Anda di halaman 1dari 24

43

BAB III

PERKEMBANGAN ISLAM DAN DESKRIPSI MUSHAF AL-QUR’AN

A. Sejarah Masuknya Islam diNusantara


Teori pertama tentang datangnya Islam di Nusantara menyatakan bahwa Islam
dibawa ke Nusantara oleh para pedagang yang berasal dari Arab/Timur Tengah.
Teori ini dikenal sebagai teori Arab, dan dipegang oleh Crawfurd, Niemann, de
Holander. Bahkan Fazlur Rahman juga mengikuti mazhab ini.1
Pada abad 7 masehi, Islam sudah sampai ke Nusantara. Para Da’i yang datang
ke Indonesia berasal dari jazirah Arab yang sudah beradaptasi dengan bangsa
India yakni bangsa Gujarat dan ada juga yang telah beradaptasi dengan bangsa
Cina, dari berbagai arah yakni dari jalur sutera (jalur perdagangan) dakwah mulai
merambah di pesisir-pesisir Nusantara.2 Sejak awal Islam tidak pernah membeda-
bedakan fungsi seseorang untuk berperan sebagai dai (juru dakwah). Kewajiban
berdakwah dalam Islam bukan hanya kasta (golongan) tertentu saja tetapi bagi
setiap masyarakat dalam Islam. Sedangkan di agama lain hanya golongan tertentu
yang mempunyai otoritas menyebarkan agama, yaitu pendeta. Sesuai ungkapan
Imam Syahid Hasan Al-Bana“Nahnu du’at qabla kulla syai” artinya kami adalah
dai sebelum profesi-profesi lainnya.3
Teori tentang Gujarat asal Islam di Nusantara di katakan oleh Azra yang dia
kutip dari Marrison, bahwa teori ini terbukti mempunyai kelemahan-kelemahan
tertentu. Ini dibuktikan oleh Marrison, meski batu nisan yang ditemukan di
tempat-tempat tertentu di Nusantara boleh jadi berasal dari Gujarat itu tidak lantas
Islam berasal dari sana. Bahwa pada masa islamisasi Samudra Pasai, yang raja
pertamanya wafat pada 1297, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Barulah
setahun kemudian 1298, Gujarat ditaklukan oleh kaum Muslim. Jika Gujarat
adalah tempat pusat Islam, maka pastilah Islam di Gujarat lebih mapan dan
1
Ihsan Fauzi Rahman, Sejarah Awal Masuknya Islam ke Indonesia, Pdf, hal. 1
2
Azyumardi Azra, JARINGAN ULAMA (Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII & XVIII), Jakarta: Kencana Prenada Media, 2013,hal. 3
3
Ihsan Fauzi, Op.Cit, hal. 1
44

berkembang sebelum kematian sultan Malik as-Shaleh, tegas Marrison. Meski


Muslim laskar Muslim menyerang Gujarat bertubi-tubi pada tahun 1024, 1178,
dan 1197, akan tetapi raja Hindu Gujarat mampu mempertahankan kekuasaannya
hingga tahun 1297.4
Nughaib al-Atthas sangat menentang keras bahwa Islam yang datang ke
Nusantara berasal dari Gujarat, dia sangat gigih bahwa Islam yang berada di
Nusantara berasal dari Arabia. Lebih lanjut bahwa teori Islam Nusantara berasal
dari Arabia seperti yag dikatakan Moquette ia berpendapat, batu-batu nisan itu
dibawa dari India semata-mata karena jaraknya yang lebih dekat ketimbang
Arabia. Al-Atthas menyimpulkan, sebelum abad 17 seluruh literatur keagamaan
Islam yang relevan tidak mencatat satu pengarang Muslim India, atau arya yang
berasal dari India. Pengarang yang di pandang kebanyakan sarjana Barat sebagai
berasal dari Arab atu persia, dan bahkan apa yang disebut berasal dari Persia pada
akhirnya berasal dari Arab.5
Pada abad 13 M hingga 16 M merupakan bentangan waktu terjadinya proses
sosialisasi Islam di Nusantara. Dalam waktu yang bersamaan di abad 13 terjadi
degradasi pusat-pusat peradaban Islam di Timur Tengah dan Asia Tengah akibat
serangan dari bangsa Mongol (Tartar).6 Kondisi tersebut menjadikan aktifitas
penyebaran para ulama, pelayaran dan perdagangan internasional melalui wilayah
Nusantara semakin pesat. WilayahNusantara terutama di bagian pesisir, lebih
cepat mengadakan hubungan dengan para pedagang ataupun pelayar Islam. Dari
hubungan tersebut telah membawa dampak positif baik sosial maupun budaya
bagi masyarakat setempat.7
Di saat yang bersamaan pula berdirilah kerajaan-kerajaan Islam diberbagai
penjuru di Nusantara. Yang merupakan moment kebangkitan kekuatan politik
umat Islam khususnya didaerah Jawa ketika kerajaan Majapahit berangsur-angsur
mulai menurun wibawanya di mata masyarakat karena konflik internal. Hal ini
dimanfaatkan oleh Sunan Kalijaga yang membina di wilayah tersebut bersama
4
Azra, Op.Cit, hal. 5
5
Ibid, hal. 8-9
6
Zaenal Masduqi, Cirebon Dari Kota Tradisional Ke Kota Kolonial, Cirebon: Nurjati
Press, 2011, hal. 1
7
Ibid.
45

Raden Fatah yang merupaka keturunan raja-raja Majapahit untuk mendirikan


kerajaan Islam pertama di pulau Jawa yaitu kerajaan Demak. Bersamaan dengan
itu mulai bermunculan pula kerajaan-kerajaan Islam yang lainnya, seperti
Kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Cirebon, dll. walaupun masih bersifat lokal.8

