agak mendekati
bentuk kosakata yang terpakai di jaman Keraton Mataram pra
perpecahan.
94
Bahasa Bagongan
mboya
manira
pakenira
besaos
sumitra (sudah ada tapi dengan arti lain)
pojar
robaya (sudah ada tapi dengan arti lain)
jengandika
kagengan dalem
mekaten
sikon
wikana
95
Bahasa Bagongan
manira, pakenira, dan besaos tidak terdapat pada kamus Jawa Kuna,
barangkali jumlah kosakata khusus bahasa Kedaton di dalam
zaman keraton Mataram praperpecahan hanya berjumlah tujuh
buah. Jumlah ini didapat dari jumlah yang ada di dalam bahasa
Bagongan keraton Yogyakarta (11) dikurangi empat buah kata
tersebut di atas. Atau kalau diambil kira-kiranya, jumlah kosaka-
ta khusus itu berkisar antara tujuh buah sampai 11 buah.
Berpegangan pada perkiraan ini, maka perkembangan yang
ada pada keraton Yogyakarta barangkali juga hanya pada empat
buah kata seperti tersebut di atas, yaitu kata mboya, manira,
pakenira, dan besaos. Perkembangan dalam keraton Yogyakarta
ini dapat saja berarti penambahan kata baru, tetapi dapat juga
hanya penggantian kata lama dengan kata baru. Kata lama itu
barangkali telah ada pada pemakaian leksikon Jawa Kuna.
Penggantian ini mungkin saja terjadi, mengingat bahwa kata yang
terlibat ialah kata ganti nama pertama dan kedua, yang biasanya
merupakan kata pokok di dalam pembedaan tingkat tutur.
Apabila hal ini diteruskan, kita dapat memperkirakan bahwa
inovasi atau pembaharuan yang ada pada kosakata bahasa Ke-
daton di Surakarta berkisar pada antara 29 kata sampai dengan
33 buah kata. Dua puluh sembilan ialah kosakata semuanya diku-
rangi kosakata yang terpakai pada bahasa Bagongan. Jumlah 33
buah itu terjadi dari adanya penambahan empat buah kata ter-
sebut di atas.
Dengan demikian, bentuk bahasa Kedaton atau bahasa Ba-
gongan di zaman kerajaan Pajang, kerajaan Demak atau kerajaan
Majapahit tentu kurang dari apa yang terdapat di dalam kerajaan
Mataram. Biasanya bentuk yang paling dahulu ada untuk mem-
bedakan ragam atau tingkat tutur yang satu dengan yang lain
ialah kata-kata ganti nama seperti “saya”, “engkau”, “beliau”.
Perkiraan bahwa perkembangan atau inovasi kata-kata yang
ada di Surakarta jauh lebih banyak dari apa yang telah terjadi
di Yogyakarta memang secara sekilas dapat dikatakan aneh. Bu-
kankah keraton Yogyakarta berdirinya justru lebih belakangan
96
Bahasa Bagongan
97
Bahasa Bagongan
98
Bahasa Bagongan
99
Bahasa Bagongan
100
Bahasa Bagongan
5.5 Kesimpulan
Demikianlah hal-hal yang dapat kita sajikan dalam hal proses
perkembangan bahasa Bagongan. Teori-teori atau hipotesis da-
pat kita ketengahkan. Akan tetapi, bukti yang dapat dengan
jelas kita pegang sampai saat ini belum banyak yang dapat kita
temukan.
Jadi pernyataan dalam Pranatan Sowan/Marak lan Basa Ba-
gongan yang mengatakan bahwa bahasa Bagongan sudah dipakai
semenjak zaman kerajaan Sindok. Sebetulnya dalam penelitian
sekarang ini belum dapat dikuatkan dengan bukti-bukti yang
konkret. Artinya, apakah hal itu betul bahwa bahasa Bagongan
sudah ada semenjak kerajaan Majapahit atau kerajaan Sindok.
