Anda di halaman 1dari 128

Rumah Dharma - Hindu Indonesia

Rangkuman Sebuah Perjalanan Spiritual

Ditulis Oleh : I Nyoman Kurniawan

Ucapan terimakasih dan sujud hormat saya yang mendalam


kepada para Guru spiritual Agung, kepada para Ista Dewata
pengayom dan pelindung, serta kepada leluhur.

MENYATU DENGAN TARIAN KOSMIK ALAM SEMESTA

Rangkuman Sebuah Perjalanan Spiritual


Ditulis oleh : I Nyoman Kurniawan
Rahina Purnama Sasih Kalima, 14 November 2016
Rumah Dharma Hindu Indonesia

Om Swastiastu

Buku ini merupakan ringkasan dari puncak perjalanan spiritual penulis


selama jangka waktu 14 tahun [2002 2016] menapaki jalan spiritual
dharma. Suatu praktek spiritual jangka panjang, berlandaskan kepada
ajaran Tantra dan Upanishad, yang dipadukan dengan penggalian
kesadaran ke dalam diri. Suatu pengalaman langsung yang dituangkan ke
dalam buku sederhana ini sebagai ajaran dharma.
Semoga penulisan buku ini dapat menyempurnakan pelayanan
dharma penulis. Astungkara stata shanti lan rahayu sareng sami.

BAGIAN PERTAMA :
PENGETAHUAN DASAR

Bab 1

BRAHMAN
Tuhan Adalah Keberadaan Utuh Seluruh Semesta

Selama berabad-abad yang panjang terdapat sebagian dari manusia


yang memiliki keyakinan Tuhan sebagai suatu sosok, atau sebagai suatu
mahluk personal. Kemudian dari keyakinan tersebut, sebagian manusia di
dunia terbelah menjadi 2 [dua] kelompok besar.
== Kelompok pertama adalah para THEIS. Mereka meyakini Tuhan sebagai
suatu sosok, atau sebagai suatu mahluk personal, yang berdomisili di suatu
tempat diatas langit. Kita manusia harus menyembahnya, membujuknya
untuk memberikan kita bantuan, untuk memenuhi harapan dan keinginan
kita, untuk menyelamatkan kita, untuk memberikan kita kebahagiaan dan
kenyamanan di dunia ini maupun di dunia setelah kematian.
== Kelompok kedua adalah para ATHEIS, yang menolak gagasan dari para
theis. Mereka dapat melihat absurdnya gagasan dari para theis, kemudian
menjadi atheis. Para atheis tidak hanya menolak gagasan Tuhan sebagai
suatu mahluk personal, tapi mereka juga menolak Tuhan sebagai
pengalaman langsung.
Sesungguhnya sebagai suatu kenyataan semesta, Tuhan bukanlah
suatu sosok, atau suatu mahluk personal. Tapi Tuhan adalah keberadaan
kosmik. Tuhan adalah keberadaan semesta yang utuh dan menyeluruh.
Tuhan dapat diketahui melalui pengalaman langsung.

Keheningan atau Sanghyang Embang, adalah sebuah kata yang jauh


lebih baik untuk digunakan dibandingkan kata Tuhan. Karena dengan
menggunakan kata Tuhan kita mungkin akan mulai berimajinasi merasakan
adanya satu sosok.
Upanishad menyebut Tuhan sebagai BRAHMAN. Bahasa Sansekerta
yang berasal dari akar kata bri, yang berarti berkembang, meluas. Merujuk
kepada satu gerak dinamis keberadaan kosmik yang tunggal, satu gerak
dinamis kehidupan semesta yang tunggal, yang bermanifestasi dalam tidak
terhingga jumlahnya segala sesuatu, segala bentuk, segala wujud. Semua
mahluk, semua benda, segala bentuk keberadaan yang UTUH dan
menyeluruh adalah manifestasi dari Brahman.
Tantra Shiwa menyebut Tuhan sebagai SHIWA NATARAJA, atau tarian
kosmik Shiwa. Alam semesta, semua mahluk, semua benda, segala bentuk
keberadaan yang UTUH dan menyeluruh adalah Tuhan, adalah tarian
kosmik Shiwa.
Leluhur kita di Bali yang secara spiritual kental dengan ajaran Tantra,
menyebut Tuhan sebagai SANGHYANG EMBANG. Keheningan yang sakral.
Di puncak atau tingkat pelataran tertinggi dari Penataran Agung Pura
Besakih kita bisa melihat simboliknya yang agung sebagai ajaran rahasia
tentang Tuhan. Tepat sebelum pelataran puncak tertinggi, disana terdapat
dua palinggih rwa bhinneda, yaitu Palinggih Kiwa [kegelapan, keburukan,
kejahatan] dan Palinggih Tengen [cahaya, kesucian, kebaikan]. Keduanya
diletakkan sama sejajar. Sebuah simbolik, sebuah ajaran rahasia tentang
KEUTUHAN, bahwa kegelapan-cahaya, keburukan-kesucian, kejahatankebaikan, semuanya adalah manifestasi Tuhan. Pola dualitas baik-buruk,
salah-benar, suci-kotor, dst-nya, semua itu hanya ada dalam pikiran
manusia yang masih terkondisi, pikiran manusia yang belum tersentuh oleh
pencerahan Kesadaran Atma. Di tengah-tengahnya, di pelataran puncak
yang tertinggi, terdapat Palinggih Sanghyang Embang, Tuhan sebagai
keheningan yang sakral. Sebuah simbolik, sebuah ajaran rahasia bahwa
Tuhan adalah pengalaman langsung. Dalam puncak keheningan samadhi,

keutuhan dan pencerahan kesadaran Atma di dalam diri, di titik itulah kita
akan dapat mengetahui tentang Tuhan.
Hal ini juga tergambar jelas dari ritual orang Bali. Dimana dalam ritual
orang Bali, kita tidak hanya memberikan penghormatan dan persembahan
untuk para Ista Dewata dari alam-alam suci, tapi juga memberikan segehan
[makanan] untuk mahluk-mahluk dari alam bawah atau alam gelap. Tentu
saja hal itu bukan ritual menyembah setan. Sama sekali tidak. Tapi hal itu
merupakan tindakan belas kasih sempurna yang tidak terhingga. Memberi
penghormatan dan persembahan untuk para Ista Dewata dari alam-alam
suci adalah hal yang mudah, tapi dapat memberikan segehan [makanan]
untuk mahluk-mahluk dari alam bawah, hal itu hanya bisa dilakukan oleh
manusia dengan kesadaran yang terang bercahaya. Yang sudah tersadar
bahwa semua mahluk, semua benda, segala bentuk keberadaan yang UTUH
dan menyeluruh adalah manifestasi dari Tuhan.
Salah satu pendapat umum yang sangat absurd adalah, mengatakan
Tuhan menciptakan dunia dan Setan menciptakan dosa. Lalu
pertanyaannya, Siapakah yang menciptakan setan ? dan jawabannya,
Tentu saja Tuhan yang menciptakan setan. Setan menciptakan dosa dan
Tuhan menciptakan sang setan. Kemudian siapa yang berdosa sebenarnya,
setan atau Tuhan ? Tapi konsep dualistik selalu mengarah ke absurditas
seperti itu. Dalam ajaran Tantra dan Upanishad, tidak ada yang disebut
setan. Karena Tuhan dan setan bukan dua, tapi satu manunggal. Semua
segala sesuatu adalah satu kesatuan yang UTUH sebagai manifestasi Tuhan.
Ini adalah pengetahuan yang paling tepat dan terdalam.
Cara untuk dapat mengetahui rahasia tentang Tuhan, untuk dapat
mengetahui tentang kenyataan semesta, maka hal yang paling mendasar,
hal yang paling penting, adalah dengan mengetahui tentang intisari
terdalam dari diri kita sendiri. Pengalaman itu pertama kali harus terjadi di
dalam diri kita sendiri. Jika kita tidak dapat mengetahui kenyataan sejati diri
kita sendiri, jika kita tidak dapat mengenali intisari terdalam dari diri kita
sendiri, maka kita tidak akan pernah dapat mengenali kenyataan yang

lainnya. Hanya ketika kita dapat mengetahui kenyataan sejati diri kita
sendiri, ketika kita dapat mengetahui intisari terdalam dari diri kita sendiri,
maka disanalah secara alami kita seketika akan dapat mengetahui semua
kenyataan kosmik pada keseluruhan semesta.
Itulah sebabnya pokok utama pembahasan ajaran Tantra dan
Upanishad adalah tentang menemukan pencerahan Kesadaran Atma,
menemukan intisari terdalam dari diri kita sendiri. Menemukan Tuhan di
dalam diri. Karena disanalah terletak rahasia tentang kenyataan semesta
yang utuh dan menyeluruh.
Laksana samudera luas, dengan meminum seteguk air samudera kita
langsung dapat mengetahui rasa air samudera luas, kita tidak perlu
meminum seluruh air samudera. Laksana segentong madu, dengan
meminum sesendok madu kita langsung dapat mengetahui rasa manis
madu segentong, kita tidak perlu meminum seluruh isi segentong madu.
Kenyataan kosmik yang terdekat adalah diri kita sendiri. Dengan
mengetahui kenyataan sejati diri sendiri [bhuwana alit], disana kita akan
langsung dapat mengetahui kenyataan kosmik keseluruhan semesta
[bhuwana agung].
Manusia pada umumnya kesadarannya mirip seperti air di gelas yang
kotor. Tugas spiritual kita adalah mengendapkan semua kotoran di gelas
tersebut dengan cara melaksanakan praktek meditasi kesadaran, yang
disertai dengan melaksanakan berbagai praktek sadhana [praktek spiritual]
pendukungnya. Ketika kotorannya sudah mengendap, maka dengan
sendirinya air di gelas akan menjadi hening dan jernih. Sehingga semuanya
terlihat jelas. Inilah satu-satunya cara untuk mengetahui Tuhan.
Pada intisari terdalam diri kita, pada keheningan mendalam, kita akan
menemukan bahwa kenyataan sejati kita adalah ruang yang luas, kesejukan
yang abadi, keheningan, kebahagiaan sejati. Di titik itulah kita akan
mengetahui Tuhan. Tuhan adalah sebuah pengalaman langsung, yang
terjadi dalam keheningan dan pencerahan kesadaran Atma di dalam diri. Ini

tidak akan pernah dapat dipahami melalui kecerdasan intelektual dan


logika, tapi hanya dapat dialami sendiri sebagai pengalaman langsung.
Dalam keheningan dan pencerahan kesadaran Atma di dalam diri, kita
akan mengetahui Tuhan. Kita akan melihat cahaya dari keberadaan kosmik
yang utuh. Pepohonan, pegunungan, sungai, manusia, binatang, dan segala
sesuatu, segala keberadaan, diselimuti oleh pancaran energi yang halus.
Segala sesuatu, segala keberadaan, memancarkan energi kehidupan. Satu
gerak dinamis keberadaan kosmik yang tunggal dalam milyaran bentuk.
Satu kehidupan semesta yang tunggal bermanifestasi dalam milyaran
wujud. Ini bukanlah suatu gagasan, atau suatu intelektualitas, atau suatu
analisa logika, tapi hanya bisa disadari dan dialami sendiri sebagai suatu
PENGALAMAN LANGSUNG [pratyaksa pramana].
Entah kita sudah mengetahuinya melalui pengalaman langsung,
ataupun kita belum mengetahuinya sebagai pengalaman langsung, kita
semua selalu menjadi bagian dari Brahman, sebagai satu kesatuan yang
utuh. Di dalam diri kita adalah Tuhan. Atma tidak lain adalah Brahman.
Satu-satunya perbedaan adalah kita sudah dapat menyadarinya [ATMA
JNANA, mencapai pencerahan Kesadaran Atma], atau kita sama sekali tidak
menyadarinya [AVIDYA, ketidaktahuan].

Bab 2

PIKIRAN-PERASAAN YANG TERBELAH


Memahami Dasar Ajaran Tantra Dan Upanishad

Jika kita perhatikan di dunia ini, ada banyak sekali jumlahnya pemuka
agama, penceramah agama, Guru agama, intelektual terpelajar dalam
agama, dsb-nya, ada banyak sekali buku-buku agama, serta ada banyak
sekali media elektronik yang memberikan tuntunan moralitas yang baik,
ajaran agama, kesopanan, tata krama, etiket, hidup yang benar, hidup yang
beradab, dan sejenisnya. Akan tetapi kehidupan manusia tetaplah dipenuhi
kegelapan. Hampir sebagian besar manusia masih melakukan kejahatan,
masih korupsi, masih bertengkar satu sama lain, masih stress dan depresi,
masih selingkuh, dsb-nya.
Semua itu disebabkan karena adanya sebagian cara pendekatan
beragama yang kurang tepat selama jangka waktu yang panjang. Yaitu
banyak manusia tidak dapat membedakan antara berpengetahuan dan
mengetahui. Berpengetahuan berarti memiliki pengetahuan agama secara
intelek. Mengetahui berarti mengalami sendiri secara langsung. Keduanya
memiliki aspek yang sangat jauh berbeda.

CARA PENDEKATAN BERAGAMA YANG KURANG TEPAT


Pada umumnya, cara pendekatan beragama yang kebanyakan terjadi
di masyarakat hanya sebatas dengan pengetahuan secara intelek, serta
sifatnya sangat dualistik [salah-benar, buruk-baik, dsb-nya]. Dimana
pemuka agama, penceramah agama, Guru agama, intelektual terpelajar

dalam agama, dsb-nya, menjejali masyarakat dengan tumpukan ajaran


agama, kitab suci, pengetahuan dan filsafat, serta ceramah tentang
moralitas yang baik, sesuai ajaran agama, kesopanan, tata krama, etiket,
hidup yang benar, hidup yang beradab dan sejenisnya. Kalau kita tidak
melaksanakannya, maka mereka akan menghakimi dan mengintimidasi kita
dengan sebutan tidak bermoral, atau tidak punya etika kesopanan, atau
salah jalan, atau tidak normal. Yang lebih buruk lagi secara spiritual, adalah
mereka akan memberikan ancaman tentang hukuman Tuhan, ancaman
akan masuk neraka, ancaman akan menyebabkan kiamat, dsb-nya.
Semua hal-hal seperti itu akan membuat pikiran dan perasaan
manusia menjadi TERBELAH. Pikiran dan perasaan yang TERBELAH itu akan
membuat manusia menjalani kehidupan ganda. Kita mengatakan suatu hal
atau melakukan suatu hal, akan tetapi pikiran-perasan kita bergerak ke arah
yang berbeda. Hal itu secara alami akan membuat kita mengalami konflik
pertempuran di dalam diri secara berkelanjutan. Kita akan terus bertempur
dengan diri sendiri di dalam. Kita akan terus menyakiti diri kita sendiri. Kita
akan melukai diri kita sendiri. Yang dampaknya sangat buruk bagi
kejernihan dan keseimbangan pikiran-perasaan manusia.
Lebih dari itu, kita juga tidak diberikan tehniknya yang tepat dan
akurat, atau bahkan sama sekali tidak diberikan. Seperti misalnya kita
diberitahu jangan korupsi, atau jangan marah, dsb-nya. Tapi bagaimana
caranya ? Kita tidak diberikan caranya, kita tidak diberikan tehniknya, yang
tepat dan akurat. Kalaupun kita diberikan tehniknya, hal itu tidak banyak
membantu dan tidak berguna. Mengapa demikian ? Karena mereka juga
tidak tahu bagaimana tehniknya yang tepat dan akurat. Mereka juga tidak
mengalami perubahan kesadaran di dalam dirinya. Di dalam diri mereka
cengkeraman pikiran-perasaan pada kesadaran masih tetap kuat. Misalnya
di dalam diri mereka masih tetap gelisah, atau merasa tidak bahagia, atau
mementingkan diri sendiri, atau memendam hasrat duniawi, atau
memendam kemarahan, dsb-nya.

Jika boleh jujur, sesungguhnya semua ceramah agama itu tidak terlalu
banyak berguna. Semua tuntunan, dikte, pemaksaan dan intimidasi tentang
moralitas yang baik, ajaran agama, kesopanan, tata krama, etiket, hidup
yang benar, hidup yang beradab, dan sejenisnya itu, tidak terlalu banyak
berguna. Terutama jika kita tidak diberitahu tehnik dan caranya yang tepat
dan akurat, sekaligus diberikan tuntunan untuk mempraktekkannya, maka
itu semua tidak terlalu banyak berguna.
Menjejali manusia dengan tumpukan pengetahuan dan filsafat, serta
mendikte dan menekan manusia untuk menjalani kehidupan dengan
moralitas yang baik, sesuai ajaran agama, kesopanan, tata krama, etiket,
hidup yang benar, hidup yang beradab, dan sejenisnya, yang sifatnya
sangat dualistik [salah-benar, buruk-baik, dsb-nya], bukanlah sebuah solusi,
bukan suatu jalan keluar. Apalagi kemudian jika ditambah dengan
menghakimi dan mengintimidasi orang lain dengan sebutan tidak
bermoral, atau tidak punya etika kesopanan, atau salah jalan, atau tidak
normal, atau memberikan ancaman akan hukuman Tuhan, ancaman akan
masuk neraka, ancaman akan menyebabkan kiamat, dsb-nya. Itu secara
spiritual adalah sebuah kejahatan.
Tentu saja bahwa tuntunan untuk menjalani kehidupan dengan
moralitas yang baik, sesuai ajaran agama, kesopanan, tata krama, etiket,
hidup yang benar, hidup yang beradab, dan sejenisnya, bukanlah sesuatu
yang salah atau buruk. Hal itu berguna untuk menjaga dan melindungi
manusia dari melakukan perbuatan atau mengucapkan perkataan yang
menghasilkan akibat-akibat karma yang fatal dan sangat berbahaya. Yaitu
mencegah kita dari melakukan kesalahan berbahaya yang dapat
menjerumuskan kita menuju jurang kesengsaraan yang dalam, atau
menjerumuskan kita pada kelahiran yang rendah [terjerumus ke alam
bawah, atau menjadi binatang].
Tapi masalahnya kemudian, hal itu justru dapat semakin menguatkan
dualitas pikiran seperti salah-benar, buruk-baik, dsb-nya. Menimbulkan rasa
bersalah, menimbulkan konflik pikiran dan menimbulkan luka pada pikiran

kita. Membuat pikiran-perasaan kita terbelah. Membuat di dalam diri kita


menjadi gelisah, tegang, tidak bahagia, memendam hasrat duniawi, atau
memendam kemarahan.
Tantra dan Upanishad tidak mengajarkan kita untuk mengumbar
pikiran-perasaan negatif. Sama sekali tidak seperti itu. Tapi memahami
suatu kenyataan, bahwa pikiran-perasaan negatif adalah bagian utuh dari
diri kita sebagai manusia. Hal itu bagian dari diri kita. Jangan ditolak,
dilawan, atau berusaha dibuang. Terutama karena cara menekan,
mengendalikan, menolak, ataupun melawan kemunculan pikiran-perasaan
negatif tidak dapat membantu manusia. Pikiran-perasaan negatif masih
tetap ada. Cara menekan justru membuat cengkeraman pikiran-perasaan
negatif pada kesadaran menjadi semakin kuat.
Segala bentuk aturan dan larangan dengan alasan moralitas yang
baik, sesuai ajaran agama, kesopanan, tata krama, etiket, hidup yang benar,
hidup yang beradab, dan sejenisnya, justru akan membuat pikiran manusia
menjadi tenggelam lebih dalam ke dalam kekacauan pikiran. Pada
kenyataannya pikiran-perasaan negatif masih saja tetap ada, bahkan dalam
bentuk yang lebih beracun. Karena tidak saja cengkeramannya dalam
kesadaran menjadi semakin kuat, tapi juga sekaligus menimbulkan rasa
bersalah, menimbulkan konflik pikiran dan melukai pikiran kita sendiri.
Pikiran-perasaan negatif TIDAK BISA menghilang karena merupakan
realitas diri kita sebagai manusia. Hal ini adalah eksistensial. Tidak bisa
hilang hanya dengan cara menekan, mengendalikan, menolak, ataupun
melawannya. Hal ini hanya dapat kehilangan cengkeramannya pada
kesadaran jika kita melampauinya, melalui tehnik dan cara sadhana [praktek
spiritual] yang tepat dan akurat.
Memberikan masyarakat tehnik dan cara sadhana [praktek spiritual]
yang tepat dan akurat, kemudian mendorong mereka untuk tekun
mempraktekkannya, itu adalah satu-satunya cara untuk keluar dari
pengumbaran. Tidak ada cara lain yang pernah dapat membantu manusia.

SEKS SEBAGAI SUATU CONTOH STUDI KASUS


Kita bisa mengambil suatu contoh yang mudah saja, yaitu dalam
urusan seks. Kita bisa menilai kemajuan peradaban kesadaran suatu
kelompok masyarakat melalui penerimaan mereka dalam hal ketelanjangan
tubuh. Pertanda peradaban dan kesadaran suatu masyarakat RENDAH
adalah jika suatu masyarakat memiliki penerimaan tinggi dalam hal
ketelanjangan tubuh, tapi juga memiliki angka seks bebas, atau
perselingkuhan, atau pelecehan seksual yang tinggi. Tapi yang lebih buruk
lagi, pertanda peradaban dan kesadaran suatu masyarakat LEBIH RENDAH
lagi, adalah suatu masyarakat yang bersikap menolak ketelanjangan tubuh,
tapi memiliki angka seks bebas, atau perselingkuhan, atau pelecehan
seksual yang tinggi.
Semakin maju peradaban kesadaran suatu masyarakat, maka semakin
telanjanglah mereka [tidak menekan] dan sekaligus memiliki angka seks
bebas, atau perselingkuhan, atau pelecehan seksual yang semakin kecil
[tidak mengumbar]. Suatu kelompok masyarakat yang tidak menekan dan
sekaligus juga tidak mengumbar.
Membuka dan memperlihatkan ketelanjangan tubuh sama sekali
bukan mengumbar seks. Tapi orang-orang yang menekan seks selalu
berpikir bahwa ketelanjangan tubuh adalah pengumbaran seks, karena di
dalam lubuk pikiran mereka memendam hasrat yang sangat kuat terhadap
seks. Hal ini disebabkan karena mereka menekan seks, sehingga di lubuk
pikiran mereka menjadi amat sangat terobsesi dengan seks.
Terdapat dua ekstrim yang harus dihindari. Ekstrim yang satu adalah
mengumbar seks, seperti misalnya seks bebas, selingkuh, pelecehan
seksual, dsb-nya. Ekstrim yang lainnya adalah menekan seks, seperti
misalnya menutup rapat ketelanjangan tubuh, membagi tempat dimana
lawan jenis tidak boleh ada disana, berpuasa seks, dsb-nya.

Mengumbar seks adalah suatu tindakan bunuh diri secara spiritual.


Menekan seks adalah suatu tindakan bunuh diri secara spiritual yang lebih
fatal lagi. Karena semua cara untuk menekan seks justru akan membuat
manusia menjadi lebih dan lebih seksual. Apapun cara menekan yang
dicoba untuk dilakukan, seperti misalnya menutup rapat ketelanjangan
tubuh, membagi tempat dimana lawan jenis tidak boleh ada disana,
berpuasa seks, dsb-nya. Itu semua adalah cara menekan. Semua cara untuk
menekan seks justru akan menciptakan lebih dan lebih banyak lagi energi
seks, dan semakin banyak hayalan dan hasrat terpendam untuk
pengumbaran seks.
Lebih jauh lagi, obsesi terhadap seks memiliki keterkaitan yang kuat
dengan obsesi berlebihan terhadap uang, atau kekuasaan, atau prestise
[gengsi, kehormatan, kebanggaan]. Semua cara untuk menekan seks,
seperti menutup rapat ketelanjangan tubuh, membagi tempat dimana
lawan jenis tidak boleh ada disana, berpuasa seks, dsb-nya, akan membuat
manusia mengalami kekacauan pada energi seks mereka. Sebagai
akibatnya, seringkali terjadi energi seks mereka akan bergerak menuju
uang, atau kekuasaan, atau prestise. Mereka harus melepaskan energi seks
mereka disana, sehingga mereka akan menjadi orang yang gila uang, atau
gila kekuasaan, atau gila prestise.
Seharusnya sebagai jalan keluarnya, secara sosial beradalah di jalan
tengah, yaitu tidak menekan dan tidak juga mengumbar. Kemudian
dilanjutkan dengan belajar untuk melepaskan cengkeramannya dari
kesadaran, melalui tehnik dan cara praktek spiritual yang tepat dan akurat.

CARA PENDEKATAN BERAGAMA YANG TEPAT


Hampir semua sistem pendidikan agama yang ada di masyarakat, dari
artikel, buku, dharma wacana, ceramah agama, dsb-nya, termasuk juga di
sekolah-sekolah formal dari SD, SMP, SMA, sampai Universitas Agama,
hampir semuanya mengarahkan manusia untuk menjadi orang yang
BERPENGETAHUAN [memiliki pengetahuan agama secara intelek]. Bukan

menuntun masyarakat untuk menjadi orang yang MENGETAHUI, bukan


menuntun masyarakat untuk mengalami sendiri secara langsung.
Antara Guru dan murid [antara yang mengajar dan yang diajarkan,
antara yang memberikan ceramah agama dan yang diberikan ceramah
agama], yang terjadi adalah komunikasi. Suatu informasi yang ditransfer
dari Guru ke muridnya. Hanya informasi pengetahuan dan bukan
perubahan di dalam diri. Muridnya menjadi berpengetahuan, yaitu memiliki
pengetahuan secara intelek, tapi muridnya tidak mengetahui, tidak
mengalami perubahan kesadaran di dalam diri. Gurunya sendiri juga sama
saja tidak mengetahui dan tidak mengalami perubahan kesadaran di dalam
diri. Gurunya hanya mengulang cerita dan kata-kata dari Guru lain, tapi dia
sendiri tidak mengetahui.
Gurunya mungkin saja sangat terpelajar, atau berpendidikan sangat
tinggi, tapi secara spiritual hal itu tidak banyak nilainya. Informasi tidak
banyak nilainya, satu-satunya hal yang berharga adalah mengalami
perubahan kesadaran di dalam diri, sebagai langkah-langkah untuk
MENGETAHUI.
Orang yang masih berada dalam avidya [ketidaktahuan] cenderung
lebih mudah untuk mengalami perubahan kesadaran, karena satu-satunya
rantai belenggu mereka hanya cengkeraman pikiran-perasaan di dalam diri.
Tapi orang yang berpengetahuan memiliki rantai belenggu lain, yaitu dari
pengetahuan secara intelek itu sendiri. Semakin kita berpengetahuan, maka
semakin kecil kemungkinan kita dapat merasakan pengalaman langsung.
Terutama karena orang yang sebatas berpengetahuan, dualitas pikirannya
[salah-benar, baik-buruk, dsb-nya] cenderung mencengkeram sangat kuat.
Selain itu, berpengetahuan bisa sangat menjebak, bisa sangat
menipu. Menipu orang lain dan menipu diri kita sendiri. Dari perasaan
seolah-olah bahwa kita sudah mengetahui. Karena berpengetahuan dapat
memberikan suatu perasaan bahwa seolah-olah kita sudah mengetahui

[merasakan pengalaman langsung]. Ketika kita mengabaikan bahwa hal itu


hanya seolah-olah saja, disanalah kita akan masuk ke dalam jebakan.
Berpengetahuan juga dapat menimbulkan keterikatan. Karena untuk
menjadi orang yang berpengetahuan, kita perlu menghabiskan banyak
waktu dan tenaga untuk mengumpulkan pengetahuan agama, menganalisa
dan mengambil kesimpulan. Kita sudah menginvestasikan demikian banyak
waktu masa hidup kita. Tidak mungkin kita mau membuangnya begitu saja.
Itu seperti harta karun bagi kita. Jadi kita akan takut kehilangan itu, kita
akan melekat kuat padanya, kita akan berusaha melindunginya dengan
segala cara. Tentu saja kita sangat pintar melakukannya. Mengutip isi bukubuku suci, mengeksploitasinya, bermain-main dengan logika dan kata-kata.
Tapi semua pernyataan kita seperti burung beo saja, hanya mengulang
cerita dan kata-kata orang lain tanpa sama sekali MENGETAHUI. Dengan
melekat kepada pengetahuan, dengan berusaha melindungi pengetahuan,
kita justru menjadi melindungi avidya [ketidaktahuan] kita sendiri.
Tantra dan Upanishad sangat menekankan Pratyaksa Pramana atau
pengalaman langsung. Bukan untuk menjadi berpengetahuan [memiliki
pengetahuan secara intelek], karena hal itu tidak banyak nilainya, tapi kita
harus mengalami perubahan kesadaran di dalam diri, sebagai langkahlangkah untuk MENGETAHUI. Semua pengetahuan agama harus menjadi
pengalaman langsung yang benar-benar hidup di dalam diri kita sendiri.
Itulah satu-satunya hal yang berharga.
Ada perbedaan sangat besar terkait pendekatan beragama antara
orang BERPENGETAHUAN dengan orang yang MENGETAHUI.
Orang yang sebatas berpengetahuan akan mentransfer informasi
pengetahuan agama. Untuk kemudian mendikte orang lain harus begini
dan begitu, memaksa orang lain dengan cara membuat aturan ini dan itu,
serta mengintimidasi menyalahkan orang lain.

Orang yang mengetahui tidak akan pernah menggunakan cara-cara


dangkal seperti itu. Sebagaimana seorang Guru spiritual Agung yang
pernah mengatakan, jika seandainya semua anak di dunia diajarkan
meditasi sejak umur 8 [delapan] tahun, maka generasi berikutnya akan
menjadi generasi dengan hati yang baik dan kesadaran yang bercahaya.
Itulah pertanda orang yang mengetahui. Orang yang mengetahui
tidak akan mentransfer informasi pengetahuan agama dan filsafat secara
berlebihan. Tidak akan pernah mendikte orang lain harus begini dan begitu,
tidak akan pernah memaksa orang lain dengan cara membuat aturan dan
larangan harus begini atau harus begitu, serta tidak akan pernah
mengintimidasi menyalahkan orang lain. Karena itu semua akan membuat
pikiran-perasaan manusia terbelah, sekaligus tidak dapat memberikan jalan
keluar. Tapi mereka akan fokus untuk memberikan tehniknya, memberikan
caranya, yang tepat dan akurat, untuk menuntun terjadinya perubahan
kesadaran di dalam diri manusia.
Analoginya, seperti ada orang buta bertanya, apa itu cahaya ?. Maka
kemudian pemuka agama, penceramah agama, Guru agama, intelektual
terpelajar dalam agama, dsb-nya, orang-orang yang berpengetahuan, akan
mulai menjelaskan tentang cahaya. Jawaban yang mereka berikan adalah
suatu gagasan, suatu intelektualitas, suatu analisa logika, suatu
pengetahuan. Tapi selamanya orang buta yang malang itu tetap akan
berada dalam kegelapan, menjadi semakin bingung dan mengalami konflik
di dalam diri, sekaligus tidak pernah mengetahui apa itu cahaya.
Tantra dan Upanishad sama sekali tidak seperti itu. Tantra dan
Upanishad tidak menggunakan cara seperti itu. Jika ada seseorang
bertanya, apa itu cahaya ?, maka pertama-tama Tantra dan Upanishad
akan menyadari bahwa orang itu buta. Tantra dan Upanishad tidak akan
menjelaskan apa itu cahaya. Tapi apa yang akan dilakukan oleh Tantra dan
Upanishad adalah menyembuhkan kebutaan orang itu, membuatnya dapat
melihat. Dengan memberikan tehnik, memberikan cara, yang tepat dan
akurat, untuk sangat fokus menuntun praktek, sehingga terjadi perubahan

kesadaran di dalam dirinya. Ketika orang itu kesadarannya berubah, maka


secara alami jawabannya ada disana. Ketika orang buta itu sembuh dari
kebutaannya, maka secara alami dia akan mengetahui apa itu cahaya,
sebagai pratyaksa pramana atau PENGALAMAN LANGSUNG.
Tantra dan Upanishad sangat menekankan Pratyaksa Pramana atau
pengalaman langsung. Tidak dengan cara mengumpulkan pengetahuan,
tapi hanya bisa ditemukan melalui pertama [1] mendapatkan tehnik yang
tepat, kemudian, kedua [2] diikuti dengan KETEKUNAN kita untuk
melakukan praktek, praktek dan praktek. Hanya itu dan hanya itu. Itulah
jalan spiritual untuk MENGETAHUI, bukan untuk menjadi berpengetahuan.
Ibarat nektar semesta, mengapa meminjam cerita orang lain jika kita dapat
meminum langsung dari sumbernya ?
Hal itu jugalah tujuan dari buku ini. Sama dengan pemahaman Tantra
dan Upanishad, buku ini tidak bertujuan membuat Anda menjadi orang
yang berpengetahuan [memiliki pengetahuan secara intelek]. Buku ini tidak
bertujuan untuk mendikte, menekan dan memaksa Anda dengan berbagai
aturan dan larangan, tapi bertujuan untuk memberikan Anda rangkaian
tehnik dan cara yang tepat dan akurat.
Buku ini tidak bertujuan menjejali Anda tentang moralitas yang baik,
ajaran agama, kesopanan, tata krama, etiket, hidup yang benar, hidup yang
beradab, dan sejenisnya, yang sifatnya sangat dualistik [salah-benar, burukbaik, dsb-nya]. Tapi buku ini bertujuan untuk menuntun Anda mengalami
perubahan kesadaran di dalam diri, sebagai langkah-langkah untuk
mengetahui. Sehingga buku ini tidak akan mentransfer banyak informasi
pengetahuan secara berlebihan, tapi memberikan Anda tehnik, memberikan
Anda cara, yang memang tepat dan akurat, untuk menuntun terjadinya
perubahan kesadaran di dalam diri.

