Anda di halaman 1dari 137

DUNIA BATIN ORANG JAWA

(BAGIAN 1)
BUKU TERLENGKAP YANG MEMBAHAS DUNIA KEBATINAN ORANG JAWA

Ditulis Oleh : Mas Prio Hartono


Penerjemah : Widodo

PPK SUBUD CABANG CIMAHI


2022
Daftar Isi
Pendahuluan ………………………………………… 2

Bab 1 Wonoroto

Bab 2 Animisme ………………………………………… 5

Bab 3 Orang tua Yang Mulia ………………………………………… 9

Bab 4 Alam Gaib ………………………………………… 15

Bab 5 Hidup Sesudah Mati ………………………………………… 35

Bab 6 Mata Batin ………………………………………… 44

Bab 7 Keris Nogososro ………………………………………… 51

Bab 8 Kepercayaan leluhur ………………………………………… 60

Bab 9 Ciri Kesempurnaan ………………………………………… 75


Manusia Jawa

Bab 10 Buddhisme di Jawa ………………………………………… 94

Bab 11 Hinduisme di Jawa ………………………………………… 106

Bab 12 Wayang Kulit ………………………………………… 113

Penutup ………………………………………… 132

1
Pendahuluan

Karakter dan perilaku dari seorang manusia dibentuk dan dipengaruhi oleh dua perkara
yaitu yang berasal dari dalam jiwanya sendiri dan yang berasal dari lingkungan alam
serta budaya dimana orang itu lahir, dibesarkan dan tinggal. Sebelum jiwa saya tumbuh
dan berkembang maka pandangan saya adalah pandangan orang yang terkondisi dan
terbentuk oleh budaya di lingkungan saya.
Saya lahir dan dibesarkan di Kota metropolitan Jakarta sehingga pandangan hidup dan
cara berpikir saya tidak ubahnya seperti kebanyakan orang intelektual modern. Saya
hanya percaya pada apa yang bisa saya lihat dan saya alami padahal ketika itu apa
yang saya lihat dan saya alami sangat sedikit dan sangat terbatas pada hal-hal yang
bersifat material saja.
Konsep-konsep saya mengenai agama dan spiritual juga sangat sempit. Kesadaran
religius yang saya miliki tidak berdasarkan pada pengalaman nyata melainkan
berdasarkan pada doktrin-doktrin dari para guru agama. Di sekolah eropa saya belajar
mengenai agama Kristen dan sepulang sekolah belajar agama Islam dari para ustadz.
Semuanya hanya sekedar mempelajari dan mempercayai bukan menyaksikan dan
mengalami.
Setelah menerima pencerahan spiritual melalui Bapak Muhammad Subuh
Sumohadiwidjojo (Selanjutnya disebut Bapak), pendiri dari Perkumpulan Persaudaraan
Kejiwaan Subud baru saya menyadari bahwa kenyataan-kenyataan di alam spiritual
sangatlah berbeda dengan apa yang selama ini saya bayangkan dan saya yakini.
Misalnya, selama ini saya diajarkan bahwa jika saya taat dalam menjalankan aturan
dan hukum Islam yang berasal dari Al Qur’an dan Hadits maka setelah saya mati saya
akan masuk surga dan menikmati hidup, tidak melakukan apa-apa kecuali makan,
minum, dan tidur bersama para bidadari berumur tujuh belas tahunan. Di kemudian hari
saya mulai paham bahwa jiwa-jiwa di alam akherat tidak tinggal bermalas-malasan di
surga. Sebaliknya mereka justru sibuk bekerja dan melakukan hal-hal seperti yang
biasa mereka kerjakan ketika di dunia. Bahkan malaikat juga tidak diam saja. Mereka
bekerja sangat keras untuk menjaga hukum dan keteraturan di dunia yang tidak terlihat.
Sebelum mengalami sendiri pengalaman-pengalaman spiritual itu, saya didoktrin
dengan prasangka-prasangka buruk terhadap penganut agama lain oleh guru ngaji
saya. Saya juga berburuk sangka terhadap Animisme, kepercayaan nenek moyang,
Buddha, Hindu dan yahudi. Guru agama Islam mengatakan bahwa semua orang
Kristen akan masuk neraka padahal guru agama Kristen saya mengajarkan bahwa
Kristen adalah satu-satunya jalan keselamatan. Kalau kamu bukan Kristen maka kamu
akan masuk neraka.
Di Subud, orang-orang yang berasal dari macam-macam suku bangsa dan agama
berkumpul jadi satu secara harmonis karena Subud bukanlah ajaran. Subud tidak
memiliki dogma atau teori. Subud hanya sekedar mebukakan jalan bagi umat manusia
untuk menerima kontak langsung dengan cahaya Ketuhanan. Cahaya Tuhan inilah
2
yang selanjutnya akan membimbing kita menuju kesadaran batin berupa pengalaman
spiritual.
Ketika baru menjadi anggota Subud, saya sangat fanatik. Saya hanya mau bicara
tentang Subud dan hanya mau berkumpul dengan orang-orang Subud setiap saat dan
prasangka-prasangka buruk terhadap agama masih tertanam dalam diri saya. Tapi
seiring dengan perkembangan jiwa saya yang semakin luas dan dewasa maka rasa
curiga dan prasangka buruk itu pelan-pelan memudar digantikan oleh toleransi dan
pengertian. Saya mulai menyadari bahwa tidak hanya malaikat bahkan setan sekalipun
adalah ciptaan Tuhan yang memiliki peran di alam semesta ini.
Selanjutnya menjadi kepentingan manusia agar diberikan kemampuan untuk menjaga
dan memelihara kualitas kemanusiaannya. Tapi Tuhan tidak memberikan semua ini
secara gratis. Setiap orang harus mengalami ujian dan cobaan. Setan adalah alat
Tuhan untuk menguji. Kita jangan sampai jatuh di bawah pengaruh setan dan menjadi
iblis bukannya menjadi manusia. Setan adalah penghuni asli dari alam dunia ini. Dan
segala sesuatu yang bersifat duniawi adalah wilayahnya sehingga selama masih
berada di dunia maka kita tidak bisa menghindar dari godaan setan. Jiwa-jiwa manusia
hanya sekedar tamu disini. Mereka dikirim ke alam dunia untuk sementara, untuk
menyaksikan ciptaan Tuhan mulai dari tingkat yang paling rendah sampai pelan-pelan
menuju tingkat yang lebih tinggi. Oleh sebab itu seorang manusia hendaknya jangan
sampai terperangkap oleh jebakan setan lalu tinggal terpenjara di dunia ini untuk
selamanya.
Orang Jawa pada umumnya lebih menyadari keberadaan setan. Dan kita
sesungguhnya bisa merasakan pengaruh kuat dari setan. Adanya kesadaran ini
tentunya bisa membuat manusia menjadi lebih baik. Kalau manusia sedang dipengaruhi
tapi yang bersangkutan tidak menyadarinya maka itu adalah keadaan yang sangat
buruk, karena dia menjadi tidak waspada dan setan selanjutnya dengan leluasa bisa
menyusup ke dalam pikiran, emosi, khayalan dan kehendak manusia. Inilah alasan
yang sesungguhnya kenapa manusia bisa melakukan kejahatan-kejahatan seperti
membunuh dan merampok dengan tanpa rasa bersalah. Bahkan setan juga bisa
mempengaruhi dan mendorong manusia untuk melakukan bunuh diri. Manusia akan
sangat gampang disusupi setan pada saat mereka sedang mabuk, sedang dalam
pengaruh obat-obatan atau ketika sedang kehilangan kesadarannya misalnya
kesurupan. Mau atau tidak selama kita masih btinggal di alam dunia ini maka kita tidak
bisa menghindar dari pengaruh setan.
Dalam hal ini saya sangat menghargai tradisi Jawa jaman dahulu. Mereka sangat
toleran dan terbuka. Penganut agama Islam yang fanatik menyerang dan menkritik
kebiasaan orang Jawa karena tidak sepenuhnya sesuai dengan ajaran Islam tapi
bercampur baur dengan kepercayaan nenek moyangnya.
Orang Jawa biasanya hanya membalas kritikan tersebut dengan senyum, mereka
paham bahwa hanya ada satu Tuhan. Tapi mereka juga paham bahwa ada mahkluk-
mahkluk halus lain yang memainkan peran penting di alam dunia ini dan semuanya
diciptakan oleh Tuhan untuk menjalankan tugas sesuai dengan fungsinya masing-
masing.
3
Orang Jawa menjalankan prinsip hidup berdampingan secara damai dengan makhluk-
makhluk halus ini : “Berikanlah hak mereka maka mereka juga tidak akan mengganggu
kita.”
“Berikan hak mereka” tidak berarti bahwa orang Jawa mengakui makhluk-makhluk
spiritual ini sebagai Tuhan. Mereka hanya sekedar bersikap realistis menerima
kenyataan bahwa mereka memang ada dan memiliki kekuatan untuk mempengaruhi
hidup manusia. “Berikan hak mereka” seolah-olah seperti membayar pajak pada
pemerintah atau permisalan yang lebih buruk seperti membayar jatah preman pada
gerombolan bandit.
Jawa adalah pulau yang berlokasi antara 6 sampai 9 derajat di bawah garis katulistiwa.
Pulau kelima terbesar di indonesia yang terdiri dari 13677 pulau. Indonesia atau disebut
juga Nusantara berarti “untaian pulau-pulau” Indonesia terletak di perlintasan antara
laut Pasifik dan samudera Hindia dan antara benua Australia dan Asia.
Orang Indonesia menyebut negaranya sebagai “Tanah Air Kita”. Wilayah airnya lebih
luas dibanding daratannya. Luas pulau Jawa sekitar 133.000 km2 dan dihuni oleh lebih
dari seratus juta orang. Ada sekitar 800 orang per km2 sehingga pulau Jawa menjadi
salah satu pulau paling padat di dunia. Daya tarik magnetik pulau Jawa sangat kuat.
Sekali orang sudah tinggal di pulau Jawa maka akan susah untuk meninggalkannya
apalagi melupakan.
Tanahnya kaya dan subur, tanpa salju tanpa badai atau topan yang berlebihan.
Alamnya murah hati dan ramah terhadap penduduknya. Tanah Jawa umurnya sudah
sangat tua. Sisa-sisa manusia Jawa atau Pithecantropus Erectus yang ditemukan pada
tahun 1891 di Trinil Jawa Tengah diperkirakan hidup antara setengah sampai satu juta
tahun yang lalu.
Kelas atas dari masyarakat Jawa saat ini berasal dari suku Arya. Mereka memiliki asal
muasal yang sama dengan bangsa Arya byang datang melalui Khyber Pass dari Asia
Tengah menaklukkan dan menguasai bangsa-bangsa lain sampai ke anak benua India
terus ke selatan hingga ke pulau Jawa. Istilah Arya masih sering digunakan di kalangan
bangsawan, misalnya Gusti Pangeran Haryo (Tuan Pangeran Arya) demikian pula
untuk memberi nama anak seperti Haryono, Hartono, Haryadi, Harsubeno, Hartati,
Haryati, Hardiyanti, Hartini dan lain-lain.
Saya terinspirasi untuk menulis tentang Jawa karena kekayaan dan keunikan dunia
batinnya yang jarang diketahui atau malah dianggap aneh oleh dunia luar. Di masa lalu
pengalaman batin ini jarang dituliskan karena orang Jawa cenderung menganggapnya
sebagai sesuatu yang pribadi dan hanya diceritakan dalam suatu kelompok-kelompok
kecil.
Buku ini adalah buku pertama oleh seorang putra Jawa untuk mempersembahkan
cerita mengenai dunia batin orang Jawa kepada dunia luar. Kalau ada salah kata yang
bisa menyinggung perasaan orang lain mohon kiranya untuk bisa dimaaafkan.
Amin,
Penulis.
4
Bab 1 Wonoroto

Saya dilahirkan di Jakarta, ibukota Republik Indonesia, pada tanggal 24 Juni 1930.
Jakarta berlokasi di pantai utara pulau Jawa. Orangtua saya sebenarnya berasal dari
Jawa Tengah. Ayah saya lahir di Yogyakarta dan ibu dari Purworejo, sebuah kota kecil
sekitar 60km sebelah barat Yogyakarta. Ayah saya pindah ke Jakarta karena tugas
sebagai pegawai pemerintah di kementerian dalam negeri.

Sekalipun saya dibesarkan dan disekolahkan di Jakarta, tapi kalau sedang liburan
panjang saya dan saudara-saudara lainnya dikirim ke rumah nenek dan kakek di Jawa
Tengah. Dengan cara ini maka hubungan dengan tanah leluhur masih tetap terpelihara.

Rumah kakek saya terletak di sebuah desa terpencil bernama Wonoroto sekitar 5km di
luar kota Purworejo. Setelah melewati jalan panjang yang diteduhi pohon-pohonan
maka kita akan memasuki desa ini. Sawah-sawah yang luas dan hijau menghampar
memberikan rasa sejuk yang menyenangkan bagi yang memandangnya, diselingi
rumah-rumah penduduk berkelompok-kelompok kecil seperti pulau di tengah-tengah
lautan. Lalu pohon kelapa yang menjulang tinggi dan melambai-lambai seperti
mengucapkan selamat datang.

Saya selalu senang berada di rumah kakek. Buat saya ini adalah surga katulistiwa. Di
pagi hari kita akan dibangunkan oleh suara ayam berkokok. Lalu sinar matahari yang
indah akan tersenyum menyambut kita ketika membuka jendela.

Alam begitu damai dan tenang. Di atas padi yang menghijau kawanan capung
berombongan terbang ke sana kemari, meliuk-liuk di udara aneka ukuran dan warna,
lalu turun ke bawah untuk menyergap mangsanya berupa serangga-serangga kecil.
Ketika matahari meninggi di atas kepala, tiupan angin sepoi-sepoi dan segar terasa
seperti membelai-belai. Pada sore hari, langit menjadi penuh warna, matahari
tenggelam diiringi burung-burung yang terbang beriringan kembali ke sarang sehingga
warna langit berubah seperti lukisan. Di malam hari rintik suara hujan dan udara yang
dingin membuat kita merasa nikmat duduk di atas amben bambu berselimut sarung
ditemani kerlap-kerlip lampu minyak tanah yang menyala berkedip-kedip.

Saya senang sekali mandi di sungai, air dingin segar mengalir dari mata air
pegunungan. Kadang-kadang saya ikut menggembala kerbau bersama anak-anak desa,
dan kesenangan saya yang paling besar adalah ketika menunggang kerbau sambil
meniup suling sementara kerbaunya merumput.

Penduduk di desa itu merasa saling terikat satu sama lain seperti sebuah keluarga
besar. Ada banyak upacara adat. Desa Wonoroto mempunyai seperangkat gamelan

5
sendiri. Anak-anak desa belajar gamelan dan belajar menari sejak usia dini. Kalau
sudah dewasa mereka bergabung dengan group wayang orang yang mementaskan
cerita Ramayana atau Mahabarata diiringi tarian dan musik. Busana pentas yang
warna-warni membuat suasana pementasan semakin meriah.

Acara yang lebih sakral adalah selamatan. Selamatan berasal dari kata selamat.
Selamatan adalah acara kumpul-kumpul dimana yang punya hajat mengundang
tetangga dan kerabat untuk berdoa dan makan malam bersama. Ini adalah acara
kolektif. Saudara, tetangga dan teman bergotong royong menyiapkan makanan. Pada
saat undangan sudah datang dan duduk bersila biasanya sekitar jam 7 malam maka
doa pun mulai dipanjatkan untuk kemakmuran, keselamatan dan kesejahteraan orang
yang diberi selamatan. Setelah berdoa maka ada ritual dimana seorang anak muda
membawakan hidangan tertentu kepada kyai yang memimpin doa lalu Bapak Kyai
menjelaskan makna dari hidangan tersebut yang merupakan simbolisasi dari banyak
hal.

Selamatan diadakan pada saat kelahiran seorang anak, yaitu ketika bekas potongan
tali pusarnya sudah sembuh, lalu diadakan lagi 35 hari setelah kelahirannya yaitu siklus
perhitungan ketemunya 7 hari seminggu dengan 5 hari seminggu berdasarkan kalender
Jawa.

Selain minggu yang terdiri dari hari minggu, senin, selasa, rabu, kamis, jumat dan sabtu,
orang Jawa juga punya perhitungan hari sendiri dimana satu minggu terdiri dari lima
hari yaitu Legi, pahing, Pon, Wage dan Kliwon. Kalau ada orang yang lahir selasa – pon
maka hari selasa – pon inilah yang akan dianggap sebagai hari kelahirannya yang akan
mempengaruhi karakter, nasib dan pengaruh kosmologi terhadapnya. Selasa – pon
akan berulang setiap 35 hari. Orang Jawa tidak merayakan ulang tahun berdasarkan
tanggal melainkan berdasarkan “wetonan” atau “wiyosan”, hari dimana bayi keluar dari
rahim ibu. Selamatan 35 hari ini juga diperuntukkan untuk sang ibu, setelah selametan
maka ibu si bayi baru diizinkan untuk berhubungan lagi dengan suaminya.

Ketika sang bayi pertama kali menginjak tanah atau pertama kali merangkak maka
diadakan lagi selametan. Ada juga selametan pada saat khitanan. Sedangkan
selametan yang paling meriah adalah pada saat pernikahan yang bisa berlangsung
sampai beberapa hari. Lalu ada lagi selametan ketika ibu mengandung tujuh bulanan.

Disamping selametan yang bersifat pribadi ada pula selametan yang bersifat umum.
Misalnya selametan untuk memperingati kelahiran nabi Muhammad. Selametan di
bulan Suro, yaitu bulan suci dimana pusaka milik keluarga dibersihkan, dimandikan dan
diberi minyak wangi. Dan yang tidak boleh dilupakan tentu saja selametan pada saat
Lebaran atau Iedul Fitri.

6
Selametan tidak hanya untuk yang hidup, tetapi juga untuk kerabat yang meninggal.
Ada selametan sebelum pemakaman, ada juga tahlilan yaitu selametan di sore hari
setelah pemakaman. Ada tahlilan pada malam ketiga, ketujuh ke empat puluh sampai
ke seratus. Lalu ada lagi selametan pada setiap hari lahir almarhum dan yang terakhir
selametan pada hari ke seribu setelah kematian almarhum.

Bulan sebelum Ramadhan disebut bulan Ruwah. Ruwah diturunkan dari kata arwah
artinya jiwa, yang sekarang tinggal di alam akherat. Menurut keyakinan orang Jawa
arwah saudara, leluhur atau orang tua kita yang sudah meninggal dunia, akan datang
berkunjung pada bulan ini. Itulah sebabnya ada selametan yang disebut Ruwahan
tujuannya untuk menyambut dan memberi salam pada arwah yang datang berkunjung.
Lalu ada lagi selamatan di akhir bulan Ramdhan yang disebut munggahan yang berarti
“naik” yaitu untuk mengucapkan selamat kepada ruh yang datang berkunjung agar bisa
selamat kembali naik ke langit yang menjadi tempat tinggalnya di alam akherat.
Kemudian ada lagi selametan sebelum menanam padi dan setelah panen.

Penduduk Wonoroto secara material miskin kalau diukur menurut ukuran barat. Tapi
mereka sendiri tidak pernah merasa miskin. Mereka bahagia, puas, baik hati, ramah,
jujur, senang bersilaturahmi dan suka bergurau. Kebanyakan dari mereka adalah
keturunan dari Pangeran Diponegoro yang dahulu bertempur melawan penjajah
Belanda.

Mereka juga banyak mengkoleksi pusaka yang diwariskan secara turun temurun
seperti keris, tombak atau benda-benda lain yang merupakan warisan dari senjata
pasukan Diponegoro.

Karena terus menerus gagal mengalahkan pasukan pangeran Diponegoro setelah


bertempur selama empat tahun (1826 – 1830) akhirnya Belanda berhasil mengelabui
Pangeran Diponegoro untuk berunding di Magelang (sekitar 45km dari Purworejo).
Pasukannya tidak diizinkan masuk ke kota, maka beliau datang seorang diri. Sebagai
seorang bangsawan yang dibesarkan dan dididik untuk menghargai jiwa ksatria dan
memegang teguh nilai-nilai kejujuran, maka beliau tidak menduga bahwa undangan itu
adalah jebakan. Belanda bukannya menghargai tamu yang datang untuk
merundingkan perdamaian tetapi malah menangkap dan membuang Pangeran
Diponegoro ke Sulawesi sebuah pulau di utara Jawa dan tinggal disana sampai wafat di
usia tua.

Di jaman pemerintahan kolonial Belanda orang Indonesia tertekan dan diperbudak.


Kesempatan untuk mendapat pendidikan yang layak sangat terbatas. Pada saat itu
hanya enam setengah persen penduduk Indonesia yang bisa baca tulis, selebihnya
buta huruf.

Untunglah pendidikan budaya tetap bisa dilakukan dan disampaikan dari generasi ke
generasi secara lisan dan melalui musik, lagu, tari-tarian, dongeng dan puisi.
7
Pendidikan moral dan budi pekerti yang terpenting adalah yang disampaikan lewat
cerita wayang.

Harapan rakyat Indonesia untuk hidup yang lebih baik tidak pernah pudar. Harapan itu
dipelihara melalui legenda, cerita dan wahyu. Salah satu legenda adalah tentang
seorang wali yang bernama Syeikh Siti Jenar, yang hidup pada jaman Walisongo di
abad ke lima belas. Setelah menerima kontak dengan cahaya Tuhan Syekh Siti Jenar
tidak mau lagi menjalankan ritual keagamaan atau syareat. Dia hanya peduli dengan
kebenaran yang dialami dalam batinnya sendiri, kebenaran yang mutlak atau hakekat,
yang merupakan kebersatuan antara manusia dengan Tuhannya. Yang lain-lain
dianggapnya sampah.

Wali-wali yang lain menyadari keadaan ini, mereka paham bahwa Syaikh Siti Jenar
tidak salah, tapi hanya sedikit orang sudah menerima pencerahan dan dapat mengerti
dengan baik. Padahal umat yang banyak itu, yang awam masih tetap membutuhkan
tuntunan, membutuhkan syareat sebagai pegangan dalam melakukan pendidikan moral
dan menjalankan kehidupan bermasyarakat. Kalau semua orang mengikuti Syekh Siti
Jenar maka hasilnya adalah kekacauan. Dewan wali mencoba menyelesaikan masalah
ini dengan mengundang Syekh Siti Jenar untuk mengadakan pertemuan. Tapi beliau
tidak pernah datang. Akhirnya dewan wali memutuskan untuk menghukum mati Syekh
Siti Jenar guna menjaga ketertiban dan perdamaian umat Islam serta untuk
menghindari kekacauan dan kebingungan.

Setelah Syekh Siti Jenar dibunuh terdengar suara : “ Aku terima kematianku, tapi
tunggu saja pembalasanku, kelak akan datang rombongan kebo bule, yang akan
memperbudak kamu dan turunanmu selama tiga setengah abad.”

Kebo bule itu akhirnya datang dalam wujud bangsa Belanda yang menjajah bangsa
kita selama tiga setengah abad. Barangkali hal inilah yang menjelaskan kenapa bangsa
Belanda yang relatif hanya sedikit bisa menjajah bangsa Indonesia yang jumlahnya
ratusan juta. Sekeras apapun bangsa Indonesia berusaha tapi tetap saja tidak berhasil
lepas dari belenggu penjajahan.

Ketika waktu berlakunya kutukan itu sudah habis, maka tanpa usaha apapun Belanda
terusir dari Indonesia oleh Jepang pada tahun 1942. Belanda menyerah kepada Jepang
dengan hampir tanpa perlawanan.

Mengenai kedatangan bangsa Jepang, Raja Jayabaya meramalkan sebagai berikut :


“Pulau Jawa akan dijajah oleh bangsa cebol berwarna kuning dalam jangka waktu
seumur jagung.” Orang cebol itu ternyata adalah bangsa Jepang yang menjajah bangsa
kita selama tiga setengah tahun.”

8
Bab 2 Animisme di Jawa

Dalam kamus Unabridged Webster animisme didefinisikan sebagai : “Kepercayaan


bahwa semua bentuk kehidupan ini berasal dari kekuatan spiritual yang terpisah dari
benda-benda.”

1. Kepercayaan bahwa setiap benda dan semua fenomena alam seperti batu, kayu
angin dan lain-lain adalah hidup dan memiliki jiwa.
2. Doktrin bahwa keberadaan jiwa (soul) adalah sesuatu yang terpisah dan
independent.
3. Kepercayaan terhadap adanya makhluk halus, setan, hantu dan lain-lain.

Sejak umur empat tahun saya sekolah di sekolah Belanda di Jakarta, dan setelah
pulang sekolah belajar mengaji ke ustadz atau guru agama Islam, Itulah sebabnya
waktu itu saya percaya bahwa praktek animisme adalah tahayul. Akan tetapi setelah
mengalami dan menyaksikan sendiri dunia gaib, akhirnya saya menyadari bahwa ada
kebenaran dibalik kepercayaan animisme tersebut.

Semua agama menyatakan tentang keberadaan makhluk gaib (seperti setan, jin,
malaikat dan lain-lain) dan keberadaan ruh serta kehidupan setelah kematian.
Ketidakmampuan manusia untuk menyaksikan dan mengalami sendiri alam gaib
beserta seluruh penghuninya ini yang menyebabkan mereka mengambil kesimpulan
bahwa semua ini tidak ada. Pengalaman selalu merupakan guru yang terbaik.

Kita tidak bisa memahami dengan sepenuh-penuhnya apa yang dikatakan orang lain.
Karena bisa jadi apa yang dikatakan orang berasal dari apa yang dia dengar dari orang
lain pula dan seterusnya dan seterusnya. Sedikit demi sedikit informasi itu akan
menyimpang dari fakta yang sesungguhnya.

Wonoroto adalah tipikal pedesaan di Jawa Tengah. Kalau kita tinggal didalamnya maka
akan terasa seolah-olah waktu tidak bergerak. Pada saat saya menulis buku ini disana
belum ada listrik. Irama hidup di Wonoroto sangat pelan, tidak ada orang yang tergesa-
gesa. Setiap orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, kadang
sampai larut malam. Kadang-kadang jam 3 atau jam 4 subuh kita bisa melihat orang
lewat dengan membawa barang-barang ke pasar. Tapi mereka juga berjalan dengan
rileks tidak tergesa-gesa sambil berbincang-bincang satu sama lain.

Tetapi semua pekerjaan diselesaikan tepat waktu. Waktu adalah faktor penting dalam
masyarakat pertanian yang tergantung pada musim. Tapi mereka melakukan dengan
rileks dan alamiah, selaras dan harmonis dengan alam.

9
Sekalipun semua penduduknya Muslim tapi mereka tidak melupakan praktek dan
ajaran asli orang Jawa. Perpaduan yang harmonis antara keduanya tampaknya sudah
menjadi sesuatu yang biasa bagi mereka. Kalau kita paham bahasa Jawa, maka kita
akan melihat hal ini dalam acara selamatan. Doa-doa Islam didendangkan dengan
merdu dalam langgam Jawa. Mereka menyadari keberadaan Allah sebagai yang Maha
Esa dan Maha Kuasa. Mereka mengakui Nabi Muhammad sebagai utusan Allah. Tapi
mereka juga mengakui keberadaan makhluk gaib, yang tinggal dan menguasai area-
area tertentu di desa Wonoroto. Mereka memohon agar makhluk gaib tersebut tidak
mengganggu penduduk desa. Mereka menghormati para leluhur pendiri desa Wonoroto
dan memohon berkah dari para leluhur tersebut, dan mengirimkan doa untuk
kesejahteraan mereka di alam akherat.

Ada dua pohon beringin di desa Wonoroto, keduanya dikelilingi oleh pagar bambu.
Yang pertama di sebelah timur laut desa, dinamakan Serut. Penduduk desa selalu
menghindari area ini. Para penduduk desa sudah tahu bahwa Serut adalah kediaman
sosok makhluk gaib yang menakutkan bernama Kyai Serut.

Sewaktu saya berkunjung ke Wonoroto tahun 1960, saya bertemu dengan Kyai Serut
pagi hari setelah Subuh. Tingginya kira-kira sepuluh kali pohon kelapa sambil
membawa seekor anak ayam di tangannya. Saya terkejut mendengar anak ayam itu
menangis seperti suara anak perempuan. Setelah memperhatikan lebih dekat ternyata
anak ayam itu adalah badan halus seorang anak perempuan yang sudah meninggal.

Saya menghentikan Kyai Serut dan bertanya kenapa dia berbuat seperti itu. Dia
menjawab dengan suara menggeram, “Urus saja urusanmu sendiri. Jangan ikut campur
urusan orang lain.” Lalu dia menghilang.

Siang harinya saya mendengar kabar, ternyata ada seorang anak gadis berumur 14
tahun, penduduk Wonoroto yang baru saja meninggal dunia.

Pohon beringin yang satunya lagi terletak di sebelah barat daya desa dan disebut
Krapyak. Krapyak adalah tempat dimana Eyang Lokajoyo bersemedi dan beristirahat.
Suasananya sejuk dan damai dengan pemandangan indah ke arah Kali Mongo. Setiap
bulan Suro kalender Jawa warga desa membersihkan tempat itu dan mengganti pagar
bambunya dengan yang baru. Eyang Lokajoyo semasa hidupnya adalah orang tua
yang sangat dihormati. Dia selalu membantu penduduk desa yang meminta
pertolongan.

Di bulan suro, setelah melakukan bersih-bersih, beberapa keluarga yang merasa


nazarnya terpenuhi menyembelih kambing sebagai tanda syukur. Kambing itu
disembelih di bawah pohon beringin lalu dimasak dan dihidangkan untuk warga yang

10
ikut acara selamatan, tempatnya juga di bawah pohon beringin. Kadang-kadang sampai
14 ekor kambing dipotong dalam satu acara selamatan.

Ruh-ruh yang tinggal di pohon-pohon beringin itu sudah barang tentu mereka yang
belum menerima kontak dengan cahaya ketuhanan (belum dibuka), sekalipun mereka
kuat. Ruh-ruh lainnya yang semacam itu bisa saja memilih tinggal di tempat-tempat
terpencil seperti puncak-puncak gunung atau lautan. Keluarga bangsawan Jawa
banyak yang masih setia mengirimkan sesajen untuk arwah nenek moyang yang
berada di gunung Merapi dan Lawu atau yang tinggal di laut selatan.

Fenomena alam lainnya seperti hujan dan petir juga dipercaya memiliki ruh dan
berkepribadian sehingga memiliki kehendaknya sendiri. Oleh sebab itulah orang Jawa
bisa memanggil hujan dan bisa pula mencegah supaya hujan tidak turun. Ada satu
kebiasaan orang Jawa yang disebut “narang udan” yaitu mencegah atau menunda agar
hujan tidak turun pada saat mereka sedang punya hajatan. Caranya sederhana cukup
dengan menggunakan bawang merah dan cabe merah yang ditusuk pakai lidi diikuti
dengan mengucapkan mantra-mantra tertentu.

Ada juga yang menggunakan keris pusaka atau tombak yang dipercaya bisa
mencegah turunnya hujan, keris yang demikian dinamakan Singkir Banyu. Di Wonoroto
ada tombak yang dibuat khusus untuk mencegah turunnya hujan, namanya Kyai Awu-
Awu Langit atau Kyai langit Kelabu.

Pada suatu hari, waktu itu kami sedang keliling-keliling desa sambil menunggang kuda,
tiba-tiba langit mendadak menjadi gelap dan hujan turun deras sekali. Saya meminta
pada Raden Subroto Tirtowiranu dan anak saya Laksmonosusilo untuk mencoba Kyai
Awu-awu Langit. Anak saya menolak dan meragukan keampuhannya. Tapi saya terus
mendesak karena itni kesempatan yang baik untuk menguji keampuhan dari Kyai Awu-
Awu Langit.

Akhirnya anak saya setuju. Mereka berdua mengambil Kyai Awu-Awu Langit dari
tempat penyimpanan pusaka, membuka selonsong penutupnya dan memohon
pertolongannya untuk menghentikan hujan. Secara tiba-tiba hujan berhenti dan kami
pun bisa melanjutkan berjalan-jalan sambil naik kuda. Setelah kami selesai berjalan-
jalan dan tiba kembali di rumah maka hujan pun turun lagi dengan derasnya. Kyahi
Awu-awu langit telah membuktikan bahwa kemampuannya sesuai dengan namanya. Ini
adalah pusaka luar biasa, yang memancarkan bau harum seperti kembang melati.

Selain singkir banyu, ada juga singkir angin dan singkir gromo (penyingkir api). Apabila
kita memiliki ketiga pusaka itu maka seolah-olah rumah kita dilindungi dari angin topan,
banjir dan kebakaran.

Fenomena alam lainnya yang dianggap memiliki nyawa adalah petir, di kampung saya
disebut “Gandrik”. Sebuah cerita legenda menyatakan bahwa Ki Ageng Selo, kakek
11
buyut dari pendiri kerajaan Mataram pada suatu hari bertempur melawan Gandrik. Ki
Ageng Selo sangat sakti sehingga bisa menggengam petir dalam tangannya. Gandrik
mengakui kekalahannya dan menyerah. Dia minta dibebaskan sambil berjanji tidak
akan mengganggu anak keturunannya Ki Ageng Selo.

Ketika saya masih kecil, kalau ada petir ibu menyuruh saya untuk berucap, “Gandrik,
kulo putunipun Ki Ageng Selo” artinya, “Gandrik, aku cucu Ki Ageng Selo”.

Kalau kamu mengucapkan kalimat di atas maka sambaran petir tidak akan mengenai
badanmu. Sebelumnya saya menganggap ini Cuma dongengan saja, sampai suatu
ketika Pak Subuh menceritakan hal yang sama pada saya. Sejak saat itulah saya mulai
sungguh-sungguh memperhatikan.

Di masjid Demak yang terletak di pantai utara Jawa Tengah, kita bisa melihat ada
sepasang daun pintu dengan ukiran petir yang dibuat oleh Ki Ageng Selo, petir itu
memiliki kepala, badan dan ekor. Kelihatannya mirip seekor naga tapi tanpa lidah api
dari badannya.

Pak Subuh bercerita, pada suatu hari di tahun 30’an waktu itu hujan turun dengan
lebatnya, tiba-tiba ada petir turun mendekati beliau dan mengelilinginya sebanyak tiga
kali lalu petir itu naik ke angkasa dan terjadi ledakan yang sangat keras dan dahsyat.
Pak Subuh bertanya kepada petir itu kenapa dia berperilaku demikian, lalu petir
menjawab bahwa dia hanya bermaksud menyampaikan rasa hormat kepada Bapak.
Pak Subuh menceritakan bahwa petir itu mempunyai kepala, badan, ekor dan rambut
yang panjang seperti makhluk hidup.

Saya juga punya pengalaman menarik yang berhubungan dengan Gandrik. Di akhir
tahun 70’an sekitar setengah lusin dari kuda tungganganku disewa oleh seorang jendral
yang memiliki sekolah menunggang kuda, salah satunya kuda betina. Saya sendiri tidak
tahu kalau kuda betina itu sedang hamil, ternyata lima bulan kemudian kuda itu beranak
disana.

Saya sedang diluar kota ketika peristiwa itu terjadi, anak saya Laksmonosusilo
menelepon saya memberitahukan bahwa si jendral pemilik sekolah menunggang kuda
itu tidak mau menyerahkan anak kudanya kepada anak saya. Anak saya sangat
kecewa, tapi sebagai rakyat biasa kami tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi
jenderal yang di jaman orde baru sangat berkuasa. Saya menasehati anak saya untuk
sabar dan berserah diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Selama beberapa hari saya
tidak tidur malam untuk berprihatin.

Tidak lama kemudian, saya mendengar kabar 2 ekor kuda kesayangan sang jendral
mati di arena balap kuda karena bertabrakan dan patah kakinya sampai harus disuntik
mati. Lalu kudanya yang lain seekor stallion import juga mati karena sakit perut.

12
Kemudian seekor kuda stallion lokal juga mati karena disambar petir ketika di dalam
kandang. Empat kecelakaan ini terjadi hanya dalam waktu satu minggu.

Pak Jenderal menelepon saya dan bercerita tentang musibah yang dialaminya dan
meminta saya untuk bertemu secepatnya. Pada pertemuan di sekolah menunggang
kuda itu dia kelihatan bingung karena empat kuda terbaiknya mati dalam waktu satu
minggu, bahkan salah satunya disambar petir pada saat berada di dalam kandang.

Saya menyarankan beliau untuk menyerahkan kembali anak kuda nya kepada anak
saya Laksmonosusilo, dan beliau segera melakukannya dengan tanpa bertanya-tanya.

Di daerah saya di Jawa Tengah, orang-orang tidak ada yang berani sembarangan
bersumpah “kalau saya bohong biar disamber geledek”. Barangsiapa yang berbohong
dengan sumpahnya itu niscaya akan betul-betul disamber geledek.

Ketika Sultan Hamengku Buwono ke VIII meninggal, tiba-tiba terjadi ledakan petir yang
sangat dahsyat di siang hari (Sultan adalah keturunan Ki Ageng Selo). Petir adalah
fenomena fisik yang biasa tetapi orang Jawa memandangnya sebagai Gandrik sebagai
makhluk spiritual yang memiliki kekuatan yang bekehendak dan memiliki kemampuan
mengontrol perilakunya. Dalam buku “A Dictionary of Angel” oleh Gustav Davidson,
Gandrik disebut sebagai Dewa Cahaya atau Dewa Petir.

Ketika masyarakat mempersembahkan sesajen di bawah pohon, di dekat batu-batu


besar atau tempat-tempat semcam itu sesungguhnya mereka tidak sedang menyembah
benda-benda tersebut sebagai Tuhan, tapi mereka sedang memberikan sesajen untuk
arwah-arwah yang tinggal disitu.

Jauh sebelum kedatangan agama Islam dan Kristen, orang Jawa sudah menyadari
keberadaan dari Tuhan Yang Maha Esa, mereka menyebutnya sebagai Zat Ingkang
Moho Kuwaos. Zat berarti substansi, Ingkang artinya Yang, sedangkan Moho Kuwaos
artinya Maha Kuasa.

Fenomena alam bahwa air dan angin itu bisa dikendalikan juga disebut dalam kitab
perjanjian baru Lukas 8 : 22-5. 8:22 Pada suatu hari Yesus naik ke dalam perahu
bersama-sama dengan murid-murid-Nya, dan Ia berkata kepada mereka: "Marilah kita
bertolak ke seberang danau." Lalu bertolaklah mereka. 8:23 Dan ketika mereka sedang
berlayar, Yesus tertidur. Sekonyong-konyong turunlah taufan ke danau, sehingga
perahu itu kemasukan air dan mereka berada dalam bahaya. 8:24 Maka datanglah
murid-murid-Nya membangunkan Dia, katanya: "Guru, Guru, m kita binasa!" Iapun
bangun, lalu menghardik n angin dan air yang mengamuk itu. Dan angin dan air itupun
reda dan danau itu menjadi teduh. o 8:25 Lalu kata-Nya kepada mereka: "Di manakah
kepercayaanmu?" Maka takutlah mereka dan heran, lalu berkata seorang kepada yang
lain: "Siapa gerangan orang ini, sehingga Ia bisa memberi perintah kepada angin dan
air dan mereka taat kepada-Nya?"
13
Lalu ada lagi Markus 6: 45-51 6:45 Sesudah itu Yesus segera memerintahkan murid-
murid-Nya naik ke perahu w dan berangkat lebih dulu ke seberang, ke Betsaida, x
sementara itu Ia menyuruh orang banyak pulang. 6:46 Setelah Ia berpisah dari mereka,
Ia pergi ke bukit untuk berdoa. y 6:47 Ketika hari sudah malam perahu itu sudah di
tengah danau, sedang Yesus tinggal sendirian di darat. 6:48 Ketika Ia melihat betapa
payahnya mereka mendayung karena angin sakal, maka kira-kira jam tiga malam Ia
datang kepada mereka berjalan di atas air dan Ia hendak melewati mereka. 6:49 Ketika
mereka melihat Dia berjalan di atas air, mereka mengira bahwa Ia adalah hantu, z lalu
mereka berteriak-teriak, 6:50 sebab mereka semua melihat Dia dan merekapun sangat
terkejut. Tetapi segera Ia berkata kepada mereka: "Tenanglah! Aku ini, jangan takut! a "
6:51 Lalu Ia naik ke perahu b mendapatkan mereka, dan anginpun redalah. c Mereka
sangat tercengang dan bingung,”

Yesus Kristus mendapatkan kekuatanNya untuk mengendalikan alam dari Cahaya


Tuhan sementara Ki Ageng Selo mendapatkan kekuatannya untuk mengendalikan petir
dengan mengolah esensi api yang ada pada dirinya sementara Bapak Amat Sayuti
Ssuryosuwarno mendapatkan kekuatannya untuk mengendalikan angin dengan
mengolah esensi udara yang ada pada dirinya.

14
Bab 3 Orang Tua Yang Mulia
Pada tahun 1983, teman saya seorang kolonel mengajak saya melakukan perjalanan
ke Jawa Tengah. Kebetulan waktu saya sedang luang, maka sayapun dengan senang
hati ikut bersamanya. Setelah naik mobil sekitar 10 jam di malam hari, saya bercerita
kepadanya bahwa saya punya rumah di Wonoroto, sekitar 3km dari Purworejo. Saya
mengajak dia untuk menginap di rumah saya. Dua jam kemudian sekitar jam 8 pagi
kami sampai di Wonoroto, lalu kami beristirahat. Hari itu adalah rabu wage.

Teman saya Bambang Sri Hastobroto, seorang kolonel keesokan harinya berkata,
“Malam ini malam jumat Kliwon, malam yang bagus untuk memperoleh tuntunan batin.
Kita harus mandi di tempuran (air yang merupakan pertemuan dua sungai) karena ini
malam yang suci. Kita perlu pembimbing supaya laku yang kita lakukan benar dan tepat
sasaran. Kalau tidak nanti kita tidak tahu kapan petunjuk batin itu mulai datang. Tanpa
ada yang membimbing bisa jadi kita harus berendam sepanjang malam di air sungai
yang dingin. Ada orangtua yang bisa dimintai tolong ?”

Awalnya saya menolak untuk ikut. Saya tidak pernah melakukannya dan baru
membayangkan saja badan saya sudah menggigil kedinginan. Tapi Pak kolonel ini
sangat bersungguh-sungguh sehingga saya tidak sampai hati menolaknya. Maka saya
mengangguk. Setelah beristirahat selama beberapa jam, dia menjemput orang tua
tersebut yang tidak lama kemudian datang ke rumahku.

Di desa Wonoroto beliau dikenal dengan nama Amat Sayuti. Dia tinggal di sebuah
gubuk kecil di sebuah dusun terpencil bernama Tangkisan, beberapa kilometer dari
kota kecamatan Kutoarjo. Pak Amat hidup membujang seumur hidupnya. Setiap hari
dia hanya sedikit makan, minum dan tidur. Badannya kecil dan kurus, hampir tidak
berdaging apalagi lemak.

Tubuhnya pendek, lebih rendah dari bahu saya, tapi tatapan matanya bersinar tajam
seperti bisa menjenguk ke dalam hati orang lain. Saya pertama kali bertemu beliau
pada tahun 1983, padahal beliau ternyata masih punya hubungan saudara dengan
saya. Umurnya ketika itu 123 tahun.

Sebelumnya saya mengira saya akan sakit kepala kalau ketemu orang yang seperti itu,
karena hanya orang-orang yang tekad dan keinginan sangat kuat saja yang sanggup
menahan diri dari seks, makanan dan minuman sepanjang hidupnya. Tapi saya terkejut
ketika mendapati getaran yang sejuk dan lembut memancar dari beliau.

Dulu saya pernah bertemu dengan pendeta dari suku Indian Antelope di Arizona,
Amerika Serikat. Saya juga menemukan getaran yang sama. Puasa nya kedua orang

15
tersebut tidak dimotivasi oleh nafsu dan keinginan yang kuat melainkan naluri yang
memang sudah ada sejak lahir dan sudah merupakan cara hidup alamiah mereka.
Sebagai hasilnya mereka bisa melihat alam gaib secara jelas seperti kita memandang
alam fisik ini.

Pak Amat Sayuti buta huruf, tapi kemampuannya untuk berkomunikasi dengan dunia
gaib memberikannya akses pada sumber-sumber ilmu pengetahuan yang sangat luas.
Amat Sayuti dan saya mulai saling menyukai satu sama lain. Pertemuan kami
merupakan peristiwa yang sangat langka dan berharga.

“Biasanya saya tidak pernah mau meninggalkan rumah di malam Jumat Kliwon, tapi
Bambang menculik saya,” demikian pak Amat Sayuti.

Setelah berbasa-basi sejenak, kami mulai pergi berjalan-jalan disertai Raden Subroto
Tirtawiranu, kepala desa yang saat ini juga kebetulan ada di rumah saya. Di kemudian
hari Subroto bercerita bahwa Pak Amat sering bertanya-tanya mengenai rumah saya.
Konon kabarnya sewaktu masih muda Pak Amat sering berkunjung ke rumah itu yaitu
pada saat eyang buyut Singopawiro masih hidup sekitar tahun 1880 – 1890.

Pak Amat berkata, “Saya masih ingat pohon asem tua yang di halaman itu, biasanya
Eyang Singo bermeditasi disitu lalu memberikan pelajaran kepada murid-muridnya.
Dulu rumah itu terbuat dari kayu semua, tapi sekarang sudah ada temboknya. Apa
eyang Singo sudah menjualnya kepada orang lain ?”

“Tidak,” Subroto menjawab, “ Pemilik barunya adalah cicit dari beliau.”

“Ooh berarti dia masih saudaraku juga.”

Karena saya lahir di Jakarta, dan kehidupan di Jakarta membuat saya sibuk terus maka
saya sebelumnya tidak pernah punya kesempatan bertemu dengan Eyang Amat Sayuti,
padahal kami masih punya hubungan saudara.

Jam 8 malam eyang Amat Sayuti beserta saya, Bambang, Subroto dan Sastrowinoto
(sesepuh desa sekaligus Imam Masjid) berangkat ke sungai. Setelah mengucapkan
salam dan membaca doa-doa, Eyang Amat meminta kami untuk membuka baju lalu
masuk berendam ke dalam air sungai yang dingin. Di langit bulan sedang purnama dan
ketika itu malam sangat tenang dan damai. Saya merasa menyatu dengan seluruh alam
yang hening, tenang dan damai.

Laki-laki tua itu tidak membuka bajunya, dia memakai dua lapis sarung, kemeja, jaket
dan sebuah peci di kepalanya. Dia menghampiri kami satu persatu lalu menyiram
kepala kami dengan air sungai yang dingin. Pada saat sedang menyatu dengan alam
saya pikiran saya seperti berhenti, sehingga saya tidak memperhatikan apapun di
sekitar saya. Air sungai dingin dan dalam, kami berendam sampai sebatas dada. Saya
16
tahu orangtua menyirami kepala saya dengan air tapi tidak sempat berpikir kenapa dia
masuk ke air tanpa melepas pakaiannya.

Ada sedikit keributan ketika Eyang Amat mendekati Subroto.

“Jangan dekat-dekat,” teriak orang tua itu.

Saya menoleh ke arah mereka dan melihat Subroto menggerakkan tangannya


menyapu ke bawah kaki Eyang Amat. Dan Pak Amat menjauh.

Saya mendengar Bambang berkata, “Ooh dingin sekali.”

“Apa kamu kedinginan ?” Tanya Pak Amat.

“Ya, sangat dingin” Jawab Bambang.

Pak Amat lalu menghunus sebilah keris dari balik jaketnya, lalu menggoreskan keris itu
di atas permukaan lahir membuat tanda silang. Tiba-tiba air sungai berubah menjadi
hangat.

Saya merasakan perubahan suhu air ini, begitu pula Bambang, “Aah enak sekali”, kata
Bambang.

Setelah berendam dalam air selama satu jam, saya melihat cahaya gemerlap berwarna
kehijauan seperti payung di langit. Saya tidak yakin apakah Bambang, Subroto dan
Sastrowinoto juga melihatnya karena mereka tidak menunjukkan reaksi apapun.
Bahkan mereka tidak melihat ke arah langit. Tapi saya tahu persis Pak Amat juga
melihatnya karena begitu cahaya itu lenyap, dia berkata, “selesai”. Lalu kami diminta
naik ke darat.

Beberapa waktu kemudian saya bertanya kepada Subroto apakah dia menemukan
sesuatu di bawah kaki Pak Amat pada saat beliau berada dalam air.

“Apa kamu menemukan batu di bawah kakinya ?” Saya bertanya.

“Tidak, airnya sedalam bahu, dan aku terkejut melihat sarung beliau masih tetap
kering.” Subroto keheranan. Kemudian baru saya menyadari bahwa beliau ternyata
berjalan terapung di atas air.

