TRADISI DUSUN
Saat ini sedang menempuh studi S1 di Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Salatiga
Pendahuluan
Desa sebagai tempat kediaman yang tetap pada masyarakat orang jawa, di daerah
pedalaman, adalah suatu wilayah hukum yang sekaligus menjadi pusat pemerintahan
tingkat daerah paling rendah. Secara administratif desa langsung berada di bawah
kekuasaan pemerintah kecamatan dan terdiri dari dukuh-dukuh. Tiap-tiap wilayah wilayah
bagian desa ini diketuai oleh seorang kepala desa atau dukuh. Di sini dijumpai sejumlah
perumahan penduduk beserta tanah-tanah pekarangannya yang satu sama lain dipisah-
pisahkan dengan pagar-pagar bambu atau tumbuh-tumbuhan. Ada di antara rumah-rumah
itu yang dilengkapi dengan lumbung padi, kadang-kadang ternak dan perigi, yang
dibangun di dekat-dekat rumah atau dihalaman pekarangannya. Kemudian sebuah dukuh
dengan dukuh lainnya, dihubungkan oleh jalan-jalan desa, yang luasnya sering tidak lebih
dari dua meter. Selain rumah-rumah tersebut yang tampak berkelompok dan yang
sebagian berjajar menghadap jalan itu, ada juga balai desa, tempat pemerintahan desa
berkumpul atau mengadakan rapat-rapat desa, yang diadakan tiap-tiap 35 hari sekali.
Untuk menampung kegiatan-kegiatan pendidikan keagamaan dan sosial ekonomi rakyat,
biasanya ada sekolah-sekolah, langgar atau masjid. Kecuali itu ada pasar yang kelihatan
ramai pada hari pasaran. Adapun kuburan desa berada di lingkungan wilayah salah
sebuah dukuh, sedangkan tanah pertanian berupa sawah-sawah atau ladang-ladang
terbentang di sekeliling desa.1
Desa Pituruh, Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo adalah sebuah desa disebuah
kabupaten kecil di Jawa Tengah. Secara Historis maupun ditinjau dari Epistimologis,
nama Pituruh berasal dari kehebatan (tokoh linuwih) Tujuh Roh (7 Leluhur) yang cikal
bakal di desa tersebut yang berdomisili di tujuh pedukuhan. Ketujuh linuwih tersebut
diyakini oleh warga adalah kaum bangsawan dari Kerajaan Majapahit. Beliau diyakini
sebagai para pengikut setia dari Raja Majapahit (Raden Damarwulan). Seperti diketahui,
dalam budaya Jawa ada ungkapan Ilang sirno kertaning bumi, yang merujuk pada
tahun 1400 M telah terjadi peristiwa besar yang menyebabkan satu kerajaan terbesar di
Jawa (tepatnya di Jawa Timur) mengalami keruntuhan. Akhirnya Raden Damarwulan
mengembara meninggalkan atau membebaskan diri dari gemerlap serta hiruk pikuk
situasi kota raja (pusat pemerintahan) dengan disertai para pengikut setianya, tidak lain
untuk mencari tempat yang sunyi sepi untuk semedi guna mendekatkan diri kepada Illahi
Robbi. Ketujuh pengikut raja tersebut diyakini warga sebagai cikal bakal berdirinya nama
desa Pituruh. Adapun ke-Tujuh (Pitu) Roh leluhur tersebut terpencar di Tujuh Pedukuhan
yang ada di desa Pituruh layaknya tujuh penjuru mata angin. Oleh masyarakat Pituruh
leluhurnya yang berjumlah tujuh tersebut hingga kini ditempatkan sebagai sumber
kekuatan spiritual. Ketujuh tokoh cikal bakal tersebut dalam sejarahnya memiliki
karakteristik kelebihan masing-masing yang saling melengkapi. Bukti sejarah serta
prasasti dari tujuh tokoh tersebut sampai sekarang terdapat makam dan petilasannya. 2
2 http://den-bagoez-sigit-pamuji.blogspot.com
Hal yang pertama kali dilakukan dalam masyarakat ketika ada orang
meninggal adalah memberi penghiburan kepada keluarga bahwa semua
ciptaan akan kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apabila keadaan
keluarga sudah reda, perhatian segera dialihkan ke jenazah. Jenazah yang
baru saja meninggal dunia segera ditidurkan secara membujur,
menelentang, dan menghadap ke atas. Selanjutnya mayat ditutup dengan
kain batik yang masih baru. Kaki dipan tempat mayat itu ditidurkan perlu
diberi kapur barus, maksudnya agar dipan itu tidak dikerumuni semut atau
binatang kecil lainnya. Bersamaan dengan hal diatas, beberapa orang
terdekat bertugas memanggil seorang modin dan mengumumkan kematian
itu kepada para sanak saudara dan tetangga. Pemberitaan juga dilakukan
dengan bantuan pengeras suara dari masjid terdekat. Setelah kabar tersiar
mereka yang mendengar akan berusaha segera datang ketempat itu untuk
membantu menyiapkan pemakaman.
