TESIS
Proposal Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan Tugas Akhir Tesis
Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam
Konsentrasi Islam Nusantara
Oleh:
Salamun Ali Mafaz
(18.01.01.372)
Ada beberapa teori masuknya agama Islam ke nusantara Pertama, mengatakan Islam
datang ke Indonesia ini berasal dari Arabia; kedua, Islam datang berasal dari anak benua
India atau Gujarat; dan ketiga Islam datang berasal dari Bengal atau Bangladesh.2
Pendapat lain tentang teori masuknya Islam ke nusantara disampaikan A. Mansyur
Suryanegara (1998), menurutnya terdapat empat teori masuknya Islam ke Nusantara
yaitu teori Gujarat, teori Mekkah, teori Persia, dan teori Cina.3 Setidaknya terdapat lima
asal negara yang sering disebutkan mengenai asal para penyebaran Islam yaitu dari
kawasan Arab, Persia, Gujarat (India), Cina, dan Champa. Bahkan dalam kesimpulan
hasil dari beberapa seminar sejarah masuknya Islam di Indonesia, semakin mendukung
bahwa para peyebar Islam berasal langsung dari kawasan Arab.4
1. Mahayudin Hj. Yahya, Sejarah Islam, Shah Alam: Penerbit Fajar Bakti SDN.BHD, 1993, hlm. 563.
2 . Azyumardi Azra (ed), Perspektif Islam di Asia Tenggara, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989, hlm. xii-xiii.
3. A. Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, 1998, cet. IV, Mizan, hal. 92-93.
4 . Ibrahim Buchari, Sedjarah Masuknya Islam Proses Islamisasi Indonesia (Jakarta: Publicita, 1971), 52- 59.
melalui orang-orang Muslim Cina di sana.5 Perihal kedatangan Komunitas Tionghoa
Muslim ke Cirebon disebutkan sekitar tahun 1415 M, dengan adanya rombongan
Laksamana Ceng Ho yang datang ke Cirebon bersama armada angkatan lautnya dengan
membawa 63 Perahu yang memuat 27.800 orang yang terdiri dari perwira, prajurit, tabib,
para ahli perbintangan, dan para penerjemah .6
5 Tan Ta Sen, Cheng Ho Penyebar Islam dari China ke Nusantara, terj. Abdul Kadir, hlm. 254.
6 Dyah Komala Laksmiwati, Putri Ong Tin Mengarungi Samudra Asmara Merahi Cinta Sejati Sesuhunan Jati
Romantika Caruban Nagari, (Yogyakarta: Depublish, juni 2014), Ed.1, Cet. 2., hlm. 12.
7 Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibbah di Nusantara (Jakarta: Pustaka Obor
Populer, 2000), 12.
8 HJ.De Graf, Cina Muslim di Jawa antara Abad XV dan XVI, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2004, hlm 123.
didasarkan pada argumen berita dari Cina, yaitu telah adanya perkampungan Arab Islam
yaitu di Kalingga pada masa Ratu Sima.9
Kedatangan muslim Cina ke Indonesia tidak lain karena pada masa Huan Chou
telah terjadi konflik di wilayah Kanton Cina Selatan yang mengakibatkan umat Islam
menjadi sasaran penumpasan. Penduduk Kanton berusaha mengadakan revolusi politik
terhadap keraton Cina pada abad ke-9 M. Sebelum Islam datang, etnis Cina pada masa
Hindu-Buddha sudah berkumpul dengan masyarakat di Indonesia, kerjasama
perdagangan pada masa itu sudah terjalin. Pada masa Dinasti Tang (618-960 M) sudah
terdapat sejumlah pemukiman umat Islam di wilayah Kanton, Zhang-Zhao, Quazhou,
dan pesisir Cina bagian selatan. Seiring berjalannya waktu, peranan orang Cina di
Indonesia semakin terlihat dengan adanya bukti berupa arsitektur masjid Jawa Kuno
seperti pada atap masjid Banten.10
Keberadaan Komunitas Muslim Tionghoa Cirebon juga bisa dilihat dari arsitektur
berupa stupa yang berbentuk bola dunia yang dikelilingi empat ular yang ada di keraton
Cirebon, arsitektur Gua Sunyaragi, atau arsitektur masjid kuno di Jawa seperti corak
masjid Sendang Dawur Pacitan Lamongan, konstruksi pintu makam Sunan Giri,
konstruksi Masjid Demak terutama soko tatal penyangga masjid dan lambang kura-kura
di samping itu ada dua masjid yang merupakan peninggalan Cina muslim, yaitu Masjid
Kali Angke dan Masjid Kebun Jeruk di Jakarta.11
Sumber lokal seperti babad dan hikayat menyebutkan bahwa Raden Patah raja
Islam pertama di Demak merupakan keturunan Cina yang mempunyai nama Cina Jin
Bun.12Ibunya berasal dari Campa, Cina bagian selatan. Proses penyebaran agama Islam
melalui jalur perkawinan disebutkan di dalam Babad Tanah Jawa seperti perkawinan
Raja Majapahit dengan putri Campa. Dalam Babad Cerbon disebutkan Sunan Gunung
Djati menikah dengan putri Kawung Anten atau Putri Ong Tien yang berasal dari Cina.13
9 Adeng Muchtar Ghazali, Peran Sunan Gunung Djati dalam Penyebaran Islam di Jawa Barat dalam Jurnal Lektur
Keagamaan” Volume 8 Nomor 01 Juni2010hlm. 136.
10 Sumanto Al-Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa, (Yogyakarta : Inspeal Ahimsakarya Press) hlm. 215.
11 Ibid., hlm. 178-180.
12 H.J. de Graaf,dkk., Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1998) hlm.vii.
13 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia 2009.
hlm 23.