B. Sejarah Masuknya Islam di Cirebon


Seiring dengan berjalannya waktu, telaah atas sejarah Islam masuk ke
nusantara hingga kini masih menjadi bahan perdebatan banyak kalangan aktivis
sejarawan, apakah melalui para pedagang Arab, seperti dikatakan oleh Nughaib
al-Atthas, atau proses islamisasi tersebut lebih banyak dilakukan oleh pedagang
India (Gujarat), sebagaimana dikatakan oleh Snouck Horgronje.9
Terlepas dari perdebatan teori Islam masuk wilayah Nusantara tersebut, Islam
di Cirebon menurut berbagai sumber lokal, semacam tradisi lisan, Babad Cirebon,
atau yang lainnya, berawal dari putra seorang Raja Sunda, Pangeran Cakrabuana
(Walangsungsang) beserta istrinya (Indangayu) dan adiknya, Nyai Rarasantang
yang belajar Islam kepada Syekh Nurjati. Setelah itu, keduanya diperintah untuk
melakukan ibadah haji ke Mekah. Adiknya kemudian menikah dengan seorang
ulama setempat, dan Cakrabuana kembali ke tanah Sunda. Cakrabuana lalu
diminta ganti nama oleh gurunya, dengan sebutan Ki Samadullah atau H. Mansur
untuk membuka daerah baru dengan nama Caruban (kini, Cirebon).10
Sumber histiografi tradisional terutama naskah Babad Cirebon, menceritakan
bahwa pendiri kerajaan Cirebon adalah Sunan Gunung Jati. Cirebon pada
mulanya adalah sebuah desa nelayan yang tidak berarti, pada awalnya bernama
Dukuh Pasembangan.11 Sekarang, Dukuh Pasembangan terletak kurang lebih 5
KM sebelah utara Kota Cirebon, sedangkan Kota Cirebon yang sekarang ini
dahulunya adalah bernama Dukuh Lemah Wungkuk, suatu Desa dimana Ki
Gedeng Alang-Alang membuat pemukiman muslim. Tokoh ini kemudian

8
Ihsan Fauzi, Lok.Cit, hal. 1
9
Azra, Lok.Cit, hal. 3
10
Mahrus el-Mawa, NASKAH SYATTARIYAH CIREBON: Riset Awal dalam Konteks
Jejaring Islam Nusantara, Pdf, hal. 317 (makalah ini penulis dapat dari Annual Conference on
Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 November 2010 (ACIS) Ke - 10)
11
Zaenal, Lok. Cit, hal. 3
46

diangkat oleh pemerintah Pajajaran menjadi kepala dukuh dengan gelar Kuwu,
sedangkan Wakilnya adalah Cakrabumi.12
Cirebon secara geografis terletak ditepian pantai utara Jawa, yang dilengkapi
dengan sungai-sungai yang sangat penting peranannya sebagai jalur transportasi
ke pedalaman yang letaknya di sekitar Pelabuhan Cirebon yaitu, Sungai Cimanuk,
Kesunean, dan Cilosari. Kondisi yang sperti ini sebenarnya berpotensi menjadi
kota yang sangat maju karena letaknya yang strategis. Akan tetapi tidak dengan
Cirebon. Pada masa itu Cirebon belum menapilkan sebuah kota yang berarti, ia
sekedar menjadi wilayah bawahan sebagian dari kerajaan Hindu pajajaran.
Sebelum masuknya Islam, Cirebon telah dihuni oleh beberapa penduduk dan telah
ada beberapa bentuk pemerintahan walaupun masih sederhana, 13 sehingga
datanglah Mentri utusan Raja Galuh ke Cirebon dan pada waktu itu pula
disusunlah pemerintahan di Cirebon dan menetapkan Ki Gedeng Alang Alang
menjadi Kuwu Cirebon pertama kali.14
Cirebon pada mulanya adalah desa para nelayan yang bernama Desa
Pesambangan (yang sekarang menjadi komplek Astana Gunung Jati). Setiap hari
ramai oleh para pedagang yang berdatangan. Sebelah timur terdapat pelabuhan
pertama di Cirebon yaitu, Muara Jati. Pelabuhan tersebut banyak di datangi oleh
para pedagang dari luar daerah bahkan dari manca Negara. 15 Adapun lemah
Wungkuk adalah merupakan tempat Ki Kuwu mendarat setelah mencari rebon
dari laut, rebon tersebut berupa udang-udang kecil untuk bahan baku pembuatan
terasi.16
Islam sebagai Agama baru di Cirebon telah diperkenalkan beberapa waktu
sebelum kedatangan Sunan Gunung Jati. Tokoh-tokoh yang mengawali
memperkenalkan Islam di Cirebon diantaranya adalah H. purwa (1337 M). ia
merupakan pemeluk Islam pertama di tanah Cirebon dan penyebarannya di

12
P.S. Sulendraningrat, Babad Tanah Sunda Babad Cirebon, Tp, Tt, hal. 12-14
13
Zainal, Op.cit, hal. 9-10
14
Sulendraningrat, Op.Cit, hal. 14
15
Zainal, Op.cit, hal. 12
16
Ki Kampah, Babad Cirebon Carub Kanda Naskah Tangkil, (Alih Aksara. Bambang
Irianto, Ki tarka Suta Raharja), Edit. Muh. Muhtar zaedin, Panji Darussalam, Yogyakarta:
Deepublish, 2013, hal. 211
47

Cirebon Girang.17 Sementara di daerah pesisir mendarat seorang juru dakwah dari
Mekkah yang bernama Syeh Nur Jati berserata pengikutnya yang kemudian
disusul 4 orang juru dakwah dari Baghdad anak Sultan Maulana Sulaiman.
Keempat anak Sultan tersebut diutus oleh Syeh Juned agar pergi ke tanah Jawa
tepatnya di Cirebon untuk berguru kepada Syeh Nur Jati.18
Keempat anak Sultan terdiri dari tiga laki-laki dan satu perempuan. Pertama,
syarif Abdurrahman adalah soerang pemimpin pembuat kerajinan, seperti
keramik, genteng, bata dari tanah liat yang disebut dengan Pangeran Panjunan,
yang sekarang disebut dengan Desa Panjunan. Kedua, Syarif Kafi dan Siti
Baghdad yang berdiam di Gunung Jati bersama gurunya (Syeh Nur Jati) dengan
mengajarkan al-Qur`an kepada masyarakat setempat, maka disebut dengan syeh
Datuk Kafid. Ketiga, Syarif Abdurrahim, dia menjabat sebagai jaksa untuk
mengurus agama dan drigama (urusan duniawi) karenanya dia dijuluki dengan
sebutan Pangeran Kejaksan.19

