Anda di halaman 1dari 180

I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.

PRAJURU
DESA PAKRAMAN
ROHANIAWAN HINDU
DAN HUKUM
Ketentuan Hukum yang Perlu Diketahui dan Dipahami
oleh Prajuru Desa Pakraman dan Rohaniawan Hindu

i
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 2
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan
atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa
mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana
Pasal 72
1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan penjara masing-masing
paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum
suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terbit sebagai dimaksud pada Ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

ii
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

PRAJURU
DESA PAKRAMAN
ROHANIAWAN HINDU
DAN HUKUM
Ketentuan Hukum yang Perlu Diketahui dan Dipahami
oleh Prajuru Desa Pakraman dan Rohaniawan Hindu

I GusƟ Ngurah Sudiana


Wayan P. Windia
Relin D.E

Swasta Nulus
2016

iii
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

PRAJURU
DESA PAKRAMAN
ROHANIAWAN HINDU
DAN HUKUM
Ketentuan Hukum yang Perlu Diketahui dan Dipahami
oleh Prajuru Desa Pakraman dan Rohaniawan Hindu

Penulis:
I Gusti Ngurah Sudiana
Wayan P. Windia
Relin D.E

Cover & Ilustrasi:


Repro

Lay Out:
Swasta Nulus

Diterbitkan oleh:
Swasta Nulus
Bekerjasama dengan
“Bali Shanti” Pusat Pelayanan Konsultasi Adat dan
Budaya Bali LPPM Unud, dan Puslit Hukum Adat LPPM Unud

Cetakan Pertama:
2016, ix + 170 hlm, 14,8 x 21 cm
ISBN: 978-602-7599-33-8

Hak Cipta pada Penulis.


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang :
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.

iv
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Kata Pengantar

S ecara kasat mata, buku ini memang kami susun


bertiga (I Gusti Ngurah Sudiana Wayan P. Windia,
dan Relin D.E). Tetapi kami yakin seyakin-yakinnya, buku ini
tidak akan pernah tersusun dan terbit tanpa melibatkan banyak
orang dan banyak pihak, yang dilakukan secara langsung
maupun tidak langsung. Untuk itu, terima kasih disampaikan
kepada semua pihak yang turut berperan serta dalam
penyusunan buku ini.
Secara khusus ucapan terima kasih disampaikan
kepada Ir I Wayan Sudarta, seorang pengusaha dari Desa Adat
Intaran, Sanur, Kota Denpasar, atas segala bantuannya,
sehingga buku ini dapat diterbitkan sesuai harapan.
Penghargaan yang sama juga disampaikan kepada
semua pihak yang turut berperan serta dalam penyusunan dan
penerbitan buku ini, yang tidak mungkin disebutkan siki kalih
(satu persatu).
Buku ini ditulis untuk memenuhi beberapa harapan,
seperti yang tertuang dalam tujuan dan manfaat penulisan
buku ini seperti yang telah dikemukakan di atas. Selain itu,
terbitnya buku ini diharapkan dapat memperkaya bahan
bacaan tentang rohaniawan Hindu dan prajuru desa pakraman,
terutama dalam hubungan dengan aktivitas memimpin
dan/atau menjadi saksi pelaksanaan upacara tertentu sesuai
dengan ajaran agama Hindu.

v
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

Kekuarangan pasti ada dan rencananya akan


disempurnakan dalam penerbitan berikutnya. Terlepas dari
kekuarangannya, buku ini juga diharapkan dapat digunakan
sebagai penuntun bagi rohaniawan Hindu dan prajuru desa
pakraman dalam melaksanakan swadharma (tanggung
jaweabnya) masing-masing. Semoga.

Denpasar, 17 Maret 2016

Penyusun

vi
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Daftar Isi

Kata Pengantar ....................................................................... v


Daftar Isi .................................................................................. vii

I. Pendahuluan
1. Latar Belakang ........................................................... 3
2. Permasalahan ............................................................. 6
3. Tujuan dan Manfaat .................................................. 7
4. Metode Penulisan ...................................................... 8

II. Desa Pakraman dan Prajuru Desa Pakraman


1. Desa Pakraman .......................................................... 13
2. Prajuru Desa Pakraman ............................................ 16
a. Pengertiannya ...................................................... 16
b. Struktur dan Personalianya ............................... 16
c. Persyaratan dan Cara Menetapannya .............. 18
d. Tugas dan Wewenangnya ................................. 20

III. Rohaniawan Hindu


1. Pengertiannya ............................................................ 25
2. Persyaratan dan Cara Penetapannya ...................... 26
3. Tugas dan Wewenangnya ........................................ 33

IV. Hukum dan Sanksi


1. Pengertian dan Tujuan Hukum ............................... 39
2. Pengertian dan Tujuan Sanksi ................................. 40
3. Hukum dan Sanksi yang Berlaku dalam
Masyarakat ................................................................. 42

vii
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

V. Upacara Agama yang Memiliki Konsekwensi Hukum


1. Upacara Perkawinan dan Keluarga ........................ 50
Upacara Perkawinan Pertama. ................................ 50
Upacara Perkawinan Kedua, Dst. ........................... 53
Upacara Perkawinan di Luar Rumah ..................... 56
Upacara Perkawinan Pada Gelahang ..................... 59
Upacara Perkawinan Ngrorod dan Melegandang .... 62
Upacara Perkawinan yang Tidak Lasim ................ 65
Upacara Perceraian .................................................... 66
Upacara Pengangkatan Anak ................................. 71
Upacara Pengangkatan Anak (Bayi) Terlantar ...... 75
Upacara Pengukuhan Sentana Rajeg ........................ 76

2. Upacara yang Lain ..................................................... 78


Upacara Sumpah Cor ................................................ 78
Upacara Madewa Saksi ............................................... 80
Upacara Ngeruak karang ........................................... 81
Upacara Mintonin ...................................................... 82

3. Konsekwensi Hukum dan Konsekwensi Sosial ... 83


Konsekwensi Hukum ................................................ 84
Konsekwensi Sosial ................................................... 85

Daftar Pustaka ........................................................................ 87

Lampiran-lampiran

Lampiran 1 ............................................................................... 93
Keputusan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
DAERAH BALI Nomor: 10/D.P.R.D. tentang manak
salah atau kembar buncing.

viii
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Lampiran 2 ............................................................................... 96
Keputusan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
DAERAH BALI Nomor: 11/D.P.R.D. Asu Pundung
Dan Anglangkahi Karang Hulu.

Lampiran 3 ............................................................................... 99
Landasan Yuridis Hukum Adat

Lampiran 4 .............................................................................. 118


Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali (MUDP)
Bali Nomor 01/KEP/PSM 3/MDP Bali/X/2010,
tanggal 15 Oktober 2010, tentang Hasil-hasil
Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman (MDP)
Bali, Diselenggarakan 15 Oktober 2010, Bertempat di
Gedung Wiswasabha, Kantor Gubernur Prov. Bali.

Lampiran 5 ............................................................................... 145


KEPUTUSAN PARISADA HINDU DHARMA
INDONESIA PUSAT NOMOR:
11/KEP/I/PHDIP/1994 TENTANG BHISAMA
KESUCIAN PURA

Lampiran 6 ............................................................................... 150


Kawasan Suci dalam Perda Prov. Bali No 16 Tahun 2009
tentang RTRW Prov. Bali 2009 – 2029

Lampiran 7 ............................................................................... 168


Foto dan Ilustrasi

Tentang Penulis ..................................................................... 170

ix
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

x
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

I
PENDAHULUAN

1
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

2
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

H itungan kasar menunjukan bahwa buku-buku


tentang rohaniawan Hindu (pandita, pinandita
dan/atau pemangku), lebih banyak jumlahnya dibandingkan
dengan buku-buku tentang prajuru (perangkat pimpinan desa
adat atau desa pakraman). Beberapa contoh buku tentang
rohaniawan Hindu, antara lain: Parisadha Pusat, 1986/1987.
“Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu Ke
14/1986/1987”. Tanggal 11 Maret 1987, Mengenai Kawikon dan
Pelaksanaan Diksa. Pudja, Gde dan Sudharta, Tjok Rai 1984.
Manawadharmasastra, Dirjen Bimas Hindu dan Bhuda Jakarta.
Parisadha Hindu Dharma Indonesia Pusat, 1968: Ketetapan
PHDI No.V/Kep/PHDP/68. Putra, Ngakan Pt. dkk, 2010.
Kompilasi Dokumen Literer 45 Tahun Parisada.Jakarta. PHDI Pusat
Putra, IG Mas, 2006. Panca Yadnya. Denpasar. Pemda Tk I Bali.
Puniatmadja, Ida Bagus, 1976. Silakrama, Denpasar. Parisada
HIndu Dharma Hindu Dharma Pusat.
Buku apa yang dapat dijadikan penuntun bagi prajuru
desa pakraman dalam menjalankan tugasnya? Jumlah buku yang
secara eksplisit menegaskan tentang tata titining (panduan)
prajuru desa pakraman tidak banyak. Beberapa buku-buku yang
dimaksud, antara lain: Biro Hukum dan HAM Setda Propinsi
Bali Tahun Anggaran 2002. “Pedoman/Teknis Penyusunan

3
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

Awig-awig dan Keputusan Desa Adat”, yang dikeluarkan oleh


Biro Hukum dan HAM Setda Propinsi Bali Tahun Anggaran
2002. Sudantra, I Ketut dan Wayan P. Windia, 2012. Sasana
Prajuru Desa. Tata Laksana Pimpinan Desa Adat di Bali. Udayana
Univestity Press, Denpasar.
Di lain pihak, substansi perundang-undangan,
berbagai bentuk peraturan, dan tata krama kehidupan yang
patut diketahui dan dipahami oleh prajuru sebelum dan pada
waktu melaksanakan tugas dan pengabdiannya di desa
pakraman, cukup banyak. Substansi perundang-undangan,
berbagai bentuk peraturan, dan tata krama kehidupan yang
dimaksud tersebar dalam berbagai judul buku. Beberapa buku
yang dimaksud, antara lain disusun oleh Wayan P. Windia,
dkk, 2013. Kompilasi Aturan tentang Desa Adat di Bali. Unud
Press, Denpasar.
Dengan demikian tampak jelas bahwa kalau buku yang
dijadikan ukuran, menjadi rohaniawan Hindu relatif lebih
mudah dibandingkan dengan menjadi prajuru desa pakraman.
Tinggal memastikan apakah buku-buku yang telah ada,
dimiliki, dibaca, dan dimengerti oleh yang bersangkutan.
Apabila buku-buku yang dimaksud benar-benar telah dimiliki,
dibaca, dan dimengerti, kemungkinan lebih mudah dan lebih
percaya diri dalam menjalankan swadharma (tanggung jawab)
masing-masing. Sebalinya, apabila buku-buku yang dimaksud
tidak dimiliki atau dimiliki tetapi kurang dimengerti,
kemungkinan yang bersangkutan kurang percaya diri dalam
menjalankan swadharma-nya.
Terlepas dari jumlah buku tentang rohaniawan Hindu
dan prajuru yang tersedia, ada satu hal yang menarik untuk
dicermati. Ternyata sampai sekarang belum ada buku yang

4
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

menjelaskan mengenai keberadaan prajuru desa pakraman dan


rohaniawan Hindu dalam hubungannya dengan pelaksanaan
upacara tertentu bagi umat Hindu yang dapat menyebabkan
perubahan status hukum dan perbuatan hukum. Dengan kata
lain dapat dikemukakan, selama ini belum ada buku penuntun
bagi prajuru desa pakraman dan rohaniawan Hindu, dalam
memimpin dan/atau menjadi saksi pelaksanaan upacara
tertentu yang dapat mengubah status atau kedudukan hukum
seseorang. Beberapa contoh upacara yang dimaksud, antara
lain: Upacara perkawinan, upacara perceraian, upacara
pengangkatan anak, upacara ngeruak karang, upacara sumpah
cor, upacara mangening-ening atau madewa saksi, upacara
pengukuhan sentana rajeg, upacara mintonin.
Ketidakadaan buku penuntun yang dimaksud, dapat
menimbulkan keraguan bagi prajuru desa pakraman dan
rohaniawan Hindu dalam memimpin dan/atau menjadi saksi
pelaksanaan upacara yang dimaksud. Mereka diselimuti
perasaan ragu, karena ada beberapa pengalaman prajuru desa
pakraman dan rohaniawan Hindu, harus berhadapan dengan
pihak berwajib, gara-gara memimpin dan/atau menjadi saksi
dalam pelaksanaan upacara tertentu. Contoh kasus seperti
yang pernah tejadi di Desa Pakraman Sayan, Ubud, terkait
dengan pelaksanaan upacara “perkawinan”. (Baca Nusa, 19
September 2015).
Dalam beberapa hal, keraguan sikap ini cendrung dapat
menimbulkan salah paham bagi orang atau pihak yang
melaksanakan upacara. Dalam suasana seperti ini, baik prajuru
desa pakraman dan rohaniawan Hindu, berada pada pisisi serba
salah. Kalau maju memimpin dan/atau bertindak sebagai saksi
dalam pelaksanaan upacara yang dimaksud, takut terlibat

5
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

kasus hukum, sementara kalau tidak bersedia memimpin


dan/atau menjadi saksi atas pelaksanaan upacara yang
dimaksud, kemungkinan akan terjadi kesalahpahaman bagi
orang atau keluarga penyelenggara upacara.
Tentu kurang arif apabila umat Hindu berlama-lama
menempatkan prajuru desa pakraman dan rohaniawan Hindu
dalam pada posisi serba salah dan stress sebelum
melaksanakan swadharma-nya. Untuk itu, semua pihak lebih
awal patut mengetahui, memahami, dan menyadari bahwa
ada upacara tertentu menurut agama Hindu yang memiliki
potensi pelanggaran hukum, baik hukum agama Hindu,
hukum adat Bali, maupun hukum nasional.
Buku ini disusun dilatarbelakangi oleh keinginan agar
prajuru desa pakraman, rohaniawan Hindu, dan umat Hindu
pada umumnya, lebih mudah dalam mendapatkan buku yang
dimaksud, untuk dipelajari dan dipahaminya. Sesudah itu
diharapkan semua pihak dapat melaksanakan upacara dengan
baik dan benar, tanpa disertai perasaan ragu, kurang percaya
diri, dan kurang tulus dalam melaksanakan upacara tertentu
yang memiliki potensi pelanggaran hukum

2. Permasalahan
Di atas telah dikemukakan bahwa buku-buku tentang
prajuru desa pakraman dan rohaniawan Hindu, lumayan banyak.
Walaupun demikian, belum ada buku penuntun praktis bagi
prajuru desa pakraman dan rohaniawan Hindu yang dapat
dijadikan pegangan dalam memimpin dan/atau menjadi saksi
atas pelaksanaan upacara tertentu menurut agama Hindu,
sehingga prajuru desa pakraman dan rohaniawan Hindu dapat
melaksanakan tugas dan tanggung jawabanya dengan baik dan

6
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

benar. Selain itu juga belum ada persamaan persepsi diantara


prajuru desa pakraman, rohaniawan Hindu, umat Hindu pada
umumnya, dan penegak hukum, mengenai jenis upacara
tertentu menurut agama Hindu, yang dapat menimbulkan
konsekwensi hukum.

3. Tujuan dan Manfaat


Penyusunan buku ini bertujuan antara lain: (1). Untuk
memudahkan bagi prajuru desa pakraman dan rohaniawan
Hindu dalam memimpin dan/atau menjadi saksi atas
pelaksanaan upacara tertentu menurut agama Hindu, terutama
bagi pelaksanaan upacara yang dapat menimbulkan
konsekwensi hukum. (2). Untuk menumbuhkan persamaan
persepsi diantara rohaniawan Hindu, prajuru desa pakraman,
umat Hindu pada umumnya, dan penegak hukum, dalam
menyikapi jenis upacara tertentu menurut agama Hindu, yang
dapat menimbulkan konsekwensi hukum. (3). Untuk
mencegah prajuru desa pakraman dan rohaniawan Hindu
berurusan dengan pihak berwajib, sesudah selesai memimpin
pelaksanaan upacara tertentu menurut agama Hindu dan/atau
menjadi saksi atas pelaksanaan upacara, karena ada dugaan
pelanggaran hukum terkait dengan pelaksanaan upacara yang
dimaksud.
Sesudah buku ini berhasil disusun dan disebarluaskan,
diharapkan memberi manfaat bagi rohaniawan Hindu, prajuru
desa pakraman, umat Hindu, dan pihak yang berwajib dibidang
penegakan hukum. Manfaat yang dimaksud, antara lain: (1)
Mengurangi dan meniadakan keraguan sikap prajuru desa
pakraman dan rohaniawan Hindu, pada waktu memimpin
pelaksanaan upacara tertentu menurut agama Hindu dan/atau

7
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

menjadi saksi atas pelaksanaan upacara yang dimaksud. (2).


Mengurangi dan bahkan kalau mungkin meniadakan
kesalahpahaman diantara prajuru desa pakraman, rohaniawan
Hindu, dan umat Hindu pada umumnya, terkait dengan
pelaksanaan upacara tertentu yang berpotensi menimbulkan
konsekwensi hukum. (3). Memberi manfaat bagi penegak
hukum karena dapat meringangkan atau memudahkan bagi
mereka dalam memilah dan memilih pelaksanaan upacara
tertentu menurut agama Hindu yang memiliki konsekwensi
hukum dan/atau potensi pelanggaran hukum.

4. Metode Penulisan
Bahan-bahan yang diperlukan untuk menyusun buku
ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan. Selain itu bahan
juga diperoleh dari pengalaman lapangan penulis. Untuk
diketahui, kami (penulis buku ini), kebetulan aktif pada
lembaga umat Hindu, baik yang berhubungan langsung
dengan kehidupan beragama maupun aktivitas adat dan
hukum adat Bali. Modal tersebut dimanfaatkan untuk
observasi lapangan sekaligus mengumpulkan bahan bagi
penyusunan buku ini.
Bahan yang telah terkumpul, baik dari penelitian
kepustakaan maupun penelitian lapangan, kemudian
didiskusikan, lalu disusun dalam bentuk artikel ilmiah populer
sesuai keahlian masing-masing penulis, menggunakan kata-
kata dan kalimat biasa dan dengan cara biasa. Kalau ada istilah
dan ungkapan yang tidak biasa (khas), disertai terjemahan
dengan maksud lebih mudah dimengerti oleh orang biasa
maupun orang luar biasa. Selanjutnya, kedua artikel ilmpiah
populer itu digabung dan disusun menjadi draft buku berjudul

8
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

“Prajuru Desa Pakraman Rohaniawan Hindu dan Hukum:


Beberapa Ketentuan Hukum yang Perlu Diketahui dan
Dipahami oleh Prajuru Desa Pakraman dan Rohaniawan Hindu”
Untuk lebih meyakinkan bahwa apa yang dipikirkan
dan ditulis “tidak jauh panggang dari api”, selanjutnya draft
buku itu dibahas dalam seminar terbatas yang diselenggarakan
pada hari Kamis 17 Maret 2016, bertempat di sekretariat PHDI
Prov. Bali, Denpasar. Dalam seminar tersebut dihadirkan
sejumlah ahli hukum dan beberapa orang yang memahami
eksistenti rohaniawan Hindu. Sesudah itu, draft buku yang
telah tersusun kembali disempurnakan sesuai saran dan
masukan yang didapat dalam seminar tersebut. Hasil akhir
berupa sebuah buku seperti yang sedang Anda nikmati
sekarang.
Semoga materi yang disajikan dalam buku ini mudah
dimengerti dan dapat memberi manfaat sesuai harapan.

9
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

10
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

II
DESA PAKRAMAN DAN
PRAJURU DESA PAKRAMAN

11
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

12
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

II
DESA PAKRAMAN DAN
PRAJURU DESA PAKRAMAN

1. Desa Pakraman

U ntuk tidak membingungkan, terlebih dahulu perlu


dikemukakan bahwa di Bali ada dua desa, yaitu:
(1). “Desa” atau “keperbekelan” atau kalau di daerah perkotaan
disebut “kelurahan”. Desa ini dikenal pula dengan sebutan
“desa dinas” atau “desa administratif”. (2). “desa pakraman”
atau “desa adat”.
Dalam U.U.Nomor: 6 Tahun 2014 tentang Desa
ditentukan bahwa “Desa adalah desa dan desa adat atau yang
disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah
yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional
yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. (Pasal 1 nomor urut huruf 1).
Perangkat kepengurusan desa disebut perangkat desa,
pucuk pimpinannya disebut kepala desa. Perangkat
kepengurusan keperbekelan disebut perangkat desa atau
perangkat keperbekelan, dan pucuk pimpinannya disebut
kepala desa (disingkat kades) atau perbekel. Perangkat

13
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

kepengurusan kelurahan disebut perangkat kelurahan, pucuk


pimpinannya disebut lurah.
Organisasi masyarakat yang berada di bawah desa
dinas (desa dan keperbekelan), disebut dusun, dipimpin oleh
kepala dusun (disingkat kadus), sedangkan oraganisasi serupa
di bawah kelurahan disebut lingkungan, dipimpin oleh kepala
lingkungan (disingkat kaling). Dalam kehidupan
bermasyarakat di Bali, kadus dan kaling ini dikenal pula
dengan sebutan kelihan dinas.
Tugas dan wewenang desa dinas atau desa
administratif berhubungan dengan penyelenggaraan
administrasi pemerintahan dan pembangunan dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), berdasarkan
berbagai aturan perundang-undangan yang berlaku di NKRI.
Desa pakraman atau desa adat, berbeda dengan desa
dinas. Baik definisinya, susunan organisasinya, maupun tugas
dan wewenangnya. Dalam Perda Prop. Bali Nomor: 03/2001
tentang Desa Pakraman ditentukan bahwa Desa Pakraman adalah
“kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang
mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan
hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam
ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang
mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri
serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”. (Pasal 1
nomor urut 4) Selain desa pakramaan, dalam Perda ini juga
dijelaskan mengenai “banjar pakraman”. Banjar pakraman
adalah kelompok masyarakat yang merupakan bagian desa
pakraman. (Pasal 1 nomor urut 5).
Satu desa pakraman ada yang terdiri dari beberapa banjar
pakraman dan ada pula yang hanya terdiri dari satu banjar

14
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

pakraman. Dalam hal warga satu banjar pakraman cukup banyak


dan wawidangan atau wawengkon (wilayah) banjar relatif luas,
atas kesepakatan bersama, maka banjar pakraman itu dapat
dibagi menjadi beberapa kelompok yang dinamakan témpékan.
Penamaan témpékan disesuaikan dengan karakter wilayahnya,
seperti Témpékan Kaja (di Utara), Témpékan Lobong (yang
letaknya relatif rendah), dll.
Kalau dilihat dari sejarah keberadaannya, dikenal
adanya tiga tipe desa pakraman, yaitu: (1) Desa Bali Aga disebut
juga “Desa Bali Asli” atau “Desa Pegunungan” (umumnya
berada di daerah pegunungan, sudah ada sebelum datangnya
Kerajaan Majapahit ke Bali, oleh karena itu belum banyak
terkena pengaruh Kerajaan Majapahit). (2). Desa Apanaga atau
“Desa Dataran” (umumnya berada di daerah dataran atau
pesisir dan sudah dipengaruhi oleh Kerajaan Majapahit). (3).
Desa Bali Anyar (umumnya berlokasi di Kabupaten Jemberana,
kemunculannya relatif baru atau anyar, karena adanya
perpindahan penduduk daeri daerah Bali yang lainnya).
Apapun tipe desanya, spirit desa pakraman itu
sesungguhnya sama, yaitu agama Hindu. Hal ini dapat
diketahui dari unsur-unsur desa pakraman, terdiri atas: (1)
Parahyangan, yaitu pura/tempat suci agama Hindu dengan
segala perlengkapan dan aktivitas.1 (2) Pawongan, yaitu warga
desa bersangkutan, terdiri dari orang-orang yang beragama
Hindu. (3) Palemahan, yaitu pemanfaatan lingkungan alam

1 Setiap desa pakraman di Bali, memiliki tempat suci (pura), yang dikenal

dengan Pura Kayangan Tiga (Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem) atau dengan
nama lain tetapi memiliki fungsi sama dengan Pura Kayangan Tiga. Pura lain yang
ada kalanya juga berada dan menjadi tanggung jawab desa pakraman dikenal dengan
Pura Kayangan Desa atau Pura Manca dan Pura Kayangan Jagat. Desa pakraman
bertanggung jawab atas kelangsungkan kawasan suci dan tempat suci umat Hindu
(pura) yang ada di wewidangan (wilayah) desa pakraman setempat.

15
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

yang sesuai dengan agama Hindu dan hukum adat Bali. Oleh
karena itu, tugas dan wewenang desa pakraman sangat erat
kaitannya dengan pelaksanaan ajaran agama Hindu dalam
kehidupan masyarakat adat di Bali.

2. Prajuru Desa Pakraman


a. Pengertiannya
Prajuru adalah perangkat pimpinan organisasi
tradisional Bali, seperti desa adat atau desa pakraman, banjar
adat atau banjar pakraman, subak (organisasi pertanian baik
lahan basah maupun lahan kering di Bali), sekaa (organisasi
yang dibentuk atas dasar kegemaran yang sama) dan dadya
(organisasi kekerabatan di Bali).
Perangkat kepengurusan desa pakraman atau desa
adat disebut prajuru atau prajuru desa atau prajuru adat,
dan pucuk pimpinannya disebut bendesa atau bendesa adat
atau kelihan adat. Perangkat kepengurusan banjar pakraman
atau banjar adat disebut prajuru banjar, dan pucuk
pimpinannya disebut kelihan banjar atau kelihan banjar adat.
Sebuah témpékan dipimpin oleh seorang kelihan témpékan.
Perangkat pimpinan subak disebut prajuru subak,
pucuk pimpinannya disebut pekaséh. Perangkat pimpinan
sekaa disebut prajuru sekaa, pucuk pimpinan diebut kelihan
sekaa. Perangkat pimpinan dadya disebut prajuru dadya, dan
pucuk pimpinannya disebut kelihan dadya.

b. Persyaratan dan Cara Penetapannya


Adanya tiga tipe desa pakraman disertai dengan sifat
otonom yang dimiliki masing-masing desa pakraman,
menyebabkan terbuka peluang bagi dasa pakraman untuk

16
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

mengatur dirinya sendiri. Hal ini menyebabkan adanya


beberapa perbedaan mengenai persyaratan dan cara
penetapan prajuru desa pakraman, beserta struktur prajuru
pada masing-masing desa pakraman.
Sejalan dengan tugas dan wewenang desa pakraman
yang sangat erat kaitannya dengan pelaksanaan ajaran
agama Hindu dalam kehidupan masyarakat adat di Bali,
maka salah satu persyaratan yang wajib dimiliki oleh calon
prajuru desa pakraman adalah memahami agama Hindu dan
hukum adat Bali (awig-awig desa pakraman setempat).
Syarat lainnya, jujur dan mau mengabdi dengan tulus.
Syarat pendidikan tidak menjadi prioritas, yang penting
bisa baca dan tulis.
Soal penetapan, dapat dijelaskan demikian. Ada
yang ditetapkan secara musyawarah mufakat, ditetapkan
berdasarkan keturunan, ditetapkan berdasarkan suara
terbanyak, dan ada pula yang ditetapkan berdasarkan
ririgan umah (berurutan sesuai letak rumah tinggal).2
Sementara itu, penetapan prajuru subak, sekaa, dan dadya,
biasanya dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat
seluruh warganya, ditetapkan berdasarkan suara
terbanyak melalui pemilihan langsung oleh warganya.

