PRAJURU
DESA PAKRAMAN
ROHANIAWAN HINDU
DAN HUKUM
Ketentuan Hukum yang Perlu Diketahui dan Dipahami
oleh Prajuru Desa Pakraman dan Rohaniawan Hindu
i
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Ketentuan Pidana
Pasal 72
1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan penjara masing-masing
paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum
suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terbit sebagai dimaksud pada Ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
ii
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
PRAJURU
DESA PAKRAMAN
ROHANIAWAN HINDU
DAN HUKUM
Ketentuan Hukum yang Perlu Diketahui dan Dipahami
oleh Prajuru Desa Pakraman dan Rohaniawan Hindu
Swasta Nulus
2016
iii
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
PRAJURU
DESA PAKRAMAN
ROHANIAWAN HINDU
DAN HUKUM
Ketentuan Hukum yang Perlu Diketahui dan Dipahami
oleh Prajuru Desa Pakraman dan Rohaniawan Hindu
Penulis:
I Gusti Ngurah Sudiana
Wayan P. Windia
Relin D.E
Lay Out:
Swasta Nulus
Diterbitkan oleh:
Swasta Nulus
Bekerjasama dengan
“Bali Shanti” Pusat Pelayanan Konsultasi Adat dan
Budaya Bali LPPM Unud, dan Puslit Hukum Adat LPPM Unud
Cetakan Pertama:
2016, ix + 170 hlm, 14,8 x 21 cm
ISBN: 978-602-7599-33-8
iv
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
Kata Pengantar
v
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Penyusun
vi
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
Daftar Isi
I. Pendahuluan
1. Latar Belakang ........................................................... 3
2. Permasalahan ............................................................. 6
3. Tujuan dan Manfaat .................................................. 7
4. Metode Penulisan ...................................................... 8
vii
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Lampiran-lampiran
Lampiran 1 ............................................................................... 93
Keputusan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
DAERAH BALI Nomor: 10/D.P.R.D. tentang manak
salah atau kembar buncing.
viii
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
Lampiran 2 ............................................................................... 96
Keputusan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
DAERAH BALI Nomor: 11/D.P.R.D. Asu Pundung
Dan Anglangkahi Karang Hulu.
Lampiran 3 ............................................................................... 99
Landasan Yuridis Hukum Adat
ix
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
x
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
I
PENDAHULUAN
1
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
2
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
3
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
4
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
5
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
2. Permasalahan
Di atas telah dikemukakan bahwa buku-buku tentang
prajuru desa pakraman dan rohaniawan Hindu, lumayan banyak.
Walaupun demikian, belum ada buku penuntun praktis bagi
prajuru desa pakraman dan rohaniawan Hindu yang dapat
dijadikan pegangan dalam memimpin dan/atau menjadi saksi
atas pelaksanaan upacara tertentu menurut agama Hindu,
sehingga prajuru desa pakraman dan rohaniawan Hindu dapat
melaksanakan tugas dan tanggung jawabanya dengan baik dan
6
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
7
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
4. Metode Penulisan
Bahan-bahan yang diperlukan untuk menyusun buku
ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan. Selain itu bahan
juga diperoleh dari pengalaman lapangan penulis. Untuk
diketahui, kami (penulis buku ini), kebetulan aktif pada
lembaga umat Hindu, baik yang berhubungan langsung
dengan kehidupan beragama maupun aktivitas adat dan
hukum adat Bali. Modal tersebut dimanfaatkan untuk
observasi lapangan sekaligus mengumpulkan bahan bagi
penyusunan buku ini.
Bahan yang telah terkumpul, baik dari penelitian
kepustakaan maupun penelitian lapangan, kemudian
didiskusikan, lalu disusun dalam bentuk artikel ilmiah populer
sesuai keahlian masing-masing penulis, menggunakan kata-
kata dan kalimat biasa dan dengan cara biasa. Kalau ada istilah
dan ungkapan yang tidak biasa (khas), disertai terjemahan
dengan maksud lebih mudah dimengerti oleh orang biasa
maupun orang luar biasa. Selanjutnya, kedua artikel ilmpiah
populer itu digabung dan disusun menjadi draft buku berjudul
8
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
9
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
10
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
II
DESA PAKRAMAN DAN
PRAJURU DESA PAKRAMAN
11
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
12
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
II
DESA PAKRAMAN DAN
PRAJURU DESA PAKRAMAN
1. Desa Pakraman
13
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
14
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
1 Setiap desa pakraman di Bali, memiliki tempat suci (pura), yang dikenal
dengan Pura Kayangan Tiga (Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem) atau dengan
nama lain tetapi memiliki fungsi sama dengan Pura Kayangan Tiga. Pura lain yang
ada kalanya juga berada dan menjadi tanggung jawab desa pakraman dikenal dengan
Pura Kayangan Desa atau Pura Manca dan Pura Kayangan Jagat. Desa pakraman
bertanggung jawab atas kelangsungkan kawasan suci dan tempat suci umat Hindu
(pura) yang ada di wewidangan (wilayah) desa pakraman setempat.
15
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
yang sesuai dengan agama Hindu dan hukum adat Bali. Oleh
karena itu, tugas dan wewenang desa pakraman sangat erat
kaitannya dengan pelaksanaan ajaran agama Hindu dalam
kehidupan masyarakat adat di Bali.
16
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
terhadap demokrasi, jaman sekarang sangat jarang ada prajuru desa yang ditetapkan
berdasarkan keturunan. Metetapkan prajuru berdasarkan ririgan (urut karang), juga
telah mulai ditinggalkan. Pada umumnya, prajuru jaman sekarang ditetapkan
berdasarkan pemilihan langsung oleh warga desa yang mipil (tercatat sebagai krama
desa). Bahkan ada yang melaksanakan tahapan pemilihan persis sama dengan
tahapan pemilihan bupati dan anggota legislatif. Lengkap dengan panitia pemilihan
dan semacam masa kampanye atau paling tidak ada waktu menyampaikan visi dan
misi calon bendésa. Ada kalanya juga terjadi protes sejumlah warga sesudah
pemilihan berakhir karena ada yang dianggap melakukan kecurangan atau calon
tunggal dikalahkan kotak kosong. Apakah hal ini pertanda kemajuan atau
kemunduran dalam kehidupan di desa pakraman? Perlu perenungan.
