Sunan Kalijaga adalah gelar yang diberikan kepada Raden Mas Syahid, beliau
putra dari Tumenggung Wilatikta, Bupati Tuban. Tumenggung Wilatikta adalah
keturunan Ranggalawe yang sudah beragama Islam dan berganti nama Raden Sahur.
Ibunya bernama Dewi Nawangrum. Raden Sahid ini menikah dengan Dewi Sarah binti
Maulana Ishak dan berputra tiga orang yaitu: Raden Umar Said atau Sunan Muria, Dewi
Rukoyah dan Dewi Sofiah. Beliau lahir dari kalangan keluarga bangsawan asli di Istana
Tumenggung Ario Tejo alias Adipati Wilwatikto di Tuban, ia di didik dalam bidang
pemerintahan dan kemiliteran, khususnya di bidang Angkatan laut, ia juga ahli dibidang
pembutan kapal laut yang dibuat dari kayu jati, yang nama mudanya atau nama kecil
adalah Raden Mas Syahid atau Jaka said. Raden Sahid sewaktu kecil sudah mempunyai
rasa solidaritas yang tinggi pada kawan-kawannya, ia bahkan tak segan-segan masuk
dan bergaul kedalam lingkungan rakyat jelata. Ketika itulah ia tidak tahan lagi melihat
penderitaan orang-orang miskin pedesaan. Maka pada waktu malam-malam, ia sering
mengambili sumber bahan makanan dari gudang Kadipaten dan memberikannya
kepada rakyat-rakyat miskin.
Lama-lama tindakan Raden Sahid itu diketahui oleh ayahnya, maka ia
mendapatkan hukuman yang keras, yakni diusir dari istana. Ia akhirnya mengembara
tanpa tujuan yang pasti. Dan kemudia ia menetap di hutan Jatiwangi. Dihutan itu ia
meneruskan pekerjaannya sebagai berandal. Ia merampok orang-orang kaya yang pelit
kepada rakyat kecil. Hasil rapokannya diberikan kepada rakyat-rakyat miskin.
Dalam babad Cerbon naskah Nr.36 koleksi Brandes, dijumpai keterangan bahwa
ayah handa Sunan kalijaga bernama Arya Sidik dijuluki Arya Ing Tuban, Arya Sadik
dipastikan merupakan perubahan dari nama Arya Sidik, dan nama ini merupakan nama
asli dari Ayah handa Sunan kalijaga yang menurut Babad Tuban bukan seorang pribumi
Jawa, melainkan berasal dari kalangan masyarakat Arab dan merupakan seorang Ulama.
Tahun kelahiran serta wafat Sunan Kalijaga belum dapat dipastikan, hanya
diperkirakan ia mencapai Usia lanjut. Diperkirakan ia lahir kurang lebih 1450 M
berdasarkan atas suatu sumber yang menyatakan bahwa Sunan Kalijaga kawin dengan
putri Sunan Ampel pada usia kurang lebih 20 tahun, yakni tahun 1470. Sedangkan
Sunan Ampel lahir pada tahun 1401 dan mempunyai anak wanita yang dikawini oleh
sunan kalijaga itu pada waktu ia berusia 50 tahun. Masa hidupnya menglami 3 masa
pemerintahan yaitu: masa akhir Majapahit, Zaman Kesultanan Demak dan Kesultanan
Pajang. Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478 M, kemudian disusul Kesultanan
Demak berdiri pada tahun 1481 sampai 1546 M, dan disusul pula Kesultanan Pajang
yang diperkirakan berakhir pada tahun 1568 M. Diperkirakan, pada tahun 1580 M
Sunan Kalijaga wafat hal ini dapat dihubungkan dengan gelar kepala Perdikan
Kadilangu semula adalah sunan Hadi, tetapi pada mas Jolang di Mataram(1601-1603),
gelar itu diganti dengan sebutan Panembahan Hadi. Dengan demikian, Sunan Kalijaga
sudah diganti putranya sebagai kepala Perdikan kadilangu sebelum zaman Mas Jolang
yaitu sejak berdirinya kesultanan Mataram pemerintahan Panembahan Senopati atau
sutawijaya(1673-1601). Dan pada awal pemerintahan Mataram, menurut Babad Tanah
jawi versi Meisma, dinyatakan Sunan kalijaga pernah datang ketempat kediaman
Panembahan Senopati di Mataram memberikan saran bagaimana cara membangun
kota. Dengan demikian Sunan Kalijaga diperkirakan hidup lebih dari 100 tahun lamanya
yakni sejak pertengahan Abad ke-15 sampai dengan akhir Abad ke-16.
