dari Dewa-dewa, mereka mempunyai sifat bermacam-macam. Menurut Manawa Dharma Sastra
III. 196, golongan Sadya ini terdiri dari berbagai jenis Daitya, Danawa, Raksasa, Yaksa,
Randharwa, Naga, Suparna dan Kimnara.
Daitya, Danawa, Raksasa, Yaksa dan makhluk astral rendahan lainnya seperti peri, setan, jin dan
lain-lain adalah tergolong bhuta-bhutani. Semua golongan ini termasuk tingkat sadya yang
diciptakan oleh Brahman.
Bhuta-bhutani yang disebut-sebut dalam sastra mempunyai sifat krodha yang artinya marah.
Kelompok ini sebagai makhluk astral sangatlah ditakuti, karena sifatnya menganggu.
Raksasa adalah sejenis bhuta pula, termasuk didalamnya adalah Yaksa, Naga, Yatudhana dan
Pisaca, kelompok ini juga disebut Krodhawangsa. Kelompok ini biasanya diberi tugas sebagai
pelindung atau penjaga pintu sorga atau neraka termasuk kawah. Ceritera tentang kelompok
raksasa ini banyak kita jumpai dalam ceritera Mahabharata.
Yatudhana dan Panlastya adalah sejenis raksasa pula, karena kesaktiannya dapat memperlihatkan
dirinya sesuai dengan kemauannya.
Paisaca adalah raksasa pula, tapi ukurannya lebih kecil dan sifatnya adalah mengganggu dan
pemarah.
Asura adalah kelompok makhluk astral yang sifatnya bertentangan dengan dewa-dewa. Sifatnya
sama pula dengan raksasa. Kelompok asura ini antara lain Danawa dan Aditya.
Setan adalah kelompok makhluk astral yang tingkatannya lebih rendah dari makhluk astra di
atas. Mereka tergolong bhuta juga. Dalam Atharwa Weda dikenal nama-nama setan seperti setan
golongan Sadhanwa, setan sebagai pisaci yang dinamakan magundi. Mereka adalah pengganggu
keharmonisan atau ketentraman di dunia ini, oleh karena itu harus diusir dengan doa-doa yang
berseranakan jimat (lihat Atharwa Weda, Sukta IX, hal. 51).
Dalam lontar Bhumi Kamulan menguraikan bahwa Siwa sebagai Tuhan, menurunkan Korsika,
Gargha, Maitri dan Kurusya. Keempat putra ini disuruh menciptakan alam semesta, tapi tidak
mau maka ia dikutukNya menjadi bhutakala, lalu diciptakanlah Pratanjala ia sanggup
menciptakan dunia beserta isinya. Mula-mula tercipta para dewa-dewa, widyadhara-widyadhari,
gandharwa, Kim nara semua ini makhluk halus yang bertabiat kasar seperti raksasa, danawa,
pisaca, daitya, semuanya makhluk halus yang menyeramkan. Berikutnya sampailah diciptakan
makhluk halus yang terendah yaitu jin, setan, bragala, memedi, tonye dan lain-lainnya berupa
jenis bhuta yang memenuhi ruang dan waktu.
Di lain pihak sang pencipta (Dewi Uma) tanpa disadari telah berubah wujud menjadi aheng,
bertaring, berambut gimbal, tubuh dan mulutnya membesar. Demikianlah Uma telah berubah
menjadi Durga. Melihat Uma menjadi Durga maka Pretanjalapun merubah dirinya kedalam
wujud ganas, aheng (angker) yang disebut Mahakala. Semua makhluk halus, kasar, aheng dan
angker ciptaanNya menjadi bawahannya. Mereka tinggal ditempat-tempat yang angker dan
menyeramkan seperti pada jurang, pangkung, hutan, setra dan sebagainya. Para bhuta makhluk
halus terendah menempati tempat-tempat yang kotor, aliran air, tempat sampah-sampah dan
sebagainya.
Durga Mahakala dengan Vadvanya ini lalu menjadi ancaman terhadap dunia ini. Ia menimbulkan
penyakit, membunuh makhluk seisi dunia ini maka sorgapun menjadi gentar. Oleh karena itu
diperintahkan turun Dewa Brahma, Wisnu dan Iswara, untuk membersihkan alam ini, dan
menyucikan kembali Dirga Mahakala agar kembali menjadi somya, lalu Brahma menjadi Rsi,
Wisnu menjadi Bujangga Waisnawa dan Iswara menjadi Pedanda, ketiga ini di sebuat
Trisadhaka.
Demikianlah uraian lontar Bumi Kamulan atau Bhumi Sivagama menguraikan sebagai berikut.
Karena kesalahan Dewi Uma, maka Bhatara Guru mengutukNya, lalu ia turun ke dunia menjadi
Durga dalam wujud lima durga, yaitu Sri Durga berkedudukan di Timur, Raji Durga
berkedudukan di Utara, Suksmi Durga berkedudukan di Barat dan Dahri Durga berkedudukan di
Selatan dan Dewi Durga berkedudukan di Tengah.
