Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

‘SUNAN GUNUNG JATI”

“Disusun untuk memenuhi tugas kuliah pada Mata Kuliah Atlas Walisongo”

Di susun Oleh :
Nama : Zainudin Rahim Laane
NIM : 16.3.3.006

Dosen Pengampuh:
Dr. Ahmad Rajafi, M.Hi

PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MANADO
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan jasmani
dan rohani sehingga kita masih tetap bisa menikmati indahnya alam ciptaan-Nya.
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada teladan kita
Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa
ajaran agama yang sempurna dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Penulis sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang menjadi
tugas Mata Kuliah Atlas Walisongo dengan judul Sunan Gunung Jati. Disamping
itu, Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu hingga terselesaikannya makalah ini.
Akhir kata, penulis memahami jika makalah ini tentu jauh dari
kesempurnaan maka kritik dan saran sangat kami butuhkan guna memperbaiki
karya-karya kami di waktu-waktu mendatang.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam menyebar di berbagai tempat di Indonesia tidak dengan sendirinya
tetapi disebarkan oleh tokoh-tokoh Islam yang salah satunya oleh para Wali
Songo. Diantara para Wali Songo yaitu Sunan Gunung Djati yang menyebarkan
agama Islam di Cirebon.Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari sembilan orang
penyebar agama Islam terkenal di Pulau Jawa yang dikenal dengan sebutan Wali
Sanga. Kehidupannya selain sebagai pemimpin spriritual, sufi, mubaligh dan Da’i
pada zamannya juga sebagai pemimpin rakyat, karena beliau menjadi raja di
Kasultanan Cirebon. Bahkan sebagai sultan pertama Kasultanan Cirebon yang
semula bernama Keraton Pakungwati.
Sunan Gunung Djati mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya
Syekh Maulana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren
Syekh Datuk Kahfi ia meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang
dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena
ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji untuk umat
Islam.
Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuwana membangun
kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah
Sunan Gunung Djati mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi
pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.
Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah
masa-masa paling sulit, baik bagi Sunan Gunung Djati dan Raden Patah karena
proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan
dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan
gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Biografi Sunan Gunung Jati?
2. Bagaimana Peran Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan Islam di Jawa
Barat?
3. Apa saja metode dakwah Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan Islam?
C. Tujuan
1. Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Atlas
Walisongo.
2. Agar dapat mengetahui bagaimana Biografi Sunan Gunung Jati.
3. Mengetahui peran Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan Islam di Jawa
Barat.
4. Mengetahui metode-metode yang digunakan Sunan Gunung Jati dalam
menyebarkan islam.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Sunan Gunung Djati

Syarif Hidayatullah atau yang biasa dikenal sebagai Sunan Gunung Djati
lahir dari pasangan Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alim dan Nyai
Rara Santang. Sunan Gunung Djati lahir sekitar tahun 1450 M di Mekkah ketika
Sultan Syarifah Abdullah dan Nyai Rara Santang sedang berziarah di Mekkah dan
Madinah, namun ada juga yang menyebutkan bahwa ia lahir pada sekitar 1448 M.
Sultan Syarifah adalah raja dari kerajaan Mesir,sedangkan Nyai Rara Santang
merupakan putri Prabu Siliwangi.

Sunan Gunung Jati merupakan keturunan arab dan Indonesia Asli. Dari
garis keturunan ibunya, Sunan Gunung Jati merupakan cucu dari Prabu Siliwangi
dari Pajajaran. Sunan Gunung Jati mempunyai darah dari Nabi Muhammad
S.A.W. yang diperoleh dari ayahnya, Syarif Abdillah. Dalam buku Sejarah
Cirebon, Sunan Gunung Jati/Syarif Hidayatullah merupakan keturunan ke-22
Rasullullah.
Menurut Naskah Mertasinga yang dialih-aksarakan dan dialih bahasakan
oleh Amman N. Wahyu yang diberi judul Sajarah Wali, Syarif Hidayat yang kelak
termasyhur dengan sebutan Sunan Gunung Jati adalah putra Sultan Hud yang
berkuasa di negara Bani Israil, hasil pernikahan dengan Nyi Rara Santang. Sultan
Hud adalah putra Raja Odhara, Raja Mesir. Raja Odhara Putra Jumadil Kabir, raja
besar di negeri Quswa. Jumadil Kabir putra Zainal Kabir. Zainal Kabir putra
Zainal Abidin. Zainal Abidin putra Husein, yaitu putra Ali bin Abi Thalib dengan
Siti Fatimah binti Nabi Muhammad Saw.