2 Sejalan dengan kemajuan jaman dan perkembangan pemahaman

terhadap demokrasi, jaman sekarang sangat jarang ada prajuru desa yang ditetapkan
berdasarkan keturunan. Metetapkan prajuru berdasarkan ririgan (urut karang), juga
telah mulai ditinggalkan. Pada umumnya, prajuru jaman sekarang ditetapkan
berdasarkan pemilihan langsung oleh warga desa yang mipil (tercatat sebagai krama
desa). Bahkan ada yang melaksanakan tahapan pemilihan persis sama dengan
tahapan pemilihan bupati dan anggota legislatif. Lengkap dengan panitia pemilihan
dan semacam masa kampanye atau paling tidak ada waktu menyampaikan visi dan
misi calon bendésa. Ada kalanya juga terjadi protes sejumlah warga sesudah
pemilihan berakhir karena ada yang dianggap melakukan kecurangan atau calon
tunggal dikalahkan kotak kosong. Apakah hal ini pertanda kemajuan atau
kemunduran dalam kehidupan di desa pakraman? Perlu perenungan.

17
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

c. Struktur dan Personalianya


Struktur dan personalia prajuru desa pakraman satu
dengan yang lainnya, tidak seragam. Tampak adanya
perbedaan istilah dan personalia masing-masing desa
pakraman. Perbedaan tersebut bukanlah sebuah
permasalahan besar, karena hal ini berkaitan dengan
tradisi setempat dan rasa bahasa. Selain itu, walaupun
istilah atau sebutannya berbeda, tetapi pada prinsipnya
mengandung unsur yang sama, yaitu unsur ketua (bendésa
atau bendésa adat atau apapun istilahnya) dan wakil ketua
(petajuh), unsur sekretaris (panyarikan), dan unsur
bendahara (patengen atau juru raksa). Pada beberapa desa
pakraman, perangkat prajuru juga dilengkapi dengan
penasihat dengan istilah yang bervariasi juga, seperti:
pangayom, pamiteket, panglingsir atau panua.3 Hal ini
tergantung dari tipe masing-masing desa pakraman.
Struktur prajuru seperti dikemukakan di atas, dapat
ditemui pada desa pakraman tipe Apanaga dan desa
pakraman tipe Bali Anyar atau desa pakraman yang berlokasi

3 Beberapa buku tentang susunan prajuru pada desa maulu apad, antara lain

ditulis oleh: I.G.M. Sunendra, 1975, “Peranan dan Fungsi Prajuru Desa Adat”, dalam
MPLA Bali, 1975, “Butir-butir Mutiara dalam Pembinan Desa Adat di Bali”; Tjokorda
Raka Dherana, 1975, “Pokok-pokok Organisasi Kemasyarakatan Adat di Bali”,
Fakultatas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana, Denpasar;
Thomas A Reuter, 1999, “People of the Mountains, People of the Sea: Negotiating the
Local and the Foreign in Bali” dalam Raechelle Rubeinstein dan Linda H. Connor,
Staying Local in The Global Village, halaman 155 – 181. University of Hawaii Press,
Honolulu; I Ketut Sudantra dan Wayan P. Windia, 2012, Sesana Prajuru Désa. Tata
Laksana Pimpinan Désa Adat di Bali. Unud Press, Denpasar.
Dalam praktiknya jaman sekarang, ulu apad ini melaksanakan tugas dan
fungsi yang berkaitan dengan aktivitas keagamaan di desa setempat, sementara
prajuru di bawah koordinasi bendésa atau kelihan adat, melaksanakan tugas
kemasyarakatan pada umumnya dan tugas lainnya yang berkaitan dengan
administrasi pemerintahan.

18
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

di dataran atau perkotaan, yang keberadaannya relatif


dipengaruhi oleh Kerajaan Majapahit.
Dalam awig-awig desa pakraman, mengenai struktur
perangkat pimpinan (parjuru) desa pakraman dan banjar
pakraman beserta personalianya, biasanya diatur sebagai
berikut.

Pawos ............

1. Desa adat ……........... keenter antuk bendesa adat utawi


kelian desa adat;
2. Banjar utawi tempekan keenter antuk kelian banjar utawi
kelian tempek;
3. Bendesa lan kelian banjar patut:
Ha. Mewiwit saking krama ngarep;
Na. Keadegang melarapan antuk pemilihan olih paruman
soang-soang nyabran …............. warsa utawi manut
dresta sane kemanggehang sejawaning wenten
perindikan tios tur dados kepalih malih;
Ca. Maduluran piuning ring pura desa.

Pawos ……….

1. Bendesa utawi kelian adat kesanggra antuk:


Ha. Petajuh utawi pengliman pinaka wakilnyane;
Na. Penyarikan pinaka juru surat;
Ca. Petengen pinaka pengemong druwen desa;
Ra. Kesinoman pinaka juru arah akehnyane manut
kewigunanya.
2. Sejeroning ngenterang sukertan niskala bendesa
misinggihang pemangku kahyangan desa;
3. Prejuru ngadegang penglingsir utawi dulu utawi pemucuk
sinanggeh kerta desa, sane mewiwit prejuru lepas, sang

19
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

wikan ring adat agama; adiri sinanggeh penua kesarengin


juru surat sakeng penyarikan desa.4

Sementara pada desa pakraman Bali Aga atau desa


pakraman yang berlokasi di pegunungan, umumnya
menggunakan sistem kepengurusan ganda. Dalam arti,
sistem yang diwarisi secara turun temurun (dikenal
dengan ulu apad) tetap dipertahankan, selain itu juga
dilengkapi dengan sistem prajuru seperti halnya di desa
Bali Apanaga. Oleh karena itu, desa pakraman ini juga
dikenal pula dengan sebutan desa pakraman maulu apad.
Pucuk pimpinannya disebut kubayan yang biasa dipanggil
Jro Kubayan. Di bawahnya ada Jro Bahu, Jro Mucuk, Jro
Singgukan, dst. Mereka berasal dari warga desa ued (asli),
dan ditetapkan berdasarkan urutan senioritas (urutan
berdasarkan umur).

d. Tugas dan Wewenangnya


Prajuru desa dan prajuru banjar melaksanakan tugas
dan wewenang yang berhubungan dengan tugas dan
wewenang desa pakraman atau desa adat (pelaksanaan
ajaran agama Hindu dalam kehidupan masyarakat adat di
Bali), berdasarkan hukum Hindu, hukum adat Bali
(terutama awig-awig desa pakraman setempat) dan dalam
beberapa hal juga berdasarkan hukum nasional dalam
wadah NKRI.

4 Struktur prajuru desa pakraman ini diambil dari contoh (imba) awig-awig

dalam buku “Pedoman/Teknis Penyusunan Awig-awig dan Keputusan Desa Adat”,


yang dikeluarkan oleh Biro Hukum dan HAM Setda Propinsi Bali Tahun Anggaran
2002. (Halaman 8 – 48).

20
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Dalam awig-awig desa pakraman, tugas dan


kewenangan (swadharma) perangkat pimpinan (parjuru)
desa pakraman, biasanya diatur sebagai berikut.

Pawos ............

1. Swadharmaning bendesa adat luire:


Ha. Ngemargiang sedaging awig-awig miwah perarem desa;
Na. Nuntun tur ngenterang krama rawuhing warga desa
ngupadi anut petitis;
Ca. Mawosin kalih niwakang pemutus marep ring wicara
warga desa;
Ra. Maka duta metemuang bawos ring sapa sira ugi.
2. Prade prejuru utawi dulu iwang penglaksana keni
pemidanda nikel ring keiwangan soang-soang krama saha
keangkat kerariyanang manut pararem. 5

Perlu dikemukakan bahwa segala aktivitas dan upacara


yang dilaksanakan di desa pakraman, lebih-lebih lagi melibatkan
krama (warga) desa pakraman, wajib mendapat ijin krama desa
pakraman dan/atau prajuru desa pakraman. Atau setidaknya
diketahui oleh prajuru desa pakraman.
Lebih dari itu, dalam pelaksanaan upacara tertentu,
prajuru desa pakraman atau prajuru banjar pakraman, bukan saja
wajib mengetahui, melainkan kehadirannya memang
diwajibkan sebagai saksi pelaksanaan upacara yang dimaksud.

5 Struktur prajuru desa pakraman ini diambil dari contoh (imba) awig-awig

dalam buku “Pedoman/Teknis Penyusunan Awig-awig dan Keputusan Desa Adat”,


yang dikeluarkan oleh Biro Hukum dan HAM Setda Propinsi Bali Tahun Anggaran
2002. (Halaman 8 – 48). Buku ini dijadikan acuan karena dalam setiap pembinaan
prajru dan penyuratan awig-awig di seluruh Bali, buku inilah yang biasanya
digunakan sebagai pedoman oleh anggota Tim Pembina, baik yang dibentuk oleh
Kabupaten/Kota maupun Tim Pembina Prov. Bali.

21
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

Beberapa jenis upacara agama Hindu yang memerlukan


kehadiran prajuru desa pakraman atau prajuru banjar pakraman
sebagai saksi seperti upacara perkawinan, upacara perceraian,
upacara pengangkatan anak, upacara ngeruak karang, upacara
sumpah cor, upacara mangening-ening atau madewa saksi,
upacara pengukuhan sentana rajeg, upacara mintonin.
Oleh karena itu, mau tidak mau, suka tidak suka,
seorang prajuru patut mengetahui dan memahami beberapa
aturan hukum, baik hukum adat maupun hukum nasional,
yang berkaitan pelaksanaan upacara dan perbuatan hukum
seperti yang disebutkan dalam beberapa coantoh di atas.
Apabila upacara dan perbuatan hukum yang dimaksud tidak
tilaksanakan seuai dengan aturan hukum yang berlaku,
memiliki akibat hukum terhadap upacara dan perbuatan
hukum yang dilakukan. Bisa jadi upacara atau perbuatan
hukum yang dilakukan dapat dibatalkan atau batal demi
hukum). Selain itu, prajuru dan rohaniawan yang memipin
pelaksanaan upacara yang dimaksud dapat pula dikenakan
sanksi. Baik berupa sanksi adat sesuai perarem desa pakraman
setempat, sanksi hukum nasional (sanksi pidana berdasarkan
KUHP dan Undang-Undang Tindak Pidana Khusus yang
lainnya), maupun sanksi sosial , seperti dikucilkan atau dijauhi
dari lingkungan pergaulan warga masyarakat sekitarnya.

22
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

III
ROHANIAWAN HINDU

23
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

24
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

III
ROHANIAWAN HINDU

1. Pengertiannya

D imaksud rohaniawan Hindu dalam hal ini adalah


umat Hindu, yang telah memenuhi persyaratan
tertentu sesuai agama Hindu dan hukum adat Bali, sehingga
memiliki tugas dan wewenang memimpin (muput)
pelaksanaan upacara agama Hindu. Secara umum,
rohaniawan Hindu dapat dikelompokan menjadi dua yaitu: (1)
pandita, (2) pinandita dan/atau pemangku.
Pandita dalam bahasa Sanskerta diartikan sebagai orang
yang terpelajar, pintar dan bijaksana, orang arif dan bijaksana,
dapat pula di artikan wiku atau sulinggih seperti pandita siwa,
pandita bhuda, pandita siwa bhudha (Simpen, 1985: 168).
Rohaniawan Hindu yang termasuk pandita atau sulinggih atau
pendeta adalah rohaniawan yang telah madwijati. Contohnya
antara lain: pedanda, sri empu, begawan, dukuh. Perbedaan nama
sulinggih tersebut disebabkan oleh sistem kekeluargaan/klen
di Bali dan sistem perguruan dari masing-masing sulinggih
nabe/guru. Walaupun demikan semua sulinggih statusnya
sama sebagai seorang pandita.
Pinandita berasal dari kata pandita mendapatkan sisipan
“in” menjadi pinandita yang artinya dipendetakan atau yang

25
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

terpelajar. Dalam hal ini yang dimaksud pinandita adalah


mereka yang telah melewati tahap pawintenan sampai dengan
adiksa widhi dengan tidak di-tapak dan amari aran. Dalam hal
melaksanakan upacara atau upakara yadnya, seorang pinandita
dapat bertindak sebagai wakil dari pandita. Beberapa contoh
pinandita seperti pemangku, mangku dalang, wasi, pengemban,
mangku balian atau dukun dan dharma acharya. Pengertian ini
mengacu kepada Keputusan Maha Sabha Parisda Hindu
Dharma II tangal 2 s/d 5 Desember 1968. 6 Dalam Kesatuan
Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I-XIV diuraikan
pemangku adalah rohaniawan Hindu tingkat ekajati yang dapat
digolongkan sebagai Pinandita.

2. Persyaratan dan Cara Penetapannya


Untuk menjadi seorang rohaniawan, patut memliki
persyaratan tertentu. Demikian pula halnya kalau ingin
menjadi rohaniawan Hindu. Masing-masing rohaniawan
Hindu seperti disebutkan di atas, memiliki persyaratan
tersendiri. Pada dasarnya persyaratan menjadi rohaniawan
Hindu serupa tetapi tidak sama satu dengan yang lainnya.
Persyaratan menjadi pandita, relatif lebih berat dibandingkan
persyaratan untuk menjadi pinandita dan/atau pemangku.

6 Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai

perbedaan sebutan tersebut, baca juga buku-buku Gede Semadi Astra, 1985/1986.
Kamus Sanskerta-Indonesia, Proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Daerah Tingkat I
Bali. Wayan Surpa, 1999. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-
Aspek Agama Hindu I-XIV. Denpasar, Pemda TK I Bali. PHDI Pusat, 1999/2000.
Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek agama Hindu I-IV. Ngakan Pt. Putra, dkk, 2010.
Kompilasi Dokumen Literer 45 Tahun Parisada. PHDI Pusat.

26
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Menjadi Pandita
Untuk menjadi seorang pandita, wajib memenuhi
berbagai persyaratan, baik persyaratan sekala (kelengkapan
administrasi, dll), maupun persyaratan niskala (pelaksanaan
upacara tertentu). Beberapa persyaratan adminsitrasi yang
wajib dipenuhi sebelum menjadi pandita, berdasarkan Kesatuan
Tafsir terhadap Ketetapan Sabha Parisada Hindu Dharma Ke II
No.V tahun 1968 tentang tata keagamaan (Kesulinggihan,
Upacara dan Tempat Suci), antara lain:
1. Calon diksita mengajukan permohonan kepada Parisada
setempat yang mewilayahi selambat-lambatnya tiga
bulan sebelum hari padiksaan.
2. Permohonan disertai atau dilampiri dengan surat
keterangan:
a. berbadan sehat.
b. berkelakukan baik.
c. surat keterangan tentang kecakapan.
d. riwayat hidup.
e. tidak tersangkut perkara.
3. Permohonan ditembuskan kepada pemerintah setempat
untuk dimaklumi.
4. Parisada setempat seterimanya surat permohonan itu
secepatnya melakukan penyelidikan dan testing bersama
calon nabe, guna mendapat kepastian tentang terpenuhi
atau tidaknya syarat-syarat di depan.
5. Penyelidikan dan testing bila perlu dapat diulang 3 atau
6 bulan kemudian, apabila ternyata pemohon belum
memenuhi syarat. Hasil penyelidikan atau pengetesan itu
di sampaikan kepada parisada atasannya (pusat) dengan
tembusannya kepada pemerintah setempat.
6. Parisada yang akan memberi keptusan memberikan
pernyataan sikapnya (mengabulkan atau tidak) selambat-

27
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

lambatnya 2 minggu. Sebelum hari padiksaan dengan


tembusan ke Parisada Pusat dan pemerintah setempat.
7. Pemohon yang permohonan di tolak mengajukan
permohonan lagi setelah berselang 3 bulan kemudiannya
sampai sebanyak 3 kali.
8. Seorang pendeta yang baru didiksa, boleh mulai
melakukan loka palasraya setelah mendapatkan ijin untuk
itu dari nabe-nya yang disaksikan oleh parisada yang
memberikan ijin diksa.
9. Parisada ini wajib menyiarkan tentang hak loka palasraya.

Sesudah segala persyaratan administrasi dipenuhi,


dilanjutkan dengan pelaksanaan upacara diksa, sesuai dengan
ajaran agama Hindu. Dalam bahasa Sanskerta diksa berarti
penerimaan menjadi murid dalam hal kesucian, juga berarti
penyucian, penasbisan, pelantikan. Dari kata diksa ini
kemudian menjadi diksita artinya dilantik, telah siap diterima
sebagai murid dalam hal kesucian. Dalam perkembangannya,
kata diksa di Bali berarti askara yaitu suatu upacara penyucian
diri untuk mencapai tingkatan dwijati.7
Istilah yang identik dengan diksa adalah mapodgala,
masuci, mabersih, madwijati, dan malinggih (melepasakan diri
dari kehidupan keduniawian). (Sudharta, 1992: 5-6). Jika sudah
menjadi diksita, di Bali disebut sebagai orang yang sudah meraga
putus/sadhu. Jadi kata diksa intinya adalah suatu proses
penyucian para murid/sisya baik lahir dan batin secara formal
di bawah sistem tuntunan guru spritual yang tujuannya untuk

7 Ketut Wiana, 2007. Rsi Yadnya dan Sistem Kependetaan Hindu. Surabaya.

PT.Paramita. Gede Semadi Astra, 1985/1986. Kamus Sanskerta-Indonesia, Proyek


Peningkatan Mutu Pendidikan Daerah Tingkat I Bali. Tjok Rai Sudharta. 1983/1984.
Gagelaran Pamangku, Milik Pemda Tingkat I Bali, Proyek Penyuluhan dan Penerbitan
Buku Agama.

28
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

melepaskan diri dari ikatan keduniawian. Orang yang telah di-


diksa disebut diksita, dwijati, pandita, sulinggih, wiku, (sang sadhu),
dll.
Setelah semua rangkaian persyaratan diksa itu dipenuhi
(seorang yang melaksanakan penyucian dengan padiksan untuk
menjadi sulinggih) akan memiliki kewenangan yang lebih luas
dalam menyelesaikan yadnya. Kewenangan itu diikuti pula
dengan ikatan yang harus dipatuhi sepanjang hidupnya,
diantaranya yang dikenal dengan catur dandana dharma, yaitu:
a. Amari aran yaitu meninggalkan dan mengganti nama yang
dipakai semasih walaka dan mengganti dengan nama
kesulinggihan yang diberikan oleh nabe-nya.
b. Amari wesa yaitu meninggalkan dan mengganti
atribut/tanda-tanda kewelakaan-nya dengan wesa atau
tanda-tanda identitas sulinggih, seperti rambut tidak lagi
dicukur, melainkan malingga mudra bagi pendeta Siwa yang
laki, masipat aking, bagi pendeta Budha yang laki dan
magelunggota, bagi pendeta Siwa maupun Budha yang
wanita.
c. Amari sesana yaitu meninggalkan disiplin kehidupan
sebagai seorang walaka dan mengganti dengan disiplin
kehidupan sebagai sulinggih atau pandeta yang
menyangkut makanan minuman, pakaian dan disiplin
kehidupan lainnya.
d. Umulahaken kaguru susrusan yaitu melaksanakan dengan
patuh dan berdisiplin ajaran guru (nabe) serta hormat dan
patuh kepada guru (nabe) serta keluarganya.

Dengan ikatan-ikatan yang ketat seperti itu (dikenal de-


ngan sasana kawikon), di samping karena tingkat penyuciannya
sendiri telah mengantarkan seorang pandita atau pendeta atau
sulinggih memiliki kewenangan yang luas dalam
menyelesaikan yadnya, bila dibandingkan dengan pinandita

29
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

dan/atau pamangku yang tergolong eka jati. Karena proses


penyucian dan kesucian itulah maka seorang pandita
mempunyai kedudukan mulia di masyarakat sehingga ketika
ia meninggal, upacara pitra yadnya bisa dilakukan di berbagai
tempat yang dipandang layak.8

Menjadi Pinandita
Seperti halnya untuk menjadi seorang pandita, menjadi
pinandita juga memerlukan persyaratan sekala (kelengkapan
administrasi, dll), maupun persyaratan niskala (pelaksanaan
upacara tertentu). Hanya saja, jumlah dan bentuknya lebih
sederhana.
1. Calon diksita mengajukan permohonan untuk ini kepada
Parisada setempat yang mewilayahi selambat-lambatnya
tiga bulan sebelum hari pewintenan
2. Permohonan disertai atau dilampiri dengan surat
keterangan:
a. berbadan sehat.
b. berkelakukan baik.
c. surat keterangan tentang kecakapan.
d. riwayat hidup.
e. tidak tersangkut perkara.
3. Permohonan ditembuskan kepada pemerintah setempat
untuk dimaklumi.
4. Parisada setempat seterimanya surat permohonan itu
secepatnya melakukan penyelidikan dan testing bersama
calon nabe, guna mendapat kepastian tentang terpenuhi
atau tidaknya syarat-syarat di depan.

8 Tidak sulit mendapatkan buku tentang pandita dan juga tentang diksa.

Apabila ingin tahu lebih dalam tentang kedua hal ini, baca buku Kompilasi
Dokumen Literer 45 tahun Parisada oleh PHDI Pusat tahun 2010 hal 44-47. Buku
yan glainnya Menyiapkan Sulinggih Bagi Umat Hindu Antara Siksa dan Diksa, Makalah
Seminar Diksa, oleh Gede Anggan Suhandana, 2005.Yayasan Gosana Pusat
Denpasar.

30
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

5. Penyelidikan dan testing bila perlu dapat diulang 3 atau


6 bulan kemudian, apabila ternyata pemohon belum
memenuhi syarat. Hasil penyelidikan atau pengetesan itu
di sampaikan kepada parisada atasannya (pusat). dengan
tembusannya kepada pemerintah setempat.
6. Parisada yang akan memberi keptusan memberikan
pernyataan sikapnya (mengabulkan atau tidak) selambat-
lambatnya 2 minggu. Sebelum hari pawintenan dengan
tembusan ke parisada Pusat dan pemerintah setempat
7. Pemohon yang permohonan di tolak mengajukan
permohonan lagi setelah berselang 3 bulan kemudiannya
sampai sebanyak 3 kali.
8. Seorang pinandita yang baru di-winten, boleh mulai
menyelesaikan upacara setelah mendapatkan ijin untuk
itu dari nabe-nya yang disaksikan oleh Parisada (Ngakan
Putra, 2005: 47).

Menjadi Pemangku
Pemangku artinya juru sapuh atau juru antebang banten di
pura sekadi pemangku Pura Desa (Simpen, 1985: 174). Dalam
Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I-XIV
diuraikan pemangku adalah rohaniawan Hindu tingkat ekajati
yang dapat digolongkan pinandita (Surpa, 1999: 41).
Dalam lontar “Tattwa Dewa” ditegaskan bahwa
pamangku yang berwenang mengantarkan upacara di pura
adalah sebagai berikut: “Mwah kang wenang ngaturang pabanten
de Mangku juga wenang sane wruh ring kandaning dewa tur ya wruh
ring utpeti, stiti, pralinaning dewa, ikang wruh ring tattwaning sad
rasa, ika juga maka wnangane angasrenin haturan ring bhatara mwah
sakahyangan sang haji Bali”. (Dan lagi yang berwenang
mengantarkan upacara persembahan adalah pamangku, yang
paham akan falsafah ketuhanan, dan paham untuk

31
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

melaksanakan pemujaan utpeti, stiti dan pralina


(menghadirkan, menghaturkan persembahan serta
mempersilahkan untuk kembali ke alam yang gaib). Pamangku
yang paham akan hakekat enam jenis rasa, mereka juga yang
berwenang mengantarkan persembahan kehadapan Hyang
Widhi serta semua pura pemujaan raja Bali). Selanjutnya juga
dijelaskan bahwa pamangku yang melaksanakan penyucian
dirinya sampai pada tingkat pawintenan, patut menggunanakan
puja astawa/seha sesuai dengan ajaran “Kusumadewa”.
Walaupun dalam sumber sastra disebutkan abersih
anuwun pada, tidaklah berarti ditapak melainkan hanya
melaksanakan upacara pawintenan dalam tingkatan yang lebih
besar. Dengan demikian sebutannya masih tetap dengan
sebutan pamangku atau pamangku gede atau pamangku putus oleh
karenanya kewenangannya pada dasamya juga sama dengan
batas kewenangan pamangku pada umumnya, kecuali dalam
hal menggunakan puja astawa/seha dibedakan, yaitu pamangku
yang penyuciannya sampai tingkat pawintenan biasa,
pangastawa-nya berdasarkan “Kusumadewa”, sedangkan yang
tingkat pawintenan-nya lebih besar diperkenankan
menggunakan “Sangkulputih” (Mirsa, 1997).
Mengenai persyaratan, proses, dan tata cara
penetatapan seseorang menjadi pemangku, masing-masing
tempat suci atau pura dan desa pakraman, memiliki tradisi yang
telah diwarisi secara turun-temurun, baik tertulis dalam bentuk
awig-awig pura atau awig-awig desa pakraman maupun belum
tertulis. Terlepas dari tertulis maupun belum tetulis,
persyaratan, proses, dan tata caranya, senantiasa akan diikuti
dalam penetapan seorang menjadi pemangku. Sementara itu,
persyaratan umum seperti berbadan sehat, berkelakukan baik,

32
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

memiliki kecakapan, dan tidak tersangkut suatu perkara, akan


menjadi perhatian serius, sebelum ditindaklanjuti dengan
pelaksanaan upacara paweintenan.

3. Tugas dan Wewenangnya


Tugas dan wewenang yang patut dijalankan oleh
seorang pandita, pinandita, dan/atau pemangku, dikenal dengan
sebutan sesana. Sesana dalam hal ini mengandung makna
swadharma atau tanggung jawab, tata cara dalam memimpin
pelaksanaan upacara agama Hindu, serta perlengkapan yang
diperlukan. Masing-masing rohaniawan Hindu, memiliki
sesana tersendiri. Dalam arti, sesana seorang pandita akan
berbeda dengan sesana seorang pinandita.
Perbedaan itu muncul bukan semata-mata karena
adanya perbedaan nama yang bersangkutan, melainkan karena
adanya perbedaan linggih (status) yang bersangkutan. Salah
satu contoh. Tata cara pemujaan yang mencirikan pandita atau
sulinggih, dapat diketahui dari pakaian pemujaan, hiasan
kepala (bhawa), perlengkapan pemujaan (siwaupakarana),
maupun sikap tangan yang dikenal dengan mudra. Hal-hal
seperti ini tidak digunakan oleh seseorang yang bukan pandita.
Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa pandita
mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam memimpin
pelaksanaan panca yadnya. Rohaniawan Hindu yang
berwenang muput atau memimpin pelaksaan upacara seperti
perkawinan, perceraian, pengangkatan anak, ngeruak karang,
sumpah cor, mangening-ening, penggukukan sentana rajeg dan
mintonin rangda, biasanya adalah pandita atau sulinggih.
Sementara untuk upacara ngeruak karang ,ngotonin, telu bulanan,
madewa saksi akan dipimpin oleh pemangku atau pinadita.

33
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

Demikian juga dalam upacara perkawinan apabila bila


hanya metanjung sambuk atau abayakala maka pemangku dan
pinandita mempunyai kewenangan untuk menyelesaiannya.
Jika upacara perkawinan dalam tingkatan yang lebih besar
sampai natab di bale dan di sanggah kapuput oleh pandita.9
Khusus mengenai pemangku, dalam lontar Raja Purana
Gama, dibedakan ada dua belas jenis pemangku dilihat dari
swadharma (kewajiban maupun pura tempat melaksanakan
tugasnya sehari-hari).10 Dalam awig-awig desa pakraman, ihwal
kepemangkuan, diatur sebagai berikut.

Pawos ……

1. Ring soang-soang pura inucap kewentenang pemangku;


2. Ngadegang pemangku manut dudonan:
Ha. Turunan utawi ngewaris (perti sentana sane keselang
widhi);
Na. Nyanjan utawi nuwur, mapiteges mapinunas ring ajeng
penataran pua;
Ca. Kepalih, olih krama desa;
3. Tan kewenangan ngangge pemangku, luire:
Ha. Cedangga, liire peceng, perot, cungih lan sepenunggilannya;
Na. Sang sapa sira ugi sane tan kepatutang anut perarem;
Ca. Sakit ila, ayan, buduh miwah sakit tan sida ketambanin;
Ra. Sane medrue perilaksana tan becik;
4. Prabea kepamangkuan:

9 Keputusan Maha Sabha Parisada Hindu Dharma II tangal 2 s/d 5

Desember 1968 menentukan pula bahwa wewenang pinandita dalam hubungan


dengan pelaksanaan upacara agama Hindu. Baca juga (Surpa,1999: 66-67).
10 Lebih jauh tentang hal ini, lihat Lontar Raja Purana Gama Koleksi

Dokbud Bali 1997.

