Anda di halaman 1dari 73

Rumah Dharma – Hindu Indonesia

CATUR YOGA
EMPAT INTISARI UTAMA
SADHANA DHARMA
Ditulis oleh :
I Nyoman Kurniawan
CATUR YOGA
EMPAT INTISARI UTAMA SADHANA DHARMA

Ditulis oleh : I Nyoman Kurniawan

Sebuah persembahan untuk Mula-Satguru


PENDAHULUAN
Para Maharsi, para Mpu, para Danghyang mengajarkan, bahwa terlahir
sebagai manusia itu mirip dengan pergi ke pulau harta karun. Disebabkan karena
kelahiran sebagai manusia itu sangat utama. Dalam buku Sarasamuscaya bahkan
secara eksplisit disebutkan bahwa hanya dengan kelahiran sebagai manusia kita
bisa mencapai jivan-mukti [pembebasan].

Sayangnya banyak yang ketika kembali pulang ke rumah kematian sepasang


tangannya kosong tidak membawa apa-apa. Yang paling celaka adalah kalau
dalam kelahiran ini kita tidak saja gagal membawa harta karun kesadaran dan
karma baik, tapi malah melakukan kesalahan-kesalahan berbahaya [seperti
membunuh, menyakiti, memeras, korupsi, seks bebas, narkoba, dsb-nya] disaat
kita mengenakan tubuh manusia. Sehingga setelah kematian kita harus
membayarnya dengan terjerumus ke alam bawah [bhur loka] atau mungkin
terlahir kembali menjadi binatang.

Tujuan hidup tertinggi bagi semua mahluk adalah mengalami Moksha


[pembebasan sempurna] yang diraih dengan mencapai kesadaran tertinggi atau
Atma Jnana. Atma secara literal berarti sang diri sejati, jnana berarti
pengetahuan, mengetahui atau menyadari. Atma Jnana berarti menyadari akan
hakikat diri yang sejati [Atman] atau dalam bahasa tetua kita dulu disebut
sujatining urip. Disebut sadar karena sesungguhnya kita sudah dan selalu bebas,
hanya saja kita tidak menyadarinya akibat belenggu ahamkara [ego, ke-aku-an]
dan sad ripu [enam kegelapan pikiran].

Ada sebagian orang yang menerjemahkan Atman sebagai roh. Ini adalah
terjemahan yang bisa dibilang kurang tepat, sebab dalam ajaran Hindu yang
disebut sebagai roh adalah lapisan badan halus kita. Sedangkan Atman tidaklah
berbeda dengan dengan Brahman, keseluruhan keberadaan yang absolut.
“Brahman Atman Aikyam”, Brahman dan Atman itu sama adanya [tidak berbeda].
Laksana setetes air dalam samudera yang maha luas.

Para Maharsi, para Mpu, para Danghyang, mengajarkan bahwa kita adalah
jiwa-jiwa agung dalam perjalanan yang mengagumkan. Kita datang dari Brahman,
hidup dalam Brahman dan berkembang menuju kesadaran akan kemanunggalan
dengan Brahman. Kita mencari-cari kebenaran, padahal kita ada dalam
kebenaran. Karena Brahman adalah keseluruhan keberadaan, termasuk diri kita
sendiri, hanya saja kita tidak menyadarinya. Sesungguhnya kita bukanlah badan
kita, kita bukanlah pikiran kita dan kita bukanlah ke-aku-an kita.

Terbebaskan adalah realitas alami kita. Sesungguhnya kita sudah dan selalu
bebas. Ibarat permata yang diselimuti lumpur dan tanah. Permata itu selalu ada
disana. Tapi untuk menemukannya kita perlu menyingkirkan lumpur dan tanah-
tanahnya. Sama dengan kita cukup hanya menyingkirkan samskara [kesan-kesan
pikiran] dan ahamkara [ke-aku-an] yang sudah berumur sangat lama. Ketika
lumpur dan tanahnya disingkirkan permatanya kelihatan.

Ketika Atma jnana atau kesadaran tentang realitas diri yang sejati disadari,
kita mengalami Jivan-mukti atau Moksha. Mukti atau moksha dalam bahasa
sansekerta berarti : lepas atau bebas. Kita mengalami pembebasan ketika
tersadar akan hakikat diri yang sejati.

Terbelenggunya para mahluk dalam roda samsara tidak lain disebabkan


karena terus-menerus melekat dalam pengaruh prakriti. Kita dalam avidya
[ketidak-tahuan], sehingga umumnya kita membuat citra diri atau identitas diri
yang merupakan pembentuk umum ego [ke-aku-an, ahamkara] kita. Aku orang
Bali, aku orang Hindu, aku tamatan S1, aku pacar si A, aku suami si B, aku anak
kesayangan ayahku, aku orang pintar, aku orang jelek, dsb-nya. Semua citra diri
atau identitas diri ini memicu berbagai kegelapan pikiran, Padahal sesungguhnya
itu semua laksana cangkang telur yang menutupi isi sejati di dalamnya.

Tugas dharma kita yang utama dalam hidup ini adalah melampaui pengaruh
prakriti. Bebas dari belenggu pikiran, badan fisik, serta yang paling penting adalah
bebas dari belenggu ahamkara [ke-aku-an]. Orang yang bisa bebas dari belenggu
badan dan pikirannya, bebas dari identifikasi diri sebagai badan dan pikiran, itulah
manusia yang sadar, yang nirahamkarah atau ke-aku-annya [ahamkara] sudah
lenyap. Sadar bahwa semuanya Brahman. Yang baik maupun buruk adalah
Brahman, yang benar maupun salah adalah Brahman, yang terhormat maupun
yang hina adalah Brahman, yang mengerikan maupun yang indah adalah
Brahman, yang suci maupun yang kotor adalah Brahman. Laksana setetes air
dalam samudera maha luas yang tersadar bahwa realitas yang ada bukanlah
setetes air, melainkan samudera maha luas.
Para Maharsi, para Mpu, para Danghyang dan para Dewa-Dewi
mengajarkan dan mewariskan kita dharma dan berbagai jalan yoga, untuk
membimbing manusia bebas dari belenggu prakriti, berupa belenggu pikiran,
badan fisik, serta yang paling penting adalah bebas dari belenggu ahamkara [ke-
aku-an]. Semakin cepat sadar semakin baik, sebelum kita terperosok semakin jauh
lahir menjadi binatang atau lahir di alam ashura [alam para mahluk bawah atau
bhuta kala] yang penuh dengan kesengsaraan.

Tapi kalaupun itu sulit untuk dicapai, setidaknya dalam hidup ini kita bisa
meningkatkan kesadaran kita berevolusi menuju kesadaran yang lebih tinggi. Dari
rasa takut menuju ketabahan, dari mementingkan diri sendiri menuju penuh
kebaikan, dari prasangka buruk menuju kerelaaan, dari kemarahan menuju belas
kasih, dari kebencian menuju perdamaian, dari keinginan menuju pelepasan, dari
kegelapan menuju penerangan.

Seburuk apapun kesadaran kita saat ini, jangan khawatir dan jangan
dijadikan halangan untuk melangkah maju. Seperti contoh terang yang pernah
dialami Maharsi Valmiki, semasih kita ada dalam hidup ini belumlah terlambat,
bahkan manusia yang sudah melakukan kejahatan paling berbahaya sekalipun
masih bisa diselamatkan [Maharsi Valmiki adalah perampok dan pembunuh yang
menyadari semua kesalahannya dan kembali ke jalan dharma, lalu menjadi salah
satu Maharsi penting dalam sejarah Hindu]. Syaratnya cepat-cepat sadar, lalu
masuki jalan dharma. Dan yang paling penting memurnikan samskara [kesan-
kesan pikiran] dengan berlatih, membiasakan dan menggembleng diri dengan
Catur Yoga sepanjang perjalanan kehidupan ini.

Catur berarti empat. Yoga secara literal berarti “upaya penyatuan”. Yang
dimaksud dengan upaya penyatuan tidak lain adalah tujuan hidup tertinggi kita,
yaitu Moksha, pembebasan Atma dari siklus samsara dan penyatuan kosmik
dengan seluruh keberadaan. Catur Yoga adalah empat intisari utama sadhana
dharma.

Catur Yoga adalah intisari dari semua praktek pelaksanaan dharma. Catur
Yoga menjadi sumber keselamatan dan penerangan bagi kita dalam kehidupan
dan kematian, juga menjadi pintu gerbang untuk memasuki dunia spiritual yang
mendalam. Kalau empat sadhana inti ini sudah mulai kita laksanakan dalam
keseharian, efek yang dicapai paling cepat adalah seluruh aspek hidup kita akan
bergerak menjadi lebih tenang, damai dan bahagia. Lalu seiring waktu akan
muncul efek berikutnya, yaitu ketika kita sembahyang atau japa mantra,
kesadaran kita mudah terhubung dengan kemahasucian alam-alam luhur, ketika
kita meditasi kita menjadi mudah merealisasi samadhi, ketika kita mempelajari
dharma kita akan lebih mudah paham dan mengerti, dsb-nya. Karena kesucian
hanya bisa terhubung dengan kesucian. Dan ketika praktek Catur Yoga kita
mencapai kesempurnaan, kesadaran kita juga akan sempurna dan kita dapat
mengalami pembebasan jivan-mukti [pembebasan].

Kita semua masing-masing melaksanakan berbagai praktek spiritual serta


tehnik dan metode yoga. Ada praktek-praktek spiritual seperti tirtayatra, melukat,
dsb-nya. Ada tehnik dan metode yoga seperti hatha-yoga, yoga-asana, meditasi,
kundalini yoga, tantra yoga. Juga ada metode-metode lokal genius seperti kalau di
Bali ada kanda pat sari, kanda pat dewa, aji tuturira sanghyang kalepasan, aji
sanghyang dharma, aji wekasing aputih, aji dharma kalepasan kamoksan, dsb-nya.

Berbagai praktek spiritual serta tehnik dan metode yoga itu penting dan
menentukan dalam proses peningkatan kesadaran kita. Tapi apapun praktek
spiritual serta tehnik dan metode yoga yang kita gunakan sebagai kendaraan,
semuanya adalah wahana yang membantu percepatan peningkatan kesadaran,
yang pasti dan mutlak bermuara kepada Catur Yoga, karena Catur Yoga
merupakan empat intisari utama dari jalan kesadaran sempurna.

Catur Yoga tersebut adalah :

1. Jnana Yoga -
Intisari dari tujuannya adalah mencapai Advaita-Citta [pikiran yang bebas
dari dualitas].

2. Bhakti Yoga -
Intisari dari tujuannya adalah mencapai Dayadvham [hati yang penuh belas
kasih kepada semua mahluk].

3. Raja Yoga -
Intisari dari tujuannya adalah mencapai Citta-Suddhi [pikiran yang bebas
dari cengkeraman enam kegelapan pikiran].
4. Karma Yoga -
Intisari dari tujuannya adalah melaksanakan Svadharma [tugas-tugas
kehidupan].

Ke-empat intisari sadhana ini saling berkait-kaitan erat dan semuanya saling
menyempurnakan satu sama lain.

Dalam buku ini akan dibahas bagaimana cara paling mudah dan sederhana
untuk kita sebagai orang biasa atau orang awam agar dapat melaksanakan Catur
Yoga, atau “empat intisari utama sadhana dharma”.
JNANA YOGA

SADHANA I : ADVAITACITTA
Pikiran yang bebas dari dualitas

Advaitacitta atau pikiran yang bebas dari dualitas adalah jnana yoga yang tertinggi
dan sempurna. Orang yang sudah dapat melampaui dualitas pikiran [advaitacitta]
tidak saja pikirannya akan tenang-seimbang [upeksha], tapi juga menghasilkan
pengetahuan tertinggi yaitu prajna [kesempurnaan kebijaksaan]. Kebijaksanaan,
wawasan serta pemahaman akan diri dan kehidupan yang luas dan mendalam.
Inilah ciri orang yang akar kesadarannya sudah sangat kuat, sudah siap untuk
memasuki gerbang pertumbuhan di jalan dharma.
BAB I : GERBANG DEPAN DHARMA

Pintu gerbang pembuka menuju pelaksanaan dharma yang kuat dan


mendalam adalah advaitacitta atau pikiran yang bebas dari dualitas. Tetua kita di
jaman dulu menyebutnya sebagai rwa bhinneda, atau menyatukan dualitas,
pikiran yang berhenti melakukan pembedaan-pembedaan dan perbandingan-
perbandingan berbahaya.

Sebab utama kenapa banyak orang sangat lambat pertumbuhannya di jalan


dharma karena pikirannya masih dalam dualitas. Perhatikan saja dalam kehidupan
sehari-hari, ketika dipuji kita senang ketika dihina kita menangis, punya uang
banyak kita bahagia punya uang sedikit kita mengeluh dan protes, ketemu bupati
hormat sekali ketemu orang miskin menoleh saja kita enggan dsb-nya. Akibatnya
hidup kita penuh dengan guncangan dan konflik pikiran.

Sebab munculnya dualitas dalam pikiran adalah lobha [keserakahan,


ketidakpuasan]. Kita mau dan ingin kelebihan tapi kekurangan kita tolak, kita mau
dan ingin kebahagiaan tapi kesengsaraan kita tolak, kesucian kita puja dan
hormati kegelapan kita caci maki, benci dan musuhi. Padahal sudah hukum alam
semesta bahwa setelah kebahagiaan datang akan disusul oleh kesedihan. Dimana
ada siang, disana ada malam. Dimana ada orang baik, disana ada orang jahat.
Dimana ada sukses, disana ada gagal. Dimana ada kesucian, disana ada kegelapan.
Dimana ada laki-laki tampan, disana ada laki-laki jelek. Gunung yang menjulang
tinggi jurangnya juga dalam. Dimana ada kelebihan disana ada kekurangan.
Pertumbuhan di jalan dharma baru bisa terjadi ketika kita melatih diri menerima
keadaan apapun dan siapapun secara sama sebagaimana adanya. Tidak
menyalahkan siapa-siapa, termasuk tidak menyalahkan diri kita sendiri. Itulah titik
berangkat menuju keseimbangan pikiran [upeksha].

Simboliknya bisa kita lihat dalam kisah-kisah pertapaan jaman dulu. Dimana
dalam tapa, yang pertama datang adalah bidadari-bidadari cantik telanjang
[simbolik hal-hal yang suci, hal-hal yang baik dan menyenangkan]. Kalau lulus
disini, datanglah hal berikutnya yaitu mahluk-mahluk sangat seram yang jahat
[simbolik hal-hal yang gelap, buruk dan tidak menyenangkan]. Hanya ketika
pikiran-perasaan dapat tetap sama sejuk, damai, tenang-seimbang dan penuh
belas kasih ketika bertemu dengan kedua dualitas, barulah sang yogi pertapa bisa
bertemu dengan kesadaran yang terang. Demikian juga sebenarnya dalam
kehidupan kita sehari-hari. Tersenyum dan tersenyum dalam pikiran yang tenang-
seimbang.

Karena dualitas dalam kehidupan ada bukan sebagai lawan-lawan yang


berperang, tapi sebagai satu kesatuan yang saling menghidupkan. Ia yang selalu
sadar akan hal ini dalam kehidupan sehari-hari tidak akan menyisakan sedikitpun
kegelapan, kemarahan, kesedihan, kesombongan dan kebencian dalam hidupnya.
Bahagia dilawan menderita, benar dilawan salah, suci dilawan gelap, sehingga
riuhlah pikiran dan kehidupan. Dalam advaitacitta, semua dualitas : baik-buruk,
benar-salah, suci-kotor, lenyap dalam penyatuan rwa bhinneda.
BAB II : CARA MEMBEBASKAN PIKIRAN DARI
DUALITAS

Cara membebaskan pikiran dari dualitas bisa diibaratkan angka 2 - 1 - 0


dalam pikiran kita, yang secara bertahap dilatih :

- Angka 2 merujuk kepada pikiran yang masih dalam dualitas : baik-buruk, suci-
kotor, dst-nya.
- Angka 1 merujuk kepada pikiran yang mulai bebas dari dualitas : baik-baik, suci-
suci, dst-nya. Ini adalah hasil dari pikiran yang selalu berpikir positif. Selalu dan
selalu melihat dan mengambil sisi positif dari semua kejadian. Menyatukan
dualitas menjadi satu : semuanya positif, semuanya baik.
- Angka 0 merujuk kepada pikiran yang sadar, yang bebas sempurna dari dualitas.
Sadar bahwa sesungguhnya pengalaman dan segala hal lainnya adalah
sebagaimana adanya, dia tidak memiliki label baik ataupun buruk, suci maupun
kotor, senang maupun sengsara, dsb-nya.

Bagi sadhaka pemula umumnya agak sulit memahami angka 0, sehingga


kalau terjadi demikian disarankan memulai dari angka 1 terlebih dahulu. Artinya
apapun yang terjadi dalam hidup kita, belajarlah menghadapinya dengan melihat
dan mengambil semata dari sisi positif-nya saja. Menyatukan dualitas menjadi
satu : semuanya positif, semuanya baik. Selalu melihatnya dari sisi positif. Karena
dengan demikian kemarahan lenyap, ketidakpuasan sirna dan kebijaksanaan-
kedamaian pikiran bersemi.

