Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH TENTANG

BAHASA DAERAH, PEMUDA DAN


GLOBALISASI

MATA KULIAH DASAR


SOSIOLOGI PEDESAAN
(SAMSUL BAHRI, SP.)

Oleh :
SARWANTO/ NPM. 01011200033

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUSI RAWAS
2014
i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke Hadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan

KaruniaNya kami dapat menyelesaikan Makalah ini. Makalah ini disusun sebagai

salah satu tugas pada Mata Kuliah Sosiologi Pedesaan.

Kami menyadari dalam penyusunan tugas ini tentu masih banyak kekurangan,

oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan

untuk kemajuan kami ke depannya. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada

Dosen Pembimbing yang telah membantu dan membimbing kami dalam Mata

Kuliah Sosiologi Pedesaan ini.

Demikian kami sampaikan, semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Lubuklinggau, Januari 2014

Penyusun
ii

DAFTAR ISI

Hal

Kata Pengantar ............................................................................................ i


Daftar Isi ................................................................................................ ii

I. PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................ 1
1.2 Tujuan ................................................................................... 2

II. PEMBAHASAN ..................................................................................... 3


2.1 Pengertian Bahasa .................................................................. 3
2.2 Pengertian Bahasa Daerah ................................................. 4
2.3 Kedudukan dan Fungsi Bahasa Daerah ................................ 4
2.4 Revitalisasi Bahasa Daerah dikalangan Generasi Muda ...... 5
2.5 Peran Bahasa Daerah didalam Persatuan Bangsa ................. 6
2.6 Dampak positif dan negatif penggunaan bahasa ................. 7
daerah didalam bahasa Indonesia
2.7 Bahasa Daerah dan Peraturan Perundang – undangan ......... 9
2.8 Kebijakan penanganan bahasa daerah .................................. 13

III. PENUTUP ............................................................................................... 16


3.1 Kesimpulan .............................................................................. 16
3.2 Saran ......................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................


1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seegoisnya manusia atau seindividualisnya manusia, tetap saja manusia itu
membutuhkan komunikasi dengan manusia lain. Manusia hidup tanpa komunikasi
ibarat hidup tersendiri di tengah Padang Sahara atau di tengah hutan Kalimantan,
terasa sepi dan hampa. Bahkan, orang yang abnormal pun membutuhkan
komunikasi dengan lingkungannya, dengan orang-orang di sekitarnya ataupun
dengan apapun yang ia temui.
Bahasa adalah alat yang ampuh bagi manusia dalam berhubungan dengan
sesuatu di luar dirinya. Dengan bahasa, manusia mampu beradaptasi dengan
lingkungannya, dengan orang-orang di sekitarnya, dan dengan apapun bahkan
dengan hewan sekalipun, bahasa memerankan peran yang penting bagi kehidupan
manusia. Bahasa memiliki beberapa fungsi, diantaranya sebagai alat untuk
komunikasi dengan sesama manusia, alat untuk bekerja sama dengan sesama
manusia, dan alat untuk mengidentifikasi diri. Pada dasarnya, bahasa sebagai alat
komunikasi tidak hanya secara lisan, tetapi juga menggunakan bahasa isyarat
tangan atau tubuh lainya.
Seperti yang kita ketahui, banyak sekali bahasa daerah digunakan sebagai
bahasa berkomunikasi setiap harinya di masyarakat setempat. Hal ini dikarenakan
tidak semua masyarakat memahami penggunaan bahasa Indonesia yang baku.
Selain itu masyarakat merasa canggung menggunakan bahasa Indonesia yang
baku di luar acara formal atau resmi. Oleh karena itu, masyarakat lebih cenderung
menggunakan bahasa Indonesia yang telah terafiliasi oleh bahasa daerah, baik
secara pengucapaan maupun arti bahasa tersebut. Kebiasaan penggunaan bahasa
daerah ini sedikit banyak akan berpengaruh terhadap penggunaan bahasa
Indonesia yang merupakan bahasa resmi negara Indonesia.
Kalau diperhatikan, bahasa paling popular sekarang ini adalah bahasa-
bahasa gaul, bahkan bahasa Indonesia sendiri sudah tidak begitu diperhatikan
dalam pengucapannya, terkadang sudah tidak baku lagi. Apalagi bahasa daerah,
yang kebanyakan dianggap oleh generasi muda tidak begitu penting untuk
dipelajari, ini semua karena menjaga gengsi, takut dianggap ketinggalan zaman,
2

kampungan, dan lain-lain. Sehingga tanpa mereka sadari, bahasa daerah akan
punah seiring berkembangnya zaman. Memang, tidak seharusnya juga kita
menggunakan bahasa daerah didalam keseharian kita, namun setidaknya kita bisa
tahu tentang bahasa daerah kita sendiri ketika orang menanyakannya pada kita.
Sehingga, kita harus memberikan pembinaan terhadap generasi muda untuk
menyadarkan tentang penggunaan dan fungsi bahasa daerah itu sendiri.
Berkaitan dengan hal-hal diatas maka sebagai mahasiswa pertanian kita
diwajibkan memiliki pengetahuan dan kemampuan terkait masalah gulma ini.
Terkait dengan hal tersebut maka perlu dilakukan kegiatan praktikum identifikasi
gulma sehingga setiap mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Musi Rawas
memiliki pengetahuan dan kemampuan identifikasi gulma ini.

