Anda di halaman 1dari 14

KESULTANAN CIREBON

Alifiana Juniar Kusumawatik (K4420004)

Anisa Rahmawati (K4420007)

A. Sejarah Berdirinya Kesultanan Cirebon

Sebelum menjadi sebuah kesultanan dan pusat penyebaran agama Islam di Jawa
Barat, wilayah Cirebon pada awalnya merupakan pedukuhan yang berada di bawah
kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran. Berdirinya Kesultanan Cirebon berkaitan erat
dengan Pajajaran, karena Kesultanan Cirebon dibangun dan dikembangkan oleh para
keturunan Prabu Siliwangi dari Pajajaran.

Pada 1422 Masehi, Prabu Siliwangi menikahi Nyai Subang Larang yang
merupakan pemeluk agama Islam. Nyai Subang Larang adalah anak dari seorang
Syahbandar pelabuhan Muara Jati yang bernama Ki Gedheng Tapa atau Jumajan Jati, dan
merupakan santri Syekh Kuro di Karawang. Pernikahan antara Prabu Siliwangi dengan
Subang Larang menghasilkan tiga orang anak, yaitu Walangsungsang (Pangeran
Cakrabuana), Rara Santang, dan Sengara (Kian Santang). Walaupun terlahir di tengah
lingkungan Kerajaan Pajajaran, tetapi ketiga anak Prabu Siliwangi dan Subang Larang
memilih untuk mengikuti ajaran agama yang sama dengan ibunya, yaitu agama Islam.
Namun, pada tahun 1441 Subang Larang meninggal dunia, sehingga peran Subang
Larang dalam mendidik anak-anaknya sesuai dengan ajaran agama Islam belum
sempurna.

Untuk memperdalam ajaran agama Islam, maka Walangsungsang melakukan


pengembaraan bersama dengan adik dan istrinya, yaitu Rara Santang dan Indang Geulis.
Dalam pengembaraan tersebut ia sampai di Amparan Jati. Di Amparan Jati, mereka
bertemu dengan seorang ulama Arab bernama Syekh Nur Jati. Kemudian
Walangsungsang berguru kepada Syekh Nur Jati untuk memperdalam pengetahuan
tentang ajaran Islam. Syekh Nur Jati memerintahkan Walangsungsang untuk melakukan
babad alas di wilayah yang mayoritas penduduknya belum menganut Islam. Wilayah
tersebut adalah Tegal Alang-Alang atau Lemah Wungkuk. Saat itu Tegal Alang-Alang
sudah ditempati oleh Ki Gedeng Alang-Alang yang kemudian menjadi kuwu atau
pemimpin pedukuhan.

Walangsungsang dan Rara Santang diperintahkan untuk menunaikan ibadah Haji


ke Mekkah oleh Syekh Nur Jati. Kemudian, nama Walangsungsang berganti menjadi Haji
Abdullah Alim, sedangkan Rara Santang bernama Hajjah Syarifah Muda’im. Dalam
perjalanan menunaikan ibadah haji, Rara Santang menikah dengan Syarif Abdillah bin
Nurul Alim. Dari pernikahan tersebut kemudian lahir dua orang anak, yakni Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dan Syarif Nurullah.

Berdirinya kerajaan bercorak Islam di wilayah Cirebon yang saat itu masih
menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran ditandai dengan dibangunnya
Keraton Pakungwati oleh Walangsungsang atau Cakrabuana pada 1452 M. Kemudian,
Kerajaan Islam pertama di tanah Sunda yang didirikan oleh Walangsungsang disebut
sebagai Nagara Agung Pakungwati Cirebon. Keraton Pakungwati didirikan oleh
Walangsungsang pasca melaksanakan ibadah haji ke Mekkah dengan dana yang berasal
dari kakeknya, yakni Ki Gedheng Tapa. Keraton Pakungwati adalah hasil dari
perkembangan Tajug Jelagrahan yang pernah dibangun oleh Cakrabuana.

Setelah Pangeran Walangsungsang berhasil membangun kekusaan di Istana


Pakungwati dan membentuk pasukan keamanan di keraton, maka Prabu Siliwangi
memberikan gelar Sri Mangana kepada Walangsungsang sebagai bentuk pengakuan
politik. Selama masa kepemimpinannya di Pakungwati, Walangsungsang tetap
mengirimkan upeti kepada Kerajaan Sunda Pajajaran berupa garam dan terasi.

