Anda di halaman 1dari 11

Sejarah Masuknya Islam Ke Jawa Barat

Invasi Islam ke Jawa Barat, yaitu Cirebon, Banten dan Sunda Kalapa, disebabkan daerah-
daerah tersebut menjadi pusat invasi dan perkembangan Islam di awal Jawa Barat. Secara
geografis, Cirebon terletak di pesisir utara Pulau Jawa atau pesisir timur ibu kota Pajajaran.
Warga mencari nafkah dengan menangkap udang dan membuat terasi. Cirebon memiliki
muara yang berperan penting bagi pelabuhan dan menjadi tempat kegiatan pelayaran dan
perdagangan lokal, regional bahkan internasional. Pada tahun 1513, Tome Pires melaporkan
bahwa pelabuhan Cirebon didatangi tiga atau empat kapal (jung) setiap hari untuk berlabuh.
Beras, berbagai bahan makanan, dan kayu dalam jumlah besar diekspor dari pelabuhan ini
sebagai bahan pembuatan kapal. Cirebon sebagai kota pelabuhan sudah ada sejak lama sejak
Cirebon menjadi vasal Kerajaan Sunda (Tjandrasasmita, 2009: 159).

Misalnya, sumber-sumber lokal seperti Babad Cirebon (Edisi Blandes) dan Kalita Purwaka
Calvin Nagari melaporkan bahwa Cirebo dulunya adalah pemukiman yang diperintah oleh
juru labu (Shabandar), tetapi menjadi desa yang dipimpin oleh Kuu. Pelabuhan ini terletak di
Muara Amparan Jati di desa Pasambangan. Kepala atau pengelola pelabuhan adalah Ki
Gedeng Kasmaya, Ki Gedeng Sambilkasih, kemudian digantikan oleh Ki Gedeng Tapa, yang
digantikan oleh Ke Gedeng Jumajan Jati. Akibatnya, Cirebon sebagai daerah bawahan
Kerajaan Sunda membayar upeti tahunan berupa garam dan terasi (Tjandrasasmita, 2009:
159).

Sebelum tempat tinggal yang sekarang menjadi Kota Cirebon, ada kehidupan komunal di
utara tempat ini. Orang-orang yang tinggal di tempat ini adalah pelopor orang Cirebon. Ada
pelabuhan di Muhara Jati dan Pasambangan. Singapura di utara, Japla di timur, dan
pedalaman Calvingilan di selatan. Pada kuartal pertama abad ke-14, pedagang dari Pasay,
Arab, India, Persia, Malaka, Tumasik (Singapura), Palembang, Cina, Jawa Timur dan Madura
mengunjungi pelabuhan Muhara Jati dan pasar Pasambangan. Untuk melakukan bisnis dan
memenuhi kebutuhan wisatawan lain. Kedatangannya dalam memeluk Islam di pelabuhan
Muhara Jati dan Pasar Pathambangan memungkinkan penduduk setempat untuk membiasakan
diri dengan Islam.

Banten merupakan pelabuhan yang penting secara geografis dan ekonomi karena lokasinya
yang strategis mendominasi Selat Sunda, dan juga menyediakan jalur transportasi dan
perdagangan melalui Laut Indonesia ke selatan dan barat Sumatera. Banten pertama kali
disebutkan dalam Kronik Cirebon (versi Brandes) sebagai titik persinggahan ketika Syarif
Hidayathurro tiba di Jawa setelah kembali dari Arab. Banten pada saat itu ada yang memeluk
agama Islam, meskipun merupakan bagian dari Kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu.
Orang Banten masuk Islam oleh Demak dan Cirebon tanpa perang. Menurut Carita Purwaka
Caruban Nagari, saat Syarif Hidayatulloh singgah di Banten, tempat itu sudah menjadi kota
pelabuhan. Empat belas tahun kemudian (1627) orang Portugis lain bernama Barros
menemukan Banten sebagai kota pelabuhan utama yang sejajar dengan Malaka dan Sumatera.
Pada tanggal 22 Juni 1596, rombongan Belanda pertama yang mencapai Banten dipimpin
oleh Cornelis de Houtman. Ia menemukan Banten sebagai kota pelabuhan utama sekaligus
pusat kekuasaan Islam. Banyak pedagang dari Cina, Persia, Arab, Turki, India, dan Portugal
berdagang di pelabuhan ini.

