Anda di halaman 1dari 9

Cerita Panji

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Raden Panji Asmarabangun tengah mencari isterinya yang hilang, Dewi Sekartaji.

Cerita Panji atau Lingkup Cerita Panji merupakan sekumpulan cerita yang berkisar
pada, atau memiliki keterkaitan dengan, dua tokoh utamanya, yaitu Raden Panji Inu
Kertapati (atau Kudawaningpati atau Asmarabangun), seorang pangeran dari Kerajaan
Jenggala, dan Dewi Sekartaji (atau Galuh Candrakirana), seorang puteri dari Kerajaan
Kediri.[1] Kedua bangsawan tersebut saling mencinta dan cerita-cerita sering kali
berakhir dengan persatuan cinta tersebut. Karena cerita-cerita tersebut saling berdiri
sendiri dengan banyak variasi atau kembangan, tidak disatukan dalam suatu cerita
induk, namun selalu berkisar pada dua tokoh utama tersebut, dapat dikatakan bahwa
cerita-cerita Panji merupakan suatu lingkup sastra (literary cycle).
Tema klasik cerita ini terutama terkait dengan petualangan dari dua tokoh utama
tersebut, meskipun juga ada yang mengenai perjuangan hidup tokoh lain. Asal-muasal
cerita Panji tidak diketahui tetapi jelas memiliki latar belakang era Kerajaan Kadiri,
ketika para pujangga mulai merangkai karya sastra dengan cerita yang tidak lagi India-
sentris, melainkan bernafaskan kehidupan lokal Jawa. Cerita-cerita Panji mencapai
kepopuleran di era Majapahit, dan mendapat posisi didaktik yang tinggi, sehingga
sejumlah candi peninggalan kerajaan ini berhiaskan relief yang mengabadikan tidak
hanya epik cerita dari India, seperti Ramayana dan Mahabharata, namun juga kisah-
kisah dari lingkup cerita Panji maupun yang sezaman.
Pada masa Majapahit akhir dan setelahnya, cerita-cerita Panji mulai dijadikan karya
sastra dalam bentuk puisi maupun prosa berbagai keraton dan dituturkan secara lisan
di kalangan umum, sehingga beberapa di antaranya menjadi cerita rakyat populer,
seperti cerita Keong Emas, Ande Ande Lumut, Cinde Laras, Enthit, dan Golek
Kencana.[2] Berbagai cerita ini lalu menyebar sampai sejumlah kerajaan
di Nusantara (Indonesia dan Malaysia), bahkan kemudian sampai ke Siam (Thailand),
Khmer (Kamboja), Birma (Myanmar), dan mungkin pula Filipina. Di kawasan Indocina,
cerita Panji diadaptasi sesuai dengan situasi setempat. Tokoh Raden Inu Kertapati
diadaptasi dalam karya sastra dan drama tari dengan nama yang bervariasi,
seperti Inao/อิเหนา (Siam), Inav/Eynao (Khmer), atau E-naung (Birma), sementara Dewi
Sekartaji dikenal sebagai Bussaba/Bessaba.
Sejak tahun 2017, berbagai naskah (manuskrip) cerita Panji telah dimasukkan
oleh UNESCO ke dalam Warisan Ingatan Dunia, setelah setahun sebelumnya diajukan
oleh berbagai perpustakaan dari Kamboja, Indonesia, Belanda, Malaysia, dan Britania
Raya.[3]

Daftar isi

 1Tokoh dalam Cerita Panji


o 1.1Tokoh-tokoh utama atau dasar
o 1.2Tokoh-tokoh pendukung
o 1.3Tokoh-tokoh kembangan
 2Lakon Panji
 3Cerita Panji pada relief candi
 4Naskah-naskah Panji
 5Penyebaran Cerita Panji
 6Hubungan dengan Sejarah
 7Rujukan
 8Pranala luar
o 8.1Bacaan

Tokoh dalam Cerita Panji[sunting | sunting sumber]


Penamaan "cerita Panji" didasarkan pada beberapa tokohnya, termasuk tokoh
utamanya, yang memakai gelar "Panji". Ini adalah gelar kebangsawanan di Jawa yang
sudah dikenal sejak masa Kediri. Istilah tersebut merupakan nama gelar atau jabatan
yang masih berhubungan dengan lingkungan istana yang mengacu kepada tokoh
ksatria laki-laki yaitu seorang raja, putra, mahkota, pejabat tinggi kerajaan, kepala
daerah, dan pemimpin pasukan. Istilah “panji” atau ‘apanji” atau “mapanji” ini terus
digunakan secara umum hingga masa Singhasari dan Majapahit.[1] Gelar Raden
Panji masih digunakan sampai sekarang di kalangan bangsawan Jawa Timur.
Tokoh-tokoh utama atau dasar[sunting | sunting sumber]
1. Raden Panji Inu (atau Ino atau Hino) Kertapati /
Panji Asmarabangun / Kuda (atau Cekel)
Wanengpati / Ande-ande Lumut / Enthit
2. Dewi Sekartaji / Galuh Candrakirana
3. Panji Semirang / Kuda Narawangsa (Dewi
Sekartaji dalam penyamaran sebagai lelaki)
4. Ragil Kuning / Dewi Onengan
5. Dewi Kilisuci
6. Prabu Gunung Sari
7. Klana Sewandana / Klana Tunjung Seta
Tokoh-tokoh pendukung[sunting | sunting sumber]
1. Panji Sinom Pradapa
2. Panji Brajanata
3. Panji Kartala
4. Panji Handaga
5. Panji Kalang
6. Klana Jayapuspita
7. Lembu Amiluhur
8. Lembu Amijaya
9. Wirun
10. Resi Gatayu
11. Bremanakanda
12. Srengginimpuna
13. Jayalengkara
14. Panji Kuda Laleyan
15. Sri Makurung
16. Kebo Kenanga
17. Jaka Sumilir
18. Jatipitutur
19. Pituturjati
20. Ujungkelang
21. Tumenggung Pakencanan
22. Kudanawarsa
23. Jaksa Negara
24. Jaya Kacemba
25. Jaya Badra
26. Jaya Singa
27. Danureja
28. Sindureja
29. Klana Maesa Jlamprang
30. Klana Setubanda
31. Sarag
32. Sinjanglaga
33. Retna Cindaga
34. Surya Wisesa
Tokoh-tokoh kembangan[sunting | sunting sumber]
 Sri Tanjung
 Timun Mas

Lakon Panji[sunting | sunting sumber]


Cerita-cerita dalam Lingkup Panji banyak digunakan dalam berbagai pertunjukan
tradisional. Di Jawa, Cerita Panji digunakan dalam pertunjukan Wayang Gedog,
wayang orang, dan kethoprak. Di Bali, yang dikenal di sana sebagai "Malat",
pertunjukan Arja juga memakai lakon ini. Kisah ini juga menjadi bagian tradisi dari Suku
Banjar di Kalimantan Selatan meskipun kini mulai kurang dikenal oleh masyarakat. Di
Thailand terdapat seni pertunjukan klasik yang disebut "Inao" (Bahasa Thai:อิเหนา) yang
berasal dari nama "Inu"/"Ino". Begitu pula Kamboja yang mengenal lakon ini sebagai
"Eynao".

Cerita Panji pada relief candi[sunting | sunting sumber]

Lukisan Bali menggambarkan Pangeran Panji bertemu tiga orang perempuan di hutan.

Relief cerita Panji dapat ditemukan pada beberapa candi di Jawa Timur yang dibangun
dalam masa Majapahit. Arkeolog Agus Aris Munandar bahkan mengatakan bahwa
cerita Panji merupakan "Kisah Nasional Majapahit" karena seringnya digambarkan
pada relief dinding candi di masanya. Candi Penataran di Kabupaten Blitar, candi
Mirigambar di Kabupaten Tulungagung, dan candi Surawana di Kabupaten
Kediri memiliki relief yang menceritakan tokoh Panji. Ciri khas tokoh Panji dalam
penggambaran relief adalah figur pria yang digambarkan memakai tekes (Jaw.:
ꦠꦼꦏꦼꦱ꧀, IPA: /tə·kəs/) penutup kepala serupa blangkon Jawa gaya Sala/Surakarta.
Badan bagian atas tokoh tersebut digambarkan tidak mengenakan pakaian, sedangkan
bagian bawahnya digambarkan memakai kain yang dilipat-lipat hingga menutupi paha.
Beberapa relief atau arca menggambarkan Panji membawa keris yang diselipkan di
bagian belakang pinggang, atau ada juga yang digambarkan membawa senjata seperti
tanduk kerbau (sebagaimana yang dipahatkan pada Candi Gajah Mungkur di
lereng Gunung Penanggungan (Kepurbakalaan (Kep.) XXII) (Bernet Kempers
1959:325-6). Meskipun demikian, tidak semua tokoh bertopi tekes menggambarkan
Panji, karena tokoh Sidapaksa (suami Sri Tanjung dalam cerita Sri Tanjung) yang
dipahatkan di Candi Surawarna dan Jabung, atau tokoh Sang Satyawan yang
dipahatkan pada pendopo teras II Panataran serta dua figur pria dalam relief cerita
Kunjarakarna di Candi Jago, juga digambarkan mengenakan tekes.
Naskah-naskah Panji[sunting | sunting sumber]
Hingga sekarang tidak ditemukan naskah-naskah Panji berangka tahun dari periode
Majapahit, meskipun berbagai relief candi yang didirikan pada masa kerajaan itu
mengabadikan cerita-cerita tersebut. Penulisan cerita Panji baru dilakukan jauh
setelahnya.[1] Naskah Panji tertua yang tersimpan di Indonesia adalah naskah asal
Palembang berjudul Panji Angreni.[1] Naskah ini berangka tahun 1795 TM ini dikoleksi
oleh Perpustakaan Nasional RI.[4]
Perpustakaan Universitas Leiden menyimpan 260 naskah cerita Panji dalam delapan
bahasa.[5] The British Library mengoleksi berbagai naskah Panji dalam sejumlah
bahasa:[6] terdapat delapan naskah berbahasa Jawa (mulai dari yang bertanggal 1785
M) serta sepuluh naskah berbahasa Melayu yang kebanyakan diperoleh dari daerah
Semenanjung yang memiliki tradisi wayang kulit (Kelantan dan Kedah), dengan naskah
berangka tahun tertua 1787 M.

Penyebaran Cerita Panji[sunting | sunting sumber]


Sebagai suatu karya sastra yang berkembang dalam masa Jawa Timur klasik, kisah
Panji telah cukup mendapat perhatian para ahli. Ada yang telah membicarakannya dari
segi kesusastraannya (Cohen Stuart 1853), dari segi kisah yang mandiri (Roorda 1869),
atau diperbandingkan dengan berbagai macam cerita Panji yang telah dikenal
(Poerbatjaraka 1968), serta dari berbagai segi yang lainnya lagi'.
Menurut C.C.Berg (1928) masa penyebaran cerita Panji di Nusantara berkisar antara
tahun 1277 M (Pamalayu) hingga ± 1400 M. Ditambahkannya bahwa tentunya telah
ada cerita Panji dalam bahasa Jawa Kuno dalam masa sebelumnya, kemudian cerita
tersebut disalin dalam bahasa Jawa Tengahan dan Bahasa Melayu. Berg (1930)
selanjutnya berpendapat bahwa cerita Panji mungkin telah populer di kalangan istana
raja-raja Jawa Timur, tetapi terdesak oleh derasnya pengaruh Hinduisme yang datang
kemudian. Dalam masa selanjutnya cerita tersebut dapat berkembang dengan bebas
dalam lingkungan istana-istana Bali'.
R.M.Ng. Poerbatjaraka membantah pendapat Berg tersebut, berdasarkan alasan
bahwa cerita Panji merupakan suatu bentuk revolusi kesusastraan terhadap tradisi
lama (India). Berdasarkan relief tokoh Panji dan para pengiringnya yang diketemukan di
daerah Gambyok, Kediri, Poerbatjaraka juga menyetujui pendapat W.F.
Stutterheim yang menyatakan bahwa relief tersebut dibuat sekitar tahun 1400 M.
Akhirnya Poerbatjaraka menyimpulkan bahwa mula timbulnya cerita Panji terjadi dalam
zaman keemasan Majapahit (atau dalam masa akhir kejayaan kerajaan tersebut) dan
ditulis dalam Bahasa Jawa Tengahan (1968:408–9). Penyebarannya ke luar Jawa
terjadi dalam masa yang lebih kemudian lagi dengan cara penuturan lisan.

Hubungan dengan Sejarah[sunting | sunting sumber]


Cerita di dalam lakon panji berhubungan dengan tokoh-tokoh nyata dalam sejarah Jawa
(terutama Jawa Timur). Tokoh Panji Asmarabangun dihubungkan
dengan Sri Kamesywara, raja yang memerintah Kediri sekitar tahun 1180 hingga
1190-an. Permaisuri raja ini memiliki nama Sri Kirana adalah puteri dari Jenggala, dan
dihubungkan dengan tokoh Candra Kirana. Selain itu ada pula tokoh seperti Dewi
Kilisuci yang konon adalah orang yang sama dengan Sanggramawijaya Tunggadewi,
puteri mahkota Airlangga yang menolak untuk naik tahta[butuh rujukan].

Rujukan[sunting | sunting sumber]


1. ^ Lompat ke:a b c d Mawaddatul Khusna R., Mawaddatul;
Wardhani, Fifia (28 Januari 2019). "Panji Cerita Asli
Indonesia". Museum Nasional Indonesia. Original article:
Warta Museum Tahun XIII No. 13 Tahun 2018. Diakses
tanggal 30 April 2020.[pranala nonaktif permanen]
2. ^ Admin (4 April 2018). "Apa Itu Cerita Panji?". Festival Panji
Nusantara 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-09-
11. Diakses tanggal 3 Mei 2020.
3. ^ UNESCO. "Panji Tales Manuscripts". Memory of the World.
Diakses tanggal 2 mEI 2020.
4. ^ Saputra, K.H. (2010). "Cerita Panji: Representasi Laku
Orang Jawa". Jumantara. 1 (1): 61 – 81.
5. ^ Tol, Roger (2020). "The wonderful UNESCO collection of
Panji tales in Leiden University Libraries". Wacana: Jurnal
Ilmu Pengetahuan
Budaya. 20 (1). doi:10.17510/wacana.v20i1.746.
6. ^ Gallop, Annabel (29 Juni 2015). "Panji stories in
Malay". Asian and African Studies blog. Diakses tanggal 3
Maret 2020.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]


 Ppanji.org: Sumber, publikasi dan daftar rekaman
bertema Panji
Bacaan[sunting | sunting sumber]
 Baried, Siti Baroroh dkk. 1987. Panji: Citra
Pahlawan Nusantara. Jakarta: Depdikbud.
 Bernet Kempers, A.J. 1959. Ancient Indonesia Art.
Cambridge, Massachusetts: Harvard University
Press.
 Dumarqay, J. 1986. The Temples of Java.
Singapore: Oxford University Press.
 Galestin, Th.P. 1936. Houtbouw op Ost-Javaansche
tempel-reliefs. Distertasi, Leiden.
 Krom, N.J. 1923 Inleiding tot De Hindoe-Javaansche
Kunst III. 's Gravenhage: Martinus Nijhoff.
 Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1968 Tjerita Pandji dalam
Perbandingan. Diterjemahkan oleh Zuber Usman,
Djakarta: Gunung Agung.
 Quaritch Wales, H.G. 1953. The Mountain of God: A
Study in Early Religion and Kingship. London:
 Romondt, V.R. van, 1951. Peninggalan-peninggalan
Purbakala di Gunung Penanggungan. Djakarta:
Dinas Purbakala Republik Insonesia.
 Soepomo, S. 1972. Lord of The Mountains in The
Fourteenth Century Kakawin BKI. No. 128 hal 281–
95.
 Stutterheim,W.F. 1935. Enkele Interessante t'Reliefs
van Oost-Java. Djawa, halaman 139—dst,
Kategori:
 Artikel dengan pernyataan yang tidak disertai rujukan
September 2021
 Wiracarita
 Cerita rakyat dari Jawa Timur
 Warisan Ingatan Dunia
Menu navigasi
 Belum masuk log
 Pembicaraan
 Kontribusi
 Buat akun baru
 Masuk log
 Halaman
 Pembicaraan
 Baca
 Sunting
 Sunting sumber
 Lihat riwayat
Pencarian
Cari Lanjut

 Halaman Utama
 Daftar isi
 Perubahan terbaru
 Artikel pilihan
 Peristiwa terkini
 Halaman baru
 Halaman sembarang
Komunitas
 Warung Kopi
 Portal komunitas
 Bantuan
Wikipedia
 Tentang Wikipedia
 Pancapilar
 Kebijakan
 Menyumbang
 Hubungi kami
 Bak pasir
Bagikan
 Facebook
 Twitter
Perkakas
 Pranala balik
 Perubahan terkait
 Halaman istimewa
 Pranala permanen
 Informasi halaman
 Kutip halaman ini
 Butir di Wikidata
 Pranala menurut ID
Cetak/ekspor
 Buat buku
 Unduh versi PDF
 Versi cetak
Dalam proyek lain
 Wikimedia Commons
Bahasa lain
 English
 Español
 Français
 Jawa
Bahasa Melayu
Nederlands
ไทย
中文
Sunting pranala
 Halaman ini terakhir diubah pada 30 September 2021, pukul 17.07.
 Teks tersedia di bawah Lisensi Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa; ketentuan tambahan mungkin berlaku.
Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya.
 Kebijakan privasi

 Tentang Wikipedia

 Penyangkalan

 Tampilan seluler

 Pengembang

 Statistik

 Pernyataan kuki

Anda mungkin juga menyukai