17
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
3 Beberapa buku tentang susunan prajuru pada desa maulu apad, antara lain
ditulis oleh: I.G.M. Sunendra, 1975, “Peranan dan Fungsi Prajuru Desa Adat”, dalam
MPLA Bali, 1975, “Butir-butir Mutiara dalam Pembinan Desa Adat di Bali”; Tjokorda
Raka Dherana, 1975, “Pokok-pokok Organisasi Kemasyarakatan Adat di Bali”,
Fakultatas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana, Denpasar;
Thomas A Reuter, 1999, “People of the Mountains, People of the Sea: Negotiating the
Local and the Foreign in Bali” dalam Raechelle Rubeinstein dan Linda H. Connor,
Staying Local in The Global Village, halaman 155 – 181. University of Hawaii Press,
Honolulu; I Ketut Sudantra dan Wayan P. Windia, 2012, Sesana Prajuru Désa. Tata
Laksana Pimpinan Désa Adat di Bali. Unud Press, Denpasar.
Dalam praktiknya jaman sekarang, ulu apad ini melaksanakan tugas dan
fungsi yang berkaitan dengan aktivitas keagamaan di desa setempat, sementara
prajuru di bawah koordinasi bendésa atau kelihan adat, melaksanakan tugas
kemasyarakatan pada umumnya dan tugas lainnya yang berkaitan dengan
administrasi pemerintahan.
18
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
Pawos ............
Pawos ……….
19
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
4 Struktur prajuru desa pakraman ini diambil dari contoh (imba) awig-awig
20
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
Pawos ............
5 Struktur prajuru desa pakraman ini diambil dari contoh (imba) awig-awig
21
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
22
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
III
ROHANIAWAN HINDU
23
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
24
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
III
ROHANIAWAN HINDU
1. Pengertiannya
25
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
perbedaan sebutan tersebut, baca juga buku-buku Gede Semadi Astra, 1985/1986.
Kamus Sanskerta-Indonesia, Proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Daerah Tingkat I
Bali. Wayan Surpa, 1999. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-
Aspek Agama Hindu I-XIV. Denpasar, Pemda TK I Bali. PHDI Pusat, 1999/2000.
Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek agama Hindu I-IV. Ngakan Pt. Putra, dkk, 2010.
Kompilasi Dokumen Literer 45 Tahun Parisada. PHDI Pusat.
26
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
Menjadi Pandita
Untuk menjadi seorang pandita, wajib memenuhi
berbagai persyaratan, baik persyaratan sekala (kelengkapan
administrasi, dll), maupun persyaratan niskala (pelaksanaan
upacara tertentu). Beberapa persyaratan adminsitrasi yang
wajib dipenuhi sebelum menjadi pandita, berdasarkan Kesatuan
Tafsir terhadap Ketetapan Sabha Parisada Hindu Dharma Ke II
No.V tahun 1968 tentang tata keagamaan (Kesulinggihan,
Upacara dan Tempat Suci), antara lain:
1. Calon diksita mengajukan permohonan kepada Parisada
setempat yang mewilayahi selambat-lambatnya tiga
bulan sebelum hari padiksaan.
2. Permohonan disertai atau dilampiri dengan surat
keterangan:
a. berbadan sehat.
b. berkelakukan baik.
c. surat keterangan tentang kecakapan.
d. riwayat hidup.
e. tidak tersangkut perkara.
3. Permohonan ditembuskan kepada pemerintah setempat
untuk dimaklumi.
4. Parisada setempat seterimanya surat permohonan itu
secepatnya melakukan penyelidikan dan testing bersama
calon nabe, guna mendapat kepastian tentang terpenuhi
atau tidaknya syarat-syarat di depan.
5. Penyelidikan dan testing bila perlu dapat diulang 3 atau
6 bulan kemudian, apabila ternyata pemohon belum
memenuhi syarat. Hasil penyelidikan atau pengetesan itu
di sampaikan kepada parisada atasannya (pusat) dengan
tembusannya kepada pemerintah setempat.
6. Parisada yang akan memberi keptusan memberikan
pernyataan sikapnya (mengabulkan atau tidak) selambat-
27
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
7 Ketut Wiana, 2007. Rsi Yadnya dan Sistem Kependetaan Hindu. Surabaya.
28
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
29
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Menjadi Pinandita
Seperti halnya untuk menjadi seorang pandita, menjadi
pinandita juga memerlukan persyaratan sekala (kelengkapan
administrasi, dll), maupun persyaratan niskala (pelaksanaan
upacara tertentu). Hanya saja, jumlah dan bentuknya lebih
sederhana.
1. Calon diksita mengajukan permohonan untuk ini kepada
Parisada setempat yang mewilayahi selambat-lambatnya
tiga bulan sebelum hari pewintenan
2. Permohonan disertai atau dilampiri dengan surat
keterangan:
a. berbadan sehat.
b. berkelakukan baik.
c. surat keterangan tentang kecakapan.
d. riwayat hidup.
e. tidak tersangkut perkara.
3. Permohonan ditembuskan kepada pemerintah setempat
untuk dimaklumi.
4. Parisada setempat seterimanya surat permohonan itu
secepatnya melakukan penyelidikan dan testing bersama
calon nabe, guna mendapat kepastian tentang terpenuhi
atau tidaknya syarat-syarat di depan.
8 Tidak sulit mendapatkan buku tentang pandita dan juga tentang diksa.
Apabila ingin tahu lebih dalam tentang kedua hal ini, baca buku Kompilasi
Dokumen Literer 45 tahun Parisada oleh PHDI Pusat tahun 2010 hal 44-47. Buku
yan glainnya Menyiapkan Sulinggih Bagi Umat Hindu Antara Siksa dan Diksa, Makalah
Seminar Diksa, oleh Gede Anggan Suhandana, 2005.Yayasan Gosana Pusat
Denpasar.
30
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
Menjadi Pemangku
Pemangku artinya juru sapuh atau juru antebang banten di
pura sekadi pemangku Pura Desa (Simpen, 1985: 174). Dalam
Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I-XIV
diuraikan pemangku adalah rohaniawan Hindu tingkat ekajati
yang dapat digolongkan pinandita (Surpa, 1999: 41).
