Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

Pola Dakwah di Indonesia (Jawa Barat)


Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sejarah Dakwah
Dosen Pengampu: Dr. H. Syamsudin RS, M.Ag dan Dr. H. Amin Hamdani, S.Ag, M.Ag

Disusun Oleh Kelompok 7:


1. Rai Muhammad Sya’bani (1214020240)
2. Refa Audina (1214020145)
3. Sofa Nuramal Nabila (1214020165)
4. Syafira Wulan Diar (1214020171)
5. Syfa Fauziyah (1214020172)

JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan
Karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Pola Dakwah di
Indonesia (Jawa Barat) ini dengan tepat waktu. Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk
memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Dakwah. Penyusunan makalah ini tidak terlepas dari
dukungan dan bimbingan berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada pembimbing kami yakni
bapak Dr. H. Syamsudin RS, M.Ag dan Dr. H. Amin Hamdani, S.Ag, M.Ag
Harapan penulis semoga makalah ini dapat membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah
ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan yang jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Bandung, 15 November 2022

Penulis

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... I


DAFTAR ISI ................................................................................................................. II
BAB I .............................................................................................................................1
PENDAHULUAN ..........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah ....................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................3
1.3 Tujuan Penenulisan............................................................................................3
BAB II ............................................................................................................................4
PEMBAHASAN ............................................................................................................4
2.1 Sejarah Masuknya Islam Ke Jawa Barat ...........................................................4
2.2 Tokoh Awal Penyebaran Islam di Jawa Barat ...................................................5
2.3 Relasi Dakwah dan Budaya di Jawa Barat ........................................................8
2.4 Pendekatan Dakwah Di Jawa Barat .................................................................10
2.5 Model-model Dakwah di Jawa Barat ..............................................................13
2.6 Pembentukkan Kekuatan Islam di Jawa Barat ................................................14
BAB III .........................................................................................................................16
PENUTUP ....................................................................................................................16
3.1 Kesimpulam .....................................................................................................17
3.2 Saran ................................................................................................................18

II
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Berdakwah merupakan salah satu kewajiban yang diembankan Allah pada setiap
umat-Nya. Kewajiban dakwah di sini dimaknai berdasarkan terminologi dakwah itu sendiri
yakni sebagai kegiatan untuk menyeru pada yang baik dan mengajak untuk menjauhi
kemungkaran. Dikarenakan hal ini telah ditegaskan dalam firman Allah : “ Dan hendaklah
ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru pada kebajikan, menyuruh pada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang – orang yang beruntung.” (Qs.
Ali Imran : 104).
Invasi Islam ke Jawa Barat, yaitu Cirebon, Banten dan Sunda Kalapa, disebabkan
daerah-daerah tersebut menjadi pusat invasi dan perkembangan Islam di awal Jawa Barat.
Secara geografis, Cirebon terletak di pesisir utara Pulau Jawa atau pesisir timur ibu kota
Pajajaran.
Secara historis Islam telah berhasil merambah Nusantara, khususnya Jawa Barat.
Bongkar diri Anda dan gabungkan dengan agama baru yang ditawarkan kepada Anda.
Mampu memahami kondisi sosial budaya masyarakat. Contoh dari fenomena ini adalah
penyebaran Islam oleh Dewan Pemerintahan, terutama jika didukung oleh sikap toleran,
arif, tidak merusak dan akomodatif terhadap budaya yang berkembang di masyarakat.
Pulau Jawa dianggap sangat sukses dalam catatan sejarah. Pada akhirnya, tentu kunci
keberhasilan penyebaran Islam di tanah Jawa tidak lepas dari peran strategis metode
dakwah yang dipraktikkan para wali. Khotbah Islam yang dilakukan para wali tidak hanya
bijak. Meski sapaan penuh kasih sayang dan bahasa yang santun, mereka sangat toleran
dan mudah beradaptasi dengan budaya masyarakat yang berkembang. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Islam hampir sepenuhnya merambah Jawa dalam waktu yang relatif
singkat dan diterima secara sosial.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dakwah dan aktivitas budaya yang ada dan berkembang
di Jawa Barat sangat erat kaitannya. Perhelatan mahar di Jawa Barat selalu berada dalam
konteks budaya yang melingkupinya. Bagaimana para pelaku dakwah melakukan kegiatan
dakwah dan bagaimana para pelaku dakwah berperilaku selama acara dakwah selalu

1
membawa dan melibatkan konteks budaya yang ada. Ada korelasi kuat antara dakwah dan
budaya di Jawa Barat. Di satu sisi, dakwah terhubung dan bergantung pada budaya. Di satu
sisi, budaya juga memiliki keterkaitan dan kepentingan yang sama dengan dakwah.