Bab 3

PENDEKATAN SPIRITUAL BENAR


Menemukan Cahaya Kesadaran Di Dalam Diri

Jantung dari ajaran Tantra dan Upanishad tidak mengajarkan


kehidupan dan pikiran manusia berada dalam pola dualitas baik-buruk,
benar-salah, suci-kotor, dst-nya. Karena segala sesuatu secara UTUH dan
menyeluruh adalah manifestasi dari Brahman. Semua fenomena adalah
tarian kosmik Shiwa [Shiwa Nataraja] yang sama. Dualitas buruk-baik, salahbenar, dsb-nya, hanya ada dalam pikiran manusia yang terkondisi.
Pendekatan Tantra dan Upanishad bukan dengan cara mendikte,
menekan, apalagi memaksa manusia untuk menjalani kehidupan dengan
moralitas yang baik, sesuai ajaran agama, kesopanan, tata krama, etiket,
hidup yang benar, hidup yang beradab, dan sejenisnya, yang bersifat
dualistik [salah-benar, buruk-baik, dsb-nya]. Itu bukanlah sebuah
pendekatan spiritual yang tepat. Karena cara pendekatan seperti itu akan
membuat pikiran-perasaan manusia terbelah, sekaligus tidak dapat
memberikan jalan keluar yang terbaik. Pendekatan spiritual seperti itu
datangnya dari pemuka agama, penceramah agama, Guru agama,
intelektual terpelajar dalam agama, dsb-nya, yang mempelajari ajaran
agama hanya sebatas intelek saja, sebatas berpengetahuan, bukan melalui
praktek yang mendalam.
Jantung dari ajaran Tantra dan Upanishad adalah untuk memberikan
tehnik, memberikan cara, yang tepat dan akurat, untuk sangat fokus
menuntun praktek, sehingga dapat terjadi perubahan kesadaran di dalam

diri manusia. Tehnik serta praktek Tantra dan Upanishad bergerak langsung
ke akar permasalahan siklus samsara ini, yaitu dualitas pikiran. Bergerak
langsung memotong akar dari cengkeraman kegelapan pikiran dan
perasaan pada kesadaran, yaitu dualitas pikiran.

DUA FAKTOR KENYATAAN HIDUP


Sebagai pokok utama dalam ajaran Tantra dan Upanishad, yang akan
dibahas di dalam buku ini sebagai bahan-bahan perenungan, adalah
keberadaan 2 [dua] faktor kehidupan, yaitu :
== [1]. Kenyataan keberadaan hukum semesta yaitu Hukum Karma.
Hukum karma adalah hukum sebab-akibat alam semesta. Hukum besi
yang berlaku mutlak di alam semesta ini. Hukum alam yang tidak bisa
dibendung.
Hukum karma ini tidak mengenal dualitas baik-buruk, salah-benar,
suci-kotor, dst-nya. Semua dualitas buruk-baik, salah-benar, dsb-nya, hanya
ada dalam pikiran manusia yang terkondisi. Hukum karma tidak mengenal
dualitas pikiran, hukum karma hanya mengenal sebab dan akibat. Yaitu
apapun perbuatan yang kita lakukan dan apapun perkataan yang kita
ucapkan, disebut sebagai SEBAB, secara pasti akan direspon balik oleh alam
semesta menjadi AKIBAT.
Jika kita menyakiti orang lain atau mahluk lain, maka kelak kita akan
mengalami pengalaman tersakiti. Jika kita membahagiakan orang lain atau
mahluk lain, maka kelak kita akan mengalami pengalaman bahagia. Sebab
dan akibat. Hanya itu saja, sebab dan akibat.
== [2]. Cara terbaik menjalani kehidupan adalah dengan Yoga Punya.
Yoga Punya secara literal berarti kebaikan yang kita peroleh sebagai
hasil dari ketekunan mempraktekkan meditasi.

Setiap manusia itu unik dan otentik. Setiap manusia memiliki caranya
tersendiri untuk menjalani kehidupan. Setiap manusia memiliki
kecenderungan, kebutuhan dan pertumbuhan spiritual yang berbeda-beda.
Dalam ajaran Tantra dan Upanishad, Yoga Punya memiliki arti menjalani
kehidupan berdasarkan tuntunan cahaya kesadaran di dalam diri.
Yoga Punya adalah kebijaksanaan yang berasal dari keheningan,
kejernihan dan cahaya kesadaran di dalam diri. Cara terbaik menjalani
kehidupan adalah dengan menemukan cahaya kesadaran di dalam diri.

KEUTUHAN : MENJADI DIRI SENDIRI YANG UNIK DAN


OTENTIK, BERDASARKAN TUNTUNAN CAHAYA KESADARAN
DI DALAM DIRI.
Dalam pendekatan ajaran Tantra dan Upanishad, cara mendikte dan
menekan manusia untuk menjalani kehidupan dengan moralitas yang baik,
sesuai ajaran agama, kesopanan, tata krama, etiket, hidup yang benar,
hidup yang beradab, dan sejenisnya, yang sifatnya dualistik [salah-benar,
buruk-baik, dsb-nya], bukanlah sebuah solusi, bukan suatu jalan keluar.
Apalagi menghakimi dan mengintimidasi orang lain dengan sebutan tidak
bermoral, atau tidak punya etika kesopanan, atau salah jalan, atau tidak
normal, itu sama sekali bukan sebuah solusi, bukan suatu jalan keluar. Tapi
sebaliknya, kedua hal tersebut justru merupakan masalah besar bagi
perjalanan spiritual manusia. Hal itu akan membuat pikiran dan perasaan
manusia TERBELAH, membuat manusia memiliki kehidupan dan
kepribadian ganda, sekaligus menjadi tembok tinggi dan tebal penghalang
bagi bangkitnya kesadaran. Padahal setiap manusia itu unik dan otentik.
Setiap manusia memiliki kecenderungan, kebutuhan dan arah pertumbuhan
spiritual yang berbeda-beda.
Ini tidak berarti Tantra dan Upanishad tidak peduli kepada moralitas.
Akan tetapi perlu dipahami secara mendalam, bahwa yang ditekankan
Tantra dan Upanishad adalah moralitas yang muncul secara alami dari

dalam diri dan bukan moralitas yang diperjuangkan atau dipaksakan. Yaitu
moralitas yang berasal dari tuntunan cahaya kesadaran yang jernih dan
menerangi di dalam diri.
Orang yang sering mengistirahatkan pikirannya [sering praktek
istirahat dari konflik pertempuran dualitas pikiran] melalui praktek meditasi
kesadaran dan meditasi keutuhan, akan memiliki ruang-ruang pikiran yang
lebar, akan memiliki pikiran yang hening, sehingga secara alami tidak lagi
tertarik melakukan hal-hal yang melanggar moralitas. Tidak seperti orang
biasa yang tidak terlatih meditasi, dia harus berjuang dengan cara menekan
atau memaksakan diri agar dapat memiliki moralitas. Yang cenderung akan
berujung kepada pikiran-perasaan yang terbelah.
Sehingga jalan keluarnya bukan dengan sebatas menjejali orang lain
dengan ceramah dan filsafat, apalagi dengan mendikte, menekan dan
mengintimidasi perilaku orang lain, dengan membuat berbagai aturan dan
larangan. Satu-satunya jalan keluar, satu-satunya cara yang tepat dan
akurat, adalah dengan memberikan tehnik, dengan memberikan cara, yang
tepat dan akurat. Yang dapat membantu manusia menghidupkan Yoga
Punya, menuntun manusia untuk menemukan tuntunan cahaya yang jernih
dan menerangi di dalam diri. Sehingga manusia dapat menjalani hidup
berdasarkan tuntunan cahaya di dalam diri.
Yoga Punya bukanlah kebijaksanaan dalam pengertian biasa. Secara
umum biasanya kita mendefinisikan antara berpengetahuan dan bijaksana.
Berpengetahuan berarti memiliki pengetahuan hanya secara intelek, yang
didapatkan dari belajar di sekolah, membaca buku, mendengarkan
ceramah, dsb-nya. Bijaksana berarti memiliki pengetahuan, yang berasal
dari pengetahuan secara intelek, yang dipadukan dengan pengetahuan dari
pengalaman dan perenungan pribadi. Sedangkan Yoga Punya adalah
kebijaksanaan mendalam yang berasal dari keheningan, kejernihan dan
cahaya kesadaran di dalam diri.

Setiap manusia itu unik dan otentik. Memiliki kecenderungan,


kebutuhan dan arah pertumbuhan spiritual yang berbeda-beda. Cahaya di
dalam diri yang jernih dan menerangi itulah yang akan menuntun kita
menjadi diri sendiri yang unik dan otentik. Menuntun kita untuk dapat
menjadi diri kita sendiri yang UTUH dan menyeluruh. Tidak akan ada lagi
pikiran-perasaan yang TERBELAH. Darisana kemudian kita akan dapat
menghidupkan sukacita mendalam dan kedamaian sejati di dalam diri.
Untuk kemudian menuntun kita menemukan intisari diri, titik pusat di
dalam diri, yang absolut, yang tidak berubah.
Jantung ajaran Tantra dan Upanishad adalah KEUTUHAN. Perhatikan
bahwa bukan KESUCIAN SEMPURNA, tapi KEUTUHAN. Karena segala
sesuatu secara UTUH dan menyeluruh adalah manifestasi dari Brahman.
Semua fenomena adalah tarian kosmik Shiwa [Shiwa Nataraja] yang sama.
=== Semua mahluk dari bakteri, semut, harimau, setan, wong samar,
memedi, hantu gentayangan, manusia, ashura, para Dewa-Dewi, dsb-nya,
semuanya adalah manifestasi dari Brahman yang sama, semuanya adalah
satu tarian kosmik Shiwa [Shiwa Nataraja] yang sama, sebagai satu
KEUTUHAN.
=== Semua kejadian dalam perjalanan kehidupan yang oleh pikiran
dianggap sebagai baik-buruk, benar-salah, sukses-gagal, dsb-nya,
semuanya adalah manifestasi dari Brahman yang sama, semuanya adalah
satu tarian kosmik Shiwa [Shiwa Nataraja] yang sama, sebagai satu
KEUTUHAN.
=== Semua jenis pikiran-perasaan di dalam diri seperti senang-sengsara,
bahagia-sedih, marah-damai, dsb-nya, semuanya adalah manifestasi dari
Brahman yang sama, semuanya adalah satu tarian kosmik Shiwa yang sama,
sebagai satu KEUTUHAN.
Dualitas kotor-suci, buruk-baik, salah-benar, dsb-nya, hanya ada
dalam pikiran manusia yang terkondisi. Keinginan untuk menjadi suci

sempurna, serta kecenderungan untuk menjadi perfeksionis, tidak saja pasti


akan gagal, tapi sekaligus juga dapat menjerumuskan manusia ke jurang
gangguan pikiran.
Kesadaran yang sempurna
bukanlah
keadaan lenyapnya
ketidaksempurnaan. Kesadaran yang sempurna adalah senyuman damai
dan penuh belas kasih yang sama, baik terhadap kesempurnaan maupun
terhadap ketidaksempurnaan, sebagai satu KEUTUHAN.
Dalam buku ini akan dipaparkan rangkaian panca sadhana [lima
praktek spiritual] yang tepat dan akurat, untuk menghidupkan tuntunan
cahaya di dalam diri. Sehingga kita dapat menjadi diri sendiri yang unik dan
otentik, diri sendiri yang UTUH dan menyeluruh. Yang akan menuntun kita
menemukan sukacita mendalam dan kedamaian sejati di dalam diri,
sekaligus membuat kita menyatu dengan tarian kosmik alam semesta. Yaitu
sebagai berikut :
== 1]. Tekun belajar menerima diri kita sendiri dan kehidupan kita seperti
apa adanya, secara UTUH dan menyeluruh.
== 2]. Tekun mempraktekkan meditasi kesadaran, yang dikombinasikan
dengan praktek meditasi keutuhan.
== 3]. Tekun mempraktekkan belas kasih kepada orang lain dan mahluk
lain.
== 4]. Mengekspresikan diri sesuai dengan panggilan alami di dalam diri
kita sendiri yang unik dan otentik, menjadi diri kita sendiri yang UTUH dan
menyeluruh, tanpa melibatkan pola dualitas pikiran seperti salah-benar,
buruk-baik, kotor-suci, berdosa-tidak berdosa, tidak sopan-sopan, dsb-nya,
dengan Yoga Punya [tuntunan cahaya di dalam diri] dan belas kasih
sebagai panduan penjaga-nya.
== 5]. Tekun menyatu dengan saat ini dalam keutuhan.

Untuk dapat menemukan keutuhan dan keheningan di dalam diri


yang sangat terang dan bercahaya, semua rangkaian panca sadhana [lima
praktek spiritual] ini harus kita praktekkan semuanya secara bersama-sama.
Tidak bisa dengan mempraktekkan hanya sebagian-nya saja, karena itu
tidak akan dapat berhasil.
Ketekunan kita untuk melaksanakan seluruh panca sadhana [lima
praktek spiritual] inilah yang akan dapat mengantarkan kita menemukan
KEUTUHAN, akan mengantarkan kita menjadi diri sendiri yang unik dan
otentik, berdasarkan tuntunan cahaya kesadaran di dalam diri. Akan
mengantarkan kita menyatu dengan tarian kosmik alam semesta.

BAGIAN KEDUA :
PANCA SADHANA

Bab 1

SADHANA 1
Menerima Diri Sendiri Dan Kehidupan Dalam Keutuhan

Pintu masuk untuk dapat melaksanakan praktek meditasi kesadaran


yang mendalam dan praktek belas kasih yang mendalam, adalah dengan
ketekunan kita untuk belajar menerima diri kita sendiri dan kehidupan kita
seperti apa adanya. Menerimanya secara utuh dan menyeluruh.
Menerimanya dalam KEUTUHAN.
Praktek meditasi dan praktek belas kasih akan sulit jika di dalam diri
kita masih penuh konflik pertempuran, yaitu dalam bentuk penolakan akan
diri kita sendiri dan kehidupan kita. Praktek meditasi dan praktek belas
kasih akan mudah jika di dalam diri kita konflik pertempuran sudah jauh
mereda, dalam bentuk kita dapat menerima diri kita sendiri dan kehidupan
kita seperti apa adanya.

[1]. AKAR DARI KEGELISAHAN PIKIRAN MANUSIA.


Kebanyakan manusia tidak menyadari, bahwa kenyataan sejati
manusia adalah pencerahan Kesadaran Atma yang hening, jernih dan
damai. Ini berarti bahwa, sejak awal yang tidak berawal, kenyataan sejati diri
kita adalah keheningan, kejernihan dan kedamaian berlimpah yang abadi.
Tapi kebanyakan manusia tidak menyadarinya, tapi malahan di dalam
dirinya mengalami kegelisahan.

Coba kita perhatikan di dunia ini, kita akan melihat ada banyak wajah
manusia yang di dalam dirinya mengalami kegelisahan. Di rumah dia
merasa tidak bahagia, di tempat kerja dia marah-marah, di tempat ini dia
bertengkar, di tempat itu dia merasa bosan, dsb-nya. Tidak puas, tidak
pernah bersyukur, banyak protes, banyak bertengkar, selalu bersaing, selalu
membandingkan, adalah sebagian contoh lain dalam hal ini. Sering mimpi
buruk, sering dihantui kenangan buruk, sering dikejar rasa bersalah, cemas
menghadapi masa depan, adalah sebagian contoh lainnya lagi. Pada
sebagian orang kegelisahan itu bahkan sudah menumpuk selama
bertahun-tahun.
Sebagian manusia bahkan terjatuh ke jurang berbahaya lautan
masalah. Misalnya dalam beberapa contoh sebagai berikut :
== Tidak bahagia di rumah adalah sebuah masalah, mabuk-mabukan,
dugem, atau memakai narkoba adalah masalah baru lebih berat yang
ditambahkan di sana.
== Tidak puas kepada pasangan hidup adalah sebuah masalah, selingkuh
adalah menambah jumlah masalah yang sudah banyak.
== Merasa kurang secara ekonomi adalah sebuah masalah, korupsi dan
kemudian masuk penjara adalah masalah baru yang lebih gelap sebagai
akibatnya.
Akar dari segala akar penyebab manusia jatuh ke jurang berbahaya
lautan masalah disebabkan oleh 3 [tiga] kegagalan sebagai berikut :
== [1]. Kegagalan untuk memahami secara mendalam bahwa mengalami
kebahagiaan dan kesedihan, mengalami kesenangan dan kesengsaraan,
mengalami kesuksesan dan kegagalan, mengalami keberuntungan dan
kesialan, mendapatkan pujian dan penghinaan, memiliki kelebihan dan
kekurangan, dsb-nya, merupakan satu kesatuan yang UTUH dan
menyeluruh dari kehidupan ini.

== [2]. Kegagalan untuk memahami hukum karma dan siklus samsara,


bahwa setiap manusia memiliki berkah-berkah kehidupannya masingmasing yang berbeda dari orang lainnya. Tidak semua orang diberkahi
untuk menjadi kaya, tidak semua orang diberkahi terlahir di keluarga
harmonis, tidak semua orang diberkahi untuk menjadi sukses atau terkenal,
tidak semua orang diberkahi untuk memiliki pasangan hidup yang baik,
dst-nya.
== [3]. Sekaligus pada saat yang sama, gagal untuk menerima dengan
penuh kerelaan dan tersenyum pada apapun berkah kehidupan disaat ini.
Disebabkan serangkaian kegagalan tersebut, manusia mengalami
kebingungan, keresahan dan kegelisahan di dalam dirinya. Kemudian
memaksa agar hidup hanya berisi kesenangan saja, memaksa agar dalam
hidup hanya ada kebahagiaan saja, memaksa agar dalam hidup kesuksesan
terus-menerus datang, memaksa agar pujian dan penghormatan orang lain
bertahan untuk selamanya, memaksa agar diri kita hanya memiliki
kelebihan saja, atau selalu lebih dan lebih dari orang lain, dsb-nya. Sebagai
akibatnya, tidak saja keresahan dan kegelisahan di dalam dirinya terus
semakin membesar, tapi sebagian manusia bahkan terjatuh ke jurang
berbahaya lautan masalah.
Agar praktek meditasi dan praktek belas kasih lebih mudah dan
sekaligus mendalam, belajarlah menghentikan penolakan akan diri, serta
belajarlah untuk menerima dengan penuh kerelaan dan tersenyum pada
apapun berkah kehidupan kita.
Ketika kita dapat menerima diri kita sendiri apa adanya, ketika kita
dapat berhenti bersaing dengan orang lain, ketika kita dapat berhenti
menginginkan pengakuan dari orang lain, disana kita mulai terbebas dari
beban berat yang tidak perlu di dalam diri. Sehingga kemudian, pikiranperasaan kita di dalam menjadi ringan dan nyaman. Sekaligus membuka
pintu menuju penemuan sukacita dan kedamaian sejati di dalam diri.

[2]. LANGKAH AWAL PENERIMAAN DIRI : MENERIMA SEMUA


KEKURANGAN DALAM HIDUP DAN BELAJAR BERSYUKUR.
Salah satu sebab penting mengapa kita mengalami konflik
pertempuran dualitas pikiran dan mengapa pikiran-perasaan kita jauh dari
kedamaian, adalah karena adanya ketidakpuasan. Kita tidak puas dengan
kekayaan materi yang kita miliki, kita tidak puas dengan tubuh fisik kita, kita
tidak puas dengan pasangan, kita tidak puas dengan anak-anak, kita tidak
puas dengan pemerintah, dsb-nya.
Kita tidak pernah merasa puas dan terus menerus mengejar
keinginan-keinginan kita. Penyebabnya adalah karena kita melakukan
penolakan terhadap kenyataan hidup yang kita terima sesuai garis karma
kita masing-masing, serta karena kebiasaan kita untuk melakukan
pembandingan-pembandingan.
Selalu ada saja bagian-bagian kehidupan yang kita tolak. Ada yang
menolak keadaan ekonomi, ada yang menolak tubuh fisik, ada yang
menolak kekurangan pasangan, ada yang menolak mertua yang sentimen,
ada yang menolak jatuh sakit, dsb-nya. Semakin keras kita melakukan
penolakan maka semakin sakitlah perasaan kita, semakin membuat kita
merasa tertekan, sekaligus membuat hubungan kita dengan orang lain
menjadi memanas.
Kita selalu menyangka bahwa kebahagiaan bisa ditemukan dengan
mendapatkan apa-apa yang belum kita dapatkan. Artinya kebanyakan
manusia selalu menunggu sesuatu agar bisa bahagia. Ada yang menunggu
punya HP baru, ada yang menunggu punya deposito berlimpah di bank,
ada yang menunggu punya jabatan tinggi, ada yang menunggu anak lulus
sekolah, ada yang menunggu disayang mertua, dsb-nya. Sayangnya
sebagian lebih manusia yang menunggu itu tidak pernah bertemu dengan
kebahagiaan yang ditunggu. Baik karena keinginan kita terus bertambah
meningkat, atau karena situasi keadaan yang selalu berubah, serta karena
kebahagiaan jenis ini sifatnya sangat pendek dan sementara.

Selain itu, kita cenderung memiliki kebiasaan untuk selalu melakukan


pembandingan-pembandingan. Kita sulit merasa bersyukur karena kita
selalu membandingkan berkah kehidupan kita, dengan yang lebih tinggi
atau yang lebih baik.
Berhentilah membandingkan. Karena tidak pernah ada kehidupan
manusia yang serba sempurna, aman, nyaman, serta bebas dari masalah.
Semua manusia memiliki masalah, kekurangan dan ketidaknyamanan
dalam hidupnya. Terlalu banyak mengeluh atau protes tidak saja tidak
dapat menyelesaikan masalah, tapi justru malah membuat perjalanan hidup
kita menjadi semakin berat dan rumit, serta sekaligus membuat kesadaran
di dalam diri menjadi gelap.
Sesungguhnya, setiap kerumitan hidup yang kita alami saat ini,
merupakan hasil dari kerumitan-kerumitan diri kita sendiri di masa lalu.
Sehingga sebelum satu kerumitan terus berkembang-biak menjadi
kerumitan-kerumitan yang lain, secepatnya kita belajar menyederhanakan
kehidupan dengan cara banyak bersyukur. Cara agar kita dapat selalu
bersyukur adalah dengan terus konsentrasi melihat sisi-sisi berkah dari
semua kejadian.
Merasa bosan dan lelah menasihati anak kita yang nakal,
bersyukurlah karena kita punya anak yang mewarnai hidup kita. Mendengar
isteri ngomel dengan cerewet di rumah, bersyukurlah karena kita punya
isteri. Mendengar suami tidur mendengkur keras di sebelah, bersyukurlah
karena kita punya suami. Merasa lelah setiap sore sepulang kerja,
bersyukurlah karena kita punya pekerjaan. Membersihkan halaman rumah
dan mengepel lantai yang kotor, bersyukurlah karena kita punya tempat
tinggal untuk berteduh dari panas dan hujan. Mencuci dan menyetrika
tumpukan baju, bersyukurlah karena kita memiliki pakaian.
Melatih diri untuk menerima kehidupan dan bersyukur adalah sebuah
jalan yang cepat menghadirkan kekuatan kedamaian di dalam diri. Seperti

apapun perjalanan hidup kita, seperti apapun bentuk tubuh fisik kita,
sekurang apapun pasangan kita, sesederhana apapun kekayaan materi
yang kita miliki, seterbatas apapun pendidikan kita, dsb-nya, belajarlah
untuk selalu melihat sisi-sisi berkahnya dan bersyukur.
Sedikit yang menyadari bahwa ada berkah yang indah di balik setiap
kekurangan dan masalah. Berkah kekurangan-kekurangan yang kita miliki
merupakan pembimbing sepanjang perjalanan hidup agar kita jauh dari
kesombongan. Berkah pasangan hidup yang cerewet atau pemarah, dia
terus mengajarkan kita untuk menjadi sabar. Berkah tubuh fisik yang tidak
menarik, godaan-godaan selingkuh tidak ada. Berkah ketika mengalami
kesedihan adalah undangan untuk menggali semakin dalam dan semakin
dalam tentang tujuan hidup dan kenyataan diri kita yang sesungguhnya.
Dengan kecerdasan dalam memandang, kita akan menjadi mudah untuk
bersyukur.
Tanpa rasa syukur, tidak ada satupun jalan yang bisa membimbing
kita menuju kedamaian mendalam. Kedamaian di dalam diri merupakan
hasil dari ketekunan untuk selalu bersyukur. Siapa saja yang tekun melatih
diri sendiri untuk memiliki rasa syukur yang mendalam, suatu hari
ketakutan dan keraguan di dalam diri akan menurun, serta pada saat yang
sama kesadaran di dalam diri mulai memancar terang cahayanya.
Menerima kehidupan dan bersyukur disini bukanlah menerima
kehidupan dan bersyukur yang pasif tidak melakukan apa-apa, karena itu
namanya malas. Melainkan menjalani hidup dengan aktif, dengan rasa
syukur yang mendalam. Artinya lakukanlah segala upaya untuk yang terbaik
dalam hidup kita, tapi apapun hasilnya bersyukurlah pada setiap berkah
kehidupan kita, seperti pasangan hidup, anak-anak, pekerjaan, keadaan
ekonomi, dsb-nya.
Apapun boleh terjadi dalam kehidupan kita, bahkan termasuk jika
segala apa yang terjadi jauh dari keinginan kita, tapi jangan pernah
mengeluh, protes, atau melawan. Terutama karena dengan mengeluh,

protes, atau melawan, kita tidak saja akan membuat kehidupan kita menjadi
lebih gelap dan rumit, tapi juga sekaligus membuat kesadaran kita semakin
jauh dari pusat kedamaian di dalam diri.
Tekunlah melatih diri sendiri menjadi manusia dengan rasa syukur
yang mendalam. Bersyukur tidak saja menjernihkan kesadaran di dalam diri,
tapi juga menyebarkan getaran energi kedamaian ke orang lain. Lebih
dalam dari itu, apa saja yang kita pandang dengan mata bersyukur dia akan
memancarkan cahaya. Rumah yang sering kita pandang dengan rasa
syukur, sebagai hasilnya rumah akan lebih bercahaya. Demikian juga
dengan anak-anak, pasangan hidup, dsb-nya.

[3]. BERHENTI MENILAI, MENGUKUR, MEMBANDINGKAN.


Tanpa disadari, lingkungan ataupun diri kita sendiri, sering
menggoda, mendorong, menekan, atau mengintimidasi kita untuk hidup
penuh persaingan. Harus lebih baik dari orang lain, ingin lebih hebat dari
orang lain, tidak boleh lebih rendah dari orang lain, harus lebih benar dari
orang lain, ingin lebih suci dari orang lain, ingin lebih banyak uang dari
keadaan saat ini, ingin lebih banyak dipuji dari keadaan saat ini, dst-nya.
Yang membuat ego [ahamkara, ke-aku-an] dan harga diri kita naik. Ego dan
harga diri yang meninggi inilah yang selalu menjadi sumber banyak konflik.
Baik konflik secara internal di dalam diri sendiri maupun konflik dengan
orang lain.
Akar dari melakukan kekerasan pada orang lain adalah melakukan
kekerasan pada diri sendiri. Penolakan diri adalah sebentuk kekerasan
berbahaya yang kita lakukan kepada diri kita sendiri. Semakin keras kita
menolak diri kita sendiri dan kehidupan kita, maka semakin keras juga
kekacauan pikiran dan rasa sakit di dalam diri kita. Yang akan berujung
kepada melakukan kekerasan kepada orang lain. Jika dapat berhenti
melakukan kekerasan pada diri sendiri, maka secara alami akan berhenti
juga kita melakukan kekerasan kepada orang lain. Sehingga berbaik-hatilah
kepada diri kita sendiri dengan cara menerima diri kita sendiri dan

kehidupan kita seperti apa adanya, termasuk berbaik hati pada masa lalu
yang suram, berbaik hati pada kekurangan dan ketidaksempurnaan kita,
serta berbaik hati pada keadaan kehidupan kita.
Orang yang di dalam dirinya gelap, selalu disebabkan karena terlalu
banyak menolak dan melawan terhadap kehidupannya. Akar utama dari
penolakan adalah muncul dari pikiran manusia yang suka menilai,
mengukur, membanding-bandingkan dan menghakimi, dari pikiran
manusia yang belum tersentuh oleh pencerahan Kesadaran Atma. Sehingga
semua hal yang tidak sesuai keinginan dan pikirannya, dari pasangan hidup
yang tidak sesuai harapan, anak-anak yang nakal, orangtua yang cerewet,
kondisi ekonomi yang tidak cukup, mengalami kegagalan, mengalami
kesialan, dsb-nya, semuanya ditolak. Semakin banyak mereka mencoba
menolak kegelapan, semakin gelap dirinya di dalam.
Pembandingan, persaingan, atau menginginkan pengakuan, adalah
cara hidup manusia yang pikirannya gelisah. Hanya masalah waktu kelak
dia akan merasa asing dengan dirinya sendiri dan kehidupannya.
Selama kita masih mengukur dan membanding-bandingkan diri kita
sendiri dengan orang lain, selama kita masih menilai dan menghakimi diri
kita sendiri kurang begini atau kurang begitu, serta selama kita masih
bersaing dengan orang lain, selama itu juga kita akan terus diganggu oleh
kemunculan pikiran-pikiran negatif. Kemudian hanya masalah waktu pikiran
dan kehidupan kita akan dibuat menjadi kacau.
Demi untuk kejernihan di dalam diri, kita jangan pernah
membandingkan diri kita sendiri [dalam bentuk apapun] dengan orang lain,
jangan pernah membandingkan garis karma kita sendiri dengan garis
karma orang lain. Karena hal itu adalah sebentuk kekerasan berbahaya
yang kita lakukan pada diri sendiri. Hal itu akan membuat kita mengalami
konflik di dalam diri secara berkelanjutan. Kita akan terus bertempur
dengan diri sendiri di dalam. Kita akan terus menyakiti diri sendiri. Untuk

kemudian hanya masalah waktu kemudian akan membuat kita berkonflik


dengan orang lain.
Hanya dengan penerimaan mendalam pada diri sendiri yang akan
membuat kita mulai dapat memancarkan cahaya kesadaran di dalam diri.
Sehingga, tekunlah untuk menghentikan penolakan akan diri. Dengan cara
menerima tubuh kita seperti apa adanya, menerima garis karma kita seperti
apa adanya, menerima perjalanan hidup kita seperti apa adanya, menerima
keluarga kita seperti apa adanya, menerima pencapaian kita seperti apa
adanya, menerima perasaan apapun yang muncul di dalam diri kita seperti
apa adanya, dst-nya. Tanpa mengukur dan membanding-bandingkan diri
kita sendiri dengan orang lain, tanpa menilai dan menghakimi diri kita
sendiri kurang begini atau kurang begitu.
Membandingkan diri dengan orang lain, atau berusaha meniru orang
lain, atau bersaing dengan orang lain, adalah sebuah tindakan
menghancurkan diri sendiri. Terutama karena setiap manusia itu unik dan
otentik, serta setiap manusia itu memiliki garis jalannya masing-masing.
Peniruan dan persaingan akan membuat kita bernasib seperti pohon
kamboja yang ditanam di tengah kolam. Persoalan waktu pohon kamboja
itu akan membusuk. Tentu saja boleh belajar dari orang lain atau meniru
orang lain. Tapi suatu saat ada waktunya bagi kita untuk kembali menjadi
diri kita sendiri yang unik dan otentik, serta menerima garis kehidupan kita
seperti apa adanya. Hal itu sangat menjernikan dan mendamaikan diri kita
di dalam.
Tekunlah belajar untuk menerima diri kita sendiri dan seluruh
kehidupan kita seperti apa adanya. Baik-buruk, sengsara-senang, gagalsukses, perasaan sedih-bahagia, pikiran buruk-baik kotor-suci, semuanya
bagian UTUH dan menyeluruh dari diri kita sendiri. Semuanya diterima
dengan tersenyum. Dapat menjadi diri kita sendiri yang unik dan otentik di
tengah lingkungan yang terus menggoda, mendorong, menekan, atau
mengintimidasi kita untuk menjadi orang lain, merupakan suatu
pencapaian spiritual. Kita dapat melihat sendiri kenyataannya, dimana-

mana terlihat orang yang terasing dengan dirinya sendiri dan hidupnya
sendiri. Selalu merasa resah, gelisah dan tidak bahagia.
Ketika kita dapat berdamai dengan diri kita sendiri, ketika kita dapat
berdamai dengan kehidupan kita, disana kita tidak saja mulai belajar
berdamai secara UTUH dengan keberadaan kita di dunia ini, tapi sekaligus
juga kita membangkitkan cahaya kesadaran di dalam diri.

