Anda di halaman 1dari 41

IMPLEMANTASI TRI HITA

KARANA UNTUK
HARMONISASI DAN
KEDAMAIAN

Downloaded By:
I Nengah Sumendra
18 February 2022
www.komangputra.com

DAFTAR ISI

Implemantasi Tri Hita Karana Untuk Harmonisasi Dan


Kedamaian ....................................................................................... 1
Ajeg Bali Melalui Tri Hita Karana ................................................. 4
Filosofi Tri Hita Karana ................................................................ 5
Sisi Perdamaian Dan Konflik “Budaya” Di Bali ........................... 10
Kebutuhan Menahan Diri ............................................................ 12
Tri Hita Karana Dalam Praktek ................................................... 15
Sradha Sebagai Wujud Aspek Parhyangan ............................. 19
Bhakti Sebagai Wujud Aspek Pawongan ................................. 20
Cinta Kasih Sebagai Wujud Aspek Palemahan ........................ 22
Pelestarian Lingkungan Saat Hari Raya ..................................... 23
Implemantasi Tri Hita Karana Pada Tumpek Pengarah .......... 24
Makna Teologis ....................................................................... 26
Makna Ekoreligi ...................................................................... 28
Makna Pendidikan Komunikasi Dengan Tumbuh-Tumbuhan ...
28
Makna Sosio Kultural .............................................................. 29
Harminisasi Dengan Konsep Sanga Mandala ................................... 31

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | I


www.komangputra.com

IMPLEMANTASI TRI HITA KARANA UNTUK


HARMONISASI DAN KEDAMAIAN

Tri Hita Karana mencakup pendekatan komprehensif dan holistik


dalam menangani masalah perdamaian di Bali. Ini tidak hanya
menangani sisi material atau ideasional dari perdamaian tetapi juga
sisi transendental dan kosmologis. Tri Hita Karana berupaya
menggambarkan orang Bali sepenuhnya, tidak hanya dari perspektif
individu dan sosial, tetapi juga ekologis dan kosmologis. Kondisi
manusia yang damai tidak hanya bergantung pada materi, sosial, atau
psikologis, tetapi juga pada kondisi spiritual. Singkatnya, Tri Hita
Karana berusaha untuk “memanusiakan manusia” dengan
menempatkan mereka sebagai bagian dari sesuatu yang lebih besar:
alam semesta itu sendiri.

Dengan memanusiakan manusia, kita dapat menghindari salah satu


penyebab utama konflik dan kekerasan: merendahkan manusia lain.
Jika manusia tidak manusiawi atau dilucuti dari penghormatan hak-
martabat mereka, mereka akan melawan. Perspektif Tri Hita Karana
dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah ini. Di sisi lain, Tri Hita
Karana juga bisa menjadi pedoman dalam menangani konflik di Bali,
atau bahkan di dunia. Kita bisa melacak akar konflik dalam Tri Hita
Karana. Munculnya konflik dapat ditelusuri kembali ke gangguan
dalam keseimbangan Tri Hita Karana. Singkatnya, Tri Hita Karana
dapat menyelesaikan perdamaian melalui pandangan holistik.

Era globalisasi sangat berpengaruh pada melemahnya sendi-sendi


kehidupan lama bersama yang telah dilestarikan dalam suatu
masyarakat, dan dampaknya pada pergeseran nilai-nilai moral
masyarakat. Mempertahankan nilai-nilai moral atau karakter bangsa
sebagai prioritas utama sebagai salah satu prinsip pendidikan adalah
membentuk manusia seutuhnya, dalam arti “Membangun Tubuh dan
Membangun Jiwa-Nya”, tidak peduli seberapa kecil krisis moral yang

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 1


www.komangputra.com

terjadi di masyarakat , secara tidak langsung akan bisa merangkul


nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Danim
(2003: 63), pendidikan sejatinya adalah proses pembentukan moral
masyarakat yang beradab, masyarakat yang muncul dengan wajah
manusia yang normal dan kemanusiaan. Artinya, pendidikan yang
dimaksud di sini lebih dari sekedar sekolah (pendidikan bukan hanya
jaringan komunitas) tetapi pendidikan sebagai jaringan komunitas
(education us network komunitas). Untuk membangun kesadaran
manusia Tri Hita Karana maka, mempertahankan budaya dan
peradaban Bali harus menjadi tujuan bersama, untuk mencapai tujuan
ini akan lebih efektif melalui pendekatan pendidikan.

Pendidikan diharapkan memberikan kontribusi positif dalam


membentuk orang yang memiliki keseimbangan antara kemampuan
intelektual dan moralitas. Dengan menyelaraskan kedua komponen ini
pada posisi yang tepat, diharapkan akan mengarahkan individu untuk
menemukan jalan yang lurus, jalan yang akan membuka mata hati dan
kesadaran umat manusia. Untuk membantu Grhastha Ashrama atau
umat manusia menemukan cara kesadaran atau kebajikan dan
kebahagiaan umat manusia, salah satunya dapat ditemukan dalam
buku Wrhaspati Tattwa 25, sebagai berikut.

Silam yajñās tapo danam


prabrjya bhiksu hyevaca
yogasicapi samasena
dharmasya eko vinirnayah
Sila ngaraning mangraksa acara rahayu, yajñā ngaraning
manghanaken homa, tapa ngaraning umatindriyania wineh ring
wisayanira, dana ngaraning weweh, prawrjya ngaraning wiku anasaka,
bhiksu ngaraning diksita, yoga ngaraning magawe samādhi. Nahan
pratyekaning dharma ngaranya.

Berarti:
Sila berarti melakukan perbuatan baik, yajña berarti melaksanakan

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 2


www.komangputra.com

pengorbanan (homa), tapa berarti mematikan indera, tidak diberikan


menikmati objek, dana berarti memberi sedekah, prawrjya berarti
imam yang bijak (suka mengembangkan pengetahuan spiritual),
bhiksu berarti melakukan upacara diksa (pemurnian secara pribadi),
yoga berarti berlatih samādhi.
Mengingat kondisi lingkungan di mana individu tumbuh dan
berkembang tercemar dan bertentangan dengan nilai-nilai agama dan
nilai-nilai moral, itu dapat mempengaruhi perilaku individu menjadi
kurang baik. Nilai-nilai agama perlu mendapat perhatian karena
agama juga berintegrasi dengan perilaku baik-buruk. Perkembangan
moral di masa kanak-kanak berada pada tahap pemahaman yang
beragam, pada fase ini anak belum memiliki pandangan moral sendiri.

Ideologi Tri Hita Karan membangun kesadaran mikro, bahwa setiap


manusia memiliki tiga modal dasar untuk kehidupan yang bahagia: (1)
atman atau jiwa; (2) prana atau kekuatan kata – bayu – eep; dan (3)
sarira atau badan (wadag). Kehilangan atau melemahnya salah satu
unsur Tri Hita Karana dalam diri manusia maka kebahagiaan akan
hilang juga. Angga sarira atau tubuh tanpa atman atau jiwa adalah
mayat, atman atau jiwa tanpa angga sarira atau tubuh adalah roh atau
hantu, atman atau jiwa dengan angga sarira atau tubuh tanpa prana
atau kekuatan kata yang setara dengan manusia yang sakit.

Urutan kehidupan keluarga Bali (Hindu), yang dikenal sebagai


Ghrastha Ashrama adalah tahap kehidupan pernikahan, sekarang nilai
orientasinya sangat berbeda. Ada indikasi kasus perceraian,
ketidakwajaran, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), masih
maraknya kasus korupsi, mencari posisi / kekuasaan yang
mempengaruhi kehidupan keluarga. Ada beberapa gejala pengaruh
modernisasi pada sikap dan perilaku masyarakat di Desa Sukawati
seperti perilaku konsumerisme, pragmatisme, dan hedonisme.
Penampilan candi tampak tidak sopan, cukup ikuti tren fesyen, serta
banten atau pengabdian yang didedikasikan untuk menyoroti

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 3


www.komangputra.com

serimonial atau kontestasi, terlepas dari esensi / makna penawaran.


Bahkan ada fenomena pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari yang
harus lebih dihemat agar membuat banten sama dengan tetangga
lain.

Fenomena di atas mendorong masyarakat, khususnya masa Grhastha


untuk bekerja keras, berkarier atau mengejar materi yang dapat
memenuhi kebutuhan penampilan dan melakukan upacara (banten).
Orang tua atau waktu Grhastha akan mengabaikan tugas utamanya
untuk membimbing dan mengasuh putra-putrinya. Dari hasil
pengamatan ini dapat menimbulkan masalah baru dalam kehidupan
keluarga, anak-anak di masa Brahmacari kurang mendapat
pengawasan orang tua atau orang dewasa lainnya (kakak, paman,
kakek-nenek). Karena itu mereka cenderung mencari dunianya sendiri
ke lingkungan negatif untuk menghindari kesepian, seperti sibuk
bermain game online, geng motor, kasus narkoba, mencuri, seks
bebas.

AJEG BALI MELALUI TRI HITA KARANA

Tri Hita Karana adalah salah satu latar belakang filosofis dasar di
balik program Ajeg Bali di Bali. Ajeg Bali adalah istilah yang
dipopulerkan oleh Bali Post Media Group di Bali terutama setelah
musibah Bom Bali 2002. Diyakini bahwa penderitaan Bom Bali 2002
terjadi karena “orang Bali telah melupakan diri mereka sendiri dan
telah meninggalkan sifat asli mereka, karena eksploitasi fisik dan
spiritual yang disebabkan oleh pariwisata. Eksploitasi ini pada
gilirannya diidentifikasi sebagai penyebab utama krisis ekonomi yang
dihadapi Bali, khususnya setelah pemboman ”(Palermo, 2005, hlm.
243).

Menghadapi musibah dan keputusasaan dari Bom Bali 2002, orang-


orang Bali berusaha mengembalikan kondisi damai tanah mereka.
Solusinya terletak pada ajaran Hindu sebagai agama mayoritas di Bali

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 4


www.komangputra.com

yang mengkristal dalam istilah “Ajeg Bali”. “Ajeg Bali” berusaha


mengembalikan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat Bali
yang dihancurkan oleh bom dan juga efek negatif dari pariwisata.
Dalam pencarian “keseimbangan”, orang-orang Bali — yang
dipromosikan oleh pemerintah dan media khususnya kelompok Bali
Post menemukan bahwa Tri Hita Karana akan menjadi solusi terbaik
untuk masalah mereka. Singkatnya, kampanye “Ajeg Bali” adalah
yang membawa makna dan kebutuhan akan konsep Tri Hita Karana
sebagai pedoman spiritual untuk mengembalikan perdamaian di Bali.