Dalam lontar “Tattwa Dewa” ditegaskan bahwa
pamangku yang berwenang mengantarkan upacara di pura
adalah sebagai berikut: “Mwah kang wenang ngaturang pabanten
de Mangku juga wenang sane wruh ring kandaning dewa tur ya wruh
ring utpeti, stiti, pralinaning dewa, ikang wruh ring tattwaning sad
rasa, ika juga maka wnangane angasrenin haturan ring bhatara mwah
sakahyangan sang haji Bali”. (Dan lagi yang berwenang
mengantarkan upacara persembahan adalah pamangku, yang
paham akan falsafah ketuhanan, dan paham untuk
31
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
32
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
33
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Pawos ……
34
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
Pawos ……..
35
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Pawos ……….
11 Struktur prajuru desa pakraman ini diambil dari contoh (imba) awig-awig
diterbitkan oleh Pemda Tk I Bali tahun 1991. Surat Dinas Agama Otonom Daerah Bali,
tanggal 29 Oktober 1956, Keputusan Maha Sabha Parisada Hindu Dharma ke II No :
V/Kep/PHD/1968, Keputusan Seminar ke I Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek
Agama Hindu tanggal 23 s/d 26 Pebruari 1975 di Amlapura tentang Kawikon.
36
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
IV
HUKUM DAN SANKSI
37
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
38
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
IV
HUKUM DAN SANKSI
39
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
buku dalam bahasa Indonesia yang perlu dibaca, seperti: Achmad Ali, 2002. Menguak
Tabir Huum. Gunung Agung, Jakarta. Van Apeldoorn, 1981. Pengantar Ilmu Hukum.
Pradnya Paramita, Jakarta. Satjipto Rahardjo, 1982. Ilmu Hukum. Alumni, Bandung.
40
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
15 Sebutan lain danda atau pamidanda, lihat Keputusan Kelian Desa Adat
Buleleng, Nomor : 1/1972, tentang Awig-awig Desa Buleleng, pasal 29. Lihat pula
halaman 44, “Pedoman Teknis Penyusunan Awig-awig dan Keputusan Desa Adat”,
yang dikeluarkan oleh Biro Hukum dan HAM Setda Bali tahun 2002.
41
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
1984. Antropologi dan Hukum. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. Soepomo, 1979. Bab-
Bab Tentang Hukum Adat. Jakarta, Pradnya Paramita. Soesilo, R, 1976. Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor,
Politeia.
42
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
17 Majelis Desa Pakraman dikenal dalam Perda Prop. Bali Nomor : 3/2001
43
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
18 Baca juga Biro Hukum dan HAM Setda Propinsi Bali “Pedoman/Teknis
Penyusunan Awig-awig dan Keputusan Desa Adat”, yang dikeluarkan oleh Biro
Hukum dan HAM Setda Propinsi Bali Tahun Anggaran 2002.
44
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
45
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
46
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
V
UPACARA AGAMA
YANG MEMILIKI KONSEKWENSI
HUKUM
47
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
48
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
V
UPACARA AGAMA
YANG MEMILIKI KONSEKWENSI HUKUM
49
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
50
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
Penjelasannya
Pasal 6
Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar
suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal
dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia,
maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak
51
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini
dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak
pria maupun wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah
seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6
ayat 3 dan 4 Undang-Undang ini, berlaku juga dalam
hal permintaan dispensasi tersebut ayat 2 pasal ini
dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal
6 ayat 6.
52
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
Pasal 3
1. Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria
hanya boleh mempunyai seorang istri . Seorang wanita
hanya boleh mempunyai seorang suami.
53
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Pasal 4
1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari
seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat 2
Undang-Undang ini, maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat
tinggal.
2. Pengadilan dimaksud ayat 1 pasal ini hanya
memberikan izin kepada seorang suami yang beristri
lebih dari seorang apabila :
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai
istri
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang
tidak dapat disembuhkan
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
1. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada
Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4
ayat 1 Undang-Undang ini harus dipenuhi syarat-
syarat sebagai berikut
a. adanya persetujuan dari istri/istri-istri;
b. adanya kepastian bahwa suami menjamin
keperluan –keperluan istri-istri dan anak-anak
mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
2. Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf a pasal
ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila
istri/istri-istrinya tidak mungkin diminta
persetujuannnya dan tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari
54
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
55
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
56
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
57
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
58
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
59
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
satu diantaranya telah diterbitkan dalam bentuk buku, yaitu: Perkawinan pada
Gelahang di Bali Ditinjau dari U.U. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disusun oleh
Putu Dyatmikawati, 2013. Unud Press, Denpasar.
60
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
61
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
19 Tentang arti dan makna asas paksa, lasia, dan satya tersebut, silahkan baca
Kata Pengantar Wayan P. Windia, dalam buku Perkawinan pada Gelahang di Bali
Ditinjau dari U.U. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disusun oleh Putu
Dyatmikawati, 2013. Unud Press, Denpasar.
62
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
63
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
64
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
65
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Upacara Perceraian
Perceraian yang dilaksanakan berdasarkan Hukum
Adat Bali dikenal dengan sebutan palas pada lasia
(perceraian dengan tulus ikhlas) atau dikenal pula dengan
perceraian pada lasia. Perceraian pada lasia mengandung
arti: (a) Perceraian selesai tuntas di hadapan prajuru desa
pakraman; (b) masing-masing pihak tidak akan
mempersoalkan harta gunakaya (harta perkawinan); (c)
pihak istri tidak akan mempersoalkan hak asuh anak. Anak
yang dilahirkan akan diasuh oleh ayahnya dan mengikuti
garis keturunan ayahnya; (d) masing-masing pihak tidak
akan mengajukan gugatan atau tuntutan dan pengaduan
apapun kepada penegak hukum, atas perbuatan yang
dilakukan oleh masing-masing pihak sesudah perceraian
pada lasia diselesaikan dan kasobyahang (diumumkan)
dihadapan paruman atau rapat desa atau banjar; (e) semua
yang tersebut dalam uraian pada nomor (a), (b), (c), dan (d)
di atas, dituangkan dalam bentuk surat pernyataan, yang
dibuat oleh pasangan cerai, disaksikan oleh masing-
masing orang tua dan disaksikan oleh prajuru desa
pakraman masing-masing.
Kelemahan perceraian pada lasia antara lain: (a) sulit
menjelaskan bahwa telah ada perceraian, terutama kepada
orang, lembaga, atau pihak lain yang berasal dari luar desa
66
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
Pasal 39
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan
bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup
rukun sebagai suami isteri.
(3) Tatacara perceraian di depan Sidang pengadilan
diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Penjelasan
Pasal 39.
