Anda di halaman 1dari 4

http://islamindonesia.id/analisis/analisis-jangankan-islam-bahkan-adam-dan-hawapun-turun-di-papua-inikah-buktinya.htm?

utm_campaign=shareaholic&utm_medium=faceb
ook&utm_source=socialnetwork
Jumat, 20 Mei 2016
ANALISIS Jangankan Islam, Bahkan Adam dan Hawa pun Turun di Papua. Inikah Buktinya
?
IslamIndonesia.id Jangankan Islam, Bahkan Adam dan Hawa pun Turun di Papua. Inikah
Buktinya?
Kehebohan memantik emosi yang bermula dari viralnya video pengibaran bendera Bint
ang David Israel di tengah demo warga Abepura, Papua, Sabtu (14/5) pekan lalu, mu
ngkin tak seharusnya terjadi. Mengapa demikian?
Pertama, video tersebut berbeda dengan klaim pemberitaan media intoleran yang meny
ebut aksi itu bagian dari simpati warga Papua pada Israel, juga tuntutan Papua m
erdeka dan semacamnya; ternyata, berdasarkan verifikasi IslamIndonesia kepada su
mber tepercaya di TKP, aksi tersebut murni demo umat Kristiani berlatar protes m
ereka atas rencana seorang pengusaha lokal membangun mesjid megah terbesar di pu
sat kota. (Selengkapnya baca di sini)
Kedua, terlepas dari kehebohan terkait kebiasaan warga Kristiani Papua yang kono
n menganggap lumrah pengibaran atribut bendera Bintang David Israel dalam setiap a
ksi demo di sana, yang mungkin justru perlu diklarifikasi lebih jauh adalah alas
an mendasar dari protes atas rencana pembangunan mesjid di Tanah Papua itu. Adak
ah yang salah dengan rencana itu? Apakah pembangunan mesjid megah terbesar itu m
elanggar aturan, menyalahi hukum adat dan bertentangan dengan konstitusi?
Demi tak mengulang kegaduhan serupa akibat penyebaran video tanpa verifikasi itu
, dan sebelum mendapatkan klarifikasi valid dari para pihak berkompeten tentang
alasan sebenarnya di balik aksi penolakan atas pembangunan masjid di Tanah Papua
, ada baiknya kita telusuri sejenak sejarah awal masuknya Islam di Tanah Papua.
***
Harus diakui, secara geografis Tanah Papua memang merupakan daerah pinggiran (pe
riferal) Islam di Nusantara. Akibatnya, asal-muasal keberadaan Islam di Papua pu
n kerap luput dari kajian serius para sejarawan lokal maupun mancanegara.
Maka timbullah kesan yang hingga kini terus berkembang, bahwa penduduk Papua ide
ntik dengan pemeluk agama Kristen. Padahal, berbagai bukti sejarah menunjukkan,
agama Islam bukanlah sesuatu yang asing bagi orang Papua karena mereka sudah ber
interaksi dengan para pedagang dan raja-raja Muslim baik dari Jawa, Aceh maupun
Maluku sejak abad XV, bahkan jauh sebelum itu. Sementara agama Kristen dan Katho
lik baru masuk ke Tanah Papua pada pertengahan abad XIX.
Meski demikian, masih terjadi silang pendapat di antara para pemerhati, peneliti
maupun keturunan raja-raja di Raja Ampat-Sorong, Fakfak, Kaimana, dan Teluk Bin
tuni-Manokwari, perihal kedatangan Islam di Tanah Papua. Karena di antara mereka
saling mengklaim bahwa Islam lebih awal datang ke daerahnya hanya berdasarkan t
radisi lisan, tanpa didukung bukti-bukti tertulis maupun bukti-bukti arkeolgis.
Menurut Azyumardi Azra, meskipun tradisi lisan atau historiografi lokal ini seri
ng bercampur dengan mitos dan legenda, tetapi apa yang mereka ceritakan patut ju
ga didengarkan. Hal ini dipertegas Azra, dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Teng
ah dengan menyebutkan bahwa dalam beberapa kasus, sumber-sumber lokal kadang men
ekankan pentingnya mimpi (Arab: ru yah) dalam proses konversi kepada Islam.
Untuk pembahasan tentang mimpi dalam masyarakat Muslim, sebagaimana yang dikutip
Azra dalam G.E. von Grunebaum & Roger Caillos, The Dream and Human Sosieties, L