1.2 Tujuan
Sehubungan dengan beberapa permasalahan diatas, penulis akan
membatasi pembahasan dalam makalah ini pada beberapa aspek berikut :
1. Apa pengertian Bahasa ?.
2. Apa pengertian Bahasa Daerah?.
3. Bagaimana kedudukan dan fungsi Bahasa Daerah?.
4. Perlunya revitalisasi bahasa daerah dikalangan generasi muda?.
5. Peran bahasa daerah didalam persatuan bangsa?.
6. Apa dampak positif dan negatif penggunaan bahasa daerah didalam
Bahasa Indonesia?.
7. Kedudukan Bahasa Daerah dan Peraturan Perundang-Undangan?.
8. Kebijakan Penanganan Bahasa Daerah?.
3

II. PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Bahasa


Dalam kamus bahasa Indonesia, “Bahasa diartikan sebagai sistem lambang
bunyi yang mempunyai makna.”. Pengertian bahasa menurut beberapa ahli :
1. Wibowo mengungkapkan bahwa : Bahasa adalah sistem simbol bunyi yang
bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer
dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok
manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran.maka penulis akan
mengemukakan pengertian bahasa menurut para ahli.
2. Abdul Chaer mengemukakan bahwa “Bahasa itu merupakan satu sistem,
bahasa adalah fenomena yang menghubungkan dunia makna dengan dunia
bunyi.”.
3. Harimurtikridalaksana, “Bahasa adalah suatu sistem lambang bunyi yang
bersifat (arbitrer) mana suka yang digunakan oleh sekelompok orang atau
masyarakat dalam berinteraksi”. Akan tetapi pendapat tersebut dibantah oleh
Yule George yang menyatakan “Bahasa adalah suatu alat komunikasi yang
digunakan oleh sekelompok orang atau masyarakat untuk mengidentifikasi
diri dan memiliki umpan balik ( feed back ) dari lawan bicara”.
Melihat beberapa pendapat di atas terdapat perbedaan definisi tentang
bahasa karena tergantung apa yang ingin ditekankan. Akan tetapi secara umum
bahasa adalah suatu sistem atau cara yang digunakan oleh sekelompok orang atau
masyarakat dalam menyampaikan ide, gagasan, pikiran, perasaan terhadap sesuatu
atau orang lain.
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal
36 “bahasa Negara ialah bahasa Indonesia”. Ia juga merupakan bahasa
persatuan bangsa Indonesia sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928 “Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku berbangsa satu, bangsa
Indonesia. Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku bertumpah darah satu,
tanah air Indonesia. Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung tinggi
bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.
4

2.2 Pengertian Bahasa Daerah


Sedangkan bahasa daerah adalah suatu bahasa yang dituturkan dalam suatu
wilayah dalam sebuah negara kebangsaan, baik itu pada suatu daerah kecil negara
bagian federal atau provinsi ataupun daerah yang lebih luas.
Dalam rumusan Piagam Eropa untuk Bahasa-Bahasa Regional atau
Minoritas "bahasa-bahasa daerah atau minoritas" adalah bahasa-bahasa yang:
1. Secara tradisional digunakan dalam wilayah suatu negara, oleh warga negara
dari negara tersebut, yang secara numerik membentuk kelompok yang lebih
kecil dari populasi lainnya di negara tersebut; dan
2. Berbeda dari bahasa resmi (atau bahasa-bahasa resmi) dari negara tersebut.
Indonesia sendiri memiliki 764 bahasa daerah. Bahasa daerah menjadi
identitas yang menandai keberadaan etnis-etnis yang ada di Indonesia. Karena
tidak mungkin mengidentifikasi adanya etnis tersebut tanpa bahasa etnis itu
sendiri. Bahasa daerah merupakan salah satu budaya Indonesia. Budaya tersebut
memang sebagai identitas dan kebanggaan suatu daerah dan juga penyatu rasa
sedaerah dan tentu bahasa daerah mempunyai kedudukan penting di daerah
masing-masing. Walaupun, penurunan pemakaian bahasa daerah disuatu daerah
biasanya disesalkan oleh pihak tertentu, tapi tak sedikit bahasa daerah yang mulai
musnah, padahal musnahnya bahasa daerah tersebut juga mengindikasikan
musnahnya pula suatu peradaban manusia di dunia ini.