B. Dinamika Politik Kesultanan Cirebon

Pada 1479, Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana menyerahkan


kekuasaannya kepada Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah). Pada masa Sunan
Gunung Jati, Cirebon melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran yang ditandai
dengan diberhentikannya pengiriman upeti ke Pajajaran berupa terasi dan garam. Sunan
Gunung Jati mempunyai posisi sebagai pandita ratu, karena selain menjadi seorang
penguasa Cirebon, Sunan Gunung Jati juga merupakan penyebar ajaran agama Islam di
wilayah Jawa Barat. Pada masa Sunan Gunung Jati, Kasultanan Cirebon mencapai masa
keemasan (golden age). Agama Islam disebarkan oleh Sunan Gunung Jati sampai wilayah
pedalaman, sehingga hal tersebut berdampak pada semakin meluasnya wilayah
Kesultanan Cirebon. Wilayah-wilayah yang berhasil diuasai oleh Sunan Gunung Jati
yakni, daerah Talaga, Galuh, Kuningan, Dermayu, Karawang, Banten, Sunda Kelapa,
Sagaraherang, Sindangkasih (Majalengka), Karawang, Semedanglarang, Tata Ukur
(Bandung dan sekitarnya), Luragung, dan Ciblagung.

Pada tahun 1530 Masehi, luas wilayah kekuasaan Cirebon mencakup separuh dari
luas wilayah Jawa Barat dan Banten sekarang dengan jumlah penduduk sekitar 600.000
jiwa. Keraton Pakungwati yang sudah berdiri sejak masa Walangsungsang kembali
dibangun dan dilakukan perluasan pada masa Syarif Hidayatullah. Keraton Pakungwati
dilengkapi dengan bangunan tembok keliling untuk kepentingan keamanan keraton.
Tembok keliling yang dibangun di lingkungan keraton juga dilengkapi dengan pintu
gerbang.

Sunan Gunung Jati melakukan pembangunan jalan penghubung antara Pelabuhan


Muara Jati dengan jalanan di ibu kota kesultanan. Tujuan dari pembangunan jalan
tersebut adalah untuk mempermudah akses pedagang asing atau utusan kerajaan lain
ketika ingin masuk ke lingkungan keraton untuk menghadap Sunan Gunung Jati.

Untuk kepentingan keamanan, Sunan Gunung Jati membentuk pasukan keamanan


bernama Pasukan Jagabaya dengan jumlah serta kualitas pasukan yang baik. Pasukan
Jagabaya ditempatkan di lingkungan keraton serta wilayah-wilayah yang sudah menjadi
kekuasaan Cirebon.

Untuk mendukung kegiatan pelayaran, maka Sunan Gunung Jati melakukan


pembangunan pangkalan perahu di tepi Sungai Kriyan. Pangkalan perahu dilengkapi
dengan Lawang Sanga (gapura), bengkel perahu, pos penjagaan, serta istal kuda.
Pembangunan lainnya dilakukan di Pelabuhan Muara Jati, yakni dengan memperbaiki
serta menyempurnakan bangunan sebagai fasilitas pendukung aktivitas pelayaran, salah
satunya perbaikan bangunan mercusuar yang sebelumnya pernah dibangun oleh Ki
Gedheng Tapa dengan bantuan orang-orang Cina yang singgah di Muara Jati.

Pada 1528, Sunan Gunung Jati lebih memfokuskan diri untuk melakukan
penyebaran agama Islam, sehingga kepemimpinan di Cirebon diserahkan kepada
Pangeran Pasarean mulai tahun 1528. Walaupun pemerintahan dipimpin oleh Pangeran
Pasarean, tetapi Sunan Gunung Jadi tetap memegang kekuasaan tertinggi atas Cirebon.
Dalam menjalankan pemerintahan, Pangeran Pesarean berada di bawah pengawasan
Sunan Gunung Jati. Pangeran Pasarean pembangunan infrastruktur keraton, yakni
Bangsal Pringgadani, Bangsal Agung, Dalem Arum Kedalem, Bale Kambang, Jinem
Pangrawit, Dewandaru, dan Taman Bunderan. Masa kepemimpinan Pangeran Pasarean
berakhir pada 1546 karena meninggal di Demak.

Sebagai pengganti Pangeran Pasarean, maka Sunan Gunung Jati mengangkat


menantunya yang bernama Fatahillah. Sebelumnya Fatahillah berkedudukan sebagai
panglima perang serta tangan kanan Sunan Gunung Jati.