Keberadaan Sunda Kalapa dibuktikan dan diriwayatkan oleh Tomé Pires pada tahun 1513, J.
de Barros pada tahun 1527 dan Cornelis de Houtmann pada tahun 1598. Ketiganya
menjelaskan bahwa Sunda Kalapa adalah kota pelabuhan yang indah yang sering dikunjungi
para pedagang. Kota pelabuhan ini awalnya merupakan pelabuhan utama Kerajaan Sunda,
namun kemudian diduduki oleh pasukan Islam dari Demak dan Cirebon yang dipimpin oleh
Faretehan (1527). Setelah diambil alih oleh pasukan Islam, Sunda Kalapa berubah nama
menjadi Jayakarta. Tokoh Awal Penyebaran Islam di Jawa Barat Indikasi paling awal bahwa
umat Islam telah menyerbu dan tinggal di wilayah Jawa Barat dimulai pada awal abad ke-14.
Menurut sumber sejarah lokal yang dicatat oleh Hageman (1866), Muslim pertama yang
datang ke Jawa Barat adalah Haji Purwa pada tahun 1250 Jawa atau 1337 M. Haji Purwa
adalah pangeran Kuda Lalean. Haji Purwa masuk Islam dalam perjalanan bisnis ke India. Dia
masuk Islam oleh seorang pedagang Arab yang dia temui di India. Haji Purwa berusaha
mengislamkan saudaranya yang berkuasa di Kerajaan Tatar Sunda Dalam. Namun, usahanya
gagal. Akhirnya Haji Purwa meninggalkan Garu dan menetap di Cirebon Girang.

Profesor Edi S. Ekajati (1975:

87-88) mengandaikan bahwa Haji Purwa identik dengan Syekh Maulana Saifuddin, Muslim
pertama yang menetap di Cirebon. Di sana ia mencoba menyebarkan Islam. Ketika Haji
Purwa atau Syekh Maulana Saifuddin tinggal di Cirebon Girang, daerah itu diperintah oleh Ki
Gedeng Kasmaya. Ia masih berhubungan dengan penguasa Garu. Saat itu Cirebon Gilan
merupakan daerah mandala. Selain Haji Purwa, Syekh Khullo adalah tokoh Muslim
terkemuka yang hidup di Tatar Sunda awal. Carita Purwaka Caruban Nagari menyebutkan
bahwa Dusun Pasambangan dihadiri oleh seorang guru muslim dari Campa bernama Syekh
Hasanuddin, putra Syekh Yusuf Sidik. Dia adalah seorang pendeta terkenal di Kampa. Syekh
Hasanuddin membangun gubuk di Quro di Karawang. Itulah sebabnya Syekh Hasanuddin
dikenal sebagai Syekh Kro. Penerjemah Labuan Ki Geden Thapa memerintahkan putrinya
Nyai Subang Lalang untuk belajar agama Islam di Pondok Kroh. Dalam perkembangan
selanjutnya, Nyai Subang Larang menikah dengan Prabu Siriwangi, Raja Kerajaan Sunda.

