Anda di halaman 1dari 6

Punakawan: Wujud Akulturasi Falsafah Islam pada Budaya Jawa Melalui

Kesenian Jagad Pewayangan

Dinar Herindo Harya

Sikap hidup manusia Jawa telah tergambar dalam cerita pewayangan sebagai hasil
cipta kebudayaan dan kesenian yang sangat luar biasa sehingga wayang dianggap sebagai
ensiklopedia kehidupan manusia Jawa. Wayang dianggap sebagai identitas simbolik orang
Jawa karena dalam berbagai lakon cerita dan para tokohnya dapat dijadikan tuntunan
masyarakat sekaligus sebagai tontonan yang menghibur pemirsa. Sebagai implikasinya, orang
Jawa senang mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita
pewayangan (Kresna, 2012:20).
Wayang sebagai hasil budaya Jawa di dalamnya memuat nilai-nilai pendidikan yang
lengkap. Tidak hanya contoh kepahlawanan saja, tetapi juga pendidikan moral, kesetiaan, dan
kejujuran, lengkap beserta dilema-dilema kehidupan yang kesemuanya menggambarkan
segala sifat dan perangai perjalanan manusia di muka bumi ini (Kresna, 2012:22).
Menurut sejarahnya, pada awal mula dipergelarkan, wayang digunakan untuk memuja
para ruh leluhur (Kresna, 2012:30; Nanda, 2012:12). Setelah zaman kerajaan Kadiri dan
Singasari, terutama pada zaman Sri Airlangga dan Jayabaya, ketika kebudayaan Hindu dari
India tersebar dalam kehidupan manusia Jawa, muncullah cerita Mahabarata dan Ramayana
(Kresna, 2012:30; Nanda, 2013:13). The history of wayang as outlined in this famous text,
begins with the legendary King Jayabaya, whose court was in Mamenang. The King is
reputed to have reigned from about 961 by the Javanese calendar, or about the beginning of
eleventh centurt. he ordered that images of his ancestors should be made, and instructed the
artists to draw them on palm-leaves. The line of ancestry was traced from the god (Shiva) to
Lord parikenan and when the artists had done their work, the collection was called Wayang
Purwa. The name “Purwa” was derived from a Javanese term meaning “ancient times”
(parwa), and the artists used as their models the sculptures, which adorned the temples and
which told the stories of the Indian epics Ramayana and Mahabarata. It is for this reason
that the paintings of both men and women display the pierced earlobes and ear ornaments
typical of Indian mythology as they still can be seen at Candi Penataran in East Java and at
Prambanan in Central Java (Moerdowo, 1982:12).
In the year Geni Murub Siniram ing Wong (the Javanese year 1433, or A.D. 1511) the
downfall of the Majapahit kingdom occurred, and the Wayang Beber and its accompanying
gamelan instrument were seized and borne off to the kingdom of Demak, which was Islamic.
Thus the creations of classical Hindu Javanese religious mythology were adopted to enrich
the newly emerging Islamic culture of Java (Moerdowo, 1982:13).
Pergelaran wayang pada awal mulanya sangat disakralkan sebagai uparacara
keagamaan untuk menghormati para dewa dan arwah para leluhur kerajaan dengan penonton
yang sangat terbatas hanya kalangan istana. Ketika kejayaan kerajaan Majapahit mengalami
keruntuhan dan digantikan dengan zaman Islam, para wali justru menggunakan wayang
purwa sebagai media dakwah. Perubahan dan penyempurnaan bentuk wayang kulit purwa
agar sesuai dengan ajaran Islam berlangsung dari tahun 1520 (Kresna, 2012:34).
Kemudian, setelah zaman Islam dengan ditandai runtuhnya kerajaan besar Majapahit,
wayang berubah fungsi menjadi media dakwah oleh para wali penyebar agama Islam. Cerita
dalam lakon pewayangan tersebut dianggap sebagai cerminan kehidupan manusia di dunia