Sunan Gunung Jati meninggal pada tahun 1568 dan dimakamkan di Gunung
Sembung. Sunan Gunung Jati tidak mempunyai keturunan langsung yang dapat diangkat
sebagai penguasa Cirebon. Hal tersebut dikarenakan Pangeran Pasarean, Pangeran Brata
Kelana, dan Pangeran Jayakelana sebagai tiga orang keturunan Sunan Gunung Jati sudah
meninggal dunia. Keturunan Sunan Gunung Jati yang masih hidup hanya Pangeran
Hasanudin yang saat itu sudah berkuasa di Banten. Selain itu, cucu Sunan Gunung Jati
dari Pangeran Pesarean yang bernama Pangeran Dipati Carbon sudah meninggal pada
1565.

Kekuasaan di Cirebon pada akhirnya diberikan kepada Fatahillah atas kesepakatan


sesepuh Cirebon. Namun Fatahillah memerintah Cirebon hanya dalam waktu dua tahun,
karena meninggal pada 1570.

Sepeninggal Fatahillah, kepemimpinan Cirebon diberikan kepada Pangeran Emas


yang bergelar Panembahan Ratu I. Panembahan Ratu I adalah cicit dari Sunan Gunung
Jati dan merupakan anak dari Pangeran Swarga dengan Nyai Mas Ratu Wanawati Raras.
Pemerintahan Cirebon di bawah kekuasaan Panembahan Ratu I berlangsung selama 79
tahun, yakni dari 1570-1649 Masehi. Pada masa Panembahan Ratu I, Kasultanan Cirebon
dalam situasi yang kondusif, dan Pajajaran sudah tidak lagi menjadi ancaman. Namun,
saat pemerintahan Panembahan Ratu Cirebon tidak melakukan pelebaran wilayah
kekuasaan seperti yang dahulu dilakukan oleh Sunan Gunung Jati. Hal tersebut
merupakan akibat dari adanya keberadaan Mataram di timur, dan Banten di Barat.

Pada 1649 Panembahan Ratu I meninggal dunia, sehingga kekuasaan diberikan


kepada Pangeran Girilaya yang bergelar Panembahan Ratu II. Pada masa kepemimpinan
Panembahan Ratu II, Kesultanan Cirebon mendapat tekanan dari Amangkurat I yang
berkuasa di Mataram. Pangeran Girilaya (Panembahan Ratu II) adalah menantu
Amangkurat I. Setelah Panembahan Ratu II naik tahta menjadi penguasa di Cirebon,
maka Amangkurat I mengutus Panembahan Ratu II bersama dengan dua anaknya, yaitu
Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya untuk datang ke Cirebon untuk
memberikan penghormatan atas kenaikan Panembahan Ratu II menjadi pemimpin
Kesultanan Cirebon. Namun setelah sampai di Mataram, Amangkurat I tidak
mengizinkan Panembahan Ratu II untuk kembali ke Cirebon, sehingga Panembahan Ratu
II bersama dua anaknya ditahan di Mataram selama 12 tahun. Karena terjadi kekosongan
kekuasaan, maka Pangeran Wangsakerta yang merupakan putra ketiga Pangeran Rasmi
ditunjuk untuk memimpin pemerintahan di Kesultanan Cirebon. Panembahan Ratu II
meninggal pada 1662 saat masih menjadi tahanan rumah Mataram, dan kemudian
dimakamkan di Bukit Girilaya. Setelah Panembahan Ratu II meninggal dunia, Kesultanan
Cirebon terpecah menjadi dua, yaitu Kasepuhan dan Kanoman.

Dalam perkembangannya, Cirebon menjalin hubungan dan membentuk aliansi


dengan Kasultanan Demak. Hubungan antara Cirebon dan Demak tercermin dari upaya
penaklukkan Sunda Kelapa dan Banten. Pada tahun 1526 M, Cirebon dan Demak bersatu
di bawah komando Panglima Fatahilllah untuk melakukan penyerangan terhadap Banten.
Penyerangan selanjutnya dilakukan oleh tentara gabungan Cirebon dan Demak terhadap
Sunda Kelapa. Cirebon bersama dengan Demak menyerang Sunda Kelapa untuk
membendung pengaruh Portugis yang sejak 1511 telah berkuasa di wilayah Malaka.
Banten berhasil ditaklukkan pada 1526, dan Maulana Hasanuddin yang merupakan anak
dari Sunan Gunung Jati diangkat menjadi Bupati Banten. Sedangkan Sunda Kelapa
ditaklukkan pada 1527 dan diganti nama menjadi Jayakarta. Setelah Sunda Kelapa
ditaklukkan, maka Fatahillah diangkat sebagai Bupati Jayakarta.

