Artikel ini merupakan bagian dari artikel Tenaga dalam. Sedangkan artikel di bawah ini
membahas sejarah perkembangan tenaga dalam di dunia umumnya, serta lebih khusus lagi di
Indonesia.
Daftar isi
[sembunyikan]
5 Perkembangan Selanjutnya
6 Rangkapan Fisik
7 Sumber
Wie Kang yang disebut jurus sepuluh, tersebar sampai Vietnam, Campa, Malaya, dan Indonesia.
Tumbuhlah menjadi beberapa aliran, diantaranya silat Mandar dari Sulawesi, silat Timpung dari
Jawa Timur dan silat Nampon dari Jawa Barat, dan sebagainya.
Shurulkhan pun masuk ke Indonesia dan pembawanya ialah orang-orang Cina Islam.
Diantaranya orang Indonesia pertama yang belajar Shurulkhan ialah Tuanku Rao. Orang-orang
Cina Islam menamakan silat itu Tou Yu Kang. 1
Haji Qosim, dikenal juga dengan nama Syahbandar atau Subandari, dari kerajaan Pagar
Ruyung
Perlu menjadi catatan bahwa pada masa Bang Madi, Bang Kari ini belum dikenal teknik pukulan
tenaga dalam atau pukulan jarak jauh. Silat yang diajarkan oleh Madi, Kari dan Syahbandar lebih
bersifat fisik.
Baik Madi, Kari dan Syahbandar dikenal sebagai pendekar silat (fisik) pada masanya. H. Qosim
yang kemudian dikenal sebagai Syahbandar atau Mama Subadar karena tinggal dan disegani
masyarakat desa Subadar di wilayah Cianjur. Sedangkan Madi dikenal sebagai penjual dan
penjinak kuda binal yang diimpor asal Eropa.
Dalam dunia persilatan Madi dikenal pakar dalam mematah siku lawan dengan jurus gilesnya,
sedangkan Kari dikenal sebagai pendekar asli Benteng Tangerang yang juga menguasai jurusjurus kung fu dan ahli dalam teknik jatuhan.
Pada era Syahbandar, Kari dan Madi banyak pendekar dari berbagai aliran berkumpul di Batavia.
Batavia seakan menjadi pusat barter ilmu bela diri dari berbagai aliran, mulai dari silat Padang,
silat Betawi kombinasi kung fu ala Bang Kari, juga aliran Cimande yang dibawa oleh Khoir.
pada Abah Khoir pencipta silat Cimande, dan pendekar-pendekar asal Batavia diantaranya Bang
Madi, Bang Kari, Bang Maruf juga H Qosim pendekar yang diasingkan kerajaan Pagar Ruyung,
Padang karena mengajarkan silat di luar kerajaan.
Aliran bercorak Nampon menyebar ke Jawa Tengah melalui perguruan Ragajati, JSP (jurus seni
penyadar) dan beberapa aliran tanpa nama.
Kini ketika perguruan tenaga dalam menjamur hampir di seluruh kota dengan bendera yang
berbeda-beda (walau corak jurus dan oleh napas serupa), kemudian muncul pertanyaan, dari
mana asalnya ilmu tenaga dalam dan siapa tokoh yang pertama kali menciptakannya?
[sunting] Pendirian Margaluyu
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Margaluyu
Aliran yang didirikan Abah Andadinata pada awalnya bernama Marga Rahayu namun kemudian
dirubah menjadi Margaluyu dan mulai dikenalkan pada pada khalayak pada tahun 1932, tetapi
pada tahun 1922 aliran itu sudah diperkenalkan dalam lingkup yang terbatas.
Margaluyu justru berkembang pesat di wilayah Yogyakarta, dan banyak guru yang belajar dari
aliran ini kemudian mendirikan perguruan dengan nama baru.
Anandinata memiliki beberapa murid, diantaranya Dan Suwaryana, dosen ASRI yang juga
wartawan di Yogyakarta. Dari Dan Suwaryana ini kemudian pecah (berkembang) lebih dari 17
perguruan tenaga dalam besar yang kini bermarkas di kota gudeg, Yogyakarta, diantaranya Prana
Sakti yang dikembangkan Drs. H. Asfanudin Panjaitan, alumnus Fisipol UGM, Jurusan
Publisistik.