Misalnya :

- Kaya dan banyak uang itu baik karena membuat kita menikmati hidup dan bisa
banyak menolong orang lain, miskin juga baik karena dengan miskin kita belajar
rendah hati dan belajar mengendalikan banyak keinginan.

- Sehat itu baik karena sehat membuat kita menikmati hidup dan bisa banyak
melakukan hal berguna, sakit juga baik karena dengan sakit kita belajar
memahami hakikat kehidupan dan membayar banyak hutang karma.
- Bertemu orang suci itu baik karena kita bisa menjadikannya teladan dan belajar
cara meraih kesucian, bertemu orang jahat juga baik karena membuat kita belajar
untuk sabar, membayar hutang karma dan jadi mengetahui betapa buruknya
kalau sifat kita sama seperti itu.

Cara lebih mendalam untuk membebaskan pikiran dari dualitas adalah


penerimaan diri dan pengertian pada orang lain, yang semua itu diakumulasikan
dalam bentuk praktek melatih diri selalu memiliki sudut pandang yang positif dan
lembut. Ini merupakan dasar-dasar penting dari kebijaksanaan, kejernihan dan
kedamaian di dalam diri.

1. Memandang diri sendiri secara positif dan lembut.

Pertama, belajar memandang diri sendiri sebagaimana adanya secara


positif dan lembut. Karena keresahan dan kegelisahan jiwa selalu berawal dari
ketidakpuasan atau kekecewaan kita akan diri kita sendiri. Ketidakpuasan atau
kekecewaan akan keadaan diri sendiri akan menimbulkan konflik di dalam diri.
Yang menghalangi pertumbuhan kebijaksanaan dan kejernihan kita. Sehingga
jadilah diri sendiri seperti apa adanya dengan damai dan bahagia.

Lebih mudah untuk menemukan kebijaksanaan, kejernihan dan kedamaian


di dalam diri, dengan pikiran yang positif dan lembut terhadap diri sendiri. Jangan
membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Bahagialah dengan diri sendiri
seperti apa adanya. Jadilah diri sendiri seperti apa adanya. Setiap manusia itu unik
dan berbeda-beda dengan orang-orang lain. Bersyukurlah dengan kondisi dan
keadaan diri kita, serta apa yang kita miliki. Semakin kita dapat menerima diri
sebagaimana adanya, maka semakin mekarlah kebijaksanaan dan kejernihan di
dalam diri kita. Karena penerimaan seperti ini yang akan menghentikan konflik
dan benturan pikiran.

Benih kebijaksanaan, kejernihan dan kedamaian akan mulai bersemi di


dalam diri, ketika kita dapat bersyukur dan berterimakasih dengan keadaan diri
kita sendiri sebagaimana adanya. Menjadi diri kita sendiri yang unik dan berbeda
dari orang lain. Tidak bersaing atau membanding-bandingkan diri kita sendiri
dengan orang lain.
2. Memandang orang lain secara positif dan lembut.

Kedua, belajar memandang orang lain secara positif dan lembut. Karena
jika kita mengkritik, menyalahkan dan memvonis buruk [menghakimi] orang lain,
secara pasti kita akan mengotori pikiran kita sendiri. Kita akan kehilangan
kejernihan dan kedamaian. Pikiran penuh penghakiman membuat kejernihan dan
kedamaian di dalam diri seketika menghilang.

Lebih jauh lagi, ketika kita mengkritik, menyalahkan atau memvonis orang
lain secara negatif, disaat itu kita sedang menghidupkan kegelapan di dalam diri
kita sendiri, sekaligus menghidupkan kegelapan dalam diri orang lain. Kita tidak
saja sedang menanam bibit kekerasan di dalam diri kita sendiri, tapi juga sedang
menanam bibit kekerasan pada orang lain.

Mudah mengkritik, mudah menyalahkan dan mudah memvonis buruk


[menghakimi] orang lain, lebih mencerminkan bagaimana diri kita dibandingkan
bagaimana orang lain tersebut. Kenapa kita kelihatan benar, karena kita
mengukur diri sendiri dengan ukuran diri kita sendiri. Kenapa orang lain kelihatan
salah, karena kita mengukur orang lain dengan ukuran diri kita sendiri. Itu
sebabnya para orang-orang suci melatih dirinya untuk tidak mengukur orang lain
dengan ukuran diri sendiri, tapi memandang dari ukuran, sudut pandang dan latar
belakang orang tersebut seperti apa adanya. Laksana memandang ikan sebagai
ikan, memandang burung sebagai burung, dsb-nya. Sehingga semuanya dapat
terlihat alami di tempatnya masing-masing.

Dengan memiliki pandangan meditatif seperti itu, akan memunculkan


pengertian yang bijaksana. Pandanglah orang lain dari sudut pandang positif dan
lembut. Inilah jalan pemurnian jiwa. Sebab disaat itu juga kebencian, kemarahan,
kesombongan dan avidya [ketidak-tahuan] lenyap memudar dari pikiran kita.
Untuk kemudian memberikan ruang pada belas kasih dan kebaikan di dalam
pikiran kita.

Tidak hanya sebatas memurnikan jiwa saja, tapi sekaligus juga akan
mengirimkan pancaran energi kesejukan dan kedamaian kepada orang lain. Sudah
sering terbukti jika kita dapat memandang orang lain siapa saja, atau mahluk apa
saja, dengan sudut pandang positif dan lembut, dalam jangka waktu tertentu sifat
orang atau mahluk tersebut lama-kelamaan juga akan berubah menjadi positif
dan lembut. Disebabkan karena pancaran energi kesejukan dan kedamaian yang
terus kita kirimkan.

Kita tidak saja akan menyelamatkan diri kita sendiri tapi juga
menyelamatkan orang lain. Ini juga yang kemudian akan menghindarkan kita dari
kemungkinan garis nasib yang lebih panas dan sengsara.

3. Memandang kehidupan secara positif dan lembut.

Ketiga, belajar memandang perjalanan kehidupan kita secara positif dan


lembut. Karena dengan cara demikian akan melenyapkan ketidakpuasan,
kemarahan dan kegelapan pikiran, sekaligus memunculkan kebijaksanaan,
kejernihan dan kedamaian di dalam diri. Itu semua hanyalah persoalan bagaimana
kita bersedia melatih diri untuk memiliki keterampilan agar dapat memandang
setiap hal dan setiap kejadian dalam kehidupan dengan sudut pandang yang
tepat.

Penghalang utama untuk dapat memandang perjalanan kehidupan secara


positif dan lembut disebabkan karena kecenderungan pikiran yang kaku dan
keras. Memaksa diri sendiri harus begini dan begitu. Memaksa kehidupan harus
berjalan begini dan harus begitu. Ketika keinginan tidak sesuai dengan kenyataan,
pikiran kita menolak dengan keras. Sehingga pikiran menjadi marah, resah, tegang
dan mengalami konflik internal.

Memandang semua hal dan semua bentuk pengalaman kehidupan dari


sudut pandang yang positif dan lembut, adalah cara agar jiwa kita akan dapat
bertransformasi menjadi jernih dan indah. Sebagaimana termuat dalam berbagai
buku-buku suci dharma, pikiran yang memandang dari sudut pandang yang positif
dan lembut adalah jalur cepat menuju kebijaksanaan, kejernihan dan kedamaian
di dalam diri.

Jika semua bentuk pengalaman kehidupan terlihat positif dan lembut, itu
pertanda kita sudah mengalami kejernihan pandangan. Pemahaman mendalam
akan kebenaran seperti inilah yang menghasilkan prajna [kebijaksanaan], yang
akan membebaskan kita dari keserakahan, ketidakpuasan, kemarahan, kesedihan,
keraguan, ketakutan dan kesengsaraan.
Membiasakan diri untuk tersenyum

Ini kemudian akan kita perdalam lagi dengan melatih diri untuk selalu
tersenyum. Senyuman memiliki nilai penting di dalam upaya untuk menyatukan
dualitas [advaitacitta]. Siapapun orang yang datang muncul dan apapun yang
terjadi dalam perjalanan kehidupan, tugas dharma kita adalah tersenyum. Nanti
sebagai hasilnya adalah keseimbangan pikiran [upeksha].

Coba rasakan beda antara kondisi pikiran kita sedang stress, depresi, sedih
atau marah dibandingkan dengan kondisi pikiran ketika kita tersenyum. Sangat
berbeda. Dalam kondisi pikiran kita sedang stress, depresi, sedih atau marah
semua ingatan akan dharma beserta keluhurannya lenyap, menghilang,
terlupakan. Dalam senyuman yang damai, tulus, penuh kerelaan dan rasa syukur,
pikiran cenderung damai, tenang-seimbang.

Banyak sekali manfaatnya kalau kita bisa mendidik diri untuk selalu
tersenyum dalam setiap keadaan, apapun yang terjadi. Punya uang disambut
dengan senyum damai, tidak punya uang juga disambut dengan senyum damai.
Lagi sehat disambut dengan senyum damai, lagi sakit juga disambut dengan
senyum damai. Dipuji orang disambut dengan senyum damai, difitnah dan dicaci
orang juga disambut dengan senyum damai. Dll.

Senyuman tidak hanya berguna bagi yang melihatnya, ia malah lebih


berguna bagi pemilik senyuman itu. Karena senyuman menyebarkan vibrasi damai
yang menjadi jembatan antara sang diri dengan mahluk lain dan kehidupan.
Lihatlah bahwa apapun sembahyang, mantram, upakara atau yajna kita, selalu
ditutup dengan mantram paramashanti : om shanti shanti shanti [semoga semua
damai damai damai]. Seolah tidak henti-hentinya mengingatkan bahwa dalam
hidup ini, apapun yang terjadi kita harus selalu sejuk, damai dan tenang-
seimbang.

Apapun alasannya, senyuman selayaknya selalu bersemi. Ibarat mobil yang


rusak mengkarat karena tidak pernah dipakai, senyuman juga demikian. Tanpa
digunakan, ia akan merusak hubungan kita dengan orang lain, membuat
kesadaran kita tertutup rapat dan membuat kehidupan menjadi penuh karat,
berdebu dan kurang bermanfaat. Awalnya memang penuh rasa terpaksa. Tapi
begitu menjadi kebiasaan dalam hidup, bunganya akan mekar, bersemi dan
bercahaya menerangi semua.
BHAKTI YOGA

SADHANA II : DAYADVHAM
Hati yang penuh belas kasih kepada semua mahluk

Dayadvham atau hati yang penuh belas kasih kepada semua mahluk adalah bhakti
yoga yang tertinggi dan sempurna. Dalam bhakti yoga yang tertinggi dan
sempurna, yang ada hanya belas kasih dan kebaikan yang mendalam dan rasa
hormat yang tulus kepada semua mahluk. Baik ke Svah Loka [Brahman dan Dewa-
Dewi], ke Bvah Loka [sesama mahluk dan alam semesta] dan ke Bhur Loka
[mahluk-mahluk alam bawah]. Karena Sanghyang Acintya adalah segala
keberadaan atau Om bhur bvah svah.
BAB I : RAHASIA PENTING SEMUA JALAN
SPIRITUAL

Hati yang penuh belas kasih dan kebaikan adalah salah satu rahasia penting
semua jalan spiritual. Karena praktek religius atau spiritual manapun akan dangkal
dan tidak pernah bisa dalam kalau tanpa dilandasi hati yang penuh belas kasih
kepada semua mahluk. Demikian menentukannya, sehingga kalau seluruh ajaran
dharma diminta di-intisarikan menjadi satu saja, maka hal itu adalah belas kasih
dan kebaikan yang tidak terbatas kepada semua mahluk. Mekarkan hati yang
penuh belas kasih dan di jalan religius manapun kita melangkah, kita akan mudah
terhubung dengan kemahasucian.

Hati yang penuh belas kasih dan kebaikan kepada semua mahluk adalah
bhakti yoga yang tertinggi dan sempurna. Karena cara terbaik untuk mengetahui
seberapa dalam rasa hormat dan rasa bhakti kita kepada Tuhan, serta kepada
para Ista Dewata, adalah seberapa besar rasa hormat dan kasih sayang yang kita
pancarkan kepada orang lain dan mahluk lain. Tidak penting cara bhakti apapun
yang kita tempuh, yang benar-benar penting adalah bagaimana kita bersikap dan
berperilaku. Bagaimana kita dapat bersikap lebih belas kasih, lebih baik hati, lebih
tidak menghakimi, lebih berpikiran sehat, lebih obyektif, lebih adil, lebih
menyayangi, lebih manusiawi dan lebih beretika di depan teman-teman, di depan
keluarga, lingkungan dan dunia.

Penuh kasih sayang, selalu melakukan kebaikan, kebaikan dan kebaikan


tanpa syarat. Sikap ramah dan bersahabat, tidak berprasangka buruk, murah hati,
suka membantu, rajin memberi, kerelaan diri, penuh pengertian dan penuh kasih
sayang kepada mahluk lain. Semua hal itu tidak saja menyegarkan hati mereka,
tapi sekaligus juga membuat cahaya hati kita sendiri menyala terang-
benderang. Semakin kita peka dan peduli dengan kebahagiaan mahluk lain,
semakin berkembang kesadaran, kesegaran dan kesejukan pikiran kita
sendiri. Ketekunan melaksanakan belas kasih dan kebaikan membuat seseorang
terus-menerus mengikis ego-nya [ke-aku-an, ahamkara] dari hari ke hari. Ketika
ke-aku-an terkikis habis, pikiran tersadarkan.
Satu dari lima unsur dasar pembentuk alam semesta [panca maha bhuta]
yang menjadi simbolik kesadaran sempurna adalah ruang [akasha]. Mudah untuk
bisa penuh belas kasih kepada orang yang baik kepada kita, tapi kalau bisa tetap
penuh belas kasih kepada orang yang jahat kepada kita itulah pikiran yang seluas
ruang. Kalau masih ada merasa dirugikan, merasa sengsara, merasa ketidak-adilan
perlakukan kepada kita, itu hanya tanda bahwa pikiran masih sesempit diri sendiri
[ego]. Semakin besar ego, kejahatan dan ketidakadilan terasa semakin
menyakitkan. Kejahatan dan ketidak-adilan hanya bisa disambut dengan
senyuman dan dibalas dengan belas kasih oleh pikiran manusia yang seluas ruang.

Makna paling inti dari belas kasih dan kebaikan itu adalah memahami
beban pikiran dan perasaan orang lain, lalu bergerak melakukan sesuatu atau
membuatnya terbebas dari hal itu agar dia bahagia.

Wujud kebaikan bisa dalam hal yang sangat kecil, misalnya kita melihat ada
sampah tidak dibuang di tong sampah, kita bantu masukkan ke tong sampah.
Atau ada keran yang airnya sudah penuh dan melimpah, kita bantu matikan. Atau
tersenyum ramah kepada orang lain, itu juga suatu bentuk kebaikan. Kelihatannya
sepele, tapi itu adalah bagian dari mendidik diri untuk penuh dengan kebaikan.

Setiap kali ada yang memerlukan uluran tangan kita atau kita bisa membuat
mereka lebih bahagia atau lebih senang, selalu katakan ke diri sendiri :
“kesempatan membantu itu sedikit, jarang kita bisa memilikinya, jadi lakukanlah
tanpa banyak perhitungan”. Dan selalu harus diingat bahwa praktek religius atau
spiritual manapun akan dangkal dan tidak pernah bisa dalam kalau tanpa
dilandasi hati yang penuh belas kasih kepada semua mahluk.

Dunia ini penuh dengan konflik. Kemarahan, kebencian, kesalahpahaman,


terorisme, perceraian, perampokan, persaingan, perkelahian, berebut kebenaran
[ingin disebut paling benar dan paling suci] dan peperangan ada dimana-mana.
Para pemimpin yang diharapkan bisa mengurangi semua ini, ternyata sebagian
besar malah memperumit keadaan dan kemudian memicu konflik-konflik baru.
Agama yang disebut sebagai satu-satunya jalan keluar juga sama saja. Ia yang
diharapkan bisa menjadi penyejuk dan peneduh, pada banyak kasus malah
menjadi sumber pembenaran dari kesombongan, keserakahan, kebencian dan
kekerasan.
Matahari adalah sebuah simbolik bhakti yoga yang agung, dia menyinari
semua tanpa memilih-milih : mau orang baik, mau orang jahat, mau bunga yang
harum, mau kotoran sapi, mau tempat suci, mau tempat sampah yang busuk, dll,
semua disinari secara sama tanpa syarat. Dalam bhakti yoga yang tertinggi dan
sempurna, tidak diperlukan banyak pertanyaan dan banyak perdebatan. Apalagi
perdebatan tentang konsep ketuhanan yang sungguh bodoh, sia-sia dan sangat
berbahaya karena menjerumuskan dunia kepada jurang kegelapan. Dalam bhakti
yoga yang tertinggi dan sempurna, yang ada hanya belas kasih dan kebaikan yang
mendalam dan rasa hormat yang tulus kepada semuanya. Baik ke Svah Loka
[Brahman dan Dewa-Dewi], ke Bvah Loka [sesama mahluk dan alam semesta] dan
ke Bhur Loka [mahluk-mahluk alam bawah]. Karena Sanghyang Acintya adalah Om
bhur bvah svah.
BAB II : CARA MEMBANGUNKAN SIFAT BELAS
KASIH DI DALAM DIRI

Sesungguhnya ada banyak bagian-bagian dari kehidupan yang sangat layak


direnungkan dan diselami untuk membangunkan sifat belas kasih dalam diri kita,
seperti misalnya :

1. Sadari bahwa seluruh perjalanan hidup kita dipenuhi dengan belas kasih dan
kebaikan orang lain dan mahluk lain.

Dalam setiap tahap di dalam hidup kita, selalu terdapat energi belas kasih
dan kebaikan. Di awal hidup kita, kita sudah disalurkan energi kebaikan. Dimulai
dari dalam kandungan hingga dilahirkan, tidak henti-hentinya orang tua kita
mencurahkan kasih sayang untuk kita. Di awal kehidupan -waktu masih bayi-, kita
tidak berdaya dan sepenuhnya bergantung kepada kebaikan orang lain [orang tua
kita]. Tanpa kebaikan orang tua kita, kita akan mati. Kelak di akhir kehidupan, lagi-
lagi kita harus sepenuhnya bergantung kepada kebaikan orang lain [untuk
dibuatkan upakara kremasi / pemakaman].

