Anda di halaman 1dari 9

Mbah Sambu, Ulama Besar Pertama di Lasem

Mbah Sambu atau dikenal juga dengan Sayyid Abdurrahman merupakan tokoh legendaris di Kota Lasem, Kabupaten
Rembang, Jawa Tengah. Ia adalah salah satu penyebar ajaran Islam di daerah Lasem. Mbah sambu adalah walinegara (Guru
Agama Islam) di Lasem yang merupakan pendatang dari Tuban. Ia dipanggil di Lasem oleh Adipati Tedjokusuma atau Mbah
Srimpet untuk diangkat sebagai Walinegara Kadipaten Lasem dan dijadikan sebagai menantu.
Oleh masyarakat sekarang yang akrab dikenal dengan sebutan Mbah Sambu yaitu berasal dari namanya Syech Maulana Sam Bwa
Asmarakandhi. Ia merupakan salah satu ulama’ tersohor sampai sekarang. Kebanyakan para ulama’, kyai, dan orang-orang besar
menisbatkan nasabnya pada Mbah Sambu. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa hampir seluruh ulama’ di Jawa adalah
keturunan dari Mbah Sambu.
Ada dua versi yang menceritakan silsilah Mbah Sambu. Versi pertama mengatakan bahwa beliau adalah Pangeran Sambudigdo
Hadiningrat putra Pangeran Benawa, putra dari Jaka Tingkir alias Sultan Hadiwijaya, Raja dari Kerajaan Pajang yang merupakan
cikal bakal Kerajaan Mataram Islam.
Versi kedua mengatakan bahwa beliau adalah putra dari Sayyid Muhammad Hasyim dan juga masih keturunan Sayyidah Fatimah
az-Zahro’ al-Bathul binti Rasulullah Muhammad SAW.
Kelahiran Mbah Sambu sampai sekarang belum diketahui, karena belum menemukan catatan sejarah. Dan sampai sekarang
belum ada sejarah lengkap tentang Mbah Sambu. Sedangkan wafat beliau menurut sejarah singkat yaitu pada tanggal 1671 M.
Awal Mbah Sambu di daerah Lasem yaitu karena undangan Adipati Tedjokusumo I atau Mbah Srimpet dan diangkat sebagai
walinegara di Kadipaten Lasem untuk membantu syiar Islam.
Ia berjasa dalam meredam aksi perompak yang menimbulkan kekacauan yang berlarut-larut di pusat kota Lasem. Wilayah Lasem
saat itu meliputi Sedayu Gresik, Tuban, Rembang, Pati sampai Jepara.
Atas jasanya itu Mbah Sambu yang juga menantu Adipati Lasem diberi tanah perdikan meliputi lokasi Masjid Jami’ Lasem
sekarang di Kec. Lasem sampai ke selatan arah Kec. Pancur yang lebih jauh luas dari yang ada sekarang. Kedatangan beliau di
Lasem selain untuk meredam aksi perompak, ia juga berjuang untuk menyebarkan ajaran Islam.
Sunan Muria, Wali Songo Termuda dan Penggagas Ajaran Meruwat Bumi
Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga yang juga menjadi salah satu Wali Songo. Dikenal sebagai Wali Songo termuda, Sunan
Muria aktif berdakwah di Jawa Tengah, khususnya di Gunung Muria, yang berjarak sekitar 18 kilometer dari Kota Kudus. Saat
ini, lokasi tempat Sunan Muria berdakwah masuk dalam wilayah Desa Colo, Kecamatan Gawe, Kudus, Jawa Tengah.
Di tempat itu juga makam Sunan Muria berada. Semasa menyebarkan Islam, Sunan Muria banyak memberikan ajaran kepada
masyarakat umum, salah satunya adalah ajaran meruwat bumi untuk melestarikan lingkungan. Sunan Muria lahir pada sekitar
tahun 1450. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga dan Dewi Saroh, yang merupakan putri dari Syekh Maulanan Ishaq. Nama asli
Sunan Muria adalah Raden Umar Said. Terkait nama, ada beberapa catatan sejarah yang juga menyebut bahwa namanya Raden
Prawoto dan Raden Amir. Sedari kecil, Sunan Muria sudah diajari tentang agama Islam oleh sang ayah, yang dikenal sebagai
Wali Songo yang berdakwah di Cirebon, Jawa Barat.
