BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama islam masuk pertama kali ke indonesia melalaui pulau sumatra, selanjutnya
penyebaran agama islam mulai masuk ke pulau-pulau lainnya di indonesia. Ketika
kekuatan islam semakin melembaga, berdirilah kerajaan islam, dari siniislam sampai ke
pulau jawa, walisongo sebagai jantung penyebaran agama islam di pulau jawa. Sunan
gunung jati atau syarif hidatullah merupakan salah satu walisongo yang selalu
memberikan kontribusidalam penyebaran agama islam di daerah pulau jawa, khususnya
jawa barat. Syarif hidayatullah dikenal sebagai pendiri kesultanan cirebon dan banten.
Beliau memiliki peran yang sangat besar dalam penyebaran agama islam.
B. Rumusan Masalah
Syeikh Hamzah Fansuri dengan sangat jelas menyatakan bahwa setiap tafakur
atau metode latihan sufi apa pun harus dimulai dengan “hapuskan akal dan rasamu”,
yang berarti suatu cara untuk menuju kepada kondisi “No-Mind”, kondisi berada dalam
Kesadaran Murni atau Kesadaran Ilahi. Untuk mencapai kondisi “No-Mind” tersebut,
maka seorang sufi harus “lenyapkan badan dan nyawamu”, yang berarti melepaskan
keterikatan terhadap tubuh dan berbagai pemikiran atau nafsu (nyawa). Setelah itu,
barulah sang sufi memejamkan kedua mata inderawinya, untuk mengaktifkan “mata-
ruhaninya”, guna melihat rupa dari Jati Dirinya yang senantiasa berada dalam kondisi
permai, kondisi “bahagia yang abadi”. Inilah sesungguhnya inti dari tafakur atau meditasi
menurut Syeikh Hamzah Fansuri.[7]
Pada hakikatnya, menurut Hamzah, pemahaman akan Tuhan itu mudah, hanya
memerlukan kepasrahan dan keberanian karena “Kekasih zahir terlalu terang/Pada
kedua alam nyata terbentang.” Jadi, ciri khas pemahaman tasawuf Hamzah adalah
hakikat Allah itu dekat dan menyatu, hanya saja manusia tidak menyadarinya.[8]
Dalam jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII Azumardi Azra menyebutkan bahwa faham Hamzah Fansuri berpaham
Wujudiyah, berbeda dengan Ar-Raniri yang memementingkan Syariah dan dianggap
sebagai perintis gerakan pembarahu Islam atau neo-sufisme.[9]
Fahamnya tersebut mendapat pertentangan dari syekh Nuruddin ar-Raniri. Dan
untuk membasi faham wujudiyah ini, kitab-kitab berfaham wujudiyah, seperti kitab-
kitab hamzah fansuri bahkan dibakar di depan masjid baiturrahman Aceh.[10]
E. Kesimpulan