b. Upacara Brobosan
Sebelum jenazah diberangkatkan ke makam dilakukan suatu upacara
yang disebut dengan upacara brobosan. Upacara brobosan ini bertujuan
untuk menunjukkan penghormatan dari sanak keluarga kepada orang tua
atau keluarga mereka (jenazah) yang telah meninggal dunia.
Upacara brobosan diselenggarakan di halaman rumah orang yang
meninggal sebelum dimakamkan dan dipimpin oleh anggota keluarga yang
paling tua. Namun sebelum upacara dilakukan, biasanya diawali dengan
beberapa sambutan dan ucapan belasungkawa oleh beberapa pamong desa.
Dan semua yang hadir ditempat itu harus berdiri hingga jenazah benar-
benar diberangkatkan.
Hai fulan bin / binti fulan Saiki siro wus ninggalake ndunyo tumuju
marang alam kubur, mulo siro ojo nganti lali karo janjimu menowo ora
ono pengeran kejobo Gusti Alloh lan Nabi Muhammad iku utusane Alloh.
Saiki siro manggon ing panggonan sing ora mbok kenal, mulo yen
ono Malaikat Alloh loro takon marang siro, ojo nganti siro wedi lan
ndredeg. Mangertio siro, Malaikat loro itu yo podo-podo makhluke Alloh.
Yen Malaikat loro iku teko lan ngelungguhake siro, sarto takon mangkene :
Hai manungso! Sopo pengeranmu?, opo Agomomu?, Sopo Nabimu?, opo
aqidahmu (Itiqodmu)?, ngendi kiblatmu? lan opo sing mbok ucapake
naliko siro urip lan mati?. Mulo jawaben kanti teges lan mantep Alloh
Pangeranku. Yen siro ditakoni ambal kaping pindo, mulo jawaben Alloh
Pangeranku, Yen pitakone diambali maneh kang kaping telu, mulo
jawaben kanti teges lan mantep ora perlu wedi : Alloh Pengeranku, Islam
Agamaku, nabi Muhammad Nabiku, Kitab Al-Quran panutanku, Kabah
kiblatku, sholat limang wektu kewajibanku, muslimin-muslimat koncoku,
urip lan patiku tansah neteping Gusti Alloh Disini kami terjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia Hai fulan bin/binti fulan sekarang kamu sudah
meninggalkan dunia menuju alam kubur, maka kamu jangan sampai lupa
janjimu bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah swt dan nabi Muhammad
saw itu utusan-Nya Allah swt. Sekarang kamu tinggal ditempat yang tidak
kamu kenal, apabila ada dua Malaikat datang dan mempersilahkan duduk,
dan menanyakan begini: Hai manusia! Siapa Tuhanmu?, apa Agamamu?,
siapa Nabimu?, apa aqidahmu?, kemana kiblatmu? Dan siapa yang
diucapkan ketika kamu hidup dan mati?. Maka jawablah dengan tegas dan
mantap Allah swt Tuhanku. Apabila kamu ditanya yang kedua kalinya,
maka jawablah Allah swt Tuhanku. Apabila ditanya lagi yang ketiga
Tr a d i s i d e s a P i t u r u h K a b u p a t e n P u r w o r e j o | 5
kalinya, maka jawablah dengan tegas dan mantap jangan takut: Allah swt
Tuhanku, Islam Agamaku, nabi Muhammad Nabiku, Kitab Al-Quran
panutanku, Kabah kiblatku, salat lima waktu kewajibanku, muslimin-
muslimat saudaraku, hidup dan matiku masih tetap kepada Allah swt.
