Anda di halaman 1dari 6

Memahami Ego State

Dalam hipnoterapi ada sangat banyak teknik intervensi klinis yang bisa digunakan untuk
membantu klien mengatasi masalah mereka. Dari sekian banyak teknik, salah satunya yang
sangat efektif adalah Ego State Therapy.

Ego State Therapy adalah terapi yang dilakukan pada Ego State. Untuk memahaminya kita
perlu memahami Ego State. Apa sih Ego State itu?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas ijinkan saya mengajukan beberapa pertanyaan pada
anda. Pernahkah anda mengalami hal berikut:

1.Sewaktu bangun di pagi hari anda merasa ada dua bagian dari diri anda yang “ribut”. Satu
bagian ingin anda segera bangun dan yang satu lagi ingin anda melanjutkan tidur.
2.Saat anda harus memilih atau membuat keputusan anda bingung karena ada beberapa
bagian dari diri anda yang saling tidak setuju dengan keputusan anda.
3.Anda merasa tidak nyaman atau ada perasaan bersalah setelah melakukan suatu tindakan.
Padahal saat melakukannya anda merasa sangat yakin dengan tindakan anda.

Pembaca, bila anda mengalami salah satu saja dari tiga hal di atas maka sebenarnya ada telah
mengalami Ego State. Dengan kata lain, Ego State sebenarnya adalah bagian dari diri kita yang
aktif atau mengendalikan diri kita pada suatu saat tertentu.

Ego State, menurut Watkins dan Watkins, adalah sebuah sistem perilaku dan pengalaman yang
terorganisir yang elemen-elemennya saling terhubung melalui beberapa prinsip yang sama
tetapi saling dipisahkan oleh batas-batas yang dapat ditembus (permeabilitas) hingga derajat
kedalaman dan fleksibilitas tertentu.

Ada berapa banyak Ego State dalam diri kita?

Tidak ada satupun pakar yang bisa menentukan secara pasti. Ini juga bergantung pada teori
masing-masing pakar itu. Tansactional Analysis (TA) yang dikembangkan oleh Eric Berne
mengatakan dalam diri kita ada lima ”diri”. Gestalt Therapy, yang dikembangkan oleh Frederick
Perls berdasar Psychodrama-nya Jacob Moreno, tidak menetapkan suatu jumlah tertentu.
Voice Dialogue dan Psychosynthesis mengatakan kita punya banyak ”diri”. Carl Jung juga
mengatakan hal yang sama, tidak diketahui secara pasti ada berapa banyak ”diri” dalam diri
kita.

Namun untuk lebih mudah memahami maka saya akan mengutip apa yang dikatakan oleh
Rowan. Menurut Rowan kita punya antara empat sampai sembilan ”diri” atau ”bagian” yang
masing-masing adalah tema besar yang menaungi ”sub-diri”. Masing-masing ”diri” mempunyai
kehidupan, fungsi, kepribadian, dan tugas masing-masing. Mereka saling terhubung antara satu
dengan yang lain.

Nah, itu sekilas tentang beberapa teori yang mirip dengan Ego State. Sekarang mari kita bahas
sejarah dan perkembangan Ego State Therapy.

Orang pertama yang menulis tentang Ego State adalah Paul Federn, rekan sejawat Freud.
Menurut teori yang dikembangkannya Federn mengatakan bahwa kepribadian seseorang
tersusun atas sekelompok bagian yang ia sebut sebagai Ego State. Ego State yang aktif pada
suatu saat tertentu menentukan kepribadian orang itu.

Walaupun Federn (1952) menetapkan dan menyusun teori tentang Ego State, ia tidak
mengembangkan teknik terapi menggunakan dasar teori kepribadian ini. Federn melakukan
praktik terapi psikoanalisa sejalan dengan orientasi terapi yang populer pada jamannya.

Sementara itu, di tahun 1957, Eloardo Weiss, seorang Italia yang sedang dalam proses
menyelesaikan pendidikannya untuk menjadi seorang psikoanalis, belajar ke Paul Federn.
Federn menceritakan pandangannya tentang kepribadian kepada Weiss.

Selanjutnya John Waktins mendapat pengetahuan ini pada saat belajar di bawah bimbingan
Weiss sebagai bagian dari proses pendidikannya untuk menjadi seorang psikoanalis. Dari
sinilah Ego State Therapy berkembang.

