Anda di halaman 1dari 31

RELASI SOSIAL-EKONOMI-POLITIK

KOMUNITAS TIONGHOA MUSLIM DI CIREBON

TESIS
Proposal Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan Tugas Akhir Tesis
Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam
Konsentrasi Islam Nusantara

Oleh:
Salamun Ali Mafaz
(18.01.01.372)

PROGRAM MAGISTER ISLAM NUSANTARA


FAKULTAS ISLAM NUSANTARA
UNIVERSITASNAHDLATUL ULAMA INDONESIA JAKARTA
TAHUN 1441 H/2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Secara umum sejarah masuknya Islam ke Nusantara masih menjadi perdebatan
sampai saat ini dikalangan sejarawan maupun akademisi. Dalam catatan sejarah
masuknya Islam ke Nusantara setidaknya ada empat pokok utama yang banyak
diperdebatkan oleh para sejarawan; pertama, perihal tempat kedatangan Islam ke
Nusantara, kedua, berkaitan dengan waktu kedatangannya, ketiga, siapa para
pembawanya dan keempat, dengan cara bagaimana melakukan penyebarannya.1

Ada beberapa teori masuknya agama Islam ke nusantara Pertama, mengatakan Islam
datang ke Indonesia ini berasal dari Arabia; kedua, Islam datang berasal dari anak benua
India atau Gujarat; dan ketiga Islam datang berasal dari Bengal atau Bangladesh.2
Pendapat lain tentang teori masuknya Islam ke nusantara disampaikan A. Mansyur
Suryanegara (1998), menurutnya terdapat empat teori masuknya Islam ke Nusantara
yaitu teori Gujarat, teori Mekkah, teori Persia, dan teori Cina.3 Setidaknya terdapat lima
asal negara yang sering disebutkan mengenai asal para penyebaran Islam yaitu dari
kawasan Arab, Persia, Gujarat (India), Cina, dan Champa. Bahkan dalam kesimpulan
hasil dari beberapa seminar sejarah masuknya Islam di Indonesia, semakin mendukung
bahwa para peyebar Islam berasal langsung dari kawasan Arab.4

Masuknya Islam ke Cirebon juga dihubungkan dengan adanya pelayaran Cheng Ho


ke Kepulauan Melayu yang menemukan sejumlah pemukiman orang Cina di Jawa dan
Sumatera.86 Pelayaran Cheng Ho ini mengandung nilai sejarah yang sangat penting, baik
dalam sejarah Cina maupun Asia Tenggara. Pelayaran itu tentu saja memberikan
dimensi politik budaya baru dan perspektif baru bagi misi-misi diplomasi dan
perdagangan Cheng Ho serta memiliki dampak langsung pada perkembangan
masyarakat Cina Perantauan di Indonesia dan juga terhadap penyebaran Islam di Jawa

1. Mahayudin Hj. Yahya, Sejarah Islam, Shah Alam: Penerbit Fajar Bakti SDN.BHD, 1993, hlm. 563.
2 . Azyumardi Azra (ed), Perspektif Islam di Asia Tenggara, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989, hlm. xii-xiii.
3. A. Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, 1998, cet. IV, Mizan, hal. 92-93.
4 . Ibrahim Buchari, Sedjarah Masuknya Islam Proses Islamisasi Indonesia (Jakarta: Publicita, 1971), 52- 59.
melalui orang-orang Muslim Cina di sana.5 Perihal kedatangan Komunitas Tionghoa
Muslim ke Cirebon disebutkan sekitar tahun 1415 M, dengan adanya rombongan
Laksamana Ceng Ho yang datang ke Cirebon bersama armada angkatan lautnya dengan
membawa 63 Perahu yang memuat 27.800 orang yang terdiri dari perwira, prajurit, tabib,
para ahli perbintangan, dan para penerjemah .6

Pendapat lain mengatkan munculnya bangsa Cina dalam perkembangan Islam di


Indonesia tak lepas dari titik akhir dari kekuasaan Dinasti Yuan yang disebabkan
berbagai masalah dari dalam maupun dari luar kekaisaran seperti krisis keuangan
hingga bencana kelaparan sehingga munculnya dinasti pengganti yang mampu
memimpin dinasti sebelumnya yaitu Dinasti Ming.7

Kedatangan orang-orang Tionghoa di Nusantara sebagaimana yang digambarkan oleh


Ma Huan dalam risalah Ying-yai Sheng-lan, bahwa pada abad 15 telah menjumpai orang-
orang Tionghoa yang tinggal di sepanjang wilayah pesisir utara Jawa.Kawasan daerah
Cirebon merupakan wilayah persilangan budaya, diantaranya yaitu budaya Tionghoa, India,
dan Arab, yang terdapat pada simbol Paksi Naga Liman yang dibuat pada zaman
panembahan Ratu Pakungwati (1526-169). Paksi merupakan simbol burung buroq dari
Arab, Naga dari Tionghoa dan Liman gambaran gajah dari Hindu. Dari catatan sejarah
ini maka kemungkinan bahwa orang-orang Tionghoa juga tinggal di Cirebon, ini dapat
dibuktikan dengan adanya pemukiman pertama di Cirebon pada kisaran tahun 1415 yang
tercatat dalam catatan tahunan Melayu yang secara khusus membahas tentang Cirebon .8

Komunitas Muslim Tionghoa Cirebon merupakan realita masuknya Islam ke


Cirebon yang tidak bisa dipisahkan dari teori kedatangan Islam yang menyebutkan
berasal dari Cina. Teori ini berpendapat perihal kedatangan agama Islam di Indonesia
berasal dari Cina. Sekitar abad ke-9 M para pedagang muslim Cina di Kanton Cina
Selatan datang ke Indonesia terutama ke pulau Jawa, sebagian ada yang ke Kedah dan
Sumatera.Menurut beberapa sumber, Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M

5 Tan Ta Sen, Cheng Ho Penyebar Islam dari China ke Nusantara, terj. Abdul Kadir, hlm. 254.
6 Dyah Komala Laksmiwati, Putri Ong Tin Mengarungi Samudra Asmara Merahi Cinta Sejati Sesuhunan Jati
Romantika Caruban Nagari, (Yogyakarta: Depublish, juni 2014), Ed.1, Cet. 2., hlm. 12.
7 Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibbah di Nusantara (Jakarta: Pustaka Obor
Populer, 2000), 12.
8 HJ.De Graf, Cina Muslim di Jawa antara Abad XV dan XVI, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2004, hlm 123.
didasarkan pada argumen berita dari Cina, yaitu telah adanya perkampungan Arab Islam
yaitu di Kalingga pada masa Ratu Sima.9

Kedatangan muslim Cina ke Indonesia tidak lain karena pada masa Huan Chou
telah terjadi konflik di wilayah Kanton Cina Selatan yang mengakibatkan umat Islam
menjadi sasaran penumpasan. Penduduk Kanton berusaha mengadakan revolusi politik
terhadap keraton Cina pada abad ke-9 M. Sebelum Islam datang, etnis Cina pada masa
Hindu-Buddha sudah berkumpul dengan masyarakat di Indonesia, kerjasama
perdagangan pada masa itu sudah terjalin. Pada masa Dinasti Tang (618-960 M) sudah
terdapat sejumlah pemukiman umat Islam di wilayah Kanton, Zhang-Zhao, Quazhou,
dan pesisir Cina bagian selatan. Seiring berjalannya waktu, peranan orang Cina di
Indonesia semakin terlihat dengan adanya bukti berupa arsitektur masjid Jawa Kuno
seperti pada atap masjid Banten.10

Keberadaan Komunitas Muslim Tionghoa Cirebon juga bisa dilihat dari arsitektur
berupa stupa yang berbentuk bola dunia yang dikelilingi empat ular yang ada di keraton
Cirebon, arsitektur Gua Sunyaragi, atau arsitektur masjid kuno di Jawa seperti corak
masjid Sendang Dawur Pacitan Lamongan, konstruksi pintu makam Sunan Giri,
konstruksi Masjid Demak terutama soko tatal penyangga masjid dan lambang kura-kura
di samping itu ada dua masjid yang merupakan peninggalan Cina muslim, yaitu Masjid
Kali Angke dan Masjid Kebun Jeruk di Jakarta.11

Sumber lokal seperti babad dan hikayat menyebutkan bahwa Raden Patah raja
Islam pertama di Demak merupakan keturunan Cina yang mempunyai nama Cina Jin
Bun.12Ibunya berasal dari Campa, Cina bagian selatan. Proses penyebaran agama Islam
melalui jalur perkawinan disebutkan di dalam Babad Tanah Jawa seperti perkawinan
Raja Majapahit dengan putri Campa. Dalam Babad Cerbon disebutkan Sunan Gunung
Djati menikah dengan putri Kawung Anten atau Putri Ong Tien yang berasal dari Cina.13