Setelah menjalani kungkum, Pak Amat minta cepat-cepat pulang. Dia kelihatan terburu-
buru. Rumahnya di desa Tangkisan berjarak sekitar 20km dari rumah saya di Wonoroto.
Kami mengantarnya pulang dengan mobil. Setelah sampai ke rumahnya saya,
Bambang dan Sastrowinoto memilih untuk segera pulang sementara Subroto menginap
di rumah Pak Amat.
17
Ketika bertemu keesokan harinya, Subroto punya cerita yang menarik. “Pada saat kami
tiba, ternyata sudah banyak orang yang menunggu di rumah Pak Amat dengan
keperluan yang bermcam-macam. Setelah semua tamunya pulang, Pak Amat
mengajak saya berjalan-jalan. Waktu itu menjelang malam hari, bulan menghilang di
balik cakrawala. Beberapa kali kaki saya tersandung-sandung di pematang sawah
karena malam sangat gelap, nafas saya juga mulai tersengal-sengal. Lalu Pak Amat
menyuruh saya memegang ujung sarungnya. Beberapa detik kemudian hampir tidak
bisa dipercaya ternyata kami sudah sampai di pemakaman Ratu bagelen padahal
jaraknya sekitar 20km dari desa Tangkisan. Orang tua itu lalu membakar kemenyan
dan membuat sesajen yang terdiri dari kembang-kembang.

“Dengan cara yang sama Pak Amat membawa saya ke segara kidul (pantai selatan).
Kami sampai disana hanya dalam hitungan detik, menempuh jarak sekitar 30km.
Setelah sampai, Pak Amat minta dicarikan daun pisang raja. Saya asal saja memetik
daun pisang dari pinggir semak-semak, tidak yakin apakah itu pisang raja atau bukan.
Saya berikan daun itu kepada Pak Amat. Lalu dia membakar kemenyan dan dan
meletakkannya di atas daun pisang bersama dengan kembang-kembang. Sesajen itu
lalu diletakkan di atas permukaan air laut. Tiba-tiba gelombang besar datang membawa
sesajen itu ke tengah laut. Saya mengikuti terus pergerakan daun itu yang kelihatan
kerlap-kerlip cahaya kemenyan yang terbakar. Semakin jauh, semakin jauh hingga
akhirnya hilang dalam pandangan.

Pak Amat berkata bahwa sesajennya telah diterima oleh Kanjeng Ratu Kidul. Pak Amat
bersemedi sejenak, lalu gelombang laut datang lagi ke tepi pantai membawa kembali
daun pisang, tapi kemenyan dan kembang-kembangnya sudah tidak ada. Pak Amat
lalu berdiri dan menyuruh saya memegang sarungnya, lalu seperti terbang kami pun
kembali ke rumah beliau di desa Tangkisan. Karena keesokan harinya saya harus
bekerja saya pun pamit untuk pulang. Pak Amat mengantar hingga ke jalan besar
sambil berpesan jangan sekali-kali menengok ke belakang, katanya kalau saya tidak
menengok ke belakang maka saya akan tiba di Wonoroto sebelum fajar.

Kami berpisah, tapi di tengah jalan saya tidak bisa menahan rasa penasaran, maka
saya pun menengok ke belakang tapi Pak Amat sudah tidak ada. Kemudian baru saya
menyadari kaki saya terasa berat, lelah dan cape. Perasaan ringan dan gembira yang
saya rasakan semalam hilang begitu saja. Saya berjalan pelan-pelan seperti siput dan
baru sampai ke rumah selepas siang hari. Saya merasa bersalah.”

Kanjeng Ratu Kidul (Ratu Pantai Selatan)


Ketika Pak Subuh masih hidup, beliau pernah bercerita bahwa kakeknya bisa berjalan
di atas permukaan air. Sekalipun saya tahu apa yang disampaikan Bapak selalu benar
18
tapi bagi saya waktu itu kedengarannya seperti dongeng saja. Hingga malam itu saya
menyaksikan sendiri bahwa ada orang yaitu Bapak Amat Sayuti yang benar-benar bisa
berjalan di atas air. Sejak saat itu saya merasakan hal semacam itu sebagai sesuatu
yang biasa saja.

Demikianlah sejak berendam di dalam air di “tempuran” malam itu maka terbukalah
pintu bagi saya untuk memasuki “dunia batin orang Jawa”. Dan setelah beberapa kali
berkunjung ke rumah orang tua itu maka saya jadi semakin tertarik dengan kebudayaan
Jawa beserta dunia batinnya.

Saya teringat cerita yang disampaikan Pak Subuh tentang Sultan Agung
Hanyokrokusumo, Raja Kerajaan Mataram. Dari cerita-cerita orangtua saya mendengar
bahwa Sultan Agung setiap jumat siang pergi ke Mekkah untuk shalat Jumat, konon
ketika beliau kembali ke keraton kue apem yang disuguhkan kepada beliau sebelum
beliau berangkat bahkan masih hangat. Sultan Agung menguasai “Aji-aji sapu angin”
atau kekuatan untuk menggunakan dan mengendalikan udara atau angin.

Pak Subuh bercerita, ada orang Purworejo yang sudah tinggal di Mekkah selama 14
tahun untuk belajar agama Islam. Namanya Kasan. Kasan sangat ingin pulang kembali
ke Jawa tapi dia tidak punya uang untuk ongkos kapal laut.

Seorang temannya memperkenalkan Kasan kepada Sultan Agung yang di Mekkah


dikenal dengan julukan Lurah Tanah Jawa. Kasan menyatakan keinginannya untuk
pulang ke Jawa. Sultan Agung setuju untuk membawanya kembali ke Jawa setelah
shalat jumat. Lalu Sultan Agung membawa Kasan ke padang pasir yang sepi dan
menyuruhnya untuk memegang memegang pinggangnya dari belakang sambil menutup
matanya. Beberapa saat kemudian Kasan merasa bahwa dia sudah di tempat yang
dikenalnya dulu yaitu di Purworejo. Kasan terjatuh di semak-semak rimbunan pohon
bambu. Sedangkan Sultan Agung sudah tidak ada.

Tak perlu diceritakan lagi keluarganya terkejut dan bahagia ketemu dengan Kasan.
Padahal mereka mengira sudah tidak akan berjumpa lagi dengan kasan. Setahun
kemudian Kasan memutuskan untuk menemui Lurah Tanah Jawa untuk mengucapkan
terimakasih. Tapi dia tidak tahu dimana Ki lurah, waktu itu Ki Lurah hanya bilang bahwa
rumahnya di Mataram didepannya ada sepasang wringin kembar.

Setelah mencari-cari akhirnya Kasan sadar bahwa hanya Raja Mataram yang di depan
rumahnya ada pohon beringin kembar. Hal ini membuatnya gemetar. Ternyata Sultan
Agung yang menggendongnya dari Mekkah sampai ke tanah Jawa. Begitu tiba di
ibukota Mataram, Kasan segera melakukan “pepe” yaitu berjemur dengan bertelanjang
dada di bawah pohon beringin sebagai permintaan untuk bertemu dengan raja.

Menurut Pak Subuh, Kyai Abdurachman, seorang guru sufi yang merupakan tempat
beliau berguru ketika masih muda, juga pergi ke Mekkah setiap Jumat untuk shalat
19
jumat dengan cara mengendarai angin. Setiap kembali dari Mekkah beliau membawa
segenggam pasir. Setelah bertahun-tahun taman di depan masjidnya tertutupi oleh
pasir dari Mekkah.

Adikku yang bungsu Sargito, datang ke Wonoroto. Saya membawanya berkunjung ke


rumah Pak Amat Sayuti. Sargito adalah seorang insinyur sipil bekerja sebagai
kontraktor. Sargito terkejut ketika memasuki rumah Pak Amat yang sangat sederhana
lebih mirip gubuk di tengah sawah.

“Jangan berlagak seperti orang kaya yang sombong.” Kata Pak Amat, “Saya tahu di
dompet kamu cuma ada uang (setara dengan) 20 dollar. Duduklah, biar miskin dan
jelek, saya juga masih saudara kamu.”

Sargito berbisik di telinga saya, “ Apa kamu yang cerita pada Pak Amat kalau uang
saya Cuma 20 dollar di dompet ?”

“Mana saya tahu kalau uangmu 20 dollar, Saya bukan orang yang suka membongkar-
bongkar dompet orang lain.”

Beberapa waktu kemudian keluarga kami membiayai perbaikan dan pembangunan


rumah Pak Amat sehingga menjadi sedikit lebih bagus.

Menurut Pak Amat, dulu di jaman perang kemerdekaan (1946-1949) rumahnya cukup
luas dan kokoh sehingga dipakai sebagai tempat penyimpanan logistik tentara
Indonesia yang bergerilya melawan Belanda. Sampai suatu saat mata-mata Belanda
menemukan rumah itu lalu di bom habis-habisan sampai rata dengan tanah.

Suatu malam, di rumah Pak Amat, saya bertanya tentang keris yang dipakainya untuk
menghangatkan air sungai. Dia pergi ke kamar tempat menyimpan pusaka lalu
memperlihatkan keris itu pada saya. Keris yang sangat biasa, sekilas seperti yang tidak
ada keistimewaannya. Tapi ketika saya memegang keris itu pada bagian besinya, saya
bisa merasakan ada daya yang sangat kuat.

“Bagaimana Pak Amat bisa memperoleh keris ini ?”

Sebagai jawabannya, Pak Amat bercerita, “Tahun 1920, waktu saya jalan-jalan di
wilayah Cempaka Putih di Jakarta, saya melihat petir menghantam suatu tempat
sebanyak tujuh kali berturut-turut, menurut almarhum ayah saya, ini adalah pertanda
bahwa di tempat itu ada suatu pusaka yang disembunyikan.

Saya menandai tempat itu dengan batu, Esoknya saya membawa beberapa tukang gali
sumur untuk menggali tempat itu, mereka harus menggali sedalam 30 meter sampai
bisa menemukan keris itu. Rupanya pemilik terakhir dari keris ini telah melemparkannya
ke dalam sumur, yang kemudian diuruk.”
20
Sekalipun keris ini telah terkubur selama berabad-abad tapi kondisinya masih tetap
utuh, tidak ada yang rusak oleh karat. Dibawah cahaya lampu minyak, keris ini
berkilauan memancarkan warna ungu. Saya ingat cerita Pak Subuh bahwa di tanah
Jawa ada besi dengan kualitas sangat tinggi yang disebut “wesi lanang” . Menurut Pak
Subuh, besi jenis ini warna ungu berkilauan kalau kena cahaya dan jauh lebih kuat
dibanding baja terbaik dari Jerman.

Kelihatannya keris ini memang terbuat dari wesi lanang. Pak Amat memberikan keris ini
kepada kakak saya Erdy, Kenapa tidak diberikan kepada saya ? Menurut Pak Amat
keris ini tidak cocok untuk saya karena kecenderungannya lebih ke arah duniawi. Lalu
untuk saya dia memberikan keris lain yang lebih kecil, panjangnya Cuma 5 inci.

“Keris ini dibuat dibuat oleh leluhurmu, Sunan Kalijogo.”

“Keris semacam ini yang kamu harus punya. Mulai sekarang keris ini jadi milikmu. “

Saya menerima keris itu dengan kedua tangan dan mengucapkan terimakasih kepada
beliau atas pemberiannya. Dengan seksama saya memeriksa keris tersebut. Bentuknya
seperti bulan sabit dnegan satu lekukan, di dunia perkerisan keris semacam ini disebut
jambio. Pada saat dipegang, getaran yang memancar rasanya tenang dan kalem.

Pada kesempatan lain saya bertanya pada Pak Amat Sayuti : “Pak Amat jauh lebih tua
dari saya tapi kenapa Pak Amat juga memanggil eyang kepada kakek saya
Singoprawiro ?”

“Karena kamu dan saya secara horizontal berada pada garis generasi yang sama. Jadi
sekalipun saya jauh lebih tua dari kamu, tapi berdasarkan pohon keluarga saya
sebetulnya masih kakak sepupu mu.”

Di malam yang lain, waktu itu kami sedang duduk-duduk berdua saja di depan
rumahnya. Dia memberi saya sebuah pusaka berupa mata tombak yang kecil, yang
kelihatannya biasa saja, tidak tampak keistimewaannya.

“Dari mana Pak Amat memperoleh tombak ini ?” Saya bertanya.

“Saya menemukannya di kuburan Kayu Lawang. Di suatu malam, saya melihat petir
menyambar tujuh kali di lokasi yang sama. Lalu tempat itu saya tandai dengan batu.
Pagi harinya saya menggali sendiri tempat itu, Tidak terlalu dalam, hanya sekitar tiga
perempat meter saya menemukan benda ini.

Tombak ini dinamakan Ki Ageng Plered, adalah tombak yang dipakai oleh Panembahan
Senopati untuk membunuh Haryo Penangsang, yang sedang mencoba merebut tahta di
kerajaan Demak.

21
Lalu ada seorang empu yang bernama Ki Ageng Joleko melarikan diri dari kraton
Demak sambil membawa pusaka ini. Yang bersangkutan mengubur diri bersama
pusaka ini sampai meninggal dunia di kuburan Kayu Lawang. Selanjutnya arwah dari Ki
Joleko masuk ke dalam tombak ini. Pada saat pertama kali menemukan pusaka ini, Ki
Joleko berpesan bahwa sekalipun saya yang menemukannya tapi sifatnya sekedar
titipan saja. Kelak pusaka ini harus diberikan kepada kerabat saya yang akan ketemu
nanti di kemudian hari. Dan sekarang, saya diberitahu kamu lah orang yang dimaksud
untuk memiliki pusaka ini.”

“Jadi pusaka ini sekarang kepunyaanmu.”

Saya menerimanya dengan takzim dengan kedua tangan saya sambil mengucapkan
terimakasih.

Kuburan Kayu Lawang adalah tempat dimakamkannya para pendiri Kabupaten


Purworejo. Menurut Pak Amat, Kabupaten Purworejo sebelumnya adalah sebuah
kerajaan kecil dan merupakan daerah yang pertama kali menjadi kabupaten di Pulau
Jawa bahkan di Indonesia. Pendiri kabupaten ini adalah leluhur kami (dari garis ibu
saya) bernama Cokrojoyo.

Kerajaan Mataram berusaha menaklukkan wilayah ini untuk dimasukkan ke dalam


daerah kekuasaannya, tapi eyang Tjokrojoyo tidak bersedia dan terus melawan. Tidak
ada senopati Mataram yang sanggup mengalahkannya.

Jaman dahulu banyak di antara para senapati (Perwira prajurit) yang kebal senjata. Ada
banyak ilmu bela diri yang mengkhususkan diri untuk mempelajari ilmu kebal ini. Salah
satunya adalah “Aji Tameng Wojo”. Untuk mengatasi ilmu kebal ini Eyang Tjokrojoyo
memiliki senjata bernama Kyai Trijoto. Barangsiapa yang kena tusuk oleh Kyai Trijoto
maka badan luarnya tidak akan menderita luka apapun tapi. Tidak ada darah yang
mengalir. Tapi tubuh bagian dalamnya akan terbakar dan tidak lama kemudian mati.

Karena tidak ada yang sanggup mengalahkan eyang Tjokrojoyo di pertempuran, maka
kerajaan Mataram meminta supaya diadakan gencatan senjata. Lalu diadakan
perundingan di sebuah desa di perbatasan Yogyakarta dan Purworejo dimediasi oleh
Sunan Kalijogo. Sekarang desa itu dinamakan Temon artinya tempat pertemuan.
Kemudian dibuat pula garis perbatasan antara Yogyakarta dan Purworejo. Daerah
disekitar garis perbatasan dinamakan Wates.

Selanjutnya eyang Tjokrojoyo diberi gelar Bupati dan memiliki kekuasaan penuh atas
wilayah yang selanjutnya disebut Kabupaten Purworejo, tetapi beliau tetap mengakui
raja Mataram sebagai Raja Diraja. Selama beberapa generasi keluarga Tjokrojoyo
menjadi Bupati di Purworejo hingga menjelang perang dunia ke 2.

22
Ayah Amat Sayuti adalah keturunan dari trah Tjokrojoyo yang bernama Tjokronegoro,
namanya Tjokrokusumo. Tjokrokusumo adalah anak dari istri utama (garwa padmi) dari
Tjokronegoro sehingga mestinya beliau mewarisi jabatan sebagai bupati. Tapi anak
Tjokronegoro yang lain yang berasal dari selir juga berambisi menjadi bupati. Namanya
Soegeng. Orangnya sangat ambisius dan tamak. Secara terbuka dia menghendaki agar
jabatan bupati diserahkan kepadanya.

Tjokrokusumo mengalah. Beliau berkata : “Soegeng, kamu bisa menjadi bupati, tapi
anak keturunanmu tidak ada satupun yang akan menjadi bupati.”

Soegeng kemudian diangkat jadi Bupati. Sementara Tjokrokusumo bersama ibunya


pindah ke kraton Yogyakarta karena ibunya masih keluarga kesultanan Yogyakarta.
Soegeng tidak berani menggunakan gelar Tjokronegoro, dia hanya dikenal dengan
sebutan Bupati Soegeng. Dia meninggal tidak lama setelah pindah ke Yogyakarta,
sementara istrinya yang ditinggal di Purworejo sedang hamil tiga bulan.

Sebelum meninggalkan Purworejo, Tjokrokusumo berpesan, “Aku meninggalkanmu


bersama dengan jabang bayi di perutmu. Kalau nanti kamu akan melahirkan bayi itu.
Datanglah ke kuburan Ratu Bagelen, kamu harus melahirkan disana, lalu bayi ini diberi
nama Suryosuwarno, Raden Mas Suryosuwarno.”

Pesan itu dilaksanakan dengan seksama oleh istrinya. Tapi setelah bayinya besar
mereka pindah ke desa Tangkisan Purworejo, dan bayinya diberi nama Amat Sayuti.
Nama yang sangat umum bagi penduduk desa. Saya senang bisa bersilaturahmi
dengan Eyang Amat Sayuti sebagai orang biasa. Saya memanggilny pak Amat atau
Eyang Amat sementara beliau memanggil saya Prio, saudara dari desa tetangga.

Saya mengira sebagai orang yang buta huruf dan tinggal di desa terpencil maka dia
tidak akan bisa menandingi pengetahuan saya sebagai seorang yang bergelar Doktor
dan sudah sering keliling dunia. Tapi ternyata saya keliru, pengetahuannya bahkan
lebih banyak dari saya. Pak Amat Sayuti pernah melakukan perjalanan ke Eropa, Afrika,
Timur Tengah dan tempat-tempat lain di Asia.

Pada suatu hari Eyang Amat Sayuti bertanya, “ Asma sepuh mu siapa ?”

“Saya jawab Suryoatmojo. Suryo berarti matahari sedangkan atmojo berarti anak laki-
laki. Jadi Suryoatmojo artinya “Putra Sang Fajar”.

“Asmo Sepuh” berarti nama tua atau nama senior. Orang Jawa biasa dipanggil dengan
nama yang diberikan waktu lahir, sampai dia dewasa dan menikah kemudian akan
diberikan asmo sepuh. Asmo sepuh tidak sama dengan nama marga seperti di suku
Batak. Setiap orang Jawa yang sudah mapan dan sudah menikah akan memiliki nama
baru yang berbeda dari nama ayah atau kakeknya. Di dunia modern di kota besar,

23
saya tidak pernah memakai asmo sepuh saya, tapi di desa para tetangga dan kerabat
memanggil saya dengan asmo sepuh.

“Ooh asmo sepuhmu ternyata mirip dengan ku. Namaku yang sebenarnya adalah raden
Mas Suryosuwarno,” kata beliau (Raden berasal dari kata Rah artinya darah dan Adi
artinya bangsawan sedangkan Mas artinya emas).

Percakapan inilah yang mengawali kisah asal-usul leluhur saya dari garis ibu.
Kemudian saya bertanya apakah dia tahu juga garis keturunan istri saya. Selama ini
kami tidak banyak tahu tentang hal itu karena istri saya diadopsi oleh salah seorang
bibinya dan bibinya tidak mau bercerita tentang hal itu sampai beliau meninggal dunia.

“Saya sudah menelusuri garis keturunan istrimu sejak beberapa hari lalu.” Jawab Pak
Amat, “Leluhur istrimu berasal dari desa Grantung yang terletak antara Purworejo dan
Kutoarjo. Tapi saudara-saudaranya sudah tidak ada lagi yang tinggal disana semuanya
sudah pindah ke kota besar. Sebetulnya istrimu masih punya hubungan saudara
denganmu melalui garis ibu.”

Beberapa hari setelah membuka rahasia tersebut, adik dari nenek saya seorang tukang
pijat yang sudah sepuh datang ke Wonoroto. Tanpa ditanya beliau bercerita tentang
mertua saya beserta silsilah pohon keluarganya.

“Aku baru berani membuka rahasia ini setelah mertuamu meninggal,” demikian
ucapnya. Dan apa yang dia sampaikan persis seperti yang diceritakan oleh eyang Amat
Sayuti.

Setiap kali masuk ke kamar tempat penyimpanan pusaka di rumahnya Eyang Amat
Sayuti, setiap kali pula saya tertarik dengan sebatang tombak yang disandarkan di
dinding. Sudah tiga kali saya mencoba meminta pusaka itu tapi beliau selalu menolak.

“Bukan, itu bukan barang mainan,” kata Eyang Amat, “ Itu adalah pusaka yang sangat
penting bagi saya.

Kira-kira setahun kemudian, sekitar jam 10 pagi, saya datang ke rumah Pak Amat

“Oh, saya sudah menunggu-nunggu kamu dari tadi. Yang mulia Ratu Bagelen baru
saja datang kesini naik kereta kuda. Para tetangga mendengar suara lonceng dan
derap kaki kudanya. Irama loncengnya sembilan ketukan, kalau kereta kuda kepunyaan
Ratu Kidul irama loncengnya delapan ketukan.”

24
Saya ingat dulu waktu saya masih kecil, di Wonoroto beberapa kali saya mendengar
suara kuda berderap seperti sedang berlari dari arah sungai. Orang-orang desa
menyebut suara itu dengan sebutan “Tundan”. Tidak hanya saya tapi banyak orang
yang mendengarnya. Kemudian orang-orang desa termasuk ibu saya menyambutnya
dengan memukul-mukul lesung, kentongan, tampah atau bahkan dinding bambu rumah
sambil berkata : “Liwat, liwat, liwat”.

Ratu pantai selatan tinggal di laut sebelah selatan pulau Jawa, beliau sering melakukan
perjalanan ke gunung Merapi melalui sungai atau melewati desa-desa disekitarnya.
Orang biasa bisa mendengar suara kudanya, tapi mereka tidak menyaksikan. Hanya
sedikit orang yang memiliki kemampuan psikis yang bisa melihatnya.

Pak Subuh bercerita ketika beliau masih tinggal di Semarang, Ratu Pantai Selatan
datang untuk memberi hormat. Kedatangannya diiringi petir, badai dan hujan lebat.
Menurut Pak Subuh beliau memakai busana berwarna ijo pupus.

Sampai sekarang, kalau ke pantai selatan orang-orang Jawa tidak berani memakai baju
berwarna hijau. Ada banyak kejadian dimana perempuan-perempuan yang memakai
baju hijau tiba-tiba terkena ombak ditelan air samudera. Ratu Pantai Selatan sangat
perkasa dan memiliki banyak pasukan. Menurut Pak Amat, Ratu Bagelen adalah kakak
dari Ratu Laut Kidul. Nama aslinya Loro Sari Kuning sedangkan nama asli dari laut
Kidul adalah Loro Sawi Kuning.

Pak Amat mengajak saya masuk ke ruang tempat penyimpanan pusaka, lalu
menyerahkan tombak yang dari dulu sangat saya idam-idamkan.

“Apa maksudnya ?” Tanya saya

“Yang mulia Ratu Bagelen meminta saya untuk menyerahkan tombak Kyai Trijoto
kepadamu.”

Saya gemetar. Pantas saja Pak Amat tidak mau berpisah dari tombak ini, ternyata inilah
tombak Kyai trijoto yang sakti, yang digunakan Eyang Tjokrojoyo untuk
mempertahankan daerah kekuasaannya dari serangan pasukan Mataram. Saya
gemetar, kaget dan nervous sehingga tombak itu jatuh ke lantai dan bengkok sedikit.

Pak Amat sudah keluar ruangan ketika peristiwa ini terjadi. Saya shocked dengan
kejadian itu dan saya mencoba meluruskan tombak itu memakai tangan saya. Saya
terkejut ternyata tangan saya bisa dengan mudah dipakai untuk meluruskan tombak
yang terbuat dari besi ini. Rasanya lembut seperti kapas. Selanjutnya saya bertanya
pada Pak Amat, bagaimana dia memperoleh tombak ini.

25
“Dari Eyang Tjokrojoyo melalui eyang Tjokronegoro. Pakde Soegeng bukanlah pewaris
yang sah dari Kabupaten purworejo. Dari Eyang Tjokronegoro diserahkan ke ayah saya
eyang Tjokrokusumo lalu diserahkan lewat ibu saya.”

Kyai Trijoto adalah satu-satunya benda fisik yang menghubungkan Pak Amat dengan
almarhum ayahnya. Itulah sebabnya tombak itu sangat berharga baginya.

Di Jawa jaman dahulu sebuah pusaka memainkan peranan yang sangat penting.
Seorang raja akan memberikan sebilah keris kepada utusannya sebagai tanda
pelimpahan kekuasaan. Bahkan sebilah keris juga bisa mewakili pemiliknya untuk
melaksanakan pernikahan pada saat pengantin pria sedang tidak berada di tempat.

Pada suatu malam, saya sedang tidur di Wonoroto, dalam mimpi saya didatangi oleh
dua orang perempuan. Mereka tidak mengatakan apapun, hanya tersenyum. Esok
harinya saya menceritakan mimpi saya itu kepada pak Amat.

“Tadi malam saya dikunjungi oleh dua orang wanita,”

“Ya, saya tahu. Yang satu namanya Dewi Rantramsari, yang satu lagi Dewi Sinom
Perdopo.” Kata Pak Amat.

“Dari mana Pak Amat tahu ?” Tanya saya.

“Karena mereka juga datang kesini setelah berkunjung ke tempatmu.”

“Dimana tempat tinggalnya Dewi Rantramsari ?” Saya bertanya.

“Dia tinggal di sekitar-sekitar sini.”

“Kalau Dewi Sinom Perdopo ?” Saya terus bertanya.

“Beliau tinggal di Padam Aram. “

“Maksud Pak Amat, Pandan Aran kecamatan sebelah ?”

“Bukan, Padam Aram adalah tempat yang sangat jauh di Timur Tengah. Beliau adalah
pembantu Nabi Sulaeman.”

“Apa tujuan mereka datang kesini ?”

“Mereka bermaksud untuk membantu kamu ?”

26
Saya sangsi dan sulit menerima jawaban beliau. Mana mungkin seorang yang buta
huruf bisa paham geografi daerah di Timur Tengah. Bahkan saya sendiri belum pernah
mendengar ada daerah yang bernama Padam Aram.

Setelah pulang ke Jakarta, pada suatu pagi anak perempuan saya Sri Purwati yang
menikah dengan Haris Hoar dari Inggris datang berkunjung. Haris sedang membaca
sebuah buku. Di buku itu ada gambar peta beserta nama tempat bertuliskan Padam
Aram. Ternyata Pak Amat tidak sedang berkhayal.

Pada suatu hari Pak Amat bertanya pada saya dengan menggunakan bahasa Jawa
halus, “ Menopo panjenengan nate nglumpati segoro ?” (Have you ever jump over the
ocean ?)

“Maksud Pak Amat ?” Saya bertanya balik.

“Apa sampeyan pernah pergi ke seberang lautan dengan naik pesawat terbang ?”

“Oh ya, sudah sering.” Jawab saya.

“Kanjeng Ratu Bagelen memperingatkan bahwa kamu sudah sering lewat di atas
daerah kekuasaannya eyang krakatau tapi kamu tidak pernah minta izin atau memberi
hormat pada beliau. Makanya para leluhur tanah Jawa belum seluruhnya bisa
menerima kamu.

Salah satu leluhur Tanah Jawa berdiam di puncak gunung Krakatau namanya eyang
Krakatau. Kanjeng ratu Bagelen memberi tahu saya bahwa semestinya memberi
hormat pada beliau dengan cara berendam di Lau Jawa pada malam rabu legi.”

Saya memang merasa bahwa sepulang dari Amerika Serikat rejeki saya menjadi seret.
Biaya hidup sekeluarga harus dibantu oleh anak-anak saya. Selama delapan tahun
sepuluh bulan saya benar-benar tidak punya penghasilan.

Tapi setelah saya melaksanakan pesan Kanjeng Ratu Bagelen, nasib saya berubah,
bisnis saya tiba-tiba menjadi lancar. Jadi jelaslah bahwa dengan mengabaikan arwah-
arwah nenek moyang maka kita akan dianggap arogan, dan harus diberikan pelajaran.
Karena pendidikan ajaran agama Islam saya selama ini telah mengabaikan “Dunia
Batin Orang Jawa”. Saya selama ini bahkan tidak menyadari kekuatannya sampai saya
bertemu dengan Eyang Amat Sayuti.

27
Pada suatu saat saya mau membangun pendopo yaitu sebuah ruang terbuka di depan
rumah di Wonoroto, saya menyampaikan rencana itu kepada Pak Amat. Lalu dia
menjawab, “Ooh Saya tidak tahu kalau kamu akan membangun istana. Sebelumnya
kamu bilang hanya akan memperbaiki rumah.”

“Bukan istana, tapi hanya sebuah pendopo, kalau biayanya memungkinkan nanti saya
akan memperbaiki rumah di belakangnya.” Demikian jawab saya.

“Eyang Tjokrojoyo (pendiri kabupaten Purworejo) menyampaikan pada saya bahwa


kamu akan membangun istana, yang lebih baik dari pendopo kabupaten, beliau berkata
‘cucuku akan membangun istana yang lebih baik dari istanaku sendiri’. Kamu beruntung
beliau tidak merasa tersaingi bahkan ikut gembira dengan pembangunan istana
tersebut. Dan kamu mendapat restunya. Bahkan Kanjeng Ratu Bagelen juga ikut
merestui.”

Sebelumnya rencana awal hanya sekedar membangun pendopo sederhana dengan


atap jerami, tetapi dalam perkembangannya ternyata yang terjadi saya justru membuat
pendopo yang sangat bagus dan megah. Selanjutnya pendopo itu dipakai sebagai
tempat pertemuan para arwah raja dan ratu serta orang-orang penting lainnya. Inilah
istana sesungguhnya dalam dunia batin orang Jawa.

Seperti sudah diramalkan oleh eyang Tjokrokusumo, tidak ada anak keturunan Pakdhe
Soegeng yang menjadi bupati. Setelah beliau pensiun maka selanjutnya Bupati
Purworejo dijabat oleh orang lain yang berada diluar garis keluarga.

Tapi eyang Tjokrojoyo masih tetap memperhatikan kabupatennya. Kalau dia tidak suka
dengan bupatinya maka bupati akan diganggu oleh beliau, seperti misalnya
memindahkan bupati yang sedang tidur dari kamar tidur ke kandang kuda.

Bapak kartohardjo salah seorang Bupati bercerita kepada saya bahwa pada suatu saat
dia mendapat tugas ke Jakarta, ternyata tugasnya cukup lama sehingga tidak sempat
mengikuti acara sesajen di Purworejo pada malam Jumat Kliwon. Sewaktu kembali ke
Purworejo di rumahnya sudah ada telegram dari mentri dalam negri yang menyatakan
bahwa dia diberhentikan sebagai bupati.

Bupati Suharto, bekas murid saya di Akademi kementrian dalam negri (IPDN), hanya
berada di kantor kabupaten pada hari-hari kerja saja. Di hari-hari lain beliau tinggal di
rumah biasa di luar dinding kabupaten.

Saya pernah berjumpa dengan arwah dari eyang Tjokrojoyo. Dia benar-benar kelihatan
sebagai seorang yang kuat dan perkasa. Saya sama sekali tidak bermaksud untuk
menyaingi beliau.

28
Suatu hari, pada saat pada saat pembangunan pendopo sedang berlangsung, saya
menengok Pak Amat di rumahnya di desa Tangkisan. Wajahnya kelihatan pucat dan
sangat lemah.

“Aku merasa sangat lemah dan tidak berdaya, tulang-tulangku seperti dilolosi.” Kata
Pak Amat.

“Kenapa ?”

Dia membawa saya ke ruang tempat penyimpanan pusaka. Disana saya melihat bekas
bakaran kemenyan yang sebelumnya mencapai tinggi satu meter ternyata sudah patah
menjadi tiga bagian. Selama bertahun-tahun beliau rajin membakar kemenyan dan
sekarang runtuh menjadi tiga potong.

“Hari ini adalah hari-hari terakhirku, tadi malam Eyang Bagawan Mayangkoro datang
kesini dan menendang kemenyan itu dengan kakinya sampai hancur. Dia berpesan
kuburkanlah bagian tengah dari kemenyan ini di bawah pendopo yang sedang kamu
bangun. Sejak saat ini pendopo mu akan digunakan sebagai tempat berkumpulnya
arwah para leluhur Pulau jawa.”

“Aku sudah melihat hari-hari terakhir hidupku akan segera tiba. Aku akan mati sebentar
lagi,” Kata Pak Amat.

“Tidak,” saya berkata, “Pak Amat belum akan mati. Kami masih memerlukan Pak Amat
disini.

Sekalipun badannya lemah tapi Pak Amat tetap memaksa dirinya pergi ke Wonoroto.
Lalu dia mengubur bagian tengah dari sisa bakaran kemenyan itu tepat di tengah-
tengah lantai pendopo.

Malam harinya saya bertanya kepada beliau, “Siapakah Eyang Bagawan Mayangkoro
itu ?”

“Beliau adalah Hanuman,” Jawab Pak Amat.

Dia pasti sedang bergurau, karena saya mengira Hanuman adalah tokoh rekaan yang
hanya ada dalam cerita wayang.

Pak Amat menjelaskan, “Sewaktu masih muda, Hanuman adalah senapati yang sangat
sakti, yang selalu menolong raja-raja yang sedang berjuang menegakkan kebenaran.
Dia adalah pelindung bagi siapa saja yang menerima cahaya dari Batara Wishnu.
Setelah beranjak sepuh, maka Hanuman membaktikan dirinya sepenuhnya sebagai
pemelihara kesejahteraan dan kemakmuran di alam gaib. Beliau sekarang menjadi

29
pertapa dan digelari Eyang Bagawan Mayangkoro. Sekarang beliau masih ada di
sekitar kita, Pendopomu itu sesungguhnya adalah proyek beliau.”

“Kapan Pak Amat bertemu Eyang Bagawan Mayangkoro untuk pertama kalinya ?”
Tanya saya.

“Waktu itu saya masih berumur enam tahun. Salah satu putri dari Susuhunan
Surokartohadiningrat yaitu Sunan Pakubuwono ke X jatuh sakit, matanya buta. Orang
tuanya sangat sedih dan melakukan laku prihatin. (puasa dari makan, minum dan seks)
sampai suatu saat mereka mendengar suara yang tanpa wujud, yang mengatakan
bahwa yang bisa menyembuhkan penyakit sang putri adalah anak yatim umur enam
tahun yang sekarang tinggal di Purworejo, namanya Amat Sayuti.”

Lalu Kanjeng Sunan memanggil Pakdhe Soegeng yang menjabat sebagai Bupati
Purworejo untuk mencari anak yatim yang dimaksud. Saya pun dikirim ke kraton
Surokarto Hadiningrat.

“Saya tidak tahu harus berbuat apa, malam-malam saya berjalan sendiri di alun-alun
depan istana. Tiba-tiba saya melihat pohon beringin yang berada di tengah alun-alun
merunduk ke arah saya. Rupanya Eyang Hanuman yang membengkokkan pohon
tersebut sambil menyuruh saya mengambil daun-daun dari batangnya. Rebuslah daun-
daun itu lalu airnya diminumkan kepada kanjeng putri yang sedang sakit.”

“Penyakit apa yang membuat tuan putri jadi buta matanya ?” Tanya saya.

“ Ooh itu semacam kutukan karena tuan putri pernah berbuat salah,” Jawab Pak Amat.

Saya masih ragu dan belum bisa menerima cerita beliau tentang Hanuman. Tapi pada
saat saya pulang kembali ke Wonoroto, anak saya Laksmonosusilo sakit, menggigil
kepanasan gemetaran sambil menunjuk-nunjuk ke atap pendopo.

“Ada apa ?” Tanya saya.

“ Ada monyet raksasa warnanya putih. Awalnya aku melihat ekornya menggantung, lalu
kelihatan badannya. Dia bergantungan dia tengah-tengah atap pendopo.”

Tampaknya tokoh-tokoh dalam cerita wayang kulit bukan hanya sekedar rekaan belaka.
Tapi wayang (bayangan) dari kenyataan yang terjadi di alam gaib. Tidak heran kenapa
cerita wayang sampai saat ini masih bisa bertahan sekalipun umurnya sudah mencapai
ribuan tahun.

Tokoh wayang lainnya yang sering terlihat oleh orang jawa di alam gaib adalah Semar.
Dalam cerita wayang, Semar adalah pelayan setia dari para ksatria Pandawa. Tapi dia
juga dikenal sebagai Sang hyang Ismaya. Saat ini Semar sering terlihat menampakkan
30
diri di Pulau Jawa. Sekelompok orang penganut kebatinan pernah memperlihatkan poto
Semar kepada saya. Pemimpin kelompok itu meminta Ki Semar untuk difoto, ternyata
gambar di fotonya mirip dengan tokoh Semar dalam cerita wayang, hanya saja yang di
foto penampakan 3 dimensi tidak tipis seperti wayang kulit.

Di suatu malam Pak Amat mengajak saya untuk kungkum lagi sesuai dengan perintah
dari Kangjeng Ratu Bagelen. Kali ini di tempuran antara Kali Bogowonto dan Kali Jali
dekat rumah Pak Amat. Kungkum saya yang pertama dahulu adalah di tempuran antara
kali Bogowonto dan Kali Mongo.

Maka pada malam Jumat Kliwon, saya bersama anak saya Laksmonosusilo dan Lurah
Subroto Tirtowiranu mengadakan upacara kungkum dengan dipandu olehPak Amat
Sayuti. Sekarang saya merasa lebih nyaman dan lebih mudah. Setelah kungkum kami
kembali ke rumah dan ngobrol-ngobrol sebentar. Saya mohon pamit untuk kembali ke
Jakarta. Pak Amat memegang tangan saya seperti enggan berpisah. Saya ulang lagi
mohon pamit sampai tiga kali. Barulah dia melepaskan tangan saya.

Dua malam setelah saya sampai di Jakarta, Laksmonosusilo menelepon saya, “Pak
Amat baru saja berpulang.”

Waktu itu tahun 1986, saya segera mengajak kakak saya Erdy pulang ke Yogyakarta
dengan pesawat terbang lalu naik taksi ke Purworejo. Banyak orang datang di rumah
Pak Amat untuk menyampaikan hormat. Jenazahnya dibaringkan dalam keadaan siap
untuk dikubur. Cucu angkat nya memberikan sesuatu bungkusan kepada saya yang
dibungkus oleh kain batik.

“Eyang berpesan untuk menyerahkan seluruh pusakanya kepadamu, Menurut beliau


Cuma Mas Prio yang cukup kuat untuk memeliharanya.”

Saya merasa beruntung bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa telah berkenan
mempertemukan saya dengan pak Amat. Kalau tidak maka pengetahuan, pengalaman
dan segala kebijaksanaannya tentang dunia batin orang Jawa akan hilang seiring
dengan kematiannya.

Pak Amat tidak pernah bicara tentang hal-hal kebatinan kepada tetangga-tetangganya
atau kepada siapapun. Mereka tidak akan bisa mengerti. Pak Amat bermaksud
meneruskan pengetahuannya kepada saya karena saya sudah mengalami pembukaan
oleh Pak Subuh dan penglihatan batin saya juga sudah berkembang. Sehingga saya
juga bisa mengalami dan menyaksikan apa-apa yang beliau ceritakan. Kalau
diceritakan pada orang lain mungkin Pak Amat akan disangka orang gila. Atas
kehendak Tuhan Kami bisa bersama selama seribu hari sebelum kematiannya.

Saya merasa sangat kehilangan. Untunglah hubungan dan komunikasi di antara kami
berdua tidak terputus karena kematiannya. Ketika saya sedang berada di Amerika
31
Serikat, beliau mendatangi saya dan membawa saya melakukan perjalanan spiritual ke
Jawa Tengah. Saya diperkenalkan dengan arwah dari Sultan hamengku Buwono ke V
di Yogyakarta. Sultan tinggal di sebuah tempat yang sejuk dan sepi di dekat air terjun
Kaliurang di lereng gunung Merapi. Beliau memberitahu saya bahwa Ibu saya masih
memiliki garis keturunan yang sama dengan beliau.

Kunjungan berikutnya oleh Pak Amat terjadi pada tanggal 26 januari 1989, waktu itu
saya sedang tidur di rumah saya di Virginia Amerika Serikat. Dia bertanya apakah mau
ikut jalan-jalan bersamanya ke Tanah Jawa. Kami pergi ke puncak gunung Slamet di
Jawa Tengah. Disana saya diperkenalkan dengan arwah Ki Ageng Selo yang
memberitahukan bahwa beliau juga masih merupakan leluhur saya.

Ki Ageng Selo dikenal dengan kekuatan supranaturalnya. Waktu itu beliau hanya
mengenakan celana sedengkul sambil bertelanjang dada. Wajahnya jauh dari kesan
seram atau mengerikan tapi justru ramping dan tampan seperti peragawan. Wajahnya
klimis tidak berkumis dan tidak berjanggut. Rambutnya dipotong pendek. Matanya
sedikit sipit seperti mata saya dan mata ibu saya.

Mata sipitnya mengingatkan saya pada percakapan yang pernah saya dengar antara
ibu dan bibi saya waktu saya masih kecil. Kebanyakan dari keluarga kami matanya
memang agak sipit. Konon salah satu leluhur kami berasal dari Campa atau Kamboja
sekarang. Salah satu leluhur kami tidak lain adalah Raden Rahmat.

Ibunda dari Raden Rahmat adalah anak Sultan Campa yang berkuasa sekitar abad ke
15. Sultan adalah penganut agama Islam yang taat. Ayah Raden Rahmat seorang
saudagar Arab. Bibi Raden Rahmat yang bernama putri Dhorowati adalah istri dari Raja
Kertawijaya yaitu salah satu dari raja Kerajaan Majapahit (1447 – 1451). Raden Rahmat
dididik dengan ajaran Islam sejak kecil. Pada umur dua puluh tahun beliau sangat ingin
pergi merantau ke Jawa untuk mengunjungi bibinya. Setelah mendapat persetujuan
dan restu dari orangtua maka Raden Rahmat yang sudah sangat menguasai ajaran
Islam pergi merantau ke pulau jawa. Bibinya sangat gembira menerima beliau, dan
mohon ijin pada suaminya agar Raden Rahmat diperkenankan menetap di pulau jawa.
Oleh Baginda Raja Raden rahmat dianugerahi suatu wilayah di daerah Ampel Denta
beserta 3000 rumah tangga yang akan menjadi rakyatnya.

Raden Rahmat juga diperkenankan mengajar agama Islam. Lalu dia membuat sebuah
pesantren yang selanjutnya menjadi pusat penyebaran agama Islam di pulau Jawa.
Raden Rahmat dikenal dengan sebutan Sunan Ampel. Sunan adalah gelar untuk wali
atau orang suci. Pada tahun 1450 Raden Rahmat menikah dengan Nyai Manilo,
seorang perempuan bangsawan dari Tuban. Darah Campa yang mengalir dalam tubuh
saya melalui garis ibu berasal dari Eyang Sunan Ampel.

32
Saya heran kenapa seorang yang sangat tampan dan ramping seperti Ki Ageng Selo
bisa mempunyai kekuatan yang sedemikian dahsyat. Tapi sejenak kemudian dengan
mata batin saya bisa melihat ada api yang menyala-nyala di dalam dada Ki Ageng Selo.

Jaman dahulu di Jawa banyak orang Jawa yang bisa mengembangkan kekuatan
supernaturalnya. Dengan menguasai dan mengolah esensi tanah maka kita bisa
menguasai “Aji-aji Bandung Bondowoso”, yang membuat seorang manusia sanggup
mengguncangkan atau memindahkan gunung. Menurut Pak Subuh Panembahan
Senopati memiliki kekuatan ini. Dengan menguasai dan mengolah esensi air maka kita
akan dapat menguasai “Aji-aji Siluman” yaitu bisa menghilang atau tidak kelihatan oleh
orang lain.

Sekali waktu Pak Amat mengajak saya mengunjungi sebuah kuburan. Kuburan Eyang
Betitit yang juga merupakan salah satu leluhur kami. Dinamakan Eyang betitit karena
dia bisa menghilang. Dengan menguasai dan mengolah esensi angin atau udara maka
kita bisa berjalan secepat angin (Aji-aji Sapu Angin) . Dengan menguasai dan mengolah
esensi api maka kita bisa melempar bola api ke arah musuh (Aji-aji gelap ngampar).
Cukup dengan suaranya saja yang menggelegar maka orang yang menguasai aji gelap
ngampar bisa membunuh musuhnya.

Di masa lalu, ketika pertarungan dilakukan secara duel satu lawan satu maka orang
Jawa mengembangkan kemampuan supernaturalnya. Sekarang masih ada juga bekas-
bekasnya misalnya ada yang bisa berjalan di atas api, tapi hal ini masih sangat
mendasar apabila dibanding dengan kemampuan Ki Ageng Selo.

Saat ini manusia sudah bisa membangkitkan energi yang terdapat dalam benda-benda
misalnya energi nuklir. Di masa lalu orang Jawa juga bisa melakukan hal yang sama
melalui kekuatan batinnya.

Arwah-arwah dari orang yang memiliki kekuatan supranatural ini masih tinggal di bumi
karena kekuatan tersebut dicapai melalui keinginan yang kuat dan disiplin yang tinggi,
untuk dapat meninggalkan alam dunia dan kembali kepada Tuhan maka yang harus
dilakukan adalah berpasrah diri yaitu menyerahkan segala kehendak kita kepada
kehendak Tuhan.

Saya diperkenalkan dengan leluhur dari garis ibu saya oleh Bapak Amat Sayuti atau
Raden Mas Suryosuwarno. Pada suatu malam Pak Subuh datang kepada saya dan
memberitahu bahwa ayah saya adalah keturunan dari Sunan Kalijogo yang merupakan
keturunan dari Syaikh maulana Maghribi atau Kyai Ngatas Angin artinya Kyai yang
datang dari seberang lautan. Syaikh maulana Maghribi adalah keturunan dari Syaikh
AbdulKadir Jaelani sedangkan Syaikh AbdulKadir Jaelani adalah keturunan dari Nabi
Muhammad SAW.

33
Pertemuan saya yang pertama dengan arwah dari Sunan Kalijaga di alam gaib terjadi di
Malang pada tahun 1958. Dia datang menemani Pak Subuh. Beliau memakai jubah
hitam. Saya tidak tahu siapa beliau. Ketika saya bertanya kepada Pak Subuh, beliau
menjawab bahwa itu adalah Sunan Kalijaga.

Yang kedua kalinya ketika saya diajak Pak Subuh menemani beliau dalam pertemuan
para wali di alam gaib. Kami duduk dalam suatu kelompok kecil para wali Pulau Jawa.
Pak Subuh sedang berceramah. Tampaknya sekarang Sunan Kalijaga justru belajar
kepada Pak Subuh sekalipun sebelumnya Sunan Kalijaga yang mengajari Pak Subuh.
Saya tidak bisa menyampaikan apa yang diuraikan oleh beliau.

Saya juga bertemu dengan arwah dari Syaikh Abdulkadir Jaelani. Beliau menjelaskan
bahwa ayah saya masih keturunannya. Setelah memahami hal ini baru saya paham
mengapa Raja-Raja Mataram menggunakan gelar “Senopati Ing Ngalogo” (Panglima
peperangan) “Sayidin Panotogomo” (Keturunan Nabi Muhammad yang mengatur
perkara agama). Ternyata antara Ayah dan Ibu saya garis keturunannya saling
bersilang beberapa kali.

Pak Subuh adalah orang yang membimbing saya untuk menempuh jalannya para nabi.
Saya percaya bahwa apa yang sudah saya capai dan saya terima memotivasi para
arwah leluhur untuk mendekat kepada saya. Mereka perlu jalan untuk melepaskan diri
dari belenggu duniawi ini.

Saya berdoa dan berharap semoga saya bisa menjadi jalan untuk membantu mereka.
Amiiin.

Jalan kenabian adalah cara yang diberikan Tuhan kepada orang-orang pilihannya.
Daya Ketuhanan itulah yang mampu mengubah seorang nabi sehingga dia sanggup
menerima bimbingan dan petunjuk dari Tuhan. Para nabi kemudian melanjutkan pesan-
pesan tersebut kepada umatnya dalam bentuk ajaran agama. Tapi para nabi tidak tidak
bisa mengubah pengikutnya karena hanya kehendak Tuhan yang kuasa untuk
melakukannya.

34
BAB 4 Alam Gaib

Pengalaman pertama saya berhubungan dengan alam gaib terjadi Yogyakarta pada
tahun 1946. Waktu itu saya masih berusia 16 tahun.

Ketika terdengar berita bahwa Jepang sudah menyerah kepada sekutu, maka
Indonesia melalui Sukarno Hatta memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17
Agustus 1945. Sialnya tentara Belanda ternyata segera datang kembali ke Indonesia
dengan membonceng tentara sekutu. Hal ini memicu terjadinya perang yang sengit
antara bangsa Indonesia yang menghendaki kemerdekaan dengan bangsa Belanda
yang berusaha untuk menjajah kembali. Akan tetapi rupanya sejarah berpihak pada
bangsa kita. Kelihatannya kutukan dari Syaikh Siti Jenar sudah berakhir. Sekeras
apapun usaha yang dilakukan Belanda mereka tidak berhasil menjajah kembali negeri
kita.

