Anda di halaman 1dari 26

JIWA YANG AGUNG

11 May 2017
gede prama gedeprama 0 Comments

Sekitar 2.500 tahun yang lalu, seorang putra raja berhati sangat indah lahir di India Utara. Begitu beliau lahir ibunya wafat.
Ia seperti memberi tanda, rahim manusia mana pun akan terlalu kecil untuk bisa menampung keagungan jiwa yang satu ini.
Sesampai di istana, begitu melihat tanda-tanda di tubuh bayi ini, penasehat spiritual istana yang sudah tua menangis.

Terutama karena Cahaya indah ini akan menerangi dunia. Namun di saat Cahaya itu memancar, penasehat spiritual istana
yang tua akan keburu wafat. Dan benar saja, putra raja yang belakangan diberi nama Pangeran Siddharta, tidak saja menjadi
Buddha (jiwa Agung yang mengalami pencerahan sempurna), tapi juga diakui oleh buku suci agama Hindu sebagai Avatara
Wishnu yang ke 9.

Sementara kelahiran tubuh fisik beliau ditandai oleh wafatnya sang ibu, namun kelahiran jiwanya yang Agung membawa
tanda dan pelajaran lain. Beberapa saat menjelang pencerahan sempurna yang ditandai oleh menghormatnya bumi dengan
gempa kecil, serta merunduknya Cahaya di ufuk Timur, pertapa Siddharta diserang oleh 21.000 setan penggoda. Dari yang
sangat ganas sampai yang sangat halus. Dari yang sangat mengancam sampai yang sangat penyayang.

Namun setan-setan itu tidak dilawan dengan kekerasan. Melainkan didekap seperti seorang Ibu mendekap anak-anaknya
sendiri. Dalam bahasa meditasi, Pangeran Siddharta memeditasikan cinta kasih yang sangat mendalam. Konkritnya, setan-
setan itu dilihat sebagai kumpulan Ibu kandung yang pernah melahirkan beliau di kehidupan sebelumnya. Dan sekarang
datang tidak untuk menyerang, tapi untuk menyempurnakan kasih sayang.

Kalau pun setan-setan itu memakan tubuh Pangeran Siddharta, itu pun diberikan dengan penuh keikhlasan. Persis seperti
memberi makanan sehat pada ibu kandung yang sedang lapar. Ujung ceritanya sudah dicatat oleh dunia. Beliau tidak saja
selamat, tetapi juga menjadi Jiwa Yang Agung. Bahkan setelah berlalu 2.500 tahun pun, Cahaya beliau masih memancar
terang benderang.

Seorang Guru besar dari Universitas Oxford menyimpulkan detik-detik pencerahan ini dengan bahasa yang anggun: “In the
moment when Prince Siddharta accept satan Mara as part of Himself, from that time he was no longer Prince Siddharta, but
he was a Buddha”. Begitu Pangeran Siddharta menerima setan Mara sebagai bagian dari diri beliau. Saat itulah beliau
berhenti menjadi Pangeran Siddharta. Beliau terlahir menjadi Buddha.
Yang membuat banyak dewa tergetar, tatkala Jiwa Yang Agung ini pertama kali berbagi Cahaya, ajaran pertamanya adalah
dukkha. Kesedihan, kemalangan, kesialan yang dibuang oleh nyaris semua mahluk di alam samsara ini, oleh GA Buddha
diolah menjadi jalan menuju Cahaya. Dukkha, demikian beliau mengajarkan, tidak selalu membuat jiwa masuk jurang. Asal
bisa mengolahnya di kedalaman meditasi, dukkha bisa membuat jiwa terbang.

Menyadari kalau semuanya sedang mengalir tidak kekal, itu langkah pertama. Bunga mengalir menjadi sampah, sampah
sedang berevolusi menjadi bunga. Lawan di hari ini bisa menjadi kawan di hari lain. Begitu seseorang mengalir sempurna, di
sana ia keluar dari kepompong kecil bernama keakuan. Kemudian terlahir menjadi kupu-kupu keagungan.

Bersama sayap-sayap indah keagungan, maka semua tempat dan semua waktu menjadi taman kedamaian. Di taman jenis ini,
secara alami jiwa akan penuh kasih sayang. Ia sealami air yang basah, sealami bunga yang indah. Dan ekspresi kasih sayang
mahluk tercerahkan bisa dalam bentuk apa saja.

Sebuah pertanyaan yang sering diajukan banyak orang, apakah Jiwa Yang Agung akan terlahir kembali? Bagi orang
Hinayana (kendaraan kecil), tidak jawabannya. Tapi bagi murid di jalan Mahayana, tubuh absolut Jiwa Yang Agung itu
melampaui kelahiran dan kematian. Tapi tubuh relatifnya akan tetap ada di sini. Makanya, YM Dalai Lama saat ditanya
apakah beliau akan terlahir, beliau menjawab: “tentu saja”. Ini jawaban tentang tubuh relatif.

Acharya Shantideva bahkan berdoa seperti ini: “semasih ada ruang, semasih ada mahluk, izinkan saya terus menerus terlahir
agar ada yang menerangi kegelapan dengan Cahaya yang indah”. Di Hindu, jiwa-jiwa suci seperti ini disebut Vyuthana. Di
Buddha, jiwa-jiwa indah seperti ini diberi nama Bodhisattwa.
LENTERA JIWA
18 May 2017
spritualitas gedeprama 0 Comments

Di tengah terowongan gelap, yang paling dibutuhkan manusia adalah cahaya. Di tengah zaman yang sangat gelap, yang
paling dibutuhkan manusia adalah lentera jiwa. Tanpa lentera jenis ini, ke mana pun kaki melangkah, jiwa akan tetap resah
dan gelisah. Punya uang resah, tidak punya uang gelisah.

Catatannya kemudian, menghidupkan cahaya listrik mudah, tapi menghidupkan lentera jiwa, tidak sembarang orang yang
bisa melakukannya. Berita gembiranya, di beberapa bagian, ilmu psikologi memberi tanda-tanda berguna yang layak
direnungkan. Perjalanan jiwa akan lebih dalam lagi kalau psikologi dipadukan dengan warisan tua spiritualitas.

Sebagai langkah awal, hari-hari pertama sebagai anak kecil di sekolah sering memberi tanda-tanda lentera jiwa. Mudah
dimengerti, terutama karena di masa kanak-kanak, pikiran masih bersih dan jernih, perasaan masih polos. Sehingga jejak-
jejak makna yang dibawa jiwa dari perjalanan sebelumnya masih belum ditutupi oleh lumpur-lumpur kotor.

Dan pengalaman jenis ini unik-unik. Ia tidak bisa dibandingkan dari satu orang ke orang lain. Cara pemaknaannya pun unik.
Tidak bisa menggunakan cara pemaknaan orang kebanyakan. Seorang sahabat bercerita, kalau ia sering teringat wajah
seorang gadis kecil di hari pertama di sekolah. Bayangan tentang gadis ini sederhana, ia sosok gadis yang lembut dan
pemaaf.

Puluhan tahun kemudian, sahabat ini baru mengerti, ternyata obat kejiwaan yang menenangkan dan menentramkan adalah
kelembutan yang dipadukan dengan ketulusan untuk memaafkan. Setelah mengerti makna ini, gadis kecil di hari pertama di
sekolah dulu, muncul lagi seperti malaikat yang memberi tanda tentang arah perjalanan jiwa.

Disamping pengalaman unik di hari pertama di sekolah, mimpi-mimpi masa kecil juga sejenis lentera jiwa. Seorang kawan
di dunia spiritual berbagi rahasia, kalau tatkala kecil ia sering mimpi terbang dan berjalan telanjang. Setelah membaca ke
sana ke mari, belajar spiritual di sana-sini, di sana ada lentera jiwa yang terbuka.

Mimpi terbang memberitahu kalau yang bersangkutan adalah mahluk langit yang datang ke bumi untuk berbagi cahaya. Dan
cahaya yang dibagikan saat di bumi adalah pikiran yang telanjang dari penghakiman, pembandingan, persaingan,
permusuhan. Dengan pikiran jenis ini, jangankan saat berbicara, saat diam saja seseorang sudah berbagi cahaya.

Orang-orang yang suka melukai sejak masa kecil juga sejenis lentera jiwa. Tidak saja mata mereka memberi tanda tentang
orang-orang yang layak diwaspadai, tapi kedamaian di dalam saat dicaci dan dilukai adalah lentera jiwa yang lebih penting
lagi.
Jika seseorang bisa diam saja, tidak mengumbar kata-kata tidak sedap saat diserang, itu sebuah benih cahaya yang indah.
Bila yang bersangkutan bisa melihat jejaring penderitaan di balik orang yang menyerang, itu lebih dalam lagi. Ia bisa
sekolah yang bermasalah, orang tua berantakan, keinginan yang tidak kesampaian.

Yang paling indah adalah memancarkan kasih sayang kepada mereka yang suka menyerang. Sebagaimana sering terdengar
di komunitas jiwa-jiwa yang dalam, di balik serangan orang bukan kejahatan. Melainkan penderitaan yang tidak tertahankan.
Inilah lentera jiwa terindah yang pernah ada.

Penulis: Guruji Gede Prama.


Photo Courtesy: Shutterstock.

JEJAK-JEJAK MAKNA (1)


25 May 2017
spritualitas gedeprama 0 Comments

Seperti menemukan keseimbangan menaiki sepeda, tidak semua pencapaian bisa diceritakan. Sebagian pencapaian spiritual
juga serupa. Ia bersifat implisit dan sulit diceritakan. Kalau pun diceritakan, mudah mengundang salah mengerti orang-
orang. Di titik inilah sebuah peninggalan tua di kedalaman hutan di Peru sana akan sangat membantu. Di sebuah hutan dan
danau tua yang lokasinya persis di balik pulau Bali ini, pernah ditemukan ajaran sangat tua yang bernama manuskrip
Celestine. Ada sejumlah wawasan yang ditulis dalam manuskrip ini.

Dan yang paling menonjol dari semua wawasan yang disajikan, tidak ada kebetulan hanya bimbingan-bimbingan. Sedihnya,
kebetulan-kebetulan yang penuh bimbingan ini hanya bisa dirangkai oleh jiwa-jiwa yang kaya dan berlimpah energi. Dan
jiwa yang berlimpah energi di zaman ini sangat-sangat sedikit. Terutamaka karena manusia modern membocorkan banyak
sekali energi melalui pikiran yang penuh permusuhan, persaingan dan penghakiman. Sebagai akibatnya, banyak manusia
bernasib seperti ayam yang mati di tengah lumbung padi. Tidak sedikit manusia yang kekurangan energi di bumi yang
dikelilingi berlimpah energi.

Salah satu saran sangat penting yang direkomendasikan manuskrip Celestine agar manusia terhubung rapi dengan energi,
yakni melatih diri untuk melihat semuanya dari sisi-sisi yang indah. Makanya, teman-teman yang suka tertawa lebih sedikit
sakit. Sahabat yang rajin bersyukur cahaya mukanya lebih terang. Kawan yang sering mengucapkan doa terimakasih,
auranya lebih bercahaya. Pekerjaan rumahnya kemudian, belajar melihat setiap kekinian dari sisi-sisi yang indah. Kemudian,
lihat sendiri bagaimana jiwa Anda akan semakin terhubung dengan sang energi.