2.3 Kedudukan dan Fungsi Bahasa Daerah


Bahasa daerah merupakan bahasa ibu yang harus dilestarikan disamping
bahasa nasional. Bahasa daerah memiliki kedudukan yang penting karena
memiliki fungsi. Fungsi bahasa daerah adalah sebagai berikut :
1) Mempunyai peranan yang berkelanjutan dari masa lalu sebagai warisan
leluhur kita.
2) Sebagai sumber khasanah dan sumber gagasan atau konsep untuk
memperkaya bahasa kesatuan nasional, yaitu bahasa Indonesia.
3) Sebagai penanda atau identitas kedaerahan karena salah satu unsur penanda
jati diri yang paling kelihatan adalah bahasa.
5

4) Fungsi komunikasi antara individu dengan individu lain dalam satu wilayah
yang sama.
5) Fungsi seremonial, dalam hal tertentu seperti upacara adat.
Berdasarkan sumber lain, bahasa daerah memiliki fungsi sebagai berikut :
 Bahasa daerah sebagai lambang identitas daerah.
 Bahasa daerah sebagai alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat
daerah.
 Bahasa daerah sebagai sarana pendukung kebudayaan daerah.
 Bahasa daerah sebagai pendukung bahasa dan sastra daerah.
Sedangkan melihat fungsi bahasa daerah dalam hubungannya dengan
bahasa nasional adalah sebagai berikut :
 Bahasa daerah sebagai pendukung bahasa nasional.
 Bahsa daerah sebagai bahasa pengantar pada tingkat permulaan sekolah dasar.
 Bahasa daerah sebagai sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa
Indonesia.
 Bahasa daerah sebagai pelengkap bahasa Indonesia di dala penyelenggaraan
pemerintah daerah.

2.4 Revitalisasi Bahasa Daerah dikalangan Generasi Muda.


Mengapa kita perlu memvitalkan kembali bahasa daerah di saat-saat
sekarang ini. Di tengah arus globalisasi yang mendunia ini, perlu secepatnya kita
berbenah diri sebelum terlambat. Dikarenakan kalau kita lambat dalam
menghadapinya, maka yang terjadi justru kita terbawa arus globalisasi tersebut.
Maka dari itu, dari sisi bahasa perlu kiranya kita menguatkan kembali peran dari
bahasa lokal atau bahasa daerah dalam menghadapi arus globalisasi tersebut.
Contoh nyata saja yang sekarang kita alami, yaitu begitu derasnya arus Bahasa
Inggris masuk ke dalam setiap sendi kehidupan kita. Sadar atau tidak sadar, setiap
yang kita lihat, dengar, rasakan, hampir sebagian besar berbahasa Inggris selain
juga bahasa yang lain – tetapi bahasa Inggrislah yang sekarang sedang menguasai
dunia. Mulai dari barang-barang yang kecil seperti pena, pensil, sandal, sampai ke
barang-barang yang besar seperti TV, Komputer, Mobil, dan lain-lain hampir
semuanya terpampang bahasa Inggris. Bahkan ada juga yang diproduksi oleh
6

pabrik Indonesia, tetapi menggunakan Bahasa Inggris baik di dalam kemasannya


ataupun dalam hal pemasarannya. Dilihat dari sisi pendidikan pun sama, hampir di
setiap sekolah terdapat pelajaran bahasa Inggrisnya, bahkan tingkatan TK-SD pun
sudah mengenal Bahasa Inggris. Lantas apakah bahasa daerah atau bahkan bahasa
nasional pun bisa berlaku demikian. Belum tentu. Kita bisa tengok di dalam
pendidikan kita, bahasa daerah hanya sebatas pelajaran muatan lokal yang kadang
merupakan pelajaran yang kurang disukai, kalah dengan pelajaran matematika,
IPA, atau Bahasa Indonesia. Bahkan mungkin juga dalam menerangkan pelajaran
muatan lokal tersebut menggunakan bahasa Indonesia. Apabila memang demikian,
perlu sekiranya kita rubah mulai dari sekarang.
Oleh karena itu, diperlukan usaha yang keras dari semua pihak dalam
memvitalkan kembali peran dari bahasa daerah sebagai bahasa asli daerah
setempat. Tanggung jawab ini tidak bisa hanya diserahkan begitu saja kepada
pemerintah lewat dewan bahasa atau apapun. Akan tetapi, semua pihak mulai dari
lingkungan keluarga sampai dengan lingkungan daerah setempat untuk bisa
mempertahankan kearifan lokal berupa bahasa daerah tersebut. Tentunya ini
hanya sebagian kecil saja usaha yang perlu dilakukan dalam memvitalkan kembali
peran bahasa daerah. Masih terbuka luas kesempatan dan cara yang lain agar
bahasa daerah bisa menjadi kekuatan bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi
daerah yang bersangkutan.

