Anda di halaman 1dari 3

Tradisi kelahiran dalam budaya Jawa salah satunya adalah Puputan.

Upacara puputan bertujuan memohon keselamatan bagi si bayi. Perlengkapan upacara ini meliputi: - Golongan bangsawan: nasi gudangan, jenang abang putih, lima macam bubur dan jajan pasar. - Golongan rakyat biasa: nasi jangan, jenang abang putih, jenang baro-baro dan jajan pasar. Puputan merupakan saat tali pusar bayi putus atau puput. Pada saat itu, diadakan Slametan Puputan Puser berupa kendhuri, bancakan dan pemberian nama bayi. Upacara ini diadakan setelah maghrib dan dihadiri oleh bayi, ibu, dukun, pinisepuh, dan sanak saudara.

Puputan Di Desa Jejeran


15 November, 2010 Published by alfaishal in Uncategorized Di sebelah selatan kota Yogyakarta, ada sebuah dusun yang sangat masyhur, bahkan ke masyhurannya tidak saja berada di tingkat lokal kabupaten, tetapi juga di tingkat nasional. Khususnya di kalangan Pondok Pesantren, karena di dusun itu terdapat banyak Pondok Pesantren, baik Pondok salaf maupun Pondok modrn. Sehingga dusun itu masyarakatnya agamis-eksklusif. Itulah dusun Jejeran. Sebuah dusun yang terletak di kalurahan Wonokromo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimiwa Yogyakarta. Di dalam dusun itu terdapat berbagai macam ritual. Di kalangan masyarakat jawa muslim khususnya yang tinggal di daerah pondok pesantren, mengenal berbagai macam tradisi-tradisi keagamaaan. Antara lain tradisi keagaman itu adalah puputan. Yang mana tradisi itu telah berjalan berabad-abad lamanya dan berjalan hingga sampai saat ini. Puputan itu yang berarti memotong pusar seorang ibu dengan anaknya yang baru lahir. Pelaksanaan ritual keagamaaan puputan yang dilakukan oleh masyarakat muslim biasanya disertakan dengan dibacakan kitan Dziba atau Al-Barjanzi dengan ditambah acara yang terdiri dari kenduren, bancakaan, pemberian nama, penyembelihan hewan qurban atau yang disebut aqiqah, dan pemotongaan rambut. Ritual keagamaaan ini lebih baik diselanggarakan pada waktu habis maghrib. Ada yang mengatakan ritual puputan ini ada yang menggolongkan menjadi dua berdasarkan ahlul bait, yaitu 1.Golongaan bangsawan atau golongan kerajaan 2.Golongaan rakyat biasa Menurut buku yang berjudul Muslim Di Tengah Pergumulan yang dikarang oleh Abdurrahman Wahid, memaparkan bahwa pada dasarnya kehidupan manusia tidak terlepas dari nilai-nilai keagamaan. Betapapun kenyataan ini tidak diakui oleh sementara kalangaan. Masalah-masalah pribadi tentang pengaturan hubungaan dengan sesama manusia, masalah penyesuaian antara cita dan kenyataan yang dihadapi dalam kehidupan, sehingga menghasilkan dimensi-dimensi keagamaaan dalam kehidupan manusia. Dalam dimensi keagamaaan itu termasuk aspek ekspresi yang pada umunya berbentuk kegiatan-kegiatan seni dan sastra. Sehingga betapa eratnya hubungaan antara kegiatan kesenian dengaan kegiatan keagamaaan. Menurut K.H Hasyim Syafii, salah satu tokoh tertua di masyarakat Jejeran mengatakan bahwa, ritual keagamaaan puputan telah berlangsung semenjak kakek beliau hingga sampai sekarang. Pelaksanakaan puputan di Jejeran ini sangatlah unik dan hampir setiap orang yang dikaruniai anak oleh Allah SWT selalu melakukan kegiatan itu. Biasanya setelah puputan itu orang yang dianugrahi anak melakukan aqiqah. Dalam kitab rusailatum bahijah (keistiewaan bulan dzulhijjah) diterangkan tentang bab-bab aqiqah, antara lain tentang cara penyembelihan hewan aqiqoh sampai dengan tata cara