Penulis: Guruji Gede Prama.


Photo Courtesy: Celestine Prophecy Website.

.. bellofpeace.org belkedamaian.org

JEJAK-JEJAK MAKNA (2)


25 May 2017
spritualitas gedeprama 0 Comments

Sejak zamannya Newton khususnya, apa yang disebut manusia sebagai realita dibatasi hanya pada hal-hal yang bisa dilihat
dan dipegang. Tapi begitu muncul mekanika kuantum dan Albert Einstein, realita juga mencakup hal-hal yang tidak bisa
dilihat dan tidak bisa dipegang. Salah satunya bernama energi. Dari sinilah muncul pencarian manusia yang jauh lebih dalam
dari sekadar apa yang bisa dilihat mata biasa. Salah satu pilihan yang tersedia dalam hal ini adala mitologi. Mitos-mitos yang
sangat tua. Ia berumur jauh lebih tua dari agama-agama.

Kendati di kalangan sebagian ilmuwan kata mitos sering diidentikkan dengan tahayul, atau sesuatu yang cenderung dianggap
tidak benar, sebagian ilmuwan seperti Karen Armstrong menggunakan mitologi sebagai salah satu fondasi penting dalam
berargumen. Dan begitu menyangkut mitologi, Joseph Campbell tidak memiliki tandingan dalam hal ini. Mahakaryanya
yang berjudul The Power of Myth memiliki pengaruh yang sangat luas. Ia menyentuh pilosofi, psikologi, sejarah agama,
fisika, sosiologi, antropologi. Perjalanannya sebagai ahli mitologi membuat Campbell menelusuri banyak tentang manusia
yang ditokohkan (hero) di berbagai belahan dunia. Dalam beberapa hal, tokoh-tokoh ini mirip dengan konsep Tuhan di
agama-agama. Yang sangat unik, di kawasan Nusantara ditemukan mitologi yang berumur sangat tua tentang Tokoh yang
tanpa jenis kelamin. Alias bukan wanita bukan pria.

Pemaknaan terhadap mitos ini bisa bermacam-macam. Namun ia menjadi masukan kalau Nusantara ini dulunya adalah
kawasan dengan energi yang sangat tinggi. Dalam bahasa spiritualitas mendalam, dualitas seperti wanita-pria, salah-benar,
buruk-baik, membuat manusia tunduk pada hukum gravitasi (ditarik turun). Dan ketekunan untuk selalu menyaksikan
melalui meditasi, sehingga bisa melampaui segala bentuk dualitas, membuat manusia bertumbuh sesuai hukum levitasi
(diangkat naik). Pekerjaan rumahnya kemudian, di zaman kita Nusantara memang ditarik turun oleh energi-energi rendah
seperti kekerasan. Dan menjadi tugas roh-roh tua yang lahir di tempat ini untuk mengangkat kembali vibrasi energi tempat
ini yang pernah sangat tinggi.
.. bellofpeace.org belkedamaian.org

Penulis: Guruji Gede Prama.


Photo Courtesy: Blogger.
GURU YANG MENYAMAR
26 May 2017
spritualitas gedeprama 0 Comments

Seorang sahabat yang sudah membaca ribuan judul buku, telah belajar ke manca
negara, berjumpa sejumlah tokoh kaliber dunia bercerita, ada saatnya jiwa itu jenuh sekali dengan kegiatan belajar ke luar
seperti membaca, mendengarkan ceramah, belajar dari pengalaman orang lain. Pada saat yang sama muncul kerinduan
mendalam untuk belajar ke dalam.

Persisnya, berguru pada Cahaya yang bersemayam di dalam. Meminjam salah satu pesan indah Upanishad: “belajar apa-apa
yang tidak bisa diajarkan”. Sejenis cara belajar yang tidak kebayang bagi orang kebanyakan. Ia lebih sulit lagi dimengerti
oleh orang-orang yang sedikit-sedikit lari dari kesulitan.

Namun, bagi jiwa-jiwa yang dalam, ini pilihan jalan yang tidak bisa dihindari. Ia satu-satunya jalan yang tersedia kalau
seseorang mau perjalanan jiwanya dalam mengagumkan. Meminjam sebuah ungkapan tua: “begitu muridnya siap, Guru
akan datang”. Catatannya, wajah Guru yang datang tidak seperti yang dibayangkan banyak orang.

Di tingkatan ini, wajah Guru yang datang sebagian besar menyakitkan dan menakutkan. Mungkin itu sebabnya, di tempat-
tempat suci yang berbau Tantra, simbol-simbol yang dipamerkan adalah simbol-simbol yang seram dan menakutkan. Kalau
jiwanya belum dewasa, jangan coba-coba memasuki wilayah ini.

Sebagai pintu pembuka di jalan ini, kehidupan akan ditandai oleh banyak kesulitan. Tidak saja sulit secara material, tapi juga
sulit secara spiritual. Dan semakin lama, kesulitan datang dari orang yang semakin dekat. Dalam kadar yang semakin berat.
Yang membuat sang jalan lebih menantang, ia tidak memberi pilihan untuk lari menjauh. Satu-satunya pilihan yang tersedia
adalah dihadapi.

Ia bisa muncul dalam bentuk anak bermasalah, pasangan hidup yang penuh musibah, orang tua yang banyak maunya. Dan
semakin lama beban itu tidak semakin rungan. Sebaliknya semakin berat dan semakin berat. Sampai di suatu titik, seseorang
tidak punya pilihan lain selain bersahabat dekat dengan kepasrahan dan keikhlasan. Anehnya, setelah didekap lembut dengan
keikhlasan, ada saja keajaiban yang datang sebagai penyelamat.

Jika buku yang ditulis manusia ada bab terakhirnya yang membawa kesimpulan, buku kehidupan yang ditulis Tuhan tidak
mengenal bab terakhir. Tidak juga mengenal kesimpulan terakhir. Yang ada adalah cobaan yang tidak mengenal akhir. Itu
sebabnya, bagi jiwa-jiwa yang dalam tidak ada waktu yang sepenuhnya bebas dari cobaan dan godaan.
Meminjam dari psikolog kondang Carl G. Jung, sejauh seseorang masih memiliki ruang gelap di dalam (baca: sesuatu yang
ditekan dan ditolak), sejauh itu juga yang bersangkutan akan diikuti oleh bayangan ke mana saja ia pergi. Ia bisa orang yang
membenci, mencaci, menyerang, menjatuhkan, serta mendorong jiwa agar masuk jurang.

Anehnya, mirip dengan menghindari bayangan sendiri, semakin cobaan itu dihindari, ia akan semakin mengejar. Di tingkat
seperti itu, seorang pencari tidak punya pilihan lain selain bersahabat dekat dengan keikhlasan. Di Tantra, ia disebut bakti
yang mendalam kepada Guru. Jangankan nama baik dan reputasi, bahkan nyawa ini pun kalau mau diambil dipersembahkan
kepada Guru.

Di Buddha ada cerita bercahaya Jetsun Milarepa yang menyerahkan nyawanya pada Gurunya Marpa. Di Hindu ada kisah
indah Mahatma Gandhi, yang tatkala tubuhnya ditembus peluru panas, beliau memanggil nama Guru: “Shri Ram, Shri
Ram…”. Begitulah perjalanan jiwa-jiwa yang dalam. Guru bisa menyamar dengan berbagai wajah. Dari sangat menakutkan
sampai sangat menyenangkan.

Penulis: Gede Prama.


Photo Courtesy: Gaillardo Jose.

JEJAK-JEJAK MAKNA (3)


26 May 2017
spritualitas gedeprama 0 Comments

Sekian tahun lalu, tatkala George W. Bush masih menjadi presiden AS, beliau
pernah mengunjungi Bali, serta berjumpa salah satu tokoh spiritual di Bali ketika itu. Dalam percakapan pribadi, presiden
negara adi kuasa ini bertanya heran: “di suatu malam tatkala satelit NASA mengitari Nusantara, semua pulau di kawasan ini
gelap. Satu-satunya pulau yang memancarkan Cahaya hanya pulau Bali. Dengan heran bapak presiden bertanya: Cahaya apa
itu?”. Sebagaimana cahaya listrik yang muncul sebagai hasil sintesis negatif-positif, demikian juga Sang Cahaya. Ia akan
mudah muncul di tempat-tempat di mana manusia “mensintesakan” energi negatif dengan energi positif.

Dan tetua Bali sudah lama sekali menyebut jiwa manusia dengan sebutan “dewa ya kala ya”. Artinya, ada setan sekaligus
Tuhan dalam jiwa manusia. Dengan kata lain, setan tidak dipertentangkan dengan Tuhan. Melainkan disintesakan. Itu
sebabnya, Bali menjadi salah satu tempat langka di dunia, di mana mahluk bawah bukannya ditakuti, bukannya dibenci,
melainkan diberi suguhan. Itu bukan berarti tetua Bali menyembah setan. Sekali lagi bukan!. Tapi itu ekspresi cinta kasih
yang sempurna. Tanpa kegelapan tidak ada Cahaya. Tanpa kekerasan, maka kedamaian akan kehilangan cita rasa. Mudah
dipahami kalau kemudian Bali menjadi satu diantara sangat sedikit tempat di dunia di mana kekerasan teroris tidak dilawan
dengan kekerasan. Tapi diikuti dengan upacara yang penuh kasih sayang. Upacara yang mendoakan keselamatan dunia.
Dalam konteks ini, tidak sulit mengerti kalau Bali menjadi satu-satunya tempat di dunia yang merayakan tahun baru dengan
hari raya Nyepi. Ringkasnya, tatkala semua buruk-baik, kotor-suci, gagal-sukses membawa Cahaya makna, maka lidah mana
pun akan kurang panjang untuk bisa menjelaskannya. Yang tersisa kemudian hanya kehidupan sebagai lautan senyuman.
Yang perlu diendapkan oleh generasi baru, keheningan bukan kawannya ketidakpedulian. Sekali lagi bukan!. Sebagaimana
sifat alami bunga yang indah, sifat alami air yang basah, sifat alami keheningan selalu mekar dalam bentuk hati yang indah.
Tidak kebetulan kalau sekian tahun setelah bom teroris meledak di Bali, seorang wanita Amerika mencari jawaban ke
seluruh dunia. Ternyata jawabannya indah sekali: “makanan enak ditemukan di Italia, doa indah terdengar di India. Tapi
cinta yang menyentuh hanya ditemukan di pulau Bali. Cahaya indah inilah yang ditanyakan dan dirindukan oleh mantan
presiden AS George W. Bush.