Sri Durga beryoga menciptakan Kalika-kaliki, Yaksa-yaksi, Bhuta Dengen. Rajiyoga beryoga
mengadakan Jin, Setan, Bragala-bragali, Bebai dan segala jenis penyakit. Dhari Duga lalu
mengadakan Sangbhuta Kapiragan, Suksmi Durga mengadakan Kamala-kamali, Kala Sweta dan
lain-lain.
Sedangkan Dewi Durga beryoga mengadakan Panca Bhuta, yaitu : Bhuta Janggitan, Bhuta
Langkiir, Lembu Kere, Bhuta Iruna dan Bhuta Tiga Sakti. Melihat Uma menjadi Durga, maka
Betara Guru pun mengutuk dirinya menjadi Kala Rudra. Karena sentuhan Kala Rudra ini pada
diri Durga, maka terciptalah Bhuta Kala yang memenuhi ruang dan waktu. Kemudian dalam
perkimpoian Kala Rudra dengan Durga lahirlah Bhatara Kala.
Dalam Lontar Pangiwa, Ratuning I Macaling di sebut-sebut adanya Sasuhunan ring tengahing
samudra dengan pepatihnya I Ratu Gede mecaling. Bhatari ini juga dikenal dengan nama Ratu
Kasuhun Kidul atau Nyi Roro Kidul kalau di Jawa. Di Bali Beliau inilah yang memegang
kekuasaan atas makhluk halus yang menyeramkan itu, termasuk para bhutakala-bhutakali.
Menjelang sasih ke enam beliau dengan Vadvanya pergi kedesa-desa yang dapat menimbulkan
penyakit, baik bagi manusia maupun binatang, agar manusia, binatang dan alam lingkungannya
tidak terganggu makhluk halus angker dan ciptaan Durga lainnya, maka diperlukan suatu usaha
untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan dengan mempersembahkan caru atau
menyadakan pecaruan.
Perlu digarisbawahi bahwa para praktisi Tantra menyatakan bahwa tujuan utama dari Tantra
adalah sama seperti tujuan Weda yaitu mencapai Tuhan dan kebenaran, pengetahuan dan
kebahagiaan yang merupakan atribut dari yang absolut. Menurut Kularnawa Tantra, Veda atau
Sruti adalah apa yang diingatkan untuk jaman Tretayuga. Sedangkan Purana atu epos besar yang
pernah ada adalah yang menjadi bahan perbandingan untuk lebih memahami ajaran Sruti dan
Smrti tadi.
Akhirnya, dinyatkan bahwa Tantra adalah ajaran yang dikhususkan untuk jaman Kaliyuga.
Mereka menyatakan bahwa tidak mungkin pada jaman Kaliyuga ini, untuk melakukan ritual
yang sedemikian rumit dan berbagai tirakat yang terdapat di dalam Veda, akan tetapi
alternatifnya adalah melatih Tantra yoga yang akan menuntun pada tujuan yang sama dan juga
sekaligus memenuhi kebutuhan manusia (Tantra, hal. 183-184).
Demikianlah sekilas mengenai Tantrayana dan perkembangannya di Indonesia.
Sumber :
ambahan khusus dari
Damar Shashangka :
Tentang ajaran Bhairawa dalam hubungannya dengan Tantrayana ada tiga
aliran yaitu: Bhairawa Hala Cakra merupakan pertemuan ajaran Buddha
dengan ajaran Tantrayana. Bhairawa Heru Cakra merupakan ajaran yang
muncul dari tradisi kepercayaan Indonesia bercampur dengan Hala Cakra.
Bhairawa Bima Sakti adalah pertemuan antara ajaran Bhairawa dengan
ajaran Siwa. Ajaran Tantra Bhairawa bisa dikatakan sebuah penyimpangan
dari ajaran Tantrayana yang asli. Ritual PANCAMAKARA yang bersumber
dari kitab Kali Mantra dankitab Mahanirvana Tantra jelas disebutkan
sebagai berikut :
Kali Mantra:
Sadayam bhaamsaca miinam ca mudraa naithuna se vaca, Ete Pamca
Makaaraa syu Mokshadaah Kaluyuge
"Mabuk, memakan daging, memakan ikan,melakukan sexualitas dan
meditasi, akan menuntun kepada Moksha pada jaman Kaliyuga ini."
Maha Nirvana Tantra :
Pautvaa pitvaa punah pitvaa yaavat patati bhuutale, Punarutyaaya
dyai potvaa punarjanma ga vidhate.
Minum, teruslah minum hingga kamu terjerembab ke tanah. Lantas
berdirilah kembali dan minum lagi hingga sesudah itu kamu akan
terbebas dari punarjanma (kelahiran kembali) dan mencapai
kesempurnaan. (Moksha).
Maksud dari ayat yang dipaparkan dalam Kitab Kali Mantra adalah, dengan
ritual sebagaimana tersebut dibawah ini, maka akan dicapai Moksha pada
jaman Kaliyuga yang tengah berlaku sekarang. Ritual tersebut adalah
sebagai berikut :