PUPUH KE-1 oleh Sintya Nur Muftiana dan Winona Alma Della
Abstrak
Dalam pupuh ke-1 pada 20 sampai pada 23 dapat ditemukan beberapa konsep
tentang ekologi yang menggambarkan kondisi alam pada masa penciptaan
Kakawin Sumanasāntaka. Ekologi adalah ilmu tentang rumah atau tempat tinggal
makhluk. Ekologi dalam arti proses alam telah dikenal sejak lama, sesuai dengan
sejarah manusia. (Soedjiran Resosoedarmo, 1986 : 1). Dalam pupuh ke-1 pada 20
digambarkan ekologi hutan. Tidak hanya ekologi hutan saja, dalam pupuh ke-1
pada 23 menggambarkan ekologi sungai. Semua ekologi-ekologi yang
digambarkan dalam kitab ini diiringi adegan yang ingin, sedang atau telah
dilakukan oleh tokoh pada latar tempat cerita Kakawin Sumanasāntaka ini.
Sehingga dapat disimpulkan pada Kakawin Sumanasāntaka ini, menggambarkan
tentang sistim pengetahuan orang Jawa abad ke 12 dalam beradaptasi terhadap
lingkungannya.
I. Pendahuluan
Karya sastra adalah hasil cerminan dari sebuah budaya kelompok masyarakat
yang menceritakan tentang interaksi manusia dengan lingkungannya dan
merupakan hasil kegiatan kreatif manusia untuk mengapresiasikan sebuah
keindahan, menuangkan perasaan, dan emosi dalam sebuah bunyi-bunyi yang
indah yang terstruktur (Wellek&Warren, 1995 : 321). Ratna (2007:306)
berpendapat bahwa imajinasi atau rekaan dalam karya sastra adalah imajinasi
yang didasarkan atas kenyataan dan lingkungan alam, yaitu imajinasi yang juga
diimajinasikan oleh orang lain, maka bisa disimpulkan bahwa imajinasi dalam
sastra adalah kenyataan yang terjadi dalam masyarakat. Hal ini dapat dikatakan
bahwa penggambaran alam dalam karya sastra mencerminkan kondisi alam pada
saat karya sastra tersebut diciptakan.
II. Pembahasan
III. Kesimpulan
Worsley,P dkk.
(2014) . Kakawin Sumanasāntaka: Mati karena Bunga Sumanasa karya
Mpu Monaguna kajian sebuah puisi epik Jawa Kuno. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia
Soerjani, M
(1991) . Ekologi, Ekologi Manusia, Ekologi Terapan, Dan Ilmu
Lingkungan. Depok : Universitas Indonesia
Ferry, Oscar
(2008) . Makna Puisi-Puisi Turiyo Ragilputra Kajian Melalui Unsur-Unsur
Pembangun Puisi. Depok : Universitas Indonesia
Hamdi, Fajar
(2015) . REPRESENTASI ALAM DAN KONSEP GI, HEUNG, JEONG
DALAM ANTOLOGI PUISI UP SOKEUI GANGMULSORI.
Yogyakarta : Universitas Gajah Mada
Kakawin Sumanasāntaka berarti mati bersama bunga sumanasā, kakawin ini
ditulis oleh Mpu Monaguṇa, adalah salah satu dari sekitar dua puluh puisi naratif
Jawa Kuno yang disebut sebagai kakawin, yang datang dari Jawa masa lampau.
Narasi Sumanasāntaka diambil dari Raghuvaṃśa, mahākāvya yang ditulis oleh
penyair kondang India abad ke-5, Kālidāsa. Kakawin ini menceritakan tentang
lingkup peristiwa yang terjadi di kehidupan Pangeran Aja dan Putri Indumatī,
reinkarnasi dari Bidadari bernama Hariṇī dan pasangannya.
Kakawin Sumanasāntaka memiliki memiliki 183 Pupuh, karena Pupuh 1 yang
kami teliti,
‒‒‒|ᴗᴗ‒|ᴗ‒ᴗ|ᴗᴗ‒|ᴗᴗᴗ|ᴗᴗᴗ|‒ᴗ‒|ᴗᴗ
Konvensi yang ketiga yaitu vokal yang merupakan rekayasa bahasa dibaca
sebagai guru, meliputi (1) rekayasa fonemis berupa pemberian tanda
diakretik yang secara konvensional dibaca panjang. Tanda diakretik itu
berupa ā, ì, dan û serta (2) rekayasa morfo-fonemis berupa sandi
‘peluluhan akibat terjadinya penggabungan antara dua vokal’ yang
menyebabkan munculnya vokal yang harus dibaca panjang. Contoh untuk
pernyataan (1) “pūrwaprastuti ning kathā hana sira dwija taruṇa suśīla
subrata”. Contoh untuk pernyataan (2) “prāptêng parwata śūnya kaywan
ika pakṣa wukir asêgêh ing hañar ḍatêng. Prāptêng terbentuk dari prāpta +
ing → vokal a bertemu dengan vokal i luluh menjadi e.
9. Dalam aspek pengujaran, kakawin Sumanasāntaka termasuk ke dalam
puisi yang berbentuk narasi. Aspek kisahan dalam kakawin
Sumanasāntaka yang layak dibicarakan ada dalam manggala dan
kolofonnya. Mayoritas manggala mengandung pengagungan kepada dewa
pelindung yang dipercayai oleh penulis atau penyair suatu karya. Penulis
kakawin Sumanasāntaka, Mpu Monaguṇa, dalam manggalanya beliau
menulis, “Sang hyang mahadewa papan tulis penyair, dialah hakikat
aksara tersurat. Asal mula dan tujuan terakhir puisi kakawin dan sungguh
sulit didekati, ia tempat bersemayam pangeran segala penyair. Ia meresap
dan tersembunyi dalam serbuk dari pensil yang diruncingkan dengan kuku
penyair yang berikhtiar menguasai keindahan. Ia dijelmakan menjadi
wujud khayali oleh semedi tanpa henti agar turun ke candi pustaka ini.”
Daftar Referensi