Dalam praktiknya sebagai psikolog utama di Welsh Convalescent Center membantu tentara
yang kembali dari perang dunia kedua Waktins menemukan bahwa tentara yang diterapi
dengan menggunakan hipnosis mengalami pertukaran kondisi emosi tertentu. Pada saat itu
Watkins belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada tentara yang ia tangani. Barulah
pada saat ia belajar ke Weiss dan mendapatkan informasi mengenai Ego State akhirnya
Watkins bisa memahami dasar teori dari apa yang ia temukan.

Di pertengahan tahun 1970, Hilgard dan Hilgard menemukan bagian dari diri manusia yang
mereka sebut dengan Hidden Observer atau Pengamat Tersembunyi. Mereka menemukan
adanya Hidden Observer melalui eksperimen fenomena trance seperti negative auditory
hallucination dan anesthesia.

Dalam eksperimen ini subjek penelitian seakan tidak bisa mendengar atau merasakan sakit
namun ternyata ada bagian dari diri subjek yang sesungguhnya tetap mendengar dan
merasakan semua ini.

John Waktins mengenali Hidden Observer sama dengan Ego State yang dikatakan oleh Federn
dan Weiss. Untuk memastikan hal ini, John Watkins dan istrinya, Helen Watkins, mengulang
eksperimen Hilgard dan menemukan bukti yang memvalidasi pemikiran mereka.

Sejak awal tahun 1970an John dan Helen Watkins mulai mempublikasikan hasil riset mereka
mengenai Ego State di berbagai jurnal dan artikel. Dan pada tahun 1997 mereka menerbitkan
buku dengan judul Ego States: Theory and Therapy.

Beberapa pakar yang juga menulis tentang Ego State Therapy dan dipublikasikan dalam bentuk
artikel jurnal dan buku: Maggie Phillips, Clare Frederick, Shirley McNeal, Moshe Torem, 
Waltermade Hartman, Gordon Emmerson, Hunter, George Fraser, dan Michael Gainer. Di
tahun 2003 diselenggarakan kongres dunia pertama Ego State Therapy di Bad Orb, satu kota
dekat Frankfurt.

Bagaimana Ego State Terbentuk?

Menurut Watkins Ego State terbentuk karena tiga hal. Pertama melalui normal differentiation
yaitu anak belajar membedakan satu hal dengan yang lainnya, misalnya makanan yang ia suka
dan tidak suka, orang yang baik dan tidak baik terhadap dirinya.

Kedua adalah introjection of significant others yaitu anak menyerap energi positif atau negatif
dari orang “penting” di sekitar anak, misalnya orangtua, guru, teman, atau siapa saja yang
dianggap penting oleh anak, dan energi ini termanifestasi dalam diri anak dalam bentuk “Bagian
Diri” yang dinamakan Introject. Dengan kata lain introject adalah manifestasi/perwujudan suatu
figur yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan seseorang yang diadopsi/tersimpan
dan “hidup” di dalam ingatan/mental/pikiran bawah sadar orang tersebut. Contoh introject
antara lain sosok atau figur dari ayah, ibu, suami, istri, saudara, anak, tokoh agama, guru
spiritual, dan lain-lain.

Ketiga, Part atau bagian diri yang terbentuk akibat pengalaman traumatik. Saat anak
mengalami suatu pengalaman traumatik dan tidak ada Ego State dalam dirinya yang mampu
menangani trauma ini maka akan muncul atau tercipta Ego State baru yang khusus berfungsi
menangani trauma ini.

Sedangkan menurut teori perkembangan otak, Ego State terbentuk sebagai akibat dari
pengalaman atau kejadian yang dialami anak yang bersifat berkesinambungan atau berulang.
Misalnya pada masa kecil seorang anak dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kasih
sayang dan mendukungnya maka akan muncul Ego State yang mempunyai sifat kasih sayang.
Ego State ini muncul karena anak mengalami pengalaman secara berulang (baca: stimulasi)
sehingga di otak anak terjadi pembentukan jalur saraf yang terdiri dari koneksi axon dan
dendrite yang mewakili pengalaman ini. Demikan pula bila anak dibesarkan dalam lingkungan
yang keras maka akan muncul atau tercipta Ego State dengan sifat yang keras.