Sejarah Tri Hita Karana sendiri berasal sebelum istilah “Ajeg Bali”
diciptakan. Ini pertama kali diperkenalkan di Konferensi Daerah I
Badan Perjuangan Umat Hindu Bali yang diadakan di Perguruan
Dwijendra Denpasar. Peristiwa ini terjadi pada 11 November 1966.
Roth dan Sedana berpendapat bahwa Tri Hita Karana berasal dari
filosofi organisasi yang disebut Prajaniti Hindu Indonesia pada 1960-
an (Sedana, 2015, hlm. 164).

Tulisan ini akan mencoba melihat filosofi Tri Hita Karana dalam
memengaruhi kehidupan masyarakat Bali. Tri Hita Karana mendesak
masyarakat Bali untuk hidup damai dan menciptakan harmoni dengan
lingkungan mereka. Makalah ini akan mendekati filosofi Tri Hita
Karana dengan perspektif studi perdamaian. Teori perdamaian akan
mencari gambaran yang lebih besar dalam menganalisis konflik
dengan mencari akar penyebab konflik dalam masyarakat dari nilai
dan keyakinan yang mereka praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

FILOSOFI TRI HITA KARANA

Tri Hita Karana yang terdiri dari 3 kata = “Tri” (tiga), “Hita”
(kebahagiaan / kesejahteraan), dan “Karana” (penyebab) maka itu
berarti “tiga penyebab kebahagiaan”. Ajaran ini percaya bahwa
manusia dapat mengejar kebahagiaan mereka melalui tiga cara yang
harmonis: harmoni dengan Tuhan (Parahyangan), harmoni dengan

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 5


www.komangputra.com

sesama manusia (Pawongan), dan harmoni dengan alam (Palemahan).


Kunci untuk mencari kebahagiaan melalui Tri Hita Karana adalah
hubungan yang seimbang dalam ketiga bidang ini.

Konsep Tri Hita Karana mermula dari Bhagavadgita III.10 (Mantra,


1981, hal. 42):
“Di masa lalu, ketika Prajapati menciptakan manusia dengan Yadnya
dan berkata; dengan Yadnya, Anda akan bangkit dan akan menjadi
Kamadhuk [sapi suci Dewa Indra yang dapat memenuhi segala
keinginan] dari keinginan Anda ”

Dari Sloka ini, kita dapat menemukan dua elemen utama Tri Hita
Karana: Prajapati (Dewa) dan Praja (manusia). Inti dari Tri Hita
Karana terletak pada tiga aspek: etika antroposentrisme (berbasis
manusia), etika ekosentrisme (berbasis alam), dan etika toposentris.
Etika dengan demikian menuntun manusia pada satu kata: menahan
diri. Orang Bali selalu mengatakan untuk tidak menjadi orang yang
disepakati (Lobha) karena hal itu secara otomatis akan memicu
banyak konflik. Jika seseorang bertindak tamak dalam komunitasnya,
mereka cenderung mengambil alih apa yang bukan haknya dan tidak
diragukan lagi mengundang tanggapan negatif dari orang-orang yang
haknya diambil. Hal yang sama berlaku untuk hubungan manusia
dengan Tuhan dan alam. Jika seseorang bertindak tamak dan
mengeksploitasi alam di luar batas, itu akan mengakibatkan bencana.
Di sisi lain, manusia harus menyadari hubungan vertikal mereka
dengan Tuhan, karena manusia adalah entitas yang “lebih rendah” di
bawah Parahyangan.

Tri Hita Karana menggarisbawahi “keseimbangan” dalam kehidupan


Manusia. Pertanyaan utamanya adalah: bagaimana orang-orang akan
menempatkan diri mereka di antara “Dunia” (makrokosmos – sifat
dasar ibu, lingkungan dan Tuhan itu sendiri) dan “dunia”
(mikrokosmos / dan keberadaannya sebagai manusia). Keseimbangan
antara faktor-faktor ini akan membawa manusia ke dalam kondisi

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 6


www.komangputra.com

moksartham jagadhita ya caiti dharma atau kebahagiaan holistik baik


dari sisi spiritual maupun materi manusia.

Hubungan dengan Tuhan menciptakan Parahyangan atau hubungan


spiritual antara Pencipta dan ciptaan. Parahyangan (Hyang = Tuhan)
berisi hubungan horizontal di mana manusia harus menunjukkan
“Bhakti” (kesediaan untuk mematuhi) kepada Tuhan. Parahyangan
juga menjadi fondasi ritual Hindu yang berfungsi sebagai simbol
kepatuhan mereka terhadap Pencipta.
Pawongan (Wong = manusia) berasal dari filosofi Tat Twam Asi yang
secara harfiah berarti “Aku adalah Kamu”. Ajaran ini mengajarkan
bahwa semua manusia sama sama sehingga manusia harus
memperlakukan orang lain seperti bagaimana mereka ingin
diperlakukan atau. Singkatnya, Tat Twam Asi berarti “memanusiakan
manusia”. Hubungan dengan lingkungan tersebut menciptakan
pawongan atau hubungan sosial antara sesama manusia. Pawongan
kemudian dapat dipraktikkan dengan melakukan Tri Kaya Parisudha
atau “tiga kebiasaan baik” yang terdiri dari Manacika (berpikir baik),
Wacika (berbicara baik), dan Kayika (berakting baik).

Terakhir, hubungan antara manusia dan lingkungan menciptakan


Palemahan (Lemah = tanah) atau hubungan ekologis antara manusia
dan alam. Orang Bali sering menggambarkan hubungan antara
manusia dan alam dengan perkataan “sekadi manik ring cecupu”
(seperti bayi dalam kandungan ibu). Ajaran Hindu menggambarkan
alam sebagai “Ibu” yang melahirkan kehidupan (Sukadi, Februari
2007). Di sisi lain, Alam juga mendukung manusia dengan kebutuhan
sehari-hari mereka untuk bertahan hidup di dunia ini, seperti halnya
seorang ibu membesarkan anaknya.
Tri Hita Karana menggarisbawahi pentingnya penghormatan antara
manusia dan Pencipta, alam, dan sesama manusia. Manusia tidak bisa
hidup tanpa peran ketiga hubungan ini sebagai sistem pendukung
kehidupan. Ketiga bagian ini tidak dapat diterima begitu saja, karena

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 7


www.komangputra.com

kelangsungan hidup manusia akan ditentukan darinya. Almarhum Ida


Pedanda Made Gunung — salah satu pendeta Hindu paling terkemuka
di Bali — menguraikan bahwa Tri Hita Karana akan menghasilkan tiga
hubungan ideal: hubungan dengan Tuhan menciptakan bhakti (rasa
hormat); hubungan dengan manusia menciptakan tresna (cinta);
hubungan dengan alam menciptakan asih (welas asih). Semuanya
harus dianggap sebagai integral dan harus dipenuhi sebagai satu.
Tri Hita Karana juga terkait dengan konsep “Cakra Yadnya” dari
Bhagavadgita III. 16:

“Mereka yang tidak ikut memutar Roda [Cakra] Yadnya, secara timbal
balik, dianggap jahat dalam sifatnya, puas hanya dengan indranya
[Indria], dan, O Arjuna, akan hidup sia-sia” (Mantra, 1981, p . 44)

Kutipan ini menekankan bahwa Alam telah mengorbankan dirinya


sendiri untuk manusia. Singkatnya, itu menciptakan ‘hutang’ antara
manusia dan Alam / Tuhan itu sendiri yang hanya dapat dibayar
dengan “Yadnya” (pengorbanan tanpa syarat). Mereka yang tidak
membayar utangnya dapat digambarkan berdosa.

Konsep Tri Hita Karana kemudian mengkristal dalam beberapa


praktik dalam kehidupan masyarakat Bali. Misalnya, ritual dan
persembahan dalam liburan Bali adalah praktik Parahyangan. Orang
Bali menunjukkan bhakti mereka kepada Ida Sang Hyang Widhi dan
Dewa melalui upacara, banten, dan piodalan. Ketika mereka
menyiapkan ritual, orang Bali menganggapnya sebagai kerja
komunitas melalui ngayah dan gotong-royong sebagai refleksi dari
filosofi Pawongan. Perilaku Parahyangan dengan demikian
memperkuat ikatan sosial di Pawongan.

Praktek Pawongan terletak ketika orang Bali menjadi anggota desa


pekraman di lingkungan tersebut. Desa pekraman bukan hanya badan
hukum-formal, tetapi juga entitas budaya dan spiritual. Pawongan
berdasarkan hukum adat yang disebut awig-awig yang berfungsi
sebagai pelindung (pamikukuh) nilai-nilai tradisional dan moral di

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 8


www.komangputra.com

desa adat. Awig-awig adalah fondasi tidak hanya hubungan sosial,


tetapi juga hubungan spiritual dengan Tuhan dan hubungan ekologis
dengan alam. Dalam konteks Pawongan, hubungan sosial di desa
pekraman dapat dilihat dalam praktik suka-duka dan konsep
Menyama Braya (semua lelaki adalah saudara).

Terakhir, kita dapat menemukan konsep Palemahan di Subak atau


sistem irigasi tradisional Bali. Sistem Subak berupaya
menyeimbangkan kebutuhan manusia untuk memaksimalkan tanah
dan air untuk mendukung sistem pertanian dan keberlanjutan
keduanya. Sektor pertanian adalah basis untuk sektor ekonomi di Bali
(selain pariwisata). Selain itu, Palemahan juga tercermin dalam
praktik Tumpek Uduh — hari libur Bali untuk menghormati tanaman
dan Tumpek Kandang, hari libur Bali untuk menghormati hewan.
Tri Hita Karana mencerminkan komitmen masyarakat Bali untuk
menciptakan keharmonisan antara semua eksistensi yang mengelilingi
mereka. I Wayan Sukarma kemudian menyimpulkan bahwa (Sukarma,
2016, p.86) :

Jika kesejahteraan menjadi cita-cita masyarakat, maka, setiap individu


wajib untuk mencobanya. Upaya pertama adalah menciptakan harmoni
dengan mewujudkan tatanan, regulasi, harmoni, dan keseimbangan
sosial. Karena itu, ketika Tri Hita Karana menggambarkan
keharmonisan dengan sesama manusia, alam, dan Tuhan adalah benar-
benar kekuatan, perintah, dan nasihat moral. Mengingat keharmonisan
sosial tidak dapat diciptakan tanpa aturan dan moral tertentu dari
mekanisme kontrol. Aturan dan kontrol moral adalah apa yang
menjamin kebebasan individu dalam masyarakat. kebebasan diberikan
kesempatan untuk berpartisipasi dalam hal yang lebih kreatif, produktif,
dan bertanggung jawab atas kesejahteraan dan kebahagiaan. Dalam
konteks ini, Tri Hita Karana tidak seperti doktrin dasar dan moral Hindu
yang menjadi diskusi penting dan relevan dengan kebutuhan Hindu, baik
sekarang atau nanti.

