Anda di halaman 1dari 7

Tradisi Lisan Kian Tak Didengar

JANUARY 12, 2012


http://www.wacana.co/2012/01/tradisi-lisan-kian-tak-didengar/
Diakses 30 Juli 2016

Masyarakat Nusantara menyimpan budaya dan sumber sejarah yang


melimpah dalam tradisi mereka. Budaya dan sumber-sumber sejarah tersebut,
dari generasi ke generasi disampaikan dalam berbagai bentuk dan rupa.
Arsitektur, Kriya, Wastra, sastra, dan-terutama tradisi lisan. Unsur terpenting
dalam tradisi lisan bukan hanya konteks. Sehingga banyak dijumpai kisah
dengan alur cerita yang sama namun tokoh dan latar belakang yang berbeda.
Tradisi lisan memungkinkan pemerkaya nilai-nilai yang disampaikan di
samping keluwesan dalam bentuk dan cara bertuturnya.
Nusantara merupakan surga bagi para ahli bahasa. Beratus-ratus bahasa
berbeda dituturkan ratusan suku penutur di seluruh Nusantara. Tidak ada yang
tahu pasti berapa bahasa daerah di Nusantara. Menurut Indonesia Heritage:
Bahasa dan Sastra,tidak ada daftar nama baku untuk bahasa-bahasa itu, tidak
ada statistik yang mudah didapat tentang jumlah orang yang menuturkan
bahasa tertentu, dan tidak ada peta yang memastikan di daerah mana bahasabahasa tertentu ditutukan.
Bagian besar penelitian atas bahasa daerah Indonesia terbatas pada bahasa
kelompok etnis saja; Jawa, Sunda, Madura, minangkabau, Batak, Bali, Bugis,
dan Banjar. Perkiraan jumlah bahasa daerah yang dapat ditemukan di Indonesia
berkisar dari angka terendah 69 sampai tetinggi 578. (2002-72).
Dari beragamnya bahasa dan dialek di Indonesia, hanya beberapa di antaranya
memiliki tradisi tertulis; sekarang, di bagian tertentu Indonesia, kebeksaraan
merupakan hal yang baru dalam menembus batas nilai-nilai tradisi masyatakat.
Tradisi dan penyampaian pengetahuan, adat kebiasaan, sejarah, filsafat, moral,
agama, kedudukan sosial, bahasa, masih mengandalkan tradisi dalam dimensi
kelisanan.
Tradisi lisan masih dinilai sebagai ruang ekspresi budaya dan wacana sebelum
ditulis dalam tradisi tulisan. Dengan kata lain, kelisanan merupakan ruang
bertutur dari anggota masyarakat sebelum adanya keberaksaraan yang
dituliskan dalam simbol alfabetisasi. Baru beberapa abad kemudian
pengalaman-pengalaman hidup yang ada dalam tradisi lisan dituliskan, menjadi
teks kisahan.