Pada saat terjadi perang mempertahankan kemerdekaan, ibukota Republik untuk


sementara pindah dari Jakarta Ke Yogyakarta. Keluarga kami juga pindah semua ke
Yogya tepatnya pada kwartal terakhir tahun 1946.

Beberapa minggu setelah pindah ke Yogya, saya jatuh sakit terserang malaria. Ketika
sakit inilah, saya tidak bisa tidur selama empat puluh hari empat puluh malam. Rupanya
tidak tidur ini yang menyebabkan penyakit saya berangsur-angsur sembuh. Selama
masa penyembuhan saya merasa seperti orang yang terlahir kembali, menjadi manusia
baru. Saya merasa sangat ringan dan bahagia. Pikiran saya jernih dan cerdas dan saya
merasa begitu dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa. Saya tidak merasa ngantuk
ataupun lelah. Pada masa ini pula saya mulai melihat hal-hal yang tidak pernah saya
saksikan sebelumnya, yaitu alam gaib.

Suatu hari di akhir tahun 1946, saya sedang duduk di teras rumah paman saya, Pakdhe
Suratman. Di jalan Tugu Kulon Yogyakarta. Saya melihat iring-iringan kereta kencana
lewat di depan rumah. Kereta yang pertama ditarik oleh delapan kuda putih kembar,
yang kedua oleh delapan kuda abu-abu, yang ketiga oleh delapan kuda berwarna
coklat kemerahan dan yang terakhir oleh delapan kuda hitam. Selain kusir, di belakang
masing-masing kereta itu ada dua penjaga dengan pakaian yang seragam yang warna-
warni. Sedangkan di dalam kereta kelihatan ada sepasang pangeran dan putri memakai
busana khas bangsawan Jawa jaman dulu yang sedang duduk dengan takzim.
Mereka seolah-olah mengenal saya, karena melihat menatap ke arah saya dan
tersenyum bahkan menganggukkan kepala.

Iring-iringan disertai dengan hujan badai yang sangat deras. Tetapi begitu mereka lewat
maka cuaca pun kembali tenang seperti semula, yang tersisa Cuma gerimis dan hujan

35
rintik-rintik. Pada saat rombongan kereta itu lewat, lalu lintas berjalan seperti biasa,
saya masih bisa melihat orang-orang berjalan, sepeda, becak, mobil dan andong.

Saya juga merasa bahwa prosesi kereta kencana itu tidak sungguh-sungguh ada di
alam fisik, melainkan ada di alam gaib yang tidak terlihat oleh mata biasa. Beberapa
waktu kemudian setelah kejadian itu baru saya mendengar kabar ternyata kandang
kuda di keraton Yogyakarta kosong melompong. Semua kuda-kudanya diambil oleh
tentara Jepang. Pasangan bangsawan yang mengendarai kereta kencana adalah
arwah dari raja dan ratu Jawa yang terdahulu.

Saya ingat suatu hari waktu masih kecil, saya berjalan bersama nenek di halaman dan
melihat ayam-ayam yang ada disitu tiba-tiba serentak berdiri melihat ke satu arah yang
sama seolah-olah ada orang yang lewat. Ayam-ayam mengeluarkan suara yang sama.
Nenek saya yang kemudian berkata bahwa ada makhluk halus yang numpang lewat.

Setelah peristiwa itu saya cukup sering melihat ayam-ayam tiba-tiba serentak berdiri,
melihat ke arah yang sama sambil berkotek-kotek. Bertahun-tahun kemudian setelah
penglihatan batin saya berkembang sedemikian rupa maka saya juga bisa melihat
makhluk-makhluk halus itu yang sekalipun tidak bisa dilihat dengan mata biasa tapi
benar-benar ada di alam gaib.

Sebagai contoh, pada tahun 1958, waktu itu saya masih tinggal di Malang Jawa Timur,
sekitar jam 3 pagi, saya mendengar ayam-ayam berkotek-kotek di halaman belakang,
suaranya berisik. Saya membuka pintu belakang untuk melihat apa yang terjadi. Begitu
saya membuka pintu, saya melihat ada makhluk halus sedang berdiri di depan pintu
atau tepatnya melayang karena kakinya tidak menginjak tanah. Wujudnya berupa
pocong yaitu mayat yang masih terbungkus oleh kain kafan. Sebelumnya saya mengira
pocong itu hanya ada dalam cerita saja, tapi sekarang saya baru menyadari bahwa
pocong memang benar-benar ada. Makhluk halus itu kelihatan terkejut dan ketakutan
ketika melihat saya, padahal sayapun sama. Sama-sama terkejut dan takut. Dengan
suara yang mendirikan bulu roma tak lama kemudian pocong itupun seperti terbang
pergi entah kemana.

Kenapa ayam bisa menyadari kehadiran makhluk halus itu sedangkan manusia tidak ?
Pada binatang, diri yang di dalam terhubung dengan diri yang diluar, ruh hewaniyah
terhubung dengan jasmani yang juga hewan. Sedangkan manusia sekalipun badannya
manusia tapi jiwa sudah mengalami penurunan menjadi ruh kebendaan yang
menyebabkan mereka terjebak dalam sifat materialis, individualis dan egois.

Hal ini pula yang menjelaskan kenapa dalam masyarakat modern kita sering membaca
di koran atau menyaksikan di televisi ada perampok yang tega merampok dengan
membunuh korbannya sekedar untuk merebut barang yang dimiliki sang korban. Bagi
orang yang dikuasai oleh nafsu kebendaan maka benda-benda yang bersifat material
baginya lebih penting daripada manusia.
36
Ada gunung berapi yang masih aktif, letaknya sekitar 50 km sebelah utara Yogyakarta
yang dinamakan gunung Merapi. Jaman dahulu penduduk desa belajar dari perilaku
hewan menjelang letusan gunung Merapi. Apabila tikus, semut, kijang, harimau serta
hewan-hewan lainnya mulai turun gunung maka itu berarti akan terjadi letusan.
Penduduk yang tinggal di lereng-lereng gunung atau di kaki gunung akan mengikuti
pergerakan hewan. Tapi kalau pergerakan hewan ini terjadinya di malam hari maka
orang-orang yang nalurinya sudah mati (terpengaruh oleh daya kebendaan) tidak akan
merasakan peringatan apapun, mereka tetap saja tidur nyenyak di bawah selimut.
contoh fenomena lainnya tikus-tikus akan meninggalkan kapal pada saat sebuah kapal
akan tenggelam.

Sebelum saya melihat iring-iringan kereta kencana pada tahun 1946, Yogyakarta
diserang oleh wabah penyakit menular. Mengerikan sekali melihat orang mati disana-
sini seperti daun kering berjatuhan. Tetangga saya banyak yang mati. Pagi sakit sore
mati, sore sakit paginya mati.

Setelah ribuan orang meninggal, Sultan Yogyakarta mengadakan semacam upacara


membawa pusaka kerajaan yang paling sakti yaitu Kanjeng Kyai Tunggul Wulung pawai
keliling kota. Kyai Tunggul Wulung adalah pusaka yang berbentuk bendera, beserta
pusaka-pusaka lainnya berupa keris dan tombak diiringi para prajurit keraton, abdi
dalem dan kelompok drum band. Pawai ini dilaksanakan malam hari dan memberikan
satu pertunjukan dan pemandangan yang sangat indah. Para arwah raja dan ratu yang
sudah meninggal ikut serta dalam pawai tersebut. Keesokan harinya wabah penyakit
menular pun lenyap.

Kebanyakan orang hanya dapat melihat tampilan luarnya saja dari peristiwa ini. Mereka
menyaksikan benda-benda pusaka diarak keliling kota lalu wabah menghilang. Mereka
tidak tahu apa yang terjadi di sebaliknya yaitu yang terjadi di alam gaib. Kekuatan
spiritual dari para raja dan ratu yang sudah berpulang itulah yang sesungguhnya
mengusir wabah penyakit menular itu sebagai jawaban dari doa yang dipanjatkan oleh
anak keturunannya.

Bagaimana ceritanya sehingga leluhur para raja Jawa itu bisa mengusir wabah penyakit
menular ? Sekalipun saya bisa melihat para raja dan ratu yang berpawai tapi saya tidak
mendapat petunjuk bagaimana mereka melakukan hal tersebut. Beberapa tahun
sesudahnya barulah saya memahami bahwa wabah itu dibawa dan disebarkan oleh
makhluk gaib juga. Para leluhur pulau Jawa yang tinggal di alam gaib bisa melihatnya
dan merekalah yang bertempur untuk mengusirnya.

Pada tahun 1958, waktu itu saya tinggal di Kota Malang, Jawa Timur, saya baru saja
sampai ke rumah setelah melakukan perjalanan ke Jakarta. Saya tiba di rumah malam
hari. Ketika masuk ke kamar, anak saya Sri Purwati dan Martono sedang tidur bersama
ibunya. Keduanya sedang menderita sakit cacar air. Begitu membuka kelambu tampak
sesosok makhluk halus yang melompat keluar dari badan Sri Purwati lalu masuk ke
37
badan istri saya Rukmiwati. Keesokan harinya Rukmiwati juga menderita cacar air.
Tampaknya makhluk halus itu pertamakali menyerang Martono, lalu Sri Purwati dan
kemudian Rukmiwati.

Di Jambi waktu itu tahun 1963 saya sedang memberikan kuliah di fakultas hukum di
universitas setempat, pada suatu malam saya melihat ada makhluk halus raksasa
muncul dari sungai Batanghari. Makhluk halus ini memakai jubah kuning dan kepalanya
botak. Saya mendengar suara dari dalam diri saya sendiri, bahwa makhluk ini datang
dari Laut Cina dan bermaksud menyebarkan wabah penyakit kolera. Keesokan harinya
saya bertamu ke rumah seorang dokter, ternyata benar, pada saat kami sedang duduk-
duduk di teras datang serombongan penduduk dari tepi sungai Batanghari. Mereka
meminta Pak dokter untuk datang ke ke desa mereka, karena penyakit kolera mulai
mewabah disana.

Seorang dokter bisa menemukan penyebab fisik dari suatu penyakit seperti bakteri,
virus dan lain-lain. Tapi mereka tidak tahu bahwa ada makhluk halus yang membawa
dan menyebarkan penyebab penyakit itu kepada masyarakat.

Dalam sejarah kerajaan-kerajaan Jawa di masa lampau, kalau rakyat mengalami


bencana seperti kelaparan, wabah atau bencana alam lainnya, maka raja dan ratu akan
melakukan “prihatin” yaitu puasa dari makan, minum dan seks serta kesenangan
lainnya semata-mata untuk memohon pertolongan kepada Tuhan. Sedangkan raja dan
ratu yang pekerjaannya hanya bersenang-senang saja maka mereka tidak berada
dalam posisi untuk menolong rakyatnya. Sebaliknya mereka justru bisa menyebabkan
malapetaka yang lebih besar.

Manusia punya kebebasan memilih untuk menjadi orang baik atau orang jahat, untuk
menjadi orang yang mulia atau orang hina. Melalui perbuatannya sendiri, manusia
bahkan bisa menjerumuskan dirinya pada pengaruh daya kebendaan. Tapi mereka juga
bisa membina dirinya menjadi makhluk yang lebih mulia, yang penglihatannya lebih
baik daripada binatang, dan bahkan bisa melihat jauh ke masa depan, menerima visi
apa yang akan terjadi ratusan tahun mendatang.

Sangat menarik bahwa setelah saya menulis bab ini pada tanggal 12 Februari 1987,
Presiden Ronald Reagan di depan para siswa sekolah menengah bercerita tentang
pengalamannya bertemu hantu di gedung putih. Beliau sudah pernah mendengar cerita
dari banyak orang bahwa arwah dari presiden Lincoln sesungguhnya masih berdiam di
gedung putih. Presiden Reagan sendiri belum pernah bertemu. Tapi suatu malam
anjingnya menyalak ke arah ruangan kerja presiden Lincoln lalu berhenti di depan pintu.
Presiden Reagan beranjak dan membukakan pintu mengira bahwa anjingnya ingin
masuk ke ruangan itu. Tapi anjing itu hanya berdiri saja, menatap ke dalam ruangan
tapi tidak mau masuk. Peristiwa ini disiarkan dalam acara TV USA TODAY pada saat
saya sedang berada di New York.

38
Bab 5 Hidup Sesudah Mati

Setelah membaca bab-bab di atas , barangkali banyak diantara para pembaca yang
bertanya-tanya apa yang terjadi pada seorang manusia setelah yang bersangkutan
meninggal dunia.

Diri manusia terdiri dari dua bagian yaitu yang bersifat abadi dan yang bersifat
sementara.

Yang abadi adalah jiwa. Disebut abadi, karena jiwa ini sesungguhnya sudah ada
sebelum manusia lahir ke dunia dan akan tetap ada selama mereka hidup di dunia dan
akan terus ada setelah manusia meninggal dunia.

Bagian yang sementara terdiri dari organ fisik berupa badan jasmani dan organ mental
berupa keinginan, intelektual, gairah, emosi dan lain-lain, singkatnya pikiran dan
perasaan. Sekalipun organ mental ini bukan materi, tetapi sifatnya tetap hanya
sementara. Akan hancur pada saat manusia mati. Bahkan organ mental ini bisa juga
hancur pada saat manusia masih hidup, misalnya pada orang yang mengalami
kepikunan.

Ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi setelah seseorang meninggal dunia.

Kemungkinan pertama, orang baik-baik yang menjalani hidup secara normal, akan
tetapi mereka tidak beruntung karena tidak menerima pencerahan berupa kontak
dengan cahaya Tuhan sehingga jiwanya tidak berpeluang untuk tumbuh, sebab hanya
dengan kemurahan Tuhan jiwa seseorang bisa tumbuh dan berkembang. Kalau orang
tersebut mati maka badannya akan hancur, jiwanya (ruh) yang masih dalam bentuk biji
yang belum tumbuh akan dilepaskan dari kurungannya dan kembali ke tempat asalnya.
Jiwa-jiwa semacam ini mungkin akan turun lagi ke alam dunia melalui suatu hubungan
seksual. Inilah yang dinamakan reinkarnasi.

Kemungkinan kedua, orang-orang yang selama hidupnya di dunia nafsunya kuat.


Misalnya orang-orang yang nafsu serakahnya besar. Sekaya apapun mereka tetap saja
mereka tidak puas. Sebesar apapun kekuasaannya mereka masih ingin terus tambah
berkuasa. Untuk mencapai keinginannya itu mereka bekerja sangat keras. Pikiran dan
tenaganya dipicu terus menerus sampai melewati batas. Sebagai akibatnya organ
mental mereka menjadi sangat kuat. Apabila mereka mati tanpa mengalami kontak
dengan cahaya Tuhan maka badan mereka akan hancur sedangkan organ mentalnya
akan mengalami kristalisasi sehingga tidak ikut hancur. Sementara itu jiwanya yang
belum tumbuh (masih berbentuk biji) terperangkap di dalam organ mentalnya sehingga
tidak bisa kembali ke tempat asalnya. Arwah dari orang yang semacam ini akan terus

39
bergentayangan di alam dunia, terperangkap dan terpenjara oleh organ mentalnya.
Dalam bahasa yang populer, mereka dinamakan makhluk halus.

Jadi tentu saja saat ini sebenarnya banyak makhluk halus semacam itu di alam dunia
ini, tetapi mereka tidak terlihat oleh mata biasa. Mereka hidup bermasyarakat seperti
kita. Yang lebih besar dan lebih kuat menjadi pemimpin semnetara yang lebih kecil dan
lemah menjadi pengikut atau rakyat biasa. Mereka juga punya raja dan ratu, yang
kekuasaannya mirip-mirip dengan yang ada di dunia kita saat ini. Bahkan mereka juga
dalam batas-batas tertentu bisa ikut campur dengan urusan manusia yang masih hidup.

Sebagai contoh pada tahun 1958 waktu itu saya tinggal di Surabaya Jawa Timur, pada
suatu malam datanglah seorang pria minta bantuan kepada saya. Namanya Hasan,
anaknya sembilan. Dia bercerita bahwa selama beberapa tahun terakhir ini dia
mengalami nasib buruk. Setiap tahun anaknya mati satu. Sejauh ini, sudah empat
anaknya yang meninggal. Dia bertanya barangkali saya bisa menolongnya. Saya
merasa kasihan dan segera melakukan testing untuk memohon petunjuk apa akar
masalah yang sebenarnya. Saat itu juga saya merasakan getaran adanya makhluk gaib
yang sangat kuat dan sedang marah. Saya tergerak untuk menolong dan memutuskan
untuk ke rumahnya besok supaya bisa menelusuri dan menemukan sumber getaran
tersebut.

Saya mengajak dua teman saya, mereka anggota Subud juga. Kami tiba di rumahnya
lewat tengah malam. Saya terus menjaga supaya tetap bisa merasakan getarannya
sehingga mudah untuk ditelusuri. Begitu kami masuk ke rumahnya getarannya semakin
kuat. Saya jadi yakin bahwa makhluk halus benar-benar tinggal di rumah ini.

Selanjutnya getaran ini membawa kami ke kamar tidur anak-anak. Mereka sedang tidur
lelap. Saya melihat ada sebuah benda yang menempel di dinding terbungkus oleh kain
hitam. Benda inilah rupanya tempat tinggal dari makhluk halus tersebut. Sejenak
kemudian saya tidak hanya sekedar merasakan getarannya tetapi benar-benar melihat
wujudnya yang kelihatan ganas dan penuh dengan amarah.

Saya bertanya pada Hasan benda apa itu. Hasan menjawab bahwa itu adalah sebilah
belati yang usianya sudah sangat tua. Ketika saya meminta Hasan untuk
menurunkannya, rupanya makhluk itu semakin marah dan menyerang kami sejadi-
jadinya. Tiba-tiba terasa ada angin kencang bertiup menghantam Kusumo Sutanto
teman saya seorang perwira angkatan laut. Dia hampir jatuh dan sangat terkejut.

Dalam keadaan pucat pasi, terasa badan Kusumo Sutanto merinding dan dingin. Untuk
di sudah menjalani pembukaan di Subud, kalau tidak maka akibatnya akan lebih fatal.
Saya meminta Hasan untuk “nglarung” atau membuang benda pusaka itu ke sungai.
Hasan tidak berani melakukannya. Teman saya yang satunya lagi Darmosewoyo yang
sudah sepuh bersedia melakukannya untuk Hasan.

40
Sejak saat itu keluarga tersebut terbebas dari ancaman. Mereka hidup aman dan damai.
Siapapun yang meyimpan sesuatu pusaka tetapi tidak bisa memeliharanya maka akan
menerima akibat yang tidak menyenangkan. Rupanya Hasan sebagai pemilik pusaka
itu tidak mengerti bahwa dia harus menyediakan sesajen secara berkala. Makhluk
halus semacam itu tidak ubahnya seperti gerombolan bandit atau preman di dunia
nyata yang selalu menuntut setoran.

Jakarta adalah ibukota negara Indonesia dan merupakan tempat pelabuhan yang
terpenting berbentuk kota metropolitan internasional. Dalam lingkungan seperti ini
menyediakan sesajen akan dianggap sebagai “bijgelovig” (bahasa Belanda artinya
tahayul). Tapi setelah pengalaman ini saya mulai mengerti kenapa orang-orang di
pedalaman Jawa dan Bali selalu memberikan sesajen di tempat-tempat yang dianggap
suci. Mereka percaya dengan prinsip untuk hidup berdampingan secara damai dengan
makhluk halus itu yang ada tetapi tidak kelihatan oleh mata biasa.

Seperti halnya di masyarakat kita, di kalangan makhluk halus juga ada orang baik dan
ada orang jahat dengan derajat kebaikan dan kejahatan yang bermacam-macam.
Makhluk halus yang baik biasanya tidak suka mengganggu manusia. Setelah seribu
hari kematian seseorang biasanya arwahnya akan pergi jauh dari rumah dan
keluarganya. Tapi kalau anak keturunannya membutuhkan pertolongan maka arwah
leluhur yang bisa membantu akan datang untuk menolong.

Orang Jawa paham bahwa doa yang hanya diucapkan oleh bibir saja tidak akan sampai
pada tujuannya. Agar doa ini sampai ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa maka disertai
dengan prihatin atau tapa. Memang tidak mudah menahan diri dari makan, minum, tidur,
seks dan kesanangan-kesenangan duniawi lainnya, apalagi di jaman modern seperti
sekarang , akan tetapi doa yang disertai prihatin ini dipercaya oleh orang Jawa lebih
manjur.

Leluhur kita hanya bisa memberikan pertolongan sampai pada keturunan ketujuh saja.
Itulah sebabnya keraton atau istana raja-raja di Jawa umumnya dipindahkan ke tempat
lain setelah melewati tujuh generasi. Alasan ini pula yang menyebabkan kebanyakan
keraton jaman dulu terbuat dari kayu bukan batu, padahal batu banyak ditemukan di
pulau Jawa. Sedangkan bangunan batu biasanya dipakai rumah ibadaha seperti candi.

Para pendiri kerajaan biasanya banyak melakukan tapa prihatin dalam perjuangannya
untuk membangun kerajaan baru mereka. Mereka umumnya berasal dari orangtua
yang juga kuat dalam melakukan prihatin. Laku prihatin ini membuat organ mental
mereka menjadi kuat.

Tetapi anak-anak dan cucu-cucunya karena terbiasa hidup dengan bergelimang


kenikmatan dan kehormatan, mungkin tidak merasakan adanya kebutuhan untuk
menempuh laku prihatin. Sebaliknya mereka menjadi lemah karena mudah tergoda
oleh kesenangan duniawi. Karena hal inilah maka pelan-pelan dinasti kerajaan
41
mengalami kemunduran. Pendirinya mungkin masih bisa melindungi sampai keturunan
ketujuh tapi setelah itu maka kekuatan spiritualnya sudah tidak efektif lagi. Kalau anak
keturunannya sebagai pewaris tahta mengabaikan hal ini maka kerajaan itu akan runtuh
dan akan ada orang-oranag baru yang merintis kembali kerajaan yang baru.

Kalau diperhatikan secara seksama di Jawa para perintis kerajaan baru kebanyakan
masih mempunyai darah keturunan dari raja-raja yang sebelumnya. Garis keturunan
raja-raja Jawa sesungguhnya tidak pernah putus. Akan tetapi tidak selalu dilanjutkan
dengan garis keturunan langsung tetapi mungkin dari keluarga jauh seperti sepupu,
keponakan dan lain sebagainya.

Hal ini merupakan sebuah rahmat yang tersembunyi karena orang yang tidak
menyadari bahwa dia keturunan raja-raja biasanya akan lebih termotivasi untuk
melakukan tapa prihatin dan mau menjalani kehidupan asketik di tempat yang terpencil.
Mereka menjalani hidup sebagai orang biasa. Selanjutnya kesediaan untuk prihatin
yang disertai oleh darah bangsawan yang mengalir dalam dirinya akan menghasilkan
manusia-manusia yang berkualitas tinggi, yang suatu saat kelak akan menjadi perintis
berdirinya kerajaan baru.

Kemungkinan ketiga bagi hidup manusia setelah mati adalah orang-orang beruntung
dalam hidupnya telah menerima kontak dengan cahaya Ketuhanan. Hal ini tentu saja
merupakan keadaan yang paling baik.

Sebagai hasil dari kontak tersbut maka jiwa (ruh) dari orang yang bersangkutan akan
tumbuh dan berkembang. Dari biji yang kecil terus berkembang semakin besar hingga
suatu saat pertumbuhannya bisa melampaui kurungannya yaitu organ mental dan
badan fisik. Selama proses ini organ mental dan badan jasmaninya akan mengalami
purifikasi atau pembersihan. Badan jasmaninya menjadi lebih sehat dan lebih kuat.
Secara mental juga menjadi lebih tenang, lebih sabar dan lebih cerah. Kalau orang
semacam ini mati maka badan jasmani nya akan hancur tetapi organ mentalnya akan
tetap ada diliputi oleh jiwanya.

Karena jiwa adalah bagian yang kekal maka dia akan hidup terus selamanya dan organ
mentalnya juga akan tetap berada dalam jiwanya itu selama-lamanya. Organ mental
yang sudah dibersihkan inilah yang masih mengingat dan masih merasakan keterikatan
dengan anak keturunannya.

Ajaran agama-agama besar seperti Islam, Kristen dan Yahudi hanya bicara mengenai
keadaan ideal manusia setelah mati. Orang-orang yang mencapai keadaan ideal ini
tidak akan mengalami reinkarnasi. Adapun kemungkinan yang kedua, maka mereka
itulah yang dimaksud sebagai “masuk neraka”.

Orang Jawa memiliki kecenderungan untuk lebih menyukai hakekat atau esensi atau isi
dari ajaran-ajaran agama yang disebutnya sebagai “kasunyatan jati” daripada sekedar
42
bentuk atau ritualnya atau syareat. Sebagai akibatnya banyak orang Jawa yang
mengalami kebenaran spiritual dan bisa menyaksikan alam gaib serta berkomunikasi
dengan para makhluk yang tinggal disana.

Sekalipun mereka menerima jaran-ajaran agama dari luar tapi mereka tidak melupakan
keyakinan yang lama melainkan meramunya secara harmonis. Ritual agama mungkin
berbeda satu sama lain tapi selama mereka datangnya dari Tuhan maka esensinya
akan tetap sama. Itulah sebabnya sekalipun orang Jawa ada yang memeluk agama
Islam atau Kristen tapi kita akan tetap bisa menyaksikan unsur-unsur agama Hindu,
Buddha, Animisme dan kepercayaan nenek moyang.

Tapi tidak bisa dipungkiri banyak juga orang Jawa yang tidak mau lagi menjalankan
adat istiadat nenek moyang dan memilih untuk mengikuti ajaran agamanya secara
murni dan ketat.

43
Bab 6 Mata Batin

Para pembaca mungkin bertanya-tanya, bagaimanakah caranya seseorang bisa


melihat makhluk-makhluk yang tinggal di alam gaib. Saya sendiri di Yogyakarta ketika
itu pada tahun 1946 mengalami fenomena yang disebut sebagai kemampuan psikis.
Mereka yang organ mentalnya dalam keadaan jernih dan terang sebagai hasil dari
puasa (mencegah makan, minum, tidur dan kesenangan lainnya) dan barangkali juga
karena faktor keturunan, bisa melihat dan berkomunikasi dengan dunia gaib.

Makhluk-makhluk yang berada di alam gaib juga berkeinginan untuk bisa


berkomunikasi dengan kita. Akan tetapi tidak semua orang mampu mampu. Makhluk-
makhluk gaib itu hanya bisa berkomunikasi dengan manusia yang memiliki kemampuan
psikis. Cara komunikasi yang paling sederhana adalah melalui mimpi. Di pedesaan di
pedalaman pulau Jawa, kita sering melihat pohon beringin besar yang dikelilingi oleh
pagar bambu. Hal ini merupakan pertanda bahwa lingkungan disitu dianggap sebagai
wilayah yang sakral. Makhluk halus senang tinggal di pohon-pohon beringin dan
menjadikannya sebagai tempat tinggal. Kalau ada yang lewat di tempat semacam itu
tanpa permisi bisa menyebabkan makhluk halus yang tinggal disitu jadi marah atau
terganggu, sehingga orang yang lewat sembarangan itu kadang bisa jadi sakit tanpa
penyebab yang jelas.

Kalau hal ini terjadi biasanya ada penduduk desa yang didekati oleh makhluk halus
tersebut untuk memberitahukan penyebab kemarahannya dan jenis sesajen apa yang
harus dipersembahkan sebagai kompensasi. Kadang-kadang tanpa sengaja ada orang
yang melewati kamar tidur makhluk gaib tersebut dengan kaki kotor lalu kencing
sembarangan.

Kalau permintaannya tidak dipenuhi maka orang yang bersangkutan sakitnya akan
semakin parah bahkan sampai meninggal dunia. Berdasarkan pengalaman itulah maka
warga desa membangun pagar bambu untuk mencegah supaya orang-orang tidak
lewat sembarangan di sekitar tempat tersebut. Ini adalah jenis komunikasi satu arah
dimana makhluk-makhluk gaibi itu bisa berkomunikasi dengan manusia tetapi manusia
tidak bisa membalasnya.

Pada suatu sore di tahun 1958, saya sedang jalan-jalan di Kota Malang, Jawa Timur,
saya melihat di pinggir jalan ada sesajen yang terdiri dari bunga-bungaan dan
kemenyan. Iseng-iseng sesajen itu saya tendang. Lalu saya pulang ke rumah,
beristirahat sambil tidur-tiduran. Pada saat sedang tidur saya bermimpi ada makhluk
halus dengan perut buncit dan pakaian tahanan bergaris-garis hitam putih datang
menghampiri saya. Dia membawa gada di tangan kanannya. Sebelum saya menyadari
apa yang terjadi tiba-tiba gada itu melayang lalu menghantam kepala saya dengan

44
sekuat-kuatnya. Suaranya persis seperti ledakan senjata api. Saya terbangun lalu
bertanya kenapa ? Katanya karena saya sudah menendang sesajen di pinggir jalan tadi.
Untunglah saya sudah menerima kontak dengan cahaya Ketuhanan melalui Subud.
Kalau tidak maka pukulan gada itu akan berakibat parah.

Makhluk gaib juga bisa berkomunikasi dengan cara menempati jasad seseorang yang
mentalnya lemah. Dalam keadaan kesurupan orang tersebut akan kehilangan
kesadaran sehingga tidak menyadari bahwa tubuhnya sudah dipakai oleh sosok
makhluk halus itu, bahkan dia juga tidak bisa mengingat-ingat apa yang dikatakan oleh
makhluk halus itu melalui mulutnya.

Yang lebih canggih lagi adalah cara komunikasi dua arah, tapi syaratnya sangat berat.
Agar dapat berkomunikasi secara dua arah maka seseorang harus menjalani laku
prihatin agar kemampuan psikisnya tetap terjaga. Keduanya bisa melakukan
komunikasi dalam keadaan sadar.

Sesungguhnya komunikasi di alam gaib jauh lebih mudah daripada di alam fisik seperti
kita. Di alam gaib kita bisa membaca secara langsung jalan pikiran dan kehendak
seseorang. Tidak lagi terkendala oleh bahasa. Di alam gaib kita tidak harus bertukar
kata untuk bisa saling memahami jalan pikiran dari lawan bicara kita. Cukup dengan
bertatapan maka kita sudah bisa langsung bertukar pesan.

Di kalangan orang Jawa ada ungkapan “tanggap ing semu” yaitu semacam
kemampuan untuk peka terhadap perkara-perkara yang halus. “Tanggap ing semu”
artinya kemampuan untuk bisa menangkap pesan yang tidak disampaikan melalui kata-
kata melainkan melalui kedipan mata, nada bicara atau perubahan rona wajah.
Misalnya orang Jawa tidak pernah mengatakan tidak terhadap suatu permintaan, tapi
kita harus bisa merasakan apakah anggukan kepalanya benar-benar berarti setuju atau
justru bermakna sebaliknya. Orang Jawa dengan kehalusan perasaannya tidak akan
menuntut jawaban yang lugas dan tegas. Contoh lain adalah ungkapan “sabdo ingkang
dereng kawijil ing lesan” artinya kata-kata yang tidak diucapkan secara lisan. Orang
Jawa yang bijaksana harus dapat menangkap makna dari kata-kata yang tidak
diucapkan secara lisan.

Dari contoh-contoh di atas, makhluk halus memperlihatkan dirinya dalam bentuk


menyerupai manusia. Apa yang dilihat oleh manusia adalah organ mentalnya atau
sukma dari makhluk halus yang mengambil bentuk seperti wujudnya ketika masih hidup
di dunia.

Akan tetapi, makhluk halus sebetulnya bisa mengubah diri mereka ke dalam bentuk apa
saja sesuai dengan kehendaknya. Karena mereka tidak lagi diselubungi oleh badan

45
fisik maka mereka bisa berubah bentuk sesuai dengan apa yang dikehendaki. Mereka
juga bisa melakukan perjalanan dengan sangat cepat, secepat jalan pikirannya.

Seperti kita semua ketahui, hanya dalam hitungan detik pikiran seseorang bisa seperti
berada di Tokyo padahal badan fisiknya masih di Newyork. Sejenak kemudian
pikirannya terbang lagi ke London, Roma atau Paris. Mungkin karena teringat dengan
pengalamannya yang berkesan ketika berada di tempat-tempat tersebut. Tanpa badan
fisik maka sukma seseorang bisa menempuh perjalanan jauh hanya dalam hitungan
detik.

Keadaan orang yang mengelami pencerahan berbeda dengan mereka yang memiliki
kemampuan psikis. Kemampuan psikis hanya terbatas pada dunia gaib yang astral,
padahal dunia semacam ini tidaklah abadi. Sifatnya hanya sementara. Semuanya akan
hilang dan lenyap seiring dengan lenyapnya alam dunia ini. Itulah sebabnya kenapa
setan cemburu pada manusia. Setan tidak bisa mati selama alam dunia ini ada. Mereka
menderita dan berada dalam kesusahan tapi mereka tidak bisa mati. Akan tetapi suatu
saat kelak mereka semua akan musnah bersamaan dengan hancurnya alam semesta
ini.

Manusia akan mati karena usia tua, penyakit atau kecelakaan. Tapi mereka bisa hidup
abadi asalakan mereka beruntung bisa menemukan kontak dengan cahaya Tuhan.
Setelah menerima kontak tersebut maka terjadilah proses pembersihan dan perubahan
secara bertahap dalam diri orang tersebut. Kontak yang dimaksud terjadinya antara
kekuasaan Tuhan dengan bagian terdalam dari diri seorang manusia, yang tiada lain
adalah jiwa. Akibatnya jiwa yang sebelumnya hanya berbentuk benih sekarang mulai
tumbuh dan berkembang. Dari setitik cahaya yang kecil berubah menjadi cahaya yang
besar dan menerangi.

Ketika jiwa masih dalam bentuk benih yang tidak aktif atau tidak berdaya maka
manusia tidak bisa menyadari keberadaannya. Sekalipun benih tersebut mengandung
embryo hidup, tetapi apabila belum tumbuh maka tidak ubahnya seperi benda mati saja.
Sehingga jiwa yang dalam keadaan demikian disebut sebagai jiwa kebendaan. Pada
tahap awal pertumbuhannya jiwa akan mendesak keluar segala macam kotoran dan
penyakit dalam tubvuh kita. Itulah sebabnya ciri-ciri awal setelah dibuka maka akan
terasa betapa badannya menjadi sehat dan bugar. Tapi bukan berarti bahwa yang
bersangkutan akan terhindar dari sakit, tua dan mati.

Dalam perkembangan selanjutnya suatu saat sang Jiwa akan tumbuh sedemikian
sehingga melampaui tubuh fisiknya. Keadaan semacam ini dalam bahasa Jawa disebut
dengan istilah “kodok hanglumuri leng” artinya kodok yang bisa melingkupi lubang
tempat tinggalnya sendiri. Bagaimana mungkin seekor kodok bisa lebih besar hingga
melingkupi lubang tempat tinggalnya ? Banyak orang yang bingung dan tidak mengerti
apa maksudnya lalu berteori dan berimajinasi hingga berdebat tanpa ujung pangkal.
Kita baru akan paham ungkapan di atas hanya jika kita mengalaminya sendiri. Yaitu
46
mengalami tahapan pertumbuhan jiwa mulai dari keadaan tidak aktif lalu tumbuh
semakin besar dan besar hingga akhirnya melingkupi badan fisiknya sendiri.

Ketika jiwa masih dalam keadaan tidak hidup, manusia tidak akan bisa merasakan
keberadaannya. Tapi setelah dibuka maka jiwanya mulai hidup lalu terasa ada suatu
getaran dalam dirinya. Dia bisa mulai merasakan betapa sang jiwa ternyata memiliki
kehendaknya sendiri. Sang ego atau organ mental disebut sebagai kawulo sementara
jiwa disebut sebagai ingsun, artinya “Tuan”.

Karena banyak manusia yang jiwanya belum hidup maka yang jadi tuan dalam dirinya
adalah kawulo. Situasi seperti ini digambarkan dalam cerita wayang sebagai “Petruk
dadi ratu”. Petruk adalah tokoh pelayan dalam dunia pewayangan “dadi” artinya jadi,
dan ratu artinya raja. “Petruk dadi ratu” adalah episode dalam cerita dimana Petruk jadi
raja sehingga mengakibatkan terjadinya kekacauan dan kebingungan dalam kerajaan.

Jika kawulo atau ego menjadi raja dalam kerajaan badan manusia, maka hasilnya
adalah kekacauan dan kebingungan. Ego adalah personifikasi dari organ mental yaitu
alat pemberian Tuhan yang sifatnya sementara yang berguna untuk menjalani hidup di
alam dunia. Sehingga ego lebih banyak didominasi oleh hawa dunia. Alat yang
sepertiini tidak bisa dipakai untuk berkomunikasi dengan Tuhan.

Hanya jiwa yang merupakan bagian yang kekal dari diri manusia yang bisa menerima
kontak dengan cahaya tuhan dan jiwa selalu taat pada kehendak Tuhan. Keadaan
damai, serasi dan bahagia hanya akan terwujud dalam diri manusia apabila jiwanya
hidup dan berposisi sebagai raja sementara ego berposisi sebagai pelayan.

Kalau jiwa kita sudah tumbuh sedemikian rupa sehingga melampaui badan fisiknya,
maka seolah-olah kita memiliki radar sehingga bisa turut merasakan apa-apa yang
terjadi diluar tubuh kita. Misalnya kalau kita duduk di dekat orang yang sedang sakit
kepala maka kita akan merasakan sakitnya, demikian pula kalau berdekatan dengan
orang yang sedang sedih seakan-akan kita turut pula merasakan kesedihannya.

Selanjutnya jiwa akan berkembang lagi ke tingkatan nabati atau tanam-tanaman. Pada
tahap ini bentuk jiwa kita memanjang seperti pohon cahaya, dengan sebuah antena
yang selalu kontak terus menerus dengan cahaya Tuhan dalam bentuk doa/shalat yang
tanpa henti atau zikir. Cara shalat seperti ini tidak akan mengganggu kehidupan sehari-
harinya sebagai orang biasa. Semua berjalan dengan normal, seluruh kegiatan
duniawinya dikerjakan oleh kawulo sementara ingsun atau sang raja shalat/berdoa
terus menerus. Ingsun memegang kendali untuk meyakinkan bahwa para pelayannya
tidak salah arah.

Tahap pertumbuhan jiwa selanjutnya adalah hewaniyah. Pada tahap ini jiwa mulai
mengembangkan panca indranya seperti merasa, mencium, mendengar dan melihat.

47
Pada tingkatan inilah jiwa mulai memiliki mata sehingga mulai dapat melihat alam gaib
beserta para penghuninya.

Tidak seperti indera lahir yang akan semakin berkurang kemampuannya karena sakit,
tua dan mati, indra dari jiwa sifatnya abadi dan akan tetap ada selamanya. Kemampuan
psikis untuk melihat alam gaib juga tidak abadi melainkan suatu saat bisa lenyap
apabila yang bersangkutan tergoda dengan kenikmatan dan kemewahan dunia.

Tidak seperti kemampuan psikis yang bisa dikendalikan oleh ego, indra dari jiwa
sepenuhnya mandiri tidak bisa diatur-atur menurut kesenangan kita (ego). Orang yang
perkembangan jiwanya sudah mencapai tingkatan hewaniyah tidak bisa pula
mempamerkan pada orang lain kemampuannya melihat alam gaib. Hanya jika
diperlukan saja maka Tuhan akan memperlihatkan alam gaib kepadanya. Adapun
kapan, dimana dan apa yang bisa mereka lihat semuanya terserah kepada Tuhan.
Dengan demikian orang yang bersangkutan akan tetap rendah hati dan tidak bisa
menyombongkan kemampuannya. Apa yang bisa mereka lakukan hanya bisa dilakukan
dengan seizin Tuhan Yang Maha Kuasa.

Untuk melengkapi bab ini, kita akan memasuki tahap perkembangan jiwa selanjutnya
yaitu jasmaniyah. Pada tahap ini jiwa manusia mulai memiliki kesadaran batin atau
kebijaksanaan batin (inner wisdom), inner wisdom ini bisa menerima sesuatu yang
benar-benar baru yang sebelumnya tidak pernah diketahui oleh siapapun. Pemahaman
atau kebijakan yang datang langsung dari Tuhan biasanya berupa inspirasi atau ilham.

Ketika saya berusia enam belas tahun, secara tidak sengaja, keadaan psikis saya
menjadi jernih dan terang benderang setelah tidak tidur selama 40 hari 40 malam.
Benar-benar tidak sengaja, saya melakukannya tanpa tujuan apapun. Ketika itu sakit
malaria parah, setelah tidak tidur selama 40 hari 40 malam, bukan hanya penyakit saya
yang sembuh tapi perasaan saya juga jadi bahagia, ringan dan saya merasa begitu
dekat dengan Tuhan. Setiap malam saya berjalan sendirian kemana saja mengikuti kaki
melangkah. Saya merasa ringan seperti melayang, tidak merasa sedang berjalan.

Pada suatu malam paman saya Suratman, mengikuti saya dari belakang, saat itu hujan
lebat. Dia merasa khawatir takut kalau-kalau malaria saya kambuh lagi dan tidak
semestinya saya hujan-hujanan. Paman Suratman tidak berani menghentikan saya dan
hanya mengikuti saja dari kejauhan, karena keadaan saya waktu itu sangat sangat kuat
sehingga orang-orang takut pada saya. Paman Suratman terkejut ketika mengetahui
ternyata badan dan pakaian saya tetap kering padahal saya tidak memakai jas hujan
atau payung. Malah Paman Suratman sendiri yang berpayungan di atas kepalanya.
Paman Suratman adalah orang yang sangat baik dan pengertian, saya merasa
bersyukur kepada Tuhan bahwa saya sempat membukanya sebelum beliau meninggal.

Pada tahun 1946 inilah di Yogyakarta saya pertamakali mulai melihat alam gaib.
Keadaan ini terus berlanjut selama kira-kira setengah tahun. Akan tetapi kemampuan
48
psikis tersebut lama-lama lenyap karena orangtua mendorong saya untuk kembali pada
kehidupan normal. Mereka sangat peduli karena gara-gara suka melihat alam gaib saya
jadi enggan bersekolah. Mereka ingin supaya perkembangan kejiwaan saya ditunda
dulu supaya bisa bersekolah dan melanjuttkan studi seperti anak-anak lain. Tapi
pengalaman ini memperlihatkan pada saya bahwa kemampuan psikis sifatnya hanya
sementara karena dibangun berdasarkan organ mental yang juga bersifat sementara.

Pak Subuh pernah bercerita bahwa ada seorang guru Sufi bernama Kyahi
Abdurachman yang memiliki kemampuan psikis sangat hebat setelah bertapa
mengubur diri selama 40 hari 40 malam.

Berdasarkan cerita Pak Subuh, Kyahi Abdurahman bisa melihat leluhur seseorang
hingga tujuh turunan ke atas dan tujuh turunan ke bawah lengkap dengan tanggal,
bulan dan tahun kelahiran masing-masing, bahkan hingga ke jam dan menitnya dia
tahu. Hingga suatu hari dia kedatangan tamu dari kota membawa makanan enak-enak
seperti roti, mentega, keju, susu, coklat dan permen, yang tentu saja merupakan
makanan mewah bagi orang desa yang tinggal di lereng gunung. Sejak itu kemampuan
psikisnya pelan-pelan menghilang. Kalau mau pulih lagi maka Kyahi Abdurahman harus
harus mengulangi ritual mengubur diri selama 40 hari 40 malam

Di tahun 1960’an, saya selama 1000 setiap malam tidak tidur bersama Pak Subuh.
Inilah saat-saat terbaik dalam hidup saya, ketika itu saya terus menerus diliputi getaran
kontak dengan cahaya Tuhan. Berkat getaran inilah saya tidak merasa mengantuk atau
lelah. Sebaliknya , getaran ini menimbulkan rasa bahagia, tenteram, penuh dengan
energi dan inspirasi. Tesis doktoral saya diselesaikan pada masa-masa ini dengan judul,
“The Character and Behavior of Man”. Tidak seperti kemampuan paranormal yang saya
miliki di usia 16 tahun, kemampuan yang sekarang ini sifatnya menetap karena berasal
dari jiwa yaitu bagian yang kekal dari jati diri kita sebagai manusia.

Jiwa yang sudah berkembang secara lengkap dengan inderanya akan memiliki
semacam kesadaran atau pengertian yang abadi, tidak akan menjadi pikun, inilah yang
disebut ingsun dalam bahasa Jawa. Dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai
“inner self”/

Kemampuan mata batin kita tidak hanya terbatas pada kemampuan makhluk-makhluk
astral saja. Tapi bisa melakukan penetrasi hingga ke alam ruh. Sehingga tidak bisa
dikelabui oleh bentuk atau penampakan apapun. Mata batin melihat langsung pada jiwa
yang tidak berbentuk, tidak berwarna tapi sangat ada dan sangat kuat.

Jiwa itu sangat kuat, dalam bahasa Jawa disebut dewa. Istilah dewa
merepresentasikan makhluk yang kuat dan perkasa, dalam bahasa Inggris
diterjemahkan sebagai “god” dengan g kecil. Sebenarnyalah kata dewa memang
berasal dari jiwa. Tetapi dewa adalah jiwa yang sudah mencapai pertumbuhan yang
lengkap seperti diuraikan di atas.
49
Kalau ada orang yang selamat dari suatu kecelakaan maka orang Jawa biasanya
berkata “Oh selamat mergo isih diayomi dewane”, artinya dia selamat karena dilindungi
oleh dewanya. Dewa disini berarti jiwa, bukan dewa dalam pengertian polytheisme,

Jiwa menjadi sangat perkasa karena jiwa yang sudah berkembang penuh terus
menerus kontak dengan kekuasaan Tuhan. Jiwa yang demikian sudah menyatu dengan
cahaya Tuhan. Keadaan ini oleh orang Jawa dikenal dengan istilah “manunggaling
kawulo lan Gusti”, atau bersatunya tuan dan hamba (manusia). Setelah menyatu
dengan cahaya Tuhan, Jiwa bisa berkembang tanpa batas. Bahkan bisa berkembang
lebih besar dari seluruh langit yang melingkupi alam semesta karena kekuasaan ada
dimana-mana dan meliputi segala sesuatu.

Dikisahkan dalam cerita wayang bahwa ketika Bima bertemu dengan diri sejatinya
untuk pertama kali, Bhima terkejut karena melihat adaa makhluk yang serupa dengan
dirinya tapi ukurannya sangat kecil hanya sebesar jempol. Makhluk ini memperkenalkan
diri kepada Bima sebagai dewa Ruci, artinya dewa yang cebol. Dewa Ruci menyuruh
Bima yang tinggi besar supaya masuk ke dalam lubang telinganya. Bima bingung,
bagaimana caranya badan sebesar itu harus masuk ke lubang yang sangat kecil ?
Dengan penuh wibawa Dewa Ruci memaksa untuk melompat saja masuk tanpa ragu.
Bima menuruti perintahnya dan ternyata benar lubang telinga Dewa Ruci lebih besar
dari seluruh langit.

Karena ada banyak dewa dalam cerita wayang, banyak yang mengira bahwa wayang
mengandung ajaran polyteisme. Padahal sebenarnya tidaklah demikian. Dewa berarti
Jiwa yang berkembang sempurna dan sangat perkasa. Jiwa bisa mengkerut hingga
seukuran biji tanaman, tapi bisa pula mengembang hingga meliputi langit dan bumi.
Jiwa melihat suatu objek tidak dengan cara memandanginya dari luar melainkan
dengan cara melingkupinya keseluruhan objek tersebut.

50
Bab 7 Nogososro, Raja Segala Keris

Pada jaman dahulu, di Jawa, keris memainkan peranan penting. Seorang pria Jawa
tanpa keris, maka dia belumlah sempurna sebagai laki-laki, Bagi seorang pria Jawa
keris adalah senjata sekaligus kebanggaan dan merupakan sumber kekuatan spiritual.
Keris adalah senjata senjata tajam yang terbuat dari logam pilihan, mirip dengan pisau
belati tetapi dibentuk secara artistik.

Dari segi bentuk, keris dibagi menjadi dua kelompok yaitu keris yang lurus dan keris
yang berlekuk-lekuk. Tapi keris yang lurus sebenarnya tidak benar-benar lurus seperti
pisau belati. Melainkan dibentuk dan diukir dengan sangat indah dan artistik sementara
ujungnya sedikit melengkung melambangkan sikap rendah hati seperti hamba sahaya
yang siap mengabdi kepada tuannya.

Keris yang berlekuk ada yang memiliki satu, tiga, lima, tujuh, sembilan, sebelas, tiga
belas, lima belas atau lebih lekukan. Kebanyakan keris memiliki lekukan dalam jumlah
ganjil. Keris dengan lekukan genap harus dihindari. Hanya orang-orang yang memiliki
kekuatan batin yang besar yang sanggup memiliki keris berlekuk genap.

