Anda di halaman 1dari 11

Qurban

Qurban atau Kurban (bahasa Arab ,)atau disebut juga Udhhiyah atau Dhahiyyah secara harfiah berarti hewan sembelihan. Sedangkan ritual Qurban adalah salah satu ritual ibadah pemeluk agama Islam, dimana dilakukan penyembelihan binatang ternak untuk dipersembahkan kepada Allah. Ritual kurban dilakukan pada bulan Dzulhijjah pada penanggalan Islam, yakni pada tanggal 10 (hari nahar) dan 11,12 dan 13 (hari tasyrik) bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha.

Latar belakang historis


Dalam sejarah sebagaimana yang disampaikan dalam Al Qur'an terdapat dua peristiwa dilakukannya ritual Qurban yakni oleh Habil (Abel) dan Qabil (Cain), putra Nabi Adam alaihis salam, serta pada saat Nabi Ibrahim akan mengorbankan Nabi Ismail atas perintah Allah.

Habil dan Qabil


Pada surat Al Maaidah ayat 27 disebutkan: Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa".

Ibrahim dan Ismail


Disebutkan dalam Al Qur'an, Allah memberi perintah melalui mimpi kepada Nabi Ibrahim untuk mempersembahkan Ismail. Diceritakan dalam Al Qur'an bahwa Ibrahim dan Ismail mematuhi perintah tersebut dan tepat saat Ismail akan disembelih, Allah menggantinya dengan domba. Berikut petikan surat Ash Shaaffaat ayat 102-107 yang menceritakan hal tersebut. 102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". 103. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). 104. Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, 105. sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. 106. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. 107. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar

Dalil tentang berkurban

Ayat dalam Al Qur'an tentang ritual kurban antara lain :

surat Al Kautsar ayat 2: Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah (anhar)

Sementara hadits yang berkaitan dengan kurban antara lain:


Siapa yang mendapati dirinya dalam keadaan lapang, lalu ia tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat Ied kami. HR. Ahmad dan ibn Majah. Hadits Zaid ibn Arqam, ia berkata atau mereka berkata: Wahai Rasulullah SAW, apakah qurban itu? Rasulullah menjawab: Qurban adalah sunnahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim. Mereka menjawab: Apa keutamaan yang kami akan peroleh dengan qurban itu? Rasulullah menjawab: Setiap satu helai rambutnya adalah satu kebaikan. Mereka menjawab: Kalau bulu-bulunya? Rasulullah menjawab: Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan. HR. Ahmad dan ibn Majah Jika masuk tanggal 10 Dzul Hijjah dan ada salah seorang diantara kalian yang ingin berqurban, maka hendaklah ia tidak cukur atau memotong kukunya. HR. Muslim Kami berqurban bersama Nabi SAW di Hudaibiyah, satu unta untuk tujuh orang, satu sapi untuk tujuh orang. HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi.

Hukum kurban
Mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabiin, tabiut tabiin, dan fuqaha (ahli fiqh) menyatakan bahwa hukum qurban adalah sunnah muakkadah (utama), dan tidak ada seorangpun yang menyatakan wajib, kecuali Abu Hanifah (tabiin). Ibnu Hazm menyatakan: Tidak ada seorang sahabat Nabi pun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.

Syarat dan pembagian daging kurban


Syarat dan ketentuan pembagian daging kurban adalah sebagai berikut :

Orang yang berkurban harus mampu menyediakan hewan sembelihan dengan cara halal tanpa berutang. Kurban harus binatang ternak, seperti unta, sapi, kambing, atau biri-biri. Binatang yang akan disembelih tidak memiliki cacat, tidak buta, tidak pincang, tidak sakit, dan kuping serta ekor harus utuh. Hewan kurban telah cukup umur, yaitu unta berumur 5 tahun atau lebih, sapi atau kerbau telah berumur 2 tahun, dan domba atau kambing berumur lebih dari 1 tahun. Orang yang melakukan kurban hendaklah yang merdeka (bukan budak), baligh, dan berakal. Daging hewan kurban dibagi tiga, 1/3 untuk dimakan oleh yang berkurban, 1/3 disedekahkan, dan 1/3 bagian dihadiahkan kepada orang lain.

Waktu berkurban Awal waktu

Waktu untuk menyembelih kurban (qurban) bisa di 'awal waktu' yaitu setelah shalat Ied langsung dan tidak menunggu hingga selesai khutbah. Bila di sebuah tempat tidak terdapat pelaksanaan shalat Ied, maka waktunya diperkirakan dengan ukuran shalat Ied. Dan barangsiapa yang menyembelih sebelum waktunya maka tidak sah dan wajib menggantinya . Dalilnya adalah hadits-hadits berikut: a. Hadits Al- ara bin Azib radhiyallahu anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: arangsiapa yang shalat seperti shalat kami dan menyembelih hewan qurban seperti kami, maka telah benar qurbannya. Dan barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat maka hendaklah dia menggantinya dengan yang lain. (HR. Al-Bukhari no. 5563 dan Muslim no. 1553) Hadits senada juga datang dari sahabat Jundub bin Abdillah Al- ajali radhiyallahu anhu riwayat Al-Bukhari (no. 5500) dan Muslim (no. 1552). b. Hadits Al-Bara` riwayat Al- ukhari (no. 5556) dan yang lainnya tentang kisah Abu urdah radhiyallahu anhu yang menyembelih sebelum shalat. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Kambingmu adalah kambing untuk (diambil) dagingnya saja. Dalam lafadz lain (no. 5560) disebutkan: arangsiapa yang menyembelih (sebelum shalat), maka itu hanyalah daging yang dia persembahkan untuk keluarganya, bukan termasuk hewan qurban sedikitpun. Akhir waktu Waktu penyembelihan hewan qurban adalah 4 hari, hari Iedul Adha dan tiga hari sesudahnya. Waktu penyembelihannya berakhir dengan tenggelamnya matahari di hari keempat yaitu tanggal 13 Dzulhijjah. Ini adalah pendapat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, Al-Hasan Al- ashri imam penduduk ashrah, Atha bin Abi Rabah imam penduduk Makkah, AlAuzai imam penduduk Syam, Asy-Syafii imam fuqaha ahli hadits rahimahumullah. Pendapat ini dipilih oleh Ibnul Mundzir, Ibnul Qayyim dalam Zadul Maad (2/319), Ibnu Taimiyah, Al-Lajnah Ad-Da imah (11/406, no. fatwa 8790), dan Ibnu Utsaimin dalam AsySyarhul Mumti (3/411-412). Alasannya disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu sebagai berikut: 1. Hari-hari tersebut adalah hari-hari Mina. 2. Hari-hari tersebut adalah harihari tasyriq. 3. Hari-hari tersebut adalah hari-hari melempar jumrah. 4. Hari-hari tersebut adalah hari-hari yang diharamkan puasa padanya. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Harihari tasyriq adalah hari-hari makan, minum, dan dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta ala. Adapun hadits Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif radhiyallahu anhu, dia berkata: Dahulu kaum muslimin, salah seorang mereka membeli hewan qurban lalu dia gemukkan kemudian dia sembelih setelah Iedul Adha di akhir bulan Dzulhijjah. (HR. Al-Baihaqi, 9/298) Al-Imam Ahmad rahimahullahu mengingkari hadits ini dan berkata: Hadits ini aneh. Demikian yang dinukil oleh Ibnu Qudamah dalam Syarhul Kabir (5/193). Wallahu alam. Menyembelih di waktu siang atau malam? Tidak ada khilafiah di kalangan ulama tentang kebolehan menyembelih qurban di waktu pagi, siang, atau sore, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta ala: Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan. (Al-Hajj: 28)

Mereka hanya berbeda pendapat tentang menyembelih qurban di malam hari. Yang rajih adalah diperbolehkan, karena tidak ada dalil khusus yang melarangnya. Ini adalah tarjih Ibnu Utsaimin rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Mumti (3/413) dan fatwa Al-Lajnah AdDa`imah (11/395, no. fatwa 9525). Yang dimakruhkan adalah tindakan-tindakan yang mengurangi sisi keafdhalannya, seperti kurang terkoordinir pembagian dagingnya, dagingnya kurang segar, atau tidak dibagikan sama sekali. Adapun penyembelihannya tidak mengapa. Adapun ayat di atas (yang hanya menyebut hari-hari dan tidak menyebutkan malam), tidaklah menunjukkan persyaratan, namun hanya menunjukkan keafdhalan saja. Adapun hadits yang diriwayatkan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma dengan lafadz: Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melarang menyembelih di malam hari. Al-Haitsami rahimahullahu dalam Al-Majma (4/23) menyatakan: Pada sanadnya ada Salman bin Abi Salamah Al-Janabizi, dia matruk. Sehingga hadits ini dhaif jiddan (lemah sekali). Wallahu alam. (lihat Asy-Syarhul Kabir, 5/194)

Menggali Hikmah Ibadah Qurban


Kita perlu menggali kembali hikmah ibadah kurban agar tidak terjebak dalam amalan lahiriah an sich karena dengan mengenali hikmah suatu ibadah kita dapat mengenali Pengalaman keruhanian sebagai inti rasa keagamaan atau religiusitas. Hal ini, bagi kaum sufi, memiliki tingkat keabsahan yang paling tinggi. Dalam Islam, kurban[1] tidak berawal dari mitos, sebagaimana pengorbanan agama-agama KunoYunani, Mesir, dan India atau agama Maya di Meksikoterhadap para Dewa/ Tuhan dengan cara meninggalkan cabang bayi di atas bukit atau melemparkan gadis suci ke dalam sungai keramat. Dalam Islam, kurban adalah wujud kepasrahan total, pengabdian dan kesalehan hamba. Bagi yang memahami simbol Langit, kisah Ibrahim yang hendak mengorbankan anaknya adalah, selain kepasrahan dan pengabdian total, juga bentuk kritik Tuhan terhadap mitos bumi. Yang sering terlupakan dalam ibadah kurban adalah bahwa ada dua dimensi yang harus berjalan bersamaan: ilahiyyah dan insaniyyahatau hablum minaLlah (hubungan vertikal) dan hablum minannas (hubungan horizontal). Tegasnya, selain kepasrahan, kurban juga harus membawa manfaat bagi manusia (sosial). Bila kita menilik ke belakang, kurban sudah ada sejak sepasang suami-istri pertama di bumi. Ia muncul dalam suasana persaingan antara Qabil dan Habil. Kepada kedua anaknya, Adam memaklumkan berkurban. Bagi yang diterima, ia berhak mempersunting Iqlima, saudari kandung Qabil. Merasa kalah dalam kompetisi, dengan mata menyala bagai api, Qabil mengintimidasi, Saya akan membunuhmu. Dan dengan nada teduh Habil mengingatkan, Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertaqwa (Q.S. Al-Maidah: 27). Pada ruang yang tak sama dan waktu yang berbeda Alquran merekam peristiwa lain: seorang ayah bermimpi selama tiga malam berturut-turut agar menyembelih anaknya. Dengan suara berat, ia teguhkan hati menyampaikan mimpi-nya pada si buah hati. Tak disangka, anaknya malah menantang sang ayah, Saya siap; satajiduni insy? Allah-u min al sh?bir?n. (Q.S. Ash Shoffaat: 102). Ibadah kurban beda dengan mitos (baca: agama) kuno. Ia adalah pengejawantahan dari pengabdian total dan kesalehan hamba pada Langit. Kurban Qabil tak diterima karena

tanpa didasari ketakwaan pada Tuhan (=tanpa hubungan vertikal). Berbeda dengan Habil: ia berkurban dengan ketakwaan dan kepasrahan total, dan mengurbankan domba yang baik (=hubungan vertikal dan horizontal). agi yang memahami simbol Langit, kisah Ibrahim yang hendak mengorbankan anaknya, adalah bentuk kritik Tuhan terhadap mitos bumi. Tuhan sama sekali tidak serius memerintah Ibrahim untuk menyembelih anaknya. Melalui monolog itu Allah mengkritik tradisi dan sosio-kultur masyarakat saat itu yang mengorbankan nyawa manusia untuk sesembahan mereka. Tuhan tidak serius meminta Ibrahim mengurbankan anaknya. Tuhan hanya menguji kepasrahan Ibrahim terhadapnya dengan mengorbankan anak yang sejak kecil ia tinggalkan di tanah tandus: ya Ibrahim-u lam yakun al murad-u dzab-ha al waladi, wa innama al murad-u an tarudd-a qalbak-a ilaina. Falamm-a radad-ta qalba-ka bikulliyatih-i ilaina, radad-na walada-ka ilai-ka.[2] Dengan kritik itu pula, sekaligus Tuhan mengajak Ibrahim untuk membumikan pengorbanan yang humanis; sebuah pengorbanan yang tak hanya berhubungan dengan Tuhan tapi juga membawa manfaat bagi manusiabukan malah membinasan manusia. Nyawa tidak boleh dikorbankan meskipun terhadap tuhan. Kedatangan malaikat membawa seekor kambing pada Ibrahim sebagai ganti anaknya,[3] jelas menegasikan bentuk pengorbanan yang sudah mengakar saat itu. Dari pesan Allah pada Ibrahim yang saya kutip di atas, jelas Ia tidak pernah meminta daging atau darah tapi pra-syarat-nya, yaitu ketakwaan dan kepasrahan. Lihat pesan Langit: Falamm-a radad-ta qalba-ka ilaina, radad-na walada-ka ilai-ka. Pesan ini sudah tak samar lagi bahwa ketika seseorang ikhlas memasrahkan hati (=hewan kurban) pada-Nya, maka yang ia terima adalah hati itu, bukan daging dan darahnya. Dalam konteks kekinian, Allah tak pernah meminta dikasih sesajen daging atau darah hewan yang disembelih tapi ketakwaan, keikhlasan, dan kepasrahan orang yang berkurban[4], sepertisekali lagi saya mengutip namaIbrahim mengorbankan anaknya. Sedangkan dagingnya dibagikan secara adil pada yang berhak: sepertiga untuk yang berkurban, sepertiga lagi untuk kerabat dan sahabat walaupun orang kaya, dan sisanya untuk fakir miskin[5]. Inilah sisi sosial ibadah kurban: semua dapat merasakan tanpa membedakan status sosial. Sehingga mereka dapat merasakan kesempurnaan hari raya Idul Adha dan Tasyriq dalam kesetaraan dan, bagi fakir miskin, sesekali dapat menikmati makanan orang kaya. Selain itu, ibadah kurban juga memberi rezeki tahunan para peternak dan/ atau penggembala domba. Misalnya, bila biasanya hanya 34 ekor domba yang terjual perbulan, pada Idul Adha bisa tiga sampai empat kali lipat. Dengan demikian, orang yang berkurban membantu membantu perekonomian peternak domba. Dengan kata lain, si kaya, peternak, dan orang miskin, semua turut berperan dalam ibadah kurban. Dalam skala yang lebih besar, ibadah kurban dapat memberikan masukan kas negara tak bisa dibilang sedikit. Kita ambil contoh, berapa juta ekor domba yang disembelih di Arab Saudi? Bila Indonesia mampu mengekspor domba atau sapi ke sana tentu ini dapat memberikan masukan bagi kas negara yang tak bisa dibilang sedikit. Siapkah? Sayangnya, kita orangorang rapuh. Jangankan ekspor domba, beras pun masih mengimpor padahal sawah di negeri ini tak bisa dibilang sedikit. Ironis, bukan? Kenapa? Terhadap pertanyaan terakhir saya hanya mau berkomentar: terkadang kita terpaksa tunduk pada misteri?

*** Maka dari itu, kita perlu menggali kembali hikmah ibadah kurban agar tidak terjebak dalam amalan lahiriah an sich karena dengan menggali hikmah suatu ibadah kita dapat mengenali, mengutip Nurcholis Madjid, Pengalaman keruhanian sebagai inti rasa keagamaan atau religiusitas. Hal ini, bagi kaum sufi, memiliki tingkat keabsahan yang paling tinggi. Sebab, hikmah ibarat madu; kita tak bisa merasakan manisnya madu sebelum mencicipinya. Kita pun tak dapat merasakan nikmatnya beribadah (dalam konteks ini: ibadah kurban) tanpa mengenali hikmah ibadah yang kita kerjakan. Kita perlu menggali kembali hikmah ibadah kurban karena ia rumusan yang ringkas dari ikhtiar menjalin solidaritas sosial dan tenggang rasa dalam bangsa yang multi-kultur. Dengan kata lain, kita perlu beribadah kurban untuk mengukuhkan, bahwa disadari atau tidak, mau tak mau, kita hidup bermasyarakat. Kita beribadah kurban, kita pun mengukuhkan solidaritas sosial. Dengan demikian, Islam sebagai rahmat lil alamin tak sebatas retorika. [] Dipublikasikan pertama kali di, Elwaha, Nopember 2009 Dimuat ulang: http://kedungwungu.com/index.php?option=com_content&view=article&id=31%3Amenggal i-hikmah-ibadah-qurban&catid=7%3Afikih-kontemporer&Itemid=2 *) Mahasiswa International Islamic Call College, pemimpin umum jurnal Pemikiran dan Peradaban Mediaka, dan koordinator Lajnah Talif Wan Narys PCI NU Libya. Lebih lengkap tentang dan pemikiran penulis, kunjungi www.achmadmuntaha.co.cc dan www.kedungwungu.com **) fragmen ini hanya gagasan, pembaca bisa setuju, boleh menolak. Kita bisa mendiskusikannya di blog saya. [1] Dalam khazanah hukum Islam tidak ditemukan kata kurban, tapi al udhiyah. Secara leksikal, derivasi qurban dari qoruba-yaqrubu-qurban-waqurb?nan-waqirb?nan, artinya dekat. Lihat: Ibn Mandzur. 1999. Lisan Al Arab. Cetakan-3. Baerut-Dar Ehia Al Tourath Al Arabi. Juz 11. Hal. 86. Mungkin karena tujuan penyembelihan hewan (al udhiyah) untuk mendekatkan diri pada Allah, maka term qurban lebih akrab dari pada al udhiyah yang merupakan istilah dalam khazanah hukum Islam, fikih. [2] Al Qurthubi, Abi Abdillah Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Ai akr. 2006. Al Jami-u Al Quran-i Al Karim-i: wa Al Mubayyin-u lima tadlammana-hu min-a al sunnat-i wa ?yi Al Furq?n-i. Cetakan-Pertama. Baerut: Al Resalah Publishers. Juz XVIII. Hal. 71 [3] Ulama masih tarik-ulur anak yang akan disembelih. Mayoritas riwayat yang mengatakan ia adalah Ishaq a.s., diantara perawi ini adalah Al Abbas Ibn Abdul Muthallib dan anaknya, Abdullah. Sedangkan menurut Abu Hurairah r.a. anak yang akan dijadikan kurban ialah Ismail a.s. Ibid hal. 61-65. [4] Q.S Al H?jj: 37. [5] Al Zuhaili, Wahbah. 1997. Fiqh-u Al Islam Wa Adillatuh-u. Cetakan-4. Damascus: Darl El FIkr. Juz-IV. Hal. 27392740.

Hikmah Qurban
REP | 02 May 2012 | 19:17 Dibaca: 67 Komentar: 7 1 dari 1 Kompasianer menilai aktual

Sebuah Kisah Anak Manusia Nan Elok ( Disarikan dari buku Ibrahim Sang Sahabat Tuhan; Karya Abu Yahya Jerald F. Dirk, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta 2004 ) Syahdan, ribuan tahun yang lampau. Seorang kakek tua menerima sebuah mimpi yang aneh dan menyesakkan hati, yakni perintah untuk menyembelih putranya sendiri, sebagai qurban persembahan kepada Allah. Kakek tua itu kemudian kita kenal sebagai Nabi Ibrahim a.s. dan anak yang disuruh untuk dikorbankan tersebut adalah Nabi Ismail a.s. yang kala itu baru berusia sekitar 13 tahun. Setelah terbangun karena mimpi tersebut, kakek Ibrahim tentu merasa masygul dan gelisah. Betapa tidak? Allah menghadirkan putra bagi Nabi Ibrahim setelah berusia hampir 90an tahun. Kini, setelah sang anak memasuki usia remaja, dimana muncul sebuah pengharapan besar agar menjadi partner dakwah dan melanjutkan misi kenabian, tiba-tiba diperintahkan begitu saja untuk disembelih. Apa nggak salah tuh mimpi? Masa` sih tu mimpi wahyu dari Allah? Mungkin begitu pertanyaan awal yang berkecamuk dikepala kakek Ibrahim. Namun, setelah mimpi serupa hadir untuk yang ketiga kalinya, barulah sang kekasih Allah ini yakin, bahwa mimpi tersebut datang dari Dzat yang dicintainya. Pada keesokan hari, segera dipanggil putra kesayangannya. Ibrahim bukanlah tipikal ayah yang sangar dan semena-mena terhadap anak. Sebagai seorang pimpinan yang bijak, Ibrahim berusaha mengukur kesiapan diri orang yang dipimpinnya, dengan cara memaparkan apa yang dilihatnya dan menanyakan pendapat serta jawaban dari Ismail. Maka, Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang sangat sabar. Maka, tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata : Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka, fikirkanlah apa pendapatmu! Ia menjawab : Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; jika Allah mengizinkan, kamu akan mendapatiku termasuk orangorang yang sabar. (QS.Shoffat 37;101-102). Begitulah jawaban Ismail. Sebuah hasil pendidikan pemahaman ma`rifatullah yang sempurna tentunya. Mereka berdua segera bergegas menjalankan perintah Allah Swt tersebut. Bukan Iblis la`natullah `alihi namanya juka sampai tinggal diam menyaksikan hamba yang demikian patuh kepada perintah Rabb-nya. Dalam perjalanan menuju tempat penyembelihan, Iblis kemudian menghampiri Nabi Ibrahim. Keduanya terlibat adu argumentasi mengenai validitas kebenaran mimpi tersebut. Iblis mencoba meyakinkan bahwa mimpi tersebut bukan dari Allah. Namun, Ibrahim membantah, sebab bukan kali ini saja beliau berinteraksi dengan Allah. Bisa jadi Nabi Ibrahim sangat hafal dengan kehendak Allah yang seringkali tidak masuk akal dan bertentangan dengan nafsu manusiawi. Perdebatan akhirnya usai, dengan keyakinan Nabi Ibrahim yang keluar sebagai pemenangnya. Skor tercetak satu kosong untuk kekalahan Iblis. Namun Iblis tidak menyerah begitu saja karena Iblis adalah makhuq yang istiqomah dengan tugasnya. Gagal dengan sang ayah, giliran sang anak yang jadi sasaran. Segera ditebarkan ide-ide yang menggelitik akal, agar Ismail memikirkan kembali dan merevisi jawabannya. Namun, ketika hati manusia telah terisi full tank dengan keagungan asma Allah, maka tak perlu lagi mempertimbangkan sebuah niat yang telah bulat dan pantang mencabut kembali semboyan sami`na wa atho`na yang telah terucap. Dua kosong untuk kekalahan Iblis, yang mungkin segera pergi dengan garuk-garuk kepala tak habis pikir, kenapa abege Ismail sudah bisa sedemikian hanif dalam menjalankan niat ya..? Tunggu dulu.cerita belum usai, masih ada satu tokoh lagi yang sering terabaikan begitu saja dalam kisah-kisah tentang qurban; kita selama ini telah melupakan teladan dari Ibu Hajar!. Sebagai seorang istri, perintah Allah tersebut tentu menimbulkan gejolak batin yang ruwet.

Sebagaimana kisah seluruh anak manusia, Iblis la`natullah `alihi selalu kreatif dalam memanfaatkan segala celah-celah yang ada di hati. Diperkirakan, sebelum Nabi Ibrahin dan Nabi Ismail pergi jauh menuju tempat penyembelihan, Iblis berusaha menyelinap dibalik haru biru perasaan seorang ibu ini, dan memprovokasi Ibu Hajar agar segera berlari mengejar, dan melancarkan pemberontakan aqidah kepada suaminya. Namun, semenjak dihadiahkan oleh Fir`aun sebagai budak Ibu Saroh (Istri pertama Nabi Ibrahim), hati Ibu Hajar telah lama terlatih oleh tempaan pemahaman tauhid. Ibu Hajar juga pernah ditinggalkan sendirian bersama bayi Ismail dipadang Bakkah (sekarang Makkah), hanya berbekal keyakinan akan perlindungan dari Allah Ta`ala, 13 tahun sebelum mimpi menakutkan ini datang. Berikut petikan drama yang menggetarkan jiwa orang-orang yang ingin mendekat kembali kepada Allah, dan berusaha mengikuti jejak kekasih-kekasih Allah: .Ibrahim akhirnya menaruh Siti Hajar dan Ismail dibawah pohon, dan ia kemudian memberikan tempat air dan tas kulit berisi kurma pada istrinya. Lalu, Ibrahin tampaknya berbalik secara diam-diam dan mulai berjalan meninggalkan mereka. Ketika Ibrahim semakin jauh berjalan, Siti Hajar tampaknya menjadi cemas mengenai apa yang akan terjadi. Ia kemudian meninggalkan Ismail sebentar dibawah naungan pohon, berdiri, berlari menyusul Ibrahim, dan memanggil namanya (AL-Bukhari 4:583-584).Ibrahim tidak menghentikan perjalanannya, tidak menengok, dan tidak pula mengatakan sepatah katapun. Mungkin kepedihannya terlalu dalam sehingga ia tidak bisa berbicara saat itu. Tapi, Siti Hajar tetap mengejarnya sambil berteriak, Wahai Ibrahim, engkau akan pergi kemana? Apakah kamu akan meninggalkan kami dilembah ini, dia tidak ada seorangpun teman atau apapun juga? Ibrahim tak bergeming dan tetap berjalan meninggalkan Mekkah tanpa menengok atau bicara. Karena tidak mendapatkan tanggapan, Siti Hajar meninggikan suaranya untuk bertanya kepada Ibrahim, Apakah Allah memerintahkanmu berbuat demikian? Setelah mendengar pertanyaan itu, Ibrahim berhenti dan mengiyakan pertanyaan itu. Allah telah memerintahkan Ibrahim untuk meninggalkan Siti Hajar dan Ismail dilembah ini (Al-Bukhari 4;583). Setelah mmendapatkan jawaban itu, Siti Hajar hanya punya satu pertanyaan, Wahai Ibrahim, kepada siapa engkau meninggalkan kami? Aku menitipkanmu pada perlindungan Allah. Pada saat itu, terlepas dari berbagai pertanyaan tak terjawab yang memenuhi benaknya, keimanan dan kepatuhan Siti Hajar yang teguh kepada Allah langsung memegang kendali. Ucapan selamat tinggalnya kepada suaminya itu singkat, meski mengandung banyak makna mengenai sifat dan komitmen spiritualnya kepada Allah, Aku ridho bersama Allah ( Al-Bukhari 4:584). Sehingga wajar jika tipuan Iblis yang menyatakan bahwa mimpi itu bukan dari Allah, serta mengajak Ibu Hajar memprotes dan menuntut suaminya, akhirnya gatot alias gagal total. Tiga kosong skor kekalahan untuk Iblis. Kembali kepada Ibrahim dan Ismail, setelah sampai di tempat tujuan dan segala persiapan beres, Nabi Ismail segera dibaringkan. Hingga pisau tajam menempel di leher Ismail, keyakinan ayah dan anak ini tak sedikitpun goyah karena terganggu oleh detak jantung masing-masing, yang tentunya berdegup jauh diatas normal. Keimanan mereka kepada Allah demikian teguh sempurna. Ketika pisau akan digerakkan untuk memotong leher Ismail, kemudian terdengarlah suara: Dan Kami panggillah dia;Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.Sesungguhnya ini benarbenar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) dikalangan orang-orang yang datang kemudian. Yaitu Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim. Demikianlah, Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hambahamba Kami yang beriman. (QS.37;104-111).

MAKNA IDUL ADHA BAGI KEHIDUPAN


General category

?Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nimat yg banyak. Maka dirikanlah salat krn Tuhanmu dan sembelihlah hewan . Sesungguhnya orang-orang yg membenci kamu dialah yg terputus? Pemberian nimat oleh Allah kepada manusia tak terhingga. Anak isteri dan harta kekayaan adl sebagian nimat dari Allah. Kesehatan dan kesempatan juga nimat yg sangat penting. Manusia juga diberi nimat pangkat kedudukan jabatan dan kekuasaan. Segala yg dimiliki manusia adl nimat dari Allah baik berupa materi maupun non materi. Namun bersanmaan itu pula semua nimat tersebut sekaligus menjadi cobaan atau ujian fitnah atau bala? bagi manusia dalam kehidupannya. Allah berfirman ?Dan ketahuilah bahwasanya harta kekayaanmu dan anak-nakmu adl fitnah . Dan sesungguhnya Allah mempunyai pahala yg besar?. Meskipun Allah memberikan nimat-Nya yg tak terhingga kepada manusia tetapi dalam kenyataan Allah melebihkan apa yang diberikan kepada seseorang daripada yg lain. Sehingga ada yg kaya raya cukup kaya miskin bahkan ada yang menjadi seorang papa gelandangan berteduh di kolong langit. Demikian juga ada yg menjadi penguasa ada yg rakyat jelata. Ada pimpinan/ kepala dan ada bawahan / anak buah. Ini semua juga dalam rangka cobaan bagi siapa yang benar-benar mukmin dan siapa yg hanya mukmin di bibir saja. Salah satu bukti bahwa seorang mukmin telah lulus cobaan dalam nimat harta kekayaan adl ia dgn ikhlas mengunakannya utk ibadah haji. Sehingga bagi orang demikian akan memperoleh haji yg mabrur. Sedang haji mabrur pahalanya hanyalah surga sebagaimana sabda Nabi SAW ?Orang yg dapat mencapai haji yg mabrur tiada pahala yg pantas baginya selain surga?. . Betapa gembira dan bahagianya orang kaya yg dapat mencapai haji mabrur demikian. Belum lagi jika ia sempat salat berjamaah di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi maka tiada terkira lagi pahalanya. Namun ini konteksnya adl orang yang kaya. Sedang orang yg tidak mampu / miskin tidak perlu berkecil hati. Bagi kita yg tidak mampu maka konteksnya terkandung dalam hadis Nabi SAW berikut Hajinya orang yg tidak mampu adalah berpuasa pada hari Arafah .? Itulah maka sangat disayangkan bila di antara kita ada yg menyia-siakan kesempatan dari Allah yakni tidak mau berpuasa pada tanggal 9 Zul Hijjah yg disebut puasa Arafah itu. Cobaan tentang harta kekayaan juga berkaitan dgn pelaksanaan ibadah udhiyah yakni menyembelih hewan yang terkenal dgn hewan qurban di hari raya. Karena pada hari ini Allah mensyariatkan utk ber-udhiyah {menyembelih hewan} maka hari raya ini disebut dgn hari raya Adha wa biha sumiya yaumal-adha. Demikian juga penjelasan Rasulullah SAW ?Hari raya fitrah adl pada hari manusia berbuka menyudahi puasa Ramadan. Sedangkan hari raya Adha adl pada hari manusia ber-udhiyah ? .

Maka salah satu bukti lagi bahwa seseorang lulus dari cobaan harta adl ia dgn ikhlas mau mengunakannya untuk ber-udhiyah baik itu berupa sapi kerbau maupun kambing. Ini tergantung pada kemampuan masing-masing. Seekor kambing boleh digunakan utk satu orang beserta keluarga seisi rumahnya. Sedang sapi / kerbau boleh utk tujuh orang beserta keluarga seisi rumah mereka masing-masing. Daging sembelihan ini termasuk syiar agama yakni utk dimakan menjamu tamu diberikan kepada yg meminta atau yg tidak meminta {orang mampu}. Daging ini juga boleh disimpan utk dimakan hingga hari tasyrik . Allah berfirman ?Makanlah sebagiannya dan utk memberi makan orang yg tidak meminta dan orang yg meminta?. {QS. Al-Hajj 36}. Sementara Nabi bersabda ?Makanlah utk memberi makan dan simpanlah !? Sementara itu cobaan besar terhadap sesuatu yg dimiliki manusia pernah dialami Abul Anbiya? Khalilurrahman Ibrahim AS. Beliau telah lulus ujian atau cobaan dari Allah. Hal ini didokumentasikan dalam Al-Qur?an ?Dan ketika Ibrahim diberi cabaan oleh Tuhannya dgn beberapa kalimat lalu Ibrahim lulus dalam cobaan itu. Allah berfirman ?Sesungguhnya Aku menjadikan kamu hai Ibrahim Imam semua manusia ..?. ? Kelulusan Ibrahim tidak hanya dalam melaksanakan perintah Allah tetapi juga dalam kebijaksanaannya menyampaikan perintah itu kepada anaknya yg sangat dicintainya. Beliau tidak langsung mengambilnya tiba-tiba dan tidak pula mencari kelengahan atau dgn taktik menculik teror dan intimidasi. Meskipun Ibrahim memiliki massa yg banyak tetapi beliau tidak menggunakan massa agar anaknya bertekuk lutut di hadapannya. Perintah Allah disampaikannya dgn transparan penuh argumentasi Ilahiah. Sedangkan Ismail anak yg patuh dan mengerti kedudukan orang tuanya dan posisinya sebagai anak ia tidak membangkang dan tidak bimbang. Ismail memberikan jawaban yg memancarkan keimanan tawaddu? dan tawakkal kepada Allah bukan utk menonjolkan kepahlawanan atau kegagahan mencari popularitas. Ia tidak melakukan unjuk rasa yang konfrontatif tanpa mengindahkan akhlakul karimah atau dgn kekerasan utk memprotes kehendak bapaknya. Sungguh dua tokoh bapak dan anak ini merupakan uswah hasanah bagi umat manusia. Bahkan syariat Nabi Muhammad SAW merupakan syariat yg dulunya telah diwahyukan Allah kepada Ibrahim . Maka kita menyembelih hewan qurban di hari ?Idul Adha ini termasuk meneladani sunnah Ibrahim sebagaimana sabda Nabi SAW ?Sunnatu abikum Ibrahim.? . ?Idul Adha memiliki makna yg penting dalam kehidupan. Makna ini perlu kita renungkan dalam-dalam dan selalu kita kaji ulang agar kita lulus dari berbagai cobaan Allah. Makna ?Idul Adha tersebut
Menyadari kembali bahwa makhluk yg namanya manusia ini adl kecil belaka betapapun berbagai kebesaran disandangnya. Inilah makna kita mengumandangkan takbir Allahu akbar ! Menyadari kembali bahwa tiada yg boleh di-Tuhankan selain Allah. Menuhankan selain Allah bukanlah semata-mata menyembah berhala seperti di zaman jahiliah. Di zaman globalisasi ini orang dapat menuhankan tokoh lebih-lebih lagi si Tokoh itu sempat menjadi pucuk pimpinan partainya menjadi presiden/wakil presiden atau ketua lembaga perwakilan rakyat.

Orang sekarang juga cenderung menuhankan politik dan ekonomi. Politik adalah segalagalanya dan ekonomi adl tujuan hidupnya yg sejati. Bahkan HAM menjadi acuan utama segala gerak kehidupan sementara HAT diabaikan. Inilah makna kita kumandangkan kalimah tauhid La ilaha illallah ! Menyadari kembali bahwa pada hakikatnya yg memiliki puja dan puji itu hanyalah Allah. Maka alangkah celakanya orang yg gila puja dan puji sehingga kepalanya cepat membesar dadanya melebar dan hidungnya bengah bila dipuji orang lain. Namun segera naik pitam wajah merah dan jantung berdetak melambung bila ada orang yang mencela mengkritik dan mengoreksinya. Inilah makna kita kumandangkan tahmid Wa lillahil-hamd ! Menyadari kembali bahwa manusia ini ibarat sedang melancong atau bepergian yg suatu saat rindu utk pulang ke tempat tinggal asal yakni tempat yg mula-mula dibangun rumah ibadah bagi manusia Ka?bah Baitullah. Inilah salah satu makna bagi yg istita?ah tidak menunda-nunda lagi berhaji ke Baitullah. Di sini pula manusia disadarkan kembali bahwa pada hakikatnya manusia itu satu keluarga dalam ikatan satu keimanan. Siaopa pun dia dari bangsa apapun adl saudara bila ia mukmin atau muslim. Tetapi bila seseorang itu kafir adl bukan saudara kita meskipun dia lahir dari rahim ibu yg sama. Maka orang yg pulang dari haji hendaknya menjadi uswah hasanah bagi warga sekitarnya tidak membesar-besarkan perbedaan yg dimiliki sesama muslim terutama dalam hal yg disebut furu?iyah. Menyadari kembali bahwa segala nimat yg diberikan Allah pada hakikatnaya adl sebagai cobaan atau ujian. Apabila nimat itu diminta kembali oleh yg memberi maka manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Hari ini jadi konglomerat esok bisa jadi melarat dgn hutang bertumpuk jadi karat. Sekarang berkuasa lusa bisa jadi hina tersia-sia oleh massa. Kemaren jadi kepala kantor dgn mobil Timor entah kapan mungkin bisa jadi bahan humor krn naik sepeda bocor. Sedang nimat yg berupa harta hendaknya kita ikhlas utk berinfaq di jalan Allah seperti utk ber-udhiyah . Percayalah dalam hal harta apabila kita ikhlas di jalan Allah niscaya Allah akan membalasnya dgn berlipat ganda. Tetapi jika kita justru kikir pelit tamak bahkan rakus tunggulah kekurangan kemiskinan dan kegelisahan hati selalu menghimpitnya.

Akhirnya semoga ?Idul Adha dgn berbagai ibadah yg kita laksanakan sekarang ini dapat membangunkan kembali tidur kita . Kemudian kita berihtiar lagi sekuat tenaga utk memperbanyak amal saleh sebagai pelebur amal-amal buruk selama ini. Amin ! Oleh Drs. Syafii Salim Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia ( )(

Anda mungkin juga menyukai