os Angeles & Barkeley; University of California Pres, 1966, terdapat pembahasan


menarik tentang pentingnya dongeng dan mitos historis sebagai sumber informasi t
entang sejarah wilayah tertentu.
Seperti halnya Jan Vansina dalam Oral Tradition: A Study in Historical Methodol
ogy yang menegaskan bahwa seluruh dongeng dan mitos merupakan tradisi resmi masy
arakat-masyarakat tertentu untuk merekam sejarah mereka. Cerita-cerita ini disam
paikan oleh para spesialis pada kesempatan resmi dalam mentransmisikannya di dal
am kelompok sosial tertentu. Menurutnya, setiap dongeng dan mitos mempunyai nila
inya sendiri. Karena itu, dongeng historis dinilai berguna bagi sumber informasi
tentang sejarah militer, politik kelembagaan, dan hukum. Sedangkan dongeng dida
ktik memberikan informasi tentang nilai-nilai kultural; sementara mitos didaktik
merupakan sumber yang amat berguna untuk sejarah agama.
Untuk itu, perlu ditelusuri lebih jauh beberapa versi sejarah, terutama mitos di
daktik terkait awal masuknya Islam di Tanah Papua, setidaknya dengan melihat beb
erapa versi mengenai kedatangan Islam di beberapa tempat di wilayah itu.
Versi Papua
Teori ini merupakan pandangan adat dan legenda yang melekat di sebagian kalangan
rakyat asli Papua, khususnya yang berdiam di wilayah Fakfak, Kaimana, Manokwa
ri dan Raja Ampat (Sorong).
Pada umumnya, versi ini memandang Islam bukanlah berasal dari luar Papua dan
bukan dibawa dan disebarkan oleh kerajaan Tidore atau pedagang Muslim dan dai d
ari Arab, Sumatera, Jawa, maupun Sulawesi. Namun Islam berasal dari Papua se
ndiri sejak pulau Papua diciptakan oleh Allah SWT. Mereka juga mengatakan ba
hwa agama Islam telah terdapat di Papua bersamaan dengan adanya pulau Papua send
iri.
Bahkan mereka juga meyakini kisah yang menyebutkan bahwa tempat turunnya Nabi Ad
am dan Ibu Hawa berada di suatu tempat di daratan Papua, dengan busana seperti k
etika mereka masih berdiam di surga.
Mereka juga beranggapan ada bekas-bekas jejak sejarah Nabi Nuh yang terdampar d
i pedalaman dekat Nambi-Manokwari dan mereka percaya bahwa Gunung Wondivoi ada
lah tempat pemberhentian bahtera Nuh.
Keyakinan lain, Nabi Ibrahim mempersembahkan anaknya Ismail atau Ishak di peda
laman Dusner. Sedangkan Taman Eden yang asli terletak di Obo dan Bukit Zaitun be
rada di Puncak Rinsawan. Pandangan seperti ini dipengaruhi oleh pemikiran mistis
dan agama suku yang telah merakyat dan melegenda di masyarakat asli, khususnya
di wilayah Fakfak, Kaimana, Teluk Bintuni, maupun di Wondama. Pandangan ini terc
ermin dalam prosesi ibadah, di antaranya orang naik haji bukan ke Mekkah, namun
mereka berangkat ke Gunung Nabi yang terletak di belakang Teluk Arguni (Kaimana)
dan Teluk Wondama (Manokwari).
Versi Aceh
Menurut sejarah lisan dari daerah Kokas, Fakfak bahwa Syekh Abdurrauf yang merup
akan putra ke 27 dari waliyullah Syekh Abdul Qadir Jaelani dari kerajaan Samude
ra Pasai mengutus Tuan Syekh Iskandar Syah untuk melakukan perjalanan dakwah k
e Nuu War (Papua) sekitar abad XIII tepatnya 17 Juli 1224, datang Syekh Iskanda
r Syah di Mesia atau Mes, kini distrik Kokas kebupaten Fakfak. Orang pert
ama yang diajarkan Iskandar Syah bernama Kriskris. Saat itu Syekh Iskandar Syah
mengatakan; Jika kamu mau maju, mau aman, mau berkembang, maka kamu harus men
genal Alif Lam Ha (maksudnya Allah) dan Mim Ha Mim Dal (maksudnya Muhammad) .
Singkat cerita Kriskris mengucapkan dua kalimat syahadat. Tiga bulan kemudian,