Keris dengan lekukan genap dianggap sebagai pengecualian karena ujung dari keris
tersebut akan mendongak ke atas bukan merunduk ke bawah. Artinya tidak
melambangkan sikap yang rendah hati melainkan kesombongan. Dalam bahasa Jawa
keris yang demikian dinamakan “Ladhak”, keris semacam ini cenderung dihindari
karena akan membawa pengaruh yang tidak baik bagi pemiliknya yaitu mendorong ke
arah sifat-sifat sembrono, cepat marah dan sombong.

Karakter dari makhluk halus yang berdiam dalam keris tersebut akan sangat
mempengaruhi karakter dari pemiliknya. Dalam sejarah Jawa, keris Ladhak yang
paling terkenal adalah Setan Kober yang dimiliki oleh Adipati Haryo Penangsang,
Adpati Jipang yang berambisi untuk merebut tahta kerajaan Demak. Dia adalah perwira
militer yang sangat sakti dan pemberani tapi sekaligus sembrono dan sombong.

Saya punya pengalaman menarik yang berkaitan dengan Adipati Haryo Penangsang.
Tahun 1979 saya berkunjung ke rumah teman saya Sudomo yang kelak menjadi bupati
Demak, sebuah kota di pantai utara Jawa. Demak terkenal sebagai daerah asal Raden
Ajeng Kartini (1879-1904) seorang putri Jawa yang melalui karya-karyanya telah
menjadi perintis bagi kebangkitan gerakan emansipasi wanita di Jawa dan Indonesia.

Teman saya Sudomo membawa jalan-jalan untuk melihat-lihat masjid Agung Demak
yang sangat terkenal itu yang dibangun oleh Walisongo pada abad ke 15. Ada dua ciri
yang menonjol pada masjid ini yaitu dua daun pintu sumbangan dari Ki Ageng Selo

51
dengan ukiran berupa Gandrik atau petir. Yang kedua adalah soko guru atau tiang
penyangga utama sumbangan dari Sunan Kalijaga. Pada saat masjid ini sedang
dibangun, Sunan Kalijaga diminta untuk membikin tiang. Sunan Kalijaga terlambat
mengerjakan, sehari sebelum jadwal yang ditentukan satu tiang pun belum selesai. Di
malam harinya beliau lalu membuat tiang dari tatal atau serpihan kayu. Tidak
menggunakan lem, paku, atau sekrup. Tetapi ajaibnya sampai sekarang soko guru itu
sampai hari ini masih berdiri tegak, padahal dibikin sejak ratusan tahun yang lalu.

Selanjutnya kami berkunjung ke pemakaman Kadilangu, untuk berdoa dan memberikan


hormat pada makam Sunan Kalijaga. Pada saat melintasi kompleks pemakaman itu
saya tertarik pada sebuah kuburan kecil yang sederhana dengan taman yang cukup
luas di sekitarnya dikelilingi pagar bambu. Taman ini sangat bersih, saya tidak melihat
ada sehelaipun daun kering di atas rumput-rumput yang hijau itu. Padahal di
sampingnya ada sebuah pohon besar, tapi tidak ada daun kering yang jatuh ke taman
di sekitar kuburan itu. Saya berkata pada Sudomo bahwa penjaga makam ini pasti
orang yang sangat rajin.

“Tidak begitu”, jawab Sudomo, “tidak ada orang yang berani membersihkan makam ini.
Siapapun yang coba-coba melakukannya maka akan diserang oleh Haryo Penangsang.
Ini adalah kuburan Adipati Haryo Penangsang, beliau sendiri yang membersihkan
kuburan ini.”

Saya terheran-heran mendengar penjelasan Sudomo. Sebelum pulang saya sengaja


memisahkan diri untuk berdiri sejenak disamping makam itu. Angin bertiup dan
beberapa helai daun kering berjatuhan tapi tidak ada satu pun yang jatuh di taman
sekitar kuburan itu, semuanya tertiup angin dan jatuh diluar pagar.

Bilah keris terbuat dari beberapa lapisan logam, kemudian lapisan paling atasnya
ditutupi oleh pamor yaitu logam yang kalau terkena cahaya akan memantulkanb sinar
yang keputihan. Pamor dibuat dari batu meteor yang jatuh ke bumi. Pamor tersebut
dilapiskan pada keris dengan bentuk ukiran yang bermacam-macam. Misalnya “Udan
Mas” artinya hujan emas, atau “blarak sineret” artinya barisan daun kelapa. Sudah
umum diketahui bahwa keris dengan pamor blarak sineret mampu memancarkan
kekuatan supernatural sekalipun masih berada dalam wrangkanya.

Pembuat keris yang sudah ahli disebut empu. Dahulu para empu ini tidak hanya
sekedar memiliki kemampuan untuk membuat keris yang bagus tapi mereka juga
dikenal sebagai orang-orang sakti yang memiliki kekuatan supernatural. Di tangan
mereka logam yang keras seperti besi, baja atau pamor bisa dengan mudah dibengkok-
bengkokkan dan dibentuk sesuai dengan keinginannya, seolah-olah seperti lilin yang
lunak. Beberapa keris pusaka masih memiliki bekas jari tangan para empu tersebut.
Salah satu diantaranya yang menjadi koleksi saya adalah Kyai Pajang.

52
Keris dan tombak pusaka jaman dahulu dibuat oleh para empu dengan cara-cara yang
khusus. Kemampuan membuat senjata pusaka ini diwaris dari keluarga-keluarga
tertentu. Menjadi empu bukan hanya sekedar keahlian fisik saja melainkan juga harus
disertai kemampuan spiritual yang memadai. Kemampuan spiritual diperoleh melalui
sikap hidup asketik yang dijalani bertahun-tahun.

Setelah beratus-ratus tahun lenyap, keturunan dari para empu ini sekarang muncul lagi
ke permukaan di Jawa, mereka membuka bengkel mobil. Namanya ketok magic. Saya
sudah melihat sendiri cara mereka bekerja. Penyok-penyok di mobil saya bisa
diperbaiki dengan waktu yang cepat. Begitu keluar dari bengkel maka mobil saya pun
kelihatan seperti baru kembali padahal mereka tidak memakai alat-alat seperti las atau
mesin press.

Yang menarik adalah gagang kayu sebagai pegangannya yang tidak tidak rusak
walaupun sudah berusia ratusan tahun. Padahal begitu dilepaskan dari kerisnya maka
pegangan kayu itu pun akan lapuk dimakan rayap.

Sebuah keris pusaka biasanya ada penghuninya. Orang yang sensitif bisa merasakan
getaran dari makhluk halus yang berdiam dalam keris tersebut. Senjata tanpa isi Cuma
sekedar logam mati saja. Getaran yang sama juga bisa terasa dari pusaka yang
berbentuk payung atau umbul-umbul. Bentuknya tidak berubah dan warnanya pun tetap
segar seperti barang baru.

Orang Jawa sangat menghormati pusaka-pusaka ini dan secara berkala memberikan
sesajen karena mereka paham dalam diri pusaka-pusaka tersebut mungkin ada
makhluk halus yang dulunya adalah prajurit, pahlawan atau bahkan raja-raja. Karena
alasan inilah pusak-pusaka tersebut bisa memberi perlindungan dan pertolongan dalam
hal pekerjaan, karir atau bahkan memberikan kemampuan supernatural seperti kebal
senjata dan keberanian bertempur. Beberapa pusaka dianggap sebagai perlambang
tahta kerajaan. Dulu banyak terjadi pertempuran untuk memperebutkan pusaka.

Tahun 1967, waktu itu saya sedang duduk di sofa sekitar jam 3 pagi. Tiba-tiba saya
melihat dua buah cahaya cemerlang berbentuk lingkaran. Besarnya seukuran bulan
purnama yang tampak kalau dilihat dari bumi. Kedua cahaya itu bergerak mendekati
saya. Begitu mereka tiba di depan saya, keduanya seperti merunduk memberikan
hormat kemudian wujudnya seketika berubah menjadi dua bilah keris. Saya tahu persis
keduanya adalah keris koleksi keluarga kami.

Keesokan harinya saya berangkat ke rumah orang tua saya (waktu itu saya tinggal di
daerah pinggiran selatan Kota Jakarta, sedangkan Ibu Bapak saya tinggal di tengah
kota). Saya ceritakan kejadian semalam kepada ayah saya, dan beliau pun sudah
mafhum apa artinya.

53
“Kamu boleh memiliki kedua keris tersebut. Kelihatannya mereka memilih kamu. Jaga
dan peliharalah, ambillah di dalam lemari di kamar saya. Tapi yang satu sudah hilang
dari wrangkanya sejak beberapa tahun yang lalu”, kata ayah.

Saya masuk ke kamar beliau, membuka lemari, ternyata kedua keris itu sekarang
sudah ada lagi di dalam warangkanya masing-masing. Saya perlihatkan keduanya pada
ayah saya.

“Oh rupanya Kyahi Pajang sudah kembali. Jadi benar-benar ingin tinggal bersama
kamu,” seru ayah.

Keris yang “hidup” bisa menghilang dan berjalan-jalan sendiri kemanapun dia suka.

Sekalipun waktu itu kakak-kakak saya hidup, tapi dengan tanpa ragu-ragu Ayah
mewariskan keris-keris itu kepada saya karena saya sudah menerima “pulung” atau
cahaya. Karena saya merasa bahwa Jakarta bukan tempat yang cocok bagi kedua
keris itu maka saya pun memindahkan mereka ke rumah ibu saya di Wonoroto.

Pada suatu malam tahun 1983, saya mengunjungi Bapak Amat Sayuti. Saat itu jumat
kliwon tengah malam, hari yang spesial buat orang Jawa untuk memandikan,
meminyaki sekaligus memberikan sesajen untuk benda-benda pusaka, saya membawa
Kyai Pajang untuk diikutsertakan dalam acara tersebut.

Begitu saya sampai ternyata sudah banyak pusaka yang siap untuk dimandikan,
diletakkan berjejer di atas sebuah meja panjang. Biayanya berasal dari sumbangan
para pemilik-pemilik pusaka tersebut. Hujan deras turun semalaman. Sampai sekitar
jam 3 pagi, saya dan eyang Sayuti masih berjaga-jaga.

Beliau duduk di sebuah amben bambu dengan mata tertutup, sementara saya duduk di
sebuah kursi di seberang meja. Tiba-tiba dia berdiri, lalu berjalan mengelilingi meja dan
mengambil salah satu dari keris-keris tersebut. Karena suasana remang-remang yang
hanya diterangi lampu minyak tanah maka saya tidak tahu persis keris yang mana yang
beliau ambil. Dan semakin sulit untuk membedakan karena semua keris-keris
diletakkan di atas meja tanpa wrangka.

Sambil memegang keris tersebut, Eyang Sayuti berkata, “ Saya melihat cahaya yang
memancar dari keris ini”.

Saya juga berdiri karena keris yang mana yang beliau pegang, ternyata Kyai Pajang.
Setelah menggenggam keris itu beberapa saat lalu beliau meletakkannya kembali di
atas meja. Kemudian kami berdua duduk di amben. Dengan hati-hati saya bertanya arti
dari apa yang baru saja dilihatnya.

“Artinya keris ini memiliki “wahyu Kedaton”, “ jawab Pak Amat.


54
Wahyu Kedaton artinya kekuatan spiritual untuk istana atau tahta. Saya shocked dan
terkejut. Saya tidak percaya apa yang beliau katakan barangkali Pak Amat hanya
bergurau saja. Tapi beliau kelihatan seperti tidak peduli dengan reaksi saya dan dengan
enaknya tidur berbaring di amben bambu. Sementara saya tidak bisa tidur memikirkan
tentang Wahyu Kedaton barusan.

Wahyu Kedaton adalah cahaya yang hidup dan memiliki kehendaknya sendiri. Dia bisa
masuk ke suatu benda pusaka kemudian pergi lagi apabila keadaan tidak sesuai
dengan kehendaknya. Mungkinkah Wahyu Kedaton telah meninggalkan istana
Surokartohadiningrat yang baru-baru ini dilanda kebakaran hebat dan kemudian masuk
ke dalam Kyai Pajang ? Saya tidak bisa mengabaikan apa yang diucapkan Eyang
Sayuti, beliau berkata “tunggu saja buktinya”. Saya pulang setelah matahari terbit
sambil menunggang kuda kesayangan.

Kyai Pajang adalah keris yang sangat baik. Lekukannya ada lima, sehingga sering juga
disebut sebagai Keris Pendowo Limo. Pada bilah keris tersebut terdapat bekas pijitan
jari empu yang membuat keris yaitu empu Supo. Wrangkanya terbuat dari Kayu Timoho
Macan gembong yang sangat jarang bisa ditemukan. Kayu timoho memiliki serat
seperti macan Bengali.

Dahulu kala, para empu sangat hati-hati dalam memilih kayu sebagai bahan pembuat
wrangka. Mereka akan pergi ke dalam hutan belantara untuk mencari kayu Timoho
yang memiliki aura tertentu.

Selanjutnya saya tidak perlu menunggu terlalu untuk mendapatkan bukti tentang Wahyu
Kedaton yang terdapat dalam keris Kyai Pajang. Pagi itu beberapa minggu setelah saya
kembali ke Jakarta, saya merasakan suatu getaran yang sangat kuat menyelubungi diri
saya. Saya sedang duduk di sofa dan saya biarkan saja getaran ini terus menerus
mengenai badan saya. Keadaan ini berlangsung selama empat jam dari jam delapan
pagi sampai jam dua belas siang. Lalu telepon berdering, anak saya Prio Handoyo,
memberitahukan bahwa ada orang yang sengaja datang dari Jawa Tengah membawa
sebilah keris untuk diperlihatkan kepada saya. Saya bertanya pada anak saya apakah
dia sudah melihat kerisnya. Ternyata belum, anak saya lebih suka kalau saya sendiri
yang melihatnya, supaya jangan sampai salah mengerti.

Orang itu datang ke rumah saya membawa sebilah keris. Tampaknya dia baru saja
datang dari Jawa Tengah naik kereta api. Saya belum pernah ketemu dia sebelumnya.
Saya terkesan karena malam sebelumnya saya secara gaib keris tersebut diperlihatkan
kepada saya, tetapi saya tidak terlalu memperhatikan.

Ketika keris itu saya cabut dari wrangkanya, saya benar-benar kagum dengan
keindahannya. Benar-benar sebuah maha karya. Wrangka dan hulu kerisnya terbuat
dari gading yang dihiasi emas dan berlian. Bilah kerisnya memiliki 13 lekukan. Pada
bilah itu terdapat ukiran naga yang sedang memakai mahkota yang terbuat dari emas
55
24 karat, sedangkan pada mulut dan mata naga tersebut terdapat berlian yang
berkilauan. Beberapa ukiran lain juga terdapat pada keris itu yaitu ukiran kijang, kura-
kura lalu bunga-bunga yang terbuat dari emas. Inilah keris Nogososro yang terkenal.
Nogo artinya naga sedangkan sosro artinya seribu. Nogososro adalah keris seribu naga.
Inilah keris yang kekuatan spiritualnya setara dengan kekuatan seribu naga. Jaman
dahulu, banyak terjadi pertempuran untuk memperebutkan keris pusaka ini.

Waktu itu saya benar-benar sedang tidak punya uang. Tapi saya merasa bahwa benda
pusaka ini memang berkehendak untuk menjadi milik saya. Saya sampaikan hal itu
pada orang tersebut. Untuk mendapatkan kepastian mengenai hal itu saya mencoba
untuk mendapatkan petunjuk sampai hari kamis wage atau sehari sebelum jumat kliwon.

Hari yang terbaik untuk menerima pusaka adalah hari jumat kliwon menurut kalender
Jawa. Saya berharap seandainya sebelum waktu itu tiba saya sudah mendapat
semacam mas kawin atau mahar sebagai penukar keris tersebut maka saya pun akan
semakin yakin bahwa keris itu memang berkehendak untuk tinggal bersama saya.
Apalagi saat itu saya sedang tidak punya uang sepeserpun dan tanpa penghasilan
tetap selama delapan tahun sepuluh bulan.

Benda Pusaka semestinya tidak untuk diperjualbelikan. Tapi untuk mendapatkan ada
semacam mas kawin seperti mahar untuk pengantin. Pemberi keris tidak semestinya
menjual dengan harga tertentu, tapi si penerima juga harus pandai-pandai menakar
kira-kira berapa nilai mas kawin yang layak untuk keris tersebut. Kalau kita tidak
bersikap jujur dalam menilai mas kawin untuk keris tersebut maka akibatnya akan tidak
baik di kemudian hari.

Jumat Kliwon di bulan Cuma tinggal 5 hari lagi, ternyata benar saja dua hari sebelum
jumat kliwon saya mendapatkan rejeki besar dari jalan yang tidak disangka-sangka.
Saya segera berangkat ke Jawa Tengah untuk menyerahkan mas kawin sebagai
pengganti keris lalu mampir ke rumah ibu saya di Wonoroto untuk merayakan
kedatangan keris pusaka yang baru ini.

Menurut kalendar kalender Jawa (perhitungan bulan) perubahan hari terjadi pada jam 4
pagi sementara menurut kalender masehi terjadi pada tengah malam. Saat jam 4 pagi
inilah yang merupakan waktu terbaik untuk mengadakan selamatan.

***

Beberapa bulan sejak menerima keris Nogososro maka sayapun mendapatkan


beberapa pemahaman baru. Saya jadi teringat dulu ketika umur saya masih 16 tahun di
Yogyakarta tahun 1946. Malam hari waktu itu saya sedang duduk di teras rumah kami.
Hujan sedang turun dengan lebatnya. Tiba-tiba hujan berhenti mendadak, di depan
saya muncul cahaya yang memanjang, bentuknya tidak lurus melainkan zigzag,

56
mengeluarkan suara mendesis seperti ular. Rupanya inilah penjelmaan dari naga
raksasa yang dinamakan Nogososro atau seribu naga.

Setelah Nogososro menghilang, suatu cahaya yang lain datang dari langit, ukurannya
sebesar kelapa dan bentuknya mirip buah pear. Cahayanya cemerlang memancarkan
warna kebiru-biruan. Ini adalah penjelmaan dari Kyai Sabuk Inten. Keduanya yaitu
Nogososro dan Sabuk Inten sekarang sama-sama tinggal dalam keris yang kini menjadi
milik saya. Keris ini merupakan pusaka yang sangat berharga karena membawa
kharisma yang besar untuk tahta dan kekayaan.

Saya merasa beruntung bahwa saat itu saya belum mengerti arti dari kedatangan dua
sosok gaib itu yang merupakan pertanda bahwa saya akan mendapatkan keris
Nogososro. Seandainya saya tahu mungkin saya akan frustasi menunggu waktu
selama empat puluh tahun sampai akhirnya kedua keris itu jatuh di tangan saya.

Suatu hari, Eyang Amat Sayuti atau Raden Mas Suryosuwarno berkunjung ke rumah
ibu saya di Wonoroto, lalu saya perlihatkan keris Nogososro kepadanya. Beliau
memegang keris dengan khidmat kedua matanya terpejam selama beberapa saat.

“Dalam keris ini terdapat dua penghuni, yaitu Nogososro dan Sabuk Inten,” kata Pak
Amat sambil membuka matanya. Ada banyak keris yang bertype Nogososro tapi keris
Nogososro yang benar adalah yang didalamnya dihuni oleh Kyai Nogososro dan Kyai
Sabuk Inten.

Dua minggu setelah keris Nogososro tiba di Wonoroto, ada kejadian aneh. Perempuan-
perempuan yang sedang bekerja di ladang melihat ada keris terbang dari arah timur
menuju Wonoroto. Waktu itu sekitar jam 9 pagi.

Mereka berseru keheranan, “Ono keris mabur, ono keris mabur”.

Semua orang desa membicarakan kejadian itu, kebetulan saya sedang berada di
Wonoroto. Biasanya peristiwa keris terbang terjadi di malam hari pada saat orang-orang
sedang tidur. Menurut mereka yang melihatnya keris itu terbang rendah setinggi pohon
kelapa, dari arah timur yang merupakan posisi dari keraton Surokarto Hadiningrat yang
baru saja mengalami kebakaran. Keris itu terbang ke barat ke arah rumah saya.
Menurut meraka yang melihatnya ekor keris itu mengeluarkan api seperti sebuah roket,
sayang begitu melintasi bangunan sekolah keris itu tidak terlihat lagi seolah-olah seperti
menghilang. Ada yang mengatakan ekor apinya berwarna kemerahan tapi ada pula
yang berkata warnanya kekuning-kuningan.

Beberapa penduduk berusaha mencari keris itu siapa tahu jatuh ke sawah. Tapi mereka
tidak bisa menemukan karena keris itu langsung masuk ke rumah saya bergabung
dengan Nogososro. Keris yang baru datang itu rupanya berjenis kelamin perempuan
dan merupakan pasangan dari keris Nogososro. Ukirannya berbentuk ratu naga dengan
57
kedua saya sedang terkembang. Seluruh bilah keris ini juga bertabur emas dan berlian,
namanya Nyai Nogo Lar Mungo, atau naga dengan sayap terkembang.

Setelah kejadian tersebut benda-benda pusaka yang lainnya susul menyusul datang
kepada saya. Salah satunya adalah sebuah tombak yang tertanam di bawah tanah di
desa Wonoroto. Cerita tentang tombak ini telah ada sejak puluhan tahun yang lalu.
Pada malam-malam tertentu tanah tempat tombak tersebut dikuburkan akan nampak
seperti memancarkan cahaya. Sudah banyak orang yang berusaha menemukannya
tapi tidak ada yang berhasil. Tetapi setelah keris Nogososro datang di Wonoroto maka
tombak itu kemudian muncul dengan sendirinya dari dalam tanah. Nama tombak ini
adalah Kanjeng Kyai Puger.

Ada juga sebuah keris yang datang ke rumah saya dengan cara berenang di sungai
seperti ular. Namanya Kyai Tunggul jati. Jumlah lekukannya genap sehingga mirip
dengan keris Kyai Setan Kober. Barangkali karena lekukan yang genap inilah maka
pemiliknya yang terdahulu membuangnya ke sungai. Menurut cerita Eyang Amat Sayuti,
keris ini dibuat oleh empu yang sama yang membuat keris Setan Kober, tapi pada saat
pembuatannya empu itu didampingi oleh salah seorang dari wali songo sehingga keris
tersebut tidak memeiliki sifat yang panas, melainkan tenang dan tenteram tapi tetap
mengandung kekuatan spiritual yang dahsyat.

Menurut Eyang Amat Sayuti sebenarnya Kanjeng Ratu Bagelen yang mengirimkan Kyai
Tunggul Jati kepada saya melalui beliau. Baik Kyai Puger maupun Kyai Tunggul Jati
keduanya ditemukan oleh Eyang Amat Sayuti yang selanjutnya menyerahkannya
kepada saya. Ketika Eyang meninggal seluruh koleksi pusaka-pusakanya yang
berjumlah 154 buah semuanya diwariskan kepada saya. Semuanya asli, karena beliau
sendiri adalah pakar dalam hal ilmu pusaka keris dan tombak. Salah satunya yang
menarik perhatian saya adalah keris Nogorojo atau Keris Raja Naga.

***

Waktu itu saya sedang berada di rumah saya di Virginia USA 20 Maret 1987, saya
sedang tidur. Dalam keadaan tidur inilah jiwa saya terbang ke pulau Jawa mengunjungi
keraton kerajaan Majapahit yang sudah tidak ada di alam fisik tetapi masih ada di alam
gaib, bentuknya persis seperti keraton Majapahit ketika masa kejayaannya. Saya
disambut oleh salah seorang penjaga istana yang mengenakan pakaian prajurit Jawa
jaman dahulu.

Istananya terbuat dari dinding-dinding kayu jati tua. Pintu dan jendelanya penuh dengan
ukiran-ukiran halus. Saya melewati pintu demi pintu sendirian, sedangkan penjaganya
menunggu diluar seperti yang takut dan tidak berani masuk ke dalam. Setelah saya
keluar keraton lewat pintu yang lain ternyata penjaga tersebut sudah menunggu diluar
pintu.

58
Dia memandu saya masuk ke tempat penyimpanan pusaka. Di dalamnya penjaga itu
duduk bersila dekat pintu sambil memberi hormat pada pusaka yang terletak di tengah-
tengah ruangan. Ada dua pusaka yaitu Kuluk Kanigoro berupa mahkota raja terbuat
dari kain beludru berwarna abu dan hitam dengan garis-garis warna keemasan.
Mahkota itu kelihatannya kecil tapi pada saat saya mencoba memakainya ternyata pas
betul dengan ukuran kepala saya.

Pusaka yang kedua adalah sebilah keris yang diukir dengan langgam ukiran Jawa Kuno
bernama Nogorojo atau Raja Naga, warnanya sudah kehitam-hitaman karena usia tua,
di alam nyata keris inilah yang diwariskan oleh eyang Amat Sayuti kepada saya. Keris
ini adalah pemimpin dari 154 lainnya. Bedanya dengan Keris Nogososro adalah dalam
jumlah lekukannya. Nogososro memiliki 13 lekukan sementara Nogorojo 11 lekukan.

Keris lainnya adalah Nogo Pandito, Nogo Singo dan Nogo Kingsru (Naga air yang
pandai berenang) dan keris Nogo Mataram. Lalu ada lagi keris Sombro dibuat oleh
seorang empu perempuan bernama Nyai Sombro. Bentuknya jelek menyerupai bentuk
penis kaum pria, tetapi datar. Keris ini sangat tipis, hampir seperti kertas. Ciri-cirinya
adalah pada keris ini terdapat bekas pijatan tangan empu yang membuatnya yang
terlihat sangat jelas. Keris ini bisa menjinakkan keris-keris lain yang paling liar sekalipun.
Saya beruntung memiliki memiliki dua buah keris Sombro karena sangat sulit untuk
mendapatkan keris yang asli. Kebanyakan keris yang diperjualbelikan di pasaran
adalah tiruannya saja.

Setelah mendapatkan keris Nogososro maka keris-keris dan tombak yang lain
berdatangan kepada saya. Mereka adalah para prajurit dari Kyai Nogososro.
Tampaknya selama Kyai Pajang menghilang beliau telah memobilisasi keris-keris lain
untuk bergabung dengan Kyai Nogososro.

Saya akan menceritakan pengalaman saya yang lain. Yang sebenarnya sangat penting
dan memiliki dampak jauh ke depan terhadap masa depan pulau Jawa.

Malam-malam saya sedang menyetir mobil dari Denver Colorado ke Front Royal
Virginia di negara bagian Ohio pada hari minggu wage 2 Desember 1990. Badan saya
terasa dingin dan mengantuk, saya sadar ada tamu yang datang berkunjung dari Pulau
Jawa. Beberapa kali saya jatuh tertidur sambil memegang setir. Rasa ngantuk itu
datang karena tamu-tamu dari Jawa rupanya ingin berkomunikasi dengan saya. Maka
saya segera mencari pom bensin untuk parkir dan tidur sejenak di dalam mobil.

Saya menutup mata. Dalam keadaan setengah tidur dan separo sadar, Panembahan
Senopati, pendiri dari kerajaan Mataram mendatangi saya diiringi oleh ribuan
pengikutnya. Beliau bersabda dengan intonasi suara yang kuat dan tegas mengenai
situasi politik di pulau Jawa saat ini dan apa yang akan terjadi dalam beberapa tahun
mendatang. Akan tetapi saya menganggap dawuh beliau belum saatnya untuk dibuka
ke publik pada saat sekarang ini.
59
Bab 8 Kepercayaan Leluhur

Selain animisme, “Kepercayaan Leluhur” juga merupakan fenomena yang sangat nyata
dalam budaya Jawa. Kepada anak-anak sudah lazim diajarkan bahwa melawan
orangtua baik ayah, ibu atau kakek nenek adalah dosa besar, dan apabila kita ingin
berhasil dalam usaha, karir atau keberhasilan apapun dalam hidup maka kita perlu
meminta restu dari orang tua, kakek nenek dan para leluhur lainnya. Jangan sampai
kita menerima kutukan karena mereka tidak berkenan dengan tingkah laku kita.

Dimanapun mereka berada, orang Jawa selalu berusaha keras untuk bisa kembali
pulang ke rumah untuk merayakan Lebaran. Lebaran berarti “the end” dan merupakan
suatu perayaan besar setelah puasa Ramadhan selama satu bulan penuh. Pada
kesempatan ini orang-orang Jawa selalu ingin kembali ke rumah untuk berkumpul lagi
dengan keluarga dan untuk nyekar mempersembahkan bunga-bunga dan doa di
makam orang-orang tua yang sudah tiada. Pada saat berdoa di makam inilah mereka
seperti memperbaharui hubungan atau meminta restu untuk menghadapi hari-hari yang
akan mereka hadapi di tahun selanjutnya.

Lebaran adalah hari yang sangat istimewa bagi orang jawa. Pada hari itu mereka
mengenakan pakaian terbaik yang mereka punya. Setelah matahari terbit mereka pergi
ke masjid atau lapang untuk shalat Iedul Fitri berjamaah bersama-sama, lalu pergi ke
kuburan. Ada juga yang pergi ke kuburan sehari sebelum Iedul Fitri.

Beberapa hari sebelum Lebaran, kaum perempuan sibuk memasak aneka kue dan
makanan. Menu yang spesial adalah ketupat yaitu nasi yang dimasak di dalam
anyaman daun kelapa muda. Setelah dipotong diagonal kemudian ketupat ini dipotong
kecil-kecil lalu disiram dengan kuah bersantan seperti gule atau opor.

Setelah sarapan mereka juga pergi mengunjungi para sesepuh yang masih hidup
seperti buyut, kakek nenek, orang tua, paman, bibi, kakak, sepupu dan seterusnya.
Mereka melakukan sungkem yaitu berlutut sambil memohon maaf dan mohon doa restu.
Orang-orang yang lebih tua sangat dihormati. Pada saat hari Lebaran mereka tinggal di
rumah sementara orang-orang yang lebih muda datang berkunjung. Lebaran juga
merupakan kesempatan dimana orang-orang saling berbagi bingkisan bagi mereka
yang dihormati dan dicintai seperti saudara, teman dan lain-lain.

Di Jawa hubungan antara manusia yang masih hidup dan para leluhur yang sudah
meninggal masih tetap dipelihara. Setiap kali mengadakan selametan mereka
mengirimkan doa untuk para leluhur yang sudah meninggal. Sebelum mengadakan
makan dan minum, mereka mengambil sebagian kecil dari hidangan yang terbaik dan
60
menempatkannya di sebuah piring di atas meja kecil sebagai sesajen untuk arwah para
leluhur. Sesajen ini biasanya disertai secangkir teh dan kopi, bunga-bunga dan sedikit
kemenyan yang dibakar.

Sekalipun para leluhur di alam sana sudah tidak bisa lagi makan dan minum , mereka
percaya bahwa arwah leluhur itu masih dapat menikmati esensi dan aroma dari
hidangan yang disajikan. Setidaknya mereka merasa bahwa anak keturunannya yang
tinggal di dunia masih ada rasa hormat dan cinta pada mereka.

Praktek membuat sesajen ini sudah tidak pernah lagi dilakukan oleh mereka yang
tinggal di kota besar atau mereka yang sudah terpengaruh oleh ajaran agama
Islam/kristen yang ketat. Tapi di pedalaman pulau Jawa masih banyak yang
melakukannya, demikian pula di pusat-pusat kebudayaan Jawa seperti keraton dan
tempat kediaman para keturunan bangsawan.

Sekalipun arwah-arwah para raja dan ratu beserta anggota keluarganya banyak yang
tinggal di hutan gunung, lautan atau tempat-tempat terpencil lainnya ada pula yang
memilih untuk tinggal dalam lingkungan keraton, mereka menempati ruangan-ruangan
tertentu seperti tempat penyimpanan pusaka dan lain-lain. Sesungguhnya kejadian
seperti ini tidak hanya terjadi di timur saja akan tetapi terjadi pula di dunia barat. Dari
waktu ke waktu selalu ada cerita tentang hantu yang menghuni bangunan-bangunan
tertentu. Akan tetapi di Timur orang-orang nya cenderung lebih peka dan sadar
mengenai hal ini.

Awalnya saya tidak paham mengapa anggota keluarga kerajaan beserta kerabatnya
selalu berlutut dan menyembah serta menangkupkan kedua telapak tangannya sambil
menunduk dan bersikap sangat hormat apabila hendak masuk ke ruangan tertentu di
lingkungan kraton. Belakangan baru saya mengerti ternyata ruangan-ruangan yang
dianggap suci itu merupakan kediaman dari arwah tokoh-tokoh yang semasa hidupnya
merupakan sosok yang penting. Mereka memperlakukan arwah-arwah ini seolah-olah
seperti mereka masih hidup diantara kita. Mereka tidak berani memasuki bangunan
dengan cara yang kurang sopan. Sebaliknya sebelum masuk dengan penuh rasa
hormat dan takzim mereka memohon izin dan perkenan dari para penghuni gaib dari
bangunan tersebut.

Pemahaman saya tentang bangunan-bangunan yang dianggap suci semakin terbuka


ketika saya membangun pendopo di rumah saya di Wonoroto, menggunakan empat
soko guru (4 tiang utama).Sebuah pendopo adalah bangunan terbuka, atapnya seperti
rumah pada umumnya tapi keempat dindingnya terbuka. Sebelum masuk ke dalam
rumah hendaknya kita beristirahat sejenak di pendopo untuk melepaskan diri dari
pengaruh negatif dunia luar. Kita seharusnya bebas dari rasa amarah, kecewa, sedih,
frustasi iritasi dan emosi-emosi negatif lainnya sebelum memasuki rumah dan
berkumpul bersama keluarga.

61
Dengan cara ini maka keluarga kita akan terhindar dari pengaruh-pengaruh negatif
dunia luar yang melekat pada kita selama kita melakukan perjalanan atau pekerjaan di
luar rumah. Di masa lalu ketika masih banyak orang yang memiliki kekuatan
supernatural hal-hal semacam ini bisa membawa akibat yang fatal. Apabila ada orang

Pendopo juga digunakan untuk menerima tamu-tamu resmi, mengadakan selametan,


upacara perkawinan, kumpulan, perayaan, pertunjukan musik gamelan dan tari-tarian
atau menjadi tempat pementasan wayang kulit.

Almarhum ibu saya sebelum meninggal selalu mendorong saya supaya punya rumah
sendiri. Waktu itu kami sekeluarga masih tinggal di apartemen kecil yang disediakan
PPK Subud di Cilandak sebelah selatan Jakarta. Saya sibuk dengan kegiatan-kegiatan
di Subud dan sering melakukan perjalanan baik di dalam maupun ke luar negeri untuk
mengunjungi kelompok-kelompok Subud di tempat-tempat yang jauh. Saya belum
terpikir untuk punya rumah sendiri.

Setelah saya sering berkunjung ke desa Wonoroto, saya mulai menyadari pentingnya
memiliki rumah sendiri (Wismo) sebagai salah kelengkapan kesempurnaan bagi orang
Jawa. Inilah alasannya yang membuat ibu cemas kenapa saya belum punya rumah
sendiri. Saya belum menyadari implikasi yang lebih jauh karena saya mungkin sudah
terlalu lama tinggal di Jakarta dan sering melakukan perjalanan.

Semula saya hanya ingin membangun pendopo yang sederhana saja, tiangnya dari
batang kayu kelapa sedangkan atapnya dari jerami. Saya sudah memesan tiang dari
kayu kelapa yang ditebang dari kebun kepunyaan keluarga. Terdiri dari 16 batang yang
sudah dibentuk bulat panjang, 4 buah sebagai Soko Guru (tiang utama) dan 12 sebagai
Soko Rowo (tiang yang posisi nya di luar soko guru). Akan tetapi pembangunan rumah
dan pendopo yang sederhana ini tidak juga dilakukan, sampai lebih dari delapan tahun
tiang-tiang ini teronggok begitu saja di kebun.

Hingga suatu saat datanglah sebuah benda pusaka kepada saya, dalam bentuk sebuah
payung suci. Mulanya saya bermimpi ketika sedang tidur di hall utama Cilandak. Dalam
mimpi itu seseorang datang dan menyerahkan sebuah payung suci kepada saya.
Warna payungnya hijau dengan garis-garis berwarna keemasan di sekelilingnya. Selain
payung, orang itu menyerahkan sebuah benda berbentuk telur berwarna coklat kebiru-
biruan. Telur itu ditekankan ke telapak tangan kanan saya sampai masuk ke dalamnya.
Rasanya sakit bahkan setelah terbangun saya masih merasakan sakitnya. Saya melihat
jam, waktu itu jam 3:45 pagi.

Peristiwa ini terjadi tidak lama setelah saya menerima keris Nogososro. Saya menerima
benda pusaka dalam bentuk menyerupai telur melalui Eyang Amat Sayuti Raden Mas
Suryosuwarno. Beliau memberitahu saya bahwa beliau dipanggil oleh leluhur Pulau
Jawa yang berdiam di puncak Gunung Slamet. Eyang Amat Sayuti segera bergegas

62
berangkat dengan menggunakan aji-aji sapu angin. Begitu tiba di Puncak gunung
Slamet, leluhur Pulau Jawa itu menitipkan telur ini untuk diserahkan kepada saya.

Ketika saya bertanya apa kegunaan dari pusaka ini, Pak Amat menjawab, “Ini adalah
telur naga yang sudah membatu. Dengan memiliki telur ini maka apapun yang kamu
kehendaki akan terjadi.”

Beberapa minggu kemudian, seseorang datang dengan sebuah truk pick up. Dia
membawa payung dengan dekorasi yang indah disertai dua batang tombak sebagai
penjaganya. Payung ini sama dengan payung yang diberikan kepada saya dalam mimpi.

Sebelum mendapatkan payung itu, saya belum mengerti mengapa sebuah payung bisa
menjadi pusaka yang teramat penting dalam sejarah kebudayaan Jawa. Saya hanya
mengira-ngira saja bahwa sebuah payung itu posisinya berada di atas kepala.
Sedangkan kepala merupakan bagian yang paling penting dan sakral dibanding
anggota tubuh lainnya. Memegang kepala seseorang adalah perbuatan yang sangat
tidak sopan, apalagi bila orang tersebut mempunyai status sosial yang tinggi. Hanya
arwah-arwah dari raja dan ratu yang sudah meninggal yang bisa menempatkan dirinya
duduk di atas kepala raja dan ratu yang sedang berkuasa, atau dengan kata lain hanya
arwah para leluhur yang bisa berperilaku demikian.

Bentuk sebuah payung menyerupai wahyu, yaitu cahaya spiritual yang bisa melindungi
dan merestui siapapun yang menerimanya.

Panembahan Senapati pendiri kerajaan Mataram, mendapat anugerah berupa payung


suci Kyai Mendung dari ayah angkatnya Sultan Hadiwijaya. Anugerah ini merupakan
pertanda bahwa Panembahan Senapati adalah penerus tahta dari Sultan Hadiwijoyo,
sekalipun beliau bukan merupakan anak kandung Sultan. Menurut cerita, Kyai
Mendung bisa mendatangkan awan dan semilir angin yang sejuk ketika dipakai di
tengah hari yang sedang panas terik.

Banyak pihak-pihak lain yang iri hati terhadap Panembahan Senopati. Hingga pada
suatu saat payung tersebut dicuri orang, Panembahan Senopati marah besar lalu
terjadilah pertempuran dahsyat yang banyak memakan korban sebelum akhirnya
payung tersebut kembali ke pangkuan Panembahan Senopati.

Tidak ada musuh dari Panembahan Senopati yang berhasil merebut tahta sebagai raja
Jawa dari tangan beliau, karena payung ini mengandung Wahyu Kedaton atau
kekuatan spiritual untuk memperoleh tahta. Hal ini berarti bahwa para leluhur raja dan
ratu pulau Jawa memberi dukungan penuh kepada beliau. Salah satu pendukungnya
yang paling kuat adalah Kanjeng Ratu Kidul yang juga menjadi istrinya.

63
Pada saat kami berkunjung ke museum pusaka kerajaan di istana Surokarto
Hadiningrat, istri saya, Rukmiwati, sangat terkejut sewaktu tangannya menyentuh
sebuah payung tua. Ada getaran yang sangat kuat memancar dari payung tersebut.

Eyang Amat Sayuti atau Raden Mas Suryosuwarno berkunjung ke rumah saya setelah
saya mendapatkan payung tersebut, beliau tidak berani masuk ke dalam ruangan
tempat payung tersbut disimpan. Beliau berlutut di depan pintu dan memberikan hormat
kepada payung tersebut. Kemudian beliau memberitahu saya bahwa dalam payung
tersebut bersemayam arwah dari Ratu Kencono Wungu. Ratu Kencono Wungu adalah
salah satu ratu di kerajaan Majapahit pada saat kerajaan tersebut mencapai puncak
kejayaannya.

Pertanda lain adalah ketika saya kedatangan tamu seorang pematung dari Muntilan
yaitu Raden Sukoco. Muntilan adalah sebuah kota Kecamatan yang terletak dekat
dengan candi Borobudur. Saya memintanya membuatkan gapura untuk dipasang di
depan pendopo yang sedang dibangun. Ketika dia bertanya mengenai designnya saya
mengajak Raden Sukoco untuk masuk ke dalam kamar tempat penyimpanan pusaka.

Begitu saya membuka pintu tiba-tiba dia berlutut dan memberi hormat dengan takzim
sambil menangkupkan kedua belah tangannya ke arah payung pusaka itu sambil
berkata, “ Kanjeng Ratu Kencono Wungu” .

Payung tersebut ditutup oleh selongsong yang berwarna kuning.

Saya penasaran, bagaimana dia bisa mengenali bahwa dalam payung itu bersemayam
Ratu Kencono Wungu. Saya mencoba bertanya kepadanya, tetapi Raden Sukoco tidak
mau menjawab dan tetap berlutut dalam posisi sembah (menangkupkan kedua telapak
tangan di depan hidungnya). Selama 35 menit dia tetap berada dalam posisi sembah
tersebut.

Setelah selesai kami duduk-duduk berdua di teras sambil menikmati segelas kopi,
kemudian saya bertanya, “ Apakah sampeyan pernah melihat payung itu sebelumnya.”

“Tidak,” jawabnya.

“Apa sampeyan pernah berkunjung ke keraton Surokarto Hadiningrat ?” saya bertanya


lagi.

“Tidak”.

“Bagaimana sampeyan tahu bahwa ini adalah Kanjeng Kyai Tunggul Nogo ?”

64
“Lihat badan saya, seluruh badan saya masih gemetar sampai sekarang. Saya tahu
begitu saja bahwa ini adalah Kanjeng Kyai Tunggul Nogo dan didalamnya berdiam Ratu
Kencono Wungu. “

“Sampeyan benar tapi bagaimana caranya sampeyan bisa tahu bahwa payung yang
ada dalam selongsong kuning ini adalah Kyai Tunggul Nogo ?”

“Sebelum meninggal, kakek saya memanggil semua anggota keluarganya. Setelah


semuanya berkumpul beliau berkata : ‘Dengarkan baik-baik dan saksikanlah. Sesuatu
yang sangat penting akan terjadi dalam waktu dekat, pusaka Tanah Jawa yaitu Kanjeng
Kyai Tunggul Nogo akan meninggalkan istana, saya tidak tahu kemana benda itu akan
pergi.’ Setelah mengucapkan kalimat itu maka beliau pun meninggal dunia.”

“Lalu paman saya”, Raden Sukoco melanjutkan, “dia adalah seorang pertapa dan tidak
menikah selama hidupnya, sebelum meninggal beliaupun menyatakan hal yang sama,
katanya kalau ucapannya tidak terbukti gali saja lagi kuburannya. Saya merasa
bersyukur bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa mengijinkan saya untuk menyaksikan
benda pusaka ini sebelum saya mati.”

Kejadian lain yang membenarkan pentingnya pusaka payung suci di Jawa adalah
mimpi yang saya alami pada malam sebelum wafatnya Yang Mulia Kanjeng Sri Sultan
Hamengku Buwono ke IX pada tanggal 2 Oktober 1988.

Dalam mimpi ini saya melihat dua buah songsong gilap (Payung Emas) masing-masing
berwarna biru langit dengan garis keemasan berdiri berdampingan. Tiba-tiba salah satu
dari payung terjatuh terjatuh dan roboh di lantai. Keesokan harinya Yang Mulia Kanjeng
Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX wafat. Kejadian dalam mimpi ini menunjukkan
bahwa Yang Mulia Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX telah menerima
Wahayu Kedaton dan tetap memilikinya sampai pada akhir hidupnya.

Tidak seperti kanjeng Kyai Mendung dan Songsong Gilap yang merupakan payung
berlapis satu, Kanjeng Kyai Tunggul Nogo adalah payung berlapis tiga. Payung ini tidak
untuk dipakai melindungi kepala kita dari hujan dan panas melainkan sekedar untuk
upacara yang dilaksanakan dalam ruangan seperti pendopo.

Istana Surokarto Hadiningrat pernah mengalami kebakaran hebat. Setelah peristiwa


inilah maka banyak benda-benda pusaka kerajaan yang hilang entah kemana.

Ratu pantai Selatan atau yang biasa disebut Kangjeng Ratu Kidul, adalah istri spiritual
dari Panembahan Senopati, pendiri dinasti kerajaan Mataram yang kemudian terpecah
dua menjadi Kasultanan Ngayogyakarta dan Surakarta. Istana gaibnya terletak di
tengah-tengah laut sebelah selatan pulau Jawa. Beliau beserta arwah-arwah lainnya
masih memainkan peranan penting dalam percaturan politik di negri ini. Tampaknya

65
dalam dunia gaib Jawa, para arwah leluhur masih tetap memainkan peranan penting
dalam memelihara dan merawat negri ini. Mereka berkumpul dalam sebuah dewan.

Para pemimpin dari kelompok-kelompok kebatinan di Jawa selalu berusaha untuk


mencari tahu kapan dan dimana para anggota dewan ini akan berkumpul serta
keputusan-keputusan apa yang telah mereka ambil yang akan sangat mempengaruhi
negeri ini. Termasuk perubahan kepemimpinan yang akan terjadi dalam pemerintah.
Biasanya pertemuan tahunan diadakan setiap bulan Suro menurut kalender Jawa.

Waktu itu hari Selasa Kliwon, 29 Suro 1917 (bertepatan dengan 25 Oktober 1984), saya
sedang berada di Wonoroto. Jam tiga pagi, saat itu tiba-tiba di hadapan saya seperti
sedang diputar sebuah film. Mulainya ketika saya sedang tidur, tapi setelah saya
bangun ternyata film itu tetap berlanjut mengikuti saya kemanapun saya pergi dan
kemanapun mata saya berpaling. Lalu saya tidur, film itu tetap berlangsung, lalu saya
bangun lagi dan tidur lagi tapi tetap saja film tersebut berlangsung, dan akhirnya
berhenti setelah lima kali bangun dan tidur. Film itu menceritakan tentang masa depan
Indonesia, apa yang akan terjadi dan akan dialami oleh negeri ini di masa depan.
Sayang sekali saat ini saya belum dapat menyampaikan apa yang saya lihat.

Karena Yang Mulia Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX juga disebut-sebut
peranannya dalam film tersebut maka saya pun berangkat ke Jakarta untuk beraudiensi
dengan beliau. Kami bertemu dan pada saat saya menceritakan kejadian tersebut
ternyata beliau tidak terkejut dan telah mengetahuinya. Beliau membenarkan apa yang
saya ceritakan dalam film itu.

Kanjeng Sultan berkata bahwa bahwa beliau baru saja kembali dari Yogyakarta karena
ada sahabat beliau yang dipanggil oleh Panembahan Senopati, pendiri dinasti Mataram.
Pada panggilan pertama dan kedua, Sahabat itu tidak berani memasuki kompleks
pemakaman Panembahan Senopati sebelum ada izin dari Sultan. Pada panggilan
ketiga itulah sang sahabat baru memohonkan restu kepada Kangjeng Sultan untuk
masuk ke kompleks makam.

Setelah ijin diberikan maka sahabat sultan pun memberanikan diri untuk ziarah ke
makam Panembahan Senopati. Dia ditemui oleh tiga arwah leluhur yaitu Panembahan
Senopati, Kanjeng Ratu Kidul dan Ki Ageng Pemanahan yang merupakan ayahanda
dari Panembahan Senopati. Panembahan Senopati menitipkan pesan untuk
disampaikan kepada Sultan mengenai peristiwa politik yang akan terjadi di Indonesia
dan bagaimana mestinya Sultan bersikap. Pesan yang disampaikan ternyata sama
persis dengan film yang telah saya saksikan.

Pada kesempatan lain Sultan bercerita mengenai pengalamannya pada tahun 1939
ketika Gubernur Belanda untuk Jawa bagian tengah yaitu Jenderal Lucien Adams yang
66
mewakili pemerintah Belanda memaksanya untuk menandatangani suatu kontrak politik
yang isinya menyerahkan hampir seluruh kewenangannya sebagai Sultan kepada
Belanda. Sultan menolak dan perundingan pun macet selama tiga bulan. Gubernur
Adam mengancam akan menyerahkan jabatan Sultan kepada orang lain. Sultan tetap
berkeras tidak mau menandatangani dan balik menantang Jendral Adam untuk segera
menggantinya dengan orang lain.

Tapi suatu sore ketika Sultan sedang dalam keadaan terkantuk-kantuk di beranda
istana, Panembahan Senopati datang dan berbisik : “Jangan khawatir anakku, Tanda
tangani saja kontrak itu karena tidak lama lagi Belanda akan meninggalkan negeri ini.”