Sistem serta struktur kenegaraan di Kesultanan Cirebon dijalankan berdasarkan


paham kekuasaan religius. Pemimpin dianggap sebagai seseorang yang memiliki
kekuatan supranatural dan menjadi penghubung antara manusia dengan alam ghaib.
Bentuk pemerintahan adalah perpaduan dari dakwah Islam dengan pengelolaan negara.
Antara pengembangan agama dengan aspek pemerintahan dan pengendalian masyarakat
merupakan hal-hal yang mempunyai keterkaitan. Jadi, pada urusan kenegaraan di
Kesultanan Cirebon, pengembangan agama adalah hal yang diprioritaskan.

C. Sosial-Budaya Kasultanan Cirebon


Kesultanan Cirebon memiliki ciri khas penduduk yang beraneka ragam atau
multikultural. Kampung-kampung di wilayah Cirebon diberi nama sesuai dengan
kehidupan sosial penduduknya. Misalnya adalah Kampung Arab yang dihuni oleh
penduduk dari Arab, Kampung Pecinan, Pejokan, dan kampung-kampung lainnya.
Pemukiman penduduk asing di Cirebon ditempatkan di bagian luar tembok keraton.
Kampung-kampung di Cirebon pada masa itu juga diberi nama sesuai dengan jabatan dari
penduduknya. Misalnya kampung Ksatrian, Kauman, dan Kademangan. Ksatrian
merupakan kampung yang ditempati oleh prajurit keraton. Sedangkan kampung
kademangan dan kauman ditempati oleh para ulama serta demang keraton Cirebon. Pola
keberagaman dan toleransi dalam masyarakat Cirebon tumbuh karena sifat terbuka dari
pemimpin yang mengizinkan pedagang asing singgah dan menetap di sekitar pesisir
pantai Cirebon.

Dalam aspek kebudayaan, Cirebon dibangun menjadi kota yang bercorak Islam.
Cirebon sebagai kota yang bercorak Islam dibangun dengan susunan yang terdiri atas
alun-alun di pusat kota yang dikelilingi oleh keraton serta pemukiman para pejabat atau
bangsawan yang berada di selatan alun-alun. Masjid terletak di sebelah barat, dan pasar
ditempatkan di sebelah timur laut alun-alun.

Kota bercorak Islam Cirebon tidak hanya tercermin dari keberadaan masjid, tetapi
juga akulturasi budaya uang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati, yaitu dengan memadukan
unsur budaya lokal melalui seni. Kesenian yang dikembangkan okeh Sunan Kalijaga
sebagai sarana penyebaran agama Islam adalah Wayang Golek. Sunan Gunung Jati
memperkenalkan Wayang Golek kepada masyarakat Cirebon pada abad ke-15 sampai
awal 16 Masehi. Jenis Wayang Golek yang diperkenalkan adalah wayang cepak. Metode
penyebaran agama Islam mengakibatkan masyarakat tertarik dengan ajaran agama Islam.

Dalam memperingati Maulid Nabi Muhammad S.A.W, di Cirebon terdapat tradisi


upacara Sekaten. Perayaan Sekaten berpusat di Alun-Alun keraton sehingga dapat dilihat
oleh masyarakat. Rangkaian Upacara Sekaten dimulai pada tujuh hari sebelum Maulid
Nabi yang jatuh pada 12 Rabi’ul Awal. Kemudian, sekaten diakhiri dengan upacara
Garebeg yang puncaknya adalah pembacaan pembacaan riwayat Nabi Muhammad S.A.W
(siratun nabiy) serta pembagian makanan atau hadiah dari sultan di Masjid Agung.

D. Kehidupan Ekonomi Kesultanan Cirebon


Cirebon memiliki letak geografis yang sangat strategis dan menguntungkan dalam
hal perekonomian karena letaknya berada di daerah pesisir utara Pulau Jawa, yang juga
merupakan mata rantai dalam jalur perdagangan internasional di Kepulauan Nusantara
dan perairan Asia. Hal ini dibuktikan dengan datangnya kapal-kapal asing di Cirebon.
Cirebon sebagai kota pelabuhan identik dengan pusat perekonomian dan perdagangan di
wilayahnya dan berfungsi sebagai keluar masuknya barang-barang kebutuhan ke
pedalaman terpencil melalui jalur darat atau sungai, contohnya: jasa angkutan dan
transportasi.