Orang berikutnya adalah Syekh Datuk Kafi, yang juga dikenal sebagai Syekh Idhafi atau
Syekh Nurjati, seorang Muslim awal penduduk Tatar Sunda. Seseorang dari Arab. Syekh
Datuk Kahfi datang ke Pathambangan sebagai utusan Raja Persia. Kedatangan Syekh Datuk
Kahfi didampingi dua puluh pria dan dua wanita. Kedatangan mereka disambut dan mereka
diberi tempat dan dihormati oleh Ki Gedeng Jumajan Jati. Wadirectsang (Cakrabuana),
bersama istrinya Endang Ayu dan adiknya Nyai Lara Santang, diperintahkan oleh Ki Gedeng
Jumajan Jati untuk belajar agama Islam di bawah bimbingan Syekh Datuk Kahfi yang
membangun gubuk di Bukit Amparan Jati (Atja , 1972: 46-47; Tjandarasasmita , 2009: 160).
Setelah belajar dengan Syekh Datuk Kafi, Wadiresan disebut Samudullah atau Chakrabumi.
Di bawah bimbingan gurunya, Wadiresan membangun gubuk dan tajug di Dusun Kevon
Pasisir. Awalnya merupakan ladang alang-alang, situs tersebut kemudian menjadi desa yang
dikelola oleh suku Kuu. Tempat ini kemudian disebut Calvin atau Forbidden Calvin. Dalam
perkembangan selanjutnya, desa tersebut kemudian berkembang menjadi kawasan perkotaan
dengan adanya pedagang Druk Pasambangan yang semula sering mengunjungi pelabuhan
Muara Jati, kemudian pindah ke pelabuhan Calvin. Pada paruh pertama abad ke-14, ada
pemukiman Muslim di Tatar Sunda, khususnya Cirebon. Sebagaimana dikemukakan Tome
Pires, pada tahun 1513 sebagian masyarakat Jawa Barat yaitu penduduk kota pelabuhan
Cirebon dan kota pelabuhan Cimanuk (Indramayu) sudah beragama Islam. Kalapa) sudah ada
yang masuk Islam. Namun, masuk akal untuk berasumsi bahwa di masa lalu, selain dari dua
kota pelabuhan itu, ada juga Muslim dari daerah lain, terutama para pedagang. Hal ini
berdasarkan perintah dari Raja Kerajaan Sunda untuk membatasi jumlah pedagang muslim
yang berkunjung ke pelabuhan tersebut. Pedagang muslim yang mengunjungi kota-kota
pelabuhan ini berasal dari Malaka, Palembang, Fansur (Bas bawah), Tanjung Pura, Rendah
dan Jawa. Larangan ini mungkin atas permintaan Portugis, yang merebut Malaka pada tahun
1511 dan ingin menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda.

