Anda di halaman 1dari 13

BAB II

JARINGAN ULAMA CIREBON & TIMUR TENGAH ABAD 15-16

A. Ulama-ulama Perintis Jaringan Ulama Cirebon dan Timur Tengah


1. Bratalegawa (Haji Purwa)
Bratalegawa diketahui sebagai bangsawan dari Kerajaan Galuh-Sunda
yang Muslim dan diketahui sebagai pelaku Islamisasi di Jawa Barat pada masa
awal. Bratalegawa merupakan putra Maharaja Galuh Bunisora Suradipati.
Bratalegawa memilih menjadi seorang saudagar keliling ke berbagai belahan
negara seperti China, India, Tumasik (Singhapura), sampai ke Arab dan wilayah
Timur Tengah lainnya. Ia mempunyai seorang istri dari Gujarat India bernama
Farhanah binti Muhamad. Kemudian Bratalegawa dan istrinya melakukan ibadah
haji di Makkah. Besar kemungkinan Ia tidak hanya beribadah haji semata, tapi
juga mengaji dan berguru pada beberapa ulama Makkah pada saat itu. Setelah
menunaikan ibadah haji bersama istrinya, Bratalegawa dijuluki Haji Purwa Galuh
atau Haji Baharudin al-Jawi dan kembali ke Galuh pada sekitar tahun 1380 M.
Kedatangan Haji Purwa ke Galuh bermaksud mengajak saudara-
saudaranya untuk masuk Islam. Akan tetapi ajakan Haji Purwa ditolak secara
halus oleh saudara-saudaranya tersebut. Meskipun Kerajaan Galuh masih
bernuansa Hindu-Budha, akan tetapi keberadaan Haji Purwa yang Muslim tidak
diusik dan keduanya hidup rukun satu sama lain. Sejauh ini islamisasi yang
dilakukan oleh Haji Purwa tidak menunjukan hasil yang signifikan. Meskipun
demikian, langkah awal Haji Purwa ini menjadi pintu gerbang terbentuknya
jaringan ulama, mengingat profesinya sebagai saudagar keliling di beberapa
negara termasuk Timur Tengah. Selanjutnya Haji Purwa menetap di Cirebon
Girang bersama istrinya dan mempunyai seorang anak bernama Ahmad bergelar
Maulana Syafiudin. Ahmad kemudian menikah dengan Rogayah binti Abdullah
dan berputra Khadijah yang kelak diperistri oleh Syek Dzatul Kahfi atau Syekh
Idofi Mahdi dan menjadi salah satu orang yang membantu secara finansial
berdirinya Pesantren Giri Amparan Jati.
Dari keterangan di atas, maka bisa dipastikan bahwa jaringan ulama
Cirebon dengan Timur Tengah sudah terbentuk sejak abad ke-14. Sosok lokal
keturunan bangsawan Galuh yang berdakwah di Cirebon meskipun tidak
mendapat respon yang menggembirakan yakni Bratalegawa yang dikenal dengan
nama Haji Purwa Baharudin al-Jawi.
2. Syekh Hasanudin Quro Karawang
Syekh Quro adalah anak dari syekh Yusuf Sidik dan Diyah Kirana binti
Syekh Husen Jumadil Kubro.1 Syekh Quro menikah dengan istri pertama
mempunyai anak Syekh Bentong.2 Syek Bentong menikah dengan gadis China
bernama Siu-The-Yo. Dari pernikahannya Ia memperoleh putri bernama Siu-Ban-
Ci yang menikah dengan Brawijaya V (Sri Kertawijaya), kemudian berputra
Jimbun atau Abdul Fattah, murid Sunan Ampel sekaligus Sultan Demak pertama
yang juga membangun Padepokan Gelagah Wangi di Demak.
Syekh Quro kemudian menikah lagi dengan perempuan putri Ki Ageng
Karawang bernama Ratna Sondari, kemudian berputra Ahmad, Ahmad berputra
Nyai Mas Kedaton. Nyai Mas Kedaton berputra Syekh Musanudin yang menjadi
penghulu di Masjid Sang Cipta Rasa. Syekh Musanudin bertugas mengajar ngaji
menggantikan posisi Sunan Jati ketika Sunan Jati sedang berada di Banten.
Syekh Quro adalah sosok ulama yang membangun Pesantren di Jawa
Barat sekitar tahun 1418. Ia datang ke Karawang bersama dengan rombongan
muhibbahnya Laksamana Cheng Ho sekitar tahun 1416/17 M. Syekh Quro sempat