34
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Ha. Ngewintenin pemangku kemedalin saha kelaksanayang


antuk sang ngadegang, mekadi krama desa utawi
pengempon pura soang-soang;
Na. Yening wenten pemangku adat sane mantuk, indik pitra
yadnya dados swadharman krama adat lan
kuluwargannyane.
5. Pemangku patut ngemanggehang sesana miwah agem-ageman
pemangku.

Mengenai tugas dan wewenang (swadharma) seorang


pemangku, awig-awig desa pakraman, ketentuannya sebagai
berikut.

Pawos ……..

1. Swadharma pemangku luire:


Ha. Ngenterang upacara piodalan ring kahyangan utawi ring
soang-soang pekubon krama;
Na. Tan wenang salab-sulub, yan memurug wenang pemangku
inucap nyepuhin raga;
Ca. Prade salah sinunggil pemangku kepialang utawi cuntaka,
kengin nyelang pemangku kahyangan tiga siosan;
Ra. Semalih yan sampun pemangku ngayah tigang rahina ring
pura inucap tan keneng cuntaka, sakewanten pemangku tan
budal selami piodalan.
2. Petias utawi olih-olihan pemangku, luire;
Ha. Penyolasan miwah sarin canang;
Na. Upon pelaba carik miwah tegal manut perarem;
Ca. Luput pekaryan lan luput pepeson.

35
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

Pawos ……….

1. Pemangku kegentosin riantukan:


Ha. Lina;
Na. Pinunas ngeraga, menawi kegeringan lan sapenuggalannya;
Ca. Kewusan antuk krama menawi melaksana asta dusta;
2. Prade pemangku kewusang sangkaning melaksana asta dusta,
keni pemidanda manut perarem.11

Pelanggaran atas sesana (tugas dan kewenangan) yang


dilakukan oleh rohaniawan Hindu (khususnya pelanggaran
yang dilakukan oleh pandita), dalam hubungan dengan
memimpin pelaksanaan upacara agama, dalam ajaran agama
Hindu dikenal dengan nyumuka atau amurub sesana.12 Singkat
cerita, pada dasarnya rohaniawan Hindu (pandita, pinandita,
dan/atau pemangku), yang melakukan pelanggaran, dapat
dikenakan sanksi (danda) sesuai dengan norma agama Hindu,
hukum adat Bali (awig-awig desa pakraman), dan hukum
nasional. Bentuk sanksi pada umumnya yang dapat dikenakan
sesuai dengan norma agama Hindu dan hukum adat Bali
(awig-awig desa pakraman), seperti telah disebutkan di atas.
Wujud riilnya, antara lain: dapat diberhentikan sebagai
rohaniawan Hindu atau dijauhi dari pergaulan sosial.13

11 Struktur prajuru desa pakraman ini diambil dari contoh (imba) awig-awig

dalam buku “Pedoman/Teknis Penyusunan Awig-awig dan Keputusan Desa Adat”,


yang dikeluarkan oleh Biro Hukum dan HAM Setda Propinsi Bali Tahun Anggaran
2002. (Halaman 8 – 48).
12 Nyumuka mengandung arti melanggar sesana sebagai rohaniawan HIndu.
13 Lebih jauh tentang hal ini, baca juga buku "Indik Kepemangkuan" yang

diterbitkan oleh Pemda Tk I Bali tahun 1991. Surat Dinas Agama Otonom Daerah Bali,
tanggal 29 Oktober 1956, Keputusan Maha Sabha Parisada Hindu Dharma ke II No :
V/Kep/PHD/1968, Keputusan Seminar ke I Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek
Agama Hindu tanggal 23 s/d 26 Pebruari 1975 di Amlapura tentang Kawikon.

36
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

IV
HUKUM DAN SANKSI

37
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

38
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

IV
HUKUM DAN SANKSI

1. Pengertian dan Tujuan Hukum

D imaksud “hukum” dalam hal ini adalah (a) hukum


nasional yang berlaku dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dan (b) hukum adat Bali (dalam
berbagai bentuknya, baik tertulis dalam maupun yang belum
tertulis) yang berlaku dalam masyarakat hukum adat (desa
pakraman) di Bali.
Prajuru desa pakraman dan rohaniawan Hindu perlu
mengetahui dan memahami hukum, mengandung arti bahwa
prajuru desa pakraman dan rohaniawan Hindu perlu mengetahui
dan memahami beberapa ketentuan hukum nasional dan
hukum adat Bali yang berlaku. Pengetahuan dan pemahaman
hukum bertujuan antara lain: Agar prajuru desa pakraman dan
rohaniawan Hindu tidak melakukan perbuatan melawan
hukum. Atau agar prajuru desa pakraman dan rohaniawan
Hindu dapat melakukan perbuatan hukum dengan benar
(sesuai hukum yang barlaku), pada waktu melaksanakan tugas
dan kewenangan memimpin (muput) pelaksanaan upacara
agama yang memiliki akibat hukum menurut hukum adat dan
hukum nasional.
Di kalangan ahli hukum, dari jaman purbakala sampai
sekarang masih ada perdebatan ilmiah yang terus menerus

39
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

mengenai pengertian “hukum” dan “tujuan hukum”.14 Kiranya


prajuru dan rohaniawan Hindu tidak perlu memasuki “hutan
belantara” perdebatan ilmiah tersebut. Yang penting perlu
diketahui dan dipahami bahwa hukum itu adalah peraturan,
dibuat oleh pihak yang berwenang atau disepakati oleh
masyarakat secara terang-tenan maupun diam-diam, yang
bertujuan untuk menciptakan hidup teratur. Dari sudut hukum
adat Bali, hukum itu ada atau diadakan untuk menciptakan
kasukertan sekala lan niskala (kedamaian di alam nyata atau di
dunia dan di alam gaib atau alam keyakinan).

2. Pengertian dan Tujuan Sanksi


Hukum dan sanksi ada dalam satu paket. Hukum
selalu disertai sanksi yang dapat dikenakan kepada pihak yang
melanggar hukum. Oleh para ahli ilmu sosial sanksi ini diberi
arti yang lebih luas dari penggunaannya dalam hukum. Sanksi
dibagi menjadi dua yaitu: sanksi negatif dan sanksi positif.
Sanksi negatif diberikan bagi orang yang berlaku tidak
sesuai dengan aturan hukum, sedangkan sanksi positif (pujian)
bagi orang yang berlaku taat, tanpa merinci siapa yang
memberi pujian ataupun hukuman.
Sanksi negatif - dari sudut hukum pidana - disebut
“hukuman” atau “pidana”. Dimaksud dengan hukuman
(pidana) dalam pengertian Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) ialah : “Suatu perasaan tidak enak (sengsara)
yang dijatuhkan oleh hakim dengan ponis kepada orang yang

14 Untuk mengetahui hiruk pikuk perdebatan yang dimaksud, ada beberapa

buku dalam bahasa Indonesia yang perlu dibaca, seperti: Achmad Ali, 2002. Menguak
Tabir Huum. Gunung Agung, Jakarta. Van Apeldoorn, 1981. Pengantar Ilmu Hukum.
Pradnya Paramita, Jakarta. Satjipto Rahardjo, 1982. Ilmu Hukum. Alumni, Bandung.

40
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

telah melanggar undang-undang hukum pidana. Hukuman


yang biasa dijatuhkan oleh guru kepada murid atau hukuman
disipliner yang diberikan oleh penjabat polisi kepada
bawahannya, karena telah melanggar peraturan tata-tertib
kepolisian, tidak masuk dalam pengertian ini. Hukuman
menurut pasal 10 KUHP, terdiri atas: (a) Hukuman-hukuman
pokok, yaitu: Hukuman mati, hukuman penjara, hukuman
kurungan, hukuman denda. (b). Hukuman-hukuman
tambahan, yaitu: Pencabutan hak yang tertentu, perampasan
barang yang tertentu, pengumuman keputusan hakim.
Untuk jenis sanksi negatif dikalangan masyarakat
tradisional atau masyarakat adat, dikenal dengan “sanksi
adat”, “koreksi adat”, “reaksi adat”. Untuk di Bali, sanksi adat
(koreksi adat, reaksi adat atau reaksi sosial), umumnya disebut
“danda”, atau “pamidanda”. “Kena danda” , berarti dikenakan
sanksi 15.
Sanksi adat atau danda dikenakan dengan tujuan agar
tercipta suatu keseimbangan antara dunia nyata (sekala) dan
dunia gaib atau keyakinhan (niskala), antara golongan manusia
seluruhnya dan orang seorang. Oleh karena itu, segala
perbuatan yang menganggu keseimbangan tersebut
merupakan pelanggaran hukum dan petugas hukum wajib
mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna memulihkan
kembali perimbangan hukum. Dengan demikian sanksi adat
mempunyai fungsi dan berperan sebagai stabilitasator untuk

15 Sebutan lain danda atau pamidanda, lihat Keputusan Kelian Desa Adat

Buleleng, Nomor : 1/1972, tentang Awig-awig Desa Buleleng, pasal 29. Lihat pula
halaman 44, “Pedoman Teknis Penyusunan Awig-awig dan Keputusan Desa Adat”,
yang dikeluarkan oleh Biro Hukum dan HAM Setda Bali tahun 2002.

41
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

mengembalikan keseimbangan antara dunia lahir dengan


dunia gaib. 16
Sanksi dalam fungsi tersebut, mempunyai peranan
penting di dalam kehidupan masyarakat adat di Bali. Demikan
pentingnya sehingga tidak hanya pelanggaran adat saja yang
dapat dikenakan sanksi adat, bahkan terhadap delik (kejahatan
dan pelanggaran) biasapun sering kali oleh masyarakatnya
dibebani sanksi adat meskipun sipelaku sudah dipidana sesuai
dengan hukum nasional yang berlaku.

3. Hukum dan Sanksi yang Berlaku dalam Masyarakat


Kembali ditegaskan, dengan mengacu kepada
pengertian dan tujuan hukum serta pengertian dan tujuan
sanksi seperti dikemukakan di atas, dapat dikemukakan
bahwa yang dimaksud hukum dan sanksi yang berlaku dalam
sub Bab ini adalah hukum nasional yang berlaku dalam NKRI
dan hukum adat Bali (dalam berbagai bentuknya, baik tertulis
dalam maupun yang belum tertulis) yang berlaku dalam
masyarakat hukum adat (desa pakraman) di Bali, disertai sanksi
masing-masing hukum tersebut.
Sepanjang mengenai hukum nasional yang berlaku
dalam NKRI, baik substansi hukumnya maupun sanksinya,
berlaku sama di seluruh wilayah NKRI. Oleh karena itu, hal ini
relatif lebih mudah diketahui dan dipahami. Tidak demikian
halnya dengan hukum adat dan sanksi adat yang berlaku.

16 Materi ini disusun berdasarkan beberapa sumber seperti: T. O. Ihromi,

1984. Antropologi dan Hukum. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. Soepomo, 1979. Bab-
Bab Tentang Hukum Adat. Jakarta, Pradnya Paramita. Soesilo, R, 1976. Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor,
Politeia.

42
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Masing-masing daerah di Indonesia, mempunyai


hukum adat sendiri. Oleh karena itu, dalam banyak hal sanksi
adat di daerah yang satu juga berbeda dengan sanksi adat yang
berlaku daerah yang lainnya. Hukum adat dan sanksi adat
yang berlaku dalam masyarakat adat (desa pakraman) Bali,
berbeda dengan di daerah lainnya di Indonesia. Bahkan
adakalanya untuk satu pelanggaran yang sama, desa pakraman
satu akan mengenakan sanksi berbeda dengan desa pakraman
yang lainnya.
Cara sederhana untuk mengetahui jenis-jenis sanksi
adat yang dikenal di Bali adalah dengan jalan mempelajari
hukum adat Bali. Untuk itu, ada beberapa sumber yang dapat
dijadikan acuan, antara lain: (1). Keputusan prajuru desa
pakraman atau perangkat pimpinan desa pakraman (baik yang
tertulis maupun tidak tertulis). (2). Awig-awig dan perarem desa
pakraman (tertulis maupun tidak tertulis). (3). Paswara
(keputusan raja). (4). Keputusan Lembaga Adat, seperti Majelis
Desa Pakraman (MDP)17 dan Majelis Pembina Lembaga Adat
(MPLA). (5). Kitab Manawa Dharmasastra (hukum Hindu). (6).
Kitab Catur Agama (“Agama”, “Purwa Agama”, “Kutara
Agama” dan “Adi Agama”). (7). Catur dresta (sastra dresta, desa
dresta, loka dresta dan kuna dresta).
Hasil penelitian Tjok Raka Dherana dan Made
Widnyana, (1975), menemukan beberapa jenis sanksi adat di
Bali, seperti: (1). Mengadakan upacara pembersihan
(pemarisudan, prayascita, dll). (2). Denda (dedosan). (3). Minta
maaf (mengaksama atau mapilaku, lumaku, mengolas-olas). (4).
Untuk golongan pendeta, ada jenis sanksi yang disebut matirta

17 Majelis Desa Pakraman dikenal dalam Perda Prop. Bali Nomor : 3/2001

tentang Desa Pakraman.

43
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

gemana atau matirta yatra. (5). Dibuang (maselong) adalah jenis


sanksi adat yang sering didapat pada jaman kerajaan Bali
dahulu, seperti dibuang ke luar kerajaan bahkan adakalanya ke
luar Bali. (6) Ditenggelamkan ke laut (mapulang ke pasih). (7).
Meblagbag (dipasung). (8). Diusir (katundung). (9). Kerampag
(dirampas). (10). Tidak diajak ngomong (kasepekang).
Imba (contoh) awig-awig tertulis yang dikeluarkan oleh
Biro Hukum Setwilda Tingkat I Bali tanggal 15 Agustus 1998,
mengatur bahwa dalam menjatuhkan sanksi adat, agar
disesuaikan dengan kesalahan yang telah dilakukan.
“pamidanda sane katiwakang patut masor singgih manut ring
kasisipane”.18
Bacakan pamidanda luwire : (Yang disebut sanksi, yaitu):
a. Ayah-ayahan panukun kasisipan. (Kewajiban
melaksanakan sesuatu pekerjaan, sebagai pengganti
atas kesalahan yang dilakukan).
b. Danda arta, dosa saha panikel-panikelnya miwah panikel-
panikel urunan (Denda berupa uang beserta denda
tambahan atas kelalaian membayar).
c. Rerampagan (Dirampas).
d. Kasepekang (Dikucilkan)
e. Kawusang mekrama kawaliang pipilnyane (Diberhentikan
sebagai warga dan sekalian mengembalikan
catatannya).
f. Penyangaskara (Pelaksanaan upacara tertentu).

Walaupun imba awig-awig tersebut mengatur danda


seperti tersebut di atas, tetapi dalam kenyataannya, tidak
semua desa pakraman mengikutinya. Sering kali danda yang ada

18 Baca juga Biro Hukum dan HAM Setda Propinsi Bali “Pedoman/Teknis

Penyusunan Awig-awig dan Keputusan Desa Adat”, yang dikeluarkan oleh Biro
Hukum dan HAM Setda Propinsi Bali Tahun Anggaran 2002.

44
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

lebih bervariasi atau sebaliknya lebih sederhana. Oleh karena


itu, bila ingin mengetahui jenis danda yang berlaku di masing-
masing desa pakraman, selain harus membaca ketentuan awig-
awig tertulisnya, juga harus menemukannya dalam awig-awig
tidak tertulis, dengan jalan mewawancarai tokoh adat (prajuru
desa/banjar) di desa pakraman bersangkutan.
Berdasarkan wawancara dengan tokoh adat (1997 –
1999), saya menemukan beberapa sanksi adat yang tidak
tertuang dalam awig-awig tertulis, tetapi pernah ada dalam
masyarakat. Sanksi adat yang dimaksud, antara lain : sanksi
(danda) seledetan, pecamil, kapalungguh, kadaut karang, kalatengin,
kagingsiran, kairid, kaople.
Beberapa sanksi adat seperti tersebut di atas, dapat
dikelompokan menjadi tiga, dikenal dengan tri danda (tiga
sanksi) yang terdiri dari: (1). Arta danda (Sanksi berupa harta
benda atau benda-benda materiil). (2). Sangaskara danda (Sanksi
berupa pelaksanaan upacara tertentu, sesuai dengan ajaran
agama Hindu). (3). Jiwa danda (Sanksi berupa penderitaan
jasmani dan rohani/jiwa).
Berdasarkan pengelompokan tersebut di atas dapat
dikemukakan beberapa sanksi adat yang masih berlaku antara
lain sebagai berikut. Arta danda, meliputi dosa, danda saha
panikel-nikelnya miwah panikel urunan. (Denda berupa uang,
ganti kerugian beserta denda-denda yang lainnya). Sangaskara
danda, seperti: pemarisuda, prayascita (upacara pembersihan),
matirta gemana atau matirta yatra (melakukan perjalanan suci,
untuk golongan pendeta). Jiwa danda seperti: mengaksama,
mapilaku, lumaku, mengolas-olas, nyuaka. (minta maaf),
kapelungguh, kapesajen, karepotang (diberi peringatan lisan).

45
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

kasepekang, kanoroyang (tidak diajak ngomong, dikucilkan,


diberhentikan sebagai warga desa/banjar).
Pada dasarnya fungsi pamidanda atau danda (sanksi
adat) dikenakan dengan tujuan untuk memulihkan
keseimbangan baik magis maupun fisik sehingga
keseimbangan material dan spiritual dapat diwujudkan. Atau
dengan kata lain dapat dikemukakan untuk menciptakan
kasukertan sekala lan niskala (kedamaian di alam nyata atau di
dunia dan di alam gaib atau alam keyakinan). Dalam hubungan
dengan hal ini perlu dicegah kemungkinan pengenaan sanksi
adat yang relatif berat, seperti kasepekang (pengucilan) dan
kanoroyang (mengeluarkan atau pemecatan warga). Karena,
berdasarkan pengalaman atas beberapa kasus yang terjadi,
pengenaan sanksi adat ini justru lebih banyak menimbulkan
dampak negatif secara berkelanjutan.

46
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

V
UPACARA AGAMA
YANG MEMILIKI KONSEKWENSI
HUKUM

47
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

48
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

V
UPACARA AGAMA
YANG MEMILIKI KONSEKWENSI HUKUM

A da beberapa cara umum yang dapat digunakan


untuk mencegah terjadinya konsekwensi hukum
yang tidak perlu bagi prajuru desa pakraman dan rohaniawan
Hindu dalam memimpin dan/atau menjadi saksi pelaksanaan
upacara tertentu menurut agama Hindu. Salah satu caranya
adalah dengan mengetahui dan memahami beberapa
ketentuan hukum yang berlaku. Baik hukum nasional maupun
hukum adat Bali.
Cara yang lainnya: (1). Prajuru desa pakraman dan
rohaniawan Hindu perlu memastikan orang atau pihak sane
ngelah gae (penanggung jawab upacara) dan hubungannya
dengan orang atau pihak yang diupacarai, sebelum
pelaksanaan upacara atau pada waktu seseorang
menyampaikan pesadokan atau laporan kepada prajuru desa
pakraman dan nunas pemargi muput atau memimpin upacarsa
kepada rohaniawan Hindu). (2). Menjelang upacara
dilaksanakan (beberapa saat sebelum muput), rohaniawan
Hindu agar memastikan bahwa di tempat upacara
dilaksanakan, hadir juga prajuru desa pakraman atau prajuru
banjar pakraman, pihak lain yang berwenang, serta keluarga
pihak yang terlibat langsung dalam pelaksanaan upacara yang
tersebut. (3). Prajuru desa pakraman dan rohaniawan Hindu

49
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

perlu rajin bertanya tentang hukum kepada orang yang


memahami hukum adat Bali dan hukum nasional.
Untuk memudahkan dalam mengetahui dan
memahami beberapa perbuatan dan/atau upacara yang
dilaksanakan sesuai agama Hindu dan memiliki konsekwensi
hukum, berikut dikemukakan beberapa contoh, dilengkapi
kemungkinan masalah yang muncul disertai langkah antisipasi
mengatasinya, seperti diuraikan di bawah ini.

1. Upacara Perkawinan dan Keluarga


Upacara Perkawinan Pertama
Sebelum 1974 (sebeum berlakunya U.U. Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan), perkawinan bagi umat
Hindu di Bali dilaksanakan berdasarkan hukum adat Bali.
Syarat perkawinan pertama dan perkawinan kedua atau
ketiga, sama saja. Syarat perkawinan cukup longgar dan
pelaksanaannya relatif gampang. Istri pertama setuju atau
tidak setuju dengan perkawinan kedua atau ketiga, sama
sekali tidak penting. Kalau seorang suami berkeinginan
kawin dan ada wanita yang mau diajak kawin,
perkawinanpun berlangsung. Selesai.
Sejak diberlakukannya U.U. Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, suasananya beda. Setiap perkawinan
bagi warga negara Indonesia wajib mengukuti ketentuan
adat dan agamanya masing-masing, serta memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-undang
tersebut. Pasal 6 U.U. Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menentukan sebagai berikut.
(1) Perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua
calon mempelai.

50
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang


belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun
harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah
meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat
(2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang
mampu menyatakan kehendaknya
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan
kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang
yang memelihara atau keluarga yang mempunyai
hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas
selama mereka masih hidup atau dari orang tua yang
mampu menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-
orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini,
atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam
daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang
tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu
mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3)
dan (4) pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5)
pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.

Penjelasannya
Pasal 6
Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar
suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal
dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia,
maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak

51
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada


paksaan dari pihak manapun.
Ketentuan dalam pasal ini, tidak berarti
mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan
hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam
Undang-undang ini, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) Undang-undang ini.

Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini
dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak
pria maupun wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah
seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6
ayat 3 dan 4 Undang-Undang ini, berlaku juga dalam
hal permintaan dispensasi tersebut ayat 2 pasal ini
dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal
6 ayat 6.

Kemungkinan Permasalahan dan


Langkah Antisipasi yang Diperlukan
Perkawinan pertama yang dilaksanakan dengan
cara mapadik (meminang), nyaris tidak mengandung
konsekwensi hukum. Walaupun demikian, penting bagi
rohaniawan Hindu untuk menanyakan dengan cara yang
santun, mengenai kapan proses mapadik dimulai dan
apakah pada waktu mapadik telah dihadiri oleh prajuru desa
pakraman.

52
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Sebagai tambahan, kiranya dapat pula ditanyakan


oleh rohaniawan Hindu mengenai beberapa hal seperti: (1).
Siapa saja yang hadir dalam upacara perkawinan tersebut.
(2). Apakah prajuru desa pakraman ada diantara hadirin
yang menyaksikan upacara perkawinan tersebut. Semua
ini dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa upacara
perkawinan yang dimaskud telah dipersiapkan dan
dilaksanakan sesuai hukum yang berlaku, baik hukum
nasional maupun hukum adat Bali.
Lalu, apa sajakah yang patut menjadi perhatian
bagi prajuru desa pakraman dan rohaniawan Hindu apabila
dimohon untuk memimpin dan/atau menjadi saksi bagi
pelaksanaan upacara perkawinan ngrorod dan
melegandang? Mengenai hal ini, agar diperhatikan uraian
tentang Upacara Perkawinan Ngrorod dan Melegandang.

Upacara Perkawinan Kedua


Persyaratan untuk melangsungkan perkawinan
kedua, ketiga, dst, agak berbeda dengan perkawinan
pertama. Perbedaan yang utama terletak pada “adanya ijin
pengadilan”. Ijin pengadilan bagi yang akan
melangsungkan perkawinan kedua baru akan
dikeluarkan, kalau segala persyaratan telah dipenuhi.
Salah satu persyaratannya, adanya persetujuan istri
pertama. Tentang hal ini diatur dalam Pasal 3, Pasal 4, dan
Pasal 5 Undang-Undang Perkawinan, seperti di bawah ini.

Pasal 3
1. Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria
hanya boleh mempunyai seorang istri . Seorang wanita
hanya boleh mempunyai seorang suami.

53
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

2. Pengadilan, dapat memberikan kepada seorang suami


untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki
oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Pasal 4
1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari
seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat 2
Undang-Undang ini, maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat
tinggal.
2. Pengadilan dimaksud ayat 1 pasal ini hanya
memberikan izin kepada seorang suami yang beristri
lebih dari seorang apabila :
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai
istri
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang
tidak dapat disembuhkan
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5
1. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada
Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4
ayat 1 Undang-Undang ini harus dipenuhi syarat-
syarat sebagai berikut
a. adanya persetujuan dari istri/istri-istri;
b. adanya kepastian bahwa suami menjamin
keperluan –keperluan istri-istri dan anak-anak
mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
2. Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf a pasal
ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila
istri/istri-istrinya tidak mungkin diminta
persetujuannnya dan tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari

54
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun,


atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat
penilaian dari Hakim Pengadilan.

Berdasarkan ketentuan di atas dapat diketahui


bahwa perkawinan kedua atau ketiga, dst, memiliki
persyaratan yang agak berbeda dibandingkan perkawinan
pertama. Hal ini penting untuk diketahui oleh prajuru desa
pakraman atau prajuru banjar pakraman dan rohaniawan
Hindu, untuk menghindari kemungkinan berurusan
dengan aparat penegak hukum (polisi) sesudah
perkawinan dilangsungkan.

Kemungkinan Permasalahan dan


Langkah Antisipasi yang Diperlukan
Seperti sudah disinggung dalam uraian di atas
bahwa suasana berbeda akan tampak dalam perkawinan
kedua, ketiga, dst. Selain suasananya berbeda,
persyaratannya juga berbeda.
Soal suasana yang berbeda, tidak perlu dirisaukan,
sepanjang segala persyaratan yang diwajibkan untuk
melangsungkan perkawinan kedua telah dipenuhi.
Persoalan akan menjadi semakin rumit, apabila
perkawinan kedua dilangsungkan dengan cara lari
bersama (ngrorod) dan perkawinan tidak dilaksanakan di
tempat kediaman calon pengantin laki-laki. Dalam suasana
seperti ini, kemungkinan permasalahannya antara lain,
belum adanya persetujuan dari istri pertama.
Untuk menghindari berbagai kemungkinan buruk
yang menimpa pajuru desa pakraman dan rohaniawan
Hindu dalam menghadapi pasangan calon suami istri yang

55
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

melangsungkan perkawinan kedua, ada beberapa hal yang


perlu diperhatikan dan wajib dijelaskan oleh penanggung
jawab upacara perkawinan tersebut. Untuk itu, disarankan
beberapa hal sebagai berikut. (1). Prajuru desa pakraman dan
rohaniawan Hindu perlu mendapatkan menjelaskan
dengan jujur dan benderang mengenai berbagai persoalan
yang dihadapi, sehingga melangsungkan perkawinan
yang kedua, dari pihak keluarga calon pengantin pria dan
disaksikan oleh kedua calon pengantin. (2). Prajuru desa
pakraman dan rohaniawan Hindu, orang tua calon
pengantin pria, dan kedua calon pengantin, perlu duduk
bersama untuk membahas dan memastikan bahwa
perkawinan yang dilaksanakan telah sesuai dengan
hukum adat Bali, baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis dan juga telah memenuhi segala persyaratan yang
diatur dalam hukum nasional (Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan). (3). Apabila ada diantara
persyaratan yang belum dipenuhi, atas kesepakatan
bersama dan untuk kebaikan bersama, sebaiknya
pelaksanaan perkawinan ditunda sampai semua
persyaratan yang diwjibkan dapat dipenuhi oleh pasangan
calon pengantin.