2
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaiman Sejarah Masuknya Islam Ke Jawa Barat?
2. Siapa Saja Tokoh Awal Penyebaran Islam di Jawa Barat?
3. Bagaimana Relasi Dakwah dan Budaya di Jawa Barat?
4. Bagaimana Pendekatan Dakwah Di Jawa Barat?
5. Apa Saja Model-model Dakwah di Jawa Barat?
6. Bagaimana Pembentukkan Kekuatan Islam di Jawa Barat?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk Mengetahui Sejarah Masuknya Islam Ke Jawa Barat.
2. Untuk Mengetahui Tokoh Awal Penyebaran Islam di Jawa Barat.
3. Untuk Mengetahui Relasi Dakwah dan Budaya di Jawa Barat.
4. Untuk Mengetahui Pendekatan Dakwah Di Jawa Barat.
5. Untuk Mengetahui Model-model Dakwah di Jawa Barat.
6. Untuk Mengetahui Pembentukkan Kekuatan Islam di Jawa Barat.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Masuknya Islam Ke Jawa Barat


Invasi Islam ke Jawa Barat, yaitu Cirebon, Banten dan Sunda Kalapa, disebabkan daerah-
daerah tersebut menjadi pusat invasi dan perkembangan Islam di awal Jawa Barat. Secara
geografis, Cirebon terletak di pesisir utara Pulau Jawa atau pesisir timur ibu kota Pajajaran.
Warga mencari nafkah dengan menangkap udang dan membuat terasi. Cirebon memiliki muara
yang berperan penting bagi pelabuhan dan menjadi tempat kegiatan pelayaran dan perdagangan
lokal, regional bahkan internasional. Pada tahun 1513, Tome Pires melaporkan bahwa
pelabuhan Cirebon didatangi tiga atau empat kapal (jung) setiap hari untuk berlabuh. Beras,
berbagai bahan makanan, dan kayu dalam jumlah besar diekspor dari pelabuhan ini sebagai
bahan pembuatan kapal. Cirebon sebagai kota pelabuhan sudah ada sejak lama sejak Cirebon
menjadi vasal Kerajaan Sunda (Tjandrasasmita, 2009: 159).
Misalnya, sumber-sumber lokal seperti Babad Cirebon (Edisi Blandes) dan Kalita
Purwaka Calvin Nagari melaporkan bahwa Cirebo dulunya adalah pemukiman yang diperintah
oleh juru labu (Shabandar), tetapi menjadi desa yang dipimpin oleh Kuu. Pelabuhan ini terletak
di Muara Amparan Jati di desa Pasambangan. Kepala atau pengelola pelabuhan adalah Ki
Gedeng Kasmaya, Ki Gedeng Sambilkasih, kemudian digantikan oleh Ki Gedeng Tapa, yang
digantikan oleh Ke Gedeng Jumajan Jati. Akibatnya, Cirebon sebagai daerah bawahan Kerajaan
Sunda membayar upeti tahunan berupa garam dan terasi (Tjandrasasmita, 2009: 159).

Sebelum tempat tinggal yang sekarang menjadi Kota Cirebon, ada kehidupan komunal
di utara tempat ini. Orang-orang yang tinggal di tempat ini adalah pelopor orang Cirebon. Ada
pelabuhan di Muhara Jati dan Pasambangan. Singapura di utara, Japla di timur, dan pedalaman
Calvingilan di selatan. Pada kuartal pertama abad ke-14, pedagang dari Pasay, Arab, India,
Persia, Malaka, Tumasik (Singapura), Palembang, Cina, Jawa Timur dan Madura mengunjungi
pelabuhan Muhara Jati dan pasar Pasambangan. Untuk melakukan bisnis dan memenuhi
kebutuhan wisatawan lain. Kedatangannya dalam memeluk Islam di pelabuhan Muhara Jati dan
Pasar Pathambangan memungkinkan penduduk setempat untuk membiasakan diri dengan
Islam.

4
Banten merupakan pelabuhan yang penting secara geografis dan ekonomi karena
lokasinya yang strategis mendominasi Selat Sunda, dan juga menyediakan jalur transportasi
dan perdagangan melalui Laut Indonesia ke selatan dan barat Sumatera. Banten pertama kali
disebutkan dalam Kronik Cirebon (versi Brandes) sebagai titik persinggahan ketika Syarif
Hidayathurro tiba di Jawa setelah kembali dari Arab. Banten pada saat itu ada yang memeluk
agama Islam, meskipun merupakan bagian dari Kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu.
Orang Banten masuk Islam oleh Demak dan Cirebon tanpa perang. Menurut Carita Purwaka
Caruban Nagari, saat Syarif Hidayatulloh singgah di Banten, tempat itu sudah menjadi kota
pelabuhan. Empat belas tahun kemudian (1627) orang Portugis lain bernama Barros
menemukan Banten sebagai kota pelabuhan utama yang sejajar dengan Malaka dan Sumatera.
Pada tanggal 22 Juni 1596, rombongan Belanda pertama yang mencapai Banten dipimpin oleh
Cornelis de Houtman. Ia menemukan Banten sebagai kota pelabuhan utama sekaligus pusat
kekuasaan Islam. Banyak pedagang dari Cina, Persia, Arab, Turki, India, dan Portugal
berdagang di pelabuhan ini.

Keberadaan Sunda Kalapa dibuktikan dan diriwayatkan oleh Tomé Pires pada tahun
1513, J. de Barros pada tahun 1527 dan Cornelis de Houtmann pada tahun 1598. Ketiganya
menjelaskan bahwa Sunda Kalapa adalah kota pelabuhan yang indah yang sering dikunjungi
para pedagang. Kota pelabuhan ini awalnya merupakan pelabuhan utama Kerajaan Sunda,
namun kemudian diduduki oleh pasukan Islam dari Demak dan Cirebon yang dipimpin oleh
Faretehan (1527). Setelah diambil alih oleh pasukan Islam, Sunda Kalapa berubah nama
menjadi Jayakarta.