Sebelum memasuki abad ke-16, atau bahkan awal abad ke-15, umat Islam menyerbu wilayah
Sunda, terutama setelah Cirebon pada tahun 1415 M (Ekadjati, 1975: 87). Carita Purwaka
Caruban Nagar (dalam Tjandrasasmita, 2009: 92) melaporkan kedatangan orang Cina di
Cirebon sehubungan dengan ekspedisi Cheng Ho Pelabuhan asli disebutkan telah disinggahi
oleh kapal Cina, Arab, Persia, India, Malaka, Tumasik , Pase, Jawa Timur dan pedagang asing
lainnya. Madura dan Palembang. Penguasa atau pengelola pelabuhan saat itu adalah Ki Geden
Jumajan Jati. Secara terpisah, disebutkan juga bahwa komandan Cina Wai Ping dan Te Ho
mengunjungi pelabuhan Pasambangan selama tujuh hari, didampingi sejumlah pengawal.
Mereka sebenarnya sedang dalam perjalanan menuju Majapahit. Mereka membangun
mercusuar di pelabuhan dan Ki Gedeng Jumajan Jati memberi mereka garam, terasi, nasi
tumbuk, rempah-rempah dan kayu jati. Atja (1972:) menyimpulkan bahwa yang disebut Te
Ho adalah Laskamana Cheng Ho yang didampingi oleh Ma Huan dan Feh Tsin. Banyak orang
Tionghoa yang hidup pada abad ke-15 dan 16 M menerima Islam. Tahun Islam masuk ke
wilayah Jawa Barat dibawa oleh Haji Purwa, suku Garu yang masuk Islam dari saudagar Arab
di Gujarat. Kemudian Sheikh Kro, seorang Muslim dari Kampa. dan Sheif Datuk Kafi,
seorang Muslim Arab yang datang ke Tatar Sunda sebagai utusan raja Persia. Cirebon adalah
tempat pertama yang digunakan sebagai pemukiman Muslim. Dari tempat ini, Islam
menyebar ke bagian lain Jawa Barat. Ketiga tokoh di atas berperan sebagai pendiri agama
Islam di Cirebon. Penyebaran Islam di seluruh wilayah Tatar Sunda dikaitkan dengan
munculnya dua tokoh, Syarif Hidayat dan Fatahillah.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dakwah dan aktivitas budaya yang ada dan berkembang di
Jawa Barat sangat erat kaitannya. Perhelatan mahar di Jawa Barat selalu berada dalam
konteks budaya yang melingkupinya. Bagaimana para pelaku dakwah melakukan kegiatan
dakwah dan bagaimana para pelaku dakwah berperilaku selama acara dakwah selalu
membawa dan melibatkan konteks budaya yang ada. Ada korelasi kuat antara dakwah dan
budaya di Jawa Barat. Di satu sisi, dakwah terhubung dan bergantung pada budaya. Di satu
sisi, budaya juga memiliki keterkaitan dan kepentingan yang sama dengan dakwah. Ditinjau
dari pentingnya dakwah, hubungan dakwah dengan kebudayaan Jawa Barat dapat dijelaskan
dengan pola hubungan berikut ini.
Relasi Dakwah dan Budaya di Jawa Barat

Tak dapat disangkal, aktivitas dakwah dan budaya yang ada dan berkembang di Jawa Barat
memiliki keterkaitan yang sangat erat. Setiap peristiwa dakwah di Jawa Barat senantiasa
berada dalam konteks budaya yang mengitarinya. Bagaimana subyek dakwah melakukan
kegiatan dakwahnya dan bagaimana sasaran dakwah berperilaku di tengah peristiwa dakwah,
selalu membawa dan melibatkan latar budaya yang ada.

Di sini terjadi hubungan resiprokal yang kuat antara dakwah dan budaya di Jawa Barat. Di
satu sisi, dakwah memiliki keterkaitan dan ketergantungan pada budaya. Di sisi lain, budaya
pun memiliki keterkaitan dan kepentingan yang sama terhadap dakwah.

Dari sudut kepentingan dakwah, relasi dakwah dan budaya di Jawa Barat dapat digambarkan
dalam pola relasi seperti berikut:

1. Budaya Jawa Barat memiliki ``panduan'' untuk setiap acara Dakwah agar dilaksanakan
secara arif, bijaksana dan efektif guna memperoleh hasil yang optimal bagi
keseimbangan dan kemajuan masyarakat.
2. Ada juga semacam 'tanda' dalam budaya Jawa Barat yang harus diikuti agar kegiatan
dakwah tidak menemui hambatan dan berjalan secara efisien dan efektif.
3. Budaya Jawa Barat menawarkan berbagai materi dengan potensi besar untuk tingkat
kualitas dakwah untuk memaksimalkan keberhasilan dakwah itu sendiri.

Namun, dari perspektif kepentingan budaya, hubungan dakwah dan budaya di Jawa Barat
dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Budaya Jawa Barat dapat terus mengambil banyak pelajaran dari setiap kegiatan
dakwah untuk meningkatkan nilai budayanya.
2. Kegiatan dakwah dapat menjadi sumber inspirasi budaya Jawa Barat untuk tetap
lestari dan berkembang dalam percaturan dan persaingan budaya global yang semakin
ketat
3. Kegiatan dakwah, juga erat kaitannya dengan budaya Jawa Barat nilai-nilai
kemanusiaan, kebangsaan dan kemasyarakatan yang sejalan dengan nilai-nilai Islam
untuk mempercantik, menyelamatkan dan membahagiakan umat manusia.