Menurut berbagai pihak yang dapat dipercaya, perguruan-perguruan yang terinspirasi oleh Prana
Sakti diantaranya :
Satria Nusantara
Pendawa Padma
Kalimasada
Bunga Islam
Al-Barokah
Indonesia Perkasa
Sinar Putih
Al-Barokah
Al-Ikhlas
dll.
Konon, keilmuan yang ada pada Margaluyu itu sendiri memiliki silsilah dari para Wali di tanah
Jawa, yang apabila diruntut yaitu dari Syekh Datul Kahfi Prabu Kian Santang / P.Cakrabuana
(Setelah masuk Islam dikenal sebagai Sunan Rahmad Suci Godong Garut) kemudian ke : Sunan
Gunung Jati dan dari beliau turun ke Anandinata.
Hingga kini sejarah tenaga dalam masih misteri, siapa tokoh yang pertama kali menciptakannya.
Para pinesepuh juga tidak memiliki referensi yang kuat berkaitan dengan sejarah perguruan dan
pencetusnya.
[sunting] Budi Suci
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Budi Suci
Perguruan Budi Suci didirikan oleh Haji Abdul Rosyid. Aliran ini banyak menyebar ke Jawa dan
Sumatra. Sidik, murid dari H Abdul Rosyid, pada tahun 1985 mengatakan bahwa jurus tenaga
dalam Budi Suci diwarnai keilmuan Abah Khoir dan Nampon. Begitu halnya dengan aliran yang
banyak berkembang di Jawa Tengah, seperti Ragajati di Banyumas, JSP (Jurus Seni Penyadar) di
Tegal dan beberapa aliran di Semarang.
Di pulau Jawa, Budi Suci berkembang di wilayah pantai utara ke arah timur mulai dari Jakarta,
Bekasi, Karawang, Cikampek, Kuningan, Indramayu dan Cirebon, Semarang, Rembang dan
tahun 1983 di Sirahan, Cluwak, Pati Utara.
Dari kalangan Budi Suci atau perguruan yang mengambil sumber dari aliran yang didirikan H
Abdul Rosyid ini setidaknya ada 3 nama tokoh yang disebut-sebut dalam ritual yaitu Madi,
Kari dan Syahbandar.
Dari aliran Budi Suci yang keilmuannya konon bersumber dari Khoir dan Nampon, juga tidak
berani mengklaim bahwa tenaga dalam itu bersumber (hanya) dari Nampon seorang. Begitu
halnya kalangan yang mengambil sumber dari Margaluyu.
Kalangan Budi Suci, menganalisa bahwa Namponlah yang patut dianggap sebagai pencipta,
karena dalam ritual (wirid), nama-nama yang disebut adalah Madi, Kari dan Syahbandar (Syeh
Subandari), sedangkan nama Nampon tidak disebut-sebut. Ini menunjukkan bahwa inspirasi ilmu
berasal dari tokoh sebelum Nampon, walau nampon yang kemudian merangkum dan
menyempurnakannya. Namun kesimpulan itu diragukan mengingat pada masa pendekar Madi,
Kari, Sahbandar ini tenaga dalam belum dikenal.
Terbukti, dalam suatu peristiwa saat Madi diserang kuda binal juga mematahkan kaki kuda
dengan tangkisan tangannya, dan Khoir guru dari Nampon saat bertarung dengan pendekar Kung
Fu, juga menggunakan selendang untuk mengikat lawannya pada pohon pinang. Artinya, jika
tenaga dalam itu sudah ada, dan mereka-mereka itu adalah pakarnya, kenapa musti pakai
selendang segala? Kenapa tidak pakai jurus kunci agar pendekar Kung Fu itu tidak bisa
bergerak.
Justru pemanfaatan tenaga dalam itu baru tercatat pada era Nampon tahun 1930-an. Kasus
histeris saat menyambut kelahiran anaknya di depan stasiun Padalarang, dan pertarungan
Nampon dengan Jawara Banten juga saat melayani tantangan KM Thamim yang (setelah kalah)
lalu berguru kepadanya.
[sunting] Silat Bandar Karima
Bandar Karima adalah kependekan dari Syahbandar, Kari dan Madi. Yosis Siswoyo, Guru Besar
aliran Bandar Karima Bandung saat dikonfirmasi, mensinyalir bahwa kemunculan tenaga dalam
di wilayah Jawa Barat secara terbuka memang terjadi pada masa Nampon sepulang dari penjara
Digul.