Tentang asal-usul keturunannya, ada beberapa pendapat, ada yang menyatakan
keturunan Arab asli, yang lain menyatakan keturunan Cina dan ada pula yang
mengatakan keturunan Jawa asli. Masing-masing pendapat mempunyai sumber yang
berbeda.
PROSES MASUKNYA SUNAN KALIJAGA MENJADI WALISANGA
Menurut sumber naskah Sejarah yang manapun Sunan Kalijaga disebut sebagai
salah satu Waliyullah yang terasuk dalam Walisanga. Kedudukannya sebagai seorang
Wali, menurut Babad Majapahit dan para Wali, dikukuhkan dihadapan Sunan Giri yang
dianggap sebagai ketua para Wali di Jawa. Dengan demikian, penetapan sebagai Wali itu
sesuai dengan ramalan semula semenjak Sunan Bonang di utus oleh ayahnya, Sunan
Ampel Denta untuk mencari dan mempertobatkan Sunan Kalijaga sebagai upaya
mempercepat proses kearah kedudukannya sebagai wali.
Sebagai Waliyullah, sebagaimana pengertian Waliyullah adalah” kekasih Allah”.
Oleh karena itu, sebagaimana lazimnya para Wali, Sunan Kalijaga memiliki” Karamah”
pemberian dari Allah berupa keunggulan lahir dan batin yang tidak bisa dimiliki oleh
sembarang orang. Disamping itu, sebagai tanda kewalian, ia bergelar” Sunan”
sebagaimana Wali-wali yang lain. Menurut salah satu penafsiran, kata “Sunnat” yang
berarti tingkah laku, Adat kebiasaan. Adapaun tingkah laku yang dimaksud adalah yang
serba baik, sopan santun, budi luhur, hidup yang serba kebajikan menurut tuntunan
Agama Islam. Oleh karena itu, seorang Sunan akan senantiasa menampilkan perilaku
yang serba berkebajikan sesuai dengan tugas mereka berdakwah, Beramar Ma’ruf Nahi
Munkar, memerintah atau mengajak kearah kebaikan dan melarang perbuatan Munkar.
Peran Sunan kalijaga dalam berdakwah tampak dalam berbagai kegiatan, baik kegiatan
Agama secara langsung ataupun dalam pemerintahan dan kegiatan seni, budaya pada
umumnya, diantara kasus kegiatan yang berkenaan dengan keagamaan, sebagaimana
banyak disebut dalam naskah Babad, adalah kegiatan Sunan Kalijaga bersama-sama
Wali yang lain mendirikan Masjid Agung Demak. Sudah jelas bahwa fungsi masjid
disamping menjadi sarana Peribadatan juga dipakai sebagai pusat kegiatan Dakwah
ketika itu sehingga perlu adanya, kendati pun sulit untuk menentukan secara pasti
kapan masjid tersebut didirikan.
Masjid Agung Demak yang terkenal, tidak saja karena ini dibangun oleh Wali, tetapi
karena salah satu Saka gurunya terdiri dari serpihan kayu-kayu Tatal karya dari sunan
Kalijaga yang dikenal dengan sebutan” Soko Tatal”. Keikutsertaan Sunan Kalijaga tidak
hanya mengupayakan bahan-bahannya saja, tetapi juga ikut bermusyawarah
sebelumnya.