Kriskris diangkat menjadi imam pertama dan beliau sudah menjadi Raja pertama d
i Patipi, Fakfak.
Sementara studi sejarah masuknya Islam di Fakfak yang diinisiasi oleh Pemerintah
Kabupaten Fakfak pada tahun 2006, menyimpulkan bahwa Islam datang di Fakfak p
ada tanggal 8 Agustus 1360 M, yang ditandai oleh hadirnya mubaligh Abdul Ghafar
asal Aceh di Fatagar Lama, kampung Rumbati Fakfak. Penetapan tanggal awal masuk
nya Islam tersebut berdasarkan tradisi lisan yang disampaikan oleh Putra Bungsu
Raja Rumbati XVI (Muhammad Sidik Bauw) dan Raja Rumbati XVII (H. Ismail Samali
Bauw). Mubaligh Abdul Ghafar berdakwah selama 14 tahun (1360 1374 M) di Rumbati
dan sekitarnya, kemudian ia wafat dan dimakamkan di belakang masjid kampung Rum
bati pada tahun 1374 M.
Konon pada awalnya, Abdul Ghafar dan teman-temannya sering melakukan shalat Zuhu
r dan Ashar di ruang terbuka, sehingga menarik perhatian masyarakat setempat.
Penduduk heran melihat mulutnya komat-kamit dan mereka berkata: iangge wagama
nim waimbi ia oaka isafa som yama riri aroa rera toto wania fauar wai (orang in
i rupanya menyembah setan, sedang apa dia berdiri menghadap matahari turun dan b
erbicara sendiri). Kata-kata yang tercetak miring di atas berasal dari pendudu
k setempat yang menggunakan bahasa Onin (yang merupakan lingua franca pada mas
a itu) untuk menyatakan keheranan mereka atas apa yang dilakukan kedua muba
ligh asal Aceh tersebut.
Setelah dapat beradaptasi (termasuk upayanya mempelajari bahasa lokal), akhirny
a Abdul Ghafar pun dapat menjelaskan bahwa apa yang dilakukannya setiap hari be
rsama teman-temannya adalah menyembah Allah, sang Pencipta langit dan bumi beser
ta segala isinya. Penjelasan ini menyentuh dan menggugah hati penduduk setempat,
sehingga mereka mulai membuka diri menerima Islam. Peristiwa inilah yang akhirn
ya tercatat sebagai awal masuknya Islam di Jazirah Onin, Kabupaten Fakfak.
Versi Jawa
Pada tahun 1518 M, Sultan Adipati Muhammad Yunus dengan gelar Pangeran Sebrang L
or anak Raden Patah dari kerajaan Islam Demak mengadakan kerjasama dengan kesu
ltanan Ternate dan Tidore untuk mengirim dai dan mubaligh ke Papua dalam ra
ngka menyiarkan Islam. Para dai dan mubaligh itu dikirim ke wilayah pesisir B
arat dan Utara Papua.
Berdasarkan informasi dari pengurus Yayasan Sunan Drajad dan Sunan Giri, P
erdana Jamilu dari Hitu dan Sultan Zainal Abidin (1480-1500 M) dari Ternate, be
lajar langsung dari Sunan Giri yang dikenal dengan gelar Prabu Satmata. Setela
h mempelajari dan memperdalam Islam selama kurang lebih satu tahun, maka Sultan
kembali ke Ternate dengan membawa seorang mubaligh bernama Tuhubahahul dari Giri
untuk mengajarkan dan menyiarkan Islam di Maluku, sedangkan Perdana Jamilu dari
Hitu dipercayakan menyiarkan Islam ke Papua. Perjalanan syiar Islam Perdana Ja
milu dimulai dari Seram menuju Fakfak pada tahun 1488 M. Sejak syiar Islam ters
ebut, maka penduduk barat Papua mendapat sentuhan dan mengenal nilai-nilai Isla
m melalui para mubaligh utusan Sunan Giri.
***
Sebenarnya masih banyak versi lain yang dapat dikemukakan di sini, sebagaimana h
al tersebut secara lebih komprehensif telah diuraikan oleh Toni Victor M. Wangga
i, mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam Disertas
i Doktoralnya yang berjudul Rekonstruksi Sejarah Umat Islam Di Tanah Papua. Tapi
dengan uraian singkat dari tiga versi mitos didaktik dan catatan sejarah di ata
s, beserta bukti-bukti historis yang ada dan dapat dipertanggung jawabkan validi
tasnya, setidaknya kita bisa mengetahui bahwa agama Islam bukanlah sesuatu yang
sama sekali asing bagi penduduk asli Papua sejak ratusan tahun silam, melainkan
sebaliknya, sudah sangat akrab dengan kehidupan mereka.

Pertanyaannya: masih relevankah informasi yang saat ini sering dipahami sebagai
kebenaran oleh sebagian kalangan, bahwa Islam bagi penduduk Papua merupakan hal a
sing dan barang baru, sementara Tanah Papua hanya identik sebagai tanah leluhur bag
i penduduk asli non-Muslim saja?

EH/IslamIndonesia

Anda mungkin juga menyukai