Anda di halaman 1dari 17

Fakultas Pendidikan Psikologi - UM, Jl.

Semarang 5 Malang, 65145, 0341 579-700


Login
Fakultas Pendidikan Psikologi - Universitas Negeri Malang
KARYA ILMIAH
HomeBlogKarya Ilmiah“SUWUNG” : KONSEP PROBLEM SOLVING KAUM SUFI SUKU
JAWA DI KOTA MALANG
“SUWUNG” : KONSEP PROBLEM SOLVING KAUM SUFI SUKU JAWA DI KOTA
MALANG
Categories
KARYA ILMIAH
Ninik Setiyowati, S.Psi, M.Psi

Dosen Psikologi Universitas Negeri Malang

ABSTRAK

“Suwung” merupakan istilah masyarakat Jawa yang menggambarkan rasa hampa akan
kesadaran diri dengan lingkungannya. Rasa hampa ini diartikan dengan kondisi kosong yang tidak
mempunyai bentuk dan abstrak. Namun dalam masyarakat penganut paham sufi, suwung memiliki
makna yang berbeda. Suwung mengandung makna kekosongan yang bernuansa pengendalian diri
yang sempurna dan kesadaran sejati akan diri yang berkaitan dengan ketuhanan. Dalam konsep
psikologi transpersonal, paham suwung kaum sufi merupakan sebuah pengalaman spiritual yang
disebut peak experience. Peak Experience menurut Maslow dijabarkan sebagai suatu kondisi saat
seseorang secara mental merasa keluar dari dirinya sendiri (Davis,2001). Sehingga melalui paham
suwung ini, manusia dengan sadar dapat memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan
secara lebih bijaksana.

Menurut Maslow, untuk mencapai tahapan aktualisasi diri, manusia perlu untuk memenuhi
kebutuhan dasar hidup. Oleh karenanya penelitian ini dipisahkan menjadi tiga kelompok subjek
penelitian; (1) kelompok penganut paham sufi yang masih belum terpenuhinya kebutuhan dasar
hidup, (2) kelompok penganut paham sufi yang memenuhi kebutuhan dasar hidup dengan
perjuangan, (3) kelompok penganut paham sufi yang memenuhi kebutuhan dasar hidup dengan
mudah. Metode yang dilakukan adalah snow ball sampling sampai ketiga kriteria kelompok
tersebut terpenuhi. Sedangkan metode keabsahan data dilakukan dengan tiangulasi significant
other.

Metode penelitian ini adalah kualitatif fenomenologi dengan proses analisis data menggunakan
interaksionis simbolik. Dalam prosesnya, peneliti melakukan wawancara mendalam sampai
menemukan data jenuh.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dari ketiga kelompok subyek mampu menerima
suatu masalah dengan cara mengosongkan diri dan secara hakiki menerima Tuhan dalam kondisi
apapun. Keadaan Narimo dan syukur menjadi dasar penyelesaian masalah bagi seluruh subyek.
Selain persamaan itu, ada tiga perbedaan pola berpikir dari kelompok subjek penelitian dalam
memecahkan suatu masalah. Pertama, manusia memecahkan masalah yang dihadapi dengan
kepasrahan. Kedua, menyelesaikan masalah dengan cara berkompromi dengan fakta. Ketiga,
menyelesaikan masalah melalui pencarian makna akan hidup.

Penelitian ini memberikan pemahaman bahwa, konsep aktualisasi diri tentang kebutuhan pokok
hidup yang disampaikan oleh Maslow tidak berlaku secara heirarki bagi masyarakat yang
mempraktekkan paham sufi. Pemaknaan mengenai suwung tidak hanya bisa didapatkan oleh
orang yang sudah memenuhi kebutuhan dasar semata. Namun, oleh mereka yang mampu dengan
sadar mengendalikan dirinya sendiri.

Key word : penyelesaian masalah, suwung, snow bolling, fenomenologi, interaksionis simbolik,
narimo, syukur

LATAR BELAKANG BUDAYA

Di Jawa, ada satu konsep yang dinamakan teosofi. Teosofi adalah paham yang dianut oleh agama
Jawa. Teos berarti Tuhan dan sofia berarti cinta. Teosofi adalah ilmu ketuhanan, yang cinta
kebijaksanaan (kesempurnaan). Teosofi jawa lebih mengedepankan pencarian kesempurnaan
hidup (Endraswara, 2002 hal.23). Sedangkan ketika kita mendalami teosofi, tentu tidak bisa lepas
dari akar pengertian katanya. Teosofi dari pengertian bahasa yunani menyebut para penganutnya
dengan istilah orang Sufi. Namun di sisi lain, dari pengertian bahasa arab, mengenal kata tasawuf,
yang berasal dari beberapa istilah antara lain (1) Shifa, artinya suci bersih, ibarat kilat kaca. (2)
Shuf yang artinya bulu binatang. Sebab orang orang yang memasuki tasawuf ini memakai baju
dari bulu binatang, mereka benci pakaian yang indah indah atau pakaian “orang dunia” ini. (3)
Shuffah yaitu segolongan sahabat nabi yang menyisihkan dirinya di suatu tempat terpencil di
samping Masjid Nabi. (4) Shuffanah yang artinya sebangsa kayu yang mersik tumbuh di padang
pasir tanah arab. (Hamka, 2015 hal.1). Penganut tasawuf dari bahasa arab ini juga bergelar Sufis.

Penelitian ini mengangkat konsep sufi yang secara spesifik ada pada masyarakat jawa, yang tidak
lepas dari akar bahasanya baik dari pengertian yunani maupun arab. Peneliti merumuskan
pengertian Sufi adalah suatu jalan, atau proses yang ditempuh oleh seseorang untuk memahami
dan mengimani Tuhan dengan sempurna, melalui lelaku (perbuatan) yang melepaskan diri dari
keterkaitan dengan duniawi sehingga bisa mencapai kesucian diri yang sempurna. Para penempuh
jalan sufi ini memiliki beragam kekhasan berinduk pada akar budayanya masing masing. Penganut
sufi di arab akan berbeda dengan penganut sufi di eropa atau di asia. Di asia-pun, penganut sufi
tersebar di seluruh daerah dengan kekhasannya masing masing. Peneliti mengambil latar belakang
budaya jawa untuk lebih menspesifikkan pembahasan dari penelitian ini.

Konsep suwung

Tarekat adalah jalan yang harus ditempuh oleh setiap calon sufi untuk mencapai tujuannya, yakni
bersatu dengan Tuhannya. Pada jalan tersebut terdapat tahapan-tahapan yang harus dilalui,
seperti : tobat, zuhud, sabar, ridho, mahabbah dan ma’rifatullah (mengenal Allah dengan hati
nurani). Bila mencapai tahapan ma’rifatullah, maka calon sufi telah mengingkat menjadi sufi
(Achmad, 2014. Hal.29). Jalan atau cara yang ditempuh oleh para calon sufi ini mempengaruhinya
dalam bertindak, melakukan pengambilan keputusan maupun bagaimana ketika ia mendapati
suatu permasalahan yang harus ditemukan solusinya.

Dalam Ajaran Suluk Suksma Lelana (Ronggo Warsito) , pencapaian ma’rifatullah, tertuang
dalam empat tahapan, yaitu (1) tahapan Syariat, suatu upaya untuk mempelajari aturan aturan
baku dari Tuhan yang diamalkan secara lahir baik kepada Tuhan maupun yang berhubungan
dengan sesama manusia. (2) tahapan tarekat, ini adalah jalan sufi yang sudah mulai melakukan
olah jasmani dan rohani dalam rangka mendekatkan diri pada Tuhan. Prosesnya harus dilakukan
secara terus menerus dan konsisten. (3) Tahapan Hakikat, yaitu fase dimana manusia telah
mendapatkan ma’rifat yang sebenarnya. Ketika mencapai keadaan fana atau hilangnya kesadaran
diri dan alam sekitarnya, maka manusia mampu membuka tirai yang merintangi dirinya dengan
Tuhan. Dengan demikian, manusia telah berhasil mencapai puncak pendakian spiritual sesudah
sekian lama menjalani proses tarekat. (4) tahapan Ma’rifat. Ini merupakan bentuk capaian
tertingginya. Yaitu ketika manusia mengetahui tentang hakikat ketuhanan. Dalam hal ini , manusia
dianggap sebagai makhluk sempurna karena telah mampu mencapai puncak spiritual yakni
“Manunggaling kawulo – Gusti”. Kesatuan kosmis yang di dalam masyarakat jawa
dilambangkan sebagai “curiga manjing warangka, warangka manjing curiga” (keris menyatu
dengan kerangkanya, kerangka menyatu dengan kerisnya. (Achmad, 2014.hal.34).

Dari ke empat tahapan tersebut, Suwung merupakan tahapan ma’rifat, yaitu ketika seseorang
sudah berhasil mencapai hakikat ketuhanannya. Awal mula kata“Suwung” merupakan istilah
masyarakat Jawa yang menggambarkan rasa hampa akan kesadaran diri dengan lingkungannya.
Rasa hampa ini diartikan dengan kondisi kosong yang tidak mempunyai bentuk dan abstrak.
Namun dalam masyarakat penganut paham sufi jawa, suwung memiliki makna yang berbeda.
Suwung mengandung makna kekosongan yang bernuansa pengendalian diri yang sempurna dan
kesadaran sejati akan diri yang berkaitan dengan ketuhanan.

Dalam Serat Wedhatama diterangkan bahwa alam semesta yang dihuni oleh makhluk hidup
dibedakan menjadi dua alam yakni alam yang selalu berubah (fana’) dan alam yang tetap
(abadi). Konsep mengenai hal tersebut antara lain termuat dalam pupuh pangkur bait ke 14 yang
berbunyi :
Sejatine Kang mangkana Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi. Bali alaming nga-
SUWUNG,Tan karem karameyan. Ingkang sipat wisesa winisesa wus, Mulih mula mulanira
Mulane wong anom sami.
Artinya:
Sebenarnya yang demikian itu sudah mendapat anugerah Tuhan. Kembali ke alam kosong,
Tidak mabuk keduniawian yang bersifat kuasa menguasai. Kembali ke asal mula. Demikianlah
yang terjadi wahai anak muda
Dari kutipan diatas, dijelaskan bahwa ada alam lain yang disamping yang nyata yang dialami oleh
manusia. Alam tersebut dalam Serat Wedhatama disebut sebagai alam suwung. Alam suwung ini
digambarkan merupakan tempat asal dan sekaligus tempat kembalinya manusia yang dapat
memperoleh karunia Tuhan.

Alam yang dialami oleh manusia sekarang ini disebut pula alam kinaot (pupuh gambuh bait ke 13)
yakni alam yang tinggi tingkatannya atau alam yang sangat istimewa indahnya. Ketika hendak
mencapai alam suwung, manusia harus berproses. Kesempurnaan hidup sejati merupakan tujuan
utama manusia baik ketika masih di dunia, maupun ketika sudah kembali kepada-NYA.

Kebahagiaan hidup sejati didunia ini bukan diukur dari keadaan terpenuhinya kebutuhan materil
secara melimpah tetapi konsep bahagia ini berupa pemenuhan kebutuhan yang wajar, adil dan
seimbang bagi keperluan jasmani serta rohaninya Disamping itu alam suwung pun disebut alam
lama maot yang terdapat pada pupuh gambuh bait ke 17 yaitu:

Sayekti luwih perlu, Ingaranan pepuntoning laku, Kalakuwan tumrap kang bangsaning batin,
Sucine lan awas emut, Mring alaming lama maot.
Artinya:
Sebenarnya lebih penting disebut penghabisannya tindakan, Tindakan yang bersangkutan dengan
batin, pensuciannya dengan kewaspadaan dan senantiasa ingat Kepada alam yang Maha Besar
(yang dapat memuat) Alam kelanggengan.

Alam lama amot (maot) secara harfiah bermakna alam yang dapat memuat dalam waktu yang
lama atau dengan perkataan lain langgeng atau abadi. Dapat pula diartikan sebagai alam baka atau
alam akhir. Dalam alam akhir inilah kita akan mengalami kehidupan akhirat sebagai lanjutan dari
kehidupan dunia dan kehidupan akhirat adalah kehidupan yang berjangka panjang, dan jauh,
kehidupan ini akan dialami oleh semua manusia tanpa terkecuali sesudah mati. Kehidupan ini
tidak bisa dijelaskan secara ilmiah, karena diluar jangkauan keilmuwan sehingga untuk memahami
realitas kehidupan akhirat harus melalui perenungan yang transenden, yang melintasi batas-batas
dimensi fisik, ruang dan waktu yang terbatas.

Melalui pengalaman kehidupan yang dialami, seseorang akhirnya bisa menembus dinding dan
pembatas yang berada dalam ruang dan waktu yang bersifat fisik, hakikat kehidupan ini tidak
berada pada kepentingan-kepentingan duniawi yang sifatnya sementara. Kesadaran tertinggi ini
yang menjadikan seseorang mampu mencapai alam suwung secara total. Dalam prosesnya,
“keakuan” dapat di control secara baik sehingga hidup dapat dihayati dengan menjauhkan diri
dari kesombongan.
Dalam konsep spiritual dari Maslow, pengalaman spiritual tertinggi yang dicapai seseorang ini
dinamakan “peak experience. Pada mulanya, dasar instrinsik, esensi, inti universal dari setiap
agama merupakan sesuatu pengalaman pribadi, sendiri, pencerahan personal, wahyu atau
pencapaian puncak dari Nabi atau para penglihat (Maslow, 1964). Tetapi kemudian, terlihat bahwa
wahyu atau pencerahan yang bersifat mistik ini dapat digolongkan sebagai peak experience, atau
ecstasies atau transcendent.

Psikologi transpersonal meneliti berbagai konsep (Walsh & Vaughan.1993). beberapa konsep
kunci adalah (1) peak experience, didalamnya meliputi emosi positif yang kuat dan mendalam
seperti ecstasies, perasaan damai dan ketenangan, perasaan senada dan selaras dengan alam,
kesadaran mendalam yang tidak bisa diterjemahkan dengan kata-kata ((2) self transcendence
merupakan suatu keadaan kesadaran dimana perasaan diri berkembang diluar definisi biasa dan
image diri dari suatu kepribadian individual. Self transcendence meliputi pengalaman langsung
dari hubungan fundamental, hamoni dan menyatu dengan alam. (3) optimal mental health berarti
kemampuan coping yang mencukupi dengan tuntutan lingkungan dan merupakan resolusi dari
konflik personal (4) spiritual emergency, dalam konsep transpersonal adanya suatu krisis dalam
diri seseorang dapat menjadi bagian yang membangkitkan kesehatan dan tidak selalu merupakan
bentuk dari psikopatologi (5) developmental spectrum, digambarkan membedakan antara tahapan
pre-presonal dari perkembangan diri, sebelum perkembangan perasaan stabil dalam diri, kemudian
tahapan personal dimana perkembangan dan perbaikan individu telah berhasil diraih. Tahapan
transpersonal didasarkan pada identifikasi dengan keseluruhan bahwa diri lebih tinggi daripada
ego individual. (6) meditation. Meditasi ini merupakan metode kunci dari psikologi transpersonal.
Meditasi melibatkan fokus pada satu obyek atau perhatian sadarpada seluruh aspek kesadaran
(dalam Davis, 2001)

Dalam konsep transpersonal, ketika seseorang menghadapi suatu masalah yang menempatkannya
pada suatu krisis spiritual, hal tersebut justru akan menjadikan manusia mampu membangkitkan
kondisi kesehatan mental yang sempurna. Hal tersebut terjadi apabila dapat diolah dan
diinternalisasi ke dalam hakikat masalah tersebut.

Strategi Pemecahan Masalah

Menurut Matlin (2005) strategi pemecahan masalah adalah ketika dinyatakan adanya suatu
masalah, maka harus menyelesaikan masalah tersebut dengan menggunakan berbagai cara untuk
mengatasi masalah tersebut. Beberapa strategi yang sering digunakan adalah:

Algoritma.
Algoritma adalah metode yang selalu menghasilkan suatu solusi yang benar dari setiap
penyelesaian masalah (Matlin, 2005). Algoritma merupakan sebuah langkah prosedur yang
menjamin kesuksesan jika langkah-langkah prosedur tersebut diikuti dengan benar. Dengan kata
lain, algoritma memiliki susunan urutan yang baku dalam menyelesaikan suatu masalah dan
berlaku secara umum.
Heuristik
Menurut Matlin (2005) dalam pemecahan masalah, heuristik adalah suatu strategi yang
mengabaikan beberapa penjelasan serta hanya menggunakan alternatif yang paling disukai untuk
mendapatkan suatu solusi. Bagaimanapun, heuristik tidak menjamin individu akan memecahkan
masalah dengan benar.

Menurut Matlin (2005), ada tiga heuristik yang paling sering digunakan yaitu:

Heuristik Hill-Climbing
Salah satu strategi pemecahan masalah yang paling mudah

biasanya disebut dengan heuristik hill-climbing. Heuristik hill-climbing

adalah ketika individu memiliki masalah, maka individu tersebut memilih solusi secara sederhana
terhadap alternatif jawaban yang tampak untuk menyelesaikan masalah. (Lovett dalam Matlin,
2005).

Heuristik hill-climbing dapat digunakan ketika individu tidak cukup menemukan informasi
mengenai alternatif-alternatif solusi yang dipilih oleh individu tersebut (Dunbar dalam Matlin,
2005). Heuristik hill-climbing digunakan oleh individu ketika:

Memilih solusi yang tampak secara cepat dan sederhana dari masalah yang dihadapi
Apabila solusi pertama dianggap gagal, maka individu memilih solusi berikutnya dari masalah
yang dihadapi

Heuristik Means-Ends.
Menurut Matlin (2005), heuristik Means-Ends memiliki dua komponen yaitu:

Individu membagi masalah kedalam sub-sub masalah atau kedalam masalah yang lebih kecil
Individu mencoba untuk mengurangi perbedaan mengenai keadaan awal dengan kondisi tujuan
terhadap masing-masing sub masalah Heuristik means-ends tepat karena mengharuskan individu
untuk mengidentifikasi tujuan yang diinginkan dan kemudian mencari tahu cara yang akan
digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

Pendekatan analogi
Menurut Matlin (2005) ketika individu menyelesaikan masalah dengan menggunakan pendekatan
analogi, individu menggunakan solusi yang sama dengan masalah sebelumnya untuk
menyelesaikan masalah yang baru. Adapun indikator individu menggunakan pendekatan analogi,
antara lain:
Individu menggunakan solusi yang sama atau serupa terhadap masalah serupa yang ia hadapi.
Individu menggunakan solusi yang sama atau serupa ketika masalah yang ia hadapi sama atau
serupa dengan masalah yang pernah dihadapi oleh orang lain.
Berdasarkan dari beberapa strategi pemecahan masalah yang dikemukakan diatas dapat
disimpulkan bahwa strategi pemecahan masalah merupakan suatu teknik atau cara yang digunakan
oleh individu untuk menemukan solusi dalam menyelesaikan masalahnya, antara lain dengan
menggunakan teknik algoritma atau heuristik.

Interaksionis simbolik

Penelitian ini menggunakan metode interaksionis simbolik. Menurut Ralph Larossa dan
Donald C. Reitzes (1993) dalam West-Turner (2008: 96), interaksi simbolik menjelaskan kerangka
referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia
simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia.

Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran
manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi social. Tujuan dari
semua hal diatas adalah untk memediasi dan menginterpretasi makna dalam masyarakat (Society)
dimana individu berada. Douglas (1970) dalam Ardianto (2007: 136) menyatakan bahwa makna
itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna, selain dengan
membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi.

Definisi dari ide dasar dari interaksi simbolik, antara lain:

Pikiran (Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial
yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan
individu lain
Diri (Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang
atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori
sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya.
Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan
dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam
perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia
dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.
”Mind, Self and Society” merupakan karya George Harbert Mead yang paling terkenal (Mead.
1934 dalam West-Turner. 2008: 96), dimana dalam buku tersebut memfokuskan pada tiga tema
konsep dan asumsi yang dibutuhkan untuk menyusun diskusi mengenai teori interaksi simbolik.
Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik ini lah yang
peneliti gunakan untuk memetakan subyek penelitian mengenai SUWUN ini. Penekannya ada
pada:

Menemukan Pentingnya makna bagi perilaku penganut sufi yang menggunakan konsep suwung
dalam penyelesaian masalah.
Menemukan pentingnya konsep mengenai diri sendiri, bagaimana ia bersikap dan seluruh
dinamikanya ketika menghadapi suatu masalah.
Menemukan hubungan antara individu yang menganut paham sufis dengan konsep suwung
terhadap masyaraat sekitarnya khususnya ketika bertingkah laku dan menempatkan diri.

Model pencapaian alam suwung

Dalam menghadapi permasalahan, manusia dibedakan berdasarkan sudut pandangnya terhadap


dunia. Hal ini terbukti bersifat lintas keadaan. Dari sampel penelitian, kelompok penganut paham
sufi yang masih belum terpenuhinya kebutuhan dasar hidup, kelompok penganut paham sufi yang
memenuhi kebutuhan dasar hidup dengan perjuangan, kelompok penganut paham sufi yang
memenuhi kebutuhan dasar hidup dengan mudah ternyata tidak terkategori secara berbeda.

Tabel.1.1 kategori sampel berdasarkan sudut pandang terhadap duniawi.

Kategori Melepaskan diri dari seluruh keinginan duniawi Memandang dunia masih secara lekat
Kelompok yang belum mendapatkan kebutuhkan dasar 2 2
Kelompok yang mendapatkan kebutuhan dasar dengan perjuangan 2 1
Kelompok yang dengan mudah telah terpenuhi kebutuhan dasarnya 1 1

Ada 5 orang di dalam kelompok yang memandang dunia sebagai sesuatu yang penting untuk
diperjuangkan dan dicapai, 5 orang tersebut terdiri dari 1 orang yang sudah memenuhi kebutuhan
dasar, 2 orang yang berhasil memenuhi kebutuhan dasarnya dengan perjuangan dan 2 orang yang
belum terpenuhi kebutuhan dasarnya. Sedangkan sisanya, 4 orang berada dalam kategori sudah
terlepas dari hasrat kebutuhan duniawi. 2 diantara memang sudah terpenuhi kebutuhannya, 1
orang yang masih berjuang dan 1 orang yang belum terpenuhi kebutuhan dasarnya

Menurut konsep Ronggowarsito, dalam serat wirid hidayat jati tertuang konsep dasar sebagai
berikut :

Sejatine ingsun anata malige ana sajroning betal muharram

Iku omah enggoning lalaranganing ingsun

Jumeneng ana dhadhaning adam

Kang ana sajroning dhadha itu ati

Kang ana sajroning ati iku jantung,

Sajronng jantung iku budi,


Sajroning budi iku jimen, iya iku angen angen

Sajroning angen angen iku rahsa,

Sajroning rahsa iku ingsun

Ora ana pangeran among ingsun dat kang angliputi jati

Berdasarkan para penganut sufi di jawa, ajaran rangga warsito adalah pengejawantahan tertulis
yang dipergunakan oleh kaum sufi dalam menjalani kehidupannya. Adapun hasil penelitian ini
menterjemahkan kalimat diatas sebagai berikut :

Sesungguhnya AKU merajai istana di dalam Betal Muharram. Tuhan yang merajai istana yang di
dalamnya terdapat aturan-aturan dan larangan, yang terletak di dada Adam, di dalam dada ada
hati, di antara hati ada jantung, di dalam jantung ada budi, di dalam budi ada jinem (yaitu
harapan). di dalam harapan ada rahsa, di dalam rahsa ada Aku, tiada Tuhan kecuali Aku, Dzat
yang meliputi keadaan hakiki.

Dari sudut pandang ini, dapat di lihat ada tahapan tahapan yang perlu di lalui. Meskipun tertanya
dari tahapan itu tidak selalu bersifat runut dan kontinu. Lompatan itu bisa dilakukan oleh orang
orang tertentu apabila dia menghadapi permasalahan personal yang berhasil merubah seluruh
sudut pandangnya. Dari hasil penelitian untuk semua subyek memiliki pola pencapaian rasa
suwung yang sama tetapi tahapannya bervariasi sesuai dengan pengalaman hidup yang dialaminya
masing-masing.

Bagan 1. Tahapan dalam pencapaian alam suwung

Dalam bagan ini dapat dilihat bahwa point penting dari perjalanan menuju suwung adalah kondisi
awal ketika menghadapi kenyataan. Sudut pandang terhadap sisi dunia di bagi menjadi 2, yaitu :

Lekat : suatu kondisi diri seseorang, ketika memandang dunia penting untuk diperjuangkan,
mengharapkan sesuatu yang dicita citakan dapat dicapai dengan baik. Apabila mengalami
kegagalan, maka akan mengoreksi diri untuk memperjuangkan kembali mimpi mimpinya.
Lepas : suatu kondisi diri seseorang, ketika memandang dunia akan hadir dan hilang dengan ritme
yang harmonis. Menunaikan tugas sebagai manusia, memenuhi kebutuhannya namun tidak
membelenggu diri dengan harapan akan tercapainya mimpi mimpi. Hidupnya adalah sekarang dan
disini. (right here, right now)

Ada 3 model yang muncul dari proses menuju alam suwung ini ketika menghadapi persoalan dan
berusaha memecahkannya. Adapun bagannya adalah sebagai berikut :

Bagan 2. Type 1 Pencapaian Alam Suwung

Dalam type 1 ini, diawali dengan paradigma berpikir bahwa dunia adalah upaya penunaian tugas
yang diberikan Tuhan. Mereka yang ada di tipe ini tidak melibatkan diri untuk memperjuangkan
cita cita, apalagi disertai ambisi untuk memperoleh hasil yang lebih baik dari orang lain. Ketika
seseorang dihadapkan pada suatu persoalan yang sulit, maka mereka cenderung menunjukkan
kepasrahan dan menerima dengan lapang dada.

Bagan. 3. Type 2 Pencapaian Alam Suwung

Dalam Type 2, dimulai dari sudut pandang bahwa dunia penting untuk diperjuangkan,
mengharapkan sesuatu yang dicita citakan dapat dicapai dengan baik. Di titik ini, seseorang masih
berhubungan erat dengan mimpi dan cita citanya. Sehingga pada saat mengalami permasalahan,
masih dalam kondisi tidak seimbang. Usaha nyata yang dilakukan untuk mencapai cita citanya
cenderung menghalalkan segala cara. Namun bukan berarti seseorang yang berada dalam kondisi
seperti ini tidak bisa mencapai rasa suwung. Suatu keadaan yang istimewa (dalam hal ini berupa
cobaan berat) akan membawanya mencapai tahap kesadasaran. Kesadaran ini akan membawanya
menuju ke alam suwung.

Bagan 4. Type 3 Alur pencapaian rasa suwung

Type 3 ini, sama seperti type 2 dalam menghadapi suatu persoalan, masih condong ke dunia.
Namun ada satu titik saat harapannya juga telah terpenuhi, dan ada kejadian istimewa yang
menimpanya. Bisa berupa penglihatan yang kurang mengenakkan baik tentang orang lain maupun
lingkungan dan mampu menyentuh hidupnya, maka ia mampu terlepas dari sisi duniawinya.
Akhirnya berhasil mencapai suwung.

Bagan. 5 keseluruhan pencapaian alam suwung

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dari ketiga kelompok subyek mampu menerima
suatu masalah dengan cara mengosongkan diri dan secara hakiki menerima Tuhan dalam kondisi
apapun. Keadaan Narimo dan syukur menjadi dasar penyelesaian masalah bagi seluruh subyek..

Model penyelesaian masalah

Tahapan untuk mencapai suwung pada masing masing individu berbeda dan tidak terkategori
berdasarkan klasifikasi subyek. Namun ketika dihadapkan pada suatu persoalan yang rumit dalam
hidupnya, mereka terkategori sesuai dengan klasifikasinya.

Adapun kelompok subyek 1 yang masih belum bisa memenuhi kebutuhan dasarnya memiliki alur
penyelesaian masalahnya adalah sebagai berikut :

Bagan 6. Alur penyelesaian masalah type 1

Kelompok ini berusaha dengan beberapa cara yang disukainya dan menyerahkan hasilnya kepada
Tuhan dalam bentuk kepasrahan. Ketika subyek sudah sampai di titik pasrah, dia mampu
berterimakasih kepada alam dan seluruh isinya. Apapun yang menimpanya bukan lagi menjadi
beban. Mereka yang sudah pasrah tidak tergantung apakah masalahnya berhasil diselesaikan atau
tidak.

Adapun kelompok subyek 2 yang mampu memenuhi kebutuhannya namun masih perlu berjuang
untuk mencapainya. Alur penyelesaian masalahnya adalah sebagai berikut :

Bagan 7. Alur penyelesaian masalah type 2

Kelompok ini berusaha melalukan cara yang sama ketika mengalami suatu permasalahan, baru
setelah tidak berhasil atau tidak optimal, ia akan mengubah langkah penyelesaian masalahnya.
Baik ketika ia berhasil 100% mengatasi masalahnya maupun tidak sama sekali, pencapaian
selanjutnya adalah menemukan jalan kompromi. Hal ini diambil karena kesadaran bahwa sebagian
dari persoalan yang dihadapi justru tidak selesai ketika seseorang mempertahankan keinginan atau
prinsip hidupnya secara mutlak. Dengan melakukan kompromi terhadap hal hal yang tidak
berhasil dicapainya, mereka akan mampu melangkah pada penyelesaian langkah baru.

Kelompok ketiga adalah kelompok yang sudah memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun bagan
penyelesaian masalahnya adalah sebagai berikut :

Bagan 8. Alur penyelesaian masalah type 3

Golongan yang sudah mencapai kesejahteraan ini menghadapi masalah dengan mengusahakan
berbagai cara yang dilakukan seoptimal mungkin. Usaha usaha ini ditopang oleh fasilitas yang
memadai dan cenderung memudahkan. Namun ketika masalah yang dihadapi tidak kunjung
selesai, maka mereka akan bertanya pada diri mereka sendiri dan melakukan pencarian makna.
Usaha inilah yang akhirnya membawa mereka pada rasa kebersyukuran. Rasa bersyukur ini
menyebabkan mereka memahami kehendak Tuhan dan menerimanya dengan sepenuh hati.

Kesimpulan

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dari ketiga kelompok subyek mampu menerima
suatu masalah dengan cara mengosongkan diri dan secara hakiki menerima Tuhan dalam kondisi
apapun. Keadaan Narimo dan syukur menjadi dasar penyelesaian masalah bagi seluruh subyek.
Dalam pencapaian suwung, ada 3 type pencapaian yang pada masing masing tipe tersebut tidak
terkumpul berdasarkan kategori subyek penelitian. Type 1 adalah mereka memandang dunia
terlepas dari dirinya. Type ini secara alami lebih mudah mencapai tahapan suwung. Type kedua
adalah mereka yang masih terikat dengan duniawi. Namun ketika mereka sudah melakukan usaha
nyata untuk mencapai suatu tujuannya, ada kejadian istimewa yang menjadikan mereka mengubah
sudut pandanganya terhadap dunia. Sehingga mengubah harapan hidup dan membawanya
mencapai tahap suwung. Type ke 3 adalah type paling erat kelekatannya dengan dunia. Ia
berperilaku untuk mencapai tujuannya, ia juga sudah membangun harapan yang sejalan dengan
usahanya. Namun karena adanya suatu kejadian istimewa yang menimpanya, ia akhirnya
melepaskan diri dari pikiran duniawi dan mencapai suwung. Selain temuan diatas, ada tiga
perbedaan pola berpikir dari kelompok subjek penelitian dalam memecahkan suatu masalah.
Pertama, manusia memecahkan masalah yang dihadapi dengan kepasrahan. Kedua, menyelesaikan
masalah dengan cara berkompromi dengan fakta. Ketiga, menyelesaikan masalah melalui
pencarian makna akan hidup.

Penelitian ini memberikan pemahaman bahwa, konsep aktualisasi diri tentang kebutuhan pokok
hidup yang disampaikan oleh Maslow tidak berlaku secara heirarki bagi masyarakat yang
mempraktekkan paham sufi. Pemaknaan mengenai suwung tidak hanya bisa didapatkan oleh
orang yang sudah memenuhi kebutuhan dasar semata. Namun, oleh mereka yang mampu dengan
sadar mengendalikan dirinya sendiri. Meskipun demikian ada pola yang sama dalam penyelesaian
masalah pada subyek dalam kategori yang sama.

Saran

Selama ini peneliti fokus kepada individu, apabila pengembangan penelitian ini dikembangkan
dengan menekankan kajian kelompok sufi aliran tertentu dimungkinkan akan memberikan pola
yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study: A


Biographical Approach. New York : The Free Press.
West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Introducing communication theory :analysis and
application 3rd ed. Jakarta : Salemba Humanika

Achmad, Sri wintala. 2008. KITAB AJARAN RANGGAWARSITA. Yogyakarta : Araska

HAMKA, Prof. Dr,. 2015. TASAWUF MODERN. , Jakarta: REPUBLIKA press

Robert Frager, Ph.D, 2014. PSIKOLOGI SUFI. Jakarta: penerbit ZAMAN


Endraswara , Prof. DR. Suwardi, M.Hum,. 2015. AGAMA JAWA.Yogyakarta: NARASI

John Davis, PhD. Departemen of Psychology SOME BASIC CONCEPT OF TRANSPERSONAL


PSYCHOLOGY part four

Fattah Hanurawan, KAJIAN PSIKOLOGI TRANSPERSONAL TERHADAP TRADISI


SUFISME ISLAM DI INDONESIA, journal psikologika no.8 tahun iv 1999, hal. 15 -22

Abraham maslow, religion, values and peak experiences, Kappa delta pi. 1964

Journal eupsychian management, Abraham maslow, 1965, Richard D. IRWIN INC and THE
Dorsey press. Homewood, Illionis 1-33

Share:
Fppsi-UM
Previous post

Jurnal Refleksi Positif : Upaya Meningkatkan Positive Education di Indonesia


Mei 3, 2016
Next post

Pengembang Peminatan Psikologi Industri dan Organisasi


Mei 4, 2016
YOU MAY ALSO LIKE
Identifikasi Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Edukasi Kesehatan Reproduksi Remaja
pada Program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) di Puskesmas Kasembon
17 Juli, 2018
Hetti Rahmawati hetti.rahmawati.fppsi@um.ac.id Fakultas Pendidikan Psikologi, Universitas
Negeri Malang, Jalan Semarang No. 5 Malang, Indonesia Makalah disajikan dalam Seminar
Nasional dan Call for Paper “Pendekatan Integratif Pendidikan Seksual dalam Menyiapkan
Generasi Emas Indonesia”, Universitas Negeri Malang, 2 November 2014 …
Creative Proccess in Maiyah Rebo Legi (Relegi) to Shape Leadership in Indonesian Youth
9 Agustus, 2016
Farah Farida Tantiani Faculty of Psychology, Universitas Negeri Malang Presented at The 7th
Asian Association of Indigenous and Cultural Psychology (AAICP) Conference ABSTRACT:
Maiyah Rebo Legi (Relegi) is the monthly gathering discussion activity in Malang, inspired by
Emha Ainun Nadjib. Maiyah Relegi …

PROSES BELAJAR DALAM MAIYAH RELEGI


9 Agustus, 2016
Farah Farida Tantiani Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang Abstrak: Maiyah
Rebo Legi (Maiyah Relegi) adalah kegiatan Maiyah di Malang yang rutin diadakan setiap malam
Rebo legi. Kegiatan ini bagian dari kegiatan Maiyah yang digagas oleh keluarga Emha Ainun
Nadjib di Jombang. …

SEARCH
Cari …
KATEGORI
ABSTRCT
AGENDA
ALUMNI
BERITA
BLOG
BUSINESS
DEFINISI
DESIGN / BRANDING
GALERI FOTO
KARYA ILMIAH
KARYA ILMIAH MAHASISWA
KEGIATAN
LAIN-LAIN
LOWONGAN
MATA KULIAH
PENGUMUMAN
SEMINAR
VIDEO KULIAH
LATEST COURSES
Introduction LearnPress – LMS plugin
Introduction LearnPress – LMS plugin
Gratis
Become a PHP Master and Make Money
Become a PHP Master and Make Money
$80.00 $69.00
Learning jQuery Mobile for Beginners
Learning jQuery Mobile for Beginners
$30.00
LATEST POSTS

Kuliah Tamu
07Mar2017
Kuliah Tamu 24 Februari 2017
06Mar2017
Registrasi Camaba SNMPTN & Bidikmisi Tahun 2016/2017
11Mei2016
KEMAHASISWAAN
Amumni UM
Kemahasiswaan UM
Penerimaan Mahasiswa Baru
FAKULTAS TERKAIT
Fakultas Ilmu Pendidikan
Fakultas Sastra
Fakultas MIPA
Fakultas Ekonomi
Fakutlas Teknik
Fakultas Ilmu Keolahragaan
Fakultas Ilmu Sosial
Pascasarjana UM
UNIT TERKAIT
LP2M
LP3
Perpustakaan UM
PTIK
SPM
P2P
BAKPIK
BUK
Kemahasiswaan UM
Kerjasama UM
IKA
HI
LAYANAN UM
Web UM
Helpdesk UM
Sipega UM
Siakad UM
Simawa UM
PPID UM
Powered By Fakultas Pendidikan Psikologi UM
Privacy Terms Sitemap Purchase

Anda mungkin juga menyukai