Selain Sunan Kalijaga, Ki Ageng Ngerang juga tercatat sebagai guru Sunan Muria. Dalam sebuah catatan, Sunan Muria diketahui
menikahi Dewi Roro Noyorono, putri dari Ki Ageng Ngerang. Keterangan lain juga menyebut bahwa istri Sunan Muria bernama
Dewi Sujinah, yang tidak lain adalah adik Sunan Kudus sekaligus putri Sunan Ngudung. Dengan begitu, Sunan Muria diketahui
sebagai Wali Songo termuda yang merupakan putra Sunan Kalijaga sekaligus adik ipar Sunan Kudus.
Sunan Muria lebih senang tinggal di pelosok daerah yang jauh dari pusat perkotaan dalam menjalankan dakwahnya. Berbagai
strategi dakwah dilakukan Sunan Muria, salah satunya adalah bergaul bersama rakyat jelata sembari mengajarkan beragam
keterampilan, seperti bercocok tanam, berdagang, serta kesenian. Dalam dakwahnya, Sunan Muria tetap merangkul tradisi dan
budaya masyarakat setempat sembari menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Salah satu tradisi yang diubah oleh Sunan Muria
adalah bancakan (selamatan), yang diubah menjadi kenduri untuk mengirim doa kepada para leluhur melalui doa-doa Islam.
Seperti ayahnya, Sunan Kalijaga, Sunan Muria juga menyebarkan Islam dengan gamelan serta wayang. Sunan Muria diketahui
ahli dalam menyampaikan kisah agama Islam dengan cara yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Salah satu kisah
pewayangan yang kerap disampaikan oleh Sunan Muria dalam dakwahnya adalah Topo Ngeli, yang berarti menghanyutkan diri
dalam masyarakat. Kisah itu sebelumnya juga pernah diceritakan oleh Sunan Kalijaga.
Dalam perjalanan dakwahnya, Sunan Muria juga menciptakan karya. Karya Sunan Muria adalah Tembang Macapat, tepatnya
Sinom dan Kinanthi.
Adapun beberapa ajaran Sunan Muria dalam Meruwat Bumi di antaranya: Tradisi Guyang Cekathak (tradisi meminta hujan),
Buah Parijoto (ziarah ke makam Sunan Muria), Tembang Macapat Sinom Parijotho (tembang ciptaan Sunan Muria)
Sunan Muria wafat pada tahun 1551. Makamnya berada di lereng Gunung Muria, Kecamatan Colo, 18 kilometer dari Kota
Kudus. Di sekitar makamnya, ada 17 makam prajurit dan abdi dalem yang dipercaya sebagai pengawalnya.
SUNAN KUDUS
Sunan Kudus merupakan julukan bagi sosok Ja’far Shadiq yang bergelar Wali Al-ilmi yang berarti orang yang berilmu luas.
Sunan Kudus dikenal pernah menjadi seorang senopati atau panglima perang dari Kerajaan Demak. Sebelum pindah ke Kudus
dan berdakwah, ia bertugas memperluas wilayah kerajaan Demak sebagai pusat pengembangan Islam masa akhir Majapahit.
Namun pada saat pecahnya perselisihan di Kerajaan Demak dan wafatnya Sultan Trenggana, ia memutuskan untuk pindah ke
Kudus dan mulai fokus untuk berdakwah menyebarkan agama Islam. Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq adalah putra dari Raden
Usman Haji atau Sunan Ngudung. Ayah Sunan Kudus merupakan saudara kandung dari Sunan Ampel. Ia merupakan cucu buyut
Syekh Ibrahim As- Samarqandi yang silsilahnya bersambung sampai Rasulullah SAW melalui jalur Sayyidina Husen bin
Fatimah binti Rasulullah SAW.
Sunan Kudus diperkirakan lahir pada 1400 masehi di wilayah Jawa Tengah dan meninggal dunia pada 1550. Sunan Kudus
dimakamkan di bagian belakang Masjid Agung Kudus , kota Kudus, Jawa Tengah. Wilayah Dakwah Sunan Kudus Sebelum
berdakwah, Sunan Kudus berguru kepada ayahnya yaitu Sunan Ngudung di Jipang Panolan, dekat Blora. Selain berguru kepada
ayahnya, Sunan Kudus juga belajar kepada beberapa ulama terkenal, seperti Kyai Telingsing, Ki Ageng Ngerang, dan Sunan
Ampel.