2.2 Tokoh Awal Penyebaran Islam di Jawa Barat


Indikasi paling awal bahwa umat Islam telah menyerbu dan tinggal di wilayah Jawa Barat
dimulai pada awal abad ke-14. Menurut sumber sejarah lokal yang dicatat oleh Hageman
(1866), Muslim pertama yang datang ke Jawa Barat adalah Haji Purwa pada tahun 1250 Jawa
atau 1337 M. Haji Purwa adalah pangeran Kuda Lalean. Haji Purwa masuk Islam dalam
perjalanan bisnis ke India. Dia masuk Islam oleh seorang pedagang Arab yang dia temui di
India. Haji Purwa berusaha mengislamkan saudaranya yang berkuasa di Kerajaan Tatar Sunda
Dalam. Namun, usahanya gagal. Akhirnya Haji Purwa meninggalkan Garu dan menetap di
Cirebon Girang.

5
A. Profesor Edi S. Ekajati (1975:87-88)
Mengandaikan bahwa Haji Purwa identik dengan Syekh Maulana Saifuddin,
Muslim pertama yang menetap di Cirebon. Di sana ia mencoba menyebarkan Islam.
Ketika Haji Purwa atau Syekh Maulana Saifuddin tinggal di Cirebon Girang, daerah itu
diperintah oleh Ki Gedeng Kasmaya. Ia masih berhubungan dengan penguasa Garu.
Saat itu Cirebon Gilan merupakan daerah mandala. Selain Haji Purwa, Syekh Khullo
adalah tokoh Muslim terkemuka yang hidup di Tatar Sunda awal.
Carita Purwaka Caruban Nagari menyebutkan bahwa Dusun Pasambangan
dihadiri oleh seorang guru muslim dari Campa bernama Syekh Hasanuddin, putra Syekh
Yusuf Sidik. Dia adalah seorang pendeta terkenal di Kampa. Syekh Hasanuddin
membangun gubuk di Quro di Karawang. Itulah sebabnya Syekh Hasanuddin dikenal
sebagai Syekh Kro. Penerjemah Labuan Ki Geden Thapa memerintahkan putrinya Nyai
Subang Lalang untuk belajar agama Islam di Pondok Kroh. Dalam perkembangan
selanjutnya, Nyai Subang Larang menikah dengan Prabu Siriwangi, Raja Kerajaan
Sunda.
B. Syekh Datuk Kafi,
Yang juga dikenal sebagai Syekh Idhafi atau Syekh Nurjati, seorang Muslim
awal penduduk Tatar Sunda. Seseorang dari Arab. Syekh Datuk Kahfi datang ke
Pathambangan sebagai utusan Raja Persia. Kedatangan Syekh Datuk Kahfi didampingi
dua puluh pria dan dua wanita. Kedatangan mereka disambut dan mereka diberi tempat
dan dihormati oleh Ki Gedeng Jumajan Jati. Wadiresan (Cakrabuana), bersama istrinya
Endang Ayu dan adiknya Nyai Lara Santang, diperintahkan oleh Ki Gedeng Jumajan
Jati untuk belajar agama Islam di bawah bimbingan Syekh Datuk Kahfi yang
membangun gubuk di Bukit Amparan Jati (Atja , 1972: 46-47; Tjandarasasmita , 2009:
160).
C. Wadarersan
Setelah belajar dengan Syekh Datuk Kafi, Wadiresan disebut Samudullah atau
Chakrabumi. Di bawah bimbingan gurunya, Wadiresan membangun gubuk dan tajug di
Dusun Kevon Pasisir. Awalnya merupakan ladang alang-alang, situs tersebut kemudian
menjadi desa yang dikelola oleh suku Kuu. Tempat ini kemudian disebut Calvin atau
Forbidden Calvin.

6
Dalam perkembangan selanjutnya, desa tersebut kemudian berkembang menjadi
kawasan perkotaan dengan adanya pedagang Druk Pasambangan yang semula sering
mengunjungi pelabuhan Muara Jati, kemudian pindah ke pelabuhan Calvin. Pada paruh
pertama abad ke-14, ada pemukiman Muslim di Tatar Sunda, khususnya Cirebon.
Sebagaimana dikemukakan Tome Pires, pada tahun 1513 sebagian masyarakat Jawa
Barat yaitu penduduk kota pelabuhan Cirebon dan kota pelabuhan Cimanuk
(Indramayu) sudah beragama Islam, sudah ada yang masuk Islam.
Namun, masuk akal untuk berasumsi bahwa di masa lalu, selain dari dua kota
pelabuhan itu, ada juga Muslim dari daerah lain, terutama para pedagang. Hal ini
berdasarkan perintah dari Raja Kerajaan Sunda untuk membatasi jumlah pedagang
muslim yang berkunjung ke pelabuhan tersebut. Pedagang muslim yang mengunjungi
kota-kota pelabuhan ini berasal dari Malaka, Palembang, Fansur (Bas bawah), Tanjung
Pura, Rendah dan Jawa. Larangan ini mungkin atas permintaan Portugis, yang merebut
Malaka pada tahun 1511 dan ingin menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda.
Sebelum memasuki abad ke-16, atau bahkan awal abad ke-15, umat Islam
menyerbu wilayah Sunda, terutama setelah Cirebon pada tahun 1415 M (Ekadjati, 1975:
87). Carita Purwaka Caruban Nagar (dalam Tjandrasasmita, 2009: 92) melaporkan
kedatangan orang Cina di Cirebon sehubungan dengan ekspedisi Cheng Ho Pelabuhan
asli disebutkan telah disinggahi oleh kapal Cina, Arab, Persia, India, Malaka, Tumasik
, Pase, Jawa Timur dan pedagang asing lainnya. Madura dan Palembang. Penguasa atau
pengelola pelabuhan saat itu adalah Ki Geden Jumajan Jati. Secara terpisah, disebutkan
juga bahwa komandan Cina Wai Ping dan Te Ho mengunjungi pelabuhan Pasambangan
selama tujuh hari, didampingi sejumlah pengawal. Mereka sebenarnya sedang dalam
perjalanan menuju Majapahit. Mereka membangun mercusuar di pelabuhan dan Ki
Gedeng Jumajan Jati memberi mereka garam, terasi, nasi tumbuk, rempah-rempah dan
kayu jati. Atja (1972:) menyimpulkan bahwa yang disebut Te Ho adalah Laskamana
Cheng Ho yang didampingi oleh Ma Huan dan Feh Tsin. Banyak orang Tionghoa yang
hidup pada abad ke-15 dan 16 M menerima Islam. Tahun Islam masuk ke wilayah Jawa
Barat dibawa oleh Haji Purwa, suku Garu yang masuk Islam dari saudagar Arab di
Gujarat.

