Anda di halaman 1dari 5

Biografi Singkat dan Sejarah Perjuangan Sultan Hasanudin

Sebelum abad ke 20, perjuangan mempertahankan tanah air dari tangan penjajah di Nusantara
dilakukan secara kedaerahan dan dengan mengangkat senjata. Ada banyak pahlawan nasional
yang dengan berani berjuang mempertahankan kedaulatan tanah air di berbagai wilayah di
Nusantara. Salah satunya adalah Sultan Hasanuddin. Mari kita simak biografi singkat dan sejarah
perjuangan Sultan Hasanuddin melalui artikel berikut ini.
Biografi Singkat dan Sejarah Perjuangan Sultan Hasanudin dalam Melawan Belanda
Berikut ini adalah biografi singkat dan sejarah perjuangan Sultan Hasanuddin dalam melawan
Belanda
Sultan Hasanuddin lahir di Gowa, Sulawesi Selatan pada 12 Januari 1631. Beliau adalah sultan
Gowa ke-16 dan terlahir dengan nama Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng
Bonto Mangape. Kegigihan dan keberaniannya dalam melawan Belanda membuat Belanda
memberikannya julukan "Ayam Jantan dari Timur".
Beliau adalah putra dari Raja Gowa ke-15, Manuntungi Daeng matola Karaeng Lakiyung Sultan
Muhammad Said.
Pada saat pemerintahan ayahnya, Belanda mendirikan kantor dagang di Kepualauan Maluku. Hal
tersebut menjadi ancaman bagi kedaulatan Kerajaan Gowa. Pada tahun 1660 terjadi peperangan
antara Kerajaan Gowa dan Belanda. Pertempuran ini berakhir dengan diadakannya perjanjian
damai.
Pada tahun 1666 kembali terjadi peperangan karena Belanda melanggar perdamaian dan
merugikan Gowa. Sultan Hasanuddin menyerang kapal-kapal Belanda dan menenggelamkannya.
Belanda kemudian melakukan serangan balasan. Perang terjadi secara besar-besaran antara
pasukan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin dan Belanda yang dipimpin Cornelis Speelman.
Pada tanggal 18 November 1667, di Bongaya, Sultan Hasanuddin yang sudah terdesak dengan
berbagai pertempuran terpaksa menandatangani perjanjian Bongaya. Perjanjian tersebut ternyata
sangat merugikan Gowa sehingga Sultan Hasanuddin tetap memberikan perlawanan pada
Belanda. Namun serangan-serangan tersebut tidak berarti karena Belanda sudah sangat kuat.
Pada tanggal 12 Juni 1669 Belanda berhasil menguasai Benteng Somba Opu. Sultan Hasanuddin
wafat pada usia 39 tahun pada tanggal 12 Juni 1670. Hingga akhir hayatnya, Sultan Hasanudin
tetap tidak mau menyerah pada Belanda.
Mengutip buku Kumpulan Pahlawan Indonesia Lengkap oleh Mirnawati, berdasarkan SK Presiden No.
87/1973, pada tanggal 6 November 1873, pemerintah menganugerahi gelar Pahlawan Nasional
kepada Sultan Hasanuddin untuk menghormati jasa perjuangan Sultan Hasanuddin.
Itulah pemaparan mengenai biografi singkat sejarah perjuangan Sultan Hasanuddin. Semoga
dengan informasi ini kita semakin dapat menghargai jasa-jasa para pahlawan nasional dalam
perjuangan mempertahankan tanah air.(IND)

