BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama islam masuk pertama kali ke indonesia melalaui pulau sumatra, selanjutnya
penyebaran agama islam mulai masuk ke pulau-pulau lainnya di indonesia. Ketika kekuatan
islam semakin melembaga, berdirilah kerajaan islam, dari siniislam sampai ke pulau jawa,
walisongo sebagai jantung penyebaran agama islam di pulau jawa. Sunan gunung jati atau syarif
hidatullah merupakan salah satu walisongo yang selalu memberikan kontribusidalam penyebaran
agama islam di daerah pulau jawa, khususnya jawa barat. Syarif hidayatullah dikenal sebagai
pendiri kesultanan cirebon dan banten. Beliau memiliki peran yang sangat besar dalam
penyebaran agama islam.
B. Rumusan Masalah
Syeikh Hamzah Fansuri adalah seorang cendekiawan, ulama tasawuf, dan budayawan terkemuka
yang diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 sampai awal abad ke-17. Nama gelar
atau takhallus yang tercantum di belakang nama kecilnya memperlihatkan bahwa pendekar puisi
dan ilmu suluk ini berasal dari Fansur, sebutan orang-orang Arab terhadap Barus, sekarang
sebuah kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara kota Sibolga dan Singkel. Sampai
abad ke-16 kota ini merupakan pelabuhan dagang penting yang dikunjungi para saudagar dan
musafir dari negeri-negeri jauh.
Sayang sekali bukti-bukti tertulis yang dinyatakan kapan sebenarnya Syeikh Hamzah
Fansuri lahir dan wafat, di mana dilahirkan dan di mana pula jasadnya dibaringkan dan di tanam,
tak dijumpai sampai sekarang.[1] Tetapi dari syair dan dari namanya sendiri menunjukkan
bahwa sudah sekian lama beliau berdominasi di Fansur, dekat Singkel, sehingga mereka dan
turunan mereka pantas digelari Fansur.
Pada ahli cenderung memahami dari syair-syairnya bahwa Hamzah Fansuri lahir di tanah
Syahmawi, tapi tidak ada kesepakatan mereka dalam mengidentifikasikan tanah Syahmawi itu,
ada petunjuk tanah Aceh sendiri ada yang menunjuk tanah Siam, dan bahkan ada sarjana yang
menunjuk negeri Persia sebagai tanah yang di Aceh oleh nama Syamawi.[2]
Dalam buku Hamzah Fansuri Penyair Aceh, Prof. A. Hasymi menyebut bahwa Syeikh
Hamzah Fansuri hidup dalam masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV Saiyidil
Mukammil (997-1011 H-1589-1604 M) sampai ke permulaan pemerintahan Sultan Iskandar
Muda Darma Wangsa Mahkota Alam (1016-1045 H-1607-1636 M).
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri telah belajar berbagai
ilmu yang memakan waktu lama. Selain belajar di Aceh sendiri beliau telah mengembara ke
pelbagai tempat, di antaranya ke Banten (Jawa Barat), bahkan sumber yang lain menyebut bahwa
beliau pernah mengembara keseluruh tanah Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, India, Parsi dan
Arab. Dikatakan bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri sangat mahir dalam ilmu-ilmu fikih, tasawuf,
falsafah, mantiq, ilmu kalam, sejarah, sastra dan lain-lain. Dalam bidang bahasa pula beliau
menguasai dengan kemas seluruh sektor ilmu Arabiyah, fasih dalam ucapan bahasa itu,
berkebolehan berbahasa Urdu, Parsi, Melayu dan Jawa.
