Anda di halaman 1dari 8

BIOGRAFI SUNAN GUNUNG JATI

Nama Asli : Syarif Hidayatullah


Nama Panggilan : Sayyid Al-Kamil
Ayah Kandung : Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam
Ibu Kandung : Nyi Mas Rara Santang
Gelar : Sunan Gunung Jati
Lahir : Tahun 1448 Maséhi
Wafat : Tanggal 26 Rayagung tahun 891 Hijriah

Sunan Gunung Jati, ia lahir dengan nama Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal
sebagai Sayyid Al-Kamil adalah salah seorang dari Walisongo, ia dilahirkan Tahun 1448
Masehi. Ia adalah putra dari Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam yang
menikah dengan Nyi Mas Rara Santang putri dari Jayadewata yang bergelar Sri Baduga
Maharaja yang setelah menikah dengan Syarif Abdullah bergelar Syarifah Mudaim. Ayah
Syarif Hidayatullah adalah seorang penguasa Mesir, putra dari Ali Nurul Alim bin
Jamaluddin Akbar al-Husaini, seorang keturunan dari Rasulullah dari Sayyid fam Al-
Husaini.
Pada masa lalu terdapat puluhan naskah yang menjelaskan tentang silsilah Syarif
Hidayatullah, yang diklaim oleh beberapa pihak dan menimbulkan kesimpangsiuran.
Sehingga pada masa pertemuan agung para cendekiawan, sejarawan, bangsawan dan alim
ulama senusantara dan mancanegara (bahasa Cirebon: Gotra Sawala). Pertama yang
dimulai pada tahun 1677 di Cirebon. Maka Pangeran Raja Nasiruddin (bergelar
Wangsakerta), mengadakan penelitian dan penelusuran serta pengkajian naskah-naskah
tersebut bersama para ahli-ahli di bidangnya.
Hasilnya pada tahun 1680 disusunlah kitab Negara Kertabumi, yang di dalamnya
memuat bab tentang silsilah Syarif Hidayatullah (Tritiya Sarga). Yang sudah diluruskan
dari kesimpangsiuran klaim oleh banyak pihak. Raden Syarif Hidayatullah mewarisi
kecenderungan spiritual dari kakek buyutnya, Jamaluddin Akbar al-Husaini. Sehingga
ketika telah selesai menimba ilmu di pesantren Syekh Datuk Kahfi, ia meneruskan
pembelajaran agamanya ke Timur Tengah.
Babad Cirebon menyebutkan, ketika Pangeran Cakrabuwana membangun Kota
Cirebon dan tidak mempunyai pewaris. Maka sepulang dari Timur Tengah Syarif
Hidayatullah, mengambil peranan membangun kota dan menjadi pemimpin
perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah pamannya wafat.
Memasuki usia dewasa (sekitar tahun 1470 - 1480), ia menikahi adik dari Bupati
Banten saat itu yang bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini lahirlah Ratu
Wulung Ayu dan Maulana Hasanuddin. Maulana Hasanuddin inilah yang kelak akan
menjadi Raja Banten pertama.