(1) Cukup Jelas
67
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Pasal 40
(1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
(2) Tatacara mngajukan gugatan tersebut pada ayat 1
pasal ini diatur dalam paraturan perundangan sendiri.
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara
dan mendidik anak-anaknya semata-mata
berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai pengusaan anak-anak,
Pengadilan memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas biaya
pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan
anak itu bilamana Bapak dalam kenyataan tidak
68
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
69
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
70
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
21 Sebagai perbandingan, baca juga buku V.E. Korn, 1912. Bentuk-bentuk Sentana
Menurut Hukum Adat Bali Pada Masa Kolonial. Sebagian terjemahan dari buku Korn,
V.E.Korn, 1932. Adat Recht van Bali. Penerjemah I Gde Wayan Pangkat dan Ibu Mien
Joebaar. Unud Pres, Denpasar. Gde Panetja, 1989, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat
Bali, Guna Agung, Denpasar.
71
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
22 Adanya awig-awig desa pakraman tentang calon anak angkat dengan tata
urutan seperti ini, dilatarbelakangi oleh konsep pemikiran yang dikenal dengan
istilah matindih (setia dalam kata dan perbuatan selamanya, baik dalam keadaan suka
maupun duka). Seorang anak angkat yang berasal dari keluarga dekat (masih ada
hubungan darah), diyakini lebih matindih dibandingkan dengan anak angkat yang
tidak ada hubungan keluarga (hubungan darah). Keyakinan beragama penting untuk
diperhatikan, karena tujuan utama pengangkatan anak adalah untuk melanjutkan
swaadharma (tanggung jawab) orang tua angkatnya, baik dalam hubungan dengan
tanggung jawab parhyangan, pawongan, dan palemahan, sesuai dengan ajaran agama
Hindu.
72
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
memastikan apakah calon anak angkat beragama Hindu ataukah non Hindu. Krama
(anggota) desa/banjar pakraman dapat menolak seorang calon anak angkat dengan
alasan anak tersebut tidak beragama Hindu atau keyakinan agamanya tidak jelas,
karena dikhawatirkan anak angkat tersebut tidak mungkin untuk melaksanakan
swadharma terhadap masyarakat (seperti telah dijelaskan di atas). Dalam keadaan
sepeti ini kehadiran seorang anak angkat dalam satu keluarga bukannya meringankan
tugas dan tanggung jawab desa pakraman, sebaliknya justru akan mengganggu
kelangsungkan desa pakraman bersangkutan. Itu sebabnya desa/banjar pakraman
menolaknya.
73
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang - Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
74
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
75
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
76
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
77
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
78
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
yang wajib diucapkan, dan berbagai konsekwensi yang muncul sesuai lafal sumpah
yang dimaksud, baca buku Sumpah Cor, yang dususun oleh Wayan P. Windia (1997),
diterbitkan Upada Sastra, Denpasar.
79
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
80
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
81
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Upacara Mintonin
Mintonin dalam konteks pelaksanaan upacara
menurut agama Hindu mengandung dua pengertian. (1).
Mintonin dalam arti matur piuning atas seseorang (pada
umumnya bayi atau anak balita) yang baru pertama kali
diajak ke tempat suci (pura) tertentu. Untuk keselamatan
dan kedamaian sang balita dan keluarganya, biasanya
waktu pertama kali diajak ke pura, akan diadakan upacara
tertentu di pura bersangkutan khusus untuk bayi tersebut.
Upacara ini dikenal dengan sebutan mintonin. (2). Mintonin
dalam arti uji kesaktian, seperti: mintonin penari rangda
dengan menusukan sebilah keris, mintonin seseorang yang
pura-pura jadi mayat (dikenal dengan sebutan bangke-
bangkean) dengan mengundang orang-orang sakti,
mintonin orang kasurupan dengan menggunakan nyala atau
bara api, dll.
82
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
83
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Konsekwensi Hukum
Konsekwensi awal yang kemungkinan akan
dialami, antara lain: (1). Stress, karena didatangi aparat
penyelidik (kepolisian) silih berganti dengan pakaian
resmi atau pakaian tidak resmi (preman) untuk
mengumpulkan bahan dan keterangan (bukti permulaan)
terkait dengan perbuatan yang dilakukan. (2). Capek,
karena bolak balik ke kantor polisi (polsek atau polres)
memenuhi panggilan aparat kepolisian (penyidik) untuk
menentukan status yang bersangkutan berdasarkan
keterangan dan bukti permulaan yang didapat melalui
proses penyelidikan.
Sesudah melewati beberapa kali pemeriksaan, ada
beberapa kemungkinan konsekwensi hukum yang akan
terjadi, seperti: (1). Yang bersangkutan akan dilepaskan,
hanya bestatus sebagai saksi, atau sekalian menjadi
tersangka, tergantung dari alat bukti yang berhasil
dikumpulkan. (2). Bisa juga dipanggil oleh aparat
penuntut umum (kejaksanaan) untuk dimintai keterangan
tambahan sebelum dilakukan penuntutan di pengadilan.
(3). Konsekwensi hukum yang paling berat tentunya dapat
dijatuhi hukuman pidana melalui sidang di pengadilan,
kalau ditemukan alat bukti yang cukup dan disertai
84
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
Konsekwensi Sosial
Selain konsekwensi hukum seperti digambarkan di
atas, terhadap prajuru desa pakraman dan rohaniawan
Hindu yang kurang awas dan berhati-hati dalam
memimpin (muput) dan/atau menjadi saksi pelaksanaan
upacara menurut agama Hindu, ada kemungkinan pula
akan berhadapan dengan konsekwensi sosial, seperti
kewajiban melaksanakan sesuatu sesuai dengan norma
85
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
86
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
Daftar Pustaka
87
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
88
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
89
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Lontar:
Kusumadewa : Koleksi Pusat Dokumentasi
Kebudayaan Bali, Denpasar.
Raja Purana Gama : Koleksi Ida Pedanda Budha Geria
Taman Sukawati, Gianyar.
Tattwa Siwa Purana : Koleksi Pusat Dokumentasi
Kebudayaan Bali, Denpasar.