Upacara Perkawinan di Luar Rumah


Bagaimana dengan upacara perkawinan yang
dilaksanakan di luar rumah calon pengantin pria dan
wanita? Apabila calon pengantin memilih untuk
melangsungkan upacara perkawinan di luar rumah, maka
pada umumnya yang menjadi pilihan tempat upacara
perkawinan adalah tempat kediaman rohaniawan Hindu

56
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

yang akan memimpin pelaksanaan upacara yang


dimaksud, yaitu di gerya. Salah satu alasan mengapa
tempat ini menjadi pilihan, karena pertimbangan praktis.
Segala perlengkapan yang diperlukan dan rohaniawannya
berada pada satu tempat. Pihak calon pengantin dan
keluarganya, paling banter hanya menyiapkan konsumsi
sesuai keperluan.
Perkawinan dilaksanakan di rumah pengantin, di
tengah hutan atau tengah samudera, pada prinsipnya
sama saja. Yang penting segala persyaratan yang
diperlukan untuk melangsungkan upacara perkawinan,
telah dipenuhi. Syarat yang dimaksud, antara lain: Adanya
rasa saling mencintai dan umur minimal untuk
melangsungkan perkawinan, juga telah dipenuhi.
Kehadiran prajuru desa pakraman dan keluarganya, juga
tidak boleh diabaikan. Mereka wajib hadir dalam acara
yang dimaksud.

Kemungkinan Permasalahan dan


Langkah Antisipasi yang Diperlukan
Di atas telah disinggung bahwa salah satu sebab
keluarga pasangan calon pengantin melangsungkan
perkawinan di luar rumah tinggal yang bersangkutan
adalah pertimbangan praktis. Tidak perlu puntag-pantig
mempersiapkan sarana upacara dan acara adat yang rumit,
karena semua sudah dipersiapkan oleh penyelenggara
upacara (pihak ketiga). Tidak berarti pelaksanaan upacara
luput dari potensi masalah. Kemungkinan permasalahan
yang ada dibalik pelaksanaan upacara yang “dibalut atas
nama praktis” tersebut, antara lain: (1). Calon pengantin

57
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan.


(2). Bisa jadi perkawinan yang dilaksanakan agak
menyimpang dari kelasiman atau adat kebeiasaan yang
berlaku. (3). Kemungkinan lainnya, ini termasuk
perkawinan kedua yang dilaksanakan secara nyilib
(tersembunyi), karena belum mendapat persetujuan dari
istri pertama.
Dalam keadaan seperti ini, prajuru desa pakraman dan
rohaniawan Hindu, perlu hati-hati dalam bersikap. Bentuk
kehati-hatian itu dapat diwujudkan, antara lain dengan
cara sebagai berikut: (1). Pastikan hubungan keluarga
antara penanggung jawab upacara perkawinan dengan
calon pengantin. Apakah penanggung jawab upacara
adalah orang tua calon pengantin, paman (rerama), saudara
kandung (tugelan), teman (suwitra), orang suruhan atau
orang yang sengaja disewa untuk menyelesaikan urusan
upacara tersebut. (2). Apabila penanggung jawab upacara
tidak ada hubungan keluarga (bukan orang tua, rerama
atau tugelan), prajuru desa pakraman dan rohaniawan Hindu
perlu lebih berhati-hati kalau dimohon untuk memimpin
dan/atau menjadi saksi dalam upacara yang dilaksanakan.
(3). Prajuru desa pakraman, rohaniawan Hindu, penanggung
jawab upacara dan kedua calon pengantin, perlu duduk
bersama untuk membahas dan memastikan bahwa
perkawinan yang dilaksanakan telah sesuai dengan
hukum adat Bali, baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis dan hukum nasional (Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan). (4). Wajib dihadiri
prajuru (perangkat pimpinan) desa pakraman atau banjar
pakraman dan kepala dusun, yang berasal dari desa

58
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

pakraman atau banjar pakraman tempat calon pengantin pria


(dalam perkawinan biasa) berasal, wakil dari masyarakat
setempat sebagai manusa saksi. (5). Perlu adanya surat
resmi mengenai status masing-masing calon pengantin.
Apakah keduanya berstatus belum kawin, janda ataukan
duda. (6). Sebaiknya semua hal di atas, dibicarakan jauh
hari sebelum upacara perkawinan dilaksanakan, sebagai
langkah antisipasi terjadinya berbagai kemungkinan
munculnya konsekwensi hukum yang kurang
menyenangkan dikemudian hari.

Upacara Perkawinan Pada Gelahang


Perkawinan pada gelahang mengandung makna,
perkawinan yang dilangsungkan sesuai ajaran agama
Hindu dan hukum adat Bali, yang tidak termasuk
perkawinan biasa (dikenal pula dengan sebutan “kawin ke
luar”) dan juga tidak termasuk perkawinan nyentana
(dikenal pula dengan sebutan kawin nyeburin atau “kawin
ke dalam”), melainkan suami dan istri tetap berstatus
kapurusa di rumahnya masing-masing, sehingga harus
mengemban dua tanggung jawab dan kewajiban
(swadharma), yaitu meneruskan tanggung jawab keluarga
istri dan juga meneruskan tanggung jawab keluarga suami,
sekala maupun niskala, secara terus menerus atau dalam
jangka waktu tertentu, tergantung dari kesepakatan
pasangan suami istri beserta keluarganya.
Dalam perkawinan pada gelahang, suami dan istri
berstatus kapurusa di rumahnya masing-masing, dengan
segala kewajiban (swadharma) dan hak (swadikara) yang
menyertainya sesuai kesepakatan diantara pasangan

59
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

suami istri dan keluarganya, yang disebut pasobayan


mawarang. Mengenai suami dan istri yang berstatus sama-
sama kapurusa di rumahnya masing-masing, telah diakui
berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor. 1331 K/Pdt12010, hari Kamis tanggal 30
September 2010 dan dikuatkan lagi berdasarkan Putusan
Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 603 PK/Pdt/2012, hari Selasa tanggal
24 Desember 2013.18

Kemungkinan Permasalahan dan


Langkah Antisipasi yang Diperlukan
Perkawinan pada gelahang tergolong bentuk
perkawinan inovasi terhadap dua bentuk perkawinan
yang selama ini telah menjadi tradisi, yaitu perkawinan
biasa dan perkawinan nyentana. Terlepas dari kenyataan
bahwa telah ada yurisprudensi tentang perkawinan pada
gelahang, harus diakui bahwa kenyataannya dalam
kehidupan bermasyarakat di desa pakraman, masih ada
beberapa hal yang menjadi pertanyaan, seperti tata cara
pelaksanaan upacara agama serta penyelesaian
administrasi perkawinan.
Oleh karena itu, menjadi masuk akal kalau banyak
hal yang masih menjadi permasalahan atau pertanyaan,
seperti: Cara mapadik (meminang) pelaksanaan
upacaranya, pembagian warisan, termasuk pelaksanaan

18 Hasil penelitian tentang perkawinan pada gelahang lumayan banyak. Salah

satu diantaranya telah diterbitkan dalam bentuk buku, yaitu: Perkawinan pada
Gelahang di Bali Ditinjau dari U.U. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disusun oleh
Putu Dyatmikawati, 2013. Unud Press, Denpasar.

60
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

upacara ngaben dan tempat ngelinggihan leluhur, sesudah


upacara ngaben selesai dilaksanakan.
Dalam suasana seperti digambarkan di atas, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh semua pihak
untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan
permasalahan yang dimaksudkan, antara lain: (1). Calon
pengantin dan orang tua kedua calon pengantin, patut
mempersiapakan pelaksanaan perkawinan ini dengan
mengadakaan pendekatan dan pembicaraan secara lebih
intensif, untuk menumbuhkan pengertian yang sama
mengenai latar belakang dan alasan mereka memilih
bentuk perkawinan pada gelahang. (2). Kesepakatan yang
telah dicapai lewat pembicaraa yang dimaksud,
selanjutnya dikemukakan secara jujur dan terus terang
kepada prajuru desa pakraman dari tempat kediaman kedua
calon pengantin, dan juga kepada rohaniawan Hindu, jauh
hari sebelum pelaksanaan upacara perkawinan. (3).
Prajuru desa pakraman perlu menjelaskan kepada pasangan
calon pengantin dan keluarganya, tanggung jawab
(swadharma) yang wajib dijalankan oleh mereka kepada
masyarakat sesudah upacara perkawinan selesai
dilaksanakan. (4). Prajuru desa pakraman perlu duduk
bersama untuk memastikan bahwa perkawinan yang
dilaksanakan telah sesuai dengan persyaratan yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. (5). Apabila pasangan suami istri yang
melangsungkan perkawinan pada gelahang dan
keluarganya mengatakan siap melaksanakan segala
tanggung jawab yang dimaksud, tidak ada alasan bagi
prajuru untuk mempersoalkan pelaksanaannya. (6). Soal

61
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

tanggung jawab mereka terhadap keluarga masing-


masing, pembagian warisan, termasuk pelaksanaan
upacara ngaben dan tempat ngelinggihan leluhur, semua itu
menjadi urusan “dalam negeri” mereka yang sebaiknya
tidak perlu dicampuri oleh prajuru desa pakraman.
Terlepas dari hal itu, disarankan kepada calon
pasangan suami istri dan keluarga masing-masing, agar
jangan buru-buru pilih bentuk perkawinan pada gelahang
kecuali terpaksa, karena jalan yang akan dilewati cukup
berliku. Bagi pasangan yang bulat hati memilih bentuk
perkawinan pada gelahang, diingatkan ada tiga azas yang
harus dipegang erat-erat selamanya, yaitu: paksa (terpaksa
oleh keadaan), lasia (tulus ihlas), dan satya (konsisten dan
konsekwen). Kalau sudah demikian adanya, durusang
margiang (lanjutkan).19

Upacara Perkawinan Ngrorod dan Melegandang


Ada tiga cara melangsungkan perkawinan
menurut hukum adat Bali. (1). Perkawinan dengan cara
mapadik (meminang). (2). Perkawinan dengan cara ngrorod
(lari bersama). (3). Perkawinan dengan cara meledandang
(melarikan gadis).
Perkawinan dengan cara mapadik (meminang),
dibenarkan oleh hukum adat Bali dan juga hukum
nasional. Walaupun demikian, patut dilakukan dengan
cara yang sesuai dengan tata cara melangsungkan
perkawinan mapadik. Sebaliknya, perkawinan dengan cara

19 Tentang arti dan makna asas paksa, lasia, dan satya tersebut, silahkan baca

Kata Pengantar Wayan P. Windia, dalam buku Perkawinan pada Gelahang di Bali
Ditinjau dari U.U. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disusun oleh Putu
Dyatmikawati, 2013. Unud Press, Denpasar.

62
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

melegandang (melarikan gadis), termasuk perbuatan yang


melanggar hukum nasional (KUHP).
Yang agak repot, ketika menghadapi pasangan
yang memilih untuk melangsungkan perkawinan dengan
cara ngrorod (lari bersama). Cara ini dibenarkan
berdasarkan hukum adat Bali, tetapi berpotensi melanggar
KUHP apabila dilakukan dengan cara sembarangan.
Dengan kata lain dapat dikemukakan, walaupun namanya
ngrorod, tetapi tidak dapat dilakukan sesuka hati,
melainkan wajib mengikuti tata krama atau sopan santun
yang telah mentradisi.
Apabila pasangan calon pengantin bulat hati
memilih untuk melangsungkan perkawinan dengan cara
ngrorod, ada sejumlah tata krama dan persyaratan yang
perlu diperhatikan dan dipenuhi, antara lain: (1). Ada rasa
saling mencintai yang kuat diantara pasangan calon
pengantin. (2). Umur calon pengantin di atas 21 tahun. (3).
Calon pengantin tidak langsung lari bersama menuju
tempat kediamannya, tetapi untuk sementara (sedikitnya
selama 3 hari) menetap di rumah keluarga yang lain yang
relatif netral. Rumah tempat menginap ini disebut
parorodan atau paengkebang (persembunyian). (4). Sesudah
sampai di tempat parorodan, segera dikirim utusan untuk
menyampaikan pasedek atau pasadok (pemberitahuan)
kepada orang pasangan (wanita) yang diajak lari.

Kemungkinan Permasalahan dan


Langkah Antisipasi yang Diperlukan
Kemungkinan permasalahan dalam perkawinan
yang dilakukan dengan cara ngrorod dan melegandang,

63
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

antara lain: (1). Calon pengantin belum cukup umur untuk


melangsungkan perkawinan. (2). Rasa cinta calon
pengantin diragukan. (3). Ketidakjelasan latar belakang
dipilihnya perkawinan dengan cara ngrorod. (4). Orang tua
dan keluarga calon mempelai perempuan tidak setuju
dengan cara perkawinan yang dipilih, sehingga
melakukan langkah hukum tertentu.
Untuk itu, diperlukan sejumlah langkah antisipasi
bagi prajuru desa pakraman dan rohaniawan Hindu dalam
menghadapi permasalahan ini. Langkah antisipasi yang
dimaksud, antara lain: (1). Sebelum upacara perkawinan
dilaksanakan, prajuru desa pakraman dan rohaniawan
Hindu, orang tua calon pengantin pria dan kedua calon
pengantin, perlu duduk bersama untuk membahas dan
memastikan bahwa perkawinan ngrorod telah
dilaksanakan sesuai dengan hukum adat Bali, baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis. (2). Pihak orang tua
calon pengantin pria dan kedua calon pengantin, perlu
menjelaskan dengan jujur berbagai persoalan yang
dihadapi, sehingga ngrorod dipilih sebagai cara
melangsungkan perkawinan. (3). Apabila ada diantara
persyaratan yang belum dipenuhi, atas kesepakatan
bersama dan untuk kebaikan bersama, sebaiknya
pelaksanaan perkawinan ditunda sampai semua
persyaratan dapat dipenuhi.
Perlu ditegaskan bahwa perkawinan dengan cara
melegandang (melarikan gadis), dapat dikatagorikan
sebagai tindak pidana. Oleh karena itu, prajuru desa
pakraman dan rohaniawan Hindu perlu ekstra hati-hati

64
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

dalam menghadapi seseorang yang melangsungkan


perkawinan dengan cara melegandang.

Upacara Perkawinan yang Tidak Lazim


Dimaksudkan dengan perkawinan yang tidak
lazim dalam hal ini antara lain: Perkawinan sesama jenis
(laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan
perempuan), perkawinan antara manusia dengan hewan
piaraan, perkawinan dengan mahluk halus, dan berbagai
bentuk serta cara perkawinan yang dilarang oleh hukum,
baik hukum agama Hindu, hukum adat Bali, maupun
hukum nasional.

Kemungkinan Permasalahan dan


Langkah Antisipasi yang Diperlukan
Namanya juga perkawinan yang tidak lasim atau
tidak biasa dan kemungkinan juga dilarang hukum, baik
hukum agama Hindu, hukum adat Bali, maupun hukum
nasional, maka menjadi masuk akal kalau pelaksanaannya
akan membawa berbagai konsekwensi agama,
konsekwensi etika, konsekwensi hukum, dan konsekwensi
sosial.
Apabila prajuru desa pakraman dan rohaniawan
Hindu menghadapi keadaan, situasi dan kondisi seperti
ini, beberapa langkah antisipasi yang dapat dilakukan
antara lain: (1). Menasehati para pelakunya agar memilih
bentuk dan cara perkawinan yang lasim, kalau yang
bersangkutan bertanya. (2). Kalau yang bersangkutan tidak
bertanya, prajuru desa pakraman dan rohaniawan Hindu
tidak perlu menjawab, menjelaskan, apalagi menasehati.

65
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

(3). Prajuru desa pakraman dan rohaniawan Hindu


sebaiknya menghindar terlibat atau dilibatkan dalam
pelaksanaan perkawinan yang tidak lasim serta
perkawinan yang dilarang oleh hukum, baik hukum
agama Hindu, hukum adat Bali, maupun hukum nasional.

Upacara Perceraian
Perceraian yang dilaksanakan berdasarkan Hukum
Adat Bali dikenal dengan sebutan palas pada lasia
(perceraian dengan tulus ikhlas) atau dikenal pula dengan
perceraian pada lasia. Perceraian pada lasia mengandung
arti: (a) Perceraian selesai tuntas di hadapan prajuru desa
pakraman; (b) masing-masing pihak tidak akan
mempersoalkan harta gunakaya (harta perkawinan); (c)
pihak istri tidak akan mempersoalkan hak asuh anak. Anak
yang dilahirkan akan diasuh oleh ayahnya dan mengikuti
garis keturunan ayahnya; (d) masing-masing pihak tidak
akan mengajukan gugatan atau tuntutan dan pengaduan
apapun kepada penegak hukum, atas perbuatan yang
dilakukan oleh masing-masing pihak sesudah perceraian
pada lasia diselesaikan dan kasobyahang (diumumkan)
dihadapan paruman atau rapat desa atau banjar; (e) semua
yang tersebut dalam uraian pada nomor (a), (b), (c), dan (d)
di atas, dituangkan dalam bentuk surat pernyataan, yang
dibuat oleh pasangan cerai, disaksikan oleh masing-
masing orang tua dan disaksikan oleh prajuru desa
pakraman masing-masing.
Kelemahan perceraian pada lasia antara lain: (a) sulit
menjelaskan bahwa telah ada perceraian, terutama kepada
orang, lembaga, atau pihak lain yang berasal dari luar desa

66
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

pakraman pasangan yang cerai; (b) hal ini juga berdampak


terhadap kesulitan dalam pembuktian akan perceraian
yang telah dilakukan.
Untuk menghindari beberapa kelemahan seperti
digambarkan di atas, maka pilihan terbaik untuk cerai
adalah lewat Pengadilan Negeri setempat, walaupun
pasangan suami istri yang akan cerai belum memiliki akta
perkawinan.20
Perhatikan ketentuan Pasal 39 dan 40 Undang-
Undang Perkawinan, seperti dikutip di bawah ini.

Pasal 39
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan
bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup
rukun sebagai suami isteri.
(3) Tatacara perceraian di depan Sidang pengadilan
diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Penjelasan
Pasal 39.
(1) Cukup Jelas

20 Terhadap pasangan suami istri yang dalam perkawinannya belum

memiliki akta perkawinan, masih sangat mungkin untuk bercerai di Pengadilan


Negeri. Syarat antara lain: Adanya surat keterangan telah melangsungkan
perkawinan secara sah menurut agama Hindu dan Hukum Adat Bali dari prajuru
desa adapt, disertai saksi-saksi secukupnya. Ada juga dilakukan dengan permohonan
kepada hakim untuk menetapkan bahwa perkawinan yang dilaksanakan terdahulu
sah menurut hukum, sesudah itu barulah dilanjutkan dengan permohonan
penetapan perceraian.

67
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

(2) Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk


perceraian adalah:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi
pemabok, pemadat, pejudi dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama
2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang
lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5
(lima) tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayakan
terhadap pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau
penyakit yang mengakibatkan tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menjadi perselisihan
dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan
hidup rukun dalam rumah tangga.

Pasal 40
(1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
(2) Tatacara mngajukan gugatan tersebut pada ayat 1
pasal ini diatur dalam paraturan perundangan sendiri.
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara
dan mendidik anak-anaknya semata-mata
berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai pengusaan anak-anak,
Pengadilan memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas biaya
pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan
anak itu bilamana Bapak dalam kenyataan tidak

68
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan


dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami
untuk memberikan biaya penghidupan dan atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Kemungkinan Permasalahan dan


Langkah Antisipasi yang Diperlukan
Adanya ketentuan tentang perceraian seperti di
atas, pada awal berlakuknya Undang-Undang
Perkawinan, muncul beberapa masalah sehubungan
dengan perceraian, seperti: (1) Perceraian pada lasia
semakin menghilang dari “peredaran”. (2) Prajuru desa
tidak bersedia menyelesaikan perceraian, karena takut
dicap melanggar Undang-Undang Perkawinan. (3) Muncul
kesulitan menyelesaikan perceraian bagi pasangan yang
tidak memiliki akta perkawinan. (4). Ada sementara warga
yang telah bercerai secara sah berdasarkan putusan
pengadilan dan sudah memiliki akta perceraian, tetapi
tidak diketahui oleh prajuru desa pakraman dan juga tidak
diketahui oleh sebagian besar krama desa (warga), kecuali
keluarganya. (5). Kenyataan ini membawa konsekuensi
kurang baik terhadap keberadaan hukum adat Bali dan
menyulitkan bagi prajuru desa dalam menentukan
swadharma atau tanggung jawab krama desa sesudah
perceraian.
Berdasarkan fakta di atas, Pasamuhan Agung III
Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali, yang
diselenggarakan 15 Oktober 2010, bertempat di Gedung
Wiswasabha, Kantor Gubernur Prov. Bali, memutuskan

69
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

tentang pelaksanaan proses perceraian dan upacara


patiwangi dengan rangkaian sebagai berikut.
1. Upacara patiwangi tidak dilaksanakan lagi terkait
dengan pelaksanaan upacara perkawinan.
2. Bagi calon pengantin yang karena keadaannya tidak
memungkinkan melangsungkan perkawinan biasa
atau nyeburin (nyentana), dimungkinkan
melangsungkan perkawinan pada gelahang atas dasar
kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan.
3. Agar proses perceraian sejalan dengan proses
perkawinan, maka perceraian patut dilaksanakan
dengan ketentuan sebagai berikut.
a. Pasangan suami istri yang akan melangsungkan
perceraian, harus menyampaikan kehendaknya
itu kepada prajuru banjar atau desa pakraman.
Prajuru wajib memberikan nasihat untuk
mencegah terjadinya perceraian.
b. Apabila terjadi perceraian maka terlebih dahulu
harus diselesaikan melalui proses adat, kemudian
dilanjutkan dengan mengajukannya ke
pengadilan negeri untuk memperoleh keputusan.
c. Menyampaikan salinan (copy) putusan perceraian
atau akte perceraian kepada prajuru banjar atau
desa pakraman. Pada saat yang bersamaan, prajuru
banjar atau desa pakraman menyarankan kepada
warga yang telah bercerai supaya melaksanakan
upacara perceraian sesuai dengan agama Hindu.
d. Prajuru mengumumkan (nyobyahang) dalam
paruman banjar atau desa pakraman, bahwa
pasangan suami istri bersangkutan telah bercerai
secara sah, menurut hukum nasional dan hukum
adat Bali, sekalian menjelaskan swadharma mantan
pasangan suami istri tersebut di banjar atau desa
pakraman, setelah perceraian.

70
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa perceraian pada


lasia, sah menurut hukum adat Bali, walaupun mengadung
beberapa kelemahan. Perceraian yang diselesaikan lewat
Pengadilan Negeri, juga sah menurut Udnang-Undang
Perkawinan.
Kepada prajuru desa pakraman disarankan untuk
mengikuti Keputusan Pasamuhan Agung III Majelis
Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali, yang diselenggarakan
15 Oktober 2010, apabila menghadapi masalah perceraian.
Kepada rohaniawan Hindu juga disarankan hal
serupa. Dalam arti, apabila diadakan upacara perceraian
sesuai dengan agama Hindu (atau apapun namanya sesuai
dengan kebiasaan setempat), sepatutnya hal tersebut
dilangsungkan setelah segala persyaratan dan proses
perceraian dilaksanakan sesuai dengan hukum yang
berlaku, baik hukum nasional dan Keputusan Pasamuhan
Agung III Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali,
tahun 2010.

Upacara Pengangkatan Anak


Secara sederhana pengangkatan anak (ngangkat
sentana)21 menurut Hukum Adat Bali dapat digambarkan
sebagai berikut.
1. Langkah pertama, pembicaraan diantara pasangan
suami istri yang tidak memiliki keturunan tentang

21 Sebagai perbandingan, baca juga buku V.E. Korn, 1912. Bentuk-bentuk Sentana

Menurut Hukum Adat Bali Pada Masa Kolonial. Sebagian terjemahan dari buku Korn,
V.E.Korn, 1932. Adat Recht van Bali. Penerjemah I Gde Wayan Pangkat dan Ibu Mien
Joebaar. Unud Pres, Denpasar. Gde Panetja, 1989, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat
Bali, Guna Agung, Denpasar.

71
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

rencana pengangkatan anak dan anak siapa yang akan


diangkat. Untuk diketahui, awig-awig desa pakraman
(tertulis maupun tidak tertulis), pada umumnya
mengatur tentang calon anak angkat sebagai berikut.
(a). Utamakan mengangkat anak yang berasal dari
keluarga suami (kapurusa). (b). Apabila keluarga suami
tidak memungkinkan, barulah dapat diusahakan
mengangkat anak dari keluarga istri (pradana). (c).
Apabila dari keluarga suami dan istri juga tidak
memungkinkan, pengangkatan anak dapat dilakukan
sekama-kama (bebas), yang penting calon anak angkat
berasal dari soroh (garis keturunan) yang sama dan
beragama Hindu.22
2. Langkah kedua, pembicaraan dengan saudara
kandung (tugelan), untuk mendapatkan persetujuan
tentang calon anak yang akan diangkat. Calon anak
angkat, bisa jadi adalah anak tugelan suami (ponakan
kapurusa) kalau memungkinkan, dimungkinkan atau
diijinkan oleh orang tuanya, dan ada keleteg bayu (ada
kedekatan atau perasaan yang khas) antara calon
orang tua angkat dan calon anak angkat. Bisa juga
anak tugelan istri (ponakan predana) kalau
memungkinkan, dimungkinkan atau diijinkan oleh
orang tuanya, dan ada keleteg bayu di antara calon
orang tua angkat dan calon anak angkat.

22 Adanya awig-awig desa pakraman tentang calon anak angkat dengan tata

urutan seperti ini, dilatarbelakangi oleh konsep pemikiran yang dikenal dengan
istilah matindih (setia dalam kata dan perbuatan selamanya, baik dalam keadaan suka
maupun duka). Seorang anak angkat yang berasal dari keluarga dekat (masih ada
hubungan darah), diyakini lebih matindih dibandingkan dengan anak angkat yang
tidak ada hubungan keluarga (hubungan darah). Keyakinan beragama penting untuk
diperhatikan, karena tujuan utama pengangkatan anak adalah untuk melanjutkan
swaadharma (tanggung jawab) orang tua angkatnya, baik dalam hubungan dengan
tanggung jawab parhyangan, pawongan, dan palemahan, sesuai dengan ajaran agama
Hindu.

72
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Apabila dari keluarga kapurusa dan predana tidak


memungkinkan atau tidak diijinkan atau tidak ada
keleteg bayu, sedangkan di lain pihak pasangan suami
istri berkeinginan keras untuk memiliki keturunan,
maka tidak ada pilihan lain, kecuali membuka ruang
bagi hadirnya calon anak angkat dari luar lingkungan
keluarga (sekama-kama), yang penting anak yang
dimaksud berasal dari soroh yang sama dan beragama
Hindu.
3. Langkah ketiga, pembicaraan dengan orang tua calon
anak angkat.
4. Langkah keempat, penyampaian kepada prajuru
desa/banjar tentang rencana pengangkatan anak dan
calon anak yang akan diangkat, untuk kasobyahang
(diumumkan) dan mendapatkan persetujuan dalam
paruman (rapat) desa/banjar.23
5. Langkah kelima, sesudah mendapatkan persetujuan
dalam paruman desa/banjar pakraman dilanjutkan
dengan pelaksanaan upacara peperasan. Sesudah
upacara peperasan dilaksanakan sesuai dengan agama
Hindu dan Hukum Adat Bali, pengangkatan anak
dinyatakan sah menurut Hukum Adat Bali. Itu
sebabnya anak angkat itu dikenal pula dengan sebutan
“sentana peperasan”. Seorang anak yang telah diangkat
secara sah menurut Hukum Adat Bali, memiliki
kedudukan yang sama dengan anak kandung, baik

23 Pengumuman dalam paruman desa/banjar pakraman bertujuan untuk

memastikan apakah calon anak angkat beragama Hindu ataukah non Hindu. Krama
(anggota) desa/banjar pakraman dapat menolak seorang calon anak angkat dengan
alasan anak tersebut tidak beragama Hindu atau keyakinan agamanya tidak jelas,
karena dikhawatirkan anak angkat tersebut tidak mungkin untuk melaksanakan
swadharma terhadap masyarakat (seperti telah dijelaskan di atas). Dalam keadaan
sepeti ini kehadiran seorang anak angkat dalam satu keluarga bukannya meringankan
tugas dan tanggung jawab desa pakraman, sebaliknya justru akan mengganggu
kelangsungkan desa pakraman bersangkutan. Itu sebabnya desa/banjar pakraman
menolaknya.

