Anda di halaman 1dari 9

Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati, lahir dengan nama Syarif


Hidayatullah  atau Sayyid Al-Kamil adalah salah seorang
[1]

dari Walisongo, ia dilahirkan Tahun 1448 Masehi dari


pasangan Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul
Alam [2] dan Nyai Rara Santang, Putri Sri Baduga Maharaja
Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran (yang setelah
masuk Islam berganti nama menjadi Syarifah Mudaim).[3]

Syarif Hidayatullah sampai di Cirebon pada


tahun 1470 Masehi, yang kemudian dengan
dukungan Kesultanan Demak dan Raden
Walangsungsang atau Pangeran
Cakrabuana (Tumenggung Cirebon pertama sekaligus uwak Syarif Hidayatullah dari pihak
ibu), ia dinobatkan menjadi Tumenggung Cirebon ke-2 pada tahun 1479 dengan gelar
Maulana Jati.[4]

Nama Syarif Hidayatullah kemudian diabadikan menjadi nama Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta di daerah Tangerang Selatan, Banten.[5] Sedangkan nama Sunan
Gunung Jati diabadikan menjadi nama Universitas Islam negeri di Bandung, yaitu Universitas
Islam Negeri Sunan Gunung Djati, dan Korem 063/Sunan Gunung Jati di Cirebon.[6]

Silsilah
Syarif Hidayatullah adalah putra dari Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam yang
menikah dengan Nyi Mas Rara Santang putri dari Jayadewata yang bergelar Sri Baduga
Maharaja yang setelah menikah dengan Syarif Abdullah bergelar Syarifah Mudaim. Ayah
Syarif Hidayatullah adalah seorang penguasa Mesir, putra dari Ali Nurul Alim bin Jamaluddin
Akbar al-Husaini, seorang keturunan dari Sayyid Abdul Malik Azmatkhan (India) dan Alwi
Ammul Faqih (Hadhramaut).

Pada masa lalu terdapat puluhan naskah yang menjelaskan tentang silsilah Syarif
Hidayatullah yang diklaim oleh beberapa pihak dan menimbulkan kesimpangsiuran sehingga
pada masa pertemuan agung
para cendekiawan, sejarawan, bangsawan dan alim ulama senusantara dan mancanegara (b
ahasa Cirebon: Gotra Sawala) pertama yang dimulai pada tahun 1677
di Cirebon maka Pangeran Raja (PR) Nasiruddin (bergelar Wangsakerta) mengadakan
penelitian dan penelusuran serta pengkajian naskah-naskah tersebut bersama para ahli-ahli
di bidangnya.

Hasilnya pada tahun 1680 disusunlah kitab Negara Kertabumi yang di dalamnya memuat bab
tentang silsilah Syarif Hidayatullah (Tritiya Sarga) yang sudah diluruskan dari
kesimpangsiuran klaim oleh banyak pihak.
Proses Belajar
Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecenderungan spiritual dari kakek buyutnya, Jamaluddin
Akbar al-Husaini, sehingga ketika telah selesai menimba ilmu di pesantren Syekh Datuk
Kahfi ia meneruskan pembelajaran agamanya ke Timur Tengah.

Babad Cirebon menyebutkan, ketika Pangeran Cakrabuwana membangun Kota Cirebon dan


tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Syarif Hidayatullah mengambil
peranan mambangun kota dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk
itu setelah Uwaknya wafat.

Pernikahan
Memasuki usia dewasa (sekitar tahun 1470 - 1480) ia menikahi adik dari Bupati Banten saat
itu, Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini lahirlah Ratu Wulung Ayu dan Maulana
Hasanuddin. Maulana Hasanuddin inilah yang kelak menjadi Raja Banten pertama.

Kesultanan Cirebon
Pada tahun 1478 diadakan sebuah musyawarah para wali di Tuban, Jawa Timur untuk
mencari pengganti Sunan Ampel sebagai pimpinan para wali, akhirnya terpilihlah Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), sejak saat itu, pusat kegiatan para wali dipindahkan ke
gunung Sembung, kecamatan Gunung Jati, kabupaten Cirebon, propinsi Jawa Barat. Pusat
kegiatan keagamaan ini kemudian disebut sebagai Puser Bumi (bahasa Indonesia: pusatnya
dunia).[9]

Pada tahun 1479 M, kedudukan pangeran Walangsungsang sebagai


penguasa Cirebon kemudian digantikan putra adiknya yakni Syarif Hidayatullah (anak dari
pernikahan Nyai Rarasantang dengan Syarif Abdullah dari Mesir) yang sebelumnya
menikahi Nyimas Pakungwati (putri dari Pangeran Walangsungsang dan Nyai Indang Geulis)
yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Syarif
Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula
sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah
Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.[10]

Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga selalu mendekati kakeknya yakni Jaya


Dewata (prabu Silih Wangi) agar berkenan memeluk agama Islam seperti halnya
neneknya Nyai Subang Larang yang memang sudah lama menjadi seorang muslim jauh
sebelum menikah dengan prabu Silih Wangi, tetapi hal tersebut tidak membuahkan hasil,
pada tahun 1482 (pada saat kekuasaan kerajaan Galuh dan Sunda sudah menjadi satu
kembali di tangan prabu Silih Wangi), seperti yang tertuang dalam naskah Purwaka Caruban
Nagari karya Pangeran Arya Carbon.

“ ”
Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang
Sakakala.
(bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijriah)

Pada tanggal 12 Shafar 887 Hijriah atau tepatnya pada tanggal 2 April 1482 Masehi, akhirnya
Syarif Hidayatullah membuat maklumat yang ditujukan kepada prabu Silih Wangi selaku Raja
Pakuan Pajajaran bahwa mulai saat itu Cirebon tidak akan lagi mengirimkan upeti. [9]
[10]
 Maklumat tersebut kemudian diikuti oleh para pembesar di wilayah Cirebon (bahasa
Cirebon: gegeden).

Untuk memperkuat hubungan dengan kesultanan Demak dilakukan dengan pernikahan putra


putri kedua kesultanan.[11]

 Pangeran Maulana Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana.


 Pangeran Jayakelana dengan Ratu Ayu Pembayun
 Pangeran Bratakelana dengan Ratu Nyawa (Ratu Ayu Wulan)
 Ratu Ayu dengan Yunus Abdul Kadir (Pangeran Sabrang Lor) menikah pada 1511
yang menjadi Sultan Demak kedua pada 1518 .

Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai leluhur
dari dinasti raja-raja kesultanan Cirebon dan kesultanan Banten serta penyebar agama Islam
di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.[12]

Kesultanan Demak
Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan
Demak tahun 1487, yang mana Walisongo memberikan peranan penting dalam sejarah
pendiriannya. Pada masa ini, Syarif Hidayatullah berusia sekitar 37 tahun (kurang lebih sama
dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak pertama).

Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa (bukan hanya di Demak),
maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian atau Vasal dari Kesultanan Demak.

Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling
dituakan di Dewan Muballigh (Walisongo), bahwa agama Islam akan disebarkan di Pulau
Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.

Pendirian Kesultanan Banten & Jatuhnya Sunda


Kelapa[sunting | sunting sumber]
Wilayah Kesultanan Cirebon Pada Masa Puncak Kejaannya, Kesultanan
Banten Sebagai Vasal Kesultanan Cirebon

Setelah pendirian Kesultanan Demak, antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa


paling sulit baik bagi Syarif Hidayatullah maupun Raden Patah, karena proses Islamisasi
secara damai mengalami gangguan internal dari Kerajaan Sunda, Galuh (sekarang bagian
dari Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) serta gangguan eksternal
dari Portugis yang telah mulai melakukan ekspansi di wilayah Asia Tenggara.

Setelah pendirian Kesultanan Demak, antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa


paling sulit baik bagi Syarif Hidayatullah maupun Raden Patah, karena proses Islamisasi
secara damai mengalami gangguan internal dari Kerajaan Sunda, Galuh (sekarang bagian
dari Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) serta gangguan eksternal
dari Portugis yang telah mulai melakukan ekspansi di wilayah Asia Tenggara.

Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa


mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayatullah yang telah berkembang
di Cirebon dan Banten. Di saat yang genting inilah Syarif Hidayatullah berperan dalam
membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten-Demak-
Cirebon di Pulau Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara.

Kegagalan Ekspedisi Jihad II Pati Unus yang sangat fatal pada tahun 1521 kemudian


memaksa Syarif Hidayatullah merombak pimpinan armada gabungan yang masih tersisa dan
mengangkat Tubagus Pasai sebagai Panglima berikutnya yang menyusun strategi baru untuk
memancing Portugis bertempur di Pulau Jawa, menggantikan Pati Unus yang syahid
di Malaka.