9 Adeng Muchtar Ghazali, Peran Sunan Gunung Djati dalam Penyebaran Islam di Jawa Barat dalam Jurnal Lektur
Keagamaan” Volume 8 Nomor 01 Juni2010hlm. 136.
10 Sumanto Al-Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa, (Yogyakarta : Inspeal Ahimsakarya Press) hlm. 215.
11 Ibid., hlm. 178-180.
12 H.J. de Graaf,dkk., Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1998) hlm.vii.
13 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia 2009.
hlm 23.
Di dalam sumber lain seperti Sejarah Banten dan Hikayat Hasanuddin nama dan
gelar raja-raja Demak ditulis dengan mengunakan istilah Cina, seperti Cek Ko Po, Jin
Bun, Cek Ban Cun, Cun Ceh dan Cu-cu. Ada juga sebutan Munggul dan Moechoel
tafsirkan sebuah kata dari Mongol yaitu wilayah di utara Cina. Berkaitan dengan
mazhab yang dibawa muslim Cina, mereka bermazhab suni Syafi’i yaitu mazhab yang
pada umumnya dianut masyarakat muslim sepanjang jalur sutra (silk road).14

Keberadaan masyarakat Tionghoa muslim di Cirebon tidak bisa dilepaskan dari


adanya interaksi orang-orang Tionghoa dengan lokal yang melahirkan asimilasi melalui
kontak dagang dan pernikahan. Banyak orang-orang Tionghoa yang menikah dengan
lokal dengan bertujuan untuk mengenalkan Islam, sekaligus membentuk ikatan sosial
yang lebih dekat antara orang-orang Tionghoa dengan penduduk Cirebon.15

Masuknya Islam di Cirebon merupakan sejarah penting terbentuknya kerjasama


bidang ekonomi antara komunitas Tionghoa dengan penduduk lokal di Cirebon. Posisi
Cirebon yang strategis dengan bandar perdagangan merupakan titik awal masuknya
Islam ke Cirebon melalui jalur perdagangan. Kedatangan para saudagar dari Arab dalam
perdagangan di perairan Asia yang dikenal sejak abad ke-4 inilah proses awal masuknya
Islam. Melalui pantai utara Jawa saudagar dari Arab, Gujarat, Campa, Yunan ini
menyebarkan agama Islam hingga ke Cirebon. Pantai utara Jawa ini termasuk jalur
perniagaan antara wilayah Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur.16

Perkembangan ekonomi di Cirebon selain di daerah pesisir juga di kawasan Trusmi.


Gerakan ekonomi di Trusmi dimotori oleh kalangan santri dan haji, berkat peran Ki
Gedeng Trusmi, Pangeran Caruban Girang yang merupakan santri dan kakak sepupu
Sunan Gunung Djati pekerjaan membatik merupakan pekerjaan yang mulia, selain
memberikan kesenangan juga sebagai bentuk pengabdian kepada pihak keraton yang
memesan hasil produksinya. Pekerjaan membatik ini kemudian diajarkan kepada anak
muridnya dan dilestarikan oleh Pangeran Trusmi sambil berdakwah.17

14 Sumanto Al-Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa, hlm.18-19.


15 Nurdin M, Noer, Menusa Cirebon, Cirebon: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon, 2009, hlm 98
16 Mahayudin Hj. Yahya, Sejarah Islam, hlm. 108.
Karena itulah, sejak abad ke-16 (1506) masyarakat di Trusmi sudah dikenal sebagai
masyarakat (santri) yang memiliki jiwa entrepreneur. Sejak 1830, batik Indonesia telah
meningkatkan aktivitas ekspor dan impor tekstil di India. Dan seiring perjalanan waktu,
sekitar tahun 1850-an produksi kain di daerah di Indonesia meningkat pesat dan
mempengaruhi perkembangan industri batik dari yang semula hanya tulis dengan
menggunakan canting (wax pen) mulai mengenal teknik mesin dan cap/stempel yang
lebih modern. Maka dari perkembangan produksi batik dari tulis ke mesin cap ini
membuat pembuat batik kewalahan melayani pesanan pasar. Situasi ini dimanfaatkan
penduduk Cina sebagai peluang bisnis yang menguntungkan bersama lokal di Trusmi.18

Dari perkembangan industri batik yang pesat inilah pada akhirnya hampir semua
penduduk Trusmi terutama perempuan harus pandai membatik dan menenun dengan
memanfaatkan bahan baku dari lingkungannya seperti kapas, pohon nira, pohon katuk,
pohon kunyit. Maka terjadilah kerjasama antara lokal dengan orang-orang Cina, karena
pada saat itu orang Cina banyak yang menguasai bidang bahan industri tekstil dan batik.
Kerjasama bidang ekonomi ini berlanjut dengan penawaran modal kredit kepada
lokal.19Hubungan antara masyarakat Trusmi dengan orang Cina semakin kuat, para
pemilik industri batik Trusmi banyak berasal dari golongan penduduk lokal pemilik
tanah yang umumnya adalah para haji. Pada tahun 1937 kebanyak tanah penduduk lokal
menyewakan tanahnya kepada Cina untuk ditanami bahan baku pembuatan batik,
namun orang Cina tetap memberikan kebebasan kepada lokal untuk mengelola pabrik
batiknya bersama keluarga, santri, dan masyarakat sekitarnya. Managemen industri
kecil ini dijalankan berdasarkan hubungan kekeluargaan.20

17 P.S. Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari, Jakarta: Bhratara, 1972, hlm. 30. Muhaimin AG, Islam dalam
Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, Jakarta: Logos, 2001.

18 . Pierre van der Eng, ‘’De-industrialisation’ and Colonial Rule: The Cotton Textile Industry in Indonesia 1820-
1942’, Paper for session 13, XIV International Economic History Congress Helsinki, Finland: 21-25 August
2006, hlm. 10-11. Dalam artikel tulisan Imas Emalia, M. Hum berjudul Geliat Ekonomi Kelas Menengah
Muslim Di Cirebon: Dinamika Industri Batik Trusmi 1900-1980, hlm 7. Disampaikan dalam acara diskusi dosen
Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat:
Kamis 19 April 2017

19 . W.V. Warmelo, ‘Onstaan en groei van de handweefnijverheid in Madjalaja’, Koloniale Studien, Th. XXIII,
No.1, 1939, hlm. 11.
20 Mitsuo Hiroshi, The Development of the Javanese Cotton Industry, Tokyo: Institute of Developing Economic
I.D.E. Occasional Papers Series No. 7, 1990, hlm. 41.
Dalam perjalanannya motif batikpun terjadi akulturasi antara lokal dengan
Tionghoa seperti motif batik Soko Cino pengaruh cindera mata keramik Cina, motif
batik Paksi Naga Liman, dan motif batik Mega Mendung. Dalam hal pewarnaan terang
kebanyakan pengaruh kuat dari budaya Cina dan hasil produksi batik penduduk
keturunan Cina.21

Berdasarkan hasil interview sementara dengan Ketua Majelis Agama Khonghucu


Indonesia (Makin) Cirebon, Chew Kong Giok atau Teddy Setiawan latar belakang
kerjasama perdagangan yang sudah terjalin cukup lama ini, pada akhirnya menjadi
landasan kuat tetap terjalinnya kerjasama bidang ekonomi sampai saat ini. Dalam hal
produksi batik, kerjasama produksi dilakukan dengan cara lokal yang memiliki konsep
motif batik dan tenaga, sementara pihak Cina menyediakan pinjaman modal dan alat-
alat. Selain produksi batik, kerjasama bidang ekonomi juga terlihat dari industri
makanan oleh-oleh Cirebon, toko Sinta merupakan toko kepunyaan warga Tionghoa
yang memperkerjakan karyawannya dari penduduk lokal, produk-produk yang dijual di
toko Sinta merupakan produksi industri rumahan warga lokal.

Mengenai jumlah penduduk komunitas Tionghoa, saat ini jumlah komunitas


Tionghoa di Cirebon sekitar 1.000 (seribu) jiwa, tersebar di beberapa tempat seperti
Lemah Wungkuk, Trusmi, Arjawinangun, dan sisanya menyebar sesuai dengan lokasi
usaha dan keluarganya di wilayah III Cirebon meliputi Indramayu, Kuningan, dan
Majalengka. Semenjak terbitnya Inpres No. 14 Tahun 1967 pada masa Orde Baru yang
mengharuskan warga Tionghoa untuk melakukan asimilasi maka saat ini komunitas
Tionghoa di Cirebon paling banyak memeluk agama Kristen dan Katolik, disusul agama
Buddha, Khonghucu dan terakhir Islam. Sementara untuk profesinya dominan
pedagang, guru di sekolah Kristen swasta, dan sekitar dua orang menjadi anggota
DPRD di Cirebon Kota. 22

21 . Irin Tambrin, ‘Batik Cirebon: Tinjauan Ornamen Batik Trusmi Cirebon’,Wacana Seni Rupa: Jurnal Seni Rupa
dan Desain, Vol. 2, 4 Mei 2002, hlm. 3. Pierre van der Eng, Paper for session 13, hlm. 11.
22 . Wawancara dengan Ketua Makin Cirebon, Chew Kong Giok atau Teddy Setiawan komunikasi via whatsaps,
Senin 14 September 2020, Pkl. 11.00.
Menurut Ketua Makin Cirebon, dalam persoalan politik umumnya warga Tionghoa
kurang tertarik karena lebih banyak yang terjun menjadi pengusaha, tetapi partisipasi
politik sama seperti warga lokal pada umumnya, ikut terlibat pada pemilihan eksekutif
maupun legislatif. Biasanya untuk menghindari keterlibatan politik terlalu dalam, warga
Tionghoa mengkuliahkan anak-anak mereka di luar kota, sampai kerja di luar kota, baru
nanti pulang meneruskan usaha orang tuanya.

