Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam menyebar di berbagai tempat di Indonesia tidak dengan sendirinya tetapi disebarkan
oleh tokoh-tokoh Islam yang salah satunya oleh para Wali Songo. Diantara para Wali Songo
yaitu Sunan Gunung Djati yang menyebarkan agama Islam di Cirebon.Sunan Gunung Jati
adalah salah satu dari sembilan orang penyebar agama Islam terkenal di Pulau Jawa yang
dikenal dengan sebutan Wali Sanga. Kehidupannya selain sebagai pemimpin spriritual, sufi,
mubaligh dan Da’i pada zamannya juga sebagai pemimpin rakyat, karena beliau menjadi raja
di Kasultanan Cirebon. Bahkan sebagai sultan pertama Kasultanan Cirebon yang semula
bernama Keraton Pakungwati.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan Sunan Gunung Djati?
2. Bagaimana peran Sunan Gunung Djati dalam penyebaran Islam di Cirebon?
3. Apa madzhab yang dibawa oleh Sunan Gunung Djati?
4. Bagaimana metode penyebaran agama Islam yang dilakukan Sunan Gunung Djati

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan Sunan Gunung Djati.
2. Untuk mengetahui peran Sunan Gunung Djati dalam penyebaran Islam di Cirebon.
3. Untuk mengetahui madzhab yang dibawa oleh Sunan Gunung Djati.
4. Untuk mengetahui metode penyebaran agama Islam yang dilakukan Sunan Gunung Djati.
BAB II
HASIL PENELITIAN