Sesuai namanya, Sunan Kudus berdakwah di sekitar daerah Kudus. Sunan Kudus harus berdakwah di tengah kondisi masyarakat
Kudus yang yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat-istiadat. Metode Dakwah Sunan Kudus Sunan
Kudus menggunakan cara-cara yang bijaksana dalam berdakwah, dengan melihat situasi dan kondisi masyarakat setempat. Cara
dakwah Sunan Kudus adalah dengan menggunakan pendekatan seni dan budaya sebagaimana yang dilakukan oleh Wali Songo
lainnya.
Sunan Kudus juga tidak melakukan perlawanan kepada budaya yang sudah berkembang di masyarakat. Bersama masyarakat,
Sunan Kudus membangun masjid Kudus dengan menara, padasan atau tempat wudhu yang mengadopsi arsitektur bergaya
bangunan Hindu-Budha. Masjid Kudus atau Masjid Al-Aqsa yang dibangun pada tahun 956 H ata 1537 M memiliki menara yang
berbentuk seperti candi. Ia kemudian diangkat sebagai imam besar Masjid Agung Demak, masjid Kerajaan Islam Demak yang
menjadi pusat dakwah dan pengkaderan para penyebar Islam. Disamping menyampaikan ajaran Islam, Sunan Kudus juga
mengajarkan beberapa keterampilan kepada masyarakat seperti seperti pande besi, dan alat-alat pertukangan lainnya Ia juga ahli
dalam ilmu pemerintahan dan kesusasteraan, serta dikenal sebagai pedagang yang kaya.
SUNAN KALIJOGO
Masa Muda Sunan Kalijaga memiliki nama asli Joko Said, yang diperkirakan lahir pada Tahun 1450 M. Ia merupakan putra dari
adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Ayahnya merupakan keturunan dari pemberontak
legendaris Majapahit, Ronggolawe. Adipati Arya Wilatikta adalah sosok pemimpin yang terkenal kejam dan sangat taklid
terhadap pemerintahan pusat Majapahit yang menganut Agama Hindu meskipun dirinya seorang muslim. Ia tak segan untuk
meminta pajak yang tinggi tanpa memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.
Atas dasar itulah Joko Said mulai memberanikan diri untuk membangkang dan tidak setuju terhadap segala keputusan dan
kebijakan yang dikeluarkan ayahnya. Hingga puncaknya, Joko Said membongkar lumbung kadipaten dan membagikan seluruh
padi dan beras yang ada didalamnya kepada rakyat miskin yang berada dibawah kekuasaan ayahnya. Tidak berlangsung lama
Adipati Arya Wilatikta mengadakan sidang dan mengadili Joko Said karena terbukti merusak lumbung padi ayahnya. Joko Said
memberikan alasan bahwa yang dilakukannya berlandaskan Islam. Ayahnya terlalu menumpuk harta untuk dirinya sedangkan
rakyatnya kelaparan dan menderita.
Dengan alasan tersebut Joko Said diusir dari Kadipaten dan tidak boleh kembali pulang sebelum menggetarkan Tuban dengan
bacaan ayat suci Al-Qur'an. Setelah diusir dari Istana ia tetap melanjutkan misinya untuk mensejahterakan rakyat miskin dengan
cara merampok. Namun dalam merampok Joko Said hanya merampok rumah orang yang terkenal kaya dan membagikan hasil
curiannya secara adil kepada rakyat yang kurang mampu. Maka dari itu ia dijuluki sebagai "Brandal Lokajaya" atau perampok
yang budiman. Akan tetapi setelah bertemu dengan Sunan Bonang semua perilaku dari Joko Said pun berubah. Hal ini bisa
terjadi lantaran ia telah dinasehati bahwa Allah tidak akan menerima amal yang buruk dari hambanya. Kemudian Joko Said
menjadi murid Sunan Bonang dan mendalami Ilmu agama Islam.