Di dalam sumber lain seperti Sejarah Banten dan Hikayat Hasanuddin nama dan
gelar raja-raja Demak ditulis dengan mengunakan istilah Cina, seperti Cek Ko Po, Jin
Bun, Cek Ban Cun, Cun Ceh dan Cu-cu. Ada juga sebutan Munggul dan Moechoel
tafsirkan sebuah kata dari Mongol yaitu wilayah di utara Cina. Berkaitan dengan
mazhab yang dibawa muslim Cina, mereka bermazhab suni Syafi’i yaitu mazhab yang
pada umumnya dianut masyarakat muslim sepanjang jalur sutra (silk road).14
Dari perkembangan industri batik yang pesat inilah pada akhirnya hampir semua
penduduk Trusmi terutama perempuan harus pandai membatik dan menenun dengan
memanfaatkan bahan baku dari lingkungannya seperti kapas, pohon nira, pohon katuk,
pohon kunyit. Maka terjadilah kerjasama antara lokal dengan orang-orang Cina, karena
pada saat itu orang Cina banyak yang menguasai bidang bahan industri tekstil dan batik.
Kerjasama bidang ekonomi ini berlanjut dengan penawaran modal kredit kepada
lokal.19Hubungan antara masyarakat Trusmi dengan orang Cina semakin kuat, para
pemilik industri batik Trusmi banyak berasal dari golongan penduduk lokal pemilik
tanah yang umumnya adalah para haji. Pada tahun 1937 kebanyak tanah penduduk lokal
menyewakan tanahnya kepada Cina untuk ditanami bahan baku pembuatan batik,
namun orang Cina tetap memberikan kebebasan kepada lokal untuk mengelola pabrik
batiknya bersama keluarga, santri, dan masyarakat sekitarnya. Managemen industri
kecil ini dijalankan berdasarkan hubungan kekeluargaan.20
17 P.S. Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari, Jakarta: Bhratara, 1972, hlm. 30. Muhaimin AG, Islam dalam
Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, Jakarta: Logos, 2001.
18 . Pierre van der Eng, ‘’De-industrialisation’ and Colonial Rule: The Cotton Textile Industry in Indonesia 1820-
1942’, Paper for session 13, XIV International Economic History Congress Helsinki, Finland: 21-25 August
2006, hlm. 10-11. Dalam artikel tulisan Imas Emalia, M. Hum berjudul Geliat Ekonomi Kelas Menengah
Muslim Di Cirebon: Dinamika Industri Batik Trusmi 1900-1980, hlm 7. Disampaikan dalam acara diskusi dosen
Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat:
Kamis 19 April 2017
19 . W.V. Warmelo, ‘Onstaan en groei van de handweefnijverheid in Madjalaja’, Koloniale Studien, Th. XXIII,
No.1, 1939, hlm. 11.
20 Mitsuo Hiroshi, The Development of the Javanese Cotton Industry, Tokyo: Institute of Developing Economic
I.D.E. Occasional Papers Series No. 7, 1990, hlm. 41.
Dalam perjalanannya motif batikpun terjadi akulturasi antara lokal dengan
Tionghoa seperti motif batik Soko Cino pengaruh cindera mata keramik Cina, motif
batik Paksi Naga Liman, dan motif batik Mega Mendung. Dalam hal pewarnaan terang
kebanyakan pengaruh kuat dari budaya Cina dan hasil produksi batik penduduk
keturunan Cina.21
21 . Irin Tambrin, ‘Batik Cirebon: Tinjauan Ornamen Batik Trusmi Cirebon’,Wacana Seni Rupa: Jurnal Seni Rupa
dan Desain, Vol. 2, 4 Mei 2002, hlm. 3. Pierre van der Eng, Paper for session 13, hlm. 11.
22 . Wawancara dengan Ketua Makin Cirebon, Chew Kong Giok atau Teddy Setiawan komunikasi via whatsaps,
Senin 14 September 2020, Pkl. 11.00.
Menurut Ketua Makin Cirebon, dalam persoalan politik umumnya warga Tionghoa
kurang tertarik karena lebih banyak yang terjun menjadi pengusaha, tetapi partisipasi
politik sama seperti warga lokal pada umumnya, ikut terlibat pada pemilihan eksekutif
maupun legislatif. Biasanya untuk menghindari keterlibatan politik terlalu dalam, warga
Tionghoa mengkuliahkan anak-anak mereka di luar kota, sampai kerja di luar kota, baru
nanti pulang meneruskan usaha orang tuanya.
Hasil komunikasi sementara peneliti dengan Dr. Jalaluddin, MA peneliti dan Dosen
Fakultas Ushuluddin IAIN Syekh Nurjati Cirebon menyampaikan dari hasil analisa
penelitiannya perihal komunitas muslim Tionghoa, aspirasi politik mereka begitu tinggi
karena berharap ada wakil rakyat atau pemimpin yang dapat mewakili aspirasi mereka.