90
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
LAMPIRAN - LAMPIRAN
91
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
92
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
Lampiran 1
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN PESUARAN PENGHAPUSAN ADAT
YANG DISEBUT “MANAK SALAH” ATAU BUNCING
93
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Pasal 1
Apabila ada orang yang melahirkan anak laki
perempuan yang menurut Adat Bali Hindu dulu disebut
“manak salah” atau “buncing” maka setelah berlakunya
peraturan ini orang-orang bersangkutan tiada dianggap
bersalah dan tiada boleh dikenai hukuman apa juapun.
Pasal 2
Dengan berlakunya peraturan ini adat yang disebut
“manak salah” atau “buncing” dihapuskan.
Pasal 3
Peraturan ini dapat disebut peraturan penghapusan
adat “manak salah” atau “buncing” dan mulai berlaku pada
hari diumumkan.
t.t.d t.t.d
94
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
t.t.d. t.t.d.
t.t.d.
( I Wayan Parwata )
95
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Lampiran 2
MEMUTUSKAN:
I. Mencabut peswara tahun 1910 yang diubah dengan Beslit
Residen Bali dan Lombok tgl 13 Aperil 1927 No. 532
sepanjang yang mengenai “Asu Pundung” dan “Anglangkahi
Karang Hulu”.
96
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
Pasal 1
Yang disebut catur wangsa adalah :
1. Brahmanawangsa
2. Ksatryawangsa
3. Wasyawangsa
4. Sudrawangsa
Pasal 2
Yang disebut Asu Pundung ialah :
Gadis (wanita) dari kasta Brahmanawangsa dikawini oleh laki-
laki dari kasta Ksatrya, Wesya dan Sudrawangsa.
Pasal 3
a. Gadis (wanita) dari Ksatryawangsa dikawini oleh laki-laki
dari kasta Wesya, Sudrawangsa.
b. Gadis (wanita) dari kasta Wesyawangsa dikawini oleh laki-
laki dari kasta Sudrawangsa.
Pasal 4
Hukum adat yang disebut Asu Pundung dan Anglangkahi
Karang Hulu, termuat pada pasal 2 dan 3 dihapuskan.
Pasal 5
Peraturan ini dapat disebut peraturan perhubungan
perkawinan antara catur wangsa di Bali dan mulai berlaku
pada hari diumumkan.
97
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
t.t.d t.t.d.
ttd ttd
( I Wayan Parwata)
98
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
Lampiran 3
U.U.D. 1945
99
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Pasal 18 B
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-
undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indodnesia, yang diatur
dalam undang-undang.
Pasal 28I
1. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun.
2. Setiap orang berhak bebas dan perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu.
3. Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban.
4. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara,
terutama pemerintah.
100
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
Pasal 47
Peraturan-peraturan ketatanegaraan negara-negara
haruslah menjamin hak atas kehidupan rakyat sendiri kepada
pelbagai persekutuan rakyat di dalam lingkugan daerah
mereka itu dan harus pula mengadakan kemungkinan untuk
mewujudkan hal itu secara kenegaraan dengan aturan-aturan
tentang penyusunan persekutuan itu secara demokratis dalam
daerah-daerah otonomi.
Pasal 6
(1) Dalam rangka menegakkan HAM perbedaan dan
kebutuhan masyarakat hukum adat harus diperhatikan
dan dilindungi oleh hukum masyarakat dan
pemerintah.
(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat termasuk hak
atas tanah ulayat dilindungi selaras dengan
perkembangan jaman.
101
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Penjelasan pasal 6
Ayat 1
Hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung
tinggi dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus
dihormati dan dilindungi dalam rangka perlingkugan dan
penegakkan HAM dalam masyarkat yang bersangkutan
dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-
undangan.
Ayat (2)
Dalam rangka penegakkan HAM identitas budaya nasional
masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara
nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat
setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak
bertentangan dengan azas-azas negara hukum yang
berintikan keadilan dan kesejahtraan rakyat.
102
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan
nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,
dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati
dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2. Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
3. Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut
dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Desa.
BAB II
KEDUDUKAN DAN JENIS DESA
Bagian Kesatu
Kedudukan
103
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Pasal 5
Desa berkedudukan di wilayah kabupaten/kota.
Bagian Kedua
Jenis Desa
Pasal 6
(1) Desa terdiri atas Desa dan Desa Adat.
(2) Penyebutan Desa atau Desa Adat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disesuaikan dengan penyebutan yang
berlaku di daerah setempat.
BAB XIII
KETENTUAN KHUSUS DESA ADAT
Bagian Kesatu
Penataan Desa Adat
Pasal 96
Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah
Daerah kabupaten/kota melakukan penataan kesatuan
masyarakat hukum adat dan ditetapkan menjadi Desa Adat.
Pasal 97
(1) Penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 96 memenuhi syarat:
a. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang
bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat
fungsional;
104
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
105
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Pasal 98
(1) Desa Adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah
kabupaten/kota.
(2) Pembentukan Desa Adat setelah penetapan Desa Adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan faktor penyelenggaraan Pemerintahan
Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan
kemasyarakatan Desa, serta pemberdayaan masyarakat
Desa dan sarana prasarana pendukung.
Pasal 99
(1) Penggabungan Desa Adat dapat dilakukan atas prakarsa
dan kesepakatan antar-Desa Adat.
(2) Pemerintah Daerah kabupaten/kota memfasilitasi
pelaksanaan penggabungan Desa Adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
106
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
Pasal 100
(1) Status Desa dapat diubah menjadi Desa Adat, kelurahan
dapat diubah menjadi Desa Adat, Desa Adat dapat
diubah menjadi Desa, dan Desa Adat dapat diubah
menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa masyarakat
yang bersangkutan melalui Musyawarah Desa dan
disetujui oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
(2) Dalam hal Desa diubah menjadi Desa Adat, kekayaan
Desa beralih status menjadi kekayaan Desa Adat, dalam
hal kelurahan berubah menjadi Desa Adat, kekayaan
kelurahan beralih status menjadi kekayaan Desa Adat,
dalam hal Desa Adat berubah menjadi Desa, kekayaan
Desa Adat beralih status menjadi kekayaan Desa, dan
dalam hal Desa Adat berubah menjadi kelurahan,
kekayaan Desa Adat beralih status menjadi kekayaan
Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
Pasal 101
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi, dan
Pemerintah Daerah kabupaten/kota dapat melakukan
penataan Desa Adat.
(2) Penataan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
(3) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disertai lampiran peta batas wilayah.
Pasal 102
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2)
berpedoman pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7, Pasal 8, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17.