A. Sejarah Perkembangan Sunan Gunung Djati


Sering kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah
yang bergelar Sunan Gunung Jati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah
adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran
adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunung
Djati.
Sedangkan Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana
membantu Sunan Gunung Jati berperang melawan penjajah Portugis.
Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunung Jati adalah makam yang ada dekat
Sunan Gunung Djati yang ada tulisan Tubagus Pasai Fathullah atau Fatahillah atau Faletehan
menurut lidah orang Portugis
Sunan Gunung Djati atau Raden Syarif Hidayatullah adalah salah satu penyebar
agama Islam di pulaujawa, yang dikenal dengan Wali Sanga. Sunan Gunung Djati lahir
sekitar tahun 1450 M di Mekkah ketika Sultan Syarifah Abdullah dan Nyai Rara Santang
sedang berziarah di Mekkah dan Madinah, namun ada juga yang menyebutkan bahwa ia lahir
pada sekitar 1448 M. Sultan Syarifah adalah raja dari kerajaan Mesir,sedangkan Nyai Rara
Santang merupakan putri Prabu Siliwangi.
Sejak kecil Sunan Gunung Djati tekun belajar agama. Selain dari orang tuanya, ia
juga belajar dari Syekh Kahfi, seorang muballigh asal Baghdad yang juga menjadi guru
pamannya, Pangeran Cakrabuana. Tak puas mendalami agama di pesantren Syekh Kahfi,
Sunan Gunung Djati pergi ke Timur Tengah. Sunan Gunung Djati mendalami ilmu agama
sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara.
Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia
mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan
Pakungwati. Sementara itu, dalam usia muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya.
Ia ditunjuk untuk menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Raja Mesir, tapi anak muda yang
masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke tanah
Jawa berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya
yaitu Syarif Nurullah.
Syekh Datuk Kahfi telah wafat dan guru Pangeran Cakrabuana dan Syarifah
Muda’im itu dimakamkan di Pasambangan. Dengan alasan agar selalu dekat dengan makam
gurunya, Syarifah Muda’im minta agar diijinkan tinggal di Pasambangan atau Gunung Djati.
Syarifah Muda’im dan putranya yaitu Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh
Datuk Kahfi membuka Pesantren Gunung Djati. Sehingga kemudian dari Syarif Hidayatullah
lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati.
Tibalah saat yang ditentukan,Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi
Mas Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479, karena
usianya sudah lanjut Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri Caruban kepada
Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan (orang yang dijunjung tinggi). Pada tahun
pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi
kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau.
Mesti Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan
agama Islam di wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanan ke
Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari
Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu.
Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh adipati Banten. Bahkan Syarif
Hidayatullah dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten. Dari
perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah di karuniai seorang orang putra
yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking. Dalam menyebarkan agama Islam di
Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati tidak bekerja sendirian, beliau
sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak. Bahkan
disebutkan beliau juga membantu berdirinya Masjid Demak. Dari pergaulannya dengan
Sultan Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan
Pakungwati dan ia memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan.
Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada
Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh. Tindakan ini dianggap sebagai
pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja Pajajaran tak peduli siapa yang berdiri di balik
Kesultanan Cirebon itu maka dikirimkannya pasukan prajurit pilihan yang dipimpin oleh Ki
Jagabaya. Tugas mereka adalah menangkap Syarif Hidayatullah yang dianggap lancang
mengangkat diri sebagai raja tandingan Pajajaran. Tapi usaha ini tidak berhasil, Ki Jagabaya
dan anak buahnya malah tidak kembali ke Pajajaran, mereka masuk Islam dan menjadi
pengikut Syarif Hidayayullah.
Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin
bertambah besar pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti; Surantaka,
Japura, Wana Giri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Kasultanan
Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah
pengaruh Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri asing datang menjalin
persahabatan. Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seorang keluarga istana Cirebon
kawin dengan Pembesar dari negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka
jalinan antara Cirebon dan negeri Cina makin erat.
Bahkan Sunan Gunung Djati pernah diundang ke negeri Cina dan menikah dengan
putri Kaisar Cina yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat itu dari dinasti
Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin erat hubungan
baik antara Cirebon dan negeri Cina, hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk
dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.
Sesudah menikah dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien di ganti namanya
menjadi Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar ayah Putri Ong Tien ini membekali putranya
dengan harta benda yang tidak sedikit, sebagian besar barang-barang peninggalan putri Ong
Tien yang dibawa dari negeri Cina itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan di tempat
yang aman. Istana dan Masjid Cirebon kemudian dihiasi dan diperluas lagi dengan motif-
motif hiasan dinding dari negeri Cina. Masjid Agung Sang Ciptarasa dibangun pada tahun
1480 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau istri Sunan Gunung Djati. Dari pembangunan
masjid itu melibatkan banyak pihak, diantaranya Wali Songo dan sejumlah tenaga ahli yang
dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan Kalijaga mendapat penghormatan
untuk mendirikan Soko Tatal sebagai lambang persatuan ummat.
Selesai membangun masjid, dilanjutkan dengan membangun jalan-jalan raya yang
menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas
pengembangan Islam di seluruh Tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri
atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri
sudah semakin terhimpit.
Pada tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin
meluaskan kekuasaan ke Pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi incaran mereka
untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang mengancam
kepulauan Nusantara. Oleh karena itu Raden Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran
Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka. Tapi usaha itu tak membuahkan hasil,
persenjataan Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur mendirikan benteng yang kuat di
Malaka.
Ketika Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang pejuang dari Pasai (Malaka) bernama
Fatahillah ikut berlayar ke Pulau Jawa. Pasai sudah tidak aman lagi bagi mubaligh seperti
Fatahillah karena itu beliau ingin menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.
Raden Patah wafat pada tahun 1518, kedudukannya digantikan oleh Adipati Unus
atau Pangeran Sabrang Lor, baru saja beliau dinobatkan muncullah pemberontakan-
pemberontakan dari daerah pedalaman, didalam usaha memadamkan pemberontakan itu
Pangeran Sabrang Lor meninggal dunia, gugur sebagai pejuang sahid. Pada tahun 1521 Sultan
Demak di pegang oleh Raden Trenggana putra Raden Patah yang ketiga. Di dalam
pemerintahan Sultan Trenggana inilah Fatahillah diangkat sebagai Panglima Perang yang
akan ditugaskan mengusir Portugis di Sunda Kelapa.
Fatahillah yang pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka sekarang harus
mengangkat senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya menuju Cirebon.
Pasukan gabungan Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda Kelapa yang sudah dijarah
Portugis atas bantuan Pajajaran. Pajajaran merasa iri dan dendam pada perkembangan wilayah
Cirebon yang semakin luas, ketika Portugis menjanjikan bersedia membantu merebut wilayah
Pajajaran yang dikuasai Cirebon maka Raja Pajajaran menyetujuinya.
Ketika portugis menyerang Cirebon, Sunan Gunung Djati tidak bergabung dengan
pasukan gabungan Demak-Cirebon. Karena Sunan Gunung Jati tahu dia harus berperang
melawan kakeknya sendiri, maka diperintahkannya Fatahillah memimpin serbuan itu. Dari
pengalamannya bertempur di Malaka, Fatahillah mengetahui titik-titik lemah tentara dan
siasat Portugis. Itu sebabnya dia dapat memberi komando dengan tepat dan setiap serangan
Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang.
Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah, Portugis kembali ke Malaka, sedangkan
Pajajaran cerai berai tak menentu arahnya. Selanjutnya Fatahillah ditugaskan mengamankan
Banten dari gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa pasukan Pajajaran. Usaha ini tidak
menemui kesulitan karena Fatahillah dibantu putra Sunan Gunungjati yang bernama Pangeran
Sebakingking. Di kemudian hari Pangeran Sebakingking ini menjadi penguasa Banten dengan
gelar Pangeran Hasanuddin.
Kemenangan demi kemenangan berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan
Gunungjati memanggil ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati menjodohkan
Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah selaku Adipati
Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke. Ketika usia Sunan Gunung Jati
sudah semakin tua, beliau mengangkat putranya yaitu Pangeran Muhammad Arifin sebagai
Sultan Cirebon ke dua dengan gelar Pangeran Pasara Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon
sering disebut Tubagus atau Kyai Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat sang Sultan.
Sunan Gunung Jati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di Gunung
Jati atau Pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak pengangkatannya mendadak
Pangeran Muhammad Arifin meninggal dunia mendahului ayahandanya. Kedudukan Sultan
kemudian diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar sultan Maulana
Hasanuddin, dengan kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap
digunakan sebagai kesultanan tapi Sultannya hanya bergelar Adipati. Yaitu Adipati Carbon I.
Adpati Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh
Sunan Gunung Djati. Adapun nama aslinya Adipati Carbon adalah Aria Kamuning.
Sunan Gunung Djati wafat pada tahun 1568, dalam usia 120 tahun. Bersama ibunya,
dan pangeran Carkrabuasa beliau dimakamkan di gunung Sembung. Dua tahun kemudian
wafat pula Kyai Bagus Pasai, Fatahillah dimakamkan ditempat yang sama, makam kedua
tokoh itu berdampingan, tanpa diperantarai apapun.
Sampai sekarang pun nilai-nilaibudaya yang ditinggalkan oleh Sunan Gunung Jati
masih bias kita temui. Hal itu adalah bagian terpenting dari proses Islamisasi yang dilakukan
oleh Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan agama Islam di Jawa Barat. Peninggalan Sunan
GunungJati di antaranya adalah Kraton Pakungwati, Sangkala Buana (alun-alun), Mesjid
Agung Sang Cipta Rasa, Tajug Jalagrahan, benda-benda pusakanya itu terdiri dari
persenjataan tradisional hingga kereta kencana. Yang cukup menarik dari peninggalan
budaya dari aktivitas Sunan Gunung Jati adalah bidang Planologi atau Tata Kota.Susunan
pusat ibukota Kerajaan Cirebon merupakan proto type awal dari karakteristik kota di
Indonesia yang bercorak Islam yang terdiri dari unsur arsitektur masjid, istana, pasar, tembok
pertahan alun-alun, bangunan audiensi dan pelabuhan.
Bangunan istana yang ditinggalkan Sunan Gunung Jati mempunyai nilai budaya
tinggi.Keraton peninggalan Sunan Gunung Jati terdiri dari Dalem Agung PakungWati yang
semasa hidup Sunan Gunung Jati dijadikan istana.Kemudian Sitinggil yang dibangun pada
1425 Masehi yang terdiri dari beberapa buah bangunan yang pada umumnya tidak berdinding,
antara lain bangunan Pendawa Lima yang bertiang lima yang melambangkan lima Rukun
Islam, tempat ini merupakan tempat berkumpulnya para pengawal sultan.
Semar Kenandu, yaitu sebuah bangunan bertiang dua buah yang melambangkan
Syahadat, tempat ini merupakan tempat duduk para penasehat sultan. Malang Semirang yaitu
bangunan yang terletak di samping Semar Kenandu, tempat ini merupakan tempatduduk
Sultan pada saat sultan melihat alun-alun atau ketika mengadili terdakwa yang dituntut
hukuman mati. Mande Karesmen yaitu tempat yang digunakan untuk mementaskan gamelan
Sekatenpada 1 Syawaldan 10 Dzulhijjah dan Mande Pengiring yaitu ruangan yang digunakan
untuk parapengiring Sultan, atau digunakan sebagai tempat hakim ketika menyidangkan
terdakwa.
Peninggalan Sunan Gunung Jati lainnya yaitu Jembatan Kreteg Pengrawit. Jembatan
ini bermakna bahwa orang yang masuk ke Keraton harus mempunyai tujuan yang baik
sebagaimana yang dimaksud dengan Pengrawit yang dalam Bahasa Jawa berarti lembut dan
penuh perasaan.Jembatan ini melintang di atas saluran air yang bernama Sepadu yang
merupakan batas antara masyarakat umum dengan penghuni keraton.Selain itu terdapat Panca
Ratna yang berarti jalan kesenangan.Adapun fungsi Panca Ratna adalah tempat seba pejabat
desa atau kampong kepada Sultan.Kemudian Panca Niti yang terletak di samping kiri dan
kanan jalan menuju Jembatan Pengrawit dan berada di depan alun-alun. Panca Niti
mempunyai arti jalan atau tempat raja atau pejabat keraton.Bangunan ini berfungsi sebagai
tempat beristirahat pejabat keraton.
Peninggalan Sunan Gunung Jati dalam bidang arsitektur yaitu Masjid Agung Sang
Cipta Rasa, yang mempunyai Sembilan pintu masuk, hal ini sebagai perwujudan dari symbol
WaliSanga penyebar Agama Islam.Banyak warisan peninggalan budaya dari Sunan Gunung
Jati yang bias dijadikan sebagai objek wisata dan asset pemerintahan Cirebon.Karena banyak
beribu-ribu masyarakat Cirebon yang mengais rizki dari parawisatawan yang datang ke
Cirebon untuk napak tilas perjuangan Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan Islam.Sunan
Gunung Jati meninggal tahun 1568 Masehi, namun karomahnya sampai saat ini masih kita
rasakan.Memang idealnya seorang Waliullah ketika sudah meninggal sekalipun memberikan
berkah rizki bagi yang masih hidup, apalagi ketika beliau masih hidup.
B. Peranan Sunan Gunung Djati
Kesembilan wali ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam penyebaran
agama Islam di pulau Jawa pada abad ke-15. Adapun peranan Sunan Gunung Djati sama
seperti para Wali Songo yang lainnya, yaitu:
a. Sebagai pelopor penyebarluasan agama Islam kepada masyarakat yang belum banyak
mengenal ajaran Islam di daerahnya masing-masing.
b. Sebagai para pejuang yang gigih dalam membela dan mengembangkan agama Islam di masa
hidupnya.
c. Sebagai orang yang ahli di bidang agama Islam.
d. Sebagai orang yang dekat dengan Allah SWT karena terus-menerus beribadah kepada-Nya
sehingga memiliki kemampuan yang lebih.
e. Sebagai pemimpin agama Islam di daerah penyebarannya masing-masing, yang mempunyai
jumlah pengikut cukup banyak di kalangan masyarakat Islam.
f. Sebagai guru agama Islam yang gigih mengajarkan agama Islam kepada para muridnya.
g. Sebagai kiai yang menguasai ajaran agama Islam dengan cukup luas.
h. Sebagai tokoh masyarakat Islam yang disegani pada masa hidupnya.
Namun selain itu ada peranan khusus dari Sunan Gunung Djati. Tentang personaliti
dari Sunan Gunung Djati yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam
beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar
pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Ia ikut membimbing Ulama berperangai ganjil
itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya.
Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan
wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah
tercabut. Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka,
merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Sunan Gunung Djati yang telah
berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan
Pakuan.
Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus
dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa
dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Sunan
Gunung Djati menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 pada tahun 1511.
Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal pada tahun 1521 memaksa
Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat
Tubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus
yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk
memancing Portugis bertempur di Pulau Jawa.

C. Metode Dakwah
1. Perkawinan
Proses Islamisasi di Indonesia juga melalui hubungan kekerabatan. Para pedagang yang
menetap di Indonesia melakkukan perkawinan dengan masyarakat Indonesi. Hal ini dijadikan
sebagai taktik dakwah yang paling efektif dalam penyebaran agama islam pada masa itu. Dari
perkawinan itu maka akan dihasilkan keluarga muslim dan kemudian berkembang menjadi
suatu perkampungan muslim.
2. Politik
Proses ini dilakikan oleh golongan sufi dan wali. Sufi maupun wali yang memiliki
kelebihan memasuki kerajaan dan merubah keyakina raja. Biasanya awalnya mereka menjadi
seorang penasehatspiritual kemudian melakukan penyebaran terhadap para pejabat-pejabat
kerajaan. Setelah raja dan para pejabatnya menganut keyakinan islam maka rakyatpun
mengikuti keyakinan raja untuk masuk islam.
Contohnya: kerajaan di Indonesia yang menyebarkan islam adalah samudra Pasai dan Demak.
3. Tasawuf
Metode penyebaran cara ini dilakukan oleh para sufi yang datang ke Indonesia. Secara
termologi bahasa taswuf berasal dari kata sufi yang berarti wol atau bulu domba. Artinya
bahwa pada masa itu para sufi selalu menggunakan senban putih yang terbuat dari wol yang
berasal dari bulu domba.metode penyebaran islam dengan cara tasawuf membawa dampak
pengaruh yang signifikan. Cara pengajarannya yaitu dengan jalan memberikan jalan yang
mengandung persamaan dengan alam pikiran seperti pada mistik orang Indonesia Hindu,
sehingga islam sebagai agama baru mudah diterima.

4. Pendidikan
Jalur penyebaran melalui pendidikan diawali dengan berdirinya beberapa pesabtereb yang
pertama kali berdiri yaitu di Demak tepatnya di masjid Demak. Tempat ini menjadi pusat
pendidikan ajaran islam di Indonesia khususnya Pulau Jawa. Pemimpin dan pengajar dari
pesabtern-pesantren adalah para wali.
5. Kesenian
Para penyebar Islam pada masa tersebut pada awalnya cukup kesulitan dalam
mengajarkan ajaran Islam. Tetapi setelah berbaur dengan masyarakat yang cukup lama dan
kemudian menganal bentuk-bentuk kesenian maka para penyebar agama Islam menggunakan
media ini sebagai alat melakukan menyebaran Islam. Setiap tradisi dari masyarakat disusupi
dengan cerita-cerita tentang ajaran Islam.

D. Madzhab yang Digunakan


Madzhab yang dipakai oleh Sunan Gunung Djati adalah Mazhab Syafi’i. Pemikiran fiqh
mazhab ini diawali oleh Imam asy-Syafi’i. Keunggulan Imam asy-Syafi’i sebagai ulama fiqh,
usul fiqh, dan hadits di zamannya diakui sendiri oleh ulama sezamannya.
Sebagai orang yang hidup di zaman meruncingnya pertentangan antara aliran
Ahlulhadits dan Ahlurra ‘yi, Imam asy-Syafi ‘i berupaya untuk mendekatkan pandangan
kedua aliran ini. Karenanya, ia belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlulhadits dan
Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlurra’yi.
Prinsip dasar Mazhab Syafi’i dapat dilihat dalam kitab usul fiqh ar-Risalah. Dalam buku
ini asy-Syafi’i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh
merumuskan hukum far’iyyah (yang bersifat cabang). Dalam menetapkan hukum Islam,
Imam asy-Syafi’i pertama sekali mencari alasannya dari Al-Qur’an. Jika tidak ditemukan
maka ia merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW.
Apabila dalam kedua sumber hukum Islam itu tidak ditemukan jawabannya, ia
melakukan penelitian terhadap ijma’ sahabat. Ijma’ yang diterima Imam asy-Syafi’i sebagai
landasan hukum hanya ijma’ para sahabat, bukan ijma’ seperti yang dirumuskan ulama usul
fiqh, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum, karena
menurutnya ijma’ seperti ini tidak mungkin terjadi. Apabila dalam ijma’ tidakjuga ditemukan
hukumnya, maka ia menggunakan qiyas, yang dalam ar-Risalah disebutnya sebagai ijtihad.
Akan tetapi, pemakaian qiyas bagi Imam asy-Syafi ‘i tidak seluas yang digunakan Imam Abu
Hanifah, sehingga ia menolak istihsan sebagai salah satu cara meng-istinbat-kan hukum
syara’
Penyebarluasan pemikiran Mazhab Syafi’i berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Maliki.
Diawali melalui kitab usul fiqhnya ar-Risalah dan kitab fiqhnya al-Umm, pokok pikiran dan
prinsip dasar Mazhab Syafi ‘i ini kemudian disebarluaskan dan dikembangkan oleh para
muridnya. Tiga orang murid Imam asy-Syafi ‘i yang terkemuka sebagai penyebar luas dan
pengembang Mazhab Syafi’i adalah Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H./846 M.), ulama
besar Mesir; Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H./878 M.), yang diakui oleh
Imam asy-Syafi ‘i sebagai pendukung kuat mazhabnya; dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi
(w. 270 H.), yang besar jasanya dalam penyebarluasan kedua kitab Imam asy-Syafi ‘i
tersebut.

E. Hambatan Yang Dialami


Dalam menyebarkan agama Islam,Sunan Gunung Djati mengalami berbagai
hambatan,adapun hambatan nya adalah sebagai berikut:
1. Tidak mendapatkan dukungan dari kakeknya dalam menyebarkan agama islam yaitu Prabu
Siliwangi yang merupakan raja dari Kerajaan Pajajaran.
2. Harus berperang melawan kakeknya yang mendukung portugis untuk menjajah Cirebon
3. Mendapat serangan dari portugis
Daftar Pustaka

Praptanto Eko, 2010, SEJARAH INDONESIA, Jakarta: Bina Sumber Daya MIPA

Anda mungkin juga menyukai