.. bellofpeace.org belkedamaian.org

JEJAK-JEJAK MAKNA (4)


27 May 2017
spritualitas gedeprama 0 Comments

Di zaman keemasan dulu, segelintir jiwa suci bisa bercakap-cakap langsung


dengan Tuhan. Namun di zaman gelap ini, kalau ada yang mengaku bisa bercakap-cakap dengan Tuhan, siap-siaplah
dicurigai memiliki kelainan mental. Itu sebabnya, mudah dimengerti kalau ada filsuf yang menulis: “kebenaran mirip kaca
cermin yang sudah pecah. Tugas terpenting manusia adalah merangkai kembali pecahan-pecahan kaca itu”. Dalam konteks
ini, doktor fisika lulusan Universitas Vienna bernama Fritjof Capra layak diberikan apresiasi. Terutama karena beliau
menghabiskan banyak waktu untuk merangkai kembali “pecahan-pecahan kaca” tadi. Dalam mahakaryanya yang berjudul
The Tao of Physics, peneliti berpengalaman yang sudah meneliti energi tingkat tinggi di banyak Universitas baik di Eropa
maupun Amerika ini, melakukan paralel antara fisika modern dengan mistik Timur.

Yang paling menyentuh hati, di bab pertama buku best-seller ini, Dr. Capra memberi judul bab terawal bukunya seperti ini:
“Modern physics – A Path with a Heart”. Fisika tidak saja memperkaya kepala, tapi juga memperkaya hati. Fisika tidak saja
membimbing manusia menuju kebenaran, tapi juga membimbing jiwa menuju keindahan. Fisika bisa membuat kehidupan
berbahaya, bisa juga membuat jiwa bercahaya. Itu sebabnya, di bagian tertentu buku sangat indah ini, ahli fisika ini
berpesan, fisika bisa membawa manusia ke salah satu arah dari 2 B: “bom atau Buddha”. Kalau manusia belajar fisika hanya
menggunakan kepala, lebih-lebih kepala yang picik dan licik, maka fisika akan melahirkan bom yang membunuh. Manakala
manusia belajar fisika menggunakan hati yang indah, fisika membimbing manusia berjumpa Buddha yang sangat bercahaya
(baca: pencerahan).

Bukan jiwa bercahaya namanya kalau seseorang meninggikan pendapat dirinya dan merendahkan argumen orang lain.
Kendati Dr. Capra sangat berjarak dengan fisika Newton yang mekanistik, sekaligus jatuh cinta dengan filosofi Timur yang
holistik, di ujung buku ini beliau tidak membuang fisika mekanistik. Yang disarankan adalah “dynamic interplay” diantara
keduanya. Bukan memilh antara mekanistik atau holistik, tapi bergerak dinamis diantara keduanya. Ini cocok dengan
pendekatan meditasi yang menekankan choiceless awareness. Seseorang hanya menyaksikan setiap gerakan energi di dalam.
Tanpa memilih. Kalau pun suatu waktu harus memilih keputusan, seseorang akan memilihnya secara jernih dan bersih.
Warisan spiritual yang tersisa dari sini, latih diri untuk tidak kaku dengan konsep kebenaran. Jika arahnya adalah bom yang
membunuh, jangankan diperintah oleh kebenaran, jika merasa diperintah oleh Tuhan pun jangan dilakukan. Ingat pesan Dr.
Capra di awal: Modern physics – A path with a Heart. Fisika tidak diniatkan untuk membuat bom yang membunuh. Fisika
diniatkan agar jiwa-jiwa banyak berjumpa Buddha (pencerahan). Ringkasnya, fisika khususnya dan iptek umumnya, tidak
diniatkan untuk membuat perjalanan jiwa berbahaya. Tapi diniatkan agar perjalanan jiwa bercahaya.
.. bellofpeace.org belkedamaian.org

Penulis: Guruji Gede Prama


Photo: koleksi pribadi

JEJAK-JEJAK MAKNA (5)


29 May 2017
spritualitas gedeprama 0 Comments

Dalam percakapan pribadi dengan penulis buku History of God Karen Armstrong,
seorang sahabat bertanya tentang latar belakang penulisan buku legendaris ini. Dengan lugas wanita Inggris ini menjawab:
“konsep Tuhan dan agama sudah menjadi sumber banyak kekerasan selama ribuan tahun”. Sebuah jawaban jujur dari
seorang yang menekuni perjalanan agama-agama selama ribuan tahun. Dan melihat apa yang terjadi di muka bumi beberapa
tahun terakhir, layak direnungkan lagi dan lagi konsep Tuhan dan agama yang melahirkan banyak kekerasan. Sebagaimana
telah dicatat sejarah, semua agama berumur sangat tua. Dalam perjalanan tua ini, tidak saja pesannya diterjemahkan dengan
bahasa yang berbeda-beda, tapi juga ditafsirkan oleh kekuasaan yang berbeda-beda.

Dalam konteks inilah, kehadiran seorang J. Krishnamurti sangat diperlukan. Dalam mahakaryanya yang berjudul “Freedom
From The Known”, terang-terangan salah satu jiwa bercahaya di zaman ini berpesan: “kebebasan kedamaian tidak bisa
ditemukan dengan mengikuti sekte atau agama tertentu. Tapi dengan cara membebaskan diri dari segala bentuk
pengkondisian”. Dalam psikologi, pengkondisian yang sering membuat manusia sakit adalah luka jiwa dari masa kecil.
Dalam spiritualitas, pengkondisian yang sangat memenjara adalah dogma-dogma. Tatkala orang Amerika merayakan sekian
tahun diruntuhkannya gedung kembar WTC di New York oleh serangan teroris, ada yang mau membakar buku suci agama
tertentu. Dan itu juga sebuah dogma yang tidak saja memenjara, tapi juga akan memperpanjang daftar panjang kekerasan
yang sudah panjang.

Sebagaimana api tidak bisa dipadamkan dengan api, kekerasan tidak bisa diselesaikan dengan kekerasan, dogma juga tidak
bisa ditenangkan dengan menggunakan dogma yang lain. Api yang panas hanya bisa dipadamkan oleh air yang lembut.
Kekerasan yang ganas hanya mungkin ditentramkan oleh kelembutan kesabaran. Dogma yang keras mungkin dinetralkan
dengan kelembutan cinta kasih. Untuk itu, apa yang dibutuhkan dunia tidak lagi senjata yang baru. Namun hati yang baru.
Sejenis hati yang bebas dari segala pengkondisian yang datang dari masa lalu. Krisnamurti memberi umat manusia
kendaraan menuju ke sana. Kendaraannya bernama choiceless awareness. Kesadaran yang tidak memilih. Dengan kesadaran
jenis ini, pelan perlahan pikiran jadi bersih, perasaan jadi jernih. Manusia belajar tidak lagi menjadi second hand human
being (baca: melihat dunia dengan mata orang lain). Untuk kemudian, melihat hari ini secara segar. Tanpa dikotori oleh
segala dogma yang datang dari masa lalu. Kesimpulannya sederhana, belajar agama itu baik. Menyembah Tuhan juga baik.
Tapi jangan pernah menggunakan agama dan Tuhan sebagai alasan untuk menjadi budak kekerasan dan kemarahan. Dalam
bahasa Krisnamuriti, agama ada untuk membebaskan umat manusia (to set people unconditionally free).

Penulis: Guruji Gede Prama

JEJAK-JEJAK MAKNA (6)


1 Jun 2017
spritualitas gedeprama 0 Comments

Apa yang sesungguhnya berada di balik perilaku manusia anarkis?, itu pertanyaan
banyak manusia sejak dulu. Ada yang mengkaitkannya dengan agama, ada yang mengkaitkannya dengan trauma, ada yang
mengkaitkannya dengan jiwa yang miskin cahaya. Dan Anda pun boleh menambahkannya dengan daftar yang lain. Tapi
setelah berjumpa ribuan sahabat yang sakit begini sakit begitu, ribuan remaja yang berpotensi untuk berbuat anarkis, di sana
ada kilatan cahaya pengertian yang muncul, ternyata perasaan tidak pernah cukup menjadi kekuatan yang menentukan di
balik perilaku manusia yang anarkis. Perasaan tidak cukup inilah yang membuat remaja mencari pacar, orang dewasa
mencari pasangan hidup, bahkan orang dewasa yang sudah punya pasangan hidup pun ada yang selingkuh. Jangankan orang
miskin, bahkan manusia sudah sangat kaya pun masih merasa jauh dari cukup.

Lingkungan seperti ini diperparah lagi oleh godaan iklan setiap hari. Semua iklan menggoda dengan pesan seperti ini: “Anda
bisa hidup jauh lebih bahagia kalau membeli barang-jasa kami yang terbaru”. Di Barat di mana konsumerisme sudah
bertumbuh jauh lebih dahulu ditemukan penemuan yang sangat menyentuh hati: “jika di negara-negara berkembang manusia
tidak bisa makan karena tidak punya uang, di negara-negara maju ditemukan sejumlah manusia yang juga tidak bisa makan –
jumlahnya juga terus menerus bertumbuh dari tahun ke tahun, tentu bukan karena tidak punya uang. Tapi karena hidupnya
penuh ketakutan”. Di titik inilah diperlukan kehadiran pahlawan spiritual seperti Laurie Ashner dan Mitch Meyerson, yang
menulis buku indah “When Is Enough, Enough?”. Kapan cukup itu terasa cukup?. Sebuah pertanyaan besar yang sangat sulit
untuk dijawab.

Sebagai bahan awal untuk bertindak, cermati salah satu temuan Ashner dan Meyerson: “ketika kita menekan perasaan yang
menyakitkan, kita juga kehilangan perasaan yang membahagiakan”. Teman-teman yang belajar psikologi mengerti,
tumpukan perasaan-perasaan yang ditekan sejak saat kecil itulah yang mengikuti manusia seperti bayangan yang mengikuti
tubuh ke mana pun ia pergi. Salah satu wajah sang bayangan yang muncul di usia dewasa atau usia tua adalah perasaan tidak
pernah cukup. Terinspirasi dari sini, latih diri untuk sesedikit mungkin menekan sejak awal. Temukan sarana
mengekspresikan diri secara sehat dan selamat. Entah menulis entah melukis. Kemudian, sembuhkan jiwa dengan banyak
menolong serta sesedikit mungkin menyakiti. Mengutip salah satu bagian buku Ashner dan Meyerson: “empati sejati adalah
karunia yang hanya diterima oleh segelintir orang”. Dengan kata lain, tatkala Anda berempati dengan penderitaan orang lain,
Anda tidak saja sedang menyembuhkan diri, tapi juga sedang membuat jiwa Anda penuh dengan karunia.

Penulis: Guruji Gede Prama


Foto: koleksi pribadi

JEJAK-JEJAK MAKNA (7)


1 Jun 2017
spritualitas gedeprama 0 Comments

Di Prancis Selatan dan Spanyol Utara para arkeolog menemukan gua-gua tua yang
berumur puluhan ribu tahun. Di sana terpampang ukiran-ukiran tua tentang pahlawan-pahlawan pemberani lengkap dengan
binatang buas hasil buruan mereka. Lewat peninggalan ini terlihat jelas, sudah puluhan ribu tahun manusia mengidentikkan
tokoh (pahlawan) sebagai orang yang bertumbuh di tengah kekerasan. Belakangan ini diperparah oleh sejarah agama-agama
yang penuh kekerasan, negara-negara berkuasa yang mendapat untung besar melalui penjualan senjata. Ujungnya, sejarah
bertumbuh dari satu kekerasan menuju kekerasan yang lain.