107
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Bagian Kedua
Kewenangan Desa Adat
Pasal 103
Kewenangan Desa Adat berdasarkan hak asal usul
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi:
a. pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan
susunan asli;
b. pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat;
c. pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat;
d. penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat
yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras
dengan prinsip hak asasi manusia dengan
mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;
e. penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa
Adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
f. pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat
Desa Adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di
Desa Adat; dan
g. pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan
kondisi sosial budaya masyarakat Desa Adat.
Pasal 104
Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan
kewenangan berskala lokal Desa Adat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b serta Pasal 103 diatur dan
diurus oleh Desa Adat dengan memperhatikan prinsip
keberagaman.
108
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
Pasal 105
Pelaksanaan kewenangan yang ditugaskan dan pelaksanaan
kewenangan tugas lain dari Pemerintah, Pemerintah Daerah
provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c dan huruf d
diurus oleh Desa Adat.
Pasal 106
(1) Penugasan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah kepada Desa Adat meliputi penyelenggaraan
Pemerintahan Desa Adat, pelaksanaan Pembangunan
Desa Adat, pembinaan kemasyarakatan Desa Adat, dan
pemberdayaan masyarakat Desa Adat.
(2) Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai
biaya.
Bagian Ketiga
Pemerintahan Desa Adat
Pasal 107
Pengaturan dan penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat
dilaksanakan sesuai dengan hak asal usul dan hukum adat
yang berlaku di Desa Adat yang masih hidup serta sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan tidak bertentangan
dengan asas penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat dalam
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
109
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Pasal 108
Pemerintahan Desa Adat menyelenggarakan fungsi
permusyawaratan dan Musyawarah Desa Adat sesuai dengan
susunan asli Desa Adat atau dibentuk baru sesuai dengan
prakarsa masyarakat Desa Adat.
Pasal 109
Susunan kelembagaan, pengisian jabatan, dan masa jabatan
Kepala Desa Adat berdasarkan hukum adat ditetapkan dalam
peraturan daerah provinsi.
Bagian Keempat
Peraturan Desa Adat
Pasal 110
Peraturan Desa Adat disesuaikan dengan hukum adat dan
norma adat istiadat yang berlaku di Desa Adat sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 111
(1) Ketentuan khusus tentang Desa Adat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 96 sampai dengan Pasal 110 hanya
berlaku untuk Desa Adat.
(2) Ketentuan tentang Desa berlaku juga untuk Desa Adat
sepanjang tidak diatur dalam ketentuan khusus tentang
Desa Adat.
110
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
Pasal 6
Ketentuan ini untuk mencegah terjadinya tumpang
tindih wilayah, kewenangan, duplikasi kelembagaan
antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah maka
dalam 1 (satu) wilayah hanya terdapat Desa atau Desa
Adat.
Untuk yang sudah terjadi tumpang tindih antara Desa
dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah, harus dipilih salah
satu jenis Desa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
ini.
Pasal 96
Penetapan kesatuan masyarakat hukum adat dan Desa
Adat yang sudah ada saat ini menjadi Desa Adat hanya
dilakukan untuk 1 (satu) kali.
Pasal 97
Ketentuan ini sesuai dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi, yaitu:
a. Putusan Nomor 010/PUU-l/2003 perihal Pengujian
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 53 Tahun
1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan,
Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir,
Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten
Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota
Batam;
111
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Pasal 98
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penetapan Desa Adat”
adalah penetapan untuk pertama kalinya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Ayat (1)
Perubahan status Desa Adat menjadi kelurahan harus
melalui Desa, sebaliknya perubahan status kelurahan
menjadi Desa Adat harus melalui Desa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
112
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Huruf a
Yang dimaksud dengan “susunan asli” adalah sistem
organisasi kehidupan Desa Adat yang dikenal di
wilayah masing-masing.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “ulayat atau wilayah adat”
adalah wilayah kehidupan suatu kesatuan masyarakat
hukum adat.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 104
Yang dimaksud dengan “keberagaman” adalah
penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat yang tidak
boleh mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu.
113
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
114
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
Pasal 1 huruf o.
Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan
adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan
nasional dan berada di daerah kabupaten.1
Pasal 104
Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama
lain berfungsi mengayomi adat-istiadat, membuat peraturan
desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintah desa.
Pasal 111
(1) Pengaturan lebih lanjut mengenai desa ditetapkan
dalam peraturan daerah kabupaten, sesuai dengan
dalam U.U.No : 22/1999, dari awal memang tidak dimaksudkan untuk mengecilkan
keberadaan organisasi tradisional yang telah ada, seperti negari, kampung, marga,
desa pakraman (desa adat di Bali), melainkan justru harus disesuaikan dengan
kondisi sosial budaya masyarakat setempat dan berfungsi mengayomi adat istiadat.
115
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Pasal 1 huruf d
Badan Perwakilan Desa yang selanjutnya disebut BPD
adalah badan perwakilan yang terdiri atas pemuka-pemuka
masyarakat di desa yang berfungsi mengayomi adat-istiadat,
membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan
aspirasi masyarakat serta melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan desa.
Pasal 9
(1) Sebutan untuk Desa, Kepala Desa, Badan Perwakilan
Desa dan perangkat desa, dapat disesuaikan dengan
kondisi sosial budaya dan adat istiadat masyarakat
setempat.
116
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
Pasal 43
Pemerintah Kabupaten dapat menetapkan berbagai
kebijaksanaan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian
dan pengembangan adat istiadat dan lembaga adat
diwilayahnya.
117
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Lampiran 4
I. Program Unggulan
1. Mempertahankan jiwa pramana desa pakraman Bali,
berdasarkan agama Hindu.
2. Memperjuangkan diakuinya secara tegas desa
pakraman sebagai subjek hukum yang mempunyai hak
atas tanah berdasarkan undang-undang atau peraturan
lainnya yang berlaku.
3. Mempertahankan hukum adat Bali, termasuk hukum
keluarga, yang dilandasi ajaran agama Hindu, dengan
menyusun rumusan kesatuan tafsir tentang hukum adat
Bali.
4. Mengoptimalkan peran dan fungsi desa pakraman
beserta jajaran Majelis Desa Pakraman dalam
118
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
119
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
120
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
121
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
122
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
123
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut di atas, maka Pasamuhan Agung III Majelis
Desa Pakraman Bali memutuskan sebagai berikut.