Bahkan saking tingginya aspirasi politik mereka, pada saat pemilihan mereka selalu
datang paling awal untuk menyalurkan suaranya. Sementara untuk terlibat jauh menjadi
panitia pemilihan atau menjadi saksi masih ada resistensi tinggi, sehingga mereka tidak
terlibat menjadi panitia pemilihan atau saksi, hanya sebatas menyampaikan aspirasi
politiknya melalui hak memilih.23
Selain aktifitas di bidang ekonomi dan politik yang sudah disinggung di atas,
menurut Ketua Makin Cirebon, ada beberapa kegiatan sosial-agama yang membuat
keberadaan komunitas Tionghoa di Cirebon sampai saat ini hidup berdampingan dengan
baik seperti kegiatan di Klenteng Talang yang dahulu Klenteng ini adalah masjid
pertama di Cirebon bernama Masjid Talang yang dijadikan tempat beribadah kalangan
Tionghoa muslim pada masa kedatangan Cheng Ho pada masa awal Kesultanan
Cirebon, Klenteng Talang ini sekarang rutin mengadakan perayaan imlek dengan
membagikan sembako, komunitas Tionghoa di Cirebon juga aktif mengikuti rembug
bersama warga sekitar dalam kegiatan seperti peringatan kemerdekaan RI, gotong
royong membersihkan lingkungan, serta mengajak warga terlibat dalam memfasilitasi
acara sahur keliling bersama Ibu Sinta Nuriyah Wahid dan tokoh lintas agama.
23 . Wawancara dengan Dr. Jalaluddin, MA peneliti dan Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Syekh Nurjati Cirebon
komunikasi via whatsapps, Kamis, 15 Oktober 2020, Pkl. 15.10.
Pada bulan puasa, komunitas Tionghoa di Cirebon juga menyediakan takjil dan
buka puasa bersama warga di Vihara Dewi Welas Asih di Kecamatan Lemah Wungkuk,
dan di Klenteng Budhi Asih di Kecamatan Arjawinangun. Selain kegiatan-kegiatan di
atas, sampai saat ini komunitas Tionghoa di Cirebon juga rutin bersama-sama
menziarahi makam Sunan Gunung Djati dan Putri Ong Tien pada hari-hari tertentu atau
pada perayaan tradisi keagamaan seperti kliwonan, mauludan, dan syawalan.
Penelitian ini juga ingin menggambarkan pembauran warga Tionghoa, pada masa
Presiden Seokarno (1945-1966) relatif tidak ada sentimen negatif bagi warga etnis
Tionghoa di Indonesia. Hal ini dikarenakan pemahaman Presiden Soekarno bahwa
mereka warga etnis Tionghoa juga mempunyai peran dalam proses perjuangan melawan
kolonialisme. Selain itu Soekarno secara ideologi politik memiliki kedekatan dengan
RRT dibawah kepemimpinan Mao Tse Tung yang menghasilkan poros Jakarta-Peking. 24
Perubahan situasi politik yang terjadi pasca Orde Lama membuat warga etnis
Tionghoa mengalami hambatan dalam melakukan pembauran. Pada masa Orde Baru
diskriminasi kepada warga etnis Tionghoa terjadi, terutama dalam bidang kebudayaan
dan pendidikan. Banyak sekolah Tionghoa yang ditutup dan dialihfungsikan menjadi
sekolah umum. Bahasa Tionghoa tidak boleh diperlihatkan di toko-toko, dan semua
toko harus menggunakan bahasa Indonesia. Di Jawa Timur petinggi militer
mengitruksikan operator agar memutus percakapan telepon yang menggunakan bahasa
Tionghoa. Koran-koran yang berbahasa Tionghoa diberedel dan hanya ada satu yang
24 . Nurani Soyomukti, Soekarno & Cina: Nasionalisme Tionghoa dalam Revolusi Indonesia, Soekarno dan Poros
Jakarta-Peking, Sikap Bung Karno Terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Garasi, 2012)
hlm. 218-230
diberikan izin terbit yaitu koran Yindunixiya Ribao atau Harian Indonesia, dimana
empat halamannya harus berbahasa Indonesia.25
Karena pembatasan ruang gerak warga etnis Tionghoa inilah, akhirnya pada tahun
1963-1970 masa Orde Baru telah terjadi konversi agama warga etnis Tionghoa
dikarenakan kondisi politik saat itu. Operasi besar-besaran terhadap komunis telah
berdampak kepada komunitas Tionghoa ini sehingga terbitlah Inpres No. 14 Tahun
1967 yang mengharuskan bagi warga Tionghoa untuk melakukan asimilasi terhadap
kelompok Tionghoa di Indonesia.
Kebijakan pemerintah di masa Orde Baru ini berdampak kepada warga etnis
Tionghoa, termasuk di Cirebon. Peristiwa yang masih diingat masyarakat Tionghoa
Cirebon juga terjadi sekitar pertengahan Desember tahun 1948, ketika sekelompok
masyarakat melakukan penyerangan terhadap orang-orang Cina yang tinggal di Trusmi
dan Karang Tengah dengan melakukan pembakaran, pembunuhan, pengusiran terhadap
orang-orang Cina di Desa Trusmi Cirebon. Penyerangan itu dipicu oleh berkembangnya
isu bahwa salah seorang anggota komunitas Cina dianggap sebagai mata-mata Belanda.
Tuduhan negatif (streotyp) kepada komunitas Tionghoa ini terus terjadi pada bulan
Mei 1998, peristiwa pembunuhan, pembakaran, penjarahan dan pemerkosaan kembali
dialami komunitas Tionghoa, meskipun peristiwa ini serentak di beberapa titik di
Indonesia, tetapi eskalasi kekerasan ini juga sampai kepada komunitas Tionghoa di
Cirebon.