Teks kisahan dapat berbentuk macam-macam: nyanyian, syair, prosa lirik, atau
syair bebas. Cerita-cerita tersebut mengajarkan para pendengarnya untuk
memecahkan masalah atau teka-teki, menyampaikan tradisi, menyokong jati
diri kebudyaan dan, tak kalah penting; menghibur.
Kisah lisan memiliki beberapa ciri yang lazim. Biasanya banyak sekali. Panjang
lebar bahasanya dan berlebihan dalam bahasa, menggunakan pola dan susunan
baku untuk membantu pencerita memproses ucapan dan mengikat teksnya.
Cerita tersebut biasanya tersusun dari serangkaian peristiwa yang benar-benar
terjadi, atau diyakini sebagai pencitraan dari tutur leluhur mereka. sebuah
pakem dalam dialektika tradisi.
Sebagai bagian dari kelisanan, sejarah lisan memiliki karakter yang berbeda
dengan tradisi lisan. Sejarah lisan dimaksudkan memberi kebenaran sejarah
seperti yang dituturkan oleh para pelakunya atau oleh pihak-pihak yang
(merasa) mempunyai pengalaman sejarah yang bersangkutan sebagai pelaku
atau saksi mata sebuah peristiwa.
Dalam Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya dijelaskan bahwa:
Tradisi lisan (oral tradition) mencakup segala hal yang berhubungan dengan
sastra, bahasa, sejarah, biografi, dan berbagai pengetahuan serta jenis
kesenian lain yang disampaikan dari mulut ke mulut. Jadi tradisi lisan tidak
hanya mencakup ceritra rakyat, teka-teki, peribahasa, nyanyian rakyat,
mitologi, dan legenda sebagaimana umumnya diduga orang. Melainkan
berkaitan juga dengan sistem kognitif kebudayaan, seperti; sejarah, hukum
dan pengobatan. Tradisi lisan adalah segala wacana yang
diucapkan/disampaikan secara turun temurun meliputi yang lisan dan yang
beraksara dan diartikan juga sebagai sistem wacana yang bukan
beraksara.. Tradisi lisan tidak hanya dimiliki oleh orang yang mampu
berbicara. Implikasi kata lisan dalam pasangan lisan-tertulis berbeda
dengan lisan-beraksara. Lisan yang pertama (oracy) mengandung maksud
keberaksaraan bersuara, sedangkan lisan kedua (orality) mengandung
maksud kebolehan bertutur secara beraksara. Kelisanan dalam masyarakat
beraksara sering diartikan sebagai hasil dari masyarakat yang tidak
terpelajar; sesuatu yang belum ditulisakan; sesuatu yang dianggap belum
sempurna/matang dan sering dinilai dengan criteria keberaksaraan. (2005:
144).

Penghubung antara sejarah lisan dan tradisi lisan, adalah konsep dalam bagian
kelisanan. Istilah tersebut dicetuskan pertama kali pada tahun 1963 oleh
Havelock dalam Preface to Plato. Kelisanan tidak dapat dipisahkan dari konsep
mengenai keberaksaraan. Tetapi di lain pihak terdapat penanda yang tegas.
Seabagai batas pembeda antara sejarah dan tradisi yang menjadi penggeraknya.
Ketika berbicara mengenai kelisanan maka kita bicara mengenai sesuatu yang
tidak tertulis. Sekaligus juga bicara tentang sesuatu yang tertulis dan yang
diujarkan. Segala definisi yang diharapkan dapat menjawab tentang apa yang
dapat dimutlakkan sebagai sesuatu yang asli lisan justru akan menemui kesia2

siaan. Sweeney menegaskan bahwa pengertian kelisanan dapat sedikit


dipuaskan bila dibicarakan dalam konteks interaksinya dengan tradisi tulisan
(Sweeney, 1998: 2-5).
Dalam kaitan ini, Mudji Sutrisno dalam artikelnya yang berjudul Dialog Antar
Tradisi, menekankan perlu adanya pengutaraan kekaburan pemakaian oral
danorality. Menurutnya, istilah oral berkaitan dengan suara. Konsep oral
dalam arti ini menjadi sangat luas. Meliputi segala sesuatu yang diujarkan,
seperti uraian kuliah misalnya. Dengan kata lain, istilah oral dalam hal ini tidak
berkaitan dengan beraksara atau tidak beraksaranya penutur yang
bersangkutan. Istilah oralitydiartikan sebagai satu sistem wacana yang tidak
tersentuh oleh huruf. Akan tetapi, kosep ini pada waktunya akan juga
mempengaruhi konotasi oral, sehingga istilah oral mengandung dua makna
yang berbeda. Implikasi kata lisan dalam pasangan (1) lisan -tertulis dan dalam
pasangan (2) lisan beraksara berbeda.
Sejarah bahasa tulis merupakan sintesis antara apa yang disebut oleh Ferdinand
de Saussure dalam bahasa formal tertulis yang mengikuti persyaratan logika
keberaksaraan hingga dimengerti sebagai langue. Misalnya dalam kaidah
bahasa Indonesia tulis sebuah kalimat menjadi dimengerti kalau mengikuti
aturan logika bahasa tulis S-P-O-K (Subjek Predikat Objek Keterangan).
Tradisi tulisan disebut oleh Wolter J. Ong sebagai keberaksaraan yang
disepakati pemakai bahasa untuk menuliskan pengalaman menghayati hidup
bukan dalam kelisanan dan bukan sebagai diskursus. Apa yang hilang ketika
dari tradisi lisan pengalaman hidup ditulis? Roh. Suasana dan konteks tak
tertuliskan dan tak terbahasakan secara alfabetikal dalam kelisanan tereduksi
oleh hukum logika tulis yang dalam semiotika (sistem tanda) mau dikembalikan
menjadi terbaca.
Konsep kelisanan yang termaktub dalam tulisan ini merupakan bagian dari
konteks sistem pengolahan bahan yang tidak mengandalkan huruf. Tradisi lisan
dalam konteks ini diartikan sebagai segala wacana yang diucapkan meliputi
yang lisan dan yang beraksara atau sistem wacana yang bukan aksara.
Berbagai ekspresi masyarakat yang dinyatakan dalam tradisi lisan memang
tidak hanya berisi cerita dongeng, mitologi, atau legenda seperti yang umumnya
diartikan. Melainkan juga mengenai sistem kognitif masyarakat, sumber
identitas, sarana ekspresi, sistem religi dan kepercayaan, pembentukan dan
peneguhan adat-istiadat, sejarah, hukum, pengobatan, keindahan, kreativitas,
asal-usul masyarakat, dan kearifan lokal mengenai ekologi dan lingkungannya.

