Sebelum menjadi sebuah kesultanan dan pusat penyebaran agama Islam di Jawa
Barat, wilayah Cirebon pada awalnya merupakan pedukuhan yang berada di bawah
kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran. Berdirinya Kesultanan Cirebon berkaitan erat
dengan Pajajaran, karena Kesultanan Cirebon dibangun dan dikembangkan oleh para
keturunan Prabu Siliwangi dari Pajajaran.
Pada 1422 Masehi, Prabu Siliwangi menikahi Nyai Subang Larang yang
merupakan pemeluk agama Islam. Nyai Subang Larang adalah anak dari seorang
Syahbandar pelabuhan Muara Jati yang bernama Ki Gedheng Tapa atau Jumajan Jati, dan
merupakan santri Syekh Kuro di Karawang. Pernikahan antara Prabu Siliwangi dengan
Subang Larang menghasilkan tiga orang anak, yaitu Walangsungsang (Pangeran
Cakrabuana), Rara Santang, dan Sengara (Kian Santang). Walaupun terlahir di tengah
lingkungan Kerajaan Pajajaran, tetapi ketiga anak Prabu Siliwangi dan Subang Larang
memilih untuk mengikuti ajaran agama yang sama dengan ibunya, yaitu agama Islam.
Namun, pada tahun 1441 Subang Larang meninggal dunia, sehingga peran Subang
Larang dalam mendidik anak-anaknya sesuai dengan ajaran agama Islam belum
sempurna.
Berdirinya kerajaan bercorak Islam di wilayah Cirebon yang saat itu masih
menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran ditandai dengan dibangunnya
Keraton Pakungwati oleh Walangsungsang atau Cakrabuana pada 1452 M. Kemudian,
Kerajaan Islam pertama di tanah Sunda yang didirikan oleh Walangsungsang disebut
sebagai Nagara Agung Pakungwati Cirebon. Keraton Pakungwati didirikan oleh
Walangsungsang pasca melaksanakan ibadah haji ke Mekkah dengan dana yang berasal
dari kakeknya, yakni Ki Gedheng Tapa. Keraton Pakungwati adalah hasil dari
perkembangan Tajug Jelagrahan yang pernah dibangun oleh Cakrabuana.
Pada tahun 1530 Masehi, luas wilayah kekuasaan Cirebon mencakup separuh dari
luas wilayah Jawa Barat dan Banten sekarang dengan jumlah penduduk sekitar 600.000
jiwa. Keraton Pakungwati yang sudah berdiri sejak masa Walangsungsang kembali
dibangun dan dilakukan perluasan pada masa Syarif Hidayatullah. Keraton Pakungwati
dilengkapi dengan bangunan tembok keliling untuk kepentingan keamanan keraton.
Tembok keliling yang dibangun di lingkungan keraton juga dilengkapi dengan pintu
gerbang.
Pada 1528, Sunan Gunung Jati lebih memfokuskan diri untuk melakukan
penyebaran agama Islam, sehingga kepemimpinan di Cirebon diserahkan kepada
Pangeran Pasarean mulai tahun 1528. Walaupun pemerintahan dipimpin oleh Pangeran
Pasarean, tetapi Sunan Gunung Jadi tetap memegang kekuasaan tertinggi atas Cirebon.
Dalam menjalankan pemerintahan, Pangeran Pesarean berada di bawah pengawasan
Sunan Gunung Jati. Pangeran Pasarean pembangunan infrastruktur keraton, yakni
Bangsal Pringgadani, Bangsal Agung, Dalem Arum Kedalem, Bale Kambang, Jinem
Pangrawit, Dewandaru, dan Taman Bunderan. Masa kepemimpinan Pangeran Pasarean
berakhir pada 1546 karena meninggal di Demak.
Sunan Gunung Jati meninggal pada tahun 1568 dan dimakamkan di Gunung
Sembung. Sunan Gunung Jati tidak mempunyai keturunan langsung yang dapat diangkat
sebagai penguasa Cirebon. Hal tersebut dikarenakan Pangeran Pasarean, Pangeran Brata
Kelana, dan Pangeran Jayakelana sebagai tiga orang keturunan Sunan Gunung Jati sudah
meninggal dunia. Keturunan Sunan Gunung Jati yang masih hidup hanya Pangeran
Hasanudin yang saat itu sudah berkuasa di Banten. Selain itu, cucu Sunan Gunung Jati
dari Pangeran Pesarean yang bernama Pangeran Dipati Carbon sudah meninggal pada
1565.
Dalam aspek kebudayaan, Cirebon dibangun menjadi kota yang bercorak Islam.
Cirebon sebagai kota yang bercorak Islam dibangun dengan susunan yang terdiri atas
alun-alun di pusat kota yang dikelilingi oleh keraton serta pemukiman para pejabat atau
bangsawan yang berada di selatan alun-alun. Masjid terletak di sebelah barat, dan pasar
ditempatkan di sebelah timur laut alun-alun.
Kota bercorak Islam Cirebon tidak hanya tercermin dari keberadaan masjid, tetapi
juga akulturasi budaya uang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati, yaitu dengan memadukan
unsur budaya lokal melalui seni. Kesenian yang dikembangkan okeh Sunan Kalijaga
sebagai sarana penyebaran agama Islam adalah Wayang Golek. Sunan Gunung Jati
memperkenalkan Wayang Golek kepada masyarakat Cirebon pada abad ke-15 sampai
awal 16 Masehi. Jenis Wayang Golek yang diperkenalkan adalah wayang cepak. Metode
penyebaran agama Islam mengakibatkan masyarakat tertarik dengan ajaran agama Islam.