Pasca peristiwa 1965 dalam konteks tertentu merupakan peluang bagi orang-orang
Tionghoa untuk melakukan pembauran. Adapun strategi pembauran yang paling tepat
untuk melakukan pembauran total yaitu dengan cara memeluk agama Islam, karena
Islam merupakan faktor signifikan dalam pembentukan identitas sosial masyarakat
lokal. Dengan dapat diterima oleh golongan yang memeluk Islam, diharapkan juga
25 . Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa; Kasus Indonesia, (Jakarta:Pustaka LP3ES, 2002), hal. 85-86
dapat diterima oleh kalangan lokal, karena etnis Tionghoa telah memiliki identitas sosial
yang sama yaitu sesama orang Islam.26
Kondisi berbeda saat rezim Orde Baru tumbang, pada masa pemerintahan Presiden
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), warga etnis Tionghoa mendapatkan tempat di
Indonesia. Pada masa Gus Dur inilah, agama Khonghucu diakui sebagai agama resmi
pemeluk di Indonesia. Pembauran bagi warga etnis Tionghoa dalam bidang kebudayaan,
melakukan asimilasi melalui perkawinan terjadi puncaknya saat Presiden Gus Dur
menghapus Keppres No. 14/1967 yang melarang adat istiadat warga etnis Tionghoa di
masyarakat. Dengan dihapusnya Keppres No. 14/1967 warga etnis Tionghoa kembali
dapat menyalurkan aspirasi kebudayaannya seperti seni Barongsai yang kembali
menapatkan tempat di masyarakat. Perayaan hari besar keagamaan warga Etnis
Tionghoa pun dijadikan hari libur nasional setiap tahunnya. 27
Kebebasan merayakan Tahun Baru Imlek pasca keputusan presiden No. 6 tahun 2000, di
Era Presiden KH. Abdurrahman Wahid ini merupakan satu langkah substantif yang
dilakukan pemerintah untuk menuntaskan persoalan hubungan antara warga etnis Tionghoa
dengan masyarakat Indonesia secara umum (penduduk lokal). Hubungan antara warga etnis
Tionghoa dengan penduduk lokal masih menyimpan persoalan menyangkut sistem sosial,
persoalan keadilan dan kesetaraan, dan rekayasa politik. Akibat persoalan yang belum
tertuntaskan ini, hubungan warga keturunan Tionghoa dengan penduduk lokal masih
diwarnai ketegangan, ketidakharmonisan yang berakhir pada tindak kekerasan dan
pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Sebagian masyarakat Indonesia pada mulanya ada yang menerima dan ada juga yang
menolak keberadaannya, namun lambat laun masyarakat Indonesia pun akhirnya dapat
menerima keberadaan etnis Tionghoa ini. Faktor terjadinya penolakan dari masyarakat
karena memang kedudukan ekonomi etnis Tionghoa ini yang dominan.28
Peneliti tertarik meneliti tema ini karena memang selama ini banyak dibahas di
dalam penelitian lain hanya persoalan etnisitas komunitas Tionghoa ini. masih sedikit
26 . Junus Jahja, Dakwah dan Asimilasi: Masalah Tionghoa dan Ukhuwah Islamiyah, (Jakarta: Yayasan Ukhuwah
Islamiyah, 1982)
27. Leo Suryadinata, Op.Cit. hal 191-193.
28. Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa; Kasus Indonesia, hal. 88.
yang membahas perihal pembauran baik terjadi melalui asimilasi perkawinan antara
lokal dan muslim Tionghoa, maupun melalui hal lain.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar sejarah terjadinya hubungan sosial-ekonomi-politik komunitas
Tionghoa Muslim dengan penduduk lokal di Cirebon?
2. Bagaimana relasi sosial-ekonomi-politik komunitas Tionghoa Muslim dengan
penduduk lokal di Cirebon?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengeksplorasi sejarah hubungan ekonomi-politik komunitas Tionghoa Muslim
dengan penduduk lokal di Cirebon.
2. Menganalisa relasi kehidupan sosial-ekonomi-politik komunitas Tionghoa Muslim
dengan penduduk lokal di Cirebon.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaaan antara lain:
1. Secara teoritis, dengan hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat memberikan
pandangan yang lebih komprehensif untuk memahami, relasi kehidupan sosial-
ekonomi-politik komunitas Tionghoa dengan penduduk lokal di Cirebon, serta
menjelaskan latar belakang sejarah, kehidupan, tradisi, kebudayaan dan interaksinya
dengan kalangan lain.
2. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut:
a. Bagi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta Penelitian ini
diharapkan dapat menjadi khazanah keilmuan di lingkungan kampus sebagai
bahan untuk penggalian lebih dalam melalui forum-forum keilmuan yang ada di
kampus.
b. Bagi Mahasiswa.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan untuk memperkaya penelitian
selanjutnya tentang relasi kehidupan komunitas Tionghoa di nusantara terutama di
Cirebon.
c. Bagi Pemerintah.
Penelitian ini sebagai acuan utama agar pemerintah memelihara dengan baik relasi
kehidupan sosial-ekonomi-politik komunitas Tionghoa dengan penduduk lokal di
Cirebon sehingga dapat mendatangkan devisa bagi pemerintah.
E. Kajian Pustaka
Tulisan Popi Siti Sopiah dalam Jurnal Tamaddun Volume. 5, No. 2, Juli-Desember 2017
dengan judul Inpres No. 14 Tahun 1967 Dan Implikasinya Terhadap Identitas Muslim
Tionghoa Cirebon, mennyebutkan bahwa pada awal Orde Baru (1966-1998), Soeharto
mengeluarkan kebijakan asimilasi terhadap kelompok keturunan Tionghoa di Indonesia.