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 9


www.komangputra.com

SISI PERDAMAIAN DAN KONFLIK “BUDAYA” DI BALI

Pendekatan pertama dalam studi perdamaian berasal dari perspektif


liberal atau dikenal sebagai “Perdamaian Liberal”. Perdamaian
Liberal yang ‘mengasumsikan transformasi rangkap tiga menjadi
perdamaian, demokrasi, dan ekonomi pasar adalah proses penguatan
diri yang mengarah pada pembangunan berkelanjutan’ (Kurtenbach
2007: 6) dan menganggap bahwa ‘demokratisasi dan liberalisasi pasar
itu sendiri merupakan sumber perdamaian’ (Sriram 2007 : 579).
Pendekatan perdamaian liberal memiliki kritik sendiri: terlalu
tergantung pada sisi material manusia. Pemikir perdamaian liberal
terlalu mengandalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi, hak politik,
keadilan berbasis hukum, dan prosedur demokratis sebagai prasyarat
menuju perdamaian. Di sisi lain, mereka sangat keliru memahami
pengaruh budaya dan nilai-nilai dalam menciptakan situasi
perdamaian. Birgit Brauchler menyimpulkan bahwa:
Baik perdamaian liberal dan perangkat rekonsiliasi biasanya sejalan
dengan konsep konsep Barat seperti keadilan, kebenaran, demokrasi,
atau perdamaian yang mungkin secara fundamental berbeda dari
nilai-nilai budaya dan pandangan dunia di wilayah lain.

Di wilayah yang masih menganggap pengaruh budaya sangat seperti


Indonesia, terutama Bali, akan menjadi kesalahan besar jika kita tidak
mengakui peran budaya dan nilai-nilai tradisional dalam menjaga
perdamaian. Dalam penelitiannya tentang rekonsiliasi Bali setelah
Bom Bali 2002, Birgit Brauchler menggarisbawahi pentingnya
memperluas definisi rekonsiliasi dari konflik berbasis material dan
material / nyata dari konflik, tetapi juga memberikan pemahaman
tentang kepercayaan kosmologis dan agama yang lazim di daerah
tersebut. yang membentuk persepsi orang tentang konflik,
perdamaian, dan rekonsiliasi. Dia menambahkan bahwa:
Dalam konteks Bali, itu bukan etos global, tetapi persepsi lokal
(agama) konflik dan perdamaian yang berkontribusi pada

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 10


www.komangputra.com

pembentukan kembali harmoni dan dengan demikian mendorong


‘rekonsiliasi’.

Brauchler menekankan bahwa nilai-nilai tradisional Bali dan Hindu


memiliki kontribusi besar bagi kondisi damai yang dipertahankan di
Bali setelah Bom Bali 2002. Ketika orang-orang Bali dihadapkan
dengan kesengsaraan dan malapetaka Bom Bali 2002, mereka tidak
terjebak dalam lingkaran kekerasan dengan menyalahkan para
korban. Minoritas muslim untuk bom. Orang Bali memilih untuk
merasakan bahwa Bom Bali 2002 adalah peringatan dari Tuhan
karena keseimbangan dalam kosmologi spiritual Bali telah terganggu.
Gangguan tersebut datang dari aspek negatif pariwisata yang
membawa keserakahan kepada masyarakat Bali.

Orang Bali menafsirkan Bom Bali 2002 bukan sebagai perang antara
“Baik” versus “Jahat” (seperti wacana “perang melawan teror” yang
dibawa oleh Presiden AS George W. Bush) tetapi itu adalah jalan bagi
kosmologi Bali untuk membawa kembali keseimbangannya. Di sisi
lain, orang Bali mengakui bahwa mereka bukan hanya “korban” dan
pembom Muslim adalah “pelaku”, tetapi mereka merasa bahwa
mereka juga bertanggung jawab atas bom itu sendiri, terutama dalam
dimensi spiritual / transendental. Singkatnya, Annette Hornbacher
menyimpulkan bahwa:

Interpretasi konflik manusia ini, tidak hanya dalam hal moral tetapi
dalam konteks permainan kekuatan kosmik, memiliki konsekuensi yang
luas untuk gagasan orang Bali tentang tanggung jawab individu; dari
sini berikut bahwa untuk pemulihan keseimbangan, tidak hanya pelaku
tetapi juga korban harus bertanggung jawab, karena ia juga dianggap
sebagai bagian aktif dari keseimbangan yang terganggu dan dapat
membuktikan agensinya hanya dengan memperkuat kekuatan
konstruktifnya dan oleh mengatasi perannya sebagai korban.

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 11


www.komangputra.com

KEBUTUHAN MENAHAN DIRI

Dari kasus di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa kepercayaan


orang Bali tentang perdamaian dan perspektif Barat memiliki
perbedaan. Perspektif Barat cenderung membagi perdamaian menjadi
dua tingkatan: cara individu (“kedamaian batin”) dan cara sosial
(“perdamaian sosial / struktural). Terlebih lagi, perspektif orang Bali
menambah satu dimensi lagi: tingkat kosmologis atau juga dikenal
sebagai Niskala. Niskala adalah tingkat transendental yang
melengkapi sarana individu dan sosial yang dimiliki dunia material
atau Sekala. Namun, keseimbangan antara Sekala dan Niskala dapat
ditemukan dalam filosofi Tri Hita Karana. Tri Hita Karana termasuk
individu dan masyarakat (Pawongan) sementara itu juga mengakui
dimensi kosmologis (Palemahan dan Parahyangan).

Selain perbedaan antara perspektif Bali dan Barat terhadap


perdamaian, keduanya memiliki kepercayaan yang sama: perdamaian
dan konflik tidak bertentangan. Perspektif Bali dan Barat memiliki
pemikiran yang sama bahwa konflik tidak dapat sepenuhnya hilang
dari kehidupan manusia. Pandangan orang Bali tentang konflik telah
dijelaskan pada bagian di atas. Namun, filosofi perdamaian Barat juga
mencapai kesimpulan yang sama. Konflik adalah sisi alami yang
melekat dalam kehidupan manusia. Terkait dengan pemikiran itu,
Charles Webel menyimpulkan bahwa (Galtung C. W., 2007, hal. 8):

Antitesis perdamaian bukanlah konflik. Konflik nampak secara historis


tidak terhindarkan dan mungkin diinginkan secara sosial jika konflik
tersebut menghasilkan kemajuan pribadi dan / atau politik. Konflik
mungkin, mungkin secara paradoks, mempromosikan dan
meningkatkan perdamaian dan mengurangi kekerasan jika pihak yang
berkonflik bernegosiasi dengan itikad baik untuk mencapai solusi untuk
masalah yang dapat dicapai dan ditoleransi, jika tidak ideal.

Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa konflik

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 12


www.komangputra.com

memiliki fungsinya sendiri. Mungkin pahit untuk memiliki konflik,


tetapi hal itu dapat membuka keluhan yang sebelumnya dimiliki
seseorang. Konflik dapat memicu minat laten yang biasanya tidak
dapat dilacak. Namun, jelas, konflik harus diselesaikan. Setelah
konflik diselesaikan, perdamaian mungkin terjadi tetapi konflik lain
mungkin muncul bahkan konflik yang sama dapat terjadi lagi. Konflik
dan perdamaian adalah bagian dari kontinum melingkar dalam
kehidupan manusia. Singkatnya, kita dapat mengatakan bahwa
perdamaian itu dialektis: sesuatu yang tidak statis tetapi dinamis.

Pertanyaannya kemudian: apakah itu perdamaian? Apakah kedamaian


mirip dengan kebahagiaan? Charles Webel berpendapat bahwa
perdamaian mungkin identik dengan kebahagiaan dalam arti sesuatu
yang dicari setiap manusia dan komunitas tetapi juga tampaknya jauh
untuk dicapai. Dia melanjutkan itu (Galtung C. W., 2007, hal 5-6):

Mungkin ‘perdamaian’ seperti ‘kebahagiaan’, ‘keadilan’, ‘kesehatan’ dan


cita-cita manusia lainnya, sesuatu yang setiap orang dan budaya
mengklaim keinginan dan memuliakan, tetapi yang sedikit jika ada
mencapai, paling tidak atas dasar abadi. Mengapa kedamaian, keadilan,
dan kebahagiaan begitu diinginkan, tetapi juga begitu tidak berwujud
dan sulit dipahami? Tetapi mungkin perdamaian berbeda dari
kebahagiaan karena tampaknya membutuhkan keharmonisan sosial
dan kebebasan politik, sedangkan kebahagiaan muncul, setidaknya
dalam budaya Barat, sebagian besar merupakan masalah individu.

Kedamaian juga dapat dilihat sebagai prasyarat untuk kondisi


emosional. Selain itu, kondisi emosional ini cenderung menantang
gangguan kognitif atau erupsi agresif. Kedamaian mungkin
menyerupai kebahagiaan dalam istilah kita. Ini akan tersirat dalam
pengertian psikologis kita dan juga secara sementara berlaku dalam
perilaku sosial dan norma-norma budaya pria. Webel berpendapat
bahwa (Galtung C. W., 2007, hal. 6):

Eros dan agresi, cinta dan benci, berbaur sejak lahir hingga

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 13


www.komangputra.com

dimakamkan. Memahami dan menenangkan dunia batin kita yang


penuh konflik – kebutuhan kita akan dan lari dari cinta pada diri sendiri
dan orang lain adalah proyek intelektual dan politik dari tatanan
tertinggi dan paling mendesak. Upaya ini harus berjalan seiring dengan
perlunya memahami dan mengubah konflik yang merajalela di ranah
interaksi dan perpecahan interpersonal dan politik kita.