[4]. BERBAIK HATI PADA KESALAHAN DAN MASA LALU


YANG GELAP.
Dalam kehidupan nyata, saya [penulis] seringkali bertemu orang yang
merasa dirinya kotor, hina, banyak dosa, atau dipenuhi rasa bersalah,
merasa dirinya manusia gagal, merasa dirinya manusia tidak berguna, dsbnya, sehingga merasa dirinya tidak pantas untuk melaksanakan sadhana
[praktek spiritual]. Padahal hal itu sama sekali tidak benar.
Hal itu akan semakin kuat jika secara sosial terdapat dikte dan
tekanan dari orang lain [orang tua, keluarga, tetangga, pemuka agama,
pendeta, masyarakat, orang yang memiliki kuasa, dsb-nya] tentang
moralitas yang baik, ajaran agama, kesopanan, tata krama, etiket, hidup
yang benar, hidup yang beradab, dan sejenisnya, yang sifatnya sangat
dualistik
[salah-benar,
buruk-baik,
dsb-nya].
Terutama
melalui
pengkondisian pikiran yang sudah berlangsung lama, bahwa jika sesorang
tidak mau melaksanakannya, maka mereka akan menghakimi dan
mengintimidasinya dengan sebutan tidak bermoral, atau tidak punya etika
kesopanan, atau salah jalan, atau tidak normal.
Inilah yang paling banyak berperan membentuk suatu kondisi pikiran
yang membuat banyak manusia merasa dirinya kotor, hina, banyak dosa,
atau dipenuhi rasa bersalah, merasa dirinya manusia gagal, merasa dirinya
manusia tidak berguna, dsb-nya. Pikiran terkondisi seperti itu akan
membuatnya mengalami konflik di dalam dirinya secara berkelanjutan. Dia

akan menyakiti dirinya sendiri. Hal ini merupakan halangan bagi meditasi
mendalam, bagi bangkitnya kembali Kesadaran Atma di dalam diri.
Hal seperti ini tidak akan terjadi jika orang tua, keluarga, tetangga,
pemuka agama, pendeta, masyarakat, orang yang memiliki kuasa, dsb-nya,
memberikan tuntunan tentang pagar-pagar perilaku bagi manusia dalam
kehidupan sehari-hari, diajarkan semata-mata hanya untuk menjaga dan
melindungi manusia dari melakukan perbuatan atau mengucapkan
perkataan yang menghasilkan akibat-akibat karma yang fatal dan sangat
berbahaya. Yaitu yang dapat menjerumuskan manusia ke jurang
kesengsaraan yang dalam, atau menjerumuskan manusia ke kelahiran yang
rendah [terjerumus ke alam bawah, atau menjadi binatang]. Serta semua itu
disampaikan tidak dalam kerangka dualitas pikiran seperti salah-benar,
buruk-baik, dsb-nya, tapi sebagai suatu PILIHAN BEBAS [Swatantra Katah],
serta sekaligus diberikan tehnik sadhana [praktek spiritual] yang tepat dan
akurat, sebagai jalan keluar.
Sebabnya mengapa hal ini terjadi karena orang lain [orang tua,
keluarga, tetangga, pemuka agama, pendeta, masyarakat, orang yang
memiliki kuasa, dsb-nya], mempelajari ajaran agama hanya sebatas di
tingkatan kecerdasan intelektual saja. Dimana seringkali terjadi, hal tersebut
justru semakin menguatkan dualitas pikiran seperti salah-benar, buruk-baik,
dsb-nya. Sehingga kemudian hal itu menjadi bahan bakar ego, yaitu
digunakan untuk membuat berbagai aturan dan larangan, serta digunakan
sebagai alasan untuk menghakimi orang lain sebagai tidak bermoral, atau
tidak punya etika kesopanan, atau salah jalan, atau tidak normal. Padahal
dalam spiritualitas, kecerdasan intelektual dan logika itu sifatnya masih
sempit, dangkal dan terbatas. Sehingga apa yang terjadi kemudian,
analoginya ibarat suasana di dalam kegelapan pekat, dimana orang yang
tidak dapat melihat dalam gelap mencoba menuntun orang lain dalam
kegelapan.
Sesungguhnya, perbedaan orang yang SUDAH mencapai pencerahan
Kesadaran Atma, dengan orang yang BELUM mencapai pencerahan

Kesadaran Atma, tidak terletak pada perbedaan kualitas kesucian mereka.


Kualitas keduanya sama, tidak ada perbedaan sama sekali. Karena
kenyataan sejati semua mahluk adalah Atma. Perbedaan kualitas hanya
muncul dari pikiran manusia yang suka menilai, mengukur, membandingbandingkan dan menghakimi.
Satu-satunya perbedaan kemudian adalah, orang yang sudah
mencapai pencerahan Kesadaran Atma dia SEPENUHNYA SADAR. Dia
menyadari kenyataan kosmik yang absolut, bahwa dirinya sendiri, semua
mahluk, alam semesta, seluruh keberadaan, adalah satu KEUTUHAN
tunggal. Dia menyadari satu gerak dinamis keberadaan kosmik yang
tunggal, satu gerak dinamis kehidupan semesta yang tunggal, yang
bermanifestasi dalam tidak terhingga jumlahnya segala sesuatu, segala
bentuk, segala wujud. Dirinya sendiri adalah seluruh keberadaan, seluruh
keberadaan adalah dirinya sendiri.
Banyak Guru spiritual Agung memiliki masa lalu yang gelap. Setiap
orang jahat memiliki potensi untuk bergerak menuju cahaya kesadaran
yang terang. Sehingga jangan pernah menghakimi diri kita sendiri
berdasarkan masa lalu. Karena perjalanan kehidupan kita tidak bergerak
menuju masa lalu.
Seringkali terjadi, bahkan orang baikpun juga bisa mengambil
keputusan yang salah dan buruk. Tapi itu tidak berarti mereka munafik atau
jahat. Sekali lagi tidak. Karena jangankan orang biasa seperti kita, bahkan
orang-orang suci-pun juga memerlukan ruang gerak bagi kebangkitan
kesadaran di dalam diri, dalam bentuk dulunya juga pernah melakukan
berbagai kesalahan. Sehingga belajarlah berbaik hati pada kesalahan kita,
bukan dengan cara mengulanginya lagi, tapi dengan cara melihat
kesalahan sebagai pelajaran-pelajaran dan bukan sebagai kesalahan.
Kesalahan ada tidak untuk menghancurkan kita, tapi untuk membuat kiat
menjadi semakin dewasa. Artinya, gunakan kesalahan masa lalu sebagai
tekad kuat untuk merubah diri.

Berbaik hatilah pada diri sendiri, yang berarti tidak menghakimi diri
sendiri, serta menerima diri dan kehidupan seperti apa adanya. Termasuk
dalam hal ini berbaik hati pada masa lalu kita yang gelap, serta berbaik hati
pada kekurangan dan ketidaksempurnaan diri kita sendiri dan kehidupan
kita. Penerimaan mendalam seperti ini secara alami akan membuat kita
menghidupkan cahaya kesadaran di dalam diri, sekaligus membuat kita
dapat bersikap baik hati pada orang lain.
Perjalanan spiritual selalu dimulai disaat ini seperti apa adanya. Tidak
nanti, tapi disaat ini, sekarang. Entah disaat ini kita seorang penjahat,
berbaju suci, dst-nya. Maharsi Walmiki adalah salah satu contoh yang
sangat terang dalam hal ini. Beliau awalnya adalah seorang penjahat
[perampok]. Kemudian Beliau bertemu dengan Gurunya yaitu Maharsi
Narada. Penuturan dharma dari Maharsi Narada membuat Beliau sangat
tersentuh hatinya. Sang perampok kemudian sangat TEKUN melaksanakan
sadhana yang diajarkan Gurunya. Karena KETEKUNAN itulah, suatu ketika
dalam meditasinya Walmiki dapat memasuki samadhi yang sangat
mendalam, sampai beliau tidak sadar bahwa tubuhnya sudah dijadikan
sarang oleh semut. Itulah asal nama dari Walmiki, yang berarti rumah
semut. Sampai suatu waktu dari ketekunan tersebut, Beliau mencapai
pencerahan Kesadaran Atma.
Jangan menghakimi diri sendiri. Terimalah diri kita sendiri seperti apa
adanya. Tidak ada seorang manusiapun di dunia ini sempurna, yang tidak
pernah melakukan kesalahan-kesalahan. Sehingga tinggalkan rasa bersalah,
tinggalkan rasa penyesalan, tinggalkan perasaan berdosa, tinggalkan
perasaan diri kotor dan hina, tinggalkan perasaan diri gagal dan tidak
berguna. Karena begitu kita dapat memaafkan kesalahan diri kita sendiri
secara total, disanalah kita mulai dapat membangkitkan cahaya kesadaran
di dalam diri.
Satu-satunya hal yang salah dalam hidup adalah menganggap diri
kita selalu salah. Padahal tidak pernah ada manusia yang selalu salah dan
tidak pernah ada manusia yang selalu benar. Hal itu sama dengan tidak ada

hari yang hanya berisi malam hari saja. Sehingga maafkanlah diri sendiri.
Laksana alam yang memeluk siang hari dan malam hari secara sama.
Maafkan yang sudah lewat, kemudian perbaiki terus-menerus setiap
langkah ke depan. Inilah jalan spiritual mendalam yang sangat
menjernihkan dan mendamaikan.
Sebagaimana contoh terang yang diberikan oleh Maharsi Walmiki,
perjalanan spiritual tidak dimulai ketika kita sudah menjadi manusia baik,
manusia bermoral, atau ketika sudah menjadi pemuka agama, memakai
baju suci, dsb-nya. Sama sekali tidak. Sebelum mencapai pencerahan
Kesadaran Atma, kualitas semua manusia sama. Perjalanan spiritual dimulai
disaat ini, sekarang, ketika kita mulai menerima diri sendiri seperti apa
adanya, sekaligus mulai TEKUN untuk melaksanakan sadhana [praktek
spiritual] yang mendalam, yang tepat dan akurat. Dimana di dalam buku ini
sudah dipaparkan rangkaian panca sadhana [lima praktek spiritual] yang
tepat dan akurat, untuk tekun kita praktekkan.

Bab 2

SADHANA 2
Meditasi Kesadaran Dan Meditasi Keutuhan

Di jaman modern ini, umumnya sejak dari kita kecil kita terus
diarahkan untuk belajar keluar. Kita belajar di sekolah, kita belajar dari
membaca buku, kita belajar dari mendengarkan ceramah, dsb-nya. Kita
belajar agama, belajar kitab suci, belajar sejarah, belajar fisika, belajar
biologi, belajar psikologi, dsb-nya. Kita terus saja belajar keluar. Kita tidak
pernah belajar ke dalam diri. Kita tidak pernah belajar bagaimana cara agar
kita dapat menemukan kedamaian, rasa aman dan nyaman di dalam diri.
Karena kita terus-menerus belajar keluar, maka pada suatu titik dalam
kehidupan kita akan muncul perasaan resah dan gelisah di dalam diri. Kita
merasa tidak nyaman dengan diri kita sendiri dan kehidupan kita.
Pertandanya adalah kita sering merasa tidak puas, merasa ada yang kurang
dan tidak pernah merasa cukup. Kita merasa kurang begini dan kurang
begitu. Atau kita mudah sekali marah-marah, atau kita sulit tidur, atau kita
sering mimpi buruk, atau kita sering mengalami keresahan dan kegelisahan,
atau kita merasa bosan dan tidak peduli, atau kita mengalami stress dan
depresi, atau bahkan kita mengalami gangguan psikologi.
Belajar keluar dapat memberikan kita sumber penghidupan [mata
pencaharian] yang baik, tapi tidak dapat memberikan kita kehidupan yang
baik. Belajar ke dalam diri dapat memberikan kita kehidupan yang baik, tapi
tidak dapat memberikan kita sumber penghidupan yang baik. Dalam
kehidupan ini kita memerlukan keduanya secara sama seimbang.

Sehingga penting sekali dalam kehidupan ini kita mengimbangi


belajar keluar dengan juga belajar ke dalam diri. Caranya dengan tekun
melakukan praktek meditasi kesadaran, yang dikombinasikan dengan
praktek meditasi keutuhan. Itu adalah cara untuk belajar ke dalam diri.
Praktek meditasi kesadaran yang dikombinasikan dengan praktek meditasi
keutuhan adalah cara agar kita dapat menjadi penyejuk bagi pikiranperasaan kita sendiri, sekaligus cara untuk menemukan kedamaian sejati di
dalam diri.

I. MEDITASI KESADARAN.
Manusia yang pikirannya resah-gelisah disebabkan karena
kesadarannya dicengkeram kuat oleh pikiran-perasaannya. Praktek meditasi
kesadaran sangat membantu kita mengistirahatkan pikiran. Sehingga
pikiran kita akan dapat kembali jernih, tenang dan damai.
Istirahatkanlah pikiran-perasaan kita melalui praktek meditasi
kesadaran. Istirahatkan pikiran-perasaan kita dari konflik pertempuran
dualitas pikiran. Bersihkan kesadaran kita dari racun-racun kejiwaan. Inti
dari meditasi kesadaran adalah belajar membuat pikiran "istirahat disaat ini
seperti apa adanya". Istirahat dari konflik pertempuran dualitas pikiran
seperti salah-benar, baik-buruk, dsb-nya.

[1]. SIFAT ALAMI PIKIRAN MANUSIA.


Secara alami sifat pikiran-perasaan kita manusia laksana riak-riak
gelombang di samudera. Ada saat gelombangnya naik dengan kemunculan
pikiran-perasaan yang baik dan positif. Ada saat gelombangnya turun
dengan kemunculan pikiran-perasaan yang buruk dan negatif.
Sebagaimana sifat alami gelombang di samudera, kemunculan gelombang
naik dan gelombang turun selalu berada dalam siklus datang dan pergi,
muncul dan lenyap. Seperti itulah sifat alami pikiran-perasaan manusia.

Jadi, jangan pernah berangan-angan untuk kita dapat memiliki


pikiran-perasaan yang sepenuhnya hanya positif saja. Apalagi beranganangan untuk melenyapkan atau membunuh pikiran. Karena hal itu sama
sekali tidak mungkin terjadi dan sekaligus dapat menjerumuskan kita ke
jurang gangguan pikiran.
Kesadaran yang sempurna
bukanlah
keadaan lenyapnya
ketidaksempurnaan. Kesadaran yang sempurna adalah senyuman damai
dan penuh belas kasih yang sama, baik terhadap kesempurnaan maupun
terhadap ketidaksempurnaan, sebagai satu KEUTUHAN.
Berusaha keras untuk mengendalikan, melawan, atau melenyapkan
kemunculan pikiran-perasaan negatif adalah sebuah PRAKTEK SALAH.
Karena pikiran-perasan negatif adalah satu kesatuan yang UTUH dan
menyeluruh dari diri kita sendiri. Laksana bulan purnama yang memiliki sisi
terang dan sisi gelap, keduanya adalah satu kesatuan yang utuh dan
menyeluruh dari bulan yang sama. Jika kita berusaha keras untuk
mengendalikan, melawan, atau melenyapkan kemunculan pikiran-perasaan
negatif, maka sebagai akibatnya semakin besar dan kuatlah
cengkeramannya pada kesadaran kita. Sekaligus akan membuat pikiran kita
dipenuhi guncangan konflik, akan sangat melukai pikiran kita sendiri, serta
membuat kita menjadi frustasi.
Tantra dan Upanishad tidak mengajarkan kita untuk mengumbar
pikiran-perasaan negatif. Sama sekali tidak seperti itu. Cara menekan,
mengendalikan, ataupun melawan kemunculan pikiran-perasaan negatif
tidak dapat membantu manusia. Pikiran-perasaan negatif masih tetap ada.
Cara menekan justru membuat cengkeraman pikiran-perasaan negatif pada
kesadaran menjadi semakin kuat.
Pikiran-perasaan negatif adalah bagian UTUH dari diri kita sebagai
manusia. Jangan ditolak dan dilawan. Segala bentuk aturan dan larangan
dengan alasan moralitas yang baik, sesuai ajaran agama, kesopanan, tata

krama, etiket, hidup yang benar, hidup yang beradab, dan sejenisnya, justru
akan membuat pikiran-perasaan negatif menjadi lebih beracun. Pada
kenyataannya pikiran-perasaan negatif masih saja tetap ada, bahkan dalam
bentuk yang lebih beracun. Karena tidak saja cengkeramannya dalam
kesadaran menjadi semakin kuat, tapi juga sekaligus menimbulkan rasa
bersalah, menimbulkan konflik pikiran dan melukai pikiran kita sendiri.
Tantra dan Upanishad mengajarkan, bukan dengan cara menekan
cengkeraman pikiran-perasaan negatif dapat diredakan. Juga bukan
dengan cara mengumbar. Cara menekan pikiran-perasaan negatif, ataupun
sebaliknya mengumbar pikiran-perasaan negatif, keduanya sama-sama
merusak kesadaran. Pikiran-perasaan negatif adalah bagian UTUH dari diri
kita sendiri. Itu adalah diri kita sendiri. Jangan ditolak dan dilawan, juga
jangan diumbar. Tapi bersikaplah belas kasih kepadanya. Bersahabatlah
dengannya. Jika kita dapat bersikap belas kasih dan bersahabat dengan diri
kita sendiri, diri kita akan mengungkapkan banyak hal yang luar biasa.
Menekan dan mengumbar adalah dua sisi ekstrim yang hendaknya
dihindari. Beradalah di tengah-tengah, dengan cara praktek meditasi
kesadaran. Praktek meditasi kesadaran akan membuat kita mengalami
perubahan dimensi kesadaran di dalam diri. Praktek meditasi kesadaran
adalah cara utama untuk membebaskan kesadaran kita dari cengkeraman
pikiran-perasaan negatif.
Menggunakan teori yang benar sebagai landasan sangat penting
dalam perjalanan spiritual kita. Dalam buku suci ajaran Tantra Shiwa
[Vijnana Bhairawa Tantra], Kesadaran Atma disimbolikkan sebagai langit
biru yang abadi dan pikiran-perasan disimbolikkan sebagai awan-awan
yang datang dan pergi, muncul dan lenyap. Pikiran-perasaan baik dan
positif adalah laksana awan-awan putih, sedangkan pikiran-perasaan buruk
dan negatif adalah laksana awan-awan hitam, tapi Kesadaran Atma adalah
laksana langit biru abadi yang tidak berubah.

Meditasi kesadaran bukanlah praktek spiritual untuk membuat


pikiran-perasaan kita agar selalu baik, damai dan positif untuk selamalamanya, apalagi untuk untuk membunuh atau melenyapkan pikiran, karena
hal itu sama sekali tidak mungkin dapat tercapai. Semasih kita berada di
dunia ini menjalani kehidupan menggunakan badan manusia, maka sifat
alami pikiran-perasaan kita adalah laksana riak-riak gelombang di
samudera, dimana kemunculan pikiran-perasaan positif dan negatif, selalu
berada dalam siklus datang dan pergi, muncul dan lenyap.
Laksana awan-awan di langit, pikiran-perasaan positif dan negatif di
dalam diri kita datang dan pergi secara alami sesuai dengan hukumnya.
Tugas kita dalam meditasi kesadaran adalah menjadi langit biru yang abadi,
yaitu hanya menyaksikan saja awan-awan ini datang dan pergi, disaksikan
saja dengan penuh belas kasih, tanpa menilainya, tanpa mengikutinya,
tanpa berusaha mengendalikannya. Hanya disaksikan saja [tidak menilai
dan tidak menghakiminya sama sekali] dengan senyuman penuh belas
kasih. Sebagai hasilnya, semua bentuk pikiran-perasaan tersebut akan
kehilangan kekuatan cengkeramannya pada kesadaran kita dan kemudian
berlalu dengan sendirinya.

[2]. SABIJA SAMADHI DAN NIRBIJA SAMADHI.


Meditasi memiliki dua bagian, yaitu bagian awal dan bagian akhir.
Bagian awal disebut dhyana dan bagian akhir disebut samadhi. Ibarat
bunga, dhyana adalah bibit bunganya dan samadhi adalah indah mekar
bunganya.
Jika kita mendalami buku-buku suci Hindu Dharma, maka kita akan
dapat menemukan bahwa semua tehnik meditasi yang ada di dunia ini,
terbagi ke dalam 2 [dua] kategori. Istilahnya berbeda-beda, tapi maksudnya
sama. Seperti misalnya pembagian ke dalam 2 [dua] kategori yaitu sabija
samadhi dan nirbija samadhi.

Kategori pertama disebut sabija samadhi, yang berarti samadhi


dengan benih. Ini merupakan meditasi di tingkat pertumbuhan. Ciri khas
meditasi di tingkat pertumbuhan ini adalah adanya pengalaman meditasi
sebagai tujuan, ada hasil puncak samadhi, ada pencapaian, dsb-nya.
Dimana dalam meditasi kategori ini, kita dapat mencapai hasil puncak
samadhi yang sangat damai, atau kita dapat mencapai tujuan meditasi
dengan pengalaman meditatif yang sangat indah, dsb-nya.
Disebut meditasi dengan benih, karena ibarat pohon, di permukaan
kelihatannya batang pohon, daun-daunan, bunga, buah, semua sudah
dipotong habis. Di permukaan cengkeraman kegelapan pikiran dan
perasaan kelihatannya sudah hilang. Akan tetapi akarnya masih tetap ada,
tersembunyi di bawah tanah. Benih-benih cengkeraman kegelapan pikiran
dan perasaan masih ada tersembunyi. Pohon itu masih bisa menumbuhkan
kembali dirinya sendiri. Menunggu waktu yang tepat, saat yang tepat,
musim yang tepat, untuk tumbuh kembali. Jika hujan turun maka pohon itu
akan tumbuh kembali.
Ketika kita bisa mencapai puncak sabija samadhi, kita mungkin
berpikir kita sudah mencapai puncak perjalanan spiritual. Kita mungkin
berpikir dengan berhasil mencapai puncak itu, maka cengkeraman
kegelapan pikiran dan perasaan sudah akan menghilang untuk selamalamanya. Akan tetapi suatu hari kemudian, dalam suatu kejadian, kita
menemukan diri kita kembali dijerat oleh cengkeraman pikiran dan
perasaan. Sehingga semua pengalaman puncak samadhi yang sudah
dicapai sebelumnya itu seolah-olah seperti tidak pernah terjadi.
Ketika kita bisa mencapai puncak sabija samadhi, disana kita menjadi
damai dan menikmati kebahagiaan. Kita mungkin merasa perjalanan
spiritual kita sudah selesai. Perjalanan spiritual kita sudah mencapai puncak.
Tapi ternyata kemudian hal itu tidak bisa langgeng. Itu hanya bisa
sementara waktu dan segera setelahnya energi itu akan hilang. Hal itu
mungkin akan membuat kita frustrasi.

Sesungguhnya tidak seperti itu. Tapi sesuatu yang lain, sesuatu yang
sangat berbeda, harus digali dan ditemukan. Sesuatu yang kekal, sesuatu
yang dapat membuat kita tetap tenang, damai dan bahagia, dalam apapun
yang terjadi dalam kehidupan.
Kategori kedua disebut nirbija samadhi, yang berarti samadhi tanpa
benih. Ini merupakan meditasi di tingkat kesempurnaan. Pada meditasi
tingkat kesempurnaan ini, tidak ada pengalaman spiritual sebagai tujuan,
tidak ada hasil, tidak ada pencapaian, dsb-nya, meditasi hanya istirahat.
Yaitu mengistirahatkan pikiran dari konflik pertempuran dualitas pikiran
seperti salah-benar, baik-buruk, dsb-nya. Mengistirahatkan pikiran dalam
kesadaran.
Meditasi kesadaran, yang akan kita pelajari tehniknya disini, adalah
kategori nirbija samadhi. Disebut meditasi tanpa benih, karena meditasi
kesadaran langsung memotong akarnya cengkeraman kegelapan pikiran
dan perasaan, yaitu dualitas pikiran. Ibarat pohon, pohonnya dipotong
habis sampai ke akar-akarnya. Sehingga pohon itu tidak akan bisa tumbuh
kembali.
Dalam nirbija samadhi, tidak ada tujuan, tidak ada hasil, tidak ada
pencapaian. Apapun pengalaman atau pencapaian yang muncul terjadi
dalam meditasi tidak dimaknakan. Seindah, semegah, atau sehebat apapun
pengalaman yang muncul dalam meditasi, tidak dimaknakan. Hanya
disaksikan saja dengan tersenyum, tanpa penilaian dualitas pikiran. Karena
pengalaman indah dalam meditasi yang dimaknakan akan menjadi
penyebab kesengsaraan di masa depan. Memaknakan akan memperkuat
dualitas pikiran dan dualitas pikiran yang kuat merupakan akar
kesengsaraan. Meditasi di tingkat kesempurnaan hanya menyaksikan saja.
Istirahat, istirahat dan istirahat. Mengistirahatkan pikiran dari dualitas
pikiran.
Ingatlah satu hal, bahwa selain keheningan, semua yang lain bersifat
sementara waktu, walau seindah apapun pengalaman yang muncul dalam

meditasi. Bahkan termasuk pengalaman meditasi yang sangat indah,


megah dan hebat, yang seolah nampak seperti Tuhan. Hanya dalam
keheninganlah kita mendekat dengan pusat keberadaan yang absolut. Yang
menyaksikan itu bukanlah pikiran. Menjadi sadar akan saksi ini adalah yang
telah menemukan intisari, titik pusat, yang absolut, yang tidak berubah.

[3]. TEHNIK MEDITASI KESADARAN.


Manusia yang kesadarannya dicengkeram oleh pikiran-perasaan,
mirip seperti air kotor di dalam gelas. Sebagaimana air kotor di dalam
gelas, kotorannya akan mengendap dengan sendirinya jika gelasnya
dibiarkan saja istirahat seperti apa adanya. Kemudian air di dalam gelas
akan menjadi jernih. Demikian juga kesadaran akan kembali jernih jika
dibiarkan "istirahat seperti apa adanya". Istirahat dari konflik pertempuran
dualitas pikiran seperti salah-benar, baik-buruk, dsb-nya. Sehingga tidak
ada lagi pikiran-perasaan yang TERBELAH, sekaligus kesadaran di dalam diri
menjadi jernih dan terang.
Inti dari meditasi kesadaran adalah menemukan kembali Atma Jnana
[Kesadaran Atma] di dalam diri. Atma Jnana tidak berarti usaha untuk
membuat pikiran-perasaan kita menjadi selalu baik, damai dan positif untuk
selama-lamanya. Sama sekali tidak seperti itu. Karena hal itu tidak mungkin
terjadi. Atma Jnana berarti kesadaran kita tidak lagi dapat dicengkeram
oleh riak-riak gelombang pikiran-perasaan. Kesadaran kita terbebaskan dari
segala bentuk cengkeraman pikiran-perasaan di dalam diri.
Inilah tehnik untuk melakukan praktek meditasi kesadaran.
== [1]. Persiapan Meditasi : Duduk Dalam Posisi Meditasi.
Duduklah bersila dengan santai dan tenang. Punggung dalam posisi
tegak lurus tapi santai. Telapak tangan diletakkan di pangkuan membentuk
dhyana mudra, atau letakkan di ujung lutut membentuk jnana mudra. Tapi
bahu dalam keadaan santai [tidak tegang].

Tekuk ujung lidah menyentuh langit-langit mulut. Pejamkan mata.


Bernafaslah secara alami saja. Tidak usah mengatur irama nafas. Biarkan
nafas mengatur iramanya sendiri secara alami seiring dengan praktek
meditasi kita.
== [2]. Meditasi Dimulai : Konsentrasi Ke Sentuhan Nafas Pada Hidung.
Pikiran manusia laksana perahu di tengah samudera luas yang
diombang-ambingkan dan dihempaskan kesana-kemari oleh gejolak riak
gelombang perjalanan kehidupan. Pikiran memerlukan jangkar agar tidak
lagi terombang-ambing dan terhempas kesana-kemari. Nafas adalah
jangkar kesadaran. Sehingga dalam meditasi kesadaran, nafas adalah obyek
meditasi yang terbaik.
Setelah kita duduk dalam posisi meditasi, konsentrasilah untuk
merasakan sentuhan keluar-masuk nafas pada hidung.
== [3]. Meditasi kesadaran : Kombinasi Antara Ketekunan Untuk Hanya
Menyaksikan Dan Nafas Sebagai Jangkar Kesadaran.
Konsentrasi merasakan sentuhan keluar-masuk nafas pada hidung.
Suatu hal yang biasa terjadi dalam meditasi kesadaran adalah, untuk
beberapa saat kita kehilangan konsentrasi merasakan sentuhan keluarmasuk nafas pada hidung. Kita kehilangan konsentrasi karena kita larut
dalam arus pikiran, atau larut dalam arus perasaan, atau larut dalam arus
gagasan yang muncul. Itu tidak berarti meditasi kita jelek, buruk, atau salah,
tapi itu hal yang sangat alami dan pasti terjadi.
Jika seandainya untuk beberapa saat kita kehilangan konsentrasi,
karena kita larut di dalam arus pikiran yang muncul, disaat kita tersadar
akan keadaan itu, tersenyumlah penuh belas kasih tanpa penghakiman

sama sekali. Kemudian, kembalilah berkonsentrasi merasakan sentuhan


keluar-masuk nafas pada hidung.