7
D. Sheikh Kro, seorang Muslim dari Campa. dan Sheif Datuk Kafi
seorang Muslim Arab yang datang ke Tatar Sunda sebagai utusan raja Persia.
Cirebon adalah tempat pertama yang digunakan sebagai pemukiman Muslim. Dari
tempat ini, Islam menyebar ke bagian lain Jawa Barat. Ketiga tokoh di atas berperan
sebagai pendiri agama Islam di Cirebon. Penyebaran Islam di seluruh wilayah Tatar
Sunda dikaitkan dengan munculnya dua tokoh, Syarif Hidayat dan Fatahillah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dakwah dan aktivitas budaya yang ada dan
berkembang di Jawa Barat sangat erat kaitannya. Perhelatan mahar di Jawa Barat selalu
berada dalam konteks budaya yang melingkupinya. Bagaimana para pelaku dakwah
melakukan kegiatan dakwah dan bagaimana para pelaku dakwah berperilaku selama
acara dakwah selalu membawa dan melibatkan konteks budaya yang ada. Ada korelasi
kuat antara dakwah dan budaya di Jawa Barat. Di satu sisi, dakwah terhubung dan
bergantung pada budaya. Di satu sisi, budaya juga memiliki keterkaitan dan kepentingan
yang sama dengan dakwah. Ditinjau dari pentingnya dakwah, hubungan dakwah dengan
kebudayaan Jawa Barat dapat dijelaskan dengan pola hubungan berikut ini.
E. Syarif Hidayatullah
Nyai Lara Santang menikah dengan Sultan Mahmud dari Mesir, sehingga
lahirlah Syarif Hidayatullah. Sunan Gunung Jati memiliki banyak keahlian dalam
bidang keilmuan. Bedasarkan catatan dalam naskah ilmu yang dimiliki Sunan Gunng
Jati meliputi :
 Bahasa
 Pengobatan
 Siasat Perang
 Ahli Politik
 Ahli Hukum
 Ahli Tasawuf
 Ahli Budaya.
Sunan Gunung Jati bukan hanya berperan mengembangkan ajaran agama islam
saja, melainkan juga mengembangkan dan membangun kekuatan politik islam.

8
2.3 Relasi Dakwah dan Budaya di Jawa Barat
Tak dapat disangkal, aktivitas dakwah dan budaya yang ada dan berkembang di Jawa Barat
memiliki keterkaitan yang sangat erat. Setiap peristiwa dakwah di Jawa Barat senantiasa
berada dalam konteks budaya yang mengitarinya. Bagaimana subyek dakwah
melakukan kegiatan dakwahnya dan bagaimana sasaran dakwah berperilaku di tengah peristiwa
dakwah, selalu membawa dan melibatkan latar budaya yang ada.
Di sini terjadi hubungan resiprokal yang kuat antara dakwah dan budaya di Jawa Barat. Di
satu sisi, dakwah memiliki keterkaitan dan ketergantungan pada budaya. Di sisi lain, budaya
pun memiliki keterkaitan dan kepentingan yang sama terhadap dakwah.
Dari sudut kepentingan dakwah, relasi dakwah dan budaya di Jawa Barat dapat
digambarkan dalam pola relasi seperti berikut:
1. Budaya Jawa Barat memiliki ``panduan'' untuk setiap acara Dakwah agar dilaksanakan
secara arif, bijaksana dan efektif guna memperoleh hasil yang optimal bagi
keseimbangan dan kemajuan masyarakat.
2. Ada juga semacam 'tanda' dalam budaya Jawa Barat yang harus diikuti agar kegiatan
dakwah tidak menemui hambatan dan berjalan secara efisien dan efektif.
3. Budaya Jawa Barat menawarkan berbagai materi dengan potensi besar untuk tingkat
kualitas dakwah untuk memaksimalkan keberhasilan dakwah itu sendiri.
Namun, dari perspektif kepentingan budaya, hubungan dakwah dan budaya di Jawa Barat
dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Budaya Jawa Barat dapat terus mengambil banyak pelajaran dari setiap kegiatan
dakwah untuk meningkatkan nilai budayanya.
2. Kegiatan dakwah dapat menjadi sumber inspirasi budaya Jawa Barat untuk tetap lestari
dan berkembang dalam percaturan dan persaingan budaya global yang semakin ketat
3. Kegiatan dakwah, juga erat kaitannya dengan budaya Jawa Barat nilai-nilai
kemanusiaan, kebangsaan dan kemasyarakatan yang sejalan dengan nilai-nilai Islam
untuk mempercantik, menyelamatkan dan membahagiakan umat manusia.
Dengan demikian, hubungan antara dakwah dan budaya Jawa Barat tampaknya terjalin erat
secara saling menguntungkan, sinergis, dan koheren. Keduanya saling mendukung dalam
keberadaannya. Budaya Jawa Barat mendasari kelangsungan dan kesuksesan Dower. Di sisi
lain, dakwah sendiri mendukung kelangsungan dan pelestarian budaya Jawa Barat. Pentingnya
budaya Jawa Barat mencakup kualitas dan produktivitas proses. Budaya Jawa Barat terkait