1
. Nama aslinya adalah Syekh Mursyahadatilla atau Syekh Hasanudin. Ada perbedaan
nasab mengenai orang tua Syekh Quro, menurut informasi yang penulis baca di situs
http://web.syekhnurjati.ac.id/info2/profile/biografi-syekh-nurjati/ diunduh pada hari Sabtu 3 Juni
2017 pukul 21.21.00 WIB. Dari Web IAIN Syekh Nurjati Cireebon, Ibu Syekh Quro yang
bernama Diyah Kirana adalah anak Syekh usen Jumadil Qubro. Tapi menurut informasi yang
penulis baca dari keterangan Al Allamah Sayyid Bahruddin Azmatkhan Al Hafiz dan Sayyid
Shohibul Faroji Azmatkhan, penerbit Madawis, Edisi Tahun 2014 dari situs Web
http://ikraalfattah.blogspot.co.id/2015/02/sejarah-syekh-quro-karawang-maulana.tml
Diundu pada hari Rabu, 24 Januari 2018 pukul 21.45 WIB.
2
. http://ikraalfattah.blogspot.co.id/2015/02/sejarah-syekh-quro-karawang-maulana.tml .
mampir ke Pelabuhan Muara Jati dan bertemu dengan Syahbandar Ki Jumajan
Jati.3
Dengan kedatangan Syekh Quro ke Muara Jati, Ki Jumajan Jati kemudian
menitipkan anaknya Subang Larang untuk mengaji kepada Syekh Quro Karawang
selama dua tahun.4 Di Pengguron Syekh Quro Subang Larang bertemu dengan
Raden Pamanah Rasa (Prabu Siliwangi), ketika Raden Pamanah Rasa hendak
menghancurkan Pengguron Syekh Quro. Oleh karena terpikat dengan suara
Subang Larang saat mengaji dan karena kecantikannya, maka Raden Pamanah
Rasa jatuh cinta dan menikah dengan Subang Larang. Dari perkawinannya,
Subang Larang dan Raden Pamanah Rasa berputra tiga orang yakni
Walangsungsang lahir 1423 M, Rarasantang lahir 1426 M, dan Raja Sengara lahir
1428 M. Ketiga putra dan putri Prabu Siliwangi inilah yang nanti kelak menjadi
ulama penyebar Islam di Cirebon dan tatar Sunda.
Dalam hal ini, peran Syekh Quro sebagai alumni Timur Tengah tidak
hanya sebagai ulama penyebar Islam di tatar Sunda tetapi juga mencetak kader-
kader santri yang nantinya melahirkan ulama-ulama besar, seperti Subang Larang,
Walangsungsang, Syekh Ahmad, Syekh Musanudin, Syekh Bentong dan lain
sebagainya.

3. Syekh Nurjati (1420-1448)


Syekh Nurjati adalah putra Datuk Ahmad yang lahir di Malaka pada
pertengahan abad ke-14 semasa dengan Haji Purwa yang kembali dari tanah suci
Makkah. Syekh Nurjati mempunyai saudara yakni Syekh Bayanullah yang
menjadi guru di Makkah,5 Syekh Musa dan adik perempuan yang meniikah dengn
seorang dari Pulau Upih (Malaka) yang kelak mempunyai seorang putri diperistri
oleh Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor putra Raden Fatah Sultan Demak
pertama. Syekh Nurjati pernah belajar di Makkah dan sempat tinggal cukup lama