1
Pada tahun 1478 diadakan sebuah musyawarah para wali di Tuban, Jawa Timur,
untuk mencari pengganti Sunan Ampel sebagai pimpinan para wali. Akhirnya terpilihlah
Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Sejak saat itu, pusat kegiatan para wali
dipindahkan ke gunung Sembung, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, Provinsi
Jawa Barat. Pusat kegiatan keagamaan ini kemudian disebut sebagai Puser Bumi
(pusatnya dunia).
Pada tahun 1479 M, kedudukan pangeran Walangsungsang sebagai penguasa
Cirebon kemudian digantikan oleh putra dari adiknya yakni Syarif Hidayatullah (anak
dari pernikahan Nyai Rara Santang dengan Syarif Abdullah dari Mesir). Yang sebelumnya
menikahi Nyimas Pakungwati (putri dari Pangeran Walangsungsang dan Nyai Indang
Geulis). Yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati, dengan gelar
Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah. Dan bergelar pula,
sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya
Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga, selalu mendekati kakeknya yakni
Jaya Dewata (prabu Silih Wangi) agar berkenan memeluk agama Islam. Seperti halnya
neneknya, Nyai Subang Larang yang memang sudah lama menjadi seorang muslim jauh
sebelum menikah dengan prabu Silih Wangi. Tetapi hal tersebut tidak membuahkan hasil.
Pada tahun 1482 (pada saat kekuasaan kerajaan Galuh dan Sunda sudah menjadi satu
kembali di tangan prabu Silih Wangi), seperti yang tertuang dalam naskah Purwaka
Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon.
Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati berpulang ke rahmatullah pada
tanggal 26 Rayagung tahun 891 Hijriah, atau bertepatan dengan tanggal 19 September
1568 Masehi. Tanggal Jawanya adalah 11 Krisnapaksa bulan Badramasa tahun 1491
Saka.
Sunan Gunung Jati meninggal dalam usia 120 tahun. Di mana putra dan cucunya,
tidak sempat memimpin Cirebon karena meninggal terlebih dahulu. Kepemimpinan
Cirebon dipegang sementara oleh Fatahillah selama 2 tahun, antara tahun 1568 sampai ia
wafat di tahun 1570 Masehi. Takhta Cirebon lalu diwarisi oleh cicitnya, Zainul Arifin
yang naik takhta di usia 23 tahun dengan gelar Panembahan Ratu.
Syekh Syarif Hidayatullah kemudian dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati oleh
warga Cirebon karena ia dimakamkan di komplek pemakaman bukit Gunung Jati, yang
sekarang dikenal dengan nama Astana Gunung Sembung.

2
PERAN SUNAN GUNUNG JATI DALAM PENYEBARAN ISLAM DI
NUSANTARA

Sunan Gunung Jati adalah salah satu tokoh Wali Songo yang memiliki sifat rendah
hati, tidak sombong, sopan, santun dalam berkata-kata, cerdas, agamis, dan mumpuni di
bidangnya. Beliau adalah seorang perwira yang tangkas dan banyak memiliki pengikut
baik dari kalangan raja, pembesar, maupun panglima. Beliau pun orang yang tegas dan
memiliki strategi perang dan siasat tempur yang luar biasa. Beliau juga memiliki konsep
yang visioner dan berwawasan internasional berkat pengalamannya berkeliling negara.
Dengan demikian, wajar jika beliau bisa memerankan dirinya sebagai seorang pemimpin
politik, pendakwah dan lain sebagainya secara bersamaan dengan sangat baik. Adapun
peran lainnya yang tidak kalah menarik adalah bagaimana beliau bisa memainkan proses
maupun hasil dari Islamisasi secara massif dan damai. Beliau juga yang menyebarkan
ajaran agama Islam di Jawa Barat. Berkat perjuangannya, Sunan Gunung Jati berhasil
membawa Cirebon menjadi pusat dakwah Islam kedua setelah Demak. Terlebih, Sunan
Gunung Jati juga memperkuat kedudukan politik sekaligus memperluas hubungannya
dengan para tokoh berpengaruh di daerah Cirebon, Demak, dan Banten sehingga cara
dakwahnya semakin kuat.
Ketika diberi kekuasaan Cirebon oleh Pangeran Cakrabuana, Sunan Gunung Jati
yang diberi gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad
Syarif Abdullah memilih untuk melepaskan diri dari Kerajaan Sunda. Selain itu, Sunan
Gunung Jati juga menolak memberi kewajiban upeti berupa garam dan terasi kepada
Kerajaan Sunda.
Hal ini sontak membuat Raja Sunda murka dan mengirim Tumenggung Jagabaya
beserta pasukan untuk segera mendesak Cirebon. Akan tetapi, setibanya Tumenggung
Jagabaya di Cirebon, ia justru masuk Islam setelah berulang kali diminta oleh Sunan
Gunung Jati.
Pada akhirnya, Cirebon menjadi Kerajaan Islam yang merdeka dan otonom.
Bahkan Cirebon menjadi pusat dakwah Islam kedua setelah Kerajaan Demak. Sebagai
pemimpin Kerajaan Cirebon, Sunan Gunung Jati berperan penting dalam perluasan
politik dan agama Islam di sana. Ia memanfaatkan kekuasaannya tersebut untuk
membangun sarana dan prasarana, seperti pembangunan sarana ibadah di seluruh wilayah
kekuasaannya atau transportasi sebagai penunjang pelabuhan dan sungai. Hal ini juga
dilakukan untuk memudahkan Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan ajaran islam.
1. Bidang Politik
Tepatnya, pada tanggal 12 bagian terang bulan Carita 1404 Saka (4 Maret/April
1482 M), Pangeran Cakrabuana menobatkan Syekh Syarif Hidayatullah sebagai Raja
Islam pertama Cirebon. Di saat yang bersamaan dengan dukungan Dewan Walisongo
(Nawakamasthu atau Kamasthu Kang Sangan) yang dipimpin oleh Sunan Ampel
Denta melantik Syekh Syarif Hidayatullah sebagai Sunan Carbon Sinarat Sundha.

3
Penobatan tersebut ditandai dengan gelar yang diberikan kepada Syekh Syarif
Hidayatullah sebagai “Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purwabawisesa
Panetep Aulia Allahu Ta’ala Kutubil Jaman, Kholifatul Rosulillahi Sholollahu Alaihi
Wassalam”. Dengan gelar tersebut, Syarif Hidayatullah yang kemudian dikenal
dengan sebutan Sunan Gunung Jati memiliki otoritas penuh sebagai pemimpin negara
dan pemimpin agama di wilayah tatar sundha (Raja Ingkang Pinandhita Sinarat
Sundha). Setelah Sunan Gunung Jati mendirikan dan memimpin Kesultanan Cirebon,
proses Islamisasi menjadi lebih nyata terjadi. Hal itu terlihat dari semakin meluasnya
wilayah kekuasaan Kesultanan Cirebon, antara lain Luragung, Kuningan, Banten,
Sunda Kelapa, Galuh, Sumedang, Japura Talaga, Losari dan Pasir Luhur.
Sebagaimana kemunculan Walisongo yang dianggap sebagai kemunculan hidup
beragama disertai kemunculan peranan yang cukup kuat dalam bidang politik.
Khususnya ketika kerajaan Demak sebagai penguasa Islam pertama di Jawa berhasil
menyerang ibu kota Majapahit, 9 para wali ini pun dengan bantuan kerajaan Demak,
kemudian Pajang dan Mataram dapat meluaskan pengembangan Islam tidak saja ke
seluruh daerah-daerah penting di Jawa, tetapi juga di luar Jawa. 10 Hal inilah yang
kemudian melatarbelakangi pemikiran Sunan Gunung Jati akan pentingnya kekuatan
politik demi keberhasilan Islamisasi.
Adapun beberapa implikasi dari peran yang dimainkan oleh Sunan Gunung Jati
yang penulis maksud antara lain:
a. Kekuatan Kerajaan Islam dengan cara melepaskan diri dari Kekuasaan Kerajaan
Pajajaran
b. Pendirian Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan menjadikannya sebagai pusat
kegiatan pemerintahan.
c. Memprakarsai pola pembangunan keraton-masjid-alun-alun dan pasar sebagai
bagian yang masing-masing saling berintegrasi yang membentuk nti kota kuno
dari Kerajaan Islam (Kasultanan) di Nusantara dan Kasultanan Cirebon pada masa
lalu.
d. Pembentukan sistem jabatan dengan menyeragamkan gelar jabatannya dan
menetapkan pimpinan Cirebon selanjutnya diberi gelar Sultan atau Penembahan
Ratu.

2. Bidang Sosial Budaya


Islamisasi yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati dilakukan dengan meniru
Gaya Walisongo lainnya yang cenderung menggunakan pendekatan kesenian dan
Budaya. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka melakukan pendekatan dakwah, agar
Ajaran Islam bisa dengan mudah diterima oleh masyarakat Cirebon. Selain itu,
Pendekatan sosial budaya yang dilakukannya itu juga menjadi bentuk transformasi
Islam melalui tradisi-tradisi yang ada di tengah masyarakat Cirebon.
Bagaimana Kemudian, Sunan Gunung Jati menyusun rencana-rencana untuk
bisa memasukan nillai-nilai Islam ke dalam unsur budaya asli yang ada. Dengan kata
lain, gagasan ini tidak hanya membuat Sunan Gunung Jati untuk mengakulturasikan
budaya Hindu-Budha dengan Islam, tapi juga bagaimana caranya beliau bisa

4
menempatkan hubungan tarik menarik antara kepercayaan dan praktek hidup
masyarakat ketika berpindah agama menjadi seorang Muslim.
Beberapa materi ajaran Islam yang dibawa beliau bisa menempatkan hubungan
tarik-menarik antara kepercayaan dan praktek hidup masyarakat ketika berpindah
agama menjadi seorang Muslim. Beberapa materi ajaran Islam yang dibawa oleh
Sunan Gunung Jati pun sama seperti para wali lainnya yang mengajarkan ajaran Islam
berdasarkan empat tingkatan yaitu syariat, tarekat, hakekat, dan ma’rifat. Dalam
tingkatan pertama yaitu syariat, biasanya disimbolkan dalam bentuk wayang.
Wayang inilah yang merupakan perwujudan dari manusia. Sedangkan
dalangnya adalah Allah. Tingkatan kedua adalah tarekat yang disimbolkan dengan
barong. Tingkatan ketiga adalah hakekat yang disimbolkan dengan topeng. Tingkatan
keempat adalah ma’rifat yang disimbolkan dengan ronggeng. Keempat bentuk
kesenian ini, wayang, barong, Topeng, dan ronggeng kemudian dijadikan jenis-jenis
pertunjukan kesenian rakyat Jawa Cirebon.
Selain itu, Sunan Gunung Jati juga berperan penting dalam bidang seni sastra
dan tembang. Melalui kedua hal ini, beliau berhasil mengemas kesenian sebagai
media informasi dan sosialisasi ajaran Islam. Beliau menjadikan seni sebagai sesuatu
yang bermartabat dan terhormat, tidak lagi menjadi konsumsi orang-orang bejat dan
para pemabuk.
3. Bidang Agama
Dalam usia 20 tahun Syarif Hidayatullah telah mempunyai kualifikasi sebagai
guru agama Islam karena latar belakang pendidikannya yang telah belajar di Mekkah
dan Madinah. Dalam perjalanannya ke Cirebon, beliau singgah di Pasai dan tinggal
bersama Maulana Iskak.17 Ketika tiba di Pelabuhan Muara Jati yang terletak di
Cirebon, beliau kemudian melanjutkan perjalanan ke Desa Sembung, Pasambangan,
dekat Giri Amparan Jati pada tahun 1475, ada juga naskah yang menyebutkan tahun
1470. Di desa inilah, beliau mengajarkan agama Islam menggantikan Syekh Datuk
Kahfi yang telah meninggal dunia. Perlahan-lahan beliau menyesuaikan diri dengan
masyarakat setempat yang menganggapnya sebagai orang asing dari Arab. Beliau pun
kemudian digelari Syekh Maulana Jati atau Syekh Jati.

Selain mengajar di Desa Sembung, Syekh Jati juga mengajar di Dukuh


Babadan, sekitar tiga kilometer dari Desa Sembung. Setelah itu, beliau pergi
berdakwah ke Banten untuk mengajar Agama Islam di sana. Sepulangnya dari Banten
pada tahun 1479, beliau dinobatkan oleh pamannya, Pangeran Cakrabuwana, sebagai
Kepala Nagari dan digelari Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sunan Caruban.
Dengan demikian, namanya pun berubah menjadi Tumenggung Syarif Hidayatullah
bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah yang disambut oleh para wali tanah
Jawa dengan memberikan gelar Panetep Panatagama Rasul di Tanah Sunda atau
Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awliya
Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah. Panetep berarti yang menetapkan,
panata artinya yang menata, gama singkatan dari agama, dan rasul yang berarti
utusan (untuk menyebarkan agama) yang bertempat di tanah Sunda. Sejak itulah

5
Caruban Larang dari sebuah negeri mulai dikembangkan menjadi sebuah kesultanan
dengan nama Kesultanan Cirebon.

Kemudian, Sunan Gunung Jati pun mengembangkan ajaran Islam ke daerah


lain di Jawa Barat secara lebih luas, seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh),
Sunda Kelapa, dan Banten. Beliau mengembangkan Islam dan kegiatan perdagangan
orang-orang Islam di Banten pada tahun 1525 atau 1526. Ketika kembali ke Cirebon,
Banten diserahkan kepada anaknya, Sultan Maulana Hasanuddin, yang kemudian
menurunkan raja-raja Banten. Agama Islam kemudian dianut oleh masyarakat
perkotaan, pedesaan, dan pegunungan.

Aktivitas Sunan Gunung Jati yang tampil sebagai kepala negara sekaligus
sebagai salah seorang anggota Walisongo membuatnya lebih memprioritaskan pada
pengembangan agama Islam melalui dakwah. Salah satu hal yang dilakukannya
adalah dengan mengeluarkan kebijakan untuk menyediakan sarana ibadat keagamaan
dengan mempelopori pembangunan masjid agung dan masjid-masjid jami’ di
wilayah-wilayah bawahan Cirebon.
Adapun peran yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati dalam Islamisasi
terutama melalui bidang agama Islam dilakukan melalui:
a. Pendirian Masjid Agung Cipta Rasa dan masjid-masjid jami’ di wilayah bawahan
Cirebon.
b. Mendirikan pondok pesantren dan menjadi guru agama.
c. Mengajarkan petatah petitih sebagai bentuk transformasi budaya Islam ke dalam
unsur budaya lokal.

4. Islamisasi Melalui Pernikahan


Pemaknaan Islamisasi melalui pernikahan yang dilakukan oleh Sunan Gunung
Jati memang tidak hanya berarti secara pribadi. Karena peran beliau sebagai seorang
pemimpin di tengah masyarakat Cirebon pada waktu itu telah menempatkannya
sebagai pihak yang selalu harus memperhatikan banyak hal termasuk masalah
pernikahannya. Konteks pernikahan yang dijalankan oleh beliau dengan berbagai
macam latar belakang etnis, kedudukan sosial dan budaya yang pada akhirnya
ditafsirkan memiliki keterkaitan antara niat, konsep, metode dan strategi dakwahnya.
Berikut ini beberapa gambaran tentang peran Sunan Gunung Jati yang beliau lakukan
melalui proses pernikahan, antara lain:
a. Nyi Babadan
Menurut Prof. H.C. Askandi Sastra Suganda,38 Nyi Babadan bukanlah anak
dari Ki Gede Babadan seperti yang disebutkan dalam Naskah Kuningan,
melainkan putri Aceh yang hendak mencari Sunan Gunung Jati untuk berguru.
Namun, kapal yang ditumpanginya justru melewati daerah Cirebon dan justru
terdampar di perairan Jawa Timur. Sunan Kalijaga yang mengantarkannya ke
Babadan dan menyerahkannya kepada tokoh Babadan untuk diangkat sebagai
anak. Di sisi lain, Sunan Kalijaga memberitahukan kepada Sunan Gunung Jati
bahwa di daerah Babadan terdapat dara cantik dan terhormat yang pantas untuk
dijadikan sebagai seorang istri. Hingga akhirnya pernikahan antara Sunan Gunung
Jati dan Nyi Babadan ini terjadi. Pernikahan pertama beliau yang dilaksanakan

6
pada usia yang masih muda ini telah membuat beliau memahami tentang hakikat
sebuah pernikahan, tentang rasa cinta sampai Nyi Babadan meninggal. Karenanya,
beliau jadi memahami tentang kepada siapakah cinta sejati itu harus diberikan.
b. Nyi Kawunganten
Sebelum pernikahan ini terjadi, Sunan Gunung Jati datang ke Kota Banten
dengan tujuan untuk memberikan pelajaran agama Islam di sana. Hal ini pun
terjadi atas permintaan dari beberapa orang utusan Banten yang mendatangi beliau
di Pasambangan. Kedatangan Sunan Gunung Jati ke sana pun dilakukan untuk
melanjutkan dakwah Sunan Ampel sebelumnya. Dan di sanalah Sunan Gunung
Jati bertemu dengan Ratu Kawunganten yang merupakan adik dari adipati Banten.
Singkat cerita, Ratu Kawunganten ini kemudian menjadi salah satu muridnya
Sunan Gunung Jati yang kemudian dipersuntingnya untuk memperluas gerakan
Islamisasi di sana.
c. Nyi Pakungwati
Setelah kembali dari Banten, Sunan Gunung Jati melangsungkan
pernikahan dengan Dewi Pakungwati yang merupakan putri dari Pangeran
Cakrabuana pada tahun 1478 M, yang juga merupakan sepupu beliau. Pernikahan
ini dilaksanakan dibantu oleh Syekh Amrullah sebagai penghulunya. Sedangkan
saksinya adalah Syekh Ora, Pangeran Giri dan Syekh Mayang. Kemudian, Sunan
Gunung Jati pun pindah dari Amparan Jati atau Pasambangan dan tinggal di
Kawedarahan, tempat yang dibuat para wali. Pernikahan ini dilatarbelakangi oleh
pandangan tentang masa depan Cirebon ke depannya. Karena Nyi Pakungwati ini
merupakan anak Tumenggung Cakrabuana dan sekaligus juga cucu dari Raja
Prabu Siliwangi.
d. Putri Ing Tin Nio
Putri Ong Tin Nio adalah putri dari seorang Raja Cina. Saat bertemu di Cina,
putri Ong Tin Nio jatuh hati pada kepandaian Sunan Gunung Jati. Hingga ketika
Sunan Gunung Jati kembali ke tanah Jawa, Putri Ong Tin Nio pun turut serta
menyusulnya ke tanah Jawa dengan memberikan tiga buah kapal dengan 150
orang awak kapal, lengkap dengan cinderamata berupa peralatan rumah tangga,
piring, cangkir, guci, sutera dan lain sebagainya. Pernikahan ini tidak hanya
memperluas Islamisasi di dalam negeri tapi juga hingga ke Negeri Cina.
Pernikahan ini berdampak sangat luas pada akulturasi budaya, sosial, politik dan
ekonomi yang sangat luar biasa di antara kedua negara ini. Sehingga bisa kita
temukan hingga saat ini beberapa bentuk peninggalan sejarah yang menjelaskan
akulturasi di antara dua negara ini.
e. Nyi Rara Baghdad
Sepeninggal Putri Ong Tin Nio, Syekh Dzatul Kahfi menyerahkan Nyi Rara
Baghdad, anaknya sekaligus adik dari Syarif Abdurrahman al-Baghdadi yang
mendapatkan gelar Pangeran Panjunan untuk dinikahi oleh Sunan Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati pun menikah dengan Nyi Rara Baghdad pada 1485 M.
f. Nyi Mas Tepasari
Setelah dilakukannya percepatan dan pengembangan untuk penguatan
posisi Cirebon dengan cara menjalin hubungan yang lebih erat dengan Kerajaan
Islam di Pesisir Utara Jawa Tengah yaitu Demak. Sunan Gunung Jati pun
menikahi Nyi Mas Tepasari yang merupakan putri dari Ki Gedeng Tepasan dari

7
Majapahit pada tahun 1490 M. Dari pernikahan ini, Islamisasi semakin meluas ke
wilayah-wilayah Demak.

Anda mungkin juga menyukai