73
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

mengenai swadharma (tanggung jawabnya) maupun


swadikara (haknya), dalam keluarga dan masyarsakat.
6. Langkah keenam (terakhir) mohon penetapan
Pengadilan Negeri. Walaupun pengangkatan anak
telah dinyatakan sah setelah adanya upacara peperasan,
tetapi penetapan pengadilan negeri penting
dilakukan, untuk memudahkan dalam membuktikan
dikemudian hari, seandainya ada orang atau pihak
lain yang meragukan keabsahan proses pengangkatan
anak tersebut.24

Kemungkinan Permasalahan dan


Langkah Antisipasi yang Diperlukan
Dalam hubungan dengan pengangkatan anak
(ngangkat sentana), ada dua masalah yang biasanya muncul.
Masalah intern keluarga. Dalam hal ini ada keluarga yang
tidak setuju dengan calon anak yang akan diangkat.
Masalah masyarakat. Dalam hal ini ada warga masyarakat
keberatan dengan rencana pengakatan anak yang
dimaksud.
Sebagai prajuru dan rohaniawan Hindu, dalam
keadaan seperti ini, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan. (1). Terhadap masalah intern keluarga, ada
dua hal yang dapat dilakukan sebagai dasar keberatan,
yaitu: (a) Anak yang diangkat tidak beragama Hindu; (b)
calon anak angkat berasal dari soroh (asal-usul keturunan)
berbeda. Di luar dua hal tersebut, keluarga lain sangat
dimungkinkan untuk tidak senang, tetapi tidak

24 Pengangkatan anak secara nasional diatur berdasarkan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang - Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

74
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

dimungkinkan untuk menolak atau keberatan atas rencana


pengangkatan anak yang dimaksud. Dalam keadaan
seperti ini, prajuru dapat menjelaskan hal itu kepada
keluarga bersangkutan sebelum membawa persoalan
dalam rapat desa pakraman.
Terhadap masalah dengan masyarakat, perlu
ditegaskan bahwa yang penting bagi masyarakat adalah
bahwa anak yang diangkat beragama Hindu. Tidak ada
alasan bagi masyarakat menolak pengangkatan anak,
kalau calon anak angkat telah beragama Hindu. Di luar
masalah agama, adalah masalah intern keluarga
bersangkutan yang tidak ada sangkut paut dengan
masyarakat.
Kepada romahiwan Hindu disarankan agar jangan
keburu nafsu memimpin (muput) pelaksanaan upacara
pengangkatan anak (upacara peperasan), sebelum masalah
keluarga dan masalah masyarakat dapat diselesaikan
dengan tuntas, dibuktikan dengan hadirnya prajuru desa
pakraman pada waktu pelaksanaan upacara peperasan.

Upacara Pengangkatan Anak (Bayi) Terlantar


Pada dasarnya pengangkatan anak (bayi) terlantar
sama saja dengan pengangkatan anak yang lainnya, seperti
telah diuraikan di atas. Hanya saja, dalam hal
pengangkatan anak (bayi) terlantar perlu ditegaskan
bahwa proses pengangkatan anak menurut Hukum Adat
Bali dan agama Hindu baru dapat dilaksanakan sesudah
segala persyaratan yang ditentukan dalam hukum
nasional yang berlaku, dipenuhi. Yang dimaksud adalah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun

75
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23


Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007
tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, dan berbagai
aturan teknis lainnya yang terkait dengan pengangkatan
anak.

Kemungkinan Permasalahan dan


Langkah Antisipasi yang Diperlukan
Permasalahan yang ada biasanya pihak calon orang
tua angkat, begitu bersemangat untuk mengangkat anak,
sehingga mengabaikan ketentuan hukum yang berlaku,
baik hukum nasional maupun hukum adat Bali. Dalam
suasana seperti ini, pertama-tama disarankan agar prajuru
desa pakraman dan rohaniawan Hindu, mengingatkan calon
orang tua angkat untuk memenuhi segala ketentuan
hukum yang berlaku sebelum melaksanakan upacara
peperasan. Saran kedua, mempersilahkan calon orang tua
angkat untuk mengasuh anak bersangkutan terlebih
dahulu dan kemudian dilanjutkan dengan aktivitas
pengangkatan anak, sesudah segala persyaratan dipenuhi,
baik menurut hukum nasional maupun hukum adat Bali.

Upacara Pengukuhan Sentana Rajeg


Tidak ada autran tertulis maupun tidak tertulis
yang kewajiban untuk mengukuhkan seseorang menjadi
sentana rajeg. Dimaksud sentana rajeg adalah seorang
perempuan yang berstatus laki-laki, karena dalam satu
keluarga hanya lahir seorang anak dan kebetulan berjenis

76
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

kelamin perempuan atau satu keluarga memiliki beberapa


anak, yang semuanya perempuan.
Apabila orang tua keluarga ini tidak menghendaki
kelurganya mengalami kaputungan atau putung (tidak ada
pelanjut keturunan), maka satu-satunya anak perempuan
yang dilahirkan atau salah seorang diantara anak
perempuan yang dilahirkan, akan dikukuhkan berstatus
kapurusa (laki-laki). Pada waktu anak yang berstatus
kapurusa (laki-laki) ini melangungkan perkawinan, maka
bentuk perkawinan yang dipilih pastilah perkawinan
nyentana (pihak mempelai laki-laki berstatus sebagai
predana atau perempuan dan diajak masuk dalam keluarga
perempuan yang berstatus kapurusa).

Kemungkinan Permasalahan dan


Langkah Antisipasi yang Diperlukan
Permasalahan yang biasanya muncul antara lain:
(1). Ada kalanya keluarga kandung (tugelan) tidak setuju
pengukuhan seorang anak perempuan berstatus kapurusa,
dengan berbagai alasan. Tetapi biasanya semua alasan
yang diajukan bermuara pada masalah pembagian
warisan. (2). Sering pula ketidaksetujuannya itu
disampaikan menjelang dilaksanakan perkawinan
nyentana.
Adanya upacara pengukuhan sentana rajeg, selain
dimaksudkan untuk mengantisipasi permasalahan
tersebut, sekaligus juga dimaksudkan agar semua pihak
(anak perempuan bersangkutan, calon pacarnya, keluarga
yang lainnya dan masyarakat pada umumnya) dari awal
sudah terjaga, sudah mengetahui bahwa anak perempuan

77
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

tersebut berstatus kapurusa (sentana rajeg). Sehingga


ssiapapun yang berani mendekatinya, berani menjalin
hubungan asmara dengannya, dikemudian hari harus pula
siap melangsungkan perkawinan nyentana.
Prajuru desa pakraman dan rohaniawan Hindu,
sebaiknya mengingatkan agar segala permasalahan interen
keluarga diselesaikan terlebih dahulu sebelum
melaksanakan upacara pengukuhan sentana rajeg.

2. Upacara yang Lain


Upacara Sumpah Cor
Dalam perkara perdata (seperti jual beli, hutang-
pihutang, dll), dikenal adanya dua jenis sumpah. (1).
Sumpah pemutus (sumpah dessisoir); dan (2) sumpah
pelengkap atau sumpah tambahan (sumpah suplatoir).
Sesuai namanya, sumpah pemutus mengandung makna
“dapat memutuskan suatu perkara”. Artinya sesudah
sumpah itu diucapkan, segala persoalan yang melibatkan
pihak yang berperkara, ditanyakan selesai. Contoh soal,
kalau si A mengklaim memiliki pihutang pada si B,
sementara si B mengatakan telah membayar lunas segala
hutangnya kepada si A. Dalam keadaan seperti ini apabila
si B berani mengangkat sumpah (ditandai dengan nayub cor
atau minur tirta cor) yang mengatakan bahwa dia telah
membayar hutang kepada si A, dan hal ini disetujui oleh si
A, maka segala hutangnya dinyatakan lunas.
Di Bali sumpah ini dikenal dengan sebutan sumpah
cor atau dikenal pula dengan sebutan macoran. Acara

78
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

sumpah cor dilaksanakan di tempat suci (pura) tertentu


yang disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara.25

Kemungkinan Permasalahan dan


Langkah Antisipasi yang Diperlukan
Dalam pelaksanaan sumpah cor, ada beberapa
permasalahan yang mungkin saja bisa terjadi yang
memiliki dampak kurang baik bagi prajuru desa pakraman
maupun bagi rohaniawan Hindu, seperti: (1). Ketidak
jelasan apakah masalah yang dihadapi merupakan bidang
hukum perdata atau pidana (kejahatan dan pelanggaran).
(2). Sumpah cor direncanakan untuk dilaksanakan pada
suatu tempat suci, tetapi belum menyampaikan
permakluman atau mohon ijin kepada pihak yang
berwenang (pengempon) pura tersebut. (3). Kehadiran
orang atau instansi yang wajib menyaksikan pelaksanaan
sumpah cor, tidak lengkap.
Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinkan
masalah hukum yang akan muncul, prajuru dan
rohaniawan Hindu perlu melakukan beberapa langkah
antisipasi, seperti: (1). Perlu penjelasan apakah masalah
yang dihadapi merupakan masalah dalam bidang hukum
perdata (hubungan orang persorangan) atau pidana
(kejahatan dan pelanggaran). Hanya dalam masalah
hukum perdata sajalah yang dimungkinkan melaksanakan
sumpah cor, sementara hal serupa tidak dimungkinkan
dalam hubungan dengan hukum pdana atau kejahatan dan

25 Tentang sumpah cor, meliputi tata cara melaksanakannya, lafal sumpah

yang wajib diucapkan, dan berbagai konsekwensi yang muncul sesuai lafal sumpah
yang dimaksud, baca buku Sumpah Cor, yang dususun oleh Wayan P. Windia (1997),
diterbitkan Upada Sastra, Denpasar.

79
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

pelanggaran yang dilakukan. (2). Perlu ditegaskan


sebelum pelaksanaan sumpah cor bahwa pelaksanaannya
sudah mendapat ijin dari pihak yang berwenang
(pengempon) pura tersebut. (3). Pastikan bahwa orang atau
instansi yang wajib menyaksikan pelaksanaan sumpah cor,
sudah semuanya hadir.

Upacara Madewa Saksi


Madewa saksi secara sederhana dapat diartikan
menggunakan alam semesta atau Dewa atau Tuhan Yang
Maha Esa sebagai saksi atas kecurigaan atau dugaan
adanya tindakan yang kurang baik atau tidak benar. Istilah
lainnya, mangening-ening. Ening atau ning berarti jernih
atau bersih dari kotoran. Dalam konteks perbuatan hukum
dan perbuatan melanggar hukum, madewa saksi atau
mangening-ening dilaksanakan dengan maksud untuk
menciptakan suasana yang jernih atau bersih dari kotoran
atau damai tanpa kecurigaan atas sesuatu perbuatan atau
sikap tertentu. Tata cara dan tempat pelaksanaannya
hampir sama dengan pelaksanaan sumpah cor.
Perbedaannya, dalam hal ini tidak ada persengketaan
(perkara) tetapi hanya ada kecurigaan atas perbuatan atau
sikap tertentu dan dalam pelaksanaannya tidak disertai
dengan nayub cor atau minur tirta cor.

Kemungkinan Permasalahan dan


Langkah Antisipasi yang Diperlukan
Permasalahan yang mungkin muncul dalam
pelaksanaan upacara madewa saksi atau mangening-ening,
hampir sama dengan upacara sumpah cor. Yang berbeda

80
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

adalah latar belakang pelaksanaan upacaranya. Kalau


dalam sumpah cor, dilatar belakang oleh adanya
persengketaan (masalah), sementara dalam madewa saksi
dilatar belakangi oleh kecurigaan atas sesuatu.
Oleh karena permasalahannya hampir sama, maka
cara mengantisipasi permasalahannya juga mirip.

Upacara Ngaruak karang


Upacara ngaruak karang dilaksanakan sebelum
seseorang mulai membangun pada karang anyar atau tanah
pekarangan yang baru. Tanah pekarangan baru didapat
melalui dua kemungkinan, yaitu: (1). Sesuai hukum,
seperti membeli, menyewa, pemberian (jiwa dana),
mendapatkan melalui putusan penadilan (gugatan ke
pengadilan). (2). Melanggar hukum, seperti menyerobot
atau mendapatkan dengan cara tidak sesuai dengan
hukum yang berlaku, baik hukum adat maupun hukum
nasional.

Kemungkinan Permasalahan dan


Langkah Antisipasi yang Diperlukan
Tidak ada masalah untuk menjadi saksi atau
memimpn pelaksanaan upacara ngaruak karang, asalkan
sudah ada kepastikan (dengan bukti-bukti yang jelas)
bahwa karang atau tanah yang dimaksud didapat dengan
cara yang benar atau sesuai dengan hukum yang berlaku,
seperti: membeli, menyewa, pemberian (jiwa dana), dll.
Apabila karang atau tanah yang dimaksud didapat
melalui putusan penadilan (gugatan ke pengadilan), perlu
ditegaskan bahwa putusan pengadilan tersebut telah

81
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

memiliki kekuatan hukum tetap (tidak dalam proses


banding, kasasi, dan peninjauan kembali).
Sebaiknya hindari menjadi saksi atau memimpin
pelaksanaan upacara ngaruak karang, apabila karang yang
dimaksud didapat dengan cara yang tidak benar atau tidak
sesuai dengan hukum yang berlaku, baik hukum adat
maupun hukum nasional.

Upacara Mintonin
Mintonin dalam konteks pelaksanaan upacara
menurut agama Hindu mengandung dua pengertian. (1).
Mintonin dalam arti matur piuning atas seseorang (pada
umumnya bayi atau anak balita) yang baru pertama kali
diajak ke tempat suci (pura) tertentu. Untuk keselamatan
dan kedamaian sang balita dan keluarganya, biasanya
waktu pertama kali diajak ke pura, akan diadakan upacara
tertentu di pura bersangkutan khusus untuk bayi tersebut.
Upacara ini dikenal dengan sebutan mintonin. (2). Mintonin
dalam arti uji kesaktian, seperti: mintonin penari rangda
dengan menusukan sebilah keris, mintonin seseorang yang
pura-pura jadi mayat (dikenal dengan sebutan bangke-
bangkean) dengan mengundang orang-orang sakti,
mintonin orang kasurupan dengan menggunakan nyala atau
bara api, dll.

Kemungkinan Permasalahan dan


Langkah Antisipasi yang Diperlukan
Bentuk mintonin yang pertama, nyaris tidak
memiliki konsekwensi hukum, sementara mintonin yang
kedua (uji kesaktian), memiliki konsekwensi hukum.

82
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Mintonin penari rangda dengan menusukan sebilah keris,


bisa jadi penarinya benar-benar tertusuk keris dan terluka
atau bahkan mati. Mintonin seseorang yang pura-pura jadi
mayat (bangke-bangkean) dengan mengundang orang-orang
sakti, bisa juga orang ini benar-benar mati tanpa sebab
musabab yang jelas. Mintonin orang kasurupan dengan
menggunakan nyala atau bara api, sangat mungkin
orangnya benar-benar terbakar atau luka bakar oleh api
yang dimaksud.
Untuk menghindari berbagai kemungkinan
konsekwensi hukum yang harus dihadapi dikemudian
hari, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh prajuru
desa pakraman dan rohaniawan Hindu, antara lain: (1).
Pelaksanaan acara mintonin, hendaknya benar-benar
dilaksanakan sesuai dengan norma agama Hindu dan
hukum adat Bali yang telah berjalan secara turun-temurun.
(2). Apabila ingin mencoba seseorang yang mengaku
kesurupan, sebaiknya menggunakan sekitar tiga buah
dupa yang sedang menyala dan hindari menggunakan
bara serabut kelapa dan bahan bakar yang lainnya dalam
jumlah yang relatif banyak dan dengan nyala api yang
relatif besar. (3). Hindari menjadi sanksi atau memimpin
pelaksanaan upacara mintonin yang dilaksanakan dengan
cara yang tidak lasim atau dilaksanakan dengan cara yang
tidak sesuai dengan norma agama Hindu dan hukum adat
Bali yang telah berjalan secara turun-temurun.

3. Konsekwensi Hukum dan Konsekwensi Sosial


Apabila prajuru desa pakraman dan rohaniawan
Hindu kurang awas dan berhati-hati dalam memimpin

83
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

(muput) dan/atau menjadi saksi pelaksanaan upacara


menurut agama Hindu yang ternyata memiliki
konsekwensi hukum, seperti beberapa jenis upacara yang
telah diuraikan di atas, ada kemungkinan prajuru desa
pakraman dan rohaniawan Hindu tersebut akan menerima
konsekwensi hukum atau konsekwensi sosial.

Konsekwensi Hukum
Konsekwensi awal yang kemungkinan akan
dialami, antara lain: (1). Stress, karena didatangi aparat
penyelidik (kepolisian) silih berganti dengan pakaian
resmi atau pakaian tidak resmi (preman) untuk
mengumpulkan bahan dan keterangan (bukti permulaan)
terkait dengan perbuatan yang dilakukan. (2). Capek,
karena bolak balik ke kantor polisi (polsek atau polres)
memenuhi panggilan aparat kepolisian (penyidik) untuk
menentukan status yang bersangkutan berdasarkan
keterangan dan bukti permulaan yang didapat melalui
proses penyelidikan.
Sesudah melewati beberapa kali pemeriksaan, ada
beberapa kemungkinan konsekwensi hukum yang akan
terjadi, seperti: (1). Yang bersangkutan akan dilepaskan,
hanya bestatus sebagai saksi, atau sekalian menjadi
tersangka, tergantung dari alat bukti yang berhasil
dikumpulkan. (2). Bisa juga dipanggil oleh aparat
penuntut umum (kejaksanaan) untuk dimintai keterangan
tambahan sebelum dilakukan penuntutan di pengadilan.
(3). Konsekwensi hukum yang paling berat tentunya dapat
dijatuhi hukuman pidana melalui sidang di pengadilan,
kalau ditemukan alat bukti yang cukup dan disertai

84
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

keyakinan hakim bahwa yang bersangkutan memang


terbukti telah melakukan tidak pidana tertentu.
Selain jenis sanksi seperti di atas, bisa pula
dikenakan sanksi berdasarkan hukum adat Bali, seperti
telah diuraikan pada Bab IV di atas atau seperti yang
tertuang dalam awig-awig desa pakraman setempat. Dalam
awig-awig desa pakraman, sanksi kepada prajuru yang
melakukan perbuatan yang tidak patut, diatur sebagai
berikut. “Prade prajuru utawi dulu iwang penglaksana keni
pemidanda nikel ring keiwangan soang-soang krama saha
keangkat kerariyanang manut pararem”.
Ketentuan senada juga dapat dikenakan kepada
rohaniawan Hindu yang melakukan perbuatn tidak patut.
Dalam awig-awig desa pakraman diatur sebagai berikut.
Prade pemangku kewusang sangkaning melaksana asta dusta,
keni pemidanda manut perarem.
Bagaimana hal itu diatur dalam perarem, belum
jelas, sehingga berbagai kemungkinan konsekwensi soaial
dapat dikenakan terhadap prajuru desa pakraman dan
rohaniawan Hindu yang terbukti melakukan perbuatan
tidak patut, seperti diuraikan di bawah ini.

Konsekwensi Sosial
Selain konsekwensi hukum seperti digambarkan di
atas, terhadap prajuru desa pakraman dan rohaniawan
Hindu yang kurang awas dan berhati-hati dalam
memimpin (muput) dan/atau menjadi saksi pelaksanaan
upacara menurut agama Hindu, ada kemungkinan pula
akan berhadapan dengan konsekwensi sosial, seperti
kewajiban melaksanakan sesuatu sesuai dengan norma

85
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

agama, seperti melaksanakan upacara prayascita,


melaksanakan tirta yatra, dicemoh oleh warga masyarakat,
dikucilkan dalam masyarakat, dan berbagai bentuk rekasi
sosial yang lainnya.

86
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Daftar Pustaka

Achmad Ali, 2002. Menguak Tabir Hukum. Gunung Agung,


Jakarta.
Anggan Suhandana, Gede, 2005. “Menyiapkan Sulinggih bagi
Umat Hindu Antara Siksa dan Diksa”. Makalah
dalam Seminar Diksa, Denpasar.Yayasan Gosana
Pusat.
Bhisama PHDIPusat No.02/Bhisama/Sabha Pandita Parisada
Hindu Dharma Indonesia Pusat/X/2002 tentang
Sadhaka.
Biro Hukum dan HAM Setda Propinsi Bali Tahun Anggaran
2002. “Pedoman/Teknis Penyusunan Awig-awig dan
Keputusan Desa Adat”, yang dikeluarkan oleh Biro
Hukum dan HAM Setda Propinsi Bali Tahun
Anggaran 2002.
Dyatmikawati, Putu, 2013. Perkawinan pada Gelahang di Bali
Ditinjau dari U.U. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Unud Press, Denpasar.
Gde Pudja, 1974. Pengantar Tentang Perkawinan Menurut Hukum
Hindu. Ditjen Bimas dan Budha Dep.Agama RI,
Jakarta.
Kembar Kerepun, Made, 2007. Mengurai Benang Kusut Kasta.
Membedah Kiat Pengajegan Kasta di Bali. PT Empat
Warna Komunikasi, Denpasar.

87
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

Kaler, I Gusti Ketut, 1979. Butir-Butir Tercecer tentang Adat Bali.


Denpasar, Bali Agung.
Kadjeng, Nyoman, 1985. Sarasamuscaya, Jakarta. Hanuman
Sakti.
Parisadha Hindu Dharma Indonesia Pusat, 1968. “Ketetapan
PHD II.No.V/Kep/PHDP/68”.
Parisadha Pusat, 1986/1987. “Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-
Aspek Agama Hindu Ke 14/1986/1987”. Tanggal 11
Maret 1987, Mengenai Kawikon dan Pelaksanaan
Diksa.
Pudja, Gde dan Sudharta, Tjok Rai 1984. Manawadharmasastra,
Dirjen Bimas Hindu dan Bhuda Jakarta
Parisadha Hindu Dharma Indonesia Pusat, 1968: Ketetapan
PHDI No.V/Kep/PHDP/68.
Putra, Ngakan Pt. dkk, 2010. Kompilasi Dokumen Literer 45 Tahun
Parisada.Jakarta. PHDI Pusat
Putra, IG Mas, 2006. Panca Yadnya. Denpasar. Pemda Tk I Bali.
Puniatmadja, Ida Bagus, 1976. Silakrama,Denpasar. Parisada
HIndu Dharma Hindu Dharma Pusat.
Rai Mirsa, I Gusti, 1997. “Wasista Tattwa”. Koleksi Pusat Do-
kumentasi Kebudayaan Bali, Denpasar.
Satjipto Rahardjo, 1982. Ilmu Hukum. Alumni, Bandung.
Semadi Astra,Gd, 1986. Kamus Sanskerta-Indonesia. Proyek
Peningkatan Mutu Pendidikan Daerah Tingkat I Bali.
Sudharta,Tjok Rai. 1983/1984. Gagelaran Pamangku, Milik
Pemda Tingkat I Bali, Proyek Penyuluhan dan
Penerbitan Buku Agama.
Sudiana, I Gusti Ngurah. 2006. Samhita Bhisama Parisada Hindu
Dharma Indonesia. Denpasar. PHDI Bali.

88
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Simpen. I W. 1985. Kamus Bahasa Bali, Denpasar. PT Mabakti


Sudantra, I Ketut dan Wayan P. Windia, 2012. Sasana Prajuru
Desa. Tata Laksana Pimpinan Desa Adat di Bali. Udayana
Univestity Press, Denpasar.
Surpa, Wayan. 1999. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan
Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XIV.
Denpasar. Pemda TK I Bali.
Utrecht, E/Moh Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum
Indonesia. SH, Jakarta.
Van Apeldoorn, 1981. Pengantar Ilmu Hukum. Pradnya
Paramita, Jakarta.
Wayan P. Windia, 1997. Sumpah Cor. Upada Sastra, Denpasar.
Wayan P. Windia, dkk, 2013. Perkawinan pada Gelahang di Bali.
Udayana Univestity Press, Denpasar.
Wayan P. Windia, 2014. Hukum Adat Bali. Aneka Kasus &
Penyelesaiannya. Udayana Univestity Press, Denpasar.
Wayan P. Windia, 2015. Mapadik. Orang Biasa, Kawin Biasa, Cara
Biasa di Bali. Udayana Univestity Press, Denpasar.
Wayan P. Windia, dkk, 2013. Kompilasi Aturan tentang Desa Adat
di Bali. Unud Press, Denpasar.
Wiana, Kt. 2007. Rsi Yadnya dan Sistem Kependetaan Hindu.
Surabaya. PT. Paramita.
Yoga Segara, I Nyoman, 2011. ”Perkawinan Nyerod. Studi
tentang Dinamika Relasi Jaba – Tri Wangsa, di Bali”.
Disertasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Program Pasca Sarjana Antropologi, Universitas
Indonesia.

89
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

Lontar:
Kusumadewa : Koleksi Pusat Dokumentasi
Kebudayaan Bali, Denpasar.
Raja Purana Gama : Koleksi Ida Pedanda Budha Geria
Taman Sukawati, Gianyar.
Tattwa Siwa Purana : Koleksi Pusat Dokumentasi
Kebudayaan Bali, Denpasar.

90
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

LAMPIRAN - LAMPIRAN

91
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

92
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Lampiran 1

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT


DAERAH BALI
NOMOR : 10/D.P.R.D.

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT


DAERAH BALI
Memperihatikan bahwa beranak sekelamin (laki-laki
dan perempuan) yang telah terbiasa disebutkan dalam adat Bali
Hindu “beranak salah” yang bisa berlaku melulu mengenai
golongan Sudra wangsa saja, karena menurut paham kuno
“memada mada sang ratu dan mamanesi negeri”.
Memperhatikan bahasa bayi yang baru lahir itu
bersama ibu bapaknya harus dipindahkan dari rumahnya ke
halaman kuburan atau perempatan selama 42 hari, hal ini
dipandang menyalahi perikemanusian dan kesehatan.
Mengingat pula bahasa setelah sampai batas waktunya,
orang tua bayi harus membuat upacara prascita untuk desa,
yang banyak menelan biaya.
Menimbang bahasa adat sebagai tersebut di atas tiada
sesuai lagi dengan keadaan masa ini.

MEMUTUSKAN
MENETAPKAN PESUARAN PENGHAPUSAN ADAT
YANG DISEBUT “MANAK SALAH” ATAU BUNCING

93
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

Pasal 1
Apabila ada orang yang melahirkan anak laki
perempuan yang menurut Adat Bali Hindu dulu disebut
“manak salah” atau “buncing” maka setelah berlakunya
peraturan ini orang-orang bersangkutan tiada dianggap
bersalah dan tiada boleh dikenai hukuman apa juapun.

Pasal 2
Dengan berlakunya peraturan ini adat yang disebut
“manak salah” atau “buncing” dihapuskan.

Pasal 3
Peraturan ini dapat disebut peraturan penghapusan
adat “manak salah” atau “buncing” dan mulai berlaku pada
hari diumumkan.

Denpasar, 12 Juli 1953


Ketua Dewan Perwakilan
Kepala Daerah Bali Rakyat Daerah Bali

t.t.d t.t.d

( SUTEDJA ) (I GUSTI PT. MERTA)

94
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Mengetahui: Denpasar, 21 Oktober 1977


Pengurus Parisada Hindu Dharma Salinan sesuai
Kabupaten Gianyar dengan aslinya
Pj. Sekretaris yang menyalin

t.t.d. t.t.d.

(I Ketut Sanggara) (LA. WIRATI)

Salinan dari aslinya sesuai dengan


Bunyinya
Yang menyalin

t.t.d.

( I Wayan Parwata )

95
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

Lampiran 2

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT


DAERAH BALI
Nomor : 11/D.P.R.D.

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT BALI


Memperhatikan perubahan-perubahan, pada dewasa ini
dengan berpedoman pada satu bangsa, satu bahasa dan satu
Negara.
Memperhatikan, bahwa dalam melakukan adat istiadat
di Bali yang tersangkut paut dengan adanya perkawinan catur
wangsa masih terdapat aturan-aturan yang tiada sesuai dengan
keadaan zaman.
Menimbang, bahwa perlu diadakan perubahan-
perubahan dalam mengatur perhubungan perkawinan antara
golongan catur wangsa, agar jangan lagi terasa sesuatu
golongan mendapat perilaku yang adil.
Berkehendak menetapkan peswara yang mengatur
perhubungan perkawinan antara catur wangsa di Bali.

