Anda di halaman 1dari 3

Ketika Islam Masuk ke Galuh

Bagaimana Islam mulai menggantikan pengaruh Hindu-Buddha di bekas Kerajaan


Sunda-Galuh. Cirebon dan Mataram berperan besar.
Oleh M. Fazil Pamungkas | 25 Feb 2020

Ketika Pakuan Pajajaran (terletak sekitar Bogor sekarang) jatuh akibat proses Islamisasi
Kesultanan Banten pada 1579, keseimbangan kekuatan politik di wilayah Tatar Sunda
menjadi goyah. Hilangnya pemerintahan di Pakuan Pajajaran berarti hilang pula
pengaruh Hindu-Buddha di Jawa bagian barat. Islam pun menjadi kekuatan tunggal di
tanah Pasundan.

Imbas kejatuhan itu, para penguasa Sunda yang sebelumnya ada di bawah naungan
Pakuan Pajajaran kembali terpecah. Mereka mulai membangun pemerintahan di tempat
asalnya masing-masing, dengan harapan dapat kembali menghidupkan kekuatan Sunda
seperti sedia kala. Seperti yang dilakukan Prabu Cipta Sanghyang di Galuh (1528-
1595), putra Prabu Haur Kuning.

Menurut sejarawan Nina H. Lubis dalam Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat, ketika
Kesultanan Banten berhasil mengislamkan Pakuan Pajajaran, Kesultanan Cirebon juga
bergerak masuk ke wilayah Galuh. Islam pun akhirnya berkembang di sana. Namun itu
hanya sebatas kekuasaan di Kawali saja karena Prabu Cipta Sanghyang sempat
memindahkan kekuasaannya ke Cimaragas, Ciamis, sehingga Galuh mampu
menghindari arus islamisasi dari para ulama Cirebon. Tapi keadaan itu tidak
berlangsung lama. Kuatnya pengaruh Islam di Ciamis membuat Galuh perlahan
kehilangan tempat berlindung yang aman.

“Islam dikembangkan dari Cirebon ke Galuh melalui Maharaja Kawali,” ungkap


sejarawan dari Universitas Padjadjaran itu.

Tim Peneliti Sejarah Galuh dalam Galuh Ciamis dan Tinjauan Sejarah, menyebut jika
Islamisasi Kesultanan Cirebon dilakukan melalui jalur perkawinan. Kisahnya dimulai
ketika putra mahkota Galuh, Ujang Ngekel, jatuh cinta kepada putri Maharaja Kawali
bernama Tanduran di Anjung. Tetapi cinta Ujang Ngekel tidak mendapat restu penguasa
Kawali karena ia masih menganut Hindu, sementara Kawali sendiri telah sepenuhnya
Islam.

Demi cintanya, Si Putra Mahkota pun bersedia masuk Islam. Melihat kesungguhan itu,
Kawali akhirnya meminta Cirebon untuk mengislamkannya. Setelah masuk Islam Ujang
Ngekel menikahi Tanduran di Anjung. Namun hal itu belum memberi pengaruh besar
terhadap penyebaran Islam di Galuh. Bahkan ketika ia naik takhta, dengan gelar Prabu
Galuh Permana, menggantikan Prabu Sanghyang Cipta, Islam belum berkembang.
Barulah pada masa Adipati Panakean, putra Prabu Galuh Permana, ajaran Islam mulai
tumbuh pesat. Terutama setelah Mataram berhasil merangsak ke Galuh, dan secara luas
ke Tatar Sunda.

“Sejak akhir abad ke-16 M, Mataram berupaya menguasai Kerajaan Galuh,” tulis
Mumuh Muhsin Z dalam makalah Ciamis atau Galuh, yang disajikan pada seminar
sejarah “Menelusuri Nama Daerah Galuh dan Ciamis: Tuntutan dan Harapan”, 12
September 2012 di Ciamis.

Pengaruh kuat Mataram di Galuh semakin terasa pada masa Sultan Agung. Penguasa
Galuh ketika itu, Adipati Panakean, diangkat sebagai wedana Mataram. Status
pemerintahan Galuh pun menjadi vasal Mataram. Dari hasil penelusuran Tim Peneliti
Sejarah Galuh, berdasar sumber-sumber kolonial, didapati batas-batas Kerajaan Galuh
yang jatuh ke tangan Mataram, yakni: Sungai Citanduy sebelah timur, perbatasan
Sumedang di sebelah utara, Sungai Cijulang di selatan, dan Galunggung serta Sukapura
di sebelah barat.

Islamisasi Pertama
Sebelum masuknya Cirebon dan Mataram, upaya islamisasi di Galuh telah lebih dahulu
dilakukan oleh rakyatnya sendiri. Diungkapkan Rokhimin Dahuri dalam Budaya Bahari:
Sebuah Apresiasi di Cirebon upaya itu datang dari putra kedua Raja Galuh,
Bratalegawa, yang kemudian mendapat gelar Haji Purwa. Bratalegawa dikenal sebagai
seorang saudagar Sunda yang sukses. Ia senang melakukan perjalanan niaga hingga ke
luar negeri.

Ketika sedang berdagang di India, Bratalegawa banyak berinteraksi dengan para


pedagang Arab yang beragama Islam. Dalam penelitian Nina H. Lubis, dkk, Sejarah
Perkembangan Islam di Jawa Barat disebutkan bahwa lamanya interaksi menjadi sebab
Bratalegawa mulai tertarik mengenal lebih dalam Islam. Meski ketika itu Haji Purwa
masih menjadi penganut Hindu yang taat.

“Ia diislamkan oleh saudagar Arab yang kebetulan bertemu di India,” tulis Nina.

Bratelegawa kemudian menikahi seorang wanita Muslim dari Gujarat, Farhana binti
Muhammad. Keduanya lalu memutuskan pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah
haji. Setelah kembali, Bratalegawa mengganti namanya menjadi Haji Baharudin al-
Jawi. “Oleh karena ia merupakan haji pertama di Galuh, maka ia disebut Haji Purwa
(pertama),” ungkap Rokhimin.

Dari Mekah, Haji Purwa bersama keluarganya pergi ke Jawa Barat. Mereka tiba di
Galuh pada 1337 M. Dibantu kawan Muslimnya dari Arab, Haji Purwa berusaha
mengislamkan para penguasa Galuh, keluarganya sendiri. Namun upaya Haji Purwa itu
mengalami kegagalan. Pengaruh Hindu yang masih terlalu kuat di Tatar Sunda
membuat ia gagal meyakinkan Galuh untuk beralih menganut Islam.

Setelah gagal mengislamkan Galuh, Haji Purwa memutuskan untuk keluar dari pusat
kerajaan. Ia memilih tinggal di Caruban Girang (Cirebon Girang), yang ketika itu masih
berada di bawah kekuasaan Galuh. Di sana secara perlahan ia menyebarkan Islam.
Penyebaran Islam di Cirebon itu tidak mengalami kesulitan, utamanya di wilayah
pesisir, karena penduduk di sana sudah banyak berinteraksi dengan para pedagang
Muslim.

Sumber:
https://historia.id/agama/articles/ketika-islam-masuk-ke-galuh-PKl3g/page/2

Anda mungkin juga menyukai