C. Perkembangan Islam di Cirebon


Islam mengalami perkembanganyang menggembirakan di Cirebon ketika
penyebarannya dilakukan oleh Syarif Hidayatullah atau yang biasa dikenal dengan
sebutan Sunan Gunung Jati. Pada era Sunan Gunung Jati dapat dikatan sebagai era
keemasan perkembangan Islam di Cirebon atau disebut dengan (golden age).20
Sebelum Sunan Gunung Jati memimpin Cirebon, Cirebon di pimpin oleh
Pangeran Cakrabuana (1447-1479)21 yang merupakan rintisan pemerintahan
berdasarkan asas Islam. Kemudian pada tahun 1479 tampuk pemerintahan baru
diserahakan kepada keponakannya (Syarif Hidayatullah), dengan gelar “Ingkang
Sinuhun Sunan Jati Purba Wisia Panetep Panagama Awliyah Khalifatur
Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam”.22Kesultanan Islam Cirebon berada di

17
Zainal, Op.cit,.
18
Sulendraningrat, Op.Cit, hal. 22
19
Sulendraningrat, ibid.
20
Mahrus el-mawa, Rekontruksi Kejayaan Islam di Cirebon Studi Historis Pada Masa
Syarif Hidayatullah (1479-1568), makalah diajukan sebagai kandidat Doktor Filologi di
Departemen Susastra FIB UI Depok , hal. 2
21
Sulendraningrat, Op.Cit, hal. 35
22
Zainal, Op.cit, hal. 13
48

Keraton Pakungwati. Di Istana itulah Sunan Gunung Jati memulai membangun


dan mengembangkan Kesultanan Cirebon. Pada masa perintahannya yang lama 89
tahun, banyak perubahan kebijakan yang menyangkut agama, sosial, politik, dan
budaya serta merasakan berbagai situasi dari masa sulit hingga masa kejayaan.
Pada periode ini pula di daerah Eropa terjadi renaissance. 23Dalam catatan
sejarah, renaisans adalah periode yang berlangsung dalam kurun waktu 25-50
tahun dan puncaknya pada tahun 1500. Era renaisans tersebut bukan sekedar
kehidupan yang cemerlang di bidang seni, pemikiran, maupun kesusasteraan yang
mengeluarkan Eropa dari kegelapan intelektual Abad Pertengahan, tetapi juga
suatu revolusi budaya.24 Gerakan yang mula-mula lahir di Italia, lalu Perancis,
kemudian Jerman, lalu diikuti oleh kaum awam Eropa dimana-mana. Seperti yang
dikatakan oleh Zuhri yang dia kutip dari Encyclopaedia Britannica 19.
“Adapun sebab utama lahirnya Renaissance itu karena keterkejutan orang-
orang Eropa menyaksikan ambruknya imperium Romawi Timur oleh kaum
Muslimin, terutama dengan peristiwa jatuhnya Konstatinopel yang
menyebabkan penaklukan Kerajaan Turki atas Romawi Timur atau Bizantiyum
pada tahun 1453”25

Era renaissance menjadi babak baru bagi orang Eropa yang menjadikan lautan
sebagai jalan utama menuju kehidupan yang baru. Laut dan samudra mereka
seberangi sehingga mereka menyinggahi tanah-tanah dan pulau-pulau, lau mereka
jadikan tanah jajahan.Tatkala pertama kali Columbus pertama kali melakukan
ekspedisi laut pada tahun (1492-1493) dia menemukan benua Amerika. 26 Dari
pelayaran itu pemikirannya dikemukakan Nicolas Kopernick (Copernicus) pada
era tersebut bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, bukan sebaliknya.27
Langkah awal paling bersejarah yang diambil oleh Sunan Gunung Jati dalam
kepemimpinannya adalah pada tahun 1483 menghentikan pengiriman upeti garam
23
Renaissance dalam bahasa prancis arti harfiahnya adalah kelahiran kembali. Akan tetapi
arti yang di maksud sangatlah luas, ialah zaman perubahan di Eropa dalam ranah sejarah, polotik,
dan kebudayaan. Arti yang lebih luasnya lagi, timbulnya revolusi pandangan hidup orang-orang
Eropa dari zaman pertengan ke zaman barunya melalui proses zaman peralihan yang sangat cepat.
Saefudin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Bandung: Pt. Al-
maarif, 1981, cet. Ke-3, hal. 451
24
Mahrus, Rekontruksi.., Op.Cit, hal. 3
25
Saefudin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam, ibid.
26
Saefudin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam, Op. Cit, hal. 452
27
Mahrus, Rekontruksi.., ibid.
49

dan terasi yang tiap tahun harus dikirimkan ke ibukota Pakuan Pajajaran, sebagai
persembahan dan tanda tkluknya Cirebon kepada Pajajaran. Dengan demikian
Cirebon sejak saat itu yang dibawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati menjadi
negara yang merdeka dan tidak lagi brada dibawah naungan Pajajaran yang
notabennya kerajaan Hindu.28 Untuk mengantipasi serangan dari Pajajaran dan
memelihara keamanan Negara maka dibentuklah pasukan keamanan yang disebut
dengan pasukan jaga baya, dengan komandan tertingginya dipegang oleh
Tumenggung, yang jumlah dan kualitasnya memadai, baik untuk ditempatkan di
pusat kerajaan, di pelabuhan maupun di wilayah-wilayah yang dikuasai.29
Masa-masa paling sulit, bagi Syarif Hidayat karena proses Islamisasi secara
damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa
Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external
dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.Raja Pakuan di awal
abad 16, seiring dengan masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa
mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah
berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam
kekuasaan Pakuan. Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam
membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan
Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari
wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk
menjadi istri Pati Unus yang ke 2 di tahun 1511. Kegagalan expedisi jihad II Pati
Unus yang sangat fatal di tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak
Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus
Pasai(belakangan dikenal dengan nama Fatahillah), untuk menggantikan Pati
Unus yang syahid di Malaka, sebagai panglima berikutnya dan menyusun strategi
baru untuk memancing Portugis bertempur di P. Jawa.30
SyarifHidayat lahir di Mekkah tahun 1448 Masehi, meninggal di Cirebon
tahun 1568 M pada usia 120 tahun dimakamkan di komplek Astana Gunung
Sembung. Antara tahun 1479-1568 Syarif Hidayat memegang kekuasaan
28
Zainal, Op.cit, hal. 13
29
Ibid.
30
Ihsan Fauzi, Op.Cit, hal. 26
50