MEMUTUSKAN:
I. Mencabut peswara tahun 1910 yang diubah dengan Beslit
Residen Bali dan Lombok tgl 13 Aperil 1927 No. 532
sepanjang yang mengenai “Asu Pundung” dan “Anglangkahi
Karang Hulu”.

96
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

II. Menetapkan peswara yang mengatur perhubungan antara


catur wangsa di Bali.

Pasal 1
Yang disebut catur wangsa adalah :
1. Brahmanawangsa
2. Ksatryawangsa
3. Wasyawangsa
4. Sudrawangsa

Pasal 2
Yang disebut Asu Pundung ialah :
Gadis (wanita) dari kasta Brahmanawangsa dikawini oleh laki-
laki dari kasta Ksatrya, Wesya dan Sudrawangsa.

Pasal 3
a. Gadis (wanita) dari Ksatryawangsa dikawini oleh laki-laki
dari kasta Wesya, Sudrawangsa.
b. Gadis (wanita) dari kasta Wesyawangsa dikawini oleh laki-
laki dari kasta Sudrawangsa.

Pasal 4
Hukum adat yang disebut Asu Pundung dan Anglangkahi
Karang Hulu, termuat pada pasal 2 dan 3 dihapuskan.

Pasal 5
Peraturan ini dapat disebut peraturan perhubungan
perkawinan antara catur wangsa di Bali dan mulai berlaku
pada hari diumumkan.

97
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

Denpasar, 12 Juli 1951


Setuju: Ketua Dewan Perwakilan Rakyat
Kepala Daerah Bali Daerah Bali

t.t.d t.t.d.

( S U T E J A) ( I GST. KT. MERTA )

Salinan sesuai dengan aslinya


Mengetahui: Yang menyalin
Pengurus Daerah Hindu Dharma
Kabupaten Gianyar
Pj. Sekretaris

ttd ttd

(I Ketut Sanggara) ( Tjok Raka Krisnu)

Salinan ke II sesuai dengan bunyinya


Yang menyalin

( I Wayan Parwata)

98
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Lampiran 3

Landasan Yuridis Hukum Adat

U.U.D. 1945

Pasal II Aturan Peralihan


Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi
sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang
Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-
undang Dasar ini.

Penjelasan U.U.D. 1945


II. Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih
kurang 250 zelfberturende landschappen dan voksgemeeschappen,
seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun
dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah ini
mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap
sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan
daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara
mengenai daerah-daerah itu akan mengikuti hak-hak asal usul
daerah tersebut.

99
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

Pasal 18 B
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-
undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indodnesia, yang diatur
dalam undang-undang.

Pasal 28I
1. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun.
2. Setiap orang berhak bebas dan perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu.
3. Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban.
4. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara,
terutama pemerintah.

100
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

5. Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia


sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis,
maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur,
dan dituangkan dalam peraturan perundang-
undangan.

U.U.D. Republik Indonesia Serikat (1949)

Pasal 47
Peraturan-peraturan ketatanegaraan negara-negara
haruslah menjamin hak atas kehidupan rakyat sendiri kepada
pelbagai persekutuan rakyat di dalam lingkugan daerah
mereka itu dan harus pula mengadakan kemungkinan untuk
mewujudkan hal itu secara kenegaraan dengan aturan-aturan
tentang penyusunan persekutuan itu secara demokratis dalam
daerah-daerah otonomi.

U.U. Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM

Pasal 6
(1) Dalam rangka menegakkan HAM perbedaan dan
kebutuhan masyarakat hukum adat harus diperhatikan
dan dilindungi oleh hukum masyarakat dan
pemerintah.
(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat termasuk hak
atas tanah ulayat dilindungi selaras dengan
perkembangan jaman.

101
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

Penjelasan pasal 6

Ayat 1
Hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung
tinggi dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus
dihormati dan dilindungi dalam rangka perlingkugan dan
penegakkan HAM dalam masyarkat yang bersangkutan
dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-
undangan.

Ayat (2)
Dalam rangka penegakkan HAM identitas budaya nasional
masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara
nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat
setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak
bertentangan dengan azas-azas negara hukum yang
berintikan keadilan dan kesejahtraan rakyat.

Pasal 1, Nomor Urut 12,


U.U.No 32 Tahun 2004 tantang Pemerintahan Daerah

Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut


desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan
adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

102
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

U.U. No 6 Tahun 2014 tantang Desa

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan
nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,
dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati
dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2. Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
3. Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut
dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Desa.

BAB II
KEDUDUKAN DAN JENIS DESA

Bagian Kesatu
Kedudukan

103
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

Pasal 5
Desa berkedudukan di wilayah kabupaten/kota.

Bagian Kedua
Jenis Desa

Pasal 6
(1) Desa terdiri atas Desa dan Desa Adat.
(2) Penyebutan Desa atau Desa Adat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disesuaikan dengan penyebutan yang
berlaku di daerah setempat.

BAB XIII
KETENTUAN KHUSUS DESA ADAT

Bagian Kesatu
Penataan Desa Adat

Pasal 96
Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah
Daerah kabupaten/kota melakukan penataan kesatuan
masyarakat hukum adat dan ditetapkan menjadi Desa Adat.

Pasal 97
(1) Penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 96 memenuhi syarat:
a. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang
bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat
fungsional;

104
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

b. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak


tradisionalnya dipandang sesuai dengan
perkembangan masyarakat; dan
c. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya yang masih hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a paling tidak memenuhi salah satu
atau gabungan unsur adanya:
a. masyarakat yang warganya memiliki perasaan
bersama dalam kelompok;
b. pranata pemerintahan adat;
c. harta kekayaan dan/atau benda adat;
d. perangkat norma hukum adat; dan/atau
e. wilayah tertentu untuk kesatuan masyarakat hukum
adat yang bersifat teritorial.
(3) Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b dipandang sesuai dengan perkembangan
masyarakat apabila:
a. keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-
undang yang berlaku sebagai pencerminan
perkembangan nilai yang dianggap ideal dalam
masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang
bersifat umum maupun bersifat sektoral; dan
b. substansi hak tradisional tersebut diakui dan
dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang
bersangkutan dan masyarakat yang lebih luas serta
tidak bertentangan dengan hak asasi manusia.

105
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

(4) Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak


tradisionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf c sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia apabila kesatuan masyarakat hukum adat
tersebut tidak mengganggu keberadaan Negara Kesatuan
Republik lndonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan
kesatuan hukum yang:
a. tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara
Kesatuan Republik lndonesia; dan
b. substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 98
(1) Desa Adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah
kabupaten/kota.
(2) Pembentukan Desa Adat setelah penetapan Desa Adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan faktor penyelenggaraan Pemerintahan
Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan
kemasyarakatan Desa, serta pemberdayaan masyarakat
Desa dan sarana prasarana pendukung.

Pasal 99
(1) Penggabungan Desa Adat dapat dilakukan atas prakarsa
dan kesepakatan antar-Desa Adat.
(2) Pemerintah Daerah kabupaten/kota memfasilitasi
pelaksanaan penggabungan Desa Adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).

106
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Pasal 100
(1) Status Desa dapat diubah menjadi Desa Adat, kelurahan
dapat diubah menjadi Desa Adat, Desa Adat dapat
diubah menjadi Desa, dan Desa Adat dapat diubah
menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa masyarakat
yang bersangkutan melalui Musyawarah Desa dan
disetujui oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
(2) Dalam hal Desa diubah menjadi Desa Adat, kekayaan
Desa beralih status menjadi kekayaan Desa Adat, dalam
hal kelurahan berubah menjadi Desa Adat, kekayaan
kelurahan beralih status menjadi kekayaan Desa Adat,
dalam hal Desa Adat berubah menjadi Desa, kekayaan
Desa Adat beralih status menjadi kekayaan Desa, dan
dalam hal Desa Adat berubah menjadi kelurahan,
kekayaan Desa Adat beralih status menjadi kekayaan
Pemerintah Daerah kabupaten/kota.

Pasal 101
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi, dan
Pemerintah Daerah kabupaten/kota dapat melakukan
penataan Desa Adat.
(2) Penataan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
(3) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disertai lampiran peta batas wilayah.

Pasal 102
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2)
berpedoman pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7, Pasal 8, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17.

107
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

Bagian Kedua
Kewenangan Desa Adat

Pasal 103
Kewenangan Desa Adat berdasarkan hak asal usul
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi:
a. pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan
susunan asli;
b. pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat;
c. pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat;
d. penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat
yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras
dengan prinsip hak asasi manusia dengan
mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;
e. penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa
Adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
f. pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat
Desa Adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di
Desa Adat; dan
g. pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan
kondisi sosial budaya masyarakat Desa Adat.

Pasal 104
Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan
kewenangan berskala lokal Desa Adat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b serta Pasal 103 diatur dan
diurus oleh Desa Adat dengan memperhatikan prinsip
keberagaman.

108
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Pasal 105
Pelaksanaan kewenangan yang ditugaskan dan pelaksanaan
kewenangan tugas lain dari Pemerintah, Pemerintah Daerah
provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c dan huruf d
diurus oleh Desa Adat.

Pasal 106
(1) Penugasan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah kepada Desa Adat meliputi penyelenggaraan
Pemerintahan Desa Adat, pelaksanaan Pembangunan
Desa Adat, pembinaan kemasyarakatan Desa Adat, dan
pemberdayaan masyarakat Desa Adat.
(2) Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai
biaya.

Bagian Ketiga
Pemerintahan Desa Adat

Pasal 107
Pengaturan dan penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat
dilaksanakan sesuai dengan hak asal usul dan hukum adat
yang berlaku di Desa Adat yang masih hidup serta sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan tidak bertentangan
dengan asas penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat dalam
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

109
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

Pasal 108
Pemerintahan Desa Adat menyelenggarakan fungsi
permusyawaratan dan Musyawarah Desa Adat sesuai dengan
susunan asli Desa Adat atau dibentuk baru sesuai dengan
prakarsa masyarakat Desa Adat.

Pasal 109
Susunan kelembagaan, pengisian jabatan, dan masa jabatan
Kepala Desa Adat berdasarkan hukum adat ditetapkan dalam
peraturan daerah provinsi.

Bagian Keempat
Peraturan Desa Adat

Pasal 110
Peraturan Desa Adat disesuaikan dengan hukum adat dan
norma adat istiadat yang berlaku di Desa Adat sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 111
(1) Ketentuan khusus tentang Desa Adat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 96 sampai dengan Pasal 110 hanya
berlaku untuk Desa Adat.
(2) Ketentuan tentang Desa berlaku juga untuk Desa Adat
sepanjang tidak diatur dalam ketentuan khusus tentang
Desa Adat.

110
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Penjelasan U.U.No 6 Tahun 2014 tantang Desa

Pasal 6
Ketentuan ini untuk mencegah terjadinya tumpang
tindih wilayah, kewenangan, duplikasi kelembagaan
antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah maka
dalam 1 (satu) wilayah hanya terdapat Desa atau Desa
Adat.
Untuk yang sudah terjadi tumpang tindih antara Desa
dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah, harus dipilih salah
satu jenis Desa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
ini.

Pasal 96
Penetapan kesatuan masyarakat hukum adat dan Desa
Adat yang sudah ada saat ini menjadi Desa Adat hanya
dilakukan untuk 1 (satu) kali.

Pasal 97
Ketentuan ini sesuai dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi, yaitu:
a. Putusan Nomor 010/PUU-l/2003 perihal Pengujian
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 53 Tahun
1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan,
Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir,
Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten
Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota
Batam;

111
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

b. Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 perihal Pengujian


Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Kota Tual Di Provinsi Maluku;
c. Putusan Nomor 6/PUU-Vl/2008 perihal Pengujian
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten
Morowali, dan Kabupaten Banggai Kepulauan; dan
d. Putusan Nomor 35/PUU–X/2012 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.

Pasal 98
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penetapan Desa Adat”
adalah penetapan untuk pertama kalinya.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 99
Cukup jelas.

Pasal 100
Ayat (1)
Perubahan status Desa Adat menjadi kelurahan harus
melalui Desa, sebaliknya perubahan status kelurahan
menjadi Desa Adat harus melalui Desa.
Ayat (2)
Cukup jelas.

112
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Pasal 101
Cukup jelas.

Pasal 102
Cukup jelas.

Pasal 103
Huruf a
Yang dimaksud dengan “susunan asli” adalah sistem
organisasi kehidupan Desa Adat yang dikenal di
wilayah masing-masing.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “ulayat atau wilayah adat”
adalah wilayah kehidupan suatu kesatuan masyarakat
hukum adat.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.

Pasal 104
Yang dimaksud dengan “keberagaman” adalah
penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat yang tidak
boleh mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu.

113
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

Pasal 105
Cukup jelas.

Pasal 106
Cukup jelas.

Pasal 107
Cukup jelas.

Pasal 108
Cukup jelas.

Pasal 109
Cukup jelas.

Pasal 110
Cukup jelas.

Pasal 111
Cukup jelas.

Ketetapan MPR NO : IV/MPR/1999, tentang GBHN

Bab IV (Arah Kebijakan).


A. Hukum (nomor urut 2).
Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan
terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama
dan hukum adat serta memperbaharui perundang-
undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang

114
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan


ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui
program legislasi.

U.U. Nomor : 22/1999, tentang Pemerintah Daerah

Pasal 1 huruf o.
Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan
adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan
nasional dan berada di daerah kabupaten.1

Pasal 104
Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama
lain berfungsi mengayomi adat-istiadat, membuat peraturan
desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintah desa.

Pasal 111
(1) Pengaturan lebih lanjut mengenai desa ditetapkan
dalam peraturan daerah kabupaten, sesuai dengan

1 Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa desa sebagaimana diatur

dalam U.U.No : 22/1999, dari awal memang tidak dimaksudkan untuk mengecilkan
keberadaan organisasi tradisional yang telah ada, seperti negari, kampung, marga,
desa pakraman (desa adat di Bali), melainkan justru harus disesuaikan dengan
kondisi sosial budaya masyarakat setempat dan berfungsi mengayomi adat istiadat.

115
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

pedoman umum yang ditetapkan oleh pemerintah


berdasarkaan undang-undang ini.
(2) Peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), wajib mengakui dan menghormati, hak, asal-usul
dan adat-istiadat desa.

Keputusan Menteri Dalam Negeri No : 63/1999,


tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Persesuaian
Peristilahan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Desa dan Kelurahan.

Pasal 1 huruf d
Badan Perwakilan Desa yang selanjutnya disebut BPD
adalah badan perwakilan yang terdiri atas pemuka-pemuka
masyarakat di desa yang berfungsi mengayomi adat-istiadat,
membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan
aspirasi masyarakat serta melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan desa.

Pasal 9
(1) Sebutan untuk Desa, Kepala Desa, Badan Perwakilan
Desa dan perangkat desa, dapat disesuaikan dengan
kondisi sosial budaya dan adat istiadat masyarakat
setempat.

116
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Keputusan Menteri Dalam Negeri No : 64/1999,


tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa.

Pasl 16 (ayat 1, huruf h).


Tugas dan kewajiban kepala desa adalah :
Menjaga kelestarian adat istiadat yang hidup dan
berkembang di Desa yang bersangkutan.

Pasl 16 (ayat 3).


Untuk mendamaikan perselisihan sebagai dimaksud
dalam ayat (1) huruf e, Kepala Desa dapat dibantu oleh
lembaga adat Desa.

Pasal 36 (ayat 1 huruf a).


BPD mempunyai fungsi :
Mengayomi yaitu menjaga kelestarian adat istiadat yang
hidup dan berkembang di Desa yang bersangkutan
sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan.

Pasal 43
Pemerintah Kabupaten dapat menetapkan berbagai
kebijaksanaan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian
dan pengembangan adat istiadat dan lembaga adat
diwilayahnya.

117
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

Lampiran 4

Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali


(MUDP) Bali
Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010,
tanggal 15 Oktober 2010,
tentang
Hasil-hasil Pasamuhan Agung III Majelis Desa
Pakraman (MDP) Bali, Diselenggarakan 15 Oktober
2010, Bertempat di Gedung Wiswasabha, Kantor
Gubernur Prov. Bali.

I. Program Unggulan
1. Mempertahankan jiwa pramana desa pakraman Bali,
berdasarkan agama Hindu.
2. Memperjuangkan diakuinya secara tegas desa
pakraman sebagai subjek hukum yang mempunyai hak
atas tanah berdasarkan undang-undang atau peraturan
lainnya yang berlaku.
3. Mempertahankan hukum adat Bali, termasuk hukum
keluarga, yang dilandasi ajaran agama Hindu, dengan
menyusun rumusan kesatuan tafsir tentang hukum adat
Bali.
4. Mengoptimalkan peran dan fungsi desa pakraman
beserta jajaran Majelis Desa Pakraman dalam

118
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

menyelesaikan kasus-kasus adat berdasarkan hukum


adat Bali.
5. Memperjuangkan penyelesaian perkara adat yang telah
diselesaikan oleh desa pakraman dan jajaran MDP Bali
supaya mendapat legitimasi lembaga peradilan negara.
6. Memperjuangkan dibebaskannya kekayaan desa
pakraman dari kewajiban tertentu terhadap negara dan
organisasi lain di luar desa pakraman.
7. Memperjuangkan adanya mata pelajaran hukum adat
Bali, pada jalur pendidikan formal pada jenjang SMP
dan SMA di Bali.

II. Tata Hubungan Desa Pakraman dengan Lembaga


Lain
A. Tata Hubungan Antara Desa Pakraman dengan Desa
Dinas di Bali
Di Bali ada dua desa, yaitu desa pakraman dan
desa dinas. Desa pakraman melaksanakan tugas dan
wewenang terkait dengan pelaksanaan agama Hindu
dan hukum adat Bali. Desa dinas melaksanakan tugas
dan wewenang terkait dengan administrasi
pemerintahan dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Dilihat dari keadaan penduduk dan wilayahnya,
sering kali kedua desa tersebut di atas tidak memiliki
batas-batas tugas dan kewenangan yang jelas. Agar
tercipta hubungan baik antara desa pakraman dengan
desa dinas dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan
masing-masing, maka diperlukan tata hubungan yang
jelas dan tegas antara keduanya.

119
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka


Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali
memutuskan sebagai berikut.
1. Bentuk hubungan antara desa dinas dengan desa
pakraman adalah konsultatif dan koordinatif.
2. Berkaitan dengan kewenangan, maka desa
pakraman memiliki kewenangan, yakni setiap
kegiatan yang memasuki wilayah (wawengkon)
palemahan desa pakraman harus sepengetahuan
dan atau persetujuan prajuru dan atau paruman
krama desa pakraman, sesuai dengan bobot dan
tingkat kegiatan.

B. Tata Hubungan Desa Pakraman dengan Tamiu atau


Lembaga Lain
Letak geografis desa pakraman jaman dahulu,
pada umumnya terisolasi. Secara alamiah urusan
(swadharma) yang harus dijalankan oleh desa pakraman
pun menjadi sederhana, lebih banyak berkaitan dengan
aktivitas parhyangan, pawongan, dan palemahan dalam
lingkungan terbatas, yaitu hanya di desa pakraman
sendiri.
Jaman sekarang, suasananya berbeda. Kemajuan
dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan pembangunan
sesudah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan
tanggal 17 Agustus 1945 dan dikeluarkanya UU Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah
menyebabkan situasi dan kondisi desa pakraman
berubah. Perubahan tampak pada letak geografis dan
urusan desa pakraman.

120
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Letak geografis yang tidak lagi terisolasi


membawa konsekuensi semakin kompleksnya urusan
yang harus dihadapi desa pakraman. Urusannya tidak
lagi terbatas sekitar hukum adat Bali dan pelaksanaan
agama Hindu dalam lingkungan desa pakraman
sendiri, melainkan mencakup juga urusan penanaman
modal (investor), urusan kependudukan, urusan
penelitian, pembinaan prajuru, urusan politik menjelang
pemilu legislatif, pemilu bupati, dan gubernur serta
pemilu presiden, sampai urusan syuting film, dan lain-
lain.
Disadari atau tidak, desa pakraman belum
memiliki prosedur tetap (protap) dalam membangun
hubungan atau komunikasi dengan orang atau institusi
lain di luar desa pakraman. Akibatnya, ada peneliti,
investor, politisi, pembuat film, LSM, lembaga
pemerintah dan swasta, dan sebagainya begitu saja
nyelonong ke desa pakraman, atas nama melakukan
pembinaan, pendampingan, pemberdayaan, pemberian
bantuan, dan sejenisnya terhadap desa pakraman. Atau
sebaliknya, mereka mengundang prajuru desa
pakraman, untuk mengikuti pelatihan, penataran, dan
aktivitas lainnya, atas nama pembinaan,
pendampingan, pemberdayaan, atau memberikan
bantuan langsung berupa uang dan berbagai bentuk
sumbangan lain kepada desa pakraman tertentu.
Tanpa berprasangka buruk terhadap aktivitas
yang dilakukan, sepatutnya aktivitas semacam ini
diketahui oleh MDP secara berjenjang, sesuai aktivitas
yang dilakukan. Hal ini berkaitan dengan salah satu

121
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

fungsi MDP sebagai filter dan fasilitator dalam


membangun hubungan baik antara desa pakraman
dengan institusi lain di luar desa pakraman, sehingga
tercipta suasana Bali shanti (Bali yang aman, damai, dan
sejahtra). Oleh karena itu, MDP perlu merumuskan
protap untuk kegiatan semacam ini, yang dapat
dijadikan pegangan oleh desa pakraman dalam
membangun relasi dengan orang atau institusi di luar
desa pakraman.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka
Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali
memutuskan sebagai berikut.
1. Pihak-pihak di luar desa pakraman yang
berkeinginan melakukan aktivitas tertentu yang
melibatkan desa pakraman, patut berkoordinasi
dengan Majelis Desa Pakraman (MDP) sesuai
dengan jenjang kelembagaan Majelis Desa
Pakraman (MDP).
2. Desa pakraman yang dilibatkan dalam aktivitas
tertentu oleh pihak-pihak di luar desa pakraman
wajib memberitahukan secara lisan maupun
tertulis kepada Majelis Desa Pakraman (MDP)
sesuai dengan jenjang kelembagaan Majelis Desa
Pakraman (MDP), dan selanjutnya segala
konsekuensi yang muncul dari kegiatan yang
dilaksanakan atas kerjasama antara desa pakraman
dengan pihak di luar desa pakraman tersebut wajib
dilaporkan secara tertulis kepada Majelis Desa
Pakraman (MDP) sesuai dengan jenjang
kelembagaan Majelis Desa Pakraman (MDP).

122
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

3. Aset, sarana, dan atau simbol-simbol adat milik


desa pakraman hanya dapat digunakan untuk
kepentingan adat Bali. Penggunaan oleh pihak-
pihak di luar desa pakraman mesti mendapatkan
izin dan atau persetujuan dari desa pakraman
bersangkutan.

C. Masalah Desa Pakraman dan Desa Pakraman


Bermasalah
Ada masalah desa pakraman dan ada pula desa
pakraman bermasalah. Masalah desa pakraman
merupakan masalah umum yang dihadapi hampir
semua desa pakraman di Bali. Desa pakraman
bermasalah artinya sebuah desa pakraman yang sedang
menghadapi masalah, baik dengan warganya sendiri,
dengan desa pakraman tetangganya, maupun dengan
institusi lain di luar desa pakraman.
Masalah desa pakraman sebenarnya jauh lebih
banyak dibandingkan dengan desa pakraman
bermasalah. Beberapa masalah desa pakraman kini
sedang dibahas dalam Pasamuhan Agung III Tahun
2010 MDP Bali, seperti masa depan sanksi adat
kasepekang, perceraian sesudah berlakunya Undang-
Undang Perkawinan, warisan bagi perempuan Bali,
serta keberadaan LPD.
Walaupun jumlah desa pakraman bermasalah
lebih sedikit dibandingkan masalah desa pakraman, hal
ini tidak dapat diabaikan karena terkait dengan realisasi
bantuan oleh Pemerintah Provinsi Bali dan Pemerintah
Kabupaten/Kota se-Bali.

123
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut di atas, maka Pasamuhan Agung III Majelis
Desa Pakraman Bali memutuskan sebagai berikut.

Masalah Intern Desa Pakraman


Indikator Subjektif
1. Suasana kehidupan di desa pakraman tidak
kondusif.
2. Desa pakraman tidak memiliki niat yang kuat untuk
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.

Masalah Ekstern Desa Pakraman


Indikator Subjektif
1. Menghambat program lintas desa pakraman.
2. Desa pakraman yang terlibat tidak memiliki niat
kuat untuk menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi.

Masalah Desa Pakraman Selesai


Indikator Subjektif
Suasana desa pakraman yang semula terlibat
masalah kini tampak sudah kondusif.

Tata Cara Menghadapi Permasalahan Adat


1. Desa pakraman dapat membentuk kerta désa dan
sabha désa yang keanggotaannya diatur berdasarkan
awig-awig.
2. Bandesa pakraman atau sebutan lain yang memiliki
arti dan makna sama dengan itu sekaligus adalah

124
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

ketua kerta désa dan sabha désa yang ada di desa


pakraman.
3. Kerta désa bertugas membantu prajuru desa
pakraman dalam menyelesaikan perkara adat,
sedangkan sabha désa bertugas membantu prajuru
desa pakraman dalam hal merencanakan dan
menyelesaikan permasalahan di luar perkara adat.

D. Penguatan Kedudukan Lembaga Perkreditan Desa


Pakraman (LPD) di Bali
Setiap desa pakraman di Bali memiliki sejumlah
aset (duwé) desa, baik berupa barang tidak bergerak
(tanah dan bangunan), barang bergerak, maupun
organisasi keuangan. Dua organisasi keuangan
tradisional desa pakraman dikenal dengan sekaa patus
(semacam organisasi arisan) dan sekaa pacingkreman
(semacam koperasi simpan pinjam). Sumber
pendapatan tradisional itu kini dikelola sesuai dengan
prinsip pengelolaan organisasi keuangan modern, dan
diberi nama Lembaga Perkreditan Desa (LPD).
Peran positif LPD dewasa ini selain menjadi
sumber pendanaan utama pembiayaan bagi
kelangsungan adat dan budaya Bali di desa pakraman,
juga berkontribusi dalam hal pembangunan
infrastruktur desa pakraman maupun peningkatan
kualitas sumber daya manusia, seperti pemberian
beasiswa kepada anak berprestasi dan kurang mampu
di desa pakraman. Dengan demikian, LPD yang murni
merupakan milik (duwé) desa pakraman tidak saja
berkontribusi langsung terhadap kelangsungan adat

125
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

dan budaya Bali yang hidup di desa pakraman, tapi juga


berkontribusi bagi Bali dan Indonesia secara umum.
Dalam rangka menguatkan sumber pendapatan
desa pakraman, mulai tahun 1985, Pemerintah Provinsi
Daerah Tingkat I Bali mengambil inisiatif untuk
memberikan bantuan dana kepada desa pakraman
sebesar Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) untuk modal
tambahan dalam membangun Lembaga Perkreditan
Desa (LPD), sebagai lembaga keuangan yang secara
resmi mengelola keuangan desa pakraman.
Untuk lebih menjamin kelangsungan bantuan
yang diberikan, Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I
Bali mengeluarkan landasan yuridis berupa SK
Gubernur Bali Nomor 974 Tahun 1984; Perda Provinsi
Dati I Bali No 2 Tahun 1988 tentang Lembaga
Perkreditan Desa (LPD), yang kemudian diubah dengan
Perda Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang LPD,
dan diperbarui lagi dengan Perda Provinsi Bali Nomor
3 Tahun 2007 tentang LPD.
Sebagai salah satu aset desa pakraman,
sepatutnya LPD diatur berdasarkan payung hukum
berupa awig-awig desa pakraman yang sama di seluruh
Bali, selain Perda Provinsi Bali. Tetapi dalam
kenyataannya, hampir tidak ada desa pakraman yang
mencantumkan LPD dalam awig-awig-nya. Keberadaan
LPD biasanya dituangkan dalam pararem desa
pakraman dengan tata cara pengelolaan yang belum
seragam antara desa pakraman satu dengan desa
pakraman lainnya di Bali, terutama dalam hubungan
dengan :

126
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

a) hubungan LPD dengan prajuru desa, MDP Bali,


Pemprov. Bali, BPD Bali, dan lembaga pembina
LPD yang lainnya;
b) pengenaan bunga atas simpan pinjam di LPD;
c) kewenangan LPD dalam menerima tabungan dan
memberikan pinjaman terhadap warga dan atau
lembaga di luar desa pakraman bersangkutan;
d) sanksi yang dapat dikenakan desa pakraman
terhadap penerima kredit yang tidak memenuhi
kewajibannya (kredit macet).
Adanya kenyataan seperti dikemukakan di atas
mendorong keluarnya Keputusan Majelis Utama Desa
Pakraman (MDP) Bali Nomor: 050/Kep/Psm-1/MDP
Bali/III/2006, Jumat 3 Maret 2006, tentang Hasil-hasil
Pasamuhan Agung I MDP Bali, yang
merekomendasikan hal-hal sebagai berkut.
1. MDP Bali agar berkoordinasi dengan Gubernur Bali
supaya diikutsertakan dalam Tim Pembina LPD
Provinsi Bali, sedangkan MDP Kabupaten/Kota se-
Bali berkoordinasi dengan bupati/walikota
setempat agar diikutsertakan dalam Tim Pembina
LPD Kabupaten/Kota setempat.
2. MDP Bali agar mengadakan koordinasi dengan
Pemerintah Provinsi Bali bersama DPRD Bali
supaya mengagendakan revisi Perda Bali nomor
8/Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa
(LPD) maupun perangkat hukum lain yang
mengikutinya terkait dengan butir 1 di atas.