d. Upacara Tahlilan
Setelah sang mayit dikuburkan pada setiap malam selama tujuh hari akan
ada upacara selametan. Upacara ini dikenal dengan istilah tahlilan,
dinamakan tahlilan karena ada pembacaan ayat-ayat Al-Quran dan juga
bacaan tahlil. Ritual ini juga memiliki tujuan buat mendoakan si mayat
yang telah meninggal. Selametan ini tak hanya dilakukan sampai tujuh hari
saja tapi masih banyak slametan yang menyertai kematian dari desa saya.
Ada slametan empat puluh hari yang dilakukan empat puluh hari setelah
hari kematian. Dan juga slametan seratus hari yaitu yang dilakukan seratus
hari setelah kematian. Setiap tahun pun juga masih dilakukan buat
mengenang orang yang telah meninggal dan dinamakan Haul. Setahun
pertama setelah meninggal, biasanya, pihak keluarga yang ditinggalkan
akan mengadakan selamatan pendak siji, tahun kedua disebut dengan
pendak loro, hingga pendak telu atau selamatan nan dilakukan di tahun
ketiga.
2. Ziarah Kubur (nyekar)
Bagi masyarakat kami makam merupakan tempat yang dianggap suci dan
keramat yang pantas dihormati terutama makam para tokoh-tokoh yang di
anggap berjasa bagi masyarakat tersebut atau biasanya makam para
waliyullah. Makam sebagai peristirahatan terakhir bagi nenek moyang,
tokoh-tokoh terdahulu dan keluarga yang telah meninggal. Keberadaan
makam dari tokoh tertentu dapat menimbulkan daya tarik bagi masyarakat
untuk melakukan aktivitas ziarah dengan berbagai motivasi maka bagi
masyarakat jawa ziarah kemakam sudah menjadi kebiasaan dan kebutuhan
untuk mendoakan makam yang di ziarahinya dan agar dapat memetik
pelajaran dari perziarahanya maupun peljaran dari seorang kehidupan
dulunya seorang tokoh tertentu. Kita sebagai orang islam jawa pastinya
mengakui adanya ziarah makam,
3. Nyadran
Dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan masyarakat kami biasanya
melakukan kegiatan yang di sebut Nyadran. Kegiatan yang biasa dilakukan
Tr a d i s i d e s a P i t u r u h K a b u p a t e n P u r w o r e j o | 6
dengan Tahlil. Tahlil dan Yasin telah menyatu menjadi bacaan orang-orang
Nahdlatul Ulama atau bisa disebut NU, dan selalu dapat di dengar dari
kelompok-kelompok kecil, kadang di siang hari, sore hari, malam hari, dan
pagi hari. Lebih dari itu, surah Yasin sudah menjadi kebiasaan masyarakat
desa Pituruh bila salah satu keluarga ada yang sakit kritis. Surah Yasin
dibaca dengan harapan jika bisa sembuh semoga cepat sembuh, dan jika
Allah swt menghendaki yang bersangkutan kembali kepada-Nya, semoga
cepat diambil oleh-Nya dengan tenang. Ada kalanya Yasin dibaca sendirian,
ada juga yang bersama-sama dengan tetangga lain. Yang jelas, yang sakit
sudah tidak ada harapan lagi untuk sembuh karena tanda-tanda akan
diakhirinya kehidupan ini sudah jelas, dan surah Yasin menjadi pengantar
kepulangannya kehadirat Allah swt.