diCirebon sebagai kepala negara dan kepala agama dengan luas wilayah 31 meliputi
hampir seluruh Tanah Sunda bagian utara. Akan tetapi sejak 1528-1552
kekuasaan kenegaraan diwakilkan kepada puteranya, Pangeran Pasarean; dan
setelah puteranya wafat dari tahun 1552 hingga 1570 kekuasaan diwakilkan
kepada Fadhilah Khan.32 Diantara bangunan peninggalannya adalah Masjid
Agung Sang Cipta Rasa yang dibangun pada tahun 1480, dengan arsitek Raden
Sepat, mantan arsitek bangunan Majapahit yang dibantu oleh Sunan Bonang dan
Sunan Kali Jaga yang terkenal dengan Soko Tatalnya. Sekitar tahun 1483 Sunan
Gunung Jati memperluas dan melengkapi Keraton Pakungwati yang kemudian
pada masa pemerintahan Mertawijaya menjadi Keraton Kasepuhan dan banguna-
bangunan pelengkap dan dibangunnya tembok keliling seluas kurang lebih 20
hektar. Kemudian fasilitas yang lainnya, seperti pelabuhan pangkalan perahu
kerajaan, kemudian fasilitas pelayaran di pelabuhan Muara Jati seperti mercusuar
dan bengkel perbaikan kapal. Membuka pelabuhan baru yang diberi nama
pelabuhan Talang, yang berlokasi di pelabuhan Cirebon sekarang.33
Sepeninggal Sunan Gunung Jati, tahta kerajaan jatuh kepada cicitnya yang
bernama Pangeran Emas. Setelah naik tahta bergelar dengan Panembahan Ratu
Cirebon.34Kekarismaan kepemimpinan Sunan Gunung Jati yang terletak pada
perpaduan antara raja yang dihormati karena keulamaannya dan seorang da’i
masih terlihat pada sosok Panembahan Ratu I. Ia memerintah Cirebon kurang
lebih 79 tahun (1570-1649). Setelah beliau wafat diteruskan oleh cucunya
Pangeran Girilaya yang bergelar Panembahan Ratu II.
Tahun 1662 pada masa Panembahan Ratu II (Girilaya), Pakungwati terbagi
menjadi dua kesultanan; daerah Panembahan Sepuh (Kasepuhan), dan daerah

31
Wilayah bawhan kerajaan Cirebon hingga tahun 1530 sudah meliputi lebih dari separo
Provinsi Jawa Barat sekarang, dan dihuni oleh banyak penduduk. Sekalipun demikian sebahagian
penduduk masih beragama non Islam. Hal tersebut akan menimbulkan bahaya bagi kelangsungan
hidup kerajaan Cirebon yang berdasarkan agama Islam. Zainal, Op.cit, hal. 14. Lihat juga buku,
Unang Sunardjo, Masa Kejayaan Kerajaan Cirebon Kajian dari Aspek Politik dan Pemerintahan,
(Cirebon: Yayasan keraton Kasepuhan Cirebon, tt).
32
Nina H. Lubis, dkk., Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, Tp, Tt, hal. 21-22
33
Zainal, Op.cit, hal. 14-15
34
Bambang Irianto, Ki Tarka Suta Rahardja, Sejarah Cirebon Naskah Keraton
Kacirebonan Alih Aksara dan Bahasa Teks KCR 04, edit, M. Muhtar Zaedin, Panji Darussalam,
(Yogyakarta: deepublish), 2013, hal. 63
51

Panembahan Anom (Kanoman). Kasepuhan berkedudukan di Pakungwati, dan


Kanoman menempati kraton baru bekas istana Panembahan Cakrabuana.
Pembagian wilayah kesultanan tersebut berdasarkan kesepakatan yang difasilitasi
oleh kesultanan Jogjakarta dan Banten untuk Samsuddin Mertawijaya (1677-
1697) dan Badruddin Kartawijaya (1677-1703).35Dan pada tahun yang sama putra
ketiga menuntut haknya, dan oleh Banten diberikan haknya menajdi Panembahan
Cirebon pertama.
Tahun 1700 Belanda mulai berdatangan ke Cirebon kemudian orang-orang
Cina mereka menjadikan cirebon sebagai home industri. Kedudukan Belanda di
Cirebon tidak lepas dari Mataram yang sebagai raja yaitu Pakubuwono I, karena
atas jasanya telah membantu Mataram diberilah wilyahnya yaitu Cirebon beserta
bawahnnya. Dari sinilah kekuatan Cirebon mulai melemah karena adanya campur
tangan oleh Belanda. Sultan-sultan Cirebon tidak lagi memiliki kekuasaan dalam
mengatur pemerintahan. Sultan-sultan telah bergeser menjadi penguasa secara
budaya semata. Kegiatan-kegiatan keagamaan selalu diawasi oleh Belanda,
kondisi inilah Cirebon dengan keratonnya tidak lagi sebagai pusat keagamaan.
Para abdi dalem atau warga keraton dan bangsawan yang tidak sepaham dengan
keraton yang tunduk dengan politik Belanda, mereka lebih memilih keluar dari
keraton dan mendirikan pesantren-pesantran atau rumah pusat agama dan pusat
kekuatan baru untuk melawan Belanda.36

D. Keraton Kacirebonan dan Mushaf Al-Qur`an Kuno


Bersamaan dengan kedatangan Belanda (sebagai penjajah) yang menguasai
Cirebon, Kesultanan Kanoman terbagi lagi menjadi dua kraton; Kanoman dan
Keprabonan. Terakhir, Kesultanan Cirebon terbagi pada masa Sultan IX yang
bernama Sultan Anom Muhammad Kaeruddin. Saat itu, Kasultanan Kanoman
terbagi menjadi dua lagi; Kanoman dan Kaceribonan. Dari pelbagai dinamika
35
Mahrus, Rekontruksi.., hal. 4
36
Beberapa pesantren di Cirebon yang bernilai sejarah yaitu, pesantren Benda, Buntet,
Gedongan, Ciwaringin, Kempek. Menurut catatan Kartani yang dikutip oleh zainal, Pesantren
tertua di Cirebon didirikan pada tahun 1750 oleh KH. Muqoyyim di Buntet. Berikutnya pondok
Pesantren Babakan Ciwaringin didirikan oleh seorang pangeran Kanoman yang menyingkir, P.R.
Muhammad Alimuddin, yang lebih dikenal dengan sebutan K. Ali pada tahun 1807 dan Pondok
Pesantren Kempek didirikan pada tahun 1808 oleh KH. Garun. Zainal, Op.cit, hal. 28
52

