Anda di halaman 1dari 3

Ngaran BRATALEGAWA /BARATA-LEGAWA

Ganti Salin Baju Pamake


Ngaran BAHARUDDIN = Lautan Agama /Agama Laut (Meunang Hasil Lalayaran)
TERKENAL DENGAN SEBUTAN HAJI PURWA GALUH
-----------------------Naskah tentang pemeluk agama Islam yang pertama kali di tanah Sunda adalah Brata
legawa putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora
penguasa kerajaan Galuh. Bratalegawa adalah orang yang pertama kali menunaikan
ibadah haji di kerajaan Galuh, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa (Atja, 1981:
47).
Sebagai putra Raja Galuh, Bratalegawa memilih hidupnya sebagai seorang saudagar
dan sering melakukan pelayaran ke Sumatra, Cina, India, Srilanka, Iran, sampai k
e negeri Arab. Sesampai di Gujarat, Bratalegawa menikah dengan seorang muslimah
bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan ini, Bratalegawa memeluk Isl
am.
Setelah menunaikan ibadah haji, Haji Purwa beserta istrinya kembali ke kerajaan
Galuh di Ciamis pada tahun 1337 Masehi. Di Galuh ia menemui adiknya, Ratu Banawa
ti, untuk bersilaturahmi sekaligus mengajaknya masuk Islam. Tetapi upayanya itu
tidak berhasil. Dari Galuh, Haji Purwa pergi ke Cirebon Girang untuk mengajak ka
kaknya, Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya yang menjadi penguasa kerajaan Cirebon
Girang, untuk memeluk Islam. Namun kakaknya pun menolak.
----------------------http://www.kanal.web.id/2016/05/haji-pada-masa-kerajaan-islam-di.html
Selanjutnya dalam situs ini disebutkan :
Bratalegawa atau Haji Purwa kemudian menjadi Raja Galuh menggantikan kakanya, Pr
abu Maharaja (1350-1357) yang gugur dalam perang Bubat yaitu peperangan antara P
ajajaran dengan Majapahit.
---Naskah kuno dalam Carita Parahyangan terdapat kisah orang-orang jaman dulu yang
telah berhasil menunaikan ibadah haji yaitu dalam naskah Carita Purwaka Caruban
Nagari dan naskah-naskah tradisi Cirebon seperti Wawacan Sunan Gunung Jati, Wawa
can Walangsungsang, dan Babad Cirebon.
Dalam naskah-naskah tersebut dikisahkan adanya tokoh yang pernah menunaikan ibad
ah haji yaitu Raden Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang. Keduanya adalah
putra Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran, dan pernah berguru agama Islam kepada Sye
kh Datuk Kahpi selama tiga tahun di Gunung Amparan Jati Cirebon.
Setelah cukup berguru ilmu agama Islam, atas saran Syekh Datuk Kahpi, Walangsung
sang bersama adiknya Rarasantang berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji
dan menambah ilmu agama Islam, diperkirakan terjadi antara tahun 1446-1447 atau
satu abad setelah Bratalegawa.
Dalam perjalanan ibadah haji itu, Rarasantang dinikahi oleh Syarif Abdullah, Sul
tan Mesir dari Dinasti Fatimiyah, dan memiliki dua anak yaitu Syarif Hidayatulla
h (1448) dan Syarif Arifin (1450). Sebagai seorang haji, Walangsungsang kemudian
berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman, sementara Rarasantang berganti nama m
enjadi Hajjah Syarifah Mudaim.
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa di Kesultanan Banten pada periode
1651
1682, Beliau mengirimkan putranya Pangeran Gusti atau Abdul Kahar ke Mekah
untuk berhaji dan sekaligus menemui sultan Mekah untuk mendekatkan hubungan Bant
en dengan penguasa Masjidil Haram dan Ka bah serta memperluas wawasan keIslamannya
.pada tahun 1671. kemudian Abdul Kahar kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Ha
ji.
Tentunya masih banyak kisah orang-orang dari luar Pulau Jawa yang melaksanakan i