2.5 Peran Bahasa Daerah Didalam Persatuan Bangsa.


Persatuan bangsa Indonesia terbentuk bukan dari keseragaman, tetapi
terbentuk dari keanekaragaman. Semboyan Bhineka Tunggal Ika selalu melekat di
hati setiap warga negara Indonesia, karena dengan kebhinekaan inilah bangsa
Indonesia ada. Bhineka Tunggal Ika tidak hanya menyangkut suku-suku, ras-ras,
dan agama-agama saja, tetapi juga mencakup bahasa, karena pada hakekatnya
bahasa melekat pada diri manusia. Sementara manusia itu sendiri merupakan
pelaku kebudayaan.
Apa jadinya apabila bangsa Indonesia ini terbentuk dari keseragaman
budaya, adat-istiadat, agama, bahasa, dan keseragaman yang lain. Ada pendapat
menarik dari Cuellar (1996: 72) yang dikutip oleh Hidayat (2006: 40), yaitu setiap
7

usaha yang memaksakan keseragaman atas kebhinekaan ini merupakan tanda-


tanda awal kematian. Pernyataan ini memang terdengar ekstrim, tetapi bukannya
tanpa alasan, karena pada dasarnya Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda
satu sama lain. Maka, apa jadinya ketika dunia ini semuanya sama, tidak ada
perbedaan dan tentunya tidak ada warna warni kehidupan. Lebih lanjut dikatakan
bahwa khusus dalam hubungannya dengan keberagaman bahasa dikatakan bahwa
kebhinekaan bahasa (linguistic diversity) merupakan aset kemanusiaan yang tak
ternilai harganya, dan hilangnya sebuah bahasa merupakan pemiskinan
(impoverishment) akan sumber pengetahuan dan pikiran masyarakatnya.

2.6 Dampak Positif dan Negatif Penggunaan Bahasa Daerah Didalam


Bahasa Indonesia.
Berikut beberapa pengaruh atau dampak penggunaan bahasa daerah
terhadap bahasa Indonesia:
1. Dampak Positif
 Bahasa Indonesia memiliki banyak kosakata.
 Sebagai kekayaan budaya bangsa Indonesia.
 Sebagai identitas dan ciri khas dari suatu suku dan daerah.
 Menimbulkan keakraban dalam berkomunikasi.
2. Dampak Negatif
 Bahasa daerah yang satu sulit dipahami oleh daerah lain.
 Warga negara asing yang ingin belajar bahasa Indonesia menjadi kesulitan
karena terlalu banyak kosakata.
 Masyarakat menjadi kurang paham dalam menggunakan bahasa Indonesia
yang baku karena sudah terbiasa menggunakan bahasa daerah.
 Dapat menimbulkan kesalah pahaman. Pada bahasa-bahasa daerah di
Indonesia juga terdapat beberapa kata yang sama dalam tulisan dan
pelafalan tetapi memiliki makna yang berbeda, berikut beberapa
contohnya:
 Suwek dalam bahasa Sekayu (Sumsel) bermakna tidak ada Suwek
dalam bahasa Jawa bermakna sobek.
8

 Kenek dalam bahasa Batak bermakna kernet (pembantu sopir).


Kenek dalam bahasa Jawa bermakna kena.
Melalui beberapa contoh itu ternyata penggunaan bahasa daerah memiliki
tafsiran yang berbeda dengan bahasa lain. Jika hal tersebut digunakan dalam
situasi formal seperti seminar, lokakarya, simposium, proses belajar mengajar
yang pesertanya beragam daerahnya akan memiliki tafsiran makna yang beragam.
Oleh karena itu, penggunaan bahasa daerah haruslah pada waktu, tempat, situasi,
dan kondisi yang tepat.
Indonesia sangat kaya dengan bahasa daerah dan apalagi sastra daerah.
Kekayaan itu di satu sisi merupakan kebanggaan, di sisi lain menjadi tugas yang
tidak ringan, terutama apabila memikirkan bagaimana cara melindungi, menggali
manfaat, dan mempertahankan keberagamannya. Dalam Ethnoloque (2012)
disebutkan bahwa terdapat 726 bahasa di Indonesia. Sebagian masih akan
berkembang, tetapi tidak dapat diingkari bahwa sebagian besar bahasa itu akan
punah.
Menurut UNESCO, seperti yang tertuang dalam Atlas of the World’s
Language in Danger of Disappearing, di Indonesia terdapat lebih dari 640 bahasa
daerah (2001:40) yang di dalamnya terdapat kurang lebih 154 bahasa yang harus
diperhatikan, yaitu sekitar 139 bahasa terancam punah dan 15 bahasa yang benar-
benar telah mati. Bahasa yang terancam punah terdapat di Kalimantan (1 bahasa),
Maluku (22 bahasa), Papua Barat dan Kepulauan Halmahera (67 bahasa),
Sulawesi (36 bahasa), Sumatra (2 bahasa), serta Timor-Flores dan Bima-Sumbawa
(11 bahasa). Sementara itu, bahasa yang telah punah berada di Maluku (11
bahasa), Papua Barat dan Kepulauan Halmahera, Sulawesi, serta Sumatera
(masing-masing 1 bahasa).
Dalam keadaan itu, dapat dipastikan bahwa bahasa Indonesia dapat hidup
dan berkembang secara lebih baik. Tuntutan komunikasi di daerah urban serta
komunikasi di bidang politik, sosial, ekonomi, dan iptek di Indonesia memberi
peluang hidup yang lebih baik bagi bahasa Indonesia walaupun bahasa Indonesia
ini – sebagai bahasa nasional dan bahasa negara – hanya menempati peringkat
kedua dilihat dari nilai ekonominya. Dapat diduga, posisi paling tinggi ditempati
oleh bahasa asing, kedua bahasa Indonesia, dan terakhir adalah bahasa daerah.
9