Kraton tersebut, Pudjiastuti mencatat sisi positif dari perpecahan Kesultanan


Cirebon, yaitu telah terjadi perubahan progresif dalam kesusteraan setiap kali
muncul Kraton baru. Di situlah kesusasteraan tumbuh maju dan berkembang.
Artinya, situasi pernaskahan di kraton itu sangat bergantung dengan
perkembangan dari kraton sendiri.37
Ketika keraton Kanoman di pimpin oleh pangeran Khaerudin terdapat
peristiwa penting yang harus di ingat dalam perjalanan keislaman di Cirebon,
Peristiwa itu adalah Kyai Muqoyim menjadi penghulu Kraton. Sementara di
Kraton Kasepuhan, penghulu yang dianggap penting adalah Kyai Anwaruddin
Kriyan. Muqoyim dan Kriyan adalah beberapa tokoh ulama pendiri Pesantren
BuntetCirebon.38
Kacirebonan yang didirikan oleh pangeran Muhammad Khaeruddin pada tahun
1808 M, perkembangan Islam di Nusantara khususnya di Cirebon sudah sangat
pesat, hususnya dalam bidang Al-Qur’an. Muhammad Khaerudin sendiri adalah
santri dari mbah Muqoyyim pendiri pesantren Buntet. Menurut cerita yang
beredar Setelah Sultan Khaeruddin wafat (1798), putranya yang bernama
Pangeran Raja Kanoman (Pangeran Mohammad Khaeruddin II), melihat keadaan
keraton yang semakin kacau, dan bangsa Belanda semakin merajalela, campur
tangan dalam berbagai segi, baik menyangkut kasultanan maupun masalah-
masalah yang berkaitan dengan agama, sehingga beliau memilih pergi
meninggalkan keraton dan bergabung dengan gurunya, Kyai Muqoyyim (yang
lebih dikenal dengan sebutan Mbah Muqoyyim) di Buntet. Pangeran Raja
Kanoman tidak dinobatkan menjadi Sultan di Keraton Kanoman oleh Belanda
karena Pangeran Raja Kanoman dianggap sangat berbahaya dan membangkang.
Belanda memilih menobatkan Pangeran Abusoleh Imanuddin. Semenjak itu
rakyat Cirebon memberontak dan terjadi kericuhan-kericuhan, rakyat meminta
agar Pangeran Raja Kanoman diangkat menjadi Sultan.

37
Ibid.
38
Mahrus El-Mawa, Naskah Kuna dan Trend Studi Islam Mengungkap Naskah Kuna
Koleksi Masyarakat Cirebon: Sebuah Catatan Filologis sebagai Trend Studi Islam di PTAI, tp, tt,
hal. 5
53

Pada waktu pembuangan Pangeran Raja Kanoman ke penjara Victoria Ambon,


Belanda menganggap permasalahan sudah selesai, karena salah satu tokoh
utamanya tidak ada lagi. Tetapi tindakan tersebut malah membuat rakyat semakin
memberontak, perlawanan semakin besar. Dalam pemberontakan tersebut para
ulama mendesak dan menginginkan agar Pangeran Raja Kanoman dipulangkan
dari tempat pembuangannya, serta menuntut supaya Pangeran Raja Kanoman
diangkat sebagain Sultan Cirebon. Perlawanan tersebut dinamakan Perang Santri
yang terjadi pada tahun 1803-1806 M.39
Akhirnya Belanda mengembalikan Pangeran Raja Kanoman ke Cirebon pada
tahun 1808 M. Setibanya di Cirebon, Pangeran tersebut tidak pulang ke keraton,
tetapi menetap di Blok Lebu Kampung Sunyaragi, dekat Gua Sunyaragi. Pada
tanggal 13 Maret 1808 M, Pangeran Raja Kanoman diangkat menjadi Sultan
dengan gelar Sultan Amiril Mukminin Mohammad Chaeruddin II sebagai Sultan
Kacireboanan.40
Dalam konteks penyebaran dan perkembangan Islam, keberadaan Mushaf Al-
Qura`an kuno menjadi sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Mushaf adalah bagian
penting dalam proses awal pengenalan Islam kepada masyarakat Cirebon, karena
Al-Qur’an adalah pedoman utama keimanan bagi umat Islam. Namun demikian,
pengenalan Al-Qur’an tentu dilakukan setelah persoalan keimanan yang lebih
mendasar seperti ketahuidan.
Al-Qur’an dalam praktiknya digunakan untuk mengenal ajaran Islam lebih
mendalam, karena Al-Qur’an adalah salah satu rukun iman yang wajib diimani
bagi umat Islam. Penulisan mushaf kuno ini, baik menggunakan kertas daluwang
ataupun kertas Eropa sudah dimlai sejak abad ke-16 M. Sejumlah ahli
memperkirakan penyalinan mushaf kuno sudah dilakukan pada masa awal
masuknya Islam di Nusantara husunya di Cirebon. Dan seterusnya berlangsung
hingga abad 19 M. Ketika penggunaan mesin cetak mulai dikenal, baik
menggunakan cetak batu (litografi) maupun mesin, maka proses penyalinan
menggunakan tulis tangan mulai terpinggirkan. Perkembangan teknologi cetak

