Anda di halaman 1dari 3

ASAL USUL GELAR HAJI DI INDONESIA PADA MASA KERAJAAN ISLAM

DI NUSANTARA

Dikisahkan bahwa Pemeluk agama Islam yang pertama kali di tanah Sunda adalah
Bratalegawa putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora
penguasa kerajaan Galuh (1357-1371). Ia menjadi raja menggantikan abangnya, Prabu Maharaja
(1350-1357) yang gugur dalam perang Bubat yaitu peperangan antara Pajajaran dengan
Majapahit.
Bratalegawa memilih hidupnya sebagai seorang saudagar, ia sering melakukan pelayaran
ke Sumatra, Cina, India, Srilanka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang
muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan ini, Bratalegawa
memeluk Islam. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaan Galuh, ia
dikenal dengan sebutan Haji Purwa (Atja, 1981:47).
Setelah menunaikan ibadah haji, Haji Purwa beserta istrinya kembali ke kerajaan Galuh di
Ciamis pada tahun 1337 Masehi. Di Galuh ia menemui adiknya, Ratu Banawati, untuk
bersilaturahmi sekaligus mengajaknya masuk Islam. Tetapi upayanya itu tidak berhasil. Dari
Galuh, Haji Purwa pergi ke Cirebon Girang untuk mengajak kakaknya, Giridewata atau Ki
Gedeng Kasmaya yang menjadi penguasa kerajaan Cirebon Girang, untuk memeluk Islam.
Namun kakaknya pun menolak.
Naskah kuno selain Carita Parahyangan yang mengisahkan orang-orang jaman dulu yang
telah berhasil menunaikan ibadah haji adalah Carita Purwaka Caruban Nagari dan naskah-naskah
tradisi Cirebon seperti Wawacan Sunan Gunung Jati, Wawacan Walangsungsang, dan Babad
Cirebon. Dalam naskah-naskah tersebut disebutkan adanya tokoh lain yang pernah menunaikan
ibadah haji yaitu Raden Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang. Keduanya adalah putra
Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran, dan pernah berguru agama Islam kepada Syekh Datuk Kahpi
selama tiga tahun di Gunung Amparan Jati Cirebon.
Setelah cukup berguru ilmu agama Islam, atas saran Syekh Datuk Kahpi, Walangsungsang
bersama adiknya Rarasantang berangkat ke Mekah -diduga antara tahun 1446-1447 atau satu
abad setelah Bratalegawa- untuk menunaikan ibadah haji dan menambah ilmu agama Islam.
Dalam perjalanan ibadah haji itu, Rarasantang dinikahi oleh Syarif Abdullah, Sultan Mesir dari
Dinasti Fatimiyah (?), dan berputra dua orang yaitu Syarif Hidayatullah (1448) dan Syarif Arifin
(1450). Sebagai seorang haji, Walangsungsang kemudian berganti nama menjadi Haji Abdullah
Iman, sementara Rarasantang berganti nama menjadi Hajjah Syarifah Mudaim.
Sementara dari kesultanan Banten, jemaah haji yang dikirim pertama kali adalah utusan
Sultan Ageng Tirtayasa. Ketika itu, Sultan Ageng Tirtayasa berkeinginan memajukan negerinya
baik dalam bidang politik diplomasi maupun di bidang pelayaran dan perdagangan dengan
bangsa-bangsa lain (Tjandrasasmita, 1995:117).
Pada tahun 1671 sebelum mengirimkan utusan ke Inggris, Sultan Ageng Tirtayasa
mengirimkan putranya, Sultan Abdul Kahar, ke Mekah untuk menemui Sultan Mekah sambil

1
melaksanakan ibadah haji, lalu melanjutkan perjalanan ke Turki. Karena kunjungannya ke
Mekah dan menunaikan ibadah haji, Abdul Kahar kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Haji.
Menurut naskah Sajarah Banten diceritakan suatu ketika Sultan Banten berniat
mengirimkan utusannya kepada Sultan Mekah. Utusan itu dipimpin oleh Lebe Panji, Tisnajaya,
dan Wangsaraja. Perjalanan haji saat itu harus dilakukan dengan perahu layar, yang sangat
bergantung pada musim. Biasanya para musafir menumpang pada kapal dagang sehingga
terpaksa sering pindah kapal. Perjalanan itu membawa mereka melalui berbagai pelabuhan di
nusantara. Dari tanah Jawa terlebih dahulu harus menuju Aceh atau serambi Mekah, pelabuhan
terakhir di nusantara yang menuju Mekah. di sana mereka menunggu kapal ke India untuk ke
Hadramaut, Yaman, atau langsung ke Jeddah. Perjalanan ini bisa makan waktu enam bulan atau
lebih.
Di perjalanan, para musafir berhadapan dengan bermacam-macam bahaya. Musafir yang
sampai ke tanah Arab pun belum aman. Pada masa awal perjalanan haji, tidak mengherankan
apabila calon jemaah dilepas kepergiannya dengan derai air mata; karena khawatir mereka tidak
akan kembali lagi.
Demikian beberapa catatan tentang kaum muslimin Nusantara jaman dulu yang telah
berhasil menunaikan ibadah haji. Dari kisah-kisah tersebut nampaknya ibadah haji merupakan
ibadah yang hanya terjangkau kaum elit, yaitu kalangan istana atau keluarga kerajaan. Hal ini
menunjukkan pada jaman itu perjalanan untuk melaksanakan ibadah haji memerlukan biaya yang
sangat besar. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya masyarakat kalangan bawah
yang juga telah berhasil menunaikan ibadah haji namun tidak tercatat dalam sejarah. Gelar
Haji memang pantas bagi mereka.

