Anda di halaman 1dari 6

Aksara Sunda (Ngalagena); Sejarah

dan Penggunaan
OCTOBER 23, 2011
http://www.wacana.co/2011/10/aksara-sunda-ngalagena/
Diakses 30 Juli 2016

Aksara Ngalagena menurut catatan sejarah telah digunakan oleh


orang Sunda dari abad ke-14 Masehi. Jejak aksara ini dapat
dilihat pada Prasasti Kawali (Prasasti Astana Gede).

Prasasti itu dibuat untuk mengenang Prabu Niskala


Wastukancana yang memerintah Kawali, Ciamis, (1371-1475).
Prasasti Kebantenan yang berasal dari abad ke-15 Masehi,
termaktub dalam lempengan tembaga, juga memakai aksara
Ngalagena.

Belum ditemukan bukti yang pasti tentang awal mula aksara Sunda diciptakan
atau sejak kapan orang Sunda mulai menggunakan aksara itu. Yang jelas, kita
mendapat gambaran yang samar-samar bahwa sebelum abad ke-14, banyak
prasasti dan naskah lontar (kropak) yang diketemukan di wilayah Jawa Barat,
ditulis dengan menggunakan aksara lain.

Seperti aksara Pallawa yang digunakan pada Prasasti Tugu (abad ke-5 Masehi)
dan aksara Jawa Kuno pada Prasasti Sanghyang Tapak (abad ke-11 Masehi).
Bahasa yang digunakan sebelum abad ke-14 Masehi pun diduga menggunakan
bahasa Sansekerta,Jawa Kuno, dan Melayu Kuno.

Sansekerta; Adalah salah satu rumpun bahasa Indo-Eropa paling tua dan
termasuk yang memiliki sejarah terpanjang, bahkan masih dikenal hingga saat
ini.

Memasuki abad ke-14 Masehi dan seterusnya, aksara Sunda ini kerap digunakan
dalam media batu (prasasti) dan kropak (naskah kuno).

1
A
ksara Sunda. Gambar oleh Wacana Nusantara

Sama halnya seperti naskah-naskah kuno di wilayah Jawa lainnya, yang menjadi
media untuk naskah kuno Sunda adalah daun (ron) palem tal (Borassus
flabellifer) di sinilah lahir istilah rontal atau lontar atau juga daun palem nipah
(Nipa fruticans).

Masing-masing daunnya yang sudah diproses dan dikeringkan, biasanya


dihubungkan dengan seutas tali, di tengah-tengah daun dan atau di sisi kanan
dan kiri daun.

Penulisan pada daun rontal ini dilakukan dengan menorehkan menggunakan


sebuah pisau khusus (peso pangot), pada permukaan daun, atau menorehkan
tinta melalui media lain seperi menggunakan pena. Tintanya biasanya dibuat
dari campuran jelaga dan kemiri.

Sementara untuk penanya dapat menggunakan lidi enau atau menggunakan


bambu yang telah dipersiapkan. Biasanya peso pangot digunakan untuk
menorehkan huruf-huruf persegi, sementara tinta-pena memudahkan untuk
menorehkan huruf-huruf bundar.

Naskah-naskah kuno di Jawa Barat yang menggunakan aksara Sunda Kuno dan
juga bahasa Sunda Kuno di antaranya Naskah Carita Parahyangan yang juga
dikenal dengan nama register Kropak 406.

Kropak: adalah peti tempat penyimpanan naskah rontal; atau merujuk pada naskah
yang tersusun dari beberapa lembar rontal.

Naskah ini kemungkinan dibuat pada abad ke-16 Masehi. Menurut beberapa
Filolog,l yang cukup menarik dalam Naskah Carita Parahyangan ini, adalah di

2
dalamnya terdapat beberapa kata Arab, diantaranya yaitu kata dunya dan
niat.

Hal ini dapat memberi gambaran bahwa sebaran kosa kata Arab, dengan agama
Islamnya, telah jauh merasuk ke dalam alam bawah sadar
penulis Naskah Carita Parahyangan tersebut.

Naskah Bujangga Manik dan Sewaka Darma yang diperkirakan ditulis pada
masa yang tak jauh berbeda. Kedua naskah yang ditulis menggunakan bahasa
dan aksara Sunda ini mengisahkan perjalanan spiritual seorang tokoh di dalam
sebuah bingkai sistem religi campuran antara Buddha, Hindu, dan kepercayaan
Sunda asli.

Naskah yang lain adalah Sanghyang Sisksakanda (ng) Karesian (Kropak 603).
Naskah yang ditulis pada 1518 Masehi, banyak mengulas sistem sosial
masyarakat dan juga sistem keagamaan.

Ada pula naskah Amanat Galunggung (Kropak 632) yang baru diketemukan
dan diteliti hanya 6 lembar. Naskah yang kadang disebut Naskah Ciburuy ini
membahas ajaran moral dan nilai-nilai dalam etika budaya Sunda lama.

Usia naskah Amanat Galunggung/Naskah Ciburuy ditenggarai lebih tua dari


NaskahCarita Parahyangan; hal merujuk pada ejaan yang digunakan,
sepertianwam, gwareng, hamwa, dan kwalwat. Dalam Naskah Carita
Parahyangan kata-kata tersebut dieja: anom, goreng, hamo, dan kolot).

Naskah-naskah keagamaan itu biasanya ditulis di sebuah mandala


atau kabuyutan yang merupakan pusat dari keagamaan orang Sunda masa lalu.
Wilayah Kabuyutan terletak di gunung-gunung, yang juga merupakan pusat
intelektual.

Gunung Galunggung, Gunung Kumbang, Gunung Ciburuy, dan Gunung Jayagiri


merupakan tempat yang memiliki kabuyutan. Kekinian,
peranan kabuyutan digantikan oleh pesantren.

