Anda di halaman 1dari 2

LEBARAN DALAM BINGKAI TRADISI

SEJARAH HALAL BI HALAL

Setiap moment idul Fitri adalah moment perayaan bagi agama Islam. Tradisi Halal bi halal selalu
dilakukan dan menjadi kegiatan dis etiap moment lebaran. Lalu, bagaimanakah sejarah dari tradisi Halal
bi Halal ini? Dalam penelusuran kami, Halal bi halal telah ada catatan mengenai itu dalam Babat Cirebon
Di dalam Babad Cirebon CS 114/ PNRI halaman 73 terdapat keterangan yang ditulis dengan huruf Arab
pegon berbunyi, "Wong Japara sami hormat sadaya umek Desa Japara kasuled polah ing masjid kaum
sami ajawa tangan sami anglampah HALAL BAHALAL sami rawuh amarek dateng Pangeran Karang
Kamuning”.

Ketua Jayanusa Idham Cholid mengatakan bahwa tradisi halal bi halal sudah ada dan berkembang sejak
lama dari berbagai refrensi yang disebutkan oleh Mohammad Soehadha, tradisi ini berakar dari tradisi
pisowanan yang sudah ada di masa Praja Mangkunegaran Surakarta pada abad ke 18 yakni sekitar tahun
1700an. Kala itu Raden Mas Said KGPA Arya Mangkunegaran I mengumpulkan para bawahan dan
prajurit dibalai astaka untuk melakukan sungkeman kepada raja dan permaisuri selepas perayaan idul
fitri. Pisowanan secara bersama ini dianggap lebih efektif dan efisien dibanding dilakukan secara
perorangan.

Kemudian ada keterangan lain menyatakan bahwa halal bi halal juga terdapat pada majaah soeara
muehammadijah edisi nomor 5 tahun 1924 yang terbit sekitar April 1924. Majalah edisi tersebut
dipublikasikan menjelang idul fitri tahun 1924 yang pada saat itu jatuh pada tanggal 6 Mei 1924. majalah
Soeara Muhammadijah pada 1 Syawal 1344 H atau pada tahun 1926 menulis Alal Bahalal.

juga menurut Muhammad Zuanda dalam Historia 2020 menrangkan bahwa istilah halal bihalal juga
dipopulerkan oleh seorang penjual martabak asal India di Taman Sriwedari Solo, sekitar tahun 1935-
1936 khususnya pada malam keramaaina di Ramadan, seroatang yang membantu mempromosikan
mjualannya ini mengatakan Martabak Malabab halal bin halal, kata kata tersebut kemudian diikuti oleh
para pelanggannya.

Halal bi Halal di Populerkan KH. Wahab Chasbullah

Di Era revolusi pada tahun 1948 tepatnya di Bulan Ramadan Presiden Soekarno mengundang KH. Wahab
untuk dimintai pendapat dan saran dengan harapan dapat mengatasi situsasi politik Indonesia yang kala
itu sedang tidak baik - baik saja. Kemudian KH. Wahab memberi saran kepada Soekarno untuk
menyelenggarakan silaturahin, sebab sebentar lagi Idul Fitri akan tiba. Dimana umamt islam Indonesia
memiliki kebiasaan silatuhaim dalam momen itu, Soekarno mengatakan bahwa silaturahmi itu hal biasa,
dan ingin ada istilah lain. Maka tercetuslah kata Halal bi hlal dengan landas untuk saling menghalalkan
dosa dan kesalahan yang telah lewat

Makna Halal Bihalal


Halalbihalal tidak dapat diartikan secara harfiah dan satu persatu antara halal, bi, dan halal. Istilah 'halal'
berasal dari kata 'halla' dalam bahasa Arab, yang mengandung tiga makna, yaitu halal al-habi (benang
kusut terurai kembali); halla al-maa (air keruh diendapkan); serta halla as-syai (halal sesuatu).Dari ketiga
makna tersebut dapat ditarik kesimpulan makna halalbihalal adalah kekusutan,kekeruhan atau
kesalahan yang selama ini dilakukan dapat dihalalkan kembali. Artinya, semua kesalahan melebur,
hilang, dan kembali sedia kala.

Terlepas dari beberapa sumber diatas, istilah halal bi halal ternyata juga ditemukan dalam sumber
primer yang lebih tua, yaitu pada manuskrip atau naskah kuno berjudul “Sejarah Sagung ing Para Ratu”
yang tersimpan di British Library dengan kode MSS Jav 10. Di dalam naskah kuno ini terdapat
candrasengkala, atau simbolisasi angka tahun dalam budaya Jawa berupa “Nir Panembah Ing Pandita
Aji” yang jika diartikan dalam angka merujuk pada Tahun Jawa 1720, yang jika dikonversi dalam tahun
Masehi menjadi Tahun 1793-1794 Masehi. Di dalam naskah kuno ini disebutkan istilah “Halal Ba Halal”
dalam peristiwa salah satu Walisongo, yaitu Pangeran Gunung Jati (Sunan Gunung Jati) yang melakukan
halal ba halal ke gurunya, yaitu Syekh Nurjati di Cirebon. Selain sumber primer naskah kuno Sagung ing
Para Ratu, juga terdapat sumber primer lain yang berasal dari abad yang sama, yaitu naskah beraksara
Jawa pegon berjudul Babad Cirebon dari Banten-Cirebon kode naskah CS 114 PNRI (Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia) pada halaman 73 yang merupakan riwayat Sultan Maulana Hasanuddin
Banten yang menyebut “Halal Ba Halal”. Dengan demikian terbukti sudah ritual “halal bi halal” yang
disebut dulu dengan “halal ba halal” telah dilakukan sejak zaman Walisongo. Di dalam naskah Babad
Cirebon tersebut tertulis bahwa “Wong Japara sami hormat sadaya umek Desa Japara kasuled polah ing
masjid kaum sami ajawa tangan (berjabat tangan) sami anglampah HALAL BAHALAL sami rawuh amarek
dateng Pangeran Karang Kamuning.”. Hal tersebut dijelaskan KH. Ahmad Baso dalam sebuah posting di
halaman Facebook beliau. KH Ahmad Baso juga menjelaskan dalam tulisannya, bahwa, Pangeran
Ibrahim Karang Kamuning adalah tokoh waliyullah berbasis di Jepara, bergelar Pandita Atas Angin atau
Sunan Atas Angin, menantu Kangjeng Sunan Ampel karena menikah dengan Nyai Gede Panyuran, salah
seorang putri Kangjeng Sunan Ampel, dan dimakamkan di samping makam ayah mertuanya itu di Ampel,
Surabaya. Jadi, dapat disimpulkan juga berdasar sumber primer tersebut bahwa tempat pertama kali d
gelarnya tradisi halal bi halal adalah di Kota Jepara.

Sumber Bacaan :

https://naskahnusantara.com/asal-mula-istilah-halal-bi-halal-di-naskah-kuno-sejarah-sagung-ing-para-
ratu-dan-babad-cirebon/

Eko Zulfikar, Tradisi Halal Bi Halal Perspektif Al-Qur'an dan Hadis. Jurnal Studi AlQur'an. Vol.14, No. 2
Tahun 2018 Institut agama Islam Negeri Tulung Agung

Anda mungkin juga menyukai