Kita sama sekali tidak dapat mengatakan dengan pasti ada atau
tidaknya. Kalau ada, kita tidak dapat mengatakan bentuknya
seperti apa. Mudah-mudahan di waktu yang akan datang hal
ini dapat dijelaskan.
Hal lain yang dapat kita simpulkan di sini ialah tentang ting-
kat kesakralan atau keritualan dari bahasa Bagongan itu. Perlu
diketahui bahwa proses perubahannya boleh dikatakan cukup
cepat, baik perubahan dalam bentuk maupun dalam pemakaian-
nya. Oleh karena itu, tingkat kesakralan bahasa Bagongan itu
tentunya tidak terlalu tinggi. Dapat kita perkirakan bahwa ting-
kat kesakralannya tidak begitu tinggi seperti kesakralan tombak
Kyai Plered atau senjata-senjata pusaka lainnya.
101
Bahasa Bagongan
102
Bahasa Bagongan
BAB VI
KESIMPULAN
103
Bahasa Bagongan
104
Bahasa Bagongan
105
Bahasa Bagongan
106
Bahasa Bagongan
DAFTAR PUSTAKA
Alhadi, Syed Alwi. 1965. Adat Resam dan Adat Istiadat Melayu.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Anonim. 1946. Karti Basa. Jakarta: Kementrian Pengajaran,
Pendidikan, dan Kebudayaan.
Anonim. Serat Raja Kapakapa. (Manuskrip), tulisan tangan dengan
aksara Jawa.
Anonim. tt. “Pranata Sowan/Marak lan Basa Bagongan. (Salebeting
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat). Yogyakarta: Pagu-
yuban Habdidalem Pensiunan. (Stensilan).
Anonim. tt. Serat Babad Kartasura. (Manuskrip) bertuliskan tangan
dengan Aksara Jawa.
Anonim. 1930. “Verslag van het vijfde Congres,” Djawa, 10, No,
1-2.
Dempwolf, Otto. 1934. Vergleichende Lautlehre Des Austronesischen
Wortschatzes. I Band, Berlin.
Gumperz, J.J. dan D. Hymes (ed.). 1972. Directions in
Sosiolinguistics. Holt, Rinehart: Winston Inc.
Hendrato, A. 1974. “The Unique Function And Style of The Basa
Kedaton and Basa Bagongan.” First International Conference
on Comparative Linguistics.
Hall, R.A.Jr. 1964. Introductory Linguistics. Philadelphia: Chilton
Books, N.Y.
Mudjanattistomo, R.M. dkk. 2977. Pedhalangan Ngayogyakarta Jilid
I. Yogyakarta: Yayasan Habirandha.
107
Bahasa Bagongan
108
Bahasa Bagongan
LAMPIRAN
109
Bahasa Bagongan
110
Bahasa Bagongan
Miturut Sejarah
Dening K.P.H. Brongtodiningrat Ngayogyakarta dipun andaraken
basa Kedaton-Bagongan sampun dangu sanget kagemipun ing Kadaton,
wiwit saderengipun jaman Mojopahit, ing Kedaton Galuh jamanipun
Mahaprabu Sindulo sampun ngagem basa Bagongan. Dumugi
jamanipun Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Agung Anyokrokusumo
Karaton Mataram ngagem basa Bagongan, ngantos jamanipun Ingkang
Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono I, hingga sapriki.
111
Bahasa Bagongan
112
Bahasa Bagongan
Menurut Sejarah
Oleh K.P.H. Brongtodiningrat di Yogyakarta dikatakan
bahwa bahasa Kedaton-Bagongan itu sudah lama sekali dipakai
di dalam istana, mulai sebelum kerajaan Majapahit. Bahasa
Kedaton-Bagongan ini sudah mulai dipakai pada zaman kerajaan
Galuh pada zamannya Mahaprabu Sindula. Hal ini terus dipakai
sampai zamannya Kanjeng Sultan Anyokrakusuma di Keraton
Mataram, dan terus dipakai oleh Sri Sultan Hamengkubuwana
I, dan terus sampai sekarang.
113
Bahasa Bagongan
114