Sahabat-sahabat yang mata spiritualnya terbuka mengerti, keputusan presiden AS Donald Trump melarang masuk 7 warga
negara yang mayoritas beragama tertentu, merubah secara sangat drastis perimbangan energi di muka bumi. Kekerasan yang
diharapkan dan didoakan oleh banyak pihak agar menurun, ternyata malah tambah menyentuh hati. Di tengah putaran waktu
seperti ini, dunia memerlukan kembali Cahaya yang pernah memancar melalui Mahatma Gandhi. Di banyak kesempatan,
pria kurus yang tidak punya rambut ini sering berpesan: “non-violence should never be used as a shield for cowardice. It is a
weapon for the brave”. Tanpa kekerasan bukanlah perisainya jiwa penakut, tapi senjatanya para pemberani. Sebuah cara
pandang yang sangat melawan arus. Tapi terbukti bisa mengusir tentara terkuat di dunia di tahun 1940an.

Banyak generasi baru yang bertanya penuh keraguan, apakah tanpa kekerasan cocok diterapkan di zaman ini? Tergantung
roh dan spirit yang disimpan seseorang di balik tindakan tanpa kekerasan. Jika roh dan spiritnya adalah uang dan kekuasaan,
sebaiknya ide tanpa kekerasan dilupakan saja. Tapi jika roh dan spiritnya adalah belas kasih (compassion) untuk mengurangi
beban penderitaan dunia yang sangat menyentuh hati, jangan pernah ragu dengan ide tanpa kekerasan. Perhatikan salah satu
warisan jiwa bercahaya ini: “The rishis who discovered the law of non-violence in the midst of violence were greater
geniuses than Newton. They were themselves greater warrior than Wellington”. Jiwa-jiwa suci yang menemukan tanpa
kekerasan di tengah zaman yang penuh kekerasan, mereka imuwan yang lebih agung dibandingkan ilmuwan mana pun,
mereka pahlawan lebih agung dibandingkan pahlawan mana pun. Kesimpulannya, ikan tidak berubah menjadi ikan asin saat
bertumbuh di laut yang asin. Anda juga tidak perlu berubah menjadi manusia yang tertarik dengan kekerasan, kendati
tumbuh di zaman yang penuh dengan kekerasan.

Penulis: Guruji Gede Prama


Foto: koleksi pribadi

PAHLAWAN CAHAYA
2 Jun 2017
spritualitas gedeprama 0 Comments

Jenis manusia yang ditokohkan di sebuah zaman akan menentukan ke mana


peradaban akan bertumbuh kemudian. Di gua-gua sangat tua di Prancis Selatan serta Spanyol Utara ada lukisan panjang
manusia-manusia kekar lengkap dengan binatang buruan mereka. Maklum, di zaman itu yang disebut pahlawan adalah
manusia-manusia pemberani yang bisa mengalahkan binatang buas.

Di akhir abad 19 sampai abad 20, bumi lama sekali tegang karena perang dingin antara dua negara adi kuasa. Di saat itu,
manusia yang menguasasi teknologi bom atom adalah pahlawan yang sangat dibutuhkan. Di zaman ini lain lagi. Yang paling
ditakuti manusia bukan lagi senjata nuklir, tapi bom teroris. Tidak saja orang biasa takut dengan bom teroris, bahkan negara
adi kuasa pun harus menutup negaranya rapat-rapat agar bebas dari serangan teroris. Hasilnya, belum ada tanda-tanda
kekerasan teroris akan menurun.

Jika dibikin ringkas, sejak ribuan tahun lalu manusia yang ditokohkan (pahlawan) selalu identik dengan manusia yang
tumbuh di tengah kekerasan. Sehingga mudah dimaklumi kalau peradaban terus menerus bertumbuh dari satu kekerasan
menuju kekerasan yang lain. Jangankan di ibu kota yang banyak manusianya, bahkan di desa yang sedikit penghuninya pun
kekerasan bertumbuh pesat sekali.

Hasilnya sudah dicatat sejarah secara sangat rapi, angka bunuh diri, penghuni rumah sakit jiwa, angka perceraian semuanya
terus menerus meningkat. Di beberapa belahan bumi terlihat terang benderang, banyak manusia bisa berbuat sangat anarkis
hanya karena sebuah ketidaksempurnaan yang sangat kecil.
Di tengah daftar panjang kekerasan seperti ini, apa yang dibutuhkan dunia bukan lagi senjata yang baru, tapi pengertian
tentang pahlawan yang baru. Beberapa waktu setelah pasukan Amerika Serikat ditarik dari Vietnam sekian tahun lalu,
pernah muncul film Rambo dengan tokoh Sylvester Stallone. Lagi-lagi ia bercerita tentang tokoh yang membawa senjata,
menghancurkan nyawa orang dengan penuh kekerasan.

Dan setelah pemunculan film itu, teroris malah menyerang Amerika Serikat dengan kekuatan yang tidak kebayang ganasnya.
Sekali lagi ia memberi masukan terang benderang, yang dibutuhkan dunia bukan senjata yang baru tapi hati yang baru.
Sejenis hati yang bisa melihat dan merasakan, yang ada di balik kekerasan bukan agama, bukan juga kejahatan, melainkan
penderitaan yang tidak tertahankan.

Di sana-sini terlihat jiwa-jiwa menderita. Orang miskin menderita karena tidak bisa makan. Orang kaya menderita karena
takut kehilangan. Negeri miskin menderita karena kekurangan pangan. Negeri kaya menderita karena takut diserang. Dengan
cara pandang seperti ini, tidak saja niat melakukan kekerasan menurun, tapi benih-benih kasih sayang juga meningkat.

Sebagaimana tanah subur bisa menghasilkan bunga-bunga indah, hati yang merasakan kehadiran penderitaan di mana-mana
juga bisa berbagi cahaya indah. Bukan kebetulan kalau di zaman ini dunia mengagumi Nelson Mandela, Bunda Teresa, YM
Dalai Lama, serta Mahatma Gandhi. Tokoh-tokoh ini memang lahir di agama yang berbeda. Tapi semuanya tumbuh di lahan
yang sama yakni penderitaan yang tidak tertahankan.

Ia menyisakan jejak-jejak pesan, kenali penderitaan alam ini sejak awal. Rasakan penderitaan semua mahluk tanpa
terkecuali. Kemudian izinkan penderitaan menyirami benih-benih kelembutan di dalam. Kapan saja pikiran mengeras,
perasaan mengeras, cepat lembutkan energi keras di dalam dengan pemahaman sederhana: “kita semua menderita, kita
semua mau bahagia”.

Bagus sekali jika orang tua bisa menjadi tokoh kelembutan di rumah. Indah sekali kalau para Guru sekolah juga menjadi
tokoh kelembutan di sekolah. Seawal mungkin jauhkan anak-anak dan generasi baru dari tontonan, bacaan, pergaulan yang
menyirami benih-benih kekerasan. Melalui pendekatan ini, bersama-sama kita mempersiapkan lahirnya pahlawan-pahlawan
cahaya di masa depan. Mereka ditokohkan bukan karena kekerasan yang dilakukan, tapi ditokohkan karena kelembutan yang
mereka pancarkan.

JEJAK-JEJAK MAKNA (8)


6 Jun 2017
spritualitas gedeprama 0 Comments

Di zaman ini, sangat-sangat sedikit ada jiwa indah yang bisa mengolah sampah
masalah menjadi bunga indah berkah. Salah satu diantara yang sangat sedikit itu, ia bernama Pema Chodron. Setelah
puluhan tahun melayani suami dengan penuh ketulusan, tiba-tiba suaminya mengaku jatuh cinta sama wanita lain, serta akan
menikah. Bukan jiwa indah namanya kalau setelah ditimpa musibah kemudian pergi ke tong sampah. Pukulan hebat
kehidupan seperti ini digunakan oleh Pema Chodron untuk mengalami titik balik spiritual. Musibah inilah yang
menuntunnya berkenalan dengan meditasi, berjumpa dengan seorang Mahasiddha dari Tibet bernama Chogyum Trungpa.
Sekian tahun kemudian, setelah beliau diangkat menjadi salah satu wanita Amerika generasi pertama yang mengajarkan
meditasi, di sana jiwa bercahaya ini bertrimakasih pada mantan suami yang pernah melukai jiwanya. Karena luka jiwalah
yang membuat pembawa cahaya ini mencari cahaya.

Sungguh sebuah titik balik perjalanan jiwa yang sangat indah. Sekaligus menjadi bahan inspirasi bagi banyak orang,
manusia bisa menggunakan luka jiwa sebagai kunci pembuka untuk menemukan cahaya. Kata kuncinya menjadi judul salah
satu buku tulisan Pema Chodron: “No Time To Lose”. Latih diri agar tidak kalah melawan dendam, kemarahan, kebencian.
Inilah pahlawan spiritual yang sesungguhnya. Musuhnya bukan orang yang beragama berbeda, sasaran tembaknya bukan
orang yang menyakiti, melainkan kekotoran bathin di dalam. Makanya, di halaman 27 buku ini tertulis: “The ultimate merit
comes from connecting with the unbiased clarity of our mind”. Siapa saja yang bisa menang dengan pertempuran di dalam,
ia akan berjumpa berkah indah tiada tara bernama pikiran yang bersih dan jernih. Dengan pikiran jernih jenis inilah maka
sampah masalah bisa diolah menjadi bunga indah berkah.

Tidak saja diri yang bersangkutan bertumbuh indah, lingkungan sekitar juga ikut ketularan indah. Perhatikan apa yang ditulis
wanita berhati indah ini di halaman 342: “The most significant step any one of us can make toward global peace is to soften
what’s rigid in our heart”. Di tengah putaran zaman yang penuh kekerasan di sana-sini, pesan ini sangat menyentuh hati.
Kita semua bisa ikut berperan dalam membentuk dunia yang damai, terutama dengan cara melembutkan apa-apa yang keras
di dalam hati. Pesan bimbingannya kemudian, yakin dengan ajaran suci agama tentu baik. Yakin kepada Tuhan juga baik.
Tapi ingat selalu untuk melembutkan apa-apa saja yang mengeras di dalam. Tanpa keberanian untuk melembutkan hal-hal
yang mengeras di dalam, bahkan konsep Tuhan pun akan membuat banyak manusia terbakar dalam kekerasan.