badah Haji Pada Masa Kerajaan Islam di Nusantara. Pada waktu itu perjalanan par
a musafir untuk menuaikan ibadah Haji berhadapan dengan bermacam-macam bahaya se
lain biaya yang besar. Musafir yang sampai ke tanah Arab pun belum tentu aman. T
idak mengherankan apabila calon jemaah dilepas kepergiannya dengan derai air mat
a; karena khawatir mereka tidak akan kembali lagi serta inilah yang menyebabkan
Asal Usul Gelar Haji di Indonesia.
Disarikan dari http://kerinci.kemenag.go.id/
----------------------------------------------Asal Usul Gelar Haji di Indonesia
Publikasi Jumat, 11 Maret 2016 oleh Achmad Maulidi,
http://www.kanal.web.id/2016/03/asal-usul-gelar-haji-di-indonesia.html
Asal usul penggunaan gelar Haji di Indonesia untuk yang pertama kalinya masih be
lum terungkap, kepada siapa penyematan gelar tersebut diberikan. Saat ini, gelar
Haji diberikan kepada bagi umat Islam setelah selesai menunaikan Ibadah Haji. N
amun gelar ini hanya berlaku di Indonesia dan Malaysia. Lalu bagaimana sejarahny
a gelar Haji itu bisa muncul di Indonesia? Ada beberapa pendapat maupun cerita-ce
rita orang tua dahulu mengapa gelar Haji pantas disandang.
Dahulu, untuk melaksanakan ibadah Haji ke Tanah Suci diperlukan waktu berbulan-b
ulan untuk perjalanan pergi dan pulang kembali. Konon, jika seseorang akan menua
ikan ibadah Haji ibarat maju perang yang kemungkinan bisa gugur dan tidak kembal
i ke rumah. Perjalanan yang sangat panjang tersebut, jika seseorang berhasil men
empuhnya akan disambut suka cita oleh keluarga dan kerabat dengan menyebut " Ya
Haj.. Haji..." Panggilan Ya Haj yang ada di Timur Tengah hanya bersifat verbal ata
u ucapan penghormatan saja, karena pemerintahan di sana tidak mengeluarkan serti
fikat haji.
Namun, menurut arkeolog Islam Nusantara, Agus Sunyoto yang juga Dosen STAINU Jak
arta, asal usul sebutan atau gelar Haji Indonesia tersebut mulai muncul sejak ta
hun 1916 pada zaman kolonial Belanda. Pemerintah Belanda mengeluarkan keputusan
Ordonansi Haji, yaitu setiap orang yang pulang dari haji wajib menggunakan gelar
haji . Maksud dengan adanya ordonansi haji tersebut, agar mudah mengawasi gerak-ge
rik orang tersebut terutama bagi intelijen-nya.
Asal Usul Gelar Haji di Indonesia
Gelar Haji di Hindia Belanda (Nusantara)
Ketika Indonesia belum lahir dan masih merupakan wilayah kerajaan-kerajaan Nusan
tara, banyak pembesar kerajaan, tokoh agama Islam (Kiai) sampai dengan tokoh pah
lawan sudah berhaji, namun tidak menyandang gelar Haji seperti Pangeran Diponego
ro, Imam Bonjol, HOS Cokroaminoto, Ki Hajar Dewantara dan masih banyak lagi.
Kepulangan mereka dari berhaji, membawa perubahan besar yang mengarah tujuan yan
g lebih baik bagi masyarakat pada waktu itu. Banyak perlawanan kepada kolonial B
elanda yang dipelopori oleh guru thariqah, haji, ulama dari Pesantren yang telah
melaksanakan ibadah Haji. Termasuk perubahan dengan munculnya organisasi Islam
seperti Muhammadiyah, Nadhlatul Ulama, Sarekat Dagang Islam dan Pendidikan Taman
Siswa yang didirikan oleh tokoh Islam setelah pulang Haji.
Hal-hal seperti inilah yang merisaukan pihak Belanda. Maka salah satu upaya Bela
nda untuk mengawasi dan memantau aktivitas serta gerak-gerik ulama-ulama ini ada
lah dengan mengharuskan penambahan gelar haji di depan nama orang yang telah men
unaikan ibadah haji dan kembali ke tanah air. Selain itu Pemerintahan Belanda St
aatsblad tahun 1903 membuat peraturan mengkhususkan Pulau Onrust dan Pulau Khaya
ngan di Kepulauan Seribu jadi gerbang utama jalur lalu lintas perhajian di Indon

esia.
Di Kepulauan Seribu, di Pulau Onrust dan Pulau Khayangan (sekarang Pulau Cipir),
orang-orang yang pulang haji, banyak yang di karantina di sana. Ada yang memang
untuk dirawat dan diobati karena sakit akibat jauhnya perjalanan naik kapal, da
n ada juga yang disuntik mati kalau dipandang mencurigakan. Karena itu gelar haj
i menjadi semacam cap yang memudahkan pemerintah Hindia Belanda untuk mengawasi
mereka yang dipulangkan ke kampung halamannya.
Gelar Haji di Indonesia, sampai saat ini masih tetap melekat. Orang-orang yang t
elah selesai melaksanakan ibadah haji mendapat gelar tambahan di depan namanya d
engan sebutan haji untuk laki-laki dan hajjah untuk perempuan. Bahkan ada sebagi
an orang yang dengan sengaja menambahkan gelar Haji di depan namanya untuk penul
isan dalam dokumen atau surat-surat penting dengan berbagai alasan, diantaranya
ada yang mengatakan itu merupakan Syiar, supaya orang tertarik untuk segera meng
ikuti menunaikan ibadah haji.
Disarikan dari berbagai sumber.

Anda mungkin juga menyukai