== KETERANGAN. Maksud tanpa penghakiman sama sekali seperti ini :


Apapun bentuk arus pikiran yang muncul tersebut, seperti misalnya pikiran
baik pikiran buruk, pikiran suci pikiran kotor, pikiran benar pikiran salah,
pikiran mulia pikiran berdosa, pikiran tenang pikiran kacau, dsb-nya, kita
tidak menilainya sebagai benar-salah, baik-buruk, suci-kotor, muliaberdosa, dsb-nya. ISTIRAHAT dari konflik pertempuran dualitas pikiran.
ISTIRAHAT dalam kesadaran. Kita tersenyum saja menyaksikannya dengan
penuh belas kasih, kemudian kembalilah berkonsentrasi merasakan
sentuhan keluar-masuk nafas pada hidung.
Konsentrasi merasakan sentuhan keluar-masuk nafas pada hidung.
Jika seandainya untuk beberapa saat kita kehilangan konsentrasi,
karena kita larut di dalam arus emosi atau perasaan yang muncul, disaat
kita tersadar akan keadaan itu, tersenyumlah penuh belas kasih tanpa
penghakiman sama sekali. Kemudian, kembalilah berkonsentrasi merasakan
sentuhan keluar-masuk nafas pada hidung.

== KETERANGAN. Maksud tanpa penghakiman sama sekali seperti ini :


Apapun bentuk emosi atau perasaan yang muncul tersebut, seperti
misalnya perasaan bahagia perasaan sedih, perasaan senang perasaan
sengsara, perasaan cinta perasaan benci, perasaan damai perasaan marah,
dsb-nya, kita tidak menilainya sebagai benar-salah, baik-buruk, suci-kotor,
mulia-berdosa, dsb-nya. ISTIRAHAT dari konflik pertempuran dualitas
pikiran. ISTIRAHAT dalam kesadaran. Kita tersenyum saja menyaksikannya
dengan penuh belas kasih, kemudian kembalilah berkonsentrasi merasakan
sentuhan keluar-masuk nafas pada hidung.
Konsentrasi merasakan sentuhan keluar-masuk nafas pada hidung.

Jika seandainya untuk beberapa saat kita kehilangan konsentrasi,


karena kita larut di dalam arus gagasan yang muncul, disaat kita tersadar
akan keadaan itu, tersenyumlah penuh belas kasih tanpa penghakiman
sama sekali. Kemudian, kembalilah berkonsentrasi merasakan sentuhan
keluar-masuk nafas pada hidung.

== KETERANGAN. Maksud tanpa penghakiman sama sekali seperti ini :


Apapun bentuk gagasan yang muncul tersebut, seperti misalnya
konsentrasi bagus konsentrasi kacau, meditasinya bagus meditasinya kacau,
meditasinya benar meditasinya salah, saya orang baik saya orang banyak
dosa, saya melakukan kebenaran saya melakukan kesalahan, dsb-nya, kita
tidak menilainya sebagai benar-salah, baik-buruk, suci-kotor, muliaberdosa, dsb-nya. ISTIRAHAT dari konflik pertempuran dualitas pikiran.
ISTIRAHAT dalam kesadaran. Kita tersenyum saja menyaksikannya dengan
penuh belas kasih, kemudian kembalilah berkonsentrasi merasakan
sentuhan keluar-masuk nafas pada hidung.
Konsentrasi merasakan sentuhan keluar-masuk nafas pada hidung.
Demikianlah seterusnya.
Inilah yang disebut sebagai praktek meditasi kesadaran. Sebagaimana
disebutkan di dalam buku suci ajaran Tantra Shiwa, pikiran-perasaan baik
dan positif adalah laksana awan-awan putih, sedangkan pikiran-perasaan
buruk dan negatif adalah laksana awan-awan hitam, semuanya datang dan
pergi, muncul dan lenyap. Tapi Kesadaran Atma adalah laksana langit biru
sebagai saksi abadi yang tidak berubah. Melalui praktek meditasi
kesadaran, kita belajar menjadi langit biru abadi yang menyaksikan.
Pikiran tidak baik, pikiran jahat, kenangan buruk, atau perasaan
marah, sedih, sengsara, putus asa, tidak puas, iri hati, sentimen, atau
gagasan bahwa hal ini dan itu buruk atau salah, dsb-nya, adalah laksana
awan-awan hitam yang lewat. Pikiran baik, pikiran mulia, kenangan indah,
atau perasaan bahagia, senang, terpuaskan, atau gagasan bahwa hal ini dan

itu baik atau benar, dsb-nya, adalah laksana awan-awan putih yang lewat.
Kenyataan diri kita yang sejati bukanlah awan-awan pikiran, perasaan dan
gagasan tersebut. Kenyataan diri kita yang sejati adalah Kesadaran Atma,
langit biru yang menyaksikan.
Saksikan pikiran hanya sebagai pikiran, bukan sebagai kebenaran,
bukan sebagai kenyataan sejati diri kita. Kemudian kembalilah ke nafas.
Saksikan perasaan hanya sebagai perasaan, bukan sebagai kebenaran,
bukan sebagai kenyataan sejati diri kita. Kemudian kembalilah ke nafas.
Saksikan gagasan hanya sebagai gagasan, bukan sebagai kebenaran,
bukan sebagai kenyataan sejati diri kita. Kemudian kembalilah ke nafas.
ISTIRAHAT dari konflik pertempuran dualitas pikiran. ISTIRAHAT
dalam kesadaran. Kemudian kembalilah ke nafas.

[4]. HASIL TIDAK PENTING / KETEKUNAN YANG PENTING.


Dalam praktek meditasi kesadaran [nirbija samadhi], hasil meditasi
bukanlah sesuatu yang penting. Tapi yang terpenting adalah KETEKUNAN
kita untuk melakukan praktek meditasi secara rutin setiap hari. Ketekunan
kita untuk hanya menyaksikan dan menyaksikan dengan penuh belas kasih,
tanpa penghakiman sama sekali. Ketekunan kita untuk mengistirahatkan
pikiran dalam kesadaran. Mengistiratkan pikiran dari konflik pertempuran
dualitas pikiran seperti salah-benar, baik-buruk, dsb-nya.
Meditasi kesadaran tidak memiliki tujuan, tidak memiliki hasil, tidak
memiliki pencapaian. Jadi jangan terburu-buru atau tidak sabar. Jangan
memaksakan diri agar konsentrasinya bagus, atau meditasinya penuh
ketenangan, atau mendapatkan pengalaman meditasi yang indah. Mengalir
saja seperti apa adanya. Kita bermeditasi tidak untuk mencapai sesuatu,
atau untuk mendapatkan hasil sesuatu.

Satu-satunya tujuan meditasi kesadaran adalah KETEKUNAN kita


untuk melakukan praktek meditasi itu sendiri. Ketekunan untuk
mengistirahatkan pikiran dari konflik pertempuran dualitas pikiran seperti
salah-benar, baik-buruk, dsb-nya. Ketekunan untuk istirahat dalam
kesadaran. Tidak ada yang lainnya lagi.
Ini berarti bahwa, jika suatu saat meditasi kita kacau atau bahkan
kacau sekali, jangan menilai dan menghakiminya bahwa konsentrasi kita
buruk, meditasi kita gagal, meditasi kita salah, dst-nya. Tapi disaksikan saja
dengan senyuman penuh belas kasih, tanpa penilaian dan tanpa
penghakiman sama sekali. ISTIRAHAT dalam kesadaran. Teruslah
melanjutkan praktek meditasinya.
Serta berlaku sebaliknya, jika suatu ketika meditasi kita bagus atau
bahkan bagus sekali, jangan menilai dan menghakiminya bahwa
konsentrasi kita baik, meditasi kita sukses, meditasi kita benar, dst-nya. Tapi
disaksikan saja dengan senyuman penuh belas kasih, tanpa penilaian dan
tanpa penghakiman sama sekali. ISTIRAHAT dalam kesadaran. Teruslah
melanjutkan praktek meditasinya.
Sebagaimana sifat alami pikiran-perasaan kita manusia laksana riak
gelombang di samudera, ada saat gelombangnya naik, ada saat
gelombangnya turun, demikian juga dengan siklus praktek meditasi. Ada
saat meditasi kita bagus, ada saat meditasi kita kacau, ada saat meditasi
kita bagus sekali, ada saat meditasi kita kacau sekali. Selalu berada dalam
siklus naik-turun seperti itu secara alami.
Kita harus menyadari bahwa kejernihan pikiran dan perasaan tidak
pernah lurus, dia selalu naik dan turun, naik dan turun. Ini adalah salah satu
sifat utama dari samsara. Kita tidak hanya bicara tentang kelahiran kembali
yang lebih tinggi dan lebih rendah, tapi naik dan turun juga mengacu pada
kehidupan keseharian. Sekarang perasaan saya bahagia, sekarang perasaan
saya tidak bahagia. Sekarang pikiran saya baik, sekarang pikiran saya buruk.
Sekarang saya suka meditasi, sekarang saya bosan dan malas meditasi.

Semuanya naik dan turun setiap saat. Jadi jangan terkejut atau bingung.
Pada kenyataannya itu akan terus berlanjut seperti itu sampai kita
mencapai pencerahan kesadaran Atma, sampai kita menjadi makhluk yang
terbebaskan. Sebelum mencapai titik itu, yang merupakan tingkatan sangat
tinggi, samsara akan terus membawa kita dalam siklus naik dan turun.
Jadi jangan berkecil hati, atau merasa gagal, atau merasa bersalah,
jika setelah kita tekun melakukan praktek meditasi selama bertahun-tahun,
suatu saat tiba-tiba saja meditasi kita sangat kacau, atau tiba-tiba saja
perasaan kita sangat terganggu, atau tiba-tiba kita mengalami keresahan
dan kegelisahan, atau tiba-tiba saja kita mengalami kesulitan dalam
hubungan dengan orang lain, dsb-nya. Tidak berarti bahwa kita adalah
seorang sadhaka [praktisi spiritual] yang buruk atau gagal. Melainkan ini hal
yang wajar dan biasa, mengingat kenyataan tentang sifat utama samsara.
Menggunakan teori yang benar sebagai landasan sangat penting
dalam perjalanan spiritual kita. Apapun hasil dan pencapaian meditasi,
seperti apapun pikiran dan perasaan yang muncul dalam kehidupan
keseharian, disaksikan saja tanpa penghakiman sama sekali. Istirahat dalam
kesadaran. Istirahat dari konflik pertempuran dualitas pikiran seperti salahbenar, baik-buruk, dsb-nya. Disanalah rahasianya akan terbuka. Semuanya
muncul dan lenyap. Seperti tarian riak-riak gelombang di samudera,
semuanya datang dan pergi, muncul dan lenyap.
Dalam praktek meditasi kesadaran, hasil meditasi bukanlah sesuatu
yang penting. Tapi yang terpenting adalah KETEKUNAN kita untuk
melakukan praktek meditasi, ketekunan kita untuk mengistirahatkan pikiran
dalam kesadaran, secara rutin setiap hari selama bertahun-tahun.

[5]. WAKTU MEDITASI / KETEKUNAN PRAKTEK MEDITASI.


Orang sehat tidak memerlukan obat, tapi ketika jatuh sakit barulah
dia merasakan betapa pentingnya obat dan menjaga kesehatan. Hal yang
sama terjadi dengan orang yang tidak sedang memiliki masalah, atau

kehidupannya aman-aman saja, atau sedang berada dalam puncak


kesuksesan, seringkali mereka tidak merasakan ada hal yang penting dari
praktek meditasi kesadaran. Tapi begitu masalah mendera kehidupan,
barulah mereka sibuk dan bingung mencari-cari cara untuk mengobati
luka-luka hatinya. Jadi alangkah baiknya jika kita tekun mempraktekkan
meditasi kesadaran sebagai rutinitas setiap hari, sehingga ketika masalah
datang mendera dalam kehidupan, di dalam diri kita sudah siap dan kita
bisa menghadapinya dengan kesabaran dan ketenangan.
Kita dapat mencobanya dengan mulai mempraktekkan meditasi
kesadaran selama 30 menit [setengah jam]. Selama setengah jam
melakukan praktek meditasi kesadaran, kita akan dapat merasakan
munculnya ketenangan, kedamaian dan keheningan di dalam diri. Selama
setengah jam konsentrasi mengamati nafas membawa banyak ketenangan
dan keheningan. Hal itu secara pasti akan memberikan perbedaan besar
bagi kehidupan kita, jika kita mempraktekkannya dengan tekun setiap hari
sebagai rutinitas. Seiring waktu, kesadaran kita akan terus menguat,
keseimbangan pikiran-perasaan kita berubah. Kita menjadi lebih tenang,
lebih jernih dan lebih sadar.
Praktekkanlah meditasi kesadaran setiap hari dengan tekun. Sebagai
sebuah rutinitas, lakukan praktek meditasi kesadaran setiap pagi hari dan
malam hari.
== [1]. PAGI HARI : Lakukan praktek meditasi kesadaran sebagai rutinitas,
setiap pagi hari diantara jam 04.00 pagi s/d saat matahari terbit, selama 30
menit s/d 2 jam [semampu kita]. Periode waktu ini disebut Brahma
Muhurta, sebuah periode waktu dimana energi alam cenderung halus dan
jernih, serta alam cenderung bebas dari gangguan getaran energi-energi
lain [dari gangguan suara, aktifitas manusia, polusi, dsb-nya].
== [2]. MALAM HARI : Lakukan praktek meditasi kesadaran sebagai
rutinitas, setiap malam sebelum kita pergi tidur, selama 30 menit s/d 2 jam
[semampu kita].

== [3]. WAKTU BEBAS : Dalam melaksanakan aktfitas keseharian, jika kita


ada waktu, seling-selingi dengan melakukan praktek meditasi kesadaran
cukup selama 1 [satu] menit saja. Singkat-singkat saja [cukup 1 menit] tapi
sering.
Setiap swadharma [tugas-tugas kehidupan] dan setiap kejadian
dalam kehidupan, mengandung bibit-bibit stres, kegelisahan dan
ketegangan. Akan tetapi stres, kegelisahan dan ketegangan akan lebih
jarang muncul dalam pikiran kita, serta cengkeramannya pada kesadaran
kita akan lebih melemah, jika kita tekun mempraktekkan meditasi
kesadaran sebagai rutinitas setiap hari.

[6]. PENJELASAN.
Meditasi kesadaran adalah sadhana [praktek spiritual] untuk
mengistirahatkan pikiran. Untuk membebaskan pikiran dari dualitas baikburuk, benar-salah, suci-kotor, dsb-nya. Untuk membebaskan pikiran dari
penilaian. Untuk membebaskan pikiran dari penghakiman. Untuk "istirahat
disaat ini seperti apa adanya.
Orang yang kesadarannya terlalu kuat dicengkeram oleh dualitas
pikiran [salah-benar, baik-buruk, dsb-nya], akan mengalami kesulitan besar
dalam hal ini. Sebagian orang lain yang pikirannya lama terjerat oleh
dogma dan doktrin agama juga sama akan mengalami kesulitan besar
dalam hal ini. Akan tetapi tidak ada pilihan lain selain belajar menyaksikan,
menyaksikan dan menyaksikan, tanpa penilaian dan tanpa penghakiman
sama sekali. Awalnya terasa seperti ada yang melawan di dalam diri. Yang
melawan itu tidak lain adalah pikiran kita sendiri yang terkondisi. Tapi
seiring waktu perlawanan ini akan terus melemah seiring dengan ketekunan
kita untuk selalu menyaksikan dan menyaksikan saja, dengan senyum
penuh belas kasih tanpa penilaian dan penghakiman sama sekali.

Kesadaran Atma di dalam diri itu murni, jernih dan tanpa noda
kotoran. Noda kotoran hanya ada dalam pikiran manusia yang belum
terlatih praktek meditasi kesadaran. Yaitu pikiran yang dicengkeram oleh
dualitas pikiran seperti buruk-baik, salah-benar, sengsara-bahagia, dsb-nya.
Sehingga pikirannya dipenuhi oleh guncangan dan kontradiksi.
Manusia yang kesadarannya dicengkeram oleh pikiran-perasaan,
mirip seperti air kotor di dalam gelas. Sebagaimana air kotor di dalam
gelas, kotorannya akan mengendap dengan sendirinya jika gelasnya
dibiarkan saja istirahat seperti apa adanya. Kemudian air di dalam gelas
akan menjadi jernih tanpa kotoran.
Ketika kita rajin dan tekun melakukan praktek meditasi kesadaran,
rajin dan tekun mengistirahatkan pikiran dalam kesadaran, rajin dan tekun
menyaksikan, menyaksikan dan menyaksikan tanpa penilaian dan tanpa
penghakiman sama sekali, suatu saat cengkeraman pikiran dan konflik
pertempuran dualitas pikiran akan terus melemah.
Saksikan pikiran hanya sebagai pikiran, saksikan perasaan hanya
sebagai perasaan, saksikan gagasan hanya sebagai gagasan, bukan sebagai
kebenaran, bukan sebagai kenyataan sejati diri kita. Setiap kemunculan
pikiran, perasaan dan gagasan, hanya disaksikan saja dengan senyuman
penuh belas kasih, tanpa penilaian sama sekali. Istirahat dari konflik
pertempuran dualitas pikiran seperti salah-benar, baik-buruk, dsb-nya.
Istirahat dalam kesadaran.
Secara alami sifat pikiran-perasaan kita manusia adalah laksana tarian
riak-riak gelombang di samudera. Ada saat gelombangnya naik dengan
kemunculan pikiran-perasaan yang baik dan positif. Ada saat
gelombangnya turun dengan kemunculan pikiran-perasaan yang buruk dan
negatif.
Ini berarti bahwa kita tidak akan pernah dapat sepenuhnya
melenyapkan kemunculan pikiran-perasaan yang buruk dan negatif di

dalam diri. Leluhur kita di Bali sering mengucapkan ajaran dharma ini,
manusia itu dewa ya bhuta ya. Artinya di dalam diri kita manusia ada
bagian terangnya dan juga ada bagian gelapnya, sebagai satu kesatuan
yang utuh dan menyeluruh dari diri kita. Laksana bulan purnama yang
memiliki sisi terang dan sisi gelap, keduanya adalah satu kesatuan yang
utuh dan menyeluruh dari bulan yang sama.
Mencapai Moksha atau belum mencapai Moksha, tercerahkan atau
tidak tercerahkan, sifat alami pikiran kita akan tetap seperti itu. Itu
sebabnya pada tingkat kesempurnaan, meditasi terus mengajarkan untuk
selalu istirahat, istirahat, istirahat. Istirahat dari konflik pertempuran dualitas
pikiran seperti salah-benar, baik-buruk, dsb-nya.
Orang biasa yang belum mempraktekkan meditasi kesadaran
umumnya kesadarannya dicengkeram habis oleh pikiran-perasaan. Senang
jika dipuji, sengsara saat dicaci-maki, bahagia jika beruntung, bersedih saat
mengalami kesialan, pesta jika mencapai sukses, depresi saat mengalami
kegagalan, dsb-nya. Akan tetapi di jalan meditasi kesadaran, semua hanya
disaksikan saja dengan senyuman penuh belas kasih. Laksana langit biru
sebagai saksi abadi yang tidak tersentuh oleh awan-awan manapun.
Pertanda kita sudah istirahat dalam kesadaran adalah, kita dapat
tersenyum damai, berjarak, serta merasa aman dan nyaman seperti apapun
bentuk riak-riak pikiran-perasaan-gagasan yang muncul di dalam diri kita.
Kita dapat tersenyum damai, berjarak, serta merasa aman dan nyaman
seperti apapun pengalaman hidup yang kita alami.
Entah disaat ini riak-riak gelombang yang sedang muncul dalam
samudera pikiran-perasaan kita adalah kemarahan, atau kesedihan, atau
kebahagiaan, atau perasaan datar, hambar, galau, atau tenang, atau kacau,
atau bingung, atau baik, atau buruk, atau negatif, atau positif, atau
perasaan cinta, atau perasaan benci, dsb-nya, tapi kita tetap dapat
tersenyum damai, berjarak, serta merasa aman dan nyaman. Dengan kata

lain, kesadaran kita tidak lagi dicengkeram oleh riak-riak gelombang


pikiran-perasaan.
Entah disaat ini pengalaman hidup yang hadir dalam perjalanan
kehidupan kita adalah kegagalan atau kesuksesan, kesialan atau
keberuntungan, kesengsaraan atau kesenangan, kebahagiaan atau
kesedihan, caci-maki atau pujian, penghinaan atau penghormatan, dsb-nya,
tapi kita tetap dapat tersenyum damai, berjarak, serta merasa aman dan
nyaman. Dengan kata lain, kesadaran kita tidak lagi dicengkeram oleh riakriak gelombang pikiran-perasaan.
Demikian cara meditasi kesadaran menjernihkan dan memurnikan
kesadaran kita dari cengkeraman pikiran-perasaan. Jika kita tekun
melakukan praktek meditasi kesadaran selama bertahun-tahun, jika kita
tekun dan lama mengistirahatkan pikiran dalam kesadaran, disana
kesadaran akan menjadi jernih, bersih dan hening. Istirahat sempurna.
Keadaan pikiran yang istirahat sempurna, pikiran yang hening,
kemudian akan memunculkan pengetahuan diri yang sejati. Ketika
pengetahuan akan diri sejati muncul, disana setiap langkah kehidupan kita
diterangi oleh cahaya di dalam diri. Cahaya ini yang membuat semua
kegelapan, kebodohan dan ketidaktahuan di dalam diri lenyap menghilang.
Teorinya sangat sederhana, tapi untuk mencapainya dalam kesadaran
perlu waktu dan disiplin praktek meditasi kesadaran selama bertahun-tahun
tanpa henti. Karena dalam jangka waktu yang sangat lama [berjuta-juta
kehidupan dan kelahiran kembali] kita sudah melemparkan miliaran
sampah ke dalam kesadaran, sehingga diperlukan disiplin praktek meditasi
kesadaran dalam jangka waktu panjang untuk membersihkannya kembali.
Jika kesadaran tidak tekun dibersihkan melalui praktek meditasi
kesadaran, maka cengkeraman pikiran-perasaan negatif akan terus
mengejar-ngejar kita, bahkan termasuk di saat-saat kematian dan juga
setelah kematian.

II. MEDITASI KEUTUHAN.


Praktek meditasi keutuhan adalah bagian kombinasi dari praktek
meditasi kesadaran.
Suatu kenyataan kita sebagai manusia adalah, bahwa tidak pernah
ada manusia yang dapat sepenuhnya bebas dari kemunculan gejolak emosi
perasaan di dalam diri. Karena gejolak emosi perasaan adalah bagian UTUH
dari diri kita sebagai manusia.
Kita hendaknya melakukan praktek meditasi keutuhan, disaat kapan
saja di dalam diri kita dipenuhi oleh gejolak emosi perasaan yang sangat
kuat, seperti misalnya rasa sakit, rasa sedih, rasa kecewa, rasa marah, rasa
bosan, rasa galau, rasa rindu, patah hati, kenangan buruk, dsb-nya. Disaat
seperti itu carilah tempat yang sepi, atau suatu sudut pojokan yang sepi,
kemudian lakukanlah praktek meditasi keutuhan.
Inilah tehnik untuk melakukan praktek meditasi keutuhan.
== [1]. Persiapan Meditasi : Duduk Dalam Posisi Meditasi.
Duduklah bersila dengan santai dan tenang. Punggung dalam posisi
tegak lurus tapi santai. Telapak tangan diletakkan di pangkuan membentuk
dhyana mudra, atau letakkan di ujung lutut membentuk jnana mudra. Tapi
bahu dalam keadaan santai [tidak tegang].
Tekuk ujung lidah menyentuh langit-langit mulut. Pejamkan mata.
Bernafaslah secara alami saja. Tidak usah mengatur irama nafas. Biarkan
nafas mengatur iramanya sendiri secara alami seiring dengan praktek
meditasi kita.

== [2]. Praktek Meditasi Keutuhan : Memeluk Emosi Perasaan Sebagai


Bagian Utuh Dari Diri Kita.
Apapun gejolak emosi perasaan yang muncul dengan kuat, yang
sedang kita rasakan disaat ini, seperti misalnya rasa sakit, rasa sedih, rasa
kecewa, rasa marah, rasa bosan, rasa galau, rasa rindu, patah hati, dsb-nya,
pusatkan perasaan tersebut di chakra anahata atau chakra jantung [di posisi
ulu hati]. Rasakan dan menyatulah dengan perasaan tersebut. Jangan
menilai dan menghakiminya sebagai benar-salah, baik-buruk, suci-kotor,
mulia-berdosa, dsb-nya. Tapi rasakanlah dan menyatulah dengan perasaan
tersebut sebagai bagian UTUH dari diri kita. Kemudian lakukan visualisasi
[membayangkan] kita memeluk perasaan tersebut [yang sedang terpusat di
chakra jantung], dengan penuh belas kasih, penuh kasih sayang dan
tersenyum penuh penerimaan, sebagai bagian UTUH dan menyeluruh dari
diri kita. Jangan terburu-buru ingin agar perasaan tersebut mereda.
Lakukan saja dan terus lakukan saja praktek ini.
Inilah yang disebut sebagai praktek meditasi keutuhan.
Jika kita tekun mempraktekkan meditasi keutuhan, maka gejolak
emosi perasaan yang kita rasakan, secara bertahap perlahan-lahan
cengkeramannya dalam kesadaran akan terus semakin melemah. Tidak
berarti gejolak emosi perasaan tersebut akan menghilang, tapi akan
membuat cengkeramannya dalam kesadaran melemah. Artinya kita akan
dapat tersenyum damai, berjarak, serta merasa aman dan nyaman terhadap
setiap kemunculan gejolak emosi perasaan tersebut.
Satu hal yang merupakan salah satu penemuan terdalam dari
Upanishad dan Tantra adalah, apapun bentuk-bentuk pikiran dan perasaan
yang kita tolak, yang ingin kita buang, atau yang kita pandang sebagai
musuh yang harus dilawan - rasa marah, rasa benci, rasa galau, rasa jatuh
cinta, keserakahan, nafsu seks, apapun itu - sikap kita yang menolaknya,
ingin membuangnya, atau memandang mereka sebagai musuh yang harus
dilawan, akan membuat cengkeramannya dalam kesadaran semakin kuat.

Jika apapun bentuk-bentuk pikiran-perasaan tersebut kita ikuti


kehendaknya, kita biarkan mencengkeram kesadaran, kita akan mirip
seperti api kebakaran yang siap menghabiskan semuanya. Sebaliknya jika
apapun bentuk-bentuk pikiran-perasaan tersebut kita tolak, ingin kita
buang, atau kita pandang sebagai musuh yang harus dilawan, kita akan
mirip seperti gunung berapi yang siap meletus, sekaligus cengkeramannya
dalam kesadaran semakin kuat.
Disaat kita mempraktekkan meditasi kesadaran dan meditasi
keutuhan, kita sedang melakukan praktek agar dualitas pikiran seperti
salah-benar, baik-buruk, dsb-nya, berhenti mencengkeram kesadaran kita.
Kemudian kita akan bisa merasakan bahwa alam semesta [bhuwana agung],
diri kita [bhuwana alit] dan unsur-unsur pembentuknya [panca maha bhuta]
bukanlah dua kutub yang saling bertentangan, tapi adalah satu. Mereka
tidak bertentangan, mereka hanya kutub-kutub berlawanan yang saling
mendukung. Jadi lihatlah kesatuan yang ada pada segala sesuatu. Jangan
melihat sebagai 2 [dua] kutub yang berlawanan, tapi lihat apa yang berada
di kedalamannya.
Bagi Upanishad semuanya adalah Tuhan. Bagi Tantra semuanya
adalah suci. Tidak ada yang bukan Tuhan dan tidak ada yang tidak suci.
Sehingga Upanishad dan Tantra tidak bertentangan dengan apa-apa, tapi
merupakan satu perasaan kesatuan dalam keheningan. Sedangkan bagi
orang biasa dengan pandangan dualitas, mereka selalu berada di dalam
kekacauan konflik pikiran-perasaan.

[1]. BELAJAR MENERIMA RASA SAKIT SEBAGAI BAGIAN


UTUH DARI KEHIDUPAN.
Suatu kenyataan dalam hidup ini adalah, tidak pernah ada kehidupan
yang sepenuhnya bebas dari rasa sakit. Karena rasa sakit adalah bagian
UTUH dari kehidupan. Laksana puncak gunung, di sebelahnya pasti selalu
ada jurang yang dalam. Demikianlah hukumnya. Dimana ada kebahagiaan,

disana juga ada rasa sakit dari kesedihan. Dimana ada kesuksesan, disana
juga ada rasa sakit dari kegagalan. Dimana ada pertemuan, disana juga ada
rasa sakit dari perpisahan. Dimana ada pujian, disana juga ada rasa sakit
dari caci-maki dan penghinaan. Dimana ada kesenangan, disana juga ada
rasa sakit dari kesengsaraan. Demikianlah hukum kehidupan ini secara
UTUH dan menyeluruh.
Kita sering salah mengerti tentang rasa sakit. Kita memandang
datangnya rasa sakit dalam kehidupan adalah untuk menghancurkan dan
menyengsarakan kita. Sama sekali tidak seperti itu. Tapi rasa sakit datang
untuk membuat kita menjadi terjaga tentang kenyataan kehidupan ini.
Membuat kita terjaga tentang adanya hukum karma, tentang adanya siklus
samsara, tentang jalan dharma, tentang sadhana [praktek spiritual], tentang
pencerahan kesadaran Atma. Tanpa adanya rasa sakit kita tidak akan
terjaga. Kita menjadi tidak peduli. Ketika hidup cenderung mudah, nyaman,
tenang, lancar, enak, bahagia, kita tidak peduli. Biasanya kita baru menjadi
terjaga, ketika rasa sakit dan luka-luka hati menusuk jauh ke dalam lubuk
pikiran dan perasaan kita. Disana kita menjadi terjaga.
Ketika kita menjadi terjaga tentang kenyataan kehidupan ini, terjaga
tentang adanya hukum karma, tentang adanya siklus samsara, tentang jalan
dharma, tentang sadhana [praktek spiritual], tentang pencerahan kesadaran
Atma, disanalah mulai terbuka jalan agar seluruh kesengsaraan di dalam
diri kita lenyap menghilang. Artinya, gunakan rasa sakit sebagai kekuatan
pendorong bagi kita untuk menemukan cahaya kesadaran di dalam diri.
Rasa sakit adalah berkah spiritual yang ditolak dan ingin dibuang oleh
hampir semua orang. Padahal, bila tekun dan tulus menerima rasa sakit,
rasa sakit sangat memurnikan dan menyempurnakan.
Saat-saat mengalami rasa sakit adalah saat untuk memurnikan diri.
Memurnikan diri dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan di masa lalu
[memurnikan karma buruk masa lalu], memurnikan diri dari segala bentuk
ego [keakuan], memurnikan diri dari segala bentuk keterikatan.

Saat-saat mengalami rasa sakit adalah saat untuk menyempurnakan


kesadaran. Rasa sakit datang untuk membantu kita secara mendalam
membuka lapisan pikiran-perasaan kita yang gelap. Rasa sakit datang untuk
membuat pikiran kita menjadi lebih terbuka dan lebih toleran. Rasa sakit
datang untuk membuat perasaan kita menjadi lebih halus dan sejuk. Rasa
sakit sering membuka banyak hal yang belum pernah kita pikirkan dan
alami sebelumnya.
Yang dapat membantu proses pemurnian dan penyempurnaan
kesadaran ini adalah rasa sakit. Sebuah peran yang tidak bisa dilakukan
oleh buku suci dan Guru spiritual Agung manapun.
Berbeda dengan belajar di sekolah di mana kita dinilai baik dan
dihargai tinggi hanya dengan mampu mengingat, menghafal dan
menganalisa pengetahuan dengan kecerdasan intelektual. Di jalan spiritual
mendalam hal itu benar-benar jauh dari cukup. Kita harus mengetahui
dengan cara mengalami sendiri secara langsung. Dalam perjalanan
menemukan kesadaran yang terang bercahaya, kita harus melewati banyak
rasa sakit. Misalnya [contoh], kita tidak mungkin bisa menjadi benar-benar
sabar hanya dengan mengingat, menghafal dan menganalisa kata "sabar,
sabar, sabar". Kesabaran adalah sebentuk kualitas kesadaran yang hanya
bisa ditemukan setelah kita menghadapi banyak rasa sakit dengan sadhana
[praktek spiritual].
Rasa sakit memiliki sesuatu untuk diberikan kepada kita. Sehingga
jangan melawan atau lari dari rasa sakit. Kita harus melalui rasa sakit yang
dalam untuk dapat melenyapkan kesengsaraan, untuk kemudian
menemukan kedamaian sejati di dalam diri. Kedamaian tertinggi hanya
akan muncul dari rasa sakit, yang dihadapi dengan meditasi kesadaran atau
meditasi keutuhan. Melalui rasa sakit dan kesengsaraan, yang dihadapi
dengan meditasi kesadaran atau meditasi keutuhan, kita akan menemukan
adanya kesadaran yang jernih di dalam diri. Lebih dalam rasa sakitnya,
maka akan lebih dalam kedamaian yang akan dialami.