Penulis: Guruji Gede Prama


Foto: koleksi pribadi

JEJAK-JEJAK MAKNA (9)


6 Jun 2017
spritualitas gedeprama 0 Comments

Seorang ibu menangis menggigil membaca kisah Pema Chodron yang


menggunakan luka jiwa sebagai kunci untuk membuka rumah Cahaya. Suami yang selingkuh, kemudian membuat rumah
tangga berantakan, tidak membuat jiwa jadi berbahaya. Sebaliknya, membuat jiwa jadi bercahaya. Ini bisa terjadi karena
luka jiwa digunakan sebagai titik balik dalam perjalanan jiwa. Luka jiwa digunakan sebagai tanda untuk memulai perjalanan
spiritual yang panjang sekaligus dalam. Sejujurnya, dalam kadar yang berbeda kita semua memiliki luka jiwa. Jika jiwa-jiwa
berbahaya dibikin celaka oleh luka jiwa, terutama dengan lari ke narkoba dan hal berbahaya lainnya, jiwa-jiwa bercahaya
lain lagi. Luka jiwa digunakan sebagai Genta (bel suci) yang memanggil. Penderitaan, demikian pesan sang Genta, adalah
tanda kalau jiwa bertumbuh terlalu jauh dari rumah. Tatkala Genta itu berdentang, bunyinya hanya satu: “pulang jiwa-jiwa
yang indah… pulang”.

Di zaman kita, salah satu jiwa bercahaya yang bisa mengolah sampah penderitaan menjadi bunga indah kasih sayang
bernama Bunda Teresa. Sementara manusia kebanyakan lari menjauh dari penderitaan yang kotor dan kumuh, Bunda Teresa
malah menggunakannya sebagai lahan untuk bertumbuh. Itu sebabnya, puluhan tahun hidup Bunda Teresa dihabiskan di
tengah kota Kalkuta India yang kotor dan kumuh. Mirip dengan bunga Padma (Lotus) yang indah, yang mekar indah di
tengah lumpur yang kotor, kehidupan Bunda Teresa juga serupa. Dalam teori ilmu kedokteran yang sederhana, penyakit
kusta itu menular. Tapi apa yang terjadi dalam hidup Bunda Teresa, beliau tidak saja tidak tertular, jiwa beliau bahkan
mekar. Dan tidak main-main, wanita bersahaja ini pernah diberi hadiah Nobel perdamaian.

Ia membawa pesan terang benderang, alam ini memang penuh penderitaan. Tapi jiwa manusia dilengkapi oleh kecerdasan
untuk bisa mengolah penderitaan menjadi Cahaya kasih sayang. Penderitaan orang-orang – dari mereka yang punya anak
autis, sampai dengan korban serangan teroris – bukan obyek untuk dijelek-jelekkan. Melainkan Tirtha (air suci) yang bisa
digunakan untuk menyejukkan taman jiwa di dalam. Makanya tepat sekali kalau autobiografi Bunda Teresa diberi judul:
“Come, Be My Light”. Mari mendekat. Jadilah bagian dari sang Cahaya. Sekurang-kurangnya, jadi Cahaya bagi ruang-ruang
gelap di dalam. Kesimpulannya, tatkala penderitaan datang. Anda tidak dibikin berbahaya oleh orang lain. Anda dibikin
berbahaya oleh ruang-ruang gelap di dalam. Yang disarankan oleh jiwa-jiwa indah seperti Bunda Teresa sederhana, bawa
lentera ke ruang-ruang gelap di dalam. Dan diantara semua lentera yang tersedia, memaafkan adalah yang terindah.

Penulis: Guruji Gede Prama

JEJAK-JEJAK MAKNA (10)


6 Jun 2017
spritualitas gedeprama 0 Comments

Di zaman dulu, manusia sakit lebih banyak karena salah makanan. Tapi di zaman
ini, manusia sakit lebih banyak karena salah pikiran. Di zaman dulu, dokter/psikiater/psikolog bertindak sebagai penyembuh
yang dianggap mengetahui semuanya. Sedangkan pasien hanya obyek pasif. Tapi di zaman ini, tanpa keterlibatan aktif
pasien, sulit membayangkan ada kesembuhan. Terutama karena tidak saja metabolisme tubuh manusia berubah, lingkungan
berubah, tapi keseimbangan energi di muka bumi juga cepat sekali berubah. Dalam bahasa kekinian yang mudah dimengerti,
seseorang sakit (fisik atau kejiwaan) karena kekurangan energi. Kegagalan untuk terhubung dengan pusat energi, membuat
manusia merebut energi dari orang lain. Itu sebabnya, dalam wacana publik (televisi, social media, radio, media cetak),
nyaris semua orang mau mendominasi yang lain. Dalam percakapan pribadi juga serupa. Semua minta didengarkan dan
diperhatikan. Jarang sekali yang mau mendengarkan.
Akibatnya sudah terlihat di sana-sini, kekurangan energi yang mau dipenuhi dengan cara merebutnya dari orang lain,
membuat semakin banyak jiwa jadi resah dan gelisah. Di titik inilah, kehadiran Lousie L. Hay melalui buku “You can heal
your life” (Anda bisa menyembuhkan hidup Anda) menjadi sangat membantu. Tesis ahli metafisika ini sederhana, jika Anda
tidak bisa terhubung dengan pusat energi, cukup jangan membuang energi di dalam secara sembarangan. Begitu energi di
dalam tidak dibuang secara sembarangan, secara alamiah tubuh manusia bisa memenuhi sumber energinya sendiri. Diantara
banyak sumber kebocoran energi di dalam, manusia paling banyak membuang energi dengan cara menghukum diri.
Terutama melalui sebutan “saya kurang beruntung”. Lengkap dengan segudang alasan yang serba negatif. Melalui cara
pandang seperti ini, manusia setiap hari memproduksi penyakit di dalam dirinya.

Kekesalan, kebencian, kemarahan, rasa bersalah, kritik adalah kekuatan di dalam yang sangat menghancurkan. Begitu
seseorang bisa menyembuhkan diri dari kekesalan dan kebencian khususnya – masih menurut Louse Hay – maka ia bahkan
bisa menyembuhkan diri dari penyakit kanker yang kronis sekali pun. Segelintir sahabat yang tidak berhasil ditolong
disembuhkan di sesi-sesi meditasi mendukung argumen Hay ini. Setelah jiwanya dimandikan dengan banyak cerita-cerita
indah, tetap saja kebenciannya tidak kunjung sembuh. Akibatnya, segelintir diantara mereka bahkan harus wafat di usia
muda. Rumus kesembuhan Hay sederhana, mendalam, tapi sangat menyembuhkan: “begitu Anda berhasil mencintai hidup
Anda apa adanya, Anda bisa menjadi penyembuh bagi diri Anda sendiri”. Kembali ke cerita di awal, bagi orang biasa,
terhubung dengan pusat energi memang pekerjaan sangat sulit. Namun kalau tidak bisa terhubung dengan pusat energi,
cukup jangan membuang energi di dalam secara sembarangan. Terutama melalui kebencian, kemarahan dan ketidakpuasan.
Ringkasnya, membersihkan diri dari kebencian, kemarahan, ketidakpuasan tidak saja menjadi wilayah-wilayah agama yang
dogmatik, tapi juga menjadi wilayah-wilayah kesembuhan yang sangat simpatik. Dengan tubuh dan jiwa yang sembuh dari
kebencian dan kemarahan, manusia bisa mengalami sendiri, ternyata surga, nirvana, pencerahan, kedamaian bisa ditemukan
di sini, saat seseorang masih ada di muka bumi.

Penulis: Guruji Gede Prama


Foto: koleksi pribadi

JEJAK-JEJAK MAKNA (11)


6 Jun 2017
spritualitas gedeprama 0 Comments

Dari mana langkah-langkah kesembuhan jiwa sebaiknya dimulai?, itu pertanyaan


banyak sekali orang. Di dunia kesembuhan fisik (biologi), ada rumus tua bahwa makanan adalah obat sangat
menyembuhkan. Di dunia kesembuhan jiwa serupa, makanan pikiran sangat mempengaruhi kesembuhan jiwa kemudian.
Alasan utama kenapa di sana-sini terlihat jiwa-jiwa resah dan gelisah, karena lingkungan penuh dengan racun pikiran. Social
media, TV, radio, media cetak, sebagian lebih isinya adalah hal-hal yang membakar kemarahan dan kebencian. Sangat-
sangat sedikit ada jiwa di zaman ini yang bisa seperti bunga Lotus. Tumbuh di lumpur tapi tidak dibikin kotor oleh lumpur.
Oleh karena itulah, sangat penting untuk menjaga pikiran dari lingkungan yang penuh dengan racun kebencian.
Di jalur pendakian Tantra dikenal luas ungkapan tua seperti ini: “The mind that bind is the mind that set you free”. Artinya,
pikiran yang membelenggu Anda di alam samsara yang penuh penderitaan, sama dengan pikiran yang bisa membawa Anda
ke alam Nirvana yang penuh kedamaian. Dengan kata lain, pikiran bisa jadi penjara, bisa juga menjadi pembimbing menuju
alam Cahaya. Tergantung pada bagaimana seseorang melatih pikirannya selama berpuluh-puluh tahun. Dalam kaitan inilah,
buku indah “The Healing Power of Mind” (daya sembuh pikiran) yang ditulis oleh orang suci dari Tibet Tulku Thondup,
sangat membantu. Langkah awal yang ditawarkan Tulku Thondup di jalan kesembuhan jiwa mudah sekaligus indah: “Begitu
Anda bisa menerima tanpa menyalahkan, titik balik kesembuhan jiwa terjadi”. Sekaligus, dari sinilah perjalanan panjang
kesembuhan jiwa dimulai. Sebagai bahan renungan, bahkan Avatara (reinkarnasi Tuhan) pun memerlukan kesalahan di awal
sebagai ruang-ruang untuk bertumbuh. Sang Rama kecil memanah kaki Subali, Pangeran Siddharta lari tanpa permisi pagi-
pagi dari istri dan ayahandanya.

Berbekalkan pemahaman ini, bebaskan pikiran dari segala bentuk rasa bersalah yang datang dari masa lalu, latih diri untuk
mendalami sifat alami pikiran. Sahabat-sahabat yang menghabiskan banyak waktu dalam keheningan kesendirian mengerti,
jika ada pujian maka pikiran bergerak naik bersama kegembiraan, bila ada cacian ia akan turun ditemani kesedihan.
Manakala tidak ada cacian dan pujian, pikiran akan datar bertemankan kebosanan. Banyak pikiran jadi sakit karena
menendang kesedihan serta menggenggam kesenangan. Atau lari ke hiburan saat dikunjungi kebosanan. Padahal, kesedihan,
kebosanan, kesenangan mirip awan. Ia tidak bisa ditendang, tidak bisa digenggam. Di jalan kesembuhan bernama meditasi,
seseorang hanya diminta menyaksikan dengan penuh belas kasih. Mirip seorang kakek yang melihat cucunya berlari ke sana
ke mari. Siapa saja yang tekun dan tulus berlatih seperti ini selama puluhan tahun, di sana ia bisa mengerti melalui
pencapaian – bukan mengerti melalui perkataan – sifat alami pikiran. Jenis pencapaian seperti inilah yang di Tantra disebut:
“Knowing one thing liberating everything”. Mengetahui yang satu, tapi membebaskan seseorang dari segala sesuatu.
Kesimpulannya, latih diri untuk tidak berreaksi pada bentuk-bentuk pikiran dan perasaan seperti salah, benar, buruk, baik
sedih, bosan, senang. Lihat pikiran dan perasaan seperti air yang mengalir di sungai. Anda hanya seorang saksi di pinggir
sungai. Jika diberkahi, pada waktunya jiwa akan sembuh sekaligus utuh (baca: berjumpa ke-u-Tuhan).