Hasil komunikasi sementara peneliti dengan Dr. Jalaluddin, MA peneliti dan Dosen
Fakultas Ushuluddin IAIN Syekh Nurjati Cirebon menyampaikan dari hasil analisa
penelitiannya perihal komunitas muslim Tionghoa, aspirasi politik mereka begitu tinggi
karena berharap ada wakil rakyat atau pemimpin yang dapat mewakili aspirasi mereka.
Bahkan saking tingginya aspirasi politik mereka, pada saat pemilihan mereka selalu
datang paling awal untuk menyalurkan suaranya. Sementara untuk terlibat jauh menjadi
panitia pemilihan atau menjadi saksi masih ada resistensi tinggi, sehingga mereka tidak
terlibat menjadi panitia pemilihan atau saksi, hanya sebatas menyampaikan aspirasi
politiknya melalui hak memilih.23

Selain aktifitas di bidang ekonomi dan politik yang sudah disinggung di atas,
menurut Ketua Makin Cirebon, ada beberapa kegiatan sosial-agama yang membuat
keberadaan komunitas Tionghoa di Cirebon sampai saat ini hidup berdampingan dengan
baik seperti kegiatan di Klenteng Talang yang dahulu Klenteng ini adalah masjid
pertama di Cirebon bernama Masjid Talang yang dijadikan tempat beribadah kalangan
Tionghoa muslim pada masa kedatangan Cheng Ho pada masa awal Kesultanan
Cirebon, Klenteng Talang ini sekarang rutin mengadakan perayaan imlek dengan
membagikan sembako, komunitas Tionghoa di Cirebon juga aktif mengikuti rembug
bersama warga sekitar dalam kegiatan seperti peringatan kemerdekaan RI, gotong
royong membersihkan lingkungan, serta mengajak warga terlibat dalam memfasilitasi
acara sahur keliling bersama Ibu Sinta Nuriyah Wahid dan tokoh lintas agama.

23 . Wawancara dengan Dr. Jalaluddin, MA peneliti dan Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Syekh Nurjati Cirebon
komunikasi via whatsapps, Kamis, 15 Oktober 2020, Pkl. 15.10.
Pada bulan puasa, komunitas Tionghoa di Cirebon juga menyediakan takjil dan
buka puasa bersama warga di Vihara Dewi Welas Asih di Kecamatan Lemah Wungkuk,
dan di Klenteng Budhi Asih di Kecamatan Arjawinangun. Selain kegiatan-kegiatan di
atas, sampai saat ini komunitas Tionghoa di Cirebon juga rutin bersama-sama
menziarahi makam Sunan Gunung Djati dan Putri Ong Tien pada hari-hari tertentu atau
pada perayaan tradisi keagamaan seperti kliwonan, mauludan, dan syawalan.

Terjalinnya relasi sosial-agama komunitas Tionghoa tergambar di Vihara Dewi


Welas Asih yang memiliki group kesenian Barongsai yang diberi nama Singa Mas yang
beranggotakan para pelajar di tingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah
atas yang hampir semua anggotanya beragama Islam. Meskipun kesenian ini lekat
dengan komunitas Tionghoa, namun sikap toleransi dari group Singa Mas ini
ditunjukkan dengan penampilannya dalam berbagai acara di pesantren-pesantren
ternama di Cirebon, seperti di pesantren Babakan Ciwaringin, Buntet, dan Kempek.

Penelitian ini juga ingin menggambarkan pembauran warga Tionghoa, pada masa
Presiden Seokarno (1945-1966) relatif tidak ada sentimen negatif bagi warga etnis
Tionghoa di Indonesia. Hal ini dikarenakan pemahaman Presiden Soekarno bahwa
mereka warga etnis Tionghoa juga mempunyai peran dalam proses perjuangan melawan
kolonialisme. Selain itu Soekarno secara ideologi politik memiliki kedekatan dengan
RRT dibawah kepemimpinan Mao Tse Tung yang menghasilkan poros Jakarta-Peking. 24

Perubahan situasi politik yang terjadi pasca Orde Lama membuat warga etnis
Tionghoa mengalami hambatan dalam melakukan pembauran. Pada masa Orde Baru
diskriminasi kepada warga etnis Tionghoa terjadi, terutama dalam bidang kebudayaan
dan pendidikan. Banyak sekolah Tionghoa yang ditutup dan dialihfungsikan menjadi
sekolah umum. Bahasa Tionghoa tidak boleh diperlihatkan di toko-toko, dan semua
toko harus menggunakan bahasa Indonesia. Di Jawa Timur petinggi militer
mengitruksikan operator agar memutus percakapan telepon yang menggunakan bahasa
Tionghoa. Koran-koran yang berbahasa Tionghoa diberedel dan hanya ada satu yang

24 . Nurani Soyomukti, Soekarno & Cina: Nasionalisme Tionghoa dalam Revolusi Indonesia, Soekarno dan Poros
Jakarta-Peking, Sikap Bung Karno Terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Garasi, 2012)
hlm. 218-230
diberikan izin terbit yaitu koran Yindunixiya Ribao atau Harian Indonesia, dimana
empat halamannya harus berbahasa Indonesia.25

Karena pembatasan ruang gerak warga etnis Tionghoa inilah, akhirnya pada tahun
1963-1970 masa Orde Baru telah terjadi konversi agama warga etnis Tionghoa
dikarenakan kondisi politik saat itu. Operasi besar-besaran terhadap komunis telah
berdampak kepada komunitas Tionghoa ini sehingga terbitlah Inpres No. 14 Tahun
1967 yang mengharuskan bagi warga Tionghoa untuk melakukan asimilasi terhadap
kelompok Tionghoa di Indonesia.

Kebijakan pemerintah di masa Orde Baru ini berdampak kepada warga etnis
Tionghoa, termasuk di Cirebon. Peristiwa yang masih diingat masyarakat Tionghoa
Cirebon juga terjadi sekitar pertengahan Desember tahun 1948, ketika sekelompok
masyarakat melakukan penyerangan terhadap orang-orang Cina yang tinggal di Trusmi
dan Karang Tengah dengan melakukan pembakaran, pembunuhan, pengusiran terhadap
orang-orang Cina di Desa Trusmi Cirebon. Penyerangan itu dipicu oleh berkembangnya
isu bahwa salah seorang anggota komunitas Cina dianggap sebagai mata-mata Belanda.

Tuduhan negatif (streotyp) kepada komunitas Tionghoa ini terus terjadi pada bulan
Mei 1998, peristiwa pembunuhan, pembakaran, penjarahan dan pemerkosaan kembali
dialami komunitas Tionghoa, meskipun peristiwa ini serentak di beberapa titik di
Indonesia, tetapi eskalasi kekerasan ini juga sampai kepada komunitas Tionghoa di
Cirebon.

Pasca peristiwa 1965 dalam konteks tertentu merupakan peluang bagi orang-orang
Tionghoa untuk melakukan pembauran. Adapun strategi pembauran yang paling tepat
untuk melakukan pembauran total yaitu dengan cara memeluk agama Islam, karena
Islam merupakan faktor signifikan dalam pembentukan identitas sosial masyarakat
lokal. Dengan dapat diterima oleh golongan yang memeluk Islam, diharapkan juga

25 . Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa; Kasus Indonesia, (Jakarta:Pustaka LP3ES, 2002), hal. 85-86
dapat diterima oleh kalangan lokal, karena etnis Tionghoa telah memiliki identitas sosial
yang sama yaitu sesama orang Islam.26

Kondisi berbeda saat rezim Orde Baru tumbang, pada masa pemerintahan Presiden
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), warga etnis Tionghoa mendapatkan tempat di
Indonesia. Pada masa Gus Dur inilah, agama Khonghucu diakui sebagai agama resmi
pemeluk di Indonesia. Pembauran bagi warga etnis Tionghoa dalam bidang kebudayaan,
melakukan asimilasi melalui perkawinan terjadi puncaknya saat Presiden Gus Dur
menghapus Keppres No. 14/1967 yang melarang adat istiadat warga etnis Tionghoa di
masyarakat. Dengan dihapusnya Keppres No. 14/1967 warga etnis Tionghoa kembali
dapat menyalurkan aspirasi kebudayaannya seperti seni Barongsai yang kembali
menapatkan tempat di masyarakat. Perayaan hari besar keagamaan warga Etnis
Tionghoa pun dijadikan hari libur nasional setiap tahunnya. 27