Sikap terhadap konflik adalah faktor utama di balik kondisi


perdamaian. Selain itu, sikap terhadap konflik berada dalam dua
lapisan: “kedamaian batin” dan “kedamaian luar”. Latar belakang
psikologis seorang pria — “kedamaian batin” berbeda dari setiap
orang. Itu tergantung pada faktor psikologis, karakter, dan kebiasaan.
Di sisi lain, “kedamaian luar” terkait dengan norma-norma dan nilai-
nilai yang memengaruhi manusia itu sendiri. Norma-norma dan nilai-
nilai itu sendiri akan diinternalisasi ke dalam manusia kemudian
membentuk latar belakang psikologis mereka.
“Kedamaian batin” dan “kedamaian luar” akan terhubung satu sama
lain. Bahkan orang yang paling stabil pun akan menemukan kesulitan
dalam menjaga dirinya stabil secara psikologis karena akan
tergantung pada lingkungan. Lingkungan terutama lingkungan sosial
dapat bersifat patogen. Hubungan sosial manusia dapat menekan
keberadaan manusia demi menjaga kepatuhan dan ketertiban.
Kedamaian luar kemudian mengikis kedamaian batin.

Di sisi lain, jika manusia merasakan kedamaian batin dengan


mengikuti ego mereka, itu juga bisa mengikis kedamaian luar.
Tri Hita Karana berupaya mengatasi masalah di atas. Ego manusia
sumber konflik dan kekerasan harus ditekan melalui “pengendalian
diri”. Kita dapat mempelajari pentingnya “pengendalian diri” dalam
menghadapi ego kita dari salah satu kutipan paling terkenal dari
Mahatma Gandhi:

“Bumi menyediakan cukup untuk memuaskan kebutuhan setiap


manusia, tetapi tidak semua keserakahan setiap manusia.”

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 14


www.komangputra.com

Manusia harus menyadari bahwa ego dapat berdampak negatif pada


kepemilikan mereka dan lingkungan mereka. Namun, orang lain dan
penghuni Bumi lainnya juga memiliki hak yang sama untuk
perdamaian. Jika manusia menyadari bahwa keserakahan mereka
mungkin ‘memakan’ hak orang lain untuk hidup dalam damai, dan
kemudian mereka harus menekannya. Harmoni adalah kunci menuju
kondisi damai, dan “pengendalian diri” adalah kunci untuk memasuki
kondisi damai.

TRI HITA KARANA DALAM PRAKTEK

Tri hita karana seharusnya lebih dipahami sebagai filosofi hidup untuk
mewujudkan sikap hidup seimbang dan konsisten untuk sradha dan
bhakti pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, mengabdi pada sesama
manusia dan memelihara kesejahteraan alam lingkungan. Tri hita
karana tidak bisa dipahami sepotong-potong. Tri hita karana sebagai
suatu kesatuan yang utuh, sinergis dan konsisten sebagai filosofi
hidup universal. Tri hita karana merupakan sebuah konsep yang
sangat monumental dan bersifat adiluhung dalam membangun
keharmonisan yang penuh dengan nilai-nilai kebajikan, nilai moral,
nilai etika, nilai persatuan, sehingga terjadi kehidupan yang harmonis
antara semua ciptaan Tuhan sebagaimana pada umumnya masyarakat
di Bali terbiasa mengucapkan Om Swastyatu sebagai perwujudan
harapan semoga selalu selamat dalam lindungan-Nya, menjadi kalimat
awal dalam tegur sapa dengan sesama sebagai bentuk implementasi
aspek parhyangan. Begitu pula dengan mengucapkan kata Om
shantih, shantih, shantih Om untuk mengakhiri pertemuan sebagai
perwujudan harapan, semoga selalu damai di hati, damai bersama,
dan damai dengan lingkungan alam menjadi bentuk implementasi
aspek pawongan dan aspek palemahan.

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 15


www.komangputra.com

Dalam tri hita karana Umat Hindu diajarkan bahwa strada bhakti
pada Tuhan harus juga diwujudkan dengan menjaga keharmonisan
dengan sesama, serta menjaga hubungan yang harmonis dengan alam
lingkungan di sekitar kita. Umat Hindu juga diminta untuk selalu
memegang teguh ajaran wasudewa kutum bhakam, kita semua
bersaudara. Yang menekankan arti penting persaudaraan yang sejati,
karena kita semua berasal dari sumber yang sama yakni dari Tuhan
Yang Maha Esa.

Cara damai Tri Hita Karana tidak dapat dipenuhi dengan hanya
menekankan aspek spiritual melalui pendekatan filosofis. Ini harus
dipraktikkan secara konkret dalam bentuk aturan dan norma sosial.
Keharmonisan kehidupan sosial tidak dapat bertahan tanpa sesuatu
yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol. Dengan demikian,
masyarakat membutuhkan aturan dan kontrol sosial berbasis moral
yang dapat menjamin kebebasan individu. Keyakinan moral harus
menjadi solusi untuk masalah ini sebagai “gerbang” untuk
mengundang kreativitas, produktivitas, dan tanggung jawab anggota
masyarakat untuk berkontribusi peran mereka demi kesejahteraan
dan kebahagiaan masyarakat itu sendiri.

Untuk memenuhi tujuan yang disebutkan di atas, orang Bali membuat


sistem awig-awig dan desa pekraman. Kedua aturan ini akan menjadi
pelindung (pamikukuh) dan juga “motivator” untuk Tri Hita Karana.
Desa Pekraman juga berfungsi sebagai sumber kebahagiaan dan
kesejahteraan (kasukertan) dalam masyarakat Bali.

Pengaruhnya, pada kenyataannya, kenyataan yang digambarkan di


desa pakraman sebagai norma dan sistem nilai yang dibagikan kepada
pedoman perilaku. Sebagai gantinya, tri hita karana adalah batang
tubuh dari awig-awig desa pakraman, aturan, dan / atau hukum adat
yang mengikat perilaku sosial keagamaan dalam rangka mewujudkan
sukerta tata parhyangan, pawongan, dan palemahan. Desa pakraman
adalah sebuah desa untuk umat Hindu, yaitu tempat untuk

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 16


www.komangputra.com

memperoleh kasukertan (kesejahteraan).

Desa pekraman, awig-awig, dan pararem (peraturan tradisional Bali)


sebagian besar berpusat di Pawongan karena mengatur hubungan
antara sesama anggota desa atau Banjar. Namun, ketiga aturan itu
juga memuat Parahyangan dan Palemahan sebagai satu kesatuan dari
Tri Hita Karana. Lingkungan manusia (Pawongan) selalu
membutuhkan dukungan dari lingkungan eksternal, terutama
lingkungan transendental (Parahyangan) dan lingkungan (Palemahan)
untuk menciptakan hubungan yang harmonis. Hubungan yang
harmonis karenanya dapat menjadi sumber kesejahteraan dan
kebahagiaan.

Desa Pekraman dan awig-awig berperan terbesar adalah menciptakan


jejaring kehidupan di antara anggota masyarakat. Budaya Bali
memandang manusia lebih sebagai makhluk sosial daripada individu.
Ini berarti bahwa orang Bali tidak pernah sendirian, kesepian, atau
dikucilkan dari masyarakat, kecuali jika mereka melanggar hukum
adat atau hukum pidana. Aturan itu mengikat orang Bali melalui
kepatuhan hukum alam / Palemahan, hukum moral / Pawongan, dan
kekudusan hukum ilahi / Parahyangan. Sukarma menyimpulkan
bahwa “… Melalui tiga jenis hukum, manusia dipaksa untuk mengakui
hukum-hukum itu dan mendorong kebebasan negara untuk
menentukan kualitas tanggung jawab mereka. Untuk mencapai
kebebasan dan tanggung jawab, itu adalah inti dari semua
pengendalian moral ”.

Hubungan antara manusia dan Tri Hita Karana kemudian


didefinisikan dalam konsep dharma dan karma. Dharma dapat
didefinisikan dengan “perilaku baik” dan definisi karma dapat
dianggap sebagai “buah dari perbuatanmu”. Jika manusia melakukan
perbuatan baik, mereka akan menemui hasil yang baik. Di sisi lain,
jika mereka berperilaku buruk maka perbuatan terburuk akan
menang. Konsep Dharma dalam Tri Hita Karana membawa tiga

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 17


www.komangputra.com

dimensi: dharma palemahan, dharma pawongan, dan dharma


parahyangan.

Dharma palemahan berarti manusia harus mengikuti hukum kodrat.


Hukum kodrat sangat ketat dan tidak dapat dihindari karena alam
bersifat memaksa dan memiliki kehadiran yang lebih besar daripada
manusia. Inilah yang disebut agama Hindu oleh Hukum Rta. Hukum
kodrat terdiri dari kehidupan, kematian, penuaan, pergerakan air,
letusan gunung berapi, dan sebagainya. Manusia tidak dapat
melakukan apa pun untuk menghindarinya, sehingga manusia harus
menyadari posisi mereka dan beradaptasi dengannya (mawas diri).
Namun, manusia juga dapat mengeksploitasi alam dengan
keserakahan mereka. Dengan demikian kondisi ini mengakibatkan
bencana yang membahayakan manusia itu sendiri. Bukannya Alam
adalah “kemarahan” atau “kejahatan” yang dapat membalas dendam
kepada manusia, tetapi Alam memiliki keseimbangannya sendiri. Jika
intrusi keserakahan manusia mengganggu keseimbangan ini, maka
Alam akan mengembalikan keseimbangannya melalui caranya.
Manusia dengan demikian bisa mendapatkan dampak negatif dari
“keseimbangan ulang” Alam ini. Untuk menghadapi situasi ini,
manusia perlu mengembangkan “pengendalian diri” untuk
menghentikan keserakahan mereka yang merusak.

Dharma pawongan didasarkan pada perilaku ideal terhadap manusia


lain. Ini disebut keharusan moral antara hubungan manusia yang
dharma akan menjadi kewajiban kebaikan yang baik. Dharma
pawongan berdasarkan Tri Kaya Parisudha yang melibatkan berpikir
benar (Manacika), berbicara benar (Wacika), dan tindakan yang baik
(Kalika). Tri Kaya Parisudha juga menggarisbawahi pentingnya
“pengendalian diri” yang mencakup:

Pertama, tindakan pikiran, termasuk (1) tidak bertindak, (2) tidak


marah kepada semua makhluk, dan (3) percaya pada hukum Karma
Phala. Kedua, tindak tutur termasuk (1) tidak berbicara dengan kasar,

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 18


www.komangputra.com

(2) tidak mengatakan hal buruk, (3) tidak mengatakan fitnah, dan (4)
tidak berbohong. Ketiga, tubuh bertindak, termasuk (1) tidak
membunuh, (2) tidak mencuri, dan (3) tidak mengumbar nafsu
bercinta.