Syair-syair Syeikh Hamzah Fansuri terkumpul dalam buku-buku yang terkenal, dalam
kesusasteraan Melayu / Indonesia tercatat buku-buku syairnya antara lain :
a. Syair burung pingai
b. Syair dagang
c. Syair pungguk
d. Syair sidang faqir
e. Syair ikan tongkol
f. Syair perahu
Karangan-karangan Syeikh Hamzah Fansuri yang berbentuk kitab ilmiah antara lain :
a. Asfarul ‘arifin fi bayaani ‘ilmis suluki wa tauhid
b. Syarbul ‘asyiqiin
c. Al-Muhtadi
d. Ruba’i Hamzah al-Fansuri
Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri baik yang berbentuk syair maupun berbentuk prosa
banyak menarik perhatian para sarjana baik sarjana barat atau orientalis barat maupun sarjana
tanah air. Yang banyak membicarakan tentang Syeikh Hamzah Fansuri antara lain Prof. Syed
Muhammad Naquib dengan beberapa judul bukunya mengenai tokoh sufi ini, tidak ketinggalan
seumpama Prof. A. Teeuw juga r.O Winstedt yang diakuinya bahwa Syeikh Hamzah Fansuri
mempunyai semangat yang luar biasa yang tidak terdapat pada orang lainnya. Dua orang yaitu J.
Doorenbos dan Syed Muhammad Naquib al-Attas mempelajari biografi Syeikh Hamzah Fansuri
secara mendalam untuk mendapatkan Ph.D masing-masing di Universitas Leiden dan
Universitas London. Karya Prof. Muhammad Naquib tentang Syeikh Hamzah Fansuri antaranya
:
- The Misticim of Hamzah Fansuri (disertat 1966), Universitas of Malaya Press 1970
- Raniri and The Wujudiyah, IMBRAS, 1966
- New Light on Life of Hamzah Fansuri, IMBRAS, 1967
- The Origin of Malay Shair, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1968[3]
Menurut beberapa pengamat sastra sufi, sajak-sajak Syaikh Hamzah al-Fansuri tergolong
dalam Syi'r al- Kasyaf wa al-Ilham, yaitu puisi yang berdasarkan ilham dan ketersingkapan
(kasyafi yang umumnya membicarakan masalah cinta Ilahi) [4].
Banyak ualama Indonesia di kenal lantaran karya-karya mereka yang tersebar di berbagai
wilayah dunia Islam. Di antara ulama Indonesia yang dikenal sebagai pengarang adalah
Nuruddin Ar-Raniri, Hamzah Fansuri, Abdurrauf Singkel, dan Syaikh Muhammad Arsyad al
Banjari.[5]
Di bidang keilmuan Syeikh Hamzah Fansuri telah mempelajari penulisan risalah tasawuf
atau keagamaan yang demikian sistematis dan bersifat ilmiah. Sebelum karya-karya Syeikh
muncul, masyarakat muslim Melayu mempelajari masalah-masalah agama, tasawuf dan sastra
melalui kitab-kitab yang ditulis di dalam bahasa Arab atau Persia. Di bidang sastra Syeikh
mempelopori pula penulisan puisi-puisi filosofis dan mistis bercorak Islam, kedalaman
kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lan yang sezaman ataupun sesudahnya.
Penulis-penulis Melayu abad ke-17 dan 18 kebanyakan berada di bawah bayang-bayang
kegeniusan dan kepiawaian Syeikh Hamzah Fansuri. Di bidang kesusastraan pula Syeikh
Hamzah Fansuri adalah orang pertama yang memperkenalkan syair, puisi empat baris dengan
skema sajak akhir a-a-a-a syair sebagai suatu bentuk pengucapan sastra seperti halnya pantung
sangat populer dan digemari oleh para penulis sampai pada abad ke-20.
Di bidang kebahasaan pula sumbangan Syeikh Hamzah Fansuri sukar untuk dapat di
ingkari. Pertama, sebagai penulis pertama kitab keilmuan di dalam bahasa Melayu, Syeikh
Hamzah Fansuri telah berhasil mengangkat martabat bahasa Melayu dari sekedar lingua franca
menjadi suatu bahasa intelektual dan ekspresi keilmuan yang canggih dan modern. Dengan
demikian keduudkan bahasa Melayu di bidang penyebaran ilmu dan persuratan menjadi sangat
penting dan mengungguli bahasa-bahasa Nusantara yang lain, termasuk bahasa Jawa yang
sebelumnya telah jauh lebih berkembang. Kedua, jika kita membaca syair-syair dan risalah-
risalah tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri, akan tampak betapa besarnya jasa Syeikh Hamzah
Fansuri dalam proses Islamisasi bahasa Melayu dan Islamisasi bahasa adalah sama dengan
Islamisasi pemikiran dan kebudayaan.
Di bidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra Syeikh Hamzah Fansuri telah pula
mempelopori penerapan metode takwil atau hermeneutika keruhanian, kepiawaian Syeikh
Hamzah Fansuri di bidang hermeneutika terlihat di dalam Asrar al-‘arifin (rahasia ahli makrifat),
sebuah risalah tasawuf klasik paling berbobot yang pernah dihasilkan oleh ahli tasawuf
nusantara, disitu Syeikh Hamzah Fansuri memberi tafsir dan takwil atas puisinya sendiri, dengan
analisis yang tajam dan dengan landasan pengetahuan yang luas mencakup metafisika, teologi,
logika, epistemologi dan estetika. Asrar bukan saja merupakan salah satu risalah tasawuf paling
orisinal yang pernah ditulis di dalam bahasa Melayu, tetapi juga merupakan kitab keagamaan
klasik yang paling jernih dan cemerlang bahasanya dengan memberi takwil terhadap syair-
syairnya sendiri Syeikh Hamzah Fansuri berhasil menyusun sebuah risalah tasawuf yang dalam
isinya dan luas cakrawala permasalahannya.[6]
Simaklah syair Hamzah Fansuri yang ditulis beliau berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada
bagian I di bait 1:
Syeikh Hamzah Fansuri dengan sangat jelas menyatakan bahwa setiap tafakur atau
metode latihan sufi apa pun harus dimulai dengan “hapuskan akal dan rasamu”, yang berarti
suatu cara untuk menuju kepada kondisi “No-Mind”, kondisi berada dalam Kesadaran Murni
atau Kesadaran Ilahi. Untuk mencapai kondisi “No-Mind” tersebut, maka seorang sufi harus
“lenyapkan badan dan nyawamu”, yang berarti melepaskan keterikatan terhadap tubuh dan
berbagai pemikiran atau nafsu (nyawa). Setelah itu, barulah sang sufi memejamkan kedua mata
inderawinya, untuk mengaktifkan “mata-ruhaninya”, guna melihat rupa dari Jati Dirinya yang
senantiasa berada dalam kondisi permai, kondisi “bahagia yang abadi”. Inilah sesungguhnya inti
dari tafakur atau meditasi menurut Syeikh Hamzah Fansuri.[7]
Pada hakikatnya, menurut Hamzah, pemahaman akan Tuhan itu mudah, hanya
memerlukan kepasrahan dan keberanian karena “Kekasih zahir terlalu terang/Pada kedua alam
nyata terbentang.” Jadi, ciri khas pemahaman tasawuf Hamzah adalah hakikat Allah itu dekat
dan menyatu, hanya saja manusia tidak menyadarinya.[8]
Dalam jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII
Azumardi Azra menyebutkan bahwa faham Hamzah Fansuri berpaham Wujudiyah, berbeda
dengan Ar-Raniri yang memementingkan Syariah dan dianggap sebagai perintis gerakan
pembarahu Islam atau neo-sufisme.[9]
Fahamnya tersebut mendapat pertentangan dari syekh Nuruddin ar-Raniri. Dan untuk
membasi faham wujudiyah ini, kitab-kitab berfaham wujudiyah, seperti kitab-kitab hamzah
fansuri bahkan dibakar di depan masjid baiturrahman Aceh.[10]
E. Kesimpulan
Syekh Hamzah Fansuri telah begitu banyak memberikan sumbangan terhadap peradaban
Islam Nusantara. Karya-karyanya, baik puisi maupun yang lainnya telah banyak memberikan
inspirasi bagi generasi-generasi sesudahnya. Melalui puisi-puisinya itu pula Syekh Hamzah
Fansuri menyebarkan dakwah islamiyah.
Meskipun paham sufinya mendapatkan pertentangan dari beberapa kalangan sehinga
menyebabkan buku-bukunya dibakar, tetapi namanya tidak lekang oleh zaman. Sejarah
pembakaran buku sebagaimana terjadi pada awal masuknya Islam tidak boleh terulang. Buku,
bagaimana pun kontroversialnya, tetap merupakan sebuah produk intelektual dan hasil
perenungan dari penulisnya. Pembakaran buku, pengekangan kebebasan berpikir, justru akan
membuat peradaban berjalan mundur.