Penulis: Guruji Gede Prama

JEJAK-JEJAK MAKNA (12)


6 Jun 2017
spritualitas gedeprama 0 Comments

Diantara banyak energi yang ada di alam, yang daya hancurnya paling hebat
adalah kemarahan. Selama ribuan tahun energi kemarahan mau dilenyapkan melalui cerita tentang neraka, melalui
keberadaan penjara, melalui norma agama, tetap saja kemarahan semakin membakar dari hari ke hari. Jangankan manusia
biasa, bahkan negara adi kuasa pun dihajar oleh kemarahan teroris. Ia menyisakan pertanyaan besar bagi umat manusia,
bagaimana persisnya cara menyembuhkan kemarahan?. Tatkala seseorang sakit kepala, tidak ada dokter yang menyarankan
untuk membuang kepala. Sedihnya, saat kemarahan datang, nyaris semua orang mau membuang kemarahannya. Padahal di
dunia psikologi sudah dikenal pesan tua: “What you resist persist” (apa yang Anda tolak akan menolak balik dengan
kekuatan yang lebih besar).

Dalam kaitan inilah, buku indah berjudul “Anger” (kemarahan) yang ditulis apik oleh Thich Nhat Hanh hadir seperti air
sejuk yang memadamkan banyak api kemarahan. Di jalan ini, kemarahan tidak dibuang. Melainkan didekap dengan penuh
kasih sayang. Simbol yang diambil pun penuh kasih sayang. Kemarahan dibayangkan seperti bayi menangis di dalam. Sang
kesadaran hadir sebagai ibu yang mendekap dengan penuh kasih sayang. Logikanya sederhana sekaligus bercahaya. Setiap
tetumbuhan yang didekap oleh cahaya matahari, ia mengalami transformasi. Hal yang sama juga terjadi dengan kemarahan,
begitu ia didekap (baca: diterima kehadirannya di dalam, disayangi seperti ibu yang menyayangi anaknya yang nakal), maka
kemarahan pun mengalami transformasi. Ia mirip dengan transformasi sampah menjadi bunga indah.

Ada dua kelompok alat yang tersedia dalam hal ini. Alat-alat di dalam adalah nafas, kesadaran penuh (utuh) dan energi
dekapan. Sedangkan alat-alat yang tersedia di luar adalah memandang orang yang menimbulkan kemarahan sebagai jiwa
yang sedang menderita, energi kasih sayang, serta ke-u-Tuhan. Langkah konkritnya sederhana, begitu energi kemarahan
datang, cepat terhubung dengan jangkar nafas, sadari sifat semuanya yang penuh dan utuh (baca: di mana ada kelebihan di
sana ada kekurangan), dan selalu ingat untuk mendekap setiap energi yang datang. Begitu energi kemarahan mulai
terkendali, tatap orang yang menimbulkan kemarahan sebagai jiwa yang sedang menderita. Ia tidak memerlukan kemarahan
Anda. Ia memerlukan kasih sayang Anda. Bersamaan dengan itu, ingat hukum ke-u-Tuhan. Di mana Anda mengambil
kesenangan, di sana Anda harus membayarnya dengan kesedihan. Lebih bagus lagi kalau langkah ini dipadukan dengan
meditasi jalan, yang melihat sifat alami semuanya yang tidak kekal, persis seperti langkah-langkah kaki. Sisanya, practice
makes you perfect. Hanya latihan dalam keseharian yang membawa Anda mendekati kesempurnaan

JEJAK-JEJAK MAKNA (13)


6 Jun 2017
spritualitas gedeprama 0 Comments

Salah satu pekerjaan rumah umat manusia yang tidak menunjukkan tanda-tanda
selesai adalah menyembuhkan kemarahan. Kendati norma-norma agama yang melarang kemarahan sudah berumur ribuan
tahun, institusi penjara yang menghukum kemarahan juga berumur ribuan tahun, tapi belum ada tanda-tanda kemarahan
manusia menurun. Di beberapa bagian bahkan terlihat kemarahan manusia semakin parah. Kendati demikian sulit dan rumit,
tidak ada salahnya untuk mencoba dan mencoba lagi. Di bidang psikologi klinis khususnya, sudah lama manusia mencoba
mengusir kemarahan dan sakit mental lainnya menggunakan obat-obat farmasi. Dengan tidak bermaksud untuk mengatakan
kalau obat farmasi tidak berhasil, serta menyadari kompleksnya jejaring kerumitan di balik semua sakit kejiwaan, di sana-
sini terlihat penghuni rumah sakit jiwa yang menaik terus. Itu juga sebabnya, di dunia spiritual tidak sedikit Guru yang mau
membantu muridnya agar sembuh dari kemarahan.
Salah satu diantara banyak Guru itu adalah YM Dalai Lama. Mirip dengan salah satu perancang arsitektur spiritual pulau
Bali yakni Guru besar Mpu Kuturan yang pendeta Buddha Mahayana, YM Dalai Lama juga seorang pendeta Buddha
Mahayana. Nama spesifik ajaran Mahayana bernama Bodhi Chitta (pikiran yang tercerahkan). Aspek absolut Bodhi Chitta
disebut kesunyataan. Kadang disebut keheningan. Tetua Bali menyebutnya nyepi lan ngewindu. Sebagaimana sifat alami
bunga yang indah, sifat alami Tirtha yang basah, sifat alami pikiran yang memasuki keheningan akan mekar dalam bentuk
hati yang indah. Tetua Bali menyebutnya urip lan nguripi. Hidup sepenuhnya untuk orang lain (compassion). Gerbang
keheningan bisa dimasuki dengan berbagai cara. Dari yoga, meditasi, doa, upacara, dll. Namun ciri pikiran yang hening dan
bening sederhana. Apa yang disebut kebaikan oleh orang banyak mirip dengan mulut. Apa yang disebut kejahatan oleh
orang banyak mirip dengan – maaf – dubur. Dan tubuh manusia mana pun, termasuk tubuh orang paling suci pun ada
duburnya.

Masyarakat dan jiwa manusia juga serupa. Di waktu mana pun, di tempat mana pun, mulut dan dubur akan senantiasa ada di
tubuh yang sama. Ia yang mengerti ini melalui pencapaian – bukan melalui perkataan – akan sampai pada tingkatan S3
(senyum senyum saja). Bukan sembarang senyuman. Tapi senyuman yang mekar di taman pengertian, di mana ada bunga
indah di sana ada sampah. Di mana ada pujian di sana ada cacian. Persis seperti mulut dan dubur. Setelah melewati tahapan
ini, seseorang bukannya cuek dan tidak peduli. Kembali ke pengandadian sebelumnya, sebagaimana sifat alami bunga yang
indah, sifat alami Tirtha yang basah, sifat alami keheningan senantiasa mekar dalam bentuk hati yang indah. Dengan hati
indah jenis ini, seseorang tidak saja sembuh dari kemarahan, tapi juga berbagi Cahaya kepada banyak sekali orang. Kalau
YM Dalai Lama digunakan sebagai contoh dalam hal ini, Cahayanya tidak kebayang agungnya. Beliau pernah mendapatkan
hadiah nobel perdamaian, pernah diangkat menjadi warga negara kehormatan oleh baik senat Amerika maupun senat
Kanada. Sebuah keteladanan kesembuhan yang sangat mengagumkan.

Penulis: Guruji Gede Prama


MENYEMBUHKAN AKAR KEMARAHAN
9 Jun 2017
spritualitas gedeprama 0 Comments

Sebuah pekerjaan rumah umat manusia yang tidak selesai-selesai sejak dulu sekali
adalah menyembuhkan akar kemarahan. Padahal, norma-norma agama sudah dibuat selama ribuan tahun, institusi penjara
juga berumur ribuan tahun, ilmu psikologi yang berumur tua juga ikut mau menyembuhkan kemarahan, namun tetap saja
kemarahan tidak menunjukkan tanda-tanda menurun. Dalam beberapa bagian, kemarahan manusia bahkan semakin parah.

Kendati demikian sulit dan rumitnya menyembuhkan akar kemarahan, namun tetap tidak ada salahnya untuk mencoba lagi
dan lagi. Dalam teropong filosofi Timur, jika kemarahan diibaratkan dengan sebuah pemerintahan, presidennya bernama
avidya (ketidaktahuan), menteri koordinatornya bernama kerumitan dan kebencian. Bersama-sama mereka membuat dunia
semakin gelap dari hari ke hari.

Yang dimaksud ketidaktahuan dalam hal ini, bukanlah ketidaktahuan karena tidak memiliki ijazah. Bukanlah ketidaktahuan
karena seseorang tidak pernah membaca. Tapi ketidaktahuan yang bersumber dari pikiran yang tidak bersih sekaligus tidak
jernih. Di zaman ini, salah satu kekuatan hebat yang ada di balik pikiran yang jauh dari jernih dan bersih adalah keinginan
yang tanpa batas.

Ia yang berjalan kaki mau punya motor. Setelah punya motor mau punya mobil. Setelah naik Kijang mau naik BMW.
Begitulah cara keinginan merubah kehidupan menjadi lautan kesedihan yang tidak bertepi. Akibat langsung dari semua ini,
kehidupan bertumbuh sangat rumit. Ia diperparah lagi oleh kebiasaan untuk membandingkan ke atas. Perpaduan antara
kerumitan dan kehencian inilah yang terus menerus membakar api kemarahan di dalam.

Namun jangan berkecil hati. Di alam ini semua ada penyeimbangnya. Api penyeimbangnya air. Sampah penyeimbangnya
bunga indah. Orang jahat penyeimbangnya orang baik. Demikian juga dengan kemarahan. Asal tekun dan tulus melatih diri
dengan jalan meditasi khususnya, ada kemungkinan seseorang akan sembuh dari akar kemarahan.

Salah satu perlambang sederhana namun mendalam dalam hal ini adalah tukang taman organik. Semua yang ada di luar
maupun di dalam adalah bahan-bahan organik yang bisa diolah. Bahan-bahan di luar adalah memandang orang yang
menimbulkan kemarahan sebagai jiwa yang penuh penderitaan. Di balik penderitaan mereka ada jejaring rumit seperti
keluarga bermasalah dan sekolah penuh musibah. Begitu jejaring rumit ini terbuka, di sana ada kemungkinan mekarnya
bunga kasih sayang.

Bahan-bahan yang tersedia di dalam lain lagi. Pertama, kapan saja kemarahan berkunjung, cepat terhubung dengan jangkar
yang menghubungkan pikiran dengan pantai kedamaian. Jangkar itu bernama nafas. Kedua, terima kemarahan sebagai
bagian dari diri Anda. Ketiga, dekap kemarahan seperti seorang ibu mendekap putra tunggalnya.

Sebagai mana pernah ditulis oleh banyak buku suci, ada banyak rahasia yang disembunyikan di balik nafas. Dalam konteks
kemarahan, nafas itu membawa udara segar ke dalam diri seseorang yang sedang terbakar. Ia membuat ruang pikiran yang
pengap seperti mendapatkan udara segar kembali. Lebih-lebih kalau nafas dikombinasikan dengan kesadaran bahwa
kemarahan bukan musuh, tapi bagian dari diri kita.