Artinya, dengan bahasa Indonesia, kesempatan orang Indonesia untuk meraih


peluang ekonomi lebih besar daripada mereka yang hanya menguasai bahasa
daerah, meskipun masih lebih rendah dari peluang mereka yang menguasai bahasa
asing.
Hilangnya daya hidup bahasa daerah pada umumnya disebabkan oleh
pindahnya orang desa ke kota untuk mencari penghidupan yang dianggap lebih
layak dan perkawinan antaretnis yang banyak terjadi di Indonesia. Masyarakat
perkotaan, yang pada umumnya merupakan masyarakat multietnis atau
multilingual, memaksa seseorang harus meninggalkan bahasa etnisnya dan
menuju bahasa nasional. Cara itu dianggap lebih baik daripada harus bersikap
divergensi atau konvergensi dengan bahasa etnis yang lain. Bahasa Indonesia
merupakan bahasa kompromistis dalam sebuah perkawinan antaretnis. Pada
umumnya, bahasa etnis setiap orang tua akan ditinggalkan dan bahasa Indonesia
kemudian digunakan dalam keluarga itu karena bahasa itu dianggap sebagai
bahasa yang dapat menghubungkan mereka secara adil.
Urbanisasi dan perkawinan antaretnis tidak dapat dicegah, bahkan angka
urbanisasi dan perkawinan antaretnis cenderung meningkat. Dalam kondisi itu,
akankah kita diam saja menghadapi tersingkirnya bahasa daerah? Apa kebijakan
pemerintah untuk melindungi bahasa dan sastra daerah di Indonesia? Tulisan ini
akan membahas kebijakan pemerintah dalam melindungi bahasa dan sastra daerah,
termasuk apa yang sudah dilakukan dan apa yang telah digariskan dalam
peraturan perundang-undangan.

2.7 Bahasa Daerah dan Peraturan Perundang-Undangan


Pengaturan tentang bahasa daerah dalam peraturan perundang-undangan
bukanlah hal utama, kecuali dalam beberapa perda. Pengaturan penggunaan
bahasa daerah menjadi pelengkap pengaturan tentang bahasa Indonesia atau
bahasa negara. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional – termasuk Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 jo
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1989 yang menjadi cikal bakal Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 –
penggunaan bahasa daerah diatur sebagai pelengkap penggunaan bahasa
10

Indonesia yang diwajibkan dalam penyelenggaraan pendidikan nasional di


Indonesia. Bahasa daerah boleh digunakan pada tahap awal pendidikan untuk
menyampaikan pengetahuan dan keterampilan tertentu. Senada dengan itu, bahasa
asing dapat pula digunakan sebagai bahasa pengantar untuk mendukung
pemerolehan kemahiran berbahasa asing peserta didik. Baik bahasa daerah
maupun bahasa asing mempunyi fungsi pendukung bahasa Indonesia sebagai
bahasa pengantar utama dalam sistem pendidikan nasional.
Penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di kelas mejadi bukti
bahwa sesungguhnya Indonesia sudah sejak tahun 1950 telah menerapkan prinsip
EFA (education for all) yang dicetuskan oleh Unesco baru pada tahun 1990-an.
Penggunaan bahasa daerah sebagai pengantar dunia pendidikan merupakan upaya
menjangkau peserta didik yang belum mampu mengikuti pelajaran yang
disampaikan dalam bahasa Indonesia. Hal itu sekaligus juga menjadi bukti bahwa
Indonesia juga telah menerapkan program MLE (multilingual education) yaitu
program pendidikan yang memanfaatkan bahasa pertama sebagai bahasa
pengantar di peringkat awal untuk kemudian suatu saat – umumnya pada kelas III
atau IV – beralih ke bahasa nasional. Program MLE itu baru dikenalkan oleh
Unesco pada tahun 2000-an.
Pelindungan terhadap bahasa daerah didasarkan pada amanat Pasal 32
Ayat 2 UUD 1945, yang menyatakan bahwa negara menghormati dan memelihara
bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Dengan ayat itu, negara
memberi kesempatan dan keleluasaan kepada masyarakat untuk melestarikan dan
mengembangkan bahasanya sebagai bagian dari kebudayaannya masing-masing.
Selain itu, negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban
dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan
mengembangkan nilai-nilai budayanya. Kebebasan yang diberikan UUD 1945
bukan berarti kebebasan yang tanpa pembatasan karena hingga pada batas tertentu
pengembangan dan penggunaan bahasa daerah pasti akan berbenturan dengan
ketentuan lain. Untuk keperluan bernegara, kebebasan penggunaan bahasa daerah
yang diamanatkan itu akan terbentur dengan batas penggunaan bahasa negara.
Untuk keperluan hidup dan pergaulan sosial, keleluasaan penggunaan satu bahasa
daerah harus juga menghormati penggunaan bahasa daerah lain. Dengan kata lain,
11