Klasifikasi Ego State

Surface dan Underlying Ego State

Dilihat dari seberapa sering suatu Ego State muncul atau aktif maka kita mengenal ada dua
jenis Ego State yaitu Surface dan Underlying Ego State. Surface Ego State adalah Ego State
yang sering muncul atau digunakan dalam menjalani hidup dan berinteraksi dengan lingkungan.
Sedangkan Underlying Ego State adalah Ego State yang jarang muncul atau digunakan. Saat
seseorang mengalami suatu pengalaman hidup dengan menggunakan Ego State tertentu maka
Ego State ini disebut sebagai Ego State yang executive atau yang memegang kendali. Secara
umum dalam keseharian Surface Ego State yang aktif berkisar antara empat hingga lima.  
Seseorang yang sedang mengendarai mobil menuju ke kantor atau tempat kerjanya
menggunakan satu Surface Ego State. Sedangkan saat bekerja di kantor ia menggunakan Ego
State lain. Saat ia membaca buku atau bermain bisa jadi ia menggunakan Ego State yang lain
lagi.

Ego State saling berkomunikasi satu dengan yang lain. Umumnya yang paling mudah diajak
berkomunikasi adalah Surface Ego State karena mereka mudah untuk berbagi informasi. Bisa
juga terjadi ada Underlying Ego State yang tidak berkomunikasi dengan Surface Ego State. Bila
demikian kondisinya kita tidak bisa mengakses informasi yang ada pada Underlying Ego State
ini dengan menggunakan cara biasa.

Ego State dan Alter

Bila dilihat dari jalur komunikasinya maka kita mengenal dua jenis Ego State yaitu normal Ego
State dan Alter. Normal Ego State mampu berkomunikasi dengan baik dengan Ego State
lainnya. Sedangkan Alter adalah Ego State yang jalinan komunikasinya sangat buruk atau
(hampir) terputus dengan Ego State lainnya. Putusnya komunikasi ini mengakibatkan apabila
Alter ini sedang executive maka apa yang ia lakukan tidak diketahui oleh Ego State lainnya.
Kondisi ini dikenal dengan nama DID atau Dissociative Identity Disorder atau dulunya lebih
terkenal dengan MPD (Multiple Personality Disorder). Alter terjadi karena anak mengalami
pengalaman yang sangat traumatik (severe and chronic abuse) sehingga mekanisme
pertahanan diri pikiran bawah sadar membuat anak “lupa” pada kejadian itu dengan cara
memutus jalur komunikasi antara Alter (Ego State yang mengalami trauma) dan Ego State
lainnya yang “sehat”. Dari beberapa penelitian MPD (Kluft, Greaves, Bliss, Putnam, Lienhart,
Schreiber, Loewenstein) yang saya pelajari dan dalami ternyata ada minimal 16 (enam belas)
kelompok alter.  Penanganan alter menggunakan strategi yang berbeda dengan penanganan
Ego State.

Ego State Berdasar Sifat Dan Fungsinya

Ego State yang berfungsi normal, non-patologis, mempunyai peran yang konstruktif demi
kemajuan Ego State lain dan juga si individu. Selain Ego State yang bekerja dan berfungsi
normal, juga ada yang bersifat patologis yang dikenal dengan Ego  State yang bersifat vaded,
retro-functioning, conflicting, dan malevolent.

Vaded Ego State adalah Ego State yang tidak bisa lagi menjalankan fungsi mereka yang
seharusnya karena mengalami trauma atau pengalaman yang negatif. Saat Ego State jenis ini
tampil dan aktif atau executive maka individu akan mengalami kembali emosi negatif yang
berhubungan dengan trauma. Kondisi ini yang oleh Freud disebut dengan situational neurosis.
Vaded Ego State tidak selalu tampil dan aktif. Untuk bisa membuatnya berfungsi normal
kembali maka Ego State ini harus dibuat tampil dan aktif sehingga emosi yang berhubungan
dengan trauma yang ia alami dapat diproses tuntas.

Retro-functioning Ego State adalah Ego State yang menjalankan peran lama yang bertentangan
dengan Ego State lainnya atau tidak mendukung kemajuan individu. Ego State jenis ini antara
lain menampilkan simtom berupa kemarahan yang tidak terkendali, kebiasaan berbohong yang
kronis, atau berbagai gejala psikosomatis. Untuk mengatasi hal ini bisa dilakukan negosiasi
sehingga Retro-functioning Ego State bersedia menjalankan peran baru yang lebih positif dan
konstruktif. Ego State bisa bersifat vaded dan retro-functioning.

