Anda di halaman 1dari 9

WAWASAN TENTANG CERITA PANJI

CERITA PANJI ASLI NUSANTARA (1)

Cerita Panji merupakan Memory of the World (MoW) yang telah ditetapkan oleh UNESCO pada 31
Oktober 2017 lalu. Cerita Panji Sudah diakui sebagai asli dari Bumi Nusantara.

JEJAK-JEJAK CERITA PANJI (2)

ALUR CERITA PANJI (3)

MOJO DI JEMBER SELATAN

Mashur dalam kisah awal pendirian Kerajaan Majapahit, bermula dari buah Mojo yang terasa pahit.
Kemudian hari dikenal Mojopahit.

Buah Mojo berasal dari tanaman yang memiliki daya tahan yang kuat dalam berbagai kondisi
lingkungan. Tanaman Mojo tumbuh di iiklim tropika dan subtropika yang banyak tumbuh di Asia.

Umumnya, tanaman Maja ini tumbuh di pekarangan secara liar, tanpa perawatan. Kerabat dekat
dari tanaman Maja adalah Kawista.

Keberadaan Tanaman Maja memiliki aneka manfaat. Manfaat tanaman Maja ini terdapat pada
semua bagian tanaman, yaitu: daun, batang, buah, sampai akarnya.

Buah Maja, yang ternyata tidak pahit, dapat mengobati diare dan disentri, asma, anemia, serta darah
tinggi. Isi buah Maja ini juga untu mengatasi rasa mual dan muntah yang berlebihan selama masa
kehamilan, mempercepat pemulihan luka dalam maupun luar dan meningkatkan konsentrasi.

Setiap situs atau petilasan dari era Majapahit Pahit, dalam lingkungan sekitarnya, terdapat tumbuh
tanaman Maja. Sehingga dapat dikatakan adanya tanaman Maja yang tumbuh turun temurun di
areal tersebut ada indikasi terdapat situs atau petilasan kuno.
Jember Bagian Selatan banyak tempat yang ditumbuhi tanaman Maja yang hidup secara liar, salah
satu di Gumuk Watu Desa Dukuh Dempok Kec. Wuluhan Kab. Jember.

Buah Maja menjadi salah satu lambang kenegaraan Majapahit. Slamet Muljana, dalam bukunya
“Menuju Puncak Kemegahan Sejarah Kerajaan Majapahit” menyebutkan salah satu lambang
kenegaraan Majapahit berupa buah maja (wilma), dasarnya dengan pola gringsing merah (geringsing
lobheng lewih laka).

Penetapan Buah Maja sebagai salah satu lambang kenegaraan Majapahit dikisahkan dalam Kidung
Panji Wijayakrama.

Y. Setiyo Hadi

Nala Wasita Ngambukae Jagat

Wawasan Kisah Panji

Gumuk Watu, 7 Juli 2022.

KISAH PANJI PADA RELIEF CANDI DERES

Panji Cerita Asli Indonesia


Cerita Panji merupakan cerita asli Indonesia yang berkembang pada masa abad ke-12
Masehi. Tidak hanya dikenal di Pulau Jawa, Bali, Lombok, Sulawesi, cerita ini berkembang
sampai mancanegara antara lain Thailand, Vietnam, dan Myanmar. Cerita yang berawal
dari cerita lisan di Jawa Timur ini telah digubah oleh masyarakat penerimanya ke dalam
berbagai bentuk seni lain seperti seni rupa, seni sastra, dan seni pertunjukan.

Secara umum, cerita ini berkisah antara dua tokoh.  Raden Panji (Kudawaningpati atau
Inu Kertapati) merupakan putera mahkota Kerajaan Jenggala.  Galuh Candrakirana
(Dewi Sekartaji) yang memiliki arti “putri (yang cantik bagai) sinar bulan” ialah sekar
kedhaton (putri kerajaan) Daha atau Kediri.  Kedua putra-putri raja ini sudah
diperkenalkan satu sama lain oleh orang tua mereka sejak kecil.  Namun, dalam
berbagai varian ceritanya, perjodohan itu menghadapi berbagai tantangan.
Tema cerita berpusat pada nilai kepahlawanan, keberanian, keteguhan, dan kasih
sayang.  Tidak hanya antarmanusia, tetapi juga kasih sayang kepada Tuhan.