Pengungkapan kelisanan tersebut disampaikan terutama dengan mengandalkan


faktor ingatan. Penutur atau tukang cerita memang mengingat bukan
menghafalkan apa yang akan disampaikannya (Lord, 1976; Sweeney, 1980 dan
1987; Ong, 1982). Meskipun ingatan sangat berperan, sehingga dapat dijumpai
perubahan-perubahan dalam tradisi lisan di samping bentuk-bentuknya yang
tetap (Rubin, 1995).
Mobilisasi opini, konstruksi realitas dan memori kolektif adalah fungsi-fungsi
reproduksi kebudayaan yang harus senantiasa kita jaga. Dalam khazanah
kesusastraan Nusanatara, tradisi lisan, baik berbentuk syair maupun prosa,
merupakan corak kekhasan tersendiri yang terbangun melalui relasi lajur
sejarah yang panjang. Corak khas tradisi lisan pada akhirnya mendapatkan
tempat dan menemukan bentuknya masing-masing di tiap daerah. Tersimpan
dalam ruang etnis dan suku yang mengusung folk budaya dan adat yang
berbeda-beda dan menjadi ciri khas daerah serta jatidiri kedaerahan. Salah satu
bentuk ekspresi budaya masyarakat pemiliknya.
Ekpresi estetik dari tradisi lisan Indonesia terdapat dalam bentuk mantra,
tembang macapat, cerita rakyat, hikayat-hikayat, atau pun syair pantun serta
gurindam yang berkembang di Indonesia. Menjadi serangkaian manifestasi
dialektika dari unsur kebudayaan pendahulu yang saling bersinergi membentuk
sebuah pola kebudayaan. Dalam hal ini tradisi lisan tidak hanya mengandung
unsur-unsur keindahan (estetik), tetapi juga mengandung berbagai informasi
tentang nilai-nilai kebudayaan tradisi yang bersangkutan. Oleh karena itu,
sebagai salah satu data budaya, tradisi lisan dapat diperlakukan sebagai gerbang
untuk memahami salah satu atau keseluruhan unsur kebudayaan daerah yang
bersangkutan.
Tradisi lisan ini bertahan cukup lama dan telah menjadi semacam ekspresi
estetik masyarakat dalam tiap-tiap daerah atau suku yang tersebar seantero
Nusantara. Namun, ketika sebagian kalangan menganggap bahwa tradisi tulis
itu mempunyai nilai lebih tinggi atau lebih maju karena mengikuti
perkembangan arus zaman, maka eksistensi tradisi lisan terlihat semakin
dekaden, bahkan hampir saja punah.
Karena itu, tidak dapat kita pungkiri, dalam keilmuan modern (baca barat)
Indonesia, baik yang berkenaan dengan ekspresi proses verbal maupun dalam
bentuk kajian tulisan dari segi kuantitas lebih mendominasi. Sedangkan kajiankajian tradisi lisan cenderung dinomorduakan. Ketimpangan semacam ini
sungguh menggelisahkan, terutama apabila mengacu pada konsepsi awal yang
dilontarkan A. Teeuw (1983) dalam kaitannya dengan sastra. Ia memandang
bahwah baik dari segi sejarah maupun tipologi, tidak baik apabila dilakukan
pemisahan antara sastra lisan dan sastra tulis. Keduanya harus dipandang
4

sebagai kesatuan dan keseluruhan, tidak terpecah-belah berdasarkan


pertentangan yang tidak hakiki.
Fenomena tidak didengarnya tradisi lisan ini pada dasarnya tidak sejalan
dengan realitas empiris sejarah yang menunjukkan bahwa lisan dan tulisan
tidak sekadar hidup berdampingan. Tetapi keduanya menciptakan keterpaduan
menyangkut konvensi atau struktur, baik pada genre syair maupun cerita
rakyat. Sastrawan Sapardi Djoko Damono (1999) menunjukkan bahwa puisi
Indonesia modern, yang notabene adalah sastra tulis, merupakan
bagian urgen dari konvensi kelisanan. Bahkan, menurutnya, piranti puitis yang
kini lekat menjadi idiomatis dalam puisi Indonesia modern, seperti rima, irama,
metrum, aliterasi, asonansi, repetisi, paralelisme, dan onomatope, terinspirasi
oleh tradisi lisan seperti pantun dan mantra.
Persoalan ini, tidak bisa lepas dari konsepsi kemapanan, suatu corak yang
dibawa oleh modernisme. Tradisi lisan yang merupakan corak masyarakat kuno
(awam), dipandang misalnya sebagai penghambat kemajuan bangsa. Supaya
suatu bangsa menjadi maju seiring arus zaman, maka tradisi lisan harus diubah
kepada budaya menulis, karena tradisi tulis-menulis selalu identik dengan
kemajuan sebuah peradaban keilmuan. Pendapat ini menciptakan adanya
tendensi yang seakan mengabaikan terhadap terjadinya suatu paralelisme dari
kedua konsepsi (lisan dan tulis) yang sesungguhnya bersifat kesatuan dan
keseluruhan itu.
Selain dari pada itu, terciptanya keberkaitan antara tradisi tulis dan tradisi lisan
akan semakin memperkaya khazanah kebudayaan kita. kebrkaitan di sini
dimaksudkan sebagai kerangka konseptual yang mencoba untuk
mengintegrasikan antara dua kebudayaan atau lebih. keberkaitan, dalam arti
yang sebenarnya, tidak mengharapkan terciptanya konstruksi budaya baru
(modifikasi budaya) dari dua kebudayaan yang berbeda, tetapi ingin memenuhi
niatan bahwa pelestarian budaya adalah hal yang niscaya untuk dilakukan.
Pelestarian tradisi lisan semestinya bersanding dengan pemberdayaan tradisi
tulis, karena dua kebudayaan ini merepresentasikan kekayaan khazanah
kebudayaan kita. Fungsi dari unsur-unsur kebudayaan ini adalah dipergunakan
untuk memelihara keutuhan konstruksi dua kebudayaan tersebut, selain juga
untuk memuaskan sebentuk rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri
kehidupan kita yang harus disadari.
Dengan demikian, pemenuhan tujuan akan suatu kebudayaan sesungguhnya
terletak pada bagaimana kebudayaan itu dapat dilestarikan sepanjang zaman.
Karenanya, yang berkenaan dengan penganaktirian atau penomorduaan
suatu kebudayaan daripada kebudayaan lain semestinya tidak harus ada, karena
pada hakikatnya seluruh entitas kebudayaan senantiasa membentuk suatu
5

jejaring hidup antara satu dan lainnya. Demikian juga dengan persoalan ini,
bahwa tradisi lisan tidak harus dipisahkan atau bahkan dianaktirikan dari
pada tradisi tulis.
Posisi tradisi lisan yang masih terpinggirkan, potensinya masih terabaikan, dan
masih banyak yang menganggap bahwa tradisi lisan hanyalah peninggalan masa
lalu yang hanya cukup menjadi kenangan manis belaka. Tradisi lisan seolaholah tidak relevan lagi dengan kehidupan modern yang semakin melaju sangat
cepat selama ini. Kemajuan teknologi ternyata tidak disikapi secara arif
sehingga semakin meminggirkan posisi tradisi lisan. (Henri Nurcahyo, 2009)
Hal yang menarik diungkapkan oleh Mudji Sutrisno tentang bagaimana ikhtiar
mengambil roh tradisi lisan, paparan atas jawabannya beliau jelaskan dengan
perenungan budaya dan tradisi lebih mendalam sebagai berikut:
Bagaimana ikhtiar mengambil roh tradisi lisan? Dengan hidup di dalamnya,
merayakan dan menyerap melalui para lokal genius: kearifan-kearifan budaya
setempat; dengan mendeskripsi apa yang benar-benar hidup dan sedang
dihidupi oleh budaya tradisi lisan serta dari dalam (intrinsik) berusaha
membaca makna di balik tanda; renung arti di balik penanda dan nyanyi-nyanyi
kebijaksanaan hidup di balik dongeng-dongeng lisan, pantun, hikayat
kebijaksanaan serta rupa-rupa ajaran harmoni alam, harmoni langit dan
harmoni antar sesama.
Tradisi kelisanan di sini amat muncul dalam religi bumi yang memuliakan
kehidupan tanah dan air tempat manusia mendapatkan hidupnya dari bumi.
Maka ia tidak akan memperkosanya dan menghancurkannya. Sementara itu
religi langit lebih menggantungkan pujian syukur atas kehidupan pada yang di
langit. Sehingga ekspresi hormat pada bumi kadang dikalahkan pada lebih
menggantungkan pujian syukur atas kehidupan pada yang di langit. Dan
ekspresi hormat pada bumi kadang dikalahkan pada yang vertikal.
Dalam dialog antara tradisi lisan dan tulisan, bila salah satu tradisi belum
dipahami oleh yang bersangkutan sebagai rahim budayanya kemudian
dihadapkan pada tradisi berikutnya, akankah terjadi hibriditas atau wajah
dalam pembatinan rahim tradisi? Lebih tajam lagi, apabila seseorang belum
meminum dari sumur-sumur tradisinya, apakah akan meloncat dalam keadaan
terpecah ke dalam tradisi mutakhir yang menerpanya?

Daftar Istilah:

1. Wastra: bahasa Sansekerta; adalah sehelai kain tradisional yang biasanya


ditenun tangan yang mempunyai sarat makna.
2. Tutur: Istilah bahasa; ucapan. Penutur: orang yg bertutur.
3. Dialektika: hal berbahasa dan bernalar dng dialog sbg cara untuk menyelidiki
suatu masalah.
4. Kognitif: berdasar kpd pengetahuan faktual yg empiris.
5. Langue: Istilah Bahasa; adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat
sosial budaya. (ct; murid mencium tangan guru: bahasa yang berarti kesopanan.
Melambaikan tangan: adalah bahasa universal sebagai tanda perpisahan).
6. folk: Kolektif, Masyarakat, Sekumpulan orang yang memiliki keterikatan
bersama. Folklor: adalah bagian dari kebudayaan suatu kolektif yang tersebar
dan diwariskan turun-temurun sebagai pengingat.
7. Idiomatis: sesuai dng kekhususan bahasa.
8. Rima: pengulangan bunyi yg berselang (ct; lika-liku laki-laki itu penuh
luka); Irama: keras lembut tekanan, dan tinggi rendah nada;
9. Metrum: ukuran irama yg ditentukan oleh jumlah dan panjang tekanan suku
kata dl setiap baris.
10. Aliterasi: pengulangan bunyi konsonan dr kata-kata yg berurutan (ct:
Sekadar penawar lapar).
11. Asonansi: perulangan bunyi vokal dl deretan kata; alias purwakanti. (ct. adaada saja)
12. Repetisi: gaya bahasa yg menggunakan kata kunci yg terdapat di awal
kalimat untuk mencapai efek tertentu dl penyampaian makna ulangan. (ct: aku
tak pernah tak sempat; untuk tak mencintaimu).
13. Paralelisme: penggunaan bentuk sintaksis yg sepadan, (ct: kuring tukang
karung, karung kuring tara kurang, lamun karung kuring kurang tarang kuring
kerang kerung)
14. Onomatope: kata tiruan bunyi, (ct: kokok. Meniru suara ayam)

Anda mungkin juga menyukai