9
dakwah tidak hanya pada tataran pelaksanaan dakwah tetapi juga pada tataran produktivitas.
Kedua tahapan dakwah ini sama-sama dipengaruhi oleh cara pandang Dawa terhadap budaya
Jawa Barat. Pentingnya budaya Jawa Barat dalam kegiatan dakwah memanifestasikan dirinya
dalam beberapa cara:

1. Bangga dengan budaya mereka.


2. Budaya lokal juga menentukan tujuan jangka pendek apa yang perlu ditetapkan
dalam kaitannya dengan kebutuhan dan kepentingan tujuan dakwah itu sendiri.
3. Budaya lokal menentukan bagaimana kegiatan dakwah dilakukan. Budaya lokal
harus dipertimbangkan ketika memilih metode dan teknik untuk mahar.
4. Budaya lokal memiliki potensi besar sebagai media dakwah yang beragam dan
sangat dihargai efektivitasnya dalam mensukseskan kegiatan dakwah.
5. Budaya lokal juga membantu menentukan materi apa yang disajikan pada acara-
acara Dower. Pentingnya budaya lokal dalam pemilihan material Dower dibuat
sesuai dengan budaya lokal dan dengan mempertimbangkan kebutuhan
masyarakat binaan Dower. Sebagaimana terlihat dari uraian di atas, budaya Jawa
Barat penting bagi Daawa. Ia mempengaruhi kualitas dakwah dari segi mutu proses
dan mutu produktifitas dakwah di Jawa Barat.
2.4 Pendekatan Dakwah Di Jawa Barat
Jawa Barat merupakan sebuah provinsi yang memiliki tingkat heterogenitas sosio-kultural
yang cukup tinggi, termasuk kondisi keagamaannya. Secara sosio- kultural misalnya, Jawa
Barat dihuni oleh berbagai kelompok suku yang ada di Indoensia dengan bahasa dan budaya
daerahnya masing-masing yang jumlahnya mencapai puluhan. Demikian pula dari segi
keagamaan, sekalipun Islam menjadi agama mayoritas yang dianut masyarakat, namun lima
agama besar lainnya, Kristen- Khatolik, Kristen-Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu,
dianut oleh sebagian masyarakat Jawa Barat.

Berkenaan dengan kenyataan ini, unsur penting yang dipertimbangkan dalam melakukan
pendekatan dakwah di Jawa Barat tidak lain adalah unsur budaya lokal masyarakat Jawa Barat.

Secara historis, unsur-unsur budaya yang terdapat di Jawa Barat, sekalipun amat beragam,
utamanya dapat dikategorikan kepada dua macam, yakni kondisi sosial-budaya (suku, adat,
bahasa) dan pandangan religiusitas masyarakat Jawa Barat. Kedua unsur budaya ini kemudian
dikenal sebagai akar budaya lokal yang turut membentuk citra ke-Jawa Barat-an.

10
Secara lebih dalam, untuk melihat pentingnya pendekatan lokal seperti yang terjadi di
Jawa Barat ini dapat diajukan sebuah kenyataan bahwa tidak jarang hambatan-hambatan atau
bahkan kegagalan dialami oleh para perencana atau pelaksana dakwah karena proses dakwah
yang dilakukan berbenturan dengan nilai-nilai tradisional budaya setempat. Sehingga akhirnya
lebih banyak menimbulkan pertentangan daripada kesepakatan dan keharmonisan. Keterkaitan
Hal ini terutama terlihat ketika konsep-konsep keagamaan pertama kali ditawarkan kepada
kondisi sosial masyarakat yang baru, dan hal ini sering dipandang sebagai kunci keberhasilan
langkah dakwah selanjutnya.

Memang secara historis Islam telah berhasil merambah Nusantara, khususnya Jawa Barat.
Bongkar diri Anda dan gabungkan dengan agama baru yang ditawarkan kepada Anda. Mampu
memahami kondisi sosial budaya masyarakat. Contoh dari fenomena ini adalah penyebaran
Islam oleh Dewan Pemerintahan, terutama jika didukung oleh sikap toleran, arif, tidak merusak
dan akomodatif terhadap budaya yang berkembang di masyarakat. Pulau Jawa dianggap sangat
sukses dalam catatan sejarah. Pada akhirnya, tentu kunci keberhasilan penyebaran Islam di
tanah Jawa tidak lepas dari peran strategis metode dakwah yang dipraktikkan para wali.
Khotbah Islam yang dilakukan para wali tidak hanya bijak. Meski sapaan penuh kasih sayang
dan bahasa yang santun, mereka sangat toleran dan mudah beradaptasi dengan budaya
masyarakat yang berkembang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Islam hampir sepenuhnya
merambah Jawa dalam waktu yang relatif singkat dan diterima secara sosial.