Dituturkan dalam salah satu sumber bahwa pembangunan Masjid Demak berjalan
lancar, masing-masing Wali mendapatkan tugas membawa empat tiang besar, yaitu
Sunan Giri, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan kalijaga, Sunan Kudus, Sunan
purwaganda, Sunan Gunung Jati, Pangeran Palembang dan Syekh Siti Jenar. Hanya
Sunan Kalijaga sendirilah yang membawa tiga buah. Jumlah semuanya 83 kurang 1,
tatkala semuanya sudah siap dan waktu mendirikan asjid tinggal satu hari, sementara
Saka Guru kurang satu, maka Sunan Bonang menanyakan kepada Sunan kalijaga akan
tugasnya menyiapkan tiang Saka Guru itu. Sunan Kalijaga menyanggupinya, malam-
malam menunggui orang mengapak kulit bagian luar, disusun, dilekatkan dengan lem
Damar, Kemenyan, Blendok, Trembalok lantas dibalut. Jadilah sebuah tiang dari Tatal.
Adanya Soko Tatal ini adalah suatu kesengajaan, sebagai lambang kerohanian, bahwa
pembuatan Soko Tatal sebagai lambang kerukunan dan kesatuan. Konon sewaktu
mendirikan Masjid Agung Demak masyarakat Islam ditimpa perpecahan antar
Golongan, bahkan dalam bekerja mendirikan Masjid itu pun terjadi perselisihan-
perselisihan berbagai masalah sepele dan kecil. Suna Kalijaga mendapat ilham, suatu
petunjuk dari Tuhan dan disusunlah Tatal-tatal menjadi sebuah tiang yang kokoh.
4. Bidang lain-lain.
Disamping jasa-jasa beliau tadi, maka masih ada juga jasa-jasa yang lain, seperti
pendirian Masjid Agung Demak, Sunan Kalijaga tidak ketinggalan ikut serta membangun
Mesjid bersejarah itu dan hasil karya beliau yang sangat terkenal sampai sekarang yaitu
“Soko Tatal” artinya tiang kokoh dalam Masjid Agung Demak yang terbuat potongan-
potongan Kayu Jati, lalu disatukan dalam bentuk tiang yang berdiameter kurang lebih
70 Cm.
PENINGGALAN SUNAN KALIJAGA
Sunan Kalijaga memiliki banyak peninggaln, diantaranya sebagai berikut:
1. Masjid Sunan Kalijaga
Di Cirebon tepatnya di desa Kalijaga telah terdapat sebuah masjid kuno, letaknya
bersebelahan dengan petilasan pertapaan Sunan Kalijaga. Masjid ini oleh masyarakat
Cirebon khususnya dikenal dengan nama Masjid Sunan Kalijaga.
Masjid ini tampak kelihatan angker dari luar, mungkin karena letaknya yang
berada di tengah-tengah hutan yang penuh dengan ratusan binatang “kera”. Di
sekeliling masjid tersebut hanya ada penduduk yang jumlahnya sedikit, jurang lebih
terdiri dari sembilan rumah. Masjid ini tampak kurang berfungsi, baik untuk berjamaah
shalat lima waktu maupun sebagai tempat atau pusat kegiatan penyiaran agama Islam.
2. Masjid Kadilangu
Sewaktu Sunan Kalijaga masih hidup, masjid Kadilangu itu masih berupa surau kecil.
Setelah Sunan Kalijaga wafat dan digantikan oleh putranya yang bernama Sunan Hadi
(putra ketiga) surau tersebut disempurnakan bangunannya sehingga berupa masjid
seperti yang kita lihat sekarang ini.
Disebutkan di sebuah prasasti yang terdapat di pintu masjid sebelah dalam yang
berbunyi “menika tiki mongso ngadekipun asjid ngadilangu hing dino ahad wage
tanggal 16 sasi dzulhijjah tahun tarikh jawi 1456”, (ini waktunya berdiri masjid
Kadilangu pada hari ahad wage tanggal 16 bulan dzulhijjah tahun tarikh Jawa 1456).
Tulisan aslinya bertulisan huruf Arab. Menurut tutur rakyat Kadilangu masjid itu
beberapa kali mengalami perbaikan di sana sini, sehingga banyak bagian bangunannya
yang sudah tidak asli, terutama bagian luarnya.
5. Kotang Ontokusumo