keleluasaan penggunaan dan pengembangan bahasa daerah dalam banyak hal juga
tidak boleh melanggar norma “sosial” dan norma perundang-undangan yang ada.
Untuk menjamin hubungan harmonis masyarakat Indonesia atas
penggunaan bahasanya, Pasal 36C UUD 1945 mengamanatkan bahwa perihal
bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan harus diatur dalam
sebuah undang-undang. Amanat pasal itulah yang melahirkan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta
Lagu Kebangsaan. Khusus tentang bahasa negara, pengaturannya dituangkan
dalam Bab III, mulai Pasal 25 sampai dengan Pasal 45 dalam undang-undang
teresebut. Ibarat sisi mata uang, pengaturan tentang bahasa negara, tentu berkaitan
dengan pengaturan bahasa yang bukan bahasa negara, yang dalam hal itu berupa
bahasa daerah dan bahasa asing.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 yang disahkan berlakunya pada
tanggal 9 Juli 2009 mengatur empat subtansi pokok, yaitu bendera negara, bahasa
negara, lambang negara, dan lagu kebangsaan. Dalam undang-undang itu, bahasa
Indonesia dibatasi sebagai bahasa yang dinyatakan sebagai bahasa resmi negara
dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945 dan yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928
sebagai bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban
bangsa.
Bahasa daerah diberi batasan sebagai bahasa yang digunakan secara turun-
temurun oleh warga negara Indonesia di daerah di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sementara itu, bahasa asing diberi batasan sebagai bahasa di
Indonesia selain bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2009, baik bahasa daerah maupun bahasa asing, memegang
fungsi pendukung bagi bahasa Indonesia. Sebagai pendukung, bahasa daerah dan
bahasa asing dapat digunakan apabila fungsi bahasa Indonesia tidak dapat dijalan
secara efektif.
Dalam hal penggunaan, ditetapkan bahwa bahasa Indonesia wajib
digunakan dalam peraturan perundang-undangan; dokumen resmi negara; pidato
resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di
dalam atau di luar negeri; pengantar dalam pendidikan nasional; pelayanan
12

administrasi publik; nota kesepahaman atau perjanjian; forum resmi yang bersifat
nasional atau forum resmi yang bersifat internasional di Indonesia; komunikasi
resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta; laporan setiap lembaga atau
perseorangan kepada instansi pemerintahan; penulisan karya ilmiah dan publikasi
karya ilmiah di Indonesia; nama geografi di Indonesia; nama bangunan atau
gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan,
merek dagang, merek jasa, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang
didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia;
informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri
yang beredar di Indonesia; rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum,
spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum; dan informasi
melalui media massa. Dalam kelima belas ranah penggunaan itu, bahasa daerah
(dan/atau bahasa asing) dapat digunakan juga untuk mendukung fungsi bahasa
Indonesia hingga batas tertentu. Dalam hal layanan publik, misalnya, bahasa
daerah dan bahasa asing dapat menyertai penggunaan bahasa Indonesia dengan
tetap mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia. Pengutamaan itu dapat
diwujudkan dalam bentuk pola urutan, ukuran tulisan, atau kemenonjolan tulisan
itu.
Berkaitan dengan upaya pengembangan, pembinaan, dan pelindungan
bahasa, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 memberikan kewenangan dan
kewajiban penanganan bahasa dan sastra Indonesia kepada pemerintah pusat dan
memberikan kewenangan dan kewajiban penangan bahasa dan sastra daerah
kepada pemerintah daerah. Akan tetapi, dalam hal itu semua pemerintah pusat
diberi juga kewenangan merumuskan kebijakan nasional kebahasaan yang di
dalamnya juga memuat kebijakan tentang apa dan bagaimana pengembangan,
pembinaan, dan pelindungan bahasa daerah itu harus dilakukan. Pemerintah
daerah juga diberi kewajiban mendukung pengembangan, pembinaan, dan
pelindungan bahasa Indonesia. Sebaliknya, pemerintah pusat juga harus
memberikan dukungan, baik dukungan pendanaan maupun kepakaran, kepada
pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pengembangan, pembinaan, dan
pelindungan bahasa daerah.
13