Terkait dengan pemahaman budaya lokal tersebut, Sunan Kalijaga, misalnya, melakukan
pendekatan dakwah dengan cara yang populer, atraktif, dan sensasional, terutama ketika
berhadapan dengan publik. Karena cara berdakwahnya yang unik itulah ia menarik perhatian
dunia. Ada kerumunan dengan gamelan skaternya. Kerumunan kemudian berangsur-angsur
berubah menjadi acara Syahadat yang diadakan di Masjidil Haram, dengan gaya dan lagu yang
sangat khas, gamelan, sebuah komposisi instrumental yang terkenal di masyarakat. Sebagai
alternatif, ia juga menggunakan pertunjukan Wayang sebagai perkiraan karya yang
dimodifikasi, hanya meminta masyarakat untuk dengan gembira mengucapkan dua syahadat
sebagai hadiah. Demikian halnya dengan Sunan Kudus. Sapi yang eksentrik itu dihias
sedemikian rupa sehingga ia mengambil pendekatan khotbah. Karena sapi-sapi itu diikat di
taman-taman masjid, orang-orang yang saat itu masih beragama Hindu dikatakan berbondong-
bondong ke sana untuk menyaksikan perlakuan khusus dan aneh terhadap sapi-sapi itu. Melihat
sapi tidak marah pada Sunan Kudus telah membangkitkan minat dan simpati masyarakat Hindu.

11
Berdasarkan minat, perhatian dan simpati tersebut, mereka yang memeluk agama Hindu
berhasil masuk Islam oleh Sunan Kudus.

Dengan demikian, kemunculan Islam menyebabkan terjadinya pergolakan sosial atau


“transformasi” (transformasi) sosial menjadi sesuatu yang Islami, tidak memutus masyarakat
dari masa lalu. Akar budayanya. Memang dalam banyak hal Islam berfungsi untuk melestarikan
kebaikan dan keadilan masa lalu dan dapat dipertahankan dalam ujian ajaran universal Islam.
Dalam hal ini, Islam berurusan dengan masalah budaya lokal. kesempurnaan estetika bila
memungkinkan. Ditampilkan sebagai sosok yang damai, ia meninggalkan pendekatan oposisi
spiritual dan memungkinkan untuk benar-benar terjadi lintas budaya yang positif antara unsur-
unsur Islam dan budaya lokal.

Demikianlah Islam di antara hasil positif yang dibawa oleh transformasi budaya timbal
balik antara lokal dan lokal. budaya lokal, banyak adat Jawa, termasuk yang ada di Jawa Barat,
konon isinya sedikit dan hanya kerangkanya saja. "islamisasi". Contoh paling menonjol, yang
masih kontroversial di kalangan sebagian umat Islam sendiri, adalah ritual berkabung bagi
mereka yang baru saja meninggal (setelah 3, 7, 100 dan 1000 hari), yang disebut 'Seramethan'.
. Ritual ini kemudian disebut juga dengan “Tahrilan”. Artinya membaca bersama-sama lafal La
Ilaha Illah Allah sebagai sarana efektif untuk menanamkan jiwa tauhid pada suatu kesempatan
dengan suasana kasih sayang yang membuat orang menjadi sentimentil dan emosional. dan
saran memfasilitasi pemahaman dan penerimaan ajaran.

Selanjutnya mengenai unsur budaya lokal dalam bentuk pandangan religiusitas


masyarakat, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari akar budaya masyarakat Jawa Barat
secara keseluruhan, perlu ditegaskan bahwa masyarakat Jawa Barat percaya bahwa
kehidupan manusia di muka bumi ini bukanlah suatu lingkaran tertutup yang tanpa ujung
pangkal. Ia berpangkal dari sesuatu yang berujung kepada sesuatu, yakni Tuhan, Pencipta dan
Pemberi kehidupan.

2.5 Model-model Dakwah di Jawa Barat


Salah satu model sering didefinisikan sebagai formula teoritis yang diungkapkan dalam
gaya simbolis. Atau sering dipahami sebagai generalisasi sederhana yang mengungkapkan
hubungan antara variabel-variabel fenomena tertentu atau sekumpulan fenomena.

12
Secara umum, aktivitas manusia di dunia, termasuk dakwah, memerlukan rumusan-
rumusan teoritis untuk diungkapkan dalam gaya simbolik ini. Atau mintalah generalisasi
sederhana yang menunjukkan keterkaitan antar variabel untuk suatu fenomena atau sekumpulan
fenomena yang berkaitan dengan kegiatan dakwah.

Dengan rumus-rumus dan generalisasi yang sederhana ini, dakwah tidak hanya akan
mampu memperjelas ruang lingkup kegiatannya, tetapi juga mampu mengidentifikasi variabel-
variabel dan menunjukkan kemungkinan-kemungkinan hubungan di antara variabel-variabel
tersebut, angka ini dan dapat menginterpretasikan realitas untuk membangun teori. teori
dakwah.

Model dakwah yang berkembang di Jawa Barat pada umumnya didasarkan pada asumsi
bahwa faktor budaya penting dan menentukan keberhasilan pelaksanaan kegiatan dakwah.
Dengan demikian, model dakwah yang berkembang di Jawa Barat telah banyak beradaptasi
dengan model pendekatan budaya yang sudah mapan dan ada di Jawa Barat.

Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa pola dakwah yang berkembang di Jawa Barat
pada umumnya bersifat adaptif dan sesuai dengan budaya lokal yang beragam. Bahkan, dalam
beberapa kasus kegiatan dakwah di Jawa Barat diarahkan untuk mendorong terjadinya transisi
budaya yang semakin memperkuat keutuhan tatanan budaya asli yang ada sekaligus
mengembangkannya dalam kerangka struktur budaya yang bernilai positif, yaitu sesuai dengan
persyaratan misi dan persyaratan budaya lokal masyarakat setempat.

Adapun realitas model-model dakwah yang berkembang di Jawa Barat antara lain sebagai
berikut:

Pertama, model adaptif. Model ini dikembangkan atas asumsi bahwa setiap individu
sebagai peserta dakwah memiliki kemampuan untuk menyaring berbagai perilaku dan nilai
yang menyebabkan dirinya dipengaruhi oleh pihak lain.

Sebagai peserta dakwah, seorang individu dianggap memiliki kemampuan untuk


mengenali perilaku mana yang patut dicontoh dan mana yang tidak. Demikian juga dia
mengetahui nilai (norma) mana yang dapat diterima dan mana yang tidak.

Dengan demikian, proses dakwah terjadi secara alamiah, di mana setiap peserta memiliki
kebebasan untuk menyesuaikan diri dengan berbagai perilaku dan nilai yang ada. Ketika peserta
gagal mencapai hasil yang wajar, proses adaptasi berubah dengan sendirinya. Sebaliknya, jika

13
proses adaptasi mencapai hasil yang wajar, maka proses adaptasi akan terus berlanjut, hingga
pada akhirnya menimbulkan sikap pengabaian pribadi terhadap partisipan lain atas dasar
keyakinan yang sama.

Kedua, model interaktif. Model ini menggambarkan bahwa proses dakwah berlangsung
secara interaktif. Dimana masing-masing faktor tersebut berkaitan dengan kegiatan dakwah
yaitu da'i dan mad'u, tidak ada perbedaan status dan kedudukan, semuanya dianggap memiliki
derajat yang sama. Dalam prosesnya, masyarakat sasaran dakwah diposisikan pada tempat yang
sama dan sejauh sikap dan pandangan hidup mereka dihormati, norma dan adat mereka
dipertahankan. Agar proses dakwah tidak hanya efektif, tetapi juga dapat menciptakan sinergi
yang lebih esensial antara misi dakwah dengan budaya yang ada.

Ketiga, model integratif, dikembangkan berdasarkan asumsi tentang realitas pluralisme


budaya dalam masyarakat. Model ini menggambarkan bahwa proses dakwah berlangsung di
tengah kompleksitas budaya masyarakat. Setiap individu dalam masyarakat yang menjadi
sasaran dakwah memiliki kesadaran akan budaya nya masing-masing. Setiap individu juga
mencoba untuk memperkenalkan variabel budaya dan sistem nilai mereka sendiri.

Berdasarkan kondisi tersebut, proses dakwah berkembang dalam suasana saling


menghormati dan ruang bagi seluruh unsur budaya yang ada dalam masyarakat. Model dakwah
terpadu memandang realitas masyarakat sebagai sebuah kaleidoskop besar. Setiap unsur budaya
tidak hanya diberi ruang dan kesempatan, tetapi juga didorong untuk tumbuh dan berkembang
dalam konteks yang lebih luas.

Dengan demikian, model ini lebih menekankan pada bagaimana proses dakwah
memposisikan dirinya sebagai pengayom dan penerang bagi seluruh elemen budaya yang ada
di masyarakat. Melalui proses evolusi yang dipandu dengan baik oleh berbagai kegiatan
dakwah, tumbuh dan berkembangnya faktor-faktor budaya dalam masyarakat ini pada akhirnya
akan bermuara pada puncak evolusi budaya yang bernilai tinggi dan sejalan dengan visi misi
dakwah.

2.6 Pembentukkan Kekuatan Islam di Jawa Barat

Masuknya agama islam di jawa barat memang belum diketahui pastinya. Salah satu sumber
sejarah lokal, Hageman menyatakan dalam catatannya bahwa seorang pemeluk agama islam
yang pertama datang ke tatar sunda adalah Haji Purwa, putra dari Prabu Kuda Lalean, yang

14
diislamkan oleh saudagar Arab dalam perjalanan dagang ke India. Pada tahun 1250 tahun jawa
atau 1337 M, Haji Purwa datang ke Galuh. Beliau berusaha mengislamkan adiknya yakni
seorang raja di pedalaman Jawa Barat yang di bantu oleh seorang arab. Namun usahanya tidak
membuahkan hasil. Kemudian beliau pergi menetap di Cirebon ( Caruban ) yang pada waktu
itu berda di bawah pimpinan kekuasaan Galuh.

Pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari menjadi sumber lain yang menunjukkan
datangnya islam yang pertama di daerah Jawa Barat. Dalam naskah tersebut menyebutkan
adanya Syeikh Nurjati, seorang yang berasal dari Arab. Syeikh Nurjati sendiri datang dari
Pasambangan, Cirebon sebagai utusan dari raja Parsi. Setelahnya beliau menetap di Cirebon
kemudian menjadi guru agama islam,yang mana berkedudukan di bukit Amparan Jati.
Sementara itu terdapat tokoh islam lainnya, yakni Syeikh Quro yang mendirikan Pesantren di
Karawang.