Esok harinya Sultan segera menandatangani kontrak politik bahkan isi kontrak itu sama
sekali tidak dibaca lagi oleh beliau. Ternyata benar tidak lama kemudian Jepang masuk
ke Indonesia, Belanda pun terusir begitu saja. Orang-orang Belanda yang tidak sempat
melarikan diri ada yang ditangkap, dibunuh dan ditawan di kamp-kamp konsentrasi.

Sesungguhnya arwah-arwah yang berdiam di dalam pusaka-pusaka itulah yang


menghendaki agar saya membangun pendopo sebagai tempat mereka berkumpul.
Saya tentu saja mau mengerjakannya dengan senang hati asal dananya tersedia. Dan
merekapun sepakat.

Benar saja, nasib saya berubah seketika setelah menerima kedatangan Kyai Tunggul
Nogo, Kyai Nogososro dan Kyai Sabuk Inten. Saya bertemu kembali dengan teman
lama seorang pengusaha Indonesia yang kelihatannya banyak mendapatkan manfaat
dari pergaulannya dengan saya selama ini. Keuntungannya dalam berbisnis meningkat
pesat dan dia sangat berperan dalam membantu saya menyediakan dana untuk
pembangunan pendopo tersebut sekaligus rumah dan bangunan untuk menyimpan
koleksi pusaka.

Saya memutuskan membangun rumah dengan gaya tradisional Jawa berdasarkan


pada perhitungan spiritual dan pandangan-pandangan kebudayaan Jawa. Pendpo inti
atau yang letaknya paling dlam berbentuk persegi disangga oleh empat tiang yang
dinamakan Soko Guru. Persegi diluarnya yang lebih luas disangga oleh dua belas tiang
dinamakan Soko Pengarak. Sedangkan lapisan pendopo yang paling luar dinamakan
pendopo Agung Proboyekso disangga oleh dua puluh tiang. Sehingga secara
keseluruhan pendopo ini memiliki tiga puluh enam tiang.

Tiang yang besar dan panjang untuk soko guru saat ini susah untuk ditemukan,
Wiryawan orang yang saya percaya untuk mengerjakan konstruksinya menyarankan
untuk membeli saja rumah tua beserta soko gurunya. Rumah yang akan dibeli harus
terletak di sebelah utara dari rumah yang sedang dibangun agar material bangunan
rumah tua itu bisa dipindahkan ke arah selatan. Karena memindahkan rumah dari
selatan ke utara berarti melanggar ketentuan arah dari Nogobumi, atau Naga Bumi
yang akan membawa malapetaka.
67
Kebetulan di desa tetangga yang terletak di sebelah utara Wonoroto ada rumah tua
yang hendak dijual. Soko guru nya baru akan bisa dipindahkan apabila segala
persiapan untuk menerimanya sudah benar-benar siap. Soko guru tersebut harus
dipindahkan dalam posisi berdiri dan segera ditanamkan saat itu di lokasi pendopo
yang baru. Soko guru yang masih “hidup” tidak boleh dipindahkan dalam posisi
berbaring horizontal karena akan membawa akibat yang tidak baik buat penghuninya
kelak. Hari dan jam pemindahannya juga harus dihitung dengan seksama supaya
segalanya berlangsung aman dan baik. Alhamdulillah setelah semua saran dari para
sesepuh dijalankan maka prosesi pemindahan soko guru itupun berjalan dengan lancar.
Soko guru ini umurnya sudah lebih dari seratus tahun.

Setelah konstruksi soko guru nya selesai beserta kerangka atapnya maka diadakan
selamatan yaitu berkumpul, berdoa dan berjaga-jaga semalaman. Saya sedang tidak
berada di Wonoroto ketika acara selamatan itu berlangsung.

Anak saya Laksmonosusilo bercerita bahwa pada malam itu terdengar suara aneh
seperti sirene ambulans. Setelah itu dia melihat cahaya masuk ke dalam soko guru lalu
semua tiang itu bergetar. Selanjutnya setelah 36 tiang itu semuanya diberdirikan, dia
juga terjadi pula sesuatu peristiwa yang bersifat spiritual. Sebuah bola api yang sangat
besar dan terang jatuh ke puncak atap pendopo, anak saya berteriak minta tolong
mengira akan ada kebakaran. Tetapi cahaya itu kemudian memecah dirinya lalu
bergerak seperti menggelinding ke empat arah mata angin, lalu menghilang. Cahaya
tersebut bukanlah api melainkan wahyu.

Sebelum menyaksikan sendiri peristiwa-peristiwa semacam itu, Laksmonosusilo adalah


orang yang skeptis dan tidak percaya terhadap segala hal yang bersifat gaaib. Dia lahir
dan dibesarkan di Jakarta serta mengikuti pendidikan di Jerman selama dua tahun.
Saya memintanya untuk tinggal sementara di Wonoroto untuk mengurus peternakan
kuda sekaligus merintis sekolah menunggang kuda. Saya percaya sekarang dia betah
tinggal di Wonoroto dan mulai bisa menghargai tradisi serta kebudayaan Jawa.

Beberapa hari sebelum meninggal pada usia seratus dua puluh enam tahun, Eyang
Amat sayuti, Raden Mas Suryosuwarno bercerita :

“Ada tiga jenis wahyu yang berdiam di pendopomu, pertama adalah wahyu Trilintang,
artinya wahyu tiga bintang yang berdiam di sebelah tenggara soko guru. Yang kedua
adalah wahyu Triwulan yang berada di dodo paksi (balok bersilang di langit-langit
pusat). Dan yang ketiga adalah Wahyu Tri Renggono yaitu wahyu Tiga Istana terletak di
dulur (balok kayu di bagian atap pertengahan pendopo). Dengan ketiga wahyu ini maka
rumahmu akan menjadi tempat tinggal yang baik sampai beberapa keturunan.

Kamu harus mengadakan selamatan untuk rumah ini pada malam jumat kliwon bulan
suro tahun ini. Karena para leluhur tanah Jawa dari sebelas arah mata angin akan
berkumpul disini termasuk yang sekarang sedang berada di gunung Ali-Ali (Ayer Rock
68
Mountains Australia). Mereka akan tinggal disini mulai jam lima sore sampai jam tiga
pagi. Yang mulia Kanjeng Ratu Bagelen akan menjadi tuan rumah pertemuan ini. Beliau
sudah menyampaikan rencananya pada saya tadi malam.”

Benar- benar diluar dugaan saya bahwa pertemuan para leluhur Pulau Jawa tahun ini
akan diadakan di pendopo rumah saya yang belum selesai dibangun. Saya merasa
sangat tersanjung dan mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah SWT. Lalu saya
menyelenggarakan selamatan untuk dua ratus orang diikuti dengan berjaga-jaga
semalaman.

Sesungguhnyalah siapapun yang berada di pendopo ini akan merasakan suasana yang
tenang, nyaman dan sejuk, getaran dari kekuasaan Yang Maha Kuasa sangat mudah
terasakan disini. Perasaan bahagia inilah yang membuat siapapun tetap merasa segar
dan tidak mengantuk.

Setelah melewati semua pengalaman ini, saya mulai mengerti dan menghargai kenapa
keluarga bangsawan di Yogyakarta selalu berlutut dan melakukan sembah sebelum
masuk ke pendopo istana. Mereka tidak menyembah bangunan fisiknya, melainkan
menghormat kepada arwah-arwah yang berdiam disitu.

Untuk sekian lama saya bertanya-tanya dalam hati bagaimana para arwah raja dan ratu
pulau Jawa ini mengenal saya sewaktu saya masih berumur enam belas tahun ?
Kenapa mereka waktu itu di tahun 1946 tersenyum, menyampaikan salam dan
menganggukkan kepalanya kepada saya ? Tampaknya mereka sudah tahu apa yang
akan terjadi di masa depan. Mereka mencintai saya seperti halnya saya juga mencintai
mereka.

Apakah para arwah leluhur juga ada di negara-negara Barat ? Mereka juga ada.
Pengalaman saya pribadi, saya bertemu dengan arwah dari Napoleon Bonaparte pada
saat saya berkunjung ke makamnya di Paris dan saya juga bertemu dengan arwah dari
Simon Bolivar sewaktu saya berkunjung ke rumah tempat beliau dilahirkan di Caracas
Venezuela dan saya juga pernah bertgemu dengan banyak arwah-arwah lainnya di
Barat. Mereka juga ada dan masih tinggal di alam dunia ini sekalipun tidak bisa dilihat
oleh mata biasa.

Akan tetapi hubungan antara orang-orang Barat dengan leluhurnya tidak terpelihara
dengan baik, tidak seperti orang Jawa. Hubungan mereka dengan orang tua, kakek,
nenek dan para leleuhur berhenti pada saat upacara pemakaman. Bahkan hubungan
tersebut bisa juga berhenti sebelum orangtuanya mati. Orang-orang tua dikirim ke panti
jompo, sementara anak-anaknya terlalu sibuk untuk dapat mengunjungi mereka.

Istilah “Kepercayaan Leluhur” mungkin sedikit membingungkan. Orang Jawa tidak


menyembah para leluhur seperti mereka menyembah Tuhan. Mereka hanya
melanjutkan rasa hormat dan cintanya pada leluhur seperti yang mereka lakukan
69
terhada para orang tua yang masih hidup. Orang Jawa sudah terbiasa untuk memberi
hormat dan memohon doa restu pada orangtua yang masih hidup. Rasa hormat dan
cinta itu tidak terputus karena kematian melainkan terus tetap berlanjut hingga ke alam
akherat.

Ikatan batin dan ikatan kekeluargaan yang kuat lebih disebabkan karena adanya daya-
daya kemanusiaan (daya jasmani) yang lebih mendominasi mereka. Hubungan
kekeluargaan ini adalah sesuatu yang kekal dan akan terus berlanjut sampai di akherat
nanti.

Secara spiritual daya jasmani inilah yang membedakan manusia dengan binatang.
Perhatian, kasih sayang dan ikatan keluarga di dalam dunia binatang akan berakhir
begitu anaknya disapih (berhenti menyusui). Demikian pula tidak ada yang namanya
pola hubungan suami istri antara binatang. Misalnya seekor kambing jantan akan bebas
melakukan hubungan seksual dengan siapa saja, baik itu saudara perempuan, anak,
nenek bahkan dengan ibu kandungnya sendiri. Itulah sebabnya manusia yang
mentalnya didominasi oleh daya hewani maka gaya hidupnya juga akan kacau.

Daya jasmani inilah yang menyebabkan adanya ikatan suami istri yang kokoh di
kalangan umat manusia seperti halnya hubungan antara orangtua dan anak, kakek dan
cucu dst. Beberapa keluarga yang baik bahkan bisa merunut silsilah keluarganya
sampai ratusan atau ribuan tahun yang lalu.

Binatang tidak memiliki kesadaran semacam ini, karena mereka tidak memiliki daya
jasmani dalam dirinya. Tapi sayang sekali bahwa tekanan kehidupan modern saat ini
menyebabkan daya jasmani dalam diri seseorang semakin melemah sehingga daya
jasmani tidak lagi merupakan daya yang paling dominan dalam diri manusia modern.
Secara bertahap tergantikan oleh daya kebendaan.

Daya kebendaan akan menyebabkan manusia menjadi materialis, possesif, individualis


dan egois. Perasaan cinta terhadap sesama dan ikatan keluarga digantikan oleh sifat
egosentris yang hanya mementingkan diri sendiri.

Dalam upaya mengejar kepentingannya sendiri maka orang yang didominasi oleh daya
kebendaan tidak akan segan-segan untuk mengorbankan kepentingan sesamanya.
Bahkan ada yang sudah sedemikian tenggelam dalam daya kebendaan sehingga
mereka tidak ragu-ragu untuk membunuh sesama manusia agar dapat mewujudkan
keinginannya.

Pengaruh dari daya kebendaan yang telah menghancurkan landasan hidup berkeluarga
menyebabkan tingginya tingkat perceraian. Penampakan luar mereka mungkin sama

70
dengan manusia-manusia lainnya tetapi di dalamnya mereka tidak ubahnya seperti
sebongkah batu, keras dan tidak memiliki perasaan dan emosi terhadap sesamanya.

Orang semacam ini semakin pandai akan semakin berbahaya. Dalam bidang spiritual
daya kebendaan disebut juga sebagai daya saitaniah. Pikiran dan hati manusia yang
dikuasai oleh daya setaniah akan menghasilkan perilaku yang buruk dan jahat seperti
iblis.

Sesungguhnya ada ikatan batin antara orangtua dan anak, kakek dan cucu dst. Dalam
bahasa Jawa ada ungkapan “ anak polah wong tuwo kepradah” yang artinya “apapun
yang dilakukan anak, maka orangtua akan menanggung akibatnya.

Jika seorang anak melakukan sesuatu yang memalukan maka orangtua juga akan
menanggung malu. Jika anaknya sakit maka orangtuanya akan turut menderita. Kalau
anaknya sedih orangtua pun akan ikut sedih. Kalau anaknya bahagia maka orangtua
pun akan merasa bahagia dan seterusnya.

Tapi jika orangtuanya didominasi oleh daya kebendaan maka hubungan keluarga itu
akan terputus dan mereka tidak peduli lagi apa yang akan terjadi dengan anak-anaknya,
demikian pula sebaliknya. Bahkan ada pula kasus dimana orangtua membuang
anaknya yang masih bayi, seperti yang pernah saya saksikan di berita televisi Amerika
Serikat.

Ada pula ungkapan dalam bahasa Jawa yaitu “Swargo nunut, neroko katut” yang
artinya : “ kalau kamu masuk neraka maka kamu juga akan membawa serta kedua
orangtuamu kesana, sebaliknya kalau kamu masuk surga maka kedua orangtua mu
juga akan ikut serta.”

Sesungguhnya manusia tidak bisa masuk ke surga seorang diri, karena arwah kedua
orangtuanya akan beserta leluhur yang lain akan duduk di atas kepala mereka. Jadi kita
juga turut serta bertanggung jawab untuk memuliakan mereka.

Jalan seorang anak manusia hadir ke alam dunia ini adalah melalui kedua orangtuanya.
Orangtua harus menderita dan berkorban banyak untuk anak-anaknya. Sebagai
penggantinya maka Tuhan telah mewajibkan setiap anak untuk turut serta membawa
ibu bapaknya ke surga. Kita tidak bisa masuk surga sendirian melainkan harus
membawa serta lelhur kita sampai tujuh turunan ke atas. Sebaiknya leluhur yang baik
juga akan mampu menolong dan memberikan perlindungan pada keturunannya sampai
tujuh turunan.

Agama Islam juga mengajarkan pentingnya taat dan berbakti kepada Tuhan dan
kewajiban untuk mencurahkan kasih sayang kepada anak-anak kita. Anak-anak dapat
71
mengirimkan doa yang bermanfaat untuk membantu menerangi orangtuanya yang
sudah berada di alam kubur.

Ketika ayah saya meninggal di Indonesia pada tahun 1972, saya sedang berada di
Amerika Serikat. Ruh beliau datang kepada saya lalu beliau bersemayam di mahkota
pada kepala saya selama beberapa waktu. Di dalam kepala saya, ayah menjalani
proses pembersihan dan penyesuaian. Jiwanya disesuaikan dengan tingkat kemajuan
jiwa saya pada waktu itu.

Pada tahun 1946, umur saya baru enam belas tahun, waktu itu saya berperilaku aneh,
tidak mau pergi ke sekolah, berjalan kaki setiap malam sampai subuh. Lalu saya
berbicara sendiri, merasa melihat cahaya, ruh-ruh dan hal-hal gaib lainnya. Banyak
orang yang salah paham dengan saya. Saya terasing dari keluarga, dan ada satu
paman yang jadi sangat benci pada saya. Waktu itu saya sangat sakit hati dengan kata-
katanya.

Hingga pada suatu malam, saya meninggalkan rumah dan mengikuti saja kemana kaki
saya melangkah. Secara naluriah saya berjalan begitu saja tetapi seperti ada yang
mengarahkan ternyata saya berjalan ke arah kuburan para leluhur di desa Wonoroto.
Saya berada diluar rumah semalaman dan baru kembali keesokan harinya. Pada saat
tidak ada lagi orang yang mengerti saya, tidak ada orang bisa dimintai saran dan
nasehat maka naluri saya membimbing saya untuk minta bantuan pada arwah para
leluhur. Saya tidak tahu kenapa saya melakukan ini dan tidak ada juga orang lain yang
menyuruh. Saya hanya merasa bahwa hanya inilah yang bisa saya lakukan ketika saya
sedang terasing dari orang-orang lain. Ternyata para leluhur itu menyambut saya
dengan hangat dan penuh pengertian. Selama tiga minggu berturut-turut setiap malam
saya duduk saja di makam para leluhur dan setelah itu saya merasa lebih tenang dan
lebih percaya diri.

Sebenarnya banyak orang Jawa yang juga melakukan hal yang sama, menghabiskan
waktu malam-malam di kuburan atau disebut “prihatin” untuk mendapatkan dukungan
moral dan petunjuk.

Ternyata Eyang Kursinah, Ibunda dari Pak Subuh juga sering tidur di kuburan pada
masa mudanya. Menurut cerita Pak Subuh disitulah Eyang Kursinah mendapatkan
petunjuk bahwa beliau akan mempunyai anak yang memiliki kekuatan spiritual untuk
membimbing sesama manusia.

Suatu saat ketika saya sedang menonton pertunjukkan wayang kulit, Ki Dalang
mengucapkan sesuatu yang sangat berkesan bagi saya. Ki Dalang berkata bahwa
banyak orang Jawa yang berhasil dalam hidupnya karena mereka banyak
menghabiskan waktu untuk berada di dekat makam para leluhurnya. Kenapa ?
Kelihatannya tradisi ini tercermin dalam ungkapan “kacang ora ninggalke lanjaran”.
Tanaman kacang ditanam dengan cara merambat pada tiang bambu sebagai
72
pendukungnya. Ungkapan ini berarti bahwa kita hendaknya tidak lupa dan selalu
berterimakasih pada para orangtua dan leluhur yang menjadi sebab keberadaan kita di
muka bumi. Ada lagi ungkapan dengan makna yang lebih dalam yaitu, “Sangkan
Paraning Dumadi”, yang berarti “asal mula dari keberadaan kita.

Setelah menerima kontak dengan cahaya Ketuhanan (dibuka), secara bertahap kita
akan dibimbing untuk menuju pada kesadaran terhadap siapa diri kita yang
sesungguhnya. Kita akan tahu yang mana diri sejati kita itu. Kita juga akan dibimbing
untuk dapat menghargai kebudayaan yang berkembang di sekitar kita. Sebelum
mengalami kesadaran diri ini, saya yang sebelumnya banyak mendapat pendidikan
cara barat, belum mengerti dan belum bisa menghargai budaya Jawa. Seiring dengan
semakin berkembangnya penghayatan saya maka penghargaan terhadap budaya Jawa
pun tumbuh semakin besar. Sama halnya dengan orang Jerman, Inggris atau Perancis
mereka juga akan dibimbing menjadi orang Jerman yang baik atau orang Inggris yang
baik atau orang Perancis yang baik.

Cara kita kembali ke Tuhan adalah dengan menapaktilasi jalan dari mana kita datang;
dimulai dari kesadaran, kemudian melalui orangtua kita terus ke para leluhur hingga
akhirnya kembali kepada Tuhan. “Dari Tuhan kita berasal dan kepada Tuhan kita akan
kembali”. Itulah makna dari “Sangkan Paraning Dumadi”.

Istilah bahasa Jawa untuk berdoa adalah sembahyang. Kata sembahyang berasal dari
“sembah” artinya memberi hormat dan “Eyang” artinya kakek nenek atau nenek
moyang. Jadi Sembahyang artinya menyerahkan segenap diri kita kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa melalui para leluhur.

Menghaturkan hormat dalam bahasa disebut “nyembah”. Dilakukan dengan cara


menangkupkan kedua telapak tangan di depan hidung. Kalau kita perhatikan dengan
seksama, diantara kedua ibu jari yang saling menempel akan membentuk sebuah
lubang yang menyerupai lubang vagina. Hal ini dimaksudkan untuk mengingatkan
orang Jawa bahwa mereka datang ke alam dunia ini melalui rahim ibu sedangkan
vagina adalah “pintu gerbang surga”. Seseorang hanya dapat kembali kepada Tuhan
melalui pintu gerbang ini yang tidak lain adalah vagina kaum ibu. Itulah sebabnya
durhaka terhadap ibu kandung merupakan perbuatan yang sangat tercela.

Tentu saja pengetahuan di atas hanya dapat dipahami oleh mereka yang benar-benar
sudah mengalaminya sendiri dan biasanya pengetahuan yang demikian mereka simpan
untuk diri mereka sendiri. Dan dianggap sebagai suatu kesadaran batin yang suci dan
rahasia.

Sebelum hadir ke alam dunia, jiwa seseorang itu hadir melalui ayah, sang ayah datang
melalui kakek nenek. Sedangkan kakek nenek melalui buyut dan seterusnya. Tempat
dari jiwa seorang ayah adalah di atas kepala anaknya yang memiliki kapasitas spiritual

73
paling kuat. Sehingga orangtua dan para leluhur disebut juga “pepunden”, artinya
mereka yang engkau bawa di atas kepalamu.

Kemajuan spiritual seorang anak secara otomatis akan memberikan manfaat pula bagi
orangtuanya. Berdasarkan pengalaman spiritual inilah sangat lazim bagi orang Jawa
untuk menyebut ayah seorang Adipati (gubernur) juga sebagai Adipati sekalipun
pangkat yang sesungguhnya barangkali hanya sebagai lurah atau kepala desa.

Itulah sebabnya bagi orang Jawa beranggapan bahwa memiliki anak dengan kualitas
yang baik merupakan hal yang sangat penting. Anak-anak adalah harta yang paling
berharga bagi orang Jawa dan merupakan instrumen bagi keselamatan di alam abadi
kelak.

Lalu bagaimana caranya seseorang memasuki “pintu surga” seperti yang disebutkan di
atas ? Seorang anak atau manusia yang sudah tumbuh dewasa tentu saja tidak
mungkin kembali secara fisik ke rahim ibu melalui lubang vaginanya. Jalan untuk masuk
ke “Pintu Surga” adalah melalui hubungan seks yang bersifat suci dan rahasia, bukan
dengan ibunya melainkan dengan istrinya.

Di Jawa, hubungan seksual bukan semata-mata untuk kesenangan dan pemuasan


hawa nafsu saja, melainkan merupakan sebuah cara yang suci untuk menunaikan
ibadah. Hubungan seksual adalah cara yang disediakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa
supaya manusia bisa beranak pinak dan bertambah banyak. Pada saat sedang
melakukan hubungan seksual seseorang sesungguhnya sedang menjalankan
fungsinya sebagai alat Tuhan untuk melipatgandakan ciptaanNya. Kalau hubungan
seksual dilakukan dengan sepenuh kesadaran dan rasa tanggung jawab maka hal itu
akan menjadi semacam bentuk ibadah kepada Tuhan dan orang yang bersangkutan
akan terangkat derajatnya secara spiritual.

Akan tetapi “Pintu Surga” ini bisa berubah menjadi “pintu neraka” apabila hubungan
seksual tersebut dilakukan dengan seorang pelacur. Perbuatan seperti itu adalah dosa
yang sangat besar dan akan menyebabkan penderitaan bagi ibunya yang sudah berada
di alam akherat. Pak Subuh pernah berkata bahwa ruh seorang ibu di alam akherat
akan merasa seolah-olah sebuah besi panas ditusukkan ke dalam vaginanya setiap kali
anak laki-lakinya berhubungan seks dengan pelacur. Di masa lalu orang yang berbuat
dosa semacam itu akan dihukum mati atau diasingkan ke tempat yang terpencil. Alam
juga sudah turut menunjukkan amarahnya dengan macam-macam penyakit seperti
syphilis, herpes atau AIDS.

Kalau hubungan seksual dimotivasi dan digerakkan oleh cahaya Tuhan, maka orang
tersebut akan mengalami proses purifikasi dan pembersihan. Setelah mengalami
proses pembersihan yang panjang maka pada saat sedang melakukan hubungan
74
seksual tersebut dia akan merasa seolah-olah ibunya hadir dalam diri istrinya. Hal ini
akan menaikkan derajat baik istrinya maupun ibunya. Orang yang melalui pengalaman
semacam ini tidak ubahnya seperti melalui “pintu surga” yang akan membawanya
menyelam lebih dalam ke alam spiritual.

Orang Jawa yang linuwih memperoleh pengetahuan masa lalu bukan sekedar melalui
ilmu sejarah atau ilmu arkeologi saja yang terbatas pada temuan-temuan fisik, tapi yang
paling utama justru melalui “pintu surga” ini, dari sinilah mereka akan mulai dapat
melakukan perjalanan mengembara ke alam akherat yang kekal. Apapun yang lakukan
di dunia ini maka akan ada rekamannya secara audio visual. Sekalipun jejak-jejaknya
sudah terhapus di alam fisik akan tetapi di alam akherat rekamannya akan tetap ada.

Pak Subuh banyak bercerita pada saya mengenai kejadian-kejadian di masa lalu
termasuk soal kerajaan Atlantis. Beliau berkata bahwa pada jaman dahulu kerajaan
Atlantis memang benar-benar ada. Pada jaman itu umat manusia sudah mencapai
perkembangan teknologi yang sangat maju. Mereka bisa membuat senjata yang sangat
canggih, jauh lebih canggih dibanding bom atom jaman sekarang. Senjata yang ampuh
itu bentuknya seperti cahaya yang dapat menghancurkan dan menyapu bersih apa saja
yang disentuhnya.

Pada saat kerajaan Atlantis tenggelam ke dasar laut rakyat dan pemimpinnya banyak
sekali yang tewas, tinggal tersisa sedikit saja. Mereka kehilangan ingatan berikut segala
pengetahuan yang dimilikinya sehingga intelektual manusia kembali lagi ke titik nol.

“Pada saat perang perjuangan revolusi Indonesia melawan Belanda yang sedang
mencoba untuk menjajah kembali, sekelompok pasukan gerilya meledakkan sebuah
jembatan di sebelah utara Yogyakarta menggunakan bahan peledak yang sangat kuat.
Ini adalah operasi rahasia yang dilakukan di malam hari. Para gerilyawan tersebut tidak
tahu bahwa di dekat jembatan ada sebuah rumah yang penghuninya sedang tidur.
Ketika bom itu meledak, maka orang itu terkejut bukan main sampai telinganya jadi tuli
dan selama berhari-hari tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Kamu bisa
bayangkan kedahsyatan dari ledakan yang terjadi ketika benua Atlantis tenggelam ke
dasar laut.

Pulau Jawa sudah ada sejak jaman Atlantis akan tetapi Pulau Jawa bisa bertahan tidak
ikut tenggelam. Jadi Jawa adalah sebuah pulau yang sudah sangat tua.

75
Bab 9 Lima Ciri Kesempurnaan Manusia Jawa

Untuk menjadi seorang laki-laki yang sempurna, seorang manusia Jawa harus memiliki
lima hal :

1. Curigo, artinya keris


2. Turonggo, kuda
3. Kukilo, burung perkutut
4. Wismo, rumah
5. Wanito, istri

Kelima perkara di atas Mo Limo, artinya lima kata benda yang berakhiran dengan huruf
O. Keris adalah benda pertama yang harus dimiliki seorang laki-laki. Seorang anak
muda bisa mulai meniti karirnya dengan bantuan sebilah keris yang sesuai dengan
dirinya. Selanjutnya dia akan berusaha mendapatkan seekor kuda, memelihara burung
perkutut, membangun rumah dan menikah.

Disamping Mo Limo, ada lagi lima kata kerja yang harus dijauhi oleh seorang, dimulai
denga “Ma” yaitu :

1. Main, atau judi


2. Mabok, minum minuman keras
3. Madat, narkoba
4. Maling, mencuri
5. Madon, berzina

Saya sudah menjelaskan panjang lebar tentang keris dan rumah. Selanjutnya tentang
kuda.

Kenapa orang Jawa juga perlu memiliki kuda ? Kuda adalah kendaraan. Tapi posisi
kuda sebagai Turonggo tidak bisa digantikan oleh mobil atau motor, karena mobil atau
motor adalah benda mati sedangkan kuda adalah benda hidup. Kuda memiliki jiwa yang
bisa mempengaruhi dan berinteraksi dengan pemiliknya.

Berikut ini adalah pengalaman prbadi saya dengan kuda. Setelah empat tahun tinggal
di Amerika saya kembali ke Indonesia pada tahun 1974, saya mengunjungi ibu dan
beberapa anak saya yang dititipkan di Wonoroto. Anak saya Martono meminta dibelikan

76
kuda. Selama ini dia selalu naik kuda pakde nya Erdy. Karena saya juga seorang
penggemar kuda maka permintaannya saya penuhi.

Kami mendengar kabar bahwa di desa Kalidono, sekitar 6 km dari Wonoroto ada orang
yang memelihara dua puluh ekor kuda kebetulan beliau juga kepala desa Kalidono.
Saya mengajak Martono dan Erdy untuk melihatnya kesana.

Kyai Sastrowinoto dan Raden Subroto juga saya ajak ikut serta, karena saya tahu
persis mereka punya banyak pengetahuan tentang perkudaan dan bisa membaca
tanda-tanda yang terdapat pada seekor kuda yang disebut ilmu katuranggan kapal.
Setelah memperhatikan kuda-kuda itu dengan seksama mereka mencegah saya agar
tidak membeli seekor kuda dri jenis Stallion Arabian.

“Kenapa ?” Saya bertanya dengan nada kecewa, karena saya sangat suka dengan
kuda itu.

“Tanda-tandanya menunjukkan bahwa kuda ini akan berumur pendek. Yang harus
kamu beli mestinya yang berjenis Argentine Stallion.”

Saya tahu kuda yang dimaksud. Seekor kuda kurus yang tampak sakit-sakitan, kaki-
kakinya penuh dnegan bekas luka.

Dengan rasa penasaran saya bertanya, “kenapa ?”.

“Karena kuda ini memiliki ciri Satriyo Manah, artinya pangeran yang sedang memanah.”
Jawab Raden Subroto.

Setelah melakukan testing beberapa saat, saya berkata, “Baiklah kita rundingkan
harganya.”

Karena kudanya tampak sakit jadi kami bisa membeli dengan harga murah. Saya
serahkan kuda itu supaya dirawat oleh Kyai Sastrowinoto. Dia menangkap beberapa
ekor kadal, lalu dipanggang dijadikan makanan untuk si kuda. Ternyata 2 minggu
kemudian kuda itu sudah kembali sehat. Kuda Stallion itu sudah kembali pulih
kekuatannya. Kuda itu diberi nama Donorojo yang berarti Raja Kaya, sekarang sudah
menjadi seekor kuda yang sehat, kuat dan gagah.

Tidak sampai tiga bulan kemudian, saya mendengar kabar bahwa Arabian Stallion yang
sebelumnya hendak saya beli ternyata mati karena sakit. Kejadian inimengesankan
buat saya. Saya baru menyadari bahwa ilmu Jawa tentang perkudaan benar-benar
mujarab.

77
Tiga bulan kemudian sewaktu saya berkunjung lagi ke Wonoroto, pemilik kuda dari
desa Kalidono ingin membeli kudanya yang dulu dijual kepada saya dengan harga tiga
kali lipat.

“Apa saranmu ?” Saya bertanya pada Kyai Sastrowinoto.

“Jangan dijual.”

“Apa alasannya ?” tanya saya.

Berikut ini jawaban dari Kyai Sastrowinoto, “ Donorojo aslinya adalah kuda import untuk
Akademi Militer di Magelang. Setelah beberapa saat dipakai kuda dipensiunkan karena
luka-luka yang sulit sembuh. Kemudian dijual kepada seorang pengusaha kontraktor di
Magelang. Kontraktor ini menjadi sangat kaya setelah memiliki Donorojo. Rumahnya
yang semula sederhana kini sudah jadi rumah mewah bahkan mobilnya saja enam.
Lalu dia menjual Donorojo kepada seorang saudagar tembakau dari Wonosobo,
sebuah kota kecil dekat pegunungan Dieng.

“Saudagar inipun jadi kaya raya setelah memiliki Donorojo, sementara kontraktor yang
dari Magelang jatuh bangkrut, lalu menjadi tukang loak di pasar Magelang. Kemudian
saudagar tembakau itu menjual Donorojo kepada kepala desa Kalidono.

“ Kepala Desa Kalidono itupun menjadi lurah paling kaya se kabupaten Magelang. Dia
memiliki dua perangkat gamelan lengkap dan satu set wayang kulit, dia juga membeli
Vanilla, kebun cengkeh, kebun kelapa dan sawah berhektar-hektar. Kudanya ada dua
puluh dan istrinya dua.”

“Berikutnya setelah menjual Donorojo, giliran kepala desa Kalidono yang jatuh bangkrut.
Dia meminjam uang ke bank dalam jumlah besar untuk memborong cengkeh.
Sebelumnya dia sudah sering berspekulasi seperti ini, kali ini jumlah cengkeh yang
diborongnya jauh lebih banyak dengan memakai uang pinjaman bank. Ternyata harga
cengkeh jatuh. Hutangnya tidak terbayar, lalu dia mulai menjual aset-asetnya yang lain.

Baru-baru ini dia ikut lomba balap kuda di Magelang, kedua belas ekor kudanya dibawa
dengan memakai truk, dalam perjalanan pulang truk nya jatuh tergelincir masuk jurang.
Empat kudanya mati dan yang lainnya luka parah. Sementara si Kepala Desa itu koma
sampai lebih dari dua puluh hari. Istrinya yang mau menjenguk ke rumah sakit juga
mengalami kecelakaan di jalan. Untung tidak terlalu parah.”

Setelah mendengarkan cerita di atas, saya memutuskan untuk tidak menjual Donorojo
dan akan memindahkannya ke ranch saya di Cipanas Jawa Barat. Donorojo dan saya
menjadi teman baik. Malam-malam saya sering naik ke atas punggungnya, sementara
Donorojo merumput saya memandangi bintang-bintang di langit sambil menikmati angin
malam pegunungan yang sejuk. Dia juga sangat baik dan jinak terhadap anak-anak.
78
Suatu pagi ketika saya sedang menunggangi Donorojo keliling ranch, di sebuah tempat
di Cipanas yang dinamakan “Happy Valley”, tiba-tiba muncul sekitar 20 ekor kuda
betina lainnya. Donorojo menjadi liar. Saya tidak bisa lagi mengendalikan, dia berputar-
putar sambil mengangkat kaki depannya sementara kuda-kuda betina itu semakin dekat.
Saya memeluk leher Donorojo kuat-kuat, kalau tidak mungkin saya sudah terlempar
jatuh. Tiba-tiba Donorojo melompat dan menindih salah satu betina itu. Mereka
melakukan hubungan seks padahal saya masih sedang duduk di atasnya. Donorojo
melakukannya dengan lembut dan hati-hati, rupanya dia tidak ingin saya terjatuh dari
punggungnya, sayapun menjadi tenang. Selanjutnya secara bergiliran dia melayani
hubungan seks dengan tujuh ekor kuda betina lainnya. Saya biarkan saja Donorojo
melakukan apa yang dia suka.

Donorojo juga memiliki tanda-tanda “Pancuran Mas”. Indiharsono, salah satu karyawan
saya di ranch kuda itu memiliki kemampuan psikis. Dia terbiasa menjalankan laku
prihatin. Menurut ceritanya setiap malam jumat kliwon dan selasa kliwon ada bau
aroma yang wangi keluar dari kandang Donorojo. Usaha saya juga menjadi lancar
setelah memiliki Donorojo.

Seperti halnya makhluk hidup yang lain, umur Donorojo juga ada batasnya. Dia mati
pada tahun 1977 karena usia tua. Waktu itu saya tidak sedang di Cipanas. Badannya
terlalu besar untuk digotong dengan tangan sehingga karyawan saya memotong-
motong badannya lalu menguburnya di satu tempat. Saya shocked, kaget dan sangat
terpukul mendengar kabar peristiwa tersebut. Hal ini tentu saja merupakan pelanggaran.
Benar saja, tidak lama kemudian keberuntungan pun menjauh dari saya usaha saya
jatuh bangkrut. Kebangkrutan ini berlangsung selama delapan tahun.

Saya juga pernah membeli seekor kuda jenis Palomino dari saudara saya Erdy.
Namanya Sultan. Para sesepuh di Wonoroto tidak memberikan pendapat dan komentar
apapun. Mereka hanya mengatakan kuda itu memiliki tanda “Pagas”.

“Apa artinya ?” Tanya saya.

“Artinya kuda ini tidak lurus. Ini kuda yang tidak jujur.”

“Kenapa kamu tidak mencegah saya ketika saya membelinya ?”

“Karena kamu membelinya dari saudara kamu sendiri.”

Sekali lagi, mereka benar. Begitu saya menungganginya dengan kecepatan tinggi, tiba-
tiba tanpa diperintah kuda itu belok sendiri ke kiri dan saya pun terjatuh. Dalam balap
kuda juga, kuda ini tidak mau bergerak lurus menuju garis finish tapi selalu saja
berbelok ke arah penonton. Akhirnya saya menyerah, kuda itupun saya jual.

79
Lomba balap kuda adalah peristiwa besar di kabupaten Purworejo. Dala salah satu
event, keluarga kami turut mendaftarkan kudanya sebagai peserta yaitu kuda
kepunyaan saya dan Erdy. Ketika saya melihat-lihat kuda yang akan bertanding ada
satu yang membuat saya terkesan. Seekor kuda Stallion yang kekar dan cantik. Tapi
ketika saya dekati, ternyata kuda itu emmancarkan getaran yang kuat, malam harinya
badan saya terkenan cacar air. Saya bertanya kepada Kyai Sastrowirono, siapa pemilik
kuda itu.

“Jangan beli kuda yang seperti itu.”

“Kenapa ?”

“Kuda itu memiliki tanda “Buntel Mayit.”

Buntel artinya bungkusan, sedangkan mayit adalah mayat. Jadi buntel mayit artinya
sama dengan kain kafan.

“Dimana letak pertanda buntel mayit itu ?” saya bertanya lebih jauh.

“Susah untuk menemukannya, karena letaknya di bagian alat vital. Baru kelihatan kalau
kuda itu sedang ereksi.” Demikian jawaban Raden Subroto.

Karena saya percaya dengan nasehatnya, maka sayapun tidak tertarik lagi dengan
kuda itu. Hari itu, lapangan pacuan kuda dipenuhi para penonton. Tapi hari yang
mestinya menyenagkan itupun berakhir dengan tragedi. Si Buntel Mayit berlari paling
cepat, begitu sampai tikungan penunggangnya tidak bisa mengendalikan lagi, sehingga
kuda itu melompat tinggi melewati pagar pembatas, padahal diseberangnya para
penonton sedang duduk berbaris rapat seperti ikan sarden dalam kaleng. Empat orang
penonton tewas di tempat, salah satunya perempuan hamil.

Pemilik kuda itu orangnya sudah tua, bernama Kasan. Kasan dan kudanya tidak apa-
apa. Setelah kejadian itu mereka pulang menyusuri jalan raya beserta dengan saudara
perempuan Kasan, kelihatannya rileks dan santai seperti tidak terjadi apa-apa. Lalu
kuda itu dinaikkan ke truk menuju Magelang. DaIam perjalanan truk itu mengalami
kecelakaan. Kudanya selamat tapi saudara perempuan Kasan meninggal dunia.
Sementara Kasan pingsan.

Setelah siuman, pertanyaan Kasan yang pertama adalah, “Apakah Gunawan (nama
kudanya) selamat ?”

“Gunawan selamat, tapi saudara perempuanmu meninggal.”

“Ooh, syukurlah Gunawan selamat.”

80
Ikatan antara Kasan dengan kudanya tampaknya jauh lebih lebih kuat dibanding rasa
sayang terhadap saudara perempuannya.

Saya sudah sering melihat bahwa ikatan batin antara manusia dengan hewan
peliharaannya ternyata sangat kuat. Seorang suami yang sedang asyik mengurus kuda
di kandang kalau diberitahu bahwa anaknya sedang sakit, hanya menjawab, “Bilang
sama ibunya, suruh bawa anak itu ke rumah sakit.” Tapi kalau kudanya yang sakit
maka walaupun jam tiga pagi, dia akan langsung bangun dari tidurnya. Saya juga
pernah menyaksikan seorang perempuan Eropa yang mau mondar-mandir ke kandang
kuda 3 kali sehari sekedar untuk memberi makan, berjalan-jalan dan mengusap-usap
punggung kudanya, padahal jarak antara kandang kuda dengan rumahnya ada sekitar
tujuh kilometer. Saya tidak yakin apakah dia juga memperlakukan suaminya dengan
sebaik itu.

Ikatan batin antara kuda dengan pemiliknya bisa sangat kuat. Karena alasan inilah
maka orang Jawa sangat berhati-hati dalam memilih kuda, sebab nasib dan takdir
mereka akan saling mempengaruhi.

Setelah mengetahui keakuratan ilmu Jawa tentang kuda, suatu ketika saya bertanya
pada salah satu sesepuh : “Tanda-tanda apa yang paling baik yang terdapat pada
seekor kuda ?”

“Satrio Pinayungan.”

“Apa artinya ?”

Satriyo berarti ksatria sedangkan pinayungan artinya dilindungi oleh sebuah payung.
Kuda semacam ini artinya selalu dilindungi oleh payung spiritual berupa wahyu. Jaman
dahulu kalau ada rakyat yang menemukan kuda semacam ini maka akan segera
dipersembahkan kepada Raja. Orang biasa terlarang untuk memilikinya, kalaupun ada
maka harus segera diserahkan kepada Raja.”

Sejak saat itu kemanapun saya pergi, saya selalu berusaha mencari-cari kuda dengan
tanda Satria Pinayungan. Saya mencari kuda-kuda semacam itu Jakarta, Bandung dan
tempat-tempat lain di Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Sumbawa, Sumatera, Eropa dan
Amerika. Kemanapun saya pergi, khususnya dimana ada event pacuan kuda baik itu di
tingkat lokal, nasional maupun internasional, saya selalu mengamati barangkali ada
kuda dengan tanda Satria Pinyaungan. Tapi sejauh ini tetap tidak ketemu.

Suatu hari, ketika saya sedang asyik menonton kuda saya dalam suatu lomba balap
kuda dengan memakai teropong, seseorang duduk disamping saya lalu berbisik :

“Pak, saya ada kuda untuk Bapak.”

81
“Maaf saya sedang tidak ingin membeli kuda.”

“Tapi menurut saya kuda ini cocok untuk Bapak.”

“Maaf saya sedang tidak tertarik untuk membeli kuda.” Jawab saya.

Kuda-kuda itu akhirnya mencapai garis finish. Kuda saya menang. Orang itu masih
tetap mencoba membujuk saya.

“ Pak Prio, jangan salah paham. Saya tidak bermaksud menjual kuda, saya ingin
memberikan kuda ini buat Bapak,” Bujuknya.

“Ya tapi kan tetap harus dipelihara dan dikasih makan. Kuda saya sudah banyak,”
jawab saya, “ Kuda jenis apa ?”

“Cuma seekor kuda kecil.”

“Kuda kecil buat apa ?” saya bertanya.

Dia diam sejenak.

“Apa warna kudanya ?” Akhirnya saya bertanya lagi.

“Hitam”.

Melihat kegigihannya akhirnya saya memutuskan untuk melihat kuda itu agar dia tidak
terlalu kecewa.

“Dimana kuda itu.”

“Sudah saya simpan di kandang kepunyaan Bapak.”

“Apa ?” Saya kaget.

Dia kelihatannya bingung.

Kami berdua lalu pergi ke kandang kuda, disitu saya melihat seekor kuda pony warna
hitam.

Setelah saya amati dengan seksama, saya melihat ada tanda payung di punggungnya.
Saya tercengang dan tidak bisa berkata-kata selama beberapa saat.

82
“Baiklah, kuda ini saya terima, dan saya mengucapkan banyak terimakasih. Karena
kamu tidak menjualnya maka saya tidak akan membayar sekarang, tapi nanti saya
akan memberi kamu sesuatu sebagai tanda terimakasih.”

“Sama-sama pak, terimakasih juga.” Lalu dia pergi dengan wajah puas.

Sekalipun kuda pony ini kecil tapi kuda Argentine Stallion saya yang besar justru takut
melihatnya. Kelihatannya kuda kecil ini memang memiliki perbawa seperti seorang raja.
Konon kabarnya jaman dahulu kalau ada rakyat biasa yang memiliki kuda ini maka
harus segera diserahkan kepada raja sekalipun tidak diminta. Terserah baginda Raja
imbalan apa yang akan diberikannya sebagai pengganti.

Sesepuh di desa Wonoroto juga pernah bercerita tentang hal ini. Jaman dulu ada
seorang Cina di Purworejo, yang memiliki kuda Satria Pinyaungan. Saudagar Cina ini
lalu menjual kuda tersebut kepada raja yang membelinya dengan harga tertentu. Tidak
lama kemudian saudagar Cina itu pun bangkrut dan meninggal dalam keadaan miskin.

Setelah memiliki kuda ini, saya seperti mendapat anugerah. Saya berkesempatan
berkenalan dengan Yang Mulia Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX dan bersahabat
akrab dengan beliau. Saya bertemu dengan beliau setidaknya satu kali dalam sebulan.
Sultan memiliki jiwa yang sudah tumbuh dan berkembang dengan matang. Saya dapat
merasakan getaran kalau sedang menunggu di ruang tamu sebelum melakukan
audiensi. Saya merasakan betapa jiwa Sultan meliputi seluruh bangunan tempat
kediamannya ini. Beliau adalah pribadi yang penuh kharisma. Dia selalu mendengarkan
dengan seksama apa-apa yang saya katakan dengan penuh minat dan perhatian.
Beliau adalah pendengar yang baik.

Ada sebuah kisah yang terkenal tentang beliau. Suatu saat beliau sedang naik jeep
kesayangannya keliling ke desa-desa di sebelah utara Yogyakarta, lalu seorang
perempuan bakul pasar yang sedang berdiri di pinggir jalan melambaikan tangannya
minta tumpangan. Hari masih pagi sehingga perempuan itu tidak bisa melihat wajah
Sultan dengan jelas. Dia bermaksud menumpang sampai pasar Beringharjo. Sultan
mengiyakan lalu membantu mengangkat barang dagangannya. Ketika sampai di pasar
Beringharjo orang-orang berkerumun di sekitar jeep itu. Perempuan bakul pasar itu lalu
menyuruh Sultan menurunkan barang dagangannya, Sultan pun menurut. Setelah
selesai Sultan menolak uang upah dari perempuan itu dan berlalu begitu saja.
Perempuan itu mengomel.

Lalu ada orang di pasar yang bertanya bagaimana sampai dia bisa naik mobil bersama
Kangjeng Sultan.

“Apa ?” perempuan itu kaget.

83
“Kamu tidak tahu kalau orang yang kamu suruh angkat barang adalah Kangjeng Sultan
Hamengku Buwono ke IX ?”

Mendengar hal ini perempuan itupun semaput dan pingsan.

Di dekat Ranch saya di Cipanas, ada ranch lain kepunyaan orang kaya baru. Dia
mengimpor dua puluh ekor kuda sekaligus dari Eropa, semuanya dibawa dengan
menggunakan pesawat udara. Biasanya dia datang di hari minggu. Orang itu snagat
kaya sampai-sampai untuk makanan kudanya dia mengimpor apel dari luar negeri.
Padahal pada jaman itu apel masih merupakan barang mewah di Indonesia. Beberapa
bulan kemudian saya mendengar orang kaya ini bangkrut. Kandang kudanya terlantar
dan kudanya banyak yang mati. Pada suatu sore saya melihat-lihat kandangnya dan
merasa prihatin melihat kuda-kuda yang kurus dan sakit-sakitan.

Tiba-tiba seekor kuda pony putih datang menghampiri dan menggesekkan badannya ke
badan saya. Saya terkejut melihat ada tanda payung di punggungnya. Saya gemetar.
Semalaman saya tidak bisa tidur lalu keesokan harinya saya ke Jakarta menemui
pemilik ranch itu. Saya menyerahkan amplop berisi uang sebagai pembelian untuk kuda
pony itu. Tanpa menghitung isinya, jual beli itupun disepakati. Lalu saya kembali ke
Cipanas untuk membawa kuda pony itu ke kandang saya.

***

Saya juga membeli beberapa kuda balap dari Sulawesi, dua diantaranya adalah dari
jenis Filly yang cantik. Mono memberitahu saya bahwa salah satu filly itu memiliki taring
di dalam mulutnya, sebagai pertanda “Durgo Ngerik”. Sewaktu masih muda, Durgo
Ngerik ini belum kelihatan jadi saya tidak tahu. Bhatari Durgo adalah salah satu dewi
dalam pewayangan. Dia adalah pemimpin dari dewa-dewi yang bersifat jahat. Mono
menyarankan saya untuk membuang kuda ini.

Dalam suatu lomba balap kuda di Jakarta, Mono dengan menunggangi Gagak
Ngampar, menjadi juara satu. Gagak Ngampar memiliki tanda “Surung” yang berarti
kuda yang memiliki pertanda sebagai panglima perang. Ada salah satu jenderal yang
berdinas di sebelah selatan Jakarta yang sangat tertarik dengan kuda ini. Dia bertanya
pada panitia lomba siapakah pemilik kuda ini, lalu diperkenalkan dengan saya.

