KARANA UNTUK
HARMONISASI DAN
KEDAMAIAN
Downloaded By:
I Nengah Sumendra
18 February 2022
www.komangputra.com
DAFTAR ISI
Berarti:
Sila berarti melakukan perbuatan baik, yajña berarti melaksanakan
Tri Hita Karana adalah salah satu latar belakang filosofis dasar di
balik program Ajeg Bali di Bali. Ajeg Bali adalah istilah yang
dipopulerkan oleh Bali Post Media Group di Bali terutama setelah
musibah Bom Bali 2002. Diyakini bahwa penderitaan Bom Bali 2002
terjadi karena “orang Bali telah melupakan diri mereka sendiri dan
telah meninggalkan sifat asli mereka, karena eksploitasi fisik dan
spiritual yang disebabkan oleh pariwisata. Eksploitasi ini pada
gilirannya diidentifikasi sebagai penyebab utama krisis ekonomi yang
dihadapi Bali, khususnya setelah pemboman ”(Palermo, 2005, hlm.
243).
Sejarah Tri Hita Karana sendiri berasal sebelum istilah “Ajeg Bali”
diciptakan. Ini pertama kali diperkenalkan di Konferensi Daerah I
Badan Perjuangan Umat Hindu Bali yang diadakan di Perguruan
Dwijendra Denpasar. Peristiwa ini terjadi pada 11 November 1966.
Roth dan Sedana berpendapat bahwa Tri Hita Karana berasal dari
filosofi organisasi yang disebut Prajaniti Hindu Indonesia pada 1960-
an (Sedana, 2015, hlm. 164).
Tulisan ini akan mencoba melihat filosofi Tri Hita Karana dalam
memengaruhi kehidupan masyarakat Bali. Tri Hita Karana mendesak
masyarakat Bali untuk hidup damai dan menciptakan harmoni dengan
lingkungan mereka. Makalah ini akan mendekati filosofi Tri Hita
Karana dengan perspektif studi perdamaian. Teori perdamaian akan
mencari gambaran yang lebih besar dalam menganalisis konflik
dengan mencari akar penyebab konflik dalam masyarakat dari nilai
dan keyakinan yang mereka praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tri Hita Karana yang terdiri dari 3 kata = “Tri” (tiga), “Hita”
(kebahagiaan / kesejahteraan), dan “Karana” (penyebab) maka itu
berarti “tiga penyebab kebahagiaan”. Ajaran ini percaya bahwa
manusia dapat mengejar kebahagiaan mereka melalui tiga cara yang
harmonis: harmoni dengan Tuhan (Parahyangan), harmoni dengan
Dari Sloka ini, kita dapat menemukan dua elemen utama Tri Hita
Karana: Prajapati (Dewa) dan Praja (manusia). Inti dari Tri Hita
Karana terletak pada tiga aspek: etika antroposentrisme (berbasis
manusia), etika ekosentrisme (berbasis alam), dan etika toposentris.
Etika dengan demikian menuntun manusia pada satu kata: menahan
diri. Orang Bali selalu mengatakan untuk tidak menjadi orang yang
disepakati (Lobha) karena hal itu secara otomatis akan memicu
banyak konflik. Jika seseorang bertindak tamak dalam komunitasnya,
mereka cenderung mengambil alih apa yang bukan haknya dan tidak
diragukan lagi mengundang tanggapan negatif dari orang-orang yang
haknya diambil. Hal yang sama berlaku untuk hubungan manusia
dengan Tuhan dan alam. Jika seseorang bertindak tamak dan
mengeksploitasi alam di luar batas, itu akan mengakibatkan bencana.
Di sisi lain, manusia harus menyadari hubungan vertikal mereka
dengan Tuhan, karena manusia adalah entitas yang “lebih rendah” di
bawah Parahyangan.
“Mereka yang tidak ikut memutar Roda [Cakra] Yadnya, secara timbal
balik, dianggap jahat dalam sifatnya, puas hanya dengan indranya
[Indria], dan, O Arjuna, akan hidup sia-sia” (Mantra, 1981, p . 44)
Orang Bali menafsirkan Bom Bali 2002 bukan sebagai perang antara
“Baik” versus “Jahat” (seperti wacana “perang melawan teror” yang
dibawa oleh Presiden AS George W. Bush) tetapi itu adalah jalan bagi
kosmologi Bali untuk membawa kembali keseimbangannya. Di sisi
lain, orang Bali mengakui bahwa mereka bukan hanya “korban” dan
pembom Muslim adalah “pelaku”, tetapi mereka merasa bahwa
mereka juga bertanggung jawab atas bom itu sendiri, terutama dalam
dimensi spiritual / transendental. Singkatnya, Annette Hornbacher
menyimpulkan bahwa:
Interpretasi konflik manusia ini, tidak hanya dalam hal moral tetapi
dalam konteks permainan kekuatan kosmik, memiliki konsekuensi yang
luas untuk gagasan orang Bali tentang tanggung jawab individu; dari
sini berikut bahwa untuk pemulihan keseimbangan, tidak hanya pelaku
tetapi juga korban harus bertanggung jawab, karena ia juga dianggap
sebagai bagian aktif dari keseimbangan yang terganggu dan dapat
membuktikan agensinya hanya dengan memperkuat kekuatan
konstruktifnya dan oleh mengatasi perannya sebagai korban.