Setelah menimba ilmu agama yang cukup lama dan dinilai cukup mumpuni menurut Sunan Bonang. Joko Said kemudian dilepas
untuk berdakwah dan mengamalkan ilmu agama Islam.
Nama Kalijaga berasal dari bahasa Arab "Qadi" dan namanya sendiri "Joko Said". Frase ini asalnya dari Qadhi Joko Said yang
artinya "Hakim Joko Said". Karena menurut sejarah mencatat bahwa saat Wilayah Demak didirikan pada Tahun 1478, Sunan
Kalijaga diserahi tugas sebagai Qadhi (hakim) di Demak oleh Wali Demak saat itu, yaitu Sunan Giri. Dalam sejarahnya,
masyarakat Jawa dikenal kuat dalam hal penyimpangan pelafalan kata-kata dari bahasa Arab, seperti istilah Sekaten (dari
Syahadatain), Kalimosodo (dari Kalimah Syahadah), Mulud (dari Maulid). Maka tak aneh bila frase "Qadhi Joko" kemudian
tersimpangkan menjadi "Kalijogo" atau Kalijaga.
Sunan Kalijaga telah membawa paham keagamaan yaitu salafi –bukan sufi-panteistik ala Kejawen yang bermotto 'Manunggaling
Kawula Gusti'. Hal ini dibuktikan dengan ketegasan beliau yang ikut berada dalam barisan Sunan Giri saat terjadi sengketa dalam
masalah 'kekafiran' Syaikh Siti Jenar dengan ajarannya bahwa manusia dan Tuhan bersatu dalam dzat yang sama. Saat berdakwah
Sunan Kalijaga sangat toleran terhadap budaya lokal. Ia memiliki pendapat sendiri bahwa masyarakat akan menjauh jika diusik
pendiriannya. Maka dari itu mereka harus didekati secara bertahap, dengan mengikuti sambil mempengaruhi dengan ajaran
Islam.
Sunan Kalijaga menggunakan seni ukir, wayang, gamelan serta seni suara sebagai sarana dakwah. Selain itu beliau juga memiliki
lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Selain itu beliaulah yang menggagas baju takwa,
perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu (Petruk Jadi Raja). Dengan
cara tersebut membuktikan bahwa dakwahnya sangat efektif. Sehingga banyak
RADEN PATAH
Raden Patah merupakan pendiri Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa. Sultan Demak yang berkuasa pada 1475-
1518 Masehi ini sejatinya adalah pangeran dari Kerajaan Majapahit, salah satu pendukung peradaban Hindu-Buddha terbesar
yang pernah tercatat dalam sejarah Indonesia atau Nusantara.
Beberapa referensi menyebut bahwa Raden Patah adalah putra Bhre Kertabhumi atau Brawijaya V (1468 -1478 M), sosok yang
diyakini sebagai raja terakhir Majapahit. Ketika Raden Patah mendirikan Kesultanan Demak bersama para Wali Songo,
Majapahit sedang menjelang keruntuhannya yang akhirnya nanti benar-benar terjadi. Raden Patah dan Kesultanan Demak adalah
pemula kejayaan Islam di Jawa sekaligus mengakhiri kejayaan peradaban Hindu-Buddha yang sebelumnya pernah amat digdaya
di bawah panji-panji Kerajaan Majapahit. Pangeran Majapahit yang Terbuang Raden Patah berdarah campuran. Ibundanya, Siu
Ban Ci, adalah putri Tan Go Wat alias Syekh Bentong, sosok ulama Cina yang menjadi salah satu perintis terbentuknya Wali
Songo sebagai majelis syiar agama Islam di Jawa. Babad Tanah Jawi mengisahkan, Siu Ban Ci dipersunting sebagai istri selir
oleh Bhre Kertabhumi atau yang nantinya bertakhta di Majapahit dengan gelar Brawijaya V.
Perkawinan ini ternyata membuat istri Bhre Kertabhumi yang lain, yakni Ratu Dwarawati yang kelak menjadi permaisuri,
cemburu. Maka, Bhre Kertabhumi terpaksa menceraikan Siu Ban Ci dan mengirimnya ke Palembang yang kala itu masih
termasuk wilayah kekuasaan Majapahit. Di bekas pusat Kerajaan Sriwijaya itulah Siu Ban Ci melahirkan Raden Patah pada 1455
M.
