Raden Panji Asmarabangun tengah mencari isterinya yang hilang, Dewi Sekartaji.
Cerita Panji atau Lingkup Cerita Panji merupakan sekumpulan cerita yang berkisar
pada, atau memiliki keterkaitan dengan, dua tokoh utamanya, yaitu Raden Panji Inu
Kertapati (atau Kudawaningpati atau Asmarabangun), seorang pangeran dari Kerajaan
Jenggala, dan Dewi Sekartaji (atau Galuh Candrakirana), seorang puteri dari Kerajaan
Kediri.[1] Kedua bangsawan tersebut saling mencinta dan cerita-cerita sering kali
berakhir dengan persatuan cinta tersebut. Karena cerita-cerita tersebut saling berdiri
sendiri dengan banyak variasi atau kembangan, tidak disatukan dalam suatu cerita
induk, namun selalu berkisar pada dua tokoh utama tersebut, dapat dikatakan bahwa
cerita-cerita Panji merupakan suatu lingkup sastra (literary cycle).
Tema klasik cerita ini terutama terkait dengan petualangan dari dua tokoh utama
tersebut, meskipun juga ada yang mengenai perjuangan hidup tokoh lain. Asal-muasal
cerita Panji tidak diketahui tetapi jelas memiliki latar belakang era Kerajaan Kadiri,
ketika para pujangga mulai merangkai karya sastra dengan cerita yang tidak lagi India-
sentris, melainkan bernafaskan kehidupan lokal Jawa. Cerita-cerita Panji mencapai
kepopuleran di era Majapahit, dan mendapat posisi didaktik yang tinggi, sehingga
sejumlah candi peninggalan kerajaan ini berhiaskan relief yang mengabadikan tidak
hanya epik cerita dari India, seperti Ramayana dan Mahabharata, namun juga kisah-
kisah dari lingkup cerita Panji maupun yang sezaman.
Pada masa Majapahit akhir dan setelahnya, cerita-cerita Panji mulai dijadikan karya
sastra dalam bentuk puisi maupun prosa berbagai keraton dan dituturkan secara lisan
di kalangan umum, sehingga beberapa di antaranya menjadi cerita rakyat populer,
seperti cerita Keong Emas, Ande Ande Lumut, Cinde Laras, Enthit, dan Golek
Kencana.[2] Berbagai cerita ini lalu menyebar sampai sejumlah kerajaan
di Nusantara (Indonesia dan Malaysia), bahkan kemudian sampai ke Siam (Thailand),
Khmer (Kamboja), Birma (Myanmar), dan mungkin pula Filipina. Di kawasan Indocina,
cerita Panji diadaptasi sesuai dengan situasi setempat. Tokoh Raden Inu Kertapati
diadaptasi dalam karya sastra dan drama tari dengan nama yang bervariasi,
seperti Inao/อิเหนา (Siam), Inav/Eynao (Khmer), atau E-naung (Birma), sementara Dewi
Sekartaji dikenal sebagai Bussaba/Bessaba.
Sejak tahun 2017, berbagai naskah (manuskrip) cerita Panji telah dimasukkan
oleh UNESCO ke dalam Warisan Ingatan Dunia, setelah setahun sebelumnya diajukan
oleh berbagai perpustakaan dari Kamboja, Indonesia, Belanda, Malaysia, dan Britania
Raya.[3]
Daftar isi
Lukisan Bali menggambarkan Pangeran Panji bertemu tiga orang perempuan di hutan.
Relief cerita Panji dapat ditemukan pada beberapa candi di Jawa Timur yang dibangun
dalam masa Majapahit. Arkeolog Agus Aris Munandar bahkan mengatakan bahwa
cerita Panji merupakan "Kisah Nasional Majapahit" karena seringnya digambarkan
pada relief dinding candi di masanya. Candi Penataran di Kabupaten Blitar, candi
Mirigambar di Kabupaten Tulungagung, dan candi Surawana di Kabupaten
Kediri memiliki relief yang menceritakan tokoh Panji. Ciri khas tokoh Panji dalam
penggambaran relief adalah figur pria yang digambarkan memakai tekes (Jaw.:
ꦠꦼꦏꦼꦱ꧀, IPA: /tə·kəs/) penutup kepala serupa blangkon Jawa gaya Sala/Surakarta.
Badan bagian atas tokoh tersebut digambarkan tidak mengenakan pakaian, sedangkan
bagian bawahnya digambarkan memakai kain yang dilipat-lipat hingga menutupi paha.
Beberapa relief atau arca menggambarkan Panji membawa keris yang diselipkan di
bagian belakang pinggang, atau ada juga yang digambarkan membawa senjata seperti
tanduk kerbau (sebagaimana yang dipahatkan pada Candi Gajah Mungkur di
lereng Gunung Penanggungan (Kepurbakalaan (Kep.) XXII) (Bernet Kempers
1959:325-6). Meskipun demikian, tidak semua tokoh bertopi tekes menggambarkan
Panji, karena tokoh Sidapaksa (suami Sri Tanjung dalam cerita Sri Tanjung) yang
dipahatkan di Candi Surawarna dan Jabung, atau tokoh Sang Satyawan yang
dipahatkan pada pendopo teras II Panataran serta dua figur pria dalam relief cerita
Kunjarakarna di Candi Jago, juga digambarkan mengenakan tekes.
Naskah-naskah Panji[sunting | sunting sumber]
Hingga sekarang tidak ditemukan naskah-naskah Panji berangka tahun dari periode
Majapahit, meskipun berbagai relief candi yang didirikan pada masa kerajaan itu
mengabadikan cerita-cerita tersebut. Penulisan cerita Panji baru dilakukan jauh
setelahnya.[1] Naskah Panji tertua yang tersimpan di Indonesia adalah naskah asal
Palembang berjudul Panji Angreni.[1] Naskah ini berangka tahun 1795 TM ini dikoleksi
oleh Perpustakaan Nasional RI.[4]
Perpustakaan Universitas Leiden menyimpan 260 naskah cerita Panji dalam delapan
bahasa.[5] The British Library mengoleksi berbagai naskah Panji dalam sejumlah
bahasa:[6] terdapat delapan naskah berbahasa Jawa (mulai dari yang bertanggal 1785
M) serta sepuluh naskah berbahasa Melayu yang kebanyakan diperoleh dari daerah
Semenanjung yang memiliki tradisi wayang kulit (Kelantan dan Kedah), dengan naskah
berangka tahun tertua 1787 M.
Halaman Utama
Daftar isi
Perubahan terbaru
Artikel pilihan
Peristiwa terkini
Halaman baru
Halaman sembarang
Komunitas
Warung Kopi
Portal komunitas
Bantuan
Wikipedia
Tentang Wikipedia
Pancapilar
Kebijakan
Menyumbang
Hubungi kami
Bak pasir
Bagikan
Facebook
Twitter
Perkakas
Pranala balik
Perubahan terkait
Halaman istimewa
Pranala permanen
Informasi halaman
Kutip halaman ini
Butir di Wikidata
Pranala menurut ID
Cetak/ekspor
Buat buku
Unduh versi PDF
Versi cetak
Dalam proyek lain
Wikimedia Commons
Bahasa lain
English
Español
Français
Jawa
Bahasa Melayu
Nederlands
ไทย
中文
Sunting pranala
Halaman ini terakhir diubah pada 30 September 2021, pukul 17.07.
Teks tersedia di bawah Lisensi Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa; ketentuan tambahan mungkin berlaku.
Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya.
Kebijakan privasi
Tentang Wikipedia
Penyangkalan
Tampilan seluler
Pengembang
Statistik
Pernyataan kuki