3
Opan Safari Pustaka Raja-raja Bhumi Nusantara alih bahasa dan aksara (Cirebon
2008) hlm 54
4
. http://ikraalfattah.blogspot.co.id/2015/02/sejarah-syekh-quro-karawang-maulana.tml.
Op. Cit hlm 10
5
Syekh Bayanullah disebut juga Datuk Mahuyun, P.S. Sulendraningrat dan T.D. Sujana,
Naskah Purwaka Caruban Nagari alih bahasa dan aksara (Pengguron Krapyak Kaprabonan 1983)
hlm 8
di sana sehingga sempat dianggap bahwa Syekh Nurjati berasal dari Makkah.
Setelah belajar di Makkah, Syekh Nurjati melanjutkan studinya ke Baghdad yang
saat itu menjadi pusat kajian Islam terbesar di dunia.6
Syekh Nurjati mempunyai sepupu yakni San Ali atau Syekh Siti Jenar bin
Datuk Soleh bin Datuk Isa Tuwu Malaka. Datuk Soleh dan Datuk Ahmad (ayah
Syekh Nurjati/Syekh Dzatul Kahfi) adalah kakak beradik. Pada saat di Baghdad
Syekh Nurjati bertemu jodohnya dengan Syarifah Halimah anak Ali Nurul Alim
bin Jamaludin al-Husen bin Ahmad Syah Jalaludin bin Abdullah Khanuddin. Jadi
Syekh Nurjati menikah dengan saudara secicit. Dari pernikahanya tersebut
dikaruniai empat orang anak yakni Syekh Abdurrahman (Pangeran Panjunan),
Syekh Abdurrahim (Pangeran Kejaksan), Syekh Datuk Chafid dan Siti Fatimah
(Syarifah Baghdad). Keempat putra tersebut mengikuti jeajak ayahnya berdakwah
di Cirebon.7
Syekh Nurjati sebagai alumni Timur Tengah kembali membuka jaringan
ulama Cirebon Timur Tengah yang dahulu pernah dilakukan oleh Haji Purwa
pada pertengahan abad ke 14. Kedatangan Syekh Nurjati pada 1420 M beserta
pengikutnya dan juga anak-anaknya tidak hanya membangun jaringan ulama
Cirebon dan Timur Tengah tapi juga membangun jaringan ulama lokal Cirebon
dan Nusantara. Hal ini bisa dilihat dari geneologi keilmuan nasab ulama satu
dengan ulama lain di Cirebon dan Nusantara yang muttasil pada Syekh Husen
Jumadil Kubro dan Abdullah Khanuddin Azmatkhan8 sampai kepada Rasulullah
SAW.
Kedatangan Syekh Nurjati diterima oleh Syahbandar Ki Jumajan Jati dan
kemudian diizinkan membuat satu pemukiman untuk wilayah dakwahnya. Seiring
berjalannya waktu, cita-cita Syekh Nurjati membuat pesantren akhirnya terwujud
melalui bantuan harta Khadijah (cucu Bratalegawa) sekaligus janda kaya yang