2.8 Kebijakan Penanganan Bahasa Daerah


Sejak tahun 1970-an penanganan bahasa di Indonesia didasarkan pada -
Politik Bahasa Nasional dan Keputusan Kongres Bahasa Indonesia. Sejak tahun
2004, Politik Bahasa Nasional dan keputusan kongres itu lebih menjadi draf RUU
Kebahasaan yang akhirnya lahir dalam bentuk Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2009 pada tanggal 9 Juli 2009. Selanjutnya, sejak tahun 2009 itu, penanganan
bahasa di Indonesia, baik bahasa negara, bahasa daerah, maupun bahasa asing,
didasarkan pada undang-undang itu.
Berdasarkan Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2009, penanganan bahasa dan sastra daerah menjadi tanggung jawab pemerintah
daerah dan dalam pelaksanaan tanggung jawab itu, pemerintah daerah harus
berkoordinasi dengan pemerintah pusat sebagai pembuat kebijakan nasional
kebahasaan. Selain berupa pembagian tugas yang lebih terperinci, koordinasi itu
dapat juga berupa fasilitasi kepakaran dan dukungan sumber daya.
Penanganan terhadap bahasa dan sastra daerah diklasifikasikan ke dalam
tiga hal, yaitu pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra
daerah. Dalam pengembangan bahasa dilakukan upaya memodernkan bahasa
melalui pemerkayaan kosakata, pemantapan dan pembakuan sistem bahasa, dan
pengembangan laras bahasa. Dalam pembinaan bahasa dilakukan upaya
meningkatkan mutu penggunaan bahasa melalui pembelajaran bahasa serta
pemasyarakatan bahasa ke berbagai lapisan masyarakat. Selain itu, pembinaan
bahasa juga dimaksudkan untuk meningkatkan kedisiplinan, keteladanan, dan
sikap positif masyarakat terhadap bahasa itu. Sementara itu, upaya pelindungan
dilakukan dengan menjaga dan memelihara kelestarian bahasa melalui penelitian,
pengembangan, pembinaan, dan pengajarannya.
Upaya pengembangan, pembinaan, dan pelestarian bahasa dilakukan
terhadap objek bahasa dan sastra berdasarkan kondisi atau vitalitasnya. Pada tahun
2002 dan 2003, UNESCO dengan bantuan kelompok linguis internasional
menetapkan kerangka untuk menentukan vitalitas bahasa untuk membantu
pemerintah membuat kebijakan penanganan bahasa di negaranya. Kelompok itu
menetapkan sembilan kriteria untuk mengukur vitalitas bahasa. Kesembilan faktor
yang dijadikan kriteria vitalitas suatu bahasa adalah jumlah penutur, proporsi
14

penutur dalam populasi total, ketersediaan bahan ajar, respons bahasa terhadap
media baru, tipe dan kualitas dokumentasi, sikap bahasa dan kebijakan pemerintah
dan institusi, peralihan ranah penggunaan bahasa, sikap anggota komunitas
terhadap bahasanya, serta transmisi bahasa antargenerasi.
Berdasarkan kriteria itu, vitalitas bahasa digolongkan menjadi enam kelompok
(baca Salminen, 1999), yaitu
1) bahasa yang punah (extinct languages), bahasa tanpa penutur lagi;
2) bahasa hampir punah (nearly extinct languages), bahasa dengan sebanyak-
banyaknya sepuluh penutur yang semuanya generasi tua;
3) bahasa yang sangat terancam (seriously endangered languages), bahasa
dengan jumlah penutur yang masih banyak, tetapi anak-anak mereka sudah
tidak menggunakan bahasa itu;
4) bahasa terancam (endangered languages), bahasa dengan penutur anak-anak,
tetapi cenderung menurun;
5) bahasa yang potensial terancam (potentially endangered languages) bahasa
dengan banyak penutur anak-anak, tetapi bahasa itu tidak memiliki status
resmi atau yang prestisius;
6) bahasa yang tidak terancam (not endangered languages), bahasa yang
memiliki transmisi ke generasi baru yang sangat bagus.

Bahasa di Indonesia mempunyai jumlah penutur yang sangat beragam.


Vitalitas bahasa daerah di Indonesia menyebar dari status yang paling aman
hingga yang benar-benar punah. Di antara bahasa di Indonesia, terdapat tiga
bahasa yang penuturnya lebih dari 10 juta jiwa, yaitu bahasa Jawa (penuturnya
84,3 juta jiwa), bahasa Sunda (penuturnya 34 juta jiwa), dan bahasa Madura
(penuturnya 13,6 juta jiwa).
Penanganan bahasa daerah diklasifikan berdasarkan pengelompokkan
vitalitas bahasa tersebut. Pengembangan dan pembinaan dilakukan terhadap
bahasa masih dalam status tidak terancam (aman), yaitu bahasa yang digunakan
oleh penutur dari generasi muda sampai dengan generasi tua hampir terdapat
dalam semua ranah, dan terhadap bahasa yang mempunyai potensi terancam, yaitu
bahasa yang penutur anak-anaknya masih banyak, tetapi bahasa itu tidak memiliki
15