pemberiaan nama anak. Dalam hal ini waktu yang biasanya dipakai adalah hari ketujuh dari kelahiraan, jika anak itu lahir waktu malam maka dihitung mulai hari berikutnya, akan tetapi jika hari ketujuh dari kelahiraan belum bisa melaksanakan bisa dilakukan hari keempat belas, dan bila pada hari keempa belas juga belum bisa dilakukan maka hari ke dua puluh satu. Dan jika belum bisa, maka dilakukan kelipatan hari itu sampai anak atau bayi itu balaigh. Akan tetapi pada umumnya dilaksanakan pada hari ke tiga puluh lima sehingga sering disebut selapanan oleh masyarakat. Pelaksanaan tradisi puputan diawali bersama-sama dengan dipimpin oleh kepala atau rois, yang mana rois itu menyenandungkan shalawat kepada nabi Muhammad SAW. Dari senandung shalawat tersebut kita mengharapkan syafaat nabi Muhammad di yaumul-qiyamah kelak. Senandung shalawat Dziba atau kitab Al-Barzanji itu berjumlah enam belas fasal karangaan Syeh Al-Barzanji. Biasanya para jamaah saat melantunkan shalawat kepada nabi Muhammad SAW,mempunyai gaya sendiri-sendiri, misalnya; ada yang terdiam karena khusuknya saat melantunkan syair, ada yang menagis karena terharu mengingaat masa-masa nabi Muhammad SAW, dan lain-lain. Setelah shalawat dilantunkan, diteruskan dengan bacaan-bacaan ayat suci Al-Quran yang mana berhubungan dengan diturunkannya nabi Muhammad SAW. Ayat-ayat yang dibaca surat QS. At-Taubah: 128-129. Setelah pembacaan ayat itu diawali dengan membaca sejarah nabi atau yang dikenal dengan Dzibaan yang jumlahnya delapan belas pasal. Harapannya sang bayi dapat memiliki akhlaq seperti nabi, karena setiap muslim berkewajiban menjadikan rosul sebagi tauladannya sebagimana dalam QS. Al-Ahzaab ayat 21 yang berbunyi: Demi, akan Kami rasakan (timpakan) kepada mereka siksa yang terdekat (di dunia), sebelum siksa yang terbesar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (bertaubat kepada Allah). Selanjutnya dibacakan Dziba, dimana dalam pelaksanaan pembacaan Dziba ada pembacaan rowi. Rois biasanya membacakan satu pasal awal dari pengarang kitab Al-Barzanzi. Sebelum menginjak pasal yang ke dua, rohis mendoakan kubur nabi agar harum dimakamnya. Dengan bacaan athirillaahumma qobrohul kariima bi arfin syadziyyim min shalaatiw watasliimin. Yang artinya: harumkanlah wahai allah akan kuburnya yang mulia dengan harum-haruman yang semerbak dari rahmat dan kesejahteraan. Pasal yang ke dua dari Al-Berzanzi itu berisi tentang nasab atau keturunan nabi yang biasanya diserahkan kepada kyai yang lebih muda daripada rois. Ditengah pembacaan pasal yang ke dua disenandungkan dan diiringi dengan musik arab yang terkenal dengan sebutan hadroh. dengan pelantunan Dzibaan berzanzi pada nasab nabi biasanya membuat suasana proses ritual bertambah semangat. Tetapi dalam batas-batas kekhusuan meskipun kadang-kadang rois dan jamaah bersama dengan melakukan sedikit lenggak-lenggok dengan suara yang indah. Setelah selesai pembacaan pasal dua, rohis juga mendoakan makam nabi. Yang mana bacaannya seperti diatas athirillaahumma qobrohul kariima bi arfin syadziyyimmin shalaatiw watasliimin. Harumkanlah wahai allah akan kuburnya yang mulia dengan semerbak dari rahmat dan kesejahteraan. Pembacaan pasal yang ke tiga biasanya dibacakan oleh kyai yang lebih muda lagi atau dipersilahkan kepada jamaah untuk membaca. Dalam pasal ini berisikan tentang kondisi situasi di kota Mekkah sebelum nabi Muhammad SAW dilahirkan. Pasal ke tiga ini biasanya dibacakan dengan intonasi naik-turun dengan harapan agar jamaah lebih intensif dalam memahami tanah arab itu, yang dikatakan sebagai masyarakat hidup tanpa hukum, tanpa keadilan dengan istilah zaman jahiliah. Beberapa jamaah yang memahami berbahas arab terkadang menitikkan air mata karena larut terbayang-bayang ke alam masa nabi. Ketika itu dinyatakan dalam kondisi gelap gulita. Dan masih sama seperti pasal-pasal sebelumnya, rois mendoakan makam nabi. Pasal empat biasanya dibaca dan diserahkan kepada kyai yang sepuh lagi karena pada pasal ini memuat detik-detik kelahiran Nabi Muhammad SAW. Di tengah pasal ke empat, ada ayat