Biasanya orang akan MELAWAN rasa sakit dengan cara marah-marah,


bertengkar, berkelahi, dsb-nya. Atau biasanya orang akan MELARIKAN DIRI
dari rasa sakit dengan cara makan enak, pergi ke mall, dugem, dsb-nya,
atau bahkan minum minuman keras dan narkoba.
Ingatlah kontradiksi ini, jika kita melawan atau lari dari rasa sakit, hal
itu sama dengan kita menghindar dari kedamaian sejati di dalam diri.
Sehingga hadapilah rasa sakit yang diberikan kehidupan dengan praktek
spiritual, yaitu dengan meditasi kesadaran atau meditasi keutuhan.
Sehingga rasa sakit dapat menjadi pembersihan. Laksana memurnikan
emas melalui api, kesadaran dimurnikan melalui rasa sakit.
Sering terjadi dalam kehidupan, hal yang paling menyakitkan adalah
yang paling memurnikan dan menyempurnakan kesadaran. Sehingga,
kapanpun saat kita mengalami rasa sakit, jangan tenggelam dalam
kesedihan, atau diseret kemarahan, atau lari ke minuman keras, dsb-nya.
Rasa sakit dalam kehidupan itu tidak bisa dihindari, tapi sengsara itu adalah
sebuah pilihan. Tugas spiritual kita kemudian adalah mengolah setiap rasa
sakit dalam kehidupan menjadi praktek spiritual, yaitu dengan memilih
untuk tidak sengsara di tengah hukum kehidupan seperti ini.
Caranya agar kita tidak sengsara, ketika kita merasa hati kita dilukai
orang, atau kapan saja di setiap langkah kehidupan kita mengalami
kejadian yang menimbulkan rasa sakit, ingat jangan pernah lupa, bahwa diri
kita sendiri adalah penyembuh terbaik bagi rasa sakit dan luka-luka hati
kita. Caranya dengan praktek meditasi.
Pilihan pertama adalah melakukan praktek meditasi kesadaran. Tapi
jika rasa sakit itu terasa sangat kuat mencengkeram kesadaran kita,
lakukanlah pilihan kedua, yaitu melakukan praktek meditasi keutuhan,
sebagai kombinasi dari praktek meditasi kesadaran. Cepat mengambil jarak
agak jauh dari orang yang menimbulkan luka atau kejadian yang

menimbulkan rasa sakit. Carilah tempat yang sepi, atau suatu sudut
pojokan yang sepi, kemudian lakukanlah praktek meditasi keutuhan.
== [1]. Persiapan Meditasi : Duduk Dalam Posisi Meditasi.
Duduklah bersila dengan santai dan tenang. Punggung dalam posisi
tegak lurus tapi santai. Telapak tangan diletakkan di pangkuan membentuk
dhyana mudra, atau letakkan di ujung lutut membentuk jnana mudra. Tapi
bahu dalam keadaan santai [tidak tegang].
Tekuk ujung lidah menyentuh langit-langit mulut. Pejamkan mata.
Bernafaslah secara alami saja. Tidak usah mengatur irama nafas. Biarkan
nafas mengatur iramanya sendiri secara alami seiring dengan praktek
meditasi kita.
== [2]. Praktek Meditasi Keutuhan : Memeluk Rasa Sakit Sebagai Bagian
Utuh Dari Diri Kita.
Pusatkan rasa sakit yang sedang kita rasakan di chakra anahata atau
chakra jantung [di posisi ulu hati]. Rasakan dan menyatulah dengan rasa
sakit tersebut. Jangan menghakiminya sebagai benar-salah, baik-buruk,
suci-kotor, mulia-berdosa, dsb-nya. Tapi rasakanlah dan menyatulah
dengan rasa sakit tersebut sebagai bagian UTUH dari diri kita, tanpa
penghakiman sama sekali. Kemudian lakukan visualisasi [membayangkan]
kita memeluk rasa sakit tersebut [yang sedang terpusat di chakra jantung],
dengan penuh belas kasih, penuh kasih sayang dan tersenyum penuh
penerimaan, sebagai bagian UTUH dan menyeluruh dari diri kita. Jangan
terburu-buru ingin agar rasa sakit itu mereda. Lakukan saja dan terus
lakukan saja praktek ini.
Inilah yang disebut sebagai praktek meditasi keutuhan.
Tekun mempraktekkan meditasi keutuhan, tidak berarti akan
membuat rasa sakit menghilang. Rasa sakit masih tetap ada disana, tapi kita

tidak lagi sengsara, karena rasa sakit tidak lagi dapat mencengkeram
kesadaran kita. Disanalah kita tidak lagi dibuat sengsara oleh rasa sakit. Kita
akan sadar bahwa ada kesadaran yang jernih di dalam diri kita.
Kehidupan dengan sifat alaminya menciptakan berbagai kesedihan
dan kesengsaraan bagi para mahluk. Dalam kehidupan ada kematian, yang
menciptakan kesedihan karena perpisahan. Dalam kehidupan ada tubuh
fisik, yang menciptakan kesengsaraan karena menderita penyakit yang
berat, kehausan atau kelaparan, rasa minder [rendah diri], rasa tidak
nyaman di tubuh, luka-luka yang menimbulkan rasa sakit, dsb-nya. Dalam
kehidupan ada pikiran, perasaan dan gagasan, yang menimbulkan
kekacauan dan kesengsaraan secara internal di dalam diri. Dalam
kehidupan juga ada kejadian-kejadian, seperti perang, bencana alam,
kecelakaan, krisis ekonomi, masalah keuangan, dsb-nya, yang menciptakan
kesulitan dan perjuangan hidup yang berat.
Disaat rasa sakit dan kesengsaraan datang dalam kehidupan kita,
jangan melakukan hal-hal yang berbahaya seperti mabuk minuman keras,
mengkonsumsi narkoba, selingkuh, bertengkar, berkelahi, dsb-nya. Tapi
terima rasa sakit dengan meditasi keutuhan. Peluk rasa sakit tersebut
dengan penuh belas kasih, penuh kasih sayang dan tersenyum penuh
penerimaan, sebagai bagian UTUH dan menyeluruh dari diri kita. Jangan
melarikan diri. Jika kita melarikan diri, maka kita tidak akan dapat
menemukan kedamaian sejati di dalam diri.
Rasa sakit adalah bagian UTUH dari kehidupan. Kita tidak bisa
merubah hal itu. Rasa sakit adalah bagaikan sepotong sampah yang lewat
di sungai kehidupan, muncul sebentar kemudian lewat menghilang.
Mengidentikkan diri kita dengan sampah yang hanya lewat sementara itu,
merupakan sumber kesengsaraan. Kita bisa memilih untuk tidak sengsara.
Caranya setiap kali muncul rasa sakit yang terasa kuat mencengkeram
kesadaran kita, lakukanlah praktek meditasi keutuhan, Itulah sumber
kedamaian di dalam diri.

Orang-orang yang melukai, atau mengalami kejadian yang buruk,


sesungguhnya membawa banyak pesan rahasia, dimana rahasia yang
paling indah adalah membuka rahasia tentang kesadaran yang terang
bercahaya. Jika setelah dicaci dan dilukai, atau setelah mengalami kejadian
yang buruk, tapi kita masih tetap bisa bersikap sabar, tenang dan penuh
kasih sayang, itulah kesadaran yang terang bercahaya. Tidak ada cahaya
suci yang lebih indah di dunia ini dibandingkan hati yang sudah dicaci dan
dilukai oleh orang-orang, atau mengalami kejadian yang buruk, tapi masih
bisa terus-menerus bersikap sabar, tenang dan penuh kasih sayang kepada
semua orang.
Karena sesungguhnya kita manusia tidak dikacaukan oleh orang lain,
tidak juga dikacaukan oleh keadaan kehidupan, tapi kita manusia
dikacaukan oleh cengkeraman pikiran-perasaan kita sendiri. Di tataran
terdalam, masalah sesungguhnya tidak muncul dari situasi-situasi luar,
melainkan karena kesadaran kita dicengkeram kuat oleh pikiran-perasaan
kita sendiri. Masalahnya ada di dalam diri kita sendiri.
Sulit untuk mengetahui masalah di dalam kita sendiri secara
langsung. Tapi mudah untuk mengetahuinya melalui orang-orang yang
melukai atau melalui kejadian yang buruk. Sebuah cermin menjadi tersedia.
Orang-orang yang melukai, atau mengalami kejadian yang buruk, adalah
cermin diri kita sendiri. Saat dilukai oleh orang lain, atau mengalami
kejadian yang buruk, logika alami kita adalah, cermin ini membuat aku
menjadi sangat buruk, jika tidak karena cermin ini aku adalah orang yang
tampan atau cantik.
Tidak ada cermin yang membuat wajah kita menjadi buruk, itulah
kenyataan yang sesungguhnya. Masalahnya adalah diri kita sendiri.
Berterimakasihlah kepada orang yang melukai, atau mengalami kejadian
yang buruk. Jangan marah atau bersedih. Karena hal itu membantu kita
untuk membuka rahasia tentang wajah kita yang sesungguhnya. Rasa sakit
yang masih mencengkeram kesadaran, menunjukkan kepada kita dimana

masih ada masalah. Tanpa rasa sakit, kita menjadi tidak tahu akan masalah
di dalam diri kita sendiri.
Akan tetapi menjadi tahu, sama sekali tidak berarti bahwa kita telah
menyelesaikan masalahnya. Mengalami rasa sakit dan melakukan praktek
meditasi keutuhan harus berjalan seiring dan sejalan. Sampai suatu saat
secara perlahan-lahan bertahap kita akan dapat merasakan sebentuk
kejernihan dan keheningan muncul di dalam diri.

[2]. BELAJAR MENERIMA PERASAAN TIDAK


SEBAGAI BAGIAN UTUH DARI KEHIDUPAN.

NYAMAN

Secara alami sifat pikiran-perasaan kita manusia laksana riak-riak


gelombang di samudera. Ada saat gelombangnya naik dengan kemunculan
pikiran-perasaan yang baik dan positif. Ada saat gelombangnya turun
dengan kemunculan pikiran-perasaan yang buruk dan negatif.
Sebagaimana sifat alami gelombang di samudera, kemunculan gelombang
naik dan gelombang turun selalu berada dalam siklus datang dan pergi,
muncul dan lenyap. Seperti itulah sifat alami pikiran-perasaan kita manusia.
Sebagai bagian UTUH dari diri kita sebagai manusia.
Oleh karena itu, dalam kehidupan ini kita mungkin akan sering-sering
merasakan kemunculan perasaan-perasaan tidak nyaman di dalam diri.
Seperti misalnya [contoh] kemunculan rasa marah, rasa kecewa, rasa sedih,
rasa bosan, rasa galau, rasa jatuh cinta, kenangan buruk, rasa malu, rasa
rendah diri, rasa bersalah, dsb-nya. Bahkan kadang-kadang bisa terjadi,
kemunculannya begitu saja tanpa disertai sebab-sebab jelas yang dapat
kita mengerti.
Salah satu penemuan terdalam dari Upanishad dan Tantra adalah,
apapun bentuk-bentuk pikiran dan perasaan yang kita tolak, yang ingin kita
buang, atau yang kita pandang sebagai musuh yang harus dilawan, seperti
misalnya rasa marah, rasa benci, rasa galau, rasa jatuh cinta, keserakahan,
nafsu seks, dsb-nya, apapun itu, sikap kita yang menolaknya, ingin

membuangnya, atau memandang mereka sebagai musuh yang harus


dilawan, akan membuat cengkeramannya dalam kesadaran semakin kuat.
Semua itu merupakan bagian UTUH dari diri kita sebagai manusia.
Laksana bulan purnama yang memiliki sisi terang dan sisi gelap, kedua sisi
tersebut adalah bulan yang sama. Jadi jangan menolaknya, ingin
membuangnya, atau memandang mereka sebagai musuh yang harus
dilawan. Karena tidak saja cengkeramannya dalam kesadaran akan semakin
kuat, tapi juga sekaligus akan membuat kita melukai diri kita sendiri.
Perasaan-perasaan tidak nyaman yang muncul di dalam diri, seperti
misalnya [contoh] rasa marah, rasa kecewa, rasa sedih, rasa bosan, rasa
galau, rasa jatuh cinta, kenangan buruk, rasa malu, rasa rendah diri, rasa
bersalah, dsb-nya, harus ditransformasikan, jangan menolak dan
menentangnya. Karena jika kita menolak dan menentangnya, maka
perasaan tidak nyaman itu tidak akan pernah bisa hilang, sekaligus kita
tidak dapat mentransformasikannya.
Bersahabatlah dengan perasaan-perasaan tidak nyaman yang muncul
di dalam diri, karena itu adalah energi kita sendiri, bagian UTUH dari diri
kita sendiri. Kemungkinan luar biasa tersembunyi di dalamnya. Yaitu energi
itu dapat ditransformasikan, dapat dirubah, dapat berubah bentuk, dengan
cara praktek meditasi kesadaran atau praktek meditasi keutuhan. Praktek
meditasi kesadaran atau praktek meditasi keutuhan adalah transformasi
energi, itu sama sekali bukan menolak dan menentang perasaan-perasaan
tidak nyaman yang muncul di dalam diri, melainkan mentransformasikan
energinya menjadi energi-energi yang lebih tinggi.
Cara untuk mentransformasikan energi itu adalah dengan praktek
meditasi. Pilihan pertama adalah melakukan praktek meditasi kesadaran.
Tapi jika perasaan-perasaan tidak nyaman itu terasa sangat kuat
mencengkeram kesadaran kita, lakukanlah pilihan kedua, yaitu melakukan
praktek meditasi keutuhan, sebagai kombinasi dari praktek meditasi

kesadaran. Carilah tempat yang sepi, atau suatu sudut pojokan yang sepi,
kemudian lakukanlah praktek meditasi keutuhan.
== [1]. Persiapan Meditasi : Duduk Dalam Posisi Meditasi.
Duduklah bersila dengan santai dan tenang. Punggung dalam posisi
tegak lurus tapi santai. Telapak tangan diletakkan di pangkuan membentuk
dhyana mudra, atau letakkan di ujung lutut membentuk jnana mudra. Tapi
bahu dalam keadaan santai [tidak tegang].
Tekuk ujung lidah menyentuh langit-langit mulut. Pejamkan mata.
Bernafaslah secara alami saja. Tidak usah mengatur irama nafas. Biarkan
nafas mengatur iramanya sendiri secara alami seiring dengan praktek
meditasi kita.
== [2]. Praktek Meditasi Keutuhan : Memeluk Perasaan-Perasaan Tidak
Nyaman Sebagai Bagian Utuh Dari Diri Kita.
Pusatkan perasaan-perasaan tidak nyaman yang muncul di dalam diri
yang sedang kita rasakan disaat ini, seperti misalnya rasa marah, rasa
kecewa, rasa sedih, rasa bosan, rasa galau, rasa jatuh cinta, kenangan buruk,
rasa malu, rasa rendah diri, rasa bersalah, dsb-nya, apapun itu, pusatkan
pada chakra anahata atau chakra jantung [di posisi ulu hati]. Rasakan dan
menyatulah dengan perasaan tersebut. Jangan menghakiminya sebagai
benar-salah, baik-buruk, suci-kotor, mulia-berdosa, dsb-nya. Tapi
rasakanlah dan menyatulah dengan perasaan tersebut sebagai bagian
UTUH dari diri kita, tanpa penghakiman sama sekali. Kemudian lakukan
visualisasi [membayangkan] kita memeluk perasaan tersebut [yang sedang
terpusat di chakra jantung], dengan penuh belas kasih, penuh kasih sayang
dan tersenyum penuh penerimaan, sebagai bagian UTUH dan menyeluruh
dari diri kita. Jangan terburu-buru ingin agar perasaan tidak nyaman itu
mereda. Lakukan saja dan terus lakukan saja praktek ini.
Inilah yang disebut sebagai praktek meditasi keutuhan.

Kehidupan dan diri kita di dalam, tidak pernah memberikan kita hal
yang positif ataupun hal yang negatif, pikiran kitalah yang membuat
semuanya terlihat menjadi negatif atau positif. Hati-hatilah dalam
mengelola pikiran, semakin banyak kita menolak pikiran-perasaan di dalam
diri, maka kita akan semakin sengsara.
Sehingga, setiap kali muncul perasaan-perasaan tidak nyaman di
dalam diri, seperti misalnya [contoh] rasa marah, rasa kecewa, rasa sedih,
rasa bosan, rasa galau, rasa jatuh cinta, kenangan buruk, rasa malu, rasa
rendah diri, rasa bersalah, dsb-nya, belajar untuk selalu kembali ke tengah
[tanpa positif dan negatif], yaitu dengan cara mempraktekkan meditasi
kesadaran atau meditasi keutuhan. Di tengah itulah tersedia kolam
ketenangan dan kedamaian.
Sekalipun kita sudah tekun melaksanakan praktek meditasi kesadaran
dan praktek meditasi keutuhan selama bertahun-tahun yang panjang,
sekalipun kita sudah mencapai dimensi kesadaran yang tinggi, pada suatu
waktu, pada suatu titik, perasaan-perasaan tidak nyaman akan kembali
muncul di dalam diri kita. Seperti rasa galau, rasa resah, rasa gelisah, rasa
bosan dan kenangan buruk. Hal ini tidak berarti bahwa kita adalah seorang
sadhaka [praktisi spiritual] yang buruk atau gagal. Melainkan hal ini adalah
sangat alami.
== Pertama [1], mengingat kenyataan tentang sifat utama samsara. Yaitu
samsara tidak hanya menyangkut naik dan turun kelahiran kembali yang
lebih tinggi dan lebih rendah, tapi juga menyangkut pikiran dan perasaan
kita. Kita harus menyadari bahwa kejernihan pikiran-perasaan tidak pernah
lurus, dia selalu naik dan turun, naik dan turun. Ini adalah salah satu sifat
utama dari samsara.
== Kedua [2], munculnya perasaan-perasaan tidak nyaman di dalam diri
tidak selalu menjadi pertanda kemunduran kesadaran. Kadang-kadang
datangnya perasaan-perasaan tidak nyaman di dalam diri dapat berarti

bahwa akar kesadaran sedang tumbuh semakin dalam dan semakin dalam.
Sebagaimana ajaran dalam buku suci ajaran Tantra Shiwa [Vijnana Bhairawa
Tantra], kesadaran itu ibarat pohon. Batang pohon, ranting dan daundaunan yang berada di dalam terang cahaya adalah ibarat kedamaian dan
sukacita di dalam diri. Akar pohon yang berada di dalam kegelapan adalah
ibarat perasaan-perasaan tidak nyaman di dalam diri. Semakin tinggi
pohonnya akan tumbuh, maka akarnya juga akan tumbuh semakin dalam.
Jadi ini berarti bahwa, kemunculan perasaan-perasaan tidak nyaman di
dalam diri merupakan pertanda bahwa dimensi kesadaran kita, kedamaian
dan sukacita di dalam diri kita, sedang naik semakin tinggi.
Agar kesadaran dapat menjadi semakin bercahaya, belajarlah untuk
menerima
dan
memeluk
kegelapan,
ketidaksempurnaan
dan
ketidaknyamanan di dalam diri, dengan cara melakukan praktek meditasi
kesadaran atau praktek meditasi keutuhan. Dengan cara ini, secara pelanpelan bertahap kita sedang membuka lapisan-lapisan kesadaran yang lebih
dalam di dalam diri.
Kapan saja kita dapat menerima dan memeluk diri kita sendiri secara
UTUH dan menyeluruh, disanalah kita mulai dapat mengerti diri kita sendiri.
Laksana malam hari dan siang hari, di dalam diri kita selalu ada unsur gelap
dan unsur terang. Jika orang biasa menolak, melawan dan membenci
bagian gelap di dalam dirinya, para sadhaka dengan kesadaran bercahaya
memeluk bagian gelap di dalam dirinya, laksana alam memeluk malam hari
dengan penuh belas kasih. Dengan cara inilah cahaya kesadaran para
sadhaka akan dapat memancar terang.

Bab 3

SADHANA 3
Belas Kasih

Belas kasih adalah satu-satunya bagian dari pencerahan Kesadaran


Atma yang masih mungkin untuk dapat dipahami manusia dengan
kecerdasan intelektual dan logika.
Di dalam lubuk pikiran kita terdapat sebuah "ruang", yang hendaknya
kita isi dengan belas kasih yang berlimpah. Karena jika kita gagal mengisi
ruang tersebut dengan berlimpah belas kasih, maka ruang tersebut akan
diisi oleh kegelapan dan kesengsaraan pikiran. Sebaliknya jika kita dapat
mengisi ruang tersebut dengan belas kasih yang berlimpah, maka pikiran
kita akan diselimuti oleh sebentuk kedamaian dan ketenangan.
Praktek meditasi dan praktek belas kasih, laksana sepasang sayap
yang dapat membuat kesadaran menjadi terbang tinggi. Jika praktek
meditasi mendalam, maka dari keheningan secara alami akan
menghidupkan belas kasih di dalam diri. Jika praktek belas kasih mendalam,
maka secara alami akan melemahkan cengkeraman ego [ahamkara] dan
melemahkan cengkeraman pikiran-perasaan pada kesadaran, yang akan
menjernihkan kesadaran. Laksana sepasang sayap, meditasi kesadaran dan
belas kasih, keduanya saling membutuhkan satu sama lain untuk dapat
membuat kesadaran menjadi terbang tinggi.
Sehingga, intisari utama dari sadhana [praktek spiritual] yang
mendalam adalah menyangkut dua hal saja, yaitu praktek meditasi dan

praktek belas kasih. Meditasi agar kita dapat menemukan keheningan yang
mendalam dan belas kasih agar kehidupan kita dapat menyatu dengan
keindahan tarian semesta. Kita harus bergerak di antara keduanya. Jika kita
dapat bergerak dengan mudah, jika kita dapat bergerak tanpa upaya, maka
kita telah menguasai hal terbesar dalam hidup ini.
Belas kasih adalah salah satu rahasia penting semua jalan spiritual.
Karena praktek spiritual manapun akan dangkal dan tidak pernah bisa
dalam, jika tanpa disertai belas kasih kepada semua mahluk. Demikian
menentukannya, sehingga jika seluruh ajaran dharma intisarinya disarikan
menjadi satu saja, maka hal itu adalah belas kasih kepada semua mahluk.
Pedoman di jalan belas kasih hanya 2 [dua], yaitu pertama [1] tekun
dan tulus melakukan kebaikan-kebaikan, seperti sering memberi, banyak
membantu, banyak membahagiakan, sering menolong, penuh pelayanan
dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, dsb-nya. Serta kedua [2],
yaitu jika kita belum mampu untuk melakukan kebaikan-kebaikan, cukup
jangan menyakiti.

[1]. TEKUN DAN TULUS MELAKUKAN KEBAIKAN-KEBAIKAN.


Jika kita dapat melihat secara mendalam, dengan kejernihan, tanpa
penghakiman ini dan itu, tanpa dipengaruhi oleh dogma dan doktrin
agama, maka kita akan menemukan bahwa sesungguhnya di dunia ini tidak
ada orang baik, tidak ada orang jahat, tidak ada orang Hindu, orang
Buddha, orang Islam, orang Kristen, tidak ada orang Bali, orang Jawa, orang
Jepang, orang Amerika, dsb-nya. Yang kita temukan adalah manusiamanusia yang ingin bahagia dan tidak ingin menderita. Jika kita dapat
melihat lebih dalam lagi, bahkan binatang dan tumbuhanpun juga ingin
bahagia. Mereka mendambakan kebahagian dan ingin menghindari
kesengsaraan. Semuanya, semua mahluk, ingin terbebas dari rasa takut,
ingin terbebas dari rasa bersalah, serta ingin terbebas dari segala
ketidaknyamanan baik secara fisik, maupun secara mental [pikiranperasaan].

Jika kita dapat melihat secara mendalam, dengan pandangan belas


kasih, kita akan dapat melihat bahwa semua mahluk di dunia ini memiliki
kesengsaraan mereka masing-masing. Terutama karena kehidupan dengan
sifat alaminya menciptakan berbagai kesedihan dan kesengsaraan bagi
para mahluk. Dalam kehidupan ada kematian, yang menciptakan kesedihan
karena perpisahan. Dalam kehidupan ada tubuh fisik, yang menciptakan
kesengsaraan karena menderita penyakit yang berat, kehausan atau
kelaparan, rasa minder [rendah diri], rasa tidak nyaman di tubuh, luka-luka
yang menimbulkan rasa sakit, dsb-nya. Dalam kehidupan ada pikiran,
perasaan dan gagasan, yang menimbulkan kekacauan dan kesengsaraan
secara internal di dalam diri. Dalam kehidupan ada kejadian-kejadian,
seperti perang, bencana alam, kecelakaan, krisis ekonomi, masalah
keuangan, dsb-nya, yang menciptakan kesulitan dan perjuangan hidup
yang berat. Kita akan dapat melihat aliran air mata kesedihan yang terus
mengalir dalam samudera kehidupan. Kita akan dapat mendengar jeritan
dan ratap tangis para mahluk yang terus menyelubungi dunia ini.
Melalui pandangan belas kasih yang mendalam, fakta adanya
kesengsaraan para makhluk akan dapat dengan jelas kita lihat dan dengar,
bahkan pada masa-masa ketika diri kita sendiri secara pribadi sedang
mengalami kebahagiaan hidup. Belas kasih mencegah kita melupakan,
bahwa selagi kita sedang menikmati kebahagiaan hidup yang bersifat
terbatas dan sangat sementara, pada saat yang bersamaan terdapat
berbagai keadaan kesedihan dan kesengsaraan yang dalam di tempat lain
di dunia ini.
Belas kasih mengingatkan kita bahwa, suatu saat kesedihan dan
kesengsaraan seperti itu mungkin saja akan menjadi nasib kita. Terutama
karena kehidupan dengan sifat alaminya menciptakan berbagai kesedihan
dan kesengsaraan bagi semua mahluk.
Belas kasih adalah jalan kesadaran yang sangat indah. Melaksanakan
praktek belas kasih tidak saja memurnikan kesadaran kita. Tapi secara

karma lebih dari itu. Jika kita sering menolong kelak kita akan tertolong.
Jika kita sering memberi kelak kita akan mendapatkan. Jika kita sering
memberi bantuan kelak kita akan mendapatkan bantuan. Jika kita
menyelamatkan kelak kita akan terselamatkan. Bahkan, beberapa tindakan
belas kasih yang maha-mulia tidak saja akan menghasilkan karma baik, tapi
juga sekaligus akan menghapuskan karma-karma buruk kita.
Sehingga sangat layak untuk direnungkan, untuk diri kita agar tekun
melakukan kebaikan-kebaikan yang tulus untuk orang lain dan mahluk lain.
Seperti misalnya seperti sering memberi, banyak membantu, banyak
membahagiakan, sering menolong, penuh pelayanan dalam melaksanakan
tugas-tugas kehidupan, dsb-nya.
Lebih jauh dari itu, di jalan belas kasih, sasaran target utama dalam
melakukan kebaikan-kebaikan bukanlah sesuatu untuk kesenangan diri kita
sendiri. Seperti misalnya agar kita disayangi orang lain, agar kita dihormati
orang, agar kita dikenal orang, agar kita punya banyak karma baik, dsb-nya.
Tapi sasaran target utamanya adalah intisari terdalam diri kita sendiri, yaitu
Kesadaran Atma.
Ketekunan kita untuk tulus melakukan banyak perbuatan kebaikan
untuk orang lain atau mahluk lain, memiliki daya angkat yang sangat kuat
untuk merubah dan mengangkat naik kesadaran kita. Dengan tahap-tahap
pertumbuhan sebagai berikut :
== 1]. Pada awalnya perbuatan kebaikan yang tulus dan tekun kita lakukan
untuk orang lain atau mahluk lain, membuat kita belajar untuk melepaskan,
terutama karena nanti disaat kematian semua manusia tidak punya pilihan
lain selain mutlak harus melepaskan semuanya.
== 2]. Begitu melakukan perbuatan kebaikan untuk orang lain atau mahluk
lain menjadi suatu kebiasaan, melakukan kebaikan itu menjernihkan dan
mendamaikan pikiran-perasaan kita di dalam diri.