Conflicting Ego State mempunyai tujuan yang positif bagi individu namun mengalami konflik
kepentingan dan tujuan dengan Ego State lainnya. Contoh seseorang mengalami Conflicting
Ego State adalah saat ia ingin melakukan sesuatu tetapi mendapat pertentangan dari dalam
dirinya. Misalnya seseorang ingin berhenti merokok namun tidak bisa karena ada bagian dari
dirinya yang sangat suka merokok. Dalam hal ini terdapat dua Ego State yang saling
bertentangan. Konflik ini juga bisa muncul saat seseorang ingin diet namun tidak bisa menahan
keinginan makannya.

Malevolent Ego State adalah Ego State yang bersifat keras, ganas, dan bahkan bisa sangat
kejam, baik terhadap Ego State lain, diri individu, maupun orang lain. Ego State jenis ini yang
biasanya membuat seseorang memukul atau menyiksa dirinya sendiri, bahkan bisa sampai
mengakibat seseorang melakukan tindakan bunuh diri.

Dalam konteks terapi Malevolent Ego State adalah jenis Ego State yang paling sulit untuk bisa
diajak berkomunikasi, negosiasi, bekerja sama, atau ditundukkan. Ego State ini jugalah yang
selalu menghambat dan menghalangi proses terapi. Teknik terapi konvensional yang hanya
mengandalkan pemberian sugesti pada klien tidak akan bisa berhasil selama Ego State ini
belum berhasil ditundukkan.

Ego State Menurut Gender dan Usia

Ego State umumnya tercipta saat seseorang masih kecil atau di usia muda. Namun dalam diri
klien juga bisa ditemukan Ego State janin, bayi, anak kecil, remaja, dewasa, atau orang tua.
Ego State juga mempunyai jenis kelamin pria dan wanita.

Ego State ini bisa ada dalam diri baik klien pria maupun wanita. Dengan kata lain, dalam diri
seorang wanita bisa ada Ego State berjenis kelamin baik pria maupun wanita, mulai yang usia
muda hingga yang tua. Demikian juga dalam diri seorang pria.

Masing-masing Ego State biasanya mempunyai nama atau panggilan yang digunakan untuk
berkomunikasi baik dengan sesama Ego State, dalam bentuk komunikasi internal,maupun
dengan pihak luar melalui komunikasi eksternal.   

Ego State dan Fisiologi

Setiap Ego State berperan sebagai “manusia” kecil di dalam diri seseorang. Ego State
mempunyai karakter, logika berpikir, sikap, sifat, perilaku, memori, emosi, kebutuhan, dan
tujuan sendiri.

Pada aspek fisik, saat satu Ego State tampil dan aktif maka individu akan mengalami
perubahan fisik yang nyata. Bila Ego State mempunyai sifat percaya diri maka saat ia tampil
dan aktif individu juga akan tampil percaya diri, berdiri tegak, berbicara dengan suara yang
tegas, dan pandangan mata penuh keyakinan. Bila Ego State mengidap suatu penyakit tertentu
maka saat ia tampil dan aktif penyakitnya akan muncul di fisik si individu.

Michael Gainer (1993) melaporkan bahwa seorang wanita yang mengidap penyakit reflex
sympathetic dystrophy tidak menunjukkan gejala penyakit ini saat tiga Ego State lainnya tampil
dan aktif. Dari temuan ini Grainer selanjutnya menggunakan Ego State Therapy dan berhasil
menemukan Ego State, yang mengalami trauma, yang menyebabkan sakit pada wanita ini.
Setelah trauma berhasil diselesaikan wanita ini sembuh total dari penyakit yang dideritanya.

Emmerson dan Farmer (1996) melakukan Ego State Therapy terhadap para wanita yang
menderita menstrual migraine kronis dan berhasil mengurangi rata-rata jumlah hari migraine per
bulan dari 12,2 menjai 2,5. Subjek penelitian juga menunjukkan berkurangnya depresi dan
kemarahan secara signifikan.  

Lokasi Ego State

Ego State bisa menempati lokasi di luar tubuh atau di dalam tubuh. Di luar tubuh bisa di depan,
di atas, di bawah, atau di belakang. Sedangkan kalau di dalam tubuh bisa di satu lokasi
tertentu, misalnya di dada, kepala, hati, tangan, punggung, perut, atau kaki, dan bisa juga
menempati seluruh tubuh secara merata.

Apa Beda Ego State dan Introject?

Ego State dan Introject walaupun sama-sama disebut sebagai Part atau Bagian Diri namun
berbeda menurut sumber terciptanya. Ego State berasal dari dalam diri individu sedangkan
Introject berasal dari luar.

Introject adalah persepsi tentang seseorang yang terinternalisasi ke dalam pikiran bawah sadar.
Dengan demikian bisa terdapat sangat banyak Introject dalam diri seseorang.