Kebebasan merayakan Tahun Baru Imlek pasca keputusan presiden No. 6 tahun 2000, di
Era Presiden KH. Abdurrahman Wahid ini merupakan satu langkah substantif yang
dilakukan pemerintah untuk menuntaskan persoalan hubungan antara warga etnis Tionghoa
dengan masyarakat Indonesia secara umum (penduduk lokal). Hubungan antara warga etnis
Tionghoa dengan penduduk lokal masih menyimpan persoalan menyangkut sistem sosial,
persoalan keadilan dan kesetaraan, dan rekayasa politik. Akibat persoalan yang belum
tertuntaskan ini, hubungan warga keturunan Tionghoa dengan penduduk lokal masih
diwarnai ketegangan, ketidakharmonisan yang berakhir pada tindak kekerasan dan
pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Sebagian masyarakat Indonesia pada mulanya ada yang menerima dan ada juga yang
menolak keberadaannya, namun lambat laun masyarakat Indonesia pun akhirnya dapat
menerima keberadaan etnis Tionghoa ini. Faktor terjadinya penolakan dari masyarakat
karena memang kedudukan ekonomi etnis Tionghoa ini yang dominan.28

Peneliti tertarik meneliti tema ini karena memang selama ini banyak dibahas di
dalam penelitian lain hanya persoalan etnisitas komunitas Tionghoa ini. masih sedikit

26 . Junus Jahja, Dakwah dan Asimilasi: Masalah Tionghoa dan Ukhuwah Islamiyah, (Jakarta: Yayasan Ukhuwah
Islamiyah, 1982)
27. Leo Suryadinata, Op.Cit. hal 191-193.
28. Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa; Kasus Indonesia, hal. 88.
yang membahas perihal pembauran baik terjadi melalui asimilasi perkawinan antara
lokal dan muslim Tionghoa, maupun melalui hal lain.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar sejarah terjadinya hubungan sosial-ekonomi-politik komunitas
Tionghoa Muslim dengan penduduk lokal di Cirebon?
2. Bagaimana relasi sosial-ekonomi-politik komunitas Tionghoa Muslim dengan
penduduk lokal di Cirebon?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengeksplorasi sejarah hubungan ekonomi-politik komunitas Tionghoa Muslim
dengan penduduk lokal di Cirebon.
2. Menganalisa relasi kehidupan sosial-ekonomi-politik komunitas Tionghoa Muslim
dengan penduduk lokal di Cirebon.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaaan antara lain:

1. Secara teoritis, dengan hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat memberikan
pandangan yang lebih komprehensif untuk memahami, relasi kehidupan sosial-
ekonomi-politik komunitas Tionghoa dengan penduduk lokal di Cirebon, serta
menjelaskan latar belakang sejarah, kehidupan, tradisi, kebudayaan dan interaksinya
dengan kalangan lain.
2. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut:
a. Bagi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta Penelitian ini
diharapkan dapat menjadi khazanah keilmuan di lingkungan kampus sebagai
bahan untuk penggalian lebih dalam melalui forum-forum keilmuan yang ada di
kampus.
b. Bagi Mahasiswa.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan untuk memperkaya penelitian
selanjutnya tentang relasi kehidupan komunitas Tionghoa di nusantara terutama di
Cirebon.
c. Bagi Pemerintah.
Penelitian ini sebagai acuan utama agar pemerintah memelihara dengan baik relasi
kehidupan sosial-ekonomi-politik komunitas Tionghoa dengan penduduk lokal di
Cirebon sehingga dapat mendatangkan devisa bagi pemerintah.

d. Bagi Masyarakat Umum.


Bagi masyarakat umum khususnya masyarakat Cirebon, penelitian ini dapat
dijadikan sebagai bahan informasi penting terjadinya relasi sosial-ekonomi-politik
yang baik antara komunitas Tionghoa dengan penduduk lokal di Cirebon sehingga
dapat saling mengisi dalam hidup bersama.

E. Kajian Pustaka

Keberadaan komunitas Tionghoa di Indonesia sudah ada beberapa yang mengkaji


maupun yang meneliti. Akan tetapi penelitian yang terkait langsung dengan prilaku
komunitas muslim Tionghoa Cirebon yang menampilkan kehidupan yang harmoni dalam
keberagaman dengan menghargai tradisi budaya mayoritas masyarakat muslim pada
umumnya. Dalam mengkaji komunitas muslim Tionghoa ini, ada beberapa referensi
sebagai sumber awal dalam melakukan penelitian ini, yaitu:

Dalam Jurnal Harmoni, Jurnal Multikultural & Multireligius Puslitbang Kehidupan


Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Vol. 14, No. 2 tahun 2015,
penelitian yang dilakukan Nurman Kholis, dengan judul Vihara Dewi Welas Asih:
Perkembangan dan Peranannya dalam Relasi Buddhis-Tionghoa dengan Muslim di
Cirebon, menyatakan bahwa dalam perkembangannya di Cirebon komunitas Tionghoa
banyak menganut agama Buddha dengan tempat ibadahnya bernama vihara atau ada yang
menyebutnya dengan klenteng. Hal ini karena pada tahun 1965, pernak-pernik, maupun
arsitektur yang bercirikan Tionghoa dilarang berkembang di Indonesia. Pemerintah Orde
Baru saat itu melakukan penataan terhadap lembaga keagamaan Buddha dengan
membersihkannya dari anasir-anasir adat Tionghoa.

Dalam penelitiannya Nurman Kholis mengkaji mengenai hubungan antara komunitas


Buddha-Tionghoa dan Muslim di Cirebon yang hidup berdampingan secara damai dan
harmonis dengan menampilkan sisi-sisi toleransi antar pemeluk agama. Menurutnya, sikap
saling menghargai antar komunitas ini tidak lain karena ada hubungan yang erat
perkembangan agama di Cirebon dengan fakta sejarah adanya salah seorang istri Sunan
Gunung Djati bernama Dewi Ong Tin yang berasal dari Tionghoa yang sebagian
pemeluknya beragama Islam.

Penelitian Adeng Muchtar Ghazali dalam Jurnal Lektur KeagamaanVolume 8 Nomor 01


Juni 2010 dengan judul Peran Sunan Gunung Djati dalam Penyebaran Islam di Jawa
Barat, menyebutkan Islam sudah ada di Cirebon sejak lebih kurang 1470-1475 M dengan
sosok Sunan Gunung Djati sebagai penyebaran Islam baik posisinya sebagai pemimpin
agama maupun sebagai raja. Pengaruh Sunan Gunung Djati mewarnai aspek-aspek sosial
budaya dalam masyarakat Cirebon, selain politik melalui kedudukannya sebagai raja,
penguasaan agama Islam, akomodatif dengan lingkungan sosial kultural masyarakat juga
melalui faktor geneologis (perkawinan) yang menjadi modal penting keberhasilan
penyebaran Islam.

Tulisan Popi Siti Sopiah dalam Jurnal Tamaddun Volume. 5, No. 2, Juli-Desember 2017
dengan judul Inpres No. 14 Tahun 1967 Dan Implikasinya Terhadap Identitas Muslim
Tionghoa Cirebon, mennyebutkan bahwa pada awal Orde Baru (1966-1998), Soeharto
mengeluarkan kebijakan asimilasi terhadap kelompok keturunan Tionghoa di Indonesia.
Tujuan dari kebijakan tersebut agar secara individual sifat-sifat ketionghoaannya mampu
dihapuskan. Kebijakan pada rezim Soeharto tersebut dilakukan melalui Instruksi Presiden
No. 14 Tahun 1967. Melalui kebijakan tersebut, pemerintah Orde Baru mengharuskan
seluruh orang Tionghoa untuk melakukan asimilasi dengan lokal melalu beberapa hal
seperti penggantian nama Tionghoa dengan nama lokal, pembatasan ruang gerak pada adat
istiadat yang berbau Tionghoa serta agama orang Tionghoa yang harus mengikuti agama
yang diakui oleh pemerintah.