Kita masih bisa hidup sampai saat anda membaca tulisan ini, juga karena
kebaikan mahluk lain. Para binatang, mereka rela mengorbankan nyawanya hanya
agar kita bisa makan enak [sate kambing, soto ayam, dsb-nya]. Para tumbuh-
tumbuhan juga serupa, mereka rela menanggung rasa sakit hanya agar kita bisa
makan dan bertahan hidup. Para petani mereka rela miskin agar kita bisa makan
beras.

Hidup kita, seluruh eksistensi kita sebagai mahluk, dipenuhi oleh belas kasih
dan kebaikan orang lain dan mahluk lain. Sehingga dalam hidup kita tidak punya
pilihan lain, selain hidup penuh belas kasih kepada semua mahluk dalam setiap
kesempatan yang ada.

Ini adalah tugas hidup kita semua, bagaimana di dalam keseharian kita [di
rumah, di jalan, di kantor, dsb-nya] semuanya secara bijaksana dijadikan
kesempatan-kesempatan untuk melakukan kebaikan. Sekarang tergantung diri
kita sendiri, bagaimana kita membangkitkannya. Akan baik sekali bila mulai
bangun tidur sampai dengan tidur lagi, kita “sadar” dengan segala bentuk
kebaikan yang telah kita terima sejak kita lahir. Sehingga ketemu siapa saja,
gunakan sebagai kesempatan untuk berbuat baik. Lakukan, lakukan dan lakukan
kebaikan setiap saat ada kesempatan.

2. Sadari bahwa belas kasih adalah hakikat sejati diri kita.

Sifat belas kasih dan penuh kebaikan sebenarnya adalah salah satu sifat
alamiah kita sendiri, dalam artian sudah ada di dalam diri kita sendiri. Karena
hakikat sejati diri kita adalah Atman yang mahasuci. Hanya saja karena faktor
ahamkara [ke-aku-an atau ego] dan sad ripu [enam kegelapan pikiran] kita sering
melupakannya.

Misalnya [salah satu contoh], ketidakpuasan [lobha]. Akar dari


ketidakpuasan adalah suka membandingkan dan membandingkannya selalu
dengan yang lebih baik. Tapi ingatlah karma manusia lahir berbeda-beda. Ada
yang lahir cantik ada yang tidak, ada yang lahir di lingkungan yang rejekinya
berlimpah ada yang lahir di lingkungan yang serba tidak punya. Kita baru siap
tumbuh sifat belas kasih-nya kalau kita bersahabat dengan seluruh kekurangan-
kekurangan yang ada pada diri kita.

Misalnya : kalau [maaf] secara fisik kita kita jelek, terimalah fisik jelek itu
dengan sepenuh hati dan rasa syukur. Jangan ada rasa minder, malu, rendah diri,
menghindar atau memaksakan diri punya fisik atau penampilan menarik. Kalau
kita hanya mampu punya sepeda motor butut, terimalah sepeda motor butut itu
dengan sepenuh hati dan rasa syukur. Jangan begitu memaksakan diri punya
mobil. Kebalikan dari ketidakpuasan adalah rasa syukur yang mendalam.
Bersyukurlah dengan segala apa yang kita punya di saat ini. Tidak ada manusia
yang sempurna, semua orang pasti punya sisi-sisi kekurangan. Menerima
kelebihan diri adalah hal yang mudah dilakukan semua orang. Tapi bisa menerima
kekurangan diri, hanya mereka yang pikirannya mulai terang yang bisa bersahabat
dengan kekurangan dirinya. Dalam pikiran yang penuh rasa syukur, apapun yang
dilihat menjadi indah dan kehidupan kita menjadi perjalanan penuh
keberuntungan dan kebahagiaan.
Kalau kita serius mau menumbuhkan sifat belas kasih, seluruh lumpur-
lumpur kekotoran dan kegelapan pikiran selapis demi selapis harus segera kita
bersihkan. Hanya dengan cara demikian sifat belas kasih baru bisa mulai hidup
dan tumbuh subur di dalam hati kita.
BAB III : CARA MENGEMBANGKAN SIFAT BELAS
KASIH DI DALAM DIRI

Setelah membangunkan sifat belas kasih di dalam diri, kita bisa


mengembangkan sifat belas kasih di dalam diri hanya dengan merubah cara
pandang kita menjadi pandangan benar, seperti misalnya :

1. Lihatlah semuanya sebagai Sanghyang Acintya.

Ajaran Hindu mengajarkan kita bahwa semua fenomena adalah Sanghyang


Acintya atau Brahman. Misalnya mahavakya : "Sarvam khalvidam Brahman"
[Chandogya Upanishad III.14.1] atau "Brahman khalva idam vava sarvam" [Maitri
Upanishad IV.6], yang berarti : semua yang kita lihat di dunia ini adalah Brahman.

Dalam orang baik ada Sanghyang Acintya, dalam orang jahat juga ada
Sanghyang Acintya, dengan wajah yang berbeda. Wajah Sanghyang Acintya dalam
orang baik yaitu salah satunya karena mereka membuat kita merasa sejuk,
nyaman dan damai. Wajah Sanghyang Acintya dalam orang jahat yaitu mereka
sedang mengajarkan kita untuk menjadi sabar dan bijaksana. Dan sekaligus
memberi kita acuan yang bagus sekali tentang seberapa jauh pertumbuhan dan
kualitas kesadaran kita sendiri. Kalau "di dalam" masih ada perasaan tidak enak,
apalagi membuat kita marah-marah, artinya pikiran kita masih belum bersih.

Dalam kejadian yang baik ada Sanghyang Acintya, dalam kejadian yang
buruk-pun juga ada Sanghyang Acintya, dengan wajah yang berbeda. Wajah
Sanghyang Acintya dalam kejadian yang baik yaitu salah satunya karena itu
membuat kita bisa menikmati hidup. Wajah Sanghyang Acintya dalam kejadian
yang buruk yaitu karena kejadian yang buruk adalah kesempatan untuk kita
membayar hutang karma. Dan sekaligus mengajak kita untuk merenungkan
kembali makna dan perjalanan kehidupan kita.

Kalau bisa seperti ini, setiap moment, setiap gerakan nafas dalam hidup kita
menjadi bhakti Yoga. Mebakti tidak lagi hanya di pura, tapi sayang kepada istri
atau suami dan anak-anak itu mebakti, menolong orang yang lagi kesusahan itu
mebakti, melakukan pekerjaan kita dengan sebaik-baiknya itu mebakti, dsb-nya.

2. Lihatlah hidup ini seperti pergi bersekolah dan nilai kita harus selalu bagus
setiap hari agar kelak kita bisa naik kelas.

Perjalanan hidup ini, dalam roda samsara, bisa kita ibaratkan seperti pergi
bersekolah. Di tempat kerja, di jalan, di rumah, dimana-mana kita adalah
bersekolah. Seluruh hidup kita adalah bersekolah. Seperti sekolah yang
sebenarnya, kita pasti sering ulangan dan kemudian ada kenaikan kelas. Yang baik
dan terang adalah kita terus menerus bisa punya nilai bagus untuk kemudian naik
kelas.

Misalnya : Kalau kita dihina orang, artinya kita sedang "ulangan”. Kalau kita
difitnah orang, artinya kita sedang "ulangan”. Kalau kita jatuh sakit, artinya kita
sedang "ulangan”, dsb-nya. Kalau kita menghadapinya secara negatif, artinya kita
mendapat nilai buruk dalam ulangan, sehingga nanti kita akan gagal naik kelas.
Kalau kita mampu menyambut dengan senyuman damai dan membalasnya
dengan belas kasih, itu baru mendapat nilai bagus dan kita pasti akan naik kelas.
Karena mudah sekali bisa bersikap damai dan penuh belas kasih, disaat kita dipuji-
puji, dikagumi, tidak kekurangan uang, makan enak dan badan sehat. Tapi yang
yang bisa tetap bersikap damai dan penuh belas kasih disaat dirinya dihina, dicaci-
maki, disakiti, tidak punya uang, kelaparan dan sedang sakit, itu tidak lain adalah
pertanda kesadaran yang mulai bersinar terang, menuju kemahasucian.
BAB IV : MELAKSANAKAN KEBAIKAN

Ciri utama yang muncul dari sifat belas kasih yang telah bangun dan
berkembang di dalam diri adalah rasa haus dan lapar untuk melaksanakan
kebaikan, kebaikan dan kebaikan. Dan inilah beberapa petunjuk di dalam
melaksanakannya :

Tanpa pamrih

Semua hal di dunia ini, baik-buruk, benar-salah, suci-kotor, bisa berujung


menjadi nektar madu kehidupan atau dia juga bisa menjadi racun kehidupan.
Belas kasih dan kebaikan juga sama, dia bisa menjadi awal kesucian atau dia juga
bisa menjadi racun kehidupan bila kita melakukannya dengan pamrih. Sehingga
secara mendasar ada dua jenis kebaikan berdasarkan motif :

1. Kebaikan dengan pamrih.

Tidak mengatakan kebaikan dengan pamrih itu salah. Tapi bagi yang ingin
"pergi jauh" di dalam perjalanan spiritual, tidak disarankan melakukan kebaikan
dengan pamrih, sebab kebaikan dengan pamrih bisa membuat pikiran kita
menjadi kotor dan mudah berguncang. Kalau pamrihnya tidak kita dapatkan,
ujung-ujungnya kita marah kecewa dan tidak puas.

2. Kebaikan tanpa pamrih.

Lakukan kebaikan, lalu lupakan, itulah kebaikan tanpa pamrih. Dan jenis
kebaikan ini bukan saja membuat orang lain bahagia, tapi juga sekaligus
menerangi pikiran kita sendiri.

Selain itu di dalam melakukan kebaikan, tidak harus ada orang yang tahu
atau mengenalinya. Ketika kita melakukan kebaikan dan tidak ada orang yang
mengetahui atau mengenalinya nya ini disebut “kebaikan tidak berwujud”. Dan
sesungguhnya justru kebaikan tidak berwujud ini memiliki daya angkat yang jauh
lebih besar.
Kebijaksanaan

Ada kebaikan terbatas, ada kebaikan yang tidak terbatas. Sanghyang


Acintya itu tidak terbatas. Kalau kita mau mendekati sifat-sifat Sanghyang Acintya,
kita harus masuk ke wilayah-wilayah yang juga tidak terbatas. Sehingga ada dua
macam kebaikan tidak terbatas :

1. Kebaikan tidak terbatas yang dilakukan oleh orang yang masih dalam avidya
[kebodohan].

Yaitu ketika kita melakukan belas kasih dan kebaikan dalam konteks yang
"tidak terbatas". Sampai-sampai hal ini mengakibatkan kita menjadi bangkrut
atau mengalami kesengsaraan lainnya. Tapi kemudian kita menangisinya, kita
merasa malu atau bahkan menyesal. Itu namanya masih dalam kebodohan. Kalau
kita belum mampu melakukan kebaikan tanpa batas, lakukan dengan bijaksana,
lakukan kebaikan sebatas kita punya, bantu sebatas kita mampu. Bantulah sejauh
tidak membuat diri kita bangkrut atau sengsara. Penting untuk dicatat, ketika kita
tidak mampu untuk melakukan kebaikan, cukup ahimsa [jangan menyakiti].

2. Kebaikan tidak terbatas yang dilakukan oleh orang suci.

Yaitu ketika kita melakukan kebaikan dalam konteks yang "tidak terbatas".
Tapi kita sepenuhnya sadar kita sedang mendekati sifat-sifat Brahman yang juga
tidak terbatas. Ada sebagian orang-orang yang memang tingkat kesucian
kesadaran-nya bagus sekali. Tidak takut bangkrut, tidak takut sengsara. Sebab
kesempatan membantu itu sedikit, jarang ada yang memilikinya, jadi dilakukan
saja. Sehingga kalau nanti konsekuensinya bangkrut atau sengsara, tidak apa-apa.
Seperti kisah para yogi yang begitu intens melakukan kebaikan. Karena tekadnya,
kalau saya bangkrut dan kemudian tidak ada yang mau memberi saya makan,
saya akan cari makan seperti tikus, saya akan cari makan seperti burung. Tikus
dan burung tidak pernah sekolah, tidak pernah belajar dharma, tapi mereka tetap
bisa hidup dan mencari makan sendiri.

Di dalam melakukan kebaikan tidak terbatas, kalau yakin membantu seperti


orang suci, lakukan. Tapi kalau kita melakukannya dalam kebodohan, sebaiknya
jangan.
Kebaikan tidak selalu dibalas dengan kebaikan

Kebaikan yang kita lakukan tidak selalu mendapat respon berupa kebaikan.
Kadang-kadang malah kebaikan dibalas dengan kejahatan. Dan ini adalah hukum
alam. Seperti kalau kita menanam rumput jepang di halaman rumah kita, tidak
semuanya tumbuh rumput jepang, ada juga ikut tumbuh rumput liar dan tanaman
liar. Dan kita musti selalu sadar dengan hukum alam ini. Apapun yang terjadi,
terimalah dengan senyuman damai.

Kebaikan kadang diikuti oleh nasib buruk, tapi nasib buruk bukanlah alasan
untuk menghentikan kebaikan. Terutama karena perjalanan menuju penerangan
dan pembebasan memerlukan dua syarat, tabungan karma baik yang berlimpah
serta kebijaksanaan yang mendalam. Sehingga selalulah ingat dan jangan pernah
ragu, setiap kali ada yang memerlukan uluran tangan kita atau setiap kali kita bisa
membuat orang lain lebih bahagia, lega, terhibur atau senang, lakukanlah tanpa
sedikitpun keraguan.
RAJA YOGA

SADHANA III : CITTA-SUDDHI


Pikiran yang bebas dari cengkeraman sad ripu
[enam kegelapan pikiran]

Citta-suddhi atau pikiran yang bebas dari cengkeraman sad ripu [enam kegelapan
pikiran] adalah raja yoga yang tertinggi dan sempurna. Yoga adalah kegiatan
untuk meniadakan riak-riak pikiran. Membuat pikiran kita kembali hening, sepi,
sunyi. Inilah raja yoga yang tertinggi dan sempurna, pikiran yang hening, bebas
dari enam kegelapan pikiran. Inilah jalan kita mencapai kesadaran Atman [Atma
jnana, sujatining urip] hakikat sesungguhnya sang diri yang mahasuci.
BAB I : PERTANDA KEBERHASILAN
PERJALANAN SPIRITUAL

Pikiran yang bebas dari cengkeraman enam kegelapan pikiran [citta suddhi]
adalah pertanda atau ciri-ciri atau standar mendasar ukuran keberhasilan kita di
jalan dharma. Berlandaskan advaitacitta [pikiran yang bebas dari dualitas] dan
dayadvham [hati yang penuh belas kasih] yang kokoh, kemudian perlahan kita
bisa membebaskan pikiran, semakin bebas dan semakin bebas dari kegelapan.
Dari pikiran yang liar menjadi semakin jernih dan semakin jernih.

Dengan pikiran galang apadang [terang-benderang] yang sepenuhnya


bebas dari cengkeraman enam kegelapan pikiran, disana kita bisa mengalami
keheningan sempurna. Dalam keheningan sempurna segala kegelapan lenyap
menghilang digantikan terangnya cahaya kesadaran Atman.

Pikiran yang bebas dari enam kegelapan pikiran adalah raja yoga yang
tertinggi dan sempurna. Maharsi Patanjali dalam Yoga Sutra menulis : "yoga citta
vritti nirodhah" [yoga adalah kegiatan untuk meniadakan riak-riak pikiran].
Artinya ide paling mendasar dari yoga adalah meniadakan riak-riak pikiran.
Membuat pikiran kita kembali hening, sepi, sunyi, laksana samudera tanpa riak-
riak gelombang ombak.