6
http://web.syekhnurjati.ac.id/info2/profile/biografi-syekh-nurjati/ oleh Admin, diunduh
pada hari Sabtu 3 Juni 2017 pukul 21.21.00 WIB. Dari Web IAIN Syekh Nurjati Cireebon.
7
. Syekh Nurjati datang pada tahun sekitar 1420 bersama pengikutnya sebanyak duabelas
orang. Terdiri dari sepuluh laki-lakai dan dua perempuan. Mereka adalah utusan daari Kerajaan
Parsi yang beribu kota di Baghdad. T.D Sujana, Naskah Purwaka Caruban Nagari Op.Cit hlm 10
8
Istilah Azmatkhan bermula dari Sayyid Abdul Malik yang menikah dengan anak raja India yang
bergelalar Khan, sehingga keturunanya kemudian bergelar Khan seperti Abdullah Khanuddin.
dinikahinya, kemudian berdirilah Pondok Pesantren Amparan Jati. Pada
perkembanganya, pesantren Amparan Jati kemudian diteruskan oleh Sunan
Gunung Jati dan pasca peristiwa perang Cirebon dengan Rajagaluh, Pesantren
Amparan Jati kemudian diasuh oleh Syarifah Mudaim yang bergelar Nyai
Panatagama dan santri-santrinya pun banyak didominasi oleh perempuan. Dari
sinilah kemudian terbangun jaringan ulama dan pesantren di Cirebon dan
sekitarnya.
Jaringan Pesantren Amparan Jati kemudian terhubung dengan pesantren-
pesantren lain yang menjadi sentra dakwah di sepanjang pantai utara Jawa.
Jaringan pesantren tersebut terhitung mulai dari Pesantren Ampel Denta tempat
Raden Rahmat atau Sunan Ampel bin Ibrahin Samarkand bin Syekh Husen
Jumadil Qubro berdakwah, sebelah baratnya yaitu sentra dakwah Giri Kedaton
tempat kediaman Raden Paku atau Sunan Giri (murid sekaligus menantu Sunan
Ampel) bin Maulana Ishak bin Syekh Husen Jumadil Qubro berdakwah, sebelah
baratnya lagi yaitu sentra dakwah Islam Drajat tempat kediaman Raden Qasim
atau Sunan Drajat bin Sunan Ampel; di sebelah barat Drajat terdapat sentra
dakwah yang disebut Sendang Duwur tempat kediaman Raden Nur Rahmat putra
Abdul Qahar bin Syekh Abdul Malik al-Baghdadi, terhitung masih keponakan
Syekh Datuk Abdul Jalil (Siti Jenar) bin Datuk Soleh bin Datuk Isa Tuwu Malaka
bin Sayyid Abdul Qadir Kaelani saudara Ahmad Syah Jalaludin ayah Syekh
Husen Jumadil Qubro, sebelah barat Sendang Duwur terdapat sentra dakwah
Tuban tempat kediaman Sunan Bonang bin Sunan Ampel, sebelah barat Tuban
terdapat sentra dakwah Lasem kediaman Nyai Ageng Maloka binti Sunan Ampel
yang dinikahkan dengan Pangeran Wiranegara (Adipati Lasem) murid Sunan
Ampel, sebelah barat Lasem Sentra Dakwah Islam Demak Bintara tempat
kediaman Raden Fatah anak Brawijaya V sekaligus menantu dan murid Sunan
Ampel, sebelah barat Demak sentra dakwah Islam Kalijaga dan Pesantren Giri
Amparan Jati Cirebon tempat kediaman Raden Syahid bin Tumenggung
Wilwatikta (Penguasa Tuban) bin Arya Teja (mertua Sunan Ampel) dan Sunan
Gunung Jati bin Syarif Abdullah bin Ali Nurul Alim bin Syekh Husen Jumadil
Qubro.9

4. Pangeran Walangsungsang (1423-1529)


Dua orang santri Syekh Nurjati adalah Pangeran Walangsungsang dan
Nyimas Rara Santang. Secara geneologi, keduanya masih ada garis nasab dengan
Haji Purwa. Yaitu sebagai berikut: Walangsungsang dan Rara Santang putra Jaya
Dewata atau Prabu Siliwangi, Prabu Siliwangi putra Dewa Niskala, Dewa Niskala
putra Niskala Wastu Kencana, Niskala Wastu Kencana anak Prabu Linggabuana,
Linggabuana kakak Prabu Bunisora Suradipati, sedangkan Bunisora ayah dari
Bratalegawa (Haji Purwa). Dengan kata lain, Walangsungsang dan Rara Santang
masih saudara sepupu Bratalegawa. Kedua putra Pajajaran tersebut menjadi sebab
keberberhasilan Islamisasi di Cirebon melalui perjalanan hajinya ke Makkah.
Jaringan ulama Cirebon dengan Timur Tengah kembali terbentuk ketika
Pangeran Walangsungsang dan Nyimas Rara Santang dikirim oleh Syekh Nurjati
untuk menunaikan ibadah haji di Makkah pada pertengahan abad ke-15,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Azra dalam bukunya Jringan Ulama Timur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII Dan XVIII, bahwa pada abad ke-15
merupakan kebangkitan kembali perdagangan di lautan India dan sekaligus terjadi
peningkatan jumlah Jamaah haji ke Haramayn.10
Lebih jauh dijelaskan bahwa perjalanan haji Pangeran Cakrabuwana dan
Nyimas Rara Santang kemungkinan besar menumpang pada kapal dagang yang
searah menuju Haramyan. Hal ini masuk akal mengingat Pelabuhan Muara Jati
pada saat itu menjadi pelabuhan yang ramai dikunjungi para wiraniagawan dari
berbagai negara. Bahkan di Caruban Larang (Cirebon Pesisir) sendiri pada saat
itu sudah ada komunitas Arab yang sudah bermukim. Sejauh ini, belum ada
sumber yang menceritakan bagaimana perjalanan haji kedua putra Prabu
Siliwangi itu, akan tetapi ada sedikit petunjuk dari tulisan Azra dan Naskah