Di psikologi ada ungkapan tua yang berbunyi: “What you resist persist”. Apa yang Anda lawan akan melawan balik dengan
kekuatan yang lebih besar. Saat seseorang sakit kepala, tidak ada dokter yang menyarankan untuk membuang kepala. Semua
dokter menyarankan untuk merawat kepala. Demikian juga dengan kemarahan. Lupakan ide membuang kemarahan. Rawat
kemarahan seperti seorang ibu merawat putra tunggalnya.

Siapa saja yang tekun dan tulus berlatih seperti ini selama puluhan tahun, di sana ada kemungkinan kerumitan digantikan
oleh kesederhanaan, kebencian digantikan oleh kebaikan. Dan yang paling penting ketidaktahuan (avidya) diterangi cahaya
pengetahuan (vidya). Tidak seperti Guru di sekolah yang menerangi murid dengan kata-kata pinjaman dari luar, cara
menyembuhkan kemarahan seperti ini akan membuat seseorang bisa menerangi diri dari dalam. Tetua Bali menyebutnya
meshiva raga. Berguru pada Cahaya Tuhan yang ada di dalam.

JEJAK-JEJAK MAKNA (14)


9 Jun 2017
spritualitas gedeprama 0 Comments

Setiap orang adalah sebuah kombinasi yang unik. Demikian juga dengan Dr.
Thomas Bien, penulis buku “Mindful Therapy”. Beliau adalah seorang doktor (S3) di bidang psikiatri sekaligus seseorang
yang menemukan “roh” meditasi. Jarang-jarang ada orang yang menemukan kombinasi unik seperti ini. Bisa sampai di
tingkat pendidikan tertinggi ala Barat, tapi juga bisa memahami roh kebijaksanaan Timur. Hasilnya mudah diduga, Thomas
Bien tidak saja menjadi seorang penyembuh, tapi juga bertumbuh menjadi jiwa yang utuh. Ini terlihat terang benderang
dalam setiap hasil karyanya. Perhatikan cara penasehat kejiwaan ini mendefinisikan meditasi: “Meditasi adalah seni
menemukan rumah indah di dalam”. Sebuah cara pendefinisian yang sederhana namun dalam. Sebagaimana terlihat di sana-
sini, jiwa-jiwa resah dan gelisah – apa lagi yang sakit – selalu ditandai oleh kegagalan untuk menemukan rumah indah di
dalam. Akibatnya, mereka mencari ke sana ke mari. Dan semua yang mencari ke sana ke mari itu harus berakhir di garis
finish bernama kekecewaan.

Berbeda dengan pendahulunya bernama Sigmund Freud (salah satu pendiri ilmu psikologi), yang suka sekali melakukan
intervensi melalui obat-obat farmasi, Thomas Bien sangat berjarak dengan obat farmasi. Beliau sangat menekankan “proses
interaksi” antara penyembuh dan pasien. Meminjam warisan tua psikolog kondang Carl Jung, kedalaman empati seorang
penyembuh sangat menentukan dalam proses kesembuhan jiwa. Itu sebabnya Thomas Bien berkali-kali mengulangi pesan:
“Hold your concept loosely”. Maksudnya, kurangi membawa konsep dari tempat lain untuk menghakimi pasien. Pada saat
yang sama, dengarkan dengan penuh empati apa-apa yang diceritakan pasien. Dan praktik mindfulness (kesadaran penuh)
akan sangat membantu dalam hal ini. Konkritnya, saat berempati pada pasien, ingat selalu terhubung dengan jangkar nafas.
Kapan saja pikiran berada pada posisi ekstrim – seperti sedih karena dimaki, senang karena dipuji – cepat kembali ke nafas.
Bersamaan dengan itu, ingat sifat alami semuanya yang utuh dan penuh (baca: di mana ada kesenangan di sana ada
kesedihan).

Jika seseorang bisa mempertahankan kwalitas interasksi yang penuh kesadaran seperti ini, tidak saja pasien bisa
diselamatkan dari hal-hal berbahaya, penyembuhnya juga tumbuh menjadi jiwa bercahaya. Meminjam penemuan seorang
ahli psikiatri bernama Murray Bowen – yang menghabiskan banyak waktu menolong banyak keluarga dengan sakit
schizophrenia (gila) – begitu seorang terapis berhenti mengintervensi, berhenti bernafsu terlalu keras untuk merubah,
pasiennya mulai menunjukkan tanda-tanda kesembuhan. Thomas Bien menyebut ini sebagai kekuatan ketulusan dan
keikhlasan. Serangkaian kekuatan yang layak dicoba oleh para sahabat yang punya keluarga yang butuh disembuhkan,
sekaligus oleh para sahabat yang ada di tengah masyarakat untuk tugas pelayanan. Kesimpulannya sederhana, dulunya
meditasi hanya menjadi wilayah agama dan spiritualitas. Sekarang, meditasi sudah memasuki wilayah-wilayah akademis
yang kaya dengan penelitian. Sebuah pesan tua mengingatkan, terlahir sebagai manusia tapi tidak mengenal meditasi, ia
mirip dengan manusia yang tinggal di hutan yang penuh kedamaian, tapi terus menerus mencari tempat yang penuh
kedamaian.

JEJAK-JEJAK MAKNA (15)


9 Jun 2017
spritualitas gedeprama 0 Comments

Setiap zaman memiliki keunikan tersendiri. Sementara sebagian ahli statistik


menempatkan keunikan sebagai penyimpangan yang disarankan untuk dibuang, di jalan spiritualitas mendalam sang rahasia
sering tersembunyi di balik hal-hal yang unik dan spesifik. Itu juga yang terjadi dengan buku “Buddha’s Brain: The practical
neuroscience of happiness, love & wisdom”. Buku ini unik karena ditulis oleh doktor di bidang neuroscience (ilmu otak
manusia) yang mengerti meditasi melalui pencapaian yang sangat mendalam. Dulunya, meditasi adalah praktik spiritual
yang dilakukan pencari-pencari spiritual di gua dan gunung. Sekarang, manfaat kesembuhan dan kedamaian dari meditasi
bisa dibuktikan di laboratorium klinis. Lebih dalam dari itu, tidak sedikit sahabat ilmuwan di Barat yang pencapaian
meditasinya lebih baik dari para petapa di gua dan gunung. Rick Hanson Ph.D dan Richard Mendius MD (penulis buku ini)
adalah sebagian contoh dalam hal ini. Cara mereka berdua menceritakan efek meditasi terhadap otak manusia, tidak saja
meyakinkan secara akademis, tapi juga mendalam secara praktis.

Salah satu tesis buku ini, kebiasaan pikiran seseorang bisa membentuk otak. Dan otak adalah kekuatan sangat menentukan
dalam membentuk kehidupan menjadi sehat, bahagia sekaligus damai. Di salah satu bagian buku ini secara eksplisit dikutip
hasil penelitian di bidang neuroscience, begitu seseorang bahagia maka otak kiri sebelah depan bekerja jauh lebih aktif. Jika
di zaman dulu orang percaya sukses dulu baru bahagia, melalui temuan ini rumusnya bisa juga terbalik: “keadaan bahagia di
dalam mendorong seseorang mencapai kesuksesan”. Dengan demikian, begitu seseorang merubah otak, ia juga sedang
merubah hidupnya. Dan meditasi adalah saran yang direkomendasikan buku ini untuk merubah otak manusia.

Dalam kerangka yang sederhana namun mendalam, sebelum pikiran disentuh meditasi, perilakunya mirip hujan deras.
Semuanya diterjang (baca: apa saja yang muncul di pikiran jadi perkataan dan perbuatan). Akibatnya, seseorang tidak saja
menimbulakn luka jiwa ke orang lain, tapi juga mengundang orang lain untuk menimbulkan luka jiwa pada yang
bersangkutan. Begitu pikiran disentuh meditasi, kebiasaan pikiran mulai berubah menjadi air sungai yang mengalir. Benih-
benih kebahagiaan dan kedamaian mulai muncul di tingkatan ini. Nanti, setelah seseorang diberkahi untuk mengalami
pencerahan, di sana pikiran akan menjadi seindah dan sedalam samudra. Kerangkanya sederhana, tapi perjalanan ke sana
jauh dari sederhana. Ia belum tentu selesai dalam satu kehidupan. Kendati demikian, sebuah pepatah tua berpesan,
perjalanan sejauh apa pun selalui dimulai dengan sebuah langkah awal yang kecil. Ringkasnya, mari belajar meditasi. Kalau
tidak bisa duduk meditasi berjam-jam, setidak-tidaknya gunakan setiap kekinian – dari boss marah sampai anak bernyanyi –
sebagai bel untuk kembali ke nafas. Berjumpa wajah ke-u-Tuhan dari kehidupan. Artinya, di mana ada puncak gunung di
sana ada jurang. Di mana ada kesenangan di sana ada kesedihan. Sesampai di sini, Anda pun boleh mendapat gelar S3
(senyum senyum saja).

Penulis: Guruji Gede Prama

JEJAK-JEJAK MAKNA (16)


9 Jun 2017
spritualitas gedeprama 0 Comments

Fritjof Capra yang memperoleh gelar doktor di bidang fisika partikel pernah
menulis, fisika bisa membimbing umat manusia ke dua B yang ekstrim yakni bom atau Buddha (baca: pencerahan).
Sejujurnya, hal yang sama juga terjadi dengan pengetahuan manusia sekaligus agama. Seperti pedang panjang, ia bisa
melukai masyarakat, ia juga bisa melindungi masyarakat. Sekarang terpulang siapa yang memegang pedangnya. Demikian
juga dengan “pedang” pengetahuan dan agama. Di tangan manusia yang berfikiran sempit, pengetahuan dan agama dijadikan
alat kekerasan menakutkan. Tapi di tangan manusia dengan fikiran luas dan terbuka, pengetahuan dan agama menjadi
kendaraan yang membebaskan. Dengan kata lain, di balik kekerasan menakutkan sesungguhnya bukan agama, melainkan
fikiran yang sempit.