Dengan demikian, hubungan antara dakwah dan budaya Jawa Barat tampaknya terjalin erat
secara saling menguntungkan, sinergis, dan koheren. Keduanya saling mendukung dalam
keberadaannya. Budaya Jawa Barat mendasari kelangsungan dan kesuksesan Dower. Di sisi
lain, dakwah sendiri mendukung kelangsungan dan pelestarian budaya Jawa Barat.
Pentingnya budaya Jawa Barat mencakup kualitas dan produktivitas proses. Budaya Jawa
Barat terkait dakwah tidak hanya pada tataran pelaksanaan dakwah tetapi juga pada tataran
produktivitas. Kedua tahapan dakwah ini sama-sama dipengaruhi oleh cara pandang Dawa
terhadap budaya Jawa Barat. Pentingnya budaya Jawa Barat dalam kegiatan dakwah
memanifestasikan dirinya dalam beberapa cara:
1. Bangga dengan budaya mereka.
2. Budaya lokal juga menentukan tujuan jangka pendek apa yang perlu ditetapkan
dalam kaitannya dengan kebutuhan dan kepentingan tujuan dakwah itu sendiri.
3. Budaya lokal menentukan bagaimana kegiatan dakwah dilakukan. Budaya lokal
harus dipertimbangkan ketika memilih metode dan teknik untuk mahar.
4. Budaya lokal memiliki potensi besar sebagai media dakwah yang beragam dan
sangat dihargai efektivitasnya dalam mensukseskan kegiatan dakwah.
5. Budaya lokal juga membantu menentukan materi apa yang disajikan pada acara-
acara Dower. Pentingnya budaya lokal dalam pemilihan material Dower dibuat
sesuai dengan budaya lokal dan dengan mempertimbangkan kebutuhan
masyarakat binaan Dower. Sebagaimana terlihat dari uraian di atas, budaya Jawa
Barat penting bagi Daawa. Ia mempengaruhi kualitas dakwah dari segi mutu
proses dan mutu produktifitas dakwah di Jawa Barat.

Pendekatan Dakwah Di Jawa Barat

Jawa Barat merupakan sebuah provinsi yang memiliki tingkat heterogenitas sosio-kultural
yang cukup tinggi, termasuk kondisi keagamaannya. Secara sosio- kultural misalnya, Jawa
Barat dihuni oleh berbagai kelompok suku yang ada di Indoensia dengan bahasa dan budaya
daerahnya masing-masing yang jumlahnya mencapai puluhan. Demikian pula dari segi
keagamaan, sekalipun Islam menjadi agama mayoritas yang dianut masyarakat, namun lima
agama besar lainnya, Kristen- Khatolik, Kristen-Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu,
dianut oleh sebagian masyarakat Jawa Barat.
Berkenaan dengan kenyataan ini, unsur penting yang dipertimbangkan dalam melakukan
pendekatan dakwah di Jawa Barat tidak lain adalah unsur budaya lokal masyarakat Jawa
Barat.

Secara historis, unsur-unsur budaya yang terdapat di Jawa Barat, sekalipun amat beragam,
utamanya dapat dikategorikan kepada dua macam, yakni kondisi sosial-budaya (suku, adat,
bahasa) dan pandangan religiusitas masyarakat Jawa Barat. Kedua unsur budaya ini kemudian
dikenal sebagai akar budaya lokal yang turut membentuk citra ke-Jawa Barat-an.

