Anda di halaman 1dari 6

Warisan Nilai Budaya Sunda

MARCH 21, 2009


http://www.wacana.co/2009/03/warisan-nilai-budaya-sunda/
Diakses 30 Juli 2016

Pakuan mencapai puncak perkembangannya dalam masa pemerintahan Sri


Baduga Maharajayang oleh masyarakat Jawa Barat dikenal dengan Prabu
Siliwangi. Sejalan dengan itu penduduk Pakuan pun mencapai jumlah nomor
dua terbesar di antara kota-kota di Nusantara waktu itu. Masa inilah yang
disebut Gemuh Pakuan dalam beberapa naskah tradisional karena di daerahdaerah pun banyak kerabat atau yang terikat kekerabatan dengan Siliwangi
menjadi pemegang kekuasaan dan mengembangkan kesejahteraan hidup di
kawasannya.
Zaman dahulu, ketika segala hal masih harus dikerjakan dengan tenaga
manusia, jumlah penduduk menjadi ciri kemajuan dan kemakmuran negara.
Bagi negara agraris zaman dulu, penyerangan dan penaklukan negara tetangga
lebih ditujukan kepada upaya menambah jumlah penduduk dari pada perluasan
tanah. Oleh sebab itul, negara agraris dalam zaman silam selalu mengidap watak
agresif yang tersembunyi dan akan meledak setiap kali ada kesempatan.
Negara yang banyak penduduknya disebut negara gemah
ripah. Gemah atau gemuhberarti banyak penduduknya (Volkrijk, menurut
Coolsma), sedangkan ripah ataurimpah artinya limpah atau meluap. Jadi,
Gemah-ripah mengandung arti sangat banyak penduduk seolah-olah
melimpah. Entah mengapa, timbul salah kaprah mengenai artinya yang pada
saat ini banyak dipahami sebagai subur makmur. Akibat pengaruh Hindu,
kata gemah-ripah sering disambung dengan loh jinawi. Lohatau iwah berarti
sungai, dan jinawi adalah nama lain untuk Sungai Gangga di India. Jadi, arti
utuh dari gemah-ripah loh jinawi adalah padat dan banyak sekali
penduduknya seperti daerah Sungai Gangga. Keadaan seperti ini memang yang
didambakan negara agraris zaman dahulu.
Masa Gemah Pakuan disertai oleh kemajuan dalam berbagai segi kehidupan,
sesuai dengan zamannya, apa yang kita sebut maju waktu itu, mungkin hanya
keadaan sederhana menurut ukuran hidup masa sekarang. Meski demikian,
ada hal yang sifatnya bisa abadi jika dilihat dari segi isi dan maknanya, yaitu
nilai budaya.
Dari zaman Siliwangi, kita diwarisi naskah kuno yang disebut Siksa Kandang
Karesian dan Kundangeun Urang Reya (Pegangan Hidup Orang Banyak).

Naskah ini terdiri atas 30 lembar dan pada akhir naskah dicantumkan tahun
penulisannya, yaitunora catur sagara wulan (tahun 1440 Saka atau 1518 M).
Naskah ini disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode Kropak 630.
Sebagian isi dari naskah itu berisi:
1. dasakerta (sepuluh kesejahteraan);
2. tapa di nagara;
3. panca parisuda;
4. hidup penuh berkah;
5. parigeuing dan dasapasanta;
6. tritangtu di bumi (Tiga Posisi di Dunia).

1. Dasakerta (Sepuluh Kesejahteraan)


Kesejahteraan hidup dapat kita capai bila kita mampu memelihara kegunaan 10
bagian tubuh, yaitu: telinga, mata, kulit, lidah, hidung, mulut, tangan,
kaki,tumbung (dubur), dan alat kelamin (baga atau purusa). Berikut
kutipannya:
Telinga jangan mendengarkan hal-hal yang tidak layak didengar
karenamenjadi pintu bencana penyebab kita menemukan kesengsaraan di
dasar kenistaan neraka, tetapi bila (telinga) digunakan untuk hal-hal yang
baik, kita akan memeroleh keutamaan dari pendengarannya
Dukun bayi zaman dulu selalu membisikkan ajaran ini pada telinga kiri si bayi
setelah bayi itu dimandikan. Hal ini menunjukkan bahwa hal yang pertamatama diperkenalkan kepada manusia adalah ajaran moral tentang hidup
bersusila.
2. Tapa di Nagara
Naskah itu menyebut sebagai contoh 29 macam pekerjaan yang bermanfaat
bagi umum, di antaranya: menteri, bayangkara, pandai besi, prajurit, petani,
anak gembala, dalang, dan lain-lain. Lalu dijelaskan: Eta kehna turutaneun,
kena eta ngawakan tapa di nagara (Semua itu patut ditiru karena mereka itu
melakuan tapa dalam negara). Jadi, yang dimaksud dengan tapa ini adalah
melaksanakan pekerjaan yang berguna untuk kepentingan umum. Oleh sebab
itu, penulis Carita Parahyangan mencela sikap Ratu Dewata yang melakukan
cara tapa yang tidak sesuai dengan tugasnya sebagai raja sementara keadaan
negara terancam musuh.
3. Panca Parisuda
Panca parisuda mengandung arti lima obat penawar. Ini kaitannya dengan
sikap menerima celaan atau kritik: lamun aya nu meda urang, aku sapameda

sakalih (bila ada yang mengkritik kepada kita, terimalah kritik orang lain itu).
Anggaplah:
ibarat kita sedang dekil menemukan air untuk mandi;
ibarat kita sedang burik ada orang yang meminyaki;
ibarat kita sedang lapar ada orang yang memberi nasi;
ibarat kita sedang dahaga ada orang yang mengantarkan minuman;
ibarat kita sedang kesal datang orang yang membawakan sirih-pinang
(sepaheun).
Dengan sikap seperti itu dikatakannya:kadyangga ning galah cedek tinugalan
teka (sama halnya dengan galah sodok dipapas runcing). Artinya: galah
cedek(bambu runcing) makin pendek makin baik, karenanya kemungkinan
patah makin berkurang. Dengan kritik, akal budi kita akan menjadi makin
kukuh dan tajam. Disebutkan pula: lamun makasuka urang kangken pare
beurat sangga (kalau senang menerima kritik orang, kita akan seperti padi
yang runduk karena berat berisi).
4. Hidup yang Penuh Berkah
Ajaran ini merupakan pelengkap hidup agar selamat dalam kehidupan dan
mendapat berkah dalam rumah tangga harus. Maka itu kita harus:
cermat (emet);
teliti (imeut);
rajin (rajeun);
tekun (leukeun);
cukup sandang (paka predana);
bersemangat (morogol-rogol);
berpribadi pahlawan (purusa ningsa);
bijaksana (widagda);
berani berkurban (hapitan);
dermawan (waleya);
gesit (cangcingan);
cekatan (langsitan).
Prinsip hidupnya adalah: tidak menyusahkan orang lain, hidup berkecukupan,
tetapi tidak berlebihan. Disebutkan: Jaga rang hees tamba tunduh, nginum
twak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urang
kajongjonan(Hendaknya kita ingat, bahwa tidur sekadar penghilang kantuk,
minum tuak sekadar pelepas haus, makan sekadar penghilang lapar, janganlah
kita berlebihan).
5. Parigeuing dan Dasapasanta
Hidup yang cukup itu harus disertai tiga kemampuan (tri geuing),
yaitu: geuing, upageuing, dan parigeuing.
3

Geuing adalah bisa ngicap ngicup dina kasukaan (bisa makan dan minum
dalam kesenangan). Upageuing adalah bisa nyandang bisa nganggo, bisa
babasahan bisa dibusana (bisa berpakaian, bisa punya cadangan pakaian bila
yang lain dicuci, bisa berdandan). Parigeuing adalah bisa nitah bisa
miwarang, ja sabda arum wawanginya mana hanteu surah nu
dipiwarang (bisa memberi perintah, bisa menyuruh karena tutur bahasa yang
manis sehingga orang yang disuruh tidak merasa jengkel hatinya).
Parigeuing memerlukan dasapasanta (10 cara penenang), yaitu:
1. bijaksana (guna);
2. ramah (rama);
3. sayang (hook);
4. memikat (pesok);
5. kasih (asih);
6. iba hati (karunya);
7. membujuk (mupreruk);
8. memuji (ngulas);
9. membesarkan hati (nyecep);
10. mengambil hati (ngala angen);
Tujuan dari hal di atas adalah: nya mana suka bungah padang-caang nu
dipiwarang (agar senang dan penuh kegairahan orang yang disuruh). Harus
kita akui, bahwa seseorang menjalankan perintah dengan penuh rasa senang
dan gairah, prestasinya akan maksimal. Yang terutama adalah janganlah kita
mengabaikan harga diri seseorang.
6. Tritangtu di Bumi (Tiga Posisi di Dunia)
Dalam kehidupan masyarakat Jawa Barat tradisional, ada tiga posisi yang
menjadi tongak kehidupan, yaitu:
rama (pendiri kampung yang menjadi pemimpin masyarakat dan
keturunannya yang mewarisi jabatan itu);
resi (ulama atau pendeta);
prabu (raja, pemegang kekuasaan).
Dalam naskah dianjurkan agar orang berusaha memiliki:
bayu pinaka prabu (wibawa seorang raja);
sabda pinaka rama (ucapan seorang rama);
hedap pinaka resi (tekad seorang resi).
Tugas ketiga tokoh itu dalam Kropak 632 ditegaskan: jagat daranan di sang
rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu (urusan
bimbingan rakyat menjadi tanggung jawab sang rama/pemuka masyarakat,

urusan kesejahteraan hidup menjadi tanggung jawab sang resi/ulama, dan


urusan pemerintahan menjadi tanggung jawab raja/pemegang kekuasaan).
Ketiga pemegang posisi itu sederajat karena pada pawitannya, pada
muliyana (sama asal-usulnya, sama mulianya). Oleh karena itu diantara
ketiganya:
haywa paala-ala palungguhan, haywa paala-ala pameunang, haywa paalaala demakan. Maka pada mulia ku ulah,ku sabda ku hedap si niti, si
nityagata, si aum, si heueuh, si karungrungan, ngalap kaswar, semu
guyu, tejah ambek guru basa dina urang sakabeh, tuha kalawan anwam,
Artinya: jangan berebut kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan
berebut hadiah. Maka berbuat mulialah dengan perbuatan, dengan ucapan dan
dengan tekad yang bijaksana, yang masuk akal, yang benar, yang sungguhsungguh, yang menarik simpati orang, suka mengalah, murah senyum, berseri
di hati dan mantap bicara kepada semua orang, tua maupun muda.
Tritangtu sebagai sistem kepemimpinan itu masih dilaksanakan di Kanekes.
Orang Badui menyebutnya Tangtu Telu. Ketiga orang Puun di Kanekes masingmasing menempati posisi Resi (Puun Cikertawana), Rama (Puun Cikeusik), dan
Ponggawa (Puun Cibeo). Dalam kehidupan sehari-hari ketiga Puun itu berkuada
penuh di daerah masing-masing. Tetapi dalam hal umum menyangkut seluruh
Kanekes, barulah fungsi Tangtu Telu itu berlaku.
Pada dasarnya ketiga posisi itu terdapat pula dalam masyarakat kita sekarang,
yaitu pemuka masyarakat, ulama, dan pemerintah. Apa yang diharapkan dari
trio itu pada zaman Siliwangi masih diharapkan juga dewasa ini. Tradisi tidak
selamanya usang. Anggap sajalah semua itu wangsit Siliwangi karena memang
ditulus sebagai perudang-undangan pada zamannya.
Bagian akhir naskah Siksa Kandang Karesian berisi anjuran agar orang tua
tidak mengawinkan anak-anaknya yang masih di bawah umur: hanteu yogya
mijodohkeun bocah, bisi kabawa salah, bisi kaparisedek nu ngajadikeun
(tidak layak mengawinkan anak kecil, agar tidak terbawa salah, agar tidak
merepotkan yang menjodohkan).
Bila memperhatikan ajaran moral dalam zaman Siliwangi melalui naskah
tersebut, mengertilah kita mengapa sikap Ratu Dewata, Ratu Sakti, dan
Nilakendra sangat dicela oleh penulis Carita Parahyangan: Aja tinut de sang
karuwi polah sang nata (jangan ditiru oleh yang kemudian kelakuan sang
raja).

Itulah beberapa warisan nilai budaya sunda dari zaman Siliwangi yang sekarang
pun tampaknya masih bisa dimanfaatkan oleh kita sebagai seuweu-siwi atau
anak-cucu Siliwangi.
_________
Disarikan dari tulisan Saleh Danasasmita yang berjudul Nyukcruk Sajarah
Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi (2003) Bandung: Kiblat Buku
Utama.

Anda mungkin juga menyukai