Terakhir, Dharma Parahyangan mencakup sisi transendental


kehidupan manusia, terutama ketulusan Tuhan. Jika manusia memiliki
cinta yang tulus terhadap Tuhan, mereka akan menyerahkan diri pada
kehendak Tuhan dan bertindak sebagai sifat ciptaan Tuhan.
Parahyangan adalah konkretisasi ajaran moral Hindu yang mengatur
perilaku manusia dalam hubungannya dengan Dewa ritual dan
upacara keagamaan lainnya. Pusat Dharma Parahyangan terletak
pada konsep Bhakti.

Bhakti adalah pusat doktrin moral, yaitu kontrol diri yang diperlukan
untuk mengatur perilaku moral. Perilaku yang didasarkan pada bhakti
terlalu jauh dari keinginan ikan dan melanggar perintah dan larangan
moral. Misalnya, jangan melanggar larangan Tuhan, yaitu “tidak
boleh mencuri” atau “tidak boleh melakukan kekerasan” berarti telah
dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip bhakti.

SRADHA SEBAGAI WUJUD ASPEK PARHYANGAN

Mewujudkan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan


dilandasi oleh sraddha (keyakinan atau kepercayaan) dan bhakti.
Keyakinan atau kepercayaan dalam ajaran agama Hindu dikenal
dengan istilah panca sraddha yaitu lima keyakinan atau kepercayaan
terhadap: (1) adanya brahman (Ida Sang Hyang Widhi Wasa); (2)
adanya Atman atau jiwa/roh; (3) adanya Hukum karma phala; (4)
adanya punarbhawa atau reinkarnasi serta kelahiran kembali; (5)
adanya kebahagiaan yang abadi (moksa).

Perwujudan lima keyakinan ajaran Hindu belum tercermin dalam


perilaku religius grhastha asrhama di Desa Sukawati, karena sesuai
perkembangan zaman para grhastha asrhama termasuk masyarakat

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 19


www.komangputra.com

modern, yang sedang mengalami transformasi agama. Agama


tradisional mengalami penyusutan makna dan peran akan tetapi
kesadaran keagamaan tetap kuat dan termanifetasikan dalam
kepercayaan – kepercayaan dan ritual – ritual baru sesuai dengan
bentuk organisasi modern yang unggul dan saling tukar – menukar.

Untuk menumbuhkan sradha bhakti dalam diri dapat melalui


pemahaman akan ajaran agma Hindu yang tertuang dalam sloka-sloka
yang kebenarannya sangat di percaya. Kebenaran harus dinyatakan
dengan penuh kebajikan agar terbangun kedamaian dan
keharmonisan. Berikut ini beberapa mantram-mantram Veda yang
menguraikan ajaran kebenaran, kejujuran, akhlak mulia, kasih sayang
dan keharmonisan.

BHAKTI SEBAGAI WUJUD ASPEK PAWONGAN

Bhakti adalah merupakan suatu bentuk pelayanan dan pengabdian


yang dapat membahagiakan hidup baik melalui pikiran, perkataan,
maupun perbuatan atau tindakan. Dalam Bhagawadgita dijelaskan
bahwa ada empat cara atau jalan untuk mendekati Tuhan yang
disebut dengan catur yoga yaitu: (1) Melalui jalan bhakti yoga, atau
dengan jalan pelayanan kepada semua ciptaan tuhan; (2) melalui jalan
karma yoga yaitu dengan jalan tindakan, perbuatan atau dengan kerja
sesuai dengan kemampuan dengan ikhlas; (3) dengan jalan jnana yoga
yaitu dengan belajar ilmu pengetahuan, dan (4) dengan jalan raja
yoga yaitu dengan jalan meditasi maupun dengan tapa. Keempat jalan
tersebut pada dasarnya dilandasi oleh rasa bhakti kepada Tuhan, yang
diimplementasikan dalam bentuk pelayanan tulus dan ikhlas kepada
sesama umat manusia.

Melayani sesama ciptaan Tuhan merupakan salah satu perwujudan


perilaku religius grhastha ashrama dalam bentuk bhakti marga, atau
disebut juga sedang melayani kedewataan dengan keilahian yang
dalam wujud sesama umat ciptaan-Nya. Pada saat grhastha ashrama

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 20


www.komangputra.com

melaksanakan pelayanan, secara sadar merasakan kehadiran Tuhan


dalam diri mereka yang sedang dilayani. Dapat dikatakan bahwa
bhakti dalam kehidupan sehari-hari sebagai cerminan perilaku
religius, atau perbuatan yang menyatakan setia (kasih, hormat dan
tunduk), karena bhakti berarti tunduk, hormat dan setia, maka dalam
berbagai aspek kehidupan dipakai sebagai pernyataan penyampaian
rasa bhakti, seperti : bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa dan para
leluhur (tanda penyampaian rasa hormat dan tunduk), bhakti kepada
nusa dan bangsa, bhakti kepada orang tua, bhakti pada guru, bhakti
kepada raja atau pemimpin. Implementasi ajaran bhakti tampak
mengalami pergeseran, dalam kehidupan bermasyarakat yang dikenal
dengan menyamaberaya, segilik seguluk sebayantaka, yang
menganjurkan untuk hidup rukun damai dengan selalu berusaha
sedapat mungkin memelihara hubungan baik dan bekerjasama dalam
suka dan duka menghadapi segala tantangan hidup.

Meningkatkan perilaku religius melalui bhakti atau pelayanan yang


tulus dalam menyamaberaya sebagai wujud konsep tat wam asi yaitu
kamu adalah aku, dan memberlakukan konsep vasudeva
khutumbakam bahwa kita semua adalah bersaudara. Memahami
konsep ini sangat membantu grhastha asrhama untuk lebih mudah
terhubung dengan kedewataan dan dapat merasakan kehadiran
Tuhan pada saat melaksanakan pekerjaan melayani.

Di samping sembahyang memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan


Maha Esa, Hindu mengajarkan juga patut sembahyang kepada
leluhur, karena para leluhur tersebut sudah berjasa memberikan
perlindungan kepada turunannya sepanjang hidupnya, bahkan setelah
di alam niskala. Mereka yang meninggalkan leluhurnya akan terkutuk,
tidak merasa bahagia dalam hidupnya, walaupun tampaknya kaya
(paling tidak hatinya selalu terganggu dan ragu-ragu). Salah satu
petunjuk tentang bhakti ini dapat dipahami dalam kekawin Ramayana
sargah II sloka 2 yang menyatakan :

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 21


www.komangputra.com

Gunamanta Sang Dasarata, Weruh sira ring Weda,


bhakti ring Dewa, Tarmalupeng pitra puja,
masih te sireng sawagotra kabeh

Artinya : Sang Dasarata adalah seorang Raja yang terkenal dan


bijaksana, beliau paham tentang isi Veda (agama), beliau selalu
bhakti kepada Dewa yaitu prabawa Ida sang Hyang Widhi
Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, tidak melupakan pemujaan kepada
leluhur, dan cinta kasih pada keluarga juga selalu ditunjukkan.

Berdasarkan pengertian yang terkandung dalam sloka di atas maka


para grhastha asrhama dalam menjalankan bhakti atau pelayanan
terhadap sesama maka bhakti/ sembahyang dalam agama Hindu
merupakan kewajiban (swadarma) umat. Objek utamanya adalah Ida
sanghyang Widhi Wasa dengan segala kemahakuasaan-Nya (Dewa)
dan Sakti-Nya (Dewi), sejumlah manifestasi-Nya, dan para leluhur,
serta mejaga solidaritas dengan sesama umat manusia (manusa
yadnya).

Sebagaimana sesuai dengan konsep ajaran bhakti, merupakan


perwujudan rasa bersyukur atas segala anugrah kehidupan dari Ida
Shang Hyang Widhi Wasa, sehingga para grhastha asrhama di desa
Sukawati terutama kaum ibu tampak sangat antusias dalam
mempersiapkan sarana bhakti sebagai persembaahan ritual agama.
Ajaran bhakti ini menjadi spirit umat Hindu untuk menghaturkan
persembahan terbaik, sebagai wujud rasa syukur mempersembahkan
dengan tulus ikhlas. Mengamati fenomena ini, jika masih berkutat
pada tatanan ritual, semakin bertambah volume baik bentuk dan jenis
material upacara (banten), lama kelamaan bahkan saat ini sudah
tampak ada indikasi para grhastha asrhama menganggap ritual atau
yadnya menjadi beban.

CINTA KASIH SEBAGAI WUJUD ASPEK PALEMAHAN

Membangun keharmonisan dan kedamaian tidak hanya antar sesama

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 22


www.komangputra.com

manusia, Agama Hindu mengajarkan agar umatnya selalu ingat untuk


menjaga, merawat, melindungi, dan memelihara ciptaan Tuhan yang
lain, termasuk flora dan fauna yang merupakan unsur Palemahan.

Kegiatan ritual dalam konteks menjaga keharmonisan dengan alam


dilakukan secara rutin dan terkait dengan rangkaian upacara
keagamaan. Namun menjaga keharmonisan dengan alam tidak hanya
sebatas dalam bentuk – bentuk persembahan sesaji / banten.
Pada intinya mengajak atau menghimbau segenap masyarakat di Desa
Sukawati agar terus membangun kesadaran untuk tetap asih terhadap
lingkungan alam (bhuana agung) sebagai aksi berbasis sosial yang
berorientasi pada keharmonisan dan kelestarian alam lingkungan.
Sangatlah penting umat Hindu menjaga alamnya. Tidak boleh
merusak alamnya dengan dalih atau kepentingan apapun. Terutama
dalam kontek pariwisata, setiap daya tarik pariwisata baru yang ingin
diciptakan dan dikembangankan agar beradaptasi dengan budaya dan
alam Bali yang berlandaskan ajaran Tri Hita Karana.