Secara lebih dalam, untuk melihat pentingnya pendekatan lokal seperti yang terjadi di Jawa
Barat ini dapat diajukan sebuah kenyataan bahwa tidak jarang hambatan-hambatan atau
bahkan kegagalan dialami oleh para perencana atau pelaksana dakwah karena proses dakwah
yang dilakukan berbenturan dengan nilai-nilai tradisional budaya setempat. Sehingga
akhirnya lebih banyak menimbulkan pertentangan daripada kesepakatan dan keharmonisan.
Keterkaitan Hal ini terutama terlihat ketika konsep-konsep keagamaan pertama kali
ditawarkan kepada kondisi sosial masyarakat yang baru, dan hal ini sering dipandang sebagai
kunci keberhasilan langkah dakwah selanjutnya.

Memang secara historis Islam telah berhasil merambah Nusantara, khususnya Jawa Barat.
Bongkar diri Anda dan gabungkan dengan agama baru yang ditawarkan kepada Anda.
Mampu memahami kondisi sosial budaya masyarakat. Contoh dari fenomena ini adalah
penyebaran Islam oleh Dewan Pemerintahan, terutama jika didukung oleh sikap toleran, arif,
tidak merusak dan akomodatif terhadap budaya yang berkembang di masyarakat. Pulau Jawa
dianggap sangat sukses dalam catatan sejarah. Pada akhirnya, tentu kunci keberhasilan
penyebaran Islam di tanah Jawa tidak lepas dari peran strategis metode dakwah yang
dipraktikkan para wali. Khotbah Islam yang dilakukan para wali tidak hanya bijak. Meski
sapaan penuh kasih sayang dan bahasa yang santun, mereka sangat toleran dan mudah
beradaptasi dengan budaya masyarakat yang berkembang. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa Islam hampir sepenuhnya merambah Jawa dalam waktu yang relatif singkat dan
diterima secara sosial.

Terkait dengan pemahaman budaya lokal tersebut, Sunan Kalijaga, misalnya, melakukan
pendekatan dakwah dengan cara yang populer, atraktif, dan sensasional, terutama ketika
berhadapan dengan publik. Karena cara berdakwahnya yang unik itulah ia menarik perhatian
dunia. Ada kerumunan dengan gamelan skaternya. Kerumunan kemudian berangsur-angsur
berubah menjadi acara Syahadat yang diadakan di Masjidil Haram, dengan gaya dan lagu
yang sangat khas, gamelan, sebuah komposisi instrumental yang terkenal di masyarakat.
Sebagai alternatif, ia juga menggunakan pertunjukan Wayang sebagai perkiraan karya yang
dimodifikasi, hanya meminta masyarakat untuk dengan gembira mengucapkan dua syahadat
sebagai hadiah. Demikian halnya dengan Sunan Kudus. Sapi yang eksentrik itu dihias
sedemikian rupa sehingga ia mengambil pendekatan khotbah. Karena sapi-sapi itu diikat di
taman-taman masjid, orang-orang yang saat itu masih beragama Hindu dikatakan
berbondong-bondong ke sana untuk menyaksikan perlakuan khusus dan aneh terhadap sapi-
sapi itu. Melihat sapi tidak marah pada Sunan Kudus telah membangkitkan minat dan simpati
masyarakat Hindu. Berdasarkan minat, perhatian dan simpati tersebut, mereka yang memeluk
agama Hindu berhasil masuk Islam oleh Sunan Kudus.

Dengan demikian, kemunculan Islam menyebabkan terjadinya pergolakan sosial atau


“transformasi” (transformasi) sosial menjadi sesuatu yang Islami, tidak memutus masyarakat
dari masa lalu. Akar budayanya. Memang dalam banyak hal Islam berfungsi untuk
melestarikan kebaikan dan keadilan masa lalu dan dapat dipertahankan dalam ujian ajaran
universal Islam. Dalam hal ini, Islam berurusan dengan masalah budaya lokal. kesempurnaan
estetika bila memungkinkan. Ditampilkan sebagai sosok yang damai, ia meninggalkan
pendekatan oposisi spiritual dan memungkinkan untuk benar-benar terjadi lintas budaya yang
positif antara unsur-unsur Islam dan budaya lokal.