127
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pasamuhan


Agung III Majelis Desa Pakraman Bali memutuskan
sebagai berikut.
1. Menegaskan kembali bahwa LPD merupakan satu
di antara beberapa kekayaan/duwé (milik) penuh
desa pakraman.
2. Menegaskan supaya keberadaan LPD sebagai duwé
(milik) penuh desa pakraman dicantumkan
langsung dalam awig-awig desa pakraman,
sehingga seluruh krama desa pakraman
bertanggung jawab atas kelangsungan LPD di desa
pakraman masing-masing.
3. Menugaskan kepada MUDP Bali supaya
mengadakan koordinasi dengan Pemerintah
Provinsi Bali dan Pemerintah Kabupaten/Kota se-
Bali untuk mengagendakan revisi Perda Provinsi
Bali tentang Desa Pakraman dan Perda Provinsi
Bali tentang LPD guna memperjelas kedudukan
(linggih) LPD sebagai duwé (milik) penuh desa
pakraman dengan prinsip tata-kelola (sasana) yang
seragam bagi seluruh LPD di Bali.

Rekomendasi
• Terkait dengan LPD, direkomendasikan supaya
MUDP Bali berkoordinasi dengan Pemerintah
Provinsi Bali dan DPRD Bali agar revisi Peraturan
Daerah Provinsi Bali tentang Desa Pakraman,
Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang LPD, serta
Peraturan Daerah-Peraturan Daerah lain yang

128
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

terkait, dan penyempurnaan awig-awig dimasukkan


dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) Bali.
• Nama Lembaga Perkreditan Desa (LPD) agar
dipikirkan untuk diganti dengan Labda
Pacingkreman Desa (LPD).

III. Bidang Hukum Adat

A. Kedudukan Wanita Bali dalam Keluarga dan


Pewarisan
Sistem kekeluargaan patrilineal (kapurusa) yang
dianut oleh orang Bali-Hindu menyebabkan hanya
keturunan berstatus kapurusa yang dianggap dapat
mengurus dan meneruskan swadharma (tanggung
jawab) keluarga, baik dalam hubungan dengan
parahyangan (keyakinan Hindu), pawongan (umat
Hindu), maupun palemahan (pelestarian lingkungan
alam sesuai dengan keyakinan Hindu).
Konsekuensinya, hanya keturunan yang berstatus
kapurusa sajalah yang memiliki swadikara (hak) terhadap
harta warisan, sementara keturunan yang berstatus
pradana (perempuan), tidak mungkin dapat
meneruskan swadharma, sehingga disamakan dengan
orang yang meninggalkan tanggung jawab keluarga
(ninggal kadaton), dan oleh karena itu, dianggap tidak
berhak atas harta warisan dalam keluarga.
Dalam perkembangannya, kenyataan dalam
masyarakat menunjukkan bahwa ada orang ninggal
kadaton tetapi dalam batas tertentu masih
memungkinkan melaksanakan swadharma sebagai umat
Hindu (ninggal kadaton terbatas), dan ada pula

129
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

kenyataan orang ninggal kadaton yang sama sekali tidak


memungkinkan lagi bagi mereka melaksanakan
swadharma sebagai umat Hindu (ninggal kadaton penuh).
Mereka yang dikategorikan ninggal kadaton penuh,
tidak berhak sama sekali atas harta warisan, sedangkan
mereka yang ninggal kadaton terbatas masih
dimungkinkan mendapatkan harta warisan didasarkan
atas asas ategen asuwun (dua berbanding satu). Mereka
yang tergolong ninggal kadaton terbatas adalah sebagai
berikut.
a. Perempuan yang melangsungkan perkawinan
biasa.
b. Laki-laki yang melangsungkan perkawinan
nyentana/nyeburin.
c. Telah diangkat anak (kaperas sentana) oleh keluarga
lain sesuai dengan agama Hindu dan hukum adat
Bali.
d. Menyerahkan diri (makidihang raga) kepada
keluarga lain atas kemauan sendiri.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka Pasamuhan


Agung III Majelis Desa Pakraman Bali memutuskan
mengenai kedudukan suami istri dan anak terhadap
harta pusaka dan harta gunakaya sebagai berikut.
1. Suami dan istrinya serta saudara laki-laki suami
dan istrinya, mempunyai kedudukan yang sama
dalam usaha untuk menjamin bahwa harta
pusaka dapat diteruskan kepada anak dan
cucunya untuk memelihara atau melestarikan
warisan immateriil.

130
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

2. Selama dalam perkawinan, suami dan istrinya


mempunyai kedudukan yang sama terhadap
harta gunakaya-nya (harta yang diperoleh selama
dalam status perkawinan).
3. Anak kandung (laki-laki atau perempuan) serta
anak angkat (laki-laki atau perempuan) yang
belum kawin, pada dasarnya mempunyai
kedudukan yang sama terhadap harta gunakaya
orangtuanya.
4. Anak kandung (laki-laki atau perempuan) serta
anak angkat (laki-laki atau perempuan) berhak
atas harta gunakaya orangtuanya, sesudah
dikurangi sepertiga sebagai duwé tengah (harta
bersama), yang dikuasai (bukan dimiliki) oleh
anak yang nguwubang (melanjutkan swadharma
atau tanggung jawab) orangtuanya.
5. Anak yang berstatus kapurusa berhak atas satu
bagian dari harta warisan, sedangkan yang
berstatus pradana/ninggal kadaton terbatas berhak
atas sebagian atau setengah dari harta warisan
yang diterima oleh seorang anak yang berstatus
kapurusa.
6. Dalam hal pembagian warisan, anak yang masih
dalam kandungan mempunyai hak yang sama
dengan anak yang sudah lahir, sepanjang dia
dilahirkan hidup.
7. Anak yang ninggal kadaton penuh tidak berhak
atas harta warisan, tetapi dapat diberikan bekal
(jiwa dana) oleh orangtuanya dari harta gunakaya
tanpa merugikan ahli waris.

131
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

B. Pelaksanaan Perkawinan dan Perceraian


Hukum adat Bali mengenal dua bentuk
perkawinan, yaitu perkawinan biasa (wanita menjadi
keluarga suami) dan perkawinan nyentana/nyeburin
(suami berstatus pradana dan menjadi keluarga istri).
Dalam perkembangan selanjutnya, adakalanya
pasangan calon pengantin dan keluarganya tidak dapat
memilih salah satu di antara bentuk perkawinan
tersebut, karena masing-masing merupakan anak
tunggal, sehingga muncul bentuk perkawinan baru
yang disebut perkawinan pada gelahang. Hal ini menjadi
persoalan tersendiri dalam masyarakat Bali sehingga
perlu segera disikapi.
Selain perkembangan mengenai bentuk
perkawinan, perkawinan beda wangsa yang secara
hukum tidak lagi dianggap sebagai larangan
perkawinan sejak tahun 1951 berdasarkan Keputusan
DPRD Bali Nomor 11/Tahun 1951 tanggal 12 Juli 1951,
ternyata masih menyisakan persoalan tersendiri dalam
masyarakat, yakni masih dilangsungkannya upacara
patiwangi dalam perkawinan yang lazim disebut nyerod.
Hal ini perlu pula disikapi karena hal itu bertentangan
dengan hak asasi manusia dan menimbulkan dampak
ketidaksetaraan kedudukan wanita dalam keluarga,
baik selama perkawinan maupun sesudah perceraian.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan dan
perceraian bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah
apabila dilaksanakan menurut hukum adat Bali
(disaksikan prajuru banjar atau desa pakraman) dan

132
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

agama Hindu. Sesuai Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang


Perkawinan, perkawinan bagi umat Hindu di Bali dapat
dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum
adat Bali, agama Hindu, sedangkan perceraian baru
dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan di
pengadilan negeri sesuai ketentuan Undang-Undang
Perkawinan.
Apabila diperhatikan uraian di atas, tampak
jelas bahwa Undang-Undang Perkawinan tidak
memberikan penghargaan yang seimbang kepada
hukum adat Bali dan agama Hindu, dalam hubungan
dengan pelaksanaan perkawinan dan perceraian bagi
umat Hindu. Ketentuan hukum adat Bali dan ajaran
Hindu mendapat tempat yang sepantasnya dalam
pelaksanaan perkawinan, tetapi tidak demikian halnya
dalam perceraian. Terbukti, perceraian dikatakan sah
setelah ada putusan pengadilan, tanpa menyebut peran
hukum adat Bali (prajuru desa pakraman) dan ajaran
agama Hindu. Akibatnya, ada sementara warga yang
telah cerai secara sah berdasarkan putusan pengadilan,
tetapi tidak diketahui oleh sebagian besar krama desa
(warga) dan tidak segera dapat diketahui oleh prajuru
desa pakraman. Kenyataan ini membawa konsekuensi
kurang baik terhadap keberadaan hukum adat Bali dan
menyulitkan prajuru desa dalam menentukan
swadharma atau tanggung jawab krama desa
bersangkutan.
Berdasarkan fakta-fakta di atas maka
Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali
memutuskan sebagai berikut.

133
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

1. Upacara patiwangi tidak dilaksanakan lagi terkait


dengan pelaksanaan upacara perkawinan.
2. Bagi calon pengantin yang karena keadaannya
tidak memungkinkan melangsungkan perkawinan
biasa atau nyeburin (nyentana), dimungkinkan
melangsungkan perkawinan pada gelahang atas
dasar kesepakatan pihak-pihak yang
berkepentingan.
3. Agar proses perceraian sejalan dengan proses
perkawinan, maka perceraian patut dilaksanakan
dengan ketentuan sebagai berikut.
a. Pasangan suami istri yang akan
melangsungkan perceraian, harus
menyampaikan kehendaknya itu kepada
prajuru banjar atau desa pakraman. Prajuru
wajib memberikan nasihat untuk mencegah
terjadinya perceraian.
b. Apabila terjadi perceraian maka terlebih
dahulu harus diselesaikan melalui proses adat,
kemudian dilanjutkan dengan mengajukannya
ke pengadilan negeri untuk memperoleh
keputusan.
c. Menyampaikan salinan (copy) putusan
perceraian atau akte perceraian kepada prajuru
banjar atau desa pakraman. Pada saat yang
bersamaan, prajuru banjar atau desa pakraman
menyarankan kepada warga yang telah
bercerai supaya melaksanakan upacara
perceraian sesuai dengan agama Hindu.

134
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

d. Prajuru mengumumkan (nyobyahang) dalam


paruman banjar atau desa pakraman, bahwa
pasangan suami istri bersangkutan telah
bercerai secara sah, menurut hukum nasional
dan hukum adat Bali, sekalian menjelaskan
swadharma mantan pasangan suami istri
tersebut di banjar atau desa pakraman, setelah
perceraian.
4. Akibat hukum perceraian adalah sebagai berikut.
a. Setelah perceraian, pihak yang berstatus
pradana (istri dalam perkawinan biasa atau
suami dalam perkawinan nyeburin) kembali ke
rumah asalnya dengan status mulih daa atau
mulih taruna, sehingga kembali melaksanakan
swadharma berikut swadikara-nya di lingkungan
keluarga asal.
b. Masing-masing pihak berhak atas pembagian
harta gunakaya (harta bersama dalam
perkawinan) dengan prinsip pedum pada
(dibagi sama rata).
c. Setelah perceraian, anak yang dilahirkan dapat
diasuh oleh ibunya, tanpa memutuskan
hubungan hukum dan hubungan pasidikaran
anak tersebut dengan keluarga purusa, dan
oleh karena itu anak tersebut mendapat
jaminan hidup dari pihak purusa.

135
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

C. Krama Tamiu dan Tamiu yang Berdomisili dan


Membuka Usaha di Desa Pakraman
Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman
(MDP) Bali Nomor: 050/Kep/Psm-1/MDP
Bali/III/2006, Jumat 3 Maret 2006, tentang Hasil-hasil
Pasamuhan Agung I MDP Bali, menentukan:
1. Penduduk Bali berdasarkan agama yang dianut
dan tempatnya berdomisili, dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu: krama désa (penduduk
beragama Hindu dan mipil atau tercatat sebagai
anggota di desa pakraman); krama tamiu (penduduk
yang beragama Hindu dan tidak mipil atau tidak
tercatat sebagai anggota di desa pakraman); dan
tamiu (penduduk non-Hindu dan bukan anggota
desa pakraman).
2. Masing-masing golongan penduduk tersebut,
berlaku swadharma (kewajiban) yang berbeda
terhadap desa pakraman. Perbedaan itu hendaknya
memberikan kenyamanan kepada ketiga golongan
penduduk tersebut.

Krama tamiu dan tamiu berdasarkan aktivitasnya


di desa pakraman, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
(a) krama tamiu dan tamiu yang hanya berdomisili di
desa pakraman; dan (b) krama tamiu dan tamiu yang
berdomisili dan atau membuka usaha di desa
pakraman.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,
maka Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali
memutuskan sebagai berikut.

136
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Krama Tamiu dan Tamiu yang Berdomilisi di Desa


Pakraman
1. Setiap orang Hindu yang ada di Bali, wajib mipil
(tercatat) sebagai krama desa di salah satu desa
pakraman di Bali.
2. Sebagai bukti telah mipil sebagai krama desa,
ditandai dengan Kartu Tanda Krama Desa (KTKD)
atau surat keterangan dari bandésa (pucuk
pimpinan desa pakraman) tempat yang
bersangkutan mipil.
3. Seseorang yang sudah mipil (tercatat) sebagai krama
desa di desa pakraman tertentu, tidak wajib lagi
menjadi krama desa di desa pakraman lain atau desa
pakraman tempatnya berdomisili, tetapi yang
bersangkutan wajib dicatat sebagai krama tamiu.
4. Krama désa, krama tamiu, dan tamiu mempunyai
kewajiban yang berbeda terhadap desa pakraman
tempatnya berdomisili.
5. Perbedaan kewajiban tersebut dituangkan dalam
awig-awig atau pararem desa pakraman, dengan
ketentuan sebagai berikut.

a. Kewajiban Krama Tamiu


(1) Krama tamiu wajib menciptakan kasukertan desa
pakraman bersama-sama krama desa, baik
menyangkut parahyangan (keyakinan Hindu),
pawongan (aktivitas kemanusiaan), maupun
palemahan (kelestarian lingkungan alam).
(2) Kewajiban tersebut dituangkan dalam bentuk
sikap saling menghormati disertai pawedalan

137
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

(urunan) dan ayah-ayahan (wajib kerja) yang


dapat diganti dengan uang dan jumlah
keduanya tidak lebih daripada 10% (sepuluh per
seratus) daripada kewajiban krama desa, serta
dapat memberikan dana punia (sumbangan
sukarela).

b. Kewajiban Tamiu
(1) Tamiu wajib menciptakan kasukertan desa
pakraman bersama-sama krama desa dan krama
tamiu, dan aktivitas lainnya yang berhubungan
dengan kemanusiaan dan kelestarian
lingkungan alam, sepanjang tidak terkait
langsung dengan parahyangan (keyakinan
beragama menurut ajaran Hindu).
(2) Kewajiban tersebut dituangkan dalam bentuk
sikap saling menghormati disertai pawedalan
(urunan) dan ayah-ayahan (wajib kerja) yang
dapat diganti dengan uang dan jumlah
keduanya tidak lebih daripada 30% (tiga puluh
per seratus) daripada kewajiban krama desa,
serta dapat memberikan dana punia (sumbangan
sukarela).

Krama Tamiu dan Tamiu yang Berdomilisi dan atau


Membuka Usaha di Desa Pakraman
1. Krama tamiu dan Tamiu yang berdomisili dan atau
membuka usaha di desa pakraman, selain
dikenakan kewajiban berupa uang yang jumlahnya
tidak lebih daripada 30% (tiga puluh per serataus)

138
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

dari kewajiban krama desa, juga wajib memberikan


kontribusi kepada desa pakraman, sesuai dengan
kegiatan usaha yang dilaksanakan, untuk
kepentingan kemanusiaan dan kelestarian
lingkungan alam, sepanjang tidak berkaitan
langsung dengan keyakinan menurut ajaran
Hindu.
2. Jenis dan besarnya kontribusi yang wajib diberikan,
dituangkan dalam bentuk kesepakatan tertulis
antara tamiu dengan desa pakraman, untuk jangka
waktu lima tahun dan sesudahnya dapat ditinjau
dan atau disesuaikan dengan situasi dan kondisi
objektif kegiatan usaha yang dilaksanakan.
3. Selain kontribusi, tamiu bersangkutan juga dapat
memberikan dana punia (sumbangan sukarela)
kepada desa pakraman.

Hak Krama Tamiu dan Tamiu


Krama tamiu dan tamiu yang berdomisili dan
atau membuka usaha di desa pakraman, berhak
mendapatkan panyanggran (bantuan) banjar atau desa
pakraman, pada waktu yang bersangkutan menghadapi
kapancabayan (musibah atau malapetaka).

D. Pengenaan Sanksi Adat Kasepékang dan Kanorayang


Kenyataan menunjukkan bahwa setiap kali
sanksi adat kasepekang dijatuhkan selalu saja menuai
kontroversi berkepanjangan. Penerapan sanksi tersebut
terbukti tidak menyelesaikan masalah, sebaliknya
justru menimbulkan masalah baru, terutama dalam

139
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

hubungan dengan penguburan jenazah dan atau


penggunaan sétra.
Atas dasar kenyataan tersebut maka
berdasarkan Hasil Pasamuhan Agung II MDP Bali
tahun 2007, yang dituangkan dalam Keputusan Majelis
Utama Desa Pakraman (MDP) Bali Nomor:
01/Kep/Psm-2/MDP Bali/X/2007, Jumat 12 Oktober
2007, sepanjang mengenai sanksi adat kasepékang dan
kanorayang, ditentukan bahwa ”Penjatuhan sanksi adat
kasepékang dan kanorayang dilarang sementara, sampai
adanya rumusan yang memadai mengenai pengertian
dan tata cara menjatuhkan sanksi adat tersebut, yang
berlaku bagi semua desa pakraman di Bali.”
Menindaklanjuti Keputusan MUDP (2007) di
atas, maka perlu ditegaskan pengertian sanksi adat
kasepékang dan sanksi adat kanorayang. Yang dimaksud
dengan kasepékang (atau istilah lain) dalam hal ini adalah
pemberhentian sementara sebagai anggota banjar dan
desa pakraman, sehingga yang terkena sanksi
kasepékang tidak berhak mendapatkan panyanggran
(pelayanan/bantuan) banjar dan desa pakraman yang
ditandai dengan tidak mendapatkan arah-arahan (suaran
kulkul). Adapun yang dimaksud dengan kanorayang
(atau istilah lain) adalah diberhentikan permanen
sebagai krama banjar dan desa pakraman, sehingga
segala hak yang sebelumnya didapatkan dari banjar dan
desa pakraman menjadi gugur.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka
Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali
memutuskan hal-hal sebagai berkut.

140
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

1. Sanksi kasepékang atau istilah lain yang


mengandung arti dan makna sama dengan
pemberhentian sementara sebagai krama desa,
dapat dikenakan berdasarkan paruman (rapat)
banjar atau desa pakraman kepada krama desa yang
terbukti secara meyakinkan membangkang
(ngatuwel) terhadap awig-awig, pararem, dan
kesepakatan banjar atau desa pakraman, setelah
usaha penyelesaian melalui prajuru (kertha désa)
yang dilakukan dianggap gagal, dan setelah
beberapa sanksi lain yang juga dikenakan
berdasarknan paruman tidak membuahkan hasil.
Sanksi lain yang dimaksud, seperti: (a) peringatan
lisan dan tertulis oleh prajuru (pimpinan) banjar
atau desa pakraman; (b) arta danda (denda materi)
berdasarkan awig-awig yang berlaku.
2. Selama dalam masa kasepékang, yang besangkutan
tidak berhak mendapatkan panyanggran
(pelayanan/bantuan) seluruh anggota banjar dan
desa pakraman yang ditandai dengan tidak
mendapatkan suaran kulkul, dalam segala aktivitas
yang dilakukan di desa pakraman setempat, baik
dalam suasana suka (syukuran), kasucian (upacara
agama), kalayusekaran (kematian), maupun
kapancabayan (tertimpa musibah).
3. Sanksi adat kasepékang berlaku untuk jangka waktu
paling lama 3 (tiga) paruman banjar atau paruman
desa pakraman yang mengagendakan pembahasan
perihal pengenaan sanksi kasepékang tersebut.

141
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

4. Apabila dalam masa 3 (tiga) paruman tersebut pihak


yang dikenakan sanksi kasepékang tidak memenuhi
segala kewajiban yang dibebankan, maka yang
bersangkutan dapat diberhentikan (kanorayang)
sebagai krama desa, dan tidak berhak menggunakan
segala fasilitas milik desa pakraman, kecuali yang
bersangkutan kembali menjadi krama desa, setelah
memenuhi segala persyaratan sesuai dengan awig-
awig yang berlaku.
5. Melarang pengenaan atau penjatuhan sanksi adat
kanorayang atau istilah lain yang memiliki arti dan
makna yang sama dengan pemberhentian penuh
sebagai krama désa (warga desa), secara langsung
sebelum tahapan-tahapan sanksi lain yang bersifat
pembinaan diterapkan.
6. Desa pakraman yang melaksanakan sanksi adat
kanorayang secara langsung, dianggap sebagai desa
pakraman bermasalah.

Kewajiban Krama Desa yang Kasepékang


Selama dalam masa kasepékang, pihak yang
dikenakan sanksi adat kasepékang berkewajiban
mengadakan pendekatan kepada krama banjar dan
krama desa yang lainnya melalui prajuru banjar dan atau
prajuru desa pakraman secara terus menerus guna
mengupayakan penyelesaian permasalahan yang
dihadapi.

142
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Kewajiban Prajuru Desa Pakraman terkait Sanksi


Kasepékang
Prajuru banjar dan atau prajuru desa pakraman
wajib membina krama desa yang kasepékang agar bisa
kembali melaksanakan swadharma sebagai krama desa;
dan selanjutnya prajuru banjar dan atau prajuru desa
pakraman tidak berhak merekomendasikan kepada
penyelenggara pemerintahan untuk mengurangi hak-
hak administratif krama desa yang kasepékang sebagai
warga negara.

Hak Krama Desa yang Kasepékang


Selama dalam masa kasepékang, pihak yang
dikenakan sanksi kasepékang masih berhak untuk hal-hal
sebagai berikut.
1. Memanfaatkan sétra (kuburan) banjar atau desa
pakraman untuk melaksanakan upacara
penguburan/pembakaran jenazah atau pitra yadnya
tanpa panyanggran banjar dan atau desa pakraman.
2. Memanfaatkan tempat suci dan fasilitas lain milik
banjar atau desa pakraman, seperti halnya krama
desa lainnya, dengan sepengetahuan prajuru banjar
dan atau desa pakraman.
3. Memanfaatkan tempat suci untuk tujuan khusus,
dilakukan atas seizin prajuru banjar dan atau
prajuru desa pakraman dan dituntun oleh pamangku
di tempat suci bersangkutan.

143
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

Sanksi Kasepékang Berakhir


Masa kasepékang dianggap selesai sesudah pihak
yang dikenakan sanksi memenuhi segala kewajiban
yang dibebankan kepadanya dan ngaksamaang raga
(meminta maaf) kepada krama banjar dan atau krama
desa pakraman melalui prajuru banjar atau prajuru desa
pakraman.

Krama Desa yang Kanorayang


Krama desa kanorayang statusnya sama dengan
warga yang bukan krama desa, sehingga tidak berhak
menggunakan segala fasilitas banjar dan atau desa
pakraman tanpa seizin prajuru banjar dan atau prajuru
desa pakraman.
Krama desa yang kanorayang dapat kembali
menjadi krama desa setelah mengikuti persyaratan
untuk menjadi krama desa baru (mawali tedun makrama)
sesuai dengan awig-awig desa pakraman bersangkutan.

144
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Lampiran 5

KEPUTUSAN PARISADA HINDU DHARMA


INDONESIA PUSAT
NOMOR : 11/KEP/I/PHDIP/1994
TENTANG
BHISAMA KESUCIAN PURA

Menimbang : bahwa dengan semakin berkembangnya


Pembangunan Nasional pada umunya dan
pembangunan kepariwisataan pada
khususnya dan demi terjaminnya kesucian
Pura dengan kawasan sucinya di satu pihak
dan tetap berlangsungnya Pembangunan
Nasional Daerah di lain pihak.
Mengingat : Anggaran dasar Parisada Hindu Dharma
Indonesia Bab IX Pasal 28, Pasal 29, Pasal 33
dan Pasal 34.
Mendengar : Hasil musyawarah para anggota
Pesamuhan Sulinggih dan Pesamuhan
Walaka serta Pengurus Harian Parisada
Hindu Dharma Indonesia Pusat pada
tanggal 25 Januari 1994 di Universitas
Hindu Indonesia dengan acara membahas
Kesucian Pura bagi umat Hindu.
Memperhatikan : Aspirasi umat Hindu yang berkembang
tentang Kesucian Pura.

145
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: Bhisama Kesucian Pura.

A. PENDAHULUAN.
Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat senantiasa
mendukung kebijakan pemerintah dalam Pembangunan
Nasional sebagaimana ditegaskan dalam GBHN Tahun 1993
Bahwa Pembangunan jangka panjang 25 tahun tahap I
merupakan proses berlanjut, peningkatan, perluasan dan
pembaharuan dari pembangunan jangka panjang 25 tahun,
tahun I.
Dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap II, bangsa
Indonesia memasuki proses tinggal landas menuju
terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila.
Dalam rangka menyukseskan pelaksanaan
Pembangunan Nasional kecenderungan-kecenderungan yang
diperkirakan timbul khususnya yang berdampak negatif perlu
diwaspadai, dan kendala-kendala yang muncul perlu
ditanggulangi secara dini, tepat dan benar.
Mengingat bangsa Indonesia akan segera memasuki
tahap tinggal landas dan meningkatnya kemajuan
industrialisasi dan globalisasi yang ditunjang oleh kemajuan
ilmu pengetahuan dan tehnologi, dimana Bali merupakan
daerah wisata utama. Untuk menjamin kelancaran
pembangunan Nasional maka dibutuhkan landasan-landasan
pembangunan Agama Hindu dan kebudayaan secara kuat dan
ampuh.