== 3]. Pada puncaknya, ketekunan ketulusan dan ketekunan kita untuk


melakukan perbuatan kebaikan untuk orang lain atau mahluk lain, akan
menghantarkan kita menemukan pencerahan kesadaran Atma yang terang
bercahaya di dalam diri.
Yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan kebaikan dengan
penuh ketulusan. Karena jika tidak demikian, bahkan terkadang kebaikanpun juga dapat meracuni pikiran kita. Seperti misalnya [contoh] ada
seorang Ibu yang mengeluh, Saya sudah berbuat baik merawat,
menyayangi dan menjaga anak saya sejak bayi sampai besar, tapi setelah
dewasa dia malah meninggalkan dan mengabaikan saya. Saya marah dan
kecewa kepada anak saya. Kita bisa lihat sendiri, bahkan melakukan
kebaikan-pun juga dapat meracuni pikiran manusia.
Sehingga lakukanlah kebaikan-kebaikan dengan penuh ketulusan.
Artinya setelah kita melakukan kebaikan, cepat-cepat lupakan kalau kita
pernah melakukannya. Dengan cara ini kita tidak akan pernah kehilangan
ketulusan dalam melakukan kebaikan. Terutama karena di jalan belas kasih,
sasaran utamanya adalah intisari terdalam diri kita sendiri. Sasaran
utamanya adalah menghidupkan cahaya kesadaran di dalam diri.
Di jalan dharma, belas kasih disebut juga sebagai drwya yadnya, yang
berarti yadnya [persembahan suci] berupa belas kasih dan kebaikan kepada
semua mahluk. Yang terdiri dari 7 [tujuh] bentuk belas kasih sebagai
persembahan suci, yaitu :
== 1]. Kshanti Yadnya : belas kasih sebagai yadnya [persembahan suci]
dalam bentuk kesabaran.
Ini adalah bentuk kebaikan mulia dimana kita menggunakan
kesabaran dengan belas kasih untuk kebahagiaan mahluk lain. Misalnya
[contoh] memaafkan kesalahan orang lain, tidak menghakimi dan
menjelekkan kekurangan orang lain, menyediakan waktu untuk
mendengarkan curhat, meminggirkan mobil saat ada ambulance lewat,

memberi giliran antrean kita kepada orang lain, memberi ruang bagi orang
yang akan menyeberang jalan, mengalah saat ada kemacetan jalan, mau
menunggu orang yang datang janjian terlambat tanpa mengeluh,
menemani anak-anak bermain, dsb-nya.
== 2]. Artha Yadnya : belas kasih sebagai yadnya [persembahan suci] dalam
bentuk pemberian uang, benda, atau hadiah.
Ini adalah bentuk kebaikan mulia dimana kita menggunakan harta
kekayaan kita dengan belas kasih untuk membahagiakan mahluk lain.
Misalnya [contoh] mentraktir makanan, membelikan pakaian, memberi
hadiah tiket jalan-jalan, menyumbang uang, memberikan dana punia,
membelikan bensin bagi orang yang sepeda motornya kehabisan bensin di
jalan, menyumbang kue-kue untuk pesta pernikahan orang lain, dsb-nya.
== 3]. Widya Yadnya : belas kasih sebagai yadnya [persembahan suci]
dalam bentuk pemberian pemikiran dan pengetahuan.
Ini adalah bentuk kebaikan mulia dimana kita menggunakan
pemikiran dan pengetahuan kita dengan belas kasih untuk kebahagiaan
mahluk lain. Misalnya [contoh] memberikan orang lain saran yang
bermanfaat, menjadi konsultan gratis untuk memberi masukan yang
berguna, memberikan kursus atau pelatihan gratis, menceritakan hal-hal
yang baik dan membahagiakan, membuat orang lain tertawa dengan
humor yang sehat [humor yang tidak menertawakan atau menyakiti orang
lain], dsb-nya.
== 4]. Mahati Yadnya : belas kasih sebagai yadnya [persembahan suci]
dalam bentuk menggunakan tubuh kita sebagai sarana.
Ini adalah bentuk kebaikan mulia dimana kita menggunakan tubuh
kita dengan belas kasih untuk kebahagiaan mahluk lain. Misalnya [contoh]
menampilkan wajah ceria dan tersenyum ramah kepada orang lain,

memeluk orang yang sedang dalam kesedihan, menjadi donor darah,


membiarkan nyamuk-nyamuk lapar menghisap darah kita, dsb-nya.
== 5]. Swadya Yadnya : belas kasih sebagai yadnya [persembahan suci]
dalam bentuk kerja dan pelayanan.
Ini adalah bentuk kebaikan mulia dimana kita memberikan kerja dan
pelayanan dengan belas kasih untuk kebahagiaan mahluk lain. Misalnya
[contoh] ngayah di pura, ikut kerja bhakti, membantu mengepel,
membantu mencuci piring, merawat orang-orang yang sudah tua,
membantu membuang sampah yang berantakan, mematikan air keran bak
yang penuh di kamar mandi umum, dsb-nya. Hal ini termasuk juga di
dalam melaksanakan swadharma [tugas kehidupan] kita sendiri dengan
tulus, jujur, tidak serakah dan sebaik-baiknya, seperti menjadi orang tua di
rumah, menjadi pegawai di kantor, sebagai nelayan, guru, pelajar,
mahasiswa, tukang sapu, pinandita, jro mangku, petani, gubernur, dsb-nya.
== 6]. Abhaya Yadnya : belas kasih sebagai yadnya [persembahan suci]
dalam bentuk menyelamatkan kehidupan mahluk lain.
Ini adalah bentuk kebaikan maha-mulia dimana kita melakukan suatu
usaha dengan belas kasih untuk menyelamatkan kehidupan mahluk lain. Ini
terbagi menjadi 2 [dua] kategori, yaitu sekala dan niskala.
Dalam hal sekala, misalnya [contoh] membeli binatang yang akan
dibunuh dan dimasak lalu membebaskan mereka di alam, mendengarkan
dan memberi nasehat pada orang yang mau bunuh diri, membantu
kesembuhan orang-orang yang sakit, menyekolahkan anak-anak miskin
dan yatim-piatu [memberi mereka peluang hidup layak di masa depan],
mencarikan pekerjaan bagi pengangguran, memberikan karyawan gaji yang
layak dan mencukupi, dsb-nya.
Dalam hal niskala, misalnya [contoh] mendoakan mahluk-mahluk
bawah dan hantu gentayangan untuk keselamatan dan kenyamanan

kehidupan mereka, menyelenggarakan upacara atau ritual penyeberangan


Atma yang dapat mengangkat serta menyempurnakan kedudukan Atma
yang masih menjadi hantu gentayangan, atau yang belum memperoleh
tempat yang baik, ataupun terjerumus ke alam-alam bawah, dsb-nya. Di
Bali ada banyak jenis upacara seperti ini, misalnya upacara penyupatan
Atma, upacara nilapati, dsb-nya.
== 7]. Dharma Yadnya : belas kasih sebagai yadnya [persembahan suci]
dalam bentuk menyebarkan ajaran dharma.
Ini adalah bentuk kebaikan maha-mulia dimana kita melakukan suatu
usaha dengan belas kasih untuk membebaskan mahluk lain dari siklus
samsara, atau setidaknya untuk menyelamatkan perjalanan mahluk lain dari
bahaya siklus samsara. Misalnya [contoh] membagikan dan menyebarkan
buku-buku ajaran dharma secara gratis, memberikan dharma wacana yang
mencerahkan secara gratis, mengajar meditasi secara gratis, memberikan
sumbangan uang [disebut dharma dana] untuk penyebaran ajaran dharma,
dsb-nya.
Sekecil apapun kebaikan, pertolongan, pemberian dan pelayanan
yang kita lakukan untuk orang lain, selalulah melakukannya dengan
ketulusan. Siapa saja yang terus-menerus melakukan kebaikan dengan
tulus dalam keseharian, suatu hari akan menemukan kesadarannya menjadi
jernih dan terang bercahaya.
Melakukan kebaikan tidak hanya berguna bagi mahluk lain, tapi
terutama sekali sangat berguna untuk diri kita sendiri. Ketekunan kita untuk
terus melaksanakan kebaikan-kebaikan dengan tulus tidak saja akan
memberikan kita keberuntungan secara karma [mengumpulkan akumulasi
karma baik, atau bahkan menghapus karma buruk], tapi sekaligus juga akan
membuat kita dari hari ke hari terus melemahkan cengkeraman pikiranperasaan dan ego [ke-aku-an, ahamkara] pada kesadaran. Ini adalah bagian
dari hukum alam.

Melakukan kebaikan yang tulus tidak saja menyegarkan pikiran


mahluk lain, tapi juga akan menyegarkan pikiran kita sendiri. Melakukan
kebaikan yang tulus tidak saja membahagiakan hati mahluk lain, tapi juga
akan membahagiakan hati kita sendiri. Melakukan kebaikan yang tulus
tidak saja menjernihkan pikiran mahluk lain, tapi juga akan menjernihkan
pikiran kita sendiri.

[2]. TIDAK MENYAKITI.


Praktek spiritual tidak menyakiti sebagai jalan belas kasih, terkait
sangat erat dengan kejernihan, ketenangan dan kesadaran di dalam diri.
Terutama karena di alam ini terdapat hukumnya, yaitu apapun perkataan
yang kita ucapkan dan perbuatan yang kita lakukan, secara pasti akan
memantul balik ke dalam kecenderungan pikiran kita sendiri.
Artinya, jika kita sering-sering menyakiti orang lain melalui perkataan
yang kita ucapkan, atau kita sering-sering menyakiti orang lain melalui
perbuatan yang kita lakukan, maka sebagai akibatnya kita akan sangat sulit
untuk dapat memiliki pikiran-perasaan yang didominasi oleh kekuatan
positif, kejernihan, ketenangan dan kebahagiaan. Sebaliknya, di dalam diri,
pikiran-perasaan kita akan didominasi oleh kekuatan negatif, kekeruhan,
keresahan dan kegelisahan.
Terdapat suatu rumus sederhana di jalan pengembangan dan
kebangkitan kesadaran. Yaitu, seseorang yang memperlakukan orang lain
dengan tidak baik dan menyakiti, sesungguhnya dia sedang menodai dan
mengotori dirinya sendiri. Sebaliknya, seseorang yang memperlakukan
orang lain dengan baik dan tidak menyakiti, sesungguhnya dia sedang
menyucikan dan membersihkan dirinya sendiri.
Siapa saja yang sering-sering mengucapkan PERKATAAN tidak sedap
menyangkut orang lain, seperti menghina orang lain, merendahkan orang
lain, menjelekkan orang lain, mengkritik orang lain, dsb-nya, suatu hari dia
akan kehilangan kejernihan dirinya sendiri di dalam. Karena kata-kata yang

sering-sering diucapkan secara pasti akan membentuk kualitas kesadaran di


dalam diri. Sebaliknya, siapa saja yang terbiasa menggunakan kata-kata
yang baik dan halus [tidak menyakiti], suatu hari kesadarannya juga akan
baik dan halus. Demikianlah hukumnya di alam ini. Sehingga kita
berusahalah sesedikit mungkin mengeluarkan kata-kata tidak sedap
terhadap orang lain, karena hal itulah yang suatu hari kelak dapat membuat
kesadaran kita menjadi jernih dan terang bercahaya.
Siapa saja yang sering-sering melakukan PERBUATAN yang menyakiti
orang lain, seperti mengganggu orang lain, melukai orang lain, merugikan
orang lain, mengerjai orang lain, dsb-nya, suatu hari dia akan kehilangan
kejernihan dirinya sendiri di dalam. Karena perbuatan yang sering-sering
dilakukan secara pasti akan membentuk kualitas kesadaran di dalam diri.
Sebaliknya, siapa saja yang terbiasa memperlakukan orang lain dengan baik
[tidak menyakiti], suatu hari kesadarannya juga akan baik. Demikianlah
hukumnya di alam ini. Sehingga kita berusahalah sesedikit mungkin
melakukan perbuatan yang menyakiti orang lain, karena hal itulah yang
suatu hari kelak dapat membuat kesadaran kita menjadi jernih dan terang
bercahaya.
Ketekunan dan ketulusan kita untuk melaksanakan praktek tidak
menyakiti sebagai jalan belas kasih, yaitu tidak menyakiti melalui perkataan
yang kita ucapkan dan tidak menyakiti melalui perbuatan yang kita lakukan,
hal itu sama sekali bukan sesuatu yang remeh. Karena sebagai hasilnya
adalah kita sudah menjaga kekuatan positif, kejernihan, ketenangan dan
kebahagiaan di dalam pikiran-perasaan kita, sekaligus kita sedang
menghidupkan cahaya kesadaran di dalam diri.
Jika saja kita bersedia membuka mata hati kita dari cangkang ego
[ahamkara,ke-aku-an] yang sempit dan kaku, maka kita akan dapat melihat
bahwa semua orang memiliki masalah mereka masing-masing, semua
orang memiliki kesengsaraan mereka masing-masing, semua orang
memiliki luka-luka perasaan mereka masing-masing. Bukan hanya sebatas
orang-orang yang kelihatan sengsara saja. Tapi semua orang.

Jika kita dapat menyadari hal ini dengan baik, maka kita akan dapat
belajar memperlakukan orang lain secara lebih baik dan pantas. Kita dapat
belajar bersikap lebih baik dan lebih belas kasih kepada orang lain. Tidak
hanya berpikir dan memandang orang lain dari sudut pandang pikiran dan
perasaan kita sendiri saja, yang tidak lebih merupakan sifat egois, yang
miskin empati.
Tekunlah untuk mempraktekkan tidak menyakiti sebagai jalan belas
kasih. Berusahalah agar kehadiran kita tidak menimbulkan penderitaan dan
rasa takut bagi siapapun. Sebaliknya, agar kehadiran kita justru dapat
memberikan kegembiraan, sukacita, kesenangan, atau kebahagiaan bagi
siapa saja. Itulah jalan untuk membuat kesadaran kita menjadi jernih dan
terang bercahaya.

Bab 4

SADHANA 4
Mengekspresikan Diri : Melakukan Apa Saja Yang Membuat Kita
Merasa Lepas, Damai Dan Bahagia Di Dalam Diri

Perjalanan spiritual mendalam tidak selalu berisi hal-hal yang serius


saja. Tapi merupakan suatu kombinasi, yang juga berisi perbuatan
mengekspresikan diri dan membangkitkan energi sukacita.
Praktek mengekspresikan diri menghantarkan kesadaran kita menuju
ketinggian yang ringan. Praktek meditasi dan belas kasih menghantarkan
kesadaran kita menuju kedalaman yang dalam. Praktek mengekspresikan
diri membuat benih-benih kesadaran di dalam diri kita menjadi mekar.
Praktek meditasi dan belas kasih membuat kesadaran kita menjadi sangat
terang bercahaya. Keduanya bersifat saling melengkapi dan saling
memperkaya kesadaran di dalam diri.
Mengekspresikan diri adalah suatu praktek spiritual yang sifatnya
adalah sangat pribadi. Artinya, tidak ada seorangpun yang bisa
memberitahu, atau mendikte, atau mengatur kita bagaimana jalan atau
caranya. Hanya diri kita sendirilah yang paling tahu. Tidak boleh
diseragamkan dan tidak boleh diorganisasi. Karena akan menghancurkan
keunikan dan keotentikan masing-masing manusia, sekaligus menciptakan
penghalang besar bagi penemuan sukacita mendalam di dalam diri dan
kebebasan dari cengkeraman perasaan yang gelap.

Setiap manusia itu unik dan otentik. Setiap manusia memiliki


kecenderungan, kebutuhan dan arah pertumbuhan spiritual yang berbedabeda. Kita sendirilah yang harus mencari dan menemukan jalan kita sendiri
untuk mengekspresikan diri.

[1]. SKEMA EMOSI MANUSIA.


Bagi orang-orang biasa, yang pikirannya masih dicengkeram kuat
oleh dualitas pikiran seperti kotor-suci, buruk-baik, salah-benar, dsb-nya,
serta bagi orang-orang yang pikirannya lama terjerat oleh dogma dan
doktrin agama, mungkin saja mengekspresikan diri sebagai sadhana
[praktek spiritual] akan terdengar sangat aneh. Terutama karena
mengekspresikan diri tidak terlihat sebagai sesuatu yang suci atau sesuatu
yang baik, sehingga tidak dapat termasuk sebagai sesuatu yang spiritual.
Perlu dijelaskan bahwa jantung ajaran Tantra dan Upanishad adalah
KEUTUHAN. Perhatikan bahwa bukan KESUCIAN SEMPURNA, tapi
KEUTUHAN. Karena segala sesuatu secara UTUH dan menyeluruh adalah
manifestasi dari Brahman. Semua fenomena adalah tarian kosmik Shiwa
[Shiwa Nataraja] yang sama. Dualitas kotor-suci, buruk-baik, salah-benar,
dsb-nya, hanya ada dalam pikiran manusia yang terkondisi.
Para Guru spiritual Agung yang sudah mencapai pencerahan
Kesadaran Atma akan mengerti, bahwa mengekspresikan diri adalah bagian
sangat penting dari praktek spiritual yang mendalam. Kita dapat melihat
sendiri pada sadhaka [praktisi spiritual] yang keras mengekang dan
menekan dirinya dengan aturan, larangan dan tata krama sopan-santun,
maka di dalam diri mereka merasakan kegelisahan, atau ketegangan, atau
perasaan tidak bahagia, atau memendam hasrat duniawi, atau memendam
kemarahan, dsb-nya. Di dalam diri mereka persis seperti gunung berapi
yang siap meletus.
Mengekspresikan diri bertujuan untuk menghidupkan energi sukacita
mendalam di dalam diri manusia. Mengekspresikan diri bertujuan membuat

benih-benih kesadaran di dalam diri kita dapat menjadi mekar. Jika kita
tidak mengekspresikan diri, jika kita terlalu menekan diri, maka benih-benih
kesadaran di dalam diri akan sangat sulit untuk mekar.
Mengekspresikan diri terkait sangat erat dengan skema emosi
manusia. Dimana skema emosi manusia terbagi menjadi dua bagian. Yaitu
sebagai berikut :
== [1]. Emosi bagian dalam yang terletak jauh di lubuk pikiran seperti
seperti sedih-senang, sengsara-bahagia, dsb-nya.
== [2. Emosi bagian luar seperti perasaan malu, sopan-santun, dsb-nya.
Jika emosi bagian luar, seperti perasaan malu, sopan-santun, dsb-nya,
dalam jangka waktu lama menekan pikiran kita, maka emosi bagian dalam,
akan seperti air besar yang gagal mengalir. Ketika air besar itu lama
menumpuk di dalam, diri maka manusia di dalam dirinya akan merasakan
kegelisahan, atau ketegangan, atau perasaan tidak bahagia, atau
memendam hasrat duniawi, atau memendam kemarahan. Suatu waktu
nanti, jika seandainya air besar itu menumpuk penuh, disana akan terlihat di
permukaan dalam bentuk stres, atau depresi, atau penyakit, atau bahkan
ada yang mengalami gangguan kejiwaan.
Emosi bagian luar seperti rasa malu, sopan-santun, dsb-nya, bukanlah
suatu hal yang murni, melainkan suatu hal yang bersifat buatan. Rasa malu
dan sopan-santun bisa muncul dari pikiran yang terkondisi, yang dibentuk
oleh penghakiman orang lain dan pikiran salah orang lain, atau bisa juga
muncul dari penolakan, kegelisahan dan ketidaknyamanan diri kita sendiri
di dalam. Rasa malu, serta aturan, larangan dan tata krama sopan-santun
ibaratnya adalah racun bagi kesadaran di dalam diri, yang akan membuat
benih-benih kesadaran di dalam diri gagal untuk mekar.
Tentu saja tidak semua emosi bagian luar itu buruk, karena memang
ada rasa malu dan sopan-santun yang baik, yaitu rasa malu untuk berbuat

kejahatan dan rasa malu untuk menyakiti orang lain. Tapi sisanya selain itu,
rasa malu dan sopan-santun adalah tembok penghalang besar bagi bangkit
dan mekarnya kesadaran di dalam diri.
Inilah tujuan dari mengekspresikan diri. Yaitu untuk membuka lebar
emosi bagian luar, sehingga emosi di dalam dapat mengalir keluar. Sebagai
hasilnya, kita cenderung lebih mudah menjadi seorang manusia dengan
berlimpah energi sukacita di dalam diri.
Kita manusia sudah sangat lama didikte dan ditekan oleh
pengkondisian pikiran yang membuat tertahannya emosi bagian luar.
Karena secara agama, atau secara budaya, terdapat banyak sekali aturan
dan larangan dengan alasan moralitas yang baik, sesuai ajaran agama,
kesopanan, tata krama, etiket, hidup yang benar, hidup yang beradab, dan
sejenisnya, yang sifatnya sangat dualistik [salah-benar, buruk-baik, dsbnya]. Semua itu dapat membuat tertahannya emosi bagian luar.
Sehingga sebelum pikiran kita di dalam kita dilukai oleh aturan dan
larangan seperti itu, mari kita mulai mengekspresikan diri. Dengarkan
panggilan kita di dalam. Kenali keadaan diri kita sendiri, agar kita bisa
melihat dan memahami kebutuhan diri kita sendiri yang unik dan berbeda
dengan orang lain. Kemudian ekspresikan diri kita dengan penuh
kebebasan dan perasaan sukacita. Lakukan apa saja yang membuat kita
merasa nyaman, lepas, damai dan bahagia di dalam diri, yang membuat
kita merasa hidup, bersemangat dan berlimpah energi sukacita, tanpa
melibatkan pola dualitas pikiran seperti salah-benar, buruk-baik, kotor-suci,
berdosa-tidak berdosa, tidak sopan-sopan, dsb-nya, dengan Yoga Punya
[tuntunan cahaya di dalam diri] dan belas kasih sebagai penjaga-nya.

[2]. MENGEKSPRESIKAN DIRI.


Hampir semua pengetahuan tentang diri kita diberikan oleh orang
lain dan berasal dari orang lain. Seperti nama lahir, suku, ras, kebangsaan,

bahasa, norma-norma sosial, dsb-nya, semuanya datang dari sudut


pandang dan pengalaman orang lain.
Hal ini bahkan termasuk menyangkut tekstur pikiran kita. Tidak saja
ilmu psikologi yang memberikan sudut pandang penilaian dan pengalaman
orang lain ke dalam pikiran kita, bahkan ajaran agamapun juga sama
memberikan sudut pandang penilaian dan pengalaman orang lain ke dalam
pikiran kita. Inilah salah satu akar dari semua kegelisahan dan keterasingan
di dalam diri kita manusia. Semua hal itu membuat kita menjadi
memandang diri kita sendiri berdasarkan sudut pandang penilaian dan
pengalaman orang lain. Padahal sesungguhnya, tekstur pikiran setiap
manusia itu masing-masing adalah unik, otentik dan berbeda-beda satu
sama lain. Sehingga apapun sudut pandang yang berasal dari penilaian dan
pengalaman orang lain tidak akan pernah bisa benar-benar pas dan sesuai
untuk diri kita.
Mengekspresikan diri memberikan kita jalan yang sangat lapang
untuk mengungkapkan diri kita yang unik dan otentik. Membantu kita
menemukan sisi-sisi terindah dari diri kita sendiri, membantu kesadaran kita
untuk mekar dan berkembang. Mengekspresikan diri menjadi langkah
spiritual yang penting jika membuat kita menjadi berani untuk menerima
diri kita sendiri seperti apa adanya, menjalani hidup kita sebagaimana
adanya, dengan cara kita sendiri, dengan cara unik kita sendiri.
Yang dimaksud dengan mengekspresikan diri, melakukan apa saja
yang membuat kita merasa lepas, damai dan bahagia di dalam diri adalah
melakukan suatu hal, suatu aktifitas, suatu kegiatan, apa saja, apapun itu,
kemudian kita rasakan di dalam diri, rasakan tanpa dualitas baik-buruk,
salah-benar, suci kotor, dsb-nya, bahwa hal itu membuat kita merasa
nyaman, lepas, damai dan bahagia di dalam diri, bahwa hal itu membuat
kita merasa hidup, bersemangat dan berlimpah energi sukacita. Itulah yang
dimaksud dengan mengekspresikan diri.

Tapi ini sama sekali tidak berarti kita mabuk minuman keras atau
mengkonsumsi narkoba. Tentu saja tidak. Karena mabuk minuman keras
atau mengkonsumsi narkoba, berarti kita memasukkan sesuatu ke dalam
tubuh kita untuk membuat kita merasa lepas dan bahagia. Hal itu
merupakan sesuatu yang datang dari luar yang kita masukkan ke dalam
tubuh kita, merupakan sesuatu yang buatan, bukan sesuatu yang asli alami
datang dari dalam diri. Hal itu analoginya seperti kita berusaha menutupi
lubang dengan membuat lubang baru yang lebih besar. Lama-kelamaan
kita akan menjadi kacau di dalam. Sehingga hal itu harus kita hindari.
Mengekspresikan diri kemunculannya harus benar-benar asli alami
datang dari dalam diri kita. Yaitu dalam bentuk kita melakukan suatu
kegiatan, kita melakukan apa saja, yang dapat membuat kita merasa
nyaman, lepas, damai dan bahagia di dalam diri, yang dapat membuat kita
merasa hidup, bersemangat dan berlimpah energi sukacita, tanpa dualitas
baik-buruk, salah-benar, suci kotor, dsb-nya. Itulah yang disebut dengan
mengekspresikan diri.
Penjaga kita di dalam mengekspresikan diri ada 2 [dua]. Yaitu penjaga
pertama [1] adalah Yoga Punya atau tuntunan cahaya di dalam diri, sebagai
hasil ketekunan kita melakukan praktek meditasi. Serta penjaga kedua [2]
adalah belas kasih. Terutama karena di alam semesta ini terdapat HUKUM
KARMA. Dalam bahasa yang mudah dimengerti, hal ini berarti bahwa di
dalam melakukan praktek spiritual mengekspresikan diri, jagalah diri kita
agar kita tidak sampai mengucapkan perkataan, atau melakukan perbuatan,
yang menimbulkan rasa sakit dan kesengsaraan bagi orang lain, sehingga
kita akan terhindar dari membuat karma yang fatal dan berbahaya.
Hukum karma tidak mengenal moralitas yang baik, ajaran agama,
kesopanan, tata krama, etiket, hidup yang benar, hidup yang beradab, dan
sejenisnya, yang sifatnya dualistik [salah-benar, buruk-baik, dsb-nya].
Hukum karma tidak mengenal dualitas baik-buruk, salah-benar, suci-kotor,
dst-nya. Semua bentuk dualitas hanya ada dalam pikiran manusia yang

belum tersentuh oleh pencerahan Kesadaran Atma. Hukum Karma tidak


mengenal semua itu.
Yang ada dalam hukum karma hanya SEBAB dan AKIBAT. Hanya itu
saja. Hanya SEBAB dan AKIBAT. Yaitu seperti apapun bentuk rasa sakit dan
kesengsaraan yang kita timbulkan ke orang lain, suatu saat kelak [di masa
depan atau di kehidupan berikutnya] hal itu akan balik kembali ke diri kita
sendiri dalam bentuk rasa sakit dan kesengsaraan. Sebaliknya, seperti
apapun bentuk kebahagiaan dan sukacita yang kita berikan ke orang lain,
suatu saat kelak [di masa depan atau di kehidupan berikutnya] hal itu akan
balik kembali ke diri kita sendiri dalam bentuk kebahagiaan.
Secara mendasar, mengekspresikan diri bertujuan untuk membuka
lebar emosi bagian luar, sehingga emosi di bagian dalam dapat mengalir
keluar. Akan tetapi, saya [penulis] tidak dapat memberikan Anda pilihan
caranya yang paling tepat. Saya hanya bisa memberikan Anda garis
besarnya saja. Tapi yang mana yang paling tepat untuk diri Anda sendiri,
hanya Anda sendiri yang paling tahu. Karena setiap manusia itu unik dan
otentik. Setiap manusia memiliki kecenderungan, kebutuhan dan arah
pertumbuhan spiritual yang berbeda-beda.
Ada banyak sekali pilihan cara untuk mengekspresikan diri. Beberapa
contoh di bawah ini hanyalah sebagian kecil saran saja :
== 1]. Melakukan kegiatan yang menyenangkan.
Banyak tertawa dan bercanda yang sehat, yaitu tertawa dan bercanda
yang tidak menertawakan atau menghina orang lain. Lakukan hal-hal apa
saja yang mungkin kita suka, seperti misalnya [contoh] bersepeda, bermain
sepakbola, jalan kaki berkeliling, berenang di sungai yang airnya jernih,
memasak, berkebun, membuat kerajinan tangan, menonton film favorit,
mendengarkan musik yang terasa indah di hati [yang sesuai dengan selera
kita sendiri], melihat taman, menikmati keindahan arsitektur tempat suci
kuno, membaca buku, berkumpul dengan sahabat-sahabat kita, makan di

tempat makan favorit, atau mungkin sekedar bermain-main ceria seperti


anak kecil, dsb-nya.
== 2]. Melakukan perjalanan.
Lakukan perjalanan seperti apa saja yang mungkin kita suka, seperti
misalnya [contoh] jalan-jalan ke alam terbuka yang alami, melakukan
penjelajahan ke tempat yang belum pernah dikunjungi, melakukan
tirtayatra ke tempat suci yang sakral, jalan-jalan ke obyek wisata, dsb-nya.
== 3]. Melakukan kegiatan seni.
Seni adalah salah satu cara mengekspresikan diri yang baik. Seni
membantu menghidupkan bagian-bagian yang halus di dalam diri kita,
sekaligus melepaskan bagian-bagian yang kasar di dalam diri. Sebagaimana
dapat kita rasakan bersama, masyarakat menanam banyak sekali benihbenih kekerasan di dalam pikiran kita, seperti melalui penghakiman buruk,
kata-kata tidak sedap, dsb-nya. Tanpa upaya untuk membersihkan diri,
banyak manusia di jaman ini di dalam dirinya bisa menjadi penuh
kekerasan. Lakukan kegiatan seni apa saja yang mungkin kita suka seperti
misalnya [contoh] dengan menari, membuat lukisan, menulis, bermain
musik, dsb-nya.
== 4]. Melakukan kegiatan spiritual.
Kegiatan spiritual adalah salah satu cara mengekspresikan diri yang
sangat baik. Kegiatan spiritual dapat membantu kita menghidupkan
kesadaran di dalam diri, dapat membantu mengumpulkan akumulasi karma
baik, dapat membantu mengikis karma buruk, dapat membantu
memurnikan energi di dalam diri, atau dapat memberikan kita perlindungan
niskala. Lakukan kegiatan spiritual apa saja yang mungkin kita suka seperti
misalnya [contoh] melakukan Asana-Yoga, melakukan snana-widhi
[melukat] di tempat suci yang sakral, menjapakan mantra Ista Dewata,
sembahyang, dsb-nya.

Ada banyak sekali pilihan cara untuk mengekspresikan diri. Semua


contoh-contoh tersebut diatas hanya merupakan suatu garis besarnya saja.
Karena mengekspresikan diri, dalam pilihan yang tepat untuk setiap
manusia, sifatnya adalah sangat pribadi. Tidak ada seorangpun yang bisa
memberitahu atau mendikte kita bagaimana jalan atau caranya. Hanya diri
kita sendirilah yang tahu. Kita sendirilah yang harus mencari dan
menemukan jalan kita sendiri. Saya [penulis] hanya bisa memberikan Anda
garis besarnya saja, bagaimana cara mengekspresikan diri. Yang bertujuan
untuk membuka lebar emosi bagian luar [seperti perasaan malu, sopansantun, dsb-nya], sehingga emosi di dalam [seperti sedih-senang, sengsarabahagia, dsb-nya] dapat mengalir keluar. Tapi mana yang paling tepat
untuk diri sendiri, Andalah yang harus memilih dan menentukannya sendiri.
Sekali-sekali jika ada kesempatan dan situasi
keadaan
memungkinkan, belajar dan berusahalah mengekspresikan diri melepaskan
rasa malu pada hal-hal yang selama hidup kita banyak ditekan dan
dikondisikan secara psikologis oleh lingkungan dengan alasan tata krama,
ajaran agama, kesopanan, dsb-nya. Lakukanlah dengan kebebasan yang
penuh, tanpa dipengaruhi dan dikondisikan oleh dualitas baik-buruk, salahbenar, suci-kotor, dst-nya.
Kita bisa mengambil contoh kisah para sadhaka [praktisi spiritual]
jaman dahulu, seperti misalnya para sadhwika [sadhaka wanita] Tantra
Shiwa dalam sejarah Hindu yaitu Lalleshwari [Lalla Yogishwari] dan Akka
Mahadewi, mereka sudah tekun melaksanakan sadhana [praktek spiritual]
dan sedikit lagi akan mencapai pencerahan kesadaran Atma. Tapi mereka
masih belum mencapainya. Secara intuisi terdalam, dari cahaya kesadaran
di dalam diri, mereka membuka seluruh pakaiannya dan bertelanjang bulat
untuk selamanya. Darisanalah kemudian mereka berhasil mencapai
pencerahan kesadaran Atma. Rahasianya ada dalam skema emosi manusia.
Rasa malu akan tubuh adalah yang rasa malu yang paling utama dan
mendasar, yang membuat kita gagal terhubung dengan alam semesta.
Mereka membuka lebar emosi bagian luarnya, sehingga emosi di dalam

mengalir deras keluar, sebagai hasilnya, dari sedikit lagi akan mencapai
pencerahan kesadaran Atma, mereka berhasil mencapai pencerahan
kesadaran Atma.
Sama sekali tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Mereka
memutuskan untuk diri mereka sendiri. Tidak ada seorangpun yang dapat
mendikte dan menekan keputusan buruk-baik, salah-benar, dsb-nya, untuk
mereka. Dualitas hanya ada dalam pikiran manusia yang terkondisi. Satusatunya pengertian tentang baik dan benar adalah apa yang muncul dari
intuisi terdalam, dari Yoga Punya, cahaya kesadaran di dalam diri.
Mengekspresikan diri adalah sadhana [praktek spiritual] mendalam
yang secara logika paling tidak masuk akal. Sehingga hanya mereka yang
siap untuk menerima resiko dan memasuki yang tidak masuk akal yang
akan mampu mengetahui apa itu keheningan, apa itu kedamaian sejati di
dalam diri, apa itu pencerahan kesadaran Atma. Perlu keberanian yang luar
biasa, dibutuhkan kesiapan untuk resiko. Pencerahan kesadaran Atma
hanya milik mereka yang berani mengambil resiko. Itu bukan milik mereka
yang hanya mau keamanan dan kenyamanan saja.
Perjalanan spiritual mendalam tidak selalu berisi hal-hal yang serius
saja. Tapi merupakan suatu kombinasi, yang juga berisi perbuatan
mengekspresikan diri dan membangkitkan energi sukacita di dalam diri.
Praktek mengekspresikan diri menghantarkan kesadaran kita menuju
ketinggian yang ringan. Praktek meditasi dan belas kasih menghantarkan
kesadaran kita menuju kedalaman yang dalam. Praktek mengekspresikan
diri membuat benih-benih kesadaran di dalam diri kita menjadi mekar.
Praktek meditasi dan belas kasih membuat kesadaran kita menjadi sangat
terang bercahaya. Keduanya bersifat saling melengkapi dan saling
memperkaya kesadaran di dalam diri.
Mengekspresikan diri akan membuka lebar emosi bagian luar [seperti
perasaan malu, sopan-santun], sehingga emosi di bagian dalam [seperti
sedih-senang, sengsara-bahagia] dapat mengalir keluar. Mengekspresikan

diri akan membebaskan kesadaran kita dari cengkeraman perasaan yang


gelap, akan menghidupkan energi sukacita mendalam di dalam diri, akan
membuat benih-benih kesadaran di dalam diri kita menjadi mekar, serta
akan menerangi hal-hal kecil di dalam diri, sehingga kemudian secara
keseluruhan kita akan dapat berjalan menuju pencapaian kesadaran dan
keagungan yang luar biasa.