6. Berzanjen, Dibaan, Burdahan, dan Manakiban
Kalau kita milihat lirik syair maupun prosa yang terdapat di dalam kitab al-
Barzanji, seratus persen isinya memuat biografi, sejarah hidup, dan
kehidupan Rosullah saw. Dengan demikian pula yang ada di dalam kitab
Diba dan Burdah. Tiga kitab ini yang berlaku bagi masyarakat Pituruh
dalam melakukan ritual Mauludiyah atau menyambut kelahiran Rasululloh
saw. Yang satunya khusus puji-pujian untuk Sulthanul Auliaya, Syaikh
Abdul Qadir al-Jaelani. Akan tetapi, dalam praktiknya, al-Barzanji, ad-
Dibai, Kasidah Burdah, dan Manaqib Syaikh Abdur Qadir al-Jaelani sering
dibaca ketika ada hajat anak lahir, hajat menantu, khitanan, tingkeban,
masalah yang sulit terpecahkan, yang musibah yang berlarut-larut. Yang
tidak ada maksud lain mohon berkah Rosullah saw akan terkabul semua
yang dihajatkan.4
7. Pengajian
Pengajian Pengajian adalah salah satu bentuk untuk dakwah. Pengajian
mengandung arti penyampaian pesan dakwah yang disampaikan kepada
mad melalui metode bil-lisn, pengajian ini biasanya disampaikan oleh
guru agama yang saat ini lebih identik dengan para kyai maupun ustadz
dengan menggunakan acuan atau pegangan kitab-kitab. Selain itu pengajian
juga diartikan sebagai tempat berkumpulnya orang yang berbagi ilmu
agama dengan orang yang menerima ilmu. Artinya, ada kyai dan ada
5 Abd. Halim Soebahar, Modernisasi Pesantren, Yogyakarta: LkiS, 2013, cet ke-
1, Hal 47
suami-istri yang dengan memenuhi syarat dan rukun telah ditentukan oleh
syariat Islam.7 Pada masyarakat desa Pituruh berlaku adat-adat yang
menentukan bahwa tidak boleh saling kawin apabila mereka itu saudara
kandung; apabila mereka itu adalah pancer lanang, yaitu anak dari orang
saudara sekandung laki-laki; apabila mereka itu adalah misan; dan akhirnya
apabila pihak laki-laki lebih muda menurut ibunya daripada pihak wanita.
Adapun perkawinan antara dua orang yang tidak terikat karena hubungan-
hubungan kekerabatan seperti tersebut di atas diperkenankan. Ada macam-
macam perkawinan lain dan yang diperbolehkan, yakni ngarang wulu serta
wayuh. Perkawinan ngarang wulu adalah suatu perkawinan seorang duda
dengan seorang wanita salah satu adik dari almarhum istrinya. Jadi
merupakan perkawinan sororat. Adapun wayuh itu ialah suatu perkawinan
lebih dari seorang isteri (poligami). Sebelum dilangsungkan peresmian
perkawinan, terlebih dahulu diselenggarakan serangkaian upacara-upacara,
a. Ngelamar atau Peminangan
Seorang pria yang ingin kawin dengan seorang gadis kekasih hatinya,
pertama-tama harus datang ke tempat kediaman orang tua si gadis untuk
menanyakan kepadanya, apakah si gadis itu sudah ada yang empunya
atau belum (legan). Jika orang tua si gadis telah meninggal, hal itu yang
disebut nakokake dapat ditanyakan kepada wali, yakni anggota kerabat
dekat yang dihitung menurut garis laki-laki (patrilineal), seperti
misalnya kakak laki-laki dan kakak ayah. Pada waktu nakokake si pria
itu biasanya didampingi oleh orang tua sendiri atau wakil orang tuanya.