PELESTARIAN LINGKUNGAN SAAT HARI RAYA

Umat Hindu di Bali sangat memperhatikan lingkungan hidupnya. Hal


ini dapat ditunjukkan ketika umat melaksanakan upacara-upacara
Tumpek, utamanya pada saat Tumpek Pengarah, Tumpek Bubuh atau
Tumpek Wariga yang datang setiap hari Saniscara (Sabtu) Kliwon,
Wuku Wariga dalam kalender Bali, yakni setiap 210 hari atau 6 bulan
sekali dalam perhitungan bulan Wuku yang jumlah harinya dalam satu
bulan selama 35 hari. Saat upacara dipanjatkan doa oleh keluarga
yang mempersembahkan sesajen. Doanya berbentuk ‘sehe’, bukan
mantram, yakni Bahasa Bali sehari-hari, untuk memohon tanaman
tersebut subur dan berbuah lebat.

Pada saat doa diucapkan pohon-pohon kayu (tanaman) tersebut


dielus-elus dengan lembut dengan penuh kasih sayang. Umat Hindu
beranggapan semua mahluk, termasuk hewan dan tanaman adalah

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 23


www.komangputra.com

satu keluarga dan bersaudara, seperti disebutkan dalam kitab


Hitopadesa (1.3.71 ): “Vasudhaiva Kutumbakam”, (semua mahluk
adalah bersaudara), oleh karena itu seperti halnya manusia, semua
mahluk memerlukan kasih sayang dan harus dicintai sepenuh hati.

Di samping melestarikan lingkungan melalui upacara Tumpek seperti


tersebut di atas, terdapat juga upacara Agama Hindu yang bertujuan
untuk melestariakan lingkungan yang disebut disebut Sad Kertih,
yang terdiri dari: (1) Atma Kertih (Upacara Penyucian Sang Hyang
Atma/Sang Diri), (2) Samudra Kertih (Upacara untuk menyucikan
samudra/lautan), (3) Wana Kertih (Upacara untuk menyucikan atau
melestarikan hutan), (4) Danu Kertih (Upacara untuk
menyucikan/melestarikan danau), (5) Jagat Kertih (Upacara untuk
menyucikan jagat raya/alam), dan (6) Jana Kertih (Upacara untuk
menyucikan diri manusia/membangun manusia sempurna).

Demikian berbagai upacara Agama Hindu yang dilaksanakan di Bali,


terdapat pula ajaran Agama Hindu yang merupakan landasan filosofis
berbagai aspek kehidupan beragama yang disebut Tri Hita Karana,
yakni tiga hal yang menjadikan sejahtera, yakni: (1) membina
hubungan yang harmonis dengan Tuhan Yang Maha Esa berupa
pengamalan ajaran agama yang diturunkan-Nya. (2) membina
hubungan yang harmonis dengan sesama manusia dan semua mahluk
ciptaan-Nya. (3) membina hubungan harmonis dengan lingkungan
alam sekitar sebagai satu kesatuan hidup yang tidak dapat
dipisahkan.

IMPLEMANTASI TRI HITA KARANA PADA TUMPEK PENGARAH

Umat Hindu sangat jarang melakukan upacara Tumpek Pengarah atau


Tumpek Wariga dengan mempersembahkan upakara (sesajen) yang
jumlahnya banyak, terkecuali mereka yang baru membeli kebun yang
luas dan dikaitkan dengan upacara Yajña seperti piodalan pada
Sanggah atau hulu dari kebun tersebut. Upacara yang besar dipimpim

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 24


www.komangputra.com

oleh pandita biasanya memakai Banten Bebangkit atau paling tidak


Banten Pregembal, biasanya dilengkapi dengan babi guling yang
lumayan besar yang nantinya setelah dipersembahkan dapat dinikmati
oleh seluruh karyawan di perkebunan tersebut.
Dalam upacara ini, umumnya dipimpin oleh tetua yang punya kebun
atau ladang di desa dengan menggunakan Sêhê sebagai doa yang
diucapkan ketika melaksanakan upacara Tumpek Pengarah. Sêhê
tersebut adalah sebagai berikut:

kaki-kaki, nini-nini malih selai lemeng mangkin rahina Galungan,


elingang mabuah ngeed……..ngeed…..ngeed.

kakek-kakek, nenek-nenek lagi dua puluh lima hari lagi adalah


hari raya Galungangan, ingat berbuahlah yang
lebat….lebat…lebat, sambil menepuk pohon-pohon kayu yang
diupacarakan.

Ada juga sedikit variasi dari Sêhê tersebut seperti:

kaki-kaki nini-nini matangi, mangkin rahina Tumpek Wariga maka


otonan i kaki sareng i nini, matangi sampun tengahi, napi kaki sareng
nini gelem ngeed….ngeed…ngeed. Elingang malih selai lemeng mangkin
rahina Galungan icen buah sane ngeed…..ngeed…..ngeed

Kakek-kakek, nenek-nenek banunlah sekarang hari Tumpek


Wariga otonan (ulang tahun) nenek dan kakek, bangunlah,
apakah kakek dan nenek sedang sakit demam panas dingin
(gelem ngeed). Ingatlah dua puluh lima hari lagi hari raya
Galungan, berbuahlah yang lebat……lebat……lebat.

Sêhê atau ‘sesontengan’ yang mengandung makna kiasan yang


diwariskan secara turun temurun oleh leluhur desa Pakraman Muncan
diucapkan saat mempersembahkan upakara (banten) Tumpek
Pengarah. Penyebutan kaki-dadong (kakek-nenek) dalam konteks ini
adalah upaya penunjukan yang ditujukan untuk memuliakan

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 25


www.komangputra.com

tumbuhan yang jauh lebih dulu ada dari pada manusia dan mahluk
lain yang ada di permukaan bumi.

Entah siapa yang memulai dan sejak kapan petikan monolog tersebut
di atas tersebar luas di kalangan masyarakat Hindu di Bali, tidak
diketahui secara pasti. Dan kutipan monolog tersebut di atas mungkin
tidak sama persis diucapkan oleh warga desa yang satu dengan warga
desa yang lainnya.

Namun yang jelas, petikan monolog yang kerap terdengar setiap


rerahinan Tumpek Uduh tersebut memiliki tujuan atau pun harapan
yang sama. Yakni, sebagai wujud kepedulian umat Hindu akan
kelestarian lingkungan di sekitarnya, khususnya tumbuh-tumbuhan.
Selain itu, sebagai ungkapan terimakasih serta puji syukur ke
hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala rahmat yang
dianugerahkannya berupa tumbuh-tumbuhan yang subur, dengan
batang yang kokoh dan daun serta buah yang lebat sebagai sumber
kemakmuran bagi seluruh umat manusia. Hal tersebut sebagaimana
kutipan terakhir pada monolog di atas yakni, …ngeed…, ngeed,
ngeed….! yang berarti lebat.

Teologi kasih sayang yang menjadi landasan dalam pelaksanaan


upacara Tumpek Pengarah, rupanya disamping mengucapkan Sêhê
seperti tersebut di atas, yang terpenting pohon tersebut juga
diperhatikan kebersihan dan kesehatannya, jangan sampai ada
benalu, diserang jamur putih atau lalat buah, ulat-ulat dan sejenisnya,
serta diberi belaian seperti halnya manusia.

MAKNA TEOLOGIS

Bagaimanakah hari-hari raya Hindu di Bali dapat dikaitkan dengan


hari-hari raya Hindu di India dan teologi kasih sayang yang sumber
utamanya adalah ajaran yang terkandung dalam kitab suci Veda.
Menurut Goris (1960: 98), kedatangan Agama Hindu di Bali dalam
dua bentuk, yakni dalam bentuk agama yang dibawa oleh para

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 26


www.komangputra.com

pandita dan dalam bentuk kepustakaan (literature).

Sekta Saivasiddhànta sedikit lebih menghormati tradisi upacara di


pura dan mengurangi beberapa hal dalam agama untuk mewujudkan
hubungan antara siswa dengan guru dan umat pada umumnya dengan
para pandita. Lagi pula jalinan esoteric yang bersifat ajaran rahasia
yang akan dilimpahkan dibangun untuk mereka yang akan
dipersiapkan menjadi pandita.

Di sini tugas para pandita tidak semuanya berhubungan dengan


memimpin upacara di pura-pura, tetapi lebih dari itu adalah
melafalkan mantra-mantra Sanskerta untuk menyucikan air menjadi
tìrtha, yakni untuk kepentingan upacara-upacara rutin, baik di dalam
rumah tangga maupun untuk kepentingan dalam upacara-upacara
agama yang lebih besar lainnya.

Dengan demikian teologi kasih sayang yang mengalir dari kitab suci
Veda ke seluruh ajaran Hindu meresapi ajaran teologi kasih sayang
yang diimplementasikan dalam upacara-upacara di Bali dan dalam hal
ini adalah dalam pelaksanaan upacara Tumpek Pengarah.

Teologi kasih sayang dalam upacara Tumpek Pengarah merupakan


penjabaran atau implementasi dari ajaran ‘tat tvam asi’ dan
memandang semua makhluk di alam semesta ini pada hakatnya
tunggal, karena pada diri setiap mahluk ada àtmà yang merupakan
percikan dari Brahman Yang Esa.

Implemantasi teologi kasih sayang selanjutnya adalah doa yang isinya


mendoakan semua mahluk supaya sejahtera (sarve sukhino
bhavantu………, sarva pràni hitankarah). Implementasi ajaran teologi
kasih sayang adalah juga pandangan bahwa semua mahluk adalah
satu keluarga dan bersaudara (vasudhaiva kutum bakam), yang
memandang bumi sebagai ibu dan langit sebagai ayah serta umat
manusia dan mahluk hidup lainnya adalah putra-putra dari ibu bumi
dan ayah langit di atas.

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 27


www.komangputra.com

MAKNA EKORELIGI

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 354) kata ekologi


berarti ilmu tentang hubungan timbal balik antara mahluk dan
(kondisi) alam sekitarnya (lingkungannya). Prayito (2002: 6)
menyatakan bahwa hubungan timbal balik ini, merupakan irama
kehidupan alami yang disebut ekosistem. Ekosistem juga terdapat di
dalam tubuh manusia, baik rohani maupun jasmani dan terdapat juga
di angkasa luar. Seandainya ekosistem dalam tubuh manusia
terganggu, maka terganggu pula kesehatannya. Demikian pula jika
ekosistem alam terganggu, maka terganggu pula tata alamnya, hal ini
akan meluas hingga mengganggu kehidupan manusia.