Biografi Sunan Gunung Jati


Written By : Mang Haji Oom, The Chairman Of Majelis Taklim VILLA ABJAD Keteguhan TBT (0853 6847 2316)
Nama aslinya adalah Syekh Syarif Hidayatullah yang dilahirkan Tahun 1448 Masehi. Ayahanda
Syekh Syarif Hidayatullah adalah Syarief Abdullah, seorang dari Mesir keturunan ke 17
Rosulullah SAW, bergelar Sultan Maulana Muhamad, Ibunda Syech Syarief Hidayatullah adalah
Nyai Rara Santang dan setelah masuk Islam berganti nama menjadi Syarifah Muda’im adalah
Putri Prabu Siliwangi dari kerajaan Padjajaran.
Syech Syarief Hidayatullah berkelana untuk belajar Agama Islam dan sampai di Cirebon pada
tahun 1470 Masehi. Syech Syarief Hidayatullah dengan didukung uwanya, Tumenggung Cerbon
Sri Manggana Cakrabuana alias Pangeran Walangsungsang dan didukung Kerajaan Demak,
dinobatkan menjadi Raja Cerbon dengan gelar Maulana Jati pada tahun 1479.
Sejak itu pembangunan insfrastruktur Kerajaan Cirebon kemudian dibangun dengan dibantu oleh
Sunan Kalijaga, Arsitek Demak Raden Sepat, yaitu Pembangunan Keraton Pakungwati, Masjid
Agung Sang Cipta Rasa, jalan pinggir laut antara Keraajaan Pakungwati dan Amparan Jati serta
Pelabuhan Muara Jati.
Menyebarkan Islam Di Jawa
Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati pada Tahun 1526 Masehi mulai menyebarkan
Islam sampai Banten dan menjadikannya Daerah Kerajaan Cirebon. Dan pada Tahun 1526 Masehi
juga tentara Kerajaan Cirebon dibantu oleh Kerajaan Demak dipimpin oleh Panglima Perang
bernama Fatahillah merebut Sunda Kelapa dan Portugis, dan diberi nama baru yaitu Jayakarta.
Pada tahun 1533 Masehi, Banten menjadi Kesultanan Banten dengan Sultannya adalah Putra dari
Syekh Syarif Hidayatullah yaitu Sultan Hasanuddin. Syekh Syarif Hidayatullah salah seorang Wali
Sanga yang mempekenalkan visi baru bagi masyarakat tentang apa arti menjadi Pemimpin, apa
makna Masyarakatm, apa Tujuan, Masyarakat, bagaimana seharusnya berkiprah di dalam dunia
ini lewat Proses Pemberdyaan.

Sunan Gunung Jati melakukan tugas dakwah menyebarkan Agama Islam ke berbagai lapisan
Masyarakat dengan dukungan personel dan dukungan aspek organisasi kelompok Forum
Walisango, dimana forum Walisango secara efektif dijadikan sebagai organisasi dan alat
kepentingan dakwah, merupakan siasat yang tepat untuk mempercepat teresebarnya Agama
Islam.

Sunan Gunung Jati Wafat


Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati wafat pada tanggal 26 Rayagung tahun 891
Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1568 Masehi. Tanggal Jawanya adalah 11 Krisnapaksa bulan
Badramasa tahun 1491 Saka. Meninggal dalam usia 120 tahun.
Putra dan Cucunya tidak sempat memimpin Cirebon karena meninggal terlebih dahulu. Sehingga
cicitnya yang memimpin setelah Syekh Syarif Hidayatullah. Syech Syarief Hidayatullah kemudian
dikenal dengan Sunan Gunung Jati karena dimakamkan di Bukit Gunung Jati.

Written By : Mang Haji Oom, The Chairman Of Majelis Taklim VILLA ABJAD Keteguhan TBT (0853 6847 2316)
Biografi Sunan Kalijaga Singkat
Sunan Kalijaga lahir dengan nama Raden Said pada sekitar 1450 Masehi. Dia merupakan putra
dari Bupati Tuban, yakni Tumenggung Wilatikta. Saat remaja Raden Said dikenal sebagai anak
yang nakal, suka berjudi, mencuri, mabuk-mabukan, dan perbuatan tercela lainnya.
Perbuatan ini jelas membuat malu ayahnya yang merupakan seorang penguasa dan bangsawan
Tuban. Tak lama dia pun diusir oleh orang tuanya untuk meninggalkan rumah. Namun,
setelahnya perilaku Raden Said justru semakin menjadi. Dia semakin sering membuat kerusuhan,
kegaduhan, dan merampok harta.
Meski demikian, target rampokannya bukanlah orang miskin tetapi orang kaya yang enggan
bersedekah dan mengeluarkan zakat. Hasil rampokan sebagian besar dibagikannya kepada orang-
orang miskin. Dari sinilah Raden Said dikenal dengan julukan “Lokajaya” yang berarti si penguasa
wilayah (Suhailid: 2020).
Perilaku tercelanya berubah ketika Raden Said berniat untuk merampok Sunan Bonang. Sunan
Bonang memberinya nasihat bahwa perbuatannya jelas melanggar perintah Allah SWT. Semenjak
itu, Raden Said pun menjadikan Sunan Bonang sebagai guru untuk mendalami ajaran agama
Islam.
Guru-Guru Sunan Kalijaga
Perjalanan biografi Sunan Kalijaga dari mengenal Islam hingga menjadi salah satu Wali Songo
tentu tidak terlepas dari bantuan para gurunya. Berikut guru-guru spiritual Sunan Kalijaga:
1. Sunan Bonang
Sunan Bonang memiliki banyak pengaruh dalam membentuk karakter dan kepribadian saleh
Sunan Kalijaga.
2. Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar mengajarkan Sunan Kalijaga ilmu kebatinan tinggi yakni ilmu Ilafi. Meski
akhirnya Sunan Kalijaga tidak menjalankan ilmu tersebut hingga terjadi konflik di antara
keduanya.
3. Syekh Sutabaris
Syekh Sutabaris adalah seorang guru agama yang berasal dari Malaka yang saat itu dikenal sebagai
pusat perdagangan. Syekh Sutabaris memerintahkan Sunan Kalijaga untuk kembali ke tanah Jawa dan
membangun masjid serta menjadi anggota Wali Songo.
4. Sunan Gunung Jati
Dalam Hikayat Hasanuddin, Sunan Kalijaga tidak hanya menyebarkan ajaran Islam di Cirebon, tetapi
juga menuntut ilmu kepada Sunan Gunung Jati. Selanjutnya, Siti Zaenab yang merupakan putri dari
Sunan Gunung Jati menikah dengan Sunan Kalijaga dan mereka dikaruniai 5 anak.

Strategi Dakwah Sunan Kalijaga


Perjalanan dakwah Sunan Kalijaga berawal dari Cirebon, tepatnya di Desa Kalijaga. Dia memiliki
misi untuk menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk Indramayu dan Pamanukan. Julukan
Sunan Kalijaga pun disematakan kepadanya karena basis dakwahnya yang berada di Desa
Kalijaga.
Sunan Kalijaga mengenalkan Islam dengan cara yang sangat lembut tanpa adanya paksaan. Dia
menyebarkan ajaran Islam ke masyarakat setempat dengan memasukkannya ke dalam budaya
lokal, salah satunya kesenian wayang.
Sunan Kalijaga sangat mahir menjadi dalang dan menggelar pertunjukan wayang. Dia bahkan
memiliki beberapa julukan, yakni Ki Dalang Sida Brangti, Ki Dalang Kumendung, Ki Dalang
Bengkok, dan Ki Unehan.
Alih-alih mematok tarif harga kepada para pengunjung, Sunan Kalijaga justru cukup
mensyaratkan untuk menyebut dua kalimat syahadat atau Kalimosodo sebagai tiket masuknya.
Selain menjadikan kesenian wayang sebagai sarana dakwah, Sunan Kalijaga juga menggunakan
gamelan, seni ukir, serta seni suara. Beberapa tembang populer ciptaannya adalah Ilir-
ilir dan Gundul-Gundul Pacul yang berisi pesan moral keislaman.
Tidak hanya itu, dia juga menggagas baju takwa atau sekarang dikenal sebagai baju surjan, grebeg
maulud, perayaan sekatenan, serta lakon Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu.

Written By : Mang Haji Oom, The Chairman Of Majelis Taklim VILLA ABJAD Keteguhan TBT (0853 6847 2316)
Berkat ketelatenan dan keluwesan Sunan Kalijaga dalam memadukan budaya lokal dengan nilai-
nilai Islam, perjalanan dakwahnya pun sangat mudah diterima oleh masyarakat setempat. Maka,
pantaslah dia menjadi Wali Songo yang masih dihormati hingga saat ini.
Sunan Kudus nama asalinya adalah Ja'far Shodiq atau Ja’far Shadiq Azmatkhan.