Tujuan dari kebijakan tersebut agar secara individual sifat-sifat ketionghoaannya mampu
dihapuskan. Kebijakan pada rezim Soeharto tersebut dilakukan melalui Instruksi Presiden
No. 14 Tahun 1967. Melalui kebijakan tersebut, pemerintah Orde Baru mengharuskan
seluruh orang Tionghoa untuk melakukan asimilasi dengan lokal melalu beberapa hal
seperti penggantian nama Tionghoa dengan nama lokal, pembatasan ruang gerak pada adat
istiadat yang berbau Tionghoa serta agama orang Tionghoa yang harus mengikuti agama
yang diakui oleh pemerintah.
Penelitian yang dilakukan Yusuf Zainal Abidin dalam Jurnal Academic Journal for
Homiletic Studies 12(1) (2018) 357-368 dengan judul Keberagamaan dan Dakwah
Tionghoa Muslim. Di dalam tulisannya disebutkan bahwa terdapat hubungan yang erat
antara dakwah dengan keberagamaan mereka, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
pandangan keagamaan komunitas Tionghoa Muslim tidak hanya terbatas pada fakta sosial
bahwa etnis Tionghoa beragama Islam, tetapi juga dirasakan dan dihayati dari interaksi
sosialnya.
Keberagamaan Tionghoa Muslim berdasarkan hasil penelitian juga terlihat dari tidak
begitu memikirkan mazhab keagamaan yang dianutnya, bukan persoalan ortodoksi yang
mengikat mereka melainkan manfaat ekonomi. Bentuk interaksi terutama dalam hal
ekonomi lebih penting dibandingkan fakta sosial mengenai aliran keagamaan.
Keberagamaan Tionghoa Muslim tidak cukup hanya dengan memeluk Islam semata,
melainkan perlunya sikap penguatan terhadap pendefinisian mereka mengenai keislaman
dan diwujudkan dalam interaksi sosial.
Tulisan Deni Junaedi dengan judul Bentang Budaya Visual Tionghoa: Sejak Prasejarah
hingga Kontemporer. Di dalam tulisan ini disebutkan bahwa budaya visual Tionghoa
mempengaruhi corak dan mewarnai ragam arsitektur bangunan.Ketika Kesultanan Islam
berjaya di Nusantara budaya visual Tionghoa juga turut mewarnai. Hiasan di Keraton
Kasepuhan Cirebon jelas menunjukkan hal itu. Aneka keramik Tionghoa masa Dinasti Ming
menempel di seluruh dinding yang terbuat dari batu bata merah. Di salah satu sisi keramik
terdapat relief bunga teratai yang dijuluki kembang kanigaran karya pemahat Tiongkok.
Dalam tulisannya, Deni Junaedi menjelaskan tentang budaya visual Tionghoa sering
memberikan penekanan pada keramik, karena artefak ini memang menunjukkan pencapaian
kualitas yang mengagumkan dan kuantitas yang mencengangkan. Penulis merujuk
pandangan pengamat keramik Noor Sudiyati, keramik Tiongkok memiliki beberapa dimensi
yang menarik untuk dicermati, seperti: bentuk, fungsi, warna glasir, teknis pembuatan,
maupun unsur ornament yang memiliki makna tertentu. Keramik Tiongkok bertebaran di
bumi Nusantara, baik yang berasal dari Dinasti Han (206SM-220), Tang (618-906), Song
(906-1279), Yuan (1279-1368), Ming (1368-1644), maupun Qing (1644-1912).
Selain dari hasil penelitian yang dipublikasikan di berbagai jurnal di atas, penelitian ini
juga merujuk pada sejumlah buku referensi. Buku yang ditulis Sumanto Al-Qurtuby yang
berjudul Arus Cina-Islam-Jawa yang menyebutkan bahwa orang-orang Tionghoa terlibat
aktif dalam berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa politik di Jawa dan turut serta dalam
melakukan penyebaran agama Islam di Jawa. Hasil dari persinggahan Laksamana Cheng Ho
terdapat peninggalan-peninggalan dan karya-karya besar Cina. Sumanto menyebutkan,
ekspedisi yang dilakukan Laksamana Cheng Ho ini selain melakukan aktifitas niaga, juga
melakukan aktifitas pembauran dengan warga lokal. Tidak sedikit dari mereka selain
melakukan aktifitas perniagaan juga menikah dengan orang lokal Jawa. Terjadinya asimilasi
inilah yang mengakibatkan terjadinya persilangan budaya antara orang Tionghoa dengan
orang Jawa.
Buku karya Benny G. Setiono berjudul Tionghoa dalam Pusaran Politik, buku ini
memberikan penjelasan tentang awal masuknya orang Tionghoa di Indonesia, kondisi
masyarakat Tionghoa di Indonesia pada saat terjadinya gejolak-gejolak politik di Indonesia.
Di dalam buku ini juga menggambarkan sekilas agama yang dianut kalangan Tionghoa ini.
Buku ini tidak mengulas begitu mendalam tentang konversi agama masyarakat Tionghoa
atau membahas perihal kepindahan agama masyarakat Tionghoa ini, paling tidak buku ini
dapat membantu memberikan gambaran tentang eksistensi masyarakat Tionghoa ini dalam
pusaran politik di Indonesia.
Penelitian ini juga mengacu pada buku karya Dennis Lombard, Nusa Jawa Silang
Budaya, Lombard menyebutkan secara tidak langsung budaya Tionghoa telah menjadi
bagian dari sub-budaya kemajemukan yang ada di Indonesia. Semenjak abad ke-7 M
persentuhan budaya Tionghoa dengan masyarakat nusantara melalui aktifitas perniagaan
yang secara tidak langsung menjadi media terjadinya pembauran asimilasi dan akulturasi.