Dalam proses terapi, khususnya saat menggunakan teknik Ego State Therapy, untuk bisa
memproses trauma, maka Ego State yang mengalami trauma perlu diaktifkan agar emosi yang
tersimpan dalam Ego State ini bisa diproses.

Dalam upaya ini seringkali melibatkan Introject yang ada dalam diri klien. Dialog dengan
Introject ini yang seringkali salah dimengerti oleh orang awam. Apalagi bila Introject ini adalah
Part yang merupakan internalisasi persepsi terhadap orang yang telah meninggal. Mereka yang
tidak mengerti mengira yang diajak bicara adalah roh orang yang telah meninggal.  

Lebih jelasnya begini. Saat anak masih kecil muncul Introject, atau biasa sering disebut sebagai
figur, Ayah dalam diri anak. Selama anak masih hidup, mulai kecil hingga usia tua, Introject ini
akan terus “hidup” di dalam diri anak.
Misalnya setelah anak beranjak dewasa, si ayah meninggal dunia. Yang meninggal adalah si
ayah yang sesungguhnya, namun Introject Ayah dalam diri anak tetap hidup atau ada.
Sehingga pada saat proses Ego State Therapy dilakukan terhadap Introject Ayah, dalam diri
anak, akan terjadi dialog seakan-akan terapis berbicara dengan si Ayah. Tujuan dialog ini untuk
memproses emosi negatif yang masih tersisa dalam diri anak terhadap ayahnya atau
sebaliknya.

Saya pernah membantu klien wanita, 37 tahun, yang melakukan aborsi hingga lima kali. Aborsi
pertama dilakukan saat klien berusia 25 tahun. Saat membantu klien mengatasi berbagai emosi
negatif yang berhubungan dengan aborsi yang ia lakukan, salah satu teknik yang saya gunakan
adalah memproses emosi yang berhubungan Introject Janin yang ia gugurkan. Saat itu muncul
lima Introject Janin yang digugurkan. Dan yang luar biasa lagi Introject dari janin yang pertama
digugurkan, yang dipanggil dengan nama Michael, telah tumbuh dan besar, di dalam pikiran
klien tentunya, hingga usia 11 tahun. Bila anda perhatikan usia klien saat melakukan aborsi,
masa kehamilan sekitar 9 – 10 bulan, dan saat ia bertemu saya untuk terapi maka usia Introject
Michael adalah benar 11 tahun.

Kasus menarik lainnya yang pernah ditangani murid saya adalah kasus wanita yang
“kerasukan”. Wanita ini, katanya, “dirasuki” oleh “makhluk” halus dan tubuhnya menjadi kaku
dan lumpuh.

Oleh murid saya, “makhluk” ini diajak bicara dan ditanya apa maunya. “Makhluk” ini minta diberi
nama. Ternyata “makhluk” ini sebenarnya adalah Introject dari janin wanita ini yang keguguran.
Setelah “makhluk” ini diberi nama, wanita ini langsung sembuh, bisa bangkit berdiri dan jalan
normal.

Fenomena ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan hal-hal yang bersifat metafisis. Yang
terjadi adalah Introject janin (baca: anak) wanita ini muncul dan minta nama. Tubuh wanita yang
menjadi kaku dan lumpuh sebenarnya adalah indikasi bahwa ia berada dalam kondisi trance
sangat dalam yang disebut dengan level Catatonic, dua level di bawah Profound
Somnambulism.

Contoh lain lagi, biar lebih jelas mengenai Introject, saya pernah bertukar peran dengan
seorang peserta seminar saya. Peserta ini, sebut saja Agung, saya sugestikan menjadi diri
saya. Dan langsung Agung mengaku bernama Adi W. Gunawan. “Adi” ini lalu saya minta untuk
melanjutkan presentasi saya (Adi yang asli) dan ia melakukannya dengan sangat baik. Yang
terjadi adalah Introject Adi di dalam diri Agung tampil dan aktif dan berperan sebagai Adi
melalui diri Agung.

Saat saya bertanya pada “Adi”, “Pak Adi, Bapak sudah menulis berapa buku?”

Pak “Adi” menjawab, “Saya sudah menulis delapan buku.”

Dari sini saya tahu kalau data jumlah buku yang telah ditulis pada Introject Adi belum diupdate.
Saat itu saya, Adi yang asli, telah menulis 12 buku. Dan pola pikir “Adi” tentunya berbeda
dengan saya, Adi yang asli. Pola pikir “Adi” atau Introject Adi adalah pola pikir berdasarkan
persepsi Agung terhadap diri saya.   