Untuk itu, agar kekerasan menurun, pekerjaan rumahnya bukan melarang orang yang beragama berbeda untuk memasuki
negara tertentu, melainkan melatih umat manusia agar memiliki fikiran yang luas dan terbuka. Dalam kaitan inilah, Thomas
J. McFarland yang menulis buku: “Einstein & Buddha” layak dihormati. Sementara manusia yang berfikiran sempit mudah
khilaf dengan mengatakan bahwa agamanya benar dan milik orang lain salah, manusia yang berfikiran terbuka seperti
McFarland lain lagi. Kebenaran, demikian jiwa-jiwa dengan fikiran terbuka meyakini, tidak saja ada di rumah kita, tapi juga
mungkin ada di rumah orang lain. Itu sebabnya, buku ini membuat paralel antara pengetahuan Barat yang scientific dengan
kearifan Timur yang holistik. Ujungnya, bukan dipilih salah satu yang terbaik, namun dicari wilayah-wilayah di mana
keduanya bisa saling melengkapi. Inilah beda mendasar antara fikiran yang mengeras sebagai akar banyak kekerasan,
dengan fikiran yang luwes dan lentur sebagai akar banyak kedamaian. Fikiran yang mengeras seperti kaca mata kuda. Hanya
yang dilihat mata sajalah yang benar. Sebagian kaum mistikus di banyak agama berpesan: “manusia bisa melihat lebih
banyak tidak saja dengan mata yang terbuka, tapi juga dengan fikiran dan hati yang terbuka”.
Perhatikan apa yang ditulis buku ini di halaman 63: “Hidup memiliki batas, tapi pengetahuan tidak memiliki batas. Mencoba
memahami yang tidak terbatas menggunakan alat yang terbatas, hanya membuat hidup jadi berbahaya”. Itulah persoalan
sebagian manusia yang dibakar kekerasan. Mencoba memahami yang tidak terbatas dengan fikiran yang terbatas.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana mendidik generasi baru agar memiliki fikiran yang terbuka? Roh yang mau dibagikan
buku ini sederhana, belajar mengerti tidak saja rumah yang diwariskan orang tua tapi juga rumah orang lain. Di Bali ada
sahabat Romo Katolik yang mendapat gelar Master dalam kajian Islam dari sebuah Universitas terkemuka di Mesir. Romo
ini pernah bercerita wajah Islam yang sejuk, lembut sekaligus indah. Sehingga layak direnungkan oleh generasi baru, tidak
saja membaca agama warisan orang tua. Sekali-sekali boleh membaca agama orang lain. Tentu tidak untuk pindah agama.
Tapi untuk membuat jiwa semakin bercahaya. Ingat jiwa-jiwa yang indah, tatkala Anda menghormati agama orang lain,
Anda juga sedang bercerita betapa indahnya agama yang sedang Anda anut. Sebagaimana pesan Buddha yang dikutip buku
ini di halaman 111: “Fikiran yang luas mirip dengan samudra yang luas”. Apa saja yang datang ke samudra luas diolah
menjadi bahan-bahan pertumbuhan.

Penulis: Guruji Gede Prama

JEJAK-JEJAK MAKNA (17)


11 Jun 2017
spritualitas gedeprama 0 Comments

Sangat sedikit ada penyembuh kejiwaan yang jiwanya sudah sembuh, kemudian
secara menyentuh membantu orang-orang agar sembuh. Salah satu diantara yang sangat sedikit itu adalah Kari Joys.
Pengalaman bertahun-tahun bersahabat di Twitter, bersama-sama menolong banyak orang juga di Twitter, terasa sekali
hadirnya spirit belas kasih di balik pelayanan Kari Joys. Spirit belas kasih yang sama juga terasa hadir dalam buku indah
nenek 7 cucu ini yang berjudul: “Choosing Light Heartedness: A 33 day journey to overcome anxiety, depression and
dysfunctional family issues”. Perhatikan bagaimana psikolog berpengalaman ini mengawali bukunya: “Seberapa sakit pun
orang pernah melukai Anda, seberapa sakit pun orang pernah Anda lukai, tidak ada istilah terlambat untuk berubah. Selalu
ada kesempatan untuk berubah menjadi jiwa yang indah”. Sebuah spirit dekapan yang sangat dibutuhkan oleh banyak sekali
jiwa-jiwa resah dan gelisah. Sebagaimana terlihat di sana-sini, sumber utama kenapa banyak jiwa resah dan gelisah, karena
ditolak. Tidak saja masyarakat dan keluarganya menolak, bahkan yang bersangkutan pun menolak dirinya. Akibatnya, daftar
jiwa-jiwa resah dan gelisah terus menerus semakn panjang.

Kari Joys bisa disebut mewakili sebuah generasi penyembuh yang meyakini jika psikologi dipadukan dengan praktik
spiritualitas mendalam, maka daya sembuhnya akan hebat sekali. Dan titik berangkat yang sangat penting dalam hal ini
adalah penerimaan akan diri. Itu sebabnya, di awal buku Kari Joys ini orang diminta untuk menulis semua perasaan yang
muncul. Entah kasar, entah gusar, tulis saja. Tidak perlu memikirkan judul sopan santun, teruslah ditulis. Terutama karena
tulisan ini hanya dibaca seorang diri. Sebagai bahan renungan, perasaan adalah sejenis energi. Ia memerlukan media
ekspresi. Jika diekspresikan secara sehat dan tepat, energi ini akan balik ke diri Anda dalam bentuk cinta kasih. Dan kapan
saja perasaan di dalam terasa lebih tenang, baca lagi tulisan Anda. Tapi baca tulisan Anda bukan sebagai manusia yang
penuh rasa dosa dan rasa bersalah, tapi sebagai seorang penyembuh yang penuh empati. Rasakan rasa sakit di balik tulisan-
tulisan Anda. Dalami jejaring penderitaan di balik rasa sakit Anda. Di puncak semuanya, pergi ke cermin, kemudian tatap
mata orang yang Anda jumpai di cermin, sambil membisikkan pesan: “I love you just the way you are” (saya menerimamu
apa adanya).

Setiap sahabat yang pernah melewati tahapan penyembuhan seperti ini mengerti, begitu seseorang bisa menerima diri secara
penuh dan utuh, di sana ia mulai menanam benih-benih belas kasih di dalam. Jika terus menerus diberi lingkungan yang
mendukung, dirawat dengan air serta pupuk seperti canda, cinta, doa, meditasi, yoga, persoalan waktu ia akan mekar indah
dalam bentuk belas kasih pada orang lain. Tiba-tiba saja seseorang akan bisa menemukan kebahagiaan dalam melayani
orang lain. Menemukan kedamaian dalam meringankan beban orang lain. Jangankan keluarga dekat seperti pasangan hidup
dan anak-anak, bahkan orang jauh pun ikut merasakan kesejukan jiwa yang bersangkutan. Itu sebabnya, di bagian agak akhir
(halaman 130), Kari Joys berpesan: “The last step in living your spirituality is doing service…like Mother Teresa did”. Ada
bunga indah suka cita yang mekar di dalam tatkala seseorang memberikan hidupnya untuk orang lain. Di tingkat seperti
inilah maka doa-doa di bawah bisa membuat air mata menetes. Bukan karena jiwa mengalami luka, tapi karena jiwa melihat
ada jendela Cahaya yang terbuka…

Cahaya….
Di mana saja ada luka jiwa…
Izinkan saya membawa obat ke sana…
Cahaya…
Di mana saja ada kegelapan derita…
Izinkan saya membawa lentera ke sana…
Cahaya…
Di mana saja ada air mata…
Izinkan saya membawa Tirtha ke sana…

Penulis: Guruji Gede Prama


Foto: Koleksi pribadi

JEJAK-JEJAK MAKNA (18)


11 Jun 2017
spritualitas gedeprama 0 Comments

Gelap dan pengap, itulah aura bumi akhir-akhir ini. Amerika Serikat bersama
drama Donald Trump-nya hanya puncak gunung es. Di bawah permukaan, banyak hal yang menakutkan. Tapi sebagaimana
kegelapan yang membuat Cahaya memancar lebih terang, aura bumi seperti ini mengudang jiwa-jiwa bercahaya untuk lebih
banyak lagi berbagi balancing energy (energi penyeimbang). Taman yang kering membutuhkan air. Pohon yang kurus
membutuhkan pupuk. Demikian juga dengan dunia yang sedang gelap dan penuh masalah, ia membutuhkan Cahaya indah.
Dalam kaitan inilah buku “The Road Less Travelled: The new psychology of love, traditional values and spiritual growth”
bisa dijadikan salah satu acuan. Buku yang ditulis oleh M. Scott Peck, seorang penyembuh kejiwaan berpengalaman lulusan
Harvard ini sudah menerangi banyak jiwa.

Setelah menghabiskan banyak waktu sebagai penyembuh berpengalaman, Scott Speck sampai pada kesimpulan sederhana,
nyaris semua jiwa-jiwa resah gelisah berbicara seperti ini: “Harusnya dulu saya seperti ini. Mestinya dulu saya seperti itu”.
Implisit dalam temuan ini, jiwa-jiwa yang resah gelisah menolak masa lalunya. Melihat masa lalu sebagai kesalahan yang
tidak bisa dimaafkan. Sebagai akibatnya, mereka membuat penjara dalam pikiran mereka sendiri. Kemudian menggendong
penjara itu ke mana pun mereka pergi. Dan sebelum dunia yang gelap ini membuat jiwa Anda tambah gelap, mari belajar
membebaskan diri dari penjara yang dibuat oleh pikiran Anda sendiri. Di dunia geografi, bentuk wilayah menentukan bentuk
peta. Namun di dunia kesembuhan jiwa, peta menentukan bentuk wilayah. Ringkasnya, belajar membuang cara pandang
masa kanak-kanak. Yang hanya mau hal-hal yang menyenangkan saja. Anda tidak lagi bertumbuh sebagai anak-anak.
Sebaliknya, sedang bertumbuh menjadi manusia dewasa. Serta siap-siap menjadi jiwa-jiwa bercahaya. Untuk itu, temui dan
hadapi masalah yang datang. Perlakukan cobaan, godaan, tantangan sebagai tangan-tangan Guru yang membimbing. Ini
yang dimaksud dengan membuang peta masa kanak-kanak, mulai melihat kehidupan dengan peta jiwa yang siap-siap
tumbuh menjadi jiwa yang bercahaya.

Dalam bahasa Scott Peck, salah satu tanda kalau jiwa mulai dewasa, apa lagi bercahaya, seseorang mulai melihat masalah
bukan sebagai racun, melainkan menjadi nutrisi pertumbuhan. Siapa saja yang tekun dan tulus di jalan ini, suatu hari bisa
menemukan sesuatu yang lebih besar dari sekadar pikiran yang mengaku benar, menjumpai sesuatu yang lebih agung dari
sekadar perasaan bahagia. Ia kadang disebut sebagai jiwa yang mekar (the blooming soul). Di zen disebut satori. Di Buddha
diberi nama Nirvana. Orang Hindu menyebutnya Nirvikalpa Samadhi. Tetua Bali memberinya nama Meshivaraga. Intinya
sederhana, seseorang mulai meninggalkan kaca mata masa kanak-kanak yang hanya mau yang senang-senang saja.
Kemudian bertumbuh indah di tengah kesulitan dan cobaan. Ia mirip dengan angin menerjang yang membuat layang-layang
jadi terbang. Ia serupa cahaya matahari panas yang membuat bunga jadi mekar. Setelah jiwa mekar indah, tidak tersisa apa-
apa. Terkecuali, sebuah kerinduan untuk selalu berbagi Cahaya. Sesampai di sini, dunia yang gelap dan pengap tidak
menjadi ancaman, tapi menjadi kesempatan indah untuk memancarkan Cahaya indah. Dan untuk tujuan itulah jiwa-jiwa
bercahaya ada di sini. Selamat datang di rumah jiwa-jiwa yang indah.

Penulis: Guruji Gede Prama


Foto: Koleksi pribadi

Anda mungkin juga menyukai