yang menerangkan saat kelahirannya nabi dengan istilah nurron ya talak la u sanahu artinya rembulan kehidupan telah datang. Habis gelap terbitlah terang. Di sini diadakan makhalul qiyam (bacaan berdiri) yang populernya disebut syrokal penyambutan kedatangan nabi. Maka rois jamaah mengajak hadirin untuk berdiri dengaan membaca yaa nabi salam alaik, yaa rosul salam alaik dan marhaban marhaban, yaa nuruul aini, dan jamaah pun menirukannya saut menyaut, isi-mengisi. Dalam makhalul qiyam sholawat dan syair-syair arab pujian kepada nabi Muhammad SAW bisa dilantunkan dengan berpuluh-puluh bait dan beranekaragam irama, menyesuaikan dengan situasi dan kondisi. Ditengah-tengah lantuan sholawat kepada nabi Muhammad SAW (posisi saat berdiri) ini bayi digendong dan dibawa keluar dalam majlis sambil diiringi seseorang yang membawa nampan berisi gunting dan air. Bayi lalu dibawa kehadapan kiai paling sepuh, kemudian kiai sepuh itu memotong rambut bayi pada tiga titik, tengah, depan dan belakang. Potongan rambutnya ditimbang dan dikira-kira beratnya untuk dimasukkan didalam air, kemudian bayi dikelilingkan untuk dimintakan berkah kepada jamaah sampai kemudian dibawa lagi ke tempat kyai sepuh yang melantunkan syair tersebut, dengan menunggu syairnya selesai (pada saat makhalul qiyam). Lantunan sholawat kemudian berpindah lagu dengan ditandai mengkhiri makhalul qiyam yang kemudian rois mengajak jamaah duduk kembali dan bayi dibawa keluar majlis dan timbangan berat potongan rambut tadi dikurs berat emas kemudian nilainya disodakohkan, dengan harapan bayi bebas dari bala. Setelah ditimbang rambutnya dikubur disebelah ari-ari. Seperti halnya pasal-pasal sebelumnya rois selalu mendoakan makam nabi Muhammad SAW agar makamnya selalu harum. Yang kadang-kadang nama bayi itu dumumkan kepada para jamaah atau ditulis didalam shodaqohan (berkat). Dan jarang sekali pembacaan Dziba atau shalawat Al- Berzanzi sampai selesai, tetapi hanya diambil ke pasal ke 1-2-3-4 dan pasal 17-18 atau biasa disebut awal akhir. Yang mana pasal terakhir berisi tentang akhlaq nabi, ibadah nabi dan cara bergaul nabi dengan masyarakat. Dengan harapan dibacakan pasal terakhir ini, hadirin akan mengerti dan kemudian diterapkan dalam bermasrakat, dan bernegara. Setelah selesai pembacaan Al- barzanzi, ditutup dengan doa yang panjang, yang sudah termaktub dalam kitab Al berzanzi. Agar kelak anak itu bisa memiliki akhlaq yang baik, taat kepada kedua orang tuanya. Setelah semua rangkaian puputan ditutup dengan sdkh mengeluarkan shodaqah yang berupa berkatan. *lebih jelasnya silahkan dengarkan Hadroh Sunan Nyamplung Referensi: kitab Al Barjanji karangaan Syekh Jafar AL-Barjanzi, Kitab Rusailatum Bahijjah karangaan K.H Abdul Muhith Nawawii Islam Ditengah Pergumulan karangaan Abdurrahman Wakhid (1983). Kyai Jejer karangaan Jawis Masruri Nawawi (2008)

Anda mungkin juga menyukai