Dia bertanya barangkali saya mau menjual Gagak Ngampar. Saya jawab tidak, tapi
kalau mau dia bisa membeli kuda lain yaitu adik dari Gagak Ngampar. Saya diajak ke
rumahnya, disana dia menyerahkan sejumlah uang dalam bentuk cek. Tiga bulan
kemudian saya mendengar kabar, jenderal itu dipecat dari jabatannya sebagai militer.

Mono juga memberitahu saya bahwa ada kuda Filly yang lain yang juga memiliki
pertanda Durgo Ngerik. Saya mengira Durgo Ngerik sebagai pertanda sial ini hanya
berlaku untuk orang Jawa saja yang memahami ilmu perkudaan, maka saya
84
menjualnya pada seorang perempuan Eropa. Tapi apa yang terjadi, bisnisnya
kemudian bangkrut bahkan suaminya pun menceraikannya tidak lama setelah itu.

Suatu hari saya beraudiensi dengan Jenderal Surono, yang pada saat itu menjabat
sebagai menteri Pertahanan pada kabinet Suharto. Atas nama Asosiasi Balap Kuda
Indonesia, saya mengundang beliau untuk membuka event lomba balap kuda se asia
tenggara di Jakarta. Pada kesempatan itu beliau menyampaikan bahwa kita harus hati-
hati dalam memilih kuda. Pada saat beliau memimpin satu pasukan gerilya dalam
perang kemerdekaan, beliau memerlukan seekor kuda, prajuritnya bermaksud
meminjam seekor kuda kepunyaan seorang kepala desa. Tapi kepala desa itu
menolaknya.

“Kenapa ?” tanya prajurit saya.

“Karena kuda ini memiliki pertanda Satrio Wirang,” kata kepala desa

Artinya Ksatria yang dipermalukan, Jenderal Surono tidak perduli dan memutuskan
untuk tetap memakainya. Benar saja, di lapangan desa pada saat sedang ditonton
orang banyak, kuda itu berlari tidak menentu lalu menabrak tali pembatas lapangan
sehingga Jendral Surono terjatuh. Beliau sangat malu dengan kejadian itu seolah-olah
tidak tahu bagaimana caranya menunggang kuda dengan baik. Sejak saat itulah beliau
sangat hati-hati dalam memperhatikan pertanda yang terdapat pada seekor kuda.

Teman saya yang lain Jenderal Suharjono, juga bercerita tentang pengalaman yang
berkaitan dengan kuda. Suatu ketika dia memiliki seekor kuda dengan pertanda “turun
tangis”. Kuda itu baik-baik pada saat diperlihara olehnya, tapi kepala desa di tempat itu
ternyata suka dengan si kuda dan meminta dengan setengah memaksa. Jenderal
Suharjono sudah memperingatkan bahwa kuda itu memiliki pertanda Turun Tangis tapi
kepala desa itu tidak peduli.

Akhirnya kuda itupun diserahkan. Dua minggu kemudian kepala desa itu meninggal
dunia. Lalu dua minggu berikutnya anak laki-lakinya juga meninggal. Kemudian
menantu perempuannya juga meninggal. Hanya dalam waktu yang singkat keempat
anaknya meninggal dunia satu demi satu hingga akhirnya istrinya juga meninggal. Dan
seluruh keluarganya habis. Kelihatannya ada kuda lain lain koleksi Jenderal Suharjono
yang bisa mentralisasi pengaruh dari kuda Turun tangis ini. Tapi untuk kepala desa,
itulah satu-satunya kuda yang dia miliki.

Setelah menerima payung suci Kanjeng Kyai Tunggul Nogo, melalui Eyang Amat Sayuti,
Kanjeng Ratu Kencono Wungu memberitahu saya bahwa dengan kehadiran beliau di
pendopo maka saya sudah tidak memerlukan lagi kuda-kuda itu termasuk kuda Satrio
Pinayungan yang saya beri nama Kyai Damar Murup. Tidak lama kemudian Kyai
Damar Murup mati dan bulan berikutnya kuda hitam Satrio Pinayungan yang diberi

85
nama Kyai Wishnu Murti juga mati. Keduanya beruntung mati di Wonoroto sehingga
jasadnya mendapat perlakuan yang layak. Mereka dikuburkan dengan penghormatan.

Ada hewan lain selain kuda yang juga memiliki pengaruh besar terhadap pemiliknya.
Menurut budaya Jawa, hewan ini adalah burung perkutut yang dalam bahasa Inggris
disebut “ground dove”.

Burung perkutut adalah burung yang umurnya panjang, beberapa diantaranya bisa
mencapai umur selama tiga generasi dari pemiliknya. Menurut orang Jawa perkutut
adalah burung yang memiliki kualitas kejiwaan paling baik dibanding hewan-hewan
lainnya seperti harimau, singa, gajah, kuda atau hewan-hewan lain yang ukurannya
lebih besar.

Burung lain yang sedang bernyanyi disebut ngoceh artinya omongan bayi yang tidak
punya arti. Sedangkan burung perkutut yang sedang bernyanyi disebut “manggung”
artinya pengumuman atau menyampaikan pesan.

Perkutut yang berkualitas baik sangat sensitif dan bisa mengetahui apa yang akan
terjadi atau apa yang akan dialami oleh pemilik beserta keluarganya. Misalnya apabila
ada tamu yang akan berkunjung. Tidak seperti di Barat, dimana sebelum berkunjung
biasanya tamu akan membuat janji terlebih dahulu, di Jawa orang bisa datang kapan
saja. Bahkan saudara atau teman yang rumahnya jauh bisa tiba-tiba datang ke rumah
kita tanpa pemberitahuan. Tetapi burung perkutut itulah yang justru sudah tahu terlebih
dahulu.

Orang Jawa pada umumnya lebih sensitif dalam menerima getaran batin sehingga
getaran batin itu bisa dirasakan juga oleh batin seekor burung perkutut. Kalau
pemiliknya sedang sedih maka perkututnya tidak berkicau sama sekali. Tentu saja
seperti halnya di dunia manusia di dunia perkutut pun ada tingkatan-tingkatannya yang
menunjukkan kualitas seekor perkutut. Seekor perkutut raja akan bertingkah laku dan
berperilaku anggun serta memiliki kharisma yang memukau.

Pada suatu hari, ada orang datang dari Semarang, Ibukota propinsi Jawa Tengah ke
Wonoroto. Dia memberi saya seekor perkutut yang pandai berkicau. Burung itu selalu
berkicau baik ketika hari sedang hujan maupun sedang panas, bahkan malam hari
sekalipun. Biasanya burung perkutut hanya akan bernyanyi kalau hari sedang cerah.

Pada suatu malam saya berkunjung ke kediaman Eyang Amat Sayuti. Beliau berkata
“Yang mulia Eyang Bagelen berkata bahwa kamu baru saja mendapatkan seekor
burung perkutut. Beliau menyuruh kamu untuk secepatnya mengembalikan burung itu
ke Semarang. Karena dari paruh memanjang sampai ke kaki kirinya ada pertanda
“rumah sakit”. Dan dari paruh sampai ke kaki kanannya ada pertanda “kematian”.”

86
Saya tidak ragu untuk memenuhi permintaannya karena tidak ada orang yang
memberitahu beliau kalau beberapa hari sebelumnya saya mendapatkan burung
perkutut dari Semarang. Saya juga tahu bahwa Eyang Bagelen bermaksud untuk
melindungi saya dari pengaruh buruk. Jadi burung perkutut bisa memberikan pengaruh
baik atau buruk kepada pemiliknya.

Ketika saya berkunjung ke kraton Yogyakarta, pangeran Yudoningrat memberi saya


seekor perkutut dengan pertanda Satrio Pinayungan.

Perkutut pertama yang saya peroleh dari kakak saya Erdy adalah seekor perkutut yang
baik. Saudara saya itu memberi pinjaman modal pada seorang pedagang perkutut.
Sebagai tanda terimakasih, saudara saya diberi seekor burung perkutut yang baik, tapi
karena dia sendiri tidak paham dengan perkutut maka burung itupun ditawarkannya
kepada saya. Pada saat menerimanya dengan tangan, saya merasakan getaran yang
menyenangkan memancar dari burung tersebut. Saya bersedia membelinya tapi saya
sedang tidak punya uang. Erdy membolehkan saya untuk membayarnya nanti saja
kalau sudah punya uang. Saya tidak tahu kenapa tapi burung itu membuat saya merasa
bahagia. Tiga hari kemudian ada seorang teman yang memberikan saya sejumlah uang
dengan jumlah persis seperti harga burung itu. Burung-burung perkutut bisa
memberikan keberuntungan dan kebahagiaan bagi pemiliknya.

Bergantung pada tingkat spiritual dan kualitas suaranya, seekor burung bisa berharga
jutaan rupiah atau malah tidak ada harganya sama sekali. Sebagai ilustrasi berikut ini
cerita yang saya kutip dari buku saya “Inner Wisdom”.

“Saya mulai memahami tanda-tandanya. Pada saat burung itu bernyanyi dengan irama
tertentu berarti uang akan datang kepada saya. Pada suatu hari burung itu bernyanyi
dengan “irama uang”, benar saja beberapa jam kemudian ada seseorang yang
membawakan sejumlah uang untuk saya. Tiga puluh menit kemudian burung itu
benyanyi lagi dengan nada yang sama. Saya mengira itu nyanyian untuk uang yang
baru saja saya terima.

Tapi dua jam kemudian ada orang datang memberi saya uang. Ketika burung itu
bernyanyi lagi jam lima sore, saya pikir ini hanya bercanda. Tapi percaya atau tidak,
tepat jam tujuh malam ada orang lain lagi yang datang membawakan uang untuk saya.

Uang yang saya terima sudah cukup banyak, tapi rupanya ini semua belum berakhir.
Tepat jam sepuluh malam burung perkutut itu bernyanyi untuk keempat kalinya.

“Rupanya burung ini sedang mencoba untuk menggoda saya,” saya berkata dalam hati.

Benar saja tengah malam ada lagi orang yang datang membawa uang. Jam satu
tengah malam, burung itu lagi-lagi bernyanyi. Saya tidak habis pikir, tengah malam
begini siapa yang akan datang ke rumah saya membawa uang. Ternyata jam tiga pagi,
87
sahabat saya Varindra Vittachi, mengetuk pintu. Dia datang dari New York dan
pesawatnya delay. Saya benar-benar tidak menduga dia akan datang, Vittachi juga
memberikan sejumlah uang buat saya.

Perkutut ini mati ketika saya pergi meninggalkan Indonesia untuk tinggal di USA selama
empat tahun.

Sejauh ini saya sudah menjelaskan empat dari lima ciri kesempurnaan manusia Jawa,
yaitu keris, kuda, perkutut dan rumah. Ciri yang kelima adalah istri.

Pola hubungan paling rendah antara suami dan istri adalah “Simah”, atau “Isining
omah” artinya penghuni rumah. Hubungan suami istri yang demikian lebih bersifat fisik.

Hubungan suami istri akan lebih mendalam lagi kalau sudah mencapai derajat yang
disebut “bojo” atau “jodo” artinya pasangan. Disamping hubungan fisik secara mental
juga mereka merupakan pasangan yang cocok.

Yang paling ideal adalah pasangan yang disebut “garwo”. Garwo berasal dari dua kata
yaitu “sigaring nyowo” yang berarti belahan jiwa. Jiwa seorang istri telah menjadi bagian
yang tak terpisahkan dari jiwa suaminya. Pasangan yang demikian akan menjadi
pasangan yang abadi yang tak akan terceraikan sekalipun oleh kematian. Mereka akan
tetap menjadi pasangan suami istri hingga kelak di alam akherat.

Perkawinan Adat Jawa

Pada tanggal 29 Juli 1990, yang bertepatan dengan bulan Suro, saya kembali ke
Indonesia untuk mengadakan upacara memandikan pusaka.

Marcus Lampard yang adiknya sudah bertunangan dengan anak saya Partono,
menelepon dari Inggris dan mengajukan permintaan agar pernikahan adiknya dengan
anak saya bisa segera dilaksanakan selagi saya masih berada di Indonesia. Setelah
menghubungi beberapa rekan bisnis dan menjadwal ulang penerbangan saya ke USA
maka sayapun berangkat ke Wonoroto untuk mempersiapkan upacara pernikahan.

Saya tidak terlalu repot, cukup dengan memberitahukan para sesepuh bahwa saya
berniat untuk menikahkan anak saya Partono dengan Maria Lampard dari Inggris maka
seluruh penduduk desa dan para kerabat segera bergerak untuk mempersiapkans
segala sesuatunya.

Dimulai dengan selametan pada hari Kamis malam 30 Agustus 1990. Ibu-ibu dipimpin
oleh istri kepala desa segera mengatur segala hal yang berkaitan dengan masak

88
memasak yang dilakukan di beberapa rumah sekaligus. Nasi dan hidangan-hidangan
yang lezat dimasukkan ke dalam besek.

Beseknya berukuran besar sehingga cukup untuk memberi makan satu keluarga yang
ada di rumah. Masak memasak adalah kegiatan sosial yang meriah melibatkan banyak
perempuan, anak-anak gadis dan para pemuda. Mereka bekerja dengan riang gembira
sejak rabu sore hingga kamis pagi. Pada saat subuh mereka istirahat sejenak kemudian
bekerja lagi mulai jam sembilan pagi sampai malam hari ketika selamatan dimulai.

Malam itu sekitar 150 kepala keluarga hadir untuk turut serta dalam acara selamatan,
berdoa agar upacara pernikahannya berjalan lancar serta pasangan mempelai
diberkahi rejeki, kebahagiaan dan keberhasilan dalam menempuh hidup
berumahtangga. Acara selametan berlangsung dengan khidmat disertai doa-doa yang
sangat menyentuh hati, saya merasa terharu dan bahagia menyaksikannya.

Hari Jum’at sore 31 Agustus 1990, Partono dan Mariana menjalankan upacara padusan
atau mandi untuk mensucikan diri. Mariana mengenakan batik dan kebaya warna pink.
Lalu diikuti dengan berjaga-jaga semalaman yang disebut “Midodareni” berasal dari
kata “widodari” yang berarti malaikat. Para anggota keluarga dan teman-teman dekat
lainnya turut serta terlibat dalam upacara ini.

Pada malam Midodareni, ada dua pemuda yang bertugas membuat Kembar Mayang
atau Kalpataru yaitu hiasan janur yang berbentuk sepasang bunga mahkota yang
berukuran besar dan kecil.

Hiasan janur ini harus dibuat pada malam sebelum pernikahan agar tetap segar di
keesokan harinya. Adapula hiasan janur yang dipasang di depan gerbang pendopo,
digantungkan pada sebatang bambu yang melengkung sebagai pertanda bahwa
pemilik rumah sedang menyelenggarakan hajat perkawinan. Saya sangat menghargai
kesabaran dan ketelatenan dua anak muda yang merancang dekorasi janur itu.
Pekerjaan mereka sangat halus dan detail.

Upacara pernikahan resmi dimulai pada jam sepuluh sabtu pagi 1 September 1990.
Dimulai dengan cara “Paniwahan Panggih”. Kedua orangtua pengantin pria dan wanita
mengenakan selempang merah putih yang disebut “Sindur”. Selama prosesi pernikahan
selempang ini berguna sebagai alat untuk membedakan orangtua pengantin dengan
para tetamu lainnya.

Pengantin perempuan diiringi para pager ayu berjalan dengan anggun dan perlahan
dari dalam pendopo menuju sisi depan pendopo sementara pengantin pria mendekat
dari luar gapura menuju depan pendopo diiringi bunyi gamelan.

89
Begitu saling mendekat maka keduanya saling melemparkan daun sirih yang berbentuk
hati. Lemparan daun sirih ini merupakan simbol bahwa mereka berdua akan saling
memberikan segenap cintanya untuk pasangan mereka.

Tepat di depan pendopo pengantin pria menginjak sebutir telur lalu pengantin
perempuan membasuh kakinya dengan air bercampur bunga-bunga aneka rupa.
Upacara ini melambangkan pecahnya selaput dara pengantin perempuan dan kesiapan
serta kerelaan untuk mengabdi serta melayani suami sebagai kepala keluarga.

Keduanya kemudian dibimbing oleh ayah dari pengantin perempuan untuk duduk di
kursi pengantin yang dihias sedemikian rupa sehingga menyerupai tempat singgasana
para raja. Pengantin pria duduk di sebelah kanan dan pengantin perempuan di sebelah
kiri.

Tibalah saat dimulainya upacara “Kacar Kucur”. Kedua pengantin saling menyuapi satu
sama lain dengan tiga sendok nasi kuning, lalu pengantin pria membuka dan
menumpahkan isi dari sebuah tas berisi harta ke selembar kain yang terletak di atas
pangkuan pengantin perempuan. Ini juga simbol bahwa pengantin pria kelak akan
memberikan seluruh penghasilannya kepada istrinya yang akan mengelolanya dengan
bijaksana. Pengantin perempuan kemudian dengan hati-hati membungkus semua harta
itu lalu diperlihatkan kepada orangtua dari kedua belah pihak.

Selanjutnya upcara “Timbangan”. Ayah dari pengantin perempuan duduk di atas kursi
pengantin lalu pengantin perempuan duduk di atas pangkuan yaitu pada paha kirinya
sementara pengantin pria duduk pada paha kanannya. Sang ayah ditanya, mana yang
lebih berat ? pengantin pria atau pengantin perempuan ?” Dia menjawab, “beratnya
sama”. Ini adalah pertanda baik, melambangkan bahwa keduanya akan saling
memperlakukan dengan adil dan penuh cinta.

Selanjutnya “Sungkeman”. Sepasang pengantin berlutut untuk menghaturkan sembah


sekaligus mohon doa restu pada kedua orangtua.

Acara terbesar dalam rangkaian upacara perkawinan ini adalah “Kirap Manten” atau
arak-arakan dimana penganten berada dalam sebuah kereta kencana yang ditarik
empat ekor kuda.

Seluruh warga desa Wonoroto, bahkan warga dari desa-desa tetangga turut serta
dalam acara ini. Bahkan seolah-olah seluruh warga Purworejo turut serta dalam arak-
arakan.

Sebelum hari pernikahan, selama seminggu hujan lebat terus menerus melanda pulau
Jawa. Kerabat dari Jakarta yang datang memakai dua buah bus dan satu mobil van
melaporkan di sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Purworejo hujan turun dengan
derasnya.
90
Jam lima pagi hari, mendung tebal menggelayut di langit dan hujan rintik-rintik mulai
turun. Jam enam pagi saya mengirim pesan pada Ikesan, orang tua yang mahir
mengendalikan hujan (pawang), agar mengadakan upacara “Narang Udan” untuk
mencegah atau menunda turunnya hujan.

Ikesan bersedia membantu. Beberapa saat kemudian di langit kelihatan awan-awan


berputar-putar seperti digiring oleh suatu kekuatan yang tidak kasat mata. Masih ada
awan di langit tapi sepanjang acara hingga selesai tidak terjadi hujan.

Ketua panitia upacara sudah merencanakan untuk memulai pawai pada jam satu siang,
tapi Ikesan tidak setuju, katanya itu tabu. Menurutnya arak-arakan pengantin harus
dimulai jam dua lebih sepuluh. Orang-orang sudah tidak sabar, tapi Ikesan tetap pada
pendapatnya. Saya menghargai pendapatnya, sekalipun ketua panitia sudah tiga kali
memointa ijin untuk segera memulai arak-arakan pengantin. Tepat pada pukul dua lebih
sepuluh saya merasa ada suatu getaran yang lewat. Saya berpaling kepada Ikesan, dia
mengangguk sambil tersenyum sebagai persetujuan bahwa arak-arakan bisa segera
dimulai.

Arak-arakan diawali dengan pasukan “Kapal Kepang”, terdiri dari selusin anak muda
yang menari sambil naik kuda-kudaan yang terbuat dari bambu dan anyaman rotan,
diiringi oleh Barong, yaitu semacam boneka besar berwujud macan yang ditandu oleh
dua orang. Didepannya ada “pentool” semacam badut menari dengan diiringi musik
angklung yang terbuat dari bambu.

Selanjutnya pembawa bendera, membawa bendera keluarga bertajuk Wisnu Murti,


bendera merah putih dan bendera Inggris sebagai tanda bahwa mempelai perempuan
datang dari Inggris, warnanya putih dan hijau dengan gambar naga merah di tengah-
tengahnya.

Setelah pembawa bendera maka urutan berikutnya adalah kereta kuda bernama Kyai
Jolodoro. Penumpangnya sendiri sebagai pemangku hajat beserta anak perempuan
saya yang belum menikah Harti Utami beserta dua orang cucu sebagai pager ayu.
Menurut adat tradisi, istri saya Rukmiwati harus tinggal di rumah.

Di belakang Kyai Jolodoro adalah kereta kuda yang membawa sepasang pengantin
bernama Kyai Prabandaru yang dikawal oleh empat orang pengawal bersenjata.
Sesepuh desa Kyai Sastrowinoto duduk di belakang memegang payung.

Selanjutnya Kereta kuda Kyai Maruto, penumpangnya adalah Marcus Lampard ayah
dari Mariana Lampard beserta anak perempuannya yang belum menikah Emily. Kyai
Maruto diikuti oleh sekelompok penari Dulalak.

Penari Dulalak diikuti oleh tujuh kereta kuda yang membawa tamu-tamu undangan
yang terhormat diikuti oleh rombongan pengajian menyanyikan lagu-lagu Islam diiringi
91
rebana. Di belakangnya masih ada lagi kereta kuda lain yang lebih sederhana
membawa rombongan jemaah yang ikut selamatan.

Sepanjang lima belas kilometer kami mengelilingi alun-alun Purworejo. Di sepanjang


jalan ribuan orang berdiri menyaksikan arak-arakan ini dan memberikan hormat kepada
sepasang pengantin, banyak pula penonton yang ikut menari beserta rombongan
pengantin.

Yang tidak disangka-sangka adalah ada pula para prajurit tentara dan polisi yang ikut
terlibat dalam pawai ini. Mereka secara spontan dan sukarela membawa motor besar di
urutan paling depan untuk membuka jalan sehingga rombongan arak-arakan tidak
mengalami kesulitan menembus lalu lintas kota.

Kereta pusaka, keris pusaka, tombak pusaka dan para pinisepuh semuanya turut
berpartisipasi dalam acara ini seolah menjadi magnet yang menarik ribuan orang untuk
ikut menonton dan meramaikan acara ini. Banyak yang sengaja datang dari desa-desa
di pegunungan terpencil untuk sekedar ikut menyaksikan arak-arakan. Segala puji
syukur kepada Allah SWT bahwa selama prosesi acara ini tidak terjadi satupun insiden
yang tidak diinginkan. Kehadiran getaran spiritual yang terasa sangat kuat telah
merestui dan melindungi acara ini.

92
Bab 10 Buddhisme di Jawa

Saat ini penganut agama Buddha di Jawa hanya tinggal sedikit kebanyakan orang
Tionghoa. Sekitar 95% penduduk pulau Jawa adalah penganut agama Islam.

Akan tetapi sisa-sisa kejayaan Buddhisme di pulau Jawa ada yang masih terpelihara
dengan baik diantaranya adalah monumen agung Candi Borobudur. Monumen batu ini
dibangun pada jaman dinasti Syailendra antara abad ke tujuh dan abad kedelapan
Masehi. Lokasinya 16 km sebelah barat laut Magelang, ibukota Karesidenan Kedu
Jawa Tengah. Ada banyak candi-candi Buddha di Jawa Tengah dan yang paling besar
adalah candi Borobudur.

Candi borobudur berbentuk stupa. Bagian dasarnya berbentuk persegi dengan panjang
sisi masing-masing 100m meter, dinding-dinding di sekelilingnya penuh dengan ukiran
dan ornamen. Di atas lantai dasar ini terdapat lima tingkat teras dengan dinding yang
juga penuh ukiran indah menggambarkan perjalanan hidup manusia dari level yang
terendah hingga yang tertinggi. Disini kita bisa belajar mengenai kehidupan Pangeran
Siddharta dari sudut pandang ajaran Buddha, dimana Pangeran Siddharta dalam
hidupnya mengalami evolusi setahap demi setahap untuk menjadi Buddha.

Di atas masing-masing teras terdapat tiga teras melingkar yang diatasnya ada 72 stupa
yaitu semacam Pagoda yang berkisi-kisi yang didalamnya terdapat sebuah patung
Buddha. Sedangkan Stupa yang paling puncak dan paling besar terletak di teras yang
teratas dan merupakan stupa mahkota. Stupa yang terbesar ini tidak berkisi-kisi,
didalamnya terdapat dua ruang kosong berbentuk piramid.

Selama berabad-abad para kaum terpelajar terlibat dalam debat dan polemik
berkepanjangan mengenai candi Borobudur beserta ajaran-ajaran dan nilai-nilai filosofi
yang terdapat di dalamnya. Kalau ada orang yang mencoba menginterpretasikan ajaran
agama dan pengalaman spiritual para nabi hanya dengan melihat manifestasi luarnya
saja maka yang akan muncul adalah kebingungan. Sebuah teori akan menyebabkan
munculnya teori lain, lalu disanggah lagi dengan teori juga, padahal teori-teori ini tidak
akan bisa menuntun kita menuju jalan spiritual yang benar. Sebaliknya kita justru akan
semakin jauh tersesat dalam hutan rimba teori. Padahal sifat dari kebenaran itu sendiri
selalu sederhana dan konsisten.

Pencerahan atau keadaan dimana jiwa kita sudah bangun tidak dapat dicapai melalui
pendidikan, membaca atau belajar, akan tetapi merupakan suatu wahyu dari yang

93
maha tinggi dalam bentuk kontak dengan cahaya Ketuhanan. Kontak ini hanya bisa
dilakukan melalui bagian yang kekal dari diri kita yaitu Jiwa atau ruh.

Pikiran manusia adalah barang yang tidak kekal. Sehingga hanya bisa dipakai untuk
berurusan dengan perkara-perkara yang juga tidak kekal atau urusan duniawi saja.
Kalau kita hanya menggunakan pikiran untuk mencapai pencerahan maka hasilnya
hanya akan berupa teori, ilusi dan imajinasi saja, betapapun canggihnya sebuah teori
tetap saja hanya teori.

Hal ini juga terjadi pada Siddharta Gautama, pendiri agama Buddha. Siddharta
Gautama lahir pada tahun 563 BC di Kapilawastu sebuah kota di Nepal di kaki gunung
Himalaya. Beliau mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan filosofisnya bukan
dengan cara membaca dan belajar melainkan karena wahyu yang datang dari yang
Maha Kuasa.

Sebagai hasil dari wahyu ini maka dalam diri beliau muncullah kesadaran spiritual dan
kesadaran relijius yang mana hal ini hanya bisa terjadi setelah menerima pencerahan.

Siddharta Gautama tidak menerima pencerahan dengan cara menjauhi keduniawian


atau melalui praktek asketisme dan meditasi, karena praktek-praktek semacam ini
membutuhkan adanya kehendak dan tekad kuat yang justru berasal dari hawa nafsu.

Pencerahan hanya akan muncul ketika kita sepenuhnya pasrah dan berserah diri
kepada Tuhan yang sesungguhnya tidak lain merupakan pengakuan atas
keberadaanNya dan ketidakberdayaan kita di hadapan Nya. Sementara menjauhi
duniawi, asketisme dan meditasi justru menunjukkan kuatnya kehendak dan keinginan
dalam diri kita. Kekuatan kehendak atau nafsu ini mengandung unsur kebanggaan dan
kesombongan padahal sikap pasrah dan berserah diri pada Tuhan justru merupakan
sikap yang penuh dengan rasa rendah hati.

Meditasi adalah usaha yang memerlukan konsentrasi serta mengendalikan pikiran. Hal
ini justru akan membawa kita semakin menjauh dari sikap pasrah dan berserah diri
kepada Tuhan dan semakin jauh dari rasa ketergantungan kepadaNya. Meditasi juga
beresiko menyebabkan kita menutup diri dari dunia luar. Terkadang ada orang yang
hidup dalam alam angan-angannya sendiri, jauh dari kenyataan yang ada dan tidak
lebih dekat dengan kebenaran spiritual yang sesungguhnya.

Siddharta Gautama merasa terganggu ketika melihat orang-orang yang menderita di


luar istana. Lalu dia meninggalkan istrinya yang cantik beserta anaknya dan segala
kemewahan istana untuk berkelana sebagai orang miskin dan bergabung dengan kaum
pertapa yang mengamalkan cara hidup asketik. Setelah mencoba cara yang sulit tanpa
mendapatkan hasil, pada suatu hari beliau beristirahat di bawah bayang-bayang pohon
Bodi. Tiupan angin yang segar membuatnya merasa nyaman dan mengantuk.

94
Dalam sikap pasrah dan berserah diri setelah merasakan kegagalan selama enam
tahun berkelana, saat itu dalam keadaan setengah tertidur beliau menerima
pencerahan yang benar-benar diluar dari apa yang dibayangkannya semula.
Pencerahan inilah yang mengembalikannya pada jalan yang benar yaitu jalan Tuhan.

Jalan yang benar untuk menjalani hidup sesuai dengan kehendak Tuhan adalah jalan
yang moderat. Bukan tenggelam dalam kesenangan kemewahan duniawi juga bukan
menjalani hidup sengsara yang didorong oleh keinginan kuat atau nafsu dan ambisi
untuk meraih kesucian spiritual. Jalan Tuhan tidak pernah sulit dan rumit. Sebaliknya
selalu sederhana, mudah dan rileks (santai).

Sebagai contoh cara Tuhan dalam memperbanyak makhluk ciptaanNya. Tuhan sudah
merancang cara yang sangat sederhana berupa hubungan seksual. Sedemikian
sederhana dan mudahnya hingga siapapun bisa melakukannya tanpa harus diajari.
Tidak diperlukan konsentrasi pikiran. Sebaliknya siapapun dapat melakukannya dalam
keadaan santai dan rileks. Disamping itu Tuhan Yang Maha Kuasa juga menambahkan
bonus berupa perasaan suka cita dan kebahagiaan ketika kita melakukannya. Dan
kalau tidak ada campur tangan manusia maka akan selalu menghasilkan makhluk yang
juga sempurna.

Apa yang terjadi terhadap Siddharta Gautama pada tahap-tahap awal beliau menerima
pencerahan dalam bentuk persentuhan dengan cahaya Ketuhanan tidak dapat dilihat
dari luar oleh siapapun.

Beberapa Pengalaman Pribadi

Setelah menulis halaman-halaman di atas, saya sebagai penulis buku ini, jatuh sakit.
Pada tanggal 3 April 1987 saya harus masuk rumah sakit karena usus buntu. Waktu itu
saya sedang dalam perjalanan sehingga terlambat beberapa hari masuk rumah sakit.
Perut saya membengkak, infeksi sudah menyebar ke seluruh usus sampai ke solar
plexus. Saya berkali-kali tidak sadarkan diri. Bahkan dokter angkat tangan, saya sudah
divonis mati.

Pada saat-saat itulah jiwa saya berkelana ke alam akherat. Bahkan saya melihat
sekelompok jiwa-jiwa yang sudah lebih dahulu tiba disana membentuk semacam panitia
untuk menyambut kedatangan saya. Tapi “Pak Subuh” datang, selama empat hari hari
empat malam beliau duduk di atas badan saya untuk menyelamatkan nyawa saya. Dia
ingin saya tetap tinggal di alam dunia karena beliau harus pergi lebih dahulu. (Pak
Subuh meninggal dunia pada tanggal 23 Juni 1987).

95
Ketika berkelana di alam akherat, saya bertemu dengan Sang Buddha. Beliau sedang
mengadakan pertemuan di tempatnya didampingi istrinya Yasodhara. Orang yang
datang menemui sang Buddha adalah seorang biksu yang memakai jubah oranye.
Sang Buddha kelihatan sehat, rambut dicukur bersih. wajahnya tampak tenang, sejuk
dan sabar. Saya mendengar pembicaraan mereka. Tanya jawab berlangsung lancar
sampai biksu itu menanyakan pertanyaan berikut,

“Wahai Tuan, bagaimana cara Tuan mencapai pencerahan, Apakah yang Tuan lakukan
sehingga dapat meraih kemulyaan yang sedemikian itu ?”

“Tidak ada,” jawab Sang Buddha.

“Tidak ada ?” Biksu itu terkejut dan bingung mendengar jawaban Sang Buddha.

“Ya, tidak ada,” Sang Buddha menegaskan jawabannya.

Pertemuan pun berhenti, Sang Buddha masuk ke tempat peristirahatannya.

Dalam kesempatan lain, saya bertemu dengan Buddha secara pribadi. Beliau berkata
pada saya dengan suara yang muram, “ Para pengikutku menggunakan cara yang
panjang, rumit dan sulit. Saya tidak yakin mereka akan mau menerima cara yang
mudah dan sederhana.”

Di akherat Sang Buddha tidak tampak kurus dan pucat. Sebaliknya beliau kelihatan
sehat dan segar dengan lingkar perut yang sedikit gemuk. Beliau ditemani oleh
Yasodhara, istrinya yang juga kelihatan segar dengan wajah yang mencerminkan
kecantikan oriental wanita timur. Hal ini menunjukkan bahwa di alam akherat Sang
Buddha tetap melanjutkan cara hidup yang moderat.

Sesungguhnya Tuhan menghendaki agar kita hidup secara normal dan harmonis
sebagai manusia di muka bumi ini. Setiap orang hendaknya kawin dan beranak pinak
agar manusia bisa terus menjaga keberadaannya dan Tuhan pun dengan murah hati
akan menyediakan rejeki bagi keluarga-keluarga yang terbentuk melalui pernikahan.
Yang penting adalah kita dapat menjaga kesucian batin bukan penampakan luar yang
seolah-olah suci.

Dengan menggunakan pikiran dan imajinasi para pengikut Buddha mulai memuja dan
mengidolakan beliau. Padahal Sang Buddha sendiri tidak pernah mengaku-ngaku
apapun tentang dirinya. Beliau tidak pernah mengaku sebagai dewa, malaikat atau
orang suci. Beliau hanya berkata bahwa jiwanya sudah dibangkitkan.

Setelah menerima kontak dari Tuhan maka jiwa yang sebelumnya dalam keadaan tidur
yang berada jauh di kedalaman batin seseorang, seperti biji tanaman yang yang belum
pernah disiram, akan mulai bergetar sebagai pertanda kebangkitannya. Melalui jiwa
96
yang merupakan bagian yang kekal dari diri manusia, cahaya Tuhan akan mulai
memancar menerangi seluruh diri manusia.

Pada saat cahaya Tuhan mulai meresap dalam diri kita, maka akan terjadi proses
pembersihan dan pemurnian jasmani dari segala kotoran dan penyakit. Cahaya Tuhan
juga akan meresap ke dalam organ mental kita, membersihkannya dari macam-macam
penyakit mental seperti benci, cemburu, tidak jujur, cemas, sedih, sombong, serakah ,
dorongan seksual yang berlebihan dan lain-lain.

Setiap bagian tubuh kita yang diresapi oleh cahaya Tuhan akan dikendalikan oleh
cahaya ini. Sehingga orang yang demikian tidak akan mampu untuk berbuat melawan
kehendak Tuhan. Kalau keseluruhan diri manusia sudah diresapi dan dikendalikan oleh
Cahaya Tuhan maka orang itu akan menjadi kitab suci nya Tuhan. Artinya hukum-
hukum Tuhan akan bekerja secara otomatis dalam dirinya.

Orang semacam itu akan tercegah dari perbuatan tercela seperti membunuh, mencuri,
berzinah, berbohong, mengumbar kesenangan dunia, menipu, bersikap tidak adil dan
lain-lain. Dia juga akan bebas dari rasa takut dan cemas.

Pembersihan dari segala racun dan kotoran dalam diri Sang Buddha tidak terjadi
karena kehendaknya sendiri dengan cara menjauhi keduniawian, asketisme dan
meditasi, melainkan karena Cahaya Tuhan yang sudah meresap dalam dirinya sejak
beliau menerima pencerahan. Demikian pula pengetahuan, pengertian dan
kebijaksanaan yang diucapkan Sang Buddha tidak berasal dari orang lain atau sumber-
sumber lain diluar dirinya melainkan berasal dari cahaya Tuhan dalam bentuk wahyu.

Karena pengetahuan, pengertian dan kebijaksanaan yang datang melalui Buddha juga
berasal dari cahaya Tuhan maka sudah barang tentu akan sesuai dengan pengetahuan,
pengertian dan kebijaksanaan yang diberikan cahaya Tuhan kepada orang-orang lain.
Jadi ucapan Buddha bahwa kita tidak boleh merampas kehidupan dari makhluk hidup
lainnya sama dengan kalimat “Thou shalt not murder” yang terdapat dalam Sepuluh
Perintah Tuhan (Nabi Musa).

Sayangnya dengan menggunakan pikiran dan imajinasi atau daya khayal yang
dikombinasikan dengan nafsu, banyak dari pengikut beliau yang sampai pada
kesimpulan bahwa mereka harus menjadi vegetarian. Padahal sekalipun kita menjadi
vegetarian kita tidak bisa menghindar dari perbuatan merampas kehidupan makhluk
lain, karena dalam sayuran dan buah-buahan banyak terdapat makhluk hidup seperti
virus dan bakteri.

Sekalipun agama Islam dan Kristen tidak menyebut dengan eksplisit tentang masalah
reinkarnasi, sebenarnya banyak orang-orang Jawa yang sudah memeluk agama Islam
dan Kristen yang masih mempercayainya. Mereka juga percaya kepada hukum Karma.

97
Jadi, esensi dari ajaran Buddha, dalam batas-batas tertentu sesungguhnya masih ada
di pulau Jawa.

Setelah saya bertemu dengan Sang Buddha, ada perubahan besar dari sikap arwah-
arwah para biksu dan para pendeta di Thailand. Sebelum kejadian ini, kalau berkunjung
ke Bangkok saya suka merasa sakit kepala dan merasa sangat tidak nyaman,
khususnya kalau saya berkunjung ke candi-candi Buddha. Hal ini karena adanya
penolakan dari arwah-arwah itu terhadap kehadiran saya. Saya dianggap sebagai
pengacau yang membawa gelombang spiritual baru yang tidak sesuai dengan mereka.

Ketika saya datang lagi ke Bankok pada tahun 1987 bersama istri saya Rukmiwati,
akhir november 1987. Setelah bertemu dengan sang Buddha di alam Akherat, saya,
Yoenyaw dan Rukmiwati merasa sangat nyaman, damai dan bahagia. Miss Yoenyaw
Ketunuti mengundang kami untuk berkunjung ke sebuah candi Buddha, saya menolak.
Saya masih punya kenangan buruk dahulu ketika berkunjung ke sebuah candi Buddha,
saya menderita sakit kepala hebat. Tapi karena Miss Yoenyaw terus menerus
membujuk akhirnya kami pun berangkat bertiga bersama rombongan-rombongan turis
lainnya berkunjung ke candi Emerald Buddha.

Saya terkejut, begitu sampai di candi Emerald ternyata yang saya rasakan adalah
damai dan tentram. Saya tidak menyembah patung Buddha di dalam candi tetapi
melakukan komunikasi spiritual secara vertikal langsung dengan Sang Buddha, yang
berada jauh di atas sana di alam surgawi. Seluruh badan saya terliputi oleh getaran dari
cahaya Tuhan dan kehadiran saya bukan hanya sekedar diterima melainkan disambut
dengan suka cita oleh dunia spiritual Thailand.

Saya bertemu Yoenyaw pertama kali pada tahun 1967 ketika saya menginap di
rumahnya dalam perjalanan ke Vietnam, Hongkong dan Jepang. Dia adalah anak dari
Jenderal Nom Ketunuti komandan pasukan elite kavaleri dari Kerajaan Thailand.

Di Bangkok waktu itu saya membeli sepasang burung perkutut yang menurut budaya
merupakan barang yang sangat berharga. Orang Thailand menyebutnya “Mountain Bird
of Java” karena asal mulanya didatangkan dari pulau Jawa. Orang Inggris menyebutnya
“Ground Doves”. Sepasang perkutut yang saya beli itu sangat istimewa dan mahal
karena pejantannya pernah memenangkan piala Ratu Sirikit dalam kontest burung
perkutut di Ayotla Thailand. Selanjutnya burung itu sedang difungsikan untuk
pembibitan.

Saya mendapat banyak keberuntungan dengan burung itu. Tiga puluh tujuh hari
kemudian setelah saya kembali ke Jawa pada malam jumat Kliwon, telurnya
menetaskan sepasang anak perkutut yang sangat cantik, tujuh puluh hari kemudian
menetaskan lagi sepasang anak perkutut. Akan tetapi pada malam yang sama, seekor
ular masuk ke dalam kandang perkutut dan memakan kedua anaknya. Tampaknya

98
ayah si burung juga berusaha melawan ular itu untuk melindungi anak-anaknya. Kami
menemukan badannya menggeletak tanpa kepala.

Ular itu kelihatannya datang pada malam hari ketika orang-orang sedang berjaga-jaga
di pendopo setelah selametan. Biasanya orang Jawa memang punya kebiasaan tidak
tidur semalaman pada malam jumat kliwon atau selasa kliwon. Insiden ular masuk
kandang burung itu terjadi pada hari ketika terjadi gerhana matahari di tahun 1988.
Bagaimana ular itu, seekor piton kecil bisa masuk ke dalam kandang masih merupakan
misteri bagi semua orang. Ukuran kepala dan badannya terlalu besar dibandingkan
lubang-lubang kawat kandang. Malam itu kami mendengar burung perkutut itu sedikit
ribut sambil mengepak-ngepakkan sayapnya. Tapi tidak ada yang curiga kalau ada ular
masuk kandang.

Saya sangat shocked dengan kejadian itu. Di Indonesia burung yang seperti itu sangat
berharga, apalagi yang dilahirkan pada malam jumat kliwon. Tampaknya ada sesuatu
alasan yang menjadikan burung itu sebagai sasaran ular piton. Malam itu banyak kodok
yang melompat-lompat di sawah dekat rumah, tapi kenapa ular itu malah mengincar
burung saya. Rupanya ular piton itu memerlukan semacam tambahan kekuatan spiritual,
dengan memangsa sepasang burung perkutut yang menetas pada malam jumat kliwon
maka dia akan bisa mendaulat dirinya sebagai raja para ular. Saya mendatangkan
seorang pawang untuk menangkap ular tersebut. Setelah ditangkap, di dalam kandang
ular itu bunuh diri dengan cara menggigit badannya sendiri sampai putus.

Dalam keadaan sedih dan berduka, sebuah petunjuk spiritual datang kepada saya.
Dalam petuntuk itu arwah-arwah para sesepuh masyarakat Buddhist di Thailand
mengundang saya untuk berkunjung lagi kesana. Mereka tampaknya mengerti
kesedihan yang sedang saya alami dan mereka menaruh simpati kepada saya.

Saya kembali ke Jakarta, tidak berapa lama kemudian bisnis saya berhasil, saya
mendapatkan cukup uang untuk berangkat lagi ke Bangkok dan membeli beberapa
ekor burung perkutut. Saya pergi ke Bangkok bulan maret 1988. Kali ini saya beruntung
karena mendapat tawaran burung-burung juara nasional kontes perkutut Thailand, tapi
uang saya ternyata tidak cukup. Rupanya pemilik burung itu adalah seorang Muslim
yang baik hati, dengan senang hati dia menjualnya kepada saya dengan harga yang
murah, katanya agar burung itu kembali lagi ke tempat leluhurnya di Tanah Jawa.

Di Jawa burung-burung perkutut diburu ke dalam hutan-hutan, itulah sebabnya


dperlukan waktu bertahun-tahun untuk melatih sampai burung itu pandai bersiul di
dalam sangkar. Di Thailand kebanyakan burung perkutut adalah hasil penangkaran di
dalam kandang, sehingga burung-burungnya sangat jinak. Melalui proses penangkaran
yang seksama maka kita akan mendapatkan burung-burung perkutut yang benar-benar
baik.

99
Setelah berbelanja burung, Yoenyaw mengajak saya melihat-lihat kebun binatang di
Bangkok. Setelah berjalan berkeliling, kami duduk di pinggir sungai yang mengalir
membelah kebun binatang. Udara di kebun binatang ini terasa sejuk karena banyak
pepohonan rindang dan kami duduk di bawah bayangan pohon-pohon besar yang
teduh.

Yoenyaw adalah penganut agama Buddha sejak lahir, lalu pada tahun 1967 dia menjadi
Muslim. Akan tetapi Yoenyaw masih sering terganggu oleh pertanyaan mengenai
poligami dalam Islam.

Dia bertanya, “Kenapa dalam Islam seorang laki-laki boleh beristri empat, tapi seorang
perempuan tidak boleh memiliki suami lebih dari satu ?”

“Saya tidak tahu,” saya mencoba menjawab, “Mungkin karena secara biologis seorang
perempuan harus mengalami menstruasi selama satu minggu dalam sebulan. Siklus
menstruasi ini berlangsung sebulan sekali dan seperti kamu tahu dalam sebulan ada
empat minggu. Kita tidak boleh berhubungan pada saat istri kita sedang mens. Padahal
hasrat seksual tidak ada jadwal waktunya.”

Yoenyaw kelihatan tidak puas dengan jawaban saya, “Apa yang terjadi kalau keempat-
empatnya mengalami menstruasi pada waktu yang bersamaan ?”

“Saya tidak tahu,” jawab saya, “Tapi seperti kamu ketahui tidak semua laki-laki sanggup
untuk memiliki istri lebih dari satu, secara spiritual seorang laki-laki hanya dapat
memiliki lebih dari satu istri kalau jiwanya sudah berkembang sedemikian rupa
sehingga sanggup untuk mengakomodasi lebih dari satu perempuan. Jiwa seseorang
hanya bisa tumbuh dan berkembang kalau sudah menerima kontak dengan cahaya
Tuhan. Kalau kontak ini sudah terjadi maka jiwa seseorang dapat berkembang semakin
besar tanpa batasan. Bahkan ada yang sedemikian besar sehingga sanggup meliputi
seluruh langit dan bumi. Saya bisa membayangkan betapa besarnya jiwa seorang
Muhammad sehingga mampu mengakomodasi banyak jiwa-jiwa lainnya itulah
sebabnya kenapa Muhammad sanggup memiliki banyak istri.”

“Secara spiritual dengan menikahi seorang perempuan, nabi Muhammad sudah


membantu untuk menaikkan derajat spiritual istrinya dan membawanya turut serta ke
surga. Sementara orang biasa yang belum mengalami pencerahan tidak bisa
menaikkan derajat spiritual istrinya. Bagaimana dia akan membawa jiwa istrinya ke
surga kalau dia sendiri tidak mampu mencapai surga ? Bukannya membawa istrinya
naik ke surga tapi menjerumuskannya turun ke neraka. Secara spiritual suami yang
demikian tidak layak punya istri lebih dari satu. Karena sebuah pernikahan akan
memiliki yang panjang dan mendalam. Seorang suami harus bisa menjadi “guru laki”
bagi istrinya.

100
Guru laki adalah suami yang sudah berhasil membantu istrinya untuk menerima kontak
dengan cahaya Tuhan, membantunya untuk menjalani proses pembersihan sehingga
istrinya juga bebas dari cengkeraman hawa nafsu dan daya-daya rendah.

Membantunya membebaskan diri dari daya kebendaan, daya nabati, hewan dan daya
insani yang diturunkan dari orangtuanya dan dari leluhurnya dan mungkin juga dari laki-
laki lain yang pernah bergaul dengannya.

Proses pembersihan dan pemurnian ini harus terjadi agar jiwa seorang istri bisa
menyatu dengan suaminya. Penyatuan kedua jiwa ini melalui proses spiritual dimana
yang terjadi adalah jiwa istri masuk ke dalam jiwa suaminya.

“Pada saat sedang berada dalam jiwa suaminya, maka jiwa istri akan mengalami
proses pembersihan spiritual, jiwanya seperti dibentuk ulang dan disesuaikan dengan
jiwa suaminya, pada saat jiwa sang istri sedang meninggalkan badannya untuk masuk
ke suaminya maka dia menjadi pelupa dan tidak mampu berpikir.

Setelah proses spiritual ini selesai maka jiwa sang istri kembali kepada badannya.
Menjadi sesosok jiwa yang benar-benar berbeda dibanding sebelumnya, tidak lagi
mengikuti sifat dan karakter orangtuanya tapi lebih kepada karakter dan sifat dari
suaminya.

Dia akan memiliki pola berpikir dan berperasaan sama seperti suaminya. Mereka
seringkali memeiliki pandangan dan perasaan yang sama dengan suaminya terhadap
sesuatu hal. Itulah sebabnya, setelah pernikahan, seorang istri tidak lagi memakai
nama orangtuanya tapi memakai nama keluarga suaminya.

Akan tetapi yang lebih sering terjadi, si istri tetap mempertahankan kepribadiannya
yang berbeda dengan kepribadian suami. Kalau kedua jenis kepribadian ini tidak bisa
berpadu secara harmonis maka akan timbul benturan yang bisa berakhir dengan
perceraian.

Seorang istri yang jiwanya sudah menyatu dengan suaminya disebut “garwo” singkatan
dari “sigaran nyowo” atau belahan jiwa. Karena jiwa adalah bagian yang abadi dari diri
manusia maka kebersatuan suami istri yang sudah mencapai derajat garwo itupun akan
abadi. Artinya mereka akan menjadi suami istri selama-lamanya setelah mereka mati
dan tinggal di alam akherat.