Menurut Lombard, berdasarkan kajian sejarah Tionghoa di nusantara, tercatat bahwa abad
14-15 M merupakan masa puncak persentuhan antara Tiongkok dan nusantara, karena pada
abad tersebut banyak sekali ditemukan peninggalan-peninggalan, ekspedisi yang dilakukan
para pedagang atau utusan kaisar Tiongkok pada abad ini telah meninggalkan catatan-
catatan sejarah yang dapat dijadikan rujukan para ahli sejarah.
Penelitian ini juga merujuk pada buku yang ditulis Jeremi Huang yang berjudul Budaya
Etnis Tionghoa Cirebon, di dalam buku ini disebutkan ketika Laksamana Cheng Ho beserta
rombongannya termasuk Ma Huan dalam perjalanannya ke Mataram, mereka mampir di
Cirebon selama 7 hari 7 malam dan meninggalkan rombongannya di Cirebon. Bahkan Ma
Huan menikahi perempuan bernama Nyai Rara Rudra yang masih ada ikatan saudara dengan
Ki Gedeng Tapa penguasa pelabuhan Cirebon saat itu. Jeremi juga menyebutkan asal muasal
komunitas Tionghoa berada di Cirebon yaitu dengan datangnya Putri Ong Tien yang
mencari Sunan Gunung Djati ke Cirebon karena ingin menyembuhkan perutnya yang
kelihatan sedang hamil.
Selain sejumlah sumber referensi di atas, penelitian juga merujuk pada buku karya H.
Ibrahim Tien Ying Ma, berjudul Perkembangan Islam Di Tiongkok, buku ini memberikan
gambaran detail jejak sejarah masyarakat Tiongkok dari beberapa dinasti hingga masuknya
Islam ke dataran Tiongkok tersebut. Buku ini memberikan informasi penting perihal
kedatangan Laksamana Cheng Ho ke Indonesia dengan misi perdagangan dan menjalin
hubungan diplomatik. Bagi penulis buku ini memandu dalam penulisan penelitian ini dari
jejak sejarah hingga kondisi sosial-ekonomi-politik pada masa itu yang berpengaruh besar
terhadap penyebaran Islam di Indonesia.
Dari hasil beberapa tulisan di atas, penulis berpendapat bahwa komunitas Tionghoa
memiliki peran terhadap penyebaran Islam di tanah Jawa. Dalam konteks di Cirebon
komunitas Tionghoa berperan dalam melakukan asimilasi budaya melalui perkawinan,
perdagangan, arsitektur bangunan, visual benda-benda di komplek Keraton dan pemakaman
Sunan Gunung Djati. Dengan latar belakang sejarah relasi kehidupan komunitas Tionghoa di
Cirebon ini, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam relasi sosial-ekonomi-politik
komunitas Tionghoa Muslim Cirebon ini yang mungkin belum disebutkan secara spesifik
pada penelitian sebelumnya.
1. Landasan Teori
a. Pembauran
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan landasan teori pembauran
etnis dan budaya. Tentu saja landasan teori ini merujuk pada buku Leo Suryadinata
Dilema Minoritas Tionghoa, buku ini memberikan gambaran masyarakat kita terhadap
etnis Tionghoa. Sebagian masyarakat Indonesia pada mulanya ada yang menerima dan
ada juga yang menolak keberadaannya, namun lambat laun masyarakat Indonesia pun
akhirnya dapat menerima keberadaan etnis Tionghoa ini. Faktor terjadinya penolakan
dari masyarakat karena memang kedudukan ekonomi etnis Tionghoa ini yang dominan.
Tetapi kemudian terjadilah pembauran dalam bidang kebudayaan, melakukan
asimilasi melalui perkawinan. Puncak pembauran terjadi pada masa presiden Gus Dur
yang menghapus Keppres No. 14/1967 yang melarang adat istiadat orang Tionghoa di
masyarakat. Setelah penghapusan Keppres No. 14/1967 itu akhirnya kebudayaa
Tionghoa seperti Barongsai kembali mendapatkan tempat di Indonesia.29
Pasca peristiwa 1965 dalam konteks tertentu merupakan peluang bagi orang-orang
Tionghoa untuk melakukan pembauran. Adapun strategi pembauran yang paling tepat
untuk melakukan pembauran total yaitu dengan cara memeluk agama Islam, karena
Islam merupakan faktor signifikan dalam pembentukan identitas sosial masyarakat
lokal. Dengan dapat diterima oleh golongan yang memeluk Islam, diharapkan juga
dapat diterima oleh kalangan lokal, karena etnis Tionghoa telah memiliki identitas sosial
yang sama yaitu sesama orang Islam.30
Peneliti menggunakan teori pembauran ini karena menurut peneliti teori ini penting
untuk memahami bagaimana hubungan antar etnik (pembauran) terjadi tanpa harus
menghapus kelompok etnis, identitas etnik, dan kategorisasi etnis karena teori ini
menekankan pada kelompok bukan individu dalam proses terciptanya pembauran antar
etnik.
Peneliti meyakini dari pembauran etnis dan budaya inilah pada akhirnya tercipta
toleransi antara lokal dan komunitas Tionghoa ini. Di dalam kamus besar bahasa
Indonesia, toleransi adalah sikap atau sifat toleran yaitu bersikap menghargai dengan
yang berbeda atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri, seperti dalam toleransi
agama (Bahari, 2010:50). Perilaku toleran komunitas Tionghoa muslim Cirebon
merupakan perwujudan sikap toleransi beragama kepada pemeluk agama lain. Karena
itulah perlu dijelaskan toleransi beragama yaitu sikap bersedia untuk berpartisipasi di
dalam masyarakat sosial yang lebih luas melalui proses asimilasi, meski berada di
dalam kelompok minoritas atau agama yang berbeda (Hidayat, 2006).