dan mengandung nilai-nilai moral pendidikan yang tinggi (Kresna, 2012:30).
Perlu diketahui, ketika jatuhnya Majapahit pada pertengahan abad ke XV (1478)
sampai kira-kira pertengahan abad ke XVIII tahun 1758, pulau Jawa hampir terus-menerus
menjadi medan pertempuran. Para dalang atau para budayawan telah banyak yang lupa dan
tidak mengerti lagi tentang mitos nenek moyang tradisionil yang dahulu kala diwariskan
hanya secara lisan atau dengan tutur kata saja dan masih jarang sekali kitab-kitab
kesusasteraan maupun kepustakaan yang ditulis, Dengan masuknya kebudayaan Islam makin
berkurang dan boleh dikatakan tidak ada lagi penulisan kesusasteraan dan kepustakaan
wayang. Yang banyak ditulis dan dipelajari kini beralih kepada kebudayaan Islam yang baru
masuk. Kitab-kitab kesusasteraan islam tersebut misalnya suluk Wujil, suluk Sukrasa, Manik
Maya, Ambiya, Kanda, dan masih banyak lagi yang lainnya (Mulyono, 1989:180)
Menurut perkembangan sejarahnya, keberadaan wayang kulit purwa muncul
bersamaan dengan penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Wayang kulit purwa menurut
bentuknya seperti sekarang ini telah dimulai dari zaman Kerajaan Demak (Kresna, 2012:30-
31). Sunan Kalijaga salah seorang wali sanga (Demak, abad XV) adalah orang yang
pertamakali menciptakan wayang dari kulit lembu. Selain kulit lembu ada juga yang
menggunakan kulit kerbau (Nanda, 2013:13-14). Sunan Kalijaga menggunakan wayang guna
menyebarkan agama Islam. Dengan wayang kulit, Sunan Kalijaga berharap pesan-pesannya
dapat dengan mudah diterima masyarakat yang saat itu sangat menyenangi wayang
(Lisbijanto, 2013:1).
Sunan Giri menciptakan wayang-wayang jenis raksasa sedangkan Raden Patah
menciptakan Gunungan (kayon) sebagai pembuka cerita, perubahan adegan cerita, dan
penutup cerita wayang. Pada zaman Kerajaan Pajang ketika Sultan Hadiwijaya bertahta,
wayang dibuat dari berbagai jenis kulit binatang. Tokoh raja diberi mahkota, satria diberi
pakaian lebih bagus dan diberi gulungan rambut. Terjadi juga penambahan senjata. Pada
masa Sultan Agung Hanyakrakusuma berkuasa sekitar tahun 1563, wayang kulit purwa
ditambah dengan berbagai bentuk perbedaan mata masing-masing tokohnya yang
menunjukkan berbagai sifat dan karakternya, seperti jenis amta liyepan, thelengan,
dondongan, dan sebagainya. Hingga pada tahun 1680, pada masa Mataram diperintah oleh
Amangkurat, telah terjadi penambahan lagi dengan dimunculkannya para Punakawan yang
menemani Semar, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong (Kresna, 2012:35-36).
Punakawan adalah para pembantu dan pengasuh setia Pandawa. Dalam wayang kulit,
punakawan ini paling sering muncul dalam goro-goro, yaitu babak pertunjukan yang
seringkali berisi lelucon maupun wejangan (Nanda, 2013:211). Punakawan merupakan tokoh
pewayangan yang sangat unik. Mereka bertugas sebagai pembantu kesatria Pandawa.
Punakawan terdiri dari Semar dan ketiga anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan bagong.
Masing-masing mempunyai watak, sifat dan kesaktian. Punakawan mempunyai karakter yang
khas. Punakawan melambangkan rakyat pada umumnya yang hidup dalam masyarakat.
Karaktrer Punakawan ini mencakup berbagai peran, antara lain sebagai penasihat para
kesatria, sebagai penghibur, kadang kala menyampaikan kritik sosial, pada waktu tertentu
bertindak sebagai badut atau pelawak yang menghibur, dan di sisi lain kesempatan berperan
sebagai sumber kebenaran dan kebajikan (Lisbijanto, 2013:26).
Ditinjau dari sejarah perjalanan hidupnya di alam pewayangan, Semar dan anak-
anaknya hidup dan mengabdi sejak generasi Sakutrem, Sakri, Manumayasa, Palasara, hingga