Setelah berkembangnya agama Islam, keberadaan aksara Sunda ini semakin


tergeser. Perlahan namun pasti, aksara Arab yang dikenal dengan huruf pegon,
kemudian mendominasi dunia tulis menulis hampir di seluruh Pulau Jawa.
Penyebaran hurufPegon ini juga digunakan oleh para pujangga dan penulis,
Aksara Sunda pun kehilangan pamornya.

Tulisan Pegon; tulisan Arab yang tidak dengan tanda-tanda bunyi (diakritik); tulisan
Arab gundul yang digunakan untuk menuliskan bahasa daerah.

3
Naskah Sajarah Banten pada tahun 1662-1663 Masehi, telah ditulis
menggunakan huruf Arab (Pegon), tepat ketika Kesultanan Banten
baru seabad berdiri.

Naskah lainnya yang memakai huruf Pegon ini adalah Kitab Waruga
Jagat yang diketemukan di Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun
Kabeh dari wilayah Ciamis yang ditulis abad ke-18,
dengan menggunakan bahasa Jawa dan huruf Pegon.

Penggunaan aksara Sunda pada perkembangannya selanjutnya semakin terkikis


setelah aksara latin mulai diperkenalkan oleh orang-orang Eropa di Nusantara
sembari berkolonialisasi, dari abad ke-18 Masehi hingga masa kemudian.

Tak hanya karena alasan itu, yang bertanggung jawab atas hilangnya aksara
Sunda adalah penguasaan Mataram Baru yaitu Sultan Agung yang pada abad
yang sama telah menguasai hampir seluruh wilayah-wilayah Sunda.

Kekuasaan jawa di Tanah Sunda ini mengakibatkan sastra-sastra Sunda periode


ini lahir dengan memakai aksara Jawa atau Jawa-Sunda (carakan), dan sudah
jarang menggunakan aksara Sunda.

Naskah Sunda yang ditulis menggunakan bahasa dan aksara carakan salah
satunya adalah Babad Pakuan atau juga dikenal dengan Babad Pajajaran yang
kemungkinan baru ditulis pada awal abad ke-19 Masehi.

Isi babad Pakuan ini banyak menggambarkan pola pikir masyarakat Sunda lama
yang berkenaan dengan kosmologi yang memiliki hubungan dengan
konsep mandalakekuasaan. Juga terdapat beberapa peristiwa yang
menceritakan sejarah dari periode sebelumnya.

Sistem Aksara Sunda

Aksara Sunda berjumlah 32 buah. Terdiri atas 7 aksara vokal atau aksara swara
(a i o u e eu) dan 23 aksara konsonan atau aksara ngalagena (ka
ga nga, ca ja nya, ta da na, pa ba ma, ya ra la, wa sa ha, fa
va qa xa za).

Aksara-aksara fa, va, qa, xa, dan juga za merupakan aksara-aksara


yang relatif baru. Aksara ini diciptakan untuk mengonversi beberapa bunyi
aksara Latin. Dari segi bentuknya, aksara Sunda ini memiliki bentuk persegi
yang memperlihatkan ketajaman yang mencolok, dan hanya sebagian saja yang
memiliki bentuk bundar.

4
Fonem: (Linguistik); satuan bunyi terkecil (a-z) yang mampu menunjukkan kontras
makna (ct; /k/ adalah fonem krn membedakan makna kata kabel dan
label.). Lihat juga; Fon dan Fonetik.

Aksara swara merupakan aksara Sunda untuk melambangkan bunyi fonem


vokal yang dapat berperan sebagai sebuah suku kata. Bisa menempati posisi di
awal, di tengah, maupun di akhir sebuah kata. Berikut aksara swara Sunda:

Sedangkan aksara ngalagena adalah aksara sunda yang dapat berdiri sendiri
mewakili sebagai sebuah kata dan suku kata atau silabis. Aksara ini dianggap
dapat melambangkan beberapa bunyi fonem konsonan dan dapat berperan
sebagai sebuah kata maupun suku kata.

Bisa menempati posisi awal, tengah, maupun akhir dari sebuah kata. Setiap
konsonan biasanya diberi tanda pamaeh dengan tujuan untuk mematikan
bunyi ngalagena-nya. Berikut aksara ngalagena Sunda:

Ada pula para penanda vokal dalam sistem aksara Sunda,


yakni: Panghulu (mengubah vokal /a/ menjadi /i/), Panyuku (mengubah
vokal /a/ menjadi /u/), Pemepet (vokal /a/ menjadi /e/).

Panolong (vokal /a/ yang mendahuluinya menjadi /o/), Paneleng (vokal /a/
yang didahuluinya menjadi / /), dan Paneuleung (vokal /a/ menjadi /eu/).
Berikut penanda vokal dalam sistem aksara Sunda:

5
(Dari kiri ke kanan; Panghulu, Panyuku, Pemepet, Panolong, Paneleng,
Paneuleung)

Selain pamaeh konsonan, ada pula variasi fonem akhiran; Panyakra (sisipan
-r-),Panyiku (sisipan -l-), Pamingkal (sisipan -y-), Pengecek (akhiran
-ng), Panglayar(akhiran -r), dan Pangwisad (akhiran -h).

Ada pula fonem sisipan yang disimpan di tengah-tengah kata, yakni , dan .
Berikut tabel variasi fonem sisipan dan akhiran beserta tanda Pamaeh dalam
sistem aksara Sunda.

(Dari kiri ke kanan; Panyakra, Panyiku, Pamingkal, Pangecek, Panglayar,


Pangwisad, Pamaeh)

Anda mungkin juga menyukai