39
http://kasultanankacirebonan1.blogspot.co.id/, di unduh pada tgl, 15 Desember 2016.
40
Agus, wawancara di lakukan pada tgl, 13 November 2016, jam 10.10
54

litografi sudah merambah ke Nusantara menjelang pertengahan abad 19 M, pada


saat itulah penulisan Al-Qur’an mulai ditinggalkan.41
Pada rangkaian penyalinan mushaf, baik tulis tangan maupun cetak, tampak
bahwa sebahagian besar qiraat yang digunakan adalah qiraat Hafṣ an Ᾱsim.
Pengguanaan qiraat ini pada proses selanjutnya semakin kokoh dan terjadilah
penyeragaman, bahkan hingga teknologi percetakan sudah semakin maju dan
modern.terlebih pemerintah Indonesia melauli Lajnah Pentashihan Mushaf Al-
Qur’an Kementerian Agama menjadikan qiraat ini sebagai rujukan utama resmi
seluruh mushaf Al-Qur’an yang terbit dan beredar di Indonesia. Namun sbelum
kesragaman qiraat menguat, ulama dan para penyalin mushaf masa
lalusesunggunya telah mengenal qiraat lain, dan bahkan menjadikan salah satu
qiraat tujuhsebagai tulisan resmi mushaf atau tulisan resmi menggunakan Hafṣ an
Ᾱsimkemudian dalam catatan pias dicatatkan qiraat selain Hafṣ an Ᾱsim.
Pada perjalanannya ragam bacaan (qiraat) telah berkembang di Cirebon sejak
syekh quro’42 menyebarkan Islam di Jawa Barat kemudian dilanjutkan oleh salah
satu pangeran dari Irak yang bernama syarif kafi yang mengajarkan Al-Qur’an
kepada masyarakat, yang kemudian dijuluki dengan nama Syekh Datuk Hafidz.43
Perjalanan ulama di Nusantara sebelum masa kesultanan Kanoman Khaerudin
I, telah banyak ulama besar di negeri ini. Diantaranya, Nuruddin Ar-Raniri di
Aceh, Abdul Rauf Al-Sinkili di Aceh, dan Muhammad Yusuf Al-Maqassari di
Makassar dan Baten. Mereka semua adalah ulama Nusantara yang ahli Al-Qur’an,
ahli fiqih, ahli hadits, dan yang lainnya. Diceritakan Yusuf Al-Maqassar ketika
berada di Banten banyak memberi pengajaran Agama, terutama dalam Al-Qur’an
dan tafsir, diantara muridnya di Banten ialah Abd Al-Muhyi dan mbah Muqoyyim
Cirebon.

41
Abdul Hakim, Al-Qur’an Cetak di Indonesia: Tinjauan Kronologis Pertengahan Abad
ke- 19 hingga Awal Abad ke-20, dalam Jurnal Suhuf, Vol. 5, No. 2, 2012, hal. 233
42
Bernama Syekh Hasanuddin putera Syekh Yusuf Sidik. Ia seorang ulama terkenal di
Cempa. Syekh Hasanuddin mendirikan pondok di daerah Karawang. Menurut salah satu sumber,
Syekh Hasanudin mengutamakan pembacaan kitab suci Al-Qur’an atau “Qiro’at”, karena itulah
Syekh Hasanuddin kemudian terkenal dengan nama Syekh Quro’. Nina H. Lubis, dkk., Sejarah..,
Op. Cit, hal. 16-17
43
Dalam lagam jawa disebut datuk kafit.
55

Perkembangan Al-Qur’an di Kacirebonan bila dilhat dari perjalanan ulama


Nusantara di kembangkan oleh sultan Khaerudin II atau sultan pertama
Kacirebonan yang berguru atau nyantri kepada mbah Muqoyyim yang pada
kepemerintahan bapaknya (Sultan Khaerudin I) menjabat sebagai mufti Kanoman.
Setelah belanda masuk dan mempengaruhi di Kesultanan Kanoman ia lebih
memilih keluar dan mendirikan pesantren, yang sekarang disebut dengan Buntet
Pesantren.

E. Mengenal Mushaf Kuno di Cirebon baik Menggunakan Tulisan Tangan


ataupun Cetak.
Perkembangan qiraat di Cirebon jangan pernah dilupakan kerena sejatinya
agama Islam masuk di Cirebon sejak abad 13 M. Dengan bukti-bukti Mushaf
kuno yang berada di Cirebon itu sudah menjadi bukti kongkrit perkembangan Al-
Qur’an dalam kajian qiraat. Karena Al-Qur’an itu sendiri adalah sebuah kitab
pedoman bagi umat Islam dan yang wajib kita imani.
Dari penelusuran Ali Akbar (menemukan 15 mushaf, dan H Enang Sudrajat 3
mushaf), beberapa pihak yang memilikinya, dan berhasil kami dokumentasi, yaitu
(1) EPJ 3 mushaf, (2) Pesantren Buntet 3 mushaf, (3) Masjid Dog Jemeneng,
Makam Sunan Gunung Jati 8 mushaf, (4) Makam Mbah Muji 1 mushaf, dan (5)
Kraton Kacirebonan 3 mushaf. Semuanya 18 mushaf. Satu buah mushaf di Kraton
Kasepuhan, berupa mushaf cetakan India, tidak kami masukkan dalam deskripsi
ini, karena sementara sudah ‘diwakili’ oleh mushaf cetakan India lainnya yang
ada di Masjid Dog Jumeneng. Meskipun demikian, mushaf tersebut tetap perlu
dicatat, dan dimasukkan dalam analisis.
Ke-18 mushaf yang kami temukan kami urutkan berdasarkan asumsi dari yang
paling tua ke yang paling muda. Hal ini untuk memudahkan analisis mushaf,
untuk sebisanya menggambarkan perkembangan penyalinan mushaf, juga
barangkali perkembangan tanda-tanda baca dan tajwid. Setelah kami urutkan,
56

kami beri kode dengan huruf A sampai R. Deskripsi masing-masing mushaf


adalah sebagai berikut.44
1. Mushaf A (EPJ-1). Mushaf ini adalah milik EPJ (inisial), dari keluarga
kesultanan. Ia mewarisi seluruh naskahnya secara turun-temurun. Bahan
dluwang, ukuran 31 x 21 x 5 cm, bidang teks 20 x 13 cm. Kondisi naskah
masih cukup baik, lengkap 30 juz. Pojok bawah sebelah kanan dan kiri
mushaf tampak kotor, menunjukkan bahwa mushaf ini sering dibaca oleh
pemiliknya. Sebenarnya mushaf ini tidak memiliki kolofon yang dapat
memastikan umurnya. Namun di halaman depan mushaf, bagian atas,
terdapat catatan kelahiran dua orang anak pemilik mushaf, dalam bahasa
Arab, yaitu Tahirah, pada Senin, 6 Jumadilawal 1247 (Kamis? 13-10-1831,
dan Munadi pada Jumat, 12 Rabiul Akhir 1251 (7 Agustus 1835).
Sementara, di bagian akhir mushaf terdapat catatan, “Penget Qur’an punika
waqafe bi-Raden Warakas maring isun.” Di halaman sebelahnya, terdapat
catatan yang telah dicoret, dalam huruf Pegon dan huruf Jawa. Catatan
berhuruf Pegon berbunyi, “Penget ingkang gadhah Qur’an Bagus
Muhammad Ali ... tumbas maring Kimas Gugur ingkang anumbasaken
Kiai Muhammad ing wong saniyen h titi (?)”