146
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Umat Hindu dituntut agar mampu mengantisipasi masalah-


masalah yang merupakan dampak negatif akibat dari
pembangunan itu sendiri. Hal ini sangat penting mengingat
masyarakat Hindu Indonesia khususnya Hindu di Bali bersifat
sosial keagamaan, oleh karena itu maka perlu pengkajian-
pengkajian secara mendalam dan terarah.

B. UMUM.
1. Agama Hindu dalam kitab sucinya yaitu Weda-Weda
telah menguraikan tentang apa yang disebut dengan
tempat-tempat Suci dan Kawasan Suci, Gunung
Danau, Campuhan ( pertemuan Sungai), Pantai, Laut
dan sebagainya diyakini memiliki nilai-nilai kesucian.
Oleh karena itu Pura dan tempat-tempat suci
umumnya didirikan di tempat tersebut, karena di
tempat itu orang-orang dan umat Hindu
mendapatkan pikiran-pikiran (Wahyu).
2. Tempat-tempat suci tersebut telah menjadi pusat-
pusat bersejarah yang melahirkan karya-karya besar
abadi lewat tangan-tangan orang suci dan para
pujangga untuk kedamaian dan kesejahteraan umat
manusia. Maka didirikanlah Pura Sad Kahyangan, dan
Kahyangan Tiga, dan lain-lain. Tempat-tempat suci
tersebut memiliki radius kesucian yang disebut
kekeran dengan ukuran apeneleng, apenimpug, dan
apenyengker. Untuk pura Sad Kahyangan dipakai
ukuran apeneleng agung (minimal lima kilometer dari
pura), untuk Dang Kahyangan dipakai ukuran
apeneleng alit (minimal dua kolimeter dari pura), dan

147
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

untuk Kahyangan Tiga dan lain-lain dipakai ukuran


apanipug dan apanengker.
3. Mengingat perkembangan pembangunan yang
semakin pesat dan umat Hindu yang bersifat sosial
keagamaan, maka kegiatan pembangunan harus
mengikutsertakan umat Hindu di sekitarnya, mulai
dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, demi
kelancaran pembangunan tersebut. Agama Hindu
menjadi umatnya menyatu dengan alam lingkungan,
oleh karena itu konsep Tri Hita Karana wajib
diterapkan dengan sebaik-baiknya. Untuk memelihara
keseimbangan pembangunan dari tempat suci maka
tempat-tempat suci (Pura) perlu dikembangkan untuk
menjaga keserasian dengan lingkungannya.
4. Berkenaan dengan terjadinya perkembangan
pembangunan yang sangat pesat, maka pembangunan
harus dilaksanakan sesuai dengan aturan yang telah
ditetapkan. Daerah radius kesucian pura (daerah
kekeran) hanya boleh ada bangunan yang terkait
dengan kehidupan keagamaan Hindu, misalnya
didirikan dharmasala, pasraman, dan lain-lain bagi
kemudian umat Hindu melakukan kegiatan
keagamaan (misalnya tirtayatra, dharma wecana,
dharma sadana dan lain-lain).

C. KHUSUS
1. Menyadari bahwa suksesnya pembinaan Umat Hindu
dan kebudayaan menyebabkan pariwisata budaya,
maka diperlukan kerjasama yang sebaik-baiknya

148
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

antara instansi kepariwisataan dengan PHDI dan


lembaga adat.
2. Perlu diadakan pengakajian ulang yang lebih dalam
terhadap segala aktifitas pembangunan yang ada di
kawasan Tanah Lot untuk menjaga kelestarian dan
kesuciannya sesuai dengan ketentuan di atas.

Om Santi, Santi, Santi Om

Denpasar, 25 Januari 1994


Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat

Ketua Umum Sekretaris Jendral

t.t.d. t.t.d.

(Ida Pedanda Putra Telaga) (Drs. Ida Bagus Suyasa Negera)

149
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

Lampiran 6

Kawasan Suci dalam Perda Prov. Bali No 16 Tahun 2009


tentang RTRW Prov. Bali 2009 – 2029

Pasal 44
(1) Kawasan perlindungan setempat, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (1) huruf b, mencakup:
a. kawasan suci;
b. kawasan tempat suci;
c. kawasan sempadan pantai;
d. kawasan sempadan sungai;
e. kawasan sempadan jurang;
f. kawasan sekitar danau atau waduk; dan
g. ruang terbuka hijau kota.

(2) Kawasan suci, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf


a, mencakup:
a. kawasan suci gunung;
b. kawasan suci danau;
c. kawasan suci campuhan;
d. kawasan suci pantai;
e. kawasan suci laut; dan
f. kawasan suci mata air.

150
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

(3) Sebaran lokasi kawasan suci gunung sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) huruf a, mencakup dengan
kemiringan sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima)
derajat dari lereng kaki gunung menuju ke puncak
gunung.

(4) Sebaran lokasi kawasan suci danau sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) huruf b, mencakup Danau Batur,
Danau Beratan, Danau Buyan, dan Danau Tamblingan.

(5) Sebaran lokasi kawasan suci campuhan sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) huruf c, mencakup seluruh
pertemuan aliran dua buah sungai di Bali.

(6) Sebaran lokasi kawasan suci pantai sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) huruf d, mencakup tempat-tempat
di pantai yang dimanfaatkan untuk upacara melasti di
seluruh pantai Provinsi Bali.

(7) Sebaran lokasi kawasan suci laut sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) huruf e, mencakup kawasan perairan laut
yang difungsikan untuk tempat melangsungkan upacara
keagamaan bagi umat Hindu di Bali.

(8) Sebaran lokasi kawasan suci mata air sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) huruf f, mencakup tempat-tempat
mata air yang difungsikan untuk tempat melangsungkan
upacara keagamaan bagi umat Hindu di Bali.

151
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

(9) Kawasan tempat suci dimaksud pada ayat (1) huruf b,


mencakup:
a. radius kesucian kawasan Pura Sad Kahyangan;
b. radius kesucian kawasan Pura Dang Kahyangan; dan
c. radius kesucian kawasan Pura Kahyanqan Tiga dan
pura lainnya.

(10) Sebaran tokasi radius kesucian kawasan Pura Sad


Kahyangan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf a,
tersebar di Kabupaten Karangasem, Tabanan, Badung,
Klungkung dan Gianyar.

(11) Sebaran lokasi radius kesucian kawasan Pura Dang


Kahyangan sebagaimana dimaksud pada huruf b, tersebar
di seluruh wilayah kabupaten/kota.

(12) Sebaran lokasi radius kesucian kawasan Pura Kahyangan


Tiga sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf c,
mencakup seluruh Pura Kahyangan Tiga di tiap-tiap desa
pakraman beserta lainnya di seluruh Bali.

(13) Sebaran kawasan sempadan pantai dimaksud pada ayat (1)


huruf c, terletak pada sepanjang 610,4 (enam ratus sepuluh
koma empat) km garis pantai wilayah.

(14) Sebaran kawasan sempadan sungai sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf d, terletak pada sungai di
kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan.

152
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

(15) Sebaran kawasan sempadan jurang sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf e, terletak pada kawasan-
kawasan yang memenuhi kriteria sempadan jurang.

(16) Sebaran kawasan sempadan danau/waduk sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf f, terletak di Danau Batur,
Danau Beratan, Danau Buyan, Danau Tamblingan, Waduk
Gerokgak, Waduk Palasari, Waduk Telaga Tunjung,
Waduk Muara, Waduk Titab, Embung Seraya serta pada
waduk-waduk baru yang akan dikembangkan.

(17) Sebaran ruang terbuka hijau kota sebaimana dimaksud


pada ayat (1) huruf g, tersebar di seluruh bagian kawasan
perkotaan dengan luas minimal 30% (tiga puluh persen)
dari luas kota.

Pasal 45
(1) Kawasan suaka alam pelestarian alam dan cagar budaya,
sebagaimana dimaksud dalam Pasat 42 ayat (1) huruf c,
mencakup:
a. kawasan suaka alam;
b. kawasan pantai berhutan bakau;
c. kawasan taman nasional dan taman nasional laut;
d. kawasan taman hutan raya;
e. kawasan taman wisata alam dan taman wisata alam
laut;
f. kawasan konservasi pesisir dan pulau-putau kecil;
dan
g. kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.

153
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

(2) Sebaran lokasi kawasan suaka alam sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf a, mencakup kawasan Cagar
Alam Gunung Batukaru seluas 1.762,80 ha (seribu tujuh
ratus enam puluh dua koma delapan putuh hektar),
berlokasi di sebagian wilayah Kecamatan Sukasada
Kabupaten Buleleng dan sebagian Kecamatan Baturiti,
Kecamatan Penebel, dan Kecamatan Pupuan Kabupaten
Tabanan.

(3) Sebaran lokasi kawasan pantai berhutan bakau


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, mencakup
lokasi di Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana dan di
Kecamatan Nusa Penida Kabupaten Ktungkung dengan
luas total 625 ha (enam ratus dua puluh lima hektar).

(4) Sebaran lokasi kawasan taman nasional dan taman


nasional laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
mencakup Taman Nasional Bali Barat seluas 19.002,89 ha
(sembilan belas ribu dua koma delapan puluh sembilan
hektar) berlokasi di Desa Penginuman, Kecamatan Melaya
Kabupaten Jembrana dan di Desa Sumberkima dan Desa
Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak Kabupaten
Buleleng mencakup wilayah daratan dan perairan laut.

(5) Sebaran lokasi kawasan Taman Hutan Raya sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) huruf e, mencakup Taman Hutan
Raya Prapat Benoa atau Taman Hutan Raya Ngurah Rai
seluas 1.373,50 ha (seribu tiga ratus tujuh puluh tiga koma
lima hektar) berlokasi di sebagian wilayah Kecamatan

154
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Kuta Kabupaten Badung dan Kecamatan Denpasar Selatan


Kota Denpasar.

(6) Sebaran lokasi kawasan taman wisata alam dan taman


wisata alam laut sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf e,
mencakup: TWA Buyan-Tamblingan di Kabupaten
Buleleng dan Tabanan seluas 1.491,16 ha (seribu empat
ratus sembilan puluh satu enam belas hektar), TWA Batur-
Bukit Kabupaten Bangli seluas 2.075 ha (dua ribu tujuh
puluh lima hektar), TWA Penelokan di Bangli seluas 574,27
ha (lima ratus tujuh empat koma dua puluh tujuh hektar),
TWA di Kabupaten Badung seluas 13,97 ha ( tiga belas
koma sembilan puluh tujuh hektar), dan TWA Laut Nusa
Lembongan seluas 300 ha (tiga ratus hektar).

(7) Sebaran lokasi kawasan konservasi pesisir dan pulau-


pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f,
mencakup:
a. kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil di
perairan Nusa Penida Kabupaten Klungkung;
perairan Candidasa, Padangbai dan Bunutan di
Kabupaten Karangasem; Tembok, Sambirenteng,
Penuktukan, Les, Tejakula, Pejarakan, Sumberkima
dan Pemuteran di Kabupaten Buleleng; Kuta,
Uluwatu dan Ungasan di Kabupaten Badung; Sanur
di Kota Denpasar, Sowan Perancak di Kabupaten
Jembrana;
b. kawasan konservasi perairan di perairan Melaya
Kabupaten Jembrana; dan

155
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

c. kawasan konservasi maritim di Tulamben


Kabupaten Karangasem.

(8) Sebaran lokasi kawasan cagar budaya dan ilmu


pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
g, tercantum dalam Tabel Lampiran XIII, dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

(9) Gubernur melakukan pembinaan dan mengkoordinasikan


pengawasan kegiatan budidaya dalam kawasan suaka
alam dengan pemerintah kabupaten/kota.

(10) Gubernur melakukan pembinaan dan mengkoordinasikan


pengawasan kegiatan budidaya dalam kawasan pantai
berhutan bakau dengan kabupaten/kota.

(11) Gubernur menyelenggarakan pengelolaan museum yang


berhubungan dengan suaka peninggalan sejarah dan
kepurbakalaan.

Pasal 50
(1) Kawasan suci sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat
(1) huruf a, ditetapkan dengan kriteria:
a. kawasan suci gunung merupakan kawasan gunung
dengan kemiringan sekurang-kurangnya 45 (empat
puluh lima) derajat sampai puncak;
b. kawasan suci danau disetarakan dengan kawasan
resapan air;

156
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

c. kawasan suci campuhan disetarakan dengan


sempadan sungai selebar 50 meter memiliki potensi
banjir sedang;
d. kawasan suci pantai disetarakan dengan kawasan
sempadan pantai;
e. kawasan suci laut disetarakan dengan kawasan perairan
laut yang difungsikan untuk melangsungkan upacara
keagamaan bagi Hindu; dan
f. kawasan suci sekitar mata air di dengan kawasan
sempadan sekitar mata air.

(2) Kawasan tempat suci sebagaimana dimaksud dalam Pasal


44 ayat (1) huruf b, ditetapkan mengacu Bhisama PHDIP
Tahun 1994, dengan kriteria:
a. kawasan tempat suci di sekitar Pura Sad Kahyangan
dengan radius sekurang-kurangnya apeneleng agung
setara 5.000 (lima ribu) meter dari sisi luar tembok
penyengker pura;
b. kawasan tempat suci di sekitar Pura Dang Kahyanqan
dengan radius sekurang-kurangnya apeneleng alit
setara dengan 2.000 (dua ribu) meter dari sisi luar
tembok penyengker pura; dan
c. kawasan tempat suci di sekitar Pura Kahyangan Tiga
dan pura lainnya, dengan radius sekurang--
kurangnya Apenimpug atau Apenyengker.

(3) Penetapan status Pura-pura Sad Kahyangan dan Dang


Kahyangan dilakukan oleh Gubernur setelah mendapat
rekomendasi dari PHDI Bali dan MUDP.

157
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

(4) Sempadan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasat 44


ayat (1) huruf c, ditetapkan dengan kriteria:
a. daratan sepanjang tepian laut dengan jarak paling
sedikit 100 (seratus) meter dari titik pasang air taut
tertinggi ke arah darat;
b. daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan
kondisi fisik pantainya curam atau terjal dengan
jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik
pantai; dan
c. Gubernur menetapkan pedoman penyelenggaraan
penanggulangan abrasi, sedimentasi, produktivitas
tahan pada daerah pesisir pantai lintas
kabupaten/kota.

(5) Sempadan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasat 44


ayat (1) huruf d, ditetapkan dengan kriteria:
a. pada kawasan perkotaan tanpa bahaya banjir, lebar
sempadan sungai:
1. 3 meter untuk sungai bertanggul;
2. 10 meter untuk sungai berkedalaman 3 sampai
10 meter;
3. 15 meter untuk sungai berkedalaman 10
sampai 20 meter; dan
4. 30 meter untuk sungai berkedalaman lebih dari
20 meter.
b. pada kawasan perkotaan dengan bahaya lebar
sempadan sungai:
1. 3 meter untuk sungai bertanggul;
2. 25 meter untuk banjir ringan;
3. 50 meter untuk banjir sedang; dan

158
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

4. 100 meter untuk banjir besar.


c. pada kawasan pedesaan tanpa bahaya lebar
sempadan sungai:
1. 5 meter untuk sungai bertanggul;
2. 10 meter untuk kedalaman lebih dari 3 meter;
3. 15 meter untuk kedalaman 3 sampai 20 meter;
dan
4. 30 meter untuk kedalaman lebih dari 20 meter.
d. pada kawasan pedesaan dengan bahaya lebar
sempadan sungai:
1. 5 meter untuk sungai bertanggul;
2. 50 meter untuk banjir ringan;
3. 100 meter untuk banjir sedang; dan
4. 150 meter untuk banjir besar.

(6) Sempadan jurang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44


ayat (1) huruf e, ditetapkan kriteria:
a. daratan di tepian jurang yang memiliki kemiringan
lereng minimal 45% (empat lima persen), kedalaman
minimal 5 (lima) meter; dan daerah datar bagian atas
minimal 11 (sebelas) meter; dan
b. sempadan jurang sebagaimana dimaksud pada
huruf a, harus memiliki lebar sekurang-kurangnya
dua kali kedalaman jurang dan tidak kurang dari 11
(sebelas) meter dihitung dari tepi jurang ke arah
bidang datar.

(7) Kawasan sekitar danau atau waduk sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf f, ditetapkan
dengan kriteria:

159
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

a. daratan dengan jarak 50 (lima puluh) meter sampai


dengan 100 (seratus) meter dari titik pasang air
danau atau waduk tertinggi;
b. daratan sepanjang tepian danau atau waduk yang
lebarnya proporsional terhadap bentuk dan kondisi
fisik danau atau waduk; dan
c. Gubernur menetapkan pedoman penyeleng-
garaan pengurusan erosi, sedimentasi, dan
produktivitas pada kawasan sekitar danau atau
waduk lintas kabupaten/kota, kriteria sempadan,
dan luasan sempadan.

(8) Ruang terbuka hijau kota sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 44 ayat (1) huruf g, ditetapkan dengan kriteria:
a. ruang-ruang terbuka di kawasan perkotaan yang
difungsikan sebagai ruang tanpa bangunan meliputi:
taman kota, hutan kota, lapangan olahraga,
pemakaman umum dan setra, kawasan jalur hijau
pertanian, jalur-jalur perlindungan lingkungan,
taman perumahan, dan sejenisnya;
b. berbentuk satu hamparan, berbentuk jalur, atau
kombinasi dari bentuk satu hamparan dan jalur; dan
c. didominasi komunitas tumbuhan.

Penjelasan Pasal-pasal

Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas

160
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Ayat(2)
Yang dimaksud kawasan suci menurut Bhisama PHDIP
1994, adalah Gunung, Danau, Campuhan (pertemuan
dua sungai), Pantai, Laut dan sebagainya diyakini
memiliki nilai-nilai kesucian.
Perlindungan terhadap kawasan suci terkait dengan
perwujudan tri hita karana, yang ditandasi oleh
penerapan ajaran sad kertih.
Huruf a
Yang dimakud kawasan suci gunung adalah
mencakup seluruh kawasan dengan kemiringan
sekurang-kurangnya 45 derajat dilihat dari kaki
lereng gunung menuju ke puncak gunung.
Huruf b
Yang dimaksud kawasan suci danau adalah
kawasan perairan danau alam beserta sempadan
danau yang terdapat di Provinsi Bali meliputi
Kawasan Danau Batur, Danau Beratan, Danau
Buyan, dan Danau Tamblingan. Arahan
pengelolaan kawasan suci danau disetarakan
dengan kawasan sempadan mata air dan
kawasan sempadan danau atau waduk.
Huruf c
Yang dimaksud kawasan suci campuhan adalah
kawasan pertemuan aliran dua buah sungai, di
Bali. Arahan pengelolaan kawasan suci
campuhan disetarakan dengan kawasan
sempadan sungai.

161
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

Huruf d
Yang dimaksud kawasan suci pantai adalah
tempat-tempat tertentu di kawasan pantai
dimanfaatkan untuk upacara melasti di seluruh
pantai Provinsi Bali. Arahan pengelolaan
kawasan suci pantai disetarakan dengan
kawasan sempadan pantai.
Huruf e
Yang dimaksud kawasan suci laut adalah
kawasan perairan laut yang difungsikan untuk
tempat melangsungkan upacara keagamaan
bagi Umat Hindu.
Huruf f
Yang dimaksud kawasan suci mata air adalah
kawasan di sekitar sumber mata air yang
difungsikan untuk tempat upacara keagamaan
bagi umat Hindu.

Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas

162
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Ayat (9)
Yang dimaksud kawasan tempat suci adalah
kawasan di sekitar tempat suci/bangunan suci yang
ada di Bali yang disebut Pura atau Kahyangan yang
berwujud bangunan yang disakralkan sebagai
tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa, terdiri
dari Kahyanqan Tiga, Dhang Kahyanqan, Kahyanqan
Jagat, Sad Kahyangan dan pura lainnya.
Bhisama Parisadha Hindu Dharma Indonesia
mengenai Kesucian Pura Nomor 11
/Kep/I/PHDI/1994 tertanggal 25 Januari 1994,
menyatakan bahwa tempat-tempat suci tersebut
memiliki radius kesucian yang disebut daerah
Kekeran, dengan ukuran Apeneleng, Apenimpug,
dan Apenyengker. Bhisama Kesucian Pura adalah
norma agama yang ditetapkan oleh Sabha Pandita
PHDI Pusat, sebagai pedoman pengamalan ajaran
Agama Hindu tentang kawasan kesucian pura yang
belum dijelaskan secara lengkap dalam kitab suci.
Rincian Bhisama kesucian pura adalah:
1. Untuk Pura Sad Kahyangan diterapkan ukuran
Apeneleng Agung (minimal 5 km dari Pura).
2. Untuk Pura Dang Kahyangan diterapkan
ukuran Apeneleng Alit (minimal 2 km dari Pura).
3. Untuk Pura Kahyangan Tiga dan lain-lain
diterapkan ukuran Apenimpug atau Apenyengker.
Selanjutnya Bhisama Kesucian Pura juga mengatur
pemanfaatan ruang di sekitar pura yang berbunyi
sebagai berikut :

163
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

Berkenaan dengan terjadinya perkembangan


pembangunan yang sangat pesat, maka
pembangunan harus dilaksanakan sesuai dengan
aturan yang telah ditetapkan. Di darerah radius
kesucian pura (daerah Kekeran) hanya boleh ada
bangunan yang terkait dengan kehidupan
keagamaan Hindu, misalnya didirikan Darmasala,
Pasraman dan lain-lain, bagi kemudahan umat
Hindu melakukan kegiatan keagamaan (misal
Tirtayatra, Dharmawacana, Dharmagitha,
Dharmasadana dan lain-lain).
Arahan pemanfaatan ruang menurut Bhisama
Kesucian Pura tersebut bila diterjemahkan dalam
fungsi ruang mempunyai pengertian bahwa dalam
radius kesucian pura hanya diperbolehkan untuk :
pembangunan fasilitas keagamaan, dan ruang
terbuka yang dapat berupa ruang terbuka hijau
maupun budidaya pertanian. Mengingat bahwa
hitungan luas radius kesucian pura di Bali bila
dituangkan dalam peta meliputi luas di atas 35%
dari luas wilayah Pulau Bali (berdasarkan luas
radius 10 Pura Sad Kahyangan dan 252 Pura Dang
Kahyangan) dan mengingat bahwa untuk
mengakomodasi perkembangan pembangunan
akan dibutuhkan lahan-lahan untuk pengembangan
kawasan budidaya, maka dilakukan penerapan
pengaturan tiga strata zonasi (utama/inti,
madya/penyangga, nista/pemanfaatan terbatas)
dengan tetap memegang prinsip-prinsip Bhisama
Kesucian Pura dan memberi keluwesan

164
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

pemanfaatan ruang selama tidak mengganggu nilai


kesucian terutama pada zona nista/pemanfaatan
terbatas yang diuraikan lebih lengkap pada arahan
peraturan zonasi.

Ayat (10)
Sebaran lokasi radius kesucian kawasan Pura
Kahyangan Sad didasarkan pada konsepsi Rwa
Bhineda, Guna, Catur Lokapala, Sad Winayaka/Padma
Bhuana mencakup:
1. Pura Lempuyang Luhur (Puncak Gunung
Lempung di Kabupaten Karangasem).
2. Pura Andakasa (Puncak Gunung Andakasa di
Kabupaten Karangasem).
3. Pura Batukaru (lereng Gunung Batukaru di
Kabupaten Tabanan).
4. Pura Batur (tepi kawah Gunung Batur di
Kabupaten Bangli).
5. Pura Goa Lawah (di Kabupaten Klungkung).
6. Pura Luhur Uluwatu (Bukit Pecatu di
Kabupaten Badung).
7. Pura Pucak Mangu (di Kabupaten Badung).
8. Pura Agung Besakih (lereng Gunung Agung di
Kabupaten Karangasem).
9. Pura Pusering Jagat (Pejeng di Kabupaten
Gianyar).
10. Pura Kentel Gumi (di Kecamatan Banjarangkan
Kabupaten Klungkung).

165
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

Ayat (11)
Sebaran lokasi radius kesucian kawasan Pura Dang
Kahyangan tersebar di seluruh wilayah
kabupaten/kota.

Ayat (12)
Sebaran lokasi radius kesucian kawasan Pura
Kahyangan Tiga, mencakup seluruh Pura
Kahyangan Tiga di tiap-tiap desa pekraman beserta
pura-pura lainnya di seluruh Bali

Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2),
Huruf a
Radius kawasan tempat suci di sekitar Pura Sad
Kahyangan selanjutnya diatur dalam arahan
peraturan zonasi yang dipolakan dalam 3 (tiga)
strata zona terdiri atas zona utama, dan zona
kanishta.

Huruf b
Radius kawasan tempat suci di sekitar Pura
Dang Kahyangan selanjutnya diatur dalam
arahan peraturan zonasi yang dipolakan dalam
3 (tiga) strata zona terdiri atas zona utama, dan
zona kanishta.

166
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Huruf c
Apenimpug dapat diperkirakan minimal 25 (dua
puluh lima) meter berlaku untuk pura yang di
luar kawasan permukiman, sedangkan
apenyengker minimal 5 (lima) meter,
diberlakukan untuk pura yang ada di dalam
lingkungan perumahan.
Selanjutnya juga perlu diatur sempadan
bangunan gedung yang berada di sekitar Pura
Kahyangan Tiga adalah 25 (dua puluh lima)
meter untuk Bangunan tidak bertingkat dan 50
(lima puluh) meter untuk bangunan bertingkat.

Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas

167
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

Lampiran 7

168
I GUSTI NGURAH SUDIANA, WAYAN P. WINDIA, RELIN D.E

Nusa, 19 Sept 2015

BP, 15 Mrt 2007

169
PRAJURU DESA PAKRAMAN ROHANIAWAN HINDU DAN HUKUM

TENTANG PENULIS
I Gusti Ngurah Sudiana, lahir di Desa Adat Santi, Desa
Selat, Kabupaten Karangasem, 31 Desember 1967. Suami
dari Dr. Dra. Relin D E., M.Ag ini menyelesaikan
pendidikan S3 pada Program Studi Kajian Budaya,
Universitas Udayana. Sempat dipercaya sebagai Ketua I
PHDI Bali bidang Agama dan Adat. Tahun 2007 – sekarang Ketua
PHDI Bali, dan juga Litbang PHDI Pusat. Menjadi Dekan Fakultas
Dharmaduta IHDN Denpasar 2009-2013.

Wayan P. Windia adalah anak pertama dari delapan


bersaudara, putra seniman patung Wayan Pendet. Mulai
menulis sejak kelas tiga SLUA I Saraswati, Denpasar
(1975). Beberapa buah pikirannya telah diterbitkan
dalam bentuk buku, seperti Bali Mawacara Menuju Bali
Shanti (2010). Tata Cara Penyuiratan Awig-awig (2011). Kompilasi Aturan
tentang Desa Adat di Bali (2012). Hukum Adat Bali. Aaneka Kasus dan
Penyelesaiannya (2013). Mapadik. Orang Biasa, Kawin Biasa, Cara Biasa di
Bali (2016). Jabatan/pekerjaan sekarang, Guru Besar Hukum Adat
(sejak Juli 2009) dan peneliti hukum adat Bali Fakultas Hukum
Universitas Udayana.

Relin D E. Sampai sekarang tercatat sebagai tenaga


dosen di IHD Negeri Denpasar, NIP 19680801 200112 2
002. Lahir di Banyuwangi, 1 Agustus 1968.
Melangsungkan perkawinan dengan I Gusti Ngurah
Sudiana, dikaruniai empat orang putra-putri, yaitu I
Gusti Ayu Jatiana Manik Wedanti, SH, I Gusti Ayu Dwita Wahyu
Laksmi, I Gusti Ngurah Bagus Gajah Mada, dan I Gusti Ayu Catur
Erlinda Diana Putri. Selain sebagai tenaga dosen, alumnus S3 Kajian
Budaya Universitas Udayana ini juga aktif dalam berbagai organisasi
bernafaskan Hindu.

170

Anda mungkin juga menyukai