Di dalam penelitiannya juga disebutkan interaksi orang-orang Tionghoa dengan lokal


melahirkan asimilasi melalui kontak dagang dan pernikahan. Banyak orang-orang
Tionghoa yang menikah dengan lokal dengan bertujuan untuk mengenalkan Islam,
sekaligus membentuk ikatan sosial yang lebih dekat antara orang-orang Tionghoa dengan
penduduk Cirebon.
Penelitian Mahdun dalam Jurnal Tamaddun Volume. 5, No. 2, Juli-Desember 2017
dengan judul Pembakaran Rumah Cina Di Desa Trusmi Tahun 1948. Dalam penelitian
ini disebutkan pada tahun 1948 telah terjadi pembakaran, pembunuhan, pengusiran
terhadap orang-orang Cina di Desa Trusmi. Pada pertengahan Desember 1948, ketika
sekelompok masyarakat melakukan penyerangan terhadap orang-orang Cina yang tinggal
di Trusmi dan Karang Tengah. Penyerangan itu dipicu oleh berkembangnya isu bahwa
salah seorang anggota komunitas Cina dianggap sebagai mata-mata Belanda. Para
penyerang itu menjarah harta benda orang Cina, mengusir, membakar rumah-rumah dan
toko-tokonya, bahkan sebagian dari mereka dibunuh. Orang-orang Cina yang selamat
segera meninggalkan Trusmi, sebagian pergi ke kota Cirebon dan beberapa lainnya
tersebar di sekitar wilayah Cirebon. Peristiwa penyerangan, pengusiran, pembakaran, dan
penjarahan terhadap hak milik orang-orang Cina, oleh penduduk Trusmi disebut gedoran,
(Memukul Mukul) sampai pada tahun 1967 Trusmi sudah bersih dari orang-orang Cina.

Penelitian yang dilakukan Handinoto dan Samuel Hartono dalam Journal of


Architecture and Built Environment Volume-35 DO- 10.9744/dimensi.35.1.23-40 dengan
judul Pengaruh Pertukangan Cina Pada Bangunan Mesjid Kuno Di Jawa Abad 15-
16.Penelitian ini membahas perihal bentuk awal mesjid kuno di Jawa (abad 15-16), sangat
menarik. Banyak teori yang mengatakan bahwa bentuk dari mesjid kuno Jawa ini berasal
kebudayaan Hindu-Jawa maupun dari penduduk Jawa sendiri. Penulis menganalisa jarang
sekali tulisan yang membahas tentang peran pertukangan Cina yang sangat besar dalam
pembangunan mesjid-mesjid kuno Jawa (terutama yang terletak di pantai Utara Jawa),
Beberapa diantaranya seperti Mesjid Demak (1474)), Mesjid Kudus (1537) dan Mesjid
Mantingan (1559) dekat Jepara, yang terbukti secara fisik terdapat jejak-jejak pertukangan
Cina, baik pertukangan batu maupun kayu disana. Tulisan Handinoto dan Samuel Hartono
ini mencoba untuk menelusuri keberadaan pertukangan Cina pada mesjid-mesjid kuno di
Jawa tersebut.

Penelitian yang dilakukan Yusuf Zainal Abidin dalam Jurnal Academic Journal for
Homiletic Studies 12(1) (2018) 357-368 dengan judul Keberagamaan dan Dakwah
Tionghoa Muslim. Di dalam tulisannya disebutkan bahwa terdapat hubungan yang erat
antara dakwah dengan keberagamaan mereka, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
pandangan keagamaan komunitas Tionghoa Muslim tidak hanya terbatas pada fakta sosial
bahwa etnis Tionghoa beragama Islam, tetapi juga dirasakan dan dihayati dari interaksi
sosialnya.

Keberagamaan Tionghoa Muslim berdasarkan hasil penelitian juga terlihat dari tidak
begitu memikirkan mazhab keagamaan yang dianutnya, bukan persoalan ortodoksi yang
mengikat mereka melainkan manfaat ekonomi. Bentuk interaksi terutama dalam hal
ekonomi lebih penting dibandingkan fakta sosial mengenai aliran keagamaan.
Keberagamaan Tionghoa Muslim tidak cukup hanya dengan memeluk Islam semata,
melainkan perlunya sikap penguatan terhadap pendefinisian mereka mengenai keislaman
dan diwujudkan dalam interaksi sosial.

Keberadaan komunitas Tionghoa di Indonesia juga ditulis oleh Bambang Permadi di


dalam Jurnal Tamaddun Volume. 7, No. 1, Januari-Juni 2019 dengan judul Relasi Islam
dan Masyarakat Etnis Tionghoa (Studi Kasus: Komunitas Cina Benteng di Tangerang)
disebutkan dalam penelitiannya bahwa Islam merupakan alat asimilasi sebagai cara
alternatif untuk mengatasi problem ketionghoaan. Dalam kasus Cina Benteng Islam tidak
bisa dikatakan hanya alat tunggal dalam hal tersebut, karena justru lingkungan, budaya
serta bahasa menjadi alat asimilasi yang lebih dominan. Karena mereka masih menjalankan
beberapa ritual dan kepercayaan leluhurnya, meskipun bentuknya tidak sama dengan yang
dijumpai di daratan Tiongkok. Misalnya mereka masih memulyakan leluhur dengan cara
melakukan pemujaan, seperti kompromi dari upaya resistensi mereka akan tradisi leluhur
di tengah lingkungan yang berbeda, yang perlahan membentuk kepribadian berbudaya
yang sama dengan suku bangsa lainnya.

Di dalam Jurnal El-Harakah Vol.10, No. 3 September-Desember 2008 Ibnu Mujib


menuliskan hasil penelitiannya dengan judul Pembauran Agama Dan Strategi Politik
Kebudayaan (Kontestasi Identitas Etnis Dalam Narasi Masyarakat Multikultur) di dalam
penelitian ini disebutkan bahwa kebebasan merayakan Tahun Baru Imlek pasca keputusan
presiden No. 6 tahun 2000, di Era Abdurrahman Wahid ini merupakan satu langkah substantif
yang dilakukan pemerintah untuk menuntaskan persoalan hubungan antara warga etnis
Tionghoa dengan masyarakat Indonesia secara umum (lokal). Hubungan antara warga etnis
Tionghoa dengan lokal masih menyimpan persoalan menyangkut sistem sosial, persoalan
keadilan dan kesetaraan, dan rekayasa politik. Akibat persoalan yang belum tertuntaskan ini,
hubungan warga keturunan Tionghoa dengan masyarakat lokal masih diwarnai ketegangan,
ketidakharmonisan yang berakhir pada tindak kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Tulisan Priyanto Wibowo dalam Prosiding The 4th International Conference on


Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future.” Dengan judul Tionghoa Dalam
Keberagaman Indonesia: Sebuah Perspektif Historis Tentang Posisi Dan Identitas. Tulisan
ini memberikan pendapatnya kebudayaan Cina mempengaruhi kebudayaan nusantara yang
dibawa oleh para pelancong. Disebutkan bahwa peradaban Cina masuk secara laten dalam
skala yang lebi kecil, tetapi terus berlangsung pada setiap masa hingga saat ini. Karena
melalui kurun waktu yang begitu panjang tidak heran kebudayaan Cina lebih besar dan
luas pengaruhnya terhadap pembentukan kebudayaan di nusantara.

Tulisan Deni Junaedi dengan judul Bentang Budaya Visual Tionghoa: Sejak Prasejarah
hingga Kontemporer. Di dalam tulisan ini disebutkan bahwa budaya visual Tionghoa
mempengaruhi corak dan mewarnai ragam arsitektur bangunan.Ketika Kesultanan Islam
berjaya di Nusantara budaya visual Tionghoa juga turut mewarnai. Hiasan di Keraton
Kasepuhan Cirebon jelas menunjukkan hal itu. Aneka keramik Tionghoa masa Dinasti Ming
menempel di seluruh dinding yang terbuat dari batu bata merah. Di salah satu sisi keramik
terdapat relief bunga teratai yang dijuluki kembang kanigaran karya pemahat Tiongkok.
Dalam tulisannya, Deni Junaedi menjelaskan tentang budaya visual Tionghoa sering
memberikan penekanan pada keramik, karena artefak ini memang menunjukkan pencapaian
kualitas yang mengagumkan dan kuantitas yang mencengangkan. Penulis merujuk
pandangan pengamat keramik Noor Sudiyati, keramik Tiongkok memiliki beberapa dimensi
yang menarik untuk dicermati, seperti: bentuk, fungsi, warna glasir, teknis pembuatan,
maupun unsur ornament yang memiliki makna tertentu. Keramik Tiongkok bertebaran di
bumi Nusantara, baik yang berasal dari Dinasti Han (206SM-220), Tang (618-906), Song
(906-1279), Yuan (1279-1368), Ming (1368-1644), maupun Qing (1644-1912).

Selain dari hasil penelitian yang dipublikasikan di berbagai jurnal di atas, penelitian ini
juga merujuk pada sejumlah buku referensi. Buku yang ditulis Sumanto Al-Qurtuby yang
berjudul Arus Cina-Islam-Jawa yang menyebutkan bahwa orang-orang Tionghoa terlibat
aktif dalam berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa politik di Jawa dan turut serta dalam
melakukan penyebaran agama Islam di Jawa. Hasil dari persinggahan Laksamana Cheng Ho
terdapat peninggalan-peninggalan dan karya-karya besar Cina. Sumanto menyebutkan,
ekspedisi yang dilakukan Laksamana Cheng Ho ini selain melakukan aktifitas niaga, juga
melakukan aktifitas pembauran dengan warga lokal. Tidak sedikit dari mereka selain
melakukan aktifitas perniagaan juga menikah dengan orang lokal Jawa. Terjadinya asimilasi
inilah yang mengakibatkan terjadinya persilangan budaya antara orang Tionghoa dengan
orang Jawa.