Namun demikian Yosis tidak berani memastikan pencipta jurus tenaga dalam itu Nampon
seorang, mengingat pada masa yang hampir bersamaan, di Batavia/Jakarta juga muncul aliran
Sin Lam Ba dan Al-Hikmah, bahkan pada tahun yang hampir bersamaan, di daerah Ranca
Engkek Bandung Andadinata memunculkan ilmu tenaga dalam yang diklaim asli hasil
pemikirannya sendiri.
Yosis Siswoyo (63) dari Silat Bandar Karima termasuk kalangan pendekar generasi tua di
Bandung juga mengakui dari kalangan perguruan pencak silat dan tenaga dalam memang kurang
mentradisikan dalam pelestarian sejarah perguruannya.
Walau Yosis menyebut Nampon dan Andadinata sebagai tokoh yang banyak berjasa
mengenalkan tenaga dalam di wilayah Jawa Barat, namun kemunculan Sin Lam Ba dan AlHikmah di Batavia pada kurun waktu yang hampir bersamaan, (bahkan disinyalir lebih dulu)
juga perlu dipertimbangkan bagi yang ingin melacak sejarah.
Satya berkembang di wilayah Pati awalnya dibawa oleh murid Soeharto bernama Subiyanto asal
Jepara. Namun Subiyanto kemudian membuat perguruan Mustika. Walau perguruan ini hanya
muncul sesaat kemudian tidak terdengar lagi.
Pada akhir tahun 70-an Satya masuk wilayah Pati dengan corak yang saat itu dianggap tabu
karena berlatih pada tempat terbuka pada siang hari. Ini berbeda dengan aliran lain yang memilih
berlatih secara sembunyi-sembunyi.
Satya lebih mudah diterima masyarakat karena sifatnya yang terbuka, lebih njawani dan tidak
bernaung dibawah partai politik tertentu bahkan menerima anggota dari semua agama, walau
dalam ritualnya Satya tidak jauh beda dengan aliran Budi Suci yang dikembangkan oleh Bang
Ali yang saat itu juga banyak berkembang di Jawa Tengah.
Kesamaan Satya dengan Budi Suci disebabkan alm. Soeharto mengenal jurus tenaga dalam itu
berasal dari Yusuf di Tanjung Pinang, dan Yusuf adalah murid dari alm. Sidik, salah satu dari
murid H Abdul Rosyid sang pendiri aliran Budi Suci.
Dalam lingkup pergruannya, Soeharto hampir tidak pernah menyebut-nyebut nama Yusuf
sebagai sang guru. Ini disebabkan adanya hal yang sangat pribadi berkaitan dengan sang guru
yang WNI keturunan itu. Justru Soeharto lebih sering menyebut nama Sidik, walau pertemuan
keduanya itu baru berlangsung diawal tahun 80-an.
Ketika Masruri, putra H. Ali Ridlo dan pengurus Satya Sirahan, Cluwak berhasil menemukan
Sidik di Cilincing, Jakarta Utara, lalu diboyong untuk meneruskan pembinaan dari anggota Satya
yang saat itu sudah pasif dari berbagai kegiatan perguruan. Masruri belakangan dikenal sebagai
pengasuh rubrik "Liku-Liku Tenaga Dalam" di harian Suara Merdeka - Semarang (tahun 1993 1996) juga penulis buku-buku tentang tenaga dalam dan metafisika.
Kehadiran Sidik yang statusnya adalah Guru Besar Budi Suci ke Sirahan ibarat meneruskan
pelajaran lanjutan yang tidak terdapat pada kurikulum Satya di bawah Soeharto. Selain
pembaharuan dalam jurus dasar juga meneruskan pada materi Jodoh Jurus dan Kembang Jurus
ciptaan oleh Abah Khoir sang pendiri Cimande dan sebagian sudah digubah oleh H Abdul
Rosyid yang di perguruan Satya jurus itu tidak dikenal.
Perguruan Satya Sirahan yang dipimpin H Ali Ridlo dan putranya, Masruri yang keilmuannya
sudah diwarnai Budi Suci ala Sidik yang kemudian mengembangkan perguruan tenaga dalam
diantaranya, HM Sadari di Kelet, Keling, Jepara, Ustad M Masrur di Cepogo, Bangsri, Jepara,
Suhirlan di Ngaringan Purwodadi dan Sudono, adik kandung H Ali Ridlo yang berdomisili di
Rimbo Bujang, Bungo Tebo, Jambi.
dimasalahkan, karena setiap guru atau orang yang merasa mampu mengajarkan ilmu pada orang
lain itu belum tentu sepaham dengan tradisi yang ada pada perguruan yang pernah diikutinya.
Pertimbangan merubah nama perguruan itu dilatarbelakangi oleh hal-hal yang amat kompleks,
mulai adanya ketidaksepahaman pola pikir antara orang zaman dulu yang mistis dan kalangan
modernis yang mempertimbangkan sisi kemurnian aqidah dan ilmiah, disamping pertimbangan
dari sisi komersial. Yang pasti, misi orang mempelajari tenaga dalam pada masyarakat sekarang
sudah mulai berubah dari yang semula berorientasi pada ilmu kesaktian menuju pada gerak fisik
(olah raga) karena orang sekarang menganggap lawan berat yang sesungguhnya adalah penyakit.
Karena itu, promosi perguruan lebih mengeksploitasi kemampuan mengobati diri sendiri dan
orang lain.
Aliran perguruan tenaga dalam yang mengeksploitasi kesaktian kini lebih diminati masyarakat
tradisional. Dan menurut pengamatan beberapa pihak, perguruan ini justru sering bermasalah
disebabkan pola pembinaan yang menggiring penganutnya pada sikap kejawaraan melalui
doktrin-doktrin yang kurang bersahabat pada aliran lain dari sesama perguruan tenaga dalam
maupun bela diri dari luar (asing).
Sikap ini sebenarnya bertentangan dengan sikap para tokoh seperti Bang Kari yang selalu wantiwanti agar siapapun yang mengamalkan bela diri untuk selalu memperhatikan sikap 5 yaitu :
1. Jangan cepat puas.
2. Jangan suka pamer.
3. Jangan merasa paling jago.
4. Jangan suka mencari pujian dan
5. Jangan menyakiti orang lain.
Dan perlu diingat, perkembangan pencak silat sebagai dasar dari tenaga dalam itu, baik pelaku
maupun keilmuannya dapat berkembang karena silaturahmi antar tokoh, mulai dari silat Pagar
Ruyung Padang yang dibawa H Kosim (Syahbandar), Bang Kari dan Bang Madi yang
merangkum silat Betawi dengan Kung Fu, juga Abah Khoir dengan Cimandenya, RH. Ibrahim
dengan Cikalongnya.
Sin Lam Ba, Al-Hikmah, Silat Tauhid Indonesia berjasa dalam memberikan nafas religius bagi
pesertanya, dan aliran Nampon berjasa dalam memberikan semangat bagi para pejuang di era
kemerdekaan.
Terlepas dari sisi positif dari aliran-aliran besar itu, pengembangan aliran tenaga dalam yang kini
masih memilih corak pengembangan bela diri dan kesaktian itu justru mendapat kritik dari para
pendahulunya.
Pada tahun 1984 Alm. Sidik murid dari H Abdul Rosyid saat berkunjung ke Desa Sirahan,
Cluwak, Pati dan menyaksikan cara betarung (peragaan) suatu perguruan pecahan dari Budi
Suci, menyayangkan kenapa sebagian besar dari siswa perguruan tenaga dalam itu sudah
meninggalkan teknik silat (fisik) sebagai basic tenaga dalam.
Artinya, saat diserang mereka cenderung diam dan hanya mengeraskan bagian dada/perut.
Kebiasaan ini menurutnya suatu saat akan menjadi bumerang saat harus menghadapi perkelahian
diluar gelanggang latihan. Karena saat latihan hanya dengan diam saja sudah mampu
mementalkan penyerang hingga memberikan kesan bahwa menggunakan tenaga dalam itu
mudah sekali.
Mereka tidak sadar bahwa dalam perkelahian di luar gelanggang latihan itu, suasananya berbeda.
Dalam arena latihan yang dihadapi adalah teman sendiri yang sudah terlatih dalam menciptakan
emosi (amarah).
Cara bela diri memanfaatkan tenaga dalam yang benar menurut Alm. Sidik sudah dicontohkan
oleh Nampon saat ditantang jawara dari Banten dan saat akan dicoba kesaktiannya oleh KM
Tamim. Yaitu, awalnya mengalah dan berupaya menghindar namun ketika lawan masih memaksa
menyerang, baru dilayani dengan jurus silat secara fisik, menghindar, menangkis dan pada saat
yang dianggap tepat memancing amarah dengan tamparan ringan dan setelah penyerang emosi,
baru menggunakan tenaga dalam.
Pola pembinaan bela diri yang tidak lengkap yang hanya fokus pada sisi batin saja, sering
menjadi bumerang bagi mereka yang sudah merasa memiliki tenaga dalam sehingga terlalu yakin
bahwa bagaimanapun bentuk serangannya, cukup dengan diam (saja) penyerang pasti mental.
Dan ketika mereka menghadapi bahaya yang sesungguhnya, ternyata menggunakan tenaga
dalam tidak semudah saat berlatih dengan teman seperguruannya.
Fenomena pembinaan yang sepotong-potong ini tidak lepas dari keterbatasan sebagian guru yang
pada umumnya hanya pernah mampir di perguruan tenaga dalam. Sidik mengakui banyak
orang yang belajar di Budi Suci hanya bermodal jurus dasar saja sudah banyak yang berani
membuka perguruan baru. Padahal dalam Budi Suci itu terdapat 3 tahapan jurus. Yaitu, Dasar
Jurus Jodoh Jurus dan Kembang Jurus (ibingan).
Karena tergesa-gesa ingin membuka aliran baru itu menyebabkan siswa sering tidak siap disaat
harus menggunakan tenaga dalamnya. Dan Yosis Siswoyo dari Bandar Karima memberikan
konsep bahwa keberhasilan memanfaatkan tenaga dalam ditentukan dari prinsip min-plus yang
dapat diartikan : Biarkan orang berniat jahat (marah), aku memilih untuk tetap bertahan dan
sabar.
Karena itu pembinaan fisik, teknik bela diri fisik, teknik, kelenturan, refleks dan mental
bertarung perlu ditanamkan terlebih dahulu karena kegagalan memanfaatkan tenaga dalam lebih
disebabkan mental yang belum siap sehingga orang ingat punya jurus tenaga dalam setelah
perkelahian itu sudah usai.
Berdasarkan pengamatan, tenaga dalam berfungsi baik justru disaat pemiliknya tidak sengaja
dan terpaksa harus bertahan dari serangan orang yang berniat jahat. Dan tenaga dalam itu sering
gagal justru disaat tenaga dalam itu dipersiapkan sebelumnya untuk berkelahi dan akan lebih
gagal total jika tenaga dalam itu digunakan untuk mencari masalah.
Tenaga dalam harus bersifat defensif atau bertahan. Biarkan orang marah dan tetaplah bertahan
dengan sabar dan tak perlu mengimbangi amarah. Sebab jika pemilik tenaga dalam mengimbangi
amarah, maka rumusnya menjadi plus ketemu plus yang menyebabkan energi itu tidak
berfungsi. Dan dalam hal ini Budi Suci menjabarkan konsep min plus itu dengan sikap
membiarkan lawan budi (bergerak/amarah) dan tetap mempertahankan suci (sabar, tenang).
Memposisikan diri tetap bertahan (sabar, tenang) sangat ditentukan tingkat kematangan mental.
Dan pada masa Nampon dan H Abdul Rosyid, tenaga dalam banyak berhasil karena dipegang
oleh pendekar yang sudah terlatih bela diri secara fisik (sabung) sehingga saat menghadapi
penyerang mentalnya tetap terjaga.
Sekarang semua sudah berubah. Orang belajar tenaga dalam sudah telanjur yakin bahwa
serangan lawan tidak dapat menyentuh sehingga fisik tidak dipersiapkan menghindar atau
berbenturan. Dan karena tidak terlatih itu disaat melakukan kontak fisik, yang muncul justru rasa
takut atau bahkan mengimbangi amarah hingga keluar dari konsep min-plus.
Sejarah tentang tenaga dalam perlu diketahui oleh mereka yang mengikuti suatu aliran tenaga
dalam. Ketidaktahuan tentang sejarah itu dapat menggiring seseorang bersikap kacang lupa kulit,
bahkan memunculkan anekdot spiritual sebagaimana dilakukan seorang guru tenaga dalam
yang karena ditanya murid-muridnya dan ia tidak memiliki jawaban lalu menjelaskan bahwa
orang-orang yang ditokohkan dalam perguruan itu dengan jawaban yang mengada-ada.
Misalnya, Saman adalah seorang Syekh dari Yaman, Madi disebut sebagai Imam Mahdi, Kari
adalah Imam Buchori, Subandari adalah Syeh Isbandari. Dan jawaban seperti itu tidak memiliki
dasar dan konon hanya berdasarkan pada kata orang tua semata.
[sunting] Sumber
Situs Nampon