Tidak hanya dalam yoga kita bisa meniadakan riak-riak pikiran, tapi dalam
setiap moment dalam kehidupan kita juga bisa meniadakan riak-riak pikiran. Tidak
hanya asana itu yoga, tapi ketenangan, kedamaian, kesejukan dan kesabaran
tidak terbatas itu juga yoga. Tidak hanya dhyana [meditasi] itu yoga, tapi kerelaan
diri, belas kasih dan kebaikan tidak terbatas itu juga yoga. Inilah raja yoga yang
tertinggi dan sempurna, pikiran yang hening, bebas dari cengkeraman enam
kegelapan pikiran. Inilah jalan kita mencapai kesadaran Atman [Atma jnana,
sujatining urip] yang sesungguhnya sang diri adalah sempurna dan mahasuci.
BAB II : MATSARYA [IRI HATI, DENGKI,
SENTIMEN]

Matsarya adalah jenis kegelapan pikiran yang paling gelap diantara sad ripu
[enam kegelapan pikiran]. Artinya kalau dalam pikiran kita muncul iri hati, dengki
atau sentimen, itu pertanda kegelapan pikiran kita masih sangat gelap pekat.
Apalagi kalau sudah terkena "penyakit SMS" [susah melihat seseorang senang,
senang melihat seseorang susah].

Bukti bahwa matsarya adalah pertanda kekotoran pikiran masih sangat


gelap pekat bisa kita bayangkan sendiri. Jika kita berhadapan dengan orang yang
iri hati, dengki atau sentimen, kita akan dibuat serba salah. Jika kita lebih rendah
dia akan menghina, jika kita sederajat dia akan bersaing, jika kita lebih tinggi dia
akan iri hati. Semua tindakan atau posisi kita menjadi serba salah. Semuanya
dilihat salah, sehingga satu-satunya hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah
diam.

Cara membebaskan kesadaran dari cengkeraman Matsarya

Jika kita tidak mau kehidupan maupun kematian yang gelap, matsarya [iri
hati, dengki atau sentimen] harus sesegera mungkin kita lenyapkan dari dalam
pikiran kita. Dengan kita melaksanakan semuanya empat metode sadhana ini.

1. Metode pertama adalah memahami iri hati, dengki atau sentimen itu sebagai
sejenis energi. Energi ini tergantung kita, bisa memakainya atau tidak. Misalnya
laksana api. Di tangan orang yang pintar memasak, api itu berguna membuat
beras menjadi nasi, sayuran menjadi capcay. Tapi di tangan anak-anak yang tidak
tahu bagaimana menggunakan api, disana api bisa berbahaya dan membuat
rumah jadi terbakar.

Orang yang iri hati, dengki atau sentimen itu di dalam dirinya energi-nya
tinggi atau bahkan berlebihan tapi dia tidak punya media dan tempat untuk
menyalurkan dan mengekspresikannya. Ini seperti pisau di dapur, kalau kita tahu
dan bisa memakainya, dia berguna untuk memotong bawang dan bahan masakan
lainnya. Tapi kalau kita tidak tahu dan tidak bisa memakai, bisa jadi berbahaya
dan orang lain kita tusuk.

Sekarang tergantung bagaimana kita menggunakan iri hati, dengki atau


sentimen itu sebagai energi di waktu dan tempat yang tepat. Salurkanlah energi
ini, gunakan energi berlebihan ini untuk hal yang baik.

Misalnya iri hati pada tetangga yang kaya. Jangan sekali-sekali


memfokuskan diri pada tetangga tersebut, melainkan segera belajar yang keras,
bekerja yang keras, biar kita bisa sama kaya-nya dengan dia. Iri hati pada rekan
kerja yang sukses. Jangan sekali-sekali memfokuskan diri pada rekan kerja itu,
melainkan segera belajar yang keras, bekerja yang keras, kelak waktu yang pasti
akan membawa kita sama suksesnya dengan dia, dsb-nya. Lebih terang dan mulia
lagi jika kita bisa menggunakan energi berlebihan ini ke arah yang terang.
Misalnya untuk melakukan kerja sosial, membantu orang lain, ngayah di pura,
dsb-nya. Itu cara menggunakan energi matsarya agar positif, biar dia tersalurkan
gunakan ke arah yang baik, terang dan berguna.

2. Metode kedua adalah dengan belajar menerima diri kita sendiri dan garis
kehidupan kita sendiri seperti apa adanya. Dengan rasa berkecukupan, rasa
syukur dan rasa terimakasih yang mendalam. Karena setiap bentuk penolakan kita
terhadap orang lain berakar dari penolakan kita terhadap diri sendiri dan dan
garis kehidupan kita sendiri.

Jika kita dapat menerima diri kita sendiri dan garis kehidupan kita sendiri
seperti apa adanya, dengan rasa berkecukupan, rasa syukur dan rasa terimakasih
yang mendalam, kita akan sangat mudah untuk menerima keadaan orang lain
seperti apapun bentuknya.

3. Metode ketiga adalah dengan melakukan perenungan. Bahwa kita tidak pernah
tahu apa kerja keras orang lain, kita tidak pernah tahu secara lengkap apa-apa
saja yang dilakukan oleh orang lain dalam hidupnya dan kita tidak pernah tahu
secara lengkap apa-apa saja susah, derita, sengsara, ataupun juga pengorbanan
orang lain dalam hidupnya.

Tetangga yang kaya, dia pasti bekerja keras untuk mencapai hal itu. Disaat
kita bersenang-senang nonton sinetron, main playstation, dsb-nya, dia bekerja
keras bangun pagi, banting tulang dan hemat menabung. Rekan kerja yang
sukses, dia pasti bekerja keras untuk mencapai hal itu. Disaat kita bersantai-santai
nongkrong, jalan-jalan, dsb-nya, dia bekerja keras membaca buku, ikut seminar
dan lembur. Sehingga kita bisa menjadi tahu diri dan berhenti melakukan
penghakiman-penghakiman. Kita sadar bahwa semua pencapaian perlu
pengorbanan dan tidak datang begitu saja dengan mudah.

4. Metode ke-empat adalah adalah belajar untuk melakukan Mudita-Citta, yaitu


kita bahagia melihat orang lain bahagia. Ini merupakan jalan yang sangat terang
bercahaya.
BAB III : KRODA [KEMARAHAN, KEBENCIAN,
DENDAM]

Kroda adalah jenis kekotoran pikiran kedua yang paling gelap. Penyebabnya
adalah tidak adanya prajna [kebijaksanaan] dan ahamkara [ke-aku-an].

Prajna [kebijaksanaan]

Langkah penting pertama di dalam memahami penyebab kroda adalah


memiliki jnana atau vidya [pengetahuan] yang benar. Kalau pengetahuan,
wawasan dan cara pandang-nya benar ini akan menghasilkan prajna atau
kebijaksanaan, sehingga kita pasti melangkahnya juga akan benar. Sebaliknya
kalau pengetahuan dan wawasan-nya sempit dan salah kita melangkahnya juga
akan salah. Ini bisa kita capai hanya dengan merubah cara pandang kita menjadi
cara pandang yang benar, misalnya :

1. Orang yang menyakiti kita bukan orang jahat, melainkan orang baik yang
sedang memberi kita kesempatan membayar hutang karma. Pengalaman
kehidupan yang buruk bukan hukuman tuhan, melainkan alam semesta sedang
memberi kita kesempatan membayar hutang karma.

Kalau bertemu dengan orang yang mencaci, menghina dan menyakiti kita,
mereka bukan orang jahat yang datang untuk menghancurkan hidup kita,
melainkan orang baik yang sedang memberi kita kesempatan membayar hutang
karma. Karena salah satu sebab utama kita terus-menerus terlahir ke dunia
adalah karena kita harus membayar hutang karma. Kalau kita berharap di semua
masa kehidupan kita hanya bertemu orang-orang baik saja dan tidak bertemu
orang-orang yang menyakiti, kita pasti akan kecewa berat dan kemarahan-pun
muncul. Kita harus paham dan mengerti apa makna dari kehadiran orang-orang
yang mencaci, menghina dan menyakiti kita.

Kalau bertemu dengan orang yang mencaci, menghina dan menyakiti kita,
yakinlah bahwa kita sedang membayar hutang karma. Dalam ratusan ribu atau
bahkan jutaan kelahiran kita sebelumnya, mereka pernah menjadi orang-orang di
sekitar kita mungkin menjadi ibu kita, bapak kita, atau bahkan mungkin mereka
pernah kita bunuh di jaman barbar dulu. Semuanya pernah kita sakiti. Dan itu
jumlahnya tidak terhitung, tidak terhingga.

Jatuh sakit, kena musibah, disakiti orang lain dan segala pengalaman
kehidupan yang buruk bukan hukuman tuhan, melainkan kesempatan yang
diberikan alam semesta kepada kita untuk membayar hutang karma. Hutang
karma kita kepada orang lain, mahluk lain, alam semesta dan kesalahan-kesalahan
masa lalu. Siapa saja yg melawannya dengan protes dan kemarahan, tidak saja
akan gagal membayar hutang karma, tapi bisa jadi malah membuat hutang karma
yg baru. Sebaliknya siapa saja yang bisa menyambutnya dengan damai, penuh
belas kasih dan hati yang bersih, ia sedang membayar hutang karma untuk
kemudian bebas.

2. Orang yang menyakiti kita bukan orang jahat, melainkan guru dharma tertinggi
yang sedang mengajar kita mengolah kesadaran. Pengalaman kehidupan yang
buruk bukan hukuman tuhan, melainkan panggilan dari alam semesta kepada kita
untuk memasuki jalan dharma yang mendalam.

Kalau bertemu dengan orang yang mencaci, menghina dan menyakiti kita,
mereka bukan orang jahat yang datang untuk menyakiti kita, melainkan orang
baik yang menyediakan dirinya untuk menjadi guru dharma tertinggi bagi kita
secara gratis. Dengan cara mencaci, menghina dan menyakiti kita, mereka
sesungguhnya sedang mengasah kita menjadi sabar dan bijaksana. Guru yang
sedang mengajarkan kita untuk mengolah kesadaran tertinggi. Tidak mungkin kita
menjadi sabar dan bijaksana hanya dengan paham dan hafal buku suci. Tidak
mungkin kita menjadi sabar dan bijaksana hanya dengan belajar dari satguru.
Kesabaran dan kebijaksanaan paling mungkin diajarkan oleh orang yang mencaci,
menghina dan menyakiti kita, asalkan kita bisa menyambutnya dengan senyuman
dan membalasnya dengan belas kasih.

Kualitas pikiran kita tidak mungkin bisa bertambah bersih dan terang kalau
kita tidak pernah dicaci, dihina dan disakiti. Sehingga orang yang mencaci,
menghina dan menyakiti kita bukanlah racun dalam kehidupan yang membuat
kita marah benci dan dendam, melainkan kekuatan kebaikan yang membuka dan
menghidupkan cahaya kesadaran di dalam diri kita.
Jatuh sakit, kena musibah, disakiti orang lain dan segala pengalaman
kehidupan yang buruk bukanlah hukuman tuhan, melainkan panggilan dari alam
semesta kepada kita untuk memasuki jalan dharma yang mendalam. Rasa sakit
yang menyengat di dalam pikiran kita adalah pertanda kita sudah “pergi terlalu
jauh” dari kesadaran Atman. Melalui pengalaman kehidupan yang buruk kita
sedang dipanggil-panggil oleh alam semesta. Kembalilah anakku, kembalilah
kepada kesadaran dirimu yang sejati, kamu sudah melangkah pergi terlalu jauh,
kembalilah kepada sujatining urip, kepada kesadaran Atman.

3. Kalau bertemu dengan orang yang mencaci, menghina dan menyakiti kita,
mereka bukan orang jahat melainkan orang baik yang datang untuk menyediakan
barometer gratis untuk mengukur kualitas kebersihan pikiran kita. Kalau kita
belum bisa memancarkan belas kasih dan kebaikan kepada orang-orang yang
menyakiti kita, itu pertanda pikiran kita masih gelap. Karena pada pikiran yang
bersih sempurna, dia bisa bersikap penuh belas kasih bahkan kepada orang yang
mencaci, menghina dan menyakiti.

4. Kalau bertemu dengan orang yang mencaci, menghina dan menyakiti kita,
mereka bukan orang jahat melainkan orang baik yang merelakan dirinya
menanggung karma buruk akibat perbuatannya itu, hanya untuk membuat kita
menjadi sabar dan bijaksana.

5. Kalau bertemu dengan orang yang mencaci, menghina dan menyakiti kita,
mereka bukan orang jahat melainkan orang yang sedang menderita. Karena
keserakahan, ketidak-puasan, kejahatan, kemarahan, kebencian dan dendam itu
suatu bentuk kesengsaraan dalam pikiran.

Disini akan terlihat jelas sekali perbedaan jnana atau cara pandang akan
menghasilkan perbedaan langkah dan sikap.

Kalau jnana kita sempit dan kita melihat orang yang mencaci, menghina dan
menyakiti sebagai orang jahat [tidak ada prajna atau kebijaksanaan], tentu yang
muncul dalam pikiran kita adalah kemarahan dan kebencian. Tapi kalau jnana kita
seluas ruang, artinya kita dapat memahami bahwa mereka sesungguhnya orang
baik yang sedang menderita, tentu yang muncul dalam pikiran kita adalah belas
kasih dan keinginan untuk menyayangi.
Kalau jnana kita sempit dan kita melihat segala pengalaman kehidupan
yang buruk sebagai hukuman tuhan [tidak ada prajna atau kebijaksanaan], tentu
yang muncul dalam pikiran kita adalah rasa tidak mendapatkan keadilan,
keinginan untuk protes atau marah tidak terima. Tapi kalau jnana kita seluas
ruang, artinya kita dapat memahami bahwa ini sesungguhnya adalah panggilan
guru untuk kembali kepada sujatining urip, tentu yang muncul dalam pikiran kita
adalah tekad kuat untuk segera memasuki jalan dharma yang mendalam.

Ketika orang jahat saja bisa kita lihat sebagai orang baik, ketika segala
pengalaman kehidupan yang buruk bisa kita lihat sebagai panggilan guru untuk
kembali kepada sujatining urip, tidak ada tempat di dunia ini yang tidak
menghadirkan kesadaran dan kemahasucian.

Ahamkara [ke-aku-an] dalam pikiran kita

Langkah penting kedua di dalam memahami penyebab kroda adalah


memahami adanya ahamkara [ke-aku-an] dalam pikiran kita. Misalnya [contoh]
dibawah ini :

1. Suatu hari ada yang memaki kita : ”kamu sialan, bangsat, anjing, setan”. Kita-
pun seketika menjadi marah besar. Mengapa kita marah ? Apa karena kata-
katanya kasar dan menghina ? Lalu bayangkan kalau makian yang sama ditujuan
kepada orang yang sama sekali tidak kita kenal. Kita tidak marah, padahal kata-
katanya sama kasar dan menghina. Mengapa pada kejadian pertama kita marah ?
Kita marah karena yang dimaki itu AKU.

2. Suatu hari sepeda motor kita yang sedang parkir ditabrak orang sampai rusak.
Kita-pun seketika menjadi marah besar. Mengapa kita marah ? Apa karena sepeda
motor ditabrak dan rusak ? Lalu bayangkan kalau yang ditabrak itu sepeda motor
milik orang lain yang sama sekali tidak kita kenal. Sepeda motor sama ditabrak
sampai rusak, tapi kita tidak marah. Mengapa pada kejadian pertama kita marah ?
Kita marah karena yang ditabrak sampai rusak itu sepeda motor-KU, milik-KU.

Disini terlihat jelas bahwa kita sering demikian tidak sadar ada di dalam
pengaruh ahamkara [ke-aku-an]. Dan ke-aku-an inilah penyebab kita terus-
menerus dilahirkan dalam roda samsara. Ketika ke-aku-an lenyap, roda samsara
berhenti dan kita terbebaskan.
Cara membebaskan kesadaran dari cengkeraman Kroda bagi sadhaka pemula

Untuk pemula yang jnana-nya [pengetahuan, wawasan] masih sempit dan


ahamkara-nya [ke-aku-an] masih besar, awal-awalnya mungkin sulit untuk belajar
membebaskan kesadaran dari cengkeraman kroda. Ketika dicaci maki hati kita
masih terasa sakit, kalau mendapat pengalaman buruk kita masih merasa
sengsara, dsb-nya. Dalam hal ini ada beberapa tehnik sederhana bagi pemula
yang bisa kita pelajari dan laksanakan :

1. Belajarlah diam sekuat-kuatnya. Kemarahan itu jangan kita ikuti, sebab kalau
kita ikuti kita bisa terseret dan tidak terkendali jadinya.

2. Tutup mulut rapat-rapat. Kalau mulut kita terbuka, kata-kata yang keluar bisa
memanaskan situasi dan keadaan bisa menjadi semakin tidak terkontrol.

3. Sadari bahwa dalam pikiran kita muncul samskara berupa kemarahan. Lakukan
pranayama [tarik nafas keluar-masuk dalam-dalam secara teratur]. Sadari bahwa
kemarahan itu hanya ilusi pikiran saja.

4. Kalau yang nomer 3 belum bisa, boleh ganti dengan terus mengingat guru
kosmik kita [Sanghyang Acintya, Dewa Shiva, Dewi Sarasvati, dsb-nya, boleh siapa
saja]. Serahkan semua pikiran, perasaan dan tubuh kita dengan penuh kerelaan
kepada mereka dengan tingkat kepasrahan yang sempurna.

5. Kalau kita tetap juga masih belum sanggup dan merasa tidak tahan dengan
orang itu, segeralah pergi menjauh. Pergilah ke tempat-tempat yang "sejuk"
[misalnya : sanggah, pura, mata air atau beji, hutan yang sepi, dsb-nya]. Jangan
sekali-sekali pergi ke tempat-tempat yang "panas" [misalnya : pergi ke tempat
orang yang akan malah mengompori dan memanas-manasi kita].

6. Sadari bahwa dalam pikiran kita muncul samskara berupa kemarahan. Lakukan
pranayama [tarik nafas keluar-masuk dalam-dalam secara teratur]. Sadari bahwa
kemarahan itu hanya ilusi pikiran saja.

7. Kalau cara ini belum bisa, boleh ganti dengan terus mengingat guru kosmik kita
[Sanghyang Acintya, Dewa Shiva, Dewi Sarasvati, dsb-nya, boleh siapa saja].
Relakan dan serahkan semua pikiran, perasaan dan tubuh kita kepada mereka
dengan tingkat kepasrahan yang sempurna.

Setelah melewati jangka waktu yang panjang menggembleng diri seperti


itu, suatu hari nanti kita akan mengerti bahwa kemarahan, kebencian dan
dendam hanyalah ilusi atau riak-riak pikiran belaka. Dan disaat itulah kita bisa
tersenyum damai, menjadi sabar dan bijaksana, serta penuh belas kasih.

Hidup ini penuh dengan berbagai godaan. Sehingga kapan saja kita digoda
kemarahan, kapan saja kita digoda kesedihan, kapan saja berbagai godaan lainnya
[baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan] datang, cakupkan
tangan dalam anjali mudra dan bisik-kan ke dalam relung pikiran kita yang
terdalam : tidak saja sembahyang itu mebakti, tapi kesabaran dan belas kasih
yang tidak terbatas juga adalah mebakti. Tidak saja meditasi itu yoga, tapi
kesejukan, kedamaian dan ketenangan pikiran juga adalah yoga. Inilah jalan saya
"kembali pulang" menuju kesadaran dan kemahasucian yang tertinggi. Atma
jnana, kesadaran Atman, sujatining urip.
BAB IV : LOBHA [KETIDAKPUASAN,
KESERAKAHAN]

Lobha [ketidakpuasan atau keserakahan] menyebabkan hidup kita menjadi


resah, gelisah, penuh keluhan dan kemarahan. Ujung-ujungnya sengsara dan jauh
dari pikiran yang sejuk dan damai. Penyebabnya ada dua, yaitu gemar membuat
perbandingan-perbandingan berbahaya [dualitas] dan terseret kuat oleh hawa
nafsu keinginan.

Dualitas

Sebab pertama munculnya lobha adalah karena kita suka membandingkan,


misalnya membandingkan pasangan hidup kita dengan pasangan hidup orang lain
atau mantan kita dulu. Kita membandingkan tempat kerja kita dengan tempat
kerja yang lain. Kita membandingkan uang yang kita punya dengan uang orang
lain. Atau kita membandingkan dengan masa lalu, dulu dia banyak uang, lebih
cantik atau tampan, lebih sehat, tapi sekarang uangnya sedikit, fisiknya tidak
sebagus dulu lagi [gemuk, keriput], sering sakit. Kalau bisa kita ingin menukarnya.

Kita mau hidup senang dan tidak mau hidup susah, mau yang
menyenangkan dan tidak mau yang tidak menyenangkan, mau dihormati orang
dan tidak mau dianggap sepele. Padahal tidak pernah ada hidup yang seperti itu.
Dalam kehidupan ini semua orang melewati bahagia dan sengsara, pernah dipuji
dan direndahkan, melewati sakit dan sehat, pernah sukses dan gagal. Dimana ada
kelebihan disana juga pasti ada kekurangan, dimana ada kekurangan disana pasti
ada kelebihan. Karena demikianlah kehidupan, selalu terpola dalam rwa
bhinneda.

Hawa nafsu keinginan

Sebab kedua munculnya lobha adalah karena kita terseret kuat oleh hawa
nafsu keinginan. Keinginan kita liar, tidak pernah puas. Ketika sudah bisa punya
sepeda motor, ingin punya mobil. Ketika sudah bisa punya rumah kecil, ingin
punya rumah mewah. Yang sudah menikah, ingin punya istri atau suami yang
ideal. Ketika bisa punya uang satu juta, ingin punya uang lima juta. Keinginan kita
selalu tidak terpenuhi. Kita seperti berkejaran dengan bayangan sendiri. Kalau
bayangan kita kejar, tentu kita tidak akan pernah ketemu.

Cara membebaskan kesadaran dari cengkeraman Lobha

Adanya lobha [ketidakpuasan atau keserakahan] yang menodai kesadaran


kita pasti akan menyebabkan hidup kita sengsara dan jauh dari kesejukan dan
kedamaian. Di bawah ini ada beberapa cara untuk meredakan lobha :

1. Hati-hati terhadap segala hal yang bisa memicu munculnya lobha.

Untuk sadhaka pemula atau orang biasa yang pikirannya masih labil dan
goyah, masih sangat diperlukan upaya pencegahan dengan cara menjauh atau
menghindar dari godaan. Karena kalau pikiran kita masih labil dan goyah, lalu
didukung oleh lingkungan yang menggoda, itu hal yang berbahaya. Kalau tidak
perlu, hindari datang ke mall, ke pameran, membaca majalah shopping, dll.
Karena bahayanya hal seperti itu, kita tidak mendesak perlu barang-pun kita bisa
jadi beli, beli dan beli. Termasuk hindari pergaulan yang bisa mendorong kita
untuk korupsi, selingkuh, berfoya-foya, dsb-nya.

Tapi seandainya kita tidak punya pilihan, jalan berikutnya adalah melatih
dan membiasakan diri. Lingkungan hidup kita boleh penuh dengan godaan korupsi
dan ketidakjujuran, godaan selingkuh, godaan jurang kaya-miskin yang jomplang,
godaan biaya hidup mahal, godaan pola hidup konsumtif, dsb-nya. Jangan ikut
terseret atau tergoda, tapi gunakan sebagai kesempatan untuk melatih dan
membiasakan diri mengasah kepolosan, mengasah kejujuran, mengasah
kebaikan, dll. Kalau demikian caranya, godaan-godaan itu bukannya membuat
pikiran kita terbakar, tapi membuat kita bisa mereguk sejuk dan damainya tirta
[air suci] kesadaran.

2. Menggembleng diri hidup untuk hidup penuh dengan kebaikan, pemberian,


kerelaan dan pengertian.

Landasan dasar terpenting untuk mengikis lobha dari dalam pikiran adalah
dengan melatih dan menggembleng diri untuk “melepas” atau merelakan.
Ini bisa kita latih dengan cara terus-menerus mendidik diri untuk
melakukan kebaikan, kebaikan dan kebaikan. Kebaikan, kerelaan dan pemberian
dapat berupa materi ataupun bukan materi. Yang berupa materi misalnya berupa
pemberian uang, barang, obat-obatan, makanan, dsb-nya. Sedangkan yang
berupa bukan materi bisa berwujud apa saja, misalnya sebuah senyuman,
menjadi pendengar yang baik, kerelaan demi membuat orang lain senang,
memberikan perhatian, dsb-nya.

Dari kebiasaan untuk melakukan kebaikan, kebaikan dan kebaikan ini akan
kemudian membuat kita mudah untuk “melepas” dan merelakan. Dari kerelaan
kemudian bisa muncul upaya untuk pengertian. Dan dari keseluruhan kebaikan,
pemberian, kerelaan dan pengertian inilah yang akan membuat kita mudah untuk
membebaskan diri dari ketidakpuasan dan keserakahan.

3. Berpikir positif dan selalu bersyukur.

Belajarlah untuk selalu melihat sisi terang dari setiap kejadian dengan
penuh rasa syukur, karena selalu ada keindahan dalam setiap kejadian. Gaji naik
tentu bersyukur, tapi gaji kena potong juga tetap bersyukur karena kita sedang
diajarkan oleh kehidupan untuk hemat dan mengendalikan nafsu keinginan.
Kantor nyaman bersyukur, kantor tidak nyaman juga tetap bersyukur karena kita
sedang diajarkan oleh kehidupan untuk sabar dan bijaksana. Istri cantik
bersyukur, istri tambah jelek juga bersyukur karena kita sedang diajarkan oleh
kehidupan untuk mengendalikan nafsu seks. Ciri orang yang hidupnya terang,
seluruh arah penuh dengan rasa syukur.

Kebanyakan orang tidak bisa menemukan penerangan pikirannya karena


dia "menendang" kehidupannya. Mengeluh, mengeluh dan mengeluh. Tidak puas,
tidak puas dan tidak puas. Kita akan mulai berevolusi menuju penerangan pikiran,
kalau dimanapun kita berada, apapun yang kita lakukan, apapun yang terjadi,
coba lihat semuanya dengan hati yang penuh belas kasih dan sudut pandang yang
penuh dengan rasa syukur. Karena dengan demikian tidak peduli apa kita
bertemu hal yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, apa rumah kita
mewah atau sederhana, apa mobil kita mahal atau malah kita jalan kaki, apa
pasangan hidup kita cantik, tampan atau jelek, kehidupan kita seketika menjadi
kehidupan penuh kedamaian dan kebahagiaan.
BAB V : MOHA [BINGUNG, PUTUS ASA, CEMAS,
RESAH, GELISAH, TAKUT, BOSAN]

Rasa bingung, putus asa, cemas, resah, gelisah, takut atau bosan
merupakan reaksi pikiran terhadap apa yang dianalisa oleh pikiran kita sebagai
bahaya hidup ataupun juga ketidak-pastian hidup. Sebuah perkawinan yang
membosankan, gangguan kesehatan yang kronis, pengangguran yang
berkepanjangan, masalah keuangan, dsb-nya. Ketika tampaknya keadaan buruk
atau statis yang kita alami, tidak akan pernah membaik.

Dalam ajaran dharma, munculnya perasaan bingung, putus asa, cemas,


resah, gelisah, takut atau bosan, itu tanda-tanda di dalam pikiran kita masih ada
banyak noda. Noda manapun kita tidak punya pilihan lain selain dibersihkan.
Dalam bahasa kosmik, munculnya moha membawa pesan yang jelas bahwa kita
telah jauh dari realitas diri yang sejati. Karena jika semua tindakan kita lakukan
dengan pikiran yang cukup bersih, maka benih-benih moha lenyap dengan
sendirinya.

Cara membebaskan kesadaran dari cengkeraman Moha

Di bawah ini ada beberapa cara untuk meredakan moha :

1. Menggembleng diri melaksanakan belas kasih dan kebaikan.

Sebab pertama munculnya moha adalah karena kita punya sikap


mementingkan diri sendiri sangat dominan, baik yang disadari maupun yang tidak
disadari. Dengan kata lain ahamkara [ke-aku-an] masih sangat besar. Kita sangat
kurang memiliki sifat kerelaan diri untuk berbagi kebahagiaan dengan mahluk
lain. Sehingga mengembangkan sifat penuh belas kasih dan kebaikan [tanpa
syarat] adalah sarana terbaik untuk meredakan moha.

Penting sekali memupuk rasa belas kasih dalam hidup, karena dengan
demikian pikiran kita selalu lebih rela, terbuka dan lebih jernih. Apapun yang
terjadi dalam kehidupan, sifat belas kasih kita tidak boleh berkurang sedikitpun.
Sayangi, sayangi dan sayangi siapa saja dan apa saja. Menyayangi orang yang baik
kepada kita, itu mudah, tapi bisa menyayangi orang yang jahat dan menyakiti kita,
itu tanda-tanda pikiran yang sadar dan bersinar terang.

2. Selalu berpikir positif.

Sebab kedua munculnya moha adalah karena kita punya sikap suka
membandingkan dan menilai segala sesuatu dengan untung-rugi sangat dominan.
Dengan kata lain ahamkara [ke-aku-an] masih besar. Sehingga apapun yang kita
lakukan dan apapun yang terjadi dalam hidup, jangan lupa untuk berpikir positif.
Terutama karena semua pemikiran dan perasaan kita berawal dari pikiran.
Misalnya :

- Ketika kita sedang mengalami kesulitan keuangan, jangan lihat sengsara-nya,


tapi lihat hal itu sebagai kesempatan untuk belajar banyak berhemat [menahan
diri] dan mengendalikan diri, belajar rendah hati, menumbuhkan simpati kepada
mereka yang serba kekurangan dan belajar memahami makna kehidupan. Karena
beban hidup yang sangat berat bisa membimbing kita menuju pemahaman hidup
yang terang, asalkan kita sabar, nrimo dan tetap damai.

- Ketika kita sedang mengalami kegagalan, jangan lihat sebagai kelemahan dan
ketidakmampuan, tapi lihat bahwa hidup sedang memberi kita pembelajaran agar
kita bisa menjadi lebih baik lagi.

- Dsb-nya.

Ketika kita terbiasa berpikir positif pada setiap kejadian, hidup kita akan
banyak diselamatkan dari kejadian-kejadian yang lebih buruk. Sekaligus pikiran
kita akan menjadi bersih dengan sendirinya.

3. Belajar menerima hidup sebagaimana adanya dengan hati sejuk dan damai.

Hidup ini adalah karma yang berputar. Dalam putaran hukum karma, tidak
ada suatu akibat yang akan timbul tanpa adanya sebab yang nyata. Kita
mendapatkan yang baik karena akumulasi karma masa lalu dan karma saat ini kita
juga baik. Demikian juga sebaliknya, kita mendapatkan pengalaman hidup yang
buruk semata karena akumulasi karma masa lalu dan karma saat ini kita juga
buruk.

Dalam putaran karma, hidup ini adalah perubahan yang abadi. Tapi
terkadang kita sulit untuk menerimanya, padahal perubahan tidak bisa dihindari.
Lihatlah kehidupan, setiap pertemuan dengan seseorang pasti akan berakhir
dengan perpisahan, ketika kita memiliki sesuatu cepat atau lambat kita akan
berpisah dengannya, setiap jabatan atau profesi suatu saat juga harus berakhir
[paling tidak karena pensiun], dsb-nya. Lihatlah manusia, semakin tua dia semakin
lemah, jelek dan keriput. Kita harus mampu menerima dengan damai setiap
perubahan dalam hidup, karena memang demikianlah kehidupan. Kita tidak bisa
mengubahnya, yang bisa kita ubah adalah sikap pikiran kita sendiri.

Sukses atau gagal, bahagia atau sedih, bukanlah suatu hal yang akan
menghentikan roda kehidupan untuk berputar. Hadapi setiap permasalahan.
Berhentilah menghujat diri ketika kita gagal atau melakukan kesalahan. Terima
segala kekurangan diri kita dengan riang dan miliki terus kemauan untuk tetap
belajar dan berusaha dengan hati yang damai dan tenang.

4. Laksanakan tugas-tugas kehidupan [svadharma] kita.

Kerja adalah salah satu sarana yang baik untuk memahami sang diri dan
kehidupan. Sebab dengan bekerja kita “berkomunikasi” dengan diri kita sendiri
secara intens. Melarikan diri dari kerja, penolakan akan tugas-tugas kehidupan
kita saat ini akan menjauhkan pikiran kita dari kebahagiaan dan kedamaian.
Hanya melaksanakan kerjalah yang bisa membebaskan kita, bukan menolak untuk
bekerja dan tenggelam dalam rasa frustasi.

Sederhanakan hidup kita. Jangan membuang waktu dan energi pada


kegiatan remeh yang tidak penting bagi peningkatan kesadaran kita. Apalagi
sampai terjerumus kepada pergaulan negatif dan perilaku negatif seperti mabuk-
mabukan, dsb-nya. Karena hal itu bukannya membebaskan kita, malah
menjerumuskan dan menambah banyak masalah. Jalani hidup dengan fokus
menyelesaikan tugas-tugas yang menjadi prioritas utama kita di saat ini. Kerjalah
dan laksanakan tugas kita dengan dengan sebaik-baiknya, tapi apapun hasilnya
terima dengan pikiran damai.
5. Banyak-banyak meditasi, sembahyang dan melukat.

Kegiatan rohani seperti meditasi, sembahyang, tirtayatra dan melukat,


adalah sebuah kekuatan penyembuhan pikiran yang terbaik. Ini bisa menjadi
aktifitas pendukung yang sangat baik untuk meredakan moha.
BAB VI : MADA [MABUK, SOMBONG, ANGKUH]

Ada banyak jenisnya mada ini, seperti misalnya :

- Surupa, yaitu mabuk pikiran karena keunggulan tubuh fisik seperti misalnya
tampan, cantik, kuat, perkasa.

- Dhana, yaitu mabuk pikiran karena keunggulan kekayaan materi, seperti


misalnya banyak uang, kaya-raya, punya mobil baru, punya HP canggih, punya
pakaian mewah, punya rumah megah.

- Guna, yaitu mabuk pikiran karena keunggulan intelek seperti misalnya


kecerdasan, pengetahuan luas, gelar akademis, kebenaran ajaran agama.

- Kulina, yaitu mabuk pikiran karena keunggulan status sosial seperti misalnya
garis keturunan, kasta, memiliki jabatan tinggi, jasa-jasa kepahlawanan.

- Sura, yaitu mabuk pikiran karena mengkonsumsi makanan atau minuman yang
mengganggu kesadaran seperti misalnya mengkonsumsi minuman keras,
narkoba.

Apapun bentuknya, mada adalah tembok penghalang menuju kehidupan


yang bahagia dan kesadaran yang terang. Dalam pikiran manusia ada unsur bhuta
[ashuri sampad] dan ada unsur dewa [daiwa sampad]. Unsur mana yang akan
lebih hidup dan dominan kita sendiri yang memilih.