Buku karya Benny G. Setiono berjudul Tionghoa dalam Pusaran Politik, buku ini
memberikan penjelasan tentang awal masuknya orang Tionghoa di Indonesia, kondisi
masyarakat Tionghoa di Indonesia pada saat terjadinya gejolak-gejolak politik di Indonesia.
Di dalam buku ini juga menggambarkan sekilas agama yang dianut kalangan Tionghoa ini.
Buku ini tidak mengulas begitu mendalam tentang konversi agama masyarakat Tionghoa
atau membahas perihal kepindahan agama masyarakat Tionghoa ini, paling tidak buku ini
dapat membantu memberikan gambaran tentang eksistensi masyarakat Tionghoa ini dalam
pusaran politik di Indonesia.

Penelitian ini juga mengacu pada buku karya Dennis Lombard, Nusa Jawa Silang
Budaya, Lombard menyebutkan secara tidak langsung budaya Tionghoa telah menjadi
bagian dari sub-budaya kemajemukan yang ada di Indonesia. Semenjak abad ke-7 M
persentuhan budaya Tionghoa dengan masyarakat nusantara melalui aktifitas perniagaan
yang secara tidak langsung menjadi media terjadinya pembauran asimilasi dan akulturasi.
Menurut Lombard, berdasarkan kajian sejarah Tionghoa di nusantara, tercatat bahwa abad
14-15 M merupakan masa puncak persentuhan antara Tiongkok dan nusantara, karena pada
abad tersebut banyak sekali ditemukan peninggalan-peninggalan, ekspedisi yang dilakukan
para pedagang atau utusan kaisar Tiongkok pada abad ini telah meninggalkan catatan-
catatan sejarah yang dapat dijadikan rujukan para ahli sejarah.

Penelitian ini juga merujuk pada buku yang ditulis Jeremi Huang yang berjudul Budaya
Etnis Tionghoa Cirebon, di dalam buku ini disebutkan ketika Laksamana Cheng Ho beserta
rombongannya termasuk Ma Huan dalam perjalanannya ke Mataram, mereka mampir di
Cirebon selama 7 hari 7 malam dan meninggalkan rombongannya di Cirebon. Bahkan Ma
Huan menikahi perempuan bernama Nyai Rara Rudra yang masih ada ikatan saudara dengan
Ki Gedeng Tapa penguasa pelabuhan Cirebon saat itu. Jeremi juga menyebutkan asal muasal
komunitas Tionghoa berada di Cirebon yaitu dengan datangnya Putri Ong Tien yang
mencari Sunan Gunung Djati ke Cirebon karena ingin menyembuhkan perutnya yang
kelihatan sedang hamil.

Selain sejumlah sumber referensi di atas, penelitian juga merujuk pada buku karya H.
Ibrahim Tien Ying Ma, berjudul Perkembangan Islam Di Tiongkok, buku ini memberikan
gambaran detail jejak sejarah masyarakat Tiongkok dari beberapa dinasti hingga masuknya
Islam ke dataran Tiongkok tersebut. Buku ini memberikan informasi penting perihal
kedatangan Laksamana Cheng Ho ke Indonesia dengan misi perdagangan dan menjalin
hubungan diplomatik. Bagi penulis buku ini memandu dalam penulisan penelitian ini dari
jejak sejarah hingga kondisi sosial-ekonomi-politik pada masa itu yang berpengaruh besar
terhadap penyebaran Islam di Indonesia.

Dari hasil beberapa tulisan di atas, penulis berpendapat bahwa komunitas Tionghoa
memiliki peran terhadap penyebaran Islam di tanah Jawa. Dalam konteks di Cirebon
komunitas Tionghoa berperan dalam melakukan asimilasi budaya melalui perkawinan,
perdagangan, arsitektur bangunan, visual benda-benda di komplek Keraton dan pemakaman
Sunan Gunung Djati. Dengan latar belakang sejarah relasi kehidupan komunitas Tionghoa di
Cirebon ini, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam relasi sosial-ekonomi-politik
komunitas Tionghoa Muslim Cirebon ini yang mungkin belum disebutkan secara spesifik
pada penelitian sebelumnya.

1. Landasan Teori
a. Pembauran
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan landasan teori pembauran
etnis dan budaya. Tentu saja landasan teori ini merujuk pada buku Leo Suryadinata
Dilema Minoritas Tionghoa, buku ini memberikan gambaran masyarakat kita terhadap
etnis Tionghoa. Sebagian masyarakat Indonesia pada mulanya ada yang menerima dan
ada juga yang menolak keberadaannya, namun lambat laun masyarakat Indonesia pun
akhirnya dapat menerima keberadaan etnis Tionghoa ini. Faktor terjadinya penolakan
dari masyarakat karena memang kedudukan ekonomi etnis Tionghoa ini yang dominan.
Tetapi kemudian terjadilah pembauran dalam bidang kebudayaan, melakukan
asimilasi melalui perkawinan. Puncak pembauran terjadi pada masa presiden Gus Dur
yang menghapus Keppres No. 14/1967 yang melarang adat istiadat orang Tionghoa di
masyarakat. Setelah penghapusan Keppres No. 14/1967 itu akhirnya kebudayaa
Tionghoa seperti Barongsai kembali mendapatkan tempat di Indonesia.29

Pasca peristiwa 1965 dalam konteks tertentu merupakan peluang bagi orang-orang
Tionghoa untuk melakukan pembauran. Adapun strategi pembauran yang paling tepat
untuk melakukan pembauran total yaitu dengan cara memeluk agama Islam, karena
Islam merupakan faktor signifikan dalam pembentukan identitas sosial masyarakat
lokal. Dengan dapat diterima oleh golongan yang memeluk Islam, diharapkan juga
dapat diterima oleh kalangan lokal, karena etnis Tionghoa telah memiliki identitas sosial
yang sama yaitu sesama orang Islam.30

Peneliti menggunakan teori pembauran ini karena menurut peneliti teori ini penting
untuk memahami bagaimana hubungan antar etnik (pembauran) terjadi tanpa harus
menghapus kelompok etnis, identitas etnik, dan kategorisasi etnis karena teori ini
menekankan pada kelompok bukan individu dalam proses terciptanya pembauran antar
etnik.

Peneliti meyakini dari pembauran etnis dan budaya inilah pada akhirnya tercipta
toleransi antara lokal dan komunitas Tionghoa ini. Di dalam kamus besar bahasa
Indonesia, toleransi adalah sikap atau sifat toleran yaitu bersikap menghargai dengan
yang berbeda atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri, seperti dalam toleransi
agama (Bahari, 2010:50). Perilaku toleran komunitas Tionghoa muslim Cirebon
merupakan perwujudan sikap toleransi beragama kepada pemeluk agama lain. Karena
itulah perlu dijelaskan toleransi beragama yaitu sikap bersedia untuk berpartisipasi di
dalam masyarakat sosial yang lebih luas melalui proses asimilasi, meski berada di
dalam kelompok minoritas atau agama yang berbeda (Hidayat, 2006).

29 . Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa; Kasus Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2002) hal. 191-193.
30 . Junus Jahja, Dakwah dan Asimilasi: Masalah Tionghoa dan Ukhuwah Islamiyah, (Jakarta: Yayasan Ukhuwah
Islamiyah, 1982)
Kemudian setelah terjadi sikap saling menerima dan tercipta toleransi antar lokal dan
komunitas Tionghoa. Peneliti menggunakan analisa terjadilah konversi agama kalangan
Tionghoa ini menjadi seorang muslim. Perihal konversi agama ini kita dapat
menemukan kata konversi yang diambil dari bahasa latin yaitu conversion yang berarti
masuk dan pindah agama. Konversi berarti suatu perubahan keyakinan yang berlawanan
dengan keyakinan semula. 31
Konversi agama adalah perubahan keyakinan atau
pertumbuhan spiritual yang mencapai puncaknya. Konversi terjadi terjadi dikarenakan
pencarian yang berakhir pada pencerahan. Konversi juga berkaitan dengan proses
kejiwaan manusia. 32

Dalam perspektif sosiologis dalam mengkaji konversi agama, ada banyak faktor yang
menjadikan seseorang melakukan konversi agama, salah satunya adalah interaksi sosial
dan status sosial. Kedua faktor tersebut merupakan faktor dominan dalam proses
konversi agama yang terjadi pada seseorang, faktor keinginan untuk diakui dalam
sebuah komunitas dan perubahan status.33

b. Identitas Sosial

Selain menggunakan teori pembauran, dalam melakukan penelitian ini juga


menggunakan teori identitas sosial. Setiap individu memerlukan identitas untuk
memberinya sense of belonging dan eksistensi sosial. Teori identitas sosial merupakan
bagian dari konsep diri individu yang terbentuk karena kesadaran individu sebagai
angota suatu kelompok sosial, dimana di dalamnya mencakup nilai-nilai individu yang
terbentuk karena kesadaran individu sebagai anggota suatu kelompok sosial dan
selanjutnya menentukan bentuk ineraksi sosialnya.34