Ayahya adalah Usman Haji bin Ali Murtadha, saudara kandung Sunan Ampel.
Sunan Kudus adalah cucu buyut Syekh Ibrahim As- Samarkandi yang silsilahnya bersambung
sampai Rasulullah SAW melalui jalur Sayidina Husen bin Fatimah binti Rasulullah SAW.
Sunan Kudus diperkirakan lahir pada 1400 masehi di wilayah Jawa Tengah dan meninggal dunia
pada 1550.
Sunan Kudus ahli di dalam ilmu agama, pemerintahan dan kesusasteraan. Tidak heran jika beliau
menduduki jabatan-jabatan penting. Di dalam menyebarkan agama islam, beliau menggunakan
cara-cara yang sangat bijaksana, melihat situasi dan kondisi masyarakat setempat.
Sunan Kudus selain terkenal sebagai seorang wali, ahli dalam bidang agama, pemerintahan dan
kesusasteraan, beliau juga dikenal sebagai pedagang yang kaya.
Beliau mendapat gelar Waliyyul Ilmi, sehingga beliau diangkat sebagai penghulu (Qodi) di
kerajaan Demak. Sunan Kudus belajar ilmu agama kepada ayahandanya, Raden Usman Haji atau
Sunan Ngudung.
Selain itu, ia juga berguru kepada Kyai Telinsing, seorang Cina muslim bernama asli The Ling
Sing, mubaligh datang bersamaan dengan datangnya Laksamana Cheng Ho ke pulau Jawa untuk
menyebarkan Islam melalui anak buahnya yang disebar ke sejumlah daerah.
Ja’far Shadiq juga belajar di Ampeldenta, memperdalam agama Islam kepada penerus pesantren
Sunan Ampel, di samping itu terdapat hubungan keluarga dari ibunya Ja’far Shadiq dan Sunan
Ampel. Ia juga pernah mengembara ke berbagai negeri dari tanah Hindustan sampai ke Tanah
Suci Makkah dalam rangka beribadah haji.
Raden Ja’far Shadiq muda pernah diangkat menjadi senopati atau panglima kerajaan Demak
menggantikan Sunan Ngudung, ayahandanya. Ia diberikan tugas memperluas wilayah kerajaan
Demak sebagai pusat pengembangan Islam masa akhir Majapahit.
Ia juga pernah diangkat sebagai Imam Besar Masjid Agung Demak, masjid Kerajaan Islam Demak
yang menjadi pusat dakwah dan pengkaderan para penyebar Islam.
Jabatan lain yang pernah diemban saat di Demak, Sunan Kudus diangkat sebagai qadhi atau
hakim, yaitu jabatan di Kesultanan Demak yang lebih tinggi dari Imam Masjid.
Namun pada saat pecahnya perselisihan di Kerajaan Demak, dan wafatnya Sultan Terenggana, ia
memutuskan untuk pindah ke Kudus mengembangkan dakwah Islam yang ramah.
Di Kudus, Ja’far tidak lagi disibukkan oleh urusan pemerintahan sehingga bisa fokus dalam
menjalankan dakwah Islam.
Wilayah Kudus, sebelumnya bernama desa Tajug yang menjadi daerah dakwahnya Kyai
Telinsing, guru Sunan Kudus.
Tokoh ini giat menyebarkan dakwah Islam, selain itu ia Kyai Telinsing juga mengajari penduduk
ilmu pertukangan dan seni mengukir. Sehingga saat Ja’far Shadiq pindah dari Demak ke Tajug,
sebahagian penduduknya sudah memeluk agama Islam.
Kepindahannya ke Kudus menyebabkan gelar Sunan Kudus melekat dalam diri Ja’far Shadiq.
Dalam dakwahnya Sunan Kudus menggunakan pendekatan seni dan budaya sebagaimana yang
dilakukan oleh Wali Songo lainnya.