Kisah ini diyakini merupakan gubahan yang mengacu pada persitiwa, tokoh sejarah,
dan budaya yang terjadi di wilayah Jawa bagian Timur pada abad ke-12 Masehi.
Cerita Panji memiliki autentisitas karya pujangga pada masa Kerajaan Majapahit
dengan latar tempat yang benar-benar ada seperti Jenggala, Kediri, Urawan, dan
Gagelang.  Merefleksikan kreativitas dan kearifan lokal yang orang Jawa zaman itu
menjadikan cerita Panji ditetapkan sebagai Memory of the World (MoW) oleh UNESCO
pada 31 Oktober 2017 lalu.

Nilai kesejarahan ini dibalut secara fiksi sehingga cerita ini mudah dinikmati dan
mampu berkembang luas di masyarakt.  Cerita Panji berkembang seiring dengan
tumbuhnya Majapahit di wilayah Nusantara.  Tak hanya dikenal di Bali, Lombak,
Sumatera, cerita ini pun dikenal sampai Semenanjung Malayu, Kamboja, Thailand dan
Myanmar, bahkan diadaptasi ke dalam kearifan lokalnya masing-masing.

Cerita rakyat popular sepertu Ande-ande Lumut, Keong Emas, dan Golek Kencana
juga diyakini merupakan turunan dari cerita Panji.  Nilai-nilai universal yang
terkandung di dalam kisah Panji dan turunannya ini menjadikannya mudah diterima
oleh masyarakat dan hidup dalam beragam media seni.  Keragaman inilah yang
menjadi kekayaan budaya dan tetap lestari.

JEJAK CERITA PANJI

Relief-relief yang menggambarkan cerita Panji dari abad ke 14 Masehi dijumpai pada
candi-candi di Jawa Timur seperti Candi Miri Gambar, Candi Surawana, dan Candi
Perwara pada Candi Tegowangi.  Relief ini juga ditemukan pada candi-candi di
Gunung Penanggungan antara lain Candi Wayang, Candi Gajah, Candi Kendalisada,
dan Candi Selokelir.

Di masa Majapahit ini, relief Cerita Panji tidak digambarkan secara lengkap, melainkan
hanya beberapa adegan yang dianggap penting atau mewakili seluruh kisahnya.
Penggambaran cerita Panji pada relief candi-candi di Jawa Timur dapat dikenali
melalui pahatan seorang ksatria dengan penutup kekasih Panji dan beberapa sahabat
pengiring (kadeyan) atau punakawan.

Tidak ditemukan naskah Panji dari masa Majapahit.  Naskah-naskah yang berisi cerita-
cerita seperti Panji Asmorobangun, Panji Semirang, dan sebagainya ditulis ulang jauh
sesudah masa periode Majapahit.  Naskah panji tertua yang masih ada saat ini adalah
naskah Panji Anggraini (Angreni) dari Palembang, Sumatera Selatan.

Istilah “Panji” yang digunakan sebagai tokoh utama dalam cerita Panji sudah dikenal
sejak periode Kediri.  Istilah tersebut merupakan nama gelar atau jabatan yang masih
berhubungan dengan lingkungan istana yang mengacu kepada tokoh ksatria laki-laki
yaitu seorang raja, putra, mahkota, pejabat tinggi kerajaan, kepala daerah, dan
pemimpin pasukan.  Istilah “panji” atau ‘apanji” atau “mapanji” ini terus digunakan
secara umum hingga masa Singhasari dan Majapahit.

Prasasti Banjaran 975 Saka (1053 Masehi) dari periode awal Kediri merupakan
prasasti tertua yang menggunakan istilah “panji”.  Prasasti yang masih in situ (di
tempat asalnya) ini menyebutkan nama rajanya, yaitu Sri Mapanji Alanjung Ahyes.

Prasasti Hantang 1057 Saka (1135 Masehi) merupakan prasasti dari masa Kadiri yang
juga menggunakan istilah “panji”.  Prasasti yang disimpan di Museum Nasional ini
menyebutkan nama raja Sri Maharaja Apanji Jayabhaya.  Para pejabat kerajaannya
menggunakan gelar panji seperti Mapanji Kabandha, Mapanji Mandaha, dan Mapanji
Daguna.