b. Nontoni
Upacara nontoni yakni si calon suami mendapat kesempatan untuk
melihat calon isterinya. Sampai sekarang, terutama di desa masih ada
juga perkawinan-perkawinan di mana kedua orang tua yang
bersangkutan itu belum saling kenal mengenal, tetapi harus kawin
dalam kehendak orang tua. Dalam keadaan itu maka ada upacara
nontoni.
c. Upacara Asok-Tukon
Dua atau tiga hari sebelum upacara pertemuan kedua pengantin,
diselenggarakan upacara asok-tukon. Upacara ini adalah suatu tanda
susunan masyarakat ini, secara bertingkat yang berdasarkan atas gensi-gensi itu,
kaum priyayi dan bendara merupakan lapisan atas, sedangkan wong cilik menjadi
lapisan masyarakat bawah.
Kemudian menurut kreteria pemeluk agamanya, orang Jawa biasanya
membedakan orang santri dengan orang agama kejawen. Golongan kedua ini
sebenarnya adalah orang-orang yang percaya kepada ajaran agama Islam, akan
tetapi mereka tidak secara patuh menjalankan rukun-rukun dari agama Islam itu;
misalnya tidak salat, tidak pernah puasa, tidak bercita-cita untuk melakukan
ibadah haji dan sebagainya. Demikian secara mendatar di dalam susunan
masyarakat oarang Jawa itu, ada golongan santri dan ada golongan agama
kejawen. Di berbagai daerah di Jawa baik yang bersifat kota maupun pedesaan
orang santri menjadi mayoritas, sedangkan di lain daerah orang beragama
kejawen-lah yang dominan.
Orang tani didesa-desa, yang menurut pelapisan sosial tersebut di atas,
termasuk golongan wong cilik, di antara mereka sendiri juga pembagian secara
berlapis. Lapisan yang tertinggi dalam desa adalah wong baku. Lapisan ini terdiri
dari keturunan oarng-orang yang dulu pertama-tama datang menetap di desa.
Mereka ini memiliki sawah-sawah, rumah dengan tanah pekarangannya. Lapisan
kedua di dalam rangka sistem pelapisan sosial di desa adalah lapisan kuli gondok
atau lindung. Mereka adalah orang laki-laki yang telah kawin, akan tetapi tidak
mempunyai tempat tinggal sendiri, sehingga terpaksa menetap di rumah
kediaman mertuanya. Namun begitu, tidaklah berarti bahwa mereka tidak
mempunyai tanah pertanian, yang dapat diperoleh dari warisan atau pembelian.
Adapun golongan lapisan ketiga ialah lapisan joko, sinoman atau bujangan.
Mereka semua belum menikah dan masih tinggal bersama-sama dengan orang tua
sendiri atau memiliki tanah-tanah pertanian, rumah-rumah dan pekarangannya,
dari pembagian warisan danpembelian-pembelian.9
C. Sistem Mata Pencaharian Hidup/Perekonomian
Selain sumber penghidupan yang berasal dari pekerjaan-pekerjaan
kepegawaian, pertukangan, dan perdagangan, bertani adalah merupakan salah
satu mata pencaharian hidup dari sebagian masyarakat orang jawa di desa
Pituruh. Di dalam melakukan pekerjaan pertanian ini, di antara mereka ada yang
menggarap tanah pertaniannya untuk dibuat kebun kering (tegalan), terutama
mereka yang hidup di daerah pegunungan, sedangkan yang lain, yaitu yang
bertempat tinggal di daerah-daerah yang lebih rendah mengolah tanah-tanah
pertanian tersebut guna dijadikan sawah. Biasanya di samping tanaman padi,
beberapa jenis tanaman palawija juga ditumbuhkan baik sebagai tanaman utama
di tegalan maupun sebagai tanaman penyela di sawah pada waktu-waktu musim
kemarau di mana air sangat kurang untuk pengairan sawah-sawah itu, seperti
ketela pohon, jagung, ketela rambat, kedelai, kacang tanah, kacang tunggak, dan
lain-lain.