Abiyasa dan Arjuna tanpa mengalami pergantian generasi sebagai pengabdi (Sumantri &
Walujo, 1999:2).
Dalam pengabdian dari generasi ke generasi yang begitu panjang, Semar dan anak-
anaknya telah menjadi saksi hidup tentang kebangkitan, kemegahan sekaligus keruntuhan
generasi masa silam. Ia juga telah mengalami, merasakan, dan menyaksikan semua peristiwa
yang terjadi di masa itu. berbagai tempat telah disinggahi, berbagai peristiwa telah dialami
sehingga betapa luas dan lengkapnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki serta
mengetahui seluk beluk kehidupan di masa lalu (Sumantri & Walujo, 1999:2).
Karena itulah rupanya Ki Semar dan anak-anaknya dipanggil dengan sebutan
“Punakawan” (Panakawan). Pana artinya tahu/mengetahui. Akan tetapi bukan sekadar tahu
sepintas lalu, melainkan mengetahui sampai pada tingkat sedalam-dalamnya. Kawan artinya
teman, tetapi juga bukan sekadar teman biasa, melainkan teman yang memiliki pengalaman
dan pengetahuan luas dan lengkap sampai pada tingkat hakkulyakin, atau pengetahuan itu
sendiri yang dijadikan sebagai teman hidupnya. Ini melambangkan bahwa hidup tanpa
pengetahuan bagai damar tanpa sinar. Kesimpulan kedua bukan ditujukan kepada
individunya, tetapi kepada ilmu pengetahuannya dan pengetahuan itu dapat diartikan sebagai
pandangan hidup atau falsafah hidup (Sumantri & Walujo, 2013:3).
Semar selalu disertai oleh anak-anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun
sesungguhnya ketiganya bukan anak kandung Semar. Gareng adalah putra seorang pendeta
yang mengalami kutukan dan terbebas oleh Semar. Petruk adalah putra seorang raja bangsa
Gandharwa. Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi
Manumanasa (Nanda, 2013:212).
Semar
Semar juga sering disebut Kyai Lurah Semar Badranaya. Ia adalah tokoh punakawan
paling utama dalam pewayangan. Semar tidak saja sebaagi pengasuh tetapi juga penasihat
para kesatria Pandawa. Semar merupakan seorang abdi dalem dari Sahadewa yang
merupakan keluarga Pandawa. Konon Semar bukan sekadar rakyat jelata, melainkan
penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa yang terkenal sakti dan
disegani (Lisbijanto, 2013:26).
Sementara pihak ada yang menafsirkan Semar adalah tokoh misterius antara Ada
(berwujud konkret) dan tidak ada (Abstrak). Dalam pengertian abstrak, Ki Semar dilukiskan
dalam wujud tidak “berbangun”, serba tidak jelas atau “samar-samar” dalam bahasa Arab
“samara” sehingga menimbulkan teka-teki bersifat rahasia atau gaib (Sumantri & Walujo,
1999:4).
Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol
penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal
umat manusia dan makhluk lain. Semar selalu tersenyum tapi bermata sembab.
Penggambaran ini sebagai simbol suka dan duka. Wajahnya tua tapi potongan rambutnya
bergaya seperti anak kecil, sebagai simbol tua dan muda. Ia berkelamin laki-laki , tetapi
memiliki payudara seperti perempuan, sebagai simbol pria dan wanita. Ia penjelmaan dewa
tetapi hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan (Nanda, 2013:212-
213). “paradoks”. Wajah putih lambang kesucian bahwa manusia harus berusaha
membersihkan diri (hati), menghindari dari perbuatan buruk. Badan hitam pertanda teguh
iman tak tergoyahkan oleh ajakan syetan. Berkuncung lurus menunjuk ke atas harus mawas
diri eling kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Jari telunjuk seolah menuding, melambangkan
karsa (keinginan) yang kuat untuk menciptakan sesuatu. Mata yang menyipit melambangkan
ketelitian dan keseriusan dalam mencipta (Sumantri & Walujo, 1999:4; Lisbijanto, 2013:28)