Sungai di Cirebon digunakan sebagai jalan lalu lintas yang dapat dilewati oleh
perahu atau kapal untuk menuju wilayah pedalaman. Wilayah pedalaman menjadi tempat
penghasil bahan-bahan pertanian karena tanahnya yang subur, terdiri dari dataran rendah
maupun dataran tinggi, dan daerah pegunungan (Gunung Ciremai, Gunung Tampomas,
dan Gunung Sawal). Hasil pertanian diantaranya adalah sayur, buah, padi, ternak, tarum.
Sedangkan barang-barang luar yang menarik perhatian masyarakat pedesaan adalah
logam besi, perak, emas, tekstil halus (sutera), dan barang pecah belah. Sementara itu
kebutuhan sehari-hari yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pedalaman adalah beras,
garam, terasi, ikan asin, dan rempah-rempah.

Cirebon terkenal sebagai Bandar atau Kota Pelabuhan. Dahulunya Cirebon hanya
sebagai tempat pemandian suci, tetapi seiring berjalannya waktu Cirebon berubah
menjadi pelabuhan yang berfungsi sebagai sumber pendapatan ekonomi dan perdagangan
serta perhubungan dengan dunia luar. Pada perkembangan selanjutnya, pelabuhan
Cirebon menjadi perdagangan internasional, khususnya berhubungan dengan Cina.
Ditinjau dari hubungan perdagangan, Cina berperan besar dalam jual beli barang
dagangan baik yang digunakan oleh masyarakat pedesaan, dengan luar daerah maupun
dengan dunia internasional. Kegiatan perdagangan ini masih dengan cara barter.

Sejak abad 15, Cirebon menjadi produsen beras di Jawa. Selain beras, Cirebon
juga menghasilkan lada, kayu atau papan, garam, ikan asin, terasi, dan palawija. Pada
abad ke-17, perekonomian Cirebon terus mengalami kemajuan dengan bertambahnya
aktivitas perdagangan, apalagi setelah dibukanya pelabuhan baru di samping Pelabuhan
Muara Jati. Keadaan ini dipicu oleh kemanan negeri terjamin sehingga pembangunan
sarana dan prasarana perekonomian dapat dilaksanakan dengan lancar, seperti pasar.
Kegiatan perdagangan Cirebon pada tahun 1678-1681 sangat ramai. Barang-
barang Cirebon yang diekspor ke kota-kota pelabuhan lain, terkhusus Batavia adalah
beras, padi, lada, papan, gula hitam dan merah, minyak kelapa, tembakau, garam, kacang
hitam, ikan, bawang merah dan putih, kelapa, buah pinang, kapuk/kapas, kambing, kulit
kerbau, kulit rusa, kendi, dan rotan. Sementara barang-barang yang masuk ke Cirebon
diantaranya adalah pakaian, candu, arak, laksa, gula putih, porselin, lilin, tembaga, besi
tua, perunggu Jepang, panic besi, dan akar cina.