Demikianlah Islam Di antara hasil positif yang dibawa oleh transformasi budaya timbal balik
antara lokal dan lokal. budaya lokal, banyak adat Jawa, termasuk yang ada di Jawa Barat,
konon isinya sedikit dan hanya kerangkanya saja. "islamisasi". Contoh paling menonjol, yang
masih kontroversial di kalangan sebagian umat Islam sendiri, adalah ritual berkabung bagi
mereka yang baru saja meninggal (setelah 3, 7, 100 dan 1000 hari), yang disebut 'Seramethan'.
. Ritual ini kemudian disebut juga dengan “Tahrilan”. Artinya membaca bersama-sama lafal
La Ilaha Illah Allah sebagai sarana efektif untuk menanamkan jiwa tauhid pada suatu
kesempatan dengan suasana kasih sayang yang membuat orang menjadi sentimentil dan
emosional. dan saran memfasilitasi pemahaman dan penerimaan ajaran.

Selanjutnya mengenai unsur budaya lokal dalam bentuk pandangan religiusitas masyarakat,
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari akar budaya masyarakat Jawa Barat secara
keseluruhan, perlu ditegaskan bahwa masyarakat Jawa Barat percaya bahwa kehidupan
manusia di muka bumi ini bukanlah suatu lingkaran tertutup yang tanpa ujung pangkal. Ia
berpangkal dari sesuatu yang berujung kepada sesuatu, yakni Tuhan, Pencipta dan Pemberi
kehidupan.

Model-model Dakwah di Jawa Barat


Salah satu model sering didefinisikan sebagai formula teoritis yang diungkapkan
dalam gaya simbolis. Atau sering dipahami sebagai generalisasi sederhana yang
mengungkapkan hubungan antara variabel-variabel fenomena tertentu atau sekumpulan
fenomena.
Secara umum, aktivitas manusia di dunia, termasuk dakwah, memerlukan rumusan-
rumusan teoritis untuk diungkapkan dalam gaya simbolik ini. Atau mintalah generalisasi
sederhana yang menunjukkan keterkaitan antar variabel untuk suatu fenomena atau
sekumpulan fenomena yang berkaitan dengan kegiatan dakwah.
Dengan rumus-rumus dan generalisasi yang sederhana ini, dakwah tidak hanya akan
mampu memperjelas ruang lingkup kegiatannya, tetapi juga mampu mengidentifikasi
variabel-variabel dan menunjukkan kemungkinan-kemungkinan hubungan di antara variabel-
variabel tersebut, angka ini dan dapat menginterpretasikan realitas untuk membangun teori.
teori dakwah.
Model dakwah yang berkembang di Jawa Barat pada umumnya didasarkan pada
asumsi bahwa faktor budaya penting dan menentukan keberhasilan pelaksanaan kegiatan
dakwah. Dengan demikian, model dakwah yang berkembang di Jawa Barat telah banyak
beradaptasi dengan model pendekatan budaya yang sudah mapan dan ada di Jawa Barat.
Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa pola dakwah yang berkembang di Jawa
Barat pada umumnya bersifat adaptif dan sesuai dengan budaya lokal yang beragam. Bahkan,
dalam beberapa kasus kegiatan dakwah di Jawa Barat diarahkan untuk mendorong terjadinya
transisi budaya yang semakin memperkuat keutuhan tatanan budaya asli yang ada sekaligus
mengembangkannya dalam kerangka struktur budaya yang bernilai positif, yaitu sesuai
dengan persyaratan misi dan persyaratan budaya lokal masyarakat setempat.
Adapun realitas model-model dakwah yang berkembang di Jawa Barat antara lain
sebagai berikut:
Pertama, model adaptif. Model ini dikembangkan atas asumsi bahwa setiap individu
sebagai peserta dakwah memiliki kemampuan untuk menyaring berbagai perilaku dan nilai
yang menyebabkan dirinya dipengaruhi oleh pihak lain.
Sebagai peserta dakwah, seorang individu dianggap memiliki kemampuan untuk
mengenali perilaku mana yang patut dicontoh dan mana yang tidak. Demikian juga dia
mengetahui nilai (norma) mana yang dapat diterima dan mana yang tidak.
Dengan demikian, proses dakwah terjadi secara alamiah, di mana setiap peserta
memiliki kebebasan untuk menyesuaikan diri dengan berbagai perilaku dan nilai yang ada.
Ketika peserta gagal mencapai hasil yang wajar, proses adaptasi berubah dengan sendirinya.
Sebaliknya, jika proses adaptasi mencapai hasil yang wajar, maka proses adaptasi akan terus
berlanjut, hingga pada akhirnya menimbulkan sikap pengabaian pribadi terhadap partisipan
lain atas dasar keyakinan yang sama.
Kedua, model interaktif. Model ini menggambarkan bahwa proses dakwah berlangsung secara
interaktif. Dimana masing-masing faktor tersebut berkaitan dengan kegiatan dakwah yaitu da'i
dan mad'u, tidak ada perbedaan status dan kedudukan, semuanya dianggap memiliki derajat
yang sama. Dalam prosesnya, masyarakat sasaran dakwah diposisikan pada tempat yang sama
dan sejauh sikap dan pandangan hidup mereka dihormati, norma dan adat mereka
dipertahankan. Agar proses dakwah tidak hanya efektif, tetapi juga dapat menciptakan sinergi
yang lebih esensial antara misi dakwah dengan budaya yang ada.