Rendah hati menghidupkan unsur-unsur dewa dalam pikiran kita, sombong,


angkuh dan menghina menghidupkan unsur-unsur ashura dalam pikiran kita.
Kalau unsur bhuta yang kita hidupkan, jangankan setelah mati, sekarangpun kita
akan bertemu neraka. Kalau unsur dewa yang kita hidupkan, kita akan bertemu
surga saat ini juga. Sehingga sudah selayaknya kita selalu bersikap rendah hati,
agar kemudian kita bisa mulai berjalan menuju kehidupan yang bahagia dan jalan
kesadaran yang terang.
Cara membebaskan kesadaran dari cengkeraman Mada

Di bawah ini ada beberapa metode untuk meredakan mada :

1. Hati-hati terhadap segala hal yang bisa memicu munculnya mada.

Untuk pemula yang pikirannya masih labil dan goyah, selalulah berhati-hati
dan waspada dengan segala hal yang bisa membuat ahamkara, ke-aku-an atau
ego kita naik. Orang yang punya kelebihan-kelebihan, dia sering dipuji dan
dihormati. Yang harus kita waspadai dari dipuji dan dihormati adalah harga diri
kita naik. Dan harga diri yang naik inilah yang selalu menjadi sumber
kesombongan dan banyak keributan. Orang-orang yang cenderung sering bikin
ribut dan rusuh umumnya memberikan harga tinggi terhadap dirinya [baca ego-
nya]. Ketika harga diri tinggi ini tidak terpuaskan, akan mudah tersinggung dan
membuat keributan.

Ego ini macam-macam, ego untuk disebut bergengsi, ego untuk disebut
paling benar, ego untuk disebut baik, ego bahwa kita lebih tinggi dan lebih hebat,
dsb-nya. Dengan kata lain ahamkara [ke-aku-an, ego] masih sangat besar.

Hati-hati dan waspadalah dengan segala hal yang bisa membuat ego kita
naik. Menjadi orang cerdas itu bagus, tapi kalau kita sombong dan menghina yang
kurang cerdas, pikiran kita menjadi kotor dan siap-siaplah kita akan punya banyak
musuh. Menjadi orang kaya itu bagus, tapi kalau kita sombong dan menghina,
pikiran kita menjadi kotor dan siap-siaplah kita akan punya banyak musuh. Di
jaman dimana orang-orang isinya hanya bertengkar, bertengkar dan bertengkar,
susah kita menemukan orang rendah hati yang berani mengatakan “saya yang
paling hina di tempat ini”. Kebanyakan orang mengatakan “orang lain hina, saya
yang paling mulia di tempat ini”. Atau “orang lain salah, saya yang paling benar”.

Bahkan kesucian-pun bisa menjadi sumber kegelapan pikiran yang bernama


kesombongan ini. Ini terbukti dari adanya guru-guru meditasi yang ngotot bahwa
metode-nya saja yang paling bagus dan benar, atau guru-guru spiritual yang
ngotot memperjuangkan bahwa hanya ajarannya saja yang paling bagus dan
benar.
Ciri orang yang pikirannya bersih dan kesadarannya terang, sikapnya sangat
rendah hati. Bagi orang-orang yang rendah hati, kalau ada yang bicara selalu
didengarkan. Tidak hanya disini ada kebenaran, disana juga ada kebenaran.
Karena tidak jaminan karena kita lebih tua, lalu pertumbuhan kesadaran kita lebih
dalam dan terang. Tidak jaminan karena kita lebih banyak belajar dan membaca
buku suci, lalu pertumbuhan kesadaran kita lebih dalam dan terang. Sama sekali
tidak jaminan. Karena seberapa dalam perjalanan kita ke dalam diri, itu adalah
rahasia diri kita sendiri dengan kemahasucian di alam semesta.

2. Sadari dalam-dalam kalau semuanya adalah peran-peran kehidupan.

Manusia semuanya punya putaran karma masing-masing. Seperti pohon


cemara yang tumbuh di gunung, pohon kelapa yang tumbuh di pantai. Kita tidak
bisa memaksa cemara tumbuh di pantai dan kelapa tumbuh di gunung. Sehingga
sebelum kita memberi label orang lain dengan sebutan rendah, hina atau kotor,
sadari setiap orang punya putaran karma dan cara pertumbuhan jiwa yang
berbeda.

Kalau hari ini kita merasa jujur, janganlah membenci orang yang tidak jujur.
Siapa tahu suatu hari nanti keadaannya terbalik, kita yang tidak jujur. Kalau hari
ini kita tampan dan kaya, janganlah menghina orang yang jelek dan miskin.
Karena itu semua tidak kekal, sebentar lagi akan keriput dan reot. Kalau hari ini
kita menjadi guru yang didengar banyak orang, janganlah sombong kepada orang
yang tidak didengar. Karena kebenaran ada dimana-mana, siapa tahu justru kita
yang salah.

Semua orang punya peran hidup masing-masing. Orang jelek berguna untuk
membuat orang cantik terlihat jadi tambah cantik. Orang bodoh berguna untuk
membuat orang cerdas terlihat jadi tambah cerdas. Orang jahat berguna untuk
mengasah kesabaran orang baik. Sehingga sadari dalam-dalam dengan rendah
hati, kalau semuanya punya peran hidup dan cara pertumbuhan jiwa masing-
masing.

3. Sadari kalau tidak ada yang kekal abadi.

Hidup ini seperti gelombang di lautan, naik-turun dan naik-turun. Mau


gelombangnya tinggi [jabatan bagus, kaya-raya, terkenal, dsb-nya], mau
gelombangnya rendah [miskin, jelek, bodoh, dsb-nya], begitu mencium bibir
pantai [dijemput kematian] gelombangnya merunduk. Demikian juga dengan
hidup kita, mau kaya atau miskin, mau terkenal atau tidak, mau dianggap sebagai
guru suci atau penjahat, mau pintar atau bodoh, suatu hari semuanya akan mati.

Dan menyangkut kematian ada dua macam kematian : mati yang sengsara
dan mati yang indah dan terang. Dan mati yang indah dan terang adalah dia
seperti gelombang yang mencium bibir pantai, ketika mencium bibir pantai dia
merunduk rendah hati.

Rendah hati-lah di depan kehidupan dan kematian, karena tidak ada yang
kekal abadi. Ketika kita merasa senang berlebihan atau ketika grafik hidup kita
diatas, siap-siap kita akan dibuat sengsara ketika grafik hidup kita turun. Menjadi
pejabat tinggi [bupati, gubernur, dsb-nya] itu bagus, tapi kalau kita senang
berlebihan apalagi sombong, siap-siaplah suatu hari kalau kita pensiun kita akan
dibuat sengsara oleh jabatan masa lalu itu. Menjadi selebritis yang terkenal itu
bagus, tapi hati-hati. Karena seorang selebritis sering dipuja-puji, sering dibilang
menarik, sering dibilangin yang bagus-bagus, karena itu egonya jadi besar. Akibat
ego besar, nanti ketika semuanya berlalu pikiran kita menjadi sengsara, resah-
gelisah.

Selalulah bersikap rendah hati karena tidak ada yang kekal, sehingga ketika
semuanya harus berlalu kita sudah sangat siap dan bisa menyambutnya dengan
damai dan rendah hati. Dan yang terpenting dari sikap rendah hati inilah evolusi
kesadaran kita dapat bergerak menuju penerangan.
BAB VII : KAMA [HAWA NAFSU, KEINGINAN]

Sesungguhnya selama kita masih memakai badan manusia, biasanya cukup


sulit untuk melepaskan diri dari hawa nafsu dan keinginan. Sebabnya pertama
karena hawa nafsu dan keinginan tidak semata muncul dari pikiran, tapi juga
muncul dari gejolak unsur-unsur panca maha bhuta di dalam diri kita. Kedua
karena terlahir memakai badan manusia berarti kita memiliki kebutuhan untuk
bertahan hidup.

Yang terpenting di jalan dharma adalah paling tidak kita yang


mengendalikan hawa nafsu dan keinginan, bukan sebaliknya kita yang tunduk dan
dikendalikan oleh hawa nafsu dan keinginan. Kita harus dapat menyadari bahwa
hawa nafsu dan keinginan memiliki dua wajah yang berbeda :

1. Sebagai energi pendorong yang berguna untuk menggerakkan diri kita sehingga
bisa mengalami kemajuan dalam kehidupan.

2. Sebagai jebakan dan perangkap kehidupan.

Sebagai orang biasa atau orang awam [bukan orang suci seperti para yogi
pertapa, para maharsi, para mpu, para danghyang], tidak salah dan sangat bisa
dimaklumi kalau kita didorong oleh banyak keinginan, terutama dalam kaitan
melaksanakan svadharma [tugas kehidupan] kita sendiri. Yaitu sebagai suami atau
istri, sebagai orang tua, sebagai pelajar, sebagai anggota masyarakat sosial, dsb-
nya. Dengan satu catatan hindari keinginan itu tidak lagi berfungsi sebagai energi
pendorong untuk hal yang baik dan mulia, tapi menjadi jebakan dan perangkap
kehidupan.

Dengan kata lain bagi orang biasa atau orang awam seperti kita, keinginan
tidak salah, jelek atau buruk, asal kitalah yang mengendalikan keinginan itu dan
bukan kita yang dikendalikan oleh keinginan.

Misalnya [contoh] : keinginan punya banyak uang bisa membuat kita


bekerja tekun dan keras lalu menjadi kaya dan hidup tenang, tapi kalau sudah kita
yang dikendalikan oleh keinginan kita jadi korupsi, mencuri, memeras atau
menipu. Nafsu seks bisa membuat hubungan suami-istri menjadi penuh cinta,
indah dan harmonis, tapi kalau sudah kita yang dikendalikan oleh nafsu seks kita
jadi selingkuh atau cari istri lagi. Keinginan untuk bermain dan bersenang-
bersenang bisa membuat kita riang gembira, tapi kalau sudah kita yang
dikendalikan oleh keinginan maka svadharma [tugas-tugas kehidupan] kita
terabaikan, lalu semuanya jadi berantakan.

Hawa nafsu dan keinginan memiliki beragam bentuk. Ada keinginan untuk
memiliki uang dan benda materi, ada keinginan untuk memuaskan indriya
[badan], ada keinginan untuk bersenang-senang, ada keinginan untuk memiliki
kekuasaan, ada keinginan untuk dihormati orang, ada keinginan untuk dicintai,
dsb-nya. Tapi apapun bentuk keinginan tersebut, kalau kita tidak berhati-hati,
semuanya bisa menjerumuskan kita ke dalam jurang kegelapan pikiran. Coba
perhatikan orang yang mengikuti hawa nafsu dan keinginannya habis-habisan.
Seks yang se-enak-enaknya, makan yang se-enak-enaknya, ingin dihormati semua
orang, dsb-nya. Hidupnya pasti berguncang, tidak tenang, gelisah.

Usahakan keinginan berfungsi sebagai energi pendorong yang


menggerakkan diri kita sehingga bisa mengalami kemajuan dalam kehidupan dan
bukan sebagai racun kehidupan. Ibarat memasak di dapur, kita memerlukan api
untuk memasak. Ketika kita menempatkan keinginan sebagai api di dapur,
sebatas untuk membuat makanan jadi masak, dia baik dan berguna. Akan tetapi
kalau api-nya besar dan tidak terkendali, rumah [kehidupan] kita akan terbakar.
Sehingga kalau ingin hidup yang damai sekaligus terang, ketika kita digerakkan
oleh keinginan, keinginan itu terkendali dengan baik.

Kita perlu belajar membedakan antara keinginan dan kebutuhan.


Bekerjalah dengan keras sesuai svadharma [tugas kehidupan] kita masing-masing,
lakukan yang terbaik dengan berlandaskan dharma. Tapi apapun hasilnya,
terimalah dengan senyum damai.

Catur asrama

Sebagai orang biasa kita umumnya melewati empat tahap kehidupan yang
biasa disebut catur asrama. Dalam empat tahap kehidupan ini, idealnya bisa kita
ibaratkan seperti menanak nasi memakai kompor. Di awal menanak nasi kita
perlu api yang besar. Tapi begitu airnya mendidih, airnya mau habis, apinya kita
kecilkan.

Begitu pula dalam hidup ini, ketika kita masih di tahap Brahmacari [tahap
lajang dan belajar di sekolah] dan Grhasta [tahap menikah dan berumah-tangga],
kita masih muda dan kuat, kita perlu api yang besar. Artinya keinginan, harapan,
hasrat, gairah, ambisi atau cita-cita tidak apa-apa masih menyala-nyala, sebagai
pendorong kemajuan, dengan catatan tidak boleh melanggar dharma. Karena kita
punya kebutuhan dan tuntutan hidup yang harus dipenuhi. Cirinya adalah
kebahagiaan kita ada saat keinginan terpenuhi. Ingin punya motor, kemudian
dapat motor, kita bahagia. Ingin punya rumah, kemudian dapat rumah, kita
bahagia. Ingin gaji naik, kemudian gaji naik, kita bahagia.

Tapi begitu umur kita bertambah dan kita menua [idealnya mulai saat
memasuki umur 45 tahun], di depan gerbang tahap Vanaprastha [tahap belajar
melepas keduniawian], apinya secara bertahap harus mulai kita kecilkan. Cirinya
kita tidak lagi bahagia karena keinginan kita terpenuhi, tapi karena pikiran positif,
rasa syukur yang mendalam dan sikap penuh kerelaan.

Dan memasuki tahap paripurna yaitu tahap Sanyasin [tahap mendaki


gunung kesadaran sempurna], sangat bagus kalau apinya kita matikan. Artinya
seluruh kegelapan pikiran [sad ripu] dan ke-aku-an [ahamkara] sepenuhnya
lenyap [manah shanti]. Tidak terbayang indahnya kalau di saat menjelang
kematian, kita bisa menyambut kematian dengan pikiran yang hening sempurna.

Evolusi atau pertumbuhan kesadaran terkait kama

Semua mahluk ingin bahagia dan tidak mau menderita, itu adalah hakikat
dasar semua mahluk. Sehingga setiap orang mencari kebahagiaan dengan caranya
masing-masing. Tanpa dualitas baik-buruk, benar-salah, suci-kotor, tinggi-rendah,
para maharsi mengajarkan kalau manusia dan mahluk-mahluk lainnya berada
pada tingkat pertumbuhan atau evolusi jiwa-nya masing-masing dalam roda
samsara.

Sebagai orang biasa atau orang awam [bukan orang suci] selama kita masih
memakai badan manusia biasanya cukup sulit untuk melepaskan diri dari hawa
nafsu dan keinginan. Untuk itu kita memerlukan tangga-tangga panduan terhadap
bagaimana kita bersikap terhadap hawa nafsu dan keinginan. Agar kita benar-
benar memperoleh kebahagiaan yang sesungguhnya dan bukan kebahagiaan
palsu, serta agar kita bisa menggunakannya sebagai sarana bagi pertumbuhan
kesadaran kita. Ada empat macam kebahagiaan terkait hawa nafsu dan keinginan,
sesuai dengan tahap pertumbuhan kesadaran, yaitu :

1. Ashanti.

Ini adalah orang yang tunduk serta terseret habis oleh hawa nafsu
keinginan sendiri. Dimana keinginannya liar, tidak pernah puas [lobha]. Akibatnya
tentu saja kesengsaraan yang tidak pernah berakhir.

Misalnya saja :

- Ketika sudah bisa punya mobil Kijang, dia bandingkan dengan mobil BMW.

- Ketika sudah bisa punya rumah, dia bandingkan dengan rumah mewah.

- Sudah menikah punya suami atau istri, dia banding-bandingkan dengan orang
lain yang tampan atau cantik.

- Mampu menghasilkan uang satu juta, dia bandingkan dengan uang lima juta.

- Bisa menjadi camat, dia bandingkan dengan menjadi gubernur.

Ciri lain orang yang mengikuti hawa nafsu dan keinginannya habis-habisan :
seks yang bebas se-enak-enaknya, makan yang se-enak-enaknya, ingin dihormati
semua orang, dll. Sangat sulit menemukan kebahagiaan atau kedamaian, karena
keinginan, harapan, hasrat, gairah, kepentingan, ego, ambisi atau cita-citanya
selalu tidak terpuaskan. Orang seperti ini cenderung mudah gelisah, sering resah
dan cepat marah. Tidak sadar bahwa dia akan menyakiti dirinya sendiri dan orang
lain.

Di jalan dharma kesadaran rendah seperti ini hendaknya dihindari, karena


ini tidak lain adalah kita menciptakan kesengsaraan yang tidak pernah berakhir.
2. Kama Shanti.

Ini adalah orang yang merasakan kebahagiaan atau kedamaian karena


sebagian keinginan, harapan, hasrat, gairah, kepentingan, ego, ambisi atau cita-
citanya terpenuhi. Dengan kata lain sumber kebahagiaan atau kedamaian berasal
dari "diluar diri", yaitu kebahagiaan atau kedamaian itu datang dengan
“mendapat”. Tapi tentu saja sifat kebahagiaan atau kedamaian seperti ini sangat
sementara, rapuh atau goyah, umurnya tidak lama.

Misalnya saja :

- Orang yang bahagia bisa beli HP model baru, senangnya paling lama dua bulan,
karena kemudian sudah ingin beli model yang lebih baru lagi.