E. Perpecahan Kesultanan Cirebon


a. Perpecahan I (Kasepuhan dan Kanoman)
Pasca meninggalnya Panembahan Ratu II atau biasa disebut Penembahan
Girilaya pada tahun 1662 M, terjadi kekosongan pemerintahan di Kesultanan Cirebon.
Sultan Ageng Tirtayasa kemudian menobatkan Pangeran Wangsakerta sebagai
pengganti Panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten. Pada tahun 1677
Raden Trunojoyo dengan bantuan dari Sultan Ageng Tirtayasa, melancarkan aksinya
untuk menyerang Mataram. Bantuan tersebut terdiri dari pasukan, kapal, dan meriam.
Raden Trunojoyo dan Sultan Ageng Tirtayasa sama-sama membenci Mataram
sehingga mereka secara bersama ingin melumpuhkan kekuatan Mataram.
Tak hanya itu, alasan kuat yang mendorong Pangeran Trunojoyo adalah
perasaan dendam atas kematian ayahnya yang dibunuh oleh Susuhunan Amangkurat I
di Mataram pada tahun 1656 sehingga ia mengumpulkan kekuatannya untuk
membalaskan dendamnya. Perilaku Sunan Amangkurat I memang terkenal otoriter,
siapa saja yang berani memberontak dan menentang keputusannya maka akan
mendapatkan hukuman tanpa diadili. Salah satu korbannya adalah ayah Trunojoyo,
Raden Demang Malaya.
Sultan Ageng Tirtayasa menjalin hubungan kerja sama dengan Pangeran
Trunojoyo untuk menyerang Mataram. Berkat bantuan senjata dan perbekalan dari
Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya serangan Raden Trunojoyo berhasil menduduki
keraton Mataram dan membebaskan kedua pangeran Cirebon, yakni Pangeran
Martawijaya dan Pangeran Kertawijaya dari belenggu Sunan Amangkurat I.
Setelahnya mereka dibawa ke Kediri oleh pasukan Raden Trunojoyo kemudian
dibawa ke Banten untuk diserahkan kepada Sultan Ageng Tirtayasa.
Kedua Pangeran Cirebon disambut dengan upacara penghormatan. Pangeran
Wangsakerta juga hadir dalam acara penyambutan kedua kakaknya. Pada tahun 1678,
Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat kedua putra Panembahan Ratu II sebagai sultan
Cirebon dan menetapkan wilayah beserta rakyatnya masing-masing. Pangeran
Martawijaya sebagai Sultan Sepuh atau Kasepuhan yang pertama dengan gelar Sultan
Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin, Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan
Anom atau Kanoman yang pertama dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi
Muhammad Badrudin, dan Pangeran Wangsakerta diangkat menjadi asisten dari
Sultan Sepuh sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil
Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati tanpa memiliki wilayah kekuasaan
dan keraton secara formal.
Akibat dari pengangkatan tersebut, Cirebon terpecah menjadi dua kesultanan
yaitu Kasepuhan dan Kanoman. Sultan Sepuh I menempati Keraton Pangkuwati
sebagai keraton Kasepuhan. Ia tidak membangun keraton baru, tetapi hanya
menempati keraton yang sudah ada karena Sultan Sepuh I merupakan putra tertua
Panembahan Ratu II sehingga ia paling berhak mewarisi tahta Kesultanan Cirebon.
Sultan Anom I menempati bekas rumah pertama Pangeran Cakrabuana yang dibangun
pada tahun 1675 M yaitu di daerah Lemah Wungkuk yang kemudian dijadikan
sebagai keraton Kanoman. Namun, berbeda dengan mereka, Pangeran Wangsakerta
hanya sebagai pembantu Sultan Sepuh sehingga bertempat tinggal di keraton
Kasepuhan. Pangeran Wangsakerta menyadari bahwa dirinya diangkat sebagai sultan
hanya untuk mengisi kekosongan kepimipinan selama Panembahan Ratu II dan kedua
putranya tidak ada di Cirebon.
Sejak saat Pangeran Wangsakerta mengisi kekosongan jabatan pimpinan di
Cirebon lalu dibebaskan, dinobatkannya Pangeran Martawijaya sebagai Sultan Sepuh,
Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan Anom, dan Pangeran Wangsakerta sebagai
Panembahan Tohpati, sulit bagi Cirebon untuk mengembalikan lagi kebesaran dan
kewibawaan yang pernah diraih Cirebon pada masa Sunan Gunung Jati. Dengan kata
lain, Cirebon sudah dibawah dominasi kekuasaan Banten. Tidak disangka, kekuasaan
ini hanya berlangsung sampai tahun 1681 ketika Cirebon menjalin hubungan dan
kerja sama dengan VOC.
Pada saat itu, terjadi politik adu domba oleh VOC kepada anak Sultan Ageng
Tirtayasa, yakni Sultan Haji. Awalnya Sultan Haji merasa khawatir apabila tahta
sultan akan diserahkan ayahnya kepada saudaranya yaitu Pangeran Arya Purbaya.
Kekhawatiran ini mengakibatkan Sultan Haji memilih bersekutu dengan VOC untuk
merebut tahta Kesultanan Banten dari tangan ayahnya. VOC bersedia membantu
Sultan Haji dengan mengajukan syarat yang terdiri dari empat poin, yakni:
1. Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC.
2. Monopoli lada di Banten dipegang VOC dan harus menyingkirkan Persia,
India, dan Cina.
3. Banten harus membayar upeti 600.000 ringgit apabila ingkar janji.
4. Pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan
harus ditarik kembali.
Syarat ini disetujui oleh Sultan Haji, VOC membantu dengan mengerahkan
pasukan untuk memerangi Sultan Ageng Tirtayasa dan pengikutnya, akhirnya pada
tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap dan dipenjara di Batavia hingga wafat
pada tahun 1692 M. Dari sini, VOC mulai mengambil alih kekuasaan Banten di
Cirebon dan mulai memainkan perannya untuk menguasai Cirebon secara politik dan
ekonomi. Strategi yang dilakukan VOC dengan mendekati sultan-sultan Cirebon
untuk memudahkan mereka menguasai perdagangan. Selanjutnya pada akhir abad ke-
17, telah terjadi empat kali perjanjian, yakni tanggal 7 Januari 1681, 4 Desember
1685, 8 September 1688, dan 4 Agustus 1699.

b. Perpecahan II (Kacirebonan dan Kaprabonan)