Sejak kecil Sunan Gunung Djati tekun belajar agama. Selain dari orang
tuanya, ia juga belajar dari Syekh Kahfi, seorang muballigh asal Baghdad yang
juga menjadi guru pamannya, Pangeran Cakrabuana. Tak puas mendalami agama
di pesantren Syekh Kahfi, Sunan Gunung Djati pergi ke Timur Tengah. Sunan
Gunung Djati mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama
Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan

3
Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan
Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.

Sementara itu, dalam usia muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh
ayahnya. Ia ditunjuk untuk menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Raja Mesir,
tapi anak muda yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya
bermaksud pulang ke tanah Jawa berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan ayahnya
itu kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah.

Ketika Syarif Hidayatullah berusia 27 tahun, sekitar tahun 1475 M, ia


kembali ke tanah Jawa dan bermukim di Caruban dekat Cirebon. Di Cirebon,
Syarif Hidayatullah kemudian menikah dengan Nyi Ratu Pakungwati puteri dari
Pangeran Cakrabuana, penguasa Cirebon. Setelah Pangeran Cakrabuana berusia
lanjut, kekuasaan atas negeri Cirebon diserahkan kepada menantunya, yaitu Syarif
Hidayatullah dan diberi gelar Susuhunan atau Sunan.

Ketika Kerajaan Islam Demak mendengar adanya seorang penyiar agama


Islam di Cirebon, maka atas persetujuan para wali, Raden Fatah selaku Sultan
Demak menetapkan Syarif Hidayatullah sebagai Penetap Penata Gama Rasul di
tanah Pasundan bergelar Sunan Gunung Djati dan termasuk salah seorang Wali
Sanga. Tidak hanya itu, Sunan Gunung Djati ditetapkan pula sebagai pengusa
negeri Cirebon.

Dalam Babad Cirebon,Sunan Gunung Djati disebut Ratu Pandita, Artinya


Syarif Hidayatullah mempunyai fungsi rangkap yaitu sebagai wali, penyebar
agama Islam di Jawa Barat atau tanah Pasundan, dan sebagai raja yang
memerintah dan berkedudukan di Cirebon. Dari Cirebon agama Islam dengan
mudah disebarkan ke seluruh wilayah Pasundan, sehingga hampir semua rakyat
Sunda memeluk agama Islam.1

1
https://www.historyofcirebon.id/2018/01/biografi-sunan-gunung-jati-lengkap.html (diakses pada
tanggal 12 Juni 2019 pukul 22.00

4
Sunan Gunung Djati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di
Gunung Djati atau Pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak
pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad Arifin meninggal dunia
mendahului ayahandanya.

Kedudukan Sultan kemudian diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang


bergelar sultan Maulana Hasanuddin, dengan kedudukannya di Banten. Sedang
Cirebon walaupun masih tetap digunakan sebagai kesultanan tapi Sultannya hanya
bergelar Adipati. Yaitu Adipati Carbon I. Adpati Carbon I ini adalah menantu
Fatahillah yang diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunung Djati.
Adapun nama aslinya Adipati Carbon adalah Aria Kamuning.

Sunan Gunung Djati wafat pada tahun 1568, dalam usia 120 tahun. Bersama
ibunya, dan pangeran Carkrabuasa beliau dimakamkan di gunung Sembung. Dua
tahun kemudian wafat pula Kyai Bagus Pasai, Fatahillah dimakamkan ditempat
yang sama, makam kedua tokoh itu berdampingan, tanpa diperantarai apapun.
Makam Sunan Gunung Jati terletak di Gunung Sembung yang masuk Desa
Astana, Kecamatan Cirebon Utara, Kabupaten Cirebon. Seperti makam Wali
Songo yang lain,makam Sunan Gunung Jati berada di dalam tungkub
berdampingan dengan makam Fatahillah, Syarif Muda’im, Nyi Gedeng Sembung,
Nyi Mas Tepasari, Pangeran Dipati Carbon I, Pangeran Jayalelana, Pangeran
Pasarean, Ratu Mas Nyawa, dan Pangeran Sedeng Lemper. Disebelah luar
tungkub, terdapat dua makam tokoh yang dekat dengan Sunan Gunung Jati, yaitu
makam Pangeran Cakrabuwana dan Nyi Ong Tien, mertua dan istri Sunan
Gunung Jati.
Berbeda dengan makam-makam keramat Walisongo yang lain, makam
Sunan Gunung Jati tidak bisa diziarahi langsung oleh peziarah, karena areanya
terletak tingkat sembilan dengan Sembilan pintu gerbang. Kesembilan pintu
gerbang itu memiliki nama yang berbeda satu sama lain, seperti Pintu Gapura,
Pintu Krapyak, Pintu Pasujudan, Pintu Ratnakomala, Pintu Jinem, Pintu Rararoga,
Pintu Kaca, Pintu Bacem, dan terakhir Pintu Teratai, yaitu pintu untuk ke area

5
makam Sunan Gunung Jati. Para peziarah hanya diperbolehkan ziarah sampai ke
pintu ketiga yang disebut pintu pasujudan atau Sela Matangkep.2
B. Peran Sunan Gunung Jati Dalam Penyebaran Islam di Jawa Barat
Proses penyebaran dan perluasan Islam di Jawa Barat lebih banyak
dikisahkan melalui dua gerbang penyebaran yaitu Cirebon dan Banten. Didua
daerah itu dikuasai oleh seorang raja juga seorang ulama yaitu Sunan Gunung
Djati. Karena dua kekuasaan yang diperankannya yaitu kekuasaan politik dan
agama, dia mendapatkan gelar Ratu Pandita.
Dibawah kepemimpinannya dilakukan penyebaran agama Islam di Jawa
Barat atau Tatar Sunda dari dua pusat kekuasaan Islam yaitu Cirebon dan Banten.
Menurut Hoesen Djajadiningrat (1913), setelah Sunan Gunung Djati jadi
penguasa Kerajaan Islam Cirebon, secara damai ia mengajarkan dan menyebarkan
agama Islam. Pada saat itu, beribu-ribu orang berdatangan kepada Sunan Gunung
Djati untuk berguru agama Islam.
Pada awalnya kepala-kepala daerah di sekelilingnya mencoba menentang
gerakan itu. Tetapi mereka melihat tentangannya tidak berguna, mereka
membiarkan diri mereka sendiri terseret oleh gerakan tersebut. Para bupati seperti
Galuh, Sukapura, dan Limbangan menerima dan memelukagama Islam dan
menghormati Sunan Gunung Djati. Para penguasa di sekitar Cirebon menganggap
bahwa Sunan Gunung Djati adalah sebagai peletak dasar bagi dinasti sultan-sultan
Cirebon.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Sunan Gunung Djati menggunakan
sistem desentralisasi. Adapun pola kekuasaannya Kerajaan Islam Cirebon
menggunakan pola Kerajaan Pesisir, di mana pelabuhan mempunyai peranan yang
sangat penting dengan dukungan wilayah pedalaman menjadi penunjang yang
vital.
Menyadari posisi Cirebon sebagai pusat penyebaran agama Islam, pusat
kekuasaan politik, serta pusat perekonomian yang sangat strategis, maka Sunan
Gunung Jati mempercepat pengembangan kota tersebut. Untuk hal itu, maka ia

2
P. S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon. Jakarta: Depdikbud, 1978, hlm. 28

6
menjalin hubungan dengan kerajaan Islam pesisir utara Jawa yaitu Kerajaan Islam
Demak.
Untuk sarana politik, Sunan Gunung Jati memperluas bangunan Istana
Pakungwati sebagai tempat pusat kegiatan pemerintahan. Kemudian di bidang
ekonomi, Sultan Cirebon selain memperluas jaringan perdagangan, untuk
mendukung kegiatan ekonomi dibuat jalan-jalan antara istana ke pelabuhan Muara
Jati dan pasar.
Setelah Cirebon berada dibawah kekuasaan kesultanan Islam yang dipimpin
oleh Syarif Hidayatullah atau Sayid Kamil, atau Syeikh Djati, atau Sunan Gunung
Jati, maka kota tersebut tumbuh menjadi pusat kekuatan politik Islam di Jawa
Barat atau Tatar Sunda. Selain itu Cirebon dibawah kekuasaan Syarif
Hidayatullah selain sebagai pusat kekuasaan kesultanan Islam juga merupakan
pusat penyebaran agama Islam dan sekaligus sebagai pusat perdagangan yang
menjadi lintasan perdagangan internasional yaitu lintasan perdagangan jarak jauh
(long dintance trade line) yang 36 dikenal perdagangan Jalur Sutra. Dengan
demikian, maka dalam waktu singkat dibawah kekuasaan Sunan Gunung jati
Cirebon tumbuh menjadi sebuah kota yang berkembang dari sebelumnya.
Struktur pemerintahan Kerajaan Islam Cirebon menurutCarita Purwaka
Caruban Nagari, terdiri dari Tumenggung sebagai pemimpin tertinggi, kemudian
penasehat, dan pimpinan tentara atau lasykar yaitu para Adipati, kemudian para
pemimpin wilayah yang lazim disebut dengan Ki Gedeng.Adapun program-
program yang dijalankan dalam memipin pemerintahan di Cirebon, menurut
Sunarjo (1983) Sunan Gunung Djati adalah intensitas pengembangan agama Islam
ke segenap penjuru Tatar Sunda. Sedangkan di bidang ekonomi Sultan
menekankan bidang perdagangan terutama dengan nagari-nagari di wilayah
Nusantara. Selain itu dikembangkan pula hubungan perdagangan dengan negeri
Campa, Malaka, Cina, India, dan Arab. Setelah membangunan kekuatan-kekuatan
ekonomi.
Usaha dakwah yang dilakukan Sunan Gunung Djati sesuai tugasnya sebagai
guru agama islam, yang kemudian menjadi anggota wali mula-mula dilakukan di
Gunung Sembung dengan memakai nama Sayyid Kamil. Atas bantuan Haji

7
Abdullah Iman alias Pangeran Cakrabuwana, Kuwu Caruban, Sunan Gunung
Djati membuka pondok dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk sekitar
dan namanya disebut Maulana Jati atau Syeikh Jati. Tidak lama kemudian,
datanglah Ki Dipati Keling beserta Sembilan puluh delapan orang pengiringnya,
menjadi pegikut Sunan Gunung Jati.
Salah satu strategi dakwah Sunan Gunung Jati dalam memperkuat
kedudukan, sekaligus memperluas hubungan dengan tokoh-tokoh berpengaruh di
Cirebon adalah melalui pernikahan sebagaimana hal itu telah dicontohkan Nabi
Muhammad Saw dan para sahabat.3

C. Metode Dakwah Sunan Gunung Jati


1. Metode maw’izhatul hasanah wa mujadalah bilati hiya ahsan. Dasar
metode ini merujuk pada al-Quran surat An-Nahl ayat 125, yang artinya:
“Seluruh manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya
dan Dialah yang lebih mengetahui orangorang yang mendapat petunjuk”.
2. Metode Al-Hikmah sebagai sistem dan cara berda’wah para wali yang
merupakan jalan kebijaksanaan yang diselenggarakan secara populer,
atraktif, dan sensasional. Cara ini mereka pergunakan dalam menghadapi
masyarakat awam. Dengan tata cara yang amat bijaksana, masyarakat
awam itu mereka hadapi secara masal, kadangkadang terlihat sensasional
bahkan ganjil dan unik sehingga menarik perhatian umum.
3. Metode Tadarruj atau Tarbiyatul Ummah, dipergunakan sebagai proses
klasifikasi yang disesuaikan dengan tahap pendidikan umat, agar ajaran
Islam dengan mudah dimengerti oleh umat dan akhirnya dijalankan oleh
masyarakat secara merata. Metode ini diperhatikan setiap jenjang, tingkat,
bakat. Materi dan kurikulumnya, tradisi ini masih tetap dipraktekan
dilingkungan pesantren.

3
Sunyoto Agus, 2016, ATLAS WALISONGO, Tangerang Selatan : Pustaka IIMaN dan
LESBUMI PBNU hlm. 292

8
4. Metode pembentukan dan penanaman kader serta penyebaran juru da’wah
keberbagai daerah. Tempat yang dituju ialah daerah yang sama sekali
kosong dari pengaruh Islam.
5. Metode kerja sama, dalam hal ini diadakan pembagian tugas masing-
masing para wali dalam mengIslamkan masyarakat tanah Jawa. Misalnya
Sunan Gunung Jati bertugas menciptakan do’a mantra untuk pengobatan
lahir batin, menciptakan hal-hal yang berkenaan dengan pembukaan hutan,
transmigrasi atau pembangunan masyarakat desa.
6. Metode musyawarah, para wali sering berjumpa dan bermusyawarah
membicarakan berbagai hal yang bertalian dengan tugas dan perjuangan
mereka. Sementara dalam pemilihan wilayah da’wahnya tidaklah
sembarangan, dengan mempertimbangkan faktor geostrategi yang sesuai
dengan kondisi zamannya.
Hal yang memberi kesan mereka sebagai Da’i juga berpropesi sebagai
pedagang seperti dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sunan Gunung Jati
sendiri dilingkungan masyarakatnya selain sebagai penda’wah, juga berperan
sebagai politikus dan juga berperan sebagai budayawan.4

4
Dadan Wildan (2003), Melacak Metode Da’wah Wali Songo Di Tanah Jawa, Dalam Risalah No. 6,
Bandung

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Syarif Hidayatullah atau yang biasa dikenal sebagai Sunan Gunung Djati
lahir dari pasangan Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alim dan Nyai
Rara Santang. Sunan Gunung Djati lahir sekitar tahun 1450 M di Mekkah ketika
Sultan Syarifah Abdullah dan Nyai Rara Santang sedang berziarah di Mekkah dan
Madinah, namun ada juga yang menyebutkan bahwa ia lahir pada sekitar 1448 M.
Sultan Syarifah adalah raja dari kerajaan Mesir,sedangkan Nyai Rara Santang
merupakan putri Prabu Siliwangi.

Sejak kecil Sunan Gunung Djati tekun belajar agama. Selain dari orang
tuanya, ia juga belajar dari Syekh Kahfi, seorang muballigh asal Baghdad yang
juga menjadi guru pamannya, Pangeran Cakrabuana. Tak puas mendalami agama
di pesantren Syekh Kahfi, Sunan Gunung Djati pergi ke Timur Tengah. Sunan
Gunung Djati mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama
Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan
Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan
Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.

Salah satu strategi dakwah Sunan Gunung Jati dalam memperkuat


kedudukan, sekaligus memperluas hubungan dengan tokoh-tokoh berpengaruh di
Cirebon adalah melalui pernikahan sebagaimana hal itu telah dicontohkan Nabi
Muhammad Saw dan para sahabat.
B. Kritik dan Saran
Karena masih banyak kekurangan penulis dalam menyusun makalah ini
maka diharapkan kritik dan saran pembaca agar penulis bisa memperbaiki
kekurangan-kekurangan dalam makalah ini menjadi lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

P. S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon. Jakarta: Depdikbud.

10
Sunyoto Agus, 2016, ATLAS WALISONGO, Tangerang Selatan : Pustaka IIMaN
dan LESBUMI PBNU.
https://www.historyofcirebon.id/2018/01/biografi-sunan-gunung-jati-lengkap.html
(diakses pada tanggal 12 Juni 2019 pukul 22.00
Dadan Wildan (2003), Melacak Metode Da’wah Wali Songo Di Tanah Jawa,
Dalam Risalah No. 6, Bandung.

11

Anda mungkin juga menyukai