PADA MASA PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA


Dahulu di zaman penjajahan belanda, belanda sangat membatasi gerak-gerik umat muslim
dalam berdakwah, segala sesuatu yang berhubungan dengan penyebaran agama terlebih dahulu
harus mendapat ijin dari pihak pemerintah belanda. Mereka sangat khawatir apabila nanti timbul
rasa persaudaraan dan persatuan di kalangan rakyat pribumi, yang akan menimbulkan
pemberontakan, karena itulah segala jenis acara peribadatan sangat dibatasi. Pembatasan ini juga
diberlakukan terhadap ibadah haji.bahkan untuk yang satu ini belanda sangat berhati-hati, karena
pada saat itu mayoritas orang yang pergi haji, ketika ia pulang ke tanah air maka dia akan
melakukan perubahan.
Contohnya adalah Muhammad Darwis yang pergi haji dan ketika pulang mendirikan
Muhammadiyah, Hasyim Asyari yang pergi haji dan kemudian mendirikan Nadhlatul Ulama,
Samanhudi yang pergi haji dan kemudian mendirikan Sarekat Dagang Islam, Cokroaminoto yang
juga berhaji dan mendirikan Sarekat Islam. Hal-hal seperti inilah yang merisaukan pihak
Belanda. Maka salah satu upaya belanda untuk mengawasi dan memantau aktivitas serta gerak-
gerik ulama-ulama ini adalah dengan mengharuskan penambahan gelar haji di depan nama orang

2
yang telah menunaikan ibadah haji dan kembali ke tanah air. Ketentuan ini diatur dalam
Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903.
Di Kepulauan Seribu, di P. Onrust dan P. Khayangan, pemerintahan Hindia-Belanda
mendirikan tempat karantina jemaah haji. pulau-pulau tersebut dijadikan sebagai gerbang utama
jalur lalu lintas perhajian di Indonesia. Dengan alasan kamuflase untuk menjaga kesehatan,
kadang saat ditemukan adanya jemaah haji yang dinilai berbahaya oleh pemerintah Hindia
Belanda, diberi suntik mati dengan alasan beragam. Maka tak jarang banyak yang tidak kembali
ke kampung halaman karena di karantina di pulau onrust dan cipir.
Untuk memudahkan pengawasan para jemaah haji, pemerintah Hindia Belanda
memberikan cap (gelar) baru kepada mereka, yaitu Haji. Memang dari sejarahnya, mereka
yang ditangkap, diasingkan, dan dipenjarakan adalah mereka yang memiliki cap haji. Ironis..
itulah asal usul mengapa di negeri kita untuk mereka yang telah berhaji diberi gelar haji.
Jadi bertanya-tanya, pantaskah diberi gelar haji setelah mengetahui asal muasal gelar haji ini?
Gelar haji bagi orang muslim yang pergi ke mekah untuk menunaikan ibadah naik haji
ternyata hanya ada di indonesia dan malaysia,dinegara lain tidak ada gelar haji untuk kaum
muslimin yg telah melaksanakan ibadah haji tersebut, gelar haji ini pertama kali dibuat oleh
bangsa belanda yg wkt itu sedang menjajah indonesia, orang yang telah berangkat haji ke
mekah dan kembali lagi ke indonesia oleh bangsa belanda di tandai di depan namanya dengan
huruf H yang berarti orang tersebut telah naik haji ke mekah.
Pemberian gelar tersebut oleh bangsa belanda bukan tanpa maksud, hal ini dikarenakan
kebanyakan orang indonesia yg menjadi penentang belanda pada waktu itu yg berani mengajak
masyarakat untuk melawan belanda adalah orang yang baru pulang dari mekkah tersebut, oleh
karena itu belanda menandai orang tersebut dengan huruf H di depan namanya, untuk
memudahkan mencari orang tersebut apabila terjadi pembrontakan,
Tetapi mengapa di zaman sekarang seringkali gelar haji itu menjadi seperti kebanggaan dan
pembanding orang yg sudah mampu pergi haji dengan yang belum, bahkan ada beberapa orang
yang apabila tidak dipanggil pak haji atau bu haji mereka marah, harusnya orang yg sudah
pernah naik haji bisa merubah semua sifat buruk sewaktu ia belum naik haji menjadi kebaikan,
ITULAH YANG LEBIH UTAMA daripada mempermasalahkan gelar.

Disadur dari berbagai sumber dengan mengadakan perbaikan seperlunya.

Source :
http://kerinci.kemenag.go.id/2013/05/12/asal-usul-gela

Anda mungkin juga menyukai