Pada tahun 1723, Cirebon mengalami musibah duka lagi dengan wafatnya
Sultan Anom I, beliau memiliki dua orang putra. Putra pertamanya menjadi pengganti
ayahnya sebagai Sultan Anom II, Sultan Anom Muhammad Chadiriddin. Putra
keduanya adalah Pangeran Raja Adipati Kaprabonan yang membangun keraton
Kaprabonan dengan gelar Rama Guru Pangeran Raja Adipati Kaprabonan. Berbeda
fungsi dari keraton sebelumnya (Kasepuhan dan Kanoman), Keraton Kaprabonan
digunakan sebagai tempat belajar para intelektual keraton karena mengingat bahwa
cita-cita putra kedua Sultan Anom I adalah mengembangkan agama Islam sesuai
perjuangan para Waliyullah terdahulu, terutama karuhunnya Sunan Gunung Jati.
Kepemimpinan sultan-sultan berikutnya sampai pada pemerintahan Sultan
Anom IV atau Sultan Muhammad Khaerudin (1798-1803) berjalan dengan lancar.
Namun, terjadi permasalahan ketika Sultan Anom IV wafat, putra mahkota yakni
Pangeran Raja Kanoman Anom Madenda yang seharusnya menjadi Raja diasingkan
oleh Belanda ke Ambon karena dianggap sebagai orang yang pembangkang dan
pemberontak. Ketika beliau pulang, tahta kesultanan sudah ditempati oleh Pangeran
Abdul Soleh Imaduddin. Kemudian Pangeran Raja Kanoman memilih untuk
memisahkan diri dan mendirikan kesultanan sendiri yang diberi nama Kesultanan
Kacirebonan. Keputusannya mendapat dukungan dari pemerintah Kolonial Belanda
dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda) yang artinya surat keputusan.
Pada tahun 1807 Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengangkat Pangeran
Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan dengan batasan bahwa putra
cukup mendapat gelar pangeran, jadi tidak berhak atas gelar sultan. Menyusul hal
tersebut, otomatis Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu
Kesultanan Kacirebonan yang merupakan pecahan dari Kesultanan Kanoman.
Sedangkan tahta Sultan Kanoman V jatuh kepada putra Sultan Anom IV yang lain
bernama Sultan Anom Abu Sholeh Imamuddin. Setelah terbaginya Kesultanan
Cirebon menjadi kesultanan Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan, tentu hal ini
mengakibatkan berubahnya tatanan wilayah. Namun, tidak ada informasi jelas
mengenai pembagian wilayah itu. Jadi, wilayah Kesultanan Cirebon yang
ditinggalkan oleh Panembahan Ratu II dilakukan secara bersama-sama.
Ketika Daendels menjadi Gubernur Jenderal di Nusantara, tahun 1808
Daendels membuat kebijakan yaitu membagi pulau Jawa menjadi tiga bagian:
1. Batavia dan Jascatrasche Preanger-regentstschappen (Tangerang,
Karawang, Bogor, Cianjur, Sumedang, Bandung, dan Parakanmuncung).
2. Kesultanan Cirebon dan Cheribonsche Preanger Regentschappen
(Limbangan, Sukapura, Galuh).
3. Pesisir Utara Pulau Jawa bagian Timur (Noord Oostkust) dan wilayah
ujung timur Pulau Jawa (Oosthoek).
Sehubungan dengan adanya pembagian tersebut, terdapat dua wilayah yang
dijadikan karesidenan, yakni Batavia dan Kesultanan Cirebon. Karasidenan dikepalai
oleh seorang Residen bangsa Belanda dan mempunyai pasukan pengaman sendiri di
bawah komando residen. Pada tanggal 2 Februari 1809, Pemerintah Belanda
mengeluarkan kebijakan baru mengenai pembagian wilayah kekuasaan di Cirebon
menjadi dua bagian, yaitu:
1. Bagian utara disebut wilayah kesultanan Cirebon terdiri dari daerah
Kuningan, Cirebon, Indramayu, dan Gebang.
2. Bagian selatan disebut Priangan terdiri dari Limbangan, Sukapura, Galuh.
Selanjutnya pada tanggal 13 Maret 1809, diatur pembagian wilayah
kekuasaan. Pertama, bagian utara dipimpin oleh tiga orang sultan yang sudah menjadi
pegawai pemerintahan kolonial Belanda (Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan).
Wilayah Kasepuhan di bagian selatan yang meliputi Kabupaten Kuningan dan
Cirebon. Sedangkan wilayah kanoman berada di bagian tengah (sekarang
Majalengka) dan Kacirebonan berada di Indramayu. Akhirnya Cirebon semakin
terpuruk karena Gubernur Jenderal Daendels juga menghapus kekuasaan politik
kesultanan Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Ketiga sultan dijadikan pegawai
pemerintah Belanda.
F. Peninggalan Kasultanan Cirebon
1. Masjid Sang Cipta Rasa