status resmi atau status yang prestisius. Bahasa dalam vitalitas kedua itu masih
dapat direvitaslisasi. Dengan pengembangan bahasa itu, kita akan mempunyai
korpus yang memadai untuk membahasakan apa saja, mempunyai akselerasi yang
bagus terhadap dunia pendidikan dan perkembangan iptek, serta dapat
mengantisipasi munculnya media baru. Pembinaan dilakukan agar bahasa itu
mempunyai transmisi antargenerasi yang baik, baik transmisi melalui dunia
pendidikan maupun transmisi melalu interaksi dalam ranah keluarga. Termasuk
dalam upaya pengembangan dan pelindungan adalah memantapkan status bahasa,
mengoptimalkan dokumentasi, serta menumbuhkan sikap positif penuturnya.
Pelindungan terhadap bahasa dilakukan sekurang-kurangnya dua tingkat,
yaitu tingkat dokumentasi dan tingkat revitalisasi. Pelindungan bahasa di tingkat
dokumentasi akan dilakukan pada bahasa yang sudah tidak ada harapan untuk
digunakan kembali oleh masyarakatnya. Bahasa yang dalam keadaan hampir
punah dan bahasa yang sangat teracam hanya dapat dilindungi dengan
mendukokumentasikan bahasa itu sebelum bahasa itu punah yang sebenarnya.
Dokumentasi itu penting untuk menyiapkan bahan kajian jika suatu saat
diperlukan.
Pelindungan terhadap bahasa yang masih digunakan oleh penutur dari
sebagian generasi muda dalam hampir semua ranah atau oleh semua generasi
muda dalam ranah keluarga dan agama serta kegiatan adat dilakukan revitalisasi
untuk pelestarian. Untuk revitalisasi itu, diperlukan tahap pendahuluan yang
meliputi pedokumentasian, pengkajian, dan penyusunan bahan revitalisasi, seperti
kamus, tata bahasa, dan bahan ajar. Untuk bahasa yang akan direvitalisasi, harus
disiapkan sistem ortografi yang memungkinkan bahasa itu diterima dalam media
baru.
16

III. PENUTUP

1.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat daiambil dari penulisan makalah ini antara lain :
1. Secara umum bahasa adalah suatu sistem atau cara yang digunakan oleh
sekelompok orang atau masyarakat dalam menyampaikan ide, gagasan,
pikiran, perasaan terhadap sesuatu atau orang lain, sedangkan bahasa
daerah adalah suatu bahasa yang dituturkan dalam suatu wilayah dalam
sebuah negara kebangsaan, baik itu pada suatu daerah kecil negara bagian
federal atau provinsi ataupun daerah yang lebih luas
2. Bahasa daerah merupakan bahasa ibu yang harus dilestarikan disamping
bahasa nasional karena bahasa daerah memiliki kedudukan yang penting.
Terkait globalisasi, kita harus sudah bersiap karena kalau kita lambat
dalam menghadapinya, maka yang terjadi justru kita terbawa arus
globalisasi tersebut, dari sisi bahasa perlu kiranya kita menguatkan
kembali peran dari bahasa lokal atau bahasa daerah dalam menghadapi
arus globalisasi tersebut.
3. Pengaturan tentang bahasa daerah dalam peraturan perundang-undangan
bukanlah hal utama, kecuali dalam beberapa perda. Penanganan bahasa
dan sastra daerah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah dan dalam
pelaksanaan tanggung jawab itu, pemerintah daerah harus berkoordinasi
dengan pemerintah pusat sebagai pembuat kebijakan nasional kebahasaan.

2.2. Penutup
Sebagai generasi muda, marilah kita tetap melestarikan bahasa daerah
yang kita miliki karena bahasa daerah ini merupakan salah satu aset keberagaman
bangsa ini. Bahasa-bahasa daerha yang kita miliki menunjukan kekayaan
kebudayaan negeri kita Indonesia tercinta. Kalua bukan kita siapa lagi ayang akan
menjaga dan melestarikannya, kita jangan hanya terlarut dalam globalisasi dunia
yang membawa berbagai macam kebudayaan termasuk bahasa. Jangan sampai
kita lebih menguasai dan mengelu-elukan bahasa asing, tetapi meninggalkan
bahasa kita sehingga bisa saja suatu saat nanti bahasa kita tersebut hilang/punah.
DAFTAR PUSTAKA

http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1343 diakses tanggal 11


januari 2014 pukul 15.10 WIB.

Hidayat, Asep Ahmad. 2006. Filsafat Bahasa Mengungkap Hakikat Bahasa,


Makna, dan Tanda. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Mustakim, membina kemampuan berbahasa, (Jakarta, PT.Gramedia Pustaka


Utama, 1994).

Rahardi Kunjana, Dimensi-dimensi Kebahasaan (Jakarta, PT.Gelora Aksara


Pratama, 2006)

http://rubrikbahasa.wordpress.com/dampak-positif-negatif dalam penggunaan


kosakata asing. diakses pada tanggal 10 Januari 2014 pukul 20.00 WIB.

Blogspot.com,(online),(http://dwiajisapto.blogspot.com/2011/02/26/pengaruh-
bahasa-daerah-Dan-bahasa-asing/html. Diakses 02 juni 2012)

Thalib, Ariyanti, 2012. kedudukan dan fungsi bahasa daerah.

Anda mungkin juga menyukai