29 . Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa; Kasus Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2002) hal. 191-193.
30 . Junus Jahja, Dakwah dan Asimilasi: Masalah Tionghoa dan Ukhuwah Islamiyah, (Jakarta: Yayasan Ukhuwah
Islamiyah, 1982)
Kemudian setelah terjadi sikap saling menerima dan tercipta toleransi antar lokal dan
komunitas Tionghoa. Peneliti menggunakan analisa terjadilah konversi agama kalangan
Tionghoa ini menjadi seorang muslim. Perihal konversi agama ini kita dapat
menemukan kata konversi yang diambil dari bahasa latin yaitu conversion yang berarti
masuk dan pindah agama. Konversi berarti suatu perubahan keyakinan yang berlawanan
dengan keyakinan semula. 31
Konversi agama adalah perubahan keyakinan atau
pertumbuhan spiritual yang mencapai puncaknya. Konversi terjadi terjadi dikarenakan
pencarian yang berakhir pada pencerahan. Konversi juga berkaitan dengan proses
kejiwaan manusia. 32
Dalam perspektif sosiologis dalam mengkaji konversi agama, ada banyak faktor yang
menjadikan seseorang melakukan konversi agama, salah satunya adalah interaksi sosial
dan status sosial. Kedua faktor tersebut merupakan faktor dominan dalam proses
konversi agama yang terjadi pada seseorang, faktor keinginan untuk diakui dalam
sebuah komunitas dan perubahan status.33
b. Identitas Sosial
Setiap individu pada dasarnya ingin memiliki identitas sosial yang positif. Hal ini
dalam rangka mendapatkan pengakuan (recognition) dari pihak lain dan persamaan
31. Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang, hal. 137.
32. D. Hendropuspito, Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, hal. 67.
33. Walter Houston Clark dalam Sururin, Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Rajawali Press, 2004, hlm. 106-107.
34 . T.J. Lan, Susahnya Jadi Orang Cina. Ke-Cina-an Sebagai Konstruksi Sosial. Dalam Wibowo, I (editor). Harga
Yang Harus Dibayar. Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Pusat
Studi Cina, 2000) hal. 31.
sosial (social equality).35 Dalam pandangan teori identitas sosial juga disebutkan bahwa
keinginan ingin memiliki identitas sosial yang positif dipandang sebagai penggerak
psikologik penting dibalik tindakan-tindakan individu dalam melakukan interaksi sosial.
Melalui proses social comparison yang dipandang sebagai cara untuk menentukan
posisi dan status identitas sosialnya.36
F. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan cara mengumpulkan data, melakukan analisa
untuk dijadikan bahan dalam penulisan ini. Menurut Bodga dan Taylor metodologi
penelitian kualitatif menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau dari
lisan dan perilaku dari orang yang diamati. Semua data yang dihasilkan menjadi kunci
terhadap apa yang sedang diteliti.38
Penelitian dengan pendekatan kualitatif menurut Lexy Moleong (1990) berakar pada latar
alamiah sebagai keutuhan, mengandalkan manusia sebagai alat penelitian serta dengan
35. Ibid, hal. 32
36. Op.Cit. hal. 33
37 . S.W. Sarwono, Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hal
17
38. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989, hal.3.
melakukan analisis data secara induktif. Dalam penelitian kualitatif proses lebih penting
daripada hasil itu sendiri. Penelitian kualitatif mempunyai batas penelitian agar fokus yang
muncul sebagai suatu masalah, memiliki seperangkat kriteria dalam mengukur data melalui
hasil kesepakatan antara peneliti dengan subyek yang diteliti.39
Penelitian kualitatif adalah metode penelitian berlandaskan pada filsafat post positivisme
yang dapat digunakan untuk meneliti pada suatu kondisi objek yang alamiyah, dimana
peneliti merupakan instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara
purposive dan snowball, teknik pengumpulan dengan gabungan, analisis data yang bersifat
induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekan makna dari pada generalisasi.40
Metode kualitatif ini digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang
mengandung makna yang sebenarnya, data yang pasti yang merupakan nilai dibalik data
yang nampak. Karenanya, di dalam penelitian kualitatif ini tidak menampakkan generalisasi,
tetapi lebih menekankan pada makna. Generalisasi dalam penelitian kualitatif adalah
transferability.41
Dalam penelitian kualitatif peneliti dapat menggunakan metode kualitatif yaitu dengan
kualitatif ini digunakan karena adanya pertimbangan yaitu pertama, metode kualitatif lebih
mudah menyesuaikan apabila harus dihadapkan dengan kenyataan jamak. Kedua, metode ini
menyajikan secara langsung hakikat hubungannya antara peneliti dengan responden. Ketiga,
metode kualitatif ini lebih dapat menyesuaikan diri dengan penajaman penelitian terhadap
Dalam melakukan penelitian kualitatif, data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar,
bukan angka-angka. Selain itu semua, mengumpulkan bahan penting yang kemungkinan
sudah pernah dilakukan penelitian sebelumnya. Maka, penelitian ini pada akhirnya akan
berisi kutipan data untuk memberikan gambaran hasil dari penelitian ini. Data yang
Alasan lain peneliti memilih Cirebon sebagai tempat melakukan penelitian, karena
Cirebon merupakan tanah kelahiran peneliti sehingga memudahkan dalam melakukan
komunikasi, menghafal rute dan jalan untuk menggali data kepada informan. Peneliti akan
melakukan penelitian ini sekitar 6 bulan dengan menggali data lebih dalam dan dilaporkan
secara bertahap kepada pembimbing.
