Dikisahkan pada akhir tahun 1425 masehi , Syekh Datuk Shaleh beserta
istrinya sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam
kandungan ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban inilah, sambil berdagang
Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaran Islam yang sudah beberapa
lama tersiar di seantero bumi Caruban, bersama- sama dengan ulama kenamaan
Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di
Caruban, pada tahun awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat. Setelah
kelahiran sayyid hasan Ali, yang ketika itu menginjak usia 3 bulan Ibundanya
juga meninggal dunia. Lantaran peristiwa menyedihkan itulah Syekh Siti Jenar
kecil diasuh oleh Ki Danu Sela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran
Walangsungsang yang sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh Datuk
Kahfi.
Terlahir sebagai sayid, Syaikh Siti Jenar juga memiliki banyak nama alias, seperti
San Ali (nama kecil pemberian orangtua angkatnya), Syaikh Abdul Jalil (nama yang diperoleh
di Malaka, setelah menjadi ulama), Syaikh Jabaranta (nama yang dikenal di Palembang,
Sumatera dan daratan Malaka), Prabu Satmata (Gusti yang nampak oleh mata; juga nama
yang diperkenalkan kepada murid dan pada murid dan pengikutnya), Syaikh Lemah Abang
atau Lemah Bang (gelar yang diberikan masyarakat Lemah Abang), Syaikh Lemah Uler,
Pangran Panjunan, Sunan Sasmita (nama dalam Babad Cirebon, seperti yang ditulis oleh
Hadisutjipto), Syaikh Siti Bang, serta Syekh Siti Brit; Syekh Siti Luhung (nama-nama yang
diberikan masyarakat Jawa Tengah, Sunan Kajenar (dalam sastra Islam-Jawa versi
Ranggawarsita, Syaikh Wali Lanang Sejati, Syaikh Jati Mulya, Syaikh Sunyata Jatimurti
Susuhunan ing Lemah Abang.
Kisah tentang keluarga Syekh Siti Jenar sendiri menurut beberapa cerita yang
ada baik dalam buku atau getuk tular masyarakat bahwa syeh siti jenar,
mempunyai dua putra, dari pernikahannya dengan wanita Gujarat, yang pertama
bernama Abdul Qadir Alias Syaikh Datuk Bardut dan Abdul Qahar alias Syaikh Datuk
Fardun.
Diketahui juga bahwa Syekh Siti Jenar yang memiliki nama kecil San Ali
dan kemudian dikenal sebagai Syaikh ‘Abdul Jalil adalah putra seorang ulama
asal Malaka, Syaikh Datuk Shaleh bin Syaikh Isa Alawi bin Ahmadsyah Jalaludin
Husain bin Syaikh Abdullah Khannuddin bin Syaikh ‘Abdul Malik al -Qazam.
Maulana ‘Abdullah bin Syaikh Sayid Khannuddin adalah putra Syaikh ‘Abdul
Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah seorang Syaikh kalangan
Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yang berasal dari Handramaut. Qazam
adalah sebuah distrik berdekatan dengan kota Tarim di Hadramaut. Syekh Abdul
Malik adalah putra Syaikh Alawi, salah satu keluarga utama keturunan ulama
terkenal Syaikh Isa al-Muhajir al-Bashari al-Alawi, yang semua
keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia, menyiarkan agama Islam.
Dengan Urutan Nasab sebagai berikut :
Berdasarkan pada beberapa sumber bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal sekitar
tahun 1515 Masehi. Dan dimakamkan dibawah Masjid Agung Demak.
Menurut versi lain, Syekh Siti Jenar dimakamkan di Klematen, Cirebon.
Makam itu berada di tengah pemakaman umum, di dalam bangunan sederhanan
dan gelap seluas 5 kali 5 meter. Makam Syekh Siti Jenar berada ditengah, diapit
oleh makam dua muridnya, Pangeran Jagabayan di sebelah kanan dan
Pangeran Kejaksan di sebelah kiri.
Keilmuan syeh siti jenar sendiri berdasarkan pada beberapa sumber riwyat
bahwa, Setelah diasuh oleh Ki Danusela sampai usia 5 tahun, pada sekitar tahun
1431 Masehi, Syekh Siti Jenar kecil atau San Ali diserahkan kepada Syekh
Datuk Kahfi, pengasuh Pedepokan Giri Amparan Jati, agar dididik agama Islam
yang berpusat di Cirebon oleh Kerajaan Sunda.
Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi
keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon
yang saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan sebagai basis
antarlintas perdagangan dunia waktu itu. Saat itu Cirebon dengan Padepokan
Giri Amparan Jatinya yang diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan
Malaka, Syekh Datuk Kahfi, yang telah mampu menjadi salah satu pusat
pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu alat atau nahwu shorof, serta
tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali atau syeh siti jenar mempelajari berbagai
bidang ilmu agama Islam dengan sepenuh hati, di sertai dengan pendidikan
otodidak bidang spiritual. Di Padepokan Giri Amparan Jati ini, San Ali
menyelesaikan berbagai pelajaran keagamaan, terutama Nahwu, Shorof,
Balaghoh, Ilmu Tafsir, Musthalah Hadist, Ushul Fiqih dan manthiq. Syeh siti
jenar menjadi santri generasi kedua. Sedang yang akan menjadi santri generasi
ketiga adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Dari Pajajaran San Ali melanjutkan pengembaraannya menuju Palembang,
menemui Aria Damar, seorang adipati, sekaligus pengamal sufi-kebatinan,
santri Maulana Ibrahim Samarkandi. Pada masa tuanya, Aria Damar bermukim
di tepi sungai Ogan, Kampung Pedamaran.Diperkirakan Syekh Siti Jenar berguru
kepada Aria Damar antara tahun 1448 sampai 1450 Masehi bersama Aria
Abdillah ini, San Ali mempelajari pengetahuan tentang hakikat ketunggalan
alam semesta yang dijabarkan dari konsep “nurun ‘ala nur” (cahaya Maha
Cahaya), atau yang kemudian dikenal sebagai Kosmologi Emanasi.
Kitab-Kitab yang dipelajari oleh Siti Jenar muda sewaktu melakukan perjalanan
dari Baghdad hingga ke Mekkah adalah :
1. Ki Ageng Banyubiru.
2. Ki Ageng Getas Aji.
3. Ki Ageng Balak.
4. Ki Ageng Butuh.
5. Ki Ageng Ngerang.
6. Ki Ageng Jati.
7. Ki Ageng Tingkir.
8. Ki Ageng Watalunan.
9. Ki Ageng Pringapus.
10. Ki Ageng Nganggas.
11. Ki Ageng Ngambat.
12. Ki Ageng Ba badan.
13. Ki Ageng Wanantara.
14. Kiai Majasta.
15. Ki Ageng Tambak Baya.
16. Ki Ageng Baki.
17. Ki Ageng Tembalan.
18. Ki Ageng Karanggayam.
19. Ki Ageng Ngargaloka.
20. Ki Ageng Kayu Purin.
21. ki Ageng Salandaka.
22. Kiai Ageng Purwasada.
23. Kebo Kangan.
24. Kiai Ageng Kebonalas.
25. Ki Ageng Waturante.
26. Kiai Ageng Taruntum.
27. Kiai Ageng Pataruman.
28. Kiai Ageng Purna.
29. Kiai Ageng Kare.
30. Kiai Ageng Candhi.
31. Kiai Ageng Wanasaba.
32. Kiai Ageng Gugulu.
33. Kiai Ageng Gunung Pragota.
34. Kiai Ageng Ngadi Baya.
35. Kiai Ageng Karungrungan.
36. Kiai Ageng Jatingali.
37. Kiai Ageng Wanadadi.
38. Kiai Ageng Tambangan.
39. Kiai Ageng Ngampuhan.
40. Kiai Ageng Bangsri.
41. Kanjeng Kiai Ageng Pengging.
Syekh Siti Jenar menyebarkan ajaran dan pandangan mengenai ilmu sangkan-
paran sebagai titik pangkal paham kemanuggalannya. Konsep-konsep pamor,
jumbuh dan manunggal dalam teologi-sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh
paham-paham puncak mistik al- Hallaj dan al-Jili, disamping itu karena proses
pencarian spiritualnya yang memiliki ujung pemahaman yang mirip dengan
secara praktis atau ’amali-al-Hallaj; dan secara filosofis mirip dengan al-Jili dan
Ibnu ‘Arabi.
Syekh Siti Jenar-lah yang pertama kali mengusung gagasan al-Hallaj dan
terutama al-Jili ke Jawa. Sementara itu para wali anggota Dewan Wali
menyebarluaskan ajaran Islam syar’i madzhabi yang ketat. Sebagian memang
mengajarkan tasawuf, namun tasawuf tarekati, yang kebanyakkan beralur pada
paham Imam Ghazali. Sayangnya, Syekh Siti Jenar tidak banyak menuliskan
ajaran- ajarannya karena kesibukannya menyebarkan gagasan melalui lisan ke
berbagai pelosok Tanah Jawa. Dalam catatan sastra suluk Jawa hanya ada 3 kitab
karya Syekh Siti Jenar;Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan Balal Mubarak.
Masyarakat yang dibangunnya nanti dikenal sebagai komunitas Lemah Abang.
Sedangkan dari segi ajarannya, justru banyak yang menunjukan rasa simpati dan
bahkan membenarkan pendapat-pendapat Syekh Siti Jenar. Sehingga dalam
Serat Centini diceritakan, bahwa setelah tiga hari wafatnya, para wali
melihat jenazah Syekh Siti Jenar masih utuh, bagus, dan berbau harum. Pada
saat itulah, dari jenazah tersebut terdengar suara ucapan salam dan ungkapan
selamat tinggal. Syekh Siti Jenar juga mendoakan para wali dan Sultan agar
mendapat barakah dan hidayah sepeninggalnya.
Namun menurut mereka cara untuk bisa menguasai Sepi Angin memang terlalu
susah, ada banyak syarat yang harus dilakukan mulai dari puasa, bersemedi,
sampai menghafalkan mantra-mantra. Selain ada syarat berlakunya, untuk bisa
menguasai ilmu ini seseorang harus memiliki tingkat kebatinan yang tinggi.Hal
ini bisa didapatkan dengan cara taat kepada Tuhan dan tidak terbesit untuk
melakukan perbuatan buruk.Setelah menempel pribadi menjadi semacam itu,
dalam waktu yang lama lalu dibarengi dengan ritual-ritual berat tadi maka
kemungkinan ilmu sepi angin bisa dikuasai.
Menurut cerita para pengguna ajian sepi angin ini adalah para pendekar dan juga
para Walisongo.Para sunan ini memakai ilmu tersebut untuk tujuan berkumpul
dan menurut cerita, saat Sunan Giri membunyikan Gongnya, maka para
Walisongo akan langsung berkumpul padahal masing-masing dari beliau Itu
posisinya menyebar seantero Jawa.
Walau seorang diri, namun dengan ajian Bolo sewu seseorang bisa menjadi
terlihat banyak.Dengan bolo sewu sendiri seseorang akan ditemani seribu jin
yang mampu menjaganya dari segala mara bahaya yang menghadang.Bolo sewu
berarti seribu pengikut, ilmu ini biasa digunakan oleh para pengikut Syekh Siti
Jenar untuk menghadapi lawan-lawannya.
5.3. ROGO SUKMO
Rogo Sukmo dalam bahasa Jawa berarti mengambil jiwa, Ilmu ini mampu
mengeluarkan ruh dari raga dan kembali lagi pada saat yang
diinginkan.Merogoh sukma digunakan saat ingin mengalahkan lawan dengan
tanpa terlihat secara kasat mata.Biasanya mereka yang hendak melakukan ajian
ini haruslah berhati bersih dan jauh dari keinginan duniawi.Jika syarat utama
terpenuhi barulah dilanjutkan dengan teknik olah pernapasan dengan posisi
duduk bersila maupun tidur sembari menyatukan hati dan pikiran.
Mereka yang sukses biasanya bisa langsung melihat dirinya sendiri yang sedang
dalam kondisi bersemedi.Pada saat itulah sukmanya berarti telah berhasil keluar
dari raga fisik dan siap untuk menembus dimensi alam gaib.Selain sebagai sarana
meditasi ilmu rogo sukmo ini bisa digunakan untuk tujuan yang positif.
Ilmu kebal ini bernama rajek wesi, para pengikut Syekh Siti Jenar akan tidak
mempan akan bacokan pedang maupun pukulan benda keras lainnya.Tubuh
akan setebal besi sehingga tidak bisa dilukai oleh apapun yang menyentuhnya
dan berkat ilmu ini tubuh seseorang akan kembali dan kebal ibarat besi yang
tidak mampu dipecahkan oleh apapun.
Dari sekian ilmu yang diwariskan Syekh Siti Jenar, ajian grojog sewu merupakan
yang paling dikenal para jawara.Siapapun yang menimba ilmu ini, maka akan
mampu merubah wujudnya seperti yang diinginkannya.Dengan mengamalkan
ajian ini, seseorang akan bisa berganti wujud menjadi makhluk hidup seperti
hewan maupun pohon, bahkan menjadi bentuk manusia.Ilmu grojog sewu ini
berarti seribu air terjun mengajarkan untuk berganti wujud sesuai dengan
keinginan masing-masing.
Ilmu sirep tergolong sangat ampuh dan sering digunakan saat menghadapi
banyak musuh.Dengan ilmu ini kita mampu membuat banyak orang menjadi
tidur nyenyak dan tak bisa bangun dalam beberapa waktu.Ilmu ini sering disalah
gunakan oleh para maling pada zaman dulu, dalam setiap operasi mereka.Saat
ini, masih ada juga maling yang memiliki ilmu ini, terutama yang beroperasi di
bagian kampung-kampung.
Dari perenungannya mengenai dunia nafsu manusia, hal ini membawa Syekh Siti
Jenar menuai keberhasilan menaklukkan Tujuh Hijab, yang menjadi penghalang
utama pendakian rohani seorang salik (pencari kebenaran). Tujuh Hijab itu
adalah:
Ajaran yang di sebarkan oleh Syaikh Siti Jenar dikenal dengan nama Sasahidan.
Sasahidan adalah ajaran kedelapan yang berupa “pemberian kesaksian” (syahid)
bahwa keberadaan makhluk, yaitu segala ciptaan yang tergelar di alam
dunia seperti bumi, langit, matahari, bulan, bintang, api, angin, air, dan yang
lainnya, semua mau menyaksikan bahwa keadaan kita sekarang adalah
merupakan persemayaman Dzat Tuhan yang Mahasuci, menjadi sifat Allah yang
Sejati.
Syekh Siti Jenar menilai bahwa ungkapan-ungkapan yang digunakan al-Jili
sangat sederhana, lugas, gampang dipahami namun tetap mendalam. Yang
terpenting, memiliki banyak kemiripan dengan pengalaman rohani yang sudah
dilewatkannya, serta yang akan ditempuhnya. Syekh Siti Jenar mengajarkan
konsep yang sangat kontroversial pada saat itu, yaitu konsep tentang hidup dan
mati, Tuhan dan Kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh
Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai
kematian.
Sebaliknya, yaitu apa yang disebut umum sebagai kematian justru disebut
sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi.
Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti Jenar sama dengan ajaran sufi ‘Abdul Qadir al-
Jilani (w.1165), Ibnu ‘Arabi (560/1165-638-1240), Ma’ruf al-Karkhi, dan al-Jili.
Hanya saja ketiga tokoh tsb mengalami nasib yang baik dalam artian, ajarannya
tidak dipolitisasi, sehingga dalam kehidupannya di dunia tidak pernah
mengalami intimidasi dan kekerasan sebagai korban politik dan menemui akhir
hayat secara biasa.