- Karyawan yang bahagia karena naik gaji, paling lama dua minggu sudah merasa
kurang lagi.

- Bahagia karena bisa pergi jalan-jalan rekreasi ke Mall, ke pantai, dsb-nya,


pulangnya bahagianya sudah lenyap karena cucian menumpuk.

- Damai karena paginya disayang dan dimanja istri, sorenya damainya lenyap
karena istri marah-marah.

- Gembira dan puas karena malamnya menonton lawakan di TV, besok paginya
gembira dan puas lenyap tidak tersisa karena boss di kantor marah-marah.

- Bahagia, puas dan damai karena dipuji serta dihormati orang, tapi berikutnya
bahagia, puas dan damai seketika hilang lenyap karena ketemu orang yang
menghujat - menghina kita.

- Damai karena bisa makan enak di restaurant, besoknya damainya sudah hilang
karena ban mobil pecah di jalan dan sangat sulit mencari bengkel.

Tentu tidaklah salah mencari dan menemukan kebahagiaan atau


kedamaian seperti ini. Hal ini juga bagus dan berguna. Pertama, lihatlah wajah-
wajah yang ceria dan gembira sepulang dari tempat rekreasi, seusai membeli HP
model baru, sehabis menonton lawakan di TV, dsb-nya. Kedua, karena hal-hal
seperti ini berguna sebagai sebagai energi pendorong kemajuan. Ketiga, karena
semuanya sedang melakukan hal yang sama, yaitu kesadarannya sedang
bertumbuh.

Dengan catatan gunakan semua hal itu sebagai energi pendorong kemajuan
kehidupan dan hindari semua hal itu menjadi perangkap kehidupan.

3. Daya Shanti.

Ini adalah orang yang merasakan kebahagiaan atau kedamaian karena


hatinya penuh belas kasih, selalu melakukan kebaikan-kebaikan dan banyak
“melepaskan”. Melepaskan diri dari keterikatan kepada pikiran, perasaan, materi
dan tubuh, melalui sikap penuh kebaikan [datta], penuh kerelaan [aparigraha],
pikiran positif [manacika] dan rasa syukur yang mendalam [santhosa]. Dengan
kata lain sumber kebahagiaan atau kedamaian berasal dari "dalam diri", yaitu
kebahagiaan atau kedamaian itu datang dengan “memberi atau melepas”. Dan
sifat kebahagiaan atau kedamaian seperti ini mulai dalam dan kokoh.

Kita damai dan bahagia melalui sifat belas kasih, penuh kebaikan,
melepaskan, merelakan dan memberi. Dengan selalu membahagiakan orang lain,
dengan sering melakukan kebaikan-kebaikan. Dengan demikian kita tidak saja
menumpuk akumulasi karma baik, tapi sekaligus juga menjernihkan pikiran kita
sendiri.

Termasuk juga dengan banyak melepas dengan penuh kerelaan dan pikiran
positif, seperti misalnya :

- Tidak saja ketika istri lagi baik ada kebahagiaan atau kedamaian, ketika istri lagi
marah-marah juga ada kebahagiaan atau kedamaian. Melalui pikiran positif, rasa
syukur yang mendalam dan penuh kerelaan, karena istri yang lagi marah sedang
menjadi guru tertinggi yang mengajarkan kita untuk menjadi sabar dan bijaksana.

- Tidak saja ketika sedang sehat ada kebahagiaan atau kedamaian, ketika lagi sakit
keras juga ada kebahagiaan atau kedamaian. Melalui pikiran positif, rasa syukur
yang mendalam dan penuh kerelaan, karena sakit keras membuat kita banyak
membayar hutang karma.
Kebahagiaan atau kedamaian yang muncul dari sikap belas kasih, penuh
kebaikan, melepaskan, merelakan dan memberi tidak saja sifatnya mulai dalam
dan kokoh. Ini sekaligus adalah tahap kesadaran dimana belas kasih, kebaikan dan
kebijaksanaan mulai mekar bersemi. Tahap kesadaran dimana perjalanan menuju
kesucian dan kesempurnaan kesadaran Atman dimulai.

4. Manah Shanti.

Ini adalah tahapan kesadaran tertinggi. Tahapan orang suci. Tahapan jivan-
mukta [orang yang sudah terbebaskan]. Ketika seseorang seluruh kegelapan
pikiran [sad ripu] dan ke-aku-an [ahamkara] dalam dirinya sudah lenyap
sempurna. Dia berhenti digerakkan oleh hawa nafsu dan keinginan dan yang
sepenuhnya bekerja adalah penyatuan dirinya dengan alam semesta.

Dia mengalir sempurna dalam sungai kehidupan menuju samudera


pembebasan. Sifat kebahagiaan atau kedamaian di dalam dirinya terang
sempurna laksana lingkaran bulan purnama, tidak tergoyahkan.
BAB VIII : CARA TERPADU UNTUK
MEMBEBASKAN PIKIRAN DARI SAD RIPU

Cara terpadu dan mendalam untuk membebaskan pikiran dari sad ripu
[enam kegelapan pikiran] adalah dengan praktek meditasi kesadaran.

Inilah tehnik meditasi kesadaran :

1. Duduklah bersila dengan santai dan tenang.


2. Punggung dalam posisi tegak lurus tapi santai.
3. Kedua telapak tangan membentuk mudra. Silahkan bebas memilih mudra mana
yang sesuai untuk diri kita sendiri. Yang terpenting bahu dalam keadaan santai
[tidak tegang].
4. Tekuk ujung lidah menyentuh langit-langit mulut.
5. Pejamkan mata.
6. Bernafaslah secara alami saja. Tidak usah mengatur irama nafas.
7. Konsentrasilah kepada sentuhan keluar-masuk nafas pada hidung.

Jika pada saat konsentrasi itu pikiran kita berkeliaran kesana-kemari, itu
bukanlah suatu masalah, kegagalan, atau kesalahan dalam meditasi, karena itu
memang sifat alami dari pikiran kita.

Sadari dengan penuh belas kasih bahwa pikiran yang berkeliaran kesana-
kemari memang sifat alami dari pikiran kita. Jangan ditolak atau berusaha
dikendalikan. Disaksikan saja dengan senyum penuh belas kasih tanpa dihakimi
sebagai salah-benar, baik-buruk, suci-kotor [dualitas pikiran]. Kemudian
kembalilah konsentrasi kepada sentuhan keluar-masuk nafas pada hidung.

Demikianlah seterusnya dan seterusnya.

Inilah yang disebut dengan praktek meditasi kesadaran.

Praktek meditasi kesadaran tidak lain merupakan latihan kesadaran untuk


“istirahat” dari konflik dualitas di dalam diri. Dalam praktek meditasi kita belajar
membebaskan kesadaran kita dari segala bentuk kontradiksi, dengan cara
menjaga jarak dengan tubuh fisik, pikiran dan perasaan.

Jika kita sering-sering berlatih menjaga jarak dengan tubuh fisik, pikiran dan
perasaan, untuk kemudian merasa aman, tenang dan nyaman dengan semua
kontradiksi di dalam diri, di titik itulah akan terbuka gerbang untuk bertemu
dengan intisari diri sejati, kesadaran Atma, yang penuh kedamaian.

- Lakukan praktek meditasi dengan durasi waktu antara 30 menit s/d 2 jam secara
rutin setiap hari.

- Di dalam melakukan aktifitas keseharian, kapan saja kehidupan dalam keadaan


rumit, sulit, atau penuh dengan gejolak emosi [marah, tersinggung, sedih, bosan,
galau, bingung, bad mood, didatangi memori buruk, dsb-nya], lakukan praktek
meditasi-meditasi singkat. “Istirahat” dari kontradiksi-kontradiksi di dalam diri.
Cukup selama 1 [satu] menit saja. Singkat-singkat saja cukup 1 [satu] menit, tapi
sering kita lakukan.

Kita perlu menjadwalkan meditasi sebagai kegiatan rutin dalam kehidupan


sehari-hari, dengan berlandaskan pada ketekunan dan konsistensi. Karena
meditasi bukanlah sadhana [upaya spiritual] harian atau bulanan, melainkan
sadhana yang hendaknya dilakukan dengan tekun dan sabar selama bertahun-
tahun. Hal ini disebabkan karena dalam siklus samsara, selama milyaran tahun
kesadaran kita sudah dicengkeram kuat oleh sad ripu [enam kegelapan pikiran]
dan ahamkara [ego atau ke-aku-an]. Sehingga praktek meditasi analoginya ibarat
menetesi batu dengan air yang jika dilaksanakan harian atau bulanan hanya
sedikit saja hasilnya. Tapi jika terus dilaksanakan selama bertahun-tahun maka
batu pasti akan berlubang.
KARMA YOGA

SADHANA IV : SVADHARMA
Melaksanakan tugas-tugas kehidupan

Melaksanakan svadharma atau tugas-tugas kehidupan adalah karma yoga yang


tertinggi dan sempurna. Hanya melaksanakan kerjalah yang bisa membebaskan
kita, bukan menolak untuk bekerja. Dengan bekerja kita melakukan yoga. Karena
melalui langkah-langkah kerja kita membuat yang mahasuci menjadi nyata. Ketika
seluruh gerak nafas dalam kehidupan kita menjadi aktifitas ngayah bagi mahluk
lain. Inilah jalan yang akan menghaluskan dan menyempurnakan seluruh sadhana
dan yoga yang kita laksanakan.
BAB I : LAHAN UTAMA MELAKSANAKAN
DHARMA

Setiap manusia lahir ke dunia membawa tugas dharma-nya masing-masing


sesuai dengan putaran karma-nya sendiri. Svadharma atau tugas kehidupan kita
inilah lahan dan medan bagi pelaksanaan dharma yang sesungguhnya.

Kehidupan dan alam semesta berputar melalui hukum-hukum kerja. Di


jalan dharma tidak ada pemisahan antara tugas-tugas kehidupan kita dengan
upaya kita merealisasi kesadaran yang terang ataupun jivan-mukti [pembebasan].
Penolakan akan tugas-tugas kehidupan kita justru akan menjauhkan kita dari jalan
dharma yang sebenarnya. Hanya melaksanakan kerjalah yang bisa membebaskan
kita, bukan menolak untuk bekerja.

Karena itu tidak hanya ngayah dan sembahyang ke pura adalah jalan
dharma, tidak hanya meditasi adalah jalan dharma, melaksanakan kerja-pun juga
adalah jalan dharma. Burung-burung bekerja giat mencari makan untuk anak-
anaknya, monyet-monyet bekerja giat mencari kutu dan membersihkan bulu
anak-anaknya. Semua dilakukan tanpa keluhan, tanpa protes. Laksanakan
svadharma atau tugas-tugas kehidupan kita masing-masing [menjadi guru,
pegawai, orang tua, gubernur, dsb-nya] dengan sebaik-baiknya, tapi apapun
hasilnya terima dengan pikiran damai. Disana kerja bukan saja wujud nyata belas
kasih dan kebaikan, tapi sekaligus jalan menuju kesadaran terang.

Kerja adalah salah satu sarana yang baik untuk memahami diri sendiri dan
kehidupan. Sebab saat kita bekerja, kita tidak saja mendapatkan uang dan materi
untuk membiayai kehidupan, tapi dengan bekerja kita juga bisa mendapat banyak
pelajaran baru dalam kehidupan. Kegagalan tidak hanya menghasilkan kesedihan,
tapi juga bisa menghasilkan hadiah yang sangat berharga, yaitu kebijaksanaan dan
kesabaran. Kesuksesan memang menghasilkan pujian dan penghormatan, tapi
juga bisa menghasilkan godaan-godaan kehidupan yang menjerumuskan.

Laksanakan tugas kehidupan sebagai bagian dari dharma. Suami menjadi


suami yang baik, pelajar menjadi pelajar yang baik, pemulung menjadi pemulung
yang baik, pengusaha menjadi pengusaha yang baik, pertapa menjadi pertapa
yang baik, polisi menjadi polisi yang baik, dsb-nya. Lakukan dengan semangat
anak-anak yang riang gembira, polos dan penuh rasa syukur. Tugasnya selesai,
kerja kerasnya berjalan dan rasa syukurnya mengagumkan. Inilah semangat
karma yoga, menjadi semakin sempurna melalui jalan kerja.

Tidak ada yang salah dengan keinginan dan harapan, sebab kalau dikelola
dengan baik dia adalah energi pendorong yang menggerakkan diri kita sehingga
bisa mengalami kemajuan dalam kehidupan. Tapi kedamaian, kebahagiaan dan
kesadaran menjadi lenyap kalau sebagian besar hidup ini hanya diisi kegiatan
berlari mengejar harapan dan keinginan. Tidak hanya melelahkan dan tidak punya
arah, tapi juga tidak sampai dimana-mana.

Sehingga kalau misalnya svadharma kita wartawan, tugas kita adalah


mengungkap sesuatu dengan netral dan penuh kejujuran. Kalau kita menulis
berita yang tidak jujur karena kita menerima suap, kita akan dilempar ke dalam
pusaran kegelapan pikiran. Kalau svadharma kita dokter atau perawat, tugas kita
adalah membuat orang-orang yang sedang sakit menjadi sembuh, tanpa pilih-pilih
pasiennya kaya atau miskin. Kalau kita menjadi dokter atau perawat dengan
motivasi mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, kita akan dilempar ke dalam
pusaran kegelapan pikiran. Kalau svadharma kita pegawai hotel atau guide, tugas
kita adalah melayani turis dengan sebaik-baiknya. Kalau kita menjadi pegawai
hotel atau guide hanya mau melayani tamu dengan baik kalau dikasi tip atau
dapat komisi, kita akan dilempar ke dalam pusaran kegelapan pikiran.

Berusaha dan bekerja keras dengan sebaik-baiknya karena itu juga bagian
dari dharma, tapi dengan keterikatan akan hasil yang sangat terkelola. Dengan
bekerja dan ngayah, kita melakukan yoga. Karena melalui langkah-langkah kerja
kita membuat yang mahasuci menjadi nyata. Buah kelapa menjadi santan, batu
dan kayu menjadi rumah, sampah menjadi pupuk, mahasiswa menjadi sarjana,
orang sakit menjadi sembuh, dsb-nya. Itu semua langkah-langkah kerja yang
membuat yang mahasuci menjadi nyata. Diri kita sudah tidak penting lagi, yang
penting adalah mahluk lain. Tidak hanya sebatas di pura, tapi seluruh gerak nafas
dalam kehidupan kita menjadi ngayah.
BAB II : MELAKSANAKAN SVADHARMA
MASING-MASING SECARA TEPAT

Hidup ini bisa disimbolikkan seperti mulut. Terdapat bagian yang keras
[gigi] dan terdapat bagian yang lembut [lidah]. Gigi [yang keras] berguna untuk
memotong dan mengunyah, lidah [yang lembut] berguna untuk merasakan.
Keduanya musti dimanfaatkan pada desa, kala, patra [tempat, waktu dan situasi]
yang tepat. Begitu juga halnya dalam melaksanakan svadharma kita di dalam
keseharian, pelaksanaannya disesuaikan dengan panggilan svadharma kita
masing-masing.

Kalau svadharma kita sebagai seorang yogi pertapa, mpu, danghyang,


pandita atau pemuka agama, itu jelas bahwa setiap saat, sepanjang waktu,
pikiran, perkataan dan perbuatan kita harus bersih, bijaksana, halus dan selembut
mungkin. Karena tugas seorang yogi pertapa, mpu, danghyang, pandita atau
pemuka agama adalah membimbing perjalanan banyak orang menuju
kemahasucian.

Kalau svadharma kita polisi atau tentara, hendaknya pikiran kita laksana
seorang yogi, tapi tindakan kita laksana seorang ksatria. Maksudnya “di dalam”
pikiran kita sesuci dan sebersih mungkin, tapi “diluar” sikap dan tindakan kita
tegas dan menegakkan aturan [hukum]. Sebagai seorang polisi atau tentara, kalau
tiba saatnya kita musti menembak penjahat, tembaklah dengan penuh kesadaran.

Pagarnya adalah tiga kondisi ini :

1. Itu memang svadharma [tugas kehidupan] kita sendiri.

2. Ketika pilihan itu [misalnya menembak penjahat] tidak bisa dihindari lagi.

3. Dilakukan dengan kesadaran. Yaitu : tanpa motif atau keinginan pribadi [tapi
untuk menegakkan hukum]. Tanpa dualitas aku dan kamu, menang-kalah, hidup-
mati, benar-salah, sukses-gagal, tapi semata-mata untuk melaksanakan
svadharma. Diluar kita keras tapi di dalam tetap hening sempurna.
Laksana lidah dan gigi, kombinasi keras dan lembut adalah hal yang boleh
digunakan untuk jenis svadharma tertentu. Asal menggunakannya di tempat dan
waktu yang tepat. Tentu akan kacau kalau dalam makan kita memotong dan
mengunyah memakai lidah [yang lembut] terus, begitu juga sebaliknya kalau
dalam makan kita memakai gigi [yang keras] terus menerus. Tapi bukan berarti
kalau begitu kita sedikit-sedikit lalu memakai kekerasan. Karena keras dan lembut
semua ada tempatnya masing-masing. Mulut sebagai simbolik kehidupan, ada
yang lembut dan ada yang keras tidak apa-apa sepanjang digunakan pada tempat
dan waktu yang tepat.