Obat Antidepresan dan Ego State

Klien yang mengalami depresi biasanya diberi obat antidepresan agar bisa tenang. Pemberian
obat antidepresan sampai pada taraf tertentu sangat membantu klien untuk bisa stabil dan
berinteraksi dengan lingkungannya walaupun masalah yang dialami klien belum diatasi.

Yang sesungguhnya terjadi adalah obat ini memblok atau menekan Ego State yang mengalami
depresi sehingga tidak bisa muncul, dari surface menjadi underlying, dan klien merasa tidak
ada masalah atau baik-baik saja, selama obatnya terus diminum. Jika klien berhenti minum
obat maka kondisinya akan kembali menjadi tidak stabil karena Ego State yang tadinya tertekan
kini muncul kembali dan aktif.   

Saya pernah menangani klien yang sempat depresi karena pasangannya selingkuh. Klien
selama 8 tahun minum obat dan merasa dirinya baik-baik saja. Dalam kondisi sadar normal
klien mengatakan bahwa ia telah sembuh. Buktinya, ia sudah tidak lagi marah pada
pasangannya. Bahkan saat bertemu dengan selingkuhan pasangannya ia juga biasa-biasa
saja. Saya yakin kondisi klien yang tenang dan “sembuh” ini adalah karena pengaruh obat yang
masih ia minum.
Selanjutnya saya melakukan pemeriksaan langsung ke pikiran bawah sadarnya, ternyata klien
masih menyimpan perasaan terluka, marah, benci, dan dendam kepada pasangannya. Selama
Ego State yang menyimpan emosi ini tidak diproses maka klien akan selalu bergantung obat
untuk bisa tenang.

Kondisi ideal, bila memungkinkan, sebaiknya sebelum diberi obat klien dibantu dengan Ego
State Therapy. Dalam kondisi ini klien dan terapis dapat mengakses Ego State yang mengalami
depresi dan memproses emosinya dengan cepat dan tuntas sehingga klien tidak perlu harus
minum obat.

Cara Mengakses Ego State

Dalam kondisi normal kita hanya bisa mengakses Surface Ego State. Namun bila kita ingin
mengakses Underlying Ego State yang menyimpan trauma tertentu maka dibutuhkan teknik
yang spesifik dengan prasyarat khusus.

Ada dua cara untuk mengakses Underlying Ego State. Pertama, dengan menggunakan rileksasi
pikiran dan kedua, tanpa rileksasi pikiran. Umumnya buku atau literatur tentang Ego State
Therapy mensyaratkan rileksasi pikiran sebagai sarana untuk mengakses Underlying Ego
State. Dengan kondisi pikiran yang rileks dan penggunaan teknik yang tepat akan dicapai hasil
terapi yang sangat luar biasa dalam waktu yang relatif singkat.

Level kedalaman rileksasi pikiran yang umumnya digunakan untuk bisa mengakses Underlying
Ego State adalah profound somnambulism. Bila kurang dalam atau lebih dalam dari profound
somnambulism, Ego State Therapy biasanya akan kurang efektif.

Dari eksperimen dan pengalaman praktik saya menemukan bahwa kita bisa mengakses
Underlying Ego State tanpa harus merilekskan pikiran sama sekali. Hasil terapi yang dicapai
juga sama efektifnya.

Masing-masing cara mengakses Underlying Ego State mempunyai kelebihan masing-masing


dan digunakan dalam situasi yang berbeda.

Manfaat Ego State Therapy

Ego State Therapy bila dipelajari dengan mendalam, cermat, dan dikuasai dengan baik akan
memberikan manfaat terapeutik yang sungguh sangat luar biasa. Dalam praktik profesional
sebagai hipnoterapis, dengan menggunakan Ego State Therapy, saya berhasil membantu klien
mengatasi masalah, antara lain:

 phobia
 trauma/luka batin
 tidak percaya diri
 kesulitan diet
 takut sukses
 takut gagal
 insomnia
 migraine
 masalah seks
 kecemasan
 stress
 depresi
 takut berbicara di depan umum
 konflik diri (inner conflict)
 pencapaian prestasi hidup rendah
 perilaku obsessive/compulsive
 perilaku adiktif
 berbagai penyakit psikosomatis
 sabotase diri
 dan masih banyak lagi.

Anda mungkin juga menyukai