Setiap individu pada dasarnya ingin memiliki identitas sosial yang positif. Hal ini
dalam rangka mendapatkan pengakuan (recognition) dari pihak lain dan persamaan

31. Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang, hal. 137.
32. D. Hendropuspito, Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, hal. 67.
33. Walter Houston Clark dalam Sururin, Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Rajawali Press, 2004, hlm. 106-107.
34 . T.J. Lan, Susahnya Jadi Orang Cina. Ke-Cina-an Sebagai Konstruksi Sosial. Dalam Wibowo, I (editor). Harga
Yang Harus Dibayar. Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Pusat
Studi Cina, 2000) hal. 31.
sosial (social equality).35 Dalam pandangan teori identitas sosial juga disebutkan bahwa
keinginan ingin memiliki identitas sosial yang positif dipandang sebagai penggerak
psikologik penting dibalik tindakan-tindakan individu dalam melakukan interaksi sosial.
Melalui proses social comparison yang dipandang sebagai cara untuk menentukan
posisi dan status identitas sosialnya.36

Dalam konteks Komunitas Muslim Tionghoa upaya mencapai identitas sosial


dilakukan melalui mobilitas sosial dan perubahan sosial. Mobilitas sosial merupakan
perpindahan individu dari kelompok yang dipandang lebih rendah ke kelompok yang
lebih tinggi. Karena itulah, mobilitas sosial ini akan dapat terwujud jika peluang untuk
berpindah itu memungkinkan. Namun jika peluang untuk melakukan mobilitas sosial
tidak ada, maka kelompok bawah akan berusaha meningkatkan status sosialnya sebagai
kelompok. Pilihannya bisa dengan menggeser statusnya ke tingkat lebih atas. Kalau
kemungkinan menggeser ke posisi lebih atas tidak ada, maka usaha yang dilakukan
dengan cara meningkatkan citra mengenai kelompok agar kesannya tidak terlalu jelek .37
Dari teori identitas sosial inilah kemudian, peneliti akan lebih mudah memahami relasi
sosial-ekonomi-politik Komunitas Tionghoa Muslim yang terbentuk dengan penduduk
lokal di Cirebon.

F. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan cara mengumpulkan data, melakukan analisa
untuk dijadikan bahan dalam penulisan ini. Menurut Bodga dan Taylor metodologi
penelitian kualitatif menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau dari
lisan dan perilaku dari orang yang diamati. Semua data yang dihasilkan menjadi kunci
terhadap apa yang sedang diteliti.38

Penelitian dengan pendekatan kualitatif menurut Lexy Moleong (1990) berakar pada latar
alamiah sebagai keutuhan, mengandalkan manusia sebagai alat penelitian serta dengan
35. Ibid, hal. 32
36. Op.Cit. hal. 33
37 . S.W. Sarwono, Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hal
17
38. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989, hal.3.
melakukan analisis data secara induktif. Dalam penelitian kualitatif proses lebih penting
daripada hasil itu sendiri. Penelitian kualitatif mempunyai batas penelitian agar fokus yang
muncul sebagai suatu masalah, memiliki seperangkat kriteria dalam mengukur data melalui
hasil kesepakatan antara peneliti dengan subyek yang diteliti.39

Penelitian kualitatif adalah metode penelitian berlandaskan pada filsafat post positivisme
yang dapat digunakan untuk meneliti pada suatu kondisi objek yang alamiyah, dimana
peneliti merupakan instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara
purposive dan snowball, teknik pengumpulan dengan gabungan, analisis data yang bersifat
induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekan makna dari pada generalisasi.40

Metode kualitatif ini digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang
mengandung makna yang sebenarnya, data yang pasti yang merupakan nilai dibalik data
yang nampak. Karenanya, di dalam penelitian kualitatif ini tidak menampakkan generalisasi,
tetapi lebih menekankan pada makna. Generalisasi dalam penelitian kualitatif adalah
transferability.41

Dalam penelitian kualitatif peneliti dapat menggunakan metode kualitatif yaitu dengan

cara melakukan pengamatan, wawancara, dan penelaahan dokumen. Metode penelitian

kualitatif ini digunakan karena adanya pertimbangan yaitu pertama, metode kualitatif lebih

mudah menyesuaikan apabila harus dihadapkan dengan kenyataan jamak. Kedua, metode ini
menyajikan secara langsung hakikat hubungannya antara peneliti dengan responden. Ketiga,
metode kualitatif ini lebih dapat menyesuaikan diri dengan penajaman penelitian terhadap

pola-pola yang dihadapi.42

Dalam melakukan penelitian kualitatif, data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar,
bukan angka-angka. Selain itu semua, mengumpulkan bahan penting yang kemungkinan
sudah pernah dilakukan penelitian sebelumnya. Maka, penelitian ini pada akhirnya akan
berisi kutipan data untuk memberikan gambaran hasil dari penelitian ini. Data yang

39. Ibid, hal. 49


40 . Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan “pendekatan kualitatif, kuantitatif dan R&D.” (Bandung: Alfabeta,
2011) hal 15
41. Ibid, hal. 193
42. Sugiyono, Op.Cit. hal. 295
dimaksud bisa bersumber dari naskah, wawancara, catatan lapangan, foto-foto, rekaman,
dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen yang relevan lainnya. Hasil data yang
kaya ini kemudian peneliti melakukan analisa satu demi satu untuk mendapatkan data yang
akurat. Pertanyaan dengan kata tanya mengapa, alasan apa dan bagaimana terjadinya akan
senantiasa dimanfaatkan oleh peneliti dalam menganalisa data ini. Sehingga peneiliti tidak
akan berasumsi bahwa data ini sudah final.43

Sebelum melakukan penelitian kualitatif ini, hendaknya peneliti memahami empat


tahapan dalam melakukan penelitian ini pertama, melakukan persiapan dengan bekal yang
diperlukan sebelum menghadapi lapangan. Kedua, peneliti memahami latar dan medan
penelitian sehingga dibutuhkan keseriusan, kesiapan menghadapi situasi di lapangan.
Ketiga, melakukan konsep analisa data dengan dibimbing agar sesuai dengan hipotesa
penelitian. Keempat, melakukan penulisan laporan secara detail.44

Menggunakan metode penelitian kualitatif bagi peneliti dapat memudahkan di dalam


melakukan pencarian data. Selain itu ada beberapa alasan kenapa peneliti menggunakan
metode kualitatif. Pertama, peneliti ingin memperoleh deskripsi dan analisis mendalam
mengenai fokus penelitian ini sehingga dapat mengeksplorasi data sebanyak mungkin.
Kedua, keberadaan komunitas muslim Tionghoa di Cirebon dalam relasi sosial-politik-
ekonomi dan pembaurannya dengan masyarakat lokal merupakan salah satu transformasi
sosial yang memiliki latar belakang sejarah panjang, sehingga peneliti dapat melihat proses
berjalannya transformasi yang terjadi, dan kemudian melihat dan menilai hasil dari proses
transformasi itu. Ketiga, penelitian ini mengambil lokasi di Cirebon yang merupakan tanah
kelahiran peneliti sehingga dapat memudahkan dalam mencari data baik secara komunikasi
dengan komunitas muslim Tionghoa, Majeis Khonghucu Indonesia (MAKIN) Cirebon,
Persatuan Islam Tionghoa (PITI) Cirebon, serta beberapa narasumber yang relevan dengan
penelitian ini. selain itu letak geografis, dan tempat-tempat yang relevan dengan penelitian
ini memudahkan peneliti dalam menelusurinya mengingat sebagian besar jalan-jalan di
Cirebon peneliti menghafalnya.

43. Moleong, Op.Cit, hal. 11


44. Moleong, Op.Cit, hal. 153
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti memilih Cirebon sebagai tempat untuk
melakukan penelitian. Peneliti memilih Cirebon karena identik dengan kota walinya
sehingga menyimpan banyak informasi sejarah. Selain itu, pembauran yang dilakukan
komunitas muslim Tionghoa di Cirebon ini menarik untuk diteliti karena dilain sisi mereka
tetap mempertahankan identitas sosial sebagai Tionghoa, disisi lain mereka hidup di tengah
pergaulan masyarakat multikultural dengan relasi sosial-ekonomi-politik yang dinamis, tentu
saja isu ini akan sangat menarik untuk dilakukan penelitian.

Alasan lain peneliti memilih Cirebon sebagai tempat melakukan penelitian, karena
Cirebon merupakan tanah kelahiran peneliti sehingga memudahkan dalam melakukan
komunikasi, menghafal rute dan jalan untuk menggali data kepada informan. Peneliti akan
melakukan penelitian ini sekitar 6 bulan dengan menggali data lebih dalam dan dilaporkan
secara bertahap kepada pembimbing.