Dalam menghimpun sumber data ini, penulis membagi data berupa data primer dan
sekunder. Data primer yaitu sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul
data.46 Sumber data primer dalam penelitian ini adalah para informan baik dari organisasi
PITI, MAKIN, Organisasi kemasyarakatan, tokoh Komunitas Muslim Tionghoa, akademisi,
tokoh agama maupun ahli sejarah yang bersentuhan langsung dengan persoalan terkait.
organisasi, catatan pribadi, maupun catatan sejarah yang tersebar. Data sekunder bisa
didapatkan baik dari personil yang tidak bersentuhan secara langsung, melalui tempat
peninggalan seperti tempat ibadah, rumah, prasasti, atau melalui catatan-catatan peninggalan
yang berkaitan.
a. Wawancara
Teknik pengumpulan data dengan wawancara yaitu mengumpulkan data mengenai
sikap, kelakuan, pengalaman, cita-cita dan harapan manusia yang dikemukakan oleh
responden kepada peneliti. Dalam melakukan wawancara hal yang penting diketahui
peneliti adalah kondisi dari responden itu sendiri, sampai seberapa jauh responden
bersedia untuk diwawancarai, hal ini berkaitan dengan kevalidan data yang disampaikan
responden apakah sesuai atau data palsu.49
Teknik pengumpulan data dengan melakukan wawancara dibagi menjadi tiga macam,
yaitu wawancara terstruktur, wawancara semistruktur, dan wawancara berstruktur.
Dengan melakukan wawancara maka peneliti akan mendapatkan hal-hal yang lebih
mendalam dari narasumber dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi
dimana tidak bisa ditemukan melalui observasi.50
b. Observasi
Dalam penelitian kualitatif, observasi merupakan dasar semua ilmu pengetahuan.51
c. Dokumentasi
Dukomentasi adalah usaha mencari data mengenai hal-hal yang berupa catatan,
transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, dan sebagainya.
Teknik ini dilakukan dengan jalan menelaah atau mengkaji dokumen yang berhubungan
dengan masalah yang dikaji agar data yang dikumpulkan lebihsempurna. 53 Teknik
dokumentasi ini juga untuk melengkapi hasil data dari wawancara dan observasi dengan
melakukan analisa data-data dokumen yang dapat dipertangungjawabkan.
Studi dokumentasi merupakan bagian dari cara melengkapi data dari penggunaan
metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif. Hasil dari penelitian
kualitatif nantinya akan semakin kredibel apabila didukung dengan foto-foto, karya seni,
atau karya tulis yang tersedia.54
52. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989, hal. 216
53 .Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, (Rineka Cipta, Jakarta) 1998. hal.188
54 . Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan “pendekatan kualitatif, kuantitatif dan R&D.” (Bandung: Alfabeta,
2011) hal. 330
Dalam melakukan teknik analisa data ada tiga teknik yang bisa dilakukan. Pertama,
induktif adalah cara berfikir untuk memberikan suatu alasan yang dimulai dengan
pernyataan-pernyatan spesifik dalam menyusun suatu argumentasi yang bersifat umum.
Teknik induktif ini diharapkan dapat mempermudah peneliti menemukan fakta-fakta seperti
yang terdapat di dalam data.
Kemudian kedua, dalam melakukan analisa data, peneliti dapat melakukan teknik
komparatif yaitu membandingkan antara data yang diperoleh dengan teori yang sudah ada.
Setelah itu mencari kesamaan dan perbedaanya, yang difokuskan peneliti dalam melakukan
teknik komparatif adalah dengan mencari perbedaannya dari pada kesamaannya. 55
Dan ketiga, melakukan teknik reflektif yaitu pengalaman-pengalaman yang sudah ada
untuk dipertimbangkan kemungkinan tindakan alternatif yang boleh digunakan untuk
mencapai tindakan objektif dalam penyelesaian masalah serta memutuskan langkah
selanjutnya. 56
G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan penelitian Perilaku Toleran Komunitas Tionghoa Muslim Cirebon
sistematika penulisan sebagai berikut:
55. Sutrisno hadi, Metodologi Research jilid I, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit UGM, 1994) 42
56. Ibid, hal. 42
57. Nasution Metode Penelitian Kualitatif (Tarsito, Bandung), 1998. hal. 105
Bab I: Bab pendahuluan, yang berisi Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tinjauan
Pustaka, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teori dan Pendekatan, Metode
Penelitian dan Sistematika Penulisan.
Bab II: Sejarah Cirebon, Letak Geografis Cirebon, Sejarah Masuknya Islam di Cirebon,
Sejarah Masuknya Komunitas Tionghoa di Cirebon, Latar Kehidupan, sejarah relasi sosial-
ekonomi-politik dengan penduduk lokal, Peninggalan-peninggalan berupa Kebudayaan.
Bab III: Hasil Penelitian Pembauran Komunitas Muslim Tionghoa di Cirebon
A. Sejarah terbentuknya Komunitas Muslim Tionghoa di Cirebon
a. Kerjasama Jalur Perdagangan
b. Relasi Ekonomi dengan penduduk lokal
c. Paham keagamaan komunitas Muslim Tionghoa
d. Relasi kebudayaan dengan penduduk lokal
e. Partisipasi politik komunitas Tionghoa
B. Proses Pembauran
a. Pembauran dalam Pendidikan
b. Pembauran dalam Bahasa
c. Pembauran dalam Perkawinan
d. Pembauran dalam Agama
e. Pembauran dalam Tempat Tinggal
Bab IV: Penutup, Kesimpulan dan Saran, Daftar Pustaka dan Lampiran.