Eros dan agresi, cinta dan benci, berbaur sejak lahir hingga
Tri hita karana seharusnya lebih dipahami sebagai filosofi hidup untuk
mewujudkan sikap hidup seimbang dan konsisten untuk sradha dan
bhakti pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, mengabdi pada sesama
manusia dan memelihara kesejahteraan alam lingkungan. Tri hita
karana tidak bisa dipahami sepotong-potong. Tri hita karana sebagai
suatu kesatuan yang utuh, sinergis dan konsisten sebagai filosofi
hidup universal. Tri hita karana merupakan sebuah konsep yang
sangat monumental dan bersifat adiluhung dalam membangun
keharmonisan yang penuh dengan nilai-nilai kebajikan, nilai moral,
nilai etika, nilai persatuan, sehingga terjadi kehidupan yang harmonis
antara semua ciptaan Tuhan sebagaimana pada umumnya masyarakat
di Bali terbiasa mengucapkan Om Swastyatu sebagai perwujudan
harapan semoga selalu selamat dalam lindungan-Nya, menjadi kalimat
awal dalam tegur sapa dengan sesama sebagai bentuk implementasi
aspek parhyangan. Begitu pula dengan mengucapkan kata Om
shantih, shantih, shantih Om untuk mengakhiri pertemuan sebagai
perwujudan harapan, semoga selalu damai di hati, damai bersama,
dan damai dengan lingkungan alam menjadi bentuk implementasi
aspek pawongan dan aspek palemahan.
Dalam tri hita karana Umat Hindu diajarkan bahwa strada bhakti
pada Tuhan harus juga diwujudkan dengan menjaga keharmonisan
dengan sesama, serta menjaga hubungan yang harmonis dengan alam
lingkungan di sekitar kita. Umat Hindu juga diminta untuk selalu
memegang teguh ajaran wasudewa kutum bhakam, kita semua
bersaudara. Yang menekankan arti penting persaudaraan yang sejati,
karena kita semua berasal dari sumber yang sama yakni dari Tuhan
Yang Maha Esa.
Cara damai Tri Hita Karana tidak dapat dipenuhi dengan hanya
menekankan aspek spiritual melalui pendekatan filosofis. Ini harus
dipraktikkan secara konkret dalam bentuk aturan dan norma sosial.
Keharmonisan kehidupan sosial tidak dapat bertahan tanpa sesuatu
yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol. Dengan demikian,
masyarakat membutuhkan aturan dan kontrol sosial berbasis moral
yang dapat menjamin kebebasan individu. Keyakinan moral harus
menjadi solusi untuk masalah ini sebagai “gerbang” untuk
mengundang kreativitas, produktivitas, dan tanggung jawab anggota
masyarakat untuk berkontribusi peran mereka demi kesejahteraan
dan kebahagiaan masyarakat itu sendiri.
(2) tidak mengatakan hal buruk, (3) tidak mengatakan fitnah, dan (4)
tidak berbohong. Ketiga, tubuh bertindak, termasuk (1) tidak
membunuh, (2) tidak mencuri, dan (3) tidak mengumbar nafsu
bercinta.
Bhakti adalah pusat doktrin moral, yaitu kontrol diri yang diperlukan
untuk mengatur perilaku moral. Perilaku yang didasarkan pada bhakti
terlalu jauh dari keinginan ikan dan melanggar perintah dan larangan
moral. Misalnya, jangan melanggar larangan Tuhan, yaitu “tidak
boleh mencuri” atau “tidak boleh melakukan kekerasan” berarti telah
dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip bhakti.
tumbuhan yang jauh lebih dulu ada dari pada manusia dan mahluk
lain yang ada di permukaan bumi.
Entah siapa yang memulai dan sejak kapan petikan monolog tersebut
di atas tersebar luas di kalangan masyarakat Hindu di Bali, tidak
diketahui secara pasti. Dan kutipan monolog tersebut di atas mungkin
tidak sama persis diucapkan oleh warga desa yang satu dengan warga
desa yang lainnya.
MAKNA TEOLOGIS
Dengan demikian teologi kasih sayang yang mengalir dari kitab suci
Veda ke seluruh ajaran Hindu meresapi ajaran teologi kasih sayang
yang diimplementasikan dalam upacara-upacara di Bali dan dalam hal
ini adalah dalam pelaksanaan upacara Tumpek Pengarah.
MAKNA EKORELIGI
Area pada sudut barat laut adalah tempat sakral untuk memohon
keselamatan lingkungan rumah tinggal. Pola ruang kosong diagonal
dari konsep ruang Sanga mandala ini memiliki hubungan terhadap
ekologi aliran udara. Berdasarkan posisi geografis pulau Bali, aliran
udara pada musim kemarau dan hujan saling berlawanan, yaitu dari
tenggara menuju barat laut dan begitu pula sebaliknya. Hal ini
membuktikan bahwa masyarkat tradisional Bali sangat
mempertimbangkan ekologi. Selain ruang kosong tersebut, konsep
sanga mandala juga mampu memberikan penghawaan dan
pencahayaan ke masing-masing bangunan.
barat).
Tiga sona ruang kosong ini dalam konsep sanga mandala masing-
masing bernama nistaning utama, madyaning madya dan utamaning
nista(Glebet, 1985). Masing-masing sona ruang kosong ini memiliki
fungsi yang berbeda. Sona pada arah tenggara(nistaning utama)