1. Sumber Data (Primer dan Sekunder)


Sumber data utama dalam penelitian kualitatif menurut Lopland dalam Moleong. (2010)
ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah dokumen dan lain-lain.45 Kata-kata dan
tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai merupakan sumber utama, sumber
data utama dicatat melalui catatan tertulis, perekamana audio tape dan pengambilan foto.
Dalam penelitian ini, sumber data selain kata-kata dan tindakan, juga kalimat, paragraf dan
wacana yang terdapat dalam literatur-literatur atau dokumentasi yang berhubungan dengan
masalah yang diteliti.

Dalam menghimpun sumber data ini, penulis membagi data berupa data primer dan
sekunder. Data primer yaitu sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul
data.46 Sumber data primer dalam penelitian ini adalah para informan baik dari organisasi
PITI, MAKIN, Organisasi kemasyarakatan, tokoh Komunitas Muslim Tionghoa, akademisi,
tokoh agama maupun ahli sejarah yang bersentuhan langsung dengan persoalan terkait.

45 Moleong, Op.Cit, hal. 157


46. Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, hal. 193
Sementara data sekunder adalah sumber yang tidak langsung memberikan data kepada
pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen. Misalnya dokumen catatan
47

organisasi, catatan pribadi, maupun catatan sejarah yang tersebar. Data sekunder bisa
didapatkan baik dari personil yang tidak bersentuhan secara langsung, melalui tempat
peninggalan seperti tempat ibadah, rumah, prasasti, atau melalui catatan-catatan peninggalan
yang berkaitan.

2. Teknik Pengumpulan Data


Dalam melakukan penelitian kualitatif ini teknik pengumpulan data merupakan langkah
yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah
mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan
mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.48

a. Wawancara
Teknik pengumpulan data dengan wawancara yaitu mengumpulkan data mengenai
sikap, kelakuan, pengalaman, cita-cita dan harapan manusia yang dikemukakan oleh
responden kepada peneliti. Dalam melakukan wawancara hal yang penting diketahui
peneliti adalah kondisi dari responden itu sendiri, sampai seberapa jauh responden
bersedia untuk diwawancarai, hal ini berkaitan dengan kevalidan data yang disampaikan
responden apakah sesuai atau data palsu.49

Teknik pengumpulan data dengan melakukan wawancara dibagi menjadi tiga macam,
yaitu wawancara terstruktur, wawancara semistruktur, dan wawancara berstruktur.
Dengan melakukan wawancara maka peneliti akan mendapatkan hal-hal yang lebih
mendalam dari narasumber dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi
dimana tidak bisa ditemukan melalui observasi.50

b. Observasi
Dalam penelitian kualitatif, observasi merupakan dasar semua ilmu pengetahuan.51

47. Ibid, hal. 193


48. Ibid, hal. 308
49. J. Vredenbregt, Metode Dan Teknik Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1983, hal. 88.
50. Sugiyono, Op.Cit. hal. 321
51 . Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan “pendekatan kualitatif, kuantitatif dan R&D.” (Bandung: Alfabeta,
2011) hal. 310
Observasi merupakan suatu pengamatan yang dilakukan peneliti secara sengaja dan
sistematis mengenai gejala-gejala yang terjadi untuk dilakukan pencatatan. Perlunya
dilakukan observasi tidak lain karena untuk melihat atau mengamati perubahan fenomena
dan gejala sosial yang terus berkembang. Bagi peneliti observasi ini dilakukan dalam
rangka mengamati permasalahan tertentu dengan memilah mana yang masih relevan
dengan penelitiannya dan mana yang sudah tidak relevan. 52 Penelitian menggunakan
metode kualitatif observasi dilakukan dengan cara memasuki, mengamati, menilai, dan
berpartisipasi dalam kegiatan tertentu. Setelah itu hasilnya dipindahkan dalam sebuah
catatan.

c. Dokumentasi
Dukomentasi adalah usaha mencari data mengenai hal-hal yang berupa catatan,
transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, dan sebagainya.
Teknik ini dilakukan dengan jalan menelaah atau mengkaji dokumen yang berhubungan
dengan masalah yang dikaji agar data yang dikumpulkan lebihsempurna. 53 Teknik
dokumentasi ini juga untuk melengkapi hasil data dari wawancara dan observasi dengan
melakukan analisa data-data dokumen yang dapat dipertangungjawabkan.

Studi dokumentasi merupakan bagian dari cara melengkapi data dari penggunaan
metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif. Hasil dari penelitian
kualitatif nantinya akan semakin kredibel apabila didukung dengan foto-foto, karya seni,
atau karya tulis yang tersedia.54

3. Teknik Analisis Data


Analisis data merupakan proses mencari dan mengatur secara sistematis transkip
wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain yang dipahami oleh peneliti. Kegiatan
analisis dilakukan dengan menelaah data, menata data, membagi menjadi satuan-satuan yang
dapat dikelola, menemukan apa yang bermakna dan apa yang diteliti dan dilaporkan secara
sistematis.

52. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989, hal. 216
53 .Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, (Rineka Cipta, Jakarta) 1998. hal.188
54 . Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan “pendekatan kualitatif, kuantitatif dan R&D.” (Bandung: Alfabeta,
2011) hal. 330
Dalam melakukan teknik analisa data ada tiga teknik yang bisa dilakukan. Pertama,
induktif adalah cara berfikir untuk memberikan suatu alasan yang dimulai dengan
pernyataan-pernyatan spesifik dalam menyusun suatu argumentasi yang bersifat umum.
Teknik induktif ini diharapkan dapat mempermudah peneliti menemukan fakta-fakta seperti
yang terdapat di dalam data.

Kemudian kedua, dalam melakukan analisa data, peneliti dapat melakukan teknik
komparatif yaitu membandingkan antara data yang diperoleh dengan teori yang sudah ada.
Setelah itu mencari kesamaan dan perbedaanya, yang difokuskan peneliti dalam melakukan
teknik komparatif adalah dengan mencari perbedaannya dari pada kesamaannya. 55

Dan ketiga, melakukan teknik reflektif yaitu pengalaman-pengalaman yang sudah ada
untuk dipertimbangkan kemungkinan tindakan alternatif yang boleh digunakan untuk
mencapai tindakan objektif dalam penyelesaian masalah serta memutuskan langkah
selanjutnya. 56

4. Pemeriksaan Keabsahan Data


Dalam memeriksa keabsahan data dala penelitian kualitatif meliputi uji credibility
(validitas internal), trensferability (validitas eksternal), dependability (reabilitas), dan
confirmability (obyektifitas). Dalam penelitian ini peneliti harus memiliki waktu untuk
perpanjangan pengamatan untuk memastikan kembali data yang dihasilkan sudah benar-
benar sesuai (Sugiono, 2012). Dalam penelitian kualitatif, standar tersebut dinamakan
keabsahan data. Nasution (1998) mengemukakan bahwa untuk menetapkan trust worthiness
atau keabsahan data dalam penelitian kualitatif diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan
pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu.57 Dari pemaparan tersebut, maka
teknik pemeriksaan keabsahan data yang digunakan adalah perpanjangan keikutsertaan,
ketekunan pengamatan, dan triangulasi (pengecekan data dari berbagai sumber).

G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan penelitian Perilaku Toleran Komunitas Tionghoa Muslim Cirebon
sistematika penulisan sebagai berikut:
55. Sutrisno hadi, Metodologi Research jilid I, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit UGM, 1994) 42
56. Ibid, hal. 42
57. Nasution Metode Penelitian Kualitatif (Tarsito, Bandung), 1998. hal. 105
Bab I: Bab pendahuluan, yang berisi Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tinjauan
Pustaka, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teori dan Pendekatan, Metode
Penelitian dan Sistematika Penulisan.
Bab II: Sejarah Cirebon, Letak Geografis Cirebon, Sejarah Masuknya Islam di Cirebon,
Sejarah Masuknya Komunitas Tionghoa di Cirebon, Latar Kehidupan, sejarah relasi sosial-
ekonomi-politik dengan penduduk lokal, Peninggalan-peninggalan berupa Kebudayaan.
Bab III: Hasil Penelitian Pembauran Komunitas Muslim Tionghoa di Cirebon
A. Sejarah terbentuknya Komunitas Muslim Tionghoa di Cirebon
a. Kerjasama Jalur Perdagangan
b. Relasi Ekonomi dengan penduduk lokal
c. Paham keagamaan komunitas Muslim Tionghoa
d. Relasi kebudayaan dengan penduduk lokal
e. Partisipasi politik komunitas Tionghoa
B. Proses Pembauran
a. Pembauran dalam Pendidikan
b. Pembauran dalam Bahasa
c. Pembauran dalam Perkawinan
d. Pembauran dalam Agama
e. Pembauran dalam Tempat Tinggal

Bab IV: Penutup, Kesimpulan dan Saran, Daftar Pustaka dan Lampiran.

Anda mungkin juga menyukai