[3]. MENJADI DIRI SENDIRI YANG UNIK DAN OTENTIK.


Seringkali dalam mengekspresikan diri, orang lain akan berusaha
menghambat kita. Kita ingin mengekspresikan diri yang sesuai dengan
panggilan suara hati kita di dalam, tapi orang lain [orang tua, keluarga,
tetangga, pemuka agama, pendeta, masyarakat, orang yang memiliki kuasa,
dsb-nya] tidak ingin kita melakukan sesuatu hal tersebut. Mereka ingin kita
mengikuti jalur yang mereka buat, dengan alasan moralitas yang baik,
ajaran agama, kesopanan, tata krama, etiket, hidup yang benar, hidup yang
beradab, dan sejenisnya. Sehingga kita terpaksa melakukannya, padahal di
dalam hati kita menolak karena kita ingin melakukan hal yang berbeda. Kita
melakukannya dengan terpaksa, hati kita tidak terlibat di dalamnya. Itu
bukan pilihan kita. Kita melakukannya seperti budak, karena tidak datang
dari keunikan dan keotentikan diri kita sendiri.
Mudah untuk mengikuti dikte dan tekanan dari orang lain. Karena hal
itu akan memberikan sebentuk situasi yang nyaman secara sosial. Orang
lain [orang tua, keluarga, tetangga, pemuka agama, pendeta, masyarakat,
orang yang memiliki kuasa, dsb-nya] akan gembira jika kita mengikuti
gagasan mereka tentang moralitas yang baik, ajaran agama, kesopanan,
tata krama, etiket, hidup yang benar, hidup yang beradab, dan sejenisnya.
Ketika kita patuh dan mengikutinya mereka merasa gembira. Walaupun
gagasan mereka itu tidak memiliki nilai sama sekali secara spiritual, tidak
membuat mereka mengalami pencerahan Kesadaran Atma. Tapi justru
sebaliknya, hal itu membuat di dalam diri mereka merasa gelisah, tegang,
tidak bahagia, atau memendam hasrat duniawi, atau memendam
kemarahan. Di dalam diri mereka cengkeraman pikiran-perasaan pada

kesadarannya masih tetap kuat. Tapi mereka tetap saja berusaha


menerapkannya kepada orang lain.
Setiap manusia itu unik dan otentik. Memiliki kecenderungan,
kebutuhan dan arah pertumbuhan spiritual yang berbeda-beda. Ketika
orang lain mendikte dan menekan kita bahwa HARUS melakukan ini dan itu
secara seragam, dengan alasan moralitas yang baik, ajaran agama,
kesopanan, tata krama, etiket, hidup yang benar, hidup yang beradab, dan
sejenisnya, maka secara alami di dalam diri, pikiran dan perasaan kita akan
TERBELAH.
Pikiran dan perasaan yang TERBELAH itu akan membuat manusia
menjalani kehidupan ganda. Akibat dikte dan tekanan orang lain tentang
moralitas yang baik, ajaran agama, kesopanan, tata krama, etiket, hidup
yang benar, hidup yang beradab, dan sejenisnya, yang sifatnya sangat
dualistik [salah-benar, buruk-baik, dsb-nya], hampir semua manusia
menjalani kehidupan ganda. Dia mengatakan suatu hal atau melakukan
suatu hal, akan tetapi pikiran-perasannya bergerak ke arah yang berbeda.
Hal itu secara alami membuat manusia mengalami konflik di dalam dirinya
secara berkelanjutan. Dia terus bertempur dengan dirinya sendiri di dalam.
Dia terus menyakiti dirinya sendiri.
Jika manusia memilih untuk mengekspresikan diri sesuai dengan
suara hatinya, dia akan merasa bahwa dia sudah melawan masyarakat
umum dan orang yang memiliki kuasa, serta dia sudah melanggar moralitas
yang baik, ajaran agama, kesopanan, tata krama, etiket, hidup yang benar,
hidup yang beradab, dan sejenisnya. Hal ini membentuk suatu kondisi di
dalam pikiran-perasan manusia, suatu kondisi yang ditanamkan oleh orang
lain [orang tua, keluarga, tetangga, pemuka agama, pendeta, masyarakat,
orang yang memiliki kuasa, dsb-nya], suatu kondisi pikiran yang membuat
manusia sibuk mengutuk dan menyalahkan dirinya sendiri. Hal itu salah, hal
itu tidak pantas, seharusnya kamu tidak melakukan itu, kamu tidak
bermoral, kamu berdosa, atau kamu salah. Kondisi bawah sadar itu akan

menikam dirinya, akan menyiksanya, membuatnya gelisah, tegang, tidak


bahagia dan merasa bersalah.
Sebaliknya, jika manusia memilih untuk TIDAK mendengarkan suara
hatinya, tapi mengikuti dikte dan tekanan orang lain tentang tentang
moralitas yang baik, ajaran agama, kesopanan, tata krama, etiket, hidup
yang benar, hidup yang beradab, dan sejenisnya, maka suara hatinya akan
menekan dirinya. Terus menekan dirinya.
Itulah yang terjadi pada sebagian besar manusia. Pikiran dan
perasaan manusia TERBELAH. Membuatnya memiliki kehidupan dan
kepribadian ganda. Serta di dalam dirinya manusia akan merasakan
kegelisahan, atau ketegangan, atau perasaan tidak bahagia, atau
memendam hasrat duniawi, atau memendam kemarahan.
Bahkan seringkali terjadi pada manusia, dimana emosi bagian dalam
[seperti sedih-senang, sengsara-bahagia, dsb-nya] benar-benar tertahan,
yang ditandai dengan di dalam diri sering merasa gelisah, tegang, tidak
bahagia, sulit tidur, atau memendam kemarahan, atau bahkan sudah
terlihat di permukaan dalam bentuk stres, depresi, penyakit, atau bahkan
gangguan kejiwaan. Di titik kritis tersebut, jangan menunda-nunda lagi,
segeralah belajar dan berusaha untuk mengekspresikan diri. Sebelum kita
mengalami kerusakan dan kehancuran di dalam diri.
Mengekspresikan diri dengan cara kita sendiri, dengan menjadi diri
sendiri, adalah praktek spiritual yang paling penuh tantangan, tapi
sekaligus paling mendamaikan di dalam diri. Yaitu mengekspresikan diri
sesuai dengan panggilan alami kita di dalam diri, serta mengabaikan
standar ideal yang dibuat orang lain tentang diri kita, kemudian dengan
rasa sukacita menjadi diri kita sendiri seperti apa adanya.
Semakin keras kita berusaha memenuhi standar ideal, keinginan dan
harapan orang lain, maka semakin beratlah tumpukan beban mental di
dalam diri kita. Beban mental yang berat itu dapat menjerumuskan kita ke

jurang gangguan pikiran. Tapi banyak orang yang tidak memiliki


keberanian untuk mengekspresikan diri, karena pikirannya sudah
terkondisikan dalam jangka waktu yang sangat lama, atau karena tekanan
dari lingkungan. Mereka yang menganggap bahwa hal yang paling sulit
dilakukan adalah untuk bersantai, untuk mengekspresikan diri.
Sesungguhnya, suatu hal yang mustahil untuk dilakukan di dunia ini
adalah dapat menyenangkan semua orang. Bahkan Guru spiritual paling
Agung-pun tidak dapat menyenangkan semua orang. Jika kita terus
berusaha mencoba untuk menyenangkan semua orang, kita akan merusak
hidup kita sendiri. Sekeras apapun usaha kita, pasti tetap akan ada orang
yang tidak senang. Tidak ada manusia yang bisa menyenangkan semua
orang, adalah mustahil untuk menyenangkan semua orang. Jangan
mencoba untuk berusaha menyenangkan semua orang, karena hal itu sama
dengan merusak diri kita sendiri.
Jangan pernah menjadi korban dari standar ideal orang lain dan
jangan membuat orang lain sebagai korban dari standar ideal kita. Kita
berada di dunia ini tidak untuk memenuhi harapan siapapun dan demikian
juga sebaliknya, tidak ada satupun orang yang berada di dunia ini untuk
memenuhi harapan kita. Mengekspresikan diri adalah bagian dari praktek
spiritual yang bersifat individualitas. Artinya, tidak ada orang lain yang bisa
memberitahu, atau mendikte, atau mengatur kita bagaimana jalan atau
caranya. Hanya diri kita sendiri yang tahu. Hormati individualitas diri kita
sendiri dan hormati individualitas orang lain.
Tidak ada kebenaran mutlak. Kebenaran selalu bersifat sangat relatif.
Mengapa diri kita terlihat benar, karena kita mengukur diri kita sendiri
dengan standar ukuran diri kita sendiri. Mengapa orang lain terlihat salah,
karena kita mengukur orang lain dengan standar ukuran diri kita sendiri.
Sehingga, jangan pernah ikut campur dengan menghakimi, mendikte, atau
mengatur, cara orang lain mengekspresikan dirinya. Demikian juga
sebaliknya, jangan mengijinkan siapapun untuk mencampuri cara kita

mengekspresikan diri. Hanya dengan cara begitu kemudian kesadaran kita


dapat mulai bercahaya.
Pahamilah kontradiksi ini, yaitu bahwa orang-orang yang terlalu keras
menekan dirinya dengan alasan moralitas yang baik, sesuai ajaran agama,
kesopanan, tata krama, etiket, hidup yang benar, hidup yang beradab, dan
sejenisnya, maka pikiran-perasaan mereka akan TERBELAH. Kesadaran
mereka akan gagal untuk mekar. Mereka akan kehilangan energi sukacita
mendalam di dalam diri. Mereka akan gagal untuk menemukan kedamaian
sejati di dalam diri. Mereka akan akan gagal mengalami pencerahan
Kesadaran Atma.
Akan tetapi pada kenyataannya, kita hidup di dunia dimana banyak
manusia tidak bahagia dengan dirinya sendiri. Sebagai akibatnya mereka
tidak dapat bahagia dengan orang lain. Mereka menjadi penuh dengan
penghakiman dan mudah mengucapkan perkataan menyakitkan. Inilah
tantangan bagi kita semua dalam mengekspresikan diri.
Orang-orang yang tidak bahagia dengan diri mereka sendiri, tidak
akan dapat bahagia dengan cara apapun. Apapun yang kita lakukan,
mereka pasti akan menemukan cara untuk menjadi tidak bahagia dengan
kita, disebabkan karena mereka sendiri tidak bisa bahagia dengan dirinya
sendiri. Berada di dalam pengaruh orang-orang seperti itu akan
menghalangi cahaya kesadaran di dalam diri kita dapat memancar indah.
Seperti lilin yang diterpa angin, sering-sering berada di dekat mereka dapat
membuat cahaya kesadaran di dalam diri kita menjadi padam.
Tentunya, ada cara agar kita selamat dari penghakiman dan kritik
pedas orang lain, yaitu pertama [1] kita pergi menghindar dari mereka, atau
mengabaikan mereka. Kedua [2] jika seandainya kita tidak dapat
menghindar atau mengabaikan mereka, kita sedikit berbicara tapi banyak
tersenyum. Karena menjawab [merespon] dengan perkataan terhadap
orang-orang yang penuh dengan kritik dan penghakiman, hanya akan
memperpanjang jumlah kerumitan yang sudah banyak. Sedikit berkata-kata

dikombinasikan dengan banyak tersenyum, tidak saja akan mengurai


kerumitan menjadi kesederhanaan, tapi juga bisa merubah kesengsaraan
menjadi pengertian. Artinya, mengerti bahwa orang yang penuh
penghakiman dan kritikan, di dalam dirinya sedang sengsara. Kemudian
kita tidak perlu menambahkan kesengsaraan dan kerumitan yang baru.
Salah satu bentuk ketakutan terbesar di dunia ini adalah menyangkut
pendapat orang lain tentang kita. Pada saat kita tidak lagi memiliki rasa
takut terhadap pendapat semua orang-orang banyak tentang kita, maka
secara simbolik kesadaran kita tidak lagi laksana seekor katak di dalam
sumur, tapi kesadaran kita telah menjadi laksana seekor burung elang
terbang tinggi bebas di angkasa yang tidak mengenal takut. Berani menjadi
diri sendiri yang otentik dan berani menjalani hidup kita sesuai dengan
tuntunan cahaya di dalam diri.
Ekspresikanlah diri kita sesuai dengan panggilan alami kita di dalam
diri, sebagaimana diri kita sendiri apa adanya, tanpa melibatkan dualitas
salah-benar, buruk-baik, kotor-suci. Ekspresikanlah diri kita sesuai dengan
panggilan alami kita di dalam diri, tanpa penyesalan dan tanpa rasa
bersalah. Lakukan apa saja yang membuat kita merasa nyaman, lepas,
damai dan bahagia di dalam diri, yang membuat kita merasa hidup,
bersemangat dan berlimpah energi sukacita, tanpa dualitas baik-buruk,
salah-benar, suci kotor, dsb-nya. Disanalah kita akan mulai terbebas dari
beban berat emosi di dalam, seperti sedih-senang, sengsara-bahagia, dsbnya, sekaligus terbebas dari beban berat untuk menginginkan pujian dan
pengakuan dari orang lain. Sehingga kemudian, pikiran-perasaan kita di
dalam menjadi ringan dan nyaman.
Apa jalan kita untuk mengekspresikan diri, hal itu hanya diri kita
sendiri yang tahu. Kriteria sederhana yang harus diingat adalah, apapun
yang di dalam diri membuat kita terasa lepas, damai dan bahagia, yang
membuat kita merasa hidup, bersemangat dan berlimpah energi sukacita,
terjadi karena kemauan kita sendiri, jika kita merasakan kemunculan suatu

energi sukacita yang indah di dalam diri melalui mengekspresikan diri,


maka itu adalah jalan kita.
Jika kita mulai melakukan apa yang didikte, ditekan atau diatur oleh
orang lain, di dalam diri kita akan mulai menjadi kacau. Kita akan
melakukan usaha untuk melawan diri kita sendiri. Hal itu tidak akan alami.
Kita menjadi memaksa diri kita sendiri dan ini akan menghancurkan seluruh
keindahan, kedamaian dan keheningan di dalam diri.
Sehingga setiap orang harus mencari tahu apa cara mengekspresikan
diri yang sesuai dengan panggilan di dalam dirinya. Setiap orang harus
mencari tahu apa yang paling tepat untuk dirinya sendiri. Jika kita
merasakan kenyamanan, perasaan lepas, damai dan bahagia, merasakan
kemunculan suatu energi yang indah di dalam diri melalui
mengekspresikan diri, melalui melepaskan, maka itu adalah jalan kita.
Lakukan hal itu secara total. Jangan melihat ke samping dan jangan peduli
tentang apa yang orang lain katakan. Jangan peduli tentang apa yang
orang lain lakukan. Biarkan mereka melakukan apa yang mereka lakukan,
kita melakukan apa yang kita lakukan.
Mengekspresikan diri akan menuntun kita menjadi diri sendiri yang
unik dan otentik. Kita dapat menjadi diri kita sendiri yang UTUH dan
menyeluruh. Tidak akan ada lagi pikiran-perasaan yang TERBELAH. Darisana
kemudian terbuka pintu menuju penemuan kebebasan perasaan dan
sukacita mendalam di dalam diri.
Ekspresikanlah diri kita sesuai dengan panggilan alami kita sendiri di
dalam diri. Jadilah diri kita sendiri yang unik dan otentik. Jika kita terus
memikirkan apa pendapat orang lain, atau kita selalu menginginkan
pengakuan dari orang lain, maka kita akan hidup dalam penjara berbahaya.
Bahaya pertama, kita akan berkembang menjadi orang lain, hanya
persoalan waktu kita akan merasa hampa dan terasing dalam hidup kita
sendiri. Bahaya kedua, kehidupan kita akan bergerak dari gelap ke gelap.
Keadaannya mirip dengan merpati yang memaksakan diri menjadi kelinci.

Di mana-mana kita akan merasa resah dan gelisah, atau merasa tidak tentu
arah, atau merasakan kehilangan keyakinan diri.
Sehingga kemudian, belajarlah menjadi diri kita sendiri yang unik dan
otentik. Hal itu laksana pohon kaktus yang merasa bahagia tumbuh di
tanah kering dan bunga teratai yang merasa bahagia tumbuh di kolam
basah. Laksana pohon kelapa yang merasa bahagia tumbuh di tepi pantai
dan pohon pinus yang merasa bahagia tumbuh di lereng pegunungan.
Laksana harimau yang bahagia memakan daging dan kambing yang
bahagia memakan rumput. Laksana ikan yang merasa bahagia berenang di
air dan burung yang merasa bahagia terbang di angkasa. Semuanya merasa
bahagia menjadi dirinya sendiri yang unik dan otentik.
Biarkan saja orang lain mengatakan kita begini dan begitu.
Penghakiman dan kata-kata tidak sedap yang diucapkan orang tentang diri
kita, itu adalah racun yang mereka minum untuk pikiran mereka sendiri.
Ingatlah selalu bahwa menjadi bahagia adalah spiritual. Menjadi
bahagia adalah mulia. Hanya orang yang dapat membahagiakan dirinya
sendiri yang kemudian dapat membahagiakan orang lain secara
mengagumkan. Laksana pohon rindang yang dapat menyejukkan banyak
mahluk yang berteduh di bawahnya, demikian juga dengan orang yang di
dalam dirinya berlimpah dengan perasaan sukacita. Sehingga sesibuk
apapun pekerjaan kita, seberat apapun tugas rumah tangga kita, selalu
sediakan waktu untuk membuat diri kita bahagia. Lakukan apa saja yang
membuat kita merasa lepas, damai dan bahagia di dalam diri, yang
membuat kita merasa hidup, bersemangat dan berlimpah energi sukacita.
Ekspresikan diri kita sesuai dengan panggilan alami kita di dalam diri, tanpa
melibatkan dualitas salah-benar, buruk-baik, kotor-suci.
Ini bukanlah praktek spiritual untuk menjadi egois, ini bukanlah
praktek spiritual yang mementingkan diri sendiri, melainkan praktek
spiritual untuk membebaskan diri kita dari pikiran-perasaan yang
TERBELAH. Untuk membuka lebar emosi bagian luar sehingga emosi di

dalam dapat mengalir keluar, untuk membebaskan kesadaran kita dari


cengkeraman perasaan yang gelap, untuk membangkitkan energi sukacita
di dalam diri, untuk berani menerima diri kita sendiri seperti apa adanya,
untuk menemukan sisi-sisi terindah dari diri kita sendiri, serta untuk
mengungkapkan diri kita yang unik dan otentik. Semua hal itu membantu
kesadaran kita untuk dapat mekar berkembang dan bercahaya, sekaligus
mempersiapkan diri kita agar dapat menolong dan membahagiakan orang
lain secara lebih mendalam.

Bab 5

SADHANA 5
Menyatu Dengan Saat Ini Dalam Keutuhan

Jantung dari ajaran Upanishad dan Tantra adalah menemukan


KEUTUHAN. Perhatikan bahwa bukan mencapai KESUCIAN SEMPURNA, tapi
menemukan KEUTUHAN. Keinginan kita untuk menjadi suci sempurna
adalah muncul dari avidya [ketidaktahuan] dan ahamkara [ego]. Ego selalu
memiliki kecenderungan untuk menjadi perfeksionis. Keinginan untuk
menjadi suci sempurna tidak saja pasti akan gagal, tapi sekaligus juga akan
menjerumuskan kita ke jurang gangguan pikiran.
Mencapai kesucian sempurna adalah suatu keinginan. Untuk dapat
mencapainya tentu saja membutuhkan suatu jangka waktu. Mencapai
kesucian sempurna selalu berada di masa depan. Kita harus mengorbankan
saat ini untuk masa depan. Sedangkan menyatu dalam KEUTUHAN adalah
sesuatu yang sangat berbeda, karena adanya disini, disaat ini, sekarang.
Apapun yang sedang terjadi adanya selalu disini, disaat ini, sekarang.
Masa depan belum ada. Masa depan hanyalah tumpukan hayalan dan
bayangan yang tidak nyata. Sedangkan masa lalu sudah tidak ada lagi.
Masa lalu hanyalah tumpukan ingatan dan kenangan bagaikan jejak-jejak
kaki di pasir pantai yang sudah hilang disapu ombak dan dihembus angin.
Disaat pikiran kita melompat dari waktu disaat ini [ke masa depan
atau ke masa lalu], disaat itu juga di dalam diri kita akan mulai muncul
benih-benih kegelisahan, ketegangan, perasaan tidak bahagia atau

kemarahan. Kita tidak dapat menjadi diri kita sendiri yang UTUH dan
menyeluruh. Pikiran-perasaan kita akan TERBELAH. Kita tidak akan dapat
merasakan sukacita mendalam dan kedamaian sejati di dalam diri.
Kenyataan kosmik semesta hanya mengenal saat ini, tidak mengenal
masa depan dan masa lalu. Saat ini adalah satu-satunya ruang dan waktu.
Masa lalu sudah tidak ada lagi, masa depan belum ada. Jika pikiran kita
berada pada masa lalu atau masa depan, kita akan kehilangan moment saat
ini. Kita akan menjauh dari kenyataan kosmik semesta. KEUTUHAN adanya
disini, disaat ini, sekarang. Hanya jika kita berada disaat ini, disini, sekarang,
disanalah letaknya KEUTUHAN.

[1]. MELAKSANAKAN SWADHARMA [TUGAS KEHIDUPAN].


Jika kita perhatikan, secara garis besar, ada 2 [dua] pemahaman
manusia tentang kenyataan kehidupan, yaitu :
== Kelompok pertama berasal dari pemahaman para SPIRITUALIS, yang
sepenuhnya terobsesi terhadap kesadaran di dalam diri saja dan
memandang kenyataan kehidupan ini adalah maya [ilusi].
== Kelompok kedua berasal dari pemahaman para ILMUWAN, yang
sepenuhnya terobsesi terhadap dunia material saja dan memandang bahwa
kesadaran di dalam diri itu tidak ada.
Kedua kelompok tersebut memandang kenyataan kehidupan ini
secara tidak tepat. Jika kenyataan kehidupan ini adalah maya [ilusi],
mengapa kita tetap harus bekerja mencari penghidupan, mengapa kita
tetap harus mencari makan saat lapar, mengapa kita tetap harus mencari air
saat haus, mengapa kita tetap harus tidur saat mengantuk, dsb-nya.
Sebaliknya, jika kesadaran di dalam diri itu tidak ada, darimana datangnya
rasa kasih sayang, belas kasih, pikiran kreatif, analisa, intuisi, kedamaian,
keheningan, dsb-nya.

Kelihatannya pandangan kedua kelompok itu seperti berlawanan, tapi


sesungguhnya kedua kelompok itu sama secara logika, yaitu kedua
kelompok itu sama-sama ketakutan menerima keduanya. Kedua kelompok
itu hanya memilih salah satunya saja.
Seperti apa pilihan kita tidak ada bedanya. Kita percaya atau tidak
percaya, tidak akan memberi perbedaan kepada kenyataan semesta. Dunia
material dan kehidupan spiritual tidaklah terpisahkan, tapi merupakan satu
kesatuan UTUH dan menyeluruh sebagai kenyataan semesta. Jangan
memandang dunia material ini sebagai maya [ilusi] dan memandang alam
spiritual sebagai kenyataan. Atau sebaliknya. Tapi pandang keduanya
secara sama sebagai suatu kenyataan. Dunia material ini juga merupakan
bagian manifestasi dari Brahman [Tuhan]. Segala keberadaan semesta
terdiri dari paket lengkap yang UTUH dan menyeluruh. Tubuh fisik kita dan
sang Atma, alam sekala dan alam niskala, dunia material dan kehidupan
spiritual, dsb-nya, semua fenomena adalah manifestasi yang sama dari
Brahman.
Perjalanan spiritual mendalam adalah KEUTUHAN. Menerima
kesadaran di dalam diri dan dunia diluar secara sama. Tidak menyebutnya
sebagai 2 [dua] hal yang berbeda, tapi sebagai Brahman yang tunggal
bermanifestasi sebagai 2 [dua]. Dimana-mana, dalam segala sesuatu, dunia
di dalam dan dunia diluar, adalah manifestasi Brahman yang sama, adalah
tarian kosmik Shiwa yang sama. Tapi kita belum menyadarinya saja. Untuk
dapat menyadarinya, pengalaman pertama harus terjadi di dalam diri, pada
kesadaran di dalam diri. Hanya dengan cara demikian kemudian kita dapat
melihat keberadaan Brahman dalam segala sesuatu.
Perjalanan spiritual mendalam adalah suatu perjalanan yang UTUH
dan menyeluruh. Yaitu keberadaan penuh di dunia material sekaligus
keberadaan penuh pada kehidupan spiritual. Aspek dalamnya adalah
spiritual dan aspek luarnya adalah dunia material. Ekspresikan diri kita pada
dunia material dengan sukacita, dengan lebur dalam keindahannya dan
melalui gelombang energi yang sama masuki sukacita kesadaran di dalam

diri. Keduanya adalah gelombang energi yang sama. Laksana nafas masuk
dan nafas keluar, keduanya adalah satu nafas yang sama.
Perjalanan spiritual mendalam tidak anti pada kehidupan dunia diluar,
melainkan memeluk kehidupan dunia diluar maupun dunia di dalam secara
UTUH dan menyeluruh. Hiduplah di dunia material diluar, disaat ini,
sekarang, sebagai suatu kenyataan, dengan mengekspresikan diri, dengan
sukacita, dengan lebur dalam keindahannya. Tapi sekaligus juga pada saat
yang sama melampaui dunia material ini.
Arti dari melampaui dunia material adalah, apapun berkah
kehidupan disaat ini terima dengan sukacita, jangan tidak puas, jangan
serakah, jangan ingin lebih dari berkah kehidupan kita sendiri, jangan
terikat, jangan memiliki keterikatan pada benda, harta, jabatan, pujian,
orang-orang, atau apapun di dunia ini. Terutama karena tidak ada
sesuatupun yang dapat kita miliki selamanya. Leluhur kita di Bali sering
mengucapkan ajaran dharma ini, lekad melalung mati mase melalung, kita
datang ke dunia dengan tangan kosong dan kelak kita mati juga pergi
dengan tangan kosong.
Ini berarti bahwa kita berusahalah melaksanakan swadharma [tugastugas kehidupan], berusahalah memberikan yang terbaik. Bekerja keras
tentu saja disarankan, berusaha keras juga boleh. Berikan yang terbaik pada
setiap tugas-tugas kehidupan disaat ini. Tapi menyangkut hasilnya, belajar
memeluk setiap berkah kehidupan dengan penuh keikhlasan. Belajar untuk
selalu melihat sisi-sisi indah dari berkah kehidupan disaat ini, ungkapkan
rasa syukur dalam diam dan tersenyumlah. Orang yang tersenyum indah
pada apapun berkah kehidupan disaat ini, sekaligus melakukan upaya
terbaik disaat ini, dia sedang melakukan persiapan terbaik menuju masa
depan.
Kalau kita seorang pelajar, belajarlah dengan rajin di sekolah.
Sehingga orang tua senang dan tenang, tidak rugi mengeluarkan biaya dan
kelak di masa depan kita bisa berguna bagi orang lain. Kalau kita seorang

pekerja, bekerjalah dengan tekun dan penuh pelayanan di tempat kerja.


Misalnya [contoh] kita bekerja di hotel sebagai receptionist. Sambutlah
setiap tamu yang datang dengan senyuman, keramahan, kesabaran dan
tekad untuk memberikan pelayanan terbaik. Kalau tamu sedang sepi,
bersihkan tempat kerja kita, rapikan berkas-berkas file, dsb-nya. Jangan
lupa untuk bekerja dengan jujur dan jangan bermalas-malasan. Atau
misalnya kita membuka usaha bengkel motor. Sambutlah setiap pelanggan
yang datang dengan ramah, sabar dan tekad untuk memberikan yang
terbaik. Jujurlah dan penuh pelayanan dalam usaha kita, jangan menipu
pelanggan dengan mengatakan onderdil yang masih baik mengalami
kerusakan, jika pelanggan memiliki uang yang terbatas jangan bersikap
meremehkan dan berikan jalan keluar terbaik, dsb-nya.
Ini tidak berarti kita tidak berusaha mencari nafkah atau memperoleh
laba, tapi intinya adalah kita tulus, penuh pelayanan dan tidak serakah
dalam menjalankan usaha kita. Kita perlu mengingat hal ini secara
mendalam, mereka yang menjalani kehidupan duniawi dengan pelayanan,
mendapatkan dua kekayaan sekaligus, yaitu kekayaan material dan
kekayaan spiritual.
Kejujuran, kebaikan dan ketulusan kita untuk melakukan pelayanan
[sewaka dharma] merupakan praktek spiritual yang sederhana tapi
mendalam. Entah kita menjadi pekerja kantoran, tukang kebun, petani,
dokter, gubernur, receptionist hotel, membuka usaha, ibu rumah tangga,
dsb-nya, asalkan kita melakukan tugas-tugas kita dengan kejujuran,
kebaikan dan ketulusan untuk melakukan pelayanan, itu adalah sadhana
[praktek spiritual] yang mendalam.
Di rumah kita kerjakan tugas-tugas rumah tangga dengan baik. Kalau
ada piring kotor segeralah kita cuci bersih, kalau rumah kotor ambil sapu
dan pel lalu bersihkan. Kita lakukan dengan sikap penuh pelayanan, dengan
rasa suka-cita dan meneng [diam], tidak usah mengeluh siapa yang
seharusnya punya tugas mencuci piring atau membersihkan rumah.
Hormati dan bahagiakan orang tua. Sayangi, setia dan bahagiakan

pasangan kita [suami atau istri]. Sayangi dan bahagiakan anak-anak.


Sayangi dan bahagiakan saudara.
Jika kita tidak mencintai dan mensyukuri keluarga kita serta pekerjaan
kita, sesungguhnya kita sedang merusak diri kita sendiri secara pelan-pelan.
Terutama karena kebanyakan waktu dalam kehidupan kita habiskan di
keluarga dan di tempat kerja. Jika disana kita tidak menemukan kedamaian
dan sukacita, secara pelan-pelan kita akan mengalami kekacauan
kesadaran. Sehingga, seperti apapun keluarga dan pekerjaan kita, belajarlah
melihat sisi-sisi berkah dari keluarga dan tempat kerja. Hal itu merupakan
praktek spiritual yang tidak saja akan membuat hidup kita menjadi indah,
tapi juga membuat kesadaran kita menjadi bercahaya.
Apapun tugas kehidupan dan pekerjaan yang kita lakukan, jika kita
melakukannya dengan sukacita, jika kita melakukannya dengan penuh
cinta, jika kita melakukannya dengan penuh pelayanan, maka itu akan
membuat kesadaran kita mekar bercahaya di dalam diri. Jika sesuatu hal
memberikan kita pertumbuhan kesadaran, maka itu adalah jalan spiritual,
itu adalah jalan suci.
Apapun tugas kehidupan dan pekerjaan yang kita lakukan, jika kita
melakukannya dengan sukacita, jika kita melakukannya dengan penuh
cinta, jika kita melakukannya dengan penuh pelayanan, menikmati dan
merayakannya sebagai berkah hadiah dari Tuhan, maka itu adalah sebentuk
kegiatan meditasi. Bahkan pekerjaan-pekerjaan kecil akan menjadi besar
dengan sentuhan sukacita, cinta dan pelayanan.
Jika keadaan memungkinkan, kita dapat melakukannya secara lebih
luas lagi. Kita lakukan jalan pelayanan [sewaka dharma] kepada yang tidak
terkait atau tidak dikenal. Misalnya [contoh], kalau tirtayatra ke pura ambil
sapu kita bantu bersihkan sampah, kalau di jalan melihat ada paku yang
membahayakan kita pungut dan amankan, kalau di toilet umum kita
melihat keran air mengalir sia-sia kita bantu matikan, dsb-nya.

Jalan pelayanan [sewaka dharma] adalah jalan spiritual yang


sederhana tapi mendalam, yang dapat menghidupkan cahaya kesadaran di
dalam diri kita. Apalagi pelayanan yang dianggap remeh, rendah atau hina
oleh orang lain, itu akan lebih terang lagi menghidupkan cahaya kesadaran
di dalam diri. Jalan pelayanan bertujuan untuk pemurnian mendasar bagi
diri kita, serta untuk meredakan ahamkara [ego, ke-aku-an] dan sifat egois
mementingkan diri sendiri di dalam diri. Ini merupakan sadhana [praktek
spiritual] yang bisa kita lakukan sambil kita melaksanakan kehidupan
duniawi.
Seringkali terjadi segala pelayanan apa yang sudah kita lakukan cepat
sekali dilupakan orang, tetap saja yang terus diingat orang adalah apa yang
mereka anggap sebagai kekurangan atau kesalahan kita. Analoginya jalan
pelayanan membuat kita bernasib seperti keset, sudah diinjak-injak orang
kemudian tahi dan kotorannya disisakan untuk kita. Tapi itulah jalan
menuju kesadaran yang terang bercahaya.
Hiduplah disaat ini. Laksanakan tugas-tugas kehidupan [swadharma].
Tetaplah berencana tapi tidak terikat dengan hasilnya. Fokus kita adalah
untuk memberikan yang terbaik dalam melaksanakan tugas kehidupan.
Menjalani saat ini dengan sukacita, dengan cinta, dengan penuh pelayanan,
sekaligus pasrah dan bersyukur. Berikanlah yang terbaik, tapi apapun
hasilnya terima dengan hati damai.
Jangan memandang kenyataan dunia material ini adalah maya [ilusi].
Jangan menolak kenyataan dunia material ini. Kehidupan di dunia material
ini adalah berkah semesta, adalah manifestasi yang sama dari Brahman,
adalah bagian dari tarian kosmik Shiwa [Shiwa Nataraja] yang sama.
Peluklah kehidupan dunia material maupun kehidupan spiritual secara utuh
dan menyeluruh. Jangan melaksanakan spiritual dengan ekstrim terlalu
terobsesi dengan kesadaran di dalam diri, untuk kemudian melewatkan
berkah sukacita dan keindahan kehidupan dunia diluar disaat ini, disini dan
sekarang.

Jangan melewatkan sukacita bekerja melaksanakan tugas-tugas


kehidupan dan melakukan pelayanan, disaat ini. Jangan melewatkan
sukacita anak-anak yang sedang bermain, disaat ini. Jangan melewatkan
keindahan tari-tarian, seni musik, seni rupa, seni bangunan, disaat ini.
Jangan melewatkan keindahan awan-awan, hembusan angin, pantai,
matahari, atau keindahan burung-burung terbang, bunga dan pepohonan,
disaat ini. Tapi sekaligus pada saat yang sama, lampaui dunia material ini.
Itulah yang disebut sebagai keberadaan penuh di dunia material sekaligus
keberadaan penuh pada kehidupan spiritual. Terutama karena perjalanan
spiritual mendalam adalah suatu perjalanan yang UTUH dan menyeluruh.
Puncak perjalanan spiritual tidak mengenal hasil, tidak mengenal
tujuan, tidak mengenal pencapaian, tidak ada yang dicari, tidak ada yang
dicapai, tidak ada yang didapatkan, melainkan KEUTUHAN disaat ini, disini,
sekarang. Mengalir sempurna di sungai kehidupan, menyatu dengan
keindahan tarian semesta. Dalam KEUTUHAN. Dengan sukacita mendalam
dan senyuman indah, disini, disaat ini, sekarang.

[2]. MENYATU DENGAN SAAT INI SEPERTI APA ADANYA.


Dalam simbol berupa lingkaran sempurna, diri kita [bhuwana alit] dan
alam semesta [bhuwana agung] adalah rangkaian perputaran energi-energi
yang mengalir berputar sempurna dalam siklus hukumnya. Laksana malam
yang berganti siang, atau musim kemarau yang berganti musim hujan, atau
bunga yang menjadi sampah, demikianlah siklus perputarannya. Semuanya
adalah satu tarian kosmik Shiwa [Shiwa Nataraja] yang sama. Kekacauan
pikiran terjadi karena kita gagal menyatu mengalir dalam perputaran
tersebut, disaat ini, seperti apa adanya.
Pintu masuk untuk dapat menyatu dengan saat ini seperti apa
adanya, adalah suatu pengertian, kita perlu untuk mengerti, bahwa satusatunya kenyataan yang otentik hanyalah saat ini. Kegelisahan pikiran dan
perasaan mungkin datang dari kenangan akan kejadian masa lalu, atau dari
kecemasan akan ketidakpastian masa depan, tapi keduanya tidak pernah

ada. Jadi ini berarti, jika kita dicengkeram kenangan masa lalu atau cemas
akan masa depan, kita sedang hidup dalam halusinasi. Suatu halusinasi
yang membuat pikiran-perasan kita terbelah, satu bagian bergerak menuju
masa lalu, satu bagian bergerak menuju masa depan. Keberadaan kita
menjadi tidak otentik, karena hanya ada satu hal yang otentik dan itu
adalah saat ini. Karena keberadaan kita tidak otentik itulah sebabnya ada
kesedihan mendalam, kecemasan, rasa sakit dan kesengsaraan.
Untuk memudahkan pengertian, inilah sebagian hal yang dimaksud
sebagai menyatu dengan saat ini seperti apa adanya, yaitu :
== 1]. Kesadaran kita tidak dicengkeram oleh kejadian masa lalu.
Menyatu dengan saat ini seperti apa adanya, berarti kesadaran kita
tidak lagi dapat dicengkeram oleh kejadian-kejadian dari masa lalu.
Kejadian dari masa lalu dapat menimbulkan rasa marah, rasa dendam, rasa
penyesalan, rasa bersalah, dsb-nya, yang datang dari kenangan masa lalu.
Tinggalkanlah semua itu, karena hanya akan menjadi penghalang bagi
kesadaran.
Pikiran kita memandang ke masa lalu, mungkin dulu seseorang
pernah menyakiti kita, atau dulu kita pernah melakukan kesalahan,
kemudian kita menyesalinya, atau menangisinya, atau meratapinya. Itu
adalah kebodohan karena tidak ada yang dapat kita lakukan untuk
merubah hal itu. Masa lalu adalah masa lalu dan kita tidak bisa
membatalkannya. Jadi jangan buang waktu kita sedikitpun untuk itu. Disaat
muncul kenangan masa lalu, santai sajalah, bersantailah disaat ini seperti
apa adanya. Tidak perlu untuk merasa marah, merasa dendam, merasa
menyesal, merasa bersalah, dsb-nya. Semua itu tidak pernah dapat
merubah masa lalu, tapi justru akan menciptakan lebih banyak kerumitan
disaat ini dan di masa depan.
Jika kesadaran kita dicengkeram oleh kejadian masa lalu, kita akan
kehilangan setiap keindahan disaat ini. Sehingga fokuslah untuk mengambil

tuntunan dan pelajaran-pelajarannya saja. Lupakan kejadiannya. Kemudian


belajar untuk menyatu dengan saat ini seperti apa adanya.
== 2]. Kesadaran kita tidak dicengkeram oleh masa depan.
Menyatu dengan saat ini seperti apa adanya, berarti tidak memiliki
harapan, tujuan dan hasil untuk dicapai. Bukan berarti kita tidak membuat
perencanaan. Tapi fokus kita adalah memberikan usaha yang terbaik disaat
ini. Rencanakanlah masa depan dengan sebaik-baiknya dan berikan usaha
yang terbaik disaat ini. Tapi apapun hasilnya biarkan alam yang
mengaturnya, sesuai dengan hukumnya. Terima dengan senyuman damai,
bebas tanpa terikat kepada harapan dan tujuan.
Menyatu dengan saat ini seperti apa adanya, berarti berserah kepada
alam, mengalir dengannya. Bukan berarti tidak berusaha. Tapi berusahalah
dan berikan yang terbaik disaat ini. Tapi apapun hasilnya terima dengan
senyuman damai. Seperti apapun hasilnya kita tidak menolaknya, kita tidak
melawannya. Tapi mengalir dengan itu, sepanjang jalan, kemanapun itu
mengarah. Apapun yang terjadi, kita menyaksikan, kita adalah saksi untuk
itu. Hal itu berarti kita berada dalam keadaan merelakan, kita berada dalam
keadaan melepaskan.
Jika kita memiliki harapan, tujuan dan hasil untuk dicapai kita tidak
akan bisa menyatu dan mengalir sempurna dengan kehidupan, terutama
jika kita sepenuhnya mengarahkan diri kita menuju harapan, tujuan dan
hasil. Sebagai akibatnya kita akan menolak dan melawan jika tiba-tiba alam
membawa kita ke suatu arah yang tidak sesuai dengan harapan, tujuan dan
hasil yang ingin kita capai.
Kita memproyeksikan kehidupan menurut pikiran kita sendiri,
menurut keinginan kita, menurut harapan kita, menurut apa yang kita
ketahui. Itu sebabnya kita merasa takut menyatu dan mengalir sempurna
dengan perjalanan kehidupan. Tapi perjalanan kehidupan tidak dapat
bergerak mengikuti pikiran kita, kehidupan selalu bergerak ke arah yang

tidak pasti, sesuai dengan hukumnya. Kehidupan tidak pernah dapat


memberikan kita kepastian, demikianlah hukumnya.
Tapi itulah yang dilakukan oleh banyak manusia di dunia, menjebak
dirinya sendiri kepada harapan, tujuan dan hasil. Sehingga jika tiba-tiba
alam membawa mereka ke arah yang berbeda, mereka akan menolak dan
melawan. Di dalam diri mereka tenggelam dalam kegelisahan dan
kesengsaraan. Mereka gagal menyatu dengan tarian kosmik alam semesta
disaat ini seperti apa adanya. Itulah sebabnya mengapa ada begitu banyak
manusia merasa putus-asa, merasa sengsara dan merasakan kehidupan
bagaikan neraka.
Kehidupan tidak pernah memberikan kita kepastian, sehingga
mengalirlah sempurna dalam perjalanan kehidupan. Mungkin apa yang
sedang terjadi jauh dari harapan kita, mungkin secara duniawi kita tidak
terkenal, atau mungkin kita tidak memiliki uang, atau mungkin kita tidak
sukses dalam apa yang disebut kehidupan duniawi, dsb-nya. Tetapi
seringkali untuk mencapai sukses dalam kehidupan duniawi, hal itu harus
dibayar dengan kegagalan spiritual yang sangat dalam. Kita gagal dalam
kesadaran. Lalu apa gunanya jika kita berhasil memiliki seluruh dunia, tapi
kita kehilangan diri kita sendiri ?
Ingatlah hal ini baik-baik, bahwa kehidupan adalah sebuah tarian
yang dinamis. Sebuah tarian dinamis antara siang hari dan malam hari,
antara musim kemarau dan musim hujan, antara bulan purnama dan bulan
gelap [tilem]. Sebuah tarian dinamis antara kebahagiaan dan kesedihan,
antara kesuksesan dan kegagalan, antara kesenangan dan kesengsaraan.
Hidup adalah sebuah tarian dinamis yang terus berkelanjutan.
Kehidupan sesungguhnya melampaui semua bentuk. Tapi sayangnya,
pikiran kita sering memaksa agar kehidupan berbentuk serupa dengan
keinginan. Sukses, kaya-raya, pujian, kekaguman orang lain, kenyamanan,
dsb-nya, adalah sebagian bentuk kehidupan yang sangat diinginkan
manusia. Tapi sekeras apapun kita menginginkannya, pasti kadang-kadang

kita dapat, kadang-kadang kita tidak dapat. Sebelum pikiran kita dibuat
lelah dan kacau oleh keinginan, belajarlah untuk menyatu dengan apapun
berkah kehidupan disaat ini.
Ketika kita mengalami kegagalan, menyatulah dengan kegagalan,
terutama dengan cara melihat pelajaran-pelajaran yang diberikan. Ketika
kita mengalami kesuksesan, menyatulah dengan kesuksesan, terutama
dengan cara mengungkapkan rasa syukur secara mendalam.
Menyatu dengan saat ini seperti apa adanya, berarti menjadi alami,
untuk membiarkan semuanya terjadi secara alami sesuai dengan
hukumnya. Tidak menolak, tidak melawan, tidak menghindar dan tidak
memaksa mengalihkannya ke arah lain. Kehidupan tidak pernah
memberikan kita kepastian. Sehebat apapun rencana kita, sekeras apapun
usaha kita, selalu ada unsur ketidakpastian di masa depan. Sehingga
belajarlah bersahabat dengan ketidakpastian, dengan cara menyatu dengan
saat ini seperti apa adanya.
== 3]. Menyaksikan : Istirahat disaat ini seperti apa adanya.
Kita tidak perlu menolak dan melawan perjalanan kehidupan. Apapun
yang terjadi, kita menyaksikan, kita adalah saksi untuk itu. Hal itu berarti
kita berada dalam keadaan merelakan, kita berada dalam keadaan
melepaskan. Serta pikiran kita tidak bergerak ke masa lalu dan ke masa
depan. Kesadaran kita berlabuh pada saat ini. Kesadaran kita berpusat
disaat ini, disini, sekarang, Apapun yang terjadi dalam kehidupan disaat ini,
kita tidak menolak dan tidak melawan. Tapi mengalirlah damai dengan itu,
sepanjang jalan, kemanapun itu mengarah. Kita hanya perlu memahami hal
ini dan menjadi semakin sadar.
Belajarlah untuk konsentrasi menyatu dengan saat ini seperti apa
adanya, sekaligus belajar menerima apa saja yang sedang terjadi disaat ini
seperti apa adanya. Tersenyum menyatu dan mengalir dengan apapun
berkah kehidupan disaat ini. Kita hanya menyaksikannya saja, istirahat

disaat ini seperti apa adanya, istirahat dari dualitas pikiran dan tersenyum
pada apapun berkah kehidupan disaat ini.
Semua kejadian dalam perjalanan kehidupan yang oleh pikiran
dianggap sebagai baik-buruk, benar-salah, sukses-gagal, dsb-nya,
semuanya adalah manifestasi dari Brahman yang sama, semuanya adalah
satu tarian kosmik Shiwa [Shiwa Nataraja] yang sama, sebagai satu
KEUTUHAN.
Semua jenis pikiran-perasaan di dalam diri seperti senang-sengsara,
bahagia-sedih, marah-damai, dsb-nya, semuanya adalah manifestasi dari
Brahman yang sama, semuanya adalah satu tarian kosmik Shiwa yang sama,
sebagai satu KEUTUHAN.
Kehidupan adalah tarian kosmik alam semesta, murni sebuah
permainan energi. Sehingga mulailah untuk hidup dari waktu ke waktu,
disaat ini, disini, sekarang, secara total dan berkelanjutan, dengan sukacita
mendalam dan kedamaian di dalam diri. Menyatu dengan saat ini dalam
KEUTUHAN. Kemudian kita akan dapat melihat bahwa semuanya sempurna
seperti apa adanya. Sebuah langkah sederhana dan mendalam untuk
merubah setiap saat ke dalam rasa syukur, kemuliaan dan kesadaran.

BAGIAN KETIGA :
TUJUAN SPIRITUAL

Bab 1

KEUTUHAN
Menyatu Dengan Tarian Kosmik Alam Semesta

Perjalanan spiritual bukanlah untuk menjadi sesuatu, termasuk tidak


untuk membuat diri kita semakin suci dan sempurna. Tapi perjalanan
spiritual adalah soal menyatu dengan diri kita sendiri dan kehidupan kita
seperti apa adanya. Perjalanan spiritual tidak memiliki tujuan, tidak ada
hasil dan tidak ada pencapaian. Memiliki tujuan untuk mencapai
pencerahan kesadaran Atma adalah sebuah kesalahan besar. Terutama
karena sejak awal yang tidak berawal, kenyataan sejati diri kita adalah
Kesadaran Atma.
Kenyataan sejati setiap manusia adalah kesadaran Atma yang hening,
jernih dan penuh kedamaian. Tubuh fisik, pikiran dan perasaan, hanyalah
bungkus-bungkus luar dari kenyataan sejati manusia. Ini berarti
sesungguhnya kita manusia tidak perlu berusaha mencapai pencerahan
Kesadaran Atma, kita hanya perlu membuka lapisan-lapisan pembungkus
luarnya, yaitu tubuh fisik, pikiran dan perasaan. Dengan cara ISTIRAHAT
dalam kesadaran.
Pikiran kita akan mulai belajar untuk ISTIRAHAT, disaat kita tekun
melaksanakan 5 [lima] sadhana [praktek spiritual] yang sudah disampaikan
di dalam buku ini. Ketekunan kita untuk istirahat, ketekunan kita untuk
mempraktekkan sadhana, itulah tujuan spiritual yang tertinggi. Pikiran yang
sering-sering istirahat inilah yang akan membawa kita menemukan kembali

intisari diri yang sejati, yaitu Kesadaran Atma, yang hening, jernih dan
penuh kedamaian.
Ketika semua dualitas pikiran berhenti mencengkeram kesadaran, kita
langsung memasuki puncak keheningan. Menjadi sadar bahwa sejak awal
yang tidak berawal sampai akhir yang tidak ada akhirnya, semuanya
sempurna sebagaimana adanya.
Satu-satunya penyebab kita gagal untuk melihat kesempurnaan
tersebut, semata-mata karena adanya cengkeraman dualitas pikiran [burukbaik, salah-benar, dsb-nya]. Sejak awal yang tidak berawal sampai akhir
yang tidak ada akhirnya, semuanya sempurna sebagaimana adanya. Alam
mengalir dinamis dengan siang dan malamnya. Kehidupan mengalir
dinamis dengan bahagia dan sengsaranya. Pikiran mengalir dinamis dengan
benar dan salahnya. Perasaan mengalir dinamis dengan senang dan
sedihnya. Semuanya mengalir dinamis berputar sempurna dalam siklus
hukumnya, tanpa label dualitas buruk-baik, salah-benar, dsb-nya. Dualitas
pikiran seperti buruk-baik, salah-benar, dsb-nya, hanya ada dalam pikiran
manusia yang terkondisi.
Pencerahan Kesadaran Atma bukanlah sebuah pencapaian, tapi
merupakan sebuah pemahaman sangat mendalam bahwa inilah segalanya,
bahwa segala sesuatu sempurna seperti apa adanya, bahwa tidak ada hasil
yang perlu dicapai, tidak ada tempat yang harus dituju. Sehingga
kehidupan menjadi mengalir sempurna dan tanpa memilih, karena
semuanya sempurna sebagaimana adanya.
Puncak perjalanan spiritual BUKAN MENCAPAI KESEMPURNAAN, juga
BUKAN MENCAPAI KESUCIAN YANG SEMPURNA, tapi KEUTUHAN disaat
ini, disini, sekarang. Menerima diri kita sendiri dan kehidupan kita seperti
apa adanya, dalam KEUTUHAN. Jangankan kebenaran, kesucian,
kebahagiaan dan kehormatan, bahkan kesalahan, kekotoran, kesengsaraan
dan kehinaan semuanya diterima apa adanya, semuanya hanya disaksikan
saja tanpa penilaian dan penghakiman sama sekali, semuanya disambut

dengan senyuman penuh belas kasih yang sama. ISTIRAHAT dalam


kesadaran. Terutama karena sudah memahami secara sangat mendalam,
bahwa semua hal yang dinilai baik-buruk, benar-salah, suci-kotor, dsb-nya,
oleh pikiran, semuanya adalah manifestasi Brahman, semuanya adalah satu
tarian kosmik Shiwa [Shiwa Nataraja] yang sama.
Kehidupan adalah tarian kosmik alam semesta, yang dalam ajaran
Hindu disebut LILA, murni sebuah permainan energi. Dalam tarian kosmik
alam semesta ini terdapat hukum sempurna yang bekerja. Dengan menyatu
dengan diri kita sendiri secara UTUH seperti apa adanya, dengan istirahat
sempurna, dalam keheningan sempurna, itulah yang membuat kesadaran
kita dapat menyatu sempurna dengan kesempurnaan yang ada di alam
semesta.
Perjalanan spiritual bukanlah untuk membuat diri kita menjadi
semakin suci atau menjadi semakin sempurna. Tapi perjalanan spiritual
adalah untuk menyatu sempurna dengan diri kita sendiri dan kehidupan
kita seperti apa adanya. Disini, disaat ini, sekarang, dari waktu ke waktu
secara total. Menerima secara UTUH apapun berkah diri kita dan kehidupan
kita disaat ini, disini, sekarang, dengan sukacita mendalam dan tersenyum
indah di setiap langkah. ISTIRAHAT disaat ini seperti apa adanya. Istirahat
dari dualitas pikiran seperti baik-buruk, benar-salah, dsb-nya. Menjadi saksi
yang abadi. Yang menyaksikan itu bukanlah pikiran. Mereka yang telah
menjadi sadar akan saksi ini adalah yang telah menemukan intisari diri, titik
pusat di dalam diri, yang absolut, yang tidak berubah.
Jika kita memiliki tujuan, memiliki target, menginginkan hasil, kita
tidak akan pernah dapat menemukannya. Tapi jika kita ISTIRAHAT,
disanalah semuanya akan terlihat sangat jernih dan sangat jelas.

Bab 2

TUJUAN SPIRITUAL TERTINGGI


Tekun Melaksanakan 5 [Lima] Sadhana [Praktek Spiritual]

Setelah Anda selesai membaca buku ini, anda menjadi orang yang
BERPENGETAHUAN. Tapi bagi Tantra dan Upanishad, hal itu tidak banyak
nilainya. Satu-satunya hal yang bernilai adalah KETEKUNAN Anda untuk
mempraktekkan isi buku ini, sebagai langkah-langkah perjalanan untuk
MENGETAHUI [mengalami sendiri secara langsung].
Yang terjadi antara buku ini dan pembacanya adalah komunikasi,
suatu informasi yang ditransfer dari buku ini ke pembacanya. Hanya
informasi pengetahuan dan bukan perubahan di dalam diri. Pembaca
menjadi berpengetahuan, yaitu memiliki pengetahuan secara intelek, tapi
hal itu tidak banyak nilainya. Informasi tidak banyak nilainya, satu-satunya
hal yang berharga adalah terjadinya perubahan di dalam diri, sebagai
langkah-langkah untuk MENGETAHUI. Dimana hal itu hanya bisa terjadi
melalui KETEKUNAN kita untuk mempraktekkan isi buku ini.
Berpengetahuan, yaitu memiliki pengetahuan secara intelek, tidak
sama dengan kebijaksanaan, tidak sama dengan kejernihan kesadaran,
tidak sama dengan Yoga Punya [tuntunan cahaya kesadaran di dalam diri].
Berpengetahuan memiliki nilai spiritual yang amat sangat jauh berbeda
dengan MENGETAHUI [merasakan pengalaman langsung]. Sekalipun kita
memiliki gelar akademis yang sangat tinggi, atau menjadi pemuka agama
yang sangat dihormati, hal itu tetaplah amat sangat jauh nilainya
dibandingkan dengan mengetahui melalui pengalaman langsung.

Sehingga ada saatnya dalam hidup kita untuk mengatakan cukup


pada kegiatan mengumpulkan serta menumpuk pengetahuan agama dan
spiritual di kepala. Berpengetahuan [memiliki pengetahuan secara intelek]
bisa dicapai dengan cara bersekolah, rajin belajar, suka membaca buku,
sering melakukan diskusi, dsb-nya. Akan tetapi kematangan, kebijaksanaan,
kejernihan, sukacita mendalam, kedamaian sejati di dalam diri dan
Kesadaran Atma, hanya bisa ditemukan jika kita tekun untuk melaksanakan
praktek.
Tantra dan Upanishad sangat menekankan Pratyaksa Pramana atau
pengalaman langsung. Bukan untuk menjadi berpengetahuan [memiliki
pengetahuan secara intelek], karena hal itu tidak banyak nilainya, tapi kita
harus mengalami perubahan kesadaran di dalam diri, sebagai langkahlangkah untuk MENGETAHUI. Semua pengetahuan agama harus menjadi
pengalaman langsung yang hidup di dalam diri kita sendiri. Itulah satusatunya hal yang berharga. Tidak bisa dengan cara mengumpulkan
pengetahuan, tapi hanya bisa ditemukan melalui KETEKUNAN kita untuk
melakukan praktek, praktek dan praktek. Ibarat nektar semesta, mengapa
meminjam cerita orang lain jika kita dapat meminum langsung dari
sumbernya ?
Jadi setelah Anda selesai membaca buku ini, janganlah sebatas
menjadi orang yang berpengetahuan, tapi TEKUNLAH untuk melakukan
praktek, praktek dan praktek. Mulailah tekun mempraktekkan semua ke-5
[lima] sadhana [praktek spiritual] yang sudah disampaikan.
Tujuan spiritual tertinggi adalah ketekunan kita untuk melaksanakan
semua 5 [lima] sadhana [praktek spiritual] secara menyeluruh, yaitu :
== 1]. Tekun belajar menerima diri kita sendiri dan kehidupan kita seperti
apa adanya, secara UTUH dan menyeluruh.

== 2]. Tekun mempraktekkan meditasi kesadaran, yang dikombinasikan


dengan praktek meditasi keutuhan.
== 3]. Tekun mempraktekkan belas kasih kepada orang lain dan mahluk
lain.
== 4]. Mengekspresikan diri sesuai dengan panggilan alami di dalam diri
kita sendiri yang unik dan otentik, menjadi diri kita sendiri yang UTUH dan
menyeluruh, tanpa melibatkan pola dualitas pikiran seperti salah-benar,
buruk-baik, kotor-suci, berdosa-tidak berdosa, tidak sopan-sopan, dsb-nya,
dengan Yoga Punya [tuntunan cahaya di dalam diri] dan belas kasih
sebagai panduan penjaga-nya.
== 5]. Tekun menyatu dengan saat ini dalam keutuhan.
Untuk dapat menemukan keutuhan dan keheningan di dalam diri
yang sangat terang dan bercahaya, semua rangkaian panca sadhana [lima
praktek spiritual] ini harus kita praktekkan semuanya secara bersama-sama.
Tidak bisa dengan mempraktekkan hanya sebagian-nya saja, karena itu
tidak akan dapat berhasil.
Para sadhaka yang tekun melakukan praktek seluruh 5 [lima] sadhana
[praktek spiritual] tersebut, dialah yang sedang mulai mempelajari sesuatu
yang tidak bisa dipelajari dan tidak bisa diajarkan melalui kecerdasan
intelektual dan logika. Mulai menyatu dengan pencapaian spiritual yang
sangat terang bercahaya. Mulai menyatu dengan tarian kosmik alam
semesta. Mulai menyatu dengan Brahman. Kita tidak lagi meminjam cerita
orang lain, tapi kita mulai dapat meminum nektar semesta langsung dari
sumbernya.

Om shanti shanti shanti !

RUMAH DHARMA - HINDU INDONESIA


Halaman facebook Rumah Dharma - Hindu Indonesia :
facebook.com/rumahdharma [Rumah Dharma - Hindu Indonesia]
Website Rumah Dharma - Hindu Indonesia :
rumahdharma.com
Kumpulan e-book lengkap dari Rumah Dharma - Hindu Indonesia bisa didownload secara gratis tanpa dipungut biaya apapun di :
rumahdharma.com/download
tattwahindudharma.blogspot.com

DHARMA DANA
Rumah Dharma - Hindu Indonesia
Rumah Dharma - Hindu Indonesia telah dan akan terus melakukan
penerbitan buku-buku dharma berkualitas, baik berupa e-book maupun buku
cetak, untuk dibagi-bagikan secara gratis tanpa dipungut biaya apapun.
Untuk melakukan penyebaran buku-buku dharma berkualitas, Rumah
Dharma - Hindu Indonesia memerlukan bantuan para donatur, yang sadar akan
pentingnya melakukan pembinaan kesadaran masyarakat. Semakin banyak
dharma dana yang terkumpul maka semakin banyak juga buku-buku dharma yang
dapat diterbitkan dan disebarluaskan.
Ada empat cara memanfaatkan kekayaan sebagai ladang kebaikan yang
bernilai sangat utama, salah satunya adalah ber-dharma dana untuk penyebaran
ajaran dharma. Karena ini bukan saja sebuah kebaikan mulia dengan karma baik
berlimpah, tetapi juga adalah sebuah sadhana nirjara, sadhana penghapusan
karma buruk.
Karma baik dari mendonasikan dharma dana bagi penyebarluasan ajaran
dharma adalah :
1. Donatur akan mendapatkan penghapusan berbagai karma buruk.
2. Dalam setiap reinkarnasi kelahirannya donatur akan berjodoh dengan ajaran
dharma yang suci dan terang.
3. Donatur akan mendapatkan perlindungan dharma, tidak mudah terseret
dendam kebencian, pikirannya lebih mudah tenang, serta menjadi lebih bijaksana.
4. Jika dampak penyebarannya mencerahkan masyarakat luas, donatur akan
mendapatkan perlindungan dari para Dewa-Dewi.
Transfer Dharma Dana anda ke rekening :
Bank BNI Kantor Cabang Denpasar
No Rekening : 0340505797
Atas Nama : I Nyoman Agus Kurniawan
Astungkara berkat karma baik ini para donatur mendapat kerahayuan.

TENTANG PENULIS
I Nyoman Kurniawan lahir pada tanggal 29 January
1976. Mendapatkan garis spiritualnya dari
kakeknya, Pan Siki, seorang balian usadha dari Br.
Tegallinggah Kota Denpasar.
Pada tahun 2002, memulai perjalanan spiritualnya
dengan belajar meditasi.
Pada tahun 2007 mulai memberikan komitmen
menyeluruh kepada spiritualisme dharma. Di tahun
yang sama belajar dengan Guru dharma-nya yang
pertama, serta memulai melakukan tirthayatra dan
penjelajahan ke berbagai pura pathirtan kuno,
sebagai bagian dari arahan Gurunya, sekaligus juga
panggilan spiritualnya sendiri.
Pada tahun 2009 mulai belajar dengan Guru dharma-nya yang kedua, mendalami
kekayaan spiritual Hindu Bali, mendalami ajaran Tantra, menjalin pertemanan
dengan banyak Guru dan praktisi spiritual, serta tetap meneruskan melakukan
tirthayatra dan penjelajahan ke berbagai pura pathirtan kuno.
Pada tahun 2010 mulai melakukan pelayanan dharma untuk umum di halaman fb
rumah dharma, serta mulai memberikan tuntunan dan berbagi ajaran kepada
adik-adik dharmanya. Di tahun yang sama juga mulai menulis buku. Inspirasi
dharma yang didapatnya dari perjalanan ke berbagai pura pathirtan kuno,
dikombinasikan dengan ajaran dari para Guru-nya, dari praktek meditasi,
membaca puluhan buku-buku suci, serta diskusi-diskusi panjang dengan banyak
praktisi spiritual, kemudian ditulisnya menjadi berbagai buku.
Pada tahun 2015 mulai belajar dengan Guru dharma-nya yang ketiga, serta tetap
meneruskan melakukan pelayanan dharma untuk umum.

Anda mungkin juga menyukai