Pada saat itu penyebaran islam yang berlangsung secara terbatas di tanah sunda hanya
berkisar pada lingkungan tokoh agama saja. Kemudian pada tahap awal menyebarkan ajaran
agama oleh tokoh agama yakni melalui sejumlah penduduk setempat, lalu berlanjut
pembentukan kader, yakni mengkader para guru agama yang hendak mengajar di pondok
pesantren.

Dalam babak sejarah masuknya islam di Jawa Barat, terdapat dua tokoh agama yang
menjadi penguat adanya eksistensi agama islam. Yakni Pangeran Cakrabuana ( Haji Abdullah
Imam ) dan kemenakannya, Syarif Hidayatullah ( Sunan Gunung Djati ). Pangeran Cakra Buana
adalah putra raja sunda Padjajaran Prabu Siliwangi ( Sri Baduga Maharaja ) yang masuk islam
dan berguru kepada Syeikh Nurjati. Atas nasehat dari Syeikh Nurjati, beliau bersama adiknya,
Nyai Lara Santang, pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji dan menggali ilmu
agama, hingga akhirnya beliau pun mendapat jodoh pula di Mekkah. Nyai Lara Santang di
peristri oleh Sultan Mesir Mualana Mahmud Syarif pada tahun 1447. Dari pernikahan tersebut
melahirkan Sunan Gunung Djati yakni Syarif Hidayatullah pada tahun 1448.

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Jawa Barat merupakan sebuah provinsi yang memiliki tingkat heterogenitas sosio-kultural
yang cukup tinggi, termasuk kondisi keagamaannya. Secara sosio- kultural misalnya, Jawa
Barat dihuni oleh berbagai kelompok suku yang ada di Indoensia dengan bahasa dan budaya
daerahnya masing-masing yang jumlahnya mencapai puluhan
Ajaran islam masuk di Jawa Barat berpusat di Cirebon, Banten, dan Sunda Kalapa karena
daerah-daerah ini menjadi sentral masuk dan berkembangnya ajaran islam. . Salah satu sumber
sejarah lokal menyatakan dalam catatannya bahwa seorang pemeluk agama islam yang pertama
datang ke tatar sunda adalah Haji Purwa, putra dari Prabu Kuda Lalean, yang diislamkan oleh
saudagar Arab dalam perjalanan dagang ke India.
Pada paruh pertama abad ke-14, ada pemukiman Muslim di Tatar Sunda, khususnya
Cirebon. Sebagaimana dikemukakan Tome Pires, pada tahun 1513 sebagian masyarakat Jawa
Barat yaitu penduduk kota pelabuhan Cirebon dan kota pelabuhan Cimanuk (Indramayu) sudah
beragama Islam.
Unsur penting yang dipertimbangkan dalam melakukan pendekatan dakwah di Jawa Barat
tidak lain adalah unsur budaya lokal masyarakat Jawa Barat. Secara historis, unsur-unsur
budaya yang terdapat di Jawa Barat, sekalipun amat beragam, utamanya dapat dikategorikan
kepada dua macam, yakni kondisi sosial-budaya (suku, adat, bahasa) dan pandangan
religiusitas masyarakat Jawa Barat.
Pola dakwah yang berkembang di Jawa Barat pada umumnya bersifat adaptif dan sesuai
dengan budaya lokal yang beragam. Bahkan, dalam beberapa kasus kegiatan dakwah di Jawa
Barat diarahkan untuk mendorong terjadinya transisi budaya yang semakin memperkuat
keutuhan tatanan budaya asli yang ada sekaligus mengembangkannya dalam kerangka struktur
budaya yang bernilai positif, yaitu sesuai dengan persyaratan misi dan persyaratan budaya lokal
masyarakat setempat.
Sejarah masuknya islam di Jawa Barat, terdapat dua tokoh agama yang menjadi penguat
adanya eksistensi agama islam. Yakni Pangeran Cakrabuana ( Haji Abdullah Imam ) dan
kemenakannya, Syarif Hidayatullah ( Sunan Gunung Djati ).

16
3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan sangat jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis berharap kepada para pembaca dapat menelaah kembali
isi makalah diatas dan apabila ada makna yang kurang jelas penulis menyarankan untuk
memberikan saran dan kritik agar penulis dapat memperbaikinya lagi. Atas perhatiannya
penulis ucapkan terima kasih.

17
DAFTAR PUSTAKA

Djajadiningrat, R.A. Husein. 1983. Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten; Sumbangan bagi
Pengenalan Sifat-sifat Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Djambatan KITLV.

Ekadjati, Edi S. 1975. “Penyebaran Agama Islam di Jawa Barat”, dalam Teguh Asmar et al.
Sejarah Jawa Barat; dari Masa Pra-Sejarah hingga Masa PenyebaranAgama Islam.
Bandung: Proyek Penunjang Penigkatan Kebudayaan Nasional Provinsi Jawa Barat, hlm. 82
– 107.

Tjandrasasmita, Uka ed. 1993. “Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan


Islam di Indonesia”, dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto.
Sejarah Nasional Indonesia. Edisi ke-4. Cetakan ke-18. Jakrta: Balai Pustaka.

AG, Muhaimin. 2002. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal; Potret dari Cirebon. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu.

Fauziyah, Siti. 2015. “Kiprah Sunan Gunung Jati Dalam Membangun Kekuatan Politik
Islam Di Jawa Barat” Vol.13 No.1

Sarbini, Ahmad. 2011. “Model Dakwah Berbasis Budaya Lokal di Jawa Barat”. Jurnal Ilmu
Dakwah Vol. 5 No. 17

18

Anda mungkin juga menyukai