124
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
125
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
126
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
127
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Rekomendasi
• Terkait dengan LPD, direkomendasikan supaya
MUDP Bali berkoordinasi dengan Pemerintah
Provinsi Bali dan DPRD Bali agar revisi Peraturan
Daerah Provinsi Bali tentang Desa Pakraman,
Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang LPD, serta
Peraturan Daerah-Peraturan Daerah lain yang
128
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
129
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
130
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
131
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
132
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
133
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
134
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
135
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
136
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
137
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
b. Kewajiban Tamiu
(1) Tamiu wajib menciptakan kasukertan desa
pakraman bersama-sama krama desa dan krama
tamiu, dan aktivitas lainnya yang berhubungan
dengan kemanusiaan dan kelestarian
lingkungan alam, sepanjang tidak terkait
langsung dengan parahyangan (keyakinan
beragama menurut ajaran Hindu).
(2) Kewajiban tersebut dituangkan dalam bentuk
sikap saling menghormati disertai pawedalan
(urunan) dan ayah-ayahan (wajib kerja) yang
dapat diganti dengan uang dan jumlah
keduanya tidak lebih daripada 30% (tiga puluh
per seratus) daripada kewajiban krama desa,
serta dapat memberikan dana punia (sumbangan
sukarela).
138
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
139
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
140
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
141
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
142
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
143
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
144
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
Lampiran 5
145
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
MEMUTUSKAN:
A. PENDAHULUAN.
Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat senantiasa
mendukung kebijakan pemerintah dalam Pembangunan
Nasional sebagaimana ditegaskan dalam GBHN Tahun 1993
Bahwa Pembangunan jangka panjang 25 tahun tahap I
merupakan proses berlanjut, peningkatan, perluasan dan
pembaharuan dari pembangunan jangka panjang 25 tahun,
tahun I.
Dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap II, bangsa
Indonesia memasuki proses tinggal landas menuju
terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila.
Dalam rangka menyukseskan pelaksanaan
Pembangunan Nasional kecenderungan-kecenderungan yang
diperkirakan timbul khususnya yang berdampak negatif perlu
diwaspadai, dan kendala-kendala yang muncul perlu
ditanggulangi secara dini, tepat dan benar.
Mengingat bangsa Indonesia akan segera memasuki
tahap tinggal landas dan meningkatnya kemajuan
industrialisasi dan globalisasi yang ditunjang oleh kemajuan
ilmu pengetahuan dan tehnologi, dimana Bali merupakan
daerah wisata utama. Untuk menjamin kelancaran
pembangunan Nasional maka dibutuhkan landasan-landasan
pembangunan Agama Hindu dan kebudayaan secara kuat dan
ampuh.
146
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
B. UMUM.
1. Agama Hindu dalam kitab sucinya yaitu Weda-Weda
telah menguraikan tentang apa yang disebut dengan
tempat-tempat Suci dan Kawasan Suci, Gunung
Danau, Campuhan ( pertemuan Sungai), Pantai, Laut
dan sebagainya diyakini memiliki nilai-nilai kesucian.
Oleh karena itu Pura dan tempat-tempat suci
umumnya didirikan di tempat tersebut, karena di
tempat itu orang-orang dan umat Hindu
mendapatkan pikiran-pikiran (Wahyu).
2. Tempat-tempat suci tersebut telah menjadi pusat-
pusat bersejarah yang melahirkan karya-karya besar
abadi lewat tangan-tangan orang suci dan para
pujangga untuk kedamaian dan kesejahteraan umat
manusia. Maka didirikanlah Pura Sad Kahyangan, dan
Kahyangan Tiga, dan lain-lain. Tempat-tempat suci
tersebut memiliki radius kesucian yang disebut
kekeran dengan ukuran apeneleng, apenimpug, dan
apenyengker. Untuk pura Sad Kahyangan dipakai
ukuran apeneleng agung (minimal lima kilometer dari
pura), untuk Dang Kahyangan dipakai ukuran
apeneleng alit (minimal dua kolimeter dari pura), dan
147
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
C. KHUSUS
1. Menyadari bahwa suksesnya pembinaan Umat Hindu
dan kebudayaan menyebabkan pariwisata budaya,
maka diperlukan kerjasama yang sebaik-baiknya
148
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
t.t.d. t.t.d.
149
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Lampiran 6
Pasal 44
(1) Kawasan perlindungan setempat, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (1) huruf b, mencakup:
a. kawasan suci;
b. kawasan tempat suci;
c. kawasan sempadan pantai;
d. kawasan sempadan sungai;
e. kawasan sempadan jurang;
f. kawasan sekitar danau atau waduk; dan
g. ruang terbuka hijau kota.
150
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
151
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
152
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
Pasal 45
(1) Kawasan suaka alam pelestarian alam dan cagar budaya,
sebagaimana dimaksud dalam Pasat 42 ayat (1) huruf c,
mencakup:
a. kawasan suaka alam;
b. kawasan pantai berhutan bakau;
c. kawasan taman nasional dan taman nasional laut;
d. kawasan taman hutan raya;
e. kawasan taman wisata alam dan taman wisata alam
laut;
f. kawasan konservasi pesisir dan pulau-putau kecil;
dan
g. kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.
153
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
154
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
155
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Pasal 50
(1) Kawasan suci sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat
(1) huruf a, ditetapkan dengan kriteria:
a. kawasan suci gunung merupakan kawasan gunung
dengan kemiringan sekurang-kurangnya 45 (empat
puluh lima) derajat sampai puncak;
b. kawasan suci danau disetarakan dengan kawasan
resapan air;
156
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
157
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
158
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
159
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Penjelasan Pasal-pasal
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas
160
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
Ayat(2)
Yang dimaksud kawasan suci menurut Bhisama PHDIP
1994, adalah Gunung, Danau, Campuhan (pertemuan
dua sungai), Pantai, Laut dan sebagainya diyakini
memiliki nilai-nilai kesucian.
Perlindungan terhadap kawasan suci terkait dengan
perwujudan tri hita karana, yang ditandasi oleh
penerapan ajaran sad kertih.
Huruf a
Yang dimakud kawasan suci gunung adalah
mencakup seluruh kawasan dengan kemiringan
sekurang-kurangnya 45 derajat dilihat dari kaki
lereng gunung menuju ke puncak gunung.