2. Mushaf B (EPJ-2). Mushaf ini milik EPJ, kertas Eropa, ukuran 33 x 20 x 4


cm, bidang teks 26 x 15 cm. Cap kertas Concordia, dengan countermark
“VDL”. Mushaf ini tidak lengkap, bagian awal dan akhir mushaf sudah
44
Dari kedelapan belas mushaf itu penulis kutib dari blognya Ali Akbar, http://quran-
nusantara.blogspot.co.id/2012/07/18-al-quran-kuno-dari-cirebon-ali-akbar.html, di unduh pada
tanggal 1 Februari 2017
57

hilang. Meskipun demikian, halaman iluminasi Surah al-Fatihah masih


tersisa sepotong. Adapun surah terakhir yang ada adalah an-Nur. Huruf
mushaf ini sangat sederhana, tampak ditulis oleh orang yang belum terlatih.

3. Mushaf C (BTT-1). Koleksi Pesantren Buntet. Bahan kertas Eropa, naskah


tidak lengkap, dan kondisinya telah rusak. Tulisan cukup bagus, tampak
penulisnya terlatih.

4. Mushaf D (BTT-2). Koleksi Pesantren Buntet. Bahan kertas Eropa, kondisi


naskah telah rusak, tidak lengkap. Tulisan sangat sederhana.
58

5. Mushaf E (BTT-3). Koleksi Pesantren Buntet. Bahan kertas Eropa, mushaf


tidak lengkap, dan kondisi naskah telah rusak. Tulisan cukup sederhana,
namun tampak konsisten.

6. Mushaf F (MDJ-1). Mushaf ini terdapat di Masjid Dog Jumeneng, di


kompleks makam Sunan Gunung Jati, Gunung Sembung. Menurut
informasi dari pengurus masjid yang sudah sepuh, dahulu banyak sekali
mushaf dan naskah keagamaan di masjid ini, disimpan di para, di atas
langit-langit masjid, di dalam karung. Ketika masjid ini dibongkar pada
59

sekitar tahun 1952, keadaan naskah banyak yang hancur, dan dibuang.
Mushaf F berbahan kertas Eropa, ukuran 33 x 21 x 5,5 cm, bidang teks 22
x 13 cm. Cap kertas terteraErve Wysmuller. Menurut keterangan Russell
Jones, kertas dengan cap seperti itu berasal dari pertengahan abad ke-19,
sekitar 1850-1964. Mushaf ini tidak lengkap, bagian depan adalah akhir
Surah al-Baqarah dan bagian akhir Surah al-Munafiqun. Mushaf ini
merupakan “ayat sudut” atau “ayat pojok”m artinya, setiap halaman
diakhiri dengan penghabisan ayat.

7. Mushaf G (MDJ-2). Mushaf ini koleksi Masjid Dog Jumeneng. Kondisi


naskah tidak lengkap, hanya tersisa sedikit. Ukuran naskah 31 x 19 x 2 cm,
bidang teks 20 x 12.

8. Mushaf H (MDJ-3). Koleksi Masjid Dog Jumeneng, kertas Eropa, dengan


cap kertas Propatria dan cap tandingan H F de Charro & Zonen. Menurut
60

Russell Jones, kertas jenis ini memiliki rentang waktu antara 1855 hingga
1870. Mushaf tidak lengkap, yang tersisa mulai Surah al-Ma’idah hingga
Surah al-Mulk.

9. Mushaf I (MDJ-4). Mushaf koleksi Masjid Dog Jumeneng, kertas Eropa,


cap kertas bulatan bermahkota, dan cap tandingan LVG. Ukuran mushaf 32
x 20 x 5 cm, bidang teks 23 x 13 cm. Mushaf tidak lengkap, yang tersisa
mulai Surah an-Nisa hingga Surah al-Muzzammil.

10. Mushaf J (MDJ-5). Mushaf koleksi Masjid Dog Jumeneng, kertas Eropa.
Ukuran 33 x 21 x 4 cm, bidang teks 24 x 14 cm. Mushaf tidak lengkap.
61

11. Mushaf K (MBM-1). Mushaf ini terletak di makam Mbah Buyut Muji,
seorang abdi dalem Kraton Kasepuhan, tokoh penyebar Islam pada sekitar
tahun 1600 – demikian menurut juru kunci. Kondisi mushaf rusak parah
dan sangat rapuh, karena penyimpanan yang tidak layak. Mushaf
dibungkus kain dan ditaruh begitu saja di atas pintu makam. Ukuran
mushaf 26,5 x 21,5 x 6 cm, bidang teks 19 x 13,5 cm. Bagian pojok bawah
kotor, menunjukkan bahwa mushaf ini sering dibaca.

12. Mushaf L (KCR-1). Mushaf ini koleksi Kraton Kacirebonan. Kraton ini
mengoleksi sekitar 50 naskah dari berbagai kategori, tiga di antaranya
mushaf Al-Qur’an. Kondisi mushaf rusak dan tidak lengkap, dimulai pada
juz dua hingga Surah al-Muddassir. Ukuran 32 x 20 x 5,5 cm, bidang teks
22 x 12,5 cm. Kertas Eropa, dengan dua macam kertas, bagian depan
bercap tandingan JW HATM 1812, dan kedua MWI dan VI (?) – sementara
cap kertasnya sendiri kurang jelas gambarnya. Dengan angka tahun 1812
62

yang tercantum dalam cap kertas, dapat diasumsikan bahwa naskah ini
berasal dari sekitar tahun 1815-1816. Bagian pojok bawah kotor, diduga
dahulu sering dibaca. Bagian pojok yang hancur kadang-kadang diberi
lapisan kertas lagi. Mushaf ini memiliki banyak catatan qira’at di pinggir
halaman, khususnya qira’at Nafi’, dengan tinta merah. Mushaf ini
menggunakan qiraat Nafi’ namun selalu disertai dengan keterangan bacaan
Hafs dalam warna biru di pinggir halaman.