Syiar Islam ke Banten dan Pendirian Kesultanan Banten


Pada masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)
bersama dengan Pangeran Walangsungsang sempat melakukan syiar Islam di wilayah
Banten yang pada masa itu disebut sebagai Wahanten, Syarif Hidayatullah dalam syiarnya
menjelaskan bahwa arti jihad (perang) tidak hanya dimaksudkan perang melawan musuh-
musuh saja namun juga perang melawan hawa nafsu, penjelasan inilah yang kemudian
menarik hati masyarakat Wahanten dan Pucuk Umun [13](penguasa) Wahanten Pasisir. Pada
masa itu di wilayah Wahanten terdapat dua penguasa yaitu Sang Surosowan (anak dari
Prabu Jaya Dewata atau Silih Wangi) yang menjadi Pucuk Umun (penguasa) untuk
wilayah Wahanten Pasisir dan Arya Suranggana yang menjadi Pucuk Umun untuk
wilayah Wahanten Girang.[14]
Di wilayah Wahanten Pasisir Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nyai Kawung Anten (putri
dari Sang Surosowan), keduanya kemudian menikah dan dikaruniai dua orang anak yaitu
Ratu Winaon (lahir pada 1477 M) dan Pangeran Maulana Hasanuddin (Pangeran
Sabakingkin: nama pemberian dari kakeknya Sang Surosowan) yang lahir pada 1478 M.
[11]
 Sang Surosowan walaupun tidak memeluk agama Islam namun sangat toleran kepada
para pemeluk Islam yang datang ke wilayahnya.

Syarif Hidayatullah kemudian kembali ke Kesultanan Cirebon untuk menerima tanggung


jawab sebagai penguasa Kesultanan Cirebon pada 1479 setelah sebelumnya menghadiri
rapat para Wali di Tuban yang menghasilkan keputusan menjadikan Sunan Gunung Jati
sebagai pemimpin dari para Wali.

Latar Belakang Penguasaan Banten

Perkawinan Pangeran Sabrang Lor (Yunus Abdul Kadir)dengan Ratu Ayu (putri Sunan
Gunung Jati) terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan
Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon, kelak Yunus Abdul Kadir akan
menjadi Sultan Demak pada 1518.

Persekutuan Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak ini sangat mencemaskan Jaya


Dewata (Siliwangi) di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putra mahkota Surawisesa
menghubungi Panglima Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika itu baru saja
gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudera Pasai. [15]

Pada tahun 1513 M, Tome Pires pelaut Portugis menyatakan dalam catatannya bahwa sudah
banyak dijumpai orang Islam di pelabuhan Banten.[16]

Syarif Hidayatullah mengajak putranya Maulana Hasanuddin untuk berangkat ke Mekah,


[17]
 sekembalinya dari Mekah Syarif Hidayatullah dan putranya yaitu Maulana Hasanuddin
kemudian melakukan dakwah Islam dengan sopan, ramah serta suka membantu masyarakat
sehingga secara sukarela sebagian dari mereka memeluk dan taat menjalankan agama
Islam, dari aktivitas dakwah ini di wilayah Banten.

Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama Syekh Nurullah (Syekh yang membawa cahaya


Allah SWT),[18] yang kemudian aktivitas dakwah ini dilanjutkan oleh Maulana Hasanuddin
hingga ke pedalaman Wahanten seperti gunung Pulosari di kabupaten Pandeglang di mana
ia pernah tinggal selama sekitar 10 tahun untuk berdakwah kepada para ajar (pendeta),
gunung Karang, gunung Lor, hingga ke Ujung Kulon dan pulau Panaitan [19] dengan pola syiar
yang kurang lebih sama seperti yang dilakukan ayahnya.

Pada tahun 1521, Jaya Dewata (Prabu Siliwangi) mulai membatasi pedagang muslim yang
akan singah di pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Sunda hal ini bertujuan untuk mengurangi
pengaruh Islam yang akan diterima oleh para pedagang pribumi ketika melakukan kontak
perdagangan dengan para pedagang muslim, namun upaya tersebut kurang mendatangkan
hasil yang memuaskan karena pada kenyataannya pengaruh Islam jauh lebih kuat
dibandingkan upaya pembatasan yang dilakukan tersebut, bahkan pengaruh Islam mulai
memasuki daerah pedalaman kerajaan Sunda.

Pada tahun itu juga Kerajaan Sunda berusaha mencari mitra koalisi dengan negara yang
dipandang memiliki kepentingan yang sama dengan kerajaan Sunda, Jaya Dewata (Siliwangi)
memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan Portugis dengan tujuan dapat
mengimbangi kekuatan pasukan Kesultanan Demak dan Kesultanan Cirebon.

Pada tahun 1521 untuk merealisasikan persahabatan tersebut Jaya Dewata (Siliwangi)
mengirim beberapa utusan ke Malaka di bawah pimpinan Ratu Samiam (Surawisesa),
mereka berusaha meyakinkan bangsa Portugis bagi suatu persahabatan yang saling
menguntungkan antara Kerajaan Sunda dan Portugis. Surawisesa memberikan penawaran
kepada Portugis untuk melakukan perdagangan secara bebas terutama lada di pelabuhan-
pelabuhan milik Kerajaan Sunda sebagai imbalannya, Surawisesa mengharapkan bantuan
militer dari Portugis apabila Kerajaan Sunda diserang oleh Kesultanan Demak dan
Kesultanan Cirebon dengan memberi hak kepada Portugis untuk membangun benteng. [15]

Pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di Malaka mengutus


Henrique Leme untuk menghadiri undangan Raja Sunda Surawisesa (dalam naskah Portugis
disebut sebagai Raja Samiam) [20] untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa
guna melawan orang-orang Cirebon yang menurutnya bersifat ekspansif.

Pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang


Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda
Kelapa[21] dan Banten, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang
diperlukan. Raja Sunda Surawisesa akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000
keranjang lada sebagai tanda persahabatan, sebuah batu peringatan atau padraõ (dibaca:
Padraun) dibuat untuk memperingati peristiwa itu.

Padrão dimaksud disebut dalam cerita masyarakat Sunda sebagai Layang Salaka Domas


dalam cerita rakyat Mundinglaya Dikusumah, dari pihak kerajaan Sunda perjanjian
ditandatangani oleh Padam Tumungo (yang terhormat Tumenggung), Samgydepaty (Sang
Depati), e outre Benegar (dan bendahara) e easy o xabandar (dan
Syahbandar) [22] Syahbandar Sunda Kelapa yang menandatangani bernama Wak Item dari
kalangan muslim Betawi, dia menandatangani dengan membubuhkan huruf Wau dengan
Khot.[23]

Penguasaan Banten

Pada tahun 1522,[24] Maulana Hasanuddin membangun kompleks istana yang diberi nama
keraton Surosowan, pada masa tersebut dia juga membangun alun-alun, pasar, masjid agung
serta masjid di kawasan Pacitan.[25] Sementara yang menjadi pucuk umum (penguasa)
di Wahanten Pasisir adalah Arya Surajaya (putra dari Sang Surosowan dan paman
dari Maulana Hasanuddin) setelah meninggalnya Sang Surosowan pada 1519 M. Arya
Surajaya diperkirakan masih memegang pemerintahan Wahanten Pasisir hingga tahun 1526
M.[26]

Pada tahun 1524 M, Sunan Gunung Jati bersama pasukan gabungan dari kesultanan Cirebon
dan kesultanan Demak mendarat di pelabuhan Banten[27] Pada masa ini tidak ada pernyataan
yang menyatakan bahwa Wahanten Pasisir menghalangi kedatangan pasukan gabungan
Sunan Gunung Jati sehingga pasukan difokuskan untuk merebut Wahanten Girang
Dalam Carita Sajarah Banten dikatakan ketika pasukan gabungan kesultanan
Cirebon dan kesultanan Demak mencapai Wahanten Girang, Ki Jongjo (seorang kepala
prajurit penting) dengan sukarela memihak kepada Maulana Hasanuddin. [28]

Dalam sumber-sumber lisan dan tradisional di ceritakan bahwa Pucuk Umun (penguasa)


Banten Girang yang terusik dengan banyaknya aktivitas dakwah Maulana Hasanuddin yang
berhasil menarik simpati masyarakat termasuk masyarakat pedalaman Wahanten yang
merupakan wilayah kekuasaan Wahanten Girang, sehingga pucuk umum Arya Suranggana
meminta Maulana Hasanuddin untuk menghentikan aktivitas dakwahnya dan
menantangnya sabung ayam (adu ayam) dengan syarat jika sabung ayam dimenangkan Arya
Suranggana maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan aktivitas dakwahnya.

Sabung Ayam pun dimenangkan oleh Maulana Hasanuddin dan dia berhak melanjutkan
aktivitas dakwahnya[29] Arya Suranggana dan masyarakat yang menolak untuk masuk Islam
kemudian memilih masuk hutan di wilayah Selatan. Sepeninggal Arya Suranggana, kompleks
Banten Girang digunakan sebagai pesanggrahan bagi para penguasa Islam, paling tidak
sampai di penghujung abad ke-17.[30]

Penyatuan Banten

Atas petunjuk ayahnya yaitu Sunan Gunung Jati, Maulana Hasanuddin kemudian


memindahkan pusat pemerintahan Wahanten Girang ke pesisir di kompleks Surosowan
sekaligus membangun kota pesisir.[31]

Kompleks istana Surosowan tersebut akhirnya selesai pada tahun 1526. [24] Pada tahun yang
sama juga Arya Surajaya Pucuk Umun (penguasa) Wahanten Pasisir dengan sukarela
menyerahkan kekuasannya atas wilayah Wahanten Pasisir kepada Sunan Gunung Jati, hal
ini dilakukan agar tidak terjadi pertumpahan darah banyak rakyat (karena raja amat sayang
dengan rakyatnya, sehingga diberikanlah kekuasaan berikutnya ke tangan Sunan Gunung
Jati) akhirnya kedua wilayah Wahanten Girang dan Wahanten Pasisir disatukan
menjadi Wahanten yang kemudian disebut sebagai Banten dengan status
sebagai depaten (provinsi) dari kesultanan Cirebon pada tanggal 1 Muharram 933 Hijriah
(sekitar tanggal 8 Oktober 1526 M),[32] kemudian Sunan Gunung Jati kembali ke kesultanan
Cirebon dan pengurusan wilayah Banten diserahkan kepada Maulana Hasanuddin.

Dari kejadian tersebut sebagian ahli berpendapat bahwa Sunan Gunung Jati adalah Sultan
pertama di Banten,[33] meskipun demikian Sunan Gunung Jati tidak mentasbihkan dirinya
menjadi penguasa (sultan) di Banten. [34] Alasan-alasan demikianlah yang membuat pakar
sejarah seperti Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa Sunan Gunung Jatilah yang
menjadi pendiri Banten dan bukannya Maulana Hasanuddin. Menurut catatan dari Joao de
Barros, semenjak Banten dan Sunda Kelapa dikuasai oleh kesultanan Islam, Banten lah yang
lebih ramai dikunjungi oleh kapal dari berbagai negara. [31]

Pada tahun 1552, Maulana Hasanuddin diangkat menjadi sultan di wilayah Banten oleh


ayahnya Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). [35]
Perebutan pengaruh antara Kerajaan Sunda Galuh dengan Kesultanan Banten-
Cirebon segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Kerajaan Sunda Galuh yang telah
kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu
persatu dari para Pangeran dan Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan
agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.

Perundingan Yang Sangat Menentukan


Setelah Pakuan Pajajaran yang merupakan ibu kota Kerajaan Sunda Galuh jatuh kepada
Syarif Hidayatullah pada tahun 1568 (hanya satu tahun sebelum ia wafat pada
tahun 1569 dalam usia yang hampir 120 tahun), kemudian terjadi perundingan terakhir antara
Syarif Hidayatullah dengan para pegawai istana, Syarif Hidayatullah kemudian memberikan 2
opsi:

1. Bagi para pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga
kedudukan dan martabatnya, seperti gelar Pangeran-Putri atau Panglima
akan tetap disandangnya, dan kemudian mereka dipersilakan tetap tinggal di
keraton masing-masing.
2. Bagi para pembesar Istana Pakuan yang tidak bersedia masuk Islam maka
harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibu kota Pakuan
Pajajaran untuk diberikan tempat di pedalaman Banten
(wilayah Cibeo sekarang).

Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar
para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi pertama. Sedang Pasukan Kawal Istana
dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat
Pakuan memilih opsi kedua. Diyakini mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy
Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman yang hanya sebanyak 40 keluarga
(karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan). Anggota yang tidak terpilih harus pindah
ke pemukiman Baduy Luar.

Dengan segala jasa Syarif Hidayatullah inilah yang kemudian umat Islam di Jawa Barat
memanggilnya dengan nama lengkap Syekh Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati
Rahimahullah.[36]

Wafat

Makam Sunan Gunung Jati


Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati berpulang ke rahmatullah pada tanggal 26
Rayagung tahun 891 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1568 Masehi. Tanggal Jawanya
adalah 11 Krisnapaksa bulan Badramasa tahun 1491 Saka.

Sunan Gunung Jati meninggal dalam usia 120 tahun, dimana putra dan cucunya tidak sempat
memimpin Cirebon karena meninggal terlebih dahulu, melainkan cicitnya lah yang
memimpin Kesultanan Cirebon setelah wafatnya Syarif Hidayatullah.

Syekh Syarif Hidayatullah kemudian dikenal dengan Sunan Gunung Jati karena dimakamkan
di Bukit Gunung Jati.[37]

Anda mungkin juga menyukai