Written By : Mang Haji Oom, The Chairman Of Majelis Taklim VILLA ABJAD Keteguhan TBT (0853 6847 2316)
Sunan Muria, Wali Songo Termuda dan Penggagas Ajaran Meruwat Bumi
Sunan Muria lahir pada sekitar tahun 1450. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga dan Dewi Saroh,
yang merupakan putri dari Syekh Maulanan Ishaq.
Nama asli Sunan Muria adalah Raden Umar Said. Terkait nama, ada beberapa catatan sejarah yang
juga menyebut bahwa namanya Raden Prawoto dan Raden Amir.
Sedari kecil, Sunan Muria sudah diajari tentang agama Islam oleh sang ayah, yang dikenal sebagai
Wali Songo yang berdakwah di Cirebon, Jawa Barat. Selain Sunan Kalijaga, Ki Ageng Ngerang
juga tercatat sebagai guru Sunan Muria.
Dalam sebuah catatan, Sunan Muria diketahui menikahi Dewi Roro Noyorono, putri dari Ki
Ageng Ngerang.
Keterangan lain juga menyebut bahwa istri Sunan Muria bernama Dewi Sujinah, yang tidak lain
adalah adik Sunan Kudus sekaligus putri Sunan Ngudung.
Dengan begitu, Sunan Muria diketahui sebagai Wali Songo termuda yang merupakan putra Sunan
Kalijaga sekaligus adik ipar Sunan Kudus.
Strategi dakwah Sunan Muria Sebagai anggota termuda Wali Songo, Sunan Muria lebih senang
tinggal di pelosok daerah yang jauh dari pusat perkotaan dalam menjalankan dakwahnya.
Berbagai strategi dakwah dilakukan Sunan Muria, salah satunya adalah bergaul bersama rakyat
jelata sembari mengajarkan beragam keterampilan, seperti bercocok tanam, berdagang, serta
kesenian.
Dalam dakwahnya, Sunan Muria tetap merangkul tradisi dan budaya masyarakat setempat
sembari menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Salah satu tradisi yang diubah oleh Sunan Muria
adalah bancakan (selamatan), yang diubah menjadi kenduri untuk mengirim doa kepada para
leluhur melalui doa-doa Islam.
Seperti ayahnya, Sunan Kalijaga, Sunan Muria juga menyebarkan Islam dengan gamelan serta
wayang. Sunan Muria diketahui ahli dalam menyampaikan kisah agama Islam dengan cara yang
lebih mudah dipahami oleh masyarakat.
Salah satu kisah pewayangan yang kerap disampaikan oleh Sunan Muria dalam dakwahnya
adalah Topo Ngeli, yang berarti menghanyutkan diri dalam masyarakat.
Kisah itu sebelumnya juga pernah diceritakan oleh Sunan Kalijaga. Dalam perjalanan dakwahnya,
Sunan Muria juga menciptakan karya. Karya Sunan Muria adalah Tembang Macapat, tepatnya
Sinom dan Kinanthi.
Ajaran Dakwah Sunan Ampel, Ajaran Meruwat Bumi Sunan Muria merupakan Wali Songo yang
sangat memperhatikan kelestarian lingkungan.
Oleh sebab itu, Sunan Muria mengajarkan masyarakat untuk meruwat atau merawat bumi.
Adapun beberapa ajaran Sunan Muria dalam Meruwat Bumi di antaranya:
a. Tradisi Guyang Cekathak (tradisi meminta hujan)
b. Buah Parijoto (ziarah ke makam Sunan Muria)
c. Tembang Macapat Sinom Parijotho (tembang ciptaan Sunan Muria)
Wafat Sunan Muria wafat pada tahun 1551. Makamnya berada di lereng Gunung Muria,
Kecamatan Colo, 18 kilometer dari Kota Kudus.
Di sekitar makamnya, ada 17 makam prajurit dan abdi dalem yang dipercaya sebagai
pengawalnya.

Written By : Mang Haji Oom, The Chairman Of Majelis Taklim VILLA ABJAD Keteguhan TBT (0853 6847 2316)

Anda mungkin juga menyukai