Huruf b
Yang dimaksud kawasan suci danau adalah
kawasan perairan danau alam beserta sempadan
danau yang terdapat di Provinsi Bali meliputi
Kawasan Danau Batur, Danau Beratan, Danau
Buyan, dan Danau Tamblingan. Arahan
pengelolaan kawasan suci danau disetarakan
dengan kawasan sempadan mata air dan
kawasan sempadan danau atau waduk.
Huruf c
Yang dimaksud kawasan suci campuhan adalah
kawasan pertemuan aliran dua buah sungai, di
Bali. Arahan pengelolaan kawasan suci
campuhan disetarakan dengan kawasan
sempadan sungai.
161
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Huruf d
Yang dimaksud kawasan suci pantai adalah
tempat-tempat tertentu di kawasan pantai
dimanfaatkan untuk upacara melasti di seluruh
pantai Provinsi Bali. Arahan pengelolaan
kawasan suci pantai disetarakan dengan
kawasan sempadan pantai.
Huruf e
Yang dimaksud kawasan suci laut adalah
kawasan perairan laut yang difungsikan untuk
tempat melangsungkan upacara keagamaan
bagi Umat Hindu.
Huruf f
Yang dimaksud kawasan suci mata air adalah
kawasan di sekitar sumber mata air yang
difungsikan untuk tempat upacara keagamaan
bagi umat Hindu.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
162
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
Ayat (9)
Yang dimaksud kawasan tempat suci adalah
kawasan di sekitar tempat suci/bangunan suci yang
ada di Bali yang disebut Pura atau Kahyangan yang
berwujud bangunan yang disakralkan sebagai
tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa, terdiri
dari Kahyanqan Tiga, Dhang Kahyanqan, Kahyanqan
Jagat, Sad Kahyangan dan pura lainnya.
Bhisama Parisadha Hindu Dharma Indonesia
mengenai Kesucian Pura Nomor 11
/Kep/I/PHDI/1994 tertanggal 25 Januari 1994,
menyatakan bahwa tempat-tempat suci tersebut
memiliki radius kesucian yang disebut daerah
Kekeran, dengan ukuran Apeneleng, Apenimpug,
dan Apenyengker. Bhisama Kesucian Pura adalah
norma agama yang ditetapkan oleh Sabha Pandita
PHDI Pusat, sebagai pedoman pengamalan ajaran
Agama Hindu tentang kawasan kesucian pura yang
belum dijelaskan secara lengkap dalam kitab suci.
Rincian Bhisama kesucian pura adalah:
1. Untuk Pura Sad Kahyangan diterapkan ukuran
Apeneleng Agung (minimal 5 km dari Pura).
2. Untuk Pura Dang Kahyangan diterapkan
ukuran Apeneleng Alit (minimal 2 km dari Pura).
3. Untuk Pura Kahyangan Tiga dan lain-lain
diterapkan ukuran Apenimpug atau Apenyengker.
Selanjutnya Bhisama Kesucian Pura juga mengatur
pemanfaatan ruang di sekitar pura yang berbunyi
sebagai berikut :
163
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
164
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
Ayat (10)
Sebaran lokasi radius kesucian kawasan Pura
Kahyangan Sad didasarkan pada konsepsi Rwa
Bhineda, Guna, Catur Lokapala, Sad Winayaka/Padma
Bhuana mencakup:
1. Pura Lempuyang Luhur (Puncak Gunung
Lempung di Kabupaten Karangasem).
2. Pura Andakasa (Puncak Gunung Andakasa di
Kabupaten Karangasem).
3. Pura Batukaru (lereng Gunung Batukaru di
Kabupaten Tabanan).
4. Pura Batur (tepi kawah Gunung Batur di
Kabupaten Bangli).
5. Pura Goa Lawah (di Kabupaten Klungkung).
6. Pura Luhur Uluwatu (Bukit Pecatu di
Kabupaten Badung).
7. Pura Pucak Mangu (di Kabupaten Badung).
8. Pura Agung Besakih (lereng Gunung Agung di
Kabupaten Karangasem).
9. Pura Pusering Jagat (Pejeng di Kabupaten
Gianyar).
10. Pura Kentel Gumi (di Kecamatan Banjarangkan
Kabupaten Klungkung).
165
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Ayat (11)
Sebaran lokasi radius kesucian kawasan Pura Dang
Kahyangan tersebar di seluruh wilayah
kabupaten/kota.
Ayat (12)
Sebaran lokasi radius kesucian kawasan Pura
Kahyangan Tiga, mencakup seluruh Pura
Kahyangan Tiga di tiap-tiap desa pekraman beserta
pura-pura lainnya di seluruh Bali
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2),
Huruf a
Radius kawasan tempat suci di sekitar Pura Sad
Kahyangan selanjutnya diatur dalam arahan
peraturan zonasi yang dipolakan dalam 3 (tiga)
strata zona terdiri atas zona utama, dan zona
kanishta.
Huruf b
Radius kawasan tempat suci di sekitar Pura
Dang Kahyangan selanjutnya diatur dalam
arahan peraturan zonasi yang dipolakan dalam
3 (tiga) strata zona terdiri atas zona utama, dan
zona kanishta.
166
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
Huruf c
Apenimpug dapat diperkirakan minimal 25 (dua
puluh lima) meter berlaku untuk pura yang di
luar kawasan permukiman, sedangkan
apenyengker minimal 5 (lima) meter,
diberlakukan untuk pura yang ada di dalam
lingkungan perumahan.
Selanjutnya juga perlu diatur sempadan
bangunan gedung yang berada di sekitar Pura
Kahyangan Tiga adalah 25 (dua puluh lima)
meter untuk Bangunan tidak bertingkat dan 50
(lima puluh) meter untuk bangunan bertingkat.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
167
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
Lampiran 7
168
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E
169
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM
TENTANG PENULIS
I Gusti Ngurah Sudiana, lahir di Desa Adat Santi, Desa
Selat, Kabupaten Karangasem, 31 Desember 1967. Suami
dari Dr. Dra. Relin D E., M.Ag ini menyelesaikan
pendidikan S3 pada Program Studi Kajian Budaya,
Universitas Udayana. Sempat dipercaya sebagai Ketua I
PHDI Bali bidang Agama dan Adat. Tahun 2007 – sekarang Ketua
PHDI Bali, dan juga Litbang PHDI Pusat. Menjadi Dekan Fakultas
Dharmaduta IHDN Denpasar 2009-2013.
170