Pengertian, definisi atau konsep tentang religi (agama) di atas dan


ciri-cirinya sebagai sitem simbol dari perilaku, yang memberi motivasi
dan membuat gambaran tentang kosepsi dari setiap eksistensi serta
memberi motivasi yang unik menjadikan pemahaman terhadap
ekoreligion tampaknya tidak dapat dilepaskan. Masyarakat Bali pada
umumnya selalu memeihara lingkungannya dengan menjadikan ajaran
agama sebagai sumber atau inspirasinya. Makna ekoreligi dalam
kaitannya dengan Tumpek Pengarah adalah mengingatklan,
menyadarkan dan mengajarkan umat Hindu di Bali untuk memelihara
alam lingkungan dengan mengimplementasikan ajaran kasih sayang
dalam pemeliharaan lingkungan hidupnya.

MAKNA PENDIDIKAN KOMUNIKASI DENGAN TUMBUH-TUMBUHAN

Pelaksanaan atau perayaan hari raya Tumpek Pengarah merupakan


salah satu wujud pendidikan dan komunikasi dalam keluarga semesta.
Perayaannya yang di dalamnya aktivitas menyapa pohon-pohon kayu,
atau tumbuh-tumbuhan, dimaksudkan agar setiap tumbuh-tumbuhan
itu menaruh rasa simpati terhadap sapaan manusia dan berbuah yang
lebat atau bunganya yang juga lebat, sehingga dapat digunakan
sebagai sarana upacara (upakara atau banten) pada hari raya

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 28


www.komangputra.com

Galungan yang akan datang.

Komunikasi antar manusia dengan pohon, yang diajarkan juga oleh


orang tua kepada anak-anaknya bagi oranbg yang tidak memahami
dianggap kolot atau pun konyol. Namun jelasnya akhir-akhir ini para
ahli (seperti Jagadish Chandra Bose) telah membuktikan melalui
penelitian melalui hasil riset yang mutakhir, menyatakan bahwa
ternyata tumbuh-tumbuhan tidak hanya sebagai mahluk yang hanya
memiliki ‘ekapramana’ saja sebagaimana yang lazim diketahui oleh
kebanyakan orang, tetapi ternyata pohon itu juga memiliki perasaan
sedih, takut, murung, ceria dan sebagaimana layaknya manusia.

Mavinkurve dkk (dalam Donder, 2017: 136) menguraikan bahwa kita


mendapatkan para bijak seperti Manu yang membicarakan tentang
pepohonan dan tanam-tanaman, sebagai berikut:

antah saumjñana bhavantyete, sukha duhkha samanvitah

(Pohon-pohon kayu) sepenuhnya memiliki kesadaran di dalam


(diri)- nya, sehingga mampu mengalami kesenangan atau
lkesakitan.

Berdasarkan uraian tersebut pelaksanaan upacara Tumpek Pengarah


sebagai implementasi teologi kasih sayang juga mengandung makna
dan nilai-nilai pendidikan. Di samping melalui dialog manusia dengan
pohon-pohon kayu dan tumbuh-tumbuhan, juga belaian kasih yang
tulus, suara yang merdu, dan kebersihan lingkungan membuat
tumbuh-tumbuhan dan manusia yang mendekatinya mendapatkan
pelajaran ternyata semua pohon-pohonan memerlukan kasih sayang
dan pewarisan kasih sayang dapat dilakukan melalui pendidikan
formal, non formal dan informal dalam masyarakat.

MAKNA SOSIO KULTURAL

Lingkungan hidup menurut terdiri dari 3 komponen, yaitu lingkungan


hidup alami (ekosistem), lingkungan hidup hunian (teknosistem) dan

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 29


www.komangputra.com

lingkungan hidup sosial (sosiosistem). Ketiga komponen lingkungan


hidup itu (ekosistem, teknosistem dan sosiosistem) saling
berinteraksi, beradaptasi dan mengalami seleksi melalui pertukaran
materi, energi dan informasi. Lingkungan hidup yang ideal hanya
dapat tercapai apabila ketiga komponen lingkungan hidup itu ada
dalam keseimbangan. Ketika salah satu komponen itu mendominasi
yang lainnya keseimbangan akan terganggu. Apabila hal itu terjadi
kelestarian alam akan terganggu atau lingkungan hidup ideal tidak
berlaku.

Tumpek Pengarah sebagai ekspresi menyampaikan terima kasih


kepada Tuhan Yang Maha Esa mengamanatkan hidup sejahtera dan
bahagia bersama tanpa ada satu yang harus dikorbankan. Umat
manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa berinteraksi dengan sesama
manusia, juga dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan. Ketika
manusia beriteraksi sesama manusia, kitab suci Veda mengamanatkan
untuk hidup bersama dengan kerukunan dan bersama-sama
mewujudkan kebaikan dan kemakmuran. Kerja sama secara sosio
kutural ini berlaku di mana pun umat manusia berada. Manusia
bersama mahluk lainnya diharapkan untuk hidup penuh kedamaian
guna mewujudkan kemakmuran bersama.

Di masyarakat pedesaan masih disaksikan penancapan ‘sawen’ pada


pangkal pohon (disebut ‘tuwed’) yang ditebang dengan menancapkan
satu pucuk cabang kayu kira-kira tingginya 50-70 centimeter tepat di
tengah-tengah pangkal pohon yang habis ditebang.

Perilaku masyarakat ini yang mungkin dianggap hanya sebagai


kebiasaaan yang sudah turun-temurun, sebenarnya mengamanatkan
menebang satu pohon, hendaknya segera menanam dengan satu
pohon sejenis yang ditebang itu, biasanya diambil cabang daun yang
ada pucuknya.

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 30


www.komangputra.com

HARMINISASI DENGAN KONSEP SANGA MANDALA

Konsep sanga mandala membagi area rumah tinggal masyarakat


tradisional Bali menjadi sembilan bagian. Pembagian sembilan area
ini menghasilkan tiga area diagonal dari arah tenggara menuju barat
laut. Tiga area ini dalam aplikasinya adalah ruang kosong yang
memiliki fungsi masing-masing. Area sudut tenggara dipergunakan
untuk berkebun atau beternak. Area tengah disebut dengan natah
dipergunakan untuk kegiatan sakral dan profan.

Area pada sudut barat laut adalah tempat sakral untuk memohon
keselamatan lingkungan rumah tinggal. Pola ruang kosong diagonal
dari konsep ruang Sanga mandala ini memiliki hubungan terhadap
ekologi aliran udara. Berdasarkan posisi geografis pulau Bali, aliran
udara pada musim kemarau dan hujan saling berlawanan, yaitu dari
tenggara menuju barat laut dan begitu pula sebaliknya. Hal ini
membuktikan bahwa masyarkat tradisional Bali sangat
mempertimbangkan ekologi. Selain ruang kosong tersebut, konsep
sanga mandala juga mampu memberikan penghawaan dan
pencahayaan ke masing-masing bangunan.

Konsep pembangunan yang tidak terencana menjadi salah satu faktor


kerusakan alam. Hal ini dapat dilihat dari pola pembangunan
perumahan yang tidak memperhatikan sona hijau seperti daerah
aliran sungai dan pertanian. Kondisi ini semakin parah dengan pola
dan bentuk rumah tinggal yang tidak memperhitungkan ekologi.
Keluasan area yang dimiliki seluruhnya dipergunakan sebagai
bangunan tanpa memperhatikan ruang terbuka dan area resapan air.
Bentuk bangunan juga tidak memperhatikan bukaan ruang sehingga
mengakibatkan sirkulasi udara yang tidak baik. Beberapa contoh
tersebut membuktikan bahwa Alam tidak lagi dipertimbangkan oleh
manusia dalam sebuah perencanaan pembangunan.

Manusia saat ini sudah tidak mempertimbangkan ekologi dalam

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 31


www.komangputra.com

memenuhi keinginannya. Berdasarkan pemahaman interaksi manusia


dengan lingkungan, manusia memiliki kemampuan untuk mengubah
lingkungannya sesuai dengan standar yang
diinginkan(iskandar,2012). Hal tersebut dapat dipahami bahwa sesuai
sifat manusia yang tidak terbatas, ekologi akan semakin parah sampai
keingginan manusia terpenuhi. Pemahaman tersebut sangat
bertentangan dengan pemahaman yang dimiliki oleh manusia
tradisional yang selalu ingin selaras dengan alam.

Ekologi merupakan sebuah hubungan timbal balik antara maklhuk


hidup dengan lingkungan sekitarnya(frick,2011). Sebuah siklus yang
mengajarkan manusia untuk selalu menghargai semua maklhuk hidup
dan alam semesta. Hal tersebut sejalan dengan konsep yang selalu
dianut oleh masyarakat tradisional Bali yang selalu
mempertimbangkan alam dalam setiap aktivitas kehidupan.
Masyarakat tradisional Bali mengenal tiga konsep yang selalu
mempertimbangkan dan menghargai alam dalam melaksanakan
aktivitas hidup. Konsep Tri Hita Karana adalah konsep dasar universal
yang dimiliki masyarakat tradisional Bali. Konsep ini mengajarkan
manusia untuk selalu selaras dengan Tuhan(prahyangan),
manusia(pawongan) dan lingkungan(palemahan).

Hulu-Teben adalah konsep yang dipergunakan masyarakat tradisional


Bali untuk menata pola penukiman atau desa. Pola pemukiman
terencana yang membagi sona menjadi tiga bagian yaitu utama
(tempat suci), madya (pemukiman) dan nista (kuburan). Pola
pemukiman ini juga selalu menempatkan area tertinggi sebagai
sumbu kosmologis (hulu)menuju area terendah (teben). Pola ini
dimaksudkan selalu mengikuti arah aliran sungai dengan tujuan
menghindari luapan air sungai atau banjir (Parwata,2009).
Berdasarkan rasa menghargai alam semesta, masyarakat tradisional
Bali mengembangkan konsep dasar tersebut dengan menggabungkan
antara sumbu kosmologis (hulu-teben) dengan sumbu religius (timur-

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 32


www.komangputra.com

barat).

Penggabungan tersebut menghasilkan konsep sanga mandala yaitu


sebuah konsep yang membagi area menjadi sembilan sona. Konsep ini
diaplikasikan pada lingkungan rumah tinggal masyarakat tradisional
Bali. Pembagian sembilan area ini menggunakan tiga sona dasar
seperti pada konsep hulu-teben yaitu utama, madya dan nista.