Ketiga, model integratif, dikembangkan berdasarkan asumsi tentang realitas


pluralisme budaya dalam masyarakat. Model ini menggambarkan bahwa proses dakwah
berlangsung di tengah kompleksitas budaya masyarakat. Setiap individu dalam masyarakat
yang menjadi sasaran dakwah memiliki kesadaran akan budaya nya masing-masing. Setiap
individu juga mencoba untuk memperkenalkan variabel budaya dan sistem nilai mereka
sendiri.

Berdasarkan kondisi tersebut, proses dakwah berkembang dalam suasana saling


menghormati dan ruang bagi seluruh unsur budaya yang ada dalam masyarakat. Model
dakwah terpadu memandang realitas masyarakat sebagai sebuah kaleidoskop besar. Setiap
unsur budaya tidak hanya diberi ruang dan kesempatan, tetapi juga didorong untuk tumbuh
dan berkembang dalam konteks yang lebih luas.

Dengan demikian, model ini lebih menekankan pada bagaimana proses dakwah
memposisikan dirinya sebagai pengayom dan penerang bagi seluruh elemen budaya yang ada
di masyarakat. Melalui proses evolusi yang dipandu dengan baik oleh berbagai kegiatan
dakwah, tumbuh dan berkembangnya faktor-faktor budaya dalam masyarakat ini pada
akhirnya akan bermuara pada puncak evolusi budaya yang bernilai tinggi dan sejalan dengan
visi misi dakwah.
Daftar Pustaka

Djajadiningrat, R.A. Husein. 1983. Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten; Sumbangan bagi
Pengenalan Sifat-sifat Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Djambatan KITLV.

Ekadjati, Edi S. 1975. “Penyebaran Agama Islam di Jawa Barat”, dalam Teguh Asmar et al.
Sejarah Jawa Barat; dari Masa Pra-Sejarah hingga Masa PenyebaranAgama Islam.
Bandung: Proyek Penunjang Penigkatan Kebudayaan Nasional Provinsi Jawa Barat, hlm. 82 –
107.

Tjandrasasmita, Uka ed. 1993. “Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan


Islam di Indonesia”, dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto.
Sejarah Nasional Indonesia. Edisi ke-4. Cetakan ke-18. Jakrta: Balai Pustaka.

AG, Muhaimin. 2002. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal; Potret dari Cirebon. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai