Nama Syarif Hidayatullah kemudian diabadikan menjadi nama Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta di daerah Tangerang Selatan, Banten.[5] Sedangkan nama Sunan
Gunung Jati diabadikan menjadi nama Universitas Islam negeri di Bandung, yaitu Universitas
Islam Negeri Sunan Gunung Djati, dan Korem 063/Sunan Gunung Jati di Cirebon.[6]
Silsilah
Syarif Hidayatullah adalah putra dari Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam yang
menikah dengan Nyi Mas Rara Santang putri dari Jayadewata yang bergelar Sri Baduga
Maharaja yang setelah menikah dengan Syarif Abdullah bergelar Syarifah Mudaim. Ayah
Syarif Hidayatullah adalah seorang penguasa Mesir, putra dari Ali Nurul Alim bin Jamaluddin
Akbar al-Husaini, seorang keturunan dari Sayyid Abdul Malik Azmatkhan (India) dan Alwi
Ammul Faqih (Hadhramaut).
Pada masa lalu terdapat puluhan naskah yang menjelaskan tentang silsilah Syarif
Hidayatullah yang diklaim oleh beberapa pihak dan menimbulkan kesimpangsiuran sehingga
pada masa pertemuan agung
para cendekiawan, sejarawan, bangsawan dan alim ulama senusantara dan mancanegara (b
ahasa Cirebon: Gotra Sawala) pertama yang dimulai pada tahun 1677
di Cirebon maka Pangeran Raja (PR) Nasiruddin (bergelar Wangsakerta) mengadakan
penelitian dan penelusuran serta pengkajian naskah-naskah tersebut bersama para ahli-ahli
di bidangnya.
Hasilnya pada tahun 1680 disusunlah kitab Negara Kertabumi yang di dalamnya memuat bab
tentang silsilah Syarif Hidayatullah (Tritiya Sarga) yang sudah diluruskan dari
kesimpangsiuran klaim oleh banyak pihak.
Proses Belajar
Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecenderungan spiritual dari kakek buyutnya, Jamaluddin
Akbar al-Husaini, sehingga ketika telah selesai menimba ilmu di pesantren Syekh Datuk
Kahfi ia meneruskan pembelajaran agamanya ke Timur Tengah.
Pernikahan
Memasuki usia dewasa (sekitar tahun 1470 - 1480) ia menikahi adik dari Bupati Banten saat
itu, Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini lahirlah Ratu Wulung Ayu dan Maulana
Hasanuddin. Maulana Hasanuddin inilah yang kelak menjadi Raja Banten pertama.
Kesultanan Cirebon
Pada tahun 1478 diadakan sebuah musyawarah para wali di Tuban, Jawa Timur untuk
mencari pengganti Sunan Ampel sebagai pimpinan para wali, akhirnya terpilihlah Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), sejak saat itu, pusat kegiatan para wali dipindahkan ke
gunung Sembung, kecamatan Gunung Jati, kabupaten Cirebon, propinsi Jawa Barat. Pusat
kegiatan keagamaan ini kemudian disebut sebagai Puser Bumi (bahasa Indonesia: pusatnya
dunia).[9]
“ ”
Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang
Sakakala.
(bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijriah)
Pada tanggal 12 Shafar 887 Hijriah atau tepatnya pada tanggal 2 April 1482 Masehi, akhirnya
Syarif Hidayatullah membuat maklumat yang ditujukan kepada prabu Silih Wangi selaku Raja
Pakuan Pajajaran bahwa mulai saat itu Cirebon tidak akan lagi mengirimkan upeti. [9]
[10]
Maklumat tersebut kemudian diikuti oleh para pembesar di wilayah Cirebon (bahasa
Cirebon: gegeden).
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai leluhur
dari dinasti raja-raja kesultanan Cirebon dan kesultanan Banten serta penyebar agama Islam
di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.[12]
Kesultanan Demak
Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan
Demak tahun 1487, yang mana Walisongo memberikan peranan penting dalam sejarah
pendiriannya. Pada masa ini, Syarif Hidayatullah berusia sekitar 37 tahun (kurang lebih sama
dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak pertama).
Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa (bukan hanya di Demak),
maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian atau Vasal dari Kesultanan Demak.
Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling
dituakan di Dewan Muballigh (Walisongo), bahwa agama Islam akan disebarkan di Pulau
Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor (Yunus Abdul Kadir)dengan Ratu Ayu (putri Sunan
Gunung Jati) terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan
Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon, kelak Yunus Abdul Kadir akan
menjadi Sultan Demak pada 1518.
Pada tahun 1513 M, Tome Pires pelaut Portugis menyatakan dalam catatannya bahwa sudah
banyak dijumpai orang Islam di pelabuhan Banten.[16]
Pada tahun 1521, Jaya Dewata (Prabu Siliwangi) mulai membatasi pedagang muslim yang
akan singah di pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Sunda hal ini bertujuan untuk mengurangi
pengaruh Islam yang akan diterima oleh para pedagang pribumi ketika melakukan kontak
perdagangan dengan para pedagang muslim, namun upaya tersebut kurang mendatangkan
hasil yang memuaskan karena pada kenyataannya pengaruh Islam jauh lebih kuat
dibandingkan upaya pembatasan yang dilakukan tersebut, bahkan pengaruh Islam mulai
memasuki daerah pedalaman kerajaan Sunda.
Pada tahun itu juga Kerajaan Sunda berusaha mencari mitra koalisi dengan negara yang
dipandang memiliki kepentingan yang sama dengan kerajaan Sunda, Jaya Dewata (Siliwangi)
memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan Portugis dengan tujuan dapat
mengimbangi kekuatan pasukan Kesultanan Demak dan Kesultanan Cirebon.
Pada tahun 1521 untuk merealisasikan persahabatan tersebut Jaya Dewata (Siliwangi)
mengirim beberapa utusan ke Malaka di bawah pimpinan Ratu Samiam (Surawisesa),
mereka berusaha meyakinkan bangsa Portugis bagi suatu persahabatan yang saling
menguntungkan antara Kerajaan Sunda dan Portugis. Surawisesa memberikan penawaran
kepada Portugis untuk melakukan perdagangan secara bebas terutama lada di pelabuhan-
pelabuhan milik Kerajaan Sunda sebagai imbalannya, Surawisesa mengharapkan bantuan
militer dari Portugis apabila Kerajaan Sunda diserang oleh Kesultanan Demak dan
Kesultanan Cirebon dengan memberi hak kepada Portugis untuk membangun benteng. [15]
Penguasaan Banten
Pada tahun 1522,[24] Maulana Hasanuddin membangun kompleks istana yang diberi nama
keraton Surosowan, pada masa tersebut dia juga membangun alun-alun, pasar, masjid agung
serta masjid di kawasan Pacitan.[25] Sementara yang menjadi pucuk umum (penguasa)
di Wahanten Pasisir adalah Arya Surajaya (putra dari Sang Surosowan dan paman
dari Maulana Hasanuddin) setelah meninggalnya Sang Surosowan pada 1519 M. Arya
Surajaya diperkirakan masih memegang pemerintahan Wahanten Pasisir hingga tahun 1526
M.[26]
Pada tahun 1524 M, Sunan Gunung Jati bersama pasukan gabungan dari kesultanan Cirebon
dan kesultanan Demak mendarat di pelabuhan Banten[27] Pada masa ini tidak ada pernyataan
yang menyatakan bahwa Wahanten Pasisir menghalangi kedatangan pasukan gabungan
Sunan Gunung Jati sehingga pasukan difokuskan untuk merebut Wahanten Girang
Dalam Carita Sajarah Banten dikatakan ketika pasukan gabungan kesultanan
Cirebon dan kesultanan Demak mencapai Wahanten Girang, Ki Jongjo (seorang kepala
prajurit penting) dengan sukarela memihak kepada Maulana Hasanuddin. [28]
Sabung Ayam pun dimenangkan oleh Maulana Hasanuddin dan dia berhak melanjutkan
aktivitas dakwahnya[29] Arya Suranggana dan masyarakat yang menolak untuk masuk Islam
kemudian memilih masuk hutan di wilayah Selatan. Sepeninggal Arya Suranggana, kompleks
Banten Girang digunakan sebagai pesanggrahan bagi para penguasa Islam, paling tidak
sampai di penghujung abad ke-17.[30]
Penyatuan Banten
Kompleks istana Surosowan tersebut akhirnya selesai pada tahun 1526. [24] Pada tahun yang
sama juga Arya Surajaya Pucuk Umun (penguasa) Wahanten Pasisir dengan sukarela
menyerahkan kekuasannya atas wilayah Wahanten Pasisir kepada Sunan Gunung Jati, hal
ini dilakukan agar tidak terjadi pertumpahan darah banyak rakyat (karena raja amat sayang
dengan rakyatnya, sehingga diberikanlah kekuasaan berikutnya ke tangan Sunan Gunung
Jati) akhirnya kedua wilayah Wahanten Girang dan Wahanten Pasisir disatukan
menjadi Wahanten yang kemudian disebut sebagai Banten dengan status
sebagai depaten (provinsi) dari kesultanan Cirebon pada tanggal 1 Muharram 933 Hijriah
(sekitar tanggal 8 Oktober 1526 M),[32] kemudian Sunan Gunung Jati kembali ke kesultanan
Cirebon dan pengurusan wilayah Banten diserahkan kepada Maulana Hasanuddin.
Dari kejadian tersebut sebagian ahli berpendapat bahwa Sunan Gunung Jati adalah Sultan
pertama di Banten,[33] meskipun demikian Sunan Gunung Jati tidak mentasbihkan dirinya
menjadi penguasa (sultan) di Banten. [34] Alasan-alasan demikianlah yang membuat pakar
sejarah seperti Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa Sunan Gunung Jatilah yang
menjadi pendiri Banten dan bukannya Maulana Hasanuddin. Menurut catatan dari Joao de
Barros, semenjak Banten dan Sunda Kelapa dikuasai oleh kesultanan Islam, Banten lah yang
lebih ramai dikunjungi oleh kapal dari berbagai negara. [31]
1. Bagi para pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga
kedudukan dan martabatnya, seperti gelar Pangeran-Putri atau Panglima
akan tetap disandangnya, dan kemudian mereka dipersilakan tetap tinggal di
keraton masing-masing.
2. Bagi para pembesar Istana Pakuan yang tidak bersedia masuk Islam maka
harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibu kota Pakuan
Pajajaran untuk diberikan tempat di pedalaman Banten
(wilayah Cibeo sekarang).
Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar
para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi pertama. Sedang Pasukan Kawal Istana
dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat
Pakuan memilih opsi kedua. Diyakini mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy
Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman yang hanya sebanyak 40 keluarga
(karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan). Anggota yang tidak terpilih harus pindah
ke pemukiman Baduy Luar.
Dengan segala jasa Syarif Hidayatullah inilah yang kemudian umat Islam di Jawa Barat
memanggilnya dengan nama lengkap Syekh Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati
Rahimahullah.[36]
Wafat
Sunan Gunung Jati meninggal dalam usia 120 tahun, dimana putra dan cucunya tidak sempat
memimpin Cirebon karena meninggal terlebih dahulu, melainkan cicitnya lah yang
memimpin Kesultanan Cirebon setelah wafatnya Syarif Hidayatullah.
Syekh Syarif Hidayatullah kemudian dikenal dengan Sunan Gunung Jati karena dimakamkan
di Bukit Gunung Jati.[37]