Konsep sanga mandala diciptakan berdasarkan pertimbangan


terhadap alam sehingga sangat memperhatikan ekologi. Tulisan ini
membahas tentang hubungan konsep sanga mandala terhadap
ekologi. Hal ini didasari oleh banyaknya rumah tinggal saat ini yang
tidak mempertimbangkan alam dalam perencanaannya. Keterbatasan
lahan secara tidak langsung memaksa untuk memanfaatkan seluruh
lahan menjadi bangunan. permasalahan tersebut jangan sampai
menjadi penghalang untuk tetap mempertimbangkan ekologi. Seperti
masyarakat tradisional Bali, keterbatasan dalam segala hal tidak
menjadi penghalang mereka untuk tetap mempertimbangkan alam
dalam menata pemukiman dan rumah tinggal. Bergesernya
pemahaman terkait rumah tinggal dikhawatirkan akan memberikan
dampak negatif terhadap alam.

Konsep sanga mandala memiliki beberapa hal yang dapat dijadikan


pengetahuan dalam menciptakan ekologi pada lingkungan rumah
tinggal. Pola ruang yang dimiliki oleh konsep sanga mandala sudah
mempertimbangkan arah aliran angin yang menjadi penghawaan
alami. Pola penataan tersebut juga sangat memperhatikan
pencahayaan alami yang dapat dimanfaatkan oleh bangunan.
Berdasarkan pemahaman tersebut diharapkan konsep sanga mandala
yang diwariskan oleh masyarakat tradisonal diadaptasi ke dalam
rumah tinggal masyarakat modern sehingga ekologi dapat tetap
terjaga.

Memepertimbangkan ekologi berarti menghargai warisan budaya


masyarakat tradisional Bali sekaligus menyelaraskan diri dengan

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 33


www.komangputra.com

alam. Konsep sanga mandala yang dalam aplikasinya adalah pola


pembagian sona lingkungan rumah tinggal menjadi sembilan bagian
merupakan sebuah pemikiran yang sangat bijaksana. Manusia sebagai
maklhuk tertinggi dengan anugrah kamampuan berfikir sudah
seharusnya melindungi maklhuk yang lebih lemah yaitu hewan dan
tanaman. Pemikiran terhadap pola konsep sanga mandala ini
memperlihatkan bahwa masyarakat tradisional Bali mampu
memahami bagaimana sistem alam semesta.

Pola ini mampu menerapkan prinsip-prinsip ekologis ke dalam


lingkungan rumah tinggal. Terdapat dua unsur ekologis yang mampu
didapatkan oleh lingkungan rumah tinggal dengan menggunnakan
pola konsep sanga mandala yaitu penghawaan dan pencahayaan. Pola
yang membagi area menjadi sembilan bagian ini mampu memahami
sirkulasi udara sesuai dengan letak geografis. Sumbu religius timur-
barat yang menjadi dasar pola penataan konsep sanga mandala
mampu memaksimalkan potensi pencahayaan. Dua unsur ini didukung
oleh unsur lainnya yang terdapat pada rumah tinggal yaitu arsitektur
dan tanaman.

Berdasarkan iklim di negara Indonesia yaitu tropis, pergerakan angin


pada musim kearau dan hujan memiliki arah yang
berlawanan(frick,2011). Lintasan pergerakan angin di wilayah pulau
Bali pada pada dua musim tersebut adalah dari arah tenggara menuju
barat laut dan sebaliknya. Pergerakan angin tersebut sangat
mendukung sirkulasi udara dari pola dari konsep sanga mandala.
Konsep sanga mandala yang membagi area menjadi sembilan sona
dalam aplikasinya memiliki ruang kosong yang membentuk garis
diagonal dari tenggara menuju barat laut.

Tiga sona ruang kosong ini dalam konsep sanga mandala masing-
masing bernama nistaning utama, madyaning madya dan utamaning
nista(Glebet, 1985). Masing-masing sona ruang kosong ini memiliki
fungsi yang berbeda. Sona pada arah tenggara(nistaning utama)

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 34


www.komangputra.com

difungsikan untuk bercocok tanam atau memlihara hewan ternak.


Pada sona ini juga biasanya ditempatkan sebuah lumbung yang
berfungsi menyimpan hasil kebun dan pertanian.

Sona ini dalam perkembangannya oleh masyarakat saat ini biasanya


disungsikan sebagai taman atau penempatan hewan peliharaan
berupa burung, anjing atau hewan peliharaan lainnya. Sona ruang
kosong pada bagian tengah(madyaning madya) oleh masyarakat
tradisional Bali diberikan nama natah. Sona ruang kosong ini
merupakan pusat dari seluruh sona pada konsep sanga mandala.

Sona ini hanya ruang kosong dengan aktivitas yang bersifat


sementara seperti upacara atau penerimaan tamu. Natah dalam
aktivitas upacara dipergunakan sebagai tempat menanam
persembahan(caru) yang dipercaya mampu menetralisir kekuatan
alam. Sona ruang kosong pada bagian barat laut(utamaning nista)
difungsikan sebagai tempat mendirikan bangunan suci(tugu karang)
yang dipercaya dapat melindungi lingkungan rumah tinggal dari
kekuatan negatif.
Adanya tiga ruang kosong ini membuktikan bahwa masyarakat
tradisional Bali sangat memahami dan mempertimbangkan alam
dalam menata rumah tinggal. sirkulasi udara dari arah tenggara
masuk menuju ke sona ruang kosong pada bagian tengah(natah)
kemudian menyebar dan mengalir ke arah barat laut.

Sirkulasi ini berbalik ketika pergantian musim sehingga menghasilkan


sirkulasi udara silang. Hal ini sangat sesuai dengan ilmu fisika
bangunan yang menyarankan adanya sirkulasi udara silang pada
ruang(Latifah,2015). Pola ruang konsep sanga mandala ini juga
mendukung pergerakan udara ke masing-masing bangunan. Adanya
ruang kosong pada bagian tengah(natah) dan orientasi bangunan
terpusat memungkinkan udara masuk ke masing-masing bangunan.
Posisi geografis Bali terletak dekat dengan garis khatulistiwa
sehingga menjadikan cahaya matahari bersifat merata sepanjang

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 35


www.komangputra.com

tahun. Masyarakat tradisional Bali memanfaatkan pencahayaan alami


untuk mendukung aktivitas. Keterbatasan teknologi menjadikan
pencahayaan alami sebagai faktor penting dalam melaksanakan
aktivitas sehari-hari. Pola pembagian sona pada konsep sanga
mandala menempatkan sona tengah(natah) sebagai pusat orientasi
dari seluruh bangunan.

Orientasi ini ditunjukkan dengan bentuk bangunan tradisional Bali


yang memiliki ciri khas terbuka dengan akses utama ke arah tengah
(natah). Ruang terbuka berupa teras ini dimiliki oleh seluruh
bangunan pada rumah tinggal masyarakat tradisional Bali. Adanya
ruang teras ini memiliki fungsinya masing-masing pada setiap
bangunan. Pada bangunan dapur, ruang terbuka difungsikan sebagai
aktivitas persiapan memasak. Bangunan lainnya yang masing-masing
terletak pada bagian utara, timur dan barat mempergunakan teras
sebagai area menerima tamu, rapat dan bersantai.

Pola penataan bangunan pada konsep sanga mandala yang


berorientasi pada bagian tengah mampu mamantulkan cahaya ke
seluruh bangunan. Berdasarkan cara tersebut setiap bangunan
dilengkapi dengan teras yang menghadap ke area tengah. Desain
bangunan yang dilengkapi dengan teras pada bagian depan memiliki
fungsi penting dalam pemanfaatan pencahayaan alami. Aktivitas yang
dilaksanakan pada area teras tidak menerima cahaya secara langsung
sehingga memberikan kenyamanan pada mata(Manurung, 2012).
Pemantulan pencahayaan alami ini juga memperhatikan lingkungan
rumah tinggal.

Pemakaian material alami berupa tanah atau rumput mampu


menyerap intensitas cahaya yang tinggi. Selain teras, bukaan ruang
seperti pintu dan jendela juga berorientasi ke bagian tengah(natah).
Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan pencahayaan alami terhadap
bagian tengah bangunan. Konsep pemanfaatan pencahayaan dan
penghawaan alami sangat sesuai diaplikasikan saat ini. Masyarakat

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 36


www.komangputra.com

modern yang cenderung konsumtif dapat melakukan manipulasi


kondisi lingkungan untuk kenyamanan fisik manusia dan
ruangsekaligus menghemat energi(Karyono,2014).

Selain memperhatikan penghawaan dan pencahayaan alami, pola


konsep sanga mandala memberikan area yang luas untuk penempatan
tanaman. Penataan tanaman yang tepat akan memberikan manfaat
bagi penghuni dan bangunan yang terdapat di area rumah tinggal.
Tanaman dapat menghasilkan oksigen yang sangat dibutuhkan oleh
manusia Pembuatan taman dan kolam ikan selain mendukung
penghawaan alami juga dapat dimanfaatkan sebagai daya tarik ruang
dan lingkungan sekitar. Penempatan pohon dapat melindungi
bangunan dari terpaan angin kencang dan intensitas caahaya tinggi.
Berdasarkan hal diatas membuktikan bahwa masyarakat tradisional
bali sangat mempertimbangkan alam dalam setiap aktivitas.

Terciptanya konsep sanga mandala yang memiliki pembagian


sembilan pola ruang sangat memperhatikan ekologi. pada prinsipnya,
konsep penataan ruang yang diciptakan oleh masyarakat tradisional
Bali tidak hanya dapat diaplikasikan pada lingkungan pemukiman dan
rumah tinggal. seperti halnya dasar terbentuknya konsep sanga
mandala, pengembangan dapat dilakukan lebih detail dan fokus yaitu
pada desain interior. Objek desain interior tidak hanya pada rumah
tinggal melainkan pada desain interior komersil seperti kantor,
perpustakaan, museum, restoran, gedung olehraga bahkan pusat
perbelanjaan.

Konsep sanga mandala merupakan hasil budaya masyarakat


tradisional Bali yang dihasilkan dari kolaborasi alam dan religi.
Konsep budaya yang memperhatikan alam dan riligi ini tidak hanya
sesuai untuk kehidupan masyarakat tradisional namun juga pada
masyarakat moder serta sekaligus menjaga keberlangsungan sistem
alam semesta. Pelestarian warisan leluhur berupa konsep khususnya
penataan pemukiman dan rumah tinggal dapat dilakukan dengan

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 37


www.komangputra.com

catatan tetap mempertahankan prinsip-prinsip yang terkandung di


dalamnya.

Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian | 38

Anda mungkin juga menyukai