Pada mulanya tanah sawah digarap dan diolah oleh satu orang atau lebih
dari tanah itu ada yang dibuat bertingkat-tingkat atau datar saja dengan diberi
pematang sebagai penahan air. Pada mulanya tanah digarap dengan di bajak.
Gunanya adalah untuk membalik tanah sehingga dapat lebih mudah ditugali,
yaitu pekerjaan yang menghancurkan tanah dengan cangkul. Setelah kedua
proses penggarapan ini selesai, tanah didiamkan selama satu minggu, kemudian
baru diolah dengan garu. Maksudnya agar supaya tanah menjadi lunak dan
lumat. Dalam hal ini seluruhnya dibantu oleh pengairan. Setelah selesai digaru,
lalu diberi pupuk, ialah pupuk hijau dan juga pupuk kandang. Pupuk hijau terdiri
dari daun-daun pohon karang kitri. Sedangkan pupk kandang adalah kotoran
hewan sapi, kerbau, kuda atau kambing yang berasal dari kandang. Sesudah
diberi pupuk, tanah sawah dibiarkan lagi selama satu minggu sambil digenangi
air. Sebagai usaha pengolahannya yang terakhir, sawah sekali lagi dibajak supaya
dengan demikian semua lapisannya digenangi air dan terkena pupuk, kemudian
sekali lagi digaru. Akhirnya barulah tanah sawah tersebut siap untuk ditanami
padi.
Sebelumnya ditumbuhkan di sawah, bibit padi terlebih dahulu disebarkan
dan disemaikan dalam persemaian padi (pawinihan). Untuk itu butir-butir padi
yang akan dijadikan benih dipilih dahulu. Butir-butir yang dipilih ialah yang
masih dalam keadaan tumbuh atau melekat pada batangnya. Pekerjaan memilih
butir-butir padi bakal bibit ini oleh kalangan masyarakat di desa Pituruh ini
disebut nglinggori. Kemudian batang-batang padi yang berisi butir-butir yang
dipotong adalah sedang, artinya tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua.
Potongan-potongan batang tadi lalu diikat dalam beberapa ikatan (untingan).
Untingan-untingan ini lalu dijemur selama satu hari, kemudian butir-butirnya
digali dan dimasukkan ke dalam bakul besar disebut tenggok. Bakul atau tempat
T r a d i s i d e s a P i t u r u h K a b u p a t e n P u r w o r e j o | 14
penyimpanan bibit padi tersebut terus direndam air satu hari satu malam dan
setelah itu di-pep, yaitu ditutup dengan daun pisang sampai dua atau tiga hari.
Selanjutnya kalau sudah tumbuh akar-akarnya, maka bibit padi telah dapat
disebarkan di persemaian. Lamanya benih padi di dalam persemaian ini sampai
bisa dipindah ke sawah, adalah antara 15 sampai 30 hari. Pekerjaan pemindahan
tunas batang padi di sini dinamakan nguriti atau ndaut. 10
D. Sistem Pengetahuan
Salah satu bentuk sistem pengetahuan yanga ada, berkembang, dan masih
ada hingga saat ini, adalah bentuk penanggalan atau kalender. Bentuk kalender
Jawa menurut kami, adalah salah satu bentuk pengetahuan yang maju dan unik
yang berhasil diciptakan oleh para masyarakat Jawa kuno, karena penciptaanya
yang terpengaruh unsur budaya islam, Hindu-Budha, Jawa Kuno, dan bahkan
sedikit budaya barat. Namun tetap dipertahankan penggunaanya hingga saat ini,
walaupun penggunaanya yang cukup rumit, tetapi kalender Jawa lebih lengkap
dalam menggambarkan penanggalan, karena di dalamnya berpadu dua sistem
penanggalan, baik penanggalan berdasarkan sistem matahari (sonar/syamsiah)
dan juga penanggalan berdasarkan perputaran bulan (lunar/komariah).