Nama lahir Raden Patah adalah Jin Bun yang menurut Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya
Negara-negara Islam di Nusantara (2005) berarti “orang kuat”. Beberapa referensi lain menyebutnya dengan nama Senapati
Jimbun, Panembahan Jimbun, juga Raden Hassan. Usai melahirkan Jin Bun, Siu Ban Ci dipersunting oleh Adipati Palembang,
Arya Damar atau Arya Dillah. Pernikahan ini dianugerahi anak laki-laki bernama Kin San alias Raden Kusen atau Raden Husein.
Kin San, tulis M.O. Parlindungan dalam Tuanku Rao (2007), bermakna “gunung emas”.
Setelah dewasa, Raden Hassan dan Husein menolak mewarisi kepemimpinan di Palembang demi merantau ke Jawa. Sejumlah
sumber menyebutkan, keduanya sempat berguru kepada Sunan Gunung Jati di Cirebon, Sunan Giri di Gresik, dan Sunan Ampel
di Surabaya, untuk memperdalam ajaran Islam.
Versi pertama menyebutkan, Hassan alias Raden Patah dan Husein alias Raden Kusen kembali ke Majapahit untuk menemui
ayahnya yang telah bertakhta dengan gelar Brawijaya V. Kepada Brawijaya V, Raden Patah meminta daerah otonom untuk ia
kelola. Brawijaya V kemudian memberikan daerah di Demak Bintara kepada putranya itu. Daerah tersebut dinamakan Kadipaten
Demak Bintara. Sedangkan Husein alias Raden Kusen memilih tinggal di Majapahit untuk mengabdi dan diangkat sebagai
adipati di daerah Terung (dekat Sidoarjo, Jawa Timur). Raden Kusen kemudian dikenal dengan sebutan Adipati Terung.
Sementara versi kedua menyebutkan bahwa Demak Bintara bukanlah hadiah Brawijaya V kepada Raden Patah, melainkan
wilayah yang dibuka oleh Raden Patah sendiri atas petunjuk Sunan Ampel. Raden Patah konon enggan kembali ke Majapahit
selama ayahnya belum mau memeluk agama Islam.
Raden Patah dengan dukungan Wali Songo akhirnya mendeklarasikan Demak -yang sebenarnya merupakan wilayah kekuasaan
Majapahit- sebagai pemerintahan baru. Kesultanan Demak berdiri pada 1478, Raden Patah bertakhta dengan gelar Sultan Syah
Alam Akbar al-Fatah. Di sisi lain, Majapahit sedang mengalami persoalan internal dengan munculnya pemberontakan yang
dilakukan oleh Girindrawardhana, menantu Brawijaya V. Akhirnya, Girindrawardhana berhasil menduduki singgasana Kerajaan
Majapahit dan bergelar Brawijaya VI. Raden Patah, menurut catatan dari Cina, wafat pada 1518 dalam usia 63 tahun. Atas
keputusan majelis Wali Songo, yang ditunjuk sebagai penerus takhta Kesultanan Demak adalah Pati Unus dengan gelar Sultan
Alam Ali Akbar II.
Sejarah Masjid dan Desa Nyatnyono
Nyatnyono sendiri pada zaman dahulu merupakan sebuah masjid dan sekarang melebar menjadi sebuah desa, di desa Nyatnyono
sendiri terdapat sebuah masjid peninggalan Kyai Hasan Munadi dan anaknya Kyai Hasan Dipuro. 
Menurut cerita warga setempat, air di sendang Nyatnyono Kabupaten Semarang itu tak pernah kering. Konon, sumber mata air di
sendang itu berasal dari ketukan tongkat Syekh Hasan Munadi, seorang tokoh atau wali penyebar agama Islam yang disebut-
sebut sezaman dengan Sunan Kalijaga.
Kisahnya berawal dari Hasan Munadi muda menjadi santri Sunan Boang bersama Raja Demak Bintoro, Raden Fattah. Setelah
menjadi santri di pondok dan diketahui oleh Sunan Bonang bahwa keduanya sudah cukup berilmu, maka keduanya diberi
perintah masing-masing untuk menyebarkan ilmu.
Sementara Raden Fattah diberikan amanah untuk membuat pesantren di Glagah Wangi atau sekarang dikenal dengan Bintoro,
dan Hasan Munadi diperingatkan kembali pulang kampung untuk menyebarkan ilmu di kampung halamannya, semarang dan
sekitarnya.
Nama sebuah desa Nyatnyono adalah sebuah desa di mana kampung halaman Kyai Hasan Munadi berasal, Nyatnyono dalam
bahasa Indonesia berarti “tiba-tiba ada” cerita berawal dari Kyai Hasan Munadi yang sedang berkhalwat untuk menyebarkan
islam, dalam khalwatnya ia diberi isyarat untuk mendatangi sebuah tempat yang terdapat masjid. 
Namun sayangnya tempat tersebut belum ada bangunan masjid. Hingga akhirnya Kyai Hasan Munadi sampai di tempat dalam
isyarat khalwatnya, secara tiba tiba sebuah masjid sudah berdiri tegak, yang berada dilereng gunung Sukroloyo. 

Makam Kyai Hasan Dipuro


Kyai Hasan Dipuro adalah anak dari Kyai Hasan Munadi, mereka dimakamkan berdekatan dan dipisah oleh jalan menuju
parkiran. Untuk menuju ke makam dan ke masjid, harus menaiki anak tangga karena makam dan masjid berada di atas tempat
parkir.
Sendang Mata Air Nyatnyono
Menariknya, di sekitar lokasi makam terdapat sebuah pemandian yang airnya diambil dari sebuah sendang peninggalan Kyai
Hasan Munadi, letak dari sendangnya sendiri tak jauh dari lokasi makam.
Sendang nyanyono sebenarnya juga memiliki sejarah yang tak lepas dari Kyai Hasan Munadi, yaitu bermula dari tongkatnya
Hasan Munadi yang ditancapkan ke tanah kemudian dicabut dan keluarlah mata air yang sekarang menjadi sendang.
Tak hanya itu, sumber air yang memiliki nama Sendang Kalimah Toyyibah ini merupakan mata air di bawah pohon beringin
yang berusia puluhan tahun. Sumber air ini tidak pernah kering meski musim kemarau panjang.
Sejarah Pangeran Singasari atau Kyai Raden Santri
Versi Keraton Yogyakarta, Pangeran Singasari atau dikenal dengan Kyai Raden Santri ada sekitar tahun 1611 M. Adalah salah
satu putra dari Ki Ageng Pemanahan, ayahanda dari Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati pendiri dinasti Mataram
Islam. Mataram menganggap atau menghubungkan bahwa dinasti Mataram adalah keturunan dari Majapahit atau Brawijaya V.
Begitu juga Kyai Raden Santri, bila keturunan dari Ki Ageng Pemanahan otomatis juga keturunan Brawijaya V dari jalur
kenasaban Bondan Kejawan. Sumber ini perlu diverifikasi lebih lanjut.
Sumber lain yang juga telah melegenda, bahwa Kyai Raden Santri atau Pangeran Singosari nama mudanya, merupakan keturunan
dari Prabu Brawijaya V.
Alkisah, Kyai Raden Santri adalah seorang muslim Champa dari nasab Azmathkan, ulama yang ditugaskan ke Jawa untuk
menyebarkan agama Islam. Awalnya menetap di Majapahit selama setahun, kemudian memutuskan untuk kembali ke Champa.
Sesampainya di Champa, keadaan kerajaan sudah hancur lebur diambil alih oleh Raja Pelbegu dari Kerajaan Koci. Kemudian,
atas saran dari Raja Kertajaya, Kyai Raden Santri agar menetap di Gresik, hingga wafat pada periode tahun 1317 – 1449 Masehi.
Muncul spekulasi, apakah Kyai Raden Santri yang kubur di sini adalah orang yang sama, yang diduga wafat hingga tahun 1449
M di Gresik, ataukah Raden Santri adalah benar keturunan dari Ki Ageng Pemanahan pada era tahun 1560 an era kerajaan Pajang
Prabu Adiwijaya (Joko Tingkir). Ataukah Kyai Raden Santri yang dimaksud adalah kelanjutannya yang melakukan syiar dan
dakwah Islam sampai di daerah pedalaman Kedu (Magelang). Kemudian, keturunannya atau utusan yang melanjutkan tersebut
disebut sebagai Kyai Raden Santri.
Dari penghubungan periodesasi tersebut, wilayah Magelang atau Kedu sebagai basis penyebaran Islam yang salah satunya berada
di Gunung Pring disinyalir adanya Pondok Pesantren Darussalam yang berada di Watucongol yang telah diinisiasi oleh tokoh
“Kyai Raden Santri” tersebut pada era 1449 atau era Pajang Mataram 1560 an, seperti bukti permulaan bahwa Gunung Pring
sudah digunakan untuk basis penyebaran.
Dengan demikian, tidak diketahui secara persis siapa sebenarnya Kyai Raden Santri atau Pangeran Singasari. Yang jelas,
setidaknya Pondok Pesantren Watucongol dan basis penyebaran Islam di Gunung Pring sudah dimulai pada periode politik global
Islam yang pertama pada periode 1317 hingga 1449, kemudian berganti era hingga keruntuhan Majapahit tahun 1478.
Setelahnya, wilayah Gunung Pring sebagai bagian syiar Islam di bawah kekuasaan Demak, Pajang, dan Mataram Islam, hingga
kerajaan terakhir yang berkuasa, yaitu Kesultanan Yogyakarta mulai tahun 1756.
Dengan demikian, Keraton Yogyakarta sebagai kerajaan terakhir yang mengelola komplek makam aulia tersebut menjadi wajar,
terlebih jarak antara istana Kesultanan dengan Muntilan Magelang dekat.
Saat ini, dalam konteks kultural, Kyai Raden Santri diyakini sebagai ulama pertama yang menyebarkan Islam di daerah Kedu,
khususnya Magelang, hingga akhir hayatnya di makamkan di Gunung Pring. Adalah tokoh yang dihormati sebagai spirit atau
panutan bagi masyarakat Jawa.
Ditempat ini dimakamkan Para aulia diantaranya Kyai Raden Santri, Kyai Krapayak III/Kamaludin, Kyai H. Harun, Nyai Hj.
Harun, Anak-anak Kyai-Nyai Harun, Kyai Qowaid Abdullah Sajad, Kyai Gus Jogo Rekso, Nyai Hj.Suratinah Jogo Rekso, Kyai
Kerto Jani, Kyai Abdurrachman, Kyai H. Dalhar, dan Kyai Chusain. Tokoh-tokoh tersebut menempati bangunan utama di
sebelah timur pada posisi puncak bukit.
Sunan Bayat dan Perjalanan Dakwahnya di Klaten Jawa Tengah

Sunan Bayat dikenal juga dengan sebutan Sunan Pandanaran, Susuhunan Tembayat, Pangeran Mangkubumi dan Wahyu Hidayat.
Beliau hidup di masa Kerajaan Demak dan merupakan putra dari bupati pertama Semarang yakni Ki Ageng Pandan Arang.
Pada awalnya, Sunan Bayat merupakan seorang bupati yang baik dan menjalankan ajaran Islam. Namun, beberapa lama
kemudian beliau sempat melalaikan ajaran Islam dan menjadi penguasa yang angkuh dan semena-mena.
Mendengar kabar tersebut, Sultan Demak Bintara mengutus Sunan Kalijaga untuk kembali menyadarkan Pangeran Mangkubumi
atau Sunan Bayat. Akhirnya, Sunan Bayat kembali patuh pada ajaran Islam dan menyerahkan kekuasaannya kepada sang adik.
Sunan Bayat bersama keluarganya kemudian pindah ke Tembayat (Bayat). Di tempat barunya tersebut, ia menyebarkan agama
Islam. Perjalanan dakwah Sunan Bayat sangat didukung oleh keluarganya. Bahkan, ia rela menghabiskan waktu dan hartanya
untuk melakukan syiar di daerah Bayat, Klaten.
Pada saat itu, tantangan yang dihadapi Sunan Bayat dalam menyebarkan Islam cukup berat karena masih banyak masyarakat
yang beragama Hindu. Dalam membuat para pertapa dan Pendeta Hindu masuk Islam, Sunan Bayat menggunakan cara diskusi
kebatinan dan kepercayaan, sehingga mereka dengan sukarela masuk Islam tanpa adanya paksaan.
Selain menyebarkan ajaran Islam, Sunan Bayat pun mengajarkan masyarakat membatik. Tujuannya adalah dalam rangka
memenuhi kebutuhan pakaian bagi Sunan dan keluarganya. Hal tersebut pun menjadi cikal bakal adanya usaha batik di Bayat
hingga sekarang.
KH. Hasan Besari
KH. Hasan Besari Lahir pada tahun 1729 M. beliau merupakan putra kedua dari Kiai Muhammad Ilyas bin Kiai Ageng
Muhammad Besari dari istri pertamanya. Hasan Besari memiliki nama lengkap Kanjeng Kiai Bagus Hasan Besari. Hasan Besari
hidup dan dibesarkan di lingkungan pondok pesantren, sehingga membuatnya menjadi pribadi yang alim, sosok penyabar,
pandai, juga seorang ahli tirakat.
Hasan Besari Juga seorang yang gagah punya wajah yang menarik dan postur tubuh yang tegap, sehingga putri dari Pakubuwono
III yaitu Bra. Murtosyah tertarik dan meminta ayahandanya untuk melamarkan untuknya. Pernikahan itu ketika Hasan Besari
berumur 36 tahun. Karena permintaan putri yang disayanginya, akhirnya pada tahun 1765 M Hasan Besari dan Bra. Murtosyah
menikah dan dikaruniai 6 orang putra. R.M. Martopoero, R.A. Saribanon, R.A. Martorejo, R.M. Cokronegoro, R.M. Bawadi,
R.A. Andawiyah.
Dalam tradisi masyarakat Jawa ulama atau Kiai mempunyai posisi yang sangat tinggi dalam strata sosial masyarakat. Karena
dalam masa pemerintahan kolonial para pemimpin kekuasaan seperti sultan dan raja lebih menaruh perhatiannya dalam politik,
dan urusan agama diserahkan kepada para Kiai. Sedangkan, urusan agama ini bukan hanya soal hukum saja tapi juga termasuk
yang mengatur masalah-masalah sosial, sehingga kebanyakan Kiai memiliki pengaruh yang sangat luas dipemerintahan dan
masyarakat.
Begitu Juga KH. Hasan Besari sangat besar pengaruhnya pada masyarakat khususnya Tegalsari umumnya masyarakat Ponorogo
dan Kasunanan Surakarta. Sampai saat ini pun namanya juga masih sangat dikenal akrab khususnya di masyarakat Ponorogo.
Makamnya sampai kini masih sering dikunjungi peziarah baik dari daerah Ponorogo sendiri maupun dari luar Ponorogo.
Sejak usia muda, Hasan Besari adalah trah langsung Kiai maksudnya, Hasan Besari adalah putra Kiai Ilyas dan Kiai Ilyas adalah
Putra dari Kiai Ageng Muhammad Besari, berarti Hasan Besari merupakan cucu dari pendiri pondok pesantren Gebang Tinatar
yaitu Kiai Ageng Muhammad Besari. Tegalsari merupakan daerah yang sangat subur dan makmur, aman, sentosa, sehingga
menjadi kiblat oleh desa-desa sekitarnya, rakyatnya rukun dan ta‟dzim kepada Hasan Besari.
Sebagai pemuka agama secara tradisional berasal dari keluarga yang berpengaruh, Ulama dan Kiai merupakan faktor pemersatu
dalam tatanan sosial pedesaan. Hirokosi Hiroko mengatakan:
“Bahkan dewasa inipun, para penduduk desa mengatakan bahwa desa-desa tanpa ulama mungkin runtuh sendiri. Karena kesulitan
untuk mempersatukan komunitas-komunitas yang berbeda. Beberapa ulama menerima tawaran keluarga-keluarga kaya untuk
pindah ke desa-desa mereka gunamengembangkan dan mempraktikkan ilmu agamanya disana”
Nampaknya alasan inilah yang menyebabkan Sunan Pakubuwono IV dari Surakarta saat itu menetapkan Hasan Besari menjadi
lurah yang mengaturtampu kepemimpinan di desa Tegalsari.

Dirangkum dari berbagai sumber

Anda mungkin juga menyukai