Seperti yang tadi sudah saya katakan, Saya dapat membayangkan betapa besar dan
luasnya jiwa dari nabi Muhammad, karena telah menyatu dengan cahaya Tuhan
sehingga dia bisa meliputi seluruh langit dan bumi.

101
Pada suatu saat, sekitar empat ratus arwah dari prajurit Indian masuk ke dalam diri
saya. Mereka hanya menempati satu sudut kecil saja dalam diri saya. Padahal untuk
orang lain ada yang jiwanya hanya mampu untuk menampung satu jiwa saja.

Jadi istilah “jiwa besar” tidak hanya memiliki makna yang abstrak saja, melainkan
memang demikianlah adanya. Saya ingin menyimpulkan apabila jiwa orang biasa
seperti saya saja bisa berkembang sedemikian luasnya, apalagi jiwa seorang
Muhammad. Jiwanya dapat menampung banyak jiwa-jiwa yang lain sebagai istrinya
dan sanggup membawa para istri itu ke surga.”

“Sekarang, kenapa harus empat istri ?” Yoenyaw bertanya lagi.

“Saya bukan santri yang mendalami ajaran agama Islam atau ajaran agama-agama
apapun. Apa yang saya tahu mengenai agama dan spiritualitas datang dari
pengalaman langsung. Saya tidak tahu persis apa sebenarnya maksud dari ajaran
Islam tentang poligami itu. Tapi mungkin cuplikan dari cerita wayang kulit bisa
memberikan sedikit penjelasan tentang hal ini.

Dalam cerita wayang, Arjuna memiliki empat istri yaitu Sembodro, Larasati, Srikandi
dan Sulastri.

Sembodro adalah sosok yang keibuan, dia melahirkan dan mengasuh anak-anaknya,
dengan rasa cinta yang sangat dalam dan rasa keterikatan yang kuat terhadap anak-
anaknya, seluruh hidupnya dibaktikan untuk anak-anaknya. Wawasan kehidupannya
terbatas hanya dalam lingkungan keluarganya. Dia tidak dapat berkecimpung terlalu
dalam di bidang sosial. Dia tidak mudah memberikan sesuatu miliknya untuk orang lain,
karena dia selalu mengutamakan anak-anaknya. Perempuan type Sembodro ini
biasanya memiliki hasrat seksual yang kuat.

Larasati adalah perempuan dengan type sosial. Laras artinya harmonis dan ati berarti
hati. Seorang suami akan senang hidup bersama dengan istri yang seperti ini. Sangat
romantis, puitis dan suaranya merdu. Dia tahu bagaimana caranya menyenangkan hati
seorang laki-laki. Sikapnya lembut, penuh cinta, selalu memberi dan memaafkan. Siapa
saja yang berada didekatnya akan suka kepadanya sebagai teman. Dia adalah seorang
nyonya rumah yang sempurna dan sosialita yang baik.

Srikandi adalah type wanita karir. Dia bisa menjadi partner suaminya dalam hal bisnis
dan pekerjaan. Dalam cerita wayang Jawa, Srikandi selalu membantu Arjuna dalam
pertempuran. Bahkan dalam perang Baratayuda, Srikandi ditunjuk sebagai salah satu
panglima perang.

Sulastri adalah perempuan yang sejak kecil dilahirkan dalam keadaan kaya dan
makmur. Dia dapat membantu suaminya dalam masalah keuangan. Sulastri tidak
ubahnya seperti Hadijah bagi Muhammad.
102
Ada ungkapan Jawa yang menyatakan “ Sedulur papat kalimo pancer”, artinya empat
saudara menyatu dengan saudara yang kelima yaitu suaminya. Penyatuan kelima
saudara ini disimbolkan dengan lima jari. Ibu jari adalah suami sedangkan keempat jari
yang lain adalah istri-istrinya. Empat jari dengan satu ibu jari akan membuat tangan kita
menjadi sempurna. Satu kelompok yang terdiri dari lima anggota yang berkesesusaian
dapat melakukan lebih banyak hal daripada masing-masing jari seorang diri.

Sekembalinya ke Indonesia, saya mendapat kabar bahwa kedatangan saya sangat


ditunggu di Amerika. Saya menelepon Livingstone Dodgson yang memberitahu saya
bahwa buku saya yang pertama “Inner Wisdom” sudah terjual habis. Saya harus
menandatangani kontrak baru supaya buku itu bisa dicetak ulang. Tapi alasan yang
lebih penting adalah adanya semacam semacam gelombang spiritual baru di dunia
barat sehingga kehadiran saya sangat diperlukan untuk melakukan semacam interaksi
dengan gelombang baru tersebut. Saya sampaikan pada Dodgson bahwa saya
memerlukan waktu beberapa minggu untuk mempersiapkan diri.

Para pencari spiritual di Barat tidak mau lagi menerima doktrin-doktrin agama semata-
mata berdasarkan kepercayaan dan keyakinan. Intelektual mereka selalu menuntut
penjelasan yang logis mengenai segala sesuatu. Mereka ingin penjelasan yang masuk
akal. Mereka tidak mau membatasi diri pada agama dan keyakinan tertentu saja.
Mereka ingin bebas dan terbuka hingga dapat menemukan nilai-nilai kebenaran yang
bersifat universal.

Hal ini membawa mereka lebih dekat kepada esensi dari agama-agama, yaitu cahaya
Tuhan yang tidak mempunyai bentuk dan tidak mempunyai nama. Cahaya abadi yang
tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.

Karena sewaktu berada di candi Emerald Buddha saya mendapatkan pengalaman yang
menakjubkan, maka saya menelepon Yoenyaw mengabarkan bahwa saya akan pergi
ke Amerika dan transit beberapa hari di Bangkok.

Yoenyaw menjemput saya di bandara internasional Don Muang. Saya menginap di


sebuah guest house kepunyaannya. Setiap hari selama di Bangkok saya meluangkan
waktu beberapa jam berkunjung ke candi Emerald Buddha.

Sehari sebelum saya melanjutkan penerbangan ke Amerika, kami berdua pergi


berkunjung ke candi Emerald Buddha. Setibanya disana kami berjalan-jalan
mengelilingi gallery yang menampilkan cerita Ramayana dalam bentuk mural atau
lukisan dinding yang berwarna-warni. Yoenyaw menunjuk pada figur Hanoman, monyet
putih yang menggelembungkan dirinya di langit pada saat sedang bertiwikrama atau
sedang mengembangkan jiwanya.

103
“Yoenyaw,” saya berkata, “kebanyakan orang mengira bahwa cerita Ramayana hanya
sekedar dongeng belaka karena kebanyakan mereka tidak pernah melihat atau
mengalami alam gaib. Padahal sesungguhnya tokoh-tokoh dalam cerita itu benar-benar
ada di alam gaib, misalnya Hanoman, sampai saat ini Hanoman masih memainkan
peran penting bagi kehidupan manusia di alam dunia.

Sekarang Hanoman sudah sangat tua dan menjadi pendeta / pertapa dengan gelar
Begawan Mayangkoro. Dia hanya menampakkan diri apabila akan terjadi suatu
peristiwa penting. Dia adalah pengawal dari Wishnu.

Wisnu adalah cahaya dalam betuk wahyu. Siapapun yang menerima cahaya ini maka
dia akan menerima “Inner Wisdom” (Kesadaran batin - penerjemah). Dan dalam cerita
Ramayana tokoh Rama adalah figur yang menerima cahaya ini, sedangkan dalam
cerita Mahabarata, tokoh Kresna adalah yang menerimanya.

Dalam sejarah, kita juga sudah sama-sama tahu bahwa Sang Buddha juga menerima
wahyu ini. Hanoman atau Bagawan Mayangkoro sudah kembali ke alam dunia sejak
beberapa waktu yang lalu. Beberapa orang sudah melihatnya di Pulau Jawa.Begawan
Mayangkoro bekerja diam-diam di balik layar untuk merancang peristiwa demi peristiwa.
Peristiwa-peristiwa yang kelihatannya terjadi secara kebetulan sesungguhnya sudah
dirancang dan diskenariokan sejak di alam gaib.”

Di dalam candi, saya mohon pamit kepada para arwah leluhur dan kaum Buddhis di
Thailand. Saya berdoa dengan menggunakan bahasa Jawa tinggi .

Nuwun poro leluhur soho poro moho wiku ing Thailand

(Hamba mohon perkenan kepada para leluhur dan para biksu di Thailand)

Kulo pun Prio Hartono Suryoatmojo, ingkang sowan.

(Hamba yang rendah ini Prio Hartono Suryoatmojo, mohon izin untuk menghadap)

Saperlu bade nyuwun pamit amargi benjing enjing bade budal anglumpati

segoro, milang kori, njajah negoro,

104
(Saya mohon permisi karena esok hari akan pergi melintasi samudera untuk melakukan
ke banyak tempat di dunia.)

Saperlu bade amemayu hayuning bawono,

(Adapun keperluannya untuk turut serta memperindah dunia yang sudah indah ini)

Keparengo kulo nyuwun berkah pengestu panjenengan sedoyo soho

bantuanipun,

(Izinkan hamba mohon restu dan pertolongan dari semua.)

Supodos lampah kulo meniko tansah manggih mukti wibowo, ageng

rejekininpun soho nir ing samikolo.

(Agar selama dalam perjalanan hamba selalu menemukan kemuliaan, keberuntungan


dan terjauhkan dari segala bahaya dan bencana.)

105
Bab 11 Hinduisme di Jawa dan Pertumbuhan

Sistem Kasta dalam agama Hindu sesungguhnya berasal dari tahap-tahap


pertumbuhan jiwa dalam diri manusia. Sebelum menerima pencerahan, seorang
manusia tidak memiliki status spiritual, orang yang demikian disebut Pariah.

Setelah menerima pencerahan jiwanya mulai tumbuh. Dari sebuah titik yang kecil,
seukuran biji merica, akan tumbuh semakin besar dan semakin besar. Pada saat
proses pertumbuhan ini maka segala kotoran dan penyakit akan disingkirkan dari
jasmani kita. Tahap dimana pertumbuhan jiwa sedang bekerja untuk membersihkan
badan dari kotoran dan penyakit sehingga menjadi tempat tinggal yang bersih dan
sehat bagi sang jiwa dinamakan tahap kebendaan (raiwani).

Selanjutnya jiwa kita akan bekerja untuk membersihkan pikiran, perasaan, hati, emosi
dan memotong atau mengendalikan nafsu kita pada ukuran yang semestinya serta
menyeimbangkan dan membentuk ulang nafsu-nafsu kita menuju suatu keadaan yang
harmonis.

Sementara itu jiwa juga akan tumbuh semakin tinggi dan semakin tinggi seperti
tumbuhan atau seperti pohon, pada tahap ini jiwa akan mulai memiliki semacam antena,
yang memungkinkannya menerima isyarat atau sinyal untuk mulai berkomunikasi
dengan Tuhan. Tahap ini dinamakan tahap nabati atau tumbuh-tumbuhan. Ungkapan
Jawa yang menggambarkan keadaan ini adalah “tejo manther sak sodo lanang” artinya
cahaya yang memancar dari dalam diri manusia seperti sebuah lidi jantan. Kalau jiwa
telah berkembang dari sebuah biji yang berupa titik hingga menjadi cahaya yang
memanjang maka orang yang bersangkutan akan berada dalam kontak secara terus
menerus dengan cahaya Ketuhanan. Artinya orang tersebut akan melakukan zikir
secara terus menerus (shalat batin).

Selanjutnya jiwa akan mulai mengembangkan indera perasa, penciuman, pendengaran


dan penglihatan. Tahap ini dinamakan tahap hewani. Pada tahap ini, jiwa mulai
mengembangkan indera seperti yang dimiliki hewan. Jiwa juga akan mulai bisa
menyaksikan dan merasakan alam gaib atau alam spiritual yang tidak pernah bisa
dilihat dan dirasakan oleh panca indra jasmani.

Selanjutnya jiwa akan mengembangkan perangkat spiritual berupa pemahaman yang


serupa dengan intelektual pada diri manusia. Tahap ini dinamakan tahap insani. Buah
dari pemahaman spiritual bukanlah berupa pemikiran, teori atau ide, melainkan berupa
kesadaran batin (inner wisdom). Jiwa tidak mendapatkan pengetahuannya dari suatu
proses belajar, melainkan menerimanya sebagai wahyu atau ilham langsung dari Tuhan.

106
Kalau jiwa kita sedang dalam tahap kebendaan maka kita akan senang dengan segala
hal yang juga bersifat kebendaan. Kita akan cenderung memilih profesi sebagai
pedagang. Dalam agama Hindu keadaan ini dinamakan Waisya.

Kalau jiwa kita sedang dalam tahap nabati maka kita akan senang dengan tanam-
tanaman dan cenderung memilih profesi sebagai petani. Dinamakan Sudra.

Kalau jiwa kita sedang dalam tahap hewani maka kita akan senang dengan hal-hal
yang bersifat konfrontasi, bertarung dan menguasai atau mengatur orang lain.
Pekerjaan yang disukainya adalah menjadi tentara atau pegawai pemerintah.
Dinamakan Sudra.

Kalau jiwa kita sedang dalam tahap insani maka kita akan senang jika dapat mengajari,
membantu, memberi saran, menolong atau mencintai sesama manusia. Pekerjaan
yang disukainya adalah menjadi guru atau pendeta. Dinamakan Brahmana.

Sistem parlemen yang ideal adalah suatu sistem dimana parta-partai politiknya
mewakili keempat fungsi yang berada dalam masyarakat. Partai-partai politik yang
demikian akan memiliki basis yang jelas yang mendukung keberadaannya di
masyarakat. Tidak seperti partai yang berdasarkan pada ideologi politik. Pikiran dan
kehendak manusia berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Tidak ada dua orang
yang memiliki pikiran dan kehendak yang benar-benar sama. Bahkan pikiran satu orang
saja bisa berubah-ubah setiap saat. Partai politik yang semata-mata berdasarkan pada
ideologi sebuah buah pikiran maka cepat atau lambat pasti akan hancur.

Sedangkan kepentingan dari keempat kelompok fungsional yang disebutkan di atas


akan selalu sama. Adanya kehidupan bersama yang harmonis antara keempat
kelompok ini adalah keadaan ideal suatu negara sesuai dengan sistem parlemennya.

Jelaslah bahwa pembagian masyarakat berdasarkan kasta seperti yang sekarang


terjadi di masyarakat Hindu tidak ada urusan dengan perkembangan kejiwaan,
melainkan lebih bersifat sosial dan politik. Tidak ada jaminan bahwa anak dari
pasangan brahmana juga akan memiliki kualitas kejiawaan seperti Brahmana.
Sebaliknya sangat mungkin bahwa anak dari orangtua sudra justru akan memiliki jiwa
Brahmana. Siddharta Gautama bukan berasal dari keluarga Brahmana. Ayahnya
adalah raja, seorang satriya. Tapi beliau justru menjadi pendiri dari agama Buddha dan
melakukan pekerjaan sebagai seorang brahmana.

Orang yang belum mengalami pencerahan hanya dapat menggunakan pikiran dan
imajinasinya untuk menafsirkan ajaran agama sehingga tafsirannya juga menjadi
bermacam-macam. Beberapa bahkan memiliki tafsiran-tafsiran yang ekstrim sehingga
melahirkan banyak sekte di dunia. Tafsiran mereka sangat boleh jadi terkotori oleh
107
daya-daya setaniah yang dengan mudah bisa merasuk ke dalam pikiran dan imajinasi
manusia. Bahkan praktek-praktek barbar dari beberapa sekte keagamaan sampai harus
mengorbankan nyawa manusia untuk mempersenangkan tuhan yang ada dalam
imajinasinya.

Umat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di muka bumi
adalah makhluk yang makhluk yang paling kompelks. Dalam bab ini saya akan
mencoba kompleksitas dari manusia.

Manusia terdiri dari dua bagian, yaitu bagian yang bersifat sementara dan bagian yang
bersifat abadi. Bagian yang sementara adalah badan yang terbuat dari unsur tanah, air,
udara dan cahaya. Badan ini dikendalikan dan digerakkan oleh pikiran beserta
kelengkapannya yaitu intelek, memori dan daya khayal (imajinasi). Fungsinya mirip
dengan unsur eksekutif suatu sistem pemerintahan.

Pikiran mengikuti dan melaksanakan kehendak dari hati. Tetapi hati juga bukan
merupakan pihak yang paling berkuasa, melainkan semacam dewan yang terdiri dari
beberapa faksi, mirip dengan parlemen. Inilah alasannya kenapa kehendak hati itu
selalu mudah berubah. Selalu terjadi semacam adu kekuatan diantara sesama anggota
dewan. Setiap anggota dewan merupakan perwakilan dari partanya masing-masing.

Ada empat partai dalam bagian yang bersifat sementara dari manusia. Yaitu nafsu
serakah, nafsu amarah, nafsu keinginan dan nafsu kesabaran. Keempat nafsu iini
selanjutnya mengikuti perintah atau tekanan dari empat daya-daya yang mempengaruhi
hidup manusia.

Keempat daya-daya hidup itu adalah :

Daya hidup kebendaan yang berasal dari benda-benda di sekeliling manusia.

Daya hidup tumbuh-tumbuhan (nabati) berasal dari tanaman-tanaman dan buah-


buahan yang dimakan oleh manusia.

Daya hidup hewani yang berasal dari daging-daging hewan yang dimakan oleh
manusia.

Daya hidup insani yang berasal dari orangtua, leluhur, pasangan hidup (suami atau istri)
beserta masyarakat disekitarnya.

Keempat daya hidup ini bisa dibandingkan dengan empat kelompok fungsional yang
terdapat dalam masyarakat yaitu pedagang, petani, tentara dan pegawai pemerintah
serta kelompok pendeta dan guru.

Saya sudah mengalaminya sendiri :


108
Ketika pertumbuhan jiwa saya dalam tahap kebendaan, saya sangat antusias dengan
bisnis.

Ketika pertumbuhan jiwa saya dalam tahap nabati, saya sangat senang bekerja di
ladang sebagai petani.

Ketika pertumbuhan jiwa saya dalam tahap hewani, saya senang memelihara hewan.
Saya juga tertarik masuk ke militer.

Ketika pertumbuhan jiwa saya dalam tahap insani, saya tinggalkan semua yang saya
punya di Indonesia untuk melakukan perjalanan ke luar negeri mengunjungi kelompok-
kelompok Subud di Asia, Afrika dan Amerikauntuk membantu para anggota yang masih
baru.

Daya hidup kebendaan akan mempengaruhi manusia menjadi materialistis, possesif,


individualistik dan egoistik.

Daya hidup kebendaan inilah yang menyebabkan seorang manusia memiliki perilaku
buruk dan jahat. Kepribadian yang materialistik akan berpandangan bahwa benda-
benda lebih berharga dibanding hidup manusia. Sehingga dia bisa membunuh hanya
untuk menguasai benda-benda. Sifat posesif akan menyebabkan seseorang menjadi
cemburu atau iri hati kepada orang lain yang memiliki sesuatu yang lebih banyak atau
lebih baik dari kepunyaannya. Juga akan membuat dia selalu merasa cemas karena
takut kehilangan apa yang jadi miliknya sekaligus sedih jika tidak berhasil memiliki apa
yang jadi keinginannya. Manusia yang bersifat individualistik dan egoistik hanya akan
peduli dengan kepentingan dan kesenangannya sendiri bahkan dia tidak peduli kalau
untuk itu dia harus mengorbankan orang lain. Daya hidup kebendaan masuk ke dalam
diri manusia melalui nafsu serakah. Nafsu serakah ini terbuat dari esensi tanah. Tanah
akan menelan apa saja yang dikuburkan di dalamnya.

Pengaruh dari daya hidup tumbuh-tumbuhan menyebabkan manusia menjadi lesu,


apatis, kehilangan semangat dan gairah serta mudah menyerah. Daya ini akan
membuat manusia jadi menyerupai tanaman, malas bergerak, tidak mau mengambil
inisiatif dan tidak peduli terhadap keadaan di sekitarnya. Mereka juga cenderung malas
untuk berusaha mengubah nasibnya. Daya hidup tumbuhan masuk ke dalam diri
manusia melalui nafsu amarah. Nafsu amarah terbuat dari esensi air. Kalau sedang
mengalir maka nafsu amarah akan bisa menghancurkan apa saja yang ada
disekitarnya persis seperti air yang berwujud banjir bandang .

Setelah pemberontakan komunis yang gagal di tahun 1965, desa-desa yang semula
aman dan damai tiba-tiba dilanda kerusuhan. Dalam waktu dua minggu setengah juta
orang anggota partai komunis beserta para simpatisannya dibunuh. Partai Komunis
109
dibasmi hingga ke akar-akarnya. Yang dibunuh secara langsung oleh tentara
sebetulnya tidak terlalu banyak, mereka ditangkap lalu dimasukkan penjara untuk diadili.
Tetapi orang-orang desa yang sederhana yang terpengaruh oleh daya tumbuh-
tumbuhan membunuh mereka tanpa ampun karena pengaruh nafsu amarah yang
menguasai mereka.

Daya hidup hewani mempengaruhi manusia untuk menjadi berperilaku seperti binatang.
Orang yang sedang berada dalam cengkeraman daya hewani akan senang bertengkar
atau berkelahi, cenderung ingin mendominasi atau menguasai orang lain dan nafsu
seksualnya menggebu-gebu. Daya hewani mempengaruhi manusia melalui nafsu
keinginan. Nafsu ini terbuat dari esensi udara. Sehingga kalau nafsu seks nya sedang
menggebu-gebu maka nafasnya menjadi berat karena kandungan udara yang ada
dalam tubuhnya.

Daya hidup insani membuat seorang manusia menjadi manusia. Daya hidup ini adalah
sumber dari hati nurani, moral etik, hukum dan prinsip-prinsip legal lainnya yang
mengatur hubungan antar sesama manusia. Daya insani masuk melalui nafsu
kesabaran. Nafsu kesabaran ini terbuat dari esensi cahaya.

Keempat daya-daya ini bersaing satu sama lain untuk mengendalikan atau mengontrol
diri seorang manusia. Keempat-empatnya tidak terjangkau oleh pikiran dan kehendak
kita. Sebaliknya keempat daya inilah yang mengendalikan pikiran dan nafsu dalam diri
manusia. Mereka ada di alam bawah sadar.

Pikiran, hati, perasaan dan nafsu itu semuanya ada di dalam emosi. Dan secara
bersama-sama membentuk bagian astral dari manusia. Jauh didalam badan fisik dan
emosi seseorang, tinggallah sang jiwa. Jiwa adalah bagian yang abadi dari diri manusia.
Jiwa sudah ada sebelum manusia dilahirkan ke muka bumi. Dan tetap ada selama
manusia hidup di dunia, tersembunyi di bagian yang terdalam dari diri manusia. Jiwa
juga akan terus ada apabila manusia sudah meninggal dunia. Jiwa yang tersembunyi
dalam diri manusia akan tetap tidur seperti biji yang belum pernah disiram, kecuali
kalau sudah menerima kontak dengan cahaya Ketuhanan. Dalam bahasa Jawa, jiwa
yang yang masih berupa biji itu disebut “sak mrico binubut” artinya berukuran sangat
kecil seperti biji merica. Sekalipun jasmani dan pikirannya dipoles sedemikian rupa
kalau tidak menerima sentuhan cahaya Ketuhanan maka ukuran dari jiwanya tetap saja
kecil. Itulah sebabnya manusia tidak menyadari keberadaan dari jiwanya sendiri.

Menerima cahaya Ketuhanan disebut juga dengan istilah pencerahan (enlightenment).


Sebagai efek dari pencerahan maka jiwanya akan mulai bangun, lalu yang
bersangkutan mulai dapat merasakan keberadaan dari sang jiwa. Pencerahan adalah
anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa yang memiliki hak sepenuhnya untuk
menentukan kepada siapa saja anugerah ini akan diberikan. Disamping Maha Kuasa,
Dia juga Maha Mengetahui siapa saja yang layak dan pantas menerima anugerah ini.
Pilihannya mungkin saja sangat berbeda dan jauh dari perkiraan serta imajinasi
110
manusia. Sejarah telah mengajarkan pada kita, kebanyakan dari para nabi tidak
dilahirkan dari keluarga pendeta, melainkan dari orang tua yang biasa-biasa saja.

Nabi-nabi ketika baru muncul selalu dianggap sebagai musuh oleh kalangan pemuka
agama, karena cara-cara mereka yang tidak mengikuti pakem yang sudah ada. Mereka
membawakan semacam hidup baru dan nafas baru ke dalam hidup keberagamaan
manakala agama yang lama sudah mengalami proses pembusukan sebagai akibat dari
terlalu banyaknya peraturan (syari’at) dan penafsiran yang dibuat oleh pikiran manusia.

Karena daya-daya hidup yang empat ini berada jauh diluar jangkauan kehendak dan
pikiran manusia, maka segala usaha untuk mencoba mengendalikannya akan menjadi
sia-sia belaka. Sang Buddha tidak berhasil mendapatkan apa-apa setelah menjalani
hidup sebagai pertapa selama enam tahun.

Bahasa Jawa adalah bahasa yang paling sulit untuk dipelajari karena banyak tingkatan-
tingkatannya. Sebagai contoh :

Mata bagi orang tidak pernah menerima pencerahan sama sekali (pariah) disebut
ciplos.

Mata bagi orang yang pertumbuhan jiwa sedang dalam tahap kebendaan (Waisya)
disebut moto.

Mata bagi orang yang pertumbuhan jiwa sedang dalam tahap tumbuh-tumbuhan (Sudra)
disebut pandulu.

Mata bagi orang yang pertumbuhan jiwa sedang dalam tahap hewani (satriya) disebut
paningal.

Mata bagi orang yang pertumbuhan jiwa sedang dalam tahap insani/jasmani (brahmana)
disebut mripat.

Saat ini tingkatan-tingkatan bahasa tersebut tidak lagi dipakai untuk menunjukkan tahap
perkembangan spiritual seseorang tetapi lebih kepada status sosialnya dalam
masyarakat.

Selain keempat profesi di atas yaitu pedagang, petani, pegawai pemerintah/tentara dan
guru ada lagi profesi yang kelima yaitu wali. Manusia yang perkembangan spiritualnya
sudah mencapai tingkat yang kelima atau tahap ruhani disebut wali.

Secara bergurau Pak Subuh menyebut profesi yang kelima ini sebagai “Joko
Klanthung” alias gelandangan atau pengangguran.

111
Setelah menerima wahyu, Pak Subuh keluar dari pekerjaan, saudara dan tetangganya
menganggapnya sebagai gelandangan yang tidak punya kerja dan tidak punya
penghasilan tetap. “Joko Klanthung semacam ini adalah orang yang serbaguna yang
tidak mau mengikatkan dirinya dengan profesi tertentu, tapi dia bisa mengerjakan
pekerjaan apa saja kalau memang diperlukan. Dalam bahasa Jawa yang lebih halus,
orang seperti ini disebut “Raden Ngabehi”, artinya Raden yang bisa mengerjakan apa
saja.

Indonesia modern adalah sebuah republik dengan sistem pemerintahan parlementer.


Sedangkan kerajaan-kerajaan di Jawa selalu diperintah oleh raja-raja. Konsep dari
kerajaan-kerajaan Jawa menyerupai struktur dari batin manusia.

Batin manusia bekerja dengan cara sebagai berikut :

Badan digerakkan oleh rasa (feeling)

Rasa digerakkan oleh rahsa (inner feeling)

Rasa digerakkan oleh kesadaran jiwa (inner wisdom)

Kesadaran jiwa digerakkan oleh ingsun atau jiwa (inner self)

Jiwa hanya dapat menerima perintah dari Cahaya Ketuhanan atau DAYA HIDUP
BESAR.

Manusia yang belum menerima pencerahan tidak akan dapat merasakan dan
menyadari bagian-bagian yang abadi dari diri manusia, karena masih berupa biji yang
sedang tidur tersembunyi di bagian yang terdalam dari dirinya, tertutupi oleh lapisan-
lapisan duniawi yang bersifat fana.

Untuk orang-orang biasa, sekedar mengendalikan pikiran saja, sulitnya bukan main,
padahal pikiran adalah lapisan paling luar dari diri kita. Tapi bagi orang-orang tertentu
yang diberkahi, mereka bisa menyadari rahsa nya yang terdalam yang bisa menerima
petunjuk dari jiwanya berupa insting atau intuisi. Tapi kebanyakan orang semata-mata
hanya hidup mengandalkan hati, pikiran, nafsu dan emosi saja.

Konsep kerajaan Jawa jaman dahulu menganut paham “Pandhito Ratu”. Seorang raja
hendaknya juga merupakan seorang pandito atau wali yang sudah menerima
pencerahan, sehingga dapat memerintah kerajaannya berdasarkan pada rahmat,
kehendak dan petunjuk dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Masyarakat Jawa khususnya di kalangan Kkeraton Ngayogyakarta memiliki perangkat


untuk menguji apakah seorang raja merupakan “Pandito Ratu” atau sekedar manusia
biasa. Di Kraton Yogyakarta ada semacam ruangan yang dinamakan Sitinggil atau Siti
112
Hinggil artinya tanah yang tinggi. Ruangan ini memiliki atap dengan empat tiang tetapi
tidak memiliki dinding atau merupakan ruangan terbuka.

Di tempat inilah sang Raja duduk ketika harus memutuskan perkara dalam suatu
pengadilan. Dari tempatnya duduk di Sitinggil, baginda raja harus dapat melihat sebuah
bola besi kecil yang diletakkan di puncak tugu. Tugu adalah bangunan berupa tiang
yang terletak di sebelah utara istana. Jarak antara Sitinggil dan tugu adalah “pitung
pendheleng” atau tujuh kali pandangan mata normal, sehingga kalau menggunakan
pandangan mata biasa maka tidak akan mampu untuk bisa melihatnya.

Kecuali kalau raja yang bersangkutan sudah menerima pencerahan dan mata batinnya
sudah berkembang sedemikian rupa maka dia akan mampu melihat bola besi yang
terlentak di puncak tugu yang berjarak sejauh tujuh kali pandangan mata. Hanya raja
yang bisa melihatnya yang layak mendapat gelar “Pandito Ratu” dan akan mampu
menegakkan keadilan dalam kerajaannya. Melalui raja yang demikian maka karunia
Tuhan Yang Maha Esa akan diberikan kepada tanah dan orang-orang yang tinggal di
dalamnya. Apabila diperintah oleh “pandito Ratu” maka negara akan menjadi “panjang
punjung pasir wukir, gemah rimah, loh jinawi, tata tenterem karto raharjo”. Panjang
punjung artinya negri yang luas dan terkenal sampai jauh, pasir wukir artinya negri
dengan laut dan gunung-gunung yang subur dimana segalam macam barang
kebutuhan mudah didapat dengan harga terjangkau. Gemah ripah artinya negri yang
lalu lintasnya sibuk siang dan malam jumlah rakyatnya banyak. Karto raharjo artinya
negri dimana masyarakatnya cerdas, terhormat dan bertanggung jawab dalam
menjalankan profesinya mulai pejabat yang paling tinggi sampai pejabat yang paling
rendah semuanya jujur dan adil karena kharisma kekuasaan dan wibawa raja dapat
memusnahkan segala bentuk kejahatan dan angkara murka.

Tentu saja tidak semua orang bisa menjadi raja. Agar dapat menjadi raja, seseorang
harus sudah menerima Wahyu Kedaton. Wahyu adalah cahaya spiritual dari Tuhan
sedangkan Kedaton artinya kerajaan. Barangsiapa yang menerima Wahyu Kedaton
maka dengan karunia Tuhan dia akan bisa menjadi raja dan dapat memerintah negri
dengan berkah dan petunjuk dari Yang Maha Kuasa.

113
Bab 12 Wayang Kulit

Wayang kulit adalah salah satu medium yang memainkan peranan penting dalam
pendidikan budi pekerti dan kebudayaan masyarakat Jawa.

Wayang artinya bayangan. Pertunjukkan ini dinamakan wayang kulit karena


menggunakan boneka yang terbuat dari kulit yang mewakili figur figur yang terdapat
dalam cerita wayang. Sebenarnya dalam peertunjukkan wayang terkandung makna
yang lebih dalam daripada sekedar bayangan. Apa yang kita lihat di alam dunia ini
sesungguhnya merupakan bayangan dari kebenaran yang terdapat di alam spiritual.
Segala sesuatu ada atau terjadi di alam spiritual terjadi lebih dahulu lalu bayangan
kemudian dicerminkan ke alam dunia ini.

Istilah wayang juga dipakai untuk pertunjukkan sendratari yaitu “wayang wong”. Dalam
“wayang wong” kisah Ramayana atau Mahabarata dipentaskan oleh manusia dalam
bentuk drama dan tarian. Sekalipun bukan merupakan pertunjukkan bayangan tapi
tetap disebut wayang karena tokoh-tokoh dalam cerita tersebut adalah cerminan atau
bayangan dari jiwa, makhluk-makhluk gaib dan daya-daya yang ada di alam spiritual.

Wayang kulit seperti yang dipentaskan dalam bentuknya yang sekarang masterpiece
hasil karya salah satu wali yang hidup di abad di pulau Jawa pada abad ke lima belas
yaitu Sunan Kalijogo. Sunan adalah julukan bagi seorang wali, artinya “Beliau yang
dihormati dan dijunjung tinggi”. Kali artinya sungai sedangkan jogo artinya menjaga.
Beliau dikenal dengan sebutan ini karena pada masa mudanya beliau terbiasa
melakukan “prihatin” dengan berjalan naik turun sepanjang tepi sungai di malam hari.
Sunan Kalijogo adalah seorang wali yang berperan penting dalam penyebaran agama
Islam di Pulau Jawa. Dakwahnya sangat berhasil, karena dia menggunakan cara-cara
dakwah yang damai.

Mayoritas penduduk pulau Jawa saat itu adalah penganut agama Hindu. Sunan
Kalijogo mengerti bahwa kisah Ramayana dan Mahabarata sangat populer di kalangan
pengikut agama Hindu, beliau tidak menharamkan cerita ini melainkan
menggunakannya sebagai kendaraan untuk sedikit demis edikit mengubah keyakinan
mereka menjadi Muslim dengan cara menyelipkan ajaran-ajaran Islam dalam kisah
wayang.

Sebagai seorang wali sejati beliau mampu menyaksikan alam spiritual dan dapat
melihat betapa umat manusia sesungguhnya digerakkan seperti boneka untuk
memainkan peran tertentu di alam dunia ini. Ki Dalang adalah perlambang dari Tuhan
Yang Maha Kuasa yang berkuasa penuh menggerak-gerakkan wayang di tangannya.

114
Wayang-wayang digerakkan oleh Ki Dalang di satu sisi layar sementara bayangannya
terlihat pada sisi yang lain.

Layar membagi Ki Dalang dan wayang di satu sisi dan bayangannya di sisi yang lain.
Tempat dimana ki dalang berada adalah simbol dari alam spiritual yang langgeng dan
nyata, sementara bayangan tidak lain adalah perlambang dari dunia yang fana ini.
Manusia tidak ubahnya seperti boneka yang dipermainkan dan digerakkan oleh
“tangan” Tuhan.

Ajaran Islam yang paling penting yang disisipkan oleh Sunan Kalijogo ke dalam cerita
wayang adalah syahadat “Tiada Tuhan selain Allah, tidak ada yang patut disembah
kecuali Allah, dan bahwasanya Nabi Muhammad adalah utusan Allah.” Pernyataan ini
dikenal dengan nama kalimah syahadat.

Sunan Kalijogo menyelipkan cerita tentang senjata pusaka yang paling ampuh
kepunyaan saudara tertua Pandawa yaitu Yudistiro atau Puntadewo. Senjata itu
bernama Jimat Kalimosodho yang bermakna Jimat Kalimat Syahadat. Vokal A dibaca
sebagai O dalam bahasa Jawa.

Ada banyak senjata pusaka sakti dalam pusaka wayang. Salah satunya adalah Sunjoto
Kuntho kepunyaan Adipati Karno. Karno menerima senjata ini dari ayahnya Batara
Surya atau Dewa Matahari.

Menjadi anak Batara Suryo artinya Karno adalah hasil dari hubungan seksual antara
dua dewa. Pada saat hubungan seksual itu terjadi, dalam diri kedua orangtuanya
sedang penuh terisi jiwa yang hidup. Karno disebut juga Suryoatmojo, artinya putra
sang fajar. Hubungan seksual sekalipun dilakukan oleh pasangan yang sama tetapi
bisa sangat berbeda apabila didorong oleh dua hal hal yang berbeda yaitu nafsu atau
jiwa.

Keadaan batin dari pasangan yang sedang melakukan melakukan hubungan seksual
akan menentukan keadaan batin dari anak yang sedang dibentuknya pada saat itu.
Seorang anak tidak ubahnya seperti fotocopy dari keadaan batin ibu bapaknya ketika
sedang terjadi proses pembuahan.

Orang Jawa sangat sadar dengan hal ini. Mereka sangat menganjurkan kepada para
suami istri untuk melakukan hubungan seksual setelah tengah malam sampai
menjelang subuh, pada rentang waktu ini kebanyakan orang sedang tidur dan lebih
bersih sangat sedikit terkotori oleh hawa nafsu dan daya-daya rendah. Kalau kita
tergerak untuk melakukan hubungan seksual pada waktu-waktu ini maka besar
kemungkinan pendorongnya adalah dari dalam jiwa kita. Tapi pada saat siang dan
petang hari kemungkinan besar pendorongnya adalah nafsu semata-mata.

115
Kesulitannya adalah tidak banyak orang yang cukup sabar untuk menunggu sampai
tengah malam. Kebanyakan mereka sudah tidur pulas sebelumnya. Orang-orang yang
sudah mempraktekkan hidup prihatin mengerti bahwa puasa dari tidur lebih sulit
dibanding puasa dari makan dan minum. Inilah alasannya kenapa puasa dari tidur
balasannya lebih besar.

Orang Jawa juga tidak menyarankan untuk melakukan hubungan seksual pada saat
emosi kita sedang tidak stabil, misalnya sedang dalam keadaan marah atau sedih
karena gangguan emosi tersebut akan tertanam dalam diri anak yang sedang dalam
proses pembuahan.

Karno adalah hasil dari hubungan seksual yang dilakukan oleh dewa atau Jiwa, dengan
demikian pendorongnya adalah cahaya Ketuhanan. Karena Jiwa hanya taat dan hanya
bisa mengikuti kehendak Tuhan.

Sebagai hasilnya, Karno memiliki jiwa yang besar dan memiliki senjata sakti berupa
panah Sunjoto Kuntho, yang mengejar sasarannya seperti sebuah peluru kendali.
Siapapun yang terkena senjata ini sesakti apapun maka dia akan hancur. Akan tetapi
kesaktian senjata Sunjoto Kuntho tidak berlaku terhadap Yudhistiro, kalau diarahkan
kepada Yudhistiro maka senjata ini tidak akan mampu mengenali sasarannya dan akan
kembali pada pemiliknya tanpa hasil. Hal ini karena Yudhistiro memiliki senjata yang
bernama “Jimat Kalimosodho” (Kalimat Syahadat).

Setelah menerima Jimat Kalimosodho atau setelah memeluk agama Islam maka
Yudhistiro mengalami proses pembersihan dari nafsu-nafsu dan daya-daya rendah.
Sehingga Yudhistiro bebas dari segala kepentingan pribadi, nafsu amarah beserta
daya-daya rendah lainnya. Karena tidak ada rasa amarah dalam dirinya maka orang
lain juga tidak bisa marah terhadapnya. Karena tidak ada rasa kebencian dalam dirinya
maka dia tidak bisa dijadikan sebagai sasaran kebencian dari orang lain. Sehingga
Sunjoto Kunto tidak dapat mengenainya. Orang Jawa sangat terkesan dengan kisah
tentang “Jimat Kalimosodho” ini.

Sebelumnya orang Jawa sudah paham bahwa Sunjoto Kuntho dapat menembus ilmu-
ilmu kebal seperti Aji Tameng Wojo (ilmu kebal yang membuat badan kita seolah-olah
dilapisi lembaran baja) atau aji Lembu Sekilan (Ilmu kebal yang membuat senjata lawan
selalu meleset setebal jari dari badan kita). Kalau Jimat Kalimosodho dapat mengatasi
aji tameng wojo dan Lembu Sekilan maka sudah barang tentu ini adalah jimat yang luar
biasa. Maka para pemimpin di pulau Jawa pun berbondong-bondong mendatangi
Sunan Kalijogo untuk belajar Jimat Kalimosodho.

Secara perlahan-lahan masyarakat Jawa dididik bahwa perlindungan yang paling


ampuh bukanlah melalui pemilikan senjata melainkan melalui perdamaian. dengan
masuk Islam, maka kita akan mendapatkan kedamaian dengan diri sendiri dan
kedamaian diantara sesama umat manusia. Kalau kita hidup berdampingan secara
116
damai dengans esama umat manusia maka kita tidak memerlukan lagi senjata dalam
bentuk apapun. Mereka menangkap pesannya dan berbondong-bondong masuk Islam.

Salah satu pemimpin penting yang masuk Islam adalah Ki Ageng Selo, selanjutnya
beliau berganti nama menjadi Kyai Ngabdurahman. Cucu buyutnya Raden Sutowijoyo
adalah pendiri dari dinasti Mataram. Ki Ageng Selo adalah keturunan dari Raja Hindu
terakhir di pulau Jawa yaitu Raja Brawijaya ke lima dari kerajaan Majapahit.

Sunan Kalijogo juga mengerti bahwa esensi dari agama-agama sesungguhnya tidak
bertentangan satu sama lain. Sebaliknya, saling melengkapi dan saling memperkaya.
Dengan demikian beliau bisa menggunakan esensi dari agama Hindu untuk
membimbing agar masyarakat masuk ke dalam agama Islam.

Ada ratusan lakon wayang yang dicptakan sendiri oleh para dalang, dan yang paling
besar diantaranya adalah Sunan Kalijogo. Lakon-lakon ini tidak ditemukan dalam cerita
asli Ramayana atau Mahabarata. Disamping sifat dari ceritanya yang penuh
mengandung nilai-nilai romantisme, kepahlawanan, filosofis dan mistis, cerita wayang
Jawa juga sarat dengan penjelasan dan uraian mengenai tahap-tahap perkembangan
kejiwaan manusia. Ada pula cerita tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa di
alam spiritual yang menentukan kejadian-kejadian yang akan terjadi di alam fisik.

Dari waktu ke waktu Tuhan memancarkan cahayaNya ke dalam pikiran manusia.


Dalam bahasa yang populer biasa disebut sebagai inspirasi atau ilham. Misalnya dua
sistem pemerintahan yaitu kerajaan dan parlemen sesungguhnya adalah bayangan dari
organ-organ kejiwaan manusia, dimana gagasan ini muncul dalam pikiran manusia
pada saat yang bersangkutan sedang menenangkan diri. Dengan kata lain Tuhan Yang
Maha Kuasa menurunkan gagasan ini kepada orang yang keadaan jiwanya sedang
jernih dan baik. Inspirasi ini kemudian diolah oleh pikiran manusia sehingga menjadi ide
atau buah pikiran.

Di Jawa pertunjukkan wayang kulit dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, yang
terdiri dari dari macam-macam lapisan sosial dan usia. Pemahaman masyarakat
terhadap wayang kulit beraneka ragam tergantung pada kapasitas mental dan spiritual
yang bersangkutan untuk menyerapnya. Anak-anak misalnya sangat menggemari
bentuk fisik dari wayang yang berwarna-warni dan gerakan-gerakannya yang lincah
dimainkan ki dalang pada saat sedang bertarung atau menari.

Irama gamelan yang kadang lembut dan kadang menghentak diselingi suara pesinden
dan ki dalang yang mengalun juga seolah-olah seperti membawa kita terbang ke surga
yang damai dan tentram. Kemudian lampu minyak yang berkelap-kelip membuat
bayangan kelihatan seperti hidup dan membawa kita lebih dekat ke alam spiritual.

117
Para penonton menikmati guyonan-guyonan lucu dari punakawan. Figur para pembantu
ini disebut juga “kawan” artinya teman atau penghibur yang sesekali juga berfungsi
sebagai penasehat.

Bahasa Jawa Tinggi yang dipakai oleh Ki Dalang mengandung nila-nilai sastra yang
memberikan kenikmatan tersendiri bagi para penonton dari kalangan terpelajar.
Kalimat-kalimat yang diucapkan sanggup membangkitkan rasa patriotisme dan jiwa
ksatria dalam diri penonton. Mereka seakan-akan melihat cermin dan merasa malu
apabila kelakuan buruk yang ditampilkan dalam cerita ternyata juga biasa mereka
lakukan sehari-hari.

Orang-orang yang sudah dewasa dan matang selalu menemukan hal-hal baru dalam
cerita wayang kulit, menyentak kesadaran kita karena pesan-pesan bijak yang
diselipkan didalamnya oleh Kangjeng Sunan Kalijogo. Beberapa pesan dalam cerita itu
bahkan sedemikian dalamnya sehingga ki Dalang sendiri tidak memahami benar makna
yang sesungguhnya. Sehingga ada ungkapan bahwa “hanya seorang wali yang tahu
tentang seorang wali”. Kita hanya bisa memahami memahami dunia spiritual dengan
cara mengalami dan memasuki sendiri alam spiritual itu.

Sebagai ilustrasi saya akan mencoba menceritakan salah satu episode dalam cerita
wayang yaitu “Wahayu Makuto Romo”. Dalam cerita ini dikisahkan sebuah pusaka
berupa mahkota telah diturunkan ke dunia oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, sekarang
pusaka tersebut sedang berkelana ke seluruh penjuru bumi untuk menemukan ksatria
yang cocok sebagai penerimanya.

Prabu Duryodono, raja Hastinapura menerima wisik tentang hal ini. Dia segera
menyelenggarakan sidang kabinet dengan mengundang para menteri dan
penasehatnya beserta seluruh saudara-sauadaranya yang berjumlah seratus orang.
Para panglima dan senapati perang juga hadir disitu.

Setelah berdebat panjang akhirnya Pandita Durno memberikan petunjuk bahwa pusaka
tersebut saat ini berada di puncak Gunung Kutorunggu. Adipati Karno diperintahkan
untuk memimpin pasukan guna mengambil pusaka tersebut. Maka sepasukan yang
kuat dilengkapi dengan senjata-senjata seakan-akan hendak berperang. Patih
Sengkuni turut serta sebagai penasehat.

Pada saat yang bersamaan Arjuna satria penengah Pandawa sedang berkelana
meninggalkan kerajaan Amarta untuk mencari Sri Batara Kresna yang sudah beberapa
waktu menghilang dari kerajaan Dwarawati.

Arjuna pergi tanpa memberitahu saudara-saudaranya dan istrinya karena dia mengira
bahwa perjalanannya tidak akan lama. Tetapi setelah berbulan-bulan berkelana
ternyata Sri Batara Kresna tidak kunjung ditemukan.

118
Prabu Kuntho Wibisono adalah mantan raja dari Kerajaan Senggolopuro, sekarang
beliau hidup sebagai pertapa di sebuah tempat yang dinamakan Hamuloyoso di lereng
gunung Kutorunggu dan dikenal dengan nama Begawan Kuntho Wibisono. Sementara
kerajaannya sudah diwariskan kepada anaknya Prabu Dentowilokromo.

Setelah bertahun-tahun memasrahkan diri ke hadirat Yang Maha Kuasa, suatu hari
beliau mendpat perkenan bersentuhan dengan cahaya Ketuhanan. Dalam keadaan
tenang dan hening “sedulur papat” yang terdapat dalam dirinya memisahkan diri keluar
dari badannya.

Di luar badan Sang Begawan, keempat saudara ini nampak seperti empat raksasa yang
berukuran besar.

Mereka memperkenalkan diri :

Nomor satu “ Aku adalah Koloangkoro, terbuat dari cahaya hitam aku bertempat tinggal
di perutmu. Aku bekerja di mulutmu sehingga engkau selalu ingin makan dan minum,
dengan jalan ini aku memberikan kekuatan sehingga kamu bisa hidup.”

Nomor dua “Aku adalah Kololudro, terbuat dari cahaya merah, aku tinggal di dalam
hatimu (liver). Aku bekerja pada telingamu sehingga kamu selalu kecewa, marah dan
murka serta senang membicarakan aib orang lain tapi aku juga tidak pernah ragu untuk
mengerjakan apa saja supaya kamu selalu berani dan mampu menghadapi hidup ini.”

Nomor tiga “Aku Kolosukardo, terbuat dari cahaya kuning, aku bertempat tinggal di
dalam jantungmu dan aku bekerja melalui matamu, sehingga kamu senang dengan
segala yang cantik-cantik dan indah-indah. Aku juga yang membuat kamu selalu
menginginkan barang kepunyaan orang lain, mengajari kamu untuk tidak jujur.”

Nomor empat “ Aku adalah Nugroho, terbuat dari cahaya putih, aku bertempat tinggal di
dalam tulang belulang dan bekerja melalui hidung. Aku menyebabkan kamu berperilaki
agung dan terhormat. Akulah yang menyebabkan selalu ingin dekat dengan Tuhan,
penuh cinta kasih pada sesama, selalu ingin memaafkan siapapun yang berbuat salah
terhadapmu. Akulah yang menyebabkan kamu selalu ingin berbuat baik terhadap
sesama.”