Gareng
Gareng adalah salah satu dari empat Punakawan, anak dari Semar. Nama lengkapnya
adalah Nala Gareng. gareng adalah Punakawan yang mempunyai bentuk fisik kecil dan
berkaki pincang sehingga kalau jalan selalu miring, tidak lurus. Penampilan fisik Gareng ini
merupakan perwujudan atas sifat Gareng sebagai kawula yang selalu hati-hati dalam
bertindak. Gareng juga mempunyai cacat fisik yang lain, tanganya ceko atau tidak lurus. Ini
adalah simbol bahwa Gareng tidak suka mengambil hak milik orang lain.
Nala Gareng berasal dari kata nala khairan yang berarti memperoleh kebaikan.
Gareng adalah orang yang tak pandai bicara. Apa yang dikatakannya kadang-kadang serba
salah. Tetapi ia sangat lucu dan menggelikan.
Nilai filosofi dari Gareng dengan tangan yang cacat, kaki yang pincang, mata yang
juling, melambangkan bahwa dalam menciptakan sesuatu, dan hasilnya tidak sempurna, kita
tidak boleh menyerah. Bagaimanapun kita sudah berusaha. Apapun hasilnya, pasrahkan pada-
Nya (Lisbijanto, 2013:28-30).
Petruk
Nama Petruk berasal dari kata fat ruk yang berarti tinggalkanlah. Petruk merupakan
anak kedua Semar. Wajah dan perawakan Petruk digambarkan serba panjang, yang
menyimbolkan bahwa pemikiran harus panjang dan mengingat di dalam menjalani hidup ini
manusia harus berpikir panjang dan sabar. Petruk juga tokoh yang nakal dan cerdas, serta
bermuka manis dengan senyum yang menarik hati, pandai berbicara, dan juga sangat lucu. Ia
suka menyindir ketidakbenaran dalam setiap ucapannya. Petruk mempunyai senjata
berbentuk kapak.
Nilai filosofi dari Petruk adalah dari kegagalan menciptakan Gareng, lahirlah Petruk.
Dengan bentuk tangan dan kaki yang panjang, tubuh tinggi langsing, hidung mancung,
merupakan wujud dari cipta yang kemudian diberi rasa sehingga wujud itu menjadi lebih
indah dan memiliki kelebihan dibandingkan yang sebelumnya (Lisbijanto, 2013:30-31).
Bagong
Bagong, juga dikenal sebagai Ki Lurah Bagong, adalah nama salah satu tokoh
Punakawan dalam pewayangan. Bagong merupakan anak bungsu Semar. Bagong dilukiskan
sebagai tokoh yang mempunyai bentuk fisik bulat, mata lebar, bibir tebal dan berwajah lucu.
Tokoh ini mempunyai senjata kudi. Dalam berbicara, Bagong sangat santai dan seenaknya
sendiri. Dia adalah sosok yang lugu dan tidak mengerti tatakrama meski pada dasarnya
mempunyai hati yang baik.
Nama Bagong berasal dari kata al ba gho ya yang berarti perkara buruk. Bagong
merupakan sosok yang yang suka bercanda, bahkan saat menghadapi persoalan yang amat
serius, juga lancang dan suka berlagak bodoh. bagong suka melucu. Karakter yang
disimbolkan dari bentuk Bagong adalah manusia harus sederhana, sabar, dan tidak terlalu
kagum pada kehidupan di dunia.
Nilai filosofi dari Bagong adalah wujud dari karya. Bagong merupakan manusia yang
sesungguhnya, manusia utuh, karena dia memiliki kekurangan. Maknanya adalah manusia
yang sejati adalah manusia yang sejati adalah manusia yang memiliki kelebihan dan
kekurangan (Lisbijanto, 2013:31-32).

Daftar Rujukan

Kresna, A. 2012. Mengenal Wayang. Yogyakarta: Laksana.

Lisbijanto, H. 2013. Wayang. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Mulyono, S. 1989. Wayang: Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta: CV Haji
Masagung.

Moerdowo, R. M. 1982. Wayang: Its Significance in Indonesian Society. Jakarta: Balai


Pustaka.

Nanda. 2013. Wayang dan Tokoh. Yogyakarta: Bintang Cemerlang.

Sumantri, B., & Walujo, K. 1999. Hikmah Abadi: Nilai-nilai Tradisional Dalam Wayang.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai