-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
PANDUAN RINGKAS
MEBANTEN
Diterbitkan oleh
Rumah Dharma Hindu Indonesia
Rahina Soma Ribek, 06 Oktober 2014
PENDAHULUAN
Hindu Bali dan Nusantara sangat identik dengan kedamaian. Dalam
ajaran Hindu kita diajarkan, kepada mahluk-mahluk alam bawah dengan
penuh belas kasih kita memberikan persembahan, kepada sesama manusia
kita saling menghormati dan menyayangi, kepada para Ista Dewata alamalam suci dengan sujud penghormatan dan rasa terimakasih kita
memberikan persembahan. Pada puncaknya penganut Hindu mengucapkan
mantra suci paramashanti, atau damai [shanti] tiga kali. Damai di alam
bawah, damai di alam tengah dan damai di alam suci. Karena satu-satunya
hal yang ada di balik semua ini hanya satu, yaitu kedamaian.
Mebanten adalah salah satu bagian dari ajaran suci yang disebut
jagadhita dharma, yang bertujuan menciptakan kedamaian bagi alam
semesta dan semua mahluk. Dengan penuh belas kasih kita memberikan
persembahan kepada mahluk-mahluk alam bawah, serta dengan sujud
penghormatan dan rasa terimakasih kita memberikan persembahan kepada
para Ista Dewata.
Hanya saja di jaman sekarang ini sebagian penganut Hindu mungkin
kurang memahami tattwa [tujuan, tata cara dan aturan] dari mebanten.
Sehingga walaupun sudah rajin mebanten, ada kemungkinan dampak atau
hasilnya kurang begitu maksimal, karena kurang tepat dalam tattwa-nya.
Rumah Dharma Hindu Indonesia menyusun buku ini dengan tujuan
untuk menyegarkan dan mengingatkan kembali tentang tattwa dalam
mebanten, terutama bagi mereka yang memang memerlukan pengetahuan
ini. Sehingga jagadhita dharma sebagai kekayaan spiritual adiluhung yang
diwariskan para leluhur kita di Bali dan Nusantara bisa tetap terlaksana
dengan baik.
Dengan sebuah catatan bahwa kita harus menyadari bahwa ada
bentuk tradisi dan tattwa yang berbeda-beda diantara satu daerah dan
daerah lainnya. Kita memakai mana saja sebagai acuan tattwa itu bagus dan
tepat. Karena keberagaman bentuk tradisi dan tattwa ini tidak saja
tujuannya sama, tapi sumber asalnya juga sama dan satu. Perbedaan bentuk
Bab 1
Dan semua upaya ini bukan tidak ada efeknya. Bagi orang-orang yang
mata spiritual-nya sudah terbuka, akan dapat melihat getaran energi kosmik
kesucian dan kedamaian di Pulau Bali sungguh luar biasa. Karena semua
orang Bali secara bersama-sama menjaga keseimbangan-keharmonisan alam
semesta baik secara sekala maupun secara niskala. Secara spiritual hal ini luar
biasa terangnya.
Sebab utama mengapa di jaman sekarang dunia ini semakin kacau dan
memanas, karena hampir semua manusia ke semua arah bersikap hanya mau
mengambil, mengambil dan mengambil saja, tanpa pernah memberikan
kembali. Akibatnya alam menjadi seperti sumur dimana manusianya hanya
mau mengambil, mengambil dan mengambil airnya saja, yang memberikan
dampak kehidupan manusia menjadi kering kerontang.
4. Mengikuti dinamika hukum alam semesta, yaitu apa yang kita berikan
atau persembahkan, pasti akan kembali lagi kepada diri kita sendiri. Dimana
dalam hal ini, kalau persembahan kita tulus dan murni, pasti akan kembali
kepada kita dalam bentuk tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan.
5. Salah satu niat leluhur kita di balik tradisi yang terselip di dalam
mebanten dan melaksanakan upacara adalah sebagai sarana mendidik
masyarakat melaksanakan dharma. Karena sesungguhnya ada ajaran suci
rahasia yang disembunyikan di balik simbol-simbol dalam upacara.
6. Getaran energi tempat-tempat suci dan hati manusia tidak akan menjadi
kering, karena ketika berdoa tidak hanya meminta dan meminta saja, tapi
juga diseimbangkan dengan memberikan.
Ini sekaligus juga mengikuti norma-norma alam mahasuci, yaitu kalau
ada orang yang menghaturkan persembahan dan persembahannya itu tulus
dan murni, sudah selayaknya orang tersebut mendapatkan imbal-balik
berupa karunia tertentu.
7. Untuk selalu mengingatkan kita agar memiliki tingkat pengendalian diri
yang lebih baik dari biasanya.
Bisa dikatakan bahwa landasan pokok dari jagadhita dharma adalah
perwujudan rasa terimakasih, rasa hormat, rasa belas kasih dan kebaikan, ke
semua arah dan ke tri loka [semua dimensi alam semesta]. Karena kita
semua adalah jejaring kosmik yang tunggal. Caranya adalah dengan
melaksanakan jagadhita dharma untuk membangun harmoni kosmik alam
semesta. Ini sesungguhnya tidak merupakan tugas dan kewajiban beberapa
orang saja, melainkan tugas dan kewajiban seluruh manusia. Semua manusia
punya kewajiban menjalankan jagadhita dharma demi harmoni kosmik alam
semesta di sekeliling kita, yang berguna bagi semua mahluk.
Buku ini adalah panduan ringkas mebanten untuk kita di lingkungan
kita masing-masing. Agar mebanten sebagai ajaran jagadhita dharma yang
diwariskan para leluhur kita di Bali dan Nusantara bisa tetap terlaksana
dengan baik di jaman sekarang. Sehingga ada beberapa hal yang harus
disegarkan dan diingatkan kembali.
Bab 2
Bab 3
Bab 4
TEMPAT-TEMPAT MEBANTEN
Kita mengetahui bahwa terkait mebanten, ada bentuk tradisi dan
tattwa yang berbeda-beda diantara satu daerah dan daerah lainnya.
Terdapat berbagai ragam rupa dan bentuk segehan sesuai dengan arah
tujuan upacara dan pembuatannya.
Tentunya para pembaca saudara-saudara se-dharma memiliki bentuk
tradisi dan tattwa yang beragam di tempat masing-masing. Tetaplah
dijalankan sesuai tradisi dan tattwa setempat, tapi dengan berlandaskan
pengetahuan tentang tattwa.
Di dalam buku ini, penulis hanya membuat sebuah tattwa panduan
dasar mebanten yang ringkas atau inti-nya saja, tapi sekaligus juga
dampaknya dapat bekerja dengan efektif. Dalam bentuk paling inti kita
menggunakan sarana canang dan segehan untuk mengembalikan
keseimbangan dan keharmonisan getaran energi yang ada di sekitar kita.
Astungkara diri kita sendiri beserta orang-orang disekitar lingkungan
kita dan semua mahluk akan dapat menerima getaran energi kedamaian.
Dalam konsepsi mandala paling ringkas [inti] atau paling mendasar,
canang kita haturkan pada :
1. Di semua palinggih yang ada di rumah.
2. Di semua pelangkiran yang ada di rumah.
3. Di tempat memasak utama di rumah. Kalau jaman dahulu pada tempat
memasak dengan kayu bakar. Kalau jaman sekarang mungkin pada kompor
gas. [Tapi untuk alasan keamanan, pada kompor gas sebaiknya tidak usah
dihaturkan dupa. Ini akan dijelaskan pada bagian selanjutnya].
4. Di sumber air utama di rumah. Kalau jaman dahulu pada sumur. Kalau
jaman sekarang kebanyakan jarang yang punya sumur, jadi haturkan pada
sumur bor [kalau ada], pada meteran PDAM, atau pada tempat dimana kita
menyimpan air.
5. Di tempat utama menyimpan beras. Kalau jaman dahulu pada lumbung
padi. Kalau jaman sekarang kebanyakan jarang yang punya lumbung padi,
jadi haturkan pada tempat dimana kita menyimpan beras.
6. Di apit lawang atau apit surang, yaitu pada kanan-kiri gerbang rumah.
Untuk segehan, cara meletakkannya adalah di natah atau di bawah [di
pertiwi], bukan diletakan pada palinggih. Dimana dalam konsepsi mandala
paling ringkas [inti] segehan kita haturkan pada :
1. Di bawah semua palinggih haturkan segehan putih-kuning, kecuali...
2. Di bawah palinggih Taksu [rong dua] haturkan segehan manca-warna.
3. Di bawah palinggih Penunggun Karang haturkan segehan putih-hitam
[poleng].
4. Di tengah halaman rumah [natah] haturkan segehan manca-warna.
5. Di depan pintu masuk ke bangunan rumah, haturkan segehan mancawarna.
6. Di lebuh [depan gerbang rumah] haturkan segehan manca-warna.
7. Di tempat keluarnya saluran air pembuangan [got rumah] menuju got di
jalan, haturkan segehan manca-warna.
Sekali lagi bahwa ini adalah konsep paling ringkas [inti] atau paling
mendasar. Tentunya para pembaca saudara-saudara se-dharma memiliki
bentuk tradisi dan tattwa yang beragam di tempat masing-masing.
Hendaknya tetaplah dijalankan sesuai tradisi dan tattwa masing-masing, agar
sesuai dengan desa, kala, patra. Tapi hendaknya juga dilaksanakan dengan
berlandaskan pengetahuan tentang tattwa.
Bab 5
MEMBERSIHKAN DIRI
Sebelum kita mebanten, terlebih dahulu kita mandi membersihkan diri.
Mandilah dengan bersih dan sambil mandi itu kita ucapkan beberapa kali
mantra :
Om sarira parisudhamam swaha.
Mandi bersih dengan menggunakan mantra ini tujuannya untuk
membersihkan badan fisik kita dari hawa-hawa yang kurang bagus dalam
tubuh kita. Sehingga kemudian badan fisik kita menjadi bersih, harum dan
segar.
Kalau di dekat rumah kita ada pura beji, pura pesiraman, atau pura
pathirtan, lebih baik lagi kalau kita mandi disana sebelum mebanten. Karena
di tempat-tempat suci seperti itu energi pembersihannya sangat besar. Ini
terutama baik sekali bila kita lakukan sebelum mebanten pada hari-hari raya
besar, atau pada rahina purnama, tilem dan kajeng kliwon. Tujuannya
adalah untuk memurnikan energi di dalam diri kita sebelum kita mebanten.
Tapi kalau tidak ada atau kita tidak punya waktu, cukup kita lakukan di
kamar mandi saja.
Selesai mandi kita berganti pakaian dengan pakaian adat madya atau
pakaian sembahyang.
Setelah itu barulah canang atau persembahan lain dari sebelumnya kita
lungsur [ambil] dan sisa-sisa persembahan lain pada palinggih juga kita ambil
sampai bersih.
MENYUCIKAN PERSEMBAHAN
Hendaknya sebelum dihaturkan kita melakukan prosesi untuk
menyucikan persembahan. Ini adalah cara dasar untuk menyucikan
persembahan yang dapat digunakan untuk menyucikan semua jenis
persembahan. Caranya sebagai berikut ini.
Letakkanlah semua sarana persembahan [canang, segehan, tirtha, arak,
berem, ataupun persembahan-persembahan lainnya] di hadapan kita.
yadnya kepada para Ista Dewata dan Sanghyang Brahma sebagai penerang
jiwa semua mahluk.
Juga perlu sedikit ditambahkan, saat menghaturkan pada kompor gas
yang cukup riskan dengan resiko kebakaran, untuk menghindari hal-hal yang
tidak diharapkan kita tidak usah ngunggahang dupa. Kita bisa gantikan
dengan cara menyalakan api kompor. Karena yang penting adalah
kehadiran api-nya. Setelah semua rangkaian proses menghaturkan canang di
kompor gas ini selesai, matikan kompornya kembali.
MENGHATURKAN SEGEHAN
Terkait menghaturkan segehan, tentunya terdapat berbagai ragam
rupa, bentuk dan jenis-jenis segehan.
Yang akan dijelaskan ini adalah cara dasar yang universal untuk
menghaturkan persembahan ke alam-alam bawah, yang dapat digunakan
untuk menghaturkan berbagai jenis segehan [kecuali untuk segehan saiban
karena caranya berbeda]. Caranya adalah sebagai berikut ini.
Pertama-tama perlu diperhatikan bahwa, ketidak-tepatan yang sering
terjadi dalam menghaturkan segehan adalah tidak memperhatikan arah
pengider-ideran Panca Dewata yang tepat. Misalnya nasi warna putih pada
segehan seharusnya di arah timur justru dipasang di arah barat. Padahal
ketika kita menghaturkan segehan sangat penting untuk meletakkan posisi
segehan pada pengider-ideran yang tepat. Jangan diletakkan ngawur secara
sembarangan, karena ini berkaitan dengan kekuatan suci Sanghyang Panca
Dewata dan hal-hal lainnya. Sehingga segehan sebagai segel suci niskala ini
nantinya kekuatannya benar-benar dapat bekerja.
Sama seperti canang, segehan jika dihaturkan sesuai dengan pengiderideran yang tepat, juga merupakan segel suci niskala yang memiliki kekuatan
kerja-nya sendiri. Tapi kekuatan-nya akan lebih aktif jika kemudian segel suci
niskala ini kita hidupkan dan gerakkan dengan kekuatan mantra-mantra suci,
tirtha [air suci], dupa dan kekuatan sredaning manah [kejernihan dan
kebaikan pikiran].
Menghaturkan segehan harus diawali dengan niat sebagai belas kasih
dan kebaikan kepada para mahluk-mahluk alam bawah dan dijalankan
sebagai sebuah upaya untuk mengurangi kesengsaraan mereka. Pancarkan
rasa belas kasih dari hati kita dan pancarkan rasa damai dari upaya kita.
Sifat mahluk alam-alam bawah sebenarnya tidaklah jahat. Mereka
menjadi berbahaya karena manusia takut, menghakimi atau tidak menyukai
mereka. Ketakutan, penghakiman atau rasa tidak suka ini membuat
adrenalin di dalam diri manusia naik, dimana adrenalin yang naik ini
menghasilkan energi yang dirasakan oleh mahluk alam-alam bawah sebagai
segehan berisi sedikit bunga. Bunga ini sama berfungsi sebagai segel naungan
kekuatan para Ista Dewata.
Setelah selesai ngayabang, kita sirat-siratkan kembali tirtha [air suci] sambil
mengucapkan mantra untuk mensucikan sarwa bhuta :
Kita tutup dengan metabuh sekali lagi. Kita tabuhkan berem dan arak,
masing-masing berem dan arak sebanyak 3 [tiga] kali memutar dengan arah
sebaliknya dengan yang sebelumnya, yaitu memutar mengelilingi ke kanan
atau searah dengan jarum jam. Memutar ke kanan adalah kekuatan
memutar ke arah atas [naik], atau ke alam-alam suci. Ini disebut ngeluhur,
yaitu kekuatan untuk menghantar naik ke alam-alam suci. Ini kita lakukan
sambil mengucapkan mantra :
Bab 6
mengundang kehadiran para atma [roh-roh] yang masih belum [atau sedang
berusaha] mendapatkan jalan naik ke alam-alam suci. Kita berikan mereka
hidangan untuk membahagiakan mereka dan kemudian memohonkan
naungan sarwa dewata [para Ista Dewata] untuk mereka.
7. Peletakan posisi nasi pada segehan putih-hitam [poleng] disusun
berdasarkan pengider-ideran Rwa Bhinneda, yaitu sebagai berikut ini :
Nasi berwarna putih diletakkan pada posisi arah timur dan nasi
berwarna hitam diletakkan pada posisi arah barat. Sebagai segel
mengundang kehadiran para atma [roh-roh] pengikut dari Ida Btara
Sedahan Karang sebagai pecalang niskala penjaga rumah, agar ikut menjaga
keamanan rumah kita. Kita berikan mereka hidangan untuk membahagiakan
mereka dan kemudian memohonkan naungan sarwa dewata [para Ista
Dewata] untuk mereka.
Sebuah catatan penting untuk diperhatikan, yaitu nanti ketika kita
menghaturkan segehan sangat penting untuk meletakkan nasi warna-warni
pada posisi arah mata angin yang tepat. Jangan diletakkan secara
sembarangan agar segehan sebagai segel niskala ini nantinya dapat bekerja
secara maksimal.
Kemudian segel niskala ini dihidupkan serta digerakkan dengan
kekuatan mantra-mantra suci, tirtha [air suci], dupa dan kekuatan sredaning
manah [kemurnian pikiran]. Sehingga ter-somyakan-lah kesengsaraan sarwa
bhuta, yang memberikan kebaikan bagi alam sekitar dan semua mahluk.
rasa damai akibat persembahan kita ke semua arah. Dan sekaligus kita
sedang belajar terhubung secara kosmik dengan semuanya.
Selalu ingatlah, bahwa kepada saudara-saudara kita di alam bawah,
kitalah yang harus memberi. Karena kalau kita minta sesuatu kepada
saudara-saudara kita di alam bawah, itu analogi-nya seperti kita jadi orang
tua yang meminta-minta uang kepada anak kita yang masih SD. Sehingga
dalam hal ini hendaknya jangan meminta sesuatu apapun kepada mereka.
Termasuk jangan minta agar kita tidak diganggu. Tidak boleh sama sekali.
Ajaran dharma selalu menegaskan bahwa kepada saudara-saudara kita
di alam bawah yang benar adalah kita yang memberi. Dasarnya adalah belas
kasih dan kebaikan. Sambil menghaturkan segehan, dengan pikiran penuh
belas kasih kita doakan para mahluk-mahluk alam bawah itu agar mereka
damai dan bahagia, serta agar mereka bisa lahir di alam dewa. Begitu
mereka menjadi dewa, dengan kualitas ke-dewa-an tidak mungkin mereka
akan mengganggu kita.
PENUTUP
Demikianlah secara ringkas panduan dasar mengenai mebanten.
Astungkara berguna bagi yang membacanya. Terutama bagi yang belum
mengenal tattwa-nya, sehingga dapat mulai memperhatikan dan
memperbaiki seandainya ada kekurang-pahaman. Astungkara kehidupan kita
dan keluarga akan mengalami perbaikan dan peningkatan.
Dengan mebanten yang berlandaskan tattwa, secara spiritual hal ini
luar biasa terangnya. Dengan dasar rasa hormat, rasa terimakasih dan rasa
belas kasih kita berkarma baik menjaga keseimbangan dan keharmonisan
kosmos atau alam semesta [jagadhita]. Karena di dalam upaya inilah ada
kekuatan spiritual semesta yang sempurna, yang berguna bagi kebahagiaan
semua mahluk.
Keterhubungan manusia dengan alam-alam mahasuci akan terjaga
dengan baik, mahluk-mahluk alam-alam bawah akan sangat terbantu tersomya dari kesengsaraan dan kegelapan mereka, alam semesta akan
memberikan karunia kemakmuran dan kesejahteraan, serta alam semesta
akan menebarkan getaran energi kedamaian secara kosmik, sehingga diri kita
sendiri, orang-orang disekitar kita dan semua mahluk akan menerima
getaran energi kedamaian.
Bali adalah pulau yang tidak hanya secara fisik [sekala] saja indah, tapi
secara spiritual [niskala] juga sangat indah. Bali adalah pulau yang sarat
dengan getaran energi ketenangan dan kedamaian. Orang-orang luar Bali
yang datang ke Bali banyak yang merasakan perbedaan suasana yang
dirasakan di Bali. Merasakan ketenangan dan kedamaian yang nyaman.
Siapa saja yang mata spiritual-nya sudah terbuka, dia akan bisa melihat
indahnya getaran energi kosmik Pulau Bali, yang menebarkan kedamaian,
harmonis dan terang benderang.
DHARMA DANA
Rumah Dharma - Hindu Indonesia
Rumah Dharma - Hindu Indonesia telah dan akan terus melakukan
penerbitan buku-buku dharma berkualitas, baik berupa e-book maupun buku
cetak, untuk dibagi-bagikan secara gratis tanpa dipungut biaya apapun.
Untuk melakukan penyebaran buku-buku dharma berkualitas, Rumah
Dharma - Hindu Indonesia memerlukan bantuan para donatur, yang sadar akan
pentingnya melakukan pembinaan kesadaran masyarakat. Semakin banyak
dharma dana yang terkumpul maka semakin banyak juga buku-buku dharma yang
dapat diterbitkan dan disebarluaskan.
Ada empat cara memanfaatkan kekayaan sebagai ladang kebaikan yang
bernilai sangat utama, salah satunya adalah ber-dharma dana untuk penyebaran
ajaran dharma. Karena ini bukan saja sebuah kebaikan mulia dengan karma baik
berlimpah, tetapi juga adalah sebuah sadhana nirjara, sadhana penghapusan
karma buruk.
Karma baik dari mendonasikan dharma dana bagi penyebarluasan ajaran
dharma adalah :
1. Donatur akan mendapatkan penghapusan berbagai karma buruk.
2. Dalam setiap reinkarnasi kelahirannya donatur akan berjodoh dengan ajaran
dharma yang suci dan terang.
3. Donatur akan mendapatkan perlindungan dharma, tidak mudah terseret
dendam kebencian, pikirannya lebih mudah tenang, serta menjadi lebih bijaksana.
4. Jika dampak penyebarannya mencerahkan masyarakat luas, donatur akan
mendapatkan perlindungan dari para Dewa-Dewi.
Transfer Dharma Dana anda ke rekening :
Bank BNI Kantor Cabang Denpasar
No Rekening : 0340505797
Atas Nama : I Nyoman Agus Kurniawan
Astungkara berkat karma baik ini para donatur mendapat kerahayuan.
TENTANG PENULIS
I Nyoman Kurniawan lahir pada tanggal 29 January
1976. Mendapatkan garis spiritualnya dari
kakeknya, Pan Siki, seorang balian usadha dari Br.
Tegallinggah Kota Denpasar.
Pada tahun 2002, memulai perjalanan spiritualnya
dengan belajar meditasi.
Pada tahun 2007 mulai memberikan komitmen
menyeluruh kepada spiritualisme dharma. Di tahun
yang sama belajar dengan Guru dharma-nya yang
pertama, serta memulai melakukan tirthayatra dan
penjelajahan ke berbagai pura pathirtan kuno,
sebagai bagian dari arahan gurunya, sekaligus juga
panggilan spiritualnya sendiri.
Pada tahun 2009 mulai belajar dengan Guru dharma-nya yang kedua, mendalami
kekayaan spiritual Hindu Bali, mendalami ajaran Tantra, menjalin pertemanan
dengan banyak Guru dan praktisi spiritual, serta tetap meneruskan melakukan
tirthayatra dan penjelajahan ke berbagai pura pathirtan kuno.
Pada tahun 2010 mulai melakukan pelayanan dharma untuk umum di halaman fb
rumah dharma, serta mulai memberikan tuntunan dan berbagi ajaran kepada
adik-adik dharmanya. Di tahun yang sama juga mulai menulis buku. Inspirasi
dharma yang didapatnya dari perjalanan ke berbagai pura pathirtan kuno,
dikombinasikan dengan ajaran dari para Guru-nya, dari praktek meditasi,
membaca puluhan buku-buku suci, serta diskusi-diskusi panjang dengan banyak
praktisi spiritual, kemudian ditulisnya menjadi berbagai buku.
Pada tahun 2015 mulai belajar dengan Guru dharma-nya yang ketiga, serta tetap
meneruskan melakukan pelayanan dharma untuk umum.