Sungai di Cirebon digunakan sebagai jalan lalu lintas yang dapat dilewati oleh
perahu atau kapal untuk menuju wilayah pedalaman. Wilayah pedalaman menjadi tempat
penghasil bahan-bahan pertanian karena tanahnya yang subur, terdiri dari dataran rendah
maupun dataran tinggi, dan daerah pegunungan (Gunung Ciremai, Gunung Tampomas,
dan Gunung Sawal). Hasil pertanian diantaranya adalah sayur, buah, padi, ternak, tarum.
Sedangkan barang-barang luar yang menarik perhatian masyarakat pedesaan adalah
logam besi, perak, emas, tekstil halus (sutera), dan barang pecah belah. Sementara itu
kebutuhan sehari-hari yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pedalaman adalah beras,
garam, terasi, ikan asin, dan rempah-rempah.
Cirebon terkenal sebagai Bandar atau Kota Pelabuhan. Dahulunya Cirebon hanya
sebagai tempat pemandian suci, tetapi seiring berjalannya waktu Cirebon berubah
menjadi pelabuhan yang berfungsi sebagai sumber pendapatan ekonomi dan perdagangan
serta perhubungan dengan dunia luar. Pada perkembangan selanjutnya, pelabuhan
Cirebon menjadi perdagangan internasional, khususnya berhubungan dengan Cina.
Ditinjau dari hubungan perdagangan, Cina berperan besar dalam jual beli barang
dagangan baik yang digunakan oleh masyarakat pedesaan, dengan luar daerah maupun
dengan dunia internasional. Kegiatan perdagangan ini masih dengan cara barter.
Sejak abad 15, Cirebon menjadi produsen beras di Jawa. Selain beras, Cirebon
juga menghasilkan lada, kayu atau papan, garam, ikan asin, terasi, dan palawija. Pada
abad ke-17, perekonomian Cirebon terus mengalami kemajuan dengan bertambahnya
aktivitas perdagangan, apalagi setelah dibukanya pelabuhan baru di samping Pelabuhan
Muara Jati. Keadaan ini dipicu oleh kemanan negeri terjamin sehingga pembangunan
sarana dan prasarana perekonomian dapat dilaksanakan dengan lancar, seperti pasar.
Kegiatan perdagangan Cirebon pada tahun 1678-1681 sangat ramai. Barang-
barang Cirebon yang diekspor ke kota-kota pelabuhan lain, terkhusus Batavia adalah
beras, padi, lada, papan, gula hitam dan merah, minyak kelapa, tembakau, garam, kacang
hitam, ikan, bawang merah dan putih, kelapa, buah pinang, kapuk/kapas, kambing, kulit
kerbau, kulit rusa, kendi, dan rotan. Sementara barang-barang yang masuk ke Cirebon
diantaranya adalah pakaian, candu, arak, laksa, gula putih, porselin, lilin, tembaga, besi
tua, perunggu Jepang, panic besi, dan akar cina.
Dibangun pada tahun 1489, kemudian diberi nama Masjid Sang Cipta Rasa.
Lokasi masjid ini berada di kiri Keraton Pakungwati sebelah barat alun-alun.
Pembangunan masjid ini bertujuan untuk menunjang kegiatan masyarakat karena
jumlah orang yang masuk Islam yang semakin bertambah dan keberadaan pelabuhan
Cirebon yang cukup ramai oleh para pedagang muslim. Simbol bangunan masjid
melambangkan filsafat Hayyun ila Ruhin (hidup tanpa ruh). Bentuk bangunan dan
simbol-simbol dalam masjid semuanya sarat makna filosofis.
2. Keraton Kasepuhan
3. Pelabuhan Cirebon
Makam Sunan Gunung Jati terletak di bagian Cireban di sebuah bukit kecil
yang sering disebut dengan Gunung Sembung. Kompleks makam ini terletak di
bagian rute Kota Cirebon – Indramayu. Setiap harinya, komplek pemakaman tak
pernah sepi pengunjung. Sunan Gunung Jati merupakan satu dari sembilan wali, yang
akrab disebut Wali Songo. Dia menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Sunan
Gunung Jati merupakan putra dari Nyai Rara Santang, Putri dari Sri Baduga Maharaja
Prabu Siliwangi. Dia pernah menjabat sebagai raja ke-2 dari Kerajaan Cirebon dengan
gelar Maulana Jati.
Daftar Pustaka
Bochari, Sanggrupi dan Wiwi Kuswiah. (2001). Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
El-Mawa, Mahrus. (2012). Rekontruksi Kejayaan Islam di Cirebon: Studi Historis pada Masa
Syarif Hidayatullah (1479-1568). Jumantara 3 (1): 100-127.
Erwantoro, Heru. (2012). Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon. Patanjala, 4(1): 166-179.
Fauziyah, Siti. (2015). Kiprah Sunan Gunung Jati Dalam Membangun Kekuatan Politik Islam
di Jawa Barat. Tsaqofah, 13(1), hlm. 85-98.
Fitri Anggraini Fatimatul Khoiroh. Peranan Sunan Gunung Jati Dalam Penyebaran Agama
Islam di Cirebon Tahun 1480-1570. (Skripsi, 2017). Prodi Pendidikan Sejarah
Universitas Jember.
Zulfah, Siti. (2018). Islamisasi di Cirebon: Peran dan Pengaruh Walangsungsang Perspektif
Naskah Carios Walangsungsang. Tamaddun, 6(1), hlm. 172-201.