Contoh selain polisi atau tentara misalnya svadharma kita sebagai seorang
atasan di kantor atau orang tua di rumah. Kalau ada tiba saatnya kita harus marah
kepada bawahan atau anak kita, lakukan dengan tiga pagar diatas. Kita marah
karena pilihan itu tidak bisa dihindari lagi. Kita marah sebatas untuk mendidik
[agar tidak berbahaya] bukan untuk menyudutkan atau menjatuhkan. Yang
dimarahi juga hanya sebatas kesalahannya saat itu saja, jangan pernah
mengaitkan dengan kepribadiannya atau kesalahannya di masa lalu. Serta
dilakukan dengan penuh kesadaran, artinya diluar kita memarahi [yang sifatnya
mendidik], tapi di dalam kita tidak tersentuh, tetap hening dan damai.
BAB III : JALAN PELAYANAN [KARMA YOGA]
SEBAGAI PILAR UTAMA KEHIDUPAN MANUSIA

Ketika kita melaksanakan meditasi, melukat, tirtayatra, membaca ajaran-


ajaran suci, pergi kepada seorang Guru suci, dsb-nya, itu semua merupakan
penjernihan diri yang bersifat sementara waktu. Lahan utama yang sesungguhnya
bagi pelaksanaan dharma adalah kehidupan sehari-hari kita sebagai manusia. Cara
terbaik untuk menyatukan kehidupan duniawi dan spiritual adalah dengan karma
yoga dalam bentuk jalan pelayanan.

Kalau kita seorang pelajar, belajarlah dengan rajin di sekolah. Sehingga


orang tua senang dan tenang, tidak rugi mengeluarkan biaya dan kelak di masa
depan kita bisa berguna bagi orang lain. Kalau kita seorang pekerja, bekerjalah
dengan tekun dan penuh pelayanan di tempat kerja. Misalnya [contoh] kita
bekerja di hotel sebagai receptionist. Sambutlah setiap tamu yang datang dengan
senyuman, keramahan, kesabaran dan tekad untuk memberikan pelayanan
terbaik. Kalau tamu sedang sepi, bersihkan tempat kerja kita, rapikan berkas-
berkas file, dsb-nya. Jangan lupa untuk bekerja dengan jujur dan jangan bermalas-
malasan. Atau misalnya kita membuka usaha bengkel motor. Sambutlah setiap
pelanggan yang datang dengan ramah, sabar dan tekad untuk memberikan yang
terbaik. Jujurlah dan penuh pelayanan dalam usaha kita, jangan menipu
pelanggan dengan mengatakan onderdil yang masih baik mengalami kerusakan,
jika pelanggan memiliki uang yang terbatas jangan bersikap meremehkan dan
berikan jalan keluar terbaik, dsb-nya.

Ini tidak berarti kita tidak berusaha mencari nafkah atau memperoleh laba,
tapi intinya adalah kita tulus, penuh pelayanan dan tidak serakah dalam
menjalankan usaha kita. Kita perlu mengingat hal ini secara mendalam, mereka
yang menjalani kehidupan duniawi dengan pelayanan, mendapatkan dua
kekayaan sekaligus, yaitu kekayaan material dan kekayaan spiritual.

Kejujuran, kebaikan dan ketulusan untuk melakukan pelayanan merupakan


praktek spiritual yang sederhana tapi mendalam. Entah kita menjadi pekerja
kantoran, tukang kebun, petani, dokter, gubernur, receptionist hotel, membuka
usaha, ibu rumah tangga, dsb-nya, asalkan kita melakukan tugas-tugas kita
dengan kejujuran, kebaikan dan ketulusan untuk melakukan pelayanan, itu adalah
sadhana yang mendalam.

Di rumah kita kerjakan tugas-tugas rumah tangga dengan baik. Kalau ada
piring kotor segeralah kita cuci bersih, kalau rumah kotor ambil sapu dan pel lalu
bersihkan. Kita lakukan dengan sikap penuh pelayanan, dengan rasa suka-cita dan
meneng [diam], tidak usah mengeluh siapa yang seharusnya punya tugas mencuci
piring atau membersihkan rumah. Hormati dan bahagiakan orang tua. Sayangi,
setia dan bahagiakan pasangan kita [suami atau istri]. Sayangi dan bahagiakan
anak-anak. Sayangi dan bahagiakan saudara.

Jika memungkinkan kita lakukan secara lebih luas lagi. Kita laksanakan
pelayanan kepada yang tidak terkait atau tidak dikenal. Misalnya [contoh], kalau
tirtayatra ke pura ambil sapu kita bantu bersih-bersihkan sampah, kalau di jalan
melihat ada paku yang membahayakan kita pungut dan amankan, kalau di toilet
umum kita melihat keran air mengalir sia-sia kita bantu matikan, dsb-nya.

Jalan pelayanan adalah jalan spiritual yang sederhana tapi mendalam, yang
dapat menyalakan cahaya suci di dalam diri kita. Apalagi pelayanan yang dianggap
remeh, rendah atau hina oleh orang lain, itu akan lebih terang lagi menyalakan
cahaya suci di dalam diri kita. Seringkali terjadi segala pelayanan apa yang sudah
kita lakukan cepat sekali dilupakan, tetap yang terus diingat orang adalah apa
yang mereka anggap sebagai kekurangan atau kesalahan kita. Analoginya jalan
pelayanan membuat kita bernasib seperti keset,sudah diinjak-injak orang
kemudian tahi dan kotorannya disisakan untuk kita. Tapi itulah jalan menuju diri
yang bercahaya.

Jalan pelayanan bertujuan untuk pemurnian mendasar bagi diri kita, serta
untuk meredakan ahamkara [ego, ke-aku-an] dan sifat egois mementingkan diri
sendiri di dalam diri. Ini merupakan sadhana [upaya spiritual] yang bisa kita
lakukan sambil kita melaksanakan kehidupan duniawi.

Ketika kita membicarakan menapaki jalan spiritual dharma, maka


hendaknya kita memiliki kehidupan yang luhur dan penuh pelayanan agar
perjalanan spiritual kita kuat dan kokoh, serta tidak mudah menjadi goyah, tidak
menjadi bingung dan tidak salah jalan. Karena jika kita menapaki jalan spiritual
dharma tapi tanpa memiliki kehidupan yang luhur dan penuh pelayanan, maka
perjalanan spiritual kita tidak saja arahnya menjadi tidak jelas, tapi sekaligus juga
terkadang dangkal, bingung, ngawur dan bahkan banyak juga yang tersesat.

Kehidupan yang luhur dan penuh pelayanan merupakan bagian awal,


bagian tengah dan bagian akhir dari perjalanan spiritual dharma. Sehingga
perjalanan spiritual kita dapat menjadi perjalanan spiritual yang mendalam,
kokoh, serta arahnya jelas dan benar.

Kita hendaknya menyadari bahwa itu merupakan cara untuk memperkuat


energi kesadaran dan untuk menaikkan tingkat dimensi kesadaran kita, yang
membuat pikiran-perasaan kita menjadi damai secara kokoh. Itu membantu kita
mendatangkan lebih banyak kebahagiaan bagi diri kita sendiri, mendatangkan
lebih banyak kebahagiaan bagi orang lain, yang kemudian akan memperkuat
kedamaian di dalam diri kita sendiri.
PENUTUP
Apapun jalan religius atau jalan spiritual yang kita tempuh, Catur Yoga
adalah empat sadhana yang menjadi intisari dari semua sadhana. Karena Catur
Yoga yang akan menjadi penjaga, pelindung dan pembimbing paling menentukan
bagi perjalanan spiritual kita menuju kesadaran sempurna dan kemahasucian.

Misalnya [sebuah contoh] anda seorang praktisi Tantra. Dimana salah satu
landasan praktek seorang praktisi tantra adalah melakukan pengolahan energi
adi-alami [shakti] yang akan membuatnya menjadi siddhi, atau memiliki kekuatan
niskala yang luar biasa. Bila digunakan dengan berlandaskan Catur Yoga, maka
siddhi akan membuat seorang tantrika [sadhaka tantra] mengalami kemajuan
peningkatan kesadaran yang pesatnya tidak tertandingi. Tapi bila digunakan
secara salah, seperti misalnya dikomersialkan atau digunakan untuk menyakiti,
maka siddhi akan membuat seorang tantrika tenggelam lebih dalam kepada
jeratan hukum karma dan siklus samsara. Shakti adalah energi. Shakti harus selalu
dikendalikan, karena bila tidak dia akan tidak berguna atau berbahaya. Sebaliknya
shakti akan menjadi sangat berharga bila dia dikendalikan. Dan pengendali shakti
yang terbaik adalah empat sadhana utama atau Catur Yoga.

Atau sekalipun anda hanya orang biasa atau orang awam, atau bahkan
tidak beragama Hindu sekalipun, bila anda secara sungguh-sungguh
melaksanakan Catur Yoga dalam kehidupan sehari-hari, anda juga seorang
sadhaka yang sedang menempuh jalan suci menuju kesadaran sempurna dan
kemahasucian.

Seiring waktu dampaknya pasti akan mulai bermunculan. Setelah Catur


Yoga mulai membadan dalam keseharian, dampak pertama yang dihasilkan
adalah hidup kita akan menjadi lebih tenang, damai dan bahagia dibandingkan
kalau kita tidak melaksanakannya. Yang pertama-tama merasakan kedamaian
adalah diri kita sendiri, kemudian keluarga dan orang-orang dekat.

Dampak kedua yang muncul adalah ketika kita melakukan


persembahyangan pikiran kita akan jauh lebih mudah terhubung dengan
kemahasucian alam-alam luhur. Atau ketika kita meditasi kita menjadi sangat
mudah mencapai samadhi.
Selain itu kecerdasan spiritual kita akan jauh meningkat, misalnya kita akan
lebih mudah memilah mana ajaran suci dan mana ajaran agama yang manipulatif
atau dimuati kepentingan. Ketika kita mempelajari ajaran dharma dari alam-alam
suci kita akan lebih mudah tersambung, paham dan mengerti.

Dampak khusus [bagi orang-orang tertentu] bila trineta atau mata ketiga
[mata bathin] anda sudah terbuka, artinya anda bisa melihat mahluk-mahluk atau
alam niskala, anda akan memiliki kecenderungan untuk tersambung dengan
dewa-dewi tingkat tinggi atau alam niskala yang mahasuci. Mahluk-mahluk alam
bawah tidak akan tertarik untuk berinteraksi terlalu dekat dengan anda karena
“frekuensi”-nya berbeda. Anda juga akan mudah membedakan mana mahluk-
mahluk alam bawah, mana mahluk setengah dewa, mana dewa-dewi alam suci
dan mana dewa-dewi alam-alam mahasuci.

Semua hal ini disebabkan hukum alam semesta, dimana kesucian hanya
bisa terhubung rapi dengan kesucian. Artinya kita hanya bisa terhubung dengan
kesucian kosmik kalau di dalam diri kita juga suci.

Tidak hanya sebatas itu saja, dampak yang tidak terlihat adalah,
sesungguhnya kita sekaligus juga sedang mulai menimbun harta karun kesadaran
dan karma baik, yang akan menjadi sumber keselamatan dan penerangan bagi
kita baik di dalam perjalanan kehidupan maupun di dalam perjalanan kematian.

Puncak perjalanan seorang sadhaka tercapai ketika pikiran mulai hening,


sunyi, sepi. Tidak ada ke-aku-an, kemarahan, ketakutan, kebingungan, keinginan,
keserakahan, dsb-nya. Semua sudah lenyap tidak tersisa. Kemudian sang sadhaka
akan memasuki jalan dharma yang tertinggi dan rahasia.

Satu dari lima unsur alam semesta [panca maha bhuta] yang menjadi
simbolik kesadaran sempurna adalah ruang [akasha]. Kalau dalam kehidupan kita
masih ada merasa tidak puas, merasa dirugikan, merasa sengsara, merasa tidak
adil, itu hanya tanda bahwa pikiran masih sesempit diri sendiri [ego, ke-aku-an,
ahamkara]. Semakin besar ego kita maka kerugian, kesengsaraan dan
ketidakadilan terasa semakin menyakitkan.
Kerugian, kesengsaraan dan ketidak-adilan hanya bisa disambut dengan
senyuman dan dibalas dengan belas kasih oleh pikiran manusia yang seluas ruang,
seluas alam semesta [chittakash]. Ruang merangkul dan menyediakan tempat
bagi apa saja dan siapa saja tanpa membeda-bedakan. Ruang mewakili ke-tidak-
terhinggaan keheningan sekaligus ketidakterbatasan belas kasih. Inilah chittakash,
kesadaran yang seluas ruang [alam semesta], manunggal dengan keseluruhan
alam semesta. Atman Brahman Aikyam.

Inilah kondisi nirahamkarah atau lenyapnya ahamkara [ego, ke-aku-an].


Tubuhku adalah alam semesta, pikiranku adalah keheningan sempurna. Di titik ini
pembebasan diraih dan siklus roda samsara berhenti.

Semoga perjalanan jutaan kelahiran dalam roda samsara bisa berakhir di


tempat yang terang-benderang, maha-damai dan mahasuci.

Om shanti shanti shanti Om !


RUMAH DHARMA - HINDU INDONESIA

Kumpulan e-book lengkap dari Rumah Dharma - Hindu Indonesia bisa di-
download secara gratis tanpa dipungut biaya apapun di :

tattwahindudharma.blogspot.com

Halaman facebook Rumah Dharma - Hindu Indonesia :

facebook.com/rumahdharma
DHARMA DANA
Rumah Dharma - Hindu Indonesia

Rumah Dharma - Hindu Indonesia telah dan akan terus melakukan


penerbitan buku-buku dharma berkualitas, baik berupa e-book maupun buku
cetak, untuk dibagi-bagikan secara gratis tanpa dipungut biaya apapun.

Untuk melakukan penyebaran buku-buku dharma berkualitas, Rumah


Dharma - Hindu Indonesia memerlukan bantuan para donatur, yang sadar akan
pentingnya melakukan pembinaan kesadaran masyarakat. Semakin banyak
dharma dana yang terkumpul maka semakin banyak juga buku-buku dharma yang
dapat diterbitkan dan disebarluaskan.

Ada empat cara memanfaatkan kekayaan sebagai ladang kebaikan yang


bernilai sangat utama, salah satunya adalah ber-dharma dana untuk penyebaran
ajaran dharma. Karena ini bukan saja sebuah kebaikan mulia dengan karma baik
berlimpah, tetapi juga adalah sebuah sadhana nirjara, sadhana penghapusan
karma buruk.

Karma baik dari mendonasikan dharma dana bagi penyebarluasan ajaran


dharma adalah :

1. Donatur akan mendapatkan penghapusan berbagai karma buruk.


2. Dalam setiap reinkarnasi kelahirannya donatur akan berjodoh dengan ajaran
dharma yang suci dan terang.
3. Donatur akan mendapatkan perlindungan dharma, tidak mudah terseret
dendam kebencian, pikirannya lebih mudah tenang, serta menjadi lebih bijaksana.
4. Jika dampak penyebarannya mencerahkan masyarakat luas, donatur akan
mendapatkan perlindungan dari para Dewa-Dewi.

Transfer Dharma Dana anda ke rekening :

Bank BNI Kantor Cabang Denpasar


No Rekening : 0340505797
Atas Nama : I Nyoman Agus Kurniawan

Astungkara berkat karma baik ini para donatur mendapat kerahayuan.


TENTANG PENULIS

I Nyoman Kurniawan lahir pada tanggal 29 January


1976. Mendapatkan garis spiritualnya dari
kakeknya, Pan Siki, seorang balian usadha dari Br.
Tegallinggah Kota Denpasar.

Pada tahun 2002, memulai perjalanan spiritualnya


dengan belajar meditasi.

Pada tahun 2007 mulai memberikan komitmen


menyeluruh kepada spiritualisme dharma. Di tahun
yang sama belajar dengan Guru dharma-nya yang
pertama, serta memulai melakukan tirthayatra dan
penjelajahan ke berbagai pura pathirtan kuno,
sebagai bagian dari arahan gurunya, sekaligus juga
panggilan spiritualnya sendiri.

Pada tahun 2009 mulai belajar dengan Guru dharma-nya yang kedua, mendalami
kekayaan spiritual Hindu Bali, mendalami ajaran Tantra, menjalin pertemanan
dengan banyak Guru dan praktisi spiritual, serta tetap meneruskan melakukan
tirthayatra dan penjelajahan ke berbagai pura pathirtan kuno.

Pada tahun 2010 mulai melakukan pelayanan dharma untuk umum di halaman fb
rumah dharma, serta mulai memberikan tuntunan dan berbagi ajaran kepada
adik-adik dharmanya. Di tahun yang sama juga mulai menulis buku. Inspirasi
dharma yang didapatnya dari perjalanan ke berbagai pura pathirtan kuno,
dikombinasikan dengan ajaran dari para Guru-nya, dari praktek meditasi,
membaca puluhan buku-buku suci, serta diskusi-diskusi panjang dengan banyak
praktisi spiritual, kemudian ditulisnya menjadi berbagai buku.

Pada tahun 2015 mulai belajar dengan Guru dharma-nya yang ketiga, serta tetap
meneruskan melakukan pelayanan dharma untuk umum.

Anda mungkin juga menyukai