Nugroho atas nama keempat saudaranya berkata : “Kami berempat sudah melayanimu
sepanjang hidup kamu. Kenapa sekarang kami dicampakkan begitu saja ? Kami tidak
bisa menerima perlakuan ini.”

(Keempat makhluk spiritual ini sesungguhnya adalah nafsu-nafsu yang berada dalam
diri Kuntho Wibisono. Beserta sang jiwa orang Jawa menyebutnya “Sudulur Papat
Kalimo Pancer”, artinya empat saudara beserta yang kelima yang membentuk diri kita.)

119
Kuntho Wibisono menjawab: “Keliru kalau kamu sekalian tidak bisa menerima ini. Kamu
berempat tidak bisa hidup di dunia ini tanpa diriku. Satu-satunya cara supaya kamu bisa
bertahan di alam dunia adalah dengan mengambil tempat di dalam diriku. Hal ini sudah
merupakan hukum atau kehendak dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Aku sudah menerima kamu semua di dalam diriku sejak aku dilahirkan dari rahim ibu.
Kamu sudah melayani aku dengan baik. Berkat bantuanmu aku sudah mendapatkan
apa-apa yang semestinya aku dapatkan di dunia ini. Sekarang aku sedang
mempersiapkan diri untuk kembali ke alam akherat, selanjutnya aku tidak
membutuhkan kalian. Sewaktu hidup di dunia kalian adalah para pembantu dan
penolongku tapi di alam akherat kalian justru akan menjadi beban dan penghalang
buatku. Itulah sebabnya aku harus mengeluarkan kalian dari dalam diriku. Kamu harus
berterimakasih bahwa selama ini aku sudah menyediakan tempat buat kalian.”

Nugroho atas nama kawan-kawannya berkata : “Bawalah kami serta denganmu ke


surga. Kamu pasti tidak ingin melihat saudara-sauadara kejiwaanmu ini tinggal
bergentayangan di kayu-kayu dan batu-batu sebagai hantu. Karena kalau sampai
terjadi, hal ini pasti akan membuat kamu malu.”

Kuntho Wibisono : “Aku pun belum bisa kembali ke surga saat ini, bagaimana mungkin
aku akan membawa kalian ? Masih ada tugas yang harus dikerjakan setelah kalian
keluar dari badanku. Kamu harus mencari dan menemukan Arjuno, saudara penengah
Pandawa. Bantulah dia supaya bisa memenangkan perang Baratayuda. Siapa tahu
setelah perbuatan baikmu itu, Tuhan akan berkenan mengizinkanmu turut serta ke
Surga.”

Keempat saudara itu taat dan pergi mencari Arjuno.

Apapun agama yang dianut oleh seseorang, apabila kejiwaannya sudah benar-benar
berkembang maka dia akan sampai pada suatu keadaan dimana dia bisa terbebaskan
dari pengaruh dan dominasi hawa nafsu yang empat itu. Jelaslah bahwa pencipta
kesenian wayang kulit sudah mencapai keadaan tersebut karena hanya dengan
mengalaminya sendiri maka dia bisa menceritakan hal itu dengan sedemikian jelas dan
terperinci. Dilihat dari mata batin, keempat nafsu itu memang berwujud makhluk
raksasa.

Dalam ajaran agama Islam, seorang Muslim yang perkembangan kejiwaannya sudah
matang akan dapat mengeluarkan keempat nafsu itu dari dalam dirinya pada saat
sedang menjalankan shalat, dengan demikian keempat nafsu ini tidak akan
mengganggu proses kebersatuannya dengan Tuhan.

Pada akhir shalat, dia akan menengok ke kiri dan mengucapkan “Assalamu’alaikum
warachmatullahi wabarakatuh”, yang artinya salam dan semoga Tuhan memberkatimu.

120
Setelah itu menengok ke kanan dan mengucapkan kalimat yang sama. Ritual ini wajib
dilakukan baik pada saat shalat berjamaah di masjid atau shalat di rumah sendirian.

Ucapan salam ini sesungguhnya ditujukan kepada empat saudara yang tersebut di atas,
yang sedang menunggu diluar badan kita. Setelah selesai shalat mereka pun masuk
kembali ke dalam badan kita. Keempat-empatnya dibutuhkan supaya kita bisa
menempuh kehidupan di alam dunia ini.

Kalau kita tidak bisa mengeluarkan keempat saudara itu pada saat shalat, maka shalat
kita akan terganggu oleh oleh emosi, keinginan, angan-angan, pikiran dan lain-lain. Jadi
sekalipun masing-masing agama memiliki ritual, doktrin dan ajaran yang berbeda-beda,
esensinya adalah sama. Akan tetapi hanya sedikit orang yang bisa menangkap
kebenaran esensial ini. Kebanyakan para pengikut agama hanya melakukan syare’at
atau ritual nya saja yang merupakan bungkus dari agama. Bungkusnya agama itu
berbeda-beda satu dengan yang lain, tapi kalau kita sudah sampai pada hakekatnya
maka semua agama sebetulnya sama karena sama-sama berasal dari Tuhan Yang
Maha Kuasa.

Karena pengaruh dari pikiran, nafsu, emosi dan angan-angan maka ajaran agama-
agama yang berbeda telah menjadi sumber pertengkaran dan konflik bahkan menjadi
penyebab terjadinya perang yang menyakitkan, padahal agama sesungguhnya
dianugerahkan Tuhan kepada umat manusia untuk membawakan cinta dan perdamaian
bagi dunia.

Setelah mencapai derajat kejiwaan ini, Begawan Kuntho Wibisono melihat suatu
cahaya memancar dari atas puncak gunung Kutorunggu, maka beliaupun pergi
memanjat ke puncak gunung itu. Disana dia menemukan tempat yang indah dan suci
yang merupakan tempat pertapaan Begawan Kesowowidi. Berkat ketajaman mata
tajamnya maka Begawan Kuntho Wibisono dapat mengenali bahwa Begawan
Kesowowidi tiada lain adalah Sri Batara Kresno yang sedang menyamar.

Begawan Kunto Wibisono memohon agar Begawan Kesowowidi berkenan


membimbingnya agar dia bisa melepaskan diri dari segala jeratan dan ikatan
keduniawian. Begawan Kesowowidi bersedia membantunya dengan catatan dia harus
membaktikan seluruh cintanya hanya kepada Tuhan, tidak boleh terkecoh oleh cinta
pada yang selain Tuhan, termasuk rasa cinta terhadap keluarganya.

Mereka melakukan semadi bersama dan sekali lagi begawan Kuntho Wibisono
mendapat perkenan dari Tuhan untuk meninggalkan raganya sehingga bisa berkelana
di alam akherat. Pada saat berada di alam akherat itulah dia mendengar suara
kakaknya Kumbokarno memanggil-manggil sambil mengerang kesakitan. Wibisono pun
segera menemui kakaknya. Kumbokarno sangat senang melihat adiknya muncul di
depan matanya. Kumbokarno berkata bahwa dia selalu memanggil-manggil adiknya

121
dengan penuh rindu karena dia ingin berbagi kebahagiaan dan kemuliaan di alam
akherat dengan adik yang sangat disayanginya itu.

Kumbokarno tidak habis pikir mengapa adiknya tidak jua datang dan tidak kunjung
meninggalkan dunia yang penuh dengan kepalsuan dan penderitaan. Kumbokarno
memperlihatkan pakaiannya yang mewah gemerlap beserta istananya yang megah dan
indah. Lalu dia berkata betapa bahagia keadaannya sekarang.

“Kakakku Kumbokarno,” Wibisono berkata, “ Kamu sebenarnya masih sedang hidup di


alam angan-angan. Apa yang kamu anggap sebagai istana sesungguhnya tidak lain
hanya kayu watu. Pakaianmu yang indah dan mewah sesungguhnya hanya daun-daun
kering dan kulit batang pohon. Dalam khayalanmu engkau seakan-akan sedang tertawa,
bahagia dan sejahtera padahal sesungguhnya engkau sedang mengerang kesakitan.
Kamu belum menemukan tempat yang mulia di alam akherat. Kamu tersesat dalam
alam angan-angan.”

Berkat keadaan jiwa Wibisono yang sudah mencapai hakekat maka dunia khayalan
Kumbokarno tiba-tiba lenyap, sekarang baru dia menyadari kebenaran ucapan adiknya.
Tempat yang sebelumnya kelihatan seperti istana kini berubah menjadi kayu watu.
Pakaiannya yang mewah kini tampak aslinya sebagai daun-daun kering dan kulit
batang pohon. Kumbokarno pun menjerit, menangis dengan suara yang pilu.

“Berhentilah menangis Kakakku, Tuhan Yang Maha Kuasa belum berkenan


menganugerahimu surga. Pergilah kembali ke dunia dan masuklah ke dalam badan
Bima. Bantulah dia untuk memenangkan perang Baratayudha. Semoga kelak Tuhan
akan berkenan membalas segala kebaikanmu.”

Kumbokarno mematuhi nasehat adiknya. Dia turun ke dunia untuk mencari Bima.
Sementara itu Begawan Kunto Wibisono juga bukannya terus naik ke surga melainkan
turun kembali ke alam dunia. Dia menemukan dirinya di puncak gunung Kutorunggu
dan terduduk sambil menangis di hadapan begawan Kesowowidi. Menurut Begawan
Kesowowidi, belum saatnya bagi Kunto Wibisono untuk menuju surga karena masih
banyak kewajiban di alam dunia ini untuk turut serta membasmi kejahatan dan
kemungkaran.

Begawan Kesowowidi mempersilahkan Kunto Wibisono untuk masuk ke dalam


badannya yang tiada lain adalah Sri Batara Kresno karena badannya itulah yang paling
sesuai sebagai kendaraan bagi Kunto Wibisono untuk menunaikan tugasnya di dunia.

Sekalipun Begawan Kunto Wibisono dapat membebaskan dirinya dari keempat nafsu,
tapi dia belum berhasil membebaskan diri dari daya insani yang sangat kuat bahkan
jauh lebih kuat dibanding daya kebendaan, tumbuh-tumbuhan dan hewan. Daya hidup
insani inilah yang mengikat dan melekatkan seorang manusia dengan keluarganya
khususnya anak dan istri, sebuah ikatan yang tidak mudah untuk diputuskan.
122
Kehilangan anggota keluarga merupakan suatu penderitaan yang sangat berat. Inilah
alasannya kenapa seorang hakim tidak boleh mengadili anggota keluarganya sendiri
karena dikhawatirkan mereka akan memihak dan bersikap tidak adil. Ini pula sebabnya
kenapa seorang kekasih akan melakukan bunuh diri kalau mereka tidak bisa kawin
dengan orang yang mereka cintai.

Contoh klasik di barat adalah kisah cinta Romeo dan Juliet. Karena kedua pihak
keluarganya tidak merestui hubungan mereka dan ikatan daya insani diantara mereka
sangat kuat maka mereka pun akhirnya bunuh diri.

Contoh lainnya adalah percintaan antara Raja Edward ke 8 dan Wallis Warfield
Simpson. Tekanan daya insani terhadap keduanya sangat kuat sehingga mendorong
Wallis Warfield Simpson untuk menceraikan suaminya dan Raja Edward ke 8 harus
menyerahkan tahta kepada adiknya . Dia menjadi raja Inggris hanya selama 325 hari
sebelum kemudian menyerahkan tahta dengan sukarela demi cintanya kepada Wallis.

Mereka beruntung karena kisah cintanya berakhir dengan bahagia. Pada tanggal 3 Juni
1937 mereka menikah di Perancis dan hidup bersama sampai ajal memisahkan
keduanya. Orang-orang yang hatinya dikuasai oleh daya kebendaan akan sulit untuk
mengerti kenapa ada orang yang rela mengorbankan tahta dan kekuasaan sebagai raja
hanya untuk menikahi seorang wanita pilihannya. Padahal dia dengan mudah bisa
menemukan wanita lain yang lebih cantik dan tetap mempertahankan kekuasaannya
sebagai raja.

Sebesar apapun pengaruh daya kebendaan sesungguhnya tidak berarti apa-apa


dengan kekuatan pengaruh dari daya insani. Kalau dua jiwa manusia sudah terikat satu
sama lain maka hanya kematian saja yang sanggup memisahkannya. Orang Jawa
dianjurkan untuk tidak menangis kalau ada keluarganya yang meninggal karena
tangisan hanya akan mempersulit jiwa-jiwa untuk meninggalkan dunia ini. Seperti kisah
Kuntho Wibisono di atas.

Hanoman yang sudah pensiun sebagai prajurit perang juga menjadi murid dari
Begawan Kesowowidi, kini dia hidup sebagai seorang pertapa. Begawan Kesowowidi
bertanya apakah tujuannya sehingga Hanoman berkeras untuk menjadi muridnya,
maka Hanoman menjawab bahwa dia sudah tidak lagi tertarik dengan segala
keindahan dunia, dia sudah tidak ingin lagi makan makanan enak dan minum minuman
yang lezat. Dia ingin mendapat bimbingan agar dapat menuju pada kematian yang
sempurna, agar arwahnya tidak lagi bergentayangan di dunia ini hantu yang tinggal di
kayu watu.

123
Sementara itu, Adipati Karno, patih Sengkuni dan bala tentara Kurawa sudah sampai di
lembah gunung Kutorunggu. Pasukannya berkemah di lembah sedangkan Adipati
Karno beserta Patih Sengkuni terus mendaki ke puncak gunung. Mereka terkagum-
kagum melihat kediaman Begawan Kesowowidi yang indah, suci dan damai. Pohon-
pohonan tumbuh subur dengan buah-buahan yang menjuntai, bunga-bunga
bermekaran diantara daun-daun yang menghijau. Ada pula kolam yang sejuk dan jernih
dengan ikan-ikan yang berenang di dalamnya. Mereka tambah terkejut ketika tuan
rumah muncul dan mengucapkan selamat datang dan menyapa mereka dengan
namanya, padahal baru kali ini mereka bertemu. Bagaimana begawan itu bisa
mengetahui nama mereka ? Dia bahkan tahu dengan nama kecil dari Patih Sengkuni
dan Adipati Karno.

Begawan Kesowowidi yang tidak lain adalah Sri Batara Kresna tentu saja mengenal
mereka. Tapi mereka tidak mengenalinya. Setelah mengucapkan salam dan saling
berkenalan, Begawan Kesowowidi mulai menanyakan maksud dan tujuan dari
kunjungan tersebut.

Adipati Karno sebagai pemimpin rombongan menjawab, “Aku diutus oleh Prabu
Duryudono Maharaja kerajaan Hastinapuro untuk mencari dan membawa pulang
Wahayu Makuto Romo. Menurut penasehat kerajaan, Begawan Durno, pusaka tersebut
ada di disini di puncak gunung Kutorunggu.Karena kamu adalah penghuni tempat ini
maka aku yakin bahwa pusaka Wahyu Makuto Romo pastilah ada di tanganmu. Atas
nama Sri Baginda Prabu Duryudono aku meminta agar pusaka Wahyu Makuto Romo
diserahkan sekarang juga untuk dipersembahkan kepada Yang Mulia Prabu
Hastinapura.”

Sri Kresna menjawab, “Pertama, izinkan saya menjelaskan bahwa Wahyu Makuto
Romo bukanlah pusaka yang berbentuk benda yang bisa dipegang dan dibawa-bawa.
Wahyu itu adalah cahaya yang memancar dari kekuasaan Sang Hyang Widi yang
dianugerahkan kepada seorang raja agar dia dapat memerintah kerajaannya dengan
restu dan rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Kedua, cara memperoleh Wahyu Makuto Romo adalah melalui jalan topo dan prihatin
yaitu menahan diri dari makan, minum, tidur dan dari segala kesenangan dunia.

Sekarang kamu datang kesini dengan sepasukan prajurit lengkap dengan senjatanya.
Ini bukanlah cara yang benar untuk mendapatkan wahyu makuto romo. Tapi ini seperti
cara orang yang mau merampok. Padahal Wahyu adalah cahaya dari Tuhan
sedangkan makuto artinya mahkota dan Romo adalah nama raja Ayodya. Wahyu ini
hanya akan diberikan oleh Tuhan pada orang yang sudah bisa mengesampingkan
kepentingannya sendiri dan selalu mengutamakan kepentingan bersama. Kamu harus
menjalani prihatin agar bisa mendapatkan Wahyu ini.”

124
Setelah mendengar jawaban Begawan Kesowowidi, Adipati Karno berembug dengan
Patih Sengkuni. Patih Sengkuni berpendapat bahwa Begawan Kesowowidi adalah
kunci untuk mendapatkan wahyu tersebut. Selanjutnya begawan itu harus ditawan dan
dibawa ke Hastinopuro. Kalau memungkinkan dengan cara damai tapi kalau tidak
terpaksa harus dengan jalan kekerasan.

Adipati Karno bicara lagi , “Begawan Kesowowidi, jelek-jelek begini aku adalah utusan
dari Maharaja Duryudono. Sesuai dengan kedudukan dan tugasku, maka aku tidak
mungkin pulang dengan tangan hampa. Tampaknya pusaka itu memang ada di
tanganmu atau setidaknya kamu tahu dimana pusaka itu disimpan. Oleh sebab itu aku
memerintahkan engkau untuk bersama dengan kami menghadap baginda raja, baik
secara sukarela atau dengan paksaan.”

Begawan Mayangkoro yang tidak lain adalah Hanoman tidak bisa menahan amarahnya.
Dia melompat ke depan Adipati Karno dan berkata, “Langkahi dulu mayatku kalau kamu
mau membawa Begawan Kesowowidi.”

Begawan Keswowidi menegur Hanoman, bahwa bukan Hanoman yang ditantang


melainkan Begawan Kesowowidi. Maka Hanoman pun undur diri dan berjaga-jaga
apabila pasukan Hastinapuro menyerang maka barulah dia akan bergerak.

Selanjutnya terjadilah pertarungan sengit antara Adipati Karno melawan Begawan


Kesowowidi. Karno adalah senapati perang yang sakti, akan tetapi setelah bertempur
sekian lama tetap saja tidak mampu mengalahkan Begawan yang sudah tua renta itu.
Begawan Kesowowidi sangat kuat dan gigih. Sehingga pelan-pelan Adipati Karno
bahkan mulai terdesak dan hanya bisa bertahan.

Dicobanya segala jenis ilmu kesaktian yang dimiliki tapi tetap saja gagal. Dalam
keadaan putus asa akhirnya Adipati Karno menghunus tombak saktinya yaitu Sunjoto
Kunto yang mestinya hanya bisa dipakai satu kali kelak dalam perang Baratayuda.

Melihat senjata mematikan itu meluncur deras ke arah gurunya maka Hanoman lupa
diri. Dengan kecepatan laksana kilat Hanoman melompat ke udara dan menangkap
tombak itu. Sedemikian cepat gerakannya sehingga Hanoman dan Sunjoto kelihatan
seperti seberkas kilat lalu menghilang entah kemana.

Karno yang merasa senjata saktinya meleset merasa malu tidak terkira, lalu melarikan
diri dari medan perang. Dia sangat malu dan tertekan, bukan saja karena senjatanya
meleset tapi juga karena senjata itu hilang dan tidak kembali lagi kepada dirinya.

Melihat bahwa pimpinannya kalah dan melarikan diri dari medan perang maka seluruh
tentara Kurawa beserta Patih Sengkuni ikut lari tunggang langgang dengan panik. Di
tengah hutan di kaki gunung Kutorunggu mereka berkumpul kembali . Adipati Karno

125
tidak mau pulang ke Hastinapuro. Baginya lebih baik mati daripada harus menanggung
malu.

Patih Sengkuni yang terkenal licik dan penuh tipu daya mencoba membujuknya. Dan
menyarankan untuk memberi laporan palsu kepada Raja Duryudono dengan
mengatakan bahwa Wahyu Makuto Romo sesungguhnya sudah berhasil diperoleh
tetapi di tengah perjalanan dicuri oleh Pendawa Lima. Akhirnya Karno setuju untuk
memberi laporan palsu dan merekapun bersiap-siap pulang ke istana.

Setelah pasukan Kurawa pergi maka Begawan Mayangkoro menyerahkan Sunjoto


Kuntho kepada Sri Kresna, “Hanoman, Darimana kamu mendapatkan senjata ini ?”

Hanoman menjawab, “ Begawan yang mulia, dalam keadaan putus asa, Karno
menggunakan senjata ini untuk menyerangmu. Dengan melakukan hal ini berarti dia
telah melanggar pesan para dewa agar tidak menggunakan senjata ini kecuali dalam
perang Baratayuda.

Alasan kedua, hamba mengira bahwa Tuan tidak tahu kalau Adipati Karno telah
menggunakan senjata yang ampuh dan mematikan ini. Kalau tuan mati, hamba tentu
akan kehilangan guru yang sangat hamba cintai.”

Sri Kresno : “Hanoman, kamu telah melakukan empat dosa besar. Pertama kamu
sudah berdosa melawan kehendak para dewa. Karno hanya sekedar melakukan apa
yang seharusnya dia lakukan. Kalau seorang ksatria merasa akan kalah dalam
pertempuran maka sangat wajar jika dia lantas menggunakan senjata apa saja untuk
membela diri demi mengalahkan lawannya. Apabila dengan menggunakan senjata ini
maka dia telah melanggar perintah para dewa maka itu adalah urusannya dengan para
dewa. Kalau Karno bersalah biarlah para dewa yang menghukumnya. Dengan
menangkap Sunjoto Kunto berarti engkau telah menghukum Karno tanpa mandat dari
para dewa. Engkau pun telah berdosa terhadap para dewa.”

“Yang kedua, engkau telah berdosa kepada gurumu sendiri. Pada saat engkau
menyerahkan diri untuk menjadi muridku, berarti engkau percaya kepaadaku. Tapi
begitu melihat Sunjoto Kuntho menyerang aku, maka rasa kepercayaanmu hilang. Kau
mengira bahwa aku tidak akan sanggup menghadapi Sunjoto Kuntho. Dengan tidak
mempercayai kemampuanku menghindar dari Sunjoto Kuntho. Maka engkau telah
berdosa kepada gurumu.”

“Yang ketiga. Engkau sudah berdosa terhadap sesama manusia, dalam hal ini Adipati
Karno. Disamping seorang utusan, Karno adalah juga seorang prajurit. Setelah
menerima mandat dari sang Raja maka dia merasa berkewajiban untuk menunaikan
tugasnya, apapun taruhannya. Ketika Sunjoto Kuntho itu menyerang diriku, dia ingin
melihat hasilnya. Dia akan merasa sudah menunaikan tugas apabila sudah mengetahui
hasilnya, terlepas apakah tombak itu akan membunuhku atau tidak. Sehingga pada
126
saat senjata itu menghilang maka dia merasa kecewa dan malu. Kau telah berdosa
terhadap Adipati Karno karena telah mempermalukannya.”

“Yang keempat, kamu sudah mengambil dan menyembunyikan sesuatu yang bukan
milikmu tanpa persetujuan dari pemiliknya. Kamu sudah berdosa karena mencuri
barang kepunyaan orang lain.”

Hanoman menangis sedih karena menyesal. Dia baru menyadari bahwa tindakannya
yang gegabah ternyata telah menyebabkannya melakukan empat macam dosa.

Sri Kresno : “Hanoman, tampaknya Tuhan yang maha kuasa belum berkenan
menganugerahimu surga untuk saat ini. Kamu masih diperlukan di alam dunia. Pergilah
bertapa dan teruslah berprihatin.”

Apabila kelak ada kesempatan bagimu untuk berbuat baik, maka lakukanlah. Mudah-
mudahan kelak Tuhan berkenan mengampuni dosa-dosamu dan membukakan jalan
untuk mu pulang ke surga.

Hanoman mentaati perintah Sri Kresno.

Setelah mencari-cari sekian lama tanpa hasil akhirnya Harjuno memutuskan melakukan
semadi guna mendapatkan petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Dalam samadinya Arjuno
mendapat ilham bahwa dia harus pergi ke puncak gunung Kutorunggu untuk menjadi
murid dari Begawan Kesowowidi agar dapat menemukan Sri Batara Kresno. Arjuno
meminta pendapat Ki Semar beserta anak-anaknya yaitu Gareng, Petruk dan Bagong.
Ki Semar menyarankan agar Arjuno mengikuti petunjuk yang diperolehnya dalam
semadi.

Dalam perjalanan menuju puncak gunung Kutorunggu, dia bertemu dengan empat
orang raksasa yaitu Koloangkoro, Kololudro, Kolosukardo dan Nugroho. Keempat
raksasa bersaudara itu yakin bahwa pemuda tampan di hadapannya adalah Arjuno
yang sedang mereka cari. Lalu keempatnya memperkenalkan diri kepada Arjuno dan
menyatakan niatnya untuk masuk ke dalam tubuh Arjuno.

Harjuno meminta saran pada Ki Semar. Keempat raksasa tersebut berdiri di depannya
tetapi kakinya melayang tidak menginjak tanah. Mereka kelihatan kalau sedang dilihat
dengan sungguh-sungguh tetapi segera menghilang kalau Arjuno mengedipkan
matanya. Ki Semar, sekalipun kedudukannya hanya sekedar pelayan bagi arjuno tetapi
dia sesungguhnya adalah Dewa yang dikenal dengan sebutan Sang Hyang Ismaya. Ki
Semar tahu betul bahwa keempatnya adalah sedulur papat dari Begawan Kuntho
Wibisono sehingga Ki Semar memperingatkan Arjuno agar berhati-hati.

Arjuno menolak niat dari keempat raksasa itu untuk masuk ke dalam dirinya, maka
terjadilah pertempuran seru. Tidak lama kemudian keempatnya berhasil masuk ke
127
dalam diri Arjuno yang selanjutnya merasa kekuatan dan kesaktiannya menjadi
semakin bertambah-tambah. Mereka meneruskan perjalanannya menuju puncak
gunung Kutorunggu disertai empat orang punakawan yaitu Ki Semar, Gareng, Petruk
dan Bagong.

Begitu sampai di lembah gunung Kutorunggu, Arjuno melihat ada cahaya terang
memancar dari puncak gunung naik ke atas hingga menembus langit.
Semangatnyasemakin menyala-nyala hingga Arjuno bergegas melanjutkan
pendakiannya ke puncak gunung.

Harjuno bertemu dengan Begawan Kesowowidi dan menyatakan niatnya untuk menjadi
murid sang Begawan. Harjuno juga memohon petunjuk agar dapat menemukan kakak
sepupunya Sri Batara Kresno. Begawan Kesowowidi meminta Arjuno untuk bersabar,
menunggu beberapa bulan sebelum dapat bertemu dengan Sri Batara Kresna.

Begawan Kesowowidi : “Harjuno, aku tahu bahwa kamu sudah menerima anugerah
dari Tuhan yaitu dengan bergabungnya sedulur papat dari Begawan Kuntho Wibisono.
Kelak mereka akan dapat membantumu dalam perang Baratayuda. Sekarang kamu
harus melakukan prihatin disini untuk beberapa bulan.

Sebagai pelindung bagi segenap umat manusia, Tuhan juga sudah menganugerahimu
wahyu yang akan menjadikan kerajaanmu kuat dan sejahtera, itulah wahyu makuto
romo. Wahyu ini hanya dapat diperoleh oleh orang yang memiliki kapasitas kejiwaan
yang memadai dan senang berbuat baik bagi orang lain, selalu mendahulukan
kepentingan bersama di atas kepentingannya sendiri.

Makuto adalah mahkota, Romo adalah nama dari raja Ayodya. Dalam hidupnya prabu
Rama tidak hanya dicintai oleh manusia saja, bahkan kaum monyet pun mencintai dan
menaruh hormat kepadanya. Prabu Romo memerintah kerajaannya berdasarkan pada
prinsip-prinsip Hasto Broto. Hasto artinya delapan sedangkan Broto artinya prinsip atau
karakter. “

Berikut ini adalah delapan prinsip kepemimpinan tersebut :

Pertama : Karakter bumi yang berwatak baik dan murah hati, selalu memberi dan akan
menerima dengan sabar apapun dan siapapun yang berjalan di atasnya. Kalau ada
orang yang memiliki sifat seperti bumi, maka yang bersangkutan akan selalu toleran,
mengesampingkan kepentingan diri sendiri dan selalu ingin melayani serta bekerja
untuk negeri dan rakyatnya dengan penuh kesabaran, ketulusan dan kemurahan hati.

Kedua : Karakter angin. Angin bisa pergi kemana saja, ke gunung, lembah, kota-kota
besar, desa-desa terpencil, ke dalam gua atau bahkan ke tengah lautan. Seorang
pemimpin harus mau pergi kemana saja untuk memeriksa keadaan secara langsung

128
agar paham dengan kondisi kerajaannya, bukan hanya sekeedar mendengarkan
laporan dari anak buahnya.

Ketiga : Karakter laut, seorang pemimpin tidak boleh bersikap pilih kasih dalam
menegakkan keadilan di negrinya.

Keempat : Karakter Bulan, Seorang pemimpin harus bisa membawakan cahaya dalam
kegelapan, menerangi pikiran dan situasi yang gelap, mendidik rakyatnya dan
memberikan contoh mengenai perilaku yang mulia. Dia harus bisa bisa berteman
dengan musuh-musuhnya dan berhubungan dengan lebih dekat dengan kawan-
kawannya.

Kelima : Karakter Matahari, pancaran cahaya matahari bisa menyebabkan air menguap
menjadi awan di langit yang bisa mendatangkan hujan. Seorang pemimpin harus bisa
menjadi tempat berteduh bagi orang-orang yang sedang menderita dan menyediakan
makanan serta bantuan bagi yang membutuhkan, serta tidak mengumpulkan kekayaan
untuk kepentingan pribadinya.

Keenam : Karakter langit, langit itu wujudnya besar dan luas, bisa menampung dan
meliputi apa saja. Lembah, kota, desa, pulau lau dan seluruh alam semesta ini.
Seorang pemimpin harus memiliki jiwa yang besar yang dapat mengakomodasi semua
orang, dari yang miskin sampai yang kaya, dari yang rendahan sampai para
bangsawan.

Ketujuh : Karakter badai, seorang pemimpin harus dapat mengalahkan segala bentuk
keburukan dan kejahatan.

Ke delapan : Karakter bintang, seorang pemimpin harus konsisten dan tidak mudah
dipengaruhi oleh orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu.

“Wahyu Makuto Romo mengandung ke delapan prinsip di atas yang dinamakan Hasto
Broto. Sekarang kamu sudah menerima wahyu ini. Ke delapan sifat Hasto Broto ini
selanjutnya akan tumbuh dan berkembang dalam dirimu.”

Tidak lama kemudian, Bima juga muncul di puncak Gunung Kutorunggu dan turut serta
bergabung. Beberapa waktu kemudian, Sri Batara Kresno membuka penyamarannya
lalu mereka bertiga pulang kembali ke istana.

Kenapa Adipati Karno berpihak kepada Kurawa ? Berikut ini latar belakang dari Adipati
Karno. Karno disebut juga Suryoatmojo (artinya putra sang fajar), karena dia adalah
anak dari Batara Suryo atau dewa matahari. Karno sesungguhnya adalah anak sulung
dari Dewi Kunthi, ibunda dari Pendawa lima.
129
Karena Dewi Kunthi tidak menikah pada saat dihamili oleh Batara Suryo maka ketika
bayinya lahir bayi itu pun dilarung atau dihanyutkan ke sungai. Lalu dipungut dan
diangkat anak oleh Nodho dan Hadiroto, yang mengasuhnya dengan penuh kasih
sayang seperti anaknya sendiri. Bayi itu tumbuh kuat dan sehat sehingga setelah
dewasa menjadi Adipati Karno.

Setelah Karno lahir, Dewi Kunthi menikah dengan Pandu dan melahirkan tiga anak
yaitu Punthodewo, Bimo dan Arjuno. Dari istrinya yang kedua, dewi Madrim, Pandhu
memperoleh sepasang anak kembar Nakulo dan Sadewo. Pandu dan Dewi Madrim
meninggal setelah melahirkan Nakulo Sadewo, sehingga Nakulo dan Sadewo disusui
oleh Dewi Kunthi, yang membesarkan mereka seperti anak-anaknya sendiri. Kelima
anak-anak Pandhu inilah yang kemudian dikenal sebagai Pendowo Limo.

Patih Sengkuni dan Adipati Karno yang mengabdi pada Kurowo sangat menentang
segala upaya untuk menyerahkan kembali kerajaan Hastinapuro kepada para Pendowo.
Keduanya ingin mengobarkan peperangan melawan Pendowo. Akan tetapi ada
bedanya, Patih Sengkuni ingin menghancurkan Pendowo karena nafsu kekuasaan dan
kebendaan sementara Adipati Karno secara sadar mendorong terjadinya perang karena
hanya dengan cara itulah maka kejahatan dan sifat-sifat iblis dari Kurowo akan bisa
dihancurkan. Dengan kata lain melalui pemusnahan fisik.

Hanoman, yang muncul dalam cerita Ramayana dilahirkan dari rahim dewi Anjani.
Ayahnya, Batara Guru, adalah pemimpin atau raja dari para Dewa. Hanoman umurnya
paling panjang diantara semua tokoh-tokoh lain dalam cerita Ramayana. Kecuali
Rahwana, Rahwana juga masih tetap hidup dan merupakan raja raksasa dari daya
kebendaan atau daya syaitoniah, yang tidak akan mati selama alam dunia ini masih ada.

Hanoman (yang juga dikenal sebagai Begawan Mayangkoro) umurnya juga melampaui
tokoh-tokoh lain dalam cerita Mahabarata. Bahkan sampai hari ini pun Hanoman masih
hidup. Dialah satu-satunya figur yang bisa mengontrol dan mengendalikan Rahwana.
Dari waktu ke waktu dalam sejarah, sesekali Rahwana berhasil melepaskan diri lalu
membuat banyak kerusakan di muka bumi dan kehancuran bagi sejarah peradaban
manusia. Dalam situasi seperti itu maka Hanoman akan muncul dan menaklukkan
Rahwana serta menyelamatkan umat manusia dari kebinasaan total.

enapa Hanoman diciptakan dalam bentuk seekor monyet bukannya manusia ? Karena
manusia yang sedang dalam cengkeraman daya insani akan mempunyai hati sehingga
tidak bisa menjalankan fungsi sepenuhnya sebagai seorang prajurit. Dia akan banyak
dipengaruhi pertimbangan rasa kemanusiaan yang manusiawi seperti rasa menyesal,
rasa kasihan, rasa ingin mengampuni dan rasa sayang. Hati manusia selalu dilemahkan
oleh rasa ragu dan naif dan bisa dengan mudah ditaklukkan tanpa ampun oleh
kekuatan jahat. Seorang manusia tidak akan punya kesempatan melawan kekuatan
jahat, licik, penuh tipu daya dan tanpa belas kasihan dari setan, yang bisa melakukan
apa saja untuk mewujudkan keburukan dan kejahatan mereka. Hanoman, seperti
130
monyet tidak memiliki kelemahan yang sedemikian itu sehingga sebagai seorang
prajurit yang sempurna, dia tidak akan ragu untuk melawan atau membunuh musuh-
musuhnya.

131
Epilog (Penutup)

Di Jawa pada abad ke lima belas, Syekh Siti Djenar dibunuh karena sudah
memperkenalkan hakekat. Di abad ke dua puluh, Tanah Jawa sekali lagi mendapat
karunia dengan kelahiran seorang anak yang juga menerima jalan hakekat. Dia
dilahirkan di suatu pagi hari (Subuh) pada tanggal 22 Juni 1901. Berdasarkan waktu
kelahirannya maka diberi nama Muhammad Subuh, Subuh artinya fajar. Asmo
sepuhnya Sumohadiwidjoyo. Sehingga nama lengkapnya adalah Muhammad Subuh
Sumohadiwidjoyo.

Jalan Hakekat dalam bahasa Jawa disebut juga Kasunyatan Jati. Kasunyatan artinya
kebenaran. Jati artinya nyata atau apa adanya. Jadi Kasunyatan Jati artinya adalah
“kebenaran yang sesungguhnya” atau “kebenaran yang telanjang”.

Masyarakat pada umumnya tidak bisa atau tidak mau menerima “kebenaran yang
telanjang”, sehingga waktu itu Syekh Siti Djenar hanya mempunyai sedikit pengikut saja.
Satu diantaranya adalah Kebo Kenongo yang juga dihukum mati seperti Syekh Siti
Djenar. Tetapi Kebo Kenongo punya satu anak yang setelah ayahnya meninggal lalu
dipelihara dan dibesarkan oeleh saudaranya di desa Tingkir. Anak itu dikenal dengan
sebutan Joko Tingkir atau anak dari Tingkir.

Anak itu mewarisi kualitas kejiwaan yang baik dari ayahnya. Sekalipun awal hidupnya
hanya sebagai anak yatim piatu dari sebuah desa terpencil tetapi di kemudian hari Joko
Tingkir menjadi raja di Kerajaan Pajang. Selanjutnya dikenal dengan sebutan gelar
Sultan Hadiwijoyo.

Kebenaran telanjang mengenai diri seseorang atau jalan hakekat sangat sulit bisa
diterima oleh yang bersangkutan. Dan akan lebih sulit lagi untuk diterima oleh orang
lain yang tidak mengalaminya. Sebelum menerima kontak dengan cahaya Ketuhanan
maka hidup kita semata-mata hanya dikendalikan perasaan dan pikiran saja.

Perasaan dan pikiran cenderung menutup-nutupi apa yang jelek dan hanya
menampilkan apa-apa yang baik tentang diri kita. Jadi orang yang hidupnya hanya
dikendalikan oleh pikiran dan perasaan saja maka dia akan hidup dalam kepalsuan
atau kepercayaan yang serba palsu.

Contohnya, banyak orang yang biasa bersikap ramah tamah dan tersenyum manis
pada teman, tetangga atau saudara, padahal dalam hatinya sebenarnya penuh dengan
rasa benci dan iri hati. Para pemuka agama seperti ulama, pendeta atau biksu mungkin
saja kelihatan suci kalau dilihat dari luar karena model dan warna pakaiannya atau

132
perilakunya yang halus dan sopan, tapi hal ini bukan merupakan jaminan bahwa hati
mereka juga suci dan bersih.

Pada tanggal 23 Juni 1953 melalui kejadian yang tidak terduga saya menjadi anggota
Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan Subud yang didirikan oleh Pak Subuh (lihat buku
saya lain “Inner Wisdom”). Sejak saat itu saya sudah menyaksikan banyak sekali
“kebenaran telanjang” yang diperlihatkan kepada saya.

Pada bulan Ramadhan 1960 saya dikirim oleh Pak Subuh ke Subud Cabang
Tangerang Banten. Saat itu Banten dikenal sebagai daerah yang kaya dengan praktek-
praktek ilmu hitam.

Malam hari sebelum berkunjung ke Tangerang, badan halus saya mendahului


berkunjung ke Tangerang, secara kejiwaan saya melihat Tangerang tidak ubahnya
seperti benteng batu yang sangat kuat dan kokoh dijaga oleh makhluk-makhluk halus .
Tetapi dengan mudahnya saya bisa menyusup masuk kesana tanpa bisa dilihat oleh
penjaga-penjaga itu. Keesokan harinya saya sampaikan perjalanan saya itu kepada
Pak Subuh.

Beliau berkata, “Hmm, dirimu bisa melewati penjaga-penjaga itu tanpa kelihatan, ini
artinya kamu akan berhasil. Pergilah kesana malam nanti untuk membuka orang-orang
Tangerang. Sekalipun makhluk halus sebagai para penjaga itu tidak dapat dilihat oleh
mata biasa tapi jiwa kita sebetulnya masih lebih halus lagi dibanding makhluk-makhluk
halus itu. Jiwamu bisa masuk kesana tanpa terlihat karena yang halus bisa melihat
yang kasar sedangkan yang kasar tidak bisa melihat yang halus.”

Malam itu saya membuka sekitar 30 orang di Tangerang. Suasana pembukaan


berlangsung seperti ledakan dinamit. Ruangan tempat pembukaan seperti terbakar oleh
cahaya Tuhan. Saya menyaksikan orang-orang ada yang menjerit, menangis,
mengaum bahkan merayap dan menggonggong seperti anjing. Saya melihat ada yang
mencakar-cakarkan kakinya ke lantai, memukul-mukul dan menendang dinding, lalu
ada pula yang memukul dan menjambak kepalanya sendiri. Ada lagi yang berdesis
seperti ular, bertingkah laku seperti monyet dan mencakar-cakar badannya sendiri dan
lain-lain.

Malam itu saya juga menyaksikan pemandangan yang tidak kalah anehnya. Ada orang
berlari-lari keliling ruangan sambil memegang penisnya dengan tangan kiri kemudian
penis itu dipukul-pukul dengan tangan kanannya. Lalu dia berbaring menelungkup di
lantai sambil bergerak-gerak seperti sedang melakukan hubungan seks dengan lantai
yang dingin. Setelah pembukaan selesai saya diberitahu bahwa orang itu punya istri
tiga dan merupakan seorang haji dan imam dari sebuah masjid. Dalam kehidupan
sehari-hari orang itu dikenal sangat santun, sopan dan terhormat. Tapi begitu
kebenaran telanjangnya dibukakan maka segalanya menjadi jauh berbeda. Selanjutnya
orang itu tidak pernah datang lagi ke Subud.
133
Orang semacam itu bukannya bersyukur karena mengalami proses pembersihan tetapi
justru menolak “kebenaran telanjang” mengenai dirinya sendiri. Dia merasa malu
keadaan aslinya dipertontonkan di depan orang lain. Pikiran dan perasaannya yang
biasanya mengendalikan tingkah laku nya kali ini dikunci untuk sementara oleh cahaya
Tuhan pada saat latihan. Jadi sekalipun pikiran dan perasaannya bisa menyaksikan
dan menyadari gerakan-gerakan tubuhnya yang terjadi secara spontan tapi keduanya
tidak berdaya untuk mengendalikannya.

Karena ledakan dari kasunyatan jati itu dapat memanifestasikan dirinya dalam gerakan
cabul dan suara-suara yang tidak terduga maka latihan kaum pria dan wanita di Subud
harus dilakukan secara terpisah.

Cerita yang lain, waktu itu saya sedang berada di Swazilland Afrika Utara pada tahun
1962, seorang anggota Subud memperlihatkan klipping artikel tulisan tentang Subud.
Rupanya ada wartawan yang menyelinap masuk pada saat latihan Subud sedang
berlangsung. Penggambarannya tentang Subud adalah “orang-orang berada dalam
suatu ruangan yang remang-remang, lalu mereka berteriak-teriak, menjerit, merayap
dan bertingkah laku seperti hewan”. Pihak gereja setempat selanjutnya melarang
kegiatan Subud dan menganggapnya sebagai praktek ilmu hitam.

Sangat sulit bagi orang-orang lain untuk memahami bahwa Subud adalah cara berbakti
pada Tuhan karena dorongan dari cahaya Ketuhanan. Cahaya ini bekerja melalui jiwa
yaitu bagian paling dalam dari diri manusia yang selama ini terperangkap dan
terkungkung oleh pikiran, perasaan, emosi dan nafsu. Selabjutnya cahaya Tuhan itu
bekerja dari dalam untuk membersihkan dan memurnikan fisik beserta mental kita.
Kalau sekarang wartawan itu menyelinap lagi ke dalam latihan maka dia akan melihat
sesuatu yang berbeda. Orang-orang yang dulu berteriak, menjerit dan menangis kini
menari, menyanyi dan berzikir dengan sangat khidmat.

Orang-orang terbiasa dengan anggapan bahwa ibadah kepada Tuhan itu adalah
berpakaian rapi bersih lalu duduk berjejer di gereja sambil mendengarkan ceramah atau
sholat menghadap ke Ka’bah dengan gerakan-gerakan yang sudah ditentukan.
Demikianlah ritual-ritual agama dilakukan, segala sesuatunya sudah diatur dan
ditentukan oleh pola-pola dari luar yang ditetapkan berdasarkan aturan agama masing-
masing.

Cahaya Tuhan bekerja dari dalam dan akibatnya kadang-kadang berlawanan dengan
metode yang bekerja dari luar. Bukannya mengendalikan dan menyembunyikan sifat-
sifat binatang seseorang dengan etika yang dibuat-buat tetapi emosi-emosi tersebut
justru diperlihatkan untuk kemudian dibersihkan secara bertahap. Menyaksikan dan
mengalami proses pembersihan tersebut kadang-kadang memang tidak menyenangkan
bagi yang bersangkutan. Setelah proses pembersihan selanjutnya akan muncul
perasaan tenang dan damai sehingga kita mulai dapat menerima petunjuk dari Cahaya
Tuhan.
134
Pengikut Pak Subuh seperti halnya pengikut Syekh Siti Jenar jumlahnya hanya sedikit.
Sekalipun Subud secara menakjubkan sudah tersebar di 74 negara tetapi anggota
aktifnya tidak lebih dari sepuluh ribu orang di seluruh dunia.

Sekalipun Pak Subuh memulainya dengan hakekat tetapi akhirnya beliau juga
mencapai derajat makrifat. Dalam Makrifat, hakekat bertemu dan menjadi satu dengan
syareat. Yang dimaksud dengan syareat adalah praktek ritual keagamaan, pada
tahapan ini keterlibatan seseorang terhadap agamanya semata-mata hanya bersifat
fisik.

Di Jawa, saya banyak melihat orang Islam yang menjalankan ritual ibadahnya secara
rutin dan teratur, tapi kebanyakan dari mereka tidak paham mengenai arti dari ayat-ayat
yang mereka baca karena memang dilafalkan dalam bahasa Arab. Setelah syareat ada
tarekat, dimana manusia menggunakan intelektualnya dalam menjalankan aktivitas
keagamaan. Orang-orang Islam belajar bahasa Arab untuk memahami AL Qur’an
sebagai kitab sucinya dan belajar hadits sebagai ucapan dan perbuatan Nabi
Muhammad untuk dijadikan sebagai pedoman. Tapi penafsirannya ada bermacam-
macam. Sehingga Syareat menghasilkan ritual, upacara dan tradisi keagamaan
sedangkan Tarekat menghasilkan filosofi agama.

Tarekat dibagi menjadi dua kelompok :

1. Tarekat teoritis dimana manusia menggunakan pikirannya dalam mempelajari


agama.
2. Tarekat terapan. Disini disamping pikirannya manusia juga melatih daya
kehendaknya untuk melakukan apa-apa yang merupakan hasil pemikirannya.
Hal ini biasanya dilakukan oleh kelompok-kelompok sufi atau tasawuf.

Apabila kita sampai pada tahap Makrifat artinya diri kita sudah punya perangkatnya
sendiri untuk memahami dan mencerna apa yang disampaikan dalam agama.
Perangkat ini disebut “Inner Wisdom” atau kesadaran jiwa (kesadaran batin). Melalui
kesadaran jiwa ini maka sekalipun kita tahu kebenaran telanjangnya seperti apa tapi
kita masih tetap mentoleransi dan menjalankan syareat seperti masyarakat kebanyakan.

Jadi hendaknya kita tetap bisa menjalani hidup bermasyarakat seperti biasa tanpa
keinginan untuk menjadi spesial, menonjol atau eksentrik dibandingkan orang-orang di
sekitar kita.

Seperti yang sudah saya sampaikan dalam bab mengenai wayang, apa yang kita lihat
di alam dunia ini sesungguhnya adalah pencerminan dari apa yang terjadi di alam gaib.
Sebelum saya pergi ke Tangerang untuk membuka orang-orang Subud di sana, jiwa
saya sudah terlebih dahulu kesana untuk melakukan kerja kejiwaan. Berikutnya badan
saya juga pergi kesana seolah-olah sebagai bayangannya.

135
Pada hari sabtu kliwon, 11 November 1989, waktu itu buku ini sedang dalam tahap
persiapan untuk diterbitkan, jam 01.30 tengah malam saya terbangun karena
mengalami sebuah mimpi.

Dalam mimpi itu, saya melihat ayah saya di alam akherat sedang memegang sebuah
buku di tangannya. Dia membacakan buku itu untuk mencoba menarik perhatian
kawannya. Kawannya itu seorang dokter. Saat itu kedua sahabat tersebut sudah
meninggal dunia.

Ayah saya berusaha agar kawannya itu tertarik untuk ikut mendengarkan atau bahkan
membaca buku yang dipegangnya agar dia mendapat jalan untuk dibuka dan
selanjutnya menerima kontak dengan cahaya Tuhan. Rupanya ketika masih hidup di
dunia, sahabatnya tidak cukup beruntung sehingga belum mengalami kontak dengan
cahaya Tuhan, di akherat keadaannya mengenaskan, tidak bergerak sama sekali
seperti orang yang separo mati dan separo hidup. Dia mengalami kesulitan untuk
membuka matanya, perutnya bengkak dan setengah membusuk. Sementara keadaan
ayah saya sangat baik, bahkan jauh lebih baik dibanding keadaannya ketika masih
hidup di dunia.

Ketika saya melihat kepada buku yang dipegang ayah saya, barulah saya menyadari
ternyata buku itu berjudul “THE MYSTICAL WORLD OF JAVA”. Tampaknya buku itu
juga sudah ditulis dan diterbitkan di alam akherat. Saya menyadarinya setelah
menenangkan diri dan mengosongkan pikiran selama beberapa saat.

Di dunia fisik, buku tersebut sedang dalam tahap persiapan untuk diterbitkan sementara
di alam akherat justru sudah terbit. Alam dunia ini tidak lebih sekedar bayangan atau
cerminan dari apa-apa yang terjadi di alam akherat.

136

Anda mungkin juga menyukai