9
Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo. Op. Cit. Hlm 340
10
Maka peristiwa haji ini menjadi sangat penting atas terbentuknya jaringan ulama
Cirebon dengan Timur Tengah, Azyumardi Azra Op. Cit hlm 70
Negara Kretabhumi tentang rute perjalanan yang dilakukan oleh keduanya saat
mereka berhaji.
Menurut Azra, pada abad ke-15 pelabuhan utama di Haramyan yang
menjadi jalur perdagangan pada saat itu adalah pelabuhan Hormuz, Aden dan
pelabuhan Mesir. Maka besar kemungkinan kapal dagang yang ditumpangi
keduanya itu berlabuh di pelabuhan Hormuz atau Aden. Sementara pelabuhan
Jeddah tidak banyak dikunjungi kecuali sedikit. Hal ini disebabkan karena pajak
yang terlalu tinggi yang ditetapkan Syarif Makkah. Faktor yang lain adalah karena
pelabuhan Jeddah sangat rawan untuk dijadikan jalur penyerangan tentara Salib
pada masa Salah al-Din al-Ayyubi dari Dinasti Ayyubiyah (berkuasa 546-650 M /
1169-1252 H) sehingga hal ini berpengaruh pada kebijakan Syarif Makkah yang
menetapkan pajak terlalu tinggi baik untuk muslim maupun non muslim sebagai
upaya preventif (pencegahan) masuknya tentara Salib ke Makkah pada saat itu.11
Setelah Pangeran Cakrabuana dan Nyimas Rara Santang sampai di
Haramayn melalui pelabuhan Hormuz atau Aden, mereka berdua menunaikan
ibadah haji sambil memperdalam ilmu di Haramayn. Naskah Negara Kretabhumi
memberikan petunjuk terkait dengan nama ulama atau guru-guru Pangeran
Cakrabuwana dan Nyimas Rara Santang antara lain Syekh Bayanullah (adik
Syekh Nurjati) dan Syekh Abdul Yajjid,12 adapun guru-guru Pangeran
Cakrabuwana selain yang di Makkah adalah Syekh Nurjati dan Syekh Ibrahim
Samarkandi (ayah Sunan Ampel)..13 Dan dari peristiwa haji inilah Nyimas Rara
Santang mendapatkan jodoh seorang Sultan Mesir yakni Maulana Syarif Abdullah
yang kelak mempunyai seorang putra Punjul Buwana (unggul di bumi) yakni
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Perjalanan ibadah haji dan menuntut ilmu Pangeran Cakrabuana dan
Nyimas Rara Santang di Haramayn ini tidak hanya membangun jaringan ulama
Cirebon Timur Tengah, akan tetapi membawa perubahan besar pada Islamisasi di

11
Azyumardi Azra Op. Cit hlm 71
12
Bahkan sebutan haji didapatkan dari Syekh Abdul Yajjid dengan julukan Haji Abdullah
Iman sekitar tahun 1448.
13
T. D. Sudjana Naskah Negara Kretabhumi Sarga empat Parwa empat alih bahasa dan
aksara (Pustaka Keraton Kanoman Cirebon 1987) hlm 27.
Cirebon yang bermula dari pernikahan Nyimas Rara Santang dan Syarif Abdullah
kemudian melahirkan Syarif Hidayatullah yang menjadi tokoh utama Islamisasi di
Cirebon dan melalui nasabnya lah kemudian banyak melahirkan kader-kader
ulama yang kelak menjadi pelopor berdirinya pesantren di Cirebon maupun di
luar Cirebon.
5. Syekh Bayanullah

Syekh Bayanullah merupakan ulama Timur Tengah yang pernah mengajar


di Makkah dan pernah menjadi guru Pangeran Cakrabuwana dan Nyimas Rara
Santang saat mereka berdua beribadah haji di sana. Dari sisi nasab, Syekh
Bayanullah merupakan adik dari Syekh Nurjati yang lebih dulu menginjakan
kakinya ke Cirebon untuk melakukan syiar agama Islam. Syekh Bayanullah pada
ahirnya mengikuti jejak kakaknya untuk menginjakan kakinya di Cirebon
khususnya di daerah Kuningan.

Di Kuningan Syekh Bayanullah kemudian membangun Pesantren


Sidapurna dan banyak bersentuhan dengan orang-orang Sunda. Belum diketahui
secara pasti kapan Syekh Bayanullah itu datang ke Kuningan Cirebon. Akan tetapi
agaknya ia tertarik untuk mengembangkan Islam menuruti jejak kakaknya (Syekh
Nurjati) dan setelah itu ia bergelar Datuk Mahuyun.

Gelar Datuk Mahuyun merupakan gelar yang lumrah diterima oleh


keluarka keturunan Datuk Isa Tuwu Malaka yang tidak lain adalah kakek dari
Syekh Bayanullah dan Syekh Datul Kahfi, sementara ayahnya bernama Datuk
Ahmad dan sodaranya bernama Datuk Soleh yang kemudian mempunyai
keturunan Datuk Abdul Jalil atau Syekh Siti Jenar. Dari sini kita bisa tahu bahwa
Syekh Bayanullah merupakan ulama yang mewarisi gelar kedatuan yang
umumnya dipakai oleh para tetua atau para ulama-ulama yang dianggap
berwibawa dan berbudi luhhur.

6. Syekh Abdurrahman (Pangeran Panjunan)

Syekh Abdurrahman merupakan ulama yang berasal dari Baghdad yang


datang ke Cirebon untuk menyusul ayahnya, Syekh Nurjati yang pada saat itu
sudah membangun Pesantren Amparan Jati di pesisir utara Cirebon. Syekh
Abdurrahman datang bersama saudara-saudara yang lain diantaranya adalah
Syekh Abdurrahim, Syarifah Baghdad, dan Datuk Chafid yang terkadang sering
disamakan dengan Datul Kahfi atau Syekh Nurjati.

Syekh Abdurrahman dan saudara-saudaranya tersebut merupakan anak


Syekh Nurjati yang pernah dititipkan kepada Sultan Sulaiman al-Baghdadi yang
menjadi penguasa di Baghdad. Saudara Sultan Sulaiman adalah Syarifah Halimah
yang tidak lain adalah kakak Sultan Sulaiman sekaligus istri Syekh Nurjati. Maka
Syarifah Halimah merupakan ibu Syekh Abdurrahman. Dalam pengembaraan
intelektualnya, Syekh Abdurrahman berguru pada ulama-ulama Baghdad sekitar
dan kemungkinan besar ia juga berguru di Timur Tengah.

Pada saat mereka datang ke Ciebon, Syekh Abdurahman melakukan


dakwah Islam keliling dengan disertai kesenian Gembyung, yakni kesenian tabu-
tabuan yang mengajak masyarakat untuk menikmati setiap alunan lagunya
mendekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu, Syekh Abdurrahman juga salah satu
ulama yang mengembangkan kesenian membuat gerabah dan keramik yang
berbentuk piring-piringan untuk dijadikan hiasan arsitektur baik di masjid maupun
di keraton. Oleh karena Syekh Abdurrahman itu adalah ulama yang telah
mengembangkan gerabah dan hiasan piring keramik atau biasa disebut porselin itu
maka Syekh Abdurrahman bergelar Panjunan dan seterusnya disebut Pangeran
Panjunan.

Oleh Pangeran Cakrabuwana, Syekh Abdurrahman diberi tempat di daerah


yang sekarang disebut Panjunan di Kota Cirebon dan membangun sebuah masjid
merah yang seterusnya disebut Masjid Merah Panjunan. Masjid itu kemudian
dijadikan sebagai salah satu pusat dakwah Islam dan kajian Islam sebelum adanya
Masjid Sang Cipta Rasa yang merupakan Masjid resmi Keraton Pakungwati.
Menjelang usia tuanya, Syekh Abdurrahman kemudian bertempat di daerah girang
yang sekarang masuk wilayah Sumber Kabupaten Cirebon tepatnya di sebuah
bukit yang disebut Gunung Toba. Di situ Syekh Abdurrahman juga
mengembangkan Islam yang kemudian terkenal dengan sebutan Pangeran
Plangon, maka seterusnya tempat itu disebut daerah Plangon.

7. Syekh Abdurrahim (Pangeran Kejaksan)


Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa Syekh Abdurrahim ini
merupakan ulama asal Baghdad,, adik Syekh Abdurrahman sekaligus anak Syekh
Nurjati. Berbeda dengan Syekh Abdurrahim yang mengembangkan kesenian
gerabah maka Syekh Abdurrahim tercatat sebagai ulama pendakwah Islam yang
bertugas sebagai jaksa atau pejabat kehakiman. Tugas Syekh Abdurrahim yang
berprofesi sebagai petugas kejaksaan inilah kemudian ia disebut Pangeran
Kejaksan.
Sebagaimana Syekh Abdurraman, Syekh Abdurrahim juga diberi tempat
untuk membangun masjid tempat penyebaran agama Islam dan kajian Islam
seperti alnya Masjid Merah Panjunan, hanya saja masjid yang dibangun oleh
Syekh Abdurrahim ini ruang lingkupnya lebih kecil dan seterusnya disebut Tajug
Kejaksan. Tajug ini merupakan sarana untuk melakukan dakwah Islam dan kajian
ilmu-ilmu keislaman kepada masyarakat dalam rangka gerakan dakwah Islamisasi
awal. Pembangunan Tajug Kejaksan ini kemungkinan besar berbarengan dengan
pembangunan Masjid Merah Panjunan.
Syekh abdurrahim sebagai ulama alumni Timur Tengah dan Baghdad
melakukan gerakan dakwah sebagaimana kakaknya yakni dengan kesenian
Gembyung. Cerita ini diceritakan oleh beberapa orang yang masih berprofesi
sebagai pemai seni gembyung. Syekh Abdurrahim sendiri cercatat sebagai ulama
yang juga qodi (hakim) pada masa-masa awal Kerajaan Cirebon, namun sebagian
versi juga ada yang menyebutkan bahwa Pangeran Kejaksan yang juga menjadi
hakim pada masa awal adalah Pangeran Kejaksan anak dari Pangeran
Cakrabuwana. Lepas dari dua kontroversi di atas, nama Syekh Abdurrahim yang
bergelar Pangeran Kejaksan ini peninggalanya bisa kita lihat seperti Tajug
Kejaksan dan makamnya dipercaya terdapat di Bukit Plangon Sumber.
8. Sunan Gunung Jati (1448-1568)
Tokoh ulama, sekaligus raja dan wali kutub dalam jajaran walisanga ini
tidak diragukan lagi kealiman dan sanad keilmuanya. Ulama dengan nama asli
Syarif Hidayatullah (setelah wafat dikenal Sunan Gunung Jati) ini memainkan
peranya sebagai tokoh yang multi ahli. Ia tidak hanya seorang ulama kharismatik,
lebih dari itu, ia juga sebagi politikus yang ulung, tabib yang handal, ahli ilmu
astrologi dan masih banyak lagi keahlianya yang tidak tercatat. Syarif Hidayat,
meskipun sebagai seorang raja yang bertahta di Keraton Pakungwati, ia lebih
dikenal sebagai seorang ulama yang suka keliling guna mensyiarkan agama Islam.
Menurut Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Walisongo yang merujuk
pada Naskah Purwaka Caruban Nagari ditulis oleh Pangeran Arya Carbon 1720,
nasab keilmuan Syarif Hidayat berguru tarekat Nakhsabandiyah, Istiqo’i, dan
Syattariyyah kepada Syekh Najmudin al-Kubro hingga mencapai maqom ma’rifat
dengan gelar Madzkurullah (pupuh VI bait 23-26 langgam Asmarandhana).
Kemudian berguru tarekat Syadziliyyah pada Syekh Muhammad Ataillah
Iskandariyah dengan ajaran dzikir Sigul Hirarya dan Tanarul al-Tarqu setelah
lulus bergelar Arematullah (Pupuhh VII bait 1-7 Langgam Dhandanggula).
Setelah itu diperintah oleh gurunya untuk berguru kepada Syekh Datuk
Sidik (ayah Sunan Giri) di Pasai dengan mempelajari tarkat Anfusiyah dan laku
lampah hidup zuhud dan tawakal kepada Allah dan setelah lulus diberi nama
Abdul Jalil. Syekh Datuk Sidik memerintahkan kepada Syarif Hidayat berguru
kepada Syekh Bentong Karawang, tapi justru Syekh Bentong yang ingin berguru.
Syekh Bentong menyuruh agar Syarif Hidayat berguru kepada Syekh Haji Jubah,
tapi Syekh Haji Jubah juga demikian sebagaimana Syekh Bentong.
Syekh Haji Jubah menunjuk Syarif Hidayat untuk berguru kepada Syekh
Datuk Barul Kudus. Oleh Datuk Barul Syarif Hidayat diajarkan tarekat Jauziyah
Medamakhidir. Setelah lulus ia diberi gelar Wujudullah. Kemudian Datuk Barul
memberi petunjuk agar Syarif Hidayat berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya,
di sana ia dipersaudarakan dengan Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Derajat dan
Sunan Kalijaga. (Pupuhh VII bait 1-7 Langgam Dhandanggula).
Perjalanan intelektual dan spiritual Syarif Hidayat sangat dipengaruhi oleh
tarekat yang menyambungkan silsilah sanad keilmuanya pada ulama-ulama Timur
Tengah seperti Najmurudin al-Kubro, Syekh Atailla Iskandariyah, kemudian
ulama Nusantara seperti Datuk Sidik Datuk Barul dan Sunan Ampel kemudian ke
Cirebon menunjukan bahwa sejak awal Islamisasi Syarif Hidayat sudah
membangun jaringan ulama Timur Tengah, Nusantara dan Cirebon.
Dalam catatan sejarah, baik itu Babad maupun serat, diantara tokoh-tokoh
ulama di atas, yang mendapat gelar ulama sekaligus umaro dalam jajaran wali
songo adalah Syarif Hidayat, beliau menjadi satu-satunya wali yang mendapat
julukan Sultonil Auliya (raja para wali atau disebut juga wali kutub). Meskipun
Syarif Hidayat bukan satu-satunya ulama yang berdakwah di tanah Sunda, akan
tetapi peranya memang sangat mempengaruhi Islamisasi di tanah Sunda.
Sehingga, ketika kita berbicara tentang Cirebon, kita pasti akan mengenal Syarif
Hidayat atau Sunan Gunung Jati sebagai tokoh sentral yang kelak banyak
melahirkan tokoh-tokoh ulama peletak dasar pesantren yang tersebar di Jawa
Barat bahkan sampai di Madura, Palembang dan daerah lainya yang belum
terdeteksi.

9. Syekh Musanuddin
Syekh Musanudin adalah ulama sekaligus penghulu yang menjadi wakil
Sunan Gunung Jati ketika Sunan Gunung Jati melakukan dakwah Islam di
wilayah yang lain. Hal ini sebagaimana yang diceritakan oleh T.D Sujana bahwa
pasca peristiwa perang antara Cirebon dengan Rajagaluh pada 1528 Sunan
Gunung Jati banyak melakukan dakwah di luar Cirebon, sehingga Syekh
Musanudin dipercaya untuk menggantikan posisi Sunan Gunung Jati untuk
mengajar santri-santrinya baik di Masjid Sang Cipta Rasa maupun di Pengguron
Amparan Jati.
Dari sisi nasab, Syekh Musanudin merupakan anak dari Nyimas Kedaton.
Sementara Nyimas Kedaton adalah anak dari Syekh Ahmad bin Syekh Hasanudin
Quro Karawang. Syekh Ahmad adalah ulama penghulu d Karawang yang
menggantitan posisi ayahnya yang sudah wafat. Syekh Ahmad juga tercatat
sebagai ulama yang membantu dalam pembangunan Masjid Dog Jumeneng atau
Masjid Sang Saka Ratu di Astana Gunung Sembung atau Giri Nur Saptarengga
yang sekarang menjadi komplek pemakaman Sunan Gunung Jati dan raja-raja
Cirebon.
Syekh Musanudin besar kemungkinan belajar langsung kepada Sunan
Gunung Jati dan mempunyai kemampuan yang unggul sehingga mampu
menempati posisi Sunan Gunung Jati ketika Sunan Gunung Jati sedang dakwah di
luar Cirebon. Syekh Musanudin kemudian mempunyai keturunan bernama Syekh
Gusanudin yang kelak menjadi penghulu di Masjid Dog Jumeneng atau Masjid
Sang Saka Ratu pada masa pemerintahan Pangeran Mas atau Panembahan Ratu I.

Anda mungkin juga menyukai