13. Mushaf M (KCR-2). Koleksi Kraton Kacirebonan, ukuran agak kecil, 19,5
x 13 x 6 cm, bidang teks 12,5 x 8,5 cm. Namun mushaf ini telah
mengalami pemotongan ulang, karena banyak teks di pinggir ahalaman
yang terpotong. Kondisi naskah rusak, tidak lengkap. Tidak seperti
kebanyakan mushaf yang beriluminasi di awal, tengah, dan akhir, naskah
ini beriluminasi pada setiap awal surah. Hiasannya mencerminkan motif-
motif khas Cirebon – setiap surah dengan iluminasi yang berbeda. Kepala
surah ditulis dengan kaligrafi floral yang unik.
63

14. Mushaf N (KCR-3). Koleksi Kraton Kacireboan, ukuran kecil, 16 x 10 x 3


cm, bidang teks 11 x 6 cm. Bagian depan dan belakang mushaf ini telah
hancur. Mushaf manuskrip dengan ukuran sekecil ini sangat langka.
Tulisan cukup bagus dan konsisten, terdiri atas 19 baris. Setiap baris tulisan
hanya 6 mm.

15. Mushaf O (MDJ-6). Koleksi Masjid Dog Jumeneng, kompleks makam


Sunan Gunung Jati. Ukuran naskah 31 x 20 x 5,5 cm, bidang teks 21 x 12
cm. Kondisi halaman mushaf yang tersisa cukup baik, meskipun bagian
awal tidak lengkap – mulai dari Surah al-An’am. Mushaf ini dicetak di
Palembang, seperti terbaca dari kolofon di akhir mushaf yang berbunyi:
64

Telah selesailah daripada menyurat Qur’an al-Azim ini pada hari Isnain
empat belas hari bulan Zilqa’dah itungan ahadiyah daripada hijrah Nabi
sallallahu alaihi wa sallam seribu dua ratus tujuh puluh [7 Agustus 1854]
betul di dalam negeri Palembang di Kampung Pedatu'an dengan suratan
faqir al-haqir al-mu’tarif biz-zanb wat-taqsir Kemas Haji Muhammad
Azhari ibn Kemas Haji Abdullah ibn Kemas Haji Ahmad ibn Kemas
HajiAbdullah ibn Mas Nuruddin ibn Mas Syahid ghafarallahu li wa lahum
wa li-jami’il-muslimin. Amin.
Mushaf ini ber-‘saudara’ dengan mushaf cetakan al-Azhari tahun 1848
(inilah mushaf cetakan tertua di Asia Tenggra sejauh yang diketahui
hingga kini) milik Azim Amin, Palembang. 45Temuan ini membuktikan
bahwa percetakan milik al-Azhari itu, paling kurang, masih produktif
hingga 6 tahun. Mushaf Al-Qur'an cetakan Palembang di Masjid Dog
Jumeneng ini tidak lengkap lagi. Bagian awal mulai dari halaman 131
(Surah al-An'am), namun bagian akhir mushaf lengkap dengan Doa
Khatam Qur'an dan kolofon. Kertas yang digunakan berbeda dengan
mushaf cetakan tahun 1848. Cetakan terdahulu menggunakan kertas putih
tipis, sedangkan mushaf ini dengan kertas Eropa biasa. Mushaf ini
menggunakan sistem “ayat sudut”.

Lihat:
45
http://quran-nusantara.blogspot.com/search/label/Sumatera
%20Selatan.
65

16. Mushaf P (EPJ-3). Mushaf ini milik EPJ, ukuran 32 x 20 x 6 cm, bidang
teks 23 x 13 cm. Cap kertas VDL. Kondisi naskah tidak lengkap, bagian
depan hancur, dan dimakan rayap. Mushaf ini tidak memiliki kolofon,
namun berdasarkan ciri-ciri yang ada, yaitu kaligrafi dan iluminasinya,
dapat diketahui bahwa mushaf ini adalah cetakan Singapura, akhir abad ke-
19.

17. Mushaf Q (MDJ-7). Mushaf koleksi Masjid Dog Jumeneng, ukuran 33,5 x
24 x 3 cm, bidang teks 26 x 16 cm. Kondisi naskah tidak lengkap, bagian
awal mulai dari Surah al-Baqarah. Berdasarkan ciri-ciri yang ada, dapat
dikenali bahwa mushaf ini cetakan India, akhir abad ke-19.

18. Mushaf R (MDJ-8). Mushaf koleksi Masjid Dog Jumeneng, ukuran 36 x 24


x 4 cm, bidang teks 30,5 x 20 cm. Mushaf ini cetakan Taj Company
Limited, Lahore-Karachi, Pakistan. Tahun pencetakan mushaf tidak
66

tercantum di mushaf ini, namun berdasarkan ciri-ciri dan kelengkapan


tanda bacanya, juga adanya nomor ayat, diperkirakan bahwa mushaf ini
dicetak pada pertengahan abad ke-20.

Dari kedelapan belas mushaf kuno yang berasal dari Cirebon diatas hanya satu
mushaf yang menggunakan selain bacaan Imam Hafs dari Imam Asim yaitu,
mushaf dengan kode KCR-1 yang berasal dari Keraton Kacirebonan. Yang dalam
piasnya terdapat bacaan Hafs dan Nafi’. Tetapi tulisan utama tidak semuanya
menggunakan qiraat Hafs ada juga bacaan Abu Amr dan juga Ibn Amir.
Sedangkan untuk rasm-nya ada yang masih menggunakan rasm imla’i, atau

tulisan ejaan bahasa arab seperti, ‫الليل‬pada mushaf nomor dua belas dan tiga belas
menuliskannya‫ الليل‬sedangkan penulisan mushaf usmani‫اليل‬dan sebagian juga ada

yang sudah menggunakan tulisan usmani, seperti kata ‫ الصالة‬pada mushaf terakhir
dalam menuliskan kata tersebut sudah menggunakan ejaan usmani ‫الص ٰل وة‬,
kemudian pada kata ‫ مالك‬ditulis‫ٰم لك‬.

Anda mungkin juga menyukai