Dibangun pada tahun 1489, kemudian diberi nama Masjid Sang Cipta Rasa.
Lokasi masjid ini berada di kiri Keraton Pakungwati sebelah barat alun-alun.
Pembangunan masjid ini bertujuan untuk menunjang kegiatan masyarakat karena
jumlah orang yang masuk Islam yang semakin bertambah dan keberadaan pelabuhan
Cirebon yang cukup ramai oleh para pedagang muslim. Simbol bangunan masjid
melambangkan filsafat Hayyun ila Ruhin (hidup tanpa ruh). Bentuk bangunan dan
simbol-simbol dalam masjid semuanya sarat makna filosofis.
2. Keraton Kasepuhan

Keraton Kasepuhan terletak di Kecamatan Lemah Wungkuk, Kotamadya


Cirebon. Keraton ini merupakan pusat pemerintahan dari Kesultanan Cirebon pada
masa lampau. Di dalam keraton ini dapat kita temui bangunan dengan gaya arsitektur
yang unik, kereta Singa Barong, benda kuno, dan naskah kuno.

3. Pelabuhan Cirebon

Pelabuhan Cirebon merupakan peninggalan dari Syarif Hidayatullah.


Pelabuhan ini pernah menjadi jalur sutra perdagangan dunia internasioanl.
Diperkirakan berdiri bersamaan dengan kelahiran Cirebon pada tahun 1371. Sejak
masa Syarif Hidayatullah, Pelabuhan Cirebon memiliki peran penting dalam hal
perdagangan dan menjadi salah satu sumber ekonomi utama di Keraton Cirebon
sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya.
Di era sekarang, Pelabuhan Cirebon memiliki status pelabuhan internasional
dan pelabuhan ekspor impor, yang artinya terbuka bagi kegiatan bongkar muat barang
dari dan ke luar negeri atau barang ekspor dan impor. Mengingat betapa tinggi peran
pelabuhan ini akhirnya dikelola oleh BUMN yang keberadaannya dibawah
manajemen PT (Persero).
4. Makam Sunan Gunung Jati

Makam Sunan Gunung Jati terletak di bagian Cireban di sebuah bukit kecil
yang sering disebut dengan Gunung Sembung. Kompleks makam ini terletak di
bagian rute Kota Cirebon – Indramayu. Setiap harinya, komplek pemakaman tak
pernah sepi pengunjung. Sunan Gunung Jati merupakan satu dari sembilan wali, yang
akrab disebut Wali Songo. Dia menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Sunan
Gunung Jati merupakan putra dari Nyai Rara Santang, Putri dari Sri Baduga Maharaja
Prabu Siliwangi. Dia pernah menjabat sebagai raja ke-2 dari Kerajaan Cirebon dengan
gelar Maulana Jati.

Daftar Pustaka

Bochari, Sanggrupi dan Wiwi Kuswiah. (2001). Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

El-Mawa, Mahrus. (2012). Rekontruksi Kejayaan Islam di Cirebon: Studi Historis pada Masa
Syarif Hidayatullah (1479-1568). Jumantara 3 (1): 100-127.

Erwantoro, Heru. (2012). Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon. Patanjala, 4(1): 166-179.

Fauziyah, Siti. (2015). Kiprah Sunan Gunung Jati Dalam Membangun Kekuatan Politik Islam
di Jawa Barat. Tsaqofah, 13(1), hlm. 85-98.

Fitri Anggraini Fatimatul Khoiroh. Peranan Sunan Gunung Jati Dalam Penyebaran Agama
Islam di Cirebon Tahun 1480-1570. (Skripsi, 2017). Prodi Pendidikan Sejarah
Universitas Jember.

Rosita, Heni. Pecahnya Kesultanan Cirebon dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat


Cirebon Tahun 1677-1752. (Skripsi, 2015). Prodi Pendidikan Sejarah, Universitas
Negeri Yogyakarta.

Sulendraningrat, P. S. (1985). Sejarah Cirebon. Jakarta: Balai Pustaka

Zulfah, Siti. (2018). Islamisasi di Cirebon: Peran dan Pengaruh Walangsungsang Perspektif
Naskah Carios Walangsungsang. Tamaddun, 6(1), hlm. 172-201.

Anda mungkin juga menyukai