Pada sistem kalender Jawa, terdapat dua siklus hari yaitu siklus 7 hari seperti
yang kita kenal saat ini, dan sistem panacawara yang mengenal 5 hari pasaran.
Sejarah penggunaan kalender Jawa baru ini, dimulai pada tahun 1625, dimana
pada saat itu, sultan agung, raja kerajaan mataram, yang sedang berusaha
menytebarkan agama islam di pulau Jawa, mengeluarkan dekrit agar wilayah
kekuasaanya menggunakan sistem kalender hijriah, namun angka tahun hijriah
tidak digunakan demi asas kesinambungan. Sehingga pada saat itu adalah tahun
1025 hijriah, namun tetap menggunakan tahun saka, yaitu tahun 1547.
Dalam sistem kalender Jawa pun, terdapat dua versi nama-nama bulan, yaitu
nama bulan dalam kalender Jawa matahari, dan kalender Jawa bulan. Nama-
nama bulan dalam sistem kalender Jawa komariah (bulan) diantaranya adalah
suro, sapar, mulud, bakdamulud, jumadilawal, jumadil akhir, rejeb, ruwah, poso,
sawal, sela, dan dulkijah. Namun, pada tahun 1855 M, karena sistem penanggalan
komariah dianggap tidak cocok dijadikan patokan petani dalam menentukan masa
bercocok tanam, maka Sri Paduka Mangkunegaran IV mengesahkan sistem
kalender berdasarkan sistem matahari. Dalam kalender matahari pun terdapat dua
belas bulan.11
E. Sistem Peralatan dan Teknologi
Sebagai suatu kebudayaan, suku Jawa tentu memiliki peralatan dan
perlengkapan hidup yang khas diantaranya yang paling menonjol adalah dalam
segi bangunan. Masyarakat yang bertempat tinggal di daerah Jawa memiliki ciri
sendiri dalam bangunan mereka, khususnya rumah tinggal. Ada beberapa jenis
rumah yang dikenal oleh masyarakat suku Jawa, diantaranya adalah rumah
limasan, rumah joglo, dan rumah serotong. Rumah limasan, adalah rumah yang
paling umum ditemui di daerah Jawa, karena rumah ini merupakan rumah yang
dihunu oleh golongan rakyat jelata. Sedangkan rumah Joglo, umumnya dimiliki
sebagai tempat tinggal para kaum bangsawan, misalnya saja para kerabat keraton.
Umumnya rumah di daerah Jawa menggunakan bahan batang bambu, glugu
(batang pohon nyiur), dan kayu jati sebagai kerangka atau pondasi rumah.
Sedangkan untuk dindingnya, umum digunakan gedek atau anyaman dari bilik
bambu, walaupun sekarang, seiring dengan perkembangan zaman, banyak juga
yang telah menggunakan dinding dari tembok. Atap pada umumnya terbuat dari
anyaman kelapa kering (blarak) dan banyak juga yang menggunakan genting. 12
F. Sistem Kesenian
Kesenian yang terdapat dalam kebudayaan Jawa sangat beraneka ragam,
mulai dari tari-tarian, lagu daerah, wayang orang, dan juga wayang kulit, serta
masih ada berbagai macam kesenian lainya. Yang pertama adalah tari-tarian.
Dalam bahasa Jawa, tari disebut dengan kata beksa yang berasal dari kata
ambeg dan esa kata tersebut mempunyai maksud dan pengertian bahwa
orang yang akan menari haruslah benar-benar menuju satu tujuan, yaitu
meyerahkan seluruh jiwanya pada tarian. Seni tari di Jawa sendiri mengalami
kejayaan pada masa kerajaan kediri, singasari, dan majapahit. Pada masa
sekarang ini, kota surakarta dianggap sebagai pusat seni tari, terutama di Keraton
Surakarta dan Pura Mangkunegaran.13
11 https://pemulungelitd19kk.wordpress.com/2013/09/30/kebudayaan-
masyarakat-jawa/
12 Ibid
13 Ibid
T r a d i s i d e s a P i t u r u h K a b u p a t e n P u r w o r e j o | 16
Tari Dolalak
Tarian yang paling terkenal di desa Pituruh dan khususnya di kabupaten
Purworejo adalah tari Dolalak. Tarian ini dipentaskan oleh beberapa penari
yang mengenakan kostum ala parjurit Belanda atau Prancis tempo dulu, dan
diiringi oleh alat musik seperti kentrung, rebana, kendang, kencer, dll.
Menurut legenda, tarian ini terinspirasi dari semangat perjuangan perang
rakyat aceh yang kemudian meluas ke daerah lain di nusantara. Kedua,
adalah berbagai macam kesenian rakyat yang dikenal di masyarakat Jawa,
baik Jawa Tengah maupun Jawa Timur.
G. Sistem Bahasa
Bahasa Jawa, sebagai bahasa ibu dan bahasa pergaulan sehari-hari
masyarakat desa Pituruh, ternyata di dalamnya pun dikenal berbagai macam
tingkatan dan undhak-undhuk basa. Sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu asing,
mengingat beberapa bahas lain yang berada dalam rumpun austronesia pun
dikenal undhak-undhuk dalam berbahasa. Terdapat tiga bentuk utama tingkatan
variasi bahasa Jawa, yaitu ngoko kasar, madya biasa, dan krama halus.
T r a d i s i d e s a P i t u r u h K a b u p a t e n P u r w o r e j o | 17
Namun , pada tingkat yang lebih spesifik lagi, terdapat 7 (tujuh) tingkatan dalam
berbahasa Jawa, diantaranya: ngoko, ngoko andhap, madhya, madhyantara,
kromo, kromo inggil, bagongan, kedhaton. Di antara masing-masing bentuk ini
terdapat bentuk penghormatan (ngajengake, honorific) dan perendahan
(ngasorake, humilific). Seseorang dapat berubah-ubah registernya pada suatu saat
tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan
oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain. Seorang anak yang bercakap-cakap
dengan sebayanya akan berbicara dengan varian ngoko, namun ketika bercakap
dengan orang tuanya akan menggunakan krama andhap dan krama inggil. Sistem
semacam ini terutama dipakai di Surakarta, Yogyakarta, dan Madiun. Dialek
lainnya cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa semacam ini. 14
Kesimpulan
Desa sebagai tempat kediaman yang tetap pada masyarakat orang jawa, di daerah
pedalaman, adalah suatu wilayah hukum yang sekaligus menjadi pusat pemerintahan
tingkat daerah paling rendah. Secara administratif desa langsung berada di bawah
kekuasaan pemerintah kecamatan dan terdiri dari dukuh-dukuh. Tiap-tiap wilayah wilayah
bagian desa ini diketuai oleh seorang kepala desa atau dukuh. Desa Pituruh, Kecamatan
Pituruh, Kabupaten Purworejo adalah sebuah desa disebuah kabupaten kecil di Jawa
Tengah. Secara Historis maupun ditinjau dari Epistimologis, nama Pituruh berasal dari
14 Ibid
T r a d i s i d e s a P i t u r u h K a b u p a t e n P u r w o r e j o | 18
kehebatan (tokoh linuwih) Tujuh Roh (7 Leluhur) yang cikal bakal di desa tersebut yang
berdomisili di tujuh pedukuhan. Ketujuh linuwih tersebut diyakini oleh warga adalah
kaum bangsawan dari Kerajaan Majapahit. Beliau diyakini sebagai para pengikut setia
dari Raja Majapahit (Raden Damarwulan). Seperti diketahui, dalam budaya Jawa ada
ungkapan Ilang sirno kertaning bumi, yang merujuk pada tahun 1400 M telah terjadi
peristiwa besar yang menyebabkan satu kerajaan terbesar di Jawa (tepatnya di Jawa
Timur) mengalami keruntuhan.