Di masa Singhasari, pejabat tinggi kerajaanya juga memakai gelar panji seperti
Rakryan Demung Mapanji Wipaksa dan Rakryan Kanuruhan Mapanji Anunda.  Kitab
Pararaton juga mencatat keturunan Ken Arok yang menggunakan nama panji antara
lain Panji Anengah (nama lain Anusapati), Pani Saprang, dan Panji Tohjaya.

(Penulis : Mawaddatul Khusna R. dan Fifia Wardhani dalam Warta Museum Tahun
XIII No. 13 Tahun 2018)
Hot Topics:

#Shinzo Abe Ditembak

#Puncak Haji

#Promo Minuman Holywings

#Reshuffle Kabinet

#Jenazah Eril Ditemukan

Koran

News Update

Senin , 08 Dec 2014, 13:00 WIB

Kisah Asmara Panji dan Candrakirana Dongeng Indonesia Warisan Dunia

‘’Apakah tak ada cerita asli Indonesia,’’ begitu ujaran masyarakat setiap kali tayangan
televisi di Indonesia menyiarkan sinetron Mahabarata versi India. Mungkin sebagian
ada yang kesal, tapi harus diakui sebagian besar publik lainnya bersikap biasa saja.
Mereka malah menerima kisah ‘perang saudara, antara Kurawa dan Pandawa itu
seolah menjadi penjelmaan sikap hidupnya. Di masyarakat Jawa, malah dianggap
cerita itu sebagai miliknya.

Tapi, apakah betul Indonesia tak punya dongeng sememukau kisah Mahabarata,
Ramayana, atau kisah asmara ala Eropa: Romeo dan Juliet. Jawabnya ternyata:”Ada
dan punya!’’
Dongeng ‘asli Indonesia’ itu adalah cerita Panji, yang berisi kisah percintaan antara
putra mahkota Kerajaan Jenggala, Inu Kertapati, dan putri ‘Sekar Kedathon’ Kerajaan
Kediri, Dewi Sekartaji (Dewi Candrakirana).

Menurut dosen Institut Seni Indonesia (Yogyakarta) Sumaryono, cerita Panji adalah
asli dari Jawa. Kisahnya diilhami oleh pembagian atau pembelahan wilayah antara
sebelah timur Sungai Berantas yang disebut Jenggala dan di sebelah barat Sungai
Berantas yang dikenal Panjalu, pada tengah abad II, atau tepatnya antara tanggal 20-
24 November 1042 menjelang turunnya takhta Raja Airlangga.

‘’Namun, berdasarkan data yang lain, yakni yang ditulis Slamet Mulyana dalam buku
tafsir sejarah Negarakretagama, cerita Panji bertitik tolak dari perkawinan Raja
Panjalu ke-10 dengan Dewi Sasikirana dari Jenggala. Berdasarkan data ini, maka
kemunculan cerita Panji diperkirakan antara akhir abad ke-12 sampai dengan awal
abad ke-13 M,’’ kata Sumaryono dalam makalah yang disampaikan pada Seminar
Naskah Kuno Nusantara cerita Panji sebagai warisan dunia, akhir Oktober lalu, di
Jakarta.

******

Sumaryono menegaskan, kisah putra mahkota Jenggala Panji Inu Kertapati tersebut
memang ditulis oleh para pujangga sastra dengan berbagai variasi. Namun, meski
terkesan berbeda, sebenarnya itu hanya sekadar variasi sebab masing-masing
memiliki intisari kisah yang sama. Pertama, ada cerita yang bersifat roman yang oleh
para ahli disebut sebagai ‘Roman Panji’.
‘’Tema besar kedua adalah semua kisah Panji adalah berkisah tentang dua tokoh
utamanya, yaitu Raden Panji Inu Kertapati dan pasangannya bernama Dewi
Candrakirana. Kisah dua tokoh utama tersebut selalu diwarnai dengan
pengembaraan, penyamaran, dan percintaan,’’ lanjut Sumaryono seraya
menyebutkan adanya empat kisah Panji yang bertema seperti ini, yakni Serat Panji
Jaya Kusuma (versi Jawa), Panji Malat (versi Bali), Serat Wangbang Wideya (versi
Bali), dan Serat Kuda Narawangsa (versi Jawa).

Kemasyhuran cerita atau sastra Panji itu terlihat jelas jejaknya pada dinding di
berbagai candi yang ada di Jawa Timur. Peneliti dari Universitas Frankurt Jerman,
Lydia Kieven, mengatakan, jejak cerita Panji ini salah satunya terpatri pada
potongan-potongan relief yan ada di Candi Penataran. Di sana ada panel kecil yang
menggambarkan sosok lelaki bertopi yang dapat ditafsirkan sebagai Panji. Adegan di
relief yang menggambarkan ada seorang lelaki bertopi yang menyeberangi air
dengan duduk di atas ikan.

‘’Sastra Panji adalah salah satu contoh khas untuk kreativitas pada Jawa Timur.
Naskahnya atau versi lisan diciptakan pada zaman itu dan tidak berdasarkan pada
sastra India,’’ kata Kieven.

Menurut Kieven, memang ada pendapat berbeda-beda mengenai awal cerita Panji—
apakah pada zaman Kerajaan Kediri, Singosari, atau baru pada Kerajaan Majapahit?
Nah, walaupun belum bisa ditentukan, yang penting bahwa cerita Panji adalah bukti
kreativitas budaya Jawa Timur.

‘’Pada zaman Majapahit cerita Panji menjadi populer dan sekaligus dihargai. Salah
satu alasannya adalah karena simbolisme politiknya: yakni usaha untuk menyatukan
dua kerajaan historis—Kerajaan Jenggala (dengan putra Panji) dan Kerajaan Daha
(dengan Putri Candrakirana)—adalah aspek penting dalam kedamaian dan harmoni
kerajaan. Penggambaran cerita Panji digunakan sebagai simbol religius dan sekaligus
lambang politik,’’ ujarnya.
Kepopuleran cerita Panji juga diceritakan dalam Negarakertagama. Dalam ‘Kakawin’
ini dikisahkan Raja Hayam Wuruk menari dalam pentas Wayang Topeng yang
mementaskan cerita Panji. Dan, di samping fungsi politik, kesenian Panji ternyata
masih menjadi bertambah penting dalam arti religius pada abad ke-15 sewaktu
kekuasaan Majapahit sudah mulai runtuh.

‘’Saat itu, banyak orang istana menghindar dari persaingan dan kekacauan politik
dengan mencari ketenangan lewat agama. Misalnya, di Candi Kendalisodo yang
letaknya terpencil itu, di sana dinding-dindingnya dihiasai relief yang
menggambarkan cerita panji,’’ kata Kieven.

*****

Kentalnya kekuatan cerita yang merupakan hasil ciptaan mahakarya bangsa sendiri
(local genius) merupakan warisan budaya khas Indonesia (Jawa). Dan, kini cerita
Panji diwujudkan dalam berbagai bentuk kesenian, seperti wayang, tarian, dan
teater.

‘’Namun, beberapa jenis wayang yang ada kaitannya dengan cerita Panji, seperti
Wayang Krucil, Wayang Beber, dan Wayang Gedhog keberadaannya kini terancam
kepunahan,’’ ujar Kieven kembali menegaskan.
Menyinggung mengenai nasib cerita Panji ke masa depan, Kieven pun menyatakan
sekarang akan kembali berpulang pada kepedulian masyarakat. Bila mereka
menyadari dan menghargainya, pada akhirnya mereka juga akan melestarikannya
dalam berbagai bentuk transformasi.

Mengapa demikian? Hal ini karena budaya tak bisa hanya sekadar menjadi media
penghiburan, tapi esensi dan nilainya harus pula diperhatikan dan dipraktikkan. Bila
tidak, budaya ini—termasuk cerita Panji—akan musnah ditelan zaman.

Akhirnya, apakah kisah Panji akan tenggelam